Krisis Tiroid

advertisement
LAPORAN KASUS
Krisis Tiroid
Santarwan Kusumo, Kezia Tjou, Suharto, Alamsyah, Tantani Sugiman
CASE SUMMARY
A 56-year old male with a history of Graves disease
untreated regulary admitted to Intensive Care Unit
(ICU) due to shortness of breath and hypotension. On
physical examination revealed a drowsy and anxious
appearance, fever with severe respiratory distress,
bilateral basal rales, exophtalmmia and bilateral
pedal edema. Sudden loss of consciousness, apnea
and cardiac arrest occured within a few minutes
of the examination and preparation of tracheal
intubation. Cardiopulmonary resuscitation was
done successfully, then patient put on the mechanical
ventilation. His electrocardiogram showed atrial
fibrillation. Chest radiography showed cardiomegaly
and a bilateral interstitial and parenchymal pattern.
Increased of white blood cells and procalcitonin
level were found on his blood examination. By the
scoring criteria of Burch and Wartofsky, this patient
had a score of 100. The working diagnosis was a
thyroid storm with decompensated heart failure and
septic shock. Fluid resuscitation, vasopressor were
given to reach the hemodynamic target with closed
monitoring. Medications for thyroid storm was given
with propylthiouracil, hydrocortison, and propanolol.
Sepsis bundle was done in the management of septic
shock.
He eventually recovered and was discharge from
the unit after 6 days. (Maj Ked Ter Intensif. 2012;
2(4): 220 - 24)
Intensive Care Unit
Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk
Jl. Pantai Indah Utara 3, Pantai Indah Kapuk
Jakarta Utara
Korespondensi : [email protected]
220
Keywords: Graves disease, scoring criteria of
Burch and Wartofsky, thyroid storm, congestive heart
failure, septic shock
PENDAHULUAN
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang
mengancam nyawa dan ditandai oleh demam tinggi
dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf,
dan sistem saluran cerna.1,2
Krisis tiroid sering terjadi pada pasien dengan
hipertiroid yang tidak diberikan terapi atau mendapat
terapi yang tidak adekuat, dan dipicu oleh adanya
infeksi, trauma, pembedahan tiroid atau diabetes
melitus yang tidak terkontrol. Sindrom ini paling
sering terjadi pada pasien dengan penyakit Graves,
tiroiditis dan struma multinodosa toksik.1,2
Angka mortalitasnya cukup tinggi, sehingga
diagnosis dini yang tepat dan terapi agresif yang
adekuat dapat menurunkan mortalitas,1,3
Pengelolaan krisis tiroid
memerlukan
pemantauan intensif sehingga pasien harus dirawat
di Intensive Care Unit (ICU). Tujuan pengelolaan
dapat dikelompokan menjadi beberapa pendekatan
yaitu usaha untuk menurunkan sintesis dan sekresi
hormon tiroid, strategi menurunkan pengaruh perifer
hormon tiroid, terapi mencegah dekompensasi
sistemik dan terapi penyakit pemicu. Selanjutnya
terapi definitif penyebab disfungsi tiroid berupa
terapi obat anti tiroid, pemberian iodium radioaktif
atau pembedahan tiroidektomi bila kegawatan telah
teratasi.1,2,4
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
A
B
Santarwan Kusumo, Kezia Tjou, Suharto, Alamsyah, Tantani Sugiman
C
Gambar 1. Foto toraks: A. Kardiomegali, edema paru dan pneumonia ( hari pertama); B. Edema paru perbaikan (hari kedua); C. Perbaikan
( hari ketiga): pre ekstubasi pipa endotrakheal.
KASUS
Seorang laki-laki berumur 56 tahun dirawat di
ruang rawat dengan penyakit Grave yang mengalami
sesak napas dialih rawat ke ICU. Pada saat tiba
di ICU kesadaran gelisah, sesak napas (laju napas
40x/menit), laju nadi 160x/menit iregular, tekanan
darah 100/45 mmHg, suhu 38,9°C. Pada waktu
dipersiapkan untuk dilakukan intubasi trakea, pasien
mengalami henti jantung, segera dilakukan resusitasi
jantung paru selama 15 menit dan berhasil dengan
laju nadi 140x/menit iregular, tekanan darah 95/45
mmHg. Pada pasien kemudian diberikan bantuan
ventilasi mekanik dengan pola assist controlled,
volume tidal 450 ml, laju napas 12x/menit, Positive
End Expiratory Pressure (PEEP) 8 cmH2O dan FiO2
0,5. Selama dalam bantuan ventilasi mekanik, pada
pasien diberikan sedasi morfin infus dan/ propofol
infus sesuai kebutuhan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan ronki basah di kedua lapangan paru,
eksoftalmus dan edema pada kedua tungkai. Pascahenti jantung dilakukan pemeriksaan gas darah arteri
dengan hasil pH 7,145, pO2 121,3 mmHg, pCO2
30,1 mmHg, HCO3 10,7 mEq/L, BE - 10,7, SaO2
98,6%; dan kadar laktat darah 10,4. Gambaran
elektrokardiogram (EKG) menunjukan fibrilasi
atrium cepat, dan foto toraks menunjukan adanya
kardiomegali, edema interstisial dan infiltrat
bilateral basal (Gambar 1A). Hasil pemeriksaan
kadar leukosit 12300/mm3 dengan jumlah segment
88%, dan kadar prokalsitonin 10, sedangkan hasil
pemeriksaan kimia darah lainnya masih dalam batas
normal. Hasil uji fungsi tiroid adalah free T4 : 3,07ng/
dl (0,71- 1,85), T3 total: 1,80ng/dl (0,450-1,370),
dan thyroid stimulating hormon (TSH): 0,002µU/ml
(0,470- 4,680).
Ekokardiografi menunjukkan 50,4% ejection
Volume 2 Nomor 4 Oktober 2012
fraction of left ventricel, LVESD: 40,8mm, LVEDD
55,1mm, diameter LA 30,1mm, TR pressure gradient
0,928 mmHg dan reguritasi mitral dan regurgitasi
trikuspid ringan.
Riwayat pasien sebelum dirawat adalah penyakit
Graves dengan pengobatan yang tidak teratur.
Berdasarkan skor kriteria Burch dan Wartofsky (
Tabel 1), pasien ini mempunyai skor = 100 yang
terdiri dari suhu = 5, takikardi = 25, susunan saraf
pusat = 30, edema paru =15, fibrilasi atrium = 15 dan
riwayat penyakit = 10.
Diagnosis masuk pasien ini adalah krisis tiroid
dengan gagal jantung dan syok septik. Skor Simplified
Acute Physiologic Severity (SAPS) II adalah 74
dengan Predicted Death Rate (PDR) 88 %.
Pengelolaan yang dilakukan adalah dimulai
dengan resusitasi cairan dengan target penurunan
kadar laktat, pemantauan tekanan vena sentral
dan saturasi vena sentral (ScvO2). Pengendalian
hemodinamik dilakukan dengan infus norepinefrin
titrasi dengan target tekanan arteri rerata > 65 mmHg.
Propiltiourasil (PTU) 600 mg segera diberikan melalu
pipa nasogastrik dan selanjutnya diberikan 200 mg
tiap 8 jam. Setelah tekanan tekanan arteri rerata > 65
mmHg,terapi nitrogliserin infus dimulai. Lima jam
setelah hemodinamik stabil, laju nadi meningkat,
tidak teratur (180x/menit) terjadi fibrilasi atrium
cepat, kemudian diberikan bolus amiodaron 150mg
intravena dalam 30 menit dan dilanjutkan infus. Pada
saat selesai diberikan bolus, tekanan darah turun,
tidak membaik dengan resusitasi cairan, pemberian
norepinefrin dan dobutamin, maka amiodaron
dihentikan dan diberikan digoksin intravena.
PTU diberikan dengan dosis dinaikkan (300 mg)
dan propanolol 10 mg melalui pipa nasogastrik,
hidrokortison diberikan dengan bolus intravena
221
Krisis Tiroid
100mg dilanjutkan dengan infus 100mg/ 8 jam.
Hemodinamik mulai membaik dua jam kemudian.
Selama perawatan pasien demam (37,8°C-39,9°C)
diobati dengan infus parasetamol. Terapi antibiotik
meropenem diberikan untuk mengatasi infeksi paru
(pneumonia).
Pada hari keenam pasien pindah ke ruangan, dan
pada hari ke sebelas pasien sembuh dan diperbolehkan
meninggalkan rumah sakit.
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis krisis tiroid lebih didasarkan
pada gambaran klinis dibandingkan dengan hasil uji
laboratorium yang hasilnya tidak segera didapat,
dengan demikian pengelolaan krisis tiroid tidak perlu
menunggu hasil uji fungsi tiroid.1,3 Gambaran klinis
krisis tiroid yang khas meliputi demam dengan suhu
> 38,5oC, gangguan kardiovaskular berupa hipertensi
dengan tekanan nadi yang melebar, yang pada fase
berikutnya hipotensi disertai tanda-tanda gagal
jantung antara lain fibrilasi atrium atau takikardi
ventrikular, dan gangguan neurologik berupa agitasi
hiperrefleksia, tremor, kejang, dan koma.
Untuk memudahkan diagnosis, digunakan
skor kriteria Burch dan Wartofsky; skor lebih dari
45 berarti diagnosis krisis tiroid dapat ditegakan.3
(Tabel 1). Penggunaan skor kriteria ini sebagai
petunjuk diagnosis dilaporkan meningkatkan
keberhasilan resusitasi.3,5
Pada pasien ini skor kriteria Burch dan Wartofsky
adalah 100 sehingga pasien ini dapat di diagnosis
mengalami krisis tiroid.
Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan
hasil pemeriksaan fungsi tiroid yaitu kadar thyroidstimulating hormone (TSH) tidak terdeteksi (<0,001
mU/L) dan peningkatan kadar T3, free T4 dan total.
Biasanya peningkatan kadar T3 lebih menonjol
dibandingkan T4 karena terjadi bersamaan dengan
peningkatan konversi hormon tiroid perifer T4 ke
T3.1-4 Hasil pemeriksaan fungsi tiroid yang didapat
1 hari setelah diambil contoh darah mendukung
diagnosis krisis tiroid pada pasien ini.
Pengelolaan krisis tiroid ditujukan untuk
menurunkan sintesis dan sekresi hormon tiroid,
menurunkan pengaruh perifer hormon tiroid dengan
menghambat konversi T4 ke T3, terapi mencegah
dekompensasi sistemik, terapi penyakit pemicu dan
terapi suportif. 1,2,4
Obat-obat yang dapat menghambat secara
menyeluruh dan cepat sintesis hormon tiroid adalah
pemberian propiltiourasil (PTU) dan methimazole
(MMI). PTU merupakan tionamid pilihan pertama,
karena dapat pula menghambat konversi perifer
222
T4 menjadi T3.1,4 Namun sayangnya obat ini tidak
tersedia dalam bentuk injeksi sehingga harus
diberikan melalui pipa nasogastrik. Oleh karena
krisis tiroid sering disertai dengan gangguan
fungsi gastrointestinal termasuk penurunan perfusi
splanknik akibat syok maka dosis yang diberikan
harus cukup tinggi. Dosis loading 600-1000 mg ,
dilanjutkan 200-300 mg setiap 4-6 jam. 4
Sekresi hormon tiroid dapat juga dihambat
dengan sediaan yang mengandung iodium sangat
tinggi, yang dapat menurunkan uptake iodium
di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh
kalium iodida dapat digunakan untuk tujuan ini.
Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar
satu jam setelah pemberian PTU atau MMI, oleh
karena iodium yang digunakan secara tunggal ikut
berperan dalam meningkatkan cadangan hormon
tiroid sehingga dapat memperburuk krisis tiroid. 1,2,4
Sediaan iodium dapat pula mencegah konversi T4
menjadi T3. Cairan lugol dapat diberikan dengan
dosis 4-8 tetes setiap 6 jam.4
Obat-obat golongan glukokortikoid memegang
peran yang penting pada terapi krisis tiroid.
Glukokortikoid dapat menurunkan uptake iodium
dan titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon
tiroid. Kecuali itu hidrokortison dan deksametason
dapat menurunkan konversi T4 menjadi T3, dan
mempunyai efek langsung terhadap proses autoimun
pada penyakit Graves, dan telah terbukti memperbaiki
prognosis.1,2,4 Dosis hidrokortison 100 mg intravena
setiap 6-8 jam dapat diberikan pada krisis tiroid.
Pada pasien ini diberikan hidrokortison pada saat
terjadi perburukan hemodinamik yang disebabkan
oleh pemberian amiodaron yang ditujukan untuk
mengendalikan fibrilasi atrium. Padahal amiodaron
dapat memperburuk krisis tiroid, sehingga obat ini
seharusnya tidak diberikan sebagai terapi aritmia
pada krisis tiroid.
Ada 2 mekanisme amiodaron menyebabkan
krisis tiroid: pertama, disebabkan oleh adanya
autoimunitas laten (penyakit Graves) yang
diperburuk oleh sejumlah besar iodium bebas
hasil metabolisme normal dari amiodaron; kedua,
amiodaron menyebabkan merusak tiroid sehingga
sekresi hormon tiroid prestored berlebihan.1,4 Oleh
karena itu pada pasien krisis tiroid yang disertai
gagal jantung, maka digitalis merupakan pilihan
untuk mengendalikan laju ventrikel pada fibrilasi
atrium.
Golongan beta-blocker seperti propanolol sering
digunakan dengan tujuan menurunkan konversi
T4 menjadi T3 dan menghambat pengaruh perifer
hormon tiroid.1,2,4,5
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Pemberian
terapi
beta–blocker
pernah
dilaporkan dapat memperburuk ejection fraction dan
mengakibatkan henti jantung pada tirotoksikosis.6,7
Secara tradisional golongan beta-blocker digunakan
untuk mengendalikan laju jantung pada pasien
hipertiroid dengan takikardia termasuk sinus
takikardia, fibrilasi atrium, hipertensi sistolik
dan gagal jantung kongestif.7,8 Propanolol dapat
diberikan 40-80mg setiap 4-8 jam per oral atau
0,5-1 mg intravena setiap 3 jam.4 Namun demikian
penggunaan beta-blockers harus dipertimbangkan
dengan hati-hati dan keputusan penggunaannya
berdasarkan besarnya dampak dari peningkatan
laju jantung terhadap gagal jantung. Golongan beta
blocker aksi singkat seperti esmolol (bolus 250500 ug/kg, dilanjutkan 50-100ug/kg/menit infus)
Tabel 1. Skor Kriteria Burch dan Wartofsky untuk Diagnosis Krisis
Tiroid 3
KRITERIA
SKOR
Disfungsi Pengaturan Suhu
Suhu 37,2°– 37,7°C
5
Suhu 37,8° - 38,2°C 10
Suhu 38,3° - 38,8°C
15
Suhu 38,9° - 39,3°C
20
Suhu 39,4° - 39,9°C
25
Suhu 40°C atau lebih
30
Gangguan Sistem Saraf Pusat
Tidak ada
0
Gelisah 10
Delirium20
Kejang atau koma
30
Disfungsi Gastrointestinal
Tidak ada
0
Diare, mual, muntah, nyeri abdomen
10
Ikterik 20
Disfungsi Kardiovaskular (kali/menit)
90 – 109
5
110 – 119 10
120 – 129 15
130 – 139 20
≥ 140
25
Gagal Jantung Kongestif
Tidak ada
0
Ringan (udem)
5
Sedang (ronki basah basal)
10
Berat (edema paru)
15
Fibrilasi Atrium
Tidak ada
0
Ada10
Riwayat adanya kondisi/penyakit pemicu
Tidak Ada
0
Ada10
Volume 2 Nomor 4 Oktober 2012
Santarwan Kusumo, Kezia Tjou, Suharto, Alamsyah, Tantani Sugiman
dengan pemantauan hemodinamik mungkin perlu
dipertimbangkan sebagai alternatif.1,4,8 Bila ada
indikasi kontra atau tidak respons dengan pemberian
beta-blockers, untuk menekan pengaruh perifer
hormon tiroid dapat diberikan Calsium channel
blocker, reserpin atau guanetidin.2,4 Namun demikian
reserpin dan guanetidin tidak dapat diberikan pada
pasien dengan syok.
Strategi yang lain untuk mengurangi pengaruh
perifer hormon tiroid dengan membuang hormon
tiroid yang berlebihan dalam sirkulasi adalah
dilakukan tindakan hemodialisis, hemoperfusi, atau
plasmaferesis.4
Pengelolaan gangguan sistemik lain adalah
pemberian bantuan oksigenasi dan ventilasi,
pemberian antipiretik, surface cooling, koreksi
dehidrasi, koreksi elektrolit, terapi nutrisi dan terapi
simptomatik lainnya. Pilihan obat anti piretik adalah
golongan asetaminofen, oleh karena antipiretik
golongan salisilat akan menggantikan hormon tiroid
terikat pada reseptornya dalam darah sehingga akan
meningkatkan bioavalibility akibatnya memperburuk
krisis tiroid.1,4
Pasien ini mempunyai riwayat penyakit Graves
dengan pengobatan tidak teratur sehingga mengalami
krisis tiroid yang dipicu oleh adanya pneumonia
yang mengakibatkan syok septik. Sepsis bundles
dilakukan pada pasien ini sebagai pengelolaan syok
septik.9
KESIMPULAN
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran
klinis bukan pada gambaran laboratoris. Krisis
tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan
pengelolaan yang agresif, pemantauan ketat dan
perawatan intensif. Penegakan diagnosis yang
dini dan pengelolaan agresif yang adekuat, akan
memberikan prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nayak B, Burman K. Thyrotoxicosis and Thyroid
Storm. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;35:66386.
2. Jameson L, Weetman A. Disorders of the thyroid
gland. In: Braunwald E, Fancy AS, Kasper DL, eds.
Harrison’s Principles of internal medicine. 15th ed .
New York: Mc Graw hill ; 2001. p. 2060-84.
3. Burch HB, Wartofsky L. Life-threatening Thyrotoxicosis, Thyroid Storm. Endocrinol Metab Clin
North Am. 1993:22;263-77.
4. Debaveye Y, Ellger B, Berghe GVN. Acute endocrine disorders. In RK Albert etal (eds) Clinical
Critical Care Medicine. Mosby Inc Philadelphia,PA.
223
Krisis Tiroid
2006. p.497-06.
5. Su Yin Ngo A, Chen Lung Tan D. Thyrotoxic heart
disease. J Resuscitation. 2006:70;787-90.
6. David A, Wald DO, Silver A. Cardiovascular manifestations of thyroid strom: a case report. J Emerg
Med. 2003:25; 23-8.
7. Isley WL, Dahl S, Gibbs H. Use of esmolol in managing a thyrotoxic patient in emergency surgery.
224
Am J Med. 1999:89;122-3
8. Duggal J, Kuchinic P, Buttler P, Arora R. Utility
of esmolol in thyroid crisis. Can J Clin Pharmacol.
2006:13(3);292-5.
9. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM etal. Surviving
sepsis campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care
Med. 2008:36; 296-27.
Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Download