BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kontrak atau perjanjian dalam kehidupan sehari-hari menguasai begitu banyak aspek-aspek perekonomian kita. Sudah begitu banyak kontrak yang dibuat ditengah masyarakat hingga kita tidak tahu berapa banyak kontrak yang telah kita buat. Kontrak diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. 2 Dewasa ini hubungan hukum yang terjadi dalam bentuk perjanjian terlihat dengan adanya kecendrungan bahwa perjanjian-perjanjian itu selalu diadakan dalam bentuk tertulis. Hal mana dimaksudkan untuk suatu pembuktian bahwa diantara para pihak telah terikat suatu hubungan hukum perjanjian, tetapi ini bukan berarti bahwa bentuk perjanjian yang dibuat secara lisan menjadi terabaikan. 3 Perjanjian yang dibuat secara tertulis ini memiliki berbagai macam bentuk, salah satu diantaranya adalah perjanjian baku yang sering disebut dengan standard contract. Perjanjian baku/ perjanjian yang mengandung klausula baku ini sangat dibutuhkan dalam dunia perdagangan yang semakin maju dan dewasa ini, terutama karena dengan penggunaan perjanjian baku tersebut berarti para pihak 2 I.G Rai Widjaya, S.H, M.A, Merancang Suatu Kontrak. (Jakarta:Kesaint Blanc, 2003) . hal 11 Mariam Darus Badrulzaman, Pelangi Perdata II, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1980), hal 7 3 10 dapat mempersingkat waktu bernegosiasi. Hal ini sangat berguna jika dikaitkan dengan prinsip bahwa waktu adalah uang. 4 Istilah klausula baku jarang sekali terdengar atau dibicarakan di kalangan masyarakat, namun kenyataannya istilah ini akan sering kita dengar dalam kehidupan perdagangan. Klausula baku atau perjanjian baku (standard contract) merupakan sebuah bentuk perjanjian yang mana isi perjanjian ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak didalam suatu kontrak. Menurut UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Klausula Baku diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjia yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam era globalisasi ini, pembakuan syarat-syarat perjanjian merupakan mode yang tidak dapat dihindari. Bagi para pengusaha mungkin ini merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele. Dalam masyarakat kapitalis, sudah lumrah jika pengusaha besar mengendalikan perekonomian masyarakat (negara) dengan menjual produk atau jasa yang dihasilkannya berdasarkan modelmodel perjanjian yang mengandung syaratsyarat yang menguntungkan pihaknnya. Syarat-syarat perjanjian yang mereka buat dan sodorkan kepada konsumen umumnya kurang mencerminkan rasa keadalan karena konsumen tidak berhak menawar syarat-syarat yang telah 4 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2007), hal 118 11 ditentukan oleh pengusaha. Menawar berarti menolak syarat-syarat yang ditentukan. 5 Para pelaku usaha bisnis terutama pada lembaga pembiayaan selalu menggunakan klausula baku (standard Contract) sebagai jenis perjanjian yang akan ditandatangani dengan pihak konsumen. Pencantuman pasal-pasal yang telah dibuat atau telah baku dalam sebuah perjanjian ini dirasa tidak memenuhi asasasas perjanjian terutama konsensualisme dan asas proporsionalitas dalam sebuah perjanjian. Perjanjian baku diterima oleh para pengusaha umumnya dan dijadikan model perjanjian tidak hanya di negara-negara maju, melainkan juga di negara-negara berkembang sebagai dasar prinsip ekonomi, yaitu, dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara yang praktis, memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Dalam hubungan hukum sesama pengusaha, perjanjian baku hampir tidak menimbulkan masalah apa-apa karena mereka berpegang pada prinsip ekonomi yang sama dan menerapkan sistem bersaing secara sehat dalam melayani konsumen. Klausula baku dalam suatu perjanjian terutama didalam suatu perjanjian lembaga pembiayaan (perjanjian kredit) ini dalam praktiknya seringkali terjadi keadaan dimana debitur yang membutuhkan uang hanya menandatagani perjanjian kredit tanpa dibacakan isinya. Akan tetapi, isi perjanjian baru dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu melaksanakan prestasinya karena kreditur tidak hanya membebani debitur untuk membayar 5 Ditkutip dari http://soemali.dosen.narotama.ac.id/.../Klausula-baku ppt tanggal akses 3 maret 2015 pukul 19.25 WIB 12 pokok prestasinya dengan bunganya tetapi ia juga membebani debitur dengan membayar denda keterlambatan atas bunga sebesar 50% dari besarnya bunga yang dibayar setiap bulannya. Dengan demikian, utang yang harus dibayar oleh kreditur sangat tinggi. Kreditur berpendapat bahwa penerapan denda keterlambatan itu karena di dalam standar kontrak telah ditentukan dan diatur secara rinci dalam kontrak yang telah ditandatangani oleh debitur, sehingga tidak ada alasan bagi debitur untuk menolak pemenuhan denda keterlambatan tersebut. Oleh karena itu, debitur harus membayar poko, bunga, beserta denda keterlambatannya. 6 Pada zaman sekarang ini, pencantuman klausula baku yang merupakan isi dan syarat-syarat dalam suatu perjanjian merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Hal ini dikarenakan bagi para pengusaha ini merupakan cara yang dirasa efisien, ekonomis, praktis dan tidak bertele-tele. Tetapi bagi konsumen, hal ini justru merupakan pilihan yang tidak menguntungkan karena konsumen hanya dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima perjanjian tersebut atau menolaknya atau sering disebut perjanjian baku ini memiliki sifat take it or leave it. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak didalam kontrak tersebut. 7 Perjanjian baku ini merupakan wujud dari kebebasan individu dalam menyatakan kehendaknya dalam menjalankan usahanya. Dimana dalam buku III BW dijelaskan bahwa perjanjian itu menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian ini memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya . Apa yang diatur dalam Buku III BW hanya sekedar 6 Salim HS (a), Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 147 7 Ibid, hal 145 13 mengatur dan melengkapi (regelend recht – aanvullendrecht). 8 Jadi perjanjian baku ini merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai sumber hukum perjanjian itu sendiri. Menurut pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya” hal ini sering disebut dengan asas pacta sunt servanda. Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terkait untuk melaksanakan kesepakatan kontrak tual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan baik jika seorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih dari itu, terkecuali bahwa kontrak memang mengikat karena memang merupakan suatu janji, serupa dengan Undang-Undang karena Undang-Undang Tersebut dipandag sebagai perintah pembuat Undang-Undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal itu akan sekaligus menghancurkan seluruh system pertukaran (benda-jasa) yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, “kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akal-budi alamiah” 9 8 Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H, M.H, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2010) hal 109 9 Asser Rutten Hartkamp II: Asser, C, Handleiding tot de befoening van het Nederlands Burgerlijk Recht, Verbentenissenrecht, Deel II, Algamene leer der overeenkomsten, tiende druk, bewerkt door Hartkamp, (Deventer: A.S,1997) hal 37 14 Kontrak dengan asas pacta sunt servanda ini dalam kenyataannya dapat menimbulkan ketidakadilan. Dengan adanya prinsip kebebasan berkontrak yang berlaku dalam suatu kontrak memberikan asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang 10 tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar menawar yang seimbang. 11 Hal ini menyebabkan pihak yang memiliki posisi tawar lebih kuat menguasai pihak yang memiliki posisi tawar lebih lemah. Kontrak- kontrak yang seperti ini sering sekali terdapat dalam kontrak komersial dalam lingkungan perbankan yang sering menggunakan bentuk klausula baku (standard contract) didalam pelaksanaan suatu kontrak. Namun penting untuk diperhatikan bahwa asas kebebasan berkontrak yang sebagaimana tersimpul dari ketentuan pasal 1338 (1) BW tidaklah berdiri dalam kesendiriannya. Asas tersebut berada dalam suatu system yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa ini, acap kali asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat sebelah, kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki tawar menawar yang seimbang. 12 Menurut pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang 10 A.G. Guest, ed, Chity On Contract, Volume I – General Principles, (London : Sweet & Maxwell, 1983), hal. 3 11 Konrad Zweigt dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law Volume II – The Institution of Private Law, (Oxford : Clarendon Press, 1987) hal 9 12 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal 128 15 membuatnya.” Istilah “secara sah” bermakna bahwa dalam suatu pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide pasal 1320 BW). 13 Didalam pengaturan pengaturan mengenai pencantuman klausula baku yang diatur dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mencantumkan beberapa syarat yang merupakan syarat sah dari pencantuman klausula baku. Menurut Undang-Undang ini, pelaku usaha yang melanggar ketentuan pada pasal tersebut mengakibatkan batalnya suatu perjanjian yang dibuat oleh klausula baku tersebut. Walaupun telah dinyatakan demikian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun acap kali terdengar permasalahan mengenai penyelesaian permasalahan perjanjian klausula baku ini di pengadilan yang menyebutkan bahwa pencantuman klausula baku tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tersebut. Banyak para pelaku usaha yang tidak mengindahkan pengaturan tersebut. Hal ini dikarenakan suatu perjanjian tersebut merupakan “lex specialis derogate lex generalis” bagi para pelaku uaha. Suatu perjanjian yang telah ditandatangani tersebut merupakan U ndang – Undang yang bersifat mengikat bagi para pihak yang telah menandatanganinya. Banyak sekali pandangan para ahli hukum mengenai keabsahan klausula baku ini dalam suatu kontrak. Menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun 13 Ibid, hal 120 16 lamanya. 14 Kenyataaan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dank arena itu diterima oleh masyarakat. 15 Berbeda dengan Sutan Remy, pandangan lain berpendapat bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian karena bertentangan dengan pasal 1320 KUH Perdata. Pendapat ini diwakili oleh Prof. Mariam Darus Badrulzaman dan Sluitjer. 16 Sluitjer mengatakan bahwa perjanjian baku, bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wet-gever). Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah Undang-Undang dan bukan Perjanjian. Sedangkan Prof Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa dalam perjanjian yang menggunakan klausula baku, perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur mengadakan “real bargaining” dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannnya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian baku tidak memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 KUH Perdata jo pasal 1338 KUH Perdata. 17 Kebebasan berkontrak yang merupakan “roh dan napas” sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dala berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan seimbang. Denagan demikian, diharapkan bahwa kontrak yang diciptakan akan adil dan seimbang pula bagi para pihak. Namun demikian dalam paktik model kontrak standar (standard contract) 14 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para piihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 66 15 Salim HS, op.cit, hal 174 16 Ibid, 17 Ibid, 17 ini cenderung dianggap berat sebelah , tidak seimbang dan tidak adil hingga dinamakan kontrak ini merupakan perjanjian timpang. Kontrak ini sering kali diibaratkan dengan pertarungan antara “David vs. Golliath”, dimana berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang antara pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat (baik karena penguasaan modal, dana teknologi maupun skill yang diposisikan sebagai Golliath) dengan pihak yang lemah bargaining positionnya dimana pihak ini hanya sekadar menerima segala isi kontrak dengan terpaksa (taken for granted), sebab apabila ia mencoba menawar dengan alternatif lain kemungkinan besar ia akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan. Jadi hanya ada dua alternatif bagi pihak yang lemah bargaining positionnya yaitu untuk menerima atau menolak (take it or leave it) 18 Penggunaan perjanjian baku dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen ini kadang atau bahkan sering terjadi penyalahgunaan keadaan atau yang dalam istlah Belanda dikenal dengan “misbruik van omstadigheden”. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya. 19 Untuk itu perlulah dikaji secara mendalam mengenai syarat sah suatu perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata terhadap keabsahan pencantuman klausula baku yang ditandatangani oleh konsumen (debitur) dan juga terhadap syarat sah pencantuman klausula baku 18 19 Agus Yudgo Hernoko, op.cit, hal 2 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan,(Bandung: Mandar Maju,1994), hal 61 18 menurut pasal 18 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini penting karena mengingat bahwa perjanjian baku ini sudah melekat didalam dunia bisnis. Pengkajian ini dilakukan untuk melindungi konsumen yang berada dalam posisi tawar yang lemar terhadap para pengusah (kreditur) yang memilik posisi tawar yang kuat. Selama ini konsumen yang menandatangani perjanjian tersebut dikarenakan ia membutuhkan biaya dengan waktu yang cepat tanpa memikirkan kemungkinan atau risiko yang terjadi kedepan terhadap pemenuhan prestasi atas perjanjian itu. Masyarakat menginginkan hal yang bersifat praktis tanpa terlebih dahulu mengkaji lebih dalam bagaimana terhadap pemenuhan hak di kemudian hari. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis dalam skripsi ini memberi judul “ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 56/PDT.G/2011/PN.TEGAL)”. Untuk menganalisis dan memberikan pemahaman yang benar hendaklah penulis kiranya menerangkan pengertian dan batasan dari judul tersebut di atas sehingga jelas bagi kita segala pengertian yang ada didalamnya dan batasan dari judul tersebut yang bila diperinci lebih lanjut akan dibagikan kedalam tiga isu sentral sebagai berikut : 19 a. Apakah perjanjian baku bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan? b. Apakah pelaksanaan perjanjian baku dirasa adil bagi masyarakat? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut: a. Untuk mengetahui apakah perjanjian baku bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan b. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan perjanjian baku dirasa adil bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan masukan bagi ilmu pengetahuan serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perjanjian serta bidang perlindungan konsumen, khususnya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian baku. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan juga memberikan pengembangan wawasan dan pengkajian terhadap perlindungan konsumen dalam penerapan perjanjian baku di Indonesia, serta dapat dijadikan bahan informasi yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi para pelaku perjanjian baku baik kreditur maupun debitur agar dapat mengurangi permasalahan yang terjadi setelah perjanjian baku tersebut 20 ditandatangani. Serta bagi masyarakat agar dapat memahami dengan baik hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan ketika dihadapkan dengan permasalahan mengenai perjanjian baku. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di kepustakaan pada Lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum ditemukan penulisan skripsi yang membahas tentang “ANALISIS HUKUM TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DITINJAU DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 56/PDT.G/2011/PN.TEGAL)” sampai dengan penulisan skripsi ini dilakukan. Hal ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada kepustakaan keperdataan khusunya Perdata BW (Burgerlijk Wetboek), sehinggadapat dikatakan bahwa isi penulisan ini adalah asli, dan dapat dipertanggungjawabkan. Skripsi ini disusun berdasarkan referensi buku-buku, majalah-majalah hukum, media cetak maupun media elektronik, juga melalui banuan dari berbagai pihak E. Tinjauan Kepustakaan Di dalam skripsi ini penulis akan membahas tentang aanalisis hukum terhadap pencantuman klausula baku dilihat baik dari hukum perdata maupun hukum perlindungan konsumen. Menurut Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen, “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan 21 terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Menurut Sutan Remy Sjahdeini Perjanjian Baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hhanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjaniian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaries, bila dibuat oleh notsris dengan klusul-kalausul yang hanya mengambil alih saja klausul-kalausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausulklausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaries itu pun adalah juga perjanjian baku”. 20 Sedangkan Menurut Mariam Darus Badrulzaman Perjanjian Baku (standard contract) adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman mengemukakakan ciri-ciri perjanjian baku yaitu: a. isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; b. masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama- sama mengemukakan isi perjanjian; 20 Salim H.S, op.cit, hal 174 22 c. terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d. bentuk tertentu (tertulis); e. dipersiapkan secara missal dan kolektif 21 Klausula baku atau perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang juga tunduk pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian menjadikan perjanjian tersebut disebut dengan perjanijian baku disebut dengan kontrak standar (standard contract). Agar perjanjian yang menggunakan klausula baku ini memiliki kekuatan mengikat maka perjanjian baku ini harus memenuhi syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: a. Kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan para pihak c. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan d. Suatu sebab yang halal. 22 Selain harus memenuhi syarat sah perjanjian, perjanjian baku juga harus tidak bertentangan dengan asas-asas umum yang dianut oleh hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas iktikad baik dan asas keseimbangan. Menurut Niewenhuis, asas-asas hukum itu berfungsi sebagai pembangun sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem “check and balances”. Melalui pendekatan ini, ada tujuan yang diemban yaitu agar terciptanya suatu hubungan kontraktual yang 21 22 Ibid, hal 146 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 23 proporsiaonal antara para pelaku bisnis, sebagai suatu pola hubungan winwin solution yang bersimbiosis mutualistis. 23 Aturan mengenai perjanjian baku ini juga tercantum pada Bab 5 Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal –hal yang diatur ialah mengenai berbagai larangan terhap pencantuman klausula baku dalam suatu dokemen atau perjanjian. Didalam suatu perjanjian terutama perjanjian bisnis sering sekali terjadi sengketa.sengketa adalah dimana adanya ketidaksepakatan atau perbedaan di antara para pihak. penyelesaian sengketa terhadap kontrak konsumen ini diatur dalam pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mana diberikan dua pilihan bagi para pihak apabila terjadi sengketa yaitu: a. Untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen atau pelaku usaha (di luar pengadilan) atau, b. Untuk menyelesaikan sengkets melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 24 Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan oleh suatu lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau oleh para pihak dilakukan sendiri metode penyelesaian sengketa alternatif lainnya karena penyelesaian sengketa melalui BPSK bukan merupakan sebuah keharusan. 23 24 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal 108 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 24 Namun demikian hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock therapy bagi pelaku usaha nakal karena putusan tersebut dapat dijadikan bukti permulaan bagi penyidik di pengadilan. 25 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan secara hukum dengan cara membaca, mempelajari dan menguraikan tentang norma, ketentuan-ketentuan dan pendapat para ahli hukum tentang analisis terhadap pencantuman klasula baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Karena penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif maka data yang diperoleh berasal dari pustaka sehingga merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder yang kemudian dijadikan sebagai data primer. 2. Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan data sekunder yang kemudian dijadikan sebagai data primer, data sekunder ini mencakup: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari UUD 1945, KUHPerdata, UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU 25 Gunawan Widjaja Hukum Tentang Perlindugan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal 73 25 Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer sehingga dapat membantu menganalisi dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, artikel, makalah maupun hasil wawancara dari para ahli di bidang perlindungan konsumen, maupun standard contract. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum Bahasa Indonesia, dan Kamus Hukum. 3. Teknik Pengumpulan Data Bahan diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu dengan membaca dan mempelajari buku-buku, perundangundangan, makalah, artikel, laporan penelitian ataupun literature lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian. Kemudian bahanbahan tersebut dikelompok-kelompokkan menjadi bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier lalu disusun secara sistematis, dianalisa dan kemudian dikembangkan menjadi skripsi. 4. Analisis data Bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secar sistematis sebelumya kemudian akan dianalisis secara perspektif dengan menggunakan 26 metode kualitatif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berkahir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan, dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam menarik suatu kesimpulan akhir. G. Sistematika Penulisan Unutuk mempermudah dalam memahami penulisan skripsi ini maka penulis akan menyajikannya dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan maalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan yang digunakan. BAB II: Bab ini merupakan bab yang menguraikan tinjauan umum tentang klausula baku, pengertian klausula baku, jenis-jenis perjanjian yang menggunakan klausula baku, sejarah perkembangan klausula baku di Indonesia, landasan hukum perjanjian yang menggunakan klausula baku, serta kekuatan mengikat klausula baku. BAB III: Bab ini merupakan bab yang berisi tentang analisis terhadap pencantuman klausula baku menurut Kitab Undang-Undang hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bab ini membahas tentang pengertian dan syarat sah perjanjian, syarat- 27 syarat suatu perjanjian, asas-asas perjnjian, ketentuan klausula baku ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketenttuan Klausula baku ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sengketa dan penyelesaian sengketa mengenai klausula baku. BAB IV: Bab ini merupakan yang berisi tentang analisis hukum terhadap pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian (studi putusan Pengadilan Negeri Nomor: 56/Pdt.G/2011/PN.Tegal). Dalam bab ini akan diuraikan tentang permasalahan pokok yang dibahas penulis yakni kasus posisi atas putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor: 56/Pdt.G/2011/PN.Tegal dan analisis kasus. BAB V: Bab ini merupakan bab penutup, dalam bab terakhiri ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai sumbanan pemikiran penulis dalam memecahkan keabsahan terhadap penggunaan klausula baku. 28 persoalan praktek