BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transaksi bisnis internasional pada umumnya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bersama. Salah satu bentuknya adalah penanaman modal internasional.1 Salah satu bentuk khusus penanaman modal internasional tersebut adalah kontrak penanaman modal internasional. Dalam hal ini pihak yang satu di dalam negeri membutuhkan modal, dalam arti yang luas, dari pihak yang lain di luar negeri untuk sama-sama memanfaatkan peluang usaha yang ada di dalam persaingan global, yang didasarkan pada suatu kontrak. Pihak di dalam negeri tersebut di samping swasta, dapat juga negara/daerah. Ketika menjadi pihak dalam kontrak penanaman modal internasional, negara/daerah menggunakan instrumen hukum privat dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian, negara/daerah yang sebagian besar tindakannya tunduk pada hukum publik, juga tunduk pada hukum privat, yang biasanya digunakan kalangan swasta atau subjek hukum lain selain negara satu sama lainnya, dalam rangka mencapai tujuan pemenuhan kepentingan perseorangan, dalam hal ini kepentingan bisnis. Konsekuensi hukum dari berlakunya hukum privat, kedudukan negara/daerah menjadi sejajar dengan subjek hukum yang lain, dan tunduk pada asas dan kaidah hukum kontrak internasional. Oleh karena salah satu pihaknya adalah negara/daerah, 1 Penanaman modal internasional (international investment) banyak bentuknya, 4 (empat) yang paling lazim meliputi penanaman modal asing langsung penuh (wholly owned direct foreign investment), patungan international (international joint ventures), transaksi pembiayaan proyek international (international project finance transactions), dan pinjaman international (international loans). Jesawald W. Salacuse, The Laws of international Investments: National, Contractual, and International Frame Works for Foreign Capital, London, Oxford University Press, 2013, hlm. 204. Fokus penelitian ini adalah pada patungan internasiional, yang oleh sebagian penulis lain disebut dengan kontrak penanaman modal internasional (international investment contracts). Misal Klause Peter Burger “Renegotiation and Adaptation of International Investment Contracts: The Role of Contract Drafters and Arbitrators“ Vand. J. Trans’l Law, Vol. 36, 2003, hlm. 1374. Penulis lain Liang Peng, “ Renegotiation Clause in International Investment Contracts” dalam The Mix: Oil and Water! Oil and Gas Community of Practice Professional Networking, www.themixoiland water/2011/07/renegotiation-clause-in-international.html, diakses 28-01-2015. 1 2 kontrak internasional termasuk ke dalam pengertian kontrak negara/daerah.2 Dalam hal ini, negara/daerah berkedudukan sebagai subjek hukum perdata, tepatnya sebagai suatu badan hukum publik, yang tumbuh dan berkembang atas dasar teori badan hukum. Di Indonesia kedudukan negara/daerah sebagai subjek hukum privat diatur dalam sumber hukum privat utama, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata). Dalam hukum privat, pengaturan dalam KUH Perdata ini berkaitan dengan berbagai sumber hukum lain, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT) dan tentu saja hukum perdata internasional. Hukum kontrak internasional merupakan cabang dari hukum perdata internasional. Sebagai kontrak negara/daerah, kontrak penanaman modal internasional juga terkait langsung dengan pengaturan hukum publik tentang tindakan pemerintah. Untuk provinsi, hal demikian berkenaan dengan kedudukannya sebagai daerah otonom. Daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengurus sendiri urusan rumah tangganya, berdasarkan teori desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan demikian, samping hukum privat tersebut, dalam hal tertentu dan sampai batas tertentu, berlaku juga hukum publik tentang otonomi daerah, terutama berkaitan dengan dasar dan luasnya kewenangan yang dimiliki daerah dalam mengurus sendiri urusan rumah tangganya sebagai daerah otonom tersebut. Misal untuk Provinsi Aceh, Indonesia, hal ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (selanjutnya disingkat UUPA). UUPA yang berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis) otonomi daerah mengatur secara umum pokok-pokok tentang sistem Pemerintahan Aceh. Termasuk di dalamnya tentang kewenangan Provinsi Aceh sebagai suatu daerah otonom di Indonesia. UUPA ini menjadi dasar pengaturan kewenangan Provinsi Menurut M. Sornarajah kontrak negara/daerah (state contracts) adalah “a contract made between the State, or entity of the State, which, for present purpose, may be defined as any organization created by statutes within a state that is given controll over an economic activity and a foreign national or a legal person of foreign nationality.” Huala Adolf-1, Dasar-Dasar Hukum Internasional, Bandung, CV Keni Media, 2007, hlm. 126. Kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh di samping sebagai kontrak internasional, juga sebagai kontrak negara/daerah. 2 3 Aceh, termasuk dalam menyelengarakan urusan penanaman modal dan pengelolaan sumber daya alam dalam berbagai bidang usaha. Atas dasar UUPA lahir beberapa peraturan pelaksanaan, dalam berbagai tingkatannya, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan qanun Aceh. Pengaturan pelaksanaan ini mengatur lebih lanjut dan khusus kewenangan dimaksud, misal Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2013 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disingkat Qanun Aceh Penanaman Modal). Qanun Aceh Penanaman Modal turunan UUPA ini merupakan hukum khusus terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disingkat UUPM). Beberapa peraturan pelaksanaan UUPA yang lain, meliputi Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh (selanjutnya disingkat PP Kewenangan Aceh) dan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (selanjutnya disingkat PP Migas Aceh). Dalam hukum kontrak penanaman modal internasional hukum privat beririsan dengan hukum publik. Bercampurnya kedua hukum tersebut, baik dalam hukum domestik maupu hukum transnasional/internasional menjadikan kajian hukum kontrak penanaman modal internasional memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga tidak cukup apabila hanya ditelaah murni dari aspek hukum privat saja, melaikan juga aspek hukum publik terkait, melalui suatu pendekatan sistem. Kompleksitas itu muncul karena suatu masalah hukum tertentu tidak secara tuntas diatur dalam satu bidang hukum saja, tetapi juga diatur dalam bidang hukum yang lain yang saling berkaitan. Akibatnya jawaban terhadap masalah hukum tersebut juga harus dicari dan ditemukan dalam lebih dari satu bidang hukum yang beririsan tersebut. Meskipun demikian, hukum privat tetap memiliki porsi pembahasan yang dominan mengingat kedudukannya sebagai bagian inti dari sistem hukum kontrak penanaman modal internasional tersebut. Bagi daerah kontrak penanaman modal internasional merupakan instrumen pendukung pelaksanaan transaksi bisnis internasional. Hal demikian diperlukan dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah, pengelolaan sumber daya alam, pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Keberadaan daerah dalam 4 transaksi bisnis internasional demikian bahkan menjadi lebih penting ketika pertumbuhan ekonomi masih rendah sehingga kesempatan kerja terbatas. Dalam keadaan demikian peran daerah diharapkan menjadi pelopor kerja sama penanaman modal internasional, yang dapat memicu semangat pihak swasta atau subjek hukum lain untuk melakukan hal yang sama dalam memanfaatkan peluang bisnis global sejalan dengan sumber daya yang tersedia.3 Sebagai pelopor diharapkan menjadi lebih proaktif, baik dalam penciptaan kontrak yang lebih seimbang, pengaturan dan pendayagunaan kapasitas kontrak yang ada, maupun dalam perancangan kontrak internasional penanaman modal internasional. Harapan untuk mendukung dan memelopori kegiatan penanaman modal internasional ternyata belum dapat terwujud secara maksimal karena adanya beberapa permasalahan hukum terkait kontrak penanaman modal internasional dimaksud.4 Pertama, karena adanya ketidakseimbangan pengaturan hak dan 3 Menurut Zaini Abdullah, Gubernur Aceh, keikutsertaan daerah dalam penanaman modal internasional, antara lain melalui penyertaan modal daerah pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang di Aceh disebut Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) strategis mengingat pada satu sisi masih rendahnya minat swasta melakukannya dan pada sisi yang lain adanya minat penanam modal internasional untuk menanamkan modalnya di Provinsi Aceh, yang tujuannya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan kemanfaatan kepada masyarakat. Lihat dalam “Kerja Sama Ekonomi Bakal Banyak Batal Jika DPRA Tolak Modali BUMA,” Harian Serambi Indonesia, Jumat, 9 Januari 2015, hlm. 1 dan 7. Sebaliknya, meskipun di luar hukum kontrak internasional, yaitu dalam hukum perjanjian internasional (traktat), ketika negara/daerah terlibat membantu pihak tertentu di dalam negeri, misalnya BUMD dalam kaitannya dengan penanaman modal internasional antara pihak tersebut dan pihak luar negeri, maka negara/daerah tersebut sampai pada tingkat tertentu dapat dipertanggunggugatkan, sebagaimana diatur dalam International Law Commission’s Articles on State Responsibility (ILC Articles), Alex Mills, “Antinomies of Public and Private at the Foundations of International Investment Law and Arbitration” Journal of International Economic Law, Vol. 14, No. 2, 2011, hlm. 494-498. 4 Data Biro Hukum Sekretariat Provinsi Aceh, menunjukkan bahwa hingga tahun 2012 tercatat 36 Memorandum of Understanding (MoU) dan Memorandum of Agreement (MoA) tentang kerja sama penanaman modal, yang melibatkan Provinsi Aceh di dalamnya, dan 6 (enam) diantaranya berupa kontrak penanaman modal internasional. Meskipun sebagian sudah ditandatangani para pihak, dalam perancangan kontrak masih terdapat hambatan. Menurut Van Dunn suatu kontrak secara umum memiliki 3 (tiga) tahapan proses, yaitu prakontrak, kontrak, dan pascakontrak. Mariam Darus Badrulzaman-2, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, Penerbit Alumni, 1994, hlm. 36. Dengan sedikit berbeda, Erman Rajagukguk, menyatakan bahwa suatu transaksi bisnis internasional secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) tahapan proses, yaitu persiapan (preparation), pelaksanaan (performance), dan penegakan hukum (enforcement). Mahmul Siregar “Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia” Jurnal Hukum Bisnis, Vol 27, No. 4, 2008, hlm. 64-65. Pembahasan selanjutnya dalam disertasi ini hanya berfokus pada tahap perancangan kontrak, yang apabila mengacu pada pendapat Van Dunn adalah tahap prakontrak dan kontrak, sedangkan pada pendapat Erman Rajagukguk adalah tahap persiapan (preparation). 5 kewajiban para pihak dalam kontrak penanaman modal internasional.5 Klausula kontrak penanaman modal internasional yang ada, lebih banyak menampung perlindungan kepentingan penanam modal internasional daripada perlindungan kepentingan negara/daerah. Penilaian demikian dapat dikaji berdasarkan asas yang mengarah pada keadilan. Asas tersebut dalam berbagai sistem hukum diberi nama beragam, meliputi tetapi tidak terbatas pada asas keseimbangan, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kewajaran dan kepatutan, dan asas proporsionalitas. Kedua, adanya ketidakjelasan dan ketidakkonsistenan pengaturan kewenangan daerah sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.6 Kewenangan daerah demikian secara teoritis dapat dikaji baik dari segi definisi yang membedakan antara kontrak internasional dan traktat, dari segi subjek sebagai badan hukum pihak dalam suatu kontrak penanaman modal internasional, maupun dari segi objek, berkenaan dengan luasnya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.7 Ketiga, adanya kelemahan dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional yang dilakukan oleh Provinsi Aceh. Kelemahan tersebut dapat dikaji berdasarkan sistem hukum yang diperluas, meliputi 3 (tiga) unsur. Ketiga unsur tersebut adalah substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Khusus terhadap masalah hukum kedua dan ketiga tersebut, akar permasalahannya juga terletak pada masih adanya perbedaan pemahaman tentang pengertian kontrak internasional, yang di Indonesia seringkali dikacaukan dengan pengertian traktat. Hal demikian dapat menghambat pengembangan penanaman 5 Untuk kontrak penanaman modal internasional selain berlaku asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak, juga berlaku asas yang mengarah pada keadilan, seperti asas keseimbangan, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kepatutan dan keadilan, dan asas proporsionalitas. 6 Berkenaan dengan kewenangan, permasalahan negara secara nasional dapat dilihat misal pada bidang usaha pertambangan bahwa ”the uncertainty of who was in controll of Indonesia’s mineral wealth deterred local and foreign investors...The governments were in a fight for controll of the countries mineral resources.” Usa Ibp Usa, Indonesia: Mining, Oil and Gas Industry, ExportImport and Business Opportunities Handbook, Volume I Strategic Information and Regulations, Washington, D.C., International Business Publication, 2013, hlm. 54-55. 7 Sutarman Yodo, Aspek Hukum Ekonomi dalam Kerja Sama Daerah, Yogyakarta, Genta Publishing, 2013, hlm. 52-71. Berkenaan dengan kewenangannya tentang subjek, Provinsi Aceh, merupakan subjek hukum yang tergolong ke dalam badan hukum publik, yaitu “badan hukum yang didirikan oleh negara dan memiliki kewenangan menetapkan kebijakan publik yang mengikat umum atau masyarakat untuk mematuhinya.” Johny Ibrahim, “Eksistensi Badan Hukum di Indonesia sebagai Wadah dalam Menunjang Kehidupan Manusia” Law Review, Vol. XI, No. 1, Juli, 2011, hlm. 113. 6 modal internasional di daerah dalam rangka otonomi daerah/otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA.8 Meskipun demikian, suatu putasan MKRI pada tahun 2012 telah memberikan gambaran yang lebih jelas tentang adanya perbedaan pengertian tersebut.9 B. Identifikasi Masalah Atas dasar identifikasi masalah yang dilakukan, dipilih beberapa permasalahan hukum pokok, yang dirumuskan sebagai berikut. 1. Apakah kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh telah mengatur hak dan kewajiban para pihak secara seimbang apabila dinilai berdasarkan asas yang mengarah pada keadilan? 2. Apakah Provinsi Aceh memiliki kapasitas sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional sehingga memenuhi persyaratan keabsahan kontrak berdasarkan asas dan kaidah hukum yang mengaturnya? 3. Sejauhmana peran Provinsi Aceh sebagai pihak dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional dilihat dari perspektif sistem hukum yang diperluas? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian dan penulisan disertasi ini bertujuan untuk sebagai berikut. 1. Menggali, mengetahui dan menjelaskan secara mendalam ada tidaknya keseimbangan pengaturan hak dan kewajiban dalam kontrak penanaman modal 8 Hingga kini belum ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kontrak penanaman modal internasional di Indonesia, yang merupakan bagian dari hukum privat tersebut. Ketentuan yang ada lahir atas dasar konsep perjanjian internasional (traktat) sebagai bagian dari hukum internasional (publik), yang dalam praktik sering menimbulkan kesalahan dalam memahami dan menggunakannya. Regulasi tersebut di tingkat nasional adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri (Permendagri Manlak Kerja Sama Luar Negeri). Sedangkan regulasi yang serupa, namun berlaku khusus (lex specialis) di Provinsi Aceh sebagai turunan UUPA adalah Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri (Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh). 9 Putusan MKRI Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 7 internasional Provinsi Aceh apabila dinilai berdasarkan asas yang mengarah pada keadilan. 2. Menggali, mengetahui dan menjelaskas secara mendalam ada tidaknya kapasitas Provinsi Aceh sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional sehingga memenuhi persyaratan keabsahan kontrak berdasarkan asas dan kaidah hukum yang mengaturnya. 3. Menggali, mengetahui dan menjelaskan secara kontekstual peran Provinsi Aceh sebagai pihak dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional dilihat dari perspektif sistem hukum yang diperluas. Penelitian ini berguna baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini berguna dalam pengembangan konsep terkait kontrak penanaman modal internasional, khususnya tentang keseimbangan, kapasitas, dan perancangan. Selain itu, penelitian ini juga berguna dalam menambah jumlah koleksi karya tulis ilmiah hasil penelitian berbentuk disertasi dan artikel jurnal nasional dan/atau internasional. Dengan demikian bagi Indonesia, hasil penelitian disertasi ini dapat membantu dalam kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan hukum kontrak pada umumnya dan hukum kontrak penanaman modal internasional pada khususnya. Secara internasional, kajian ini juga berguna bagi mereka yang memerlukan pengetahuan komparatif tentang hukum di Indonesia untuk keperluan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu hukum. Secara praktis, penelitian ini memberikan sumbangan tambahan ilmu pengetahuan dan keahlian hukum kepada dunia praktik atau profesi hukum, baik eksekutif, legislatif maupun yudisial terkait pembentukan hukum dan perancangan kontrak penanaman modal internasional. Hal ini penting karena di Indonesia hingga kini masih terbatasnya jumlah tenaga ahli yang menekuni secara khusus bidang ini, yang berimplikasi pada terbatasnya penyebaran ilmu pengetahuan dan keahlian tersebut yang dibutuhkan dunia praktik atau profesi hukum dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, baik di pusat maupun daerah. Sebagai tenaga eksekutif, ahli hukum memerlukan pengetahuan dan keahlian tersebut dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional, karena keterlibatannya, sebagai pihak yang mewakili negara/daerah, selaku perancang kontrak (contract drafters), atau sebagai 8 pembentuk regulasi dan kebijakan publik terkait. Sebagai tenaga legislatif, ahli hukum memerlukannya dalam melaksanakan fungsi legislasi di lembaga perwakilan rakyat negara atau daerah selaku pembentuk peraturan perundang-undangan (legislative drafters) terkait. Sebagai tenaga yudisial, ahli hukum memerlukannya dalam mengadili sengketa yang timbul dari kontrak penanaman modal internasional, selaku hakim (judges) dalam berbagai tingkatan dan jenis pengadilan, termasuk selaku arbiter (arbitrators) atau nama lain dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. D. Kerangka Pikir/Tinjauan Pustaka 1. Kerangka Pikir Penulisan disertasi ini menggunakan kerangka pikir yang didasarkan pada teori yang dianggap paling relevan untuk menganalisis dan menemukan jawaban terhadap setiap pokok permasalahan yang diajukan di atas. Teori yang dipaparkan merupakan pilihan dari berbagai yang ada yang diurut secara sistematis untuk menjadi dasar dalam penguraian dan analisis disertasi dengan mengacu pada setiap pokok permasalahan tersebut.10Pemilihan teori didasarkan pada persoalan hukum yang dianalisis, berupa masih belum seimbangnya pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Selain ttu, belum jelas dan konsistennya pengaturan kapasitas sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Demikian juga belum maksimalnya peran daerah dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional. Ketiga persoalan hukum pokok tersebut apabila tidak dicarikan dan ditemukan solusinya dapat menghambat penanaman modal internasional di Provinsi Aceh. Solusi dari persoalan hukum tersebut dapat ditelusuri dan ditemukan fondasinya di dalam teori hukum yang ada. Teori-teori dimaksud pada prinsipnya dapat digabung ke dalam 4 (empat) kelompok besar, diurut sesuai dengan permasalahan hukum yang menjadi pertanyaan penelitian tersebut, dan ditambah dengan teori sistem hukum. Keempat kelompok 10 Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994, hlm. 323-327. 9 teori tersebut adalah teori kontrak, teori badan hukum dan teori kewenangan daerah, teori perancangan kontrak dan teori sistem hukum. (a) Teori Kontrak Teori kontrak adalah yang terpenting karena menjawab terutama pokok permasalahan pertama, yang merupakan permasalahan inti dalam disertasi ini. Dalam hal ini difokuskan pada pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam isi kontrak penanaman modal internasional. Oleh karena itu, dalam disertasi ini teori kontrak dibahas secara lebih mendalam. Teori kontrak terdiri atas asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak. Asas otonomi para pihak memberikan hak kepada para pihak untuk secara bebas menentukan sendiri isi dan bentuk kontrak beserta segala hal terkait. Sedangkan asas perikatan kontrak memberikan pengakuan secara hukum bahwa kontrak yang dibuat para pihak secara sah bersifat mengikat, sebagaimana halnya dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Baik asas otonomi para pihak maupun asas perikatan kontrak termasuk ke dalam klasifikasi asas yang mengarah pada kepastian hukum. Meskipun penting dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, pengunaan asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak yang mutlak atau berlebihan dapat menimbulkan ketidakadilan kepada salah satu pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Oleh karena itu, dalam teori kontrak dikenal asas lain, yang bersifat membatasi penggunaan asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak yang melampaui batas karena dapat merugikan pihak lain dalam kontrak tersebut. Oleh karena itu, dalam teori kontrak dikenal asas keseimbangan, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kewajaran dan kepatutan, dan asas proporsionalitas. Semua asas yang disebut terakhir ini termasuk ke dalam klasifikasi yang lebih besar, yaitu asas yang mengarah pada keadilan. Asas yang mengarah pada keadilan ini dapat juga disebut asas keseimbangan dalam arti luas. Asas hukum di samping dapat difungsikan sebagai instrumen hukum juga sebagai pelengkap kaidah hukum yang ada. Asas hukum juga penting dalam penapsiran ketika ketentuan hukum positif tidak jelas atau tidak lengkap. Ketika ketentuan hukum tidak jelas atau tidak lengkap, untuk mencegah kekosongan hukum 10 dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum yang konkrit, diperlukan bantuan asas hukum, yang dapat diperoleh dalam filsafat dan teori hukum. Filsafat dan teori hukum dapat memberikan penjelasan yang lebih umum tentang suatu persoalan hukum tertentu sehingga dapat membantu dalam pemahaman dan penerapan hukum tersebut. Jadi, ketentuan hukum yang tadinya tidak jelas atau tidak lengkap setelah dikaitkan dengan teori atau filsafat hukum menjadi lebih jelas dan lebih lengkap. Ketentuan hukum dan isi kontrak yang tampak sudah jelas sekali pun, seringkali masih tetap menyisakan pertanyaan tertentu yang perlu dicari jawabannya dalam bebagai bahan hukum terkait. Hal ini dapat dipahami karena tingkat keefektifan bahasa dalam suatu ketentuan yang ada tidaklah bersifat mutlak, tetapi relatif. Bahasa pun, sama halnya dengan, yang menggunakannya sampai tingkat tertentu menyimpan kelemahan-kelemahan tertentu yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Hal ini tentu saja ada kaitannya dengan relativitas kemampuan manusia sebagai pengguna bahasa. Hal demikian tidak terkecuali untuk bahasa hukum yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang atau perancang kontrak. Dalam upaya mengisi kekosongan ketentuan hukum/kontrak, ahli hukum baik yang berprofesi sebagai akademisi maupun praktisi melakukan penalaran hukum. Dalam hal ini para ahli hukum tersebut memerlukan ilmu pengetahuan dan keahlian tentang metode penapsiran hukum/kontrak. Penapsiran ini diperlukan terutama untuk memahami dan menjelaskan ketentuan hukum tertentu yang tidak jelas atau tidak lengkap tersebut. Bahkan, sebagaimana dijelaskan di atas, penapsiran sampai pada tingkat tertentu juga diperlukan terhadap ketentuan hukum yang tampaknya sudah jelas atau sudah lengkap. Dengan demikian, penapsiran terbuka untuk semua ketentuan yang ada meskipun tingkatan berbeda-beda, tergantung pada kebutuhan kasus per kasus. Metode penapsiran tersebut berkembang sepanjang sejarah, yang memberikan kebebasan kepada ahli hukum untuk memilih satu atau beberapa dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum yang konkrit. Metode penapsiran ini dimulai dari yang paling sempit sampai ke yang paling luas.11 Metode penapsiran yang paling 11 E. Utrecht-2, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cet. Ke-9, Jakarta, Penerbit Universitas, 1966, hlm. 195. 11 sempit dinamakan penapsiran tata bahasa, sedangkan metode penapsiran yang paling luas dinamakan penapsiran sosiologis atau teleologis. Metode penapsiran tata bahasa berpegang pada kaidah bahasa dari ketentuan hukum yang ditapsirkan. Artinya, para ahli memberikan makna sesuai dengan bahasa yang baik dan benar. Jadi, pemahaman dikaitkan dengan ketepatan makna kata dalam suatu kalimat atau kalimat dalam suatu alinea atau alinea dalam suatu tulisan tertentu. Dalam penapsiran tata bahasa ini suatu kata diberi arti dalam konteks keseluruhan struktur kalimat, alinea, atau tulisan yang mengandung ketentuan hukum tersebut. Sedangkan penapsiran sosiologis atau teleologis berpegang pada kebutuhan hukum dalam konteks sosial atau pada tujuan pembentukan ketentuan hukum tersebut. Apabila kemampuan bahasa yang terutama dipentingkan dalam melakukan penapsiran tata bahasa, kemampuan penguasaan filsafat dan teori hukum yang terutama dipentingkan dalam melakukan penapsiran sosiologis atau teleologis. Dalam kaitannya dengan standar penapsiran hukum/kontrak yang sempit atau luas, para ahli hukum berbeda pendapat tentang kedudukan asas hukum dalam keseluruhan makna hukum itu sendiri. Ada ahli yang berpendapat bahwa hukum terdiri atas kaidah atau norma saja. Kaidah atau norma tersebut sajalah yang mengikat, tidak ada hukum di luar itu. Penapsiran demikian termasuk penapsiran yang sempit. Dalam hal ini hukum dipisahkan dari landasan yang lebih luas, yaitu asas hukum dan tujuan sosial yang bersifat kontekstual.12 Penapsiran yang sempit demikian lebih berorientasi pada pencapaian tujuan kepastian hukum, sebagaimana antara lain dimaksudkan oleh aliran filsafat hukum posivistis. Para ahli yang lain berpendapat bahwa di samping kaidah, terdapat bentuk lain dari hukum, asas. Jadi, hukum merupakan himpunan kaidah dan asas. Penapsiran demikian merupakan penapsiran yang luas. Supaya dapat menggunakan penapsiran yang luas tersebut, para ahli dituntut untuk dapat berpikir kreatif dalam mencari dan menemukan sendiri secara tepat asas hukum yang mengatur masalah tersebut. Penapsiran yang luas demikian lebih berorientasi pada pencapaian tujuan hukum Hanoch Dagan, “Autonomy, Pluralisme, and Contract Law Theory,” Law and Contemporary Problems, Vol. 76, No. 19, 2013, hlm. 37. 12 12 keadilan, sebagaimana antara lain dimaksudkan oleh aliran filsafat hukum historis dan sosiologis.13 Para ahli hukum yang melakukan penapsiran hukum memiliki latar belakang pekerjaan profesional hukum yang berbeda. Ada akademisi dan peneliti hukum yang melakukan penapsiran ketentuan hukum/kontrak yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal hukum yang ada. Ada praktisi yang melakukan penapsiran ketentuan hukum/kontrak dalam melaksanakan tugas khususnya sehari-hari. Praktisi ini terdiri, antara lain, atas pembuat undang-undang, perancang kontrak, hakim, dan arbiter. Berkenaan dengan metode mana yang dipilih tergantung kebutuhan profesinya masing-masing. Dalam hal ini antara yang satu dengan yang lain dapat berbeda penekanan. Meskipun demikian, semuanya menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa metode yang ada dalam ilmu hukum. Misal kebutuhan penapsiran akademisi dan peneliti hukum dapat berbeda dengan kebutuhan penapsiran pembuat undang-undang atau perancang kontrak. Biasanya akademisi dan peneliti hukum lebih luwes dalam melakukan penapsiran, daripada pembuat undangundang-undang atau perancang kontrak yang lebih ketat. Demikian juga kebutuhan penapsiran hakim berbeda dengan arbiter. Pada umumnya hakim memilih penapsiran yang sempit daripada arbiter, yang memilih penapsiran yang lebih luas. Keberadaan perbedaan dapat dibenarkan, dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain, ketentuan hukum tentang penapsiran itu sendiri dan kebiasaan praktik profesi masing-masing. Mengenai keragaman dalam melakukan penapsiran ini dapat ditelusuri dalam bebagai bahan hukum yang dihasilkan. Di samping metode penapsiran yang umum dikenal dalam doktrin ilmu hukum, pembuat undang-undang dan hakim/arbiter juga menghasilkan sendiri asas dan ketentuan hukum dalam batas penapsiran yang dapat dilakukan ahli hukum/kontrak. Meskipun teori kontrak modern mengarah pada pada keadilan, tetapi dalam pencapaian tujuan tersebut tidak mengabaikan tujuan kepastian hukum sebagaimana diutamakan dalam teori kontrak klasik. Artinya, dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum tentang kontrak, ahli hukum di samping memperhatikan tujuan keadilan juga memperhatikan tujuan kepastian hukum sekaligus. Kedua tujuan ini 13 E. Utrecht-2, Op. Cit., hlm. 189. 13 penting dan perlu dipertimbangkan secara proporsional. Dengan demikian keberadaan pemikiran kontrak modern tidak menghilangkan seluruh pemikiran kontrak klasik. Kontrak modern tetap tumbuh pada akar kontrak klasik yang mementingkan tujuan kepastian hukum, dengan membatasinya melalui penjabaran dan penerapan asas yang mengarah pada keadilan. Dalam pemikiran kontrak modern pun asas kontrak klasik yang mengarah pada kepastian hukum, otonomi para pihak dan perikatan kontrak tetap penting. Kontrak modern menambah dengan memberikan bobot yang proporsional terhadap asas yang mengarah pada keadilan, meliputi asas keseimbangan, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kewajaran dan kepatutan, dan asas proporsionalitas. Kedua klasifikasi asas inilah yang membentuk sistem hukum kontrak modern kini. Penekanan yang berlebihan pada salah satu tujuan hukum dapat mengorbankan tujuan hukum yang lain, kepastian hukum atau keadilan. Penentuan bobot yang pasti diantara kedua tujuan tersebut dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan putusan hakim/arbiter. Pemikiran kontrak klasik mulai berkembang pada abad ke-19 Masehi. Sebelumnya berdasarkan kebutuhan pada masa itu keberadaan kontrak memiliki landasan yang berbeda, yang berlandaskan pada kepentingan publik. Lambat laun kontrak demikian tidak dapat memenuhi kebutuhan baru akibat berkembangnya paham individualisme, yang berkembang di Eropa Barat, khususnya di Inggris. Paham individualisme inilah yang menjadi latar belakang dari perkembangan pemikiran kontrak klasik. Kontrak klasik yang dilatarbelakangi pemikiran individualisme berkembang sejalan dengan perkembangan paham ekonomi liberal, antara lain, sebagaimana diajarkan Adam Smith, pada masa itu. Dalam kontrak klasik demikian yang penting kontrak dapat digunakan untuk menampung pengaturan kepentingan individu para pihak. Yang ditonjolkan adalah kepentingan individu, bukan kepentingan publik lagi seperti sebelumnya. Kontrak merupakan domain privat, yang berada di luar campur tangan pemerintah. Pemikiran demikian sejalan dengan paham ekonomi liberal. Oleh 14 karena itu, baik paham individualisme maupun paham paham ekonomi liberal samasama mendukung tumbuh dan berkembangnya kontrak klasik.14 Perkembangan kontrak klasik pada masa itu cukup pesat, dan pengaruhnya masih ada hingga kini. Dampak positif dari keberadaan kontrak klasik ini adalah industrialisasi yang menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang besar.15Keberadaan kontrak klasik sejalan dengan kebutuhan industri dan pertumbuhan ekonomi pada masa itu. Pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Kontrak klasik dengan demikian telah memberikan andil yang cukup berarti terhadap perkembangan kemajuan sesuai tuntutan zaman pada masa itu. Asas otonomi para pihak (party autonomy)16 memberikan otonomi kepada para pihak dalam suatu kontrak, termasuk kontrak internasional, dalam memilih bentuk dan isi ketentuan kontrak. Asas ini merupakan asas yang sudah diterima umum di dalam berbagai hukum domestik dan sistem hukum yang ada di dunia. Dalam kontrak internasional, asas otonomi para pihak ini merupakan asas pokok yang dapat menjadi landasan tempat asas lainnya bersandar. Asas lain tersebut, meliputi tetapi tidak terbatas pada pilihan hukum, pilihan forum, pilihan pengadilan, dan pilihan arbitrase.17 Penelusuran yang terjauh dari keberadaan asas otonomi para pihak dapat ditemukan dalam aliran filsafat hukum alam, yang mendapatkan perhatian besar pada abad pencerahan.18 Dalam hal ini terutama dipengaruhi oleh filsafat moral dari filsuf Immanuel Kant.19 14 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 17. 15 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 21. 16 Dalam hal ini terdapat beberapa istilah yang mirip, tetapi memiliki penekanan makna yang berbeda, yaitu party autonomy, private autonomy, dan freedom of contract. Meskipun belum ada kesamaan penyebutan dalam peraturan perundang-undangan dan doktrin, namun inti dari istilah tersebut adalah party autonomy, sedangkan freedom of contract dapat memiliki pengertian yang lebih sempit dan private autonomy lebih luas. Meng Zhaohua. “ Party Autonomy, Private Autonomy, and Freedom of Contract” Canadian Social Science, Vol. 10, No. 6, 2014., hlm. 215. 17 Sudargo Gautama-2, “ Kontrak Internasional” dalam Naskah Akademik tentang Kontrak di Bidang Perdagangan, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1994, hlm. 25-32. 18 Ridwan Khairandy-1, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Universitas Indonesia, 2004, hlm. 46. 19 Ridwan Khairandy-1, Loc.Cit. 15 Immanuel Kant menekankan pada pentingnya kebebasan pribadi di dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam menaati hukum.20Artinya, manusia mematuhi hukum haruslah atas motivasi yang berada dari dalam dirinya sendiri, bukan atas dasar paksaan dari luar.21 Jadi, seseorang mematuhi hukum karena ia menganggap itu sebagai suatu kewajiban moral atau atas dasar keikhlasan diri, bukan karena dipaksakan oleh kekuatan lain yang berasal dari luar dirinya sendiri. Immanuel Kant membagi moralitas ke dalam dua klasifikasi yang abstrak, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.22Moralitas heteronom timbul dalam hal seseorang melakukan kewajiban disebabkan hal-hal yang berasal dari luar, seperti karena kehendak untuk mendapatkan sesuatu atau karena takut. 23Moralitas otonom timbul dalam hal seseorang melakukan kewajiban karena keyakinan sendiri bahwa hal itu adalah baik.24 Menurut Immanuel Kant moralitas heteronom bersifat negatif dan destruktif terhadap nilai-nilai moral, karena dikuasai oleh pihak lain, sedangkan moralitas otonom berlandaskan otonomi kehendak (autonomie des willens) merupakan nilai moral yang paling tinggi, yang berhubungan dengan otonomi individu pada makhluk rasional yang dinamakan manusia.25Paham Kant demikian sejalan dengan pemikiran individualisme. Menurut Mariam Darus Badrulzaman akar asas otonomi para pihak yang muncul akibat pemikiran individualisme tersebut telah ada sejak masa Yunani, yang oleh para Epicuristen kemudian diteruskan kembali, dan semakin mendapatkan tempat pada masa Renaisance, yang juga seirama dengan pemikiran filsuf pada masa itu, antara lain yang terkenal adalah Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Lock dan Rousseu, yang kemudian mencapai puncaknya pada masa Revolusi Perancis.26 Meskipun mengalami sejarah yang panjang demikian, asas otonomi para pihak 20 S P Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Jakarta, Penerbit Kanisius, 1991, hlm. 47. 21 S P Lili Tjahjadi, Loc. Cit. 22 Ibid. hlm. 48. 23 S P Lili Tjahjadi, Loc. Cit. 24 S P Lili Tjahjadi , Loc. Cit. 25 S P Lili Tjahjadi, Loc. Cit. 26 Mariam Darus Badrulzaman-1, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Bandung, PT Alumni, 1983, hlm. 10. 16 tersebut baru mencapai zaman keemasan pada abad ke-19, dalam masa teori kontrak klasik muncul dan berkembang. Dalam konteks hukum alam, asas otonomi para pihak juga sejalan dengan pengakuan adanya hak milik. Roscoe Pond, sebagaimana dikutip Purnadi Purbacaraka dan A Ridwan Halim,27 menjelaskan bahwa menurut penganut aliran hukum alam tentang hak milik seperti Hugo de Groot menjelaskan bahwa pada awalnya tidak ada pengakuan hak milik pribadi, karena semuanya “res nullus” (kepemilikan bebas), kemudian diadakan kontrak pembagian benda antarindividu, sehingga melahirkan hak milik pribadi dan hak milik bersama, diantara masyarakat atau negara. John Lock, salah satu filsuf hukum alam, menjelaskan bahwa pada hakikatnya hak milik dikuasai umum, namun dapat dijadikan hak milik pribadi apabila individu tertentu telah berpatisipasi dalam pembentukannya.28 Dalam hal ini individu yang bersangkutan telah ikut dalam menemukan, menguasai, atau menggunakan kemampuannya sehingga benda tertentu objek kepemilikan tersebut menjadi lebih ekonomis, produktif atau efisien.29 Melalui pemberian hak milik pribadi kepada individu tertentu diharapkan yang bersangkutan dapat meningkatkan nilai kemanfaatannya. menfasilitasi 30 Asas otonomi para pihak lahir antara lain untuk pemanfaatan hak milik pribadi tersebut melalui perdagangan dan pertukaran benda hak milik tersebut. Menurut Rudolf von Jhering, perkembangan berikutnya pada tahun 1891 terjadi pergeseran nilai dari penghargaan yang besar kepada hak milik ke penghargaan yang besar terhadap manusia, suatu hal yang menunjukkan bahwa hukum semakin mapan.31 Dampak yang penting dari perubahan tersebut menurut Roescoe Pound , antara lain, pembatasan otonomi para pihak dan penggunaan 27 Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran: Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 18. 28 Samatha J. Hepburn, Principles of Property Law, Sydney, Cavendish Publishing Pte. Limited, 1998, hlm. 5. 29 Ibid., hlm. 11-12. 30 Samatha J. Hepburn , Loc. Cit. 31 Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason: Three Lectures, Athens, University of Georgia Press, 1960, hlm. 14. 17 kepatutan dalam kewajiban kontraktual.32Pound menambahkan bahwa telah terjadi perubahan yang penting, dimana secara bisnis negara-negara semakin menjadi satu atau mendunia, dimana transportasi dan transaksi bisnis telah melampaui batas-batas negara, yang berimplikasi semakin berkurangnya peran hukum setempat.33 Di samping itu, campur tangan negara dalam hubungan kontraktual di negara kesejahteraan telah menunjukkan munculnya kontrak baku, ketentuan wajib baku dalam kontrak, ketentuan legislasi dan administrasi, dan pengawasan administrasi dalam perancangan dan penegakan kontrak.34 Dalam perjalanannya, asas otonomi para pihak mengalami pergeseran makna. Pada awalnya isi kontrak itu dianggap suci, yang tidak dapat dicampuri oleh hakim. Sekarang ini kemutlakan isi kontrak demikian sudah ditinggalkan, karena itu hakim dapat mengubah bahkan membatalkan kontrak atas dasar nilai-nilai moral, misal asas itikad baik, yang indikator penilaiannya didasarkan pada objektivitas faktual.35Dengan demikian, sikap pengadilan sekarang ini dalam melakukan penapsiran terhadap kasus-kasus yang ada cenderung beranggapan bahwa otonomi para pihak tersebut tidak bersifat absolut, tetapi bersifat relatif. Asas otonomi para pihak terkait erat dengan asas perikatan kontrak. Menurut Asser dan AS Hartkamp, sebagaimana dikutip Herlien Budiono, asas perikatan kontrak (verbindende kracht der overeenkomst) juga memiliki landasan rasionalitas sejalan ajaran hukum alam.36Filsuf yang menelusuri tentang dasar kekuatan mengikat kontrak ini antara lain Hugo de Groot, yang menyatakan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan “pacta sunt servanda,” dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian “promissorum implendorum obligation.”37 Hugo de Groot dengan nama lain Grotius walaupun menerima adanya hukum alam yang bersumber pada tuhan, tetapi berbeda dengan sebagian filsuf lainnya. 32 Ibid., hlm. 15. Ibid., hlm. 14. 34 Ibid., hlm. 57. 35 Ridwan Khairandi-1, Op. Cit., hlm. 125 dan 347. 36 Herlien Boediono-1, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, PT Citra Adytia Bakti, 2009, hlm. 30-31. 37 Mariam Darus Badrulzaman-1, Op. Cit., hlm. 109. 33 18 Dalam hal ini ia lebih mementingkan pikiran atau rasio manusia tentang baik buruknya perbuatan sesuai ajaran hukum alam.38 Asas perikatan kontrak ini bersumber pada nilai-nilai moral, yang didasarkan pada adanya kemauan bebas para pihak sendiri untuk terikat pada kontrak yang dibuat.39 Selain Grotius, filsuf hukum alam lainnya John Lock menambahkan bahwa perikatan40kontrak tidak cukup kalau sepenuhnya diserahkan kepada para pihak sendiri untuk memaksakan pelaksanaanya, tanpa adanya dukungan atau pengawasan oleh kekuasaan publik. Selain dari sisi keadilan kepada para pihak dalam hubungan kontraktual, sisi kepastian hukum mendapatkan perhatian para filsuf. Dalam hal ini Hans Kelsen, seorang filsuf penggagas aliran hukum murni juga memberikan sumbangan pemikirannya tentang perikatan kontrak. Hans Kelsen membedakan antara hukum peraturan perundang-undangan dan hukum kebiasaan. Yang pertama adalah yang dibuat melalui tindakan legislatif, yudisial, administratif, dan transaksi hukum meliputi kontrak dan traktat.41 Kelsen menjelaskan kemungkinan adanya perbedaan antara isi kontrak dengan maksud para pihak. Masalah apakah kontrak dapat dilaksanakan dalam hal yang demikian tergantung pada politik hukum dan penetapan nilai-nilai, yang dapat menganggap berlaku atau sebaliknya tidak berlaku.42Kelsen lebih lanjut menjelaskan bahwa norma atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh para pihak dalam isi kontrak tetap berlaku, walaupun kemudian keinginan para pihaknya sudah tidak ada lagi, dan norma tersebut tetap berlaku sampai dibatalkan dengan kontrak yang lain.43 Pada sisi lain terdapat asas yang mengarah pada keadilan. Asas yang mengarah pada keadilan digunakan dengan berbagai sebutan di dalam sumber hukum yang memunculkannya. Apabila asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak bertujuan mewujudkan kepastian hukum, asas yang mengarah pada keadilan bertujuan mewujudkan keadilan, dalam hal ini keadilan kontrak. 38 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit., hlm. 52. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Loc.Cit. 40 Huala Adolf-1, Op. Cit., hlm. 16. 41 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Press, 2012, hlm. 89. 42 Ibid, hlm. 113. 43 Ibid, hlm. 114. 39 19 Asas keseimbangan ditemukan baik dalam hukum Indonesia maupun dalam hukum Isalam. Dalam hukum Indonesia asas keseimbangan ditemukan dalam doktrin, sedangkan dalam hukum Islam ditemukan dalam ijtihad. Asas keseimbangan dapat dipahami dalam pengertian yang sempit, yaitu keseimbangan kuantitatif, dan dalam pengertian yang luas, meliputi baik keseimbangan kuantitatif maupun keseimbangan kualitatif. Asas itikad baik ditemukan dalam sistem hukum civil law, yang meskipun dalam keragaman arti dan tingkatan pengakuan, penggunaannya kini sudah mengglobal, lintas negara, lintas hukum, dan sistem hukum. Negara dengan sistem common law pun kini mulai menggunakan asas itikad baik dalam hukum kontrak, misal Amerika Serikat. Asas itikad baik juga digunakan dalam hukum transnasional, misal UPICC. Dalam sistem hukum civil law Indonesia, asas itikad baik ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Asas itikad baik pengertiannya luas, meliputi penilaian sikap mental, yang bersifat subjektif dan penilaian tindakan, yang bersifat objektif. Asas ketidakadilan ditemukan dalam sistem hukum common law. Oleh karena itu digunakan dalam hukum kontrak, antara lain, Amerika Serikat dan Australia. Asas ketidakadilan ini dapat digunakan dalam menilai keadilan prosedural terkait keabsahan kontrak, dan keadilan substantif terkait pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak. Asas ketidakadilan menggunakan persyaratan yang berat untuk dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan, antara lain, syarat ketimpangan besar. Asas kewajaran dan kepatutan muncul antara lain dalam hukum Belanda, yang mempersempit arti asas itikad baik hanya terbatas pada ukuran rasionalitas saja sehubungan dengan adanya kesulitan dalam penerapan asas itikad baik karena di samping memiliki sisi objektif, juga memiliki sisi subjektif. Asas kewajaran dan kepatutan hanya menggunakan ukuran yang objektif saja dari asas itikad baik, dengan mengukur tindakan para pihak dalam suatu kontrak. Standar itikad baik yang objektif dalam kewajaran dan kepatutan ini bersifat luwes menyesuaikan diri dengan 20 konteks sosial yang melingkarinya. Oleh karena itu, ukurannya juga dapat berubahubah sejalan dengan fakta khusus di lapangan.44 Asas proporsionalitas dalam hukum Indonesia ditemukan dalam doktrin. Asas proporsionalitas juga ditemukan dalam hukum kontrak Uni Eropa, yang diserap dari hukum Jerman, dan berkembang juga dalam hukum internasional. Dalam hukum Indonesia pengertian asas proporsionalitas lebih menekankan pentingnya keadilan pada proses pembentukan kontrak, bukan produk atau hasil yang diperoleh para pihak. Dalam hukum Uni Eropa dan juga hukum internasional, pengertian asas proporsionalitas meliputi tiga unsur, kecocokan, kebutuhan, dan proporsioalitas dalam arti sempit. Ketiga unsur itu penting dalam menilai hubungan antara alat dan tujuan, yang harus proporsional. Hukum kontrak Uni Eropa menggunakan baik asas itikad baik maupun asas proporsional ini sebagai acuan dalam menilai tingkat keadilan kontrak. (b) Teori Badan Hukum dan Teori Kewenangan Daerah Teori badan hukum dan teori kewenangan daerah terutama digunakan untuk menganalisis permasalahan hukum kedua tentang kapasitas daerah sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Apabila teori kontrak digunakan sebagai acuan dalam menjelaskan dan menilai keseimbangan pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak penanaman modal internasional, teori badan hukum dan teori kewenangan daerah menjelaskan dan menilai pengaturan tentang kapasitas daerah berdasarkan definisi, subjek dan objek kontrak sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan keabsahan kontrak. Teori badan hukum bertautan dengan konsep pokok dalam ilmu hukum yang dinamakan subjek hukum. Selain subjek hukum terdapat konsep pokok lain dalam ilmu hukum seperti objek hukum, hubungan hukum, dan peristiwa hukum. Menurut Sunawar Soekowati pengertian subjek hukum adalah “manusia yang berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan kebutuhan 44 Van der Burght, Buku tentang Perikatan, Freddy Tengker (Penyadur) dan Wila Chandawula Supriadi (Editor), Cet. Ke-2, Bandung, Mandar Maju, 2012, hlm. 86. 21 masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.” 45 Dengan demikian subjek hukum terdiri dari manusia, yang secara alamiah memiliki kapasitas sebagai subjek hukum, dengan beberapa pengecualian sebagaimana ditetapkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena kedudukan demikian, manusia sering disebut sebagai subjek hukum alamiah (naturlijk persoon). Di samping subjek hukum alamiah tersebut terdapat subjek hukum lain, yang oleh hukum dipersamakan dengan manusia, yaitu sebagai subjek hak dan kewajiban, yaitu badan hukum. Oleh karena diciptakan oleh hukum melalui suatu konstruksi konseptual, badan hukum sering disebut sebagai subkjek hukum buatan hukum (recht persoon). Para ahli mengklasifikasikan badan hukum ini ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik.46 Sebagai subjek hukum, badan hukum memiliki karateristik tertentu apabila dibandingkan dengan kelompok manusia, perkumpulan, atau perusahaan yang tidak berbadan hukum. Karakteristik tersebut terletak pada adanya kemandirian. Pertama, kemandirian dalam kekayaan, kedua kemandirian dalam tujuan, ketiga kemandirian dalam kepentingan, dan keempat kemandirian dalam administrasi dan struktur organisasi.47 Pengertian dan kedudukan subjek hukum dan badan hukum, dapat dibandingkan juga dengan pengertian subjek hukum dalam hukum internasional, yang memiliki beberapa unsur.48 Pertama, sebagai subjek hak dan kewajiban. Kedua, sebagai pemegang kewenangan untuk mengajukan tuntutan hukum ke mahkamah internasional. Ketiga, sebagai pelaksana kewajiban yang diatur hukum internasional. Dalam doktrin terutama yang diterima di negara dengan sitem hukum civil law, dikenal paling tidak 2 (dua) teori dasar badan hukum.49 Pertama, teori fiksi yang menyatakan bahwa badan hukum tersebut muncul atas dasar rekaan, berupa konstruksi hukum yang diciptakan ahli dalam memenuhi perkembangan kebutuhan 45 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, PT Alumni, 2005, hlm. 7. Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang. Bandung, PT Alumni, 2005, hlm. 131- 46 132. 47 Ibid., hlm. 136-139. JG Starke, Pengantar Hukum Internasional (Introduction to International Law), Jilid I, Edisi Ke-10, Bambang Iriana Djadjaatmadja (Penerjemah), Jakarta, Sinar Grafika, 1992, hlm. 91. 49 Munir Fuadi-2, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Jakarta, Kencana, 2013, hlm. 192-193. 48 22 manusia terhadap subjek hukum bentuk baru, selain yang telah ada, yaitu manusia itu sendiri. Kedua, teori organ yang menyatakan bahwa badan hukum sebagai subjek hukum bukan merupakan rekaan manusia, tetapi secara faktual memang ada, yang perannya sehari-hari dimainkan oleh organ yang mewakili badan hukum tersebut. Syarat kapasitas subjek hukum tersebut diperlukan untuk dapat memenuhi persyaratan keabsahan kontrak tentang kepasitas (kecakapan). Di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, supaya sah setiap kontrak harus mememenuhi persyaratan subjektif tentang kesepakatan dan kepasitas, dan persyaratan objektif tentang hal tertentu serta sebab yang dibolehkan. Berbeda dengan pada subjek hukum manusia, pemenuhan persyaratan kapasitas pada badan hukum diukur berdasarkan kewenangannya. Teori badan hukum perlu dikaitkan dengan teori kewenangan daerah. Di sini lah letak irisan yang menghubungkan teori kontrak, teori badan hukum, dan teori kewenangan. Dengan demikian, selain berpegang pada dasar hukum privat, pembahasan juga berpegang pada dasar hukum publik. Dalam hal ini adalah hukum tata negara dan hukum administrasi. Berdasarkan teori kewenangan daerah, daerah memiliki kapasitas apabila memiliki kewenangan untuk menjadi pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Kewenangan dapat dinilai berdasarkan definisi kontrak internasional, berdasarkan subjek sebagai badan hukum publik, dan berdasarkan objek tentang urusan pemerintahan daerah. Berkenaan dengan difinisi terdapat perbedaan kewenangan dalam perancangan kontrak internasional dan traktat. Untuk itu, perlu diketahui dahulu termasuk ke dalam klasifikasi apa suatu perjanjian yang dinilai, kontrak internasional atau traktat. Berkenaan dengan subjek, teori kewenangan daerah perlu disandarkan pada teori instrumen hukum, disebut juga teori tindakan pemerintah. Berdasarkan teori instrumen hukum daerah sama halnya dengan negara dan badan hukum publik lain, dapat melakukan tindakan hukum, baik publik maupun privat. Di sini terdapat kebebasan untuk memilih salah satunya dengan konsekuensi berlakunya salah satu hukum tersebut. Dengan demikian setiap daerah otonom atas dasar doktrin dapat melakukan tindakan hukum privat, sama halnya dengan subjek hukum lain. 23 Di samping kewenangan tentang subjek yang berlaku sama terhadap semua badan hukum (publik dan privat), terdapat kewenangan tentang objek.50 Dalam hal ini berkenaan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan suatu daerah otonom tertentu. Di sini terdapat perbedaan antara satu badan hukum publik dengan badan hukum publik yang lain. Demikian juga terdapat perbedaan antara daerah otonom yang satu dengan yang lain. Misal untuk Provinsi Aceh kewenangan tentang objek berupa urusan yang menjadi kewenangan daerah ini diatur terutama dalam UUPA. UUPA telah mengatur kerangka dan ketentuan pokok kewenangan tentang objek yang kemudian ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan pelaksanaan terkait. Dasar hukum pengaturan kewenangan daerah otonom sebagai badan hukum publik tentang objek ini diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan dan didasarkan pada teori kewenangan daerah. Terkait objek atau urusan pemerintahan ini, sumber kewenangan daerah dapat diperoleh dengan beberapa cara. Pertama, kewenangan atributif, yang merupakan kewenangan asli atau asal, yang langsung diberikan kepada daerah oleh peraturan perundang-undangan. Kedua, kewenangan delegatif, yang merupakan kewenangan turunan, yang diberikan oleh instansi lain berdasarkan peraturan perundangundangan. Ketiga, kewenangan mandat, yang merupakan kewenangan yang diberikan pejabat atasan tertentu kepada bawahannya, tanpa disertai dengan pengalihan tanggung jawab. Kewenangan atributif penting dalam pembahasan kapasitas kontrak daerah pada umumnya, sedangkan kewenangan mandat penting dalam pembahasan perancangan kontrak pada tahapan pembahasan dan penandatanganan kontrak oleh pejabat daerah pada khususnya. Teori badan hukum dan teori kewenangan daerah penting dalam kaitannya dengan pemenuhan persyaratan kapasitas sebagai salah satu dari empat unsur yang diperlukan untuk keabsahan kontrak. Suatu kontrak penanaman modal internasional adalah sah apabila telah memenuhi semua persyaratan tersebut. Ketika salah satu persyaratan, misal persyaratan kewenangan tentang objek tersebut tidak ada atau dilampaui, kontrak menjadi tidak sah. Pada umumnya persyaratan tentang keabsahan 50 Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 198-199. 24 suatu kontrak penanaman modal internasional diatur dalam hukum domestik. Namun, menurut teori internasionalisasi kontrak penanaman modal internasional, khususnya terkait penyelesaian sengketa pada arbitrase internasional ICSID dapat saja ditentukan berdasarkan hukum transnasional/internasional. Apabila kontrak tidak sah berarti tidak ada hubungan hukum yang timbul atas dasar kontrak tersebut. Artinya, pihak yang satu tidak memiliki dasar untuk melakukan gugatan perdata terhadap pihak yang lain, karena pihak yang lain tersebut tidak memiliki tanggung gugat secara hukum. Dengan demikian, dalam hal ini tidak terpenuhi hubungan kontraktual yang sah sebagaimana dituntut oleh asas personalitas (privity of contracts). Asas personalitas menegaskan bahwa hanya para pihak dalam kontrak yang terikat dan berhak melaksanakan penegakan kontrak.51 Khusus untuk badan hukum, pelaksanaan asas personalitas juga terkait dengan ada tidaknya pelampauan kewenangan oleh badan hukum, yang ditentukan berdasarkan asas intravirus dan ultravirus. Dalam hal ini pengaturannya terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendirian dan kewenangan badan hukum tersebut. Dalam kedua asas terakhir ini ditentukan seberapa jauh suatu subjek hukum dapat memiliki perikatan kontrak dan karena itu juga tanggung gugat perdata terhadap tindakan hukum badan hukum/daerah otonom tersebut. (c) Teori Perancangan Kontrak Teori perancangan kontrak penting terutama dalam pembahasan permasalahan ketiga tentang peran daerah dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional. Perancangan kontrak penanaman modal internasional yang lengkap melewati suatu proses panjang, prakontrak, kontrak, dan pascakontrak. Dalam hal ini pembahasannya dibatasi pada tahap prakontrak dan kontrak saja. Dengan demikian dapat lebih fokus, sejalan, dan saling melengkapi dengan pokok permasalahan pertama dan kedua disertasi, yaitu isi kontrak dan keabsahan kontrak. “A contract law rule underwhich only parties to a contract are legally bound by and entitled to enforce it. The rule prevents contractual burdens being imposed on person who are not a party to a contract.” Henry Campbell Black, et al, Blacks Law Dictionary with Pronunciations, 6th. ed, Saint Paul, Minnesota, West Publishing Co., 1990, hlm. 344. 51 25 Sedangkan tahap pascakontrak tentang implementasi dan penegakan hukum kontrak disisakan kepada peneliti lain yang berminat untuk dapat meneruskannya. Apabila dibandingkan dengan kontrak internasional pada umumnya, kontrak penanaman modal internasional melewati beberapa subtahapan tambahan dalam setiap tahapan tersebut. Hal demikian tidak ditemukan dalam kontrak internasional pada umumnya, yaitu antara bisnis dan bisnis. Akibatnya kontrak penanaman modal internasional dalam keseluruhan perancangan membutuhkan waktu yang lebih lama, karena harus mengikuti ketentuan tambahan yang khusus tentang prosedur, melibatkan birokrasi pemerintahan dalam pembahasan dan persetujuannya, sebelum kontrak tersebut ditandatangani. Ketentuan khusus tentang prosedur pada umumnya dianggap sebagai persyaratan tambahan untuk keabsahan kontrak, yang berkaitan dengan bentuk.52 Dari sisi ini, dengan keberadaan ketentuan khusus tentang prosedur tersebut berarti telah menjadikan kontrak penanaman modal sebagai suatu kontrak formal, yang keabsahannya juga ditentukan berdasarkan pemenuhan persyaratan formal tersebut. Ketentuan khusus tentang prosedur diatur dalam hukum publik, yang mewajibkan daerah untuk mengikutinya. Ketentuan tersebut misal keterlibatan lembaga negara/daerah terkait dalam subtahap negosiasi/pembahasan dan untuk jenis kontrak tertentu yang penting, juga memerlukan persetujuan dari lembaga perwakilan rakyat dan lembaga pemerintahan yang lebih tinggi untuk mendapatkan pertimbangan, sebelum kontrak ditandatangani. Dalam upaya untuk meningkatkan penanaman modal internasional diperlukan adanya solusi terhadap permasalahan dalam perancangan kontrak penanaman modal tersebut yang terkait dengan peran daerah. Dalam hal ini diperlukan kajian melalui pendekatan sistem hukum yang diperluas. Pendekatan sistem hukum yang diperluas meliputi komponen struktur, substansi dan kultur.53 Struktur hukum merupakan kerangka luar yang melingkupi keseluruhan substansi hukum, dalam kaitannya dengan kontrak penanaman modal 52 Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 199. Lawrence W. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, “The Legal System: A Social Science Perspective,” Cet. Ke-5, M. Khozim (Penerjemah) dan Nurainun Mangungsong (Penyunting), Jakarta, Nusa Media, 2013, hlm. 15-16. 53 26 internasional adalah kelembagaan yang terlibat dalam perancangan kontrak. Sedangkan, substansi hukum merupakan asas dan kaidah hukum, yang merupakan ketentuan formal yang ideal sebagai acuan tindakan masyarakat, dalam hal ini hukum dan klausula kontrak internasional, termasuk ketentuan khusus prosedural. Terakhir, kultur hukum merupakan keseluruhan pikiran, perasaan, tindakan, dan nilai yang hidup dalam masyarakat, dalam hal ini sebagaimana realitas yang tercermin pada wakil birokrasi lembaga negara/daerah dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional. Klasifikasi demikian menjadikan hukum memiliki pengertian yang luas, tidak hanya meliputi kaidah, tetapi juga memasukkan ke dalamnya lembaga hukum terkait, dan nilai budaya yang melatarbelakanginya. (d) Teori Sistem Hukum a. Pengantar dan Pengertian Hukum kontrak penanaman modal internasional merupakan suatu bidang yang luas, yang baru dapat dijelaskan dan dipahami secara utuh, apabila didekati melalui pendekatan sistem. Pendekatan secara parsial, yang hanya melihat hukum dalam arti yang sempit dengan mengabaikan konteksnya, tidak dapat memperlihatkan gambar yang lebih luas dan lebih jelas tentang hukum ini secara keseluruhan, termasuk kaitannya dengan aspek yang lain. Hal ini juga berarti bahwa, penyelesaian persoalan hukum tertentu secara parsial saja, tidak dapat menemukan dan merinci akar persoalan yang bersifat kompleks yang melekat pada suatu kontrak penanaman modal internasional. Pembahasan hukum secara keseluruhan dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, yang melihat hukum sebagai suatu sistem, yaitu sistem hukum. Kajian hukum dalam perspektif sistem dimaksudkan untuk menjelaskan setiap komponen dalam kaitan dengan komponen lainnya di dalam suatu sistem hukum, maupun dalam hubungan antara sistem hukum tertentu dengan sistem hukum hukum lain yang lebih besar dan/atau yang terkait. Pada dasarnya pendekatan sistem sosial budaya, termasuk hukum bersifat terbuka sehingga dapat menunjukkan hubungan yang saling berkaitan antarkomponen, maupun antarsistem. Jadi, terdapat hubungan ke dalam dan keluar 27 sistem, antara sistem yang lebih kecil dengan sistem yang lebih besar atau antara sistem yang satu dengan sistem yang lain. Hukum kontrak penanaman modal internasional tanpa kecuali, bahkan membutuhkan pendekatan sistem lebih besar dalam pembahasan, bukan hanya karena sifat hukum kontrak sebagai pokok dari hukum kontrak penanaman modal internasional, yang lebih terbuka daripada sebagian hukum lainnya seperti hukum benda, tetapi juga lebih netral dibandingkan dengan cabang hukum perdata lainnya, seperti hukum keluarga dan hukum waris. Dua bidang hukum yang disebutkan terakhir, merupakan cabang hukum yang terkait erat dengan keyakinan atau agama. Dalam hukum kontrak penanaman modal internasional kemungkinan untuk menerima pengaruh dan menyesuaikan dengan sistem hukum lain lebih terbuka dan dimungkinkan karena pada umumnya dapat digolongkan sebagai bidang hukum privat yang netral. Oleh karena itu, kebutuhan pembahasan kontrak penanaman modal internasional dalam perspektif sistem juga lebih tampak dibadingkan dengan dalam beberapa cabang hukum perdata lain tersebut dan tentunya juga hukum publik. Banyak ahli yang menulis tentang pengertian sistem, sistem hukum, dan komponen sistem hukum. Apabila dibandingkan beberapa pendapat mereka tersebut, terdapat persamaan dan perbedaan. Perbedaan, antara lain, disebabkan adanya perbedaan latar belakang dan tujuan, sehingga sebagian ahli lebih menekankan pada aspek tertentu, sedangkan sebagian yang lain lebih menekankan pada aspek yang lain. Berikut ini dipaparkan beberapa yang dianggap paling penting dalam menjelaskan topik tulisan ini. Shrode dan Voich sebagaimana dikutip Tatang memberikan definisi sistem sebagai “Suatu kumpulan dari bagian-bagian yang saling berhubungan, dalam mencapai tujuan bersama secara keseluruhan, dalam lingkungan yang kompleks.”54 Dalam definisi ini dapat ditarik beberapa unsur yang membentuk sistem, yaitu kumpulan bagian, keterhubungan antarbagian, kemandirian setiap bagian dan 54 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet. Ke-2, Jakarta, CV Rajawali, 1986, hlm. 11. 28 kebersamaan semua bagian dalam pencapaian tujuan, keberadaan tujuan bersama, dan adanya kompleksitas lingkungan.55 Definisi lain dikemukakan oleh Subekti sebagaimana dikutip Mariam Darus Badrulzaman bahwa sistem sebagai “suatu susunan atau catatan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.”56 Pengertian sistem meliputi baik dalam bentuk konkrit berupa benda yang berwujud, maupun dalam bentuk abstrak yang tidak berwujud seperti konsep.57 Sedangkan ciri pokok sistem menurut Tatang adalah ada sasaran yang ingin dicapai, ada garis yang membatasinya, ada keterbukaan terhadap pengaruh luar, ada kebersamaan dalam pencapaian tujuan, ada ketergandungan antarkomponen dalam sistem dan antara sistem yang satu dengan sistem lain yang terkait, ada aktivitas di dalam sistem yang mengubah masukan menjadi keluaran, ada penyeimbang dalam hubungan antarkomponen dan antara sistem yang satu dengan sistem terkait lain, dan ada kemampuan adaptasi yang bekerja dengan sendirinya.58 Bellefroid, sebagaimana dikutip Mariam Darus Badrulzaman, mendefinisikan sistem hukum sebagai “keseluruhan aturan hukum yang disusun secara terpadu berdasarkan atas asas-asas tertentu.”59 Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan sistem hukum sebagai “kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertip hukum. Asas-asas ini diperoleh melalui konstruksi yuridis, yaitu dengan menganalisa (mengolah data-data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat-sifatnya yang umum (kolektif) atau abstrak.”60 Hart, sebagaimana dikutip Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, menegaskan bahwa telah terdapat banyak perkembangan tentang teori hukum dari masa ke masa 55 Ibid., hlm. 11. Mariam Darus Badrulzaman-3, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung, PT Alumni, 1997, hlm. 15. 57 Tatang M. Amirin, Op. Cit., hlm. 3. 58 Tatang M. Amirin, Op. Cit. hlm. 24. 59 Mariam Darus Badrulzaman-3, Op. Cit., hlm. 15. 60 Ibid. hlm. 15. 56 29 yang positif, namun negatifnya perkembangan teori hukum tersebut tidak jarang menghasilkan ketidakjelasan tentang hukum itu sendiri, karena itulah diperlukan suatu pendekatan sistem dalam pengkajian dan pemahaman hukum.61 Lili Rasjidi dan I B Wyasa Putra menjelaskan bahwa pembahasan sistem hukum mengacu pada “cara pandang sistem terhadap masalah-masalah hukum sebagai bagian dari satu kesatuan permasalahan hukum yang besar…menurut konsep sistem masalah-masalah ini, baik yang berada pada kesatuan sistem yang besar ataupun merupakan masalah yang detail…, yang satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi.”62 Sistem hukum dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori, baik pada tataran hukum nasional atau sistem hukum nasional suatu negara tertentu maupun pada tataran global. Pada tataran hukum nasional misal dapat diklasifikasikan ke dalam sistem hukum privat dan sistem hukum publik. Sistem hukum privat sendiri dapat terdiri dari beberapa sistem hukum yang lebih kecil dan lebih kecil lagi. Dalam hukum privat misal terdapat sistem hukum perdata, sistem hukum perikatan, dan sistem hukum kontrak. Pada tataran global terdapat beberapa sistem hukum besar, seperti civil law, common law, hukum Islam. Beberapa negara dapat tergolong ke dalam satu atau gabungan dari lebih satu sistem hukum global tersebut. Pembahasan sistem hukum dapat juga dikaitkan dengan metode perbandingan hukum. Menurut K. Zweigert dan H. Kotz, sebagaimana dikutip Gunawan Widjaja, bahwa metode komparatif ini dapat dibedakan ke dalam dua macam, yaitu perbandingan mikro dan perbandingan makro. Perbandingan mikro ada apabila objek perbandingannya adalah berkaitan dengan “masalah atau lembaga hukum yang khusus, yaitu ketika ketentuan hukum tertentu digunakan untuk menyelesaikan masalah aktual atau konflik kepentingan tertentu,” sedangkan perbandingan makro ada apabila objek perbandingannya adalah “jiwa atau gaya dari sistem hukum yang berbeda, cara berpikir, dan presedur yang digunakan.”63Sedikit berbeda dan jumlahnya lebih banyak, klasifikasi yang dikemukakan oleh Michael Bogdan. 61 Lili Rasjidi dan I B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2003, hlm. 136. 62 Lili Rasjidi dan I B Wyasa Putra, Op. Cit., hlm. 201. 63 Gunawan Widjaja, Transplantasi Trusts dalam KUH Perdata, KUHD, dan UndangUndang Pasar Modal Indonesia, Jakarta, PT RadjaGrafindo Persada,2008, hlm. 48-49. 30 Menurut Michael Bogdan perbandingan hukum mikro membandingkan aturan dan lembaga hukum tertentu, meliputi kajian terhadap baik bahan hukum maupun bahan nonhukum. Sedangkan perbandingan hukum makro membandingkan antara atau antarsistem hukum secara umum atau lengkap, yang juga meliputi baik bahan hukum maupun bahan nonhukum.64 Michael Bogdan juga menambahkan bahwa perbandingan hukum dapat hanya berupa perbandingan hukum substantif (formal) yang dilakukan secara terbatas pada objek berupa ciri-ciri formal pada sistem hukum yang dibandingkan. Misal metode interpretasi peraturan perundang-undangan atau putusan hakim. Di samping itu, perbandingan hukum bilateral yang membandingkan hukum dua negara, serta perbandingan hukum multilateral yang membandingkan hukum banyak negara.65 Ditambahkannya bahwa dalam mempelajari hukum asing dari suatu negara tertentu, di samping sistem hukum perlu juga memahami konteks sosialnya, yang berkaitan dengan sistem-sistem yang lain, meliputi sistem ekonomi, sistem politik, sistem budaya dan agama sebagai bahan nonhukum.66 Pendapat lainnya dikemukan oleh Glendon, Gordon and Osakwe yang menyatakan bahwa meskipun ada dua pemikiran tentang pengkajian dan pemahaman perbandingan sistem hukum, yaitu perbandingan hukum substantif dan perbandingan hukum yang meliputi juga aspek prasarana hukum (“legal infrastructure”), ia memilih pendekatan yang kedua. Dalam hal ini dengan memasukkan juga dalam bukunya materi nonhukum sehingga meliputi “sejarah, budaya, penyebaran sistem, lembaga dan struktur hukum, peran dan pelaku, prosedur, dan klasifikasi dan sumber hukum.”67 b. Klasifikasi Hukum Privat dan Hukun Publik Pada awal perkembangannya tidak ada pemisahan antara hukum privat dan hukum publik dalam sistem hukum civil law. Semua hukum adalah satu, tergabung 64 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistim Hukum. Cet. Ke-1.Derta Sri Widowatie (Penerjemah) dan Nurainun Mangunsong (Penyunting), Jakarta, Penerbit Nusa Media, 2010, hlm. 62. 65 Ibid., hlm. 61-62. 66 Ibid., hlm. 55-56. 67 Mary Ann Glendon, Michael W. Gordon dan Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: In A Nutshell, ST. Paul, MN, West Publishing Company, 1991, hlm. 2-3. 31 semua ke dalamnya. Dengan demikian sama halnya dengan filsafat, pada waktu itu dalam hukum tidak dikenal adanya klasifikasi atau spesialisasi ke dalam bidang yang lebih khusus. Namun, kemudian seiring dengan perkembangan pemikiran tentang hukum muncul ide untuk mengadakan klasifikasi hukum ke dalam hukum privat dan hukum publik. Pencetus ide tersebut adalah Ulpianus pada masa Romawi. Ulpianus membagi hukum ke dalam hukum privat dan hukum publik. Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara rakyat Romawi satu sama lainnya, sedangkan hukum mengatur hubungan antara negara Romawi dengan rakyatnya.68 Yang pertama mengatur kepentingan perseorangan, sedangkan yang terakhir mengatur kepentingan publik. Jadi, dalam hal ini, yang menjadi patokan dalam penelitian adalah kepentingan, karena itu disebut teori kepentingan. Klasifikasi hukum privat dan hukum publik tersebut kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai negara dan belahan bumi yang lain, yang mengikuti sistem hukum civil law tersebut. Misal dari hukum Romawi menjalar ke hukum Perancis, dari hukum Perancis menjalar ke hukum Belanda, dan dari hukum Belanda menjalar ke hukum Indonesia. Pengaruh tersebut meski pun sudah klasik, hingga kini masih tampak, baik dalam teori maupun dalam praktik hukum. Dalam hal ini hukum privat dalam arti klasik tersebut dapat dipecah ke dalam hukum perdata, hukum dagang dan hukum perdata internasional, sedangkan hukum publik dipecah ke dalam hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan hukum internasional. Teori yang membagi hukum ke dalam hukum privat dan hukum publik tersebut disebut teori kepentingan. Dalam perkembangan kemudian, banyak juga para ahli dan praktisi hukum yang mempertanyakan ketepatan pembagian hukum klasik, ke dalam hukum privat dan hukum publik tersebut.69 Hal ini antara lain karena ada bidang hukum tertentu, yang tidak dapat dimasukkan seluruhnya ke dalam salah satu klasifikasi tersebut. Hal 68 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie het Nederlandse Recht), Oetarid Sadino (Penerjemah), Cet. Ke-22, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, hlm. 183. 69 Ada penulis yang menyatakan bahwa klasifikasi hukum privat dan hukum publik kental dengan pemikiran liberal Barat, dan pembagian demikian tidak memiliki dasar yang tetap untuk dapat dipercaya dan rumit, antara lain, karena mencerminkan preferensi politik tertentu terkait tingkatan dan kualitas campur tangan pemerintahan. Christine Chinkin, “A Critique of the Public/Private Dimension” EJIL, Vol. 10, No. 2, 1999, hlm. 389. 32 ini karena bidang hukum tersebut mengatur baik kepentingan privat, maupun kepentingan publik. Jadi, bersifat campuran, bahkan ada bidang hukum yang selain memiliki sifat campuran tersebut, juga memiliki karakter sendiri sehingga dapat berdiri sendiri di luar klasifikasi tersebut.70 Oleh karena adanya kesulitan teoritis maupun praktis, ada yang berpendapat dikhotomi hukum ke dalam hukum privat dan hukum publik demikian kini sudah tidak tepat. Sebagai solusinya, muncul alternatif lain yang mengadakan klasifikasi hukum tidak berdasarkan kepentingan yang diatur, tetapi berdasarkan fungsi hukum tertentu, yang disesuaikan dengan realitas praktik hukum masa kini.71 Klasifikasi demikian disebut pembagian fungsional. Dalam klasifikasi ini muncul, misal, hukum ekonomi, hukum pajak, hukum perburuhan dan ketenagakerjaan, hukum asuransi sosial, dan hukum penanaman modal. Hukum kontrak penanaman modal internasional juga dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi fungsional ini. Pembagian demikian tidak lagi didasarkan pada kepentingan apa yang diatur, karena dalam kenyataannya mencampur berbagai kepentingan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Khusus terhadap hukum kontrak penanaman modal internasional, karena ada kesulitan dalam menentukan pembagian berdasarkan teori kepentingan, yang dapat masuk ke dalam baik hukum privat maupun hukum publik, kemudian muncul teori subjek. Teori subjek berfokus pada penilaian tentang kedudukan negara/daerah dalam suatu transaksi penanaman modal internasional. Apabila negara/daerah bertindak dalam kapasitasnya sebagai permangku kepentingan komersial (jure gestiones), yang berlaku hukum privat. Sebaliknya, apabila negara/daerah bertindak dalam kapasitasnya sebagai pemangku kepentingan publik (jure empirii), yang berlaku hukum publik.72Pembagian demikian pun, yang 70 L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 190-191. Hal ini terutama penting dalam kontrak penanaman modal internasional, yang mengintegrasikan materi muatan hukum privat dan hukum publik dalam suatu sistem supaya dapat menyelesaikan pertentangan hak dan kepentingan dalam rejim hukum yang kompleks karena melibatkan pemangku kepentingan yang beragam. Julie A. Maupin “Public and Private in International Investment Law: An Integrated System Approach” Virginia J. Int’l L. Vol. 52. No. 2. 2014, hlm. 66. 72 Oyunchimeg Bordukh, Choice of Law in State Contracts in Economic Development SectorIs There Party Autonomy? Bond, Bond University Faculty of Law, 2008, hlm. 15. 71 33 terutama berkembang dalam hukum internasional belum dapat secara tuntas menentukan ke dalam klasifikasi mana hukum tersebut berada dalam dikhotomi hukum privat dan publik tersebut. Hal ini karena dalam realitas hukum kontrak penanaman modal internasional tidak hanya diatur oleh hukum kontrak domestik atau hukum perdata internasional sebagai hukum privat murni, tetapi juga diatur oleh hukum publik tentang administrasi/ tata negara dan hukum internasional. Dalam hukum Indonesia tentang kapasitas negara/daerah untuk mengadakan kontrak pengaturannya selain terdapat dalam hukum perdata, terutama diatur dalam hukum tata negara dan hukum administrasi. Demikian juga hukum yang berlaku dalam kontrak penanaman modal internasional tidak hanya bersumber pada hukum domestik, tetapi juga hukum transnasional/ internasional. Dengan hanya menggunakan pendekatan hukum privat semata tidak dapat menjawab secara utuh persoalan hukum tertentu yang rumit terkait kontrak penanaman modal internasional tersebut. Dalam hal ini diperlukan pendekatan sistem yang dapat menghubungkan berbagai hukum terkait sehingga dapat menjawab persoalan yang dibahas secara integratif. 2. Konsep Beberapa konsep kunci dijadikan pegangan dalam penulisan disertasi ini. Oleh karena bermaksud mencapai tujuan yang khusus, konsep-konsep operasional tersebut dibatasi ruang lingkup pengertiannya sebagai berikut. 1. Kontrak penanaman modal internasional adalah kontrak berisi tentang kegiatan penanaman modal lintas negara, yang salah satu pihaknya negara/daerah, dan tunduk pada asas dan kaidah hukum baik sebagai kontrak internasional, maupun kontrak negara/daerah.73 Dalam konsep ini penekanannya terletak pada kontrak, Sebagai perbandingan definisi lain adalah “contract concluded between a host state as a bearer of power and a foreign investor for a specific period and aimed to contribute into the economy of the state.” Karakter kontrak demikian adalah “regulate not only private law, but also public law relationships, so they are complex.”Valeriy Lisitsa, Siberia: Novosibirk National Research State University, Institute of Phylosophy and Law, Siberian Branch of Russian Academy of Sciences, 2004 hlm. 1. Sedangkan kontrak internasional memiliki ciri yang lebih umum, yaitu “kontrak yang memperlihatkan unsur-unsur asing” Sudargo Gautama-2, Ibid., hlm. 33. Definisi lainnya yang 73 34 bukan penanaman modal internasional, yaitu kontrak yang isinya tentang penanaman modal internasional. Jadi, penanaman modal internasional merupakan bidang kegiatan khusus yang menjadi isi kontrak dimaksud. Di Indonesia, pengertian penanaman modal internasional itu sendiri dapat merujuk definisi formal penanaman modal asing (PMA) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disingkat UUPM), yaitu “kegiatan menanamkan modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.” Yang tercakup ke dalam kontrak penanaman modal internasional di sini hanya penanaman modal asing yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri, dalam hal ini Provinsi Aceh.74 2. Provinsi Aceh sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 UUPA disebut juga Aceh adalah “provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Dalam disertasi ini, pengertian diterjemahkan secara agak bebas dari naskah berbahasa Inggris adalah suatu perjanjian, baik tertulis maupun lisan, antara perseorangan atau badan usaha di dalam negeri dan perseorangan atau badan usaha di negara lain, atau antara perseorangan atau perusahaan swasta dan pemerintah asing atau jajarannya, seperti badan usaha milik negara, namun tidak mencakup transaksi antarpemerintah, dengan beberapa pengecualian karena masuk ke dalam hubungan internasional yang diatur dalam hukum internasional publik. William F. Fox, Jr., International Commercial Agreement: A Primer on Drafting, Negotiating, and Resolving Disputes, Deventer, the Netherlands, Kluwer Law and Taxation Publishers, 1992 hlm. 47-48. UPICC membedakan kontrak internasional ke dalam kontrak komersial, yang berasumsi bahwa kedudukan pihak-pihak relatif seimbang, dan kontrak konsumen, yang berasumsi bahwa kedudukan pihak-pihak tidak seimbang. Contoh kontrak komersial adalah waralaba, sewa guna usaha, kerja sama, dan kerja konstruksi. Agus Yudha Hernoko-1, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta, LaksBang Mediatama dan Kantor Advokat Hufron & Hans Simaela, 2008, hlm. 5 dan 13. Istilah lain untuk kontrak komersial adalah kontrak bisnis, yang memiliki ciri bernilai kekayaan dengan tingkat harga yang besar. Hikmahanto Juawana-1, Dasar-Dasar Kontrak Bisnis: Pengertian, Jakarta, 2005, hlm. 4. 74 Istilah lain yang berdekatan dengan pengertian kontrak penanaman modal internasional adalah kontrak patungan internasional (international joint venture contracts), yang bercirikan muatan penanaman modal, kerumitan hukum, dan jangka waktu yang panjang, Ronald Charles Wolf, A Guide to International Joint Ventures with Sample Clauses, London, Kluwer Law International, 1995, hlm. 4-14. 35 Provinsi Aceh tersebut diperluas sehingga mencakup juga kontrak yang diadakan oleh Badan Usaha Milik Aceh (selanjutnya disingkat BUMA). Dalam hal ini Provinsi Aceh menjadi pihak dalam kontrak penanaman modal internasional, yang termasuk ke dalam pengertian baik kontrak internasional, maupun kontrak negara/daerah dalam arti luas.75 3. Pendekatan sistem adalah pengkajian lintas bidang hukum terhadap kontrak penanaman modal internasional, yang mengintegrasikan baik aspek hukum privat, maupun aspek hukum publik terkait secara bersamaan untuk dapat menjelaskan secara utuh pemasalahan hukum tertentu yang diajukan. 4. Keseimbangan adalah keadilan yang dalam hukum kontrak dapat dinilai berdasarkan asas yang mengarah pada keadilan, seperti tetapi tidak terbatas pada asas keseimbangan, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kewajaran dan kepatutan, dan asas proporsionalitas, yang abstrak dan luwes sehingga dapat ditapsirkan beragam dalam memenuhi kebutuhan khusus pada setiap kasus konkrit, mulai dari keseimbangan umum yang bersifat kuantitatif hingga keseimbangan khusus yang bersifat kualitatif, tergantung pada situasi dan kondisi yang melingkarinya. 5. Kapasitas adalah keabsahan kontrak yang didasarkan pada unsur kewenangan badan hukum publik sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional, yang dapat dinilai berdasarkan definisi, subjek, dan objek. 6. Perancangan adalah penyiapan atau perencanaan kontrak penanaman modal internasional, pada tahap sebelum naskah ditulis (tahap prakontrak) dan ketika naskah ditulis hingga ditandatangani oleh para pihak (tahap kontrak). E. Metode Penelitian 75 Dalam suatu kontrak negara atau daerah dalam arti yang luas terkandung baik kepentingan perseorangan (hukum perdata) maupun kepentingan umum (hukum publik), yang melindungi secara seimbang baik pihak lain selain negara/daerah maupun kekayaan publik terkait. Kontrak negara atau daerah ini dapat diklasifikasikan ke dalam kontrak pengadaan, yang pemerintah wajib melakukan pembayaran, dan kontrak nonpengadaan, yang seringkali memberi peluang kepada pemerintah untuk mendapatkan pendapatan. Kontrak penanaman modal masuk ke dalam klasifikasi kontrak nonpengadaan, Yohannes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Surabaya, LaksBang PRESSindo, 2009, hlm. 60. 36 Dalam penelitian ini digunakan terutama pendekatan penelitian hukum normatif (doctrinal legal research). Penelitian demikian tergolong ke dalam pengertian istilah yang lebih umum, karena digunakan lebih luas dalam berbagai ilmu pengetahuan, yaitu penelitian perpustakaan (library research). Dengan demikian, dapat juga disebut metode penelitian hukum perpustakaan (library legal research). Dalam penelitian hukum, perpustakaan memegang peranan yang utama, karena tempat dimana berbagai bahan hukum dapat diakses dengan mudah dan cepat. Perpustakaan menyimpan koleksi, baik bahan tercetak maupun bahan elektronik. Yang terakhir, sebagian dapat diakses secara online melalui Internet yang terhubung dengan berbagai jejaring dan pangkalan data. Pendekatan penelitian hukum normatif ini diperlukan untuk dapat menjawab tuntas terutama pokok permasalahan ke-1 dan ke-2 di atas. Penelitian hukum normatif terutama menggunakan data sekunder, yang dalam penelitian hukum secara khusus disebut bahan hukum. Bahan hukum ini dapat digolongkan ke dalam 3 (tiga) jenis, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer (primary legal materials) terdiri dari bahan hukum primer yang mengikat (mandatory primary legal materials), dan bahan hukum primer yang persuasif (persuasive primary legal materials).76 Di Indonesia, yang menganut sistem hukum Eropa kontinental (civil law), tepatnya Indonesian civil law, yang termasuk ke dalam subklasifikasi pertama adalah peraturan perundang-undangan dan traktat yang telah diratifikasikan serta kontrak yang telah ditandatangani. Sedangkan yang termasuk ke dalam subklasifikasi kedua adalah putusan pengadilan. Ke dalam kategori putusan pengadilan, dan putusan arbitrase internasional. Bahan hukum sekunder (secondary legal materials) membahas lebih lanjut atau memberikan ulasan, komentar atau penafsiran terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri atas karya tulis ahli hukum yang terdapat dalam berbagai buku, jurnal, laporan penelitian, dan lain-lain. Termasuk juga dalam 76 Amy E. Sloan, Basic Legal Research: Tools and Strategies, 2nd. Ed., New York, Aspen Publishers, 2003, hlm. 7 dan 8. 37 kategori ini adalah naskah akademik rancangan peraturan perundang-undangan dan naskah kontrak. Bahan hukum tersier (tertiery legal materials) dalam literatur penelitian hukum di negara maju sering dinamakan alat penelusuran (search tools). Bahan hukum tersier meliputi kamus hukum, ensiklopedi hukum, dan yang semacam itu. Sesuai dengan nama, digunakan untuk dapat lebih mudah dan cepat dalam menemukan dan/atau memahami bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Dalam memperoleh semua bahan hukum yang diperlukan, telah dimanfaatkan layanan perpustakaan, terutama yang ada di Banda Aceh. Di samping itu, juga digunakan akses Internet. Akses Internet dilakukan terutama melalui yahoo.com dan google scholars. Salah satu database yang paling sering dikunjungi dalam rangka penelitian ini adalah Free Full-Text Online Law Review/Journal Search. Sebagai tambahan atau pendukung, dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan penelitian hukum emperik atau penelitian hukum sosiologis (sociolegal research).77 Pendekatan penelitian ini dalam berbagai ilmu pengetahuan disebut juga sebagai penelitian lapangan (field research). Dengan demikian dapat dinamakan juga penelitian hukum lapangan (field legal research). Pendekatan penelitian hukum lapangan ini diperlukan terutama untuk dapat menjawab pokok permasalahan ke-3 di atas. Perolehan data lapangan, terutama dalam rangka pendekatan penelitian hukum sosiologis, didapatkan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan dengan beberapa narasumber terkait dalam rangka perolehan data primer untuk menjawab pokok permasalahan ketiga disertasi ini. Mereka yang dipilih sebagai narasumber tersebut meliputi sebagai berikut. 1. Pimpinan dan staf terkait pada Biro Hukum, Sekretariat Daerah Aceh. 2. Pimpinan dan staf terkait pada Biro Perekonomian, Sekretariat Daerah Aceh. 77 Metode penelitian hukum sosiologis dapat digunakan bersamaan dengan penelitian hukum normatif melalui pendekatan gabungan, yang tingkat kepentingannya tergantung pada pertanyaan penelitian tertentu yang perlu dijawab oleh peneliti. Sunaryati Hartono-3, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Bandung, PT Alumni, 2006, hlm. 48. 38 3. Pimpinan dan staf terkait pada dinas yang memiliki tugas dan fungsi tentang penanaman modal internasional, Sekretariat Daerah Aceh. 4. Pimpinan dan/atau staf terkait pada Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM), Sekretariat Daerah Aceh. 5. Pimpinan dan staf terkait pada Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) yang mengadakan kontrak penanaman modal internasional. 6. Negosiator penghubung perusahaan penanam modal internasional yang menjadi pihak dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh Semua bahan hukum dan data lapangan yang terkumpul setelah dipilahpilahkan berdasarkan klasifikasi topik masing-masing permasalahan hukum/pertanyaan penelitian yang diajukan, kemudian dianalisis. Analisis bahanbahan hukum dilakukan dengan memberikan intepretasi terhadap isi, menurut caracara yang digunakan dalam penalaran hukum (legal reasoning/legal methods), sebagaimana lazimnya dalam ilmu dan praktik hukum. Sedangkan data lapangan dalam penelitian hukum sosiologis dianalisis secara kualitatif. Bahan hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dalam berbagai tingkatannya, dianalisis berdasarkan arti kata (plain meaning), atau bukti luar yang menunjukkan maksud pembuat undang-undang (dalam arti luas), dengan mempelajari sejarah peraturan perundang-undangan dimaksud.78 Bahan hukum berupa naskah kontrak dianalisis isi klausula terkait dengan mengadakan penilaian secara preskriptif mengacu pada asas dan kaidah hukum kontrak penanaman modal internasional yang ada. Sedangkan bahan hukum primer dalam bentuk kasus, akan dianalisis dengan melakukan analogi (reasoning by analogy), yaitu membandingkan kasus-kasus yang ada untuk menarik analogi, untuk melihat tingkat persamaan dan perbedaannya 79Apabila kasus tertentu ingin dijadikan dasar hukum perlu ditekankan pada adanya persamaan, sedangkan apabila kasus tertentu ingin diabaikan perlu ditekankan pada adanya perbedaaan.80Jadi, dalam analisis kasus, yang dilakukan adalah mencari persamaan (analogy) atau perbedaan (distinction) diantara kasus 78 Helene S. Shapo, Marilyn R. Walter and Elizabeth Fajans, Writing and Analysis in the Law, Revised 4th. Ed. New York, Foundation Press, 2003, hlm. 72-77. 79 Ibid., hlm. 40-41. 80 Ibid., hlm. 40-41. 39 yang dibandingkan.81Apabila pada analisis peraturan perundang-undangan menggunakan metode deduktif, pada analisis kasus menggunakan metode induktif.82 Dalam hal belum terdapat ketentuan hukum yang jelas, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan, menggunakan analisis konsep kontrak, hukum,83 maupun yaitu putusan dengan hakim, mencari peneliti dan/atau mengembangkan sendiri konsep hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan bersandar pada peraturan perundang-undangan, kontrak, kasus, dan doktrin yang ada, meskipun seringkali masih bersifat umum.84 Selain analisis konsep hukum, dalam hal-hal yang diperlukan diperkaya dengan analisis sejarah hukum dan analisis perbandingan hukum.85Analisis perbandingan hukum terutama penting dalam membahas hal tertentu dengan cara mengemukakan persamaan dan perbedaannya, serta faktor yang melatarbelakanginya.86 Selain kerangka konsep yang diperluas dengan bahan kepustakaan yang melengkapinya, yang pada umumnya dapat dikelompokkan ke dalam bahan hukum sekunder dan bahan nonhukum, dalam disertasi ini juga digunakan bahan hukum lain sebagai alat analisis yang khusus dan lebih operasional sifatnya. Bahan hukum dimaksud, terdiri dari bahan hukum primer berupa traktat dan hukum lunak (soft law) pada tingkat internasional, peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, kontrak penanaman modal internasional, dan putusan pengadilan dan arbitrase internasional. Bahan hukum primer tersebut ada yang mengikat (traktat yang telah diratifikasikan, peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, dan kontrak yang telah ditandatangani), dan ada pula yang persuasif (sumber hukum transnasional, naskah kontrak yang belum ditandatangani, putusan pengadilan, dan putusan arbitrase internasional). 81 John C. Dernbach and Richard V. Singleton II, A Practical Guide to Legal Writing and Legal Methods, Colorado, Fred B. Rothman & Co., 1981, hlm. 57. 82 Ibid, hlm. 57. 83 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Edisi Pertama, Cetakan Ke- 1, Jakarta, Prenada Media, 2005, hlm. 132-136. 84 Ibid.. hlm. 132-136. 85 Ibid., hlm. 126 dan 132. 86 Michael Salter and Julie Mason, Writing Law Dissertations: An Introduction and Guide to the Conduct of Legal Research, Harlow, England, 2007, hlm. 183. 40 Dokumen kontrak penanaman modal internasional yang digunakan terutama meliputi sebagai berikut. 1. Memorandum of Agreement (MoA) between Aceh Province and Vogo Blessing Co. Ltd., South Korea, 2007. 2. Joint Development and Technical Assistance Agreement between Aceh Plantation Authority (APDA), Aceh Province and Federal Law Development Authority (FELDA), Malaysia, 2008. 3. Cooperation Agreement between Aceh Province and SFM South East Asia PTE, LTD, Singapore, 2008. 4. Ulu Masen Ecosystem Project Agreement between Aceh Province and Carbon Conservation Pte., Ltd., Singapore, 2008. 5. Joint Venture Agreement between Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA) and Utopia In Network Co. Ltd., South Korea, 2013. 6. Memorandum of Agreement between Aceh Province and Floresta Holding PTE LTD, United Kingdom, 2014. Kontrak penanaman modal internasional merupakan bidang hukum yang kompleks tercermin dari keragaman bahan hukum dan nonhukum yang digunakan. Untuk dapat menjawab semua permasalahan hukum yang diajukan secara utuh, diperlukan pendekatan sistem hukum. Hanya dengan pendekatan sistem hukum, persoalan hukum terkait kontrak penanaman modal internasional yang kompleks tersebut dapat diberikan jawabannya secara tepat dan jelas. 41 BAB II KESEIMBANGAN, KAPASITAS, DAN PERANCANGAN KONTRAK PENANAMAN MODAL INTERNASIONAL PROVINSI ACEH A. Keseimbangan Asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak berlaku sama kepada para pihak dan tujuan kepastian hukum merupakan keinginan bersama, namun dalam praktik dapat lebih menguntungkan pihak tertentu.87 Dalam kontrak penanaman modal internasional seringkali lebih menguntungkan pihak penanam modal internasional daripada negara/daerah penerima modal. Hal ini karena isi keseluruhan atau klausula tertentu dalam kontrak tersebut lebih menguntungkan penanam modal internasional. Dengan demikian terdapat ketidakseimbangan dalam pembagian beban dan manfaat. Penanam modal internasional pada umumnya memiliki kepentingan yang lebih besar terhadap penjabaran asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak. Dengan kata lain, penanam modal internasional memiliki kepentingan yang lebih besar dalam pencapaian tujuan kepastian hukum, tepatnya kepastian kontrak. Supaya seimbang diperlukan penjabaran asas yang mengarah pada keadilan. Dengan demikian pencapaian tujuan kepastian hukum diimbangi dengan pencapaian tujuan keadilan sekaligus. Hal ini penting mengingat selama ini banyak 87 Tahee Ahn, Application of Pacta Sunt Servanda to State Contracts between Investors and Host States and Its Implication for International Investment Regime , 2013, hlm. 24. Available at: http://works.bepress.com/taehee_ahn/2 42 negara berkembang merasakan bahwa ketentuan kontrak yang ada lebih menguntungkan penanam modal internasional yang berasal dari negara maju.88 Banyak standar yang dapat digunakan untuk menilai keseimbangan kontrak. Dalam hal ini dapat digunakan satu atau beberapa asas yang mengarah pada keadilan. Asas tersebut meliputi, tetapi tidak terbatas pada, asas keseimbangan, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kepatutan dan keadilan, dan asas proporsionalitas. Asas yang mengarah pada keseimbangan, dengan berbagai sebutan, tergantung pada sistem hukum yang berlaku di negara tertentu, menjadi dasar dalam perumusan kaidah hukum. Perumusan kaidah hukum, yang paling penting terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian asas yang bersifat abstrak menjadi kaidah yang bersifat konkrit sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Pengertian dan/atau perumusan asas dan kaidah tidak selalu harus sama persis.. Hal ini karena masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Jadi, yang satu sebagai dasar, di hulu, sedangkan yang lain sebagai tindak lanjut, di hilir. Dengan kata lain, asas berada di pangkal, sedangkan kaidah berada di ujung. Yang pertama bersifat umum dan fleksibel, sedangkan yang lain bersifat khusus dan ketat. Diantara keduanya saling terhubung membentuk sistem hukum yang terintegrasi. Sebagai asas tidak perlu harus terlalu konkrit karena apabila demikian akan menghilangkan sifatnya sebagai asas. Berbeda halnya dengan kaidah, yang memang perlu dirumuskan konkrit untuk dapat menjadi pegangan operasional dalam penerapannya. Oleh karena itu, penjabaran asas ke dalam kaidah peraturan perundang-undangan dapat bervariasi, tergantung banyak faktor, antara lain politik hukum negara/daerah pada suatu masa tertentu. Sedangkan asas, tetap bertahan sebagaimana adanya, yang memungkinkannya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam PP Migas Aceh, yang mengatur kontrak kerja sama bidang minyak dan gas di Provinsi Aceh, telah dirumuskan penjabaran asas yang mengarah pada keadilan. Perumusannya, antara lain, dengan menetapkan standar minimum. Standar Juian Cardenas Garcia, “Rebalancing Oil Contracts in Venezuela,” Houston Journal of International Law, Vol. 32, No. 2, 2011, hlm. 237 dan 300. 88 43 minimum tersebut harus dipenuhi para pihak supaya dapat mencapai tujuan keadilan. Hal ini penting karena apabila standar minimum tersebut tidak ada, pihak terkait di lapangan dapat mengabaikan aspek keseimbangan kontrak, sebagaimana banyak terjadi di negara berkembang, terutama pada masa lalu. Kontrak penanaman modal internasional generasi lama cenderung merugikan negara/daerah penerima modal.89 Pengaturan dalam PP Migas Aceh tentang syarat minimum bagian operatif kontrak penanaman modal internasional termuat terutama dalam Pasal 43. Dalam Pasal 43 PP Migas Aceh disebutkan daftar klausula yang harus ada, sebagai persyaratan minimum isi kontrak kerja sama migas Aceh. Daftar tersebut meliputi, antara lain, kewajiban pemosokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, kewajiban pascaeksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan lingkungan hidup, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat, dan pengutamaan pengunaan tenaga kerja Indonesia. Berikut ini kembali dibahas tentang penjabaran asas yang mengarah pada keadilan dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh. Pembahasan asas yang mengarah pada keadilan diperlukan untuk mengetahui tingkat keseimbangan kontrak. Pembahasan dimulai dengan asas keseimbangan dan diakhiri dengan asas proporsionalitas. Semua asas tersebut walaupun berbeda nama, tetapi pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama, yaitu keseimbangan atau keadilan kontrak. Pertama, asas keseimbangan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa asas keseimbangan, dalam arti sempit, lebih mementingkan pencapaian tujuan keadilan substantif. Di sini yang dilihat adalah produk atau hasil dari keberadaan kontrak tersebut kepada para pihak. Asas keseimbangan dalam pengertian demikian menginginkan bahwa kontrak tersebut dapat memberikan keseimbangan produk atau hasil bagi kedua belah pihak.90Dalam hal ini keseimbangan diartikan sama dengan pengertian keseimbangan pada umumnya. 89 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya: Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, Cer-1, Malang: Setara Press, 2013, hlm. 7-8. 90 Agus Yudha Hernoko-2, “Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Bisnis (Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan)’ dalam Moch. Isnaini, Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia, Cet. Ke-1, Yogyakarta, Laksbang Grafika, 2013, hlm. 47-48. 44 Salah seorang yang mendefinisikan keseimbangan adalah John Sinclair et al. Menurut John Sinclair et al, keseimbangan ada ketika beberapa pengaruh atau aspek yang ada berada dalam situasi yang sama sehingga tidak ada yang lebih penting dari yang lain.91 Dengan kata lain, keseimbangan itu ada ketika kedua pengaruh dan aspek tersebut sama pentingnya. Keseimbangan dapat diukur secara kuantitatif. Artinya, perhitungannya dilakukan dengan melihat ada tidaknya kesamaan jumlah produk atau hasil dari adanya kontrak penanaman modal internasional tersebut. Apabila sama berarti seimbang, dan apabila berbeda berarti tidak seimbang. Yang dimaksud dengan produk atau hasil di sini, termasuk hak dan kewajiban yang diatur dalam kontrak. Apabila digunakan asas keseimbangan kuantitatif sebagai alat untuk menilai, pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh belum seimbang. Hal ini karena pada kenyataannya secara keseluruhannya, kontrak tersebut lebih lebih banyak mengatur kepentingan penanam modal internasional daripada mengatur kepentingan daerah. Asas keseimbangan menginginkan agar kedua pihak dalam kontrak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengisi halaman-halaman kontrak dengan pengaturan kepentingannya untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pihak lain, dalam hal ini negara/daerah. Berdasarkan asas keseimbangan pembagian jumlah klausula kontrak masing-masingnya idealnya setengah-setengah (50%:50%). Dengan demikian kedua belah pihak mendapat perlindungan yang sama dari sisi jumlahnya. Tidak boleh ada pihak yang lebih diutamakan penampungan kepentingannya. Oleh karena naskah awalnya dibuat oleh penanam modal internasional, yang mendapatkan perlindungan dalam kontrak adalah pembuat naskah tersebut. Perancang kontrak, dalam hal ini terutama memenuhi kepentingan kliennya, yaitu penanam modal internasional. Perancang kontrak terutama tentunya bertugas memenuhi keinginan atau instruksi dari klien tersebut. Hal demikian sebenarnya sudah tampak sejak sebelum kontrak tersebut ditelaah, yang dapat dilihat dari 91 John Sinclear et al., Collins Cobulid English Language Dictionary, London, Collins, 1990, hlm. 475. 45 terminologi hukum yang digunakan, dan jenis atau sifat klausula yang diatur. Meskipun begitu, kenyataan adanya ketidakseimbangan demikian belum cukup menjadi alasan untuk meminta pembatalan atau adaptasi kontrak yang telah ditandatangani para pihak atas dasar asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak tersebut. Hukum Uni Eropa misal menetapkan bahwa untuk dapat meminta pembatalan dan adaptasi kontrak yang tidak seimbang diperlukan penilaian lebih lanjut. Dalam hal ini perlu diukur tingkat ketidakseimbangan tersebut apakah kecil atau biasa saja, atau sudah besar atau penting. Supaya dapat meminta pembatalan atau adaptasi kontrak harus ada sifat ekspoitatif dari kontrak tersebut.92 Dalam hal ini pihak yang satu mendapatkan perlindungan atau keuntungan yang besar dengan mengekspoitasi secara tidak adil kelemahan pihak yang lain. Apabila kontrak yang tidak seimbang tersebut belum bersifat eksploitatif berarti belum cukup alasan untuk meminta pembatalan atau adaptasi kontrak tersebut. UPICC juga mengatur tentang perlunya sifat eksploitatif dalam menentukan dapat tidaknya suatu kontrak yang telah ditandatangani dibatalkan atau diadaptasi atas dasar ketidakseimbangan, meskipun dengan istilah yang berbeda dengan dalam hukum kontrak Uni Eropa tersebut. Istilah yang digunakan UPICC adalah perbedaan besar (gross disparity). Menurut UPICC perbedaan besar dalam kontrak ada ketika keseluruhan kontrak atau klausula tertentu dalam suatu kontrak memberikan keuntungan yang besar kepada pihak lain, secara yang tidak dapat dibenarkan. Hanya apabila persyaratan demikian terpenuhi, hakim/arbiter, atas permohonan pihak yang merasa dirugikan, dapat mengadaptasi keseluruhan isi atau klausula kontrak tertentu untuk menyesuaikan dengan standar transaksi bisnis internasional yang patut dan adil.93 Dalam hal ini ukuran yang digunakan bukan bersifat kuantitatif, tetapi kualitatif. 92 Caroline Cauffmann, The Principle of Proportionality and European Contract Law, Maastrich European Private Law Institute working Paper No. 2013/5, Maastrich University, Available at https//ssm.com/abstract=2204984, hlm. 8. 93 Pasal 3.10 ayat (1) UPICC menetapkan bahwa “a party may avoid the contract or individual term of it unjustifiably gave the other party an excessive advantage...” 46 Kedua, asas itikad baik. Sama halnya dengan asas keseimbangan, asas itikad baik merupakan asas umum yang abstrak. Untuk itu, dapat ditapsirkan bermacammacam sehingga merugikan kepastian kontrak. Meskipun demikian, keluwesan asas itikad baik berguna dalam membatasi pengunaan asas otonomi para pihak dan asas perikatan kontrak yang berlebihan atau melampaui batas, untuk memberikan keadilan kepada para pihak. Dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh ditemukan beberapa klausula yang bermaksud menjabarkan asas itikad baik ini. Ketentuan tersebut misal terdapat dalam pasal ketentuan umum pada salah satu kontrak, yang menetapkan bahwa “Pihak I (Pertama) dan Pihak II (Kedua) bersama-sama berkoordinasi degan pihak terkait lainnya sesuai dengan fungsi masing-masing pihak.”94 Ketentuan dengan maksud yang sama misal ditentukan bahwa “ 1. Tugas dan kewajiban Pihak I (Pertama) sebagai fasilitator dan regulator a. Menciptakan iklim kerja sama yang kondusif begi Pihak II (kedua) yang dalam hal ini adalah sebagai investor, developer dan operator, ... f. Menyiapkan segala bentuk informasi yang berkaitan dengan kegiatan.95 Hal yang sama tentang kewajiban pihak pertama diterapkan dalam isi kontrak sebagai berikut: “wajib menjalin kerja sama yang konstruktif bagi PIHAK KEDUA dalam hal pelaksanaan kegiatan pembangunan Proyek ini.”96 Penjabaran serupa juga dapat dilihat dalam klausula penyelesaian sengketa berikut ini: “ Perselisihan yang mungkin timbul dari Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat oleh para pihak.”97 Kadang-kadang sebagai ganti kata itikad baik digunakan istilah lain dengan maksud yang sama, seperti keadilan. Pengertian keadilan lebih umum atau lebih abstrak daripada istilah itikad baik tersebut. Misal ditentukan bahwa perjanjian 94 Pasal I angka 5 Naskah Memorandum of Agreement (MoA) between Aceh Province and Vogo Blessing Co. Ltd., South Korea, 2007. 95 Pasal III angka 1 Ibid. 96 Pasal 5 angka 1 Joint Venture Agreement between Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA) and Utopia In Network Co. Ltd., South Korea, 2013. 97 Pasal 6 ayat (1) Memorandum of Understanding between Aceh Province Floresta Holding PTE Ltd, United Kingdom, 2014. 47 dilaksanakan berdasarkan prinsip keadilan untuk para pihak dan pemangku kepentingan lain. Keadilan tersebut antara lain baik dalam hal pembagian keuntungan/bagi hasil, maupun dalam bentuk dampak positif kegiatan kerja sama tersebut untuk kemanfaatan masyarakat, seperti perubahan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan menjadi lebih kondusif dan baik.98 Keadilan merupakan istilah yang lebih abstrak yang dapat menjadi sandaran dan tujuan akhir keberadaan asas itikad baik. Secara umum kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh sudah sejalan dengan asas itikad baik, yang memiliki makna yang umum dan abstrak tersebut. Meskipun kata yang digunakan dalam berbagai klausula yang mengaturnya beragam, tetapi dapat memberikan petunjuk atau ditapsirkan sebagai bagian dari pengertian itikad baik tersebut. Ketiga, asas ketidakadilan. Asas ketidakadilan perlu diberi makna positif, yang berarti larangan praktik yang tidak adil atau tidak berkeadilan. Dalam hal ini perlu diukur berdasarkan asas ketidakadilan apakah dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh pengaturan hak dan kewajiban para pihak sudah seimbang atau belum. Berbeda dengan asas keseimbangan, asas ketidakadilan menetapkan kriteria yang berbeda dengan asas keseimbangan dalam arti sempit di atas, yang mengunakan ukuran kuantitatif berdasarkan kesamaan jumlah. Namun, menggunakan kriterium kualitaif berdasarkan tingkatan atau derjat ketidakseimbangan. Untuk dapat dikatakan bahwa pengaturan hak dan kewajiban para pihak tidak seimbang secara substantif, kontrak tersebut perlu memiliki isi yang terlalu memihak sebelah atau memihak pada salah satu pihak secara sangat berlebihan. Dengan demikian ketidakseimbangan biasa atau kecil belum dapat dikategorikan sebagai adanya ketidakadilan. 98 Pasal 1 dan 2 Schedule 1 Ulu Masen Ecosystem Project Agreement between Aceh Province and Carbon Conservationa Pte., Ltd., Singapore, 2008 “The parties will strive to uphold the following principles in all of their activities in relation to the Project and will encourage their partners, employees, officers and agents to do the same: ...(d) an equitable sharing of benefit in respons to risk and loss shared by different interests affected by the project including community, environment, and commercial” 48 Untuk adanya ketidakadilan pengaturan hak dan kewajiban para pihak perlu menunjukkan ketidakseimbangan yang luar biasa. Dalam arti manusia normal pada umumnya tidak menginginkan pengaturan hak dan kewajiban dengan standar demikian, yang diukur pada saat ketika kontrak tersebut mengikat. Dengan demikian ukurannya seperti yang dimaksudkan oleh hukum Uni Eropa dengan eksploitatif kontrak atau yang dimaksudkan UPICC dengan ketimpangan besar. Kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh tidak mengatur hak dan kewajiban yang memiliki sifat ekspoitatif atau dengan ketimpangan yang besar. Oleh karena itu, seimbang dinilai berdasarkan asas ketidakadilan tersebut. Dengan demikian tidak cukup alasan bagi hakim/arbiter untuk menolak pelaksanaan keseluruhan isi kontrak atau menolak pelaksanaan klausula yang mengandung unsur ketidakadilan tersebut, tetapi melaksanakan klausula yang lain, atau membatasi pelaksanaan klausula yang tidak adil untuk mencegah perolehan hasil yang tidak adil. Keempat, asas kewajaran dan kepatutan. Asas kewajaran dan kepatutan berbeda dengan asas itikad baik dalam hal keluasan pengertiannya. Apabila asas itikad baik meliputi kejujuran dalam pikiran dan perasaan yang bersifat subjektif dan juga kejujuran dalam tindakan atau perbuatan yang bersifat objektif. Asas kewajaran dan kepatutan membatasi pengertiannya pada kejujuran dalam arti tindakan atau perbuatan saja. Dengan demikian menggunakan ukuran yang objektif sehingga lebih mudah bagi hakim/arbiter dalam menilai. Asas kewajaran dan kepatutan dapat digunakan dalam mengukur apakah terdapat pengaturan hak dan kewajiban para pihak yang seimbang dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh atau tidak. Dalam hal ini berbeda dengan asas keseimbangan dalam arti sempit yang hanya menggunakan ukuran kuantitatif dengan melihat hasil atau produknya. Asas kewajaran dan kepatutan sesuai namanya menggunakan ukuran kualitatif. Artinya meskipun tidak seimbang secara kuantitatif, tetapi sudah seimbang berdasarkan asas kewajaran dan kepatutan. Hal ini berlaku juga untuk kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh, bahwa meskipun secara kuantitatif isi 49 kontrak lebih banyak menampung kepentingan penanam modal internasional, tetapi secara kualitif masih seimbang berdasarkan asas kepatutan dan keadilan. Dalam hukum Belanda penggunaan asas kewajaran dan kepatutan sudah ada sejak sebelum diundangkannya NBW, yang didasarkan pada hukum tidak tertulis. Dalam yurisprudensi di Belanda asas kewajaran dan kepatutan pada awalnya ditapsirkan luas, meskipun kini semakin dibatasi dengan peraturan perundangundangan. Sebelumnya dalam menerapkan asas kewajaran dan kepatutan ini dapat diukur, antara lain, hubungan kerja sama yang saling menguntungkan diantara para pihak, status sosial para pihak, sifat dan isi klausula hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak, proses terbentuknya klausula kontrak, implikasi dari klausula kontrak, dan tingkat kejelasan implikasi tersebut kepada pihak lain.99 Kelima, asas proporsionalitas. Cara lain mengukur keseimbangan kontrak adalah dengan menggunakan asas proporsionalitas. Dalam hal ini terdapat perbedaan pengertian antara asas proporsionalitas yang berlaku ada dalam yurisprudensi hukum kontrak Uni Eropa yang bersandar pada asas proporsionalitas dalam hukum Jerman dan hukum internasional. Dalam hukum Uni Eropa, pengukuran keseimbangan kontrak berdasarkan asas proporsionalitas ini telah jelas ukurannya. Dalam hal ini dengan mengukur keseuian antara alat dan tujuan. Alat yang digunakan tidak boleh berakibat negatif yang berlebihan kepada pihak lain. Artinya alat yang digunakan harus yang cocok dan perlu saja. Di sini yang ditekankan adalah “berlebihan.” Kalau berakibat negatif yang berlebihan kepada pihak lain berarti bertentangan dengan asas proporsionalitas. Dalam kontrak penanaman modal internasional pengertian alat dapat disamakan dengan klausula yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan pengertian tujuan adalah tujuan transaksi bisnis internasional itu sendiri, yaitu memberikan laba atau keutungan lain kepada para pihak. Pengaturan klausula tersebut tidak boleh berakibat negatif yang berlebihan kepada salah satu pihak. Alat, dalam hal ini, klausula hak dan kewajiban, yang ada dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh meskipun lebih banyak mengatur perlindungan 99 Jaap Hijma dan Henk Snijders, the Netherlands New Civil Code, Jakarta, National Law Reform Program, 2010, hlm. 7. 50 penanam modal internasional, tetapi belum berlebihan sehingga tidak bertentangan dengan asas proporsionalitas tersebut. Dalam hukum Indonesia, asas proporsionalitas ditemukan dalam doktrin. Dalam hal ini dikaitkan dengan tujuan keadilan, tepatnya keadilan berkontrak. Dalam hal ini pemahamannya perlu dikaitkan secara filosofis dengan pengertian keadilan. Menurut Aristoteles keadilan meliputi perlakuan sama terhadap hal yang sama, dan perlakuan berbeda terhadap hal yang berbeda, sesuai proporsi ketidaksamaanya.100 Berbeda dengan asas keseimbangan, yang menggunakan ukuran kuantitatif untuk mengukur hasil atau produk, asas proporsionalitas menggunakan ukuran yang kualitatif untuk mengukur proses. Yang dipentingkan dalam asas proporsionalitas bahwa proses yang dilakukan sudah benar, tanpa perlu melihat hasilnya. Apabila prosesnya sudah benar bearti sudah sesuai dengan asas proporsionalitas, walaupun hasilnya berbeda. Hasilnya tidak seimbang tidak apa, asalkan prosesnya sudah tepat. Dengan demikian di sini yang dipentingkan adalah keadilan prosedural, bukan keadilan substantif. Apabila keadilan prosedural sudah terpenuhi otomatis diasumsikan sudah seimbang berdasarkan asas proporsionalitas tersebut. Pengertian proses disini meliputi, antara lain, pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak. Dalam hal ini pengaturan hak dan kewajiban tersebut tidak perlu sama secara kuantitif, asalkan secara kualitatif sudah proporsional. Proporsional di sini adalah sesuai dengan kontribusi, prestasi, beban risiko, atau hak masing-masing. Atas dasar itu diketahui bahwa pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh sudah sesuai dengan asas proporsionalitas. Dengan demikian ketidaksamaan kuantitaif dapat dibenarkan asalkan proporsional, yaitu sesuai dengan peran masing-masing tersebut. Keseimbangan kontrak dapat juga dilihat melalui analisis sifat klausula kontrak penanaman modal internasional. Dalam hal ini dibandingkan isi antara klausula yang menguntungkan penanam modal internasional dan klausula yang “Justice consists of treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality” Agus Yudha Hernoko-2, Op. Cit., hlm. 42. 100 51 meguntungkan daerah. Perbandingan demikian menunjukkan tentang ada tidaknya kecenderungan keberpihakan isi kontrak kepada pihak tertentu. Keberadaan keberpihakan saja atau adanya ketidakseimbangan isi kontrak tertentu atau secara keseluruhannya saja belum cukup untuk menyatakan bahwa kontrak tersebut secara otomatis dapat dibatalkan atau diadaptasikan isinya, karena masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi. Hal demikian antara lain diatur dalam hukum kontrak Uni Eropa.101 Untuk itu, perlu dinilai lebih lanjut tingkatan ketidakseimbangan tersebut apakah tergolong kecil atau belum berarti, atau sudah tergolong besar sehingga memiliki arti penting bagi pihak yang dirugikan. Dalam hal ini isi kontrak tersebut supaya dapat dimintakan pembatalan atau adaptasi isinya harus memiliki klausula yang bersifat ekspoitatif. Artinya, pihak yang satu mendapatkan perlindungan/keuntungan yang besar dengan mengekspoitasi secara tidak adil kelemahan pihak yang lain. Apabila keseluruhan atau ketentuan tertentu dalam isi kontrak tidak bersifat ekspoitatif demikian berarti belum cukup alasan untuk dapat memintakan pembatalan atau adaptasi berdasarkan asas yang mengacu pada keseimbangan. Berkenaan dengan adanya persyaratan tentang keberadaan ekspoitasi tersebut, pengaturannya juga terdapat dalam sumber hukum kontrak internasional lain, misal UPICC. Istilah yang digunakan UPICC adalah perbedaan besar (gross disparity). Menurut UPICC perbedaan besar tersebut ada apabila keseluruhan kontrak atau klausula kontrak tertentu secara tidak dapat dibenarkan memberikan keuntungan yang berlebihan kepada pihak lain.102 Apabila persyaratan demikian terpenuhi, atas dasar permohonan pihak yang dirugikan, pengadilan atau arbitrase dapat mengadaptasi isi keseluruhan atau klausula kontrak tertentu tersebut untuk menyesuaikannya dengan standar bisnis yang wajar dan patut. Berikut ini diuraikan secara berurutan klausula yang saling menguntungkan, klausula yang menguntungkan penanam modal internasional, dan klausula yang menguntungkan negara/daerah, dalam kontrak penananaman modal internasional Provinsi Aceh. Apabila dibandingkan klausula yang satu dengan klausula yang lain 101 Caroline Cauffman, Op. Cit., hlm. 8. Pasal 3.10 ayat (1) UPICC menetapkan bahwa “A party may avoid the contract or individual term of it...unjustifiably gave the other party an excessive advantage...” 102 52 atau semua klausula dibandingkan secara keseluruhannya dapat memberikan indikasi tentang ada tidaknya keberpihakan kontrak kepada pihak tertentu, berdasarkan asas yang mengarah pada keadilan sebagaimana diuraikan di atas. Keberadaan klausula tersebut tercantum dalam kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, sebagaimana dimuat pada Bab I E. Metode Penelitian. Beberapa kontrak yang dijadikan sampel tersebut merupakan kontrak yang menampung pengaturan transaksi bisnis internasional dengan nilai transaksi yang besar, karena itu memiliki risiko yang besar pula. Khusus terhadap transaksi bisnis penanaman modal internasional yang kompleks, pengaturan dalam satu kontrak saja belum cukup. Oleh karena itu, disamping kontrak induk termasuk lampirannya, masih terdapat kontrak turunan. Jumlah kontrak turunan ini tergantung pada kebutuhan dan seringkali sudah ditentukan terlebih dahulu dalam klausula definisi dan/atau kaidah penunjuk kontrak induk. Dengan demikian antara kontrak induk dan kontrak turunan merupakan suatu totalitas, yang terdiri atas bagian-bagian yang yang terintegrasi.103 Dengan demikian pengaturan hak dan kewajiban para pihak diarahkan untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan yang sama. Kontrak Ulu Masen Ecosystem Project Agreement antara Provinsi Aceh dan Carbon Conservation Pte., Ltd., Singapore, merupakan kontrak induk, Di samping itu, masih terdapat lampiran, dan beberapa kontrak turunan. Dengan demikian pengaturan hak dan kewajiban para pihak di samping diatur kontrak induk, kemudian dijabarkan lebih jelas dan lengkap dalam lampiran dan kontrak turunan tersebut. Lampiran dan sublampiran yang menyertai kontrak induk meliputi Lampiran I: Desain Proyek dan Implementasi (Schedule I: Project Desain and Implementation), Lampiran II: Terminologi Lain (Schedule II: Other Terms), dan Sublampiran A dari Lampiran II (Annexture A to Schedule II), Lampiran III: Biaya Pemasaran, Biaya Proyek, dan Pembayaran (Schedule 3: Marketing Fee, Project Cost and Payment), dan Lampiran 4: Penapsiran (Schedule 4: Interpretation). 103 Huala Adolf-3, Perancangan Kontrak Internasional, Cet. Ke-1, Bandung, Keni Media, 2011, hlm. 81. 53 Kontrak turunan dari kontrak induk tersebut, paling kurang ada (3). Pertama, Proyek Ekosistem Ulu Masen: Lembaran Terminologi Verifikasi Awal (Ulu Masen Ecosystem Project: Initial Verification Term Sheet). Kedua, Perjanjian Penjualan Reduksi Emisi Terverivikasi untuk Pencegahan Perusakan Hutan Proyek di Ekosistem Ulu Masen (Verified Emmissions Reduction Purchase Agreement for the Avoided Deforestation Project in Ulu Masen Ecosystem). Ketiga, Kontrak Pengalihan Hak dan Kewajiban Provinsi Aceh kepada PDPA (Novation Agreement from Aceh Province to PDPA). Kontrak lain yang serupa adalah Cooperation Agreement between Aceh Province and SFM South East Asia Pte. Ltd., Singapore. Dalam hal ini selain kontrak induk, masih terdapat 2 (dua) kontrak turunan, yang tidak terpisahkan dengan kontrak induk. Kontrak turunan dimaksud meliputi Perjanjian Jual Beli Hak Karbon (Carbon Rights Trading Agreement) dan Perjanjian Usaha Patungan (Joint Venture Agreements). Klausula di bawah ini bersumber pada kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh dalam pengertian keseluruhan komponen dalam sistem kontrak yang terintegrasi tersebut. Artinya, klausula tersebut bersumber pada kontrak induk, lampiran, dan bagian-bagiannya, dan/atau pada kontrak turunan yang merupakan kesatuan kontrak induk tersebut. 1. Klausula Saling Menguntungkan Dalam konteks perancangan kontrak, klausula saling menguntungkan termasuk ke dalam pengertian klausula pokok. Dalam klasifikasi lain disebut juga dengan klausula transaksional atau klausula esensialia. Klausula pokok berkaitan dengan transaksi itu sendiri. Dalam menilai keseimbangan, untuk menilai klausula saling menguntungkan ini secara tepat diperlukan keahlian khusus dalam bidang ekonomi dan bisnis terkait. Dalam hal ini lazimnya lebih dikuasai oleh para pihak sendiri, baik secara langsung maupun melalui bantuan ahli yang melakukan uji tuntas keuangan. Dalam hal ini ahli hukum perancang kontrak hanya menampung dan mengalihkan maksud klien atau para pihak ke dalam bahasa kontrak. Meskipun demikian, untuk dapat menerjemahkan secara tepat maksud klien tersebut, para ahli 54 hukum perancang kontrak perlu juga menguasai pengetahuan dasar yang bersifat kontekstual tersebut. Dalam hal ini, berlainan halnya ketika merancang atau menilai keseimbangan klausula antisipatif atau klausula khusus, yang menurut Hikmahanto Juwana memang merupakan bidang keahlian khusus ahli hukum perancang kontrak itu sendiri.104 Disebutkan klausula saling menguntungkan karena pada dasarnya memiliki sifat yang memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak atau memberikan keuntungan bersama. Dalam hal ini besaran atau standar proporsionalitasnya tergantung pada banyak terkait. Klausula saling menguntungkan tersebut, antara lain, meliputi sebagai berikut. 1) Penyertaan modal/pembiayaan 2) Komposisi direksi/komisaris perusahaan 3) Pembagian laba/hasil 2. Klausula Menguntungkan Penanaman Modal Internasional Klausula menguntungkan penanaman modal internasional merupakan klausula yang memiliki sifat pada prinsipnya menguntungkan penanam modal internasional. Semakin banyak atau semakin tinggi standar pengaturan klausula menguntungkan penanam modal internasional dalam suatu kontrak tertentu menunjukkan bahwa kontrak tersebut lebih berpihak kepada penanam modal internasional. Meskipun demikian, klausula ini pada akhirnya tidak dapat dinilai secara parsial saja, tetapi perlu dibandingkan juga dengan klausula yang menguntungkan negara/daerah dalam keseluruhan isi kontrak penanaman modal tertentu. Klausula menguntungkan penanam modal internasional, antara lain, meliputi sebagai berikut. 1) Pilihan hukum asing/internasional 2) Pilihan arbitrase asing/internasional di luar negeri 3) Pilihan bahasa asing/internasional 4) Masa kontrak yang panjang 5) Stabilisasi kontrak 104 Hikmahanto Juwana-1, Op. Cit., hlm. 48. 55 6) Eksklusifitas kerja sama 7) Pelepasan kekebalan negara/daerah 8) Perlindungan rahasia dagang/hak kekayaan intelektual 9) Fasilitas penanaman modal/perpajakan 10) Pengurusan/fasilitas perizinan 11) Bantuan/jaminan keamanan 12) Penunjukan kontraktor/operator/nama lain 3. Klausula Menguntungkan Daerah Sama halnya dengan klausula menguntungkan penanaman modal internasional, klausula menguntungkan daerah, walaupun secara partial memiliki sifat menguntungkan daerah, tetapi pada akhirnya harus dinilai berdasarkan imbangan dengan keseluruhan klausula kontrak lain yang ada dalam kontrak tertentu. Semakin banyak atau semakin tinggi standar penggunaan klausula menguntungkan daerah dibandingkan dengan klausula yang menguntungkan penanam modal internasional menunjukkan bahwa kontrak tersebut lebih memihak kepada daerah. Klausula yang menguntungkan daerah meliputi, antara lain, sebagai berikut. 1) Pilihan hukum Indonesia 2) Pilihan arbitrase Indonesia 3) Pilihan bahasa Indonesia 4) Masa kontrak yang pendek 5) Perubahan hukum domestik 6) Larangan pengalihan kontrak 7) Renegosiasi dan adaptasi dalam perubahan keadaan 8) Pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi 9) Penerimaan pajak daerah 10) Penggunaan tenaga kerja/usaha setempat 11) Pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan B. Kapasitas 56 Dalam Kamus Hukum Butterworths Concise Australian Legal Dictionary kata kapasitas diartikan sebagai kualifikasi yaitu usia dewasa, kompetensi, kekuasaan atau kecocokan. Sedangkan kapasitas kontrak diartikan sebagai kapasitas untuk memasuki ke dalam suatu hubungan kontraktual.105 1. Berdasarkan Definisi Pada prinsipnya persyaratan tentang keabsahan kontrak internasional, termasuk kontrak penanaman modal internasional diatur dalam hukum domestik. Hukum domestik dimaksud adalah hukum nasional dari negara penerima modal. Meskipun demikian, baik dalam kontrak internasional pada umumnya maupun dalam kontrak penanaman modal internasional pada khususnya, dapat saja berlaku hukum nasional negara lain dan/atau hukum transnasional/internasional. Yang terakhir berlaku sepanjang tidak dilarang dalam kaidah hukum pemaksa dan/atau sengketa diadili oleh arbitrase internasional tertentu. Persyaratan keabsahan kontrak tersebut bagi suatu daerah, seperti Provinsi Aceh, tergantung pada kapasitas daerah itu. Berkenaan dengan subjek, sepanjang pendirian daerah otonom tersebut sah menurut hukum publik dengan sendirinya menjadi salah satu bentuk badan hukum publik, yang menurut doktrin dengan sendirinya menjadi subjek hukum pemangku hak dan kewajiban, termasuk tanggung gugat perdata. Artinya, tentang subjek tersebut jelas daerah otonom memiliki kapasitas untuk membuat kontrak. Namun, hal itu saja belum cukup untuk menyatakan bahwa daerah memiliki kapasitas sehingga kontrak yang dibuatnya menjadi sah. Hal ini penting karena kapasitas tidak hanya dinilai berdasarkan subjek, tetapi juga berdasarkan objek, yaitu luas lingkup urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam hal ini daftar dan keluasan urusan pemerintahan berbeda antara pemerintah pusat dan daerah otonom. Demikian juga berbeda antara daerah otonom yang satu dengan daerah otonom yang lain. Sebelum pembahasan kapasitas tentang subjek dan objek lebih mendalam, dibahas dahulu tentang pengertian kontrak penanaman modal internasional. Hal ini 105 “Capacity=legal qualification (i.e. legal age), competency, power or fitness.” “Capacity to contract=the capacity to enter into contractual relations,” Peter E. Nygh and Peter Butt, Butterworths Concise Australian Legal Dictionary, 2nd. Ed. Sydney, 1998, hlm. 63. 57 penting terutama di Indonesia mengingat pemahaman tentang pengertian ini, baik secara teoritis dan praktis masih samar-samar. Terdapat 2 (dua) jenis hubungan hukum yang kelihatannya serupa karena keduanya bersifat melintasi batas negara atau internasional, walaupun sesungguhnya berbeda. Kapasitas daerah tergantung pada definisi. Artinya, ada atau tidaknya, luas atau sempitnya kewenangan tergantung pada jenis perjanjian, apakah kontrak internasional atau traktat. Apabila definisinya belum dipahami secara jelas, muncul kesulitan berikutnya dalam menentukan kapasitas daerah tersebut, karena tergantung pada kewenangan yang dimiliki daerah otonom, yang berbeda antara kontrak internasional dan traktat. Dalam doktrin dan praktik perbedaan antara kontrak internasional dan traktat samar-samar. Akibat ketidakjelasan ini menimbulkan tanda tanya, apakah suatu perjanjian tertentu tergolong ke dalam pengertian kontrak internasional atau traktat. Demikian juga terkait hukum yang berlaku terhadap masing-masing jenis perjanjian tersebut, apakah hukum kontrak internasional atau hukum perjanjian hukum traktat. Implikasi lain dari ketidakjelasan pengertian dan kedudukan hukum antara kontrak internasional dan traktat merembes ke permasalahan hukum tentang kapasitas negara/daerah. Pertanyaannya berkisar pada siapa yang memiliki kapasitas dalam penciptaan masing-masing dokumen hukum dimaksud. Dalam hal ini, karena ada stratifikasi pemerintahan negara/daerah, perlu adanya kejelasan tentang kapasitas masing-masing badan hukum publik, pusat atau daerah. Kontroversi kewenangan antara kontrak internasional dan traktat timbul dari adanya ketidakjelasan pemahaman tentang ruang lingkup pengertian kontrak internasional dan traktat, dan kapasitas pusat dan daerah dalam sebagai pihak dalm kontrak internasional dan traktat. Dalam hal ini juga terkait dengan ketidakjelasan ruang lingkup berlakunya asas desentralisasi dan asas otonomi daerah. Misal apakah kewenangan pusat hanya meliputi traktat atau juga termasuk kontrak internasional. Dengan kata lain apakah daerah memiliki kewenangan dalam mengadakan traktat dan/atau kontrak internasional. 58 Banyak ahli berpendapat bahwa traktat merupakan dokumen yang mengatur urusan politik luar negeri. Urusan politik luar negeri merupakan urusan bidang khusus hukum internasional publik. Dengan demikian, kewenangan tersebut pada prinsipnya ada pada pusat, bukan pada daerah. Dalam hal ini berada dalam wilayah pengaturan hukum publik, termasuk hukum otonomi daerah/otonomi khusus. Artinya, hal tersebut dapat di sampin dalam UUPI, diatur juga UUPD dan UUPA. Apabila UUPI merupakan hukum publik dalam bidang hukum internasional, UUPD dan UUPA merupakan hukum publik bidang desentralisasi dan otonomi daerah/otonomi khusus. Hukum publik pada prinsipnya memiliki jangkauan berlaku terbatas pada perjanjian dengan nama traktat, tidak pada kontrak internasional. Berbeda dengan traktat, kontrak internasional merupakan dokumen yang mengatur atau terkait urusan transaksi bisnis internasional. Urusan transaksi bisnis internasional merupakan bidang hukum perdata internasional atau hukum privat. Pandangan demikian berakar pada banyak teori, antara lain, teori badan hukum, teori instrumen hukum/teori tindakan pemerintah, teori hukum umum, teori kepentingan, dan teori subjek. Berdasarkan teori ini, baik pusat maupun daerah memiliki kewenangannya masing-masing. Masing-masing badan hukum publik, pusat atau daerah, bersifat mandiri. Oleh karena itu, sepanjang objek perjanjian merupakan urusan pemerintahannya, baik pusat maupun daerah berwenang dalam wilayah urusannya sendiri-sendiri. Meskipun demikian, ada juga yang berpendapat berbeda. Pendapat berbeda menyatakan bahwa meskipun daerah berwenang, pusat juga memiliki kewenangan terhadap urusan transaksi bisnis internasional yang dilakukan daerah. Misal, daerah tidak dapat mengadakan hubungan bisnis internasional dengan negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Dalam hal ini memerlukan upaya prevensi terhadap akibat negatif yang mungkin timbul akibat adanya hubungan bisnis dengan negara lain yang tidak memiliki hubungan diplomatik tersebut.106 106 Sayid Fadhil, Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri oleh Daerah Ditinjau dari Perspektif Hukum Perjanjian Internasional, Ringkasan Disertasi, Jakarta, Program Pascasarjana FH UI, hlm. 2123. 59 Untuk mendalami lebih jauh tentang perbedaan pengertian antara kontrak internasional dan traktat, di sini dibahas lebih dahulu perbandingan pengertian diantara keduanya..107Kedua pengertian tersebut pada dasarnya berbeda sehingga tunduk pada rejim hukum yang berbeda. Terhadap kontrak internasional pada prinsipnya berlaku hukum privat tentang kontrak internasional, sedangkan terhadap perjanjian internasional publik berlaku hukum internasional publik tentang traktat. Implikasinya, persyaratan tentang kapasitas juga mengikuti rejim hukumnya masing-masing. Dalam hal yang pertama, kewenangan daerah otonom luas, sedangkan dalam hal yang kedua sempit. Pengertian kontrak internasional (international contracts), dapat diperoleh dari berbagai sumber hukum, antara lain, sebagai berikut. Sudargo Gautama menyebutkan bahwa kontrak internasional adalah “kontrak yang memperlihatkan unsur-unsur asing (foreign elements)”108 Dengan demikian, kontrak internasional merupakan salah satu bentuk kontrak yang memiliki ciri tertentu karena adanya unsur internasional, yang tentunya tidak dimiliki oleh semua kontrak. Unsur internasional ini ada misal apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan antara para pihak. Apabila kewarganegaraan pihak yang satu di dalam kontrak berbeda dengan kewarganegaaan pihak yang lainnya, berarti sudah ada unsur internasional dan kontrak tersebut termasuk ke dalam pengertian kontrak internasional. Jadi, penentuannya didasarkan pada kewarganegaarannya. Di samping itu, unsur internasional juga ada apabila terdapat perbedaan tempat pelaksanaan kontrak. Apabila tempat pelaksanaan kontrak berbeda dengan kewarganegaraan dari para pihak, berarti sudah termasuk kontrak internasional. Dalam hai ini unsur asing muncul dari perbedaan tempat pelaksanaan kontrak tersebut. Dengan demikian unsur 107 Traktat diadakan oleh dua negara atau lebih, E. Utrecht-2, Op. Cit., hlm. 34. Traktat merupakan sumber hukum dalam arti formil antara dua negara atau lebih, L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 163. Menurut George Schwaezenberger traktat merupakan sumber hukum internasional yang utama, antara lain karena alasan kecepatan dan keluwesan dalam menampung perkembangan kebutuhan, F.A. Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung, Mandar Maju, 1989, hlm. 31. 108 Sudargo Gautama-2, Op. Cit., hlm. 23. 60 asing tersebut dapat bersumber dari faktor nasionalitas, maupun faktor teritorialitas.109 William F. Fox mendefinisikan kontrak bisnis internasional sebagai suatu perjanjian, baik yang tertulis maupun lisan, antara perseorangan atau badan usaha di dalam negeri dan perseorangan atau badan usaha di negara lain, atau antara perseorangan atau perusahaan swasta dan pemerintah asing atau jajarannya, seperti badan usaha milik negara. Definisi ini diperluas, namun tidak mencakup transaksi antarpemerintah, dengan beberapa pengecualian, karena masuk ke dalam hubungan internasional yang diatur dalam hukum internasional publik.110 Fox memberikan definisi berdasarkan para pihak subjek kontrak, yang berasal dari negara yang berbeda. Fox membedakan antara kontrak bisnis internasional dan traktat. Yang terakhir tidak termasuk ke dalam pengertian kontrak bisnis internasional, karena itu tunduk pada sumber hukum yang berlainan. Hukum kontrak internasional bersumber pada kaidah hukum perdata internasional yang menunjuk berlakunya hukum nasional tertentu, sedangkan hukum traktat bersumber pada hukum internasional publik. Apabila para pihak dalam suatu hubungan hukum adalah negara dengan negara, pada umumnya dikatagorikan sebagai traktat, dengan beberapa pengecualian. Artinya, dapat saja hubungan hukum demikian diklasifikasikan ke dalam kontrak bisnis internasional juga, asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Willis Reese, sebagaimana dikutip Huala Adolf, mendefinisikan secara lebih luas daripada definisi Fox dengan menyebutkan bahwa kontrak internasional merupakan kontrak dengan unsur dalam dua atau lebih negara, yang para pihaknya mungkin negara dan negara, antara negara dan swasta, atau antara swasta dan 109 Ibid., hlm. 23. “some kind of business arrangment reflected in a contract, either written or oral: 1. Between a company or individual in one country and a company or individual in another country, or 2. In certain circumstances, between a private company or individual and a foreign government or some component of a government such as a state-owned trading company. This definition is deliberately broad, but excludes, with a few exceptions, those intergovenmental transactions between sovereign entities that legal scholars often refer to as international relations and whose rules are set by a body of law normally refer to as public international law.William F. Fox, Op. Cit., hlm. 47-48. 110 61 swasta.111 Jelaslah bahwa para pihak subjek kontrak dapat antarnegara, antara suatu negara dengan pihak swasta atau antarswasta. Yang penting ada unsur yang menunjukkan bahwa ia tidak hanya terkait dengan satu negara saja, melainkan dua atau lebih negara.112 Sebagai perbandingan, traktat tidak termasuk ke dalam pengertian kontrak internasional. Oleh karenanya, diatur dalam rejim hukum yang berbeda. Meskipun demikian diantara keduanya terdapat persamaan karena subjek hubungan hukumnya dapat sama, yaitu negara dan negara (between states). Sebagaimana dijelaskan bahwa dapat saja kontrak internasional dibuat antarnegara. Namun, keberadaan negara dan negara sebagai para pihak dalam kontrak internasional inilah yang merupakan salah satu sumber timbulnya kekacauan pikiran dalam memahami tentang pengertian kedua istilah tersebut. Hal ini karena pada umumnya ketika para pihaknya negara dengan negara yang timbul adalah hubungan hukum publik, dalam hal ini melalui traktat. Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier menjelaskan bahwa traktat, baik yang bilateral maupun yang multilateral sama-sama dipahami sebagai suatu persetujuan yang tunduk pada hukum internasional publik.113 Unsur terpenting adalah traktat tunduk di bawah rejim hukum internasional publik. Prinsipnya semua persetujuan yang tunduk pada hukum internasional publik adalah traktat. Namun, ada pengecualian sebagaimana dikemukakan oleh Buergenthal dan Maier bahwa meskipun ada beberapa persetujuan yang dilakukan oleh para pihak negara atau organisasi internasional, tetapi secara jelas atau tersirat, diatur oleh hukum nasional, karena tidak termasuk pengertian traktat, tetapi kontrak. Untuk itu, harus dapat ditunjukkan bahwa para pihak tersebut menghendaki agar persetujuannya diatur dalam hukum nasional. Jadi, ukuran penilaiannya terletak pada maksud atau kehendak para pihak.114 “are contracts with elements in two or more nation states. Such contracts may be between states, between a state and a private party, or exclusively between private parties.” Huala Adolf-1, Op. Cit. hlm. 4-5. 112 Ibid. hlm. 4-5. 113 Thomas Buergenthal and Harold G. Maier, Loc. Cit. 114 Loc. Cit. 111 62 Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, traktat merupakan salah satu sumber hukum internasional. Sedangkan sumber hukum lain selain traktat, meliputi kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum hukum internasional, dan dalam kelompok terakhir putusan pengadilan dan pendapat ahli terkenal sebagai sumber hukum tambahan. Dengan demikian traktat mendapatkan tempat yang utama dalam hukum internasional sehingga diatur secara khusus. Pengaturan tersebut termuat dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. Konvensi Wina 1969 menetapkan bahwa traktat adalah perjanjian internasional yang dibuat antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur dalam hukum internasional.115 Jelaslah bahwa persetujuan dibuat antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur dalam hukum internasional. Konvensi ini hanya untuk para pihak antarnegara, sedangkan untuk organisasi internasional diatur kemudian di dalam Konvensi Wina 1986. Dalam praktik traktat dipahami dengan makna yang luas dengan sebutan yang beragam, yang merupakan instrumen hukum perjanjian internasional publik tersebut.116 Sebutan yang bermacam-macam itu menunjukkan di sana-sini adanya makna yang lebih khusus untuk istilah tertentu, meskipun demikian semuanya dapat dikembalikan ke istilah umum traktat tersebut. Istilah dimaksud terlihat dalam dari judul/nama yang diberikan untuk traktat, meliputi traktat (treaty), konvensi (convention), persetujuan/perjanjian (agreement), arrangement, charter, kovenan (covenant), statuta (statute), konstitusi (constitution), pakta (pact), protokol (protocol), deklarasi (declaration), final act dan general act117. Namun, tidak ada sebutan kontrak (contracts) di dalam klasifikasi tersebut, karena kontrak pada prinsipnya memang tidak diatur dalam hukum internasional publik, tetapi dalam hukum perdata internasional, yang secara konvensional menunjuk berlakunya hukum nasional tertentu. Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 menetapkan bahwa, “an international agreement concluded between States in written form and governed by international law...” 116 Dari aspek kaidah hukum yang diciptakan, terdapat 2 (dua) jenis traktat. Pertama, traktat pembuatan hukum (law making treaties) yang berakses terbuka dan membentuk hukum yang berlaku umum. Kedua, traktat kontrak (treaty contracts) yang berakses tertutup dan membentuk hukum yang berlaku terbatas kepada para pihak saja, I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum internasional, Bandung, Mandar Maju, 1990, hlm. 163-164, J.G. Starke, Op. Cit., hlm. 52. 117 F A Whisnu Situni, Op. Cit., hlm. 48-53. 115 63 Di Indonesia, penjabaran pengertian Konvensi Wina tersebut diatur kembali dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 tentang Perjanjian Internasional (UUPI) yang mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lainnya yang menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.” Definisi UUPI ini sejalan dengan perumusan dalam Konvensi Wina 1986 di atas. Sebuah kasus yang diputus Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) memberikan intepretasi terhadap pengertian kontrak internasional, yang berbeda dengan traktat. Putusan tersebut tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).118 Esensi permasalahan hukum yang dipersoalkan adalah ada tidaknya pertentangan antara ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Migas yang menetapkan bahwa setiap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani cukup diberitahukan secara tertulis kepada DPR, dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang penting terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. MKRI dalam putusannya menetapkan, antara lain, sebagai berikut. “… perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina Tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Migas tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup Pasal 11 UUD 1945…” Putusan MKRI di atas telah menunjukkan secara lebih jelas perbedaan antara kontrak internasional dan traktat. Hal ini penting karena dalam peraturan perundangundangan dan literatur mutakhir di Indonesia kadangkala mengaburkan makna yang sesungguhnya dari kedua istilah hukum ini. Inti dari rasio/pertimbangan putasan MKRI tersebut bahwa kontrak kerja sama produksi (production sharing contracts/PSC) dan karena itu juga kontrak lain sejenisnya bukan merupakan traktat 118 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 36/PUU-X/ 2012. 64 atau perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, te kontrak internasional.119 Dengan demikian, pada prinsipnya terhadap kontrak internasional tidak tunduk pada hukum traktat yang merupakan bagian dari hukum publik, tetapi tunduk pada hukum kontrak yang merupakan bagian dari hukum privat. Dalam suatu traktat para pihaknya adalah negara dan negara, termasuk juga organisasi internasional sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Wina 1986. Demikian juga dalam suatu kontrak internasional para pihaknya dapat juga terdiri dari negara dan negara, termasuk juga ke dalamnya organisasi internasional tersebut. Dalam hal ini dilihat dari sisi subjek para pihaknya, baik dalam kontrak internasional maupun dalam traktat adalah sama. Disinilah timbul kesulitan dalam menetapkan secara tepat apakah suatu perjanjian termasuk ke dalam pengertian kontrak internasional atau traktat. Menurut Thomas Buergenthal dan Harold G. Maier bahwa dalam hal negara melakukan tindakan hukum, sebagai aturan umum negara tersebut bertindak dalam kapasitas sebagai pemangku kepentingan publik. Dalam hal ini negara merupakan subjek hukum internasional. Artinya, apabila negara mengadakan kerja sama dengan negara lain, yang berlaku adalah hukum traktat, sebagai bagian dari hukum internasional publik. Meskipun demikian, sebagai pengecualiannya negara dalam hubungan kerja sama internasional dengan negara lain atau subjek hukum internasional lain tersebut dapat bertindak sebagai pemangku hukum privat untuk kepentingan dagang. Dalam hal ini berlaku hukum kontrak internasional. Penilaian terhadap kapasitas sebagai pemangku kepentingan privat dapat didasarkan pada maksud para pihak. Penilaian tersebut dapat juga didasarkan pada sifat, hakikat atau tujuan perjanjian tersebut, apakah murni dagang atau tidak. Dengan demikian meskipun secara umum hubungan hukum antara subjek hukum negara dengan negara lain adalah traktat yang tunduk pada hukum internasional publik, apabila dapat dibuktikan bahwa masud para pihak untuk memberlakukan 119 Badan Legislasi DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional. Jakarta, DPR RI, 2012, hlm. 16-17. 65 hukum nasional tertentu atau sifat, hakikat, dan tujuan hubungannya murni dagang, berarti tunduk pada hukum kontrak internasional.120 Pendapat di atas dapat menjelaskan lebih terang definisi kontrak internasional yang menurut Willis Reese meliputi juga antarnegara. Demikian juga definisi William F. Fox di atas yang menggunakan frasa bahwa dengan beberapa pengeculaian, kontrak internasional meliputi juga ketika negara dan negara merupakan para pihak dalam suatu transaksi bisnis internasional. Apabila telah jelas perbedaan antara kontrak internasional dan perjanjian internasional publik dapat dicari pengaturan tentang dasar kewenangannya masingmasing. Di Indonesia mengenai dasar kewenangan ini tentu saja akhirnya harus dapat dikembalikan pada konstitusi, yaitu UUD 1945 sebagaimana disebutkan di atas. Khusus untuk Provinsi Aceh penjabaran ketentuan dasar tersebut diatur dalam UUPA.121 Sebagimana maksud konstitusi, UUPA pada prinsipnya telah menjabarkan lebih lanjut teori residu. Berdasarkan teori residu ini, kewenangan sisa, dalam hal ini, yang paling luas ada pada daerah, sedangkan kewenangan pusat terbatas pada apa yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan saja. Pasal 7 UUPA menegaskan bahwa kewenangan pengaturan dan pengurusan urusan pemerintahan pada semua sektor publik berada pada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), kecuali urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kata “semua” tersebut menunjukkan keluasan kewenangan yang dimiliki daerah. Dengan demikian untuk dapat mengetahui urusan sisa yang menjadi kewenangan daerah tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui urusan pemerintah pusat sebagaimana diatur UUPA tersebut. Dalam hal ini Pasal 7 UUPA menyebutkan secara limitatif 7 (tujuh) bidang yang pada prinsipnya merupakan kewenangan pemerintah pusat. Pertama, urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Kedua, politik luar negeri. Ketiga, pertahanan dan keamanan. Keempat, yustisi. Kelima, moneter. Keenam, fiskal nasional. Dan ketujuh, agama. Dengan demikian di luar ke 120 Thomas Buergenthal and Harold G. Maier, Op. Cit., hlm. 92-93. Pasal 7 UUPA menetapkan bahwa “(1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenagan Pemerintah. (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu di bidang agama.” 121 66 tujuh urusan tersebut menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di Aceh. Meskipun sudah diatur UUPA, ketentuan kewenagan yang ada masih bersifat umum yang memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya. Dalam hal ini, antara lain, terdapat dalam PP Kewenangan Pemerintah di Aceh dan PP Migas Aceh. Namun, yang paling penting dalam pembahasan tentang perbedaan kewenangan dalam pembuatan kontrak internasional dan traktat adalah mengetahui dimana letak keterkaitan antara kedua macam perjanjian tersebut dalam pengaturan Pasal 7 UUPA. Dari ketujuh objek/urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah berdasarkan UUPA tersebut, traktat berakar pada urusan kedua, yaitu politik luar negeri. Urusan politik luar negeri ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 PP Kewenangan Pemerintah di Aceh.122 Pengertian politik luar negeri ini dijelaskan secara eksplisit, antara lain, dalam Penjelasan Pasal 2 tersebut. 123 Salah satu urusan yang terkait dengan topik luas penanaman modal internasional adalah dalam penetapan kebijakan perdagangan luar negeri, Pengaturan lebih lanjut tentang penetapan kebijakan perdagangan luar negeri ini diatur dalam Lampiran PP Kewenangan Pemerintah di Aceh tersebut. Dalam Lampiran PP Kewenagan Pemerintah di Aceh tersebut dimuat daftar, misal, DD. Bidang Perdagangan, 3. Subbidang Perjanjian Internasional. Dalam Subbidang Perjanjian Internasional tersebut ditetapkan kewenangan Pemerintah meliputi penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi perjanjian perdagangan multilateral(seperti WTO), bilateral (seperti ASEAN, APEC, dan ASEM), dan bilateral (seperti FTA, EPA, CTEP, CEP, TIF, TIC, dan TIFA). Dalam rangka otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA, meskipun urusan pemerintahan tersebut pada dasarnya merupakan kewenangan pemerintah pusat, namun Pemerintah Aceh juga masih memiliki kewenangan untuk mengadakan kerja Pasal 2 PP Kewenangan Pemerintah di Aceh menetapkan bahwa “Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di Aceh, yang meliputi: a. Urusan politik luar negeri...” 123 Penjelasan Pasal 2 huruf a memberi petunjuk bahwa “Yang dimaksud dengan “urusan politik luar negeri” antara lain meliputi menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain...menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dan sebagainya.” 122 67 sama langsung dengan luar negeri sebagaimana diatur Pasal 9.124 Dengan demikian dalam hal ini urusan pemerintahan yang sering disebut urusan absolut tersebut dalam rangka otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA penapsirannya diperlunak untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh melaksanakan secara bersama-sama (concurent). Meskipun dalam hal ini tanggung jawab akhir tetap ada pada pemerintah pusat. Tindak lanjut pengaturan tentang kewenangan bersama tersebut telah ditetapkan dalam suatu peraturan presiden. Dalam hal ini adalah Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri (Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh). Keseluruhan isi Perpres ini menunjukkan bahwa kontrol dalam bidang kerja sama antara daerah dengan luar ini tetap berada pada Pemerintah. Hal ini ditandai dengan adanya ketentuan prosedural yang ketat sehingga tetap berada di bawah kendali pemerintah pusat. Dalam hal ini Pemerintah Aceh hanya diberikan kesempatan yang terbatas untuk berinisiasi dan berpartisipasi, serta menandatangani perjanjian, namun untuk dapat melakukannya diperlukan adanya kuasa penuh (full power) dari pemerintah pusat, melalui Kementerian Luar Negeri RI.125 Berkenaan dengan identitas para pihak pun, penyebutan Provinsi Aceh perlu dilengkapi dengan frasa Republik Indonesia.126 Dalam pertimbangan mengingat Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh dimuat sumber hukum yang menjadi landasan acuan pembuatannya, yaitu UUPA dan juga Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU HLI) serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI). Tidak ada penyebutan rujukan pada KUH Perdata dalam Perpres tersebut. Pasal 9 UUPA menetapkan bahwa “ (1)Pemerintah dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah...(3) Dalam hal diadakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.” 125 Pasal 9 Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh menetapkan bahwa “(1) Menteri luar negeri memberikan Kuasa Penuh (Full Power) kepada Gubernur atau pejabat Pemerintah Aceh lain yang ditunjuk untuk menandatangani naskah kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri.” 126 Pasal 7 Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh menetapkan kewajiban pencantuman frasa “Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 124 68 Dengan rujukan pada UU HLI dan UUPI saja, tanpa KUH Perdata menunjukkan bahwa materi muatan Perpres tersebut mengatur tentang hukum traktat, sebagai bagian dari hukum internasional publik, bukan hukum kontrak sebagai bagian dari hukum perdata. Hal demikian juga mengimplikasikan bahwa ketentuan dalam Perpres tersebut hanya berlaku dalam pembuatan traktat, dan tidak berlaku dalam pembuatan kontrak internasional, termasuk kontrak penanaman modal internasional. Kewenangan pemerintah pusat khususnya dalam konteks UUPI merupakan kewenangan dalam bidang hukum publik, bukan hukum privat. Dengan demikian pembuatan kontrak internasional, termasuk kontrak penanaman modal internasional tidak diatur dalam rejim publik tersebut, tetapi diatur dalam rejim hukum yang lain, yaitu hukum privat yang di Indonesia bersumber pada asas hukum perdata internasional dan KUH Perdata. Dalam pembuatan kontrak internasional tersebut daerah otonom memiliki kewenangan yang mandiri untuk menjadi pihak di dalamnya, sebagaimana selama ini sudah berjalan di beberapa daerah otonom di Indonesia.127 Untuk kontrak internasional karena bersifat hukum privat tetap berlaku teori badan hukum. Dalam hal ini daerah otonom sebagai badan hukum, yang kewenangan tentang subjek berdasarkan teori keberadaan badan hukum, sedangkan tentang objek bersarkan teori kapasitas badan hukum. Yang terakhir terkait dengan peraturan perundang-perundangan tentang otonomi daerah, dalam hal ini otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA, yang penjabarannya sebagian telah diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan, sebagaimana disebutkan di atas. Berdasarkan definisi Provinsi Aceh memiliki kapasitas kontrak secara penuh, apabila perjanjian internasional dimaksud merupakan kontrak penanaman modal internasional sebagai bagian dari kontrak internasional. Sebaliknya, apabila perjanjian internasional yang dimaksud adalah traktat, daerah pada prinsipnya tidak memiliki kewenangan, kecuali didelegasikan pusat untuk itu 2. Berdasarkan Subjek 127 Sayid Fadil, Op. Cit., hlm. 23. 69 Kapasitas tentang subjek membahas persoalan yang lebih spesifik tentang kapasitas Provinsi Aceh dalam membuat kontrak penanaman modal internasional. Dalam hal ini jawabannya ada di dalam teori badan hukum dan teori lain yang terkait. Menurut teori keberadaan badan hukum, terdapat 2 (dua) jenis badan hukum, yaitu badan hukum privat dan badan hukum publik. Salah satu contoh badan hukum publik adalah daerah otonom. Teori keberadaan badan hukum ini bertemu dengan teori otonomi daerah dan teori terkait. Provinsi Aceh merupakan suatu daerah otonom, yang didirikan pertamakali berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.128 Undang-Undang ini merupakan dasar dalam pembentukan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom. Berdasarkan teori otonomi daerah, suatu daerah otonom merupakan bagian dari suatu negara, dalam hal ini Indonesia, yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangganya. Sebagai daerah otonom Provinsi Aceh memiliki kekayaan sendiri, organ sendiri, tujuan sendiri, dan kepentingan sendiri. Dan karena itu, memiliki tanggung jawab/tanggung gugat yang mandiri pula. Dalam teori badan hukum, daerah otonom diakui sebagai badan hukum karena juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah badan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam teori badan hukum. Sebagai badan hukum publik daerah otonom dapat mengadakan hubungan hukum perdata,129 sebagaimana subjek hukum lain pada umumnya, termasuk menandatangani kontrak. Dalam hal ini diwakili oleh gubernur atau bupati/walikota sebagai organ daerah otonom tersebut. Pada prinsipnya berdasarkan teori badan hukum terhadap tindakan badan hukum publik berlaku hukum privat. Daerah otonom sebagai badan hukum, memiliki tanggung jawab/tanggung gugat perdata sendiri yang terpisah dengan negara misal Indonesia atau dengan provinsi atau badan hukum lain. Masing-masing badan hukum tersebut merupakan subjek hukum yang mandiri. Nama/judul formal peraturan perundang-undangan ini adalah “Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103). 128 70 Dalam hukum kontrak internasional juga berkembang teori lain tentang dasar kepasitas badan hukum publik dalam mengadakan hubungan internasional. Dalam hal ini dimulai dengan muncunya teori sifat kepentingan, yang berfokus pada pembedaan klasifikasi antara kepentingan perseorangan yang tunduk pada hukum privat dan kepentingan umum yang tunduk pada hukum publik. Teori kepentingan telah melahirkan dikhotomi hukum privat dan hukum publik. Kemudian muncul teori sifat subjek negara/daerah, yang berfokus pada pembedaan tindakan pemerintahan antara selaku pemangku kepentingan privat dan selaku pemangku kepentingan publik. Pada awalnya justifikasi dikaitkan dengan sifat kepentingan dari suatu kerja sama, yang dapat bersifat untuk kepentingan perseorangan atau untuk kepentingan umum.130 Apabila kepentingan bersifat perseorangan terhadap tindakan badan hukum publik tersebut berlaku hukum privat, dalam hal ini hukum kontrak. Sebaliknya, apabila kepentingan bersifat umum terhadap tindakan badan hukum publik tersebut berlaku hukum publik, dalam hal ini hukum hukum traktat. Akan tetapi, dalam praktik muncul kesulitan untuk memisahkan secara jelas antara kedua sifat kepentingan tersebut, antara lain, karena sering juga terdapat kepentingan yang bersifat campuran atau beririsan.131Kemudian, berkembang teori lain untuk memberikan justifikasi terhadap kewenangan badan hukum publik dalam mengadakan hubungan internasional, disebut teori sifat subjek. Teori sifat subjek didasarkan pada sifat subjek yang mengadakan hubungan internasional tersebut.132 Apabila selaku pemangku kepentingan privat, yang berlaku adalah hukum privat, dalam hal ini hukum kontrak internasional. Sedangkan apabila selaku pemangku kepentingan umum, yang berlaku adalah hukum publik, dalam hal ini hukum traktat. Pada sisi yang lain di luar hukum kontrak, dalam hal ini hukum tata negara dan hukum administrasi terdapat teori serupa yang menjadi dasar kapasitas kontrak suatu badan hukum publik. Pertama, teori 2 (dua) instrumen hukum. Kedua, teori instrumen hukum umum. Teori 2 (dua) instrumen hukum mengenal 2 (dua) 130 Oyunchimeg Bordukh, Op. Cit., hlm. 14. Ibid., hlm. 495. 132 Ibid., hlm. 15. 131 71 instrumen hukum yang berbeda, yaitu instrumen hukum privat dan instrumen hukum publik. Ketika negara/daerah menggunakan instrumen hukum privat yang berlaku adalah hukum kontrak, sebaliknya ketika negara/daerah menggunakan instrumen hukum publik, yang berlaku adalah hukum publik. Kapasitas negara/daerah ditentukan berdasarkan instrumen hukum yang digunakan. Apabila yang digunakan instrumen hukum privat berarti tunduk pada hukum privat. Sebaliknya, apabila yang digunakan adalah instrumen hukum publik, berarti tunduk pada hukum publik. Sedangkan teori instrumen hukum umum menganggap bahwa hukum privat dapat digunakan oleh semua subjek hukum termasuk negara/daerah, sepanjang tidak dibatasi oleh instrumen hukum khusus, dalam hal ini hukum publik. Berdasarkan teori 2 (dua) instrumen hukum, apabila daerah menjadi pihak dalam kontrak penanaman modal internasional, berarti yang berlaku adalah hukum privat, tepatnya hukum kontrak. Di sini pada prinsipnya hukum publik tidak berlaku. Hal ini karena daerah telah memilih sendiri untuk berlakunya instrumen hukum privat terhadap kontrak yang ditandatanganinya. Hal ini tentu saja berbeda ketika daerah bertindak sebagai regulator di luar perikatan kontrak tersebut, yang berarti memilih berlakunya hukum publik, bukan hukum privat. Jadi, dinilai instrumen yang digunakan atau tindakan yang dilakukan dalam keadaan tertentu. Menurut teori hukum umum, hukum privat, termasuk hukum kontrak, berlaku umum untuk siapa saja atau untuk subjek hukum apa saja. Baik rakyat maupun daerah dapat menggunakan instrumen hukum umum tersebut, dan ketika menggunakan menimbulkan perikatan perdata kepada yang bersangkutan. Ketika daerah melaksanakan transaksi bisnis internasional, otomatis berarti daerah telah memilih instrumen hukum umum tersebut. Dalam hal demikian, hukum privat menjadi berlaku juga untuk daerah tersebut, sama halnya dengan rakyat. Berkenaan dengan subjek kontrak penanaman modal internasional yang melibatkan daerah sebagai pihak, selain ditandatangani kepala daerah secara langsung atau yang mewakilinya melalui mandat atau surat kuasa khusus, terdapat juga varian lain. Misal kepala daerah mengalihkan pelaksanaan tindak lanjut kepada 72 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).133 BUMD merupakan suatu badan usaha yang juga berbentuk badan hukum. Secara hukum kini terdapat dua bentuk usaha BUMD, yaitu Perusahaan Daerah (PD) yang seluruh modalnya dimiliki daerah dan Perseroan terbatas (PT) yang sebagian besar sahamnya dimiliki daerah.134 BUMD PD diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. PD didesain sedemikian rupa sehingga pengendalian pemerintah daerah relatif besar. BUMD PT diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah, yang menunjuk berlakunya UUPT. Berbeda dengan PD, PT layaknya perusahaan swasta, didesain luwes, sehingga dapat lebih mudah dalam pengelolaan, pengambilan putusan, pengembangan usaha, dan perolehan laba. Baik PD maupun PT berstatus sebagai badan hukum. Sebagai badan hukum, BUMD secara organisatoris merupakan subjek hukum mandiri, yang terpisah dari pemiliknya pemerintah daerah. PD dan PT memiliki kekayaan sendiri yang terpisah di luar mekanisme pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah. Sebagai badan hukum PD dan PT memiliki hak dan kewajiban sendiri sesuai peraturan perundang-undangan khusus di atas. Oleh karena itu, pemerintah daerah yang mengalihkan hak dan kewajibannya kepada BUMD perlu melakukannya melalui suatu perjanjian tersendiri, antara lain disebut perjanjian novasi (novation agreement). Meskipun BUMD sebagai badan hukum mandiri yang dalam hukum privat memiliki tanggung gugat terpisah, tetapi tidak berarti bahwa negara/daerah dapat sepenuhnya melepaskan diri dari tanggung gugat dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Hal ini karena melalui tindakan pengalihan tersebut masih dapat menimbulkan konsekuensi hukum tesendiri yang tunduk pada hukum lain di luar hukum privat, misal hukum internasional publik. Dalam hal ini terdapat suatu asas hukum tentang tanggung jawab negara yang dapat dijadikan pedoman dalam 133 Di Provinsi Aceh BUMD diberi nama dengan sebutan yang khusus, yaitu Badan Usaha Milik Aceh (BUMA). 134 Perubahan terakhir tentang bentuk usaha BUMD yang mengarah pada pola pengaturan BUMN ditentukan Pasal 331 ayat (3) UUPD bahwa “BUMD...terdiri atas perusahaan umum daerah dan perusahaan perseroan daerah.” Dan dalam ayat (6) ditambahkan bahwa tindak lanjut pengaturanakan ditetapkan dalam peraturan pemerintah, yang hingga kini belum ada. 73 penapsiran, karena sering dipedomani lembaga arbitrase internasional.135 Pedoman tersebut dikeluarkan oleh International Law Commission’s Articles on State Responsibility (ILC Articles). ILC Articles menggunakan 3 (tiga) ukuran tentang ada tidaknya tanggung jawab negara. Pertama, didasarkan pada otoritas formal yang diberikan kepada organ negara, pegawai negeri, termasuk pemerintah provinsi. Kedua, didasarkan pada fungsi, yang walaupun swasta sekali pun kalau melaksanakan kekuasaan pemerintahan dianggap bertanggung jawab. Ketiga, didasarkan pada pengendalian, dimana suatu pihak bertindak di bawah perintah, arahan atau pengendalian dari negara dianggap bertanggung jawab.136 Dengan demikian, dapat dinilai apakah tindakan pemerintah daerah sudah dapat memenuhi satu atau beberapa ukuran tersebut, sehingga dapat dikatakan ikut bertanggungjawab/bertanggunggugat. Dalam hukum kontrak menyangkut ruang lingkup tanggung gugat pada awalnya terikat dengan asas personalitas, yang membatasi tanggung gugat tersebut hanya pada para pihak yang menandatangani kontrak saja. Akibatnya kontrak tidak dapat berlaku kepada pihak lain, kecuali terbatas pada pemberian manfaat saja. Jadi berdasarkan asas personalitas tersebut pada prinsipnya hukum kontrak tidak memberikan beban tanggung gugat perdata kepada pihak ketiga, karena bukan para pihak dalam kontrak tersebut. Dalam perkembangannya, asas personalitas dalam hukum kontrak ditapsirkan luwes, dengan memperluas pengecualian. Artinya, semakin tampak ada celah untuk membebani tanggung gugat tersebut juga pada pihak ketiga yang berada di luar hubungan kontraktual. Hal ini tidak hanya terjadi dalam hukum kontrak domestik, seperti dalam hukum perlindungan konsumen, tetapi juga dalam hukum kontrak penanaman modal internasional. Khusus dalam hukum kontrak penanaman modal internasional, meskipun masih kontroversial, perkembangannya dapat dilihat misal dalam suatu putusan lembaga arbitrase ICC. Dalam hal ini, kasus Bridas melawan Turkmenistan, arbitrase ICSID memutuskan bahwa meskipun Turkmenistan bukan sebagai pihak, dan karena 135 Alex Mills, Op. Cit., hlm. 495. Ibid, hlm. 495. 136 74 itu tidak terikat dengan kontrak usaha patungan internasional tersebut. Arbitrase ICC berpendapat bahwa Turkmenistan tetap terikat kontrak tersebut. Dalam hal ini rasio putusan arbitrase ICC, memperhatikan suasana sekitar yang memberi konteks terhadap isi kontrak tersebut, dan atas dasar itu menyatakan bahwa Turkmenistan terbukti memiliki maksud untuk terikat, meskipun tidak menandatangani kontrak.137 Pertimbangan lain yang mendukung bahwa tindakan Turkmenistan sebelum pembentukan kontrak usaha patungan internasional tersebut ditandatangani oleh para pihak, memperlihatkan keterlibatan yang tinggi dalam masa proses tender internasional, dan beberapa klausula kontrak, seperti jaminan perpajakan dan penetapan nilai tukar hanya dapat dilaksanakan oleh Turkmenistan. Di samping itu, juga terdapat tumpang tindih personalia yang mengawasi proyek tersebut melalui pemerintahan.138 Berbeda dengan putusan arbitrase ICC, suatu putusan pengadilan di Amerika Serikat justeru sebaliknya mempertahankan berlakunya asas personalitas tersebut. Dalam hal ini diputuskan bahwa kontrak semacam itu tidak mengikat, karena Turkmenistan tidak menandatangani dan menjadikan namanya sebagai pihak dalam kontrak tersebut.139 Oleh karena itu, perikatan kontrak tersebut tidak menjangkau pihak ketiga, dalam hal ini Turkmenistan. Dalam konteks Indonesia kadangkala suatu kontrak yang dibuat oleh BUMD, tetapi pada kolom tanda tangan juga ikut ditandatangani oleh kepala daerah, misal gubernur. Jadi, selain penanam modal internasional dan BUMD, juga dilengkapi dengan tanda tangan kepala daerah. Dalam hal ini menjadi persoalan hukum tentang bagaimana kedudukan kepala daerah dalam kontrak tersebut. BUMD sama halnya dengan penanam modal internasional merupakan suatu badan hukum, yang memiliki kedudukan mandiri sebagai subjek hukum, pemangku hak dan kewajiban. Secara konvensional dipahami bahwa yang memiliki tanggung gugat terhadap kontrak tersebut adalah para pihak itu saja, yaitu BUMD dan penanam modal internasional. Dalam hal kepala daerah ikut juga menandatangani 137 Tai-Heng Cheng, “Power, Authority, and International Investment Law” Am. U. Int’l L. Rev. Vol. 20. No. 465, hlm. 5. 138 Ibid., hlm. 5. 139 Ibid., hlm. 5. 75 misal pada kolom mengetahui/menyetujui, di Indonesia terdapat pernbedaan pandangan diantara para ahli. Ada yang berpendapat bahwa walaupun negara/daerah ikut memberikan tanda tangan melalui organnya, kedudukan negara/daerah tetap sebagai pihak ketiga yang tidak terikat. Dalam hal ini negara/daerah hanya memberikan penegasan tentang berlakunya kontrak tersebut secara hukum.140 Berbeda dengan pendapat tersebut, yang lain menyatakan bahwa ketika organ negara/daerah menandatangani kontrak penanaman modal internasional, dapat memberikan arti bahwa negara/daerah tersebut bertindak sebagai penjamin bahwa BUMN/BUMD akan memenuhi ketentuan kontrak tersebut.141 Dengan bertindak sebagai penjamin berarti negara/daerah juga memiliki tanggung gugat atas dasar asas perikatan kontrak. Hal demikian dapat dikuatkan apabila dapat dibuktikan bahwa negara/daerah memiliki peran tertentu yang penting dalam jalannya proses transaksi bisnis internasional tersebut. Penapsiran demikian sejalan dengan maksud ILC Article dan rasio putusan arbitrase ICC dalam kasus Turkmenistan tentang tanggung jawab negara sebagaimana disebutkan di atas. Berdasarkan subjek Provinsi Aceh memiliki kapasitas kontrak secara penuh sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional sejalan dengan teori badan hukum. Dalam hal ini teori badan hukum didukung oleh teori sifat kepentingan, teori sifat subjek, teori 2 (dua) instrumen hukum, dan teori instrumen hukum umum. Kapasitas Provinsi Aceh demikian sama dengan kapasitas negara, provinsi, kabupaten, kota, atau badan hukum publik lain. 3. Berdasarkan Objek Kapasitas tergantung kewenangan dan kewenangan tergantung objek, yaitu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Aceh. Sebelum diuraikan tentang ruang lingkup urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Aceh, sebagai perbandingan mengenai kewenangan daerah ini di Indonesia secara nasional diatur dalam UUPD. UUPD menjabarkan lebih lanjut ketentuan Pasal 18 140 Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda: Penerapan Asas Janji Itu Mengikat dalam Kontrak Bagi Hasil, Jakarta, Fikahati, 2005, hlm. 91. 141 Ibid.,hlm. 91. 76 UUD 1945. Sebagai tindak lanjut pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah diatur dalam PP Pembagian Urusan Pemerintahan Nasional,142 yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, kecuali daerah dengan status otonomi khusus, seperti Provinsi Aceh. UUPD mengatur, antara lain, tentang otonomi daerah,143 termasuk urusan pemerintahan daerah otonom.144 Pasal 3 UUPD menetapkan bahwa daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan suatu daerah otonom, yang memiliki organ sendiri, yaitu pemerintahan daerah, yang dibentuk dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal 5 menegaskan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah otonom tersebut dilaksanakan bedasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pembahasan tentang urusan pemerintahan penting dalam menentukan kapasitas dalam membuat kontrak penanaman modal internasional. Dalam hal ini untuk menentukan ada tidaknya kewenangan daerah dalam suatu urusan pemerintahan sehingga dapat ditentukan ada tidaknya kewenangan daerah otonom dalam urusan pemerintahan tersebut. Hal ini karena kewenangan daerah otonom sama halnya juga dengan Pemerintah terbatas. Sebagian dari urusan pemerintahan tersebut merupakan kewenangan daerah, sementara sebagian lainnya kewenangan pemerintah pusat, dan sebagian lainnya kewenangan bersama antara daerah otonom dan pemerintah pusat, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan. UUPD ternyata belum sepenuhnya dapat menjabarkan teori residu dalam pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.145 Hal ini, antara lain, terimplikasi dari adanya klasifikasi urusan pemerintahan ke dalam 3 (tiga) jenis. Ketiga jenis urusan pemerintahan tersebut meliputi urusan pemerintahan 142 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 143 Pasal 1 angka 6 UUPD mendefinisikan otonomi daerah sebagai “hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 144 Pasal 1 angka 12 UUPD mendefinisikan daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah sebagai “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 145 Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 65. 77 absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.146 Dengan demikian, kewenangan residual berdasarkan teori residu yang seharusnya dimiliki daerah, menjadi tidak terakomodasi secara penuh sebagaimana yang diharapkan. Pertama, urusan pemerintahan absolut, yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Kedua, urusan pemerintahan konkuren, yang dimiliki bersama dan dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah dibedakan lagi antara urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintah pilihan.147 Urusan pemerintahan wajib ada pada semua daerah, sementara urusan pemerintahan pilihan diselenggarakan oleh daerah berdasarkan potensi khusus di daerah tersebut. Dalam klasifikasi UUPD ini penanaman modal merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib, sedangkan kelautan, perikanan, pertanian, kelautan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan dan perindustrian termasuk ke dalam urusan pemerintahan pilihan.148 Ketiga, urusan pemerintah umum, yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Contoh urusan pemerintahan umum ini adalah pembinaan kesatuan bangsa. Dalam konteks UUPD yang penting adalah kewenangan daerah tentang objek/urusan pemerintahan tentang kapasitas daerah dalam kontrak penanaman modal internasional adalah urusan pemerintahan konkuren tersebut. Dalam hal ini menurut UUPD termasuk di dalamnya, baik urusan pemerintahan wajib maupun urusan pemerintahan pilihan. Hal ini karena pada prinsipnya daerah tidak memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan absolut dan urusan pemerintahan umum, yang dimiliki pemerintah pusat. Namun, sesuai namanya urusan pemerintahan konkuren ini pun tidak dimiliki secara absolut oleh daerah, karena dibagi bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian kewenangan daerah menjadi lebih terbatas. 146 Pasal 9 UUPD Pasal 11 UUPD 148 Pasal 12 UUPD 147 78 Berbeda halnya dengan Provinsi Aceh yang berlaku ketentuan khusus, yaitu UUPA.149UUPA memiliki peraturan pelaksanaannya sendiri yang menjabarkan lebih lanjut kewenangan daerah dengan cara yang berbeda dengan UUPD. Peraturan pelaksanaan khusus tersebut terutama adalah PP Kewenangan Pemerintah di Aceh. Di samping itu, juga terdapat PP Migas Aceh, dan beberapa Qanun Aceh khususnya terkait penguasaan sumber daya alam di Aceh, antara lain, tentang penanaman modal, mineral dan batu bara, kehutanan, perkebunan, dan perikanan. Dalam berbagai peraturan pelaksanaan inilah secara mendetil kewenangan tentang objek/urusan pemerintahan diatur. UUPA tampaknya lebih maju dalam menjabarkan lebih lanjut teori residu sebagaimana dianut Pasal 18 UUD 1945 ke dalam peraturan perundang-undangan yang kedudukannya secara hierakhis lebih rendah. Dalam otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA tersebut urusan pemerintahan yang bersifat absolut masih dipertahankan,150 tetapi ditapsirkan luwes sehingga Provinsi Aceh secara terbatas masih juga memiliki kewenangan di dalamnya. Misal tentang politik luar negeri, berdasarkan Pasal 8 UUPA, Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri, kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Utuk itu, telah dibentuk Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh. Demikian juga berdasarkan Pasal 8 UUPA tersebut bahwa rencana perjanjian internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.151 149 Pada salah satu butir konsiderans menimbang UUPA antara lain disebutkan pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya UUPA bahwa untuk“... menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat..” Dan pada butir lainnya juga ditambahkan bahwa “penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia...” 150 Pasal 7 UUPA menetapkan bahwa“(1) Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah. (2) Kewenagan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang besifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional, dan urusan tertentu di bidang agama. 151 Dalam hal ini peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintah Aceh (Perpres Konsultasi dan Pertimbangan Aceh). 79 Dalam UUPA tentang kewenangan daerah otonom diatur Pasal 12 UUPA yang memberikan kewenangan kepada Aceh untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Selanjutnya, UUPA juga mengenal klasifikasi urusan pemerintahan wajib, dengan tambahan khusus, dan urusan pemerintahan pilihan, sebagimana diatur Pasal 16. Pasal 16 UUPA merinci secara detil urusan pemerintahan wajib, dengan tambahan khusus tersebut. Namun, pasal tersebut tidak merinci urusan pemerintahan tambahan. Dalam hal yang terakhir ini dapat ditapsirkan dengan menganalogikannya pada ketentuan hukum umum sebagaimana diatur UUPD, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan asas dan kaidah UUPA tersebut. Dalam UUPD urusan pemerintahan tambahan ini meliputi, antara lain, kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kelautan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, dan perindustrian.152 Urusan pemerintahan yang paling relevan dengan kewenangan daerah dalam pembuatan kontrak penanaman modal internasional adalah tentang pengelolaan sumber daya alam. UUPA mengatur kewenangan pengelolaan sumber daya alam ini, terutama dalam Pasal 156. Pasal 156 UUPA menentukan bahwa yang berwenang dalam pengelolaan sumber daya alam di Aceh adalah Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.153 Pada prinsipnya Provinsi Aceh memiliki kewenangan penuh (full authority) dalam pengelolaan sumber daya alam, yang menjadi kewenangannya. Menurut UUPA pengertian sumber daya alam ini meliputi pertambangan umum (mineral, batu bara, dan panas bumi), kehutanan, pertanian dan perkebunan, dan kelautan dan perikanan.154 Hal ini karena sumber daya alam minyak dan gas bumi kewenangan 152 Pasal 12 ayat (3) UUPD Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) UUPA menetapkan bahwa “(1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksploitasi, eksplorasi, dan budidaya. 154 Pasal 156 ayat (3) UUPA menetapkan bahwa “ sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan...” 153 80 pengelolaan tersebut tidak penuh, karena berdasarkan Pasal 160 UUPA dibagi bersama antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh.155 Dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya, kecuali minyak dan gas bumi, kewenangan pemerintah pusat dengan demikian terbatas hanya pada penetapan norma, standar, dan prosedur.156 Penetapan norma, standar dan prosedur ini memang pada prinsipnya selalu ada pada pemerintah pusat, sebagai bagian dari pemilihan bentuk negara kesatuan dalam konstitusi. Namun, kewenangan pemerintah pusat dalam penetapan norma, standar, dan prosedur demikian tidak boleh digunakan dengan maksud untuk mengurangi kewenangan yang telah diberikan kepada suatu daerah otonom.157 Selain penetapan norma standar dan prosedur pemerintah pusat juga masih memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Dalam hal ini berlaku untuk segala urusan pemerintahan, termasuk urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan suatu daerah otonom.158 Pengaturan lebih lanjut tentang kewenangan Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya, maupun sumber daya alam minyak dan gas bumi pada khususnya diatur dalam berbagai peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan ada baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Di bawah ini disebutkan beberapa yang terpenting terkait keweangan Provinsi Aceh dalam pemenuhan persyaratan keabsahan kontrak penanaman modal internasional. Pertama, PP Kewenangan Pemerintah di Aceh. Dalam konsiderans menimbang disebutkan bahwa PP Kewenangan Pemerintah di Aceh dimaksudkan Pasal 160 UUPA menetapkan bahwa “ (1)Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh.... (3) Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh.” 156 Pasal 156 ayat (6) UUPA menetapkan bahwa “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah.” 157 Pasal 11 ayat (2) UUPA menetapkan bahwa “ Norma, standar, dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.” 158 Pasal 11 UUPA menetapkan bahwa “ Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.” Bandingkan dengan ketentuan serupa dalam Pasal 7 ayat (1) UUPD yang menetapkan bahwa “Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Daerah.” 155 81 sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan UUPA sebagaimana ditentukan Pasal 270.159 Dalam hal ini diatur dalam suatu instrumen hukum berbentuk peraturan pemerintah di tingkat pusat. Hal ini berbeda dengan instrumen hukum yang digunakan dalam penjabaran lebih lanjut kewenangan Pemerintah Aceh, yang menurut Pasal 270 diatur dalam produk hukum berbentuk Qanun Aceh.160 Pasal 4 PP Kewenangan Pemerintah di Aceh menjabarkan kewenangan pemerintah pusat dalam penetapan norma, standar, dan prosedur, serta pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksudkan UUPA tersebut. Dalam hal ini ditetapkan daftar urusan pemerintahan dan luasnya kewenangan pemerintah pusat di wilayah Aceh. Daftar tersebut harus ditapsirkan dalam bingkai atau sejalan dengan asas dan kaidah yang ada di dalam UUPA itu sendiri, sebagai ketentuan hukum khusus yang lebih tinggi kedudukannya, dan yang dalam banyak hal berbeda pengaturannya dengan ketentuan hukum umum sebagaimana diatur UUPD. Daftar yang menjadi kewenangan pemerintah pusat tersebut meliputi 32 urusan pemerintahan. Beberapa diantaranya, meliputi penanaman modal, kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan dan perindustrian. Ke 32 (tiga puluh dua) urusan pemerintahan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam subbidang dan sub-subbidang yang lebih terinci. Dalam hal ini ditempatkan dalam suatu lampiran yang tidak terpisahkan dengan PP Kewenangan Pemerintah di Aceh tersebut.161 Terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, karena pada umumnya sudah menjadi kewenangan penuh Aceh, PP ini pada intinya hanya mengatur tentang norma, standar, dan prosedur, serta juga pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksudkan UUPA. Kedua, PP Migas Aceh. Dalam konsiderans menimbang disebutkan bahwa PP Migas Aceh merupakan pengaturan tindaklanjut dari ketentuan Pasal 160 ayat (5) Pasal 270 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa “Kewenagan Pemrintah yang bersifat nasional dan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan perundang-undangan.” 160 Pasal 270 ayat (2) menetapkan bahwa “Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan Qanun Aceh.” 161 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh. 159 82 UUPA yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi.162 Beberapa ketentuan PP Migas Aceh terkait kewenangan antara lain diatur Pasal 2. Pasal 2 ayat (2) menetapkan bahwa sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut wilayah kewenangan Aceh dikelola bersama antara pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut ditambahkan bahwa luas kewenangan Aceh pada subbidang minyak dan gas bumi ini meliputi wilayah daratan dan lautan sepanjang 12 mil laut. Sebagai perbandingan ketentuan otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA dalam pengelolaan minyak dan gas bumi ini berbeda dengan pengaturan umum secara nasional, sebagaimana diatur UUPD.163 PP Migas Aceh juga mengatur tentang pembentukan Badan Pengelola Minyak dan Gas Aceh (BPMA).164BPMA yang berkedudukan dan berkantor pusat di Banda Aceh ini berada di bawah Menteri dan bertanggungjawab kepada Menteri dan Gubernur, sebagai suatu badan pemerintah.165 Pasal 12 PP Migas Aceh merinci tugas dan wewenang BPMA, antara lain menandatangani kontrak kerja sama dan mewakili BPMA di dlam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, jelas bahwa BPMA ini merupakan badan hukum publik, yang pembentukan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini sama dengan pemerintah pusat dan daerah otonom bertindak sebagai subjek hukum, pemangku hak dan kewajiban. BPMA sebagai badan hukum juga memiliki kewenangan untuk menjadi pihak dalam suatu kontrak penanaman modal internasional. Pasal 160 ayat (5) UUPA menetapkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan dalam Penjelasan ayat (5) dipaparkan bahwa”yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah sebagiamana dimaksud dalam ketentuan ini adalh hal-hal yang telah disepakati bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh, antara lain penunjukan dan pembentukan badan pelaksana, tata cara negosiasi, membuat perjanjian kerja sama, penentuan target jumlah produksi minyak dan gas bumi, produksi yang dijual (lifting) dan pengembalian biaya produksi (cost recovery), bagi hasil, pengawasan, pengembangan masyarakat, kewajiban reklamasi, dan penunjukan auditor independen.” 163 Pasal 14 ayat (3) UUPD mentapkan bahwa “Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.” 164 Pasal 1 angka 22 PP Migas Aceh mendefinisikan BPMA sebagai “suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut). 165 Pasal 11 ayat (1) dan (2) jo Pasal 10 ayat (2) PP Migas Aceh. 162 83 Ketiga. Qanun Aceh Penanaman Modal. Qanun Aceh Penanaman Modal, antara lain mengatur pembagian kewenangan bidang penanaman modal antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh. Dalam salah satu butir konsiderans menimbang Qanun Aceh Penanaman Modal disebutkan dasar kewenangan Aceh dalam bidang penanaman modal dalam rangka otonomi khusus Aceh berdasarkan UUPA. Dasar hukum tersebut meliputi Pasal 154 sampai dengan Pasal 160, Pasal 165, Pasal 166, Pasal 213 dan Pasal 253 UUPA. Pasal 7 Qanun Aceh Penanaman Modal menegaskan bahwa penanam modal asing yang menanamkan modalnya di Aceh harus berbentuk Perseroan terbatas (PT), yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.166 Pasal 20 Qanun Aceh Penanaman Modal menetapkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota memberikan izin yang terkait dengan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing.167 Pasal 23 Qanun Aceh Penanaman Modal menegaskan luas lingkup kewenangan Provinsi Aceh dalam bidang penanaman modal. Satu diantaranya yang paling terkait dengan kontrak penanaman modal internasional adalah kewenangan mengadakan kerja sama penanaman modal. Dalam hal ini Provinsi Aceh berwenang untuk melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan baik publik maupun swasta di dalam dan di luar negeri dalam rangka penanaman modal.168 Dengan demikian atas dasar ketentuan ini Provinsi Aceh dapat memiliki kewenangan untuk mengikatkan diri dalam suatu kontrak penanaman modal internasional. Keempat, Qanun Aceh Perikanan. Qanun Aceh perikanan antara lain mengatur tentang pembagian kewenangan bidang perikanan antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh. Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) Qanun Aceh Perikanan menegaskan kewenangan Aceh di bidang perikanan berdasarkan UUPA. 166 Pasal 7 ayat (3) Qanun Aceh Penanaman Modal. Pasal 20 ayat (1) Qanun Aceh Penanaman Modal. Ketentuan ini mengulang kembali ketentuan Pasal 165 ayat (3) UUPA yang menetapkan bahwa “Pemerintah aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenagannya dapat...memberikan izin yang terkait dengan penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing...dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional. Ketentuan Pasal 165 ayat (3) UUPA ini yang mmeberikan kewenagan pemeberian izin PMA ini merupakan salah satu wujud otonomi khusus Aceh, karena di daerah lain atau secara nasional hal tersebut hingga kini masih berada pada Pemerintah. 168 Pasal 23 ayat (1) huruf h Qanun Aceh Penanaman Modal. 167 84 Ditegaskan bahwa pengelolaan sumber daya ikan atas wilayah laut Aceh, perairan kepulauan dan perairan pedalaman, sungai, danau, waduk, rawa, dan pengenangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan adalah kewenangan bersama antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh.169 Kewenangan bersama perikanan di Aceh dibagi antara Provinsi Aceh dan kabupaten/kota. Dalam hal ini Provinsi memiliki kewenangan di atas 4 mil laut, sedangkan kabupaten/kota memiliki kewenangan dalam jarak empat mil laut diukur dari garis pantai.170 Kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota tersebut, antara lain, meliputi pelaksanaan kerja sama dalam pengelolaan sumber daya ikan.171Tentang penanaman modal di bidang perikanan diatur Pasal 57 yang menyatakan bahwa Pemerintah Aceh memberikan izin penanaman modal di bidang perikanan kepada warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia atau warga negara asing dan badan hukum asing yang harus berdomisili atau berkantor di Aceh.172 Kelima, Qanun Aceh Perkebunan. Qanun Aceh Perkebunan, antara lain mengatur tentang pembagian kewenangan pengelolaan perkebunan antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota di Aceh. Gubernur Aceh memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin usaha perkebunan dengan luas 25 (dua puluh lima) hektar sampai dengan 200 (dua ratus) hektar setelah mendapatkan rekomendasi dari kabupaten/kota, yang terletak pada lintas kabupaten/kota.173 Sedangkan, bupati/walikota berwenang mengeluarkan izin usaha perkebunan dengan luas lahan 25 (dua puluh lima) sampai dengan 200 (dua ratus) hektar di dalam wilayah kabupaten/kota tersebut.174 Pasal 9 Qanun Aceh Perkebunan menegaskan bahwa badan usaha asing atau perseorangan warga negara asing yang melakukan usaha perkebunan di wilayah 169 Dalam Penjelasan Umum Qanun Aceh Perikanan, antara lain, dijelaskan dasar hukum kewenagan yang diatur berasal terutama dari Pasal 156, Pasal 162, dan Pasal 165 UUPA. 170 Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Qanun Aceh Perikanan. 171 Pasal 7 huruf d Qanun Aceh Perikanan. 172 Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) Qanun Aceh Perikanan. 173 Pasal 12 ayat (1) Qanun Aceh Perkebunan 174 Pasal 11 ayat (3) Qanun Aceh Perkebunan. 85 Aceh, wajib bekerja sama denagn usaha perkebunan lokal atau nasional dengan membentuk badan hukum Indonesia sesuai peraturan perundang- undangan.175Dengan demikian, penanaman modal internasional tidak dapat dilakukan dengan sepenuhnya milik asing. Yang dimungkinkan adalah usaha patungan antara modal asing dan modal lokal atau nasional dengan membentuk badan hukum usaha patungan. Modal lokal atau nasional tersebut dapat dimiliki oleh Provinsi Aceh. Keenam, Qanun Aceh Minerba. Qanun Aceh Minerba, antara lain, menegaskan kewenangan Aceh dalam pengelolaan pertambangan umum (mineral dan batu bara). Dalam salah satu butir konsiderans menimbang Qanun Aceh Minerba ditegaskan bahwa Pemerintah Aceh berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pertambangan mineral dan batubara. Kewengan tersebut, antara lain, berdasarkan Pasal 7, Pasal 11, Pasal 43, Pasal 156 sampai dengan Pasal 165 UUPA. Terkait penanaman modal internasional, Pasal 13 Qanun Aceh Minerba menegaskan bahwa izin usaha pertambangan khusus (IUPK) diberikan oleh Gubernur Aceh berdasarkan permohonan yang diajukan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta atau badan usaha internasional.176 Penjelasan Pasal 13 menegaskan pengertian badan usaha asing tersebut, yaitu yang telah bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Aceh (BUMA). Dalam hal ini BUMA menguasai paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) saham.177 Dengan demikian, BUMA sebagai pemegang saham mayoritas, dan sekaligus juga berarti perusahaan itu sendiri menjadi suatu BUMA.178 Perlu juga diperhatikan hukum domestik yang berlaku terhadap kontrak tersebut, supaya tidak menimbulkan risiko dalam pelaksanaan dari kemungkinan 175 Pasal 9 ayat (2) Qanun Aceh Perkebunan. Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Minerba. 177 Penjelasan Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh Minerba. 178 Pasal 1 Qanun Aceh Nomor 16 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Aceh pada Badan Usaha Milik Aceh (Qanun Aceh Penyertaan Modal BUMA) medefinisikan BUMA sebagai “semua perusahaan yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Aceh yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang. Sejalan dengan maksud ketentuan yang sama dalam UU BUMN dan UUPD frasa untuk “sebagian” seharusnya disebutkan untuk “sebagian besar.” Artinya, apabila modal daerah kurang dari 51 % (lima puluh satu persen) atau tidak menjadi pemegang saham mayoritas, perusahaan tersebut belum dapat disebut sebagai BUMA atau BUMD, tetapi perusahaan swasta yang sebagian kecil sahamnya dimiliki daerah. 176 86 dinyatakan tidak sah. Demikian juga ketika ada sengketa yang diputuskan arbitrase dianggap bertentangan dengan kebijakan publik di negara pengeksekusi sebagaimana diatur dala Konvensi New York 1958. Akan tetapi, terdapat juga kemungkinan lain bahwa sengketa tidak diadili dan diputus berdasar hukum domestik tertentu, tetapi berdasarkan hukum transnasional/internasional sejalan dengan asas internasionalisasi dalam kontrak penanaman modal internasional.179 Berdasarkan objek Provinsi Aceh memiliki kapasitas kontrak untuk menjadi pihak dalam kontrak penanaman modal internasional, sepanjang materi muatan kontrak atau bidang usaha transaksi bisnis internasional dalam penanaman modal internasional tersebut berada dalam ruang lingkup objek atau urusan pemerintahan Aceh. Dalam hal ini kapasitas kontrak tergantung pada ada tidaknya kewenangan terhadap objek atau dalam urusan pemerintahan tersebut, berdasarkan teori kewenangan daerah dan kaidah hukum administrasi/tata negara. Artinya, terhadap objek atau urusan pemerintahan tertentu tidak berada di bawah kewenangan Provinsi Aceh, tetapi di bawah kewenangan instansi pemerintahan lain atau berada di bawah kewenangan bersama. Dikaitkan dengan teori kewenangan daerah, kewenangan yang dimiliki Provinsi Aceh sebagai pihak dalam kontrak internasional pada umumnya merupakan kewenangan atributif. Kewenangan atributif merupakan kewenangan asli atau kewenangan asal, yang diperoleh daerah langsung dari peraturan perundangundangan. Hal ini berbeda dengan kewenangan delegatif, yang diberikan melalui instansi lain. Artinya, dalam kewenangan delegatif tersebut aslinya atau asalnya merupakan kewenangan instansi lain, misal pusat, yang kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan didelegasikan kepada Provinsi Aceh. Baik dalam kewenangan atributif, maupun dalam kewenangan delegatif, disertai secara otomatis dengan pengalihan tanggung jawab/tanggung gugat kepada daerah penerima kewenangan. Supaya tercapai tujuannya, pelaksanaan kewenangan atributif daerah memerlukan bantuan dan fasilitasi pusat. Tanpa bantuan dan fasilitasi pusat, baik 179 M. Sornarajah-1, The Settelement of Investment Disputes, The Hague, Kluwer Law International, hlm. 95-111. Lihat juga M. Sornarajah-2, The Law on Foreign Investment. 2nd.Ed. U.K., Cambridge University Press, 2007, hlm. 433-434. 87 melalui peraturan perundang-undangan yang tidak kontradiktif, maupun melalui berbagai cara lain, pelaksanaan kewenangan atributif yang dimiliki daerah tidak akan dapat diwujudkan dengan maksimal. Hal ini, antara lain, karena dalam banyak hal walaupun kewenangannya sudah diberikan kepada daerah, tetapi pelaksanaannya masih tergantung atau terkait dengan pusat. Untuk itu, pemberian kewenangan kepada daerah perlu disertai dengan keikhlasan untuk mendukung pelaksanaannya di lapangan. Apabila tidak, daerah tidak akan memperoleh banyak manfaat dari adanya kewenangan atributif tersebut. Selain kewenangan atributif, khusus dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional, terdapat juga kewenangan mandat. Di sini kewenangan pejabat atasan tertentu dimandatkan kepada pejabat bawahannya, tanpa diiringi dengan pengalihan tanggung jawab/tanggung gugat. Tanggung jawab dalam kewenangan mandat tetap pada pejabat atasan yang memberikan mandat tersebut. Dalam hal ini misal yang berwenang menandatangani kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh adalah gubernur. Gubernur, dalam hal ini, dapat memberi mandat kepada kepala dinas atau kepala badan tertentu yang berada di bawah jajaran pemerintahan Aceh untuk menandatangani kontrak tersebut. Meskipun memiliki kapasitas kontrak berdasarkan objek atau urusan pemerintahan tersebut, sebagai negara kesatuan dengan sistem desentralisasi berdasarkan UUD 1945, pusat masih tetap memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kapasitas kontrak oleh daerah. Dalam hal ini tingkatan pembinaan dan pengawasan yang diperlukan berbeda, tergantung objek atau urusan pemerintahan yang dibina dan diawasi sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan. Yang penting pembinaan dan pengawasan yang dilakukan atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tersebut haruslah proporsional sehingga tidak mengurangi kewenangan daerah yang ada tersebut. Apabila pembinaan dan pengawasan yang diberikan pusat dapat mengurangi kewenangan daerah sebagaimana yang telah diberikan peraturan perundang-undangan tersebut, berarti pusat telah mengatur sesuatu atau bertindak melampaui batas yang dimaksudkan. Untuk itu, perlu diatur dengan baik. 88 C. Perancangan Salah satu cara untuk dapat mewujudkan akselerasi penanaman modal internasional di Provinsi Aceh adalah dengan meningkatkan peran Provinsi Aceh dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional. Peran secara umum berarti kedudukan yang dimiliki dalam suatu situasi tertentu, yang menentukan sejauhmana keterlibatannya dalam situasi tersebut.180 Sedangkan perancangan secara umum berarti “proses, cara, perbuatan merancang,” merancang adalah “mengatur sesuatu (sebelum bertindak, mengerjakan atau melakukan sesuatu); merencanakan.”181 Perancangan secara keseluruhannya meliputi 3 (tiga) tahapan. Pertama, tahap prarancangan, kedua tahap rancangan, dan ketiga tahap pascarancangan. Pembahasan di bawah ini dibatasi hanya pada tahap rancangan saja. 1. Naskah Awal Kontrak Langkah pertama pada tahap rancangan kontrak ini adalah mencari dan menemukan segala informasi yang diperlukan untuk merancang kontrak tersebut. Informasi tersebut dapat berupa bahan hukum dan bahan nonhukum. Dengan demikian perancang kontrak harus menguasai baik fakta maupun hukum. Informasi mengenai fakta dan hukum dapat dipeoleh melalui wawancara dan penelitian hukum. Jadi, idealnya sebelum mulai menyiapkan naskah awal kontrak, perancang terlebih dahulu melakukan wawancara dengan klien dan penelitian hukum, sebagai bagian dari pekerjaan profesional seaorang ahli hukum yang bertindak selaku perancang kontrak. Dalam penelitian hukum perancang kontrak sama halnya dengan pada uji tuntas/studi kelayakan tidak hanya melakukan pengumpulan data kepustakaan hukum untuk mencari dan menemukan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Akan tetapi, perancang kontrak juga melakukan pengumpulan bahan nonhukum 180 John Sinclear et al (Editors), Op. Cit., hlm. 1258. Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, hlm. 815. 181 89 berupa data kepustakaan ilmu lain, terkait langsung dengan objek pengaturan kontrak penanaman modal internasional atau bidang usaha transaksi bisnis internasional tersebut. Jadi, informasi yang diperlukan tidak hanya bersifat tekstual hukum, tetapi juga kontekstual bidang usaha penanaman modal. Bahan tekstual tersebut dapat diperoleh dari perpustakaan, jaringan informasi Internet dan dokumen prakontrak. Sedangkan bahan kontekstual dapat meliputi pengetahuan tentang objek transaksi tersebut, seperti bisnisagro, energi dan infrastruktur, pariwisata, teknologi multimedia, dan sebagainya, tergantung bidang usaha penanaman modal tertentu. Wawancara dengan klien untuk mengetahui fakta dan kehendak serta kebutuhan para pihak yang sesungguhnya harus sudah dimulai sebelum melakukan penelitian hukum dan objek bisnis. Informasi yang diperlukan dapat juga diperoleh melalui keikutsertaan perancang kontrak dalam tahapan prarancangan, yaitu negosiasi, pembahasan nota kesepahaman, dan uji tuntas/studi kelayakan sebagaimana diuraikan di atas. Setelah itu, perancang pertamakali membuat kerangka kontrak. Dalam membuat kerangka kontrak, selain catatan dan daftar identifikasi masalah hasil wawancara dan penelitian hukum, juga dapat dipedomani buku tentang bentuk kontrak (forms books), atau contoh/model kontrak yang ada. Untuk bidang kontrak tertentu, seperti minyak dan gas kadangkala terdapat kaidah hukum publik tentang syarat minimum isi kontrak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, perancang kontrak perlu berpedoman pada daftar klausula minimum tersebut. Atas dasar kerangka tersebut, kemudian perancang kontrak menulis naskah awal kontrak. Dalam penulisan naskah awal ini faktor penguasaan bahasa hukum menjadi penting untuk mencapai keberhasilannya. Sebagai pedoman Scott J. Burnman merekomendasikan beberapa langkah untuk dapat menghasilkan suatu kontrak dengan bahasa lugas. Pertama, mengetahui hukum berdasarkan perubahan terakhir. Kedua, mengidentifikasikan masalah dengan membuat check list. Ketiga, membuat kerangka yang logis dan sistematis. Keempat, membaca kembali untuk menilai kebaikan dan 90 kebenaran bahasakontrak. Kelima, memperbaiki desain keseluruhan dokumen (style). Keenam, membuat kontrak tersebut terlihat baik dengan sistematika yang logis.182 Dalam praktik di Provinsi Aceh pada umumnya penulisan naskah awal dilakukan penanam modal internasional. Dalam hal ini penanamam modal internasional menfaatkan jasa kantor hukum (law firms) internasional, termasuk yang ada di Indonesia. Misal dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi di Wilayah Pase, yang membutuhkan naskah perjanjian usaha patungan dengan para pihak PDPA dan Triangle Energy (Global) Limited, Australia, pihak yang menyiapkan naskah awal kontrak bukan PDPA, tetapi penanam modal internasional tersebut. Dalam penulisan naskah awal meskipun para pihak sudah sama-sama memiliki tenaga ahli hukum dan/atau perancang kontrak, yang sudah dilibatkan sejak tahap prakontrak, tetapi disepakati yang bertugas menulis naskah awal adalah pihak penanam modal internasional tersebut. Penanam modal internasional lazimnya menggunakan jasa kantor hukum besar di Jakarta.183 Perjanjian usaha patungan tersebut dilakukan sehubungan dengan adanya perubahan hukum lama ke hukum baru berdasarkan UUPA tentang kewenangan pengelolaan minyak dan gas Aceh, yang memberikan Aceh hak pengelolaan bersama dengan pusat. Apabila dinilai berdasarkan asas keseimbangan dalam arti sempit, penyerahan tugas kepada pihak penanam modal internasional dapat tidak menguntungkan negara/daerah. Hal ini karena pihak yang merancang cenderung untuk lebih besar menampung kepentingannya daripada kepentingan pihak lain. Namun, hal demikizn lazim terjadi dalam praktek, dengan alasan pihak penanam modal internasional menaggung risiko penanaman modal yang lebih besar daripada daerah. Oleh karena itu, apabila diukur berdasarkan asas itikat baik atau asas proporsionalitas sudah sesuai. Dengan kata lain, hal demikian adalah wajar dan patut atau proporsional. Secara umum kontrak internasional, termasuk kontrak penanaman modal internasional memiliki kerangka yang sama, meliputi judul, kata pembuka, para 182 Scott J. Burnham, Drafting Contract, Charlottesville, Virginia, The Michie Company Law Publishers, 1987, hlm. 205. 183 M. Nur Rasyid, Ahli hukum yang mewakili Provinsi Aceh/PDPA dalam perancangan kontrak usaha patungan internasional pengelolaan minyak dan gas bumi wilayak kerja blok Pase, Wawancara, 16 Juni 2015. 91 pihak, pertimbangan (recitals), isi, kata penutup dan tanda tangan. Namun, variasi terdapat pada bagian isi. Terdapat perbedaan kecenderungan antara perancang kontrak luar negeri yang berasal dari negara dengan latar belakang sistem hukum common law dan perancang kontrak dalam negeri Indonesia dengan latar belakang sistem hukum civil law dalam merancang bagian operatif. Pada bagian operatif inilah komponen budaya hukum berperan. Perbedaan dalam perumusan bagian operatif kerangka kontrak tersebut dilatarbelakangi perbedaan sejarah hukum, kebiasaan, dan pengalaman masing-masing perancang kontrak tersebut. Perancang kontrak luar negeri cenderung memasukkan klausula yang umum di negara-negara common law, yang menginginkan isi kontrak dimuat selengkap mungkin, untuk memaksimalkan perlindungan kepentingan penanam modal internasional terhadap pengembalian modal dan perolehan laba yang wajar. Sedangkan perancang kontrak dalam negeri mengikuti tradisi di negara dengan sistem hukum civil law bahwa, karena telah ada kaidah mengatur isi kontrak relatif tidak terlalu lengkap, bahkan banyak yang tipis. Namun yang penting apabila terdapat kaidah hukum publik yang memaksa, hal tersebut harus ditampung supaya kontrak formal tersebut sah dalam pandangan hukum. Perancang kontrak luar negeri melengkapi bagian isi kerangka kontrak sedemikian rupa sehingga menjadi relatif lengkap dan tebal. Bagian isi tersebut meliputi klausula definisi, klausula pokok, klausula syarat tangguh, kalusula pernyatan dan jaminan, klausula melakukan dan tidak melakukan, klausula kegagalan, wanprestasi, keadaan memaksa, keadaan sulit, dan perubahan keadaan, klausula penyelesaian sengketa, dan klausula umum yang standar. Klausula umum yang standar sendiri, memasukkan ke dalamnya beberapa klausula yang umum digunakan hampir pada semua kontrak internasional, meliputi subklausula pilihan hukum, pilihan forum, pilihan bahasa, pengalihan, kekebalan, pelepasan tanggung gugat, jaminan, keterpisahan, keseluruhan persekutuan, kerahasiaan dan pemberitahuan. kontrak, perubahan, ketiadaan 92 Sebagai perbandingan perancang kontrak dalam negeri memuat sebagian dari klausula yang diperlukan.184 Misal kerangka kontrak tersebut hanya memuat klausula yang meliputi ketentuan umum, maksud dan tujuan, objek kontrak, pelaksanaan kerja sama, kewajiban dan hak pihak pertama, kewajiban dan hak pihak kedua, lokasi dan wilayah, jangka waktu, penerimaan bagi hasil, pengakhiran kontrak, keadaankahar, penyelesaian sengketa, addendum, dan penutup. Untuk kontrak kerja sama pengelolaan bersama minyak dan gas bumi Aceh terdapat format khusus kerangka kontrak, paling kurang berisi klausula yang disyaratkan Pasal 43 PP Migas Aceh. Klausula minimum tersebut terdiri atas penerimaan negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, penyelesaian perselisihan, kewajiban pemasokan minyak dan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pascaeksplorasi dan eksploitasi, kesehatan dan keselamatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban, pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat, dan pengutamaan pengunaan tenaga kerja Indonesia. Bagian operatif kontrak penanaman modal internasional dapat menunjukkan adanya perbedaan antara kontrak internasional pada umumnya dan kontrak penanaman modal internasional pada khususnya. Selain itu, tentu saja perbedaan dapat dilihat pada para pihak subjek kontrak. Subjek kontrak internasional pada umunya antara swasta dan swasta lintas negara, sedangkan subjek kontrak penanaman modal internasional antara negara/daerah dan swasta lintas negara. Negara/daerah dalam hal ini, sering juga mengalihkan perannya sebagai pihak kepada BUMD/BUMA. Apabila itu terjadi seperti pada pengelolaan minyak dan gas bumi Aceh wilayah blok Pase, yang menjadi pihak adalah PDPA dan Triangle Energy (Global) Limited, Australia. 184 Joint Venture Agreement antara Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh dan Utopia In Network Co. Ltd., South Korea, 2013. 93 Melihat contoh standar minimum isi kontrak migas berdasarkan PP Migas Aceh, dapat diketahui klausula khas untuk kontrak penanaman modal internasional. Klausula khas tersebut pada umumnya dimaksudkan untuk memaksimalkan perlindungan kepeda negara/daerah dalam penguasaan sumber daya alam dan perolehan manfaat darinya. Klausula tersebut, antara lain, meliputi penerimaan negara, kewajiban pascaeksplorasi dan eksploitasi, kesehatan dan keselamatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pelaporan yang diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat, dan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia. Perhatian yang besar terhadap perumusan klausula tersebut dapat menjadikan kontrak internasional lebih seimbang. Selanjutnya naskah awal kontrak perlu ditelaah untuk perbaikannya. 2. Penelaahan Perangkat daerah Aceh yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam bidang ini adalah Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh. Biro Hukum memiliki 4 (empat) bagian. Satu diantaranya adalah Bagian Bantuan Hukum dan Kerja Sama. Pada bagian ini terdapat 3 (tiga) Subbagian. Satu diantaranya adalah Subbagian Naskah Kerja Sama. Oleh karena pada umumnya naskah kontrak disiapkan penanam modal internasional, Biro Hukum tidak merancang naskah kontrak baru atau naskah kontrak tandingan. Akan tetapi, hanya melakukan penelaahan kontrak (contract review). Naskah kontrak yang ada tersebut diperiksa kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan Provinsi Aceh. Dalam hal ini Biro Hukum beserta tenaga ahli yang diperbantukan terlebih dahulu melakukan penelitian hukum tentang permasalahan hukum terkait, sebelum menulis laporan hasil penelaaahan atau telaah staf. Biro Hukum di samping menilai kesesuaian antara kontrak dan peraturan perundang-undangan, juga melakukan perbaikan bahasa hukum.185Dalam menilai kesesuaian tersebut Biro Hukum berpedoman pada peraturan perundang-undangan, 185 Sabaruddin, Kabag. Bantuan Hukum dan Kerja Sama, dan Zulkifli, KaSubBag. Naskah Kerja Sama pada Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, Wawancara, 16 Agustus 2015. 94 baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Dalam hal ini petugas atau tim yang ditunjuk Biro Hukum, tergantung skala dan tingkat kerumitan kontrak, terlebih dahulu mengadakan penelitian hukum doktrinal. Dalam hal tertentu sebagai tambahan dilakukan juga penelitian hukum emperik dengan mewawancarai pihak terkait. Dalam memperbaiki bahasa hukum, Biro Hukum memiliki tenaga ahli hukum yang menguasai bahasa Inggris hukum. Dalam hal ini berpedoman pada penggunaan bahasa Inggris hukum yang baik dan benar, khususnya bahasa Inggris kontrak. Bahasa Inggris hukum, sama halnya dengan bahasa Indonesia hukum atau bahasa hukum memiliki karakter khusus. Dengan demikian, di samping tunduk pada kaidah bahasa yang umum juga memberi penekanan pada pada hal-hal yang khusus. Dalam hal ini penekanan diberikan pada aspek kejelasan arti, kepaduan pikiran, kelugasan komposisi, dan keresmian pengunaan.186 Dalam praktik tidak selalu Biro Hukum dilibatkan dalam penelaahan kontrak penanaman modal internasional. Hal ini tergantung pada ada tidaknya kebutuhan khusus dari setiap transaksi bisnis internasional yang melibatkan Provinsi Aceh sebagai pihak. Dalam ada kebutuhan khusus Provinsi Aceh membentuk tim khusus untuk melaksanakan tugas tertentu di bidang hukum, termasuk dalam penelaahan kontrak. Misal dalam rangka pengelolaan minyak gas Aceh pascaUUPA, Provinsi Aceh telah beberapa kali membentuk tim khusus. Pada tahun 2006 dan tahun 2007 dibentuk Tim Advokasi Migas, pada tahun 2012 Tim Perumus Kelanjutan Pengelolaan Migas Blok Pase Aceh, pada tahun 2013 tim Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Aceh, dan pada tahun 2014 Tim Bersama Perpanjangan Wilayah Kerja Pase. Tim tersebut memiliki masa kerja selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang apabila masih dibutuhkan. Terkait pilihan bahasa terdapat ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU B2LNLK).187 Pasal 31 UU B2LNLK menetapkan bahwa naskah kontrak penanaman 186 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiati, Bahasa Indonesia Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 2-5. 187 Pasal 31 UUB2LNLK bahwa “(1) bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah RI, lembaga 95 modal internasional tersebut harus berbahasa Indonesia dan menggunakan bahasa asing negara asal penanam modal internasional atau bahasa Inggris. Ketentuan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia berdasarkan UU B2LNLK pernah diuji sampai ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI). Dalam hal ini kasus Nine AM Ltd. melawan PT Bangun Karya Pratama (BKP).188Putusan MARI dalam kasus ini menguatkan putusan PN Jakbar dan PT DKI Jakarta tentang hal tersebut. Kasus Nine AM Ltd. melawan PT BKP bermula ketika adanya kontrak pinjam meminjam uang internasional (international loan agrement) dengan jaminan fidusia, antara peminjam (BKP) dan yang meminjamkan uang (Nine AM Ltd.). Kontrak internasional dengan klausula pilihan hukum Indonesia ini semula berjalan baik, karena peminjam secara teratur melakukan penyetoran pembayaran secara periodik sesuai ketentuan kontrak. Akan tetapi, kemudian berubah karena peminjam tidak meneruskan penyetoran sisi hutang tersebut, dan menggugat ke PN Jakbar karena kontrak tidak memenuhi persyaratan bahasa sebagaimana ditentukan Pasal 31 UU B2LNLK tersebut, yang tidak dirancang dalam bahasa Indonesia, tetapi hanya dalam bahasa Inggris. PN Jakbar, yang dikuatkan PT DKI Jakarta dan MARI menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum dan peminjam wajib mengembalikan sisa uang yang telah diterima.189Dengan demikian alam praktik paling kurang ada 2(dua) versi bahasa kontrak, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing atau bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Pada umumnya naskah awal karena dirancang oleh perancang kontrak bertaraf internasional menggunakan bahasa Inggris. Naskah asli berbahasa Inggris ini kemudian diterjemahkan oleh ahli bahasa ke dalam bahasa Indonesia, yang kualitasnya kadang-kadang kurang sehingga Biro Hukum perlu memperbaiki untuk swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. (2) nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksudkan ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.” 188 Putusan MARI Nomor 601K/PDT/2015. 189 Hukum Online, “ MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris, Rabu, 16 September 2015, www.hukumonline.com/berita/baca/IT55f90b8cabd/ma-tolak-kasasi-perkaragugatan- kontrak-berbahasa-inggris 96 meningkatkan kualitas penerjemahan tersebut. Walaupun demikian, ada juga naskah yang dari awal disiapkan dwi bahasa Indonesia dan Inggris. Kontrak usaha patungan internasional minyak dan gas bumi wilayah Pase antara PDPA dan Triangle Energy (Global), Australia, dari awal disiapkan dalam lembaran yang didesain ke dalam dua kolom. Masing-masing berisi teks bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam setiap lembaran tersebut. Naskah kontrak yang dibuat dalam bahasa Inggris pun seringkali tidak sempurna, karena itu selalu terbuka kesempatan untuk memperbaiki sehingga lebih berkualitas dan lebih sesuai dengan kebutuhan khusus transaksi tertentu serta hukum yang berlaku di Indonesia dan Provinsi Aceh. Dalam hal ini aspek bahasa Inggris hukum atau bahasa Inggris kontrak menjadi penting untuk diperhatikan. Secara umum terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam perbaikan bahasa kontrak sebagaimana dikemukakan Paul Rylance.190 Pertama, akurasi (accurancy). Kedua, kelengkapan (complateness). Ketiga, ketepatan (precision). Keempat, kejelasan/kejernihan (clearrness). Kelima, kekinian (contemporary). Dan keenam kelugasan/kesederhanaan (plainly). Akurasi diperlukan untuk menghindari kesalahan atau ketidakefektifan dalam penuangan maksud para pihak. Kelengkapan diperlukan supaya bahasa kontrak dapat menampung pengaturan segala hak ada kewajiban yang diperlukan sehingga tidak ada yang ketinggalan. Ketepatan diperlukan agar bahasa kontrak dapat menghindari makna lain, selain yang dimaksudkan. Kejelasan/kejernihan diperlukan supaya bahasa kontrak memberikan makna yang jelas dan konsisten. Kekinian diperlukan supaya bahasa kontrtak mencerminkan realitas bahasa masa kini dengan penggunaan bahasa kuno yang manfaatnya tidak jelas. Sedangkan kelugasan/kesederhanaan diperlukan supaya dapat memudahkan pembaca memahaminya, dengan mengunakan kalimat yang pendek dan desain yang baik. Beberapa rekomendasi Scott Burnham di bawah ini dapat membantu perancang dalam perbaikan naskah kontrak yang ada. Pertama, rancang dalam kalimat bentuk sekarang (present tense). Kedua, rancang dalam kalimat aktif. Ketiga, 190 Paul Rylance, Legal Practice Handbook: Legal Writing and Drafting, Anthony G. King (Editor), London, Blackstone Press Limited, 1994, hlm. 97. 97 hilangkan kata/bahasa yang tidak perlu. Keempat, gunakan kata shall untuk pelaksanaan suatu kewajiban, yang berarti berkewajiban atau memiliki tugas, Kelima, gunakan kata may untuk pelaksanaan suatu hak atau wewenang, yang berarti berhak atau berwenang. Keenam, gunakan must untuk syarat tangguh. Ketujuh, pertimbangkan apakah sudah dipilih kata yang tepat dalam hal diperlukan arti spesifik sehingga tidak timbul multitapsir. Kedelapan, pertanyakan terus menerus bagaimana kalau, untuk menghadapi ketidakpastian yang penting. Kesembilan, siapkan sanksi kepada pihak yang berkewajiban, sebagai pemulihan kepada pihak yang berhak, ketika suatu kewajiban dalam ketentuan kontrak tidak dilaksanakan.191 Selanjutnya naskah kontrak siap untuk dibahas dalam forum antar lembaga daerah. 3. Pembahasan Antar Lembaga Daerah Selesai penelaahan pada Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh dilakukan pembahasan antar lembaga daerah terkait yang berada di bawah jajaran Pemerintah Aceh. Biasanya rapat dipimpin Asisten II Bidang Keistimewaan Aceh, Pembangunan dan Ekonomi yang dihadiri oleh pejabat mewakili lembaga daerah Provinsi Aceh terkait. Pejabat yang diundang rapat terutama dinas yang memiliki tupoksi dalam bidang usaha penanaman modal tersebut (leading sector officer). Misal dinas kehutanan, pekebunan, kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi, pekerjaan umum, perindustrian dan perdagangan, kesehatan hewan dan peternakan, dan kebudayaan dan pariwisata. Dalam pembahasan antar lembaga daerah Provinsi Aceh lazimnya diundang pejabat dinas dan lembaga teknis daerah terkait penanaman modal pada umumnya. Ke dalam kategori ini termasuk dinas pendapatan dan kekayaan Aceh, dinas keuangan, badan perencanaan pembangunan daerah (BAPPEDA), BAINPROM, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA), dan badan pelayanan perizinan terpadu (BPPT). 191 Scott J. Burnhan, Op. Cit., hlm. 198. 98 Apabila terkait misal karena direncanakan untuk dialihkan kepada BUMD/BUMA, juga diundang direksi BUMD/BUMA tersebut.192 Salah satu BUMD/BUMA terkait penanaman modal internasional yang masih aktif adalah PDPA. PDPA memiliki beberapa anak perusahaan, diantaranya terafiliasi di bawahnya.193 Salah satu perusahaan yang terafiliasi dengan PDPA tersebut adalah Aceh Pase Global Energy PTE. LTD. (APGE) yang didirikan pada 2013. APGE adalah sebuah perusahaan patungan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura. APGE ini merupakan perusahaan patungan internasional yang lahir sebagai amanat dari kontrak usaha patungan antara PDPA dan Triangle Energy (Global) Limited. Perkembangan terakhir pada 2015, atas persetujuan Provinsi Aceh/PDPA saham Triangle Energy (Global) Limited telah dialihkan seluruhnya (100%) kepada pihak ketiga, yaitu PT Enso Asia Inc.194 Pembahasan antar lembaga daerah dilakukan dalam suatu rapat yang biasanya dipimpin pejabat setingkat asisten sekretaris daerah provinsi. Dalam hal ini dengan memberikan kesempatan kepada penanam modal internasional terlebih dahulu mempresentasikan naskah kontrak yang telah diperbaiki. Perbaikan dilakukan atas dasar telaahan staf atau memorandum hukum hasil uji tuntas Biro Hukum dan masukan dari lembaga daerah terkait. Presentasi dilakukan dengan menggunakan power point yang dibawakan oleh penanam modal internasional itu sendiri atau wakil/kuasanya. Setelah presentasi dilakukan tanya jawab yang dipimpin pejabat Provinsi Aceh, yang lazimnya dengan melakukan penyisiran keseluruhan isi kontrak, pasal demi pasal. Yang menarik pembahasan seringkali menjadi lebih serius ketika memasuki klausula yang memiliki implikasi keuangan kepada para pihak. Di samping klausula transaksional yang memiliki implikasi keuangan tersebut, pembahasan yang serius juga terjadi ketika membahas klausula tentang penguasaan sumber daya alam dan pemanfaatannya untuk kepentingan daerah. 192 Safwan, Kasi Pembinaan dan Pengawasan Minyak dan Gas Bumi, Energi dan Kelistrikan dan Khairil Basyar, Kasi Pengusahaan Pengusahaan Pertambangan Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh, Wawancara, 16 dan 17 Desember 2015. 193 Zulkarnain Yusuf, mantan Direktur Utama PDPA dan Direktur Utama PT Petrogas Aceh, anak perusahaan yang terafiliasi dengan PDPA, Wawancara, 11-12 Desember 2015. 194 Nasruddin Daud, mantan Direktur Utama PDPA, Wawancara, 16 Juni 2016. 99 Klausula lain yang juga memakan waktu yang lebih lama adalah ketika membahas tentang persentase jumlah kontribusi saham masing-masing pihak dan klausula pengelolaan perusahaan patunganyang dibentuk. Klausula lain yang sering menjadi perhatian daerah adalah klausula khas kontrak penanaman modal internasional sebagai suatu kontrak negara/daerah yang memuat kepentingan publik. 4. Persetujuan DPRA/BINAWAS Pusat Dalam praktik di Provinsi Aceh pada dasarnya persetujuan DPRA dan pemerintah pusat hanya dilakukan terhadap traktat, yang melibatkan Provinsi Aceh sebagai pihak. Sedangkan untuk kontrak penanaman modal internasional pada umumnya tidak melewati proses persetujuan DPRA dan pemberitahuan kepada pemerintah pusat. Pemberitahuan kepada pemerintah hanya dilakukan setelah kontrak penanaman modal ditandatangani gubernur atau yang mewakilinya, sebagai bagian dari kewenangan pusat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan (BINAWAS) otonomi daerah. Langkah yang diambil oleh Provinsi Aceh tersebut sejalan dengan doktrin yang membedakan kewenangan pemerintah berdasarkan definisi, antara traktat dan kontrak internasional. Dari sisi definisi meskipun memiliki persamaan karena kedua produk hukum tersebut bersifat lintas negara, tetapi terdapat perbedaan pada rejim hukum yang mengaturnya. Dalam hal ini traktat tunduk pada rejim hukum publik, sedangkan kontrak internasional tunduk pada rejim hukum privat. Dari sisi kewenangan pemerintah traktat merupakan bagian dari urusan politik luar negeri yang diatur hukum publik, sedangkan kontrak internasional bagian dari urusan transaksi bisnis internasional yang secara konvensional diatur hukum perdata internasional. Perbedaan pengertian antara kontrak internasional dan traktat berimplikasi pada pengaturan tentang tingkat kontrol DPRA dan pemerintahan pusat terhadap traktat dan kontrak internasional. Untuk traktat, sebagai bagian dari urusan politik luar negeri dan diatur hukum publik memerlukan kendali yang relatif lebih ketat dari DPRA dan pemerintahan pusat. Ketentuan regulasi yang dibentuk perlu sejalan dengan tujuan tersebut. Kontrol DPRA dan BINAWAS pemerintah pusat tersebut 100 kemungkinan dapat dilakukan secara berlapis sejak dari penjajakan, negosiasi, penandatanganan, sampai dengan pengakhiran. Berbeda halnya untuk kontrak internasional, sebagai bagian dari urusan transaksi bisnis internasional yang diatur hukum privat memerlukan kebebasan dan keterbukaan yang lebih lebar sebagai upaya untuk mendukung kegiatan ekonomi yang diperlukan untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan. Dengan demikian tidak memerlukan campur tangan yang banyak dari DPRA dan pemerintahan pusat karena dapat menciptakan birokrasi yang panjang, inefisiensi, dan melemahkan daya saing ekonomi negara/daerah. Ketentuan regulasi yang dibentuk perlu sejalan dengan tujuan tersebut. Kontrol DPRA dan BINAWAS pemerintahan pusat ditekan pada tingkat yang paling efisien. Variasi lain secara khusus dalam bidang pengelolaan migas, sejak sebelum PP Migas Aceh terbentuk, Provinsi Aceh melalui beberapa tim khusus yang dibentuk pascaUUPA, seringkali melakukan pembahasan di Jakarta dengan bersama dengan pusat.195 Dalam hal ini terutama pejabat mewakili Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral beserta jajarannya. Hal ini terjadi karena khusus dalam pengelolaan minyak dan gas ini dari sisi objek atau urusan pemerintahan, kewenangannya tidak sepenuhnya pada daerah, tetapi kewenangan bersama antara daerah dan pusat. 5. Penandatanganan Terakhir, setelah melewati proses pembahasan antarlermbaga daerah, kontrak penanaman modal internasional siap untuk diproses penandatanganannya. Dalam hal ini yang berwenang melakukan penandatanganan adalah pejabat daerah setingkat organ. Dalam hal ini untuk Provinsi Aceh adalah Gubernur. Dalam hal Gubernur tidak dapat menandatanganinya, instrumen hukum khusus tentang hukum tata negara dan hukum administrasi, maupun instrumen hukum umum tentang hukum perdata telah menyediakan sistem pengaturan yang dapat mengatasinya. Dalam hal ini Gubernur dapat memberikan mandat kepada 195 Nasruddin Daud, mantan Direktur Utama PDPA dan M. Nur Rasyid, ahli hukum mewakili Provinsi Aceh/PDPA, Wawancara, 16 Juni 2016. 101 pejabat lain dari perangkat daerah yang berada di bawah pimpinannya untuk mewakilinya. Meskipun tidak menandatangani sendiri secara langsung, gubernur tetap bertanggungjawab atas pelaksanaan suatu mandat yang diberikannya. Alternatifnya, gubernur berdasarkan hukum perdata dapat juga memberikan kuasa dengan surat kuasa kepada penerima kuasa untuk bertindak atas nama gubernur. Dalam hal ini perlaku ketentuan tentang kontrak pemeberian kuasa, sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Dalam hal kegiatan penanaman modal internasional tidak dilaksanakan langsung oleh Provinsi Aceh, dan kegiatannya dialihkan kepada BUMD/BUMA untuk melaksanakannya, penandatangan dilakukan oleh direksi BUMD/BUMA. Pengaturannya terdapat dalam hukum perusahaan yang mengatur tentang BUMD/BUMA tersebut. Dalam hal ini pada prinsipnya BUMD/BUMA merupakan badan hukum mandiri yang memiliki tanggung gugat terpisah dengan Provinsi Aceh sebagai badan hukum yang lain. Di sini perlu juga dipedomani apa yang diatur secara internasional dalam ILC Articles bahwa tingkat keterlibatan gubernur dalam proses, meskipun tidak menandatanganinya, dapat memberikan indikasi bahwa yang pejabat yang bersangkutan juga ikut bertanggunggugat terhadap transaksi bisnsis penanaman modal internasional tersebut. Berkenaan dengan siapa yang menadatangani kontrak penananaman modal dalam praktik terdapat keragaman. Misal dalam hal BUMD/BUMA sebagai pihak, yang menandatangani adalah direktur utama BUMD/BUMA. Akan tetapi, sering juga dalam praktek untuk lebih yakin, penanam modal sering juga meminta tanda tangan Gubernur pada kolom tambahan mengetahui dan/atau menyetujui. Di sini BUMD/BUMA setelah menandatangani sendiri sebagai badan hukum, masih harus berperan dalam birokrasi pemerintahan Aceh.196 Pada umumnya kontrak berlaku mulai penandatangan, kecuali ada klausula khusus tentang tanggal efektif, yang berbeda dengan tanggal penandatanganan. Jika ada, kontrak berlaku mulai tanggal efektif tersebut. Di samping itu, dalam kontrak 196 Zulkarnain Yusuf, mantan Direktur Utama PDPA dan Direktur Utama PT Petrogas Aceh, anak perusahaan yang berafiliasi dengan PDPA, Wawancara, 11-12 Desember 2015. 102 penanaman modal internasional seringkali terdapat klausula syarat tangguh yang menunda pelaksanaan kontrak hingga syarat tangguh tersebut dipenuhi oleh salah satu atau kedua belah pihak. Penandatanganan kontrak penanaman modal internasional menunjukkan bahwa para pihak sudah bersepakat. Sepanjang kontrak yang ditandatangani memenuhi persyaratan keabsahan kontrak, kontrak tersebut mengikat secara hukum berdasarkan asas perikatan kontrak. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa persyaratan tentang keseimbangan kontrak sudah terpenuhi. Artinya, dapat saja kontrak yang telah ditandatangani mengandung kelemahan dari sudut pandang asas yang mengarah pada keadilan. Ada bererapa alasan mengapa kontrak yang sudah ditandatangani belum memiliki kualitas maksimal sehingga dapat lebih seimbang. Dalam hal ini, bukan hanya faktor hukum, tetapi faktor nonhukum ikut mempengaruhinya. Faktor nonhukum ini dapat terhubung dengan struktur hukum dan kultur hukum, dalam sistem hukum yang diperluas. Pada satu sisi, sebagaian kontrak yang ada lahir pada awal masa perdamaian pascakonflik. Pada masa itu terdapat keinginan yang besar untuk dapat mempertahankan dan menikmati hasil perjuangan panjang tentang kewenangan daerah dalam penguasaan sumber daya alam. Dalam waktu yang lama pra dan masa konflik, penguasaan sumber daya alam daerah di Indonesia bersifat sentralistis sehingga dipandang merugikan daerah. Hal demikian mendorong pemerintah daerah untuk dapat segera melaksanakan kewenangan yang diberikan UUPA sehingga dalam waktu cepat dapat membawa hasil bagi daerah. Pada sisi lain, pengetahuan dan pengalaman pihak negara/daerah dalam transaksi bisnis penanaman modal internasional masih terbatas. Dalam hal ini terjadi ketimpangan dalam penguasaan informasi. Pihak negara/daerah menguasai lebih sedikit informasi dibandingkan dengan pihak penanam modal internasional. Hal demikian mempengaruhi posisi tawar para pihak dalam negosiasi kontrak penanaman modal internasional. Kelemahan posisi tawar demikian tercermin pada pengaturan 103 hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak penanaman modal internasional yang ada. Untuk dapat melaksanakan kontrak penanaman modal internasional yang telah ditandatangani juga masih tergantung pada aspek struktur hukum. Dalam hal ini kesiapan para pihak untuk memulainya. Dari sisi peran Provinsi Aceh, kelemahan di sini, antara lain, adalah pada kesiapan instansi pelaksana, termasuk BUMD/BUMA, yang belum kondusif. BUMD/BUMA yang kini ada masih menyimpan banyak permasalahan internal yang perlu dibenahi lebih dahulu memasuki era akselerasi dan peningkatan penanaman modal internasional di Provinsi Aceh. 104 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh, apabila dinilai berdasarkan asas keseimbangan dalam arti sempit, belum mengatur hak dan kewajiban para pihak secara seimbang. Kontrak penanaman modal internasional yang ada cenderung menampung lebih besar kepentingan penanam modal internasional, karena itu belum secara cukup menampung kepentingan negara/daerah.197 Meskipun demikian, kontrak penanaman modal internasional Provinsi Aceh telah mengatur hak dan kewajiban para pihak secara seimbang berdasarkan asas yang mengarah pada keadilan lainnya/asas keseimbangan dalam arti luas, meliputi tetapi tidak terbatas pada, asas itikad baik, asas ketidakadilan, asas kewajaran dan kepatutan, dan asas proporsionalitas. Dalam hal ini tingkat keseimbangan yang diperlukan sudah cukup, meskipun kualitasnya belum setinggi pada keseimbangan kuantitatif sebagaimana dimaksudkan asas keseimbangan dalam arti sempit. Peningkatan kualitas keseimbangan diperlukan karena lebih mengarah pada pencapaian tujuan keadilan sehingga dapat mencegah sengketa dan konflik dengan masyarakat setempat.198 Dengan demikian para pihak dapat mencegah risiko dan mengurangi biaya yang seharusnya diperlukan untuk penyelesaian sengketa dan konflik serta dapat memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berfokus pada pencapaian tujuan penanaman modal internasional. 197 Hal ini ada kaitannya dengan kedudukan penanam modal internasional sebagai perancang naskah awal kontrak, yang lebih lazim dengan kontrak tertulis, dan berasal dari negara dengan sistem hukum yang lebih mapan, Karla C. Shippey, Menyusun Kontrak Bisnis Internasional: Panduan Menyusun Draft Kontrak Bisnis Internasional, Jakarta, Penerbit PPM, 2000, hlm. 1-2. 198 H. Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia, Cet. Ke-1, Bandung, Pustaka Reka Cipta, hlm. 285-286. 105 2. Provinsi Aceh memiliki kapasitas sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Kapasitas negara/daerah sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional dapat dinilai berdasarkan definisi, subjek, dan objek. Berdasarkan definisi kontrak penanaman modal internasional merupakan bagian dari pengertian kontrak internasional, termasuk dalam hukum perdata internasional, yang pada intinya mengatur transaksi bisnis internasional. Transaksi bisnis internasional merupakan bagian dari hukum privat yang berada di dalam kewenangan residu daerah. Hal ini berbeda dengan traktat, yang merupakan bagian dari hukum international, yang pada intinya mengatur kepentingan publik, termasuk politik luar negeri, yang berada di bawah kewenangan pusat. Kapasitas daerah berdasarkan subjek dinilai dengan teori badan hukum. Menurut teori badan hukum daerah tergolong ke dalam badan hukum publik yang dapat menjadi subjek hukum, pemangku hak dan kewajiban kontraktual. Teori badan hukum ini bersinergi dengan teori instrumen hukum/teori tindakan pemerintah. Kapasitas berdasarkan objek dinilai berdasarkan teori kewenangan daerah, yang menjelaskan bahwa daerah otonom berwenang mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat di wilayahnya. Lingkup kewenangan tersebar dalam berbagai urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain, terkait penanaman modal internasional dan pengelolaan sumber daya alam. Sepanjang kontrak penanaman modal internasional berkenaan dengan urusan yang menjadi kewenangannya, daerah memiliki kapasitas sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional tersebut. Kejelasan tentang kapasitas daerah sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional penting dalam mencapai tujuan kepastian hukum tentang keabsahan kontrak penanaman modal internasional yang dibuat daerah. Peningkatan kepastian hukum penting dalam mengurangi hambatan penanaman modal untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif mengikuti perkembangan arus globalisasi dan regionalisasi perdagangan dan 106 dalam mendukung pelaksanaan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dalam era otonomi daerah/otonomi khusus Aceh. 3. Peran Provinsi Aceh dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional sudah ada sejak negosiasi awal pada tahap prarancangan sampai dengan penandatanganan kontrak pada tahap rancangan. Pada tahap prarancangan, daerah mengikutsertakan pejabat dan/atau perangkat daerah terkait lain pada berbagai subtahapan, yaitu negosiasi awal, uji tuntas/studi kelayakan, pembahasan naskah nota kesepahaman, dan negosiasi akhir. Pada tahap rancangan peran daerah masih terbatas pada melakukan penelaahan terhadap naskah kontrak yang diusulkan penanam modal internasional. Dalam tahap ini peran daerah belum mencapai tingkatan merancang sendiri naskah awal kontrak. Lazimnya naskah awal kontrak disiapkan oleh penanam modal internasional. Beberapa hambatan ditemukan dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional daerah tersebut terkait sistem hukum yang diperluas, meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Hambatan tersebut, antara lain, meliputi kelemahan substansi regulasi prosedural, kelemahan struktur hukum/kelembagaan daerah, dan kelemahan kultur hukum berupa rendahnya penguasaan bahasa Inggris hukum dan lemahnya wawasan kewirausahaan terkait penanaman modal internasional. Peningkatan peran daerah dalam perancangan kontrak internasional dapat memberi dampak positif dalam pencapaian secara maksimal tujuan kemanfaatan dari penanaman modal internasional. Tujuan kemanfaatan dimaksud meliputi peningkatkan pertumbuhan ekonomi, penguatan daya saing, pembukaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. B. Saran 1. Kontrak penanaman modal internasional perlu mengatur hak dan kewajiban lebih seimbang dalam bagian operatif kontrak sehingga lebih mengarah pada 107 pencapaian tujuan keadilan.199 Dalam hal ini di samping menampung pengaturan kepentingan penanam modal internasional, perlu juga menampung secara seimbang kepentingan daerah. Penampungan kepentingan daerah yang lebih seimbang tersebut dapat dilakukan dengan mengatur lebih seimbang klausula saling menguntungkan dan klausula menguntungkan daerah. Klausula saling menguntungkan merupakan klausula transaksional. Sedangkan klausula menguntungkan daerah, meliputi tetapi tidak terbatas pada, pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi, pilihan hukum Indonesia, penggunaan tenaga kerja/usaha setempat, pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan, renegosiasi dan adaptasi dalam perubahan keadaan, perubahan hukum domestik, pilihan arbitrase Indonesia, penerimaan pajak daerah, dan masa kontrak yang lebih menguntungkan daerah. 2. Pengaturan kapasitas kontrak penanaman modal internasional daerah perlu diatur lebih jelas dan konsisten untuk memberikan kepastian hukum yang lebih besar tentang keabsahan kontrak. Dalam hal ini perlu pembaruan hukum melalui pembentukan regulasi perancangan kontrak penanaman modal internasional daerah, dan perbaikan regulasi prosedur kerja sama luar negeri daerah yang ada. Dalam melaksanakan pembaruan hukum perlu berpegang pada doktrin, yang memisahkan pengertian traktat dan kontrak internasional. Menurut doktrin, traktat berada dalam lingkup politik luar negeri, yang merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat. Sebaliknya, kontrak penanaman modal internasional berada dalam lingkup transaksi bisnis internasional, yang merupakan kewenangan daerah otonom. 3. Pemerintah pusat perlu melakukan pembaruan regulasi prosedur perancangan kontrak penanaman modal internasional yang ada dan membatasi berlaku hanya untuk kontrak yang dilakukan pusat dan perlu mengatur lebih jelas dan konsisten norma, standar, dan prosedur serta BINAWAS pemerintah pusat terhadap perancangan kontrak penanaman modal internasional yang dilakukan daerah. Sedangkan daerah perlu membentuk sendiri regulasi prosedur perancangan 199 Kontrak yang seimbang mendorong pelaksanaan, karenanya dapat mencegah pengeluaran dana yang tidak diperlukan pada tahap pascakontrak, untuk penapsiran dan penegakan kontrak/penyelesaian sengketa. Karla P. Shippey, Op. Cit., hlm. 2. 108 kontrak penanaman modal internasional yang dilakukan daerah dalam bentuk peraturan daerah. Berbeda dengan pada traktat, ketentuan tentang norma, standar, dan prosedur, serta pembinaan dan pengawasan pada perancangan kontrak penanaman modal perlu ditekan minimal. Hal ini penting mengingat sifat transaksi bisnis internasional yang khas, berbeda dengan sifat politik luar negeri. Yang pertama lebih menekankan pada pentingnya otonomi para pihak dan keterbukaan, yang kedua lebih menekankan pada pentingnya kontrol. Materi muatan regulasi kerja sama luar negeri daerah dan regulasi kerja sama luar negeri Aceh yang ada perlu dibatasi pemberlakuannya hanya pada perancangan traktat. Sedangkan, untuk prosedur perancangan kontrak penanaman modal internasional daerah diperlukan pembentukan regulasi baru sesuai dengan kebutuhan khusus dalam upaya peningkatan penanaman modal di daerah. Daerah perlu menguatkan struktur hukum dan budaya hukum, termasuk penguatan BUMD/BUMA, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pengembangan wawasan kewirausahaan bagi pejabat dan perangkat daerah terkait lainnya yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait perancangan kontrak penanaman modal internasional. Hal demikian diperlukan untuk meningkatkan keahlian dan motivasi yang diperlukan dalam perancangan kontrak penanaman modal internasional. 109 DAFTAR PUSTAKA A. Buku/Makalah Agus Yudha Hernoko-1, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, 2008. --------2, “Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Bisnis (Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan)” dalam Moch. Isnaini, Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia, Cet- 1, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013. Apeldoorn, LJ., Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie het Nederlandse Recht), Oetarid Sadino (Penerjemah). Cet. Ke-22. Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. Black, Henry Campbell et al., Black Law Dictionary with Pronunciations, 6th. Ed., West Publishing Co., Minnesota, 1990. Bogdan, Michael., Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Cet. Ke-1, Derta Sri Widowatie (Penerjemah) dan Nurainun Mangunsong (Penyunting), Nusa Media, Jakarta, 2010. Bordukh, Oyunchimeg., Choice of Law in State Contracts in Economic Development Sector-Is There Party Autonomy? Bond University School of Law, Bond, 1990. Buergenthal, Thomas and Harold G. Maier, Public International Law, West Publishing Co, Minnesota, 1990. Burght, van Der., Buku tentang Perikatan, Freddy Tengker (Penyadur) dan Wila Chandrawula Supriadi (Editor), Cet. Ke-2, Mandar Maju, Bandung, 2012. Burnham, Scott J., Drafting Contracts, The Michie Company Publishers, Charlotteville, Virginia, 1987. Badan Legislasi DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional, DPR RI, Jakarta, 2012. Chidir Ali, Badan Hukum, Edisi Ke-1, PT Alumni, Bandung, 2005. Dernbanch, John C., and Richard V Singleton II, A Practical Guide to Legal Writing and Legal Method, Fred B. Rothman & Co., Colorado, 1981. 110 Fox, William F Jr. International Commercial Agreement: A Primer on Drafting, Negotiating, and Resolving Disputes. Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer, The Netherlands, 1992. Friedmann, Lawrence W. Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System: A Social Science Perspectives. Cet. Ke-5. M. Khozim (Penerjemah), Nurainun Mangunsong (Penyunting), Nusa Media, Jakarta. Glendon, Mary Ann, Michael W. Gordon and Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: In a Nutshell, West Publishing Co., St. Paul, MN. Gunawan Widjaja, Transpantasi Trust dalam KUH Perdata, KUHD, dan UndangUndang Pasar Modal Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hepburn, Samatha J, Principles of Property Law, Cavendish Publishing Pty., Ltd., Sydney, 1998. Herlien Budiono-1, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Cet. Ke-1. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2009. Hijma, Jaap dan Henk Snijders, the Netherlands New Civil Code, National Law Reform Program, Jakarta, 2010. Hikmahanto Juwana-1, Dasar-Dasar Kontrak Bisnis: I Pengertian. Tidak Dipublikasikan. Huala Adolf-1, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, PT Rafika Aditama, Bandung, 2007. --------2, Instrumen-Instrumen Hukum tentang Kontrak Internasional, CV Keni Media, Bandung, 2011. --------3, Perancangan Kontrak Internasional, CV Keni Media, Bandung, 2011. --------4, Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal, Cet. Ke-1, CV Keni Media, Bandung, 2011. Jimly Ashiddiqie dan Ali Saa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakrata, 2012. Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994. Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Adytia Bakti, Bandung, 2010. 111 Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2010. Lili Tjahjadi SP., Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1991. Lisitsa, Valeriy., International Investment Contracts. Siberia: Novosibirk National Research State, Institute of Phylosophy and Law, Siberian Branch of Russian Academy of Sciences. Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda: Penerapan Asas “Janji Itu Mengikat” dalam Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas, Fikahati, Jakarta, 2005. Man S Sastrawidjaja, H., Bunga Rampai Hukum Dagang, PT Alumni, 2005. Mariam Darus Badrulzaman-1, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, PT Alumni, 1983. --------2, Aneka Hukum Bisnis, PT Alumni, Bandung, 1994. --------3, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT Alumni, Bandung, 1997. Munir Fuady-1, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Adytia Bakti, Bandung, 1999. --------2, Teori-Teori Besar dalam Hukum (Grand Theory), Kencana, Jakarta, 2013. Nasution, Bahder Johan., dan Sri Warjiati, Bahasa Indonesia Hukum, PT Citra Adytia Bakti, Bandung, 1998. Nygh, E. Peter and Peter Butt, Butterworth Concise Australian Legal Dictionary, 2nd. Ed. Sydney: Butterworths, 1998. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Ke-1, Cet. Ke-1, Prenada Medya, Jakarta, 2005. Pound, Roscoe., Law Finding through Experience and Reason: Three Lectures, University of Georgia Press, Athens, 1960. Punadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik, Keadilan, dan Kemakmuran, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. Ridwan Khairandi-1, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. 112 --------2, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, 2013. Rylance, Paul., Legal Practice Handbook: Legal Writing Practice Handbook: Legal Writing and Drafting, Anthony G. King (Editor), Blackstone Press Limited, London, 1994. Salacuse, Jesawald., The Three Laws of International Investments: National, Contractual and International Frame Works for Foreign Capital, Oxford University Press, London, 2013. Salim HS, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia, Cet. Ke-1, Pustaka Reka Cipta, 2013. Salter, Michael and Julie Mason, Writing Law Dissertations: An Introduction and Guide to the Conduct of Legal Research, Pearson Longman, Harlow, England, 2007. Sayid Fadil, Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri oleh Daerah Ditinjau dari Perspektif Hukum Perjanjian Internasional, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, FH UI, Jakarta, 2007. Shapo, Helene S., et al, Writing and Analysis in the Law, Revised 4th. Ed., Foundation Press, New York, 2003. Shippey, Karla C., Menyusun Kontrak Bisnis Internasional: Panduan Menyusun Draft Kontrak Bisnis Internasional, Cet. Ke-2, Penerbit PPM, Jakarta, 2004. Simamora, Yohannes Sogar., Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Cet. Ke-1, LaksBang PRESSindo, Surabaya, 2009. Sinclear, John., (Editor), Collins Cobuild English Language Dictionary, Collins, London, 1990. Sloan, Amy E., Basic Legal Research: Tool and Strategies, 2nd. Ed.. Aspern Publishers, New York, 2013. Sornarajah, M-1., The Settelement of Foreign Investment Disputes, Kluwer Law International, The Hague. --------2., The International Law on Foreign Direct Investment, 2nd. Ed., Cambridge University Press, Cambridge, 2007. 113 Starke, JG., Pengantar Hukum Internasional, Bambang Iriana Djajaatmadja (Penerjemah), Sinar Grafika, Jakarta, 1992. Sudargo Gautama-1, Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran, PT Alumni, Bandung, 1976. --------2, “Kontrak Internasional” dalam Naskah Akademik tentang Kontrak di Bidang Perdagangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen kehakiman RI, 1994. Sunaryati Hartono-1, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976. --------2, Capita Selekta Perbandingan Hukum, PT Alumni, Bandung, 1976. --------3, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abat ke-21, PT Alumni, Bandung, 2006. Sunaryati Hartono, Setiawan, dan Taryana Sunandar, The Indonesian Law on Contracts, Institute of Developing Economies, Japan, 2001. Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. Sutarman Yodo, Aspek Hukum Ekonomi dalam Kerja Sama Daerah, Cet. Ke-1, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013. Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet. Ke-2, CV Rajawali, Jakarta, 1986. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke2, Cet. Ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 1994. Usa lbp Usa, Indonesia: Mining, Oil and Gas Industry: Export-Import and Business Opportunities Handbook: Volume I Strategic Information and Regulation, Washington, D.C., 2013. Utrecht, E.-1, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. Ke-4, FH UNPAD, Bandung, 1960. --------2, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cet. Ke-9, Penerbit Universitas, Jakarta, 1966. Wayan Partrhiana I, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990. 114 Whisnu F. Situni, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1989. Wolf, Ronald Charles., A Guide to International Joint Venture with Sample Clauses, Kluwer Law International, London, 1995. WALHI Aceh, Draft Naskah Akademik Rancangan Qanun Aceh tentang Kehutanan, WALHI Aceh, Banda Aceh, 2012. Yansen Dermanto Latief, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2002. Yetti Komalasari Dewi, Pemikiran Baru tentang Commanditaire Vennoottschap (CV) (Studi Perbandingan KUHD dan WvK serta Putusan Pengadilan Indonesia-Belanda), Badan Penerbit FH UI, Jakarta, 2011. B. Jurnal//Majalah/Buletin Agus Yudha Hernoko-3, “Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Bisnis (Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 29, No.2, 2010, 5-18. Burger, Klause Peter., “Renegotiation and Adaptation of International Investment Contracts: The Role of Contract Drafters and Arbitrators” Vand. J. Transn’l L., 2003, 1374. Cheng, Tai Heng., “Power, Authority, and International Investment Law.” Am. U. Int’l Rev, Vol. 20, No. 465, 2010. Chinkin, Cristine.,”A Critique of the Public/Private Dimension.” EJIL. Vol. 10, 1999, 388-395. Dagan, Hanoch., “Autonomy, Pluralism, and Contract Law Theory” Law and Contemporary Problems, Vol. 6. No. 19, 2013, 19-38. Garcia, Julian Cardenas., “Rebalancing Oil Contracts in Venezuela, “Houston Journal of International Law, Vol. 33, No. 2, 2011, 236-300. Johny Ibrahim, “Eksistensi Badan Hukum di Indonesia sebagai Wadah dalam Menunjang Kehidupan Manusia,” Law Review, Vol. XI, No.1, Juli, 2011, 105-122. Maupin, Julie A., “Public and Private in International Investment Law: An Integrated System Approach,” Virginia J. Int’l L. Vol. 54, No. 2, 2014, 31-66. 115 Mills, Alex., “Antinomies of Public and Private at the Foundations of International Investment Law and Arbitration. “ Journal of International Economic Law, Vol 14, No. 2, 2011, 469-503. Siregar, Mahmul., “Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasi terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27. No. 4, 2008, 58-67. Zhouhua, Meng., “Party Autonomy, Private Autonomy, and Freedom of Contracts “ Canadian Social Science, Vol. 10, No. 6, 2004, 212-216. C. Internet/Sumber Lain Ahn, Tahee., Application of Pacta Sunt Servanda to State Contracts between Investors and Host States and Its Implication for International Investment Regime, 2013. Available at: http://works.bepress.com/taehee_ahn/2 Caufmann, Caroline., The Principle of Proportionality and European Contract Law, Maasricht European Private Law Institute Working Paper No. 2013/5, Maastricht University. Availabe at: https//ssm.com/abstract=2204984 Hikmahanto Juwana-2., “Kontrak Karya Free Port” Harian Kompas. 31 Desember 2015. Tersedia pada: http//www.doabagirajatega.blogspot.co.id./2015/12/kontrak-karya-freeport-hikmahanto Hukum Online, “MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris, Rabu, 16 September 2015. Available at:www.hukumonline.com/berita/baca/it55f90bcabd/ma-tolak-kasasiperkara-gugatan-kontrak-berbahasa-inggris Peng, Liang., “Renegostiation of Clause in International Investment Contracts” dalam the Mix oil and Water! Oil and Gas Community of Practice Professional Networking, 2011. Available at: www.themixoilandwater/2011/07/renegotiation-clause-ininternational.html. Serambi Indonesia, Jumat, 9 Januari 2015.