BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Piezoelektrik Jacques dan Currie menemukan fenomena piezoelektrik pada tahun 1880, yang mana piezoelektrik merupakan katagori material yang mempunyai sifat unik. Penerapan stress pada kristal piezoelektrik akan membangkitkan listrik karena terjadi polarisasi muatannya (Purwasih, 2010). Gambar 2.1. Piezoelektrik dalam Menghasilkan Energi Listrik (Purwasih, 2012) Piezoelektrik didefenisikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki sebagian kristal maupun bahan-bahan tertentu lainnya yang dapat menghasilkan tegangan listrik jika mendapatkan perlakuan tekanan atau regangan. Piezoelektrik adalah suatu efek yang reversibel, dimana terdapat efek piezoelektrik langsung (direct piezoelectric effect) yaitu produksi potensial listrik akibat adanya tekanan mekanik dan efek piezoelektrik balikan (converse piezoelectric effect) yaitu produksi tekanan akibat pemberian tegangan listrik yang menghasilkan perubahan dimensi (Triwahyuni, 2010). Sifat reversibel yang dimiliki oleh piezoelektrik dapat dijelaskan sebagai berikut. Di dalam sebuah kristal piezoelektrik, muatan listrik positif dan muatan listrik negatif terpisah namun terdistribusi simetris, sehingga kristal keseluruhan secara elektris bersifat netral. Ketika diterapkan stress (tekanan), maka distribusi muatan yang simetris akan terganggu, sehingga muatan menjadi tidak simetris lagi, dan muatan yang tidak simetris inilah yang menimbulkan medan listrik. Universitas Sumatera Utara Sebaliknya, ketika medan listrik diterapkan pada material piezoelektrik akan terjadi deformasi mekanik yang menyebabkan material berubah dimensi (struktur kristalnya dari kubik menjadi tetragonal atau rombohedral). Peristiwa ini karena pada saat medan listrik, dihasilkan dipol yang terinduksi dengan molekul atau struktur kristal materi. Penyesuaian molekul ini mengakibatkan materi berubah dimensi. Sifat reversibel dari material piezoelektrik dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam aplikasi, antara lain sumber tegangan, sensor, aktuator, transduser, dan peralatan elektronik lainnya. 2.2. Struktur Kristal Susunan khas atom-atom dalam kristal disebut sistem kristal atau struktur kristal. Struktur kristal dibangun oleh sel satuan (unit cell) yang merupakan sekumpulan atom yang tersusun secara khusus dan secara periodik berulang dalam tiga dimensi dalam suatu kisi kristal (crystal lattice). Suatu kristal yang terdiri dari jutaan atom dapat dinyatakan dengan ukuran, bentuk, dan susunan sel satuan yang berulang dengan pola pengulangan yang menjadi ciri khas dari suatu kristal (Istiyono, 2000). Dalam telaah mengenai geometri kristal setiap dalam kristal sempurna dianggap sebagai suatu titik, tepat pada kedudukan setimbang setiap atom dalam ruang. Pola geometrik yang diperoleh dinamakan kisi kristal, seperti Gambar 2.2. Gambar 2.2. Struktur Kristal Menunjukkan Sudut hkl (Darmawan, 2011) Kisi kristal merupakan jarak antar atom pada kristal atau sering juga disebut dengan konstanta kisi. Suatu konstanta kisi kristal yang terbentuk dalam bentuk tiga dimensi diberi simbol dengan a, b, dan c. Sudut antara ketiga konstanta kisi tersebut diberi simbol dengan α, β, dan γ. Misalnya, untuk kristal yang berbentuk kubik, konstanta kisinya sama dalam ketiga arah koordinat (a = b = c), dan sudut antara ketiga sisinya sama besar yaitu 900 (α = β = γ = 900), sedangkan untuk kristal yang bukan kubik konstanta kisinya berbeda dalam ketiga arah koordinat. Universitas Sumatera Utara Volume sel satuan ditetapkan oleh 3 kisi (a, b, dan c) dan 3 sudut (α, β, dan γ). Jarak bidang kristal merupakan panjang garis yang diambil secara tegak lurus antara 2 bidang kristal yang sama dalam sebuah kristal. Penentuan jarak antara bidang kristal tergantung pada sistem kristal, karena setiap sistem kristal memiliki rumus jarak bidang kristal yang berbeda. Tabel 2.1. Sel Satuan Konvensional dan 14 Kisi Bravais Sistem Kristalografi Triklinik Monoklinik Panjang Sumbu dan Sudut a≠b≠c α ≠ β ≠ γ = 90o a≠b≠c α = β = 90o ≠ γ atau a≠b≠c α = γ = 90o ≠ β Ortorombik a≠b≠c α = β = γ = 90o Tetragonal a=b≠c α = β = γ = 90o Trigonal Rombohedral Kisi Bravais Simbol Kisi -Simple P -Simple -Basecentered P C -Simple -Basecentered -Facecentered -Bodycentered -Simple -Bodycentered P C -Simple P -Simple P -Simple -Facecentered -Bodycentered P F Skema Tiga Dimensi Simple F I P I a=b=c α = β = γ ≠ 90o<120o Hexagonal a=b≠c α = β = 90o, γ =120o Kubus a=b=c α = β = γ = 90o I Sumber: (Kittel, 2002) Universitas Sumatera Utara 2.3. Struktur Bahan Piezoelektrik Kristal bahan ferroelektrik, secara umum terdiri dari bahan pyroelektrik dan piezoelektrik. Bentuk sistem kristalnya dapat berbentuk simetris atau asimetris dan berpengaruh juga pada sifat-sifat fisik bahan, sebagaimana dikenal dengan prinsip Neuman. Pada sistem kristalografi ditemukan juga 20 dari 32 point groups yang termasuk dalam kelompok non-centrosymetrik/asimetris serta dapat menunjukkan efek piezoelektrik. Ada 10 kelompok non-centrosymetrik/asimetris yang dapat mengembangkan polarisasi spontan dan dipol permanen dalam struktur kristal (Heartling, 1999). Sistem kristal non-centrosymetrik tersebut di antaranya adalah triklinik, m monoklinik, 2mm ortorombik, 3m rombohedral, 4mm tetragonal, dan 6mm hexagonal (Rodel et al. 2009). Perovskit merupakan oksida logam yang memiliki struktur umum ABO3, dimana A adalah ion–ion logam blok s, d, atau f yang berukuran lebih besar sedangkan B merupakan ion–ion logam transisi (Tien-Thao et al. 2008). Rodel (2009) telah mencoba mengklasifikasikan bahan-bahan ferroelektrik (terpolarisasi spontan dan reversibel) yakni Tungsten Bronze PbNb6O7, Perovskit ABO3, Pyrochlore Cd2Nb2O7, Layer Structur Bi4Ti3O12. Hanya tipe Perovskit ABO3 yang merupakan tipe terpenting dan banyak digunakan pada bahan keramik ferroelektrik dewasa ini, seperti BiTiO3, Pb(Zr,Ti)O3, dan (Na,K)NbO3. Sel satuan perovskit terdiri dari delapan ion besar Aa+, satu ion kecil Bb+, dan enam ion O2-. Sel satuan perovskit dapat digambarkan sebagai gabungan struktur FCC (Face Center Cubic) dan BCC (Body Center Cubic), dimana Aa+ berada pada sudut sel satuan, ion O2- berada pada permukaan sel satuan dan ion Bb+ menduduki lokasi interstitial octahedral (Jones & Thomas, 2002). Pada umumnya bahan piezoelektrik memiliki sistem kristal berupa ortorombik, tetragonal, dan rombohedral. Ketiganya memilikinya parameter kisi yang sangat dekat dengan parameter kisi kubik (Takafumi et al. 2012). Timbal zirkonat titanat adalah material keramik dengan struktur kimia (Pb(ZrxTi1-x)O3) yang dikembangkan dalam teknologi mikroelektrik. PZT memiliki struktur kimia dengan formula ABO3. A sebagai kation Pb yang menempati salah satu sudut dari kubus dan B sebagai ion Zr4+ mengisi pusat Universitas Sumatera Utara kubus. Oksigen akan mengisi pusat muka dari kubus, lalu posisi Ti4+ dan Zr4+ dapat dipertukarkan (Cherdhirunkorn, 2008). Gambar 2.3. Kristal perovskit pada paraelektrik kubik (kiri), ferroelektrik tetragonal (tengah), dan rombohedral (kanan). PbTiO3, yang merupakan kubik dalam fasa paraelektrik dan tetragonal dalam fasaferroelektrik, dapat mengadoN/m2 struktur rombohedral ketika dimodifikasi oleh sekitar 50 persen Zr (Damjanovic, 2005). 2.4. Kurva Hysteresis Bahan Ferroelektrik Sebagaimana bahan ferromagnetik, maka kurva hysteresis ferroelektrik (terlihat pada gambar 2.4) terjadi antara polarisasi dengan perubahan medan listrik yang diaplikasikan pada bahan. Gambar 2.4. Kurva hysteresis bahan ferroelektrik BaTiO3 pada suhu kamar (Moulson & Herbert, 2003) Polarisasi spontan (Ps) didefinisikan dari kurva di atas berupa ekstrapolasi linier di daerah saturasi ke arah sumbu polarisasi. Sisa polarisasi ketika medan listrik kembali ke nol, dikenal sebagai polarisasi tetap (Pr). Sementara itu, medan listrik dimana polarisasi kembali ke nol dikenal sebagai medan koersif (Ec) (Moulson & Herbert, 2003). Fenomena ferroelektrik seperti ini pertama kali ditemukan pada garam Rochelle (NaKC4H4O6.4H2O) pada tahun 1921 (Jaffe et al. 1971). Universitas Sumatera Utara Polarisasi spontan merupakan sifat dasar dari semua kristal piezoelektrik dan reversibel, hanya berlaku dalam bahan ferroelektrik. Fase terbanyak ferroelektrik berasal dari fase non-polar dan semua polarisasi bersifat reorientationable. Besarnya Ps dalam kristal tunggal secara langsung berkaitan dengan pergeseran atom-atom serta pembalikannya kembali (ferroelektrik) dan dapat dihitung dari posisi atom dalam sel satuan jika diketahui. Adapun untuk bahan dielektrik kurva hysteresis akan menjadi terbalik, karena tidak dapat menghasilkan polarisasi spontan, sehingga kurva PE-nya menjadi sebuah garis lurus tanpa hysteresis (Moulson & Herbert, 2003). Material piezoelektrik yang banyak diproduksi dan diaplikasikan pada saat ini adalah PZT, karena material ini memiliki sifat-sifat piezoelektrik yang sangat baik (Hussain dkk. 2009). Semakin baik sifat piezoelektriknya maka akan semakin baik pula pengaplikasiannya. Hanya saja, PZT mengandung timbal (Pb) lebih dari 60% (Cross, 2004). PZT juga mempunyai nilai konstanta piezoeletrik d33 = 460 pC/N, faktor kopling Kp = 5,56, Pr = 39,2 µC/cm2, medan koersif Ec = 14,9 kV/cm, dan suhu Curie yang tinggi yaitu 450oC (Donnelly et al. 2008). 2.5. Metode Solid State Reaction Metode reaksi padatan Solid State Reaction disebut juga denga metode kering atau metode konvensional. Solid State Reaction merupakan reaksi padatan yang terjadi antar partikel yang bereaksi di atas permukaan yang dipengaruhi oleh sifat kehomogenan bahan, tekanan saat kompaksi, suhu sintering, dan lamanya waktu pemanasan. Metode padat merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk sintesa bahan anorganik mengikuti rute yang hampir universal yaitu melibatkan pemanasan komponen-komponen pada suhu tinggi dengan periode yang relatif lama. Reaksi ini melibatkan pemanasan campuran dua atau lebih padatan untuk membentuk produk yang juga berupa padatan (Calton, 2009). Tahapan dari metode Solid State Reaction, yaitu: a. Blending/penggerusan Bertujuan untuk menghomogenisasi bahan dan disertai juga dengan pengecilan butiran agar permukaan kontak antar partikel dapat lebih maksimal. Universitas Sumatera Utara b. Compacting/kompaksi Bertujuan agar jarak antar butiran seminimal mungkin, sehingga memungkinkan terjadi proses difusi yang lebih cepat. c. Sintering/pemanasan Proses kalsinasi didefinisikan sebagai pengerjaan sampel pada temperatur tinggi tetapi masih dibawah titik leleh tanpa disertai penambahan reagen dengan maksud untuk mengubah bentuk senyawa dalam konsentrat. Temperatur kalsinasi berpengaruh terhadap fasa suatu zat, dimana fasa adalah bagian dalam suatu material yang berbeda dengan bagian-bagian lainnya dalam hal struktur atau komposisi (Van Vlack, 1995). Berubahnya fasa dan struktur dari material akibat temperatur karena ketika suatu material dipanaskan maka akan terjadi peningkatan energi memungkinkan atom-atom bergetar pada jarak antar atom yang lebih besar (Zeffry, 2015). Selain temperatur berpengaruh terhadap perubahan fasa, temperatur juga berpengaruh terhadap ukuran butir. Akibat meningkatnya temperatur maka difusi atom juga semakin meningkat, sehingga meningkat pula pembentukan nukleus-nukleus fasa baru yang sama. Antara nukleus-nukleus ini terdapat batas butir yang memisahkannya serta dipisahkan dengan pori-pori. Temperatur yang dinaikkan secara terus menerus, menyebabkan terjadi pengecilan/penghilangan pori-pori tesebut. Apabila pori-pori sangat mengecil maka mereka tidak mampu lagi mengunci batas butir terhadap pengaruh gaya pertumbuhan butir (Smallman & Bishop, 2000). Kalsinasi merupakan proses pemanasan suatu objek dengan tujuan membersihkan objek tersebut dari pengotor-pengotor organik. Kalsinasi perlu dilakukan karena dalam pembuatan kristal sering kali terdapat pengotor-pengotor, terutama pengotor organik (Sumari et al.2008). Proses sintering adalah proses penggabungan partikel- partikel serbuk melalui peristiwa difusi pada saat suhu meningkat (Callister, 1994). Pada dasarnya sintering adalah peristiwa pengecilan pori-pori antara partikel bahan, pada saat yang sama terjadi penyusutan komponen, dan Universitas Sumatera Utara diikuti oleh pertumbuhan grain serta peningkatan ikatan antar partikel yang berdekatan, sehingga menghasilkan bahan yang lebih mampat/kompak (Richerson, 1982). Peristiwa sintering dapat dilukiskan seperti pada Gambar 2.5 (Callister, 1994). Suhu sintering mempengaruhi proses penyusutan, sedangkan pengaruh waktu sintering tidak banyak. Sintering umumnya dapat terjadi di dalam produk pada suhu tidak melebihi dari setengah sampai dua pertiga dari suhu meltingnya, suhu yang membuat atom cukup mampu untuk berdifusi (Ramlan, 2001). Gambar 2.5. Perubahan Struktur Mikro pada Saat Sintering (Callister, 1994) 2.6. Morphotropic Phase Boundary (MPB) Studi sintesa dan pengembangan bahan piezoelektrik sangat ditentukan komposisi/kandungan dari penyusunannya, agar dapat menghasilkan sifat kepiezoelektrikan yang lebih optimal dan berakibat pada unjuk kerja dari aplikasinya lebih maksimal. Para peneliti mengambil komposisi bahan dasarnya berada pada daerah batas dua sistem kristal perovskit, lebih dikenal dengan Morphotropic Phase Boundary (MPB) (Basetet al. 2010). Gambar 2.6. MPB pada Pb(Zr(1-x)Tix)O3(a) diagram fase Pb(Zr(1-x)Tix)O3. HT menunjukkan suhu tinggi dan LT-suhu rendah fase rombohedral. AF adalah fase antiferroelektrik, dan M menunjukkan daerahantara fasa monoklinik (Gupta & Viehland, 1998) (b) konstanta dielektrik εr dan faktor kopling kdari PZT yang optimalpada MPB (Chen et al. 2009) Universitas Sumatera Utara Pb(Zr,Ti)O3 (PZT), bahan keramik piezoelektrik dengan unjuk kerja yang tertinggi, terbentuk dari larutan padat oleh fasa ortorombik pada PbZrO3 (PZ) dan fasa tetragonal pada PbTiO3 (PT). Diagram fasa pada gambar 2.6a menunjukkan bahwa dua perovskit dengan berbagai jenis struktur kristal yang dibatasi pada daerah sempit dengan komposisi Zr:Ti sekitar 52:48. Daerah batas ini memisahkan fasa rhomboheral dan tetragonal PZT. Beberapa fasa di daerah ini sama, sehingga disebut Morphotropic Phase Boundary (MPB). Komposisi pada Zr:Ti dapat direpresentasikan dengan kandungan PbZrO3 : PbTiO3 = 52% : 48% yang berada pada daerah MPB(Gupta & Viehland, 1998). Spekulasi dari pemilihan MPB tersebut (campuran binary dan ternary suatu bahan piezoelektrik) dapat menjawab bahwa sifat piezoelektrik tinggi dan didukung dari konstanta dielektrik ԑr dan faktor kopling kp tertinggi. Unjuk kerja dari MPB dapat mengoptimalkan konstanta dielektrik, konstanta piezoelektrik, dan hal terkait lainnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6b (Chen et al. 2009). 2.7. Prinsip Efek Piezoelektrik (Proses Poling) Bahan dielektrik adalah suatu bahan yang secara kelistrikan bersifat isolator dan dapat memperlihatkan struktur dipol listrik, yaitu adanya pemisahan antara muatan listrik positif dan listrik negatif pada tingkatan molekuler atau atomik (Callister, 1994). Bahan dielektrik ini memiliki muatan yang terikat dalam dipol. Pembangkit listrik magnetik dan piezoelektrik mempunyai prinsip kerja yang hampir sama (Kim, 2002). Pembangkit listrik dari magnet menggunakan energi mekanik untuk diubah menjadi magnet. Perubahan medan magnet menghasilkan gaya untuk menggerakkan elektron bebas. Dalam pembangkit listrik piezoelektrik, elektron bebas bergerak dengan mengubah medan listrik yang berada di dalam kristal. Gambar 2.7. Prinsip Kerja Pembangkit Listrik dari Magnet dan Pembangkit dari Piezoelektrik (Kim, 2002) Universitas Sumatera Utara Pada piezoelektrik keramik, adanya properti dielektrik menjadi sesuatu yang penting. Posisi muatan tidak berada di tengah kristal, membuat perubahan kutub. Arah dari tengah ke muatan positif dinamakan arah pengutuban (poling direction) dan secara umum ialah distribusi keseluruhan secara acak dari polikristal piezoelektrik, yang ditunjukkan pada Gambar 2.8 arah pengutuban ini dapat dimodifikasi dengan panas dan kondisi tegangan. Kristal piezoelektrik mempunyai karakteristik suhu, yang dikenal dengan suhu Curie. Biasanya bahan piezoelektrik mempunyai spesifikasi suhu Curie masing-masing. Sesekali ada bahan piezoelektrik yang dipanaskan di atas suhu Curie, sehingga akan kehilangan polarisasinya dan arah pengutuban baru akan muncul sebagai aplikasi dari tegangan yang dihasilkan material piezoelektrik. Arah pengutuban muncul kemudian menghasilkan tegangan (Kim, 2002). Bahan piezoelektrik terbentuk oleh keramik terpolarisasi, sehingga beberapa bagian molekul bermuatan positif dan sebagian yang lain bermuatan negatif membentuk elektroda-elektroda yang menempel pada dua sisi yang berlawanan dan menghasilkan medan listrik material yang dapat berubah akibat gaya mekanik. Pemisahan muatan ini disebut dengan dipol. Pada monokristal, dipol berada pada satu titik sumbu simetris, sedangkan untuk polikristal dipol memiliki daerah sumbu kutub yang berbeda (McLaunghin, 2008). Gambar 2.8. Proses pengutuban, (a) sebelum pengutuban, (b) menghasilkan tegangan meskipun elektroda berada di atas suhu Curie, (c) menghilangkan tegangan dan mendingin (cold down) (Kim, 2002). Untuk mendapatkan bahan piezoelektrik elemen aktif yang memiliki momen dipol searah maka diperlukan proses poling. Proses poling adalah pemberian medan listrik terhadap bahan, sehingga bisa menyearahkan momen dipol pada bahan piezoelektik. Proses pemanasan yang sebelumnya diberikan medan listrik pada bahan piezoelektrik akan menghasilkan bahan piezoelektrik di atas. Proses Universitas Sumatera Utara pemanasan memberikan pengaruh pada pergerakan molekul untuk lebih bebas dan pengaruh kekuatan medan listrik mengarahkan semua momen dipol dalam struktur kristal ke arah yang sama. Dengan adanya pemanasan ini akan mengurangi besar medan listrik yang digunakan. Proses poling ini sama prinsipnya dengan proses magnetisasi (McLaunghin, 2008). Hubungan yang paling penting pada material piezoelektrik dalam menghasilkan energi listrik ialah antara tekanan (stress) dan muatan (charge) dan konstanta piezoelektrik (d). Nilai d ialah konstanta yang diberikan pada keadaan statis. Untuk keadaan statis, rangkaian terbuka pembangkit tegangan berada dalam hubungan: Dij = dijk σik (1) dengan D ialah muatan listrik per area (C/m2), σ merupakan pemberian tekanan (stress) (N/m2) dan d ialah konstanta piezoelektrik (C/N). Ketika tekanan (stress) mengarah secara longitudinal dari sistem, hubungan di atas dapat dituliskan sebagai berikut: D3 = d31 σ11 (2) Untuk indeks pertama menunjukkan permukaan, sedangkan indeks kedua menunjukkan arah yang ditemukan dalam elastisitas ketentuan umum indeks. Untuk konstanta piezoelektrik, indeks pertama menunjukkan arah pengutuban (P) dan indeks yang kedua menunjukkan arah gaya atau medan yang diberikan. Sehingga, indeks dari D menunjukkan arah permukaan dari elektroda. D3 berarti muatan mengumpul pada elektroda-elektoda, mereka menutupi permukaan material piezoelektrik normal pada arah 3 yang dapat ditunjukkan pada Gambar 2.9. Gambar 2.9. Gaya pada Arah 1 dan Elektroda pada Permukaan 3 (Kim, 2002) Secara umum material piezoelektrik (4 mm dan 6 mm untuk kelas Kristal) mempunyai 5 konstanta piezoelektrik yaitu d31, d32, d33, d15, dan d24, semua Universitas Sumatera Utara sisanya bernilai nol. Konstanta d31 sama dengan konstanta d32 dan konstanta d15 sama dengan konstanta d24. Sehingga hanya ada 3 distrik konstanta piezoelektrik. Besar hubungan diantara konstanta ialah d15> d33> d31. Secara umum material piezoelektrik d33 dua kali lebih besar dibandingkan d31 dan d15 lima kali lebih besar dari d31. Bahkan, meskipun d15 merupakan jumlah terbesar yang berarti 5 gaya memotong dapat menghasilkan energi lebih daripada pemberian gaya, arah 15 ini ialah memotong tekanan (stress) yang ditunjukkan pada Gambar 2.10 yang sangat sulit untuk direalisasikan dalam struktur yang sebenarnya. D3 = d15 σ13 (3) Gambar 2.10. Arah Elektroda pada Permukaan 1 dan Memotong Tekanan (stress) (Kim, 2002) Selanjutnya jumlah yang paling besar ialah pada arah d33. Dalam struktur yang sebenarnya, keadaan tekanan (stress) konstan yang digambarkan pada Gambar 2.9 sampai 2.11. Jika distribusi tekanan (stress) tidak konstan, maka distribusi elektriknya juga tidak akan konstan. Gambar 2.11. Penampang Material Piezoelektrik dalam Arah Gaya pada Arah 3 dan Permukaan 3 (Kim, 2002) 2.8. PVDF (Polyvinylidene Flouride) Bahan polimer piezoelektrik didominasi oleh polimer ferroelektrik dari keluarga PVDF yang ditemukan pada tahun 1969. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.12. Struktur PVDF (Dargaville et el. 2005) Bahan polimer piezoelektrik PVDF(Polyvinylidine Flouride) merupakan bahan polimer semikristal yang secara komersial dalam bentuk bubuk, pelet, atau berupa film semi transparan (dengan ketebalan antara range 8 sampai 110 μm). PVDF mempunyai suhu leleh (melting) pada pendekatan di suhu 170oC dan termasuk pada lelehan kental sesuai dengan proses leleh tanpa menggunakan bantuan, bahan tambahan, dan stabilisator. Polimer dapat juga larut diproses karena daya larutnya biasanya dalam bahan pelarut polar (misalnya, MNP, dan DMAc). Suhu transisi kaca secara khas berada di kisaran -40oC, sehingga saat berada pada suhu kamar polimer dapat menyesuaikan dengan properti mekanik yang baik. PVDF non-piezoelektrik mempunyai banyak kegunaan dalam coanting, insulasi kabel, tabung fleksibel, dan bagian dari pegangan material radioaktif. PVDF disintesa dengan penambahan polimerisasi dari monomer CH2=CF2. Ketika menghasilkan homopolymer (misalnya dari 100% monomer CH2=CF2) secara umum rantai PVDF mempunyai struktur reguler secara bergantian kelompok CH2 dan CF2 (Dargavilleet al. 2005). Gambar 2.13. Struktur rantai PVDF (Dargavilleet al. 2005) 2.9. XRD (X-Ray Diffraction) Sinar-X merupakan radiasi elektromagnetik berenergi tinggi. Sinar-X memiliki energi sekitar 200 eV – 1 MeV, berada di antara sinar gamma (γ) dan sinar ultraviolet (UV) dalam spektrum elektromagnetik. Panjang gelombang sinarX adalah sekitar 0,5 – 2,5 Å. Sinar-X dihasilkan oleh interaksi antara sinar Universitas Sumatera Utara eksternal elektron dan elektron dalam kulit atom, sedangkan sinar gamma (γ) dihasilkan oleh perubahan dalam nukleus atom. Jika elektron yang mempunyai kecepatan tinggi menumbuk suatu logam target, maka akan dihasilkan sinar-X. Intensitas transisi Kα lebih tinggi daripada transisi Kβ, sehingga yang digunakan untuk keperluan difraksi sinar-X adalah radiasi Kα. Proses perlambatan elektron pada saat menembus logam sasaran juga dapat menghasilkan sinar-X. Proses perlambatan elektron yang menghasilkan sinar-X ini sering disebut sebagai radiasi putih. Difraksi sinar X digunakan untuk mengidentifikasi struktur kristal suatu padatan dengan membandingkan nilai jarak d (bidang kristal) dan intensitas puncak difraksi dengan data standar. Difraksi sinar-X oleh sebuah material terjadi akibat dua fenomena yaitu hamburan oleh tiap atom. Interferensi gelombang– gelombang oleh tiap atom–atom tersebut. Interferensi ini terjadi karena gelombang-gelombang yang dihamburkan oleh atom memiliki koherensi dengan gelombang datang dan demikian pula dengan mereka sendiri (Pratapa, 2004). Berkas sinar-X yang saling menguatkan disebut sebagai berkas difraksi. Persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar-X yang dihamburkan merupakan berkas difraksi dikenal sebagai Hukum Bragg. Menurut Bragg berkas yang terdifraksi oleh kristal terjadi jika pemantulan oleh bidang sejajar atom menghasilkan interferensi konstruktif. Pemantulan sinar-X oleh sekelompok bidang paralel dalam kristal pada hakekatnya merupakan gambaran dari difraksi atom-atom kristal. Difraksi atom-atom kristal sebagai pantulan sinar-X oleh sekelompok bidang-bidang paralel dalam kristal seperti terlihat pada Gambar 6. Arah difraksi sangat ditentukan oleh geometri kisi yang bergantung pada orientasi dan jarak antar bidang kristal. Gambar 2.14. Difraksi Sinar-X oleh Kristal (Yoshioka,1985) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.14 menunjukkan seberkas sinar A mengenai atom C pada bidang pertama dan atom E pada bidang berikutnya. Jarak antara bidang C dengan bidang E adalah d. Berkas-berkas tersebut mempunyai panjang gelombang λ, dan jatuh pada bidang kristal dengan jarak d dan sudut θ. Interfernsi konstruktif terjadi jika selisih lintasan antara dua sinar yang berurutan merupakan kelipatan panjang gelombangnya (λ), sehingga dapat dinyatakan pada persamaan matematis hukum Bragg sebagai berikut: nλ = 2dhkl sinθ (4) n adalah bilangan bulat, d merupakan jarak antar bidang, θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang kristal dan λ adalah panjang gelombang sinar-X. (Omar, 1975). Pantulan Bragg hanya terjadi untuk gelombang dengan λ ≤ 2d, dan itu sebabnya cahaya tampak tidak dapat digunakan dalam hal ini. Sudut θ yang ditentukan persamaan di atas, untuk jarak antar bidang d dan λ tertentu merupakan sudut unik terjadinya pantulan. Pada sudut yang lain, berkas sinar pantul akan saling berinterferensi destruktif satu sama lain, sehingga pantulan efektifnya nol. Data yang diperoleh dari pengukuran difraksi adalah sudut difraksi 2θ dan intensitasnya I (2θ) pada sudut pantul yang sesuai. Pantulan n = 1, 2, 3, ... berturut-turut disebut pantulan orde pertama, orde kedua, orde ketiga, ... , dan seterusnya. Semakin tinggi orde pantulan semakin rendah intensitas pantulannya. Istilah difraksi lebih banyak dipakai dalam hal ini dari pada pantulan, sehingga sebutan lazimnya “Difraksi Sinar-X” (Cullity, 1978). 2.10. Metode BET (Brunauer-Emmet-Teller) Metode BET merupakan metode yang digunakan untuk menentukan luas permukaan suatu padatan berpori, serta ukuran dan volume pori-porinya dengan menggunakan alat autosorb 6. Prinsip kerjanya berdasarkan proses adsorb gas N2 pada padatan berpori. Sampel yang akan dianalisis dengan berat yang diketahui diletakkan dalam tabung yang sudah diketahui volumenya dan dipanaskan di bawah vakum (10-2 Torr) untuk menghilangkan gas-gas yang terdapat pada sampel. Tabung didinginkan dalam nitrogen cair dan sejumlah gas nitrogen dimasukkan ke dalam tabung. Setelah mencapai kesetimbangan, tekanan dalam tabung diukur. Hal ini Universitas Sumatera Utara dilakukan berulang kali dengan jumlah-jumlah gas tertentu gas N2. Dengan mengamati perbedaan tekanan gas terhitung dan tekanan yang diamati pada setiap penambahan dapat ditentukan jumlah N2 yang teradsorbsi (Nurhayati, 2008). Luas permukaan menggambarkan permukaan aktif yang dapat terjadi kontak dengan reaktan dalam proses reaksi atau dapat diartikan sebagai luas permukaan tiap gram sampel. Menurut teori Bruneur, Emmet, Teller (BET) banyaknya gas yang dapat teradsorN/m2 pada permukaan padatan berbanding langsung dengan luas permukaan. Hal ini berarti total volume pori berbanding lurus dengan luas permukaan spesifik. Sebagai konsekuensinya semakin banyak gas N2 yang teradsorbsi pada permukaan maka total volume pori akan semakin besar. Berbeda halnya dengan luas permukaan spesifik yang berbanding lurus dengan total volume pori, jari-jari pori rata-rata berbeanding terbalik dengan luas permukaan spesifik dan total volume pori. Hal ini berarti semakin meningkat luas permukaan spesifik dan total volume pori, maka jari-jari pori rata-rata akan semakin menurun. Sebaliknya, dengan semakin menurunnya luas permukaan spesifik dan total volume pori maka, jari-jari pori rata-rata akan semakin meningkat (Hasanudin & Addy Rachmat, 2010). Universitas Sumatera Utara