BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Komputer merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini menguatkan fakta bahwa komputer bukan saja berperan di bidang pekerjaan dan pendidikan, namun juga dapat dijadikan sebagai sarana hiburan. Saat ini sudah tak asing lagi kiranya jika kita melihat bahwa di setiap rumah atau keluarga telah memiliki komputer. Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang komputer sudah bukan merupakan barang mewah dan langka lagi karena sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal sekali apa yang dinamakan dengan komputer dan juga hampir dari setiap lapisan masyarakat terutama dari kalangan masyarakat menengah ke atas telah mempunyai komputer dengan berbagai macam jenis dan kualitas. Semakin meningkatnya kebutuhan orang akan adanya sarana teknologi yang canggih dan akurat, maka komputer semakin banyak pula dicari oleh para konsumen penggunanya. Para pelaku usaha juga saling bersaing untuk mendirikan tempat penjualan komputer beserta perangkatperangkat pendukung lainnya yang berhubungan dengan usaha tersebut. Tempat-tempat penjualan komputer itu sendiri baik yang menjual produk baru ataupun barang second sekarang ini telah banyak sekali berdiri atau sengaja dibangun khusus untuk menjual barang tersebut. Toko komputer yang menyediakan komputer dan perangkatperangkat lainnya yang berhubungan dengan usaha tersebut juga tetap memperhatikan aspek untung rugi dalam menjalankan usahanya, hal ini dapat kita lihat dalam sistem manajerial dan pengaturannya yang diatur sedemikian rupa dalam bentuk suatu perjanjian baku. Adanya kegiatan usaha jual-beli komputer tersebut memunculkan adanya hubungan hukum antara pihak pembeli atau konsumen dengan pelaku usaha, dalam hubungannya tersebut pihak pembeli sebagai konsumen telah mengikatkan dirinya untuk membeli komputer tersebut kepada pihak penjual sebagai pelaku usaha. Berdasarkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dilarang karena dianggap hanya mementingkan salah satu pihak saja dan hal ini menjadikan pihak konsumen atau pihak pembeli sebagai pihak yang lemah yang hanya dapat menerima apapun ketentuan yang telah dibuat oleh pihak penjual.1 Hal ini dapat dianggap telah melanggar salah satu asas dalam hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak. Salah satu tempat usaha atau toko komputer yang telah ada di Sleman, Yogyakarta adalah ASC COMPUTER. Tempat usaha atau toko komputer ini juga masih menggunakan perjanjian baku atau perjanjian standar yang berisi klausula eksonerasi yang merugikan pihak pembeli 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dalam tulisan ini selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen. atau Konsumen. Klausula-klausula eksonerasi yang terdapat pada nota pembelian komputer di ASC COMPUTER itu antara lain berisi : 1. Masa garansi untuk satu unit komputer atau peripheral sebelas bulan, kecuali asesoris garansi satu minggu dan barang yang memiliki masa garansi tertentu sesuai dengan catatan garansi. 2. Barang yang sudah dibeli tidak bisa ditukar atau dikembalikan. 3. Garansi barang yang sudah tidak diproduksi oleh pabrik diwajibkan tukar tambah (harga disesuaikan harga dari distributor). 4. Garansi replace satu bulan selebihnya masuk garansi service ke distributor dan membutuhkan waktu lebih kurang satu bulan. 5. Tidak bertanggungjawab terhadap software yang ada di dalam CPU. 6. Tidak menerima komplain rusak atau kekurangan setelah serah terima barang. Klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian2. Adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian jual-beli inilah yang nantinya akan dapat menimbulkan suatu permasalahan. Mengenai hal ini dapat dilihat dengan adanya kepentingan sepihak, di mana pihak pelaku usaha dapat merugikan 2 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 20 pihak lain yang dalam hal ini adalah pihak pembeli komputer atau konsumen atas klausula yang terdapat pada nota pembelian baku itu. Penjelasan tersebut dapat terlihat dalam klausula jual-belinya pihak ASC computer, di mana dalam klausulanya pihak ASC Computer menyebutkan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan sehingga dari pernyataan tersebut menunjukkan tidak adanya tanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi. Oleh karena itu, sangat perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap aspek-aspek perjanjian dalam jualbeli baku itu, untuk dapat mengetahui apakah pelaksanaan penyelenggaraannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam hukum perjanjian atau belum, serta bagaimanakah kekuatan mengikatnya klausula eksonerasinya dan bagaimanakah pula tanggung jawab penjual atas cacat tersembunyi pada komputer dalam perjanjian jual-beli komputer tersebut. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapatlah dirumuskan permasalahannya sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kekuatan mengikat klausula eksonerasi pada perjanjian jual-beli Komputer di ASC COMPUTER Yogyakarta ? 2. Bagaimanakah tanggung jawab penjual terhadap pembeli atas cacat tersembunyi pada komputer di ASC COMPUTER Yogyakarta ? C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah yang akan diteliti, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat klausula eksonerasi pada perjanjian jual-beli Komputer di ASC COMPUTER Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab penjual terhadap pembeli atas cacat tersembunyi pada komputer di ASC COMPUTER Yogyakarta. D. TINJAUAN PUSTAKA Komputer sebagai salah satu perangkat teknologi yang dapat digunakan di berbagai bidang, baik di bidang pekerjaan, pendidikan maupun sebagai sarana yang dapat menyediakan hiburan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia yang tidak terlepaskan saat ini. Hampir setiap lapisan masyarakat telah mengenal, mengetahui dan memiliki apa yang dinamakan dengan komputer, sebab komputer sudah bukan lagi barang langka ataupun barang mewah yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat kelas atas saja. Kebanyakan dalam praktiknya, penjualan komputer tersebut biasanya menggunakan bentuk perjanjian standar atau perjanjian baku, di mana pihak pembeli mengikatkan dirinya kepada pihak penjual sebagai pihak yang membuat perjanjian dengan klausula yang juga telah disusun sebelumnya. Perjanjian itu sendiri merupakan suatu peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain dengan tujuan untuk melakukan sesuatu hal yang berupa suatu rangkaian perkataan dan/atau perbuatan halal yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang ditulis atau diucapkan, yang kemudian akhirnya melahirkan suatu perikatan, sedangkan jual-beli menurut pasal 1457 KUHPerdata adalah perjanjian dengan mana penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan hak milik atas benda dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disepakati. Perikatan itu sendiri merupakan suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.3 Hukum perjanjian ini menganut sistem terbuka, di mana masyarakat diberikan kebebasan yang sebesar-besarnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, juga diperbolehkan membuat ketentuanketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal dalam hukum perjanjian, sehingga dalam hukum perjanjian ini sering juga disebut sebagai hukum pelengkap.4 Hal ini sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 3 4 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke XII, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hlm.1 Ibid, hlm. 13 Selain asas kebebasan berkontrak, di dalam hukum perjanjian juga berlaku asas konsensualisme yang pada dasarnya perjanjian serta perikatan itu sendiri sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau dengan kata lain bahwa perjanjian itu sudah sah apabila sudah terdapat kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu yang formalitas.5 Mengenai hal tersebut juga tercantum di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata tidak menyebutkan adanya suatu formalitas tertentu maka dapat dikatakan bahwa Perjanjian itu adalah sah dalam arti mengikat jika sudah terjadi kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan.6 Melihat hal-hal apa saja yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian, ada empat hal pokok yang mendasarinya antara lain : 1. Kesepakatan pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan dalam membuat sesuatu perjanjian. 3. Mengenai suatu hal tertentu. 4. Kausa atau sebab yang halal. Jika syarat-syarat atau salah satu syarat yang terdapat di dalam perjanjian itu tidak terpenuhi, maka perlu adanya penggolongan terlebih dahulu atas syarat-syarat yang tidak terpenuhi tersebut. Apabila syarat subyektif yang berupa kesepakatan dan kecakapan dalam melaksanakan perjanjian itu tidak dapat terpenuhi, maka perjanjian tersebut bukan batal 5 Ibid, hlm. 15 A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm.20-21 6 demi hukum tetapi salah satu pihak dalam hal tersebut mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas, sehingga nasib suatu perjanjian ini tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan salah satu pihak untuk mentaatinya merupakan pihak yang dapat meminta pembatalan perjanjian itu. Apabila adanya suatu hal tertentu dan sebab yang halal sebagai syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjan itu dapat batal demi hukum yang artinya bahwa tujuan dari para pihak dalam melaksanakan perjanjian untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal, dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.7 Telah dijelaskan bahwa di dalam hukum perjanjian terdapat tiga sebab yang membuat kesepakatan itu menjadi tidak bebas, yaitu adanya kekeliruan atau kekhilafan, penipuan dan paksaan. Kekeliruan atau kekhilafan artinya bahwa apabila salah satu pihak melakukan kekhilafan yang tidak di sengaja tentang hal-hal pokok atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa perjanjian itu diadakan. Penipuan itu sendiri dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keteranganketerangan yang salah atau palsu dan disertai dengan penipuan untuk membujuk pihak lawannya dalam memberikan izin atas perjanjian tersebut, sedangkan paksaan di sini merupakan paksaan yang bersifat 7 Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bagian Penerbitan dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1983, hlm. 75 rohani atau paksaan jiwa, dan bukan merupakan paksaan fisik. Ketidakcakapan seseorang dan ketidakbebasan dalam memberikan izin pada suatu perjanjian akan memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya, sehingga hak untuk meminta pembatalan itu hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan dan hal ini dibatasi oleh batas waktu tertentu yaitu 5 tahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Hukum perjanjian telah menjelaskan bahwa apabila salah satu pihak melanggar atau tidak melakukan apa yang diperjanjikan maka ia dapat dikatakan telah melakukan suatu wanprestasi atau perbuatan ingkar janji atau kealpaan atau kelalaian. Wanprestasi mempunyai beberapa bentuk di antaranya adalah :8 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Atas kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan tersebut, maka hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan yaitu : 8 Subekti, Op.cit., hlm. 45 1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditor atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi. 2. Pembatalan perjanjian atau disebut juga pemecahan perjanjian. 3. Peralihan resiko. 4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan di depan pengadilan. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata, seseorang dapat dikatakan lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan sehingga apabila seorang debitor telah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya dan ia tetap tidak melakukan prestasinya maka ia berada dalam keadaan lalai atau alpa dan terhadap orang tersebut dapat dikenakan atau diberlakukan sanksi sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Mengenai keadaan lalai yang seperti itu, maka seorang debitor dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan diri dari sanksi yang akan diberlakukan kepadanya. Pembatalan tersebut ada tiga macam, yaitu :9 1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). 9 Ibid, hlm. 64-78 2. Mengajukan bahwa si kreditor sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus). 3. Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti-rugi (rechtsverwerking). Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata, ada berbagai cara dapat terhapusnya suatu perikatan, yaitu : 1. Pembayaran apa yang harus dipenuhi di dalam perjanjian secara sukarela. 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan apabila kreditor menolak pembayaran. 3. Pembaharuan utang atau novasi. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi dengan cara memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dengan debitur. 5. Pencampuran utang. 6. Pembebasan utang. 7. Musnahnya barang yang terutang. 8. Adanya pembatalan. 9. Berlakunya suatu syarat batal. 10. Melewati batas waktu yang telah ditentukan. Kebebasan individu para pelaku usaha untuk menyatakan kehendak dalam menjalankan usahanya merupakan salah satu wujud dari perjanjian baku. Perjanjian baku itu sendiri merupakan satu bentuk dari kebebasan individu pelaku usaha menyatakan kehendak dalam menjalankan perusahaannya. Biasanya, pihak pelaku usaha selalu berada pada posisi yang lebih menguntungkan sementara konsumen berada pada posisi yang lebih di rugikan, di mana konsumen itu sendiri hanya di hadapkan pada dua pilihan yaitu menyetujui atau tidak menyetujui ( take it or leave it ) perjanjian tersebut. Pada saat sekarang ini, perjanjian baku merupakan model perjanjian yang paling banyak digunakan oleh para pelaku usaha atas dasar pertimbangan prinsip ekonomi yaitu dengan usaha sedikit mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, dengan biaya seringan mungkin, dengan cara sepraktis mungkin dan memperoleh keuntungan yang sebesar mungkin.10 Perjanjian baku merupakan perjanjian yang menjadi tolak ukur yang digunakan sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pelaku usaha yang meliputi model, rumusan dan ukuran dari perjanjian yang akan dilaksanakan tersebut.11 Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat, maka Perjanjian baku ini berkembang dengan sendirinya serta mencerminkan suatu prinsip ekonomi dan kepastian hukum. Mengenai hal ini tidak dapat dilihat dari kepentingan konsumen atau pembelinya melainkan dapat terlihat dari kepentingan penjual atau pelaku usahanya, di mana konsumen atau pembeli hanya menyetujui syarat-syarat yang diberikan oleh penjual atau pelaku usaha yang hanya bertujuan untuk menjamin kepentingan pelaku usaha tersebut. 10 11 Abdulkadir Muhammad, Op.cit , hlm. 3 Ibid, hlm. 6 Syarat-syarat dalam perjanjian baku itu sendiri biasanya dikuasai sepenuhnya oleh pelaku usaha sehingga sifatnya pasti lebih menguntungkan pelaku usaha itu sendiri daripada konsumen, hal ini dapat terlihat dalam klausula-klausula eksonerasi yang berupa pembebasan tanggung jawab pelaku usaha, di mana tanggung jawab tersebut tidak ditanggung oleh pelaku usaha melainkan menjadi tanggung jawab konsumen. Mengenai hal tersebut dapat diketahui melalui format yang ada pada nota perjanjian pembelian yang telah ada dan ditentukan sebelumnya secara sepihak oleh pihak pelaku usaha dan tinggal dibayar oleh pihak konsumen. Kontrak baku atau standar tersebut banyak memunculkan permasalahan-permasalahan terutama yang menyangkut klausula eksonerasi dari perjanjian jual-beli komputer tersebut. Ada yang menyatakan bahwa kontrak baku atau standar ini bertentangan dengan salah satu prinsip perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, di mana seharusnya para pihak itu mempunyai kedudukan yang seimbang sehingga masing-masing pihak dapat diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi dan bentuk perjanjian yang ingin mereka lakukan asalkan tidak bertentangan dengan asas ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang hukum positif yang berlaku. klausula eksonerasi juga sering kali bertentangan dengan UU perlindungan konsumen, di mana hukum perlidungan konsumen itu adalah aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai pola atau sistem pemberian perlindungan bagi pengguna barang atau jasa dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya beserta jaminan pelaksanaan aturan-aturan hukum yang berlaku. Mengenai hal tersebut dapat terlihat dari isi klausula yaitu barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kenbali, di mana hal tersebut bertentangan dengan pasal 18 UU perlindungan konsumen yang menyatakan larangan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha atau larangan menyatakan menolak penyerahan kembali barang yang telah dibeli konsumen. Akan tetapi di lain pihak, dalam perjanjian tersebut tidak terdapat adanya unsur keterpaksaan sehingga menurut pendapat atau pandangan yang lain bahwa kontrak baku atau standar itu tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak, di mana perjanjian itu terjadi dan muncul karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak yang saling sepakat untuk melaksanakan isi dari perjanjian tersebut, sehingga apabila salah satu pihak ada yang tidak menyetujui klausula eksonerasinya maka perjanjian tersebut tidak akan terjadi, dengan demikian timbulnya perjanjian itu pada dasarnya terjadi apabila ada persetujuan atau kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Ruang lingkup dari asas kebebasan berkontrak ini sendiri menurut hukum perjanjian, meliputi:12 1. Kebebasan untuk membuat perjanjian. 2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian. 12 Sultan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia ( Seri Hukum Perbankan ), ISBN 9798458-02-8, Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 47 3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya. 4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjiannya. 5. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjiannya. 6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan UU yang bersifat opsional ( vancullend optional ). Pelaksanaan perjanjian yang terdapat dalam klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dengan iktikad baik serta tidak bertentangan dengan kesusilaan yang dengan sengaja dibuat oleh pelaku usaha dan menimbulkan kerugian, oleh sebab itu, pengadilan dapat menggubris eksonerasi tersebut dengan pertimbangan bahwa perjanjian itu bertentangan dengan UU dan juga kesusilaan. Alasan kenapa klausula eksonerasi itu dapat dirumuskan, antara lain :13 1. Eksonerasi karena keadaan memaksa. 2. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak kedua. 3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga. Kita dapat melihat masih banyak sekali orang yang menerima atau mau mengikatkan dirinya dengan syarat-syarat baku yang telah disusun sebelumnya di dalam perjanjian baku, hal ini dipicu dengan alasan masih banyaknya orang yang acuh atau tidak terlalu mengerti mengenai hal 13 Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 21 tersebut serta adanya motivasi kebutuhan ekonomi sehingga pihak pelaku usaha yang dalam hal ini adalah pihak penjual menganggap kebutuhan ekonomi hanya akan terpenuhi secara normal dengan jalan menerima syarat-syarat baku tersebut. Perjanjian baku ini berlaku sebagai Undang-Undang dalam aspek yuridis bagi yang membuatnya, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan UU di mana ada kepastian hukum di dalamnya. Adanya penandatanganan perjanjian di dalamnya atau penerimaan surat atau dokumen yang di perjanjikan membuktikan adanya keterikatan antara para pihak di dalamnya, hal ini juga terjadi karena adanya alasan kepercayaan dari pihak konsumen terhadap pihak pelaku usaha yang menjual produk tersebut. Meskipun pelaku usaha mempunyai kebebasan dalam merumuskan dan menentukan syarat atau klausula eksonerasi tersebut, akan tetapi pemberlakuannya dapat dikontrol dengan tidak melanggar asas iktikad baik dan kesusilaan di dalamnya. E. METODE PENELITIAN 1. Obyek Penelitian Kekuatan mengikat klausula eksonerasi pada perjanjian jual-beli Komputer di ASC Computer Yogyakarta. Tanggung jawab penjual terhadap pembeli atas cacat tersembunyi pada komputer di ASC Computer Yogyakarta. 2. Nara Sumber a. Pelaku usaha ASC Computer Yogyakarta. b. konsumen atau pembeli Komputer di ASC Computer Yogyakarta. 3. Bahan Hukum Adapun data yang diperlukan dalam penyusunan penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan sumber data yang dapat digolongkan menjadi 3, yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan yang memiliki kekuatan mengikat secara yuridis, seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian. Dalam hal ini berupa : 1) UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 2) Perjanjian baku antara ASC Computer dengan Customer. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara yuridis, seperti rancangan peraturan perundang-undangan, literatur, jurnal, hasil wawancara serta hasil penelitian terdahulu. c. Bahan Hukum Tersier Bahan yang memberikan petunjuk/penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang dapat berupa kamus umum, kamus besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedi dan bahan-bahan tertulis lainnya yang relevan. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum dan literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian. b. Studi Dokumen Mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Wawancara Mengajukan pertanyaan kepada nara sumber baik secara bebas maupun terpimpin. 5. Teknik Analisa Data Bahan yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara menggolong-golongkan bahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, menguraikan atau menarasikan, membahas dan menafsirkan temuan-temuan penelitian serta memberikan gambaran dan penjelasan pada data yang berhasil dikumpulkan dengan menggunakan teori yang ada di dalam landasan teori serta melalui penalaran yuridis dan selanjutnya dapat ditarik kesimpulan. 6. Metode Pendekatan Sudut pandang yang digunakan peneliti dalam memahami dan mendekati fokus penelitian yang diambil adalah pendekatan secara yuridis sosiologis, di mana sudut pandang dan pendapat dari masyarakat dijadikan sebagai bahan dalam penelitian ini. Metode pendekatan yang digunakan, yaitu : a. Pendekatan Perundang-undangan Pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani atau diteliti. b. Pendekatan Konseptual Pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari pandanganpandangan dengan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum. c. Pendekatan Historis Pendekatan yang dilakukan dengan menelaah latar belakang lahirnya dan perkembangan pengaturan mengenai masalah yang diteliti.