POLA ASUH GIZI DAN STATUS GIZI BAYI USIA 6-12 BULAN DI WILAYAH KERJA KERJA PUSKESMAS SIRAIT KECAMATAN NAINGGOLAN KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2013 (Nutritional Caring Pattern and Nutritional Status of 6 up to 12 Months Infants in The Poor Society in the Working Area of Sirait Public Health Center, Nainggolan Subdistrict, Samosir District, in 2013) Angela Parapat1, Albiner Siagian2, Ernawati Nasution2 1 2 Alumni Mahasiswa Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Staf pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU ABSTRACT Babyhood time is as the golden period for optimal growth and development of baby. In this period, babies need to have good nutrition caring pattern such as breast feeding and complementary feeding. This research was aimed to describe the nutritional caring pattern and the nutritional status of 6 up to 12 months infants in the poor society in the working area of Sirait Publich Health Center, Nainggolan Subdistrict, Samosir District, in 2013. This research was a descriptive survey with cross sectional approach. The population was 6 up to 12 months infants since these ages were susceptible of malnutrition. The sample is total sampling and the respondents were the infant’s mother. Primary data include maternal identity data, the identity of the baby an infant nutrition caring pattern (breast feeding and complementary feeding practice), obtained from interviews mothers. The infants nutritional status was obtained from the results of weighing an measuring the body’s length.The result of the research showed that the nutritional caring pattern, that is breast feeding practice, the majority was categorized as moderate and not found good breast feeding. This is because there is a lack of ASI given to babies, while the complementary feeding practise was mostly good and there is a practice of feeding with food litlle or no nutritional value. The majority of infants nutritional status, based on the indicator of weight for age was categorized as normal, but we still can find some with less weight. The majority of infants nutritional status, based on the indicator of height for age was categorized as normal. However, some babies still were short and very short. The majority of infants nutritional status, based on the indicator of weight for lenght was categorized as normal, and there were a few infants had thin. Based on the results of research, it is suggested that the management of the Healthy Center to increase the information about giving the exclusive breast feeding, how to provide and give the complementary feed, an balanced nutrition to infants. Keywords: Nutritional Caring Pattern, Infants Nutritional Status, Poor Society PENDAHULUAN Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi ganda yaitu masalah gizi kurang dan gizi lebih. Masalah gizi kurang adalah suatu masalah yang diakibatkan oleh kurangnya asupan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan, seperti Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi dan Ganggguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Masalah gizi lebih adalah Kegemukan dan Obesitas. Kurang Energi Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0% anak berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3% anak kurus, diantaranya 6,0% anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori sangat pendek (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil pemantauan status gizi Propinsi Sumatera Utara tahun 2009, bahwa rata –rata anak balita dengan berat badan sangat kurang (BBSK) sebanyak 4,21% dan Berat Badan Kurang (BBK) sebanyak 16,22%, sedangkan Berat Badan Lebih (BBL) kemungkinan mempunyai masalah pertumbuhan sebanyak 2,95% (Dinkes Propinsi Sumut, 2010). Pola asuh adalah berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal memberi makan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan fisik dan mental (Soekirman, 2000). Dinyatakan oleh WHO bahwa sebagian besar anak kurang gizi berasal dari keluarga miskin. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin (gakin) merupakan kelompok yang paling rawan terhadap masalah gizi kurang. Keadaan ini akan lebih buruk jika ibu memilki perilaku pola asuh gizi yang kurang baik dalam hal penyusuan, pemberian MP-ASI serta pembagian makanan dalam keluarga. Masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (miskin) umumnya menghadapi masalah gizi kurang, sedang masyarakat perkotaan dengan sosial ekonomi yang tinggi sering mengalami masalah gizi lebih. Menurut Suhardjo (1999) yang dikutip oleh Mintardja (2009), makanan padat dianggap sebagai penyebab kegemukan pada bayi jika diberikan terlalu dini dan kejadian ini sering ditemui pada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Pola kebiasaan makan yang tidak baik merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah gizi. Menurut Marian (2000) mengatakan bahwa salah satu aspek kunci dalam pola asuh gizi anak adalah praktek penyusuan dan pemberian MP-ASI. Lebih lanjut praktek penyusuan dapat meliputi pemberian makanan prelaktal, kolostrum, menyusui secara eksklusif, dan praktek penyapihan. Data yang diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kabupatan Samosir Tahun 2011, dari 1189 balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sirait yang ditimbang 852 balita, anak gizi kurang 37 orang (4,34%) dan gizi buruk 1 orang (0,12%), BGM 54 orang (6,34%) pencapaian ASI eksklusif 54,80%. Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa masih terdapatnya masalah gizi diwilayah kerja Puskesmas Sirait. Dari hasil wawancara langsung pada ibu-ibu yang hadir di posyandu yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sirait, pemberian makanan tambahan telah dilakukan semenjak bayi berusia 2-3 bulan, bahkan lebih dini lagi. Alasan mereka ASI tidak mencukupi kebutuhan bayinya karena ASI sedikit atau tidak keluar ataupun karena faktor adat istiadat yang masih kental yang ada di daerah tersebut. Sebagai salah satu contoh ibu – ibu yang datang melihat bayi baru lahir langsung diberi makan gula. Ditemukan juga adanya kebiasaan ibu-ibu menitipkan anak mereka diasuh oleh orang lain (nenek) ketika bekerja, dan hal ini memungkinkan bayi tidak diberi ASI tetapi diberi susu formula dan makanan tambahan dalam bentuk bubur. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola asuh gizi dan status gizi bayi usia 6-12 bulan pada masyarakat miskin (gakin) di wilayah kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir tahun 2013. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola asuh gizi dan status gizi bayi usia 6-12 bulan pada keluarga miskin (gakin) di wilayah kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah Sebagai masukan bagi Puskesmas Sirait tentang status gizi dan pola asuh gizi bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja tersebut dan sebagai masukan bagi pengelola program gizi di Puskesmas Sirait dalam penanggulangan masalah gizi di wilayah kerja Puskesmas Sirait. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini di lakukan di wilayah kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi usia 6-12 bulan dari keluarga miskin (gakin) yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir adalah sebanyak 69 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi (total sampling) sebanyak 69 orang. Pengumpulan data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu yang data identitas responden (nama, umur, alamat, pendidikan terakhir, status pekerjaan, jumlah anak hidup, pendapatan keluarga/bulan), identitas bayi (nama, umur dan jenis kelamin), dan praktek pola asuh gizi bayi (praktek penyusuan dan praktek pemberian MP-ASI) dperoleh dengan cara wawancara langsung kepada ibu bayi dengan menggunakan kuesioner. Data berat badan, panjang badan bayi diperoleh dari hasil penimbangan berat badan dan pengukuran panjang badan bayi. HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun karakteristik ibu pada penelitian ini, dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1. Distribusi Frequensi Karakteristik Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Karakteristik Ibu Kelompok Umur Ibu <20 tahun 20-35 tahun >35 tahun Total Pendidikan Terakhir Ibu Dasar Menengah Atas Total Status Pekerjaan Ibu Bekerja Tidak bekerja Total Jumlah Anak 1-3 orang >3 orang Total Jumlah Penghasilan Keluarga/Bulan <Rp. 600.000 >Rp. 600.000 Total n % 1 55 13 69 1,4 79,4 29,2 100,0 5 56 8 69 7,2 81,2 11,6 100,0 69 0 69 100,0 0,0 100,0 23 46 69 33,3 66,6 100,0 69 0 69 100,0 0,0 100,0 Dari tabel 1. diketahui sebagian besar ibu (77,9%) berumur 20 – 35 tahun, (21,7%) berumur >35 tahun, dan (1,4%) berumur <20 tahun. Berdasarkan jenjang pendidikan formal yang ditempuh, sebagian besar ibu (81,2%) dengan tingkat pendidikan ibu menengah (SMP), (11,6) tingkat pendidikan atas (SMA) dan (7,2%) tingkat pendidikan dasar (SD). Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa jumlah pendapatan ibu adalah < Rp.600.000,-, dengan pendapatan minimal Rp.400.000,- dan maksimal Rp.600.000,-. Seluruh ibu mempunyai pekerjaan sebagai petani. Pada umumnya ibu memiliki jumlah anggota keluarga > 3 orang (81,2%).. Gambaran karakterisitik berdasarkan jenis kelamin bayi di wilayah kerja Puskesmas Sirait Kabupaten Samosir Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Distribusi Frequensi Jenis Kelamin Bayi Usia 6 – 12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Jenis Kelamin Bayi n % Perempuan Laki – laki 30 39 69 43,5 56,5 100,0 Total Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa balita dengan jenis kelamin perempuan yang terbanyak yang menjadi sampel penelitian ini dengan jumlah 39 orang (56,5%). Tabel 3. Distribusi Frequensi Pola Asuh Gizi Bayi Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Pola Asuh Gizi Praktek Penyusuan Baik Sedang Kurang Total Praktek Pemberian MP – ASI Pada Bayi Usia 6-8 Bulan Baik Sedang Kurang Total Praktek Pemberian MP – ASI Pada Bayi Usia 9-12 Bulan Baik Sedang Kurang Total n % 0 41 28 69 0,0 59,4 40,6 100,0 4 22 2 28 14,3 78,6 7,1 100,0 3 34 4 41 7,3 82,9 9,8 100,0 Dari tabel 3. dapat dilihat bahwa praktek penyusuan mayoritas berada pada kategori sedang yaitu sebesar (59,4%), namun dalam penelitian ini tidak ada di temukan praktek penyusuan pada kategori baik. praktek pemberian MP – ASI pada bayi usia 6-8 bulan mayoritas berada pada kategori sedang (78,6%), hanya (14,3%) berada pada kategori baik. praktek pemberian MP – ASI pada bayi usia 9-12 bulan mayoritas berada pada kategori sedang (82,9%), hanya (7,3%) berada pada kategori baik. Hal ini disebabkan oleh adanya kebiasaan/ kepercayaan ibu – ibu disana, sebagian besar ibu – ibu beranggapan bahwa ASI itu kurang untuk bayi dan harus didukung dengan pemberian makanan lain, hal ini dikarenakan pengalaman mereka dimana setelah bayi diberi makan si anak tidak menangis lagi. Ada pula kebiasaan memberi gula pada mulut bayi yang baru beberapa hari lahir ketika tetangga atau warga setempat datang mengunjungi ibu yang baru melahirkan, alasan mereka memberikan gula adalah supaya sibayi tersebut mempunyai rezeki yang baik. Pemberian makan pada usia dini pun ditemukan pada masyarakat (Ibu) ini, dimana ibu sudah memberikan makan bayi pada usia 2-3 bulan. Berdasarkan Suraatmadja (2007) menyatakan bahwa alasan penting penundaan pemberian air putih atau cairan lain serta makanan padat, yakni: 1) ketidaksterilan makanan padat atau cairan yang diberikan pada bayi bisa menyebabkan bayi mudah sakit dikarenakan kekebalan tubuh sang bayi masih rendah, dan 2) makanan padat yang diberikan pada bayi sebelum umur 6 bulan dapat merusak pencernaan pada bayi karena pada saat itu pencernaan bayi masih sulit mencerna makanan padat. Bila dibandingkan dengan ASI, maka ASI merupakan sumber air yang secara metabolik aman/steril, gratis, mudah disiapkan dan mudah dicerna oleh bayi dan mencegah reaksi alergi dan penyakit lainnya. Pada masyarakat ini masih dijumpai praktek pemberian makan dengan cara dimemei yaitu makanan bayi di kunyah dalam mulut si ibu untuk dihaluskan kemudian diberikan kepada anaknya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan karena bentuk makanan yang diberikan dan jumlah porsinya tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. faktor sanitasi dan higyene juga tidak baik, yang dapat menyebabkan anak diare. Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan dan cara pembuatannya serta zat gizi yang terkandung didalamnya. Sulistijani (2001) mengemukakan seiring dengan bertambahnya usia anak, ragam makanan yang diberikan harus bergizi lengkap dan seimbang penting untuk menunjang tumbuh kembang anak dan status gizi anak. Pemberian ASI pada bayi dimulai sejak ibu melahirkan bayinya dilanjutkan sampai umur bayi 2 tahun, supaya produksi ASI tetap lancar ibu harus mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan istirahat yang cukup. Berdasarkan hasil wawancara pada ibu diperoleh informasi bahwa pada waktu menyusui ibu tidak memperhatikan makanan yang konsumsinya dan tidak cukup istirahat, alasan mereka dikarenakan ibu terlalu sibuk bekerja dan pendapatan mereka yang sangat minim. Soekirman, dkk (2010) menyatakan ibu yang menyusui biasanya merasa lapar dan haus, oleh karena itu harus diimbangi dengan pola makan bergizi seimbang, termasuk mengkonsumsi cukup air minum. Tabel 4. Distribusi Frequensi Praktek Pemberian Makanan/Minuman Prelaktal, Praktek Pemberian Kolostrum, Praktek Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Praktek Pemberian Makanan/Minuman Prelaktal Ya Tidak Total n % 30 39 69 43,5 56,5 100,0 Praktek Pemberian Kolostrum Ya Tidak Total 39 30 69 56,5 43,5 100,0 Praktek Pemberian ASI Eksklusif Ya Tidak Total 5 64 69 7,2 92,8 100,0 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 69 ibu yang diwawancarai terdapat 43,5 % ibu sudah memberikan makanan/minuman prelaktal kepada bayinya. Biasanya ibu memberikan susu formula sebagai pengganti ASI ibu. Ibu yang sudah memberikan kolostrum kepada bayinya pada saat pertama kali lahir 56,5 %. Hanya terdapat 7,2% ibu memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya. Kebanyakan ibu sudah memberikan makanan pendamping ASI kepada bayinya pada usia <6 bulan. penyebab rendahnya pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu kebiasaan/ kepercayaan ibu – ibu disana, sebagian besar ibu – ibu beranggapan bahwa ASI itu kurang untuk bayi dan harus didukung dengan pemberian makanan lain, hal ini dikarenakan pengalaman mereka dimana setelah bayi diberi makan si anak tidak menangis lagi. Menurut Roesli (2008) mengatakan bahwa ASI merupakan makanan utama, sempurna dan cukup untuk bayi dari sejak lahir sampai umur 6 bulan, jadi tidak perlu diberikan tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit dan bubur tim. Tabel 5. Distribusi Frequensi Status Gizi Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Status Gizi Bayi Berdasarkan Indikator BB/U Status Gizi Baik Status Gizi Kurang Status Gizi Sangat Kurang Status Gizi Lebih Total Status Gizi Berdasarkan Indikator PB/U Normal Pendek Sangat Pendek Tinggi Total Status Gizi Berdasarkan Indikator BB/PB Sangat Gemuk Gemuk Resiko Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus Total Jumlah % 41 23 5 0 69 59,4 33,3 7,2 0,0 100,0 50 9 10 0 69 72,5 13,0 14,5 0,0 100,0 0 0 1 46 22 0 69 0,0 0,0 1,4 66,7 31,9 0,0 100,0 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa berdasarkan indikator BB/U terdapat status gizi bayi kurang (33,3%) dan status gizi bayi sangat kurang (7,2%). Bila dilihat berdasarkan indikator PB/U terdapat bayi yang pendek (13,0%) dan sangat pendek (14,5%), Tetapi berdasarkan indikator BB/PB di jumpai ada 22 (31,9%) bayi kurus. Hal ini disebabkan oleh pola asuh ibu yang kurang baik terhadap bayinya yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi bayi. faktor lain yang berpengaruh adalah faktor status sosial ekonomi keluarga. Dengan pendapatan yang kurang ditambah dengan jumlah anak yang banyak maka akan semakin sulit ibu untuk menyajikan makanan yang bergizi seimbang. Lee (1989) mengatakan bahwa pada keluarga yang memiliki balita, dengan jumlah anggota yang besar bila tidak didukung dengan seimbangnya persediaan makanan dirumah maka akan berpengaruh terhadap pola asuh yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi pangan yang diperoleh masingmasing anggota keluarga terutama balita yang membutuhkan MP-ASI. Tabel 6. Tabulasi Silang Praktek Penyusuan Bayi Berdasarkan Indikator Status Gizi BB/U di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Status Gizi Berdasarkan indikator BB/U Prakte k Penyus uan Baik Sedang Kurang Status Gizi Baik n 0 30 11 % 0,0 73,2 39,3 Status Gizi Kurang n 0 10 13 % 0,0 24,4 46,4 Status Gizi Sangat Kurang n % 0 0,0 1 3,4 4 14,3 Status Gizi Lebih n 0 0 0 % 0,0 0,0 0,0 Dari tabel diatas diketahui praktek penyusuan berdasarkan BB/U, dari 41 ibu yang mempunyai praktek penyusuan yang sedang terdapat status gizi kurang (24,4%), status gizi sangat kurang (3,4%). Dalam penelitian ini juga dijumpai, ibu dengan praktek penyusuan kurang terdapat bayi dengan status gizi baik (39,3%). Hal ini menunjukkan tidak ada kecenderungan positif atau negatif, artinya ibu yang memiliki praktek penyusuan sedang masih memiliki balita dengan status gizi kurang dan sangat kurang demikian juga sebaliknya dengan praktek penyusuan yang kurang terdapat status gizi yang baik. Ibu dengan praktek penyusuan sedang tapi mempunyai bayi dengan status gizi kurang, dapat disebabkan oleh praktek penyusuan ibu yang kurang baik terhadap bayinya yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi bayi. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh ibu yang memberikan bayinya kolostrum dan ASI eksklusif secara tidak lansung dapat mempengaruhi status gizi bayi, dimana bayi yang mendapat kolostrum dan ASI eksklusif cenderung bayi dengan status gizi yang baik dan bahkan ibu juga mengatakan bahwa bayinya tersebut jarang sakit, akan tetapi ibu yang tidak memberikan kolostrum dan ASI eksklusif pada bayinya cenderung memiliki status gizi anak yang kurang. Menurut Depkes RI (2007) mengatakan beberapa keunggulan ASI antara lain mengandung kolostrum, mengandung zat kekebalan untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, terutama diare dan infeksi saluran pernapasan akut, meningkatkan kecerdasan anak dibandingkan dengan anak yang tidak diberikan ASI, mengandung energi dan zat – zat gizi lainnya yang paling sempurna serta cairan hidup yang sesuai dengan kebutuhan bayi hingga berumur 6 bulan. pendek (12,2%). Dalam penelitian ini juga dijumpai, ibu dengan praktek penyusuan kurang terdapat bayi dengan status gizi normal (67,9%). Hal ini menunjukkan tidak ada kecenderungan positif atau negatif, artinya ibu yang memiliki praktek penyusuan sedang masih memiliki balita dengan status gizi kurang dan sangat kurang demikian juga sebaliknya dengan praktek penyusuan yang kurang terdapat status gizi yang baik. Ibu dengan praktek penyusuan sedang tapi mempunyai bayi dengan status gizi kurang, dapat disebabkan oleh praktek penyusuan ibu yang kurang baik terhadap bayinya yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi bayi. Tabel 7. Tabulasi Silang Praktek Penyusuan Bayi Berdasarkan Indikator Status Gizi PB/U di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Dari tabel diatas diketahui praktek penyusuan berdasarkan BB/PB dari 41 ibu yang mempunyai praktek penyusuan sedang terdapat bayi yang kurus (12,18%). Dalam penelitian ini juga dijumpai, ibu dengan praktek penyusuan kurang terdapat bayi dengan status gizi normal (35,7%). Hal ini menunjukkan tidak ada kecenderungan positif atau negatif, artinya ibu yang memiliki praktek penyusuan sedang masih memiliki balita dengan status gizi kurang dan sangat kurang demikian juga sebaliknya dengan praktek penyusuan yang kurang terdapat status gizi yang baik. Ibu dengan praktek penyusuan sedang tapi mempunyai bayi dengan status gizi kurang, dapat disebabkan oleh praktek penyusuan ibu yang kurang baik terhadap bayinya yang Praktek Penyus uan Baik Sedang Kurang Status Gizi Berdasarkan indikator PB/U Normal n 0 31 19 % 0,0 75,6 67,9 Pendek n 0 5 4 % 0,0 12,2 14,3 Sangat Pendek n % 0 0,0 5 12,2 5 17,8 Tinggi n 0 0 0 % 0,0 0,0 0,0 Dari tabel diatas diketahui praktek penyusuan berdasarkan PB/U, dari 41 ibu yang mempunyai praktek penyusuan sedang terdapat bayi yang pendek (12,2%), bayi yang Tabel 8.Tabulasi Silang Praktek Penyusuan Bayi Berdasarkan Indikator Status Gizi BB/PB di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Praktek Penyusu an Baik Sedang Kurang Status Gizi Berdasarkan indikator BB/PB Resiko Gemuk Normal Kurus n % n % n % 0 1 0 0,0 0,02 0,0 0 36 10 0,0 87,8 35,7 0 4 18 0,0 12,18 64,3 secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi bayi. Tabel 9. Tabulasi Silang Praktek Pemberian MP-ASI Berdasarkan Indikator Status Gizi BB/U di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Prakte k Pember ian MPASI Baik Sedang Kurang Tabel 10. Tabulasi Silang Praktek Pemberian MP-ASI Berdasarkan Indikator Status Gizi PB/U di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Status Gizi Berdasarkan indikator BB/U Status Gizi Baik Status Gizi Kurang n % n % 6 34 1 85,7 59,6 16,7 1 19 3 14,3 33,9 50,0 Status Gizi Sangat Kurang n % n % 0 3 2 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 5,4 33,3 Status Gizi Lebih Dari tabel diatas diketahui praktek pemberian MP - ASI berdasarkan BB/U bahwa dari 7 ibu yang mempunyai praktek pemberian MP – ASI yang baik terdapat status gizi kurang (14,3%). Dari 56 ibu yang mempunyai praktek penyusuan pada kategori sedang terdapat bayi dengan status gizi kurang (33,9%), status gizi sangat kurang (5,4%). Kita ketahui BB/U merupakan indikator yang menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Menurut Supariasa (2002), berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh, dimana massa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan – perubahan yang mendadak misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Jadi apabila bayi tidak mendapat asupan gizi yang baik maka akan terlihat secara langsung perubahan berat badannya. Status Gizi Berdasarkan indikator PB/U Praktek Pember ian MPASI Baik Sedang Kurang Normal Pendek n % n % 6 41 3 85,7 73,2 50,0 0 9 0 0,0 16,1 0,0 Sangat Pendek n % n % 1 6 3 0 0 0 0,0 0,0 0,0 Tinggi 14,3 10,7 50,0 Dari tabel diatas diketahui praktek penyusuan berdasarkan PB/U bahwa dari 7 ibu yang mempunyai praktek pemberian MP - ASI yang baik, terdapat bayi yang sangat pendek (14,3%). Dari 56 ibu yang mempunyai praktek menyusui pada kategori sedang terdapat bayi dengan status gizi pendek (16,1%) dan bayi sangat pendek (10,7%). PB/U merupakan indikator yang menggambarkan status gizi masa lampau, Maka apabila ibu pada waktu hamil asupan makannya tidak bergizi seimbang, ditambah dengan asupan anak juga yang kurang bergizi, maka akan dapat menyebabkan anak menjadi pendek dan sangat pendek. Tabel Praktek Pemberi an MPASI Baik Sedang Kurang 11.Tabulasi Silang Praktek Pemberian MP-ASI Berdasarkan Indikator Status Gizi BB/PB di Wilayah Kerja Puskesmas Sirait Kecamatan Nainggolan Kabupaten Samosir Tahun 2013 Status Gizi Berdasarkan indikator BB/PB Resiko Gemuk Normal Kurus n % n % n % 0 1 0 0,0 1,8 0,0 7 39 0 100,0 69,6 0,0 0 16 6 0,0 28,6 100,0 Dari tabel diatas diketahui praktek pemberian MP - ASI berdasarkan BB/PB bahwa dari 56 ibu yang mempunyai praktek Pemberian MP-ASI pada kategori sedang, terdapat bayi yang kurus 28,6%. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh pemberian makanan yang terlalu dini, sebagaimana kita ketahui pemberian makanan terlalu dini kepada bayi akan dapat mempengaruhi pencernaan bayi tersebut, dimana pencernaan bayi pada usia tersebut belum cukup matang untuk menerima makanan padat, sehingga apabila dipaksakan maka kemungkinan bayi tersebut akan mengalami diare. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus maka bayi akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, dan yang lebih fatal lagi yaitu menyebabkan kematian pada bayi. Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan demikian timbulnya gizi dan kurang tidak hanya karena kurang makanan tetapi juga karena adanya penyakit infeksi, terutama diare dan ispa. Anak yang mendapatkan makanan cukup baik tetapi sering diserang diare dan ispa. Anak yang mendapatkan makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan cukup dan seimbang daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makanan. Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung anak dapat menjadi kurus dan timbullah kejadian kurang gizi (Soekirman, 2000). KESIMPULAN Pola asuh gizi bayi bila dilihat dari praktek menyusui tidak ditemukan ibu dengan praktek menyusuinya baik. Hal ini dikarenakan oleh adanya kebiasaan/kepercayaan ibu yakni : ASI tidak cukup untuk bayi dan harus ditambah dengan pemberian MP-ASI, pemberian gula pada bayi oleh ibu ibu yang berkunjung dianggap hal yang biasa, pemberian air putih/air kopi dianggap supaya bayi tidak mudah demam tinggi. Praktek penyusuan yang tidak baik juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, dimana dengan sosial ekonomi yang rendah ibu yang menyusui tidak dapat mengkonsumsi makanan yang bergizi dan istirahat yang cukup. Selain itu faktor ibu bekerja juga mempengaruhi pemberian ASI pada bayi. Pola asuh gizi bayi bila dilihat dari praktek pemberian MP – ASI pada umumya berada pada kategori sedang (81,2%). Namun dalam penelitian ini ditemukan praktek pemberian MP-ASI dengan cara dimemei yaitu makanan dikunyah dalam mulut si ibu untuk dihaluskan kemudian diberikan kepada bayinya. Praktek pemberian makan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi bayi, dimana dijumpai dengan praktek pemberian makan ini ditemukan bayi dengan status gizi kurang. Dari hasil pengukuran status gizi diperoleh masih terdapatnya status gizi yang kurang baik pada bayi yang disebabkan oleh rata – rata pola asuh gizinya yang tidak baik. SARAN Disarankan Diharapkan kepada pihak Puskesmas Sirait untuk lebih meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif, praktek penyiapan dan pemberian makanan tambahan serta gizi seimbang pada bayi. Kepada masyarakat khususnya ibu – ibu diharapkan untuk lebih memperhatikan pola asuh yang baik pada bayi terutama dalam hal kebiasaan pemberian makan pada bayi usia <6 bulan. DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2007. Pedoman Pemberian Makanan Bayi dan Anak dalam Situasi Darurat. Jakarta Dinkes Samosir, 2011. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir 2011. Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2010. Laporan PSG Kadarzi Propinsi Sumatera Utara Tahun 2009. Jurnal Gizi Sumatera Utara. Edisi II Oktober 2010 Kementrian Kesehatan RI, 2011. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Lee, C, 1989. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Arcan, Jakarta Roesli, U, 2008. Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Pustaka Bunda, Jakarta. Supariasa, I Dewa Nyoman, Bakri, B. dan Fajar, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit EGC. Jakarta. Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga dan Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta. Soekirman, dkk. 2010. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. Sulistijani, A.D, 2001. Menjaga Kesehatan Bayi dan Balita. Puspa Suara, Jakarta. Suraatmaja,S, 2007. Aspek Gizi Air Susu Ibu. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarat. Zeitlin, M. Peran Pola Asuh Anak. Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif untuk Program Gizi. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII Tahun 2000. LIPI. Jakarta : LIPI, 2000