BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Teori Dramaturgis Teori dramaturgis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut (Littlejohn,1996:165). Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk membuat drama yang berhasil. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya, seorang ayam kampus senantiasa berpenampilan serta bersikap layaknya mahasiswi. Tetapi, saat akan melakukan aksi menjual diri, sang ayam kampus bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap mesra/intim untuk melepaskan segala hasrat kepada calon pelanggannya. Saat sang ayam kampus berada di depan publik, merupakan saat penampilan normal baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menjaga identitas dia sebagai seorang mahasiswa normal sehingga tidak dicurigai oleh masyarakat secara umum dan menghindari pelanggaran norma-norma yang berlaku. Oleh karenanya, perilaku sang ayam kampus juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh masyarakat/publik. Saat sang ayam kampus menjajakan dirinya, dia bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh sang ayam kampus adalah bagaimana sang ayam kampus tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya. Universitas Sumatera Utara Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya. Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total. Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum diaplikasikan. Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan. Dramaturgis dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut. Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. Universitas Sumatera Utara II.2 Teori Interaksionisme Simbolik Hal yang menarik dari perspektif ini adalah orang yang diidentifikasikan sebagai Bapak Teori Interaksionisme Simbolik, yaitu George Herbert Mead tak pernah menggunakan term ini. Bagaimanapun, usahanya telah mempengaruhi banyak sarjana yang menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial. Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua aliran : Iowa dan Chicago. Meski mengacu pada prinsip-prinsip dasar pemikiran interaksionisme simbolik, kalangan pemikir Iowa banyak yang menganut tradisi epistemology dan metodologi post positivis. Sebaliknya aliran Chicago yang banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pemikiran Mead. Karya Mead yang paling terkenal berjudul Mind, Self, and Society (Mead:1934), menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal pertama yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama, “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal-balik antara masyarakat, pengalaman individu, dan interaksi menjadi bahan bagi penelaahan dalam tradisi interaksionisme simbolik seperti ringkasan Holstein dan Gubrium berikut ini (Elvinaro, 2007:136) : “Teori interaksionisme simbolik berorientasipada prinsip bahwa orangorang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat, dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka”. Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Contohnya Mead berbicara tentang simbol signifikan (significant symbols) dengan makna yang sama dalam sebuah masyarakat. Tanpa sistem penyimbolan yang sama, aksi yang terkoordinasi adalah tidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang lain yang significant (significant others), yaitu “orang yang berpengaruh dalam kehidupan anda”, lalu orang lain yang digeneralisasikan (generalized others) yakni konsep anda tentang bagaimana orang lain merasakan anda, dan “tata cara yang dipakai” (role taking) yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk menyediakan sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat. Universitas Sumatera Utara Oleh karenanya teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada defenisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan defenisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh defenisi bersama yang sedemikian itu, dan dikonstruksikan melalui proses interaksi. Blummer (1969:2) mengemukakan tiga buah premis sederhana yang menjadi dasar interaksionisme simbolik, ketiganya berfungsi sebagai ringkasan tentang filosofis teoritis dari interaksionisme simbolik. Pertama, manusia bertindak terhadap hal-hal atas dasar makna yang dimiliki oleh hal-hal tersebut. Kedua, makna itu berkaitan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan seseorang dengan teman-temannya. Ketiga, makna ini diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang-orang tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia hadapi. Yang paling dasar dari interaksionisme simbolik adalah dua karakteristik yang sangat penting. Perilaku manusia berbeda dengan yang lain, bersifat “sosial” dan terdiri dari “tindakan”. Karena itu, manusia secara inheren adalah organisme yang aktif secara sosial yang proses penafsirannya, yakni kemampuan simbolisnya membuatnya menjadi makhluk yang unik (Ritzer, 2004:341). Sejauh ini Mead dan Blummer telah menjadi sumber-sumber utama bagi filsafat dasar dalam teori ini, yang melandasi model interaksional komunikasi manusia. Secara lebih khusus lagi, arah perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali dari pendekatan interaksional pada studi komunikasi manusia. Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses dalam komunikasi manusia. Barangkali implikasi yang paling penting dari perspektif interaksionisme simbolik bagi studi komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian, implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang dijalankan oleh peneliti. Daripada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, tidak bias, dan tidak tertarik atas fenomena empiris, peneltii interaksional menjalankan perannya sebagai seorang pengamat partisipan dalam melaksanakan penelitiannya. Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar dapat menemukan sudut pandang subjek penelitian. Perspektif interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik perhatian orang dalam pengertian bahwa ia berada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian sebagai “revolusi yang masih belum tuntas”, setiap penemuan penelitian secara relatif masih baru dan mengarah ke banyak arah baru. Penelitian yang kontemporer mencerminkan jiwa penelitian yang sesungguhnya, bahwa para peneliti tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pengukuhan atau verifikasi hipotesis, akan tetapi lebih banyak berusaha menemukan bagaimana hipotesis itu seharusnya. Pada sisi yang lain, penelitian interaksionalis kurang memiliki arah atau fokus dalam upaya-upayanya. Para peneliti masih harus mengembangkan metodologi baru yang diperlukan bagi panduan interaksional/dialogis. Oleh karenanya para peneliti yang didorong paham interksionisme harus Universitas Sumatera Utara mengembangkan fokus bersama tentang variabel apa yang paling penting, konsep apa yang perlu dikembangkan atau dikaji, dan ke arah mana usaha mereka selayaknya diarahkan. II.3 Komunikasi Nonverbal Menurut Samovar (1981), Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia, walaupun hal ini sering kali tidak kita sadari. Padahal kebanyakan ahli komunikasi akan sepakat apabila dikatakan bahwa dalam interaksi tatap muka umumnya, hanya 35 persen dari “social context” suatu pesan yang disampaikan dengan kata-kata. Maka ada yang mengatakan bahwa bahasa verbal penting, tetapi bahasa nonverbal tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih penting, dalam peristiwa komunikasi. (Lubis, 2008 :34) Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A.Samovar dan Richard E.Porter, komunnikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim dan penerima; jadi defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2003:308). II.3.1 Pengertian Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memiliki potensi untuk merangsang makna dalam pikiran individu atau individu-individu lain (Lubis, 2008:35) Untuk merumuskan pengertian “komunikasi nonverbal”, biasanya ada beberapa defenisi : • Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata. • Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara. • Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh sesorang yang diberi makna oleh orang lain. • Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan, waktu, gerak, isyarat, bau, perilaku, mata dan lain-lain. II.3.2 Fungsi Komunikasi Nonverbal Universitas Sumatera Utara Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai : • Emblem, gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan “Saya tidak sungguh-sungguh”. • Ilustrator, pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan. • Regulator, kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi. • Penyesuaian, kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan respons yang tidak disadari yang merupakanupaya tubuh untuk mengurangi kecemasan. • Affect Display, pembesaran manik mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut atau senang. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut : • Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal, misalnya anda mengganggukkan kepala ketika mengatakan “ya”, atau menggelengkan kepla ketika mengatakan “tidak”. • Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya melambaikan tangan seraya mengucapkan “selamat tinggal”. • Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi berdiri sendiri. Misalnya menggantikan kata-kata haru dengan linangan air mata. Universitas Sumatera Utara • Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya melirik kearah jam tangan menjelang kuliah berakhir, sehingga dosen menyadari untuk mengakhiri perkuliahan. • Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. Misalnya seorang dosen menyatakan kalau dia memiliki waktu untuk berbicara kepada seorang mahasiswa, tetapi matanya berulangkali menatap kearah jam tangannya (Mulyana,2003:315). II.3.3 Klasifikasi Pesan Nonverbal Berdasarkan analisis Edward T.Hall dan Bridstell, pesan nonverbal digolongkan menjadi tiga jenis umum, yaitu kinesik, prosemik, dan paralinguistik (Liliweri,2003:193) II.3.3.1 Kinesik Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L.Birdwhistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan oandangan mata), tangan, kepala, kaki dan simbolik. Karena kita hidup, semua anggota badan kita senantiasa bergerak. Dalam pelajaran pesan nonverbal dikenal beberapa jenis kinesik yaitu : • Ekspresi wajah Pelbagai penelitian melaporkan bahwa emosi dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah karena wajah dianggap sangat kuat menampilkan ‘keadaan dalam’ seseorang yang membuat orang lain dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Sylvan S.Tomkins menemukan sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) dasar emosi wajah yang mencengangkan, yakni emosi yang menyatakan surprise, minat, gembira, gusar, takut, jijik atau muak, malu dan kesedihan yang mendalam. Wajah manusia menyimpan banyak sekali misteri. Para ahli psikologi menyebut wajah dan ekspresi wajah sebagai the organ of emotion. Karena tandatanda yang ada di wajah berkaitan dengan perasaan manusia,d an tanda-tanda itu dapat diinterpretasikan oleh orang lain di sekeliling kita. Wajah merupakan kekuatan saluran komunikasi nonverbal yang diterjemahkan atau di-encode oleh pengirim dan kemudian di-decode oleh penerima dengan makna yang berlaku dalam suatu konteks sosial atau budaya tertentu. • Kontak mata dan pandangan Kontak mata/cara pandang mata merupakan komunikasi nonverbal yang ditampilkan bersama ekspresi wajah. Tak mengherankan kalau banyak orang menggerakkan alis mata ketika mereka bercakap-cakap karena mereka Universitas Sumatera Utara menganggap bahwa kontak mata yang ditampilkan komunikator akan menarik umpan balik dari komunikan. Dalam Hattori (1987) pelbagai kebudayaan, pandangan mata kerap kali ditafsirkan sebagai pernyataan tingkat keseriusan perhatian, mendengarkan, melihat, mengerti, melamun, menerawang, bingung, marah, cinta, sayu, menggoda, sensual, menguasai, membiarkan, dan masa bodoh yang semuanya harus ditafsir dalam konteks sosial budaya tertentu (Liliweri, 2003:197). • Isyarat tangan Kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan. Sebagian orang menggunakan tangan mereka dengan leluasa, sebagaian lagi moderat dan sebagian lagi hemat. Untuk memperteguh pesan verbal mereka, orang-orang Prancis, Italia, Spanyol, Mexico dan Arab termasuk orang-orang yang sangat aktif menggunakan tangan mereka, lebih aktif daripada orang Amerika atau orang Inggris, seakanakan mereka tidak mau diam. Penggunaan isyarat tangan dan maknanya jelas berlainan dari budaya ke budaya. • Postur Tubuh Postur tubuh sering bersifat simbolik. Postur tubuh memang mempengaruhi citra diri. beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fisik dan karakter atau tempramen. Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan oleh William Sheldon misalnya menunjukkan hubungan antara bentuk tubuh dan tempramen. Sebagian anggapan mengenai bentuk tubuh dan karakter yang dihubungkannya mungkin sekadar stereotip. II.3.3.2 Sentuhan Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics). Sentuhan seperti foto, adalah suatu perilaku nonverbal yang multimakna., dapat menggantikan seribu kata. Menurut Heslin (Mulyana,2003:336), terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang dari yang sangat impersonal hingga yang sangat personal. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut : - Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat “dingin” dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih pakaian. - Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh pengharapan, aturan dan praktek sosial yang berlaku, msialnya berjabat tangan. - Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yang akrab, msialnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah. Universitas Sumatera Utara - Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang meyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan, misalnya mencium pipi orangtua dengan lembut; orang yang sepenuhnya memeluk orang lain; dua orang yang “bermain kaki” di bawah meja; orang eskimo yang saling menggosokkan hidung. - Rangsangan seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman. Seperti makna pesan verbal, makna pesan nonverbal, termasuk sentuhan, bukan hanya bergantung pada budaya, tetapi juga pada konteks. II.3.3.3 Parabahasa Parabahasa, atau vokalika (vocalics), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, dialek, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita. Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan atau ketakutan. Terkadang kita bosan mendengarkan pembicaraan orang , bukan karena isi pembicaraannya, melainkan karena cara menyampaikannya yang lamban dn monoton. Mehrabian dan Ferris menyebutkan bahwa parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi. menurut formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan. Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari keseluruhan impak pesan, lebih dari 90% isi emosionalnya ditentukan secara nonverbal. II.3.3.4 Penampilan Fisik Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna) dan juga ornamen lain yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali orang juga memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya. Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan dan tujuan pencitraan, semua itu mempengaruhi cara kita berdandan. Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang terhadap pakaian mencerminkan kepribadiannya, apakah ia orang yang konservatif, Universitas Sumatera Utara religius, modern, atau berjiwa muda. Kita memang cenderung mempersepsi dan memperlaukan orang yang sama dengan cara yang berbeda bila ia mengenakan pakaian yang berbeda. II.3.3.5 Bau-Bauan Bau-bauan terutama yang menyenangkan (wewangian, seperti deodorant, eau de toilette, eau de cologne, dan parfum) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan, mirip dengan cara yang juga dilakukan hewan. Kebanyakan hewan menggunakan bau-bauan untuk memastikan kehadiran musuh, menandai wilayah mereka, mengidentifikasi keadaan emosional dan menarik lawan jenis. Mereka yang ahli dalam wewangian dapat membedakan bau parfum laki-laki dengan parfum perempuan, bau parfum yang mahal dengan bau parfum yang murah. Bau parfum yang digunakan seseorang dapat menyampaikan pesan bahwa ia berasal dari kelas tertentu; kau eksekutif, selebritis atau wanita tunasusila, kelas atas atau kelas bawah. Wewangian dapat mengirim pesan sebagai godaan, rayuan, ekspresi feminimitas atau maskulinitas. Dalam bisnis,wewangian melambangkan kesan, citra, status dan bonafiditas. II.3.3.6 Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi Setiap budaya punya cara khas dalam mengkonseptualiasikan ruang, baik di dalam rumah, di luar rumah ataupun dalam berhubungan dengan orang lain. Edward T.Hall adalah antropolog yang menciptakan istilah proxemics (proksemika) sebagai studi yang menelaah persepsi manusia atas ruang (pribadi dan sosial), cara manusia menggunakan ruang dan pengaruh ruang terhadap komunikasi (Mulyana, 2003:356). Beberapa pakar lainnya memperluas konsep prosemika ini dengan memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin berpengaruh terhadap proses komunikasi, termasuk iklim (temperatur), pencahayaan dan kepadatan penduduk. II.3.3.7 Warna Kita sering menggunakan warna untuk menunjukkan suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik dan bahkan mungkin keyakinan agam kita. Dalam tiap budaya terdapat konvensi tidak tertulis mengenai warna pakaian yang layak dipakai ataupun tidak. Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia, meskipun kita memerlukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan dugaan ini. II.3.3.8 Artefak Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dai pakaian dan penampilan yang telah dibahas sebelumnya. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu. Bidang studi mengenai ini disebut objektika (objectics). Universitas Sumatera Utara