peran budaya organisasi dalam meningkatkan kinerja organisasi

advertisement
PERAN BUDAYA ORGANISASI DALAM MENINGKATKAN
KINERJA ORGANISASI
SETIA TJAHYANTI
STIE Trisakti
[email protected]
PENDAHULUAN
kekurang-mampuan mengelola keragaman
budaya diantara SDM dalam organisasi. Hasil
dari eksplorasi menunjukkan bahwa budaya
organisasi yang kuat, adaptif serta dinamis
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kesuksesan organisasi dalam jangka panjang.
Perubahan lingkungan strategis bisnis
dengan globalisasi menuntut organisasi semakin kompetitif. Namun, peran strategis dan
implementasi budaya organisasi saat ini masih
belum disadari oleh banyak pihak manajemen
selaku pelaku organisasi. Untuk itu, perubahan
budaya organisasi menjadi suatu kebutuhan
mutlak. Hanya dengan perubahan budaya organisasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja
untuk menciptakan daya saing yang diperlukan.
Budaya Organisasi diyakini para peneliti
merupakan faktor penentu utama terhadap
kesuksesan kinerja suatu organisasi (Kotter dan
Hesket 1992, Hofstede 1991, Wilhelm 1992,
Martin 1992, Mondy dan Noe 1996, Kreitner
dan Kinicki 1995, dan Luthans 1998). Keberhasilan suatu organisasi untuk mengimplementasikan aspek-aspek atau nilai-nilai (values)
budaya organisasinya dapat mendorong organisasi tersebut berkembang dan berkelanjutan
(Lako dan Irmawati 1997, Lako 2001).
Pada prinsipnya, budaya organisasi
dapat membantu mengatasi masalah adaptasi
eksternal dan integrasi suatu organisasi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Schermehorn dan
Hunt (1993) bahwa “The culture of an organization can help it deal with problem of both
esternal adaptation and internal integration”.
S
ejumlah hasil riset empiris telah mendokumentasikan bahwa budaya organisasi
memiliki peran yang sangat strategis dalam
menentukan arah dan tujuan organisasi, serta
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kesuksesan kinerja organisasi dalam jangka
panjang. Suatu organisasi biasanya dibentuk
untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui
kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada
dalam organisasi. Namun, kinerja SDM sangat
ditentukan oleh kondisi lingkungan internal
maupun eksternal organisasi, termasuk budaya
organisasi. Pemahaman dan kesadaran para
pelaku bisnis terhadap peran budaya organisasi dirasakan masih belum bisa menunjukkan
perubahan kearah perbaikan, Oleh karena itu
kemampuan dalam menciptakan organisasi
dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan untuk tetap bertahan
dan mendorong kinerja organisasi secara berkelanjutan.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu organisasi yang melakukan
perubahan budaya organisasinya mampu meningkatkan kinerjanya sangat signifikan dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukan
perubahan organisasi. Namun, tidak semua
perubahan budaya memberikan hasil apabila
tidak dilakukan dengan baik. Studi lainnya juga
menunjukkan bahwa banyak organisasi yang
mempunyai sumber daya manusia dengan kompetensi tinggi dapat saja tidak berhasil karena
46
40
2011
Pemahaman yang berhubungan dengan adaptasi ekstenal dapat dilakukan melalui pengembangan tentang strategi dan misi koperasi,
tujuan utama organisasi dan pengukuran kinerja.
Sedangkan permasalahan yang berhubungan
dengan integrasi internal dapat dilakukan antara lain melalui komunikasi, seleksi karyawan,
penentuan standar insentif (reward) dan sanksi
(punishment) serta melakukan pengawasan
internal organisasi.
Pembentukan budaya organisasi yang
kuat, adaptif dan dinamis diyakini Kotter dan
Heskett (1992) dapat berpengaruh positif
terhadap peningkatan kinerja dan keunggulan
organisasi dalam jangka panjang. Budaya
Organisasi yang kuat juga diyakini Smircich
(1983) dapat berperan sebagai variabel yang
mempengaruhi parktek-praktek manajemen
dan sikap pegawai dan sebagai variabel intern
yang berperan untuk mengkonseptualisasikan
organisasi dalam proses produksi dan jasanya.
Noe dan Mondy (1996) melihat bahwa budaya
organisasi merupakan proses untuk mencapai
misi dan tujuan organisasi.
Tulisan ini difokuskan untuk membahas
pemahaman dan peran strategis budaya organisasi dalam mendorong kesuksesan kinerja
suatu organisasi serta bagaimana membangun
suatu model budaya organisasi yang efektif.
PENGERTIAN DAN PERAN BUDAYA ORGANISASI
Budaya organisasi adalah kerangka
berpikir yang diyakini secara bersama-sama
oleh setiap anggota organisasi tersebut yang
terdiri dari asumsi-asumsi dan nilai-nilai dasar.
Asumsi dan nilai-nilai dasar ini disosialisasikan
kepada setiap anggota baru sebagai cara atau
persepsi mereka dalam berpikir, merasakan,
bertingkah laku dan bagaimana mereka menaruh harapan agar orang lain dalam organisasi
juga berperilaku sama seperti mereka (AimanSmith 2004).
Setia Tjahyanti
Schein (2004) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai suatu pola dari asumsiasumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu
dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang
timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi
internal yang sudah berjalan cukup baik, hingga
perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara yang benar untuk memahami,
memikirkan dan merasakan dengan masalahmasalah tersebut.
Reschke and Aldag (2000) mengatakan
bahwa jika struktur organisasi dapat digambarkan sebagai kumpulan kerangka serta otot
organisasi, maka budaya organisasi dapat
dipandang sebagai semangat atau jiwa dari
organisasi tersebut. Budaya organisasi terdiri
dari asumsi dan nilai yang diyakini secara bersama-sama membentuk perilaku anggotanya
dan membantu mereka untuk lebih memahami
organisasi itu sendiri.
Berdasarkan dari pengertian budaya
organisasi di atas, Reschke & Aldag (2000)
menjelaskan elemen-elemen kunci dari suatu
budaya organisasi yaitu: (1) Nilai-nilai (Values),
Elemen ini merupakan hal yang penting bagi
suatu organisasi, yang merupakan standar individu yang mempengaruhi hampir semua aspek
kehidupan manusia, termasuk di dalamnya
pemahaman tentang moral, respon terhadap
sesama dan juga komitmen terhadap sasaran
individu dan organisasi. Nilai-nilai ini diyakini
sebagai fondasi dari budaya organisasi. Nilainilai organisasi yang kuat akan mendorong
pengetahuan karyawan tentang bagaimana
seharusnya mereka diharapkan untuk berperilaku dan aksi-aksi apa yang mereka lakukan
dapat dikategorikan sebagai perilaku yang dapat diterima dan mana yng tidak dapat diterima.
Banyak perusahaan ataupun organisasi yang
menggambarkan nilai-nilai ini ke dalam suatu
filosofi terkait dengan pelanggan, pemegang
saham, kualitas, karyawan dan lingkungan kerja, (2) Asumsi-asumsi (Assumptions), Elemen
47
Media Bisnis
ini merupakan elemen yang bersifat taken-forgranted dari kepercayaan, persepsi dan perasaan. Elemen ini dapat dikaitkan dengan banyak
hal termasuk didalamnya, visi-misi dan strategi,
sasaran yang spesifik, keinginan untuk mencapai sasaran tersebut, kriteria yang sesuai untuk
mendefinisikan efektivitas, strategi yang sesuai
dan banyak lagi, (3) Narratives, Elemen ini merupakan bentuk tertulis atau lisan dari formulir,
cerita, legenda, dan atau mitos. Elemen ini
biasanya merupakan refleksi dari tema-tema
dasar, seperti bagaimana budaya organisasi
mendapat dukungan yang sesuai atau tidak,
aman atau tidak, dan terkontrol atau tidak, (4)
Simbol-simbol (Symbols), Elemen ini merupakan bentuk penggambaran sesuatu, misalnya
peraturan-peraturan organisasi, kode etik
berpakaian, logo, moto organisasi dan lain-lain.
Beberapa simbol dibentuk secara sengaja
sebagai bagian atau sinyal perubahan dalam
budaya, beberapa mungkin terbentuk dari ketidaksengajaan aksi yang menghasilkan hasil
yang kadang-kadang kontraproduktif, namun
semuanya membentuk pencitraan atas budaya
organisasi, (5) Kepahlawanan (Heroes), Elemen
ini maksudnya adalah role model dalam suatu
organisasi. Kinerja, karakter, dan dukungan
dari para role model ini terhadap budaya organisasi saat ini menjadi suatu kekuatan untuk
mendorong terbentuknya nilai-nilai atau budaya
bagi organisasi, dan (6) Perayaan, Seremoni
dan Ritual, Elemen ini merupakan bentuk dari
nilai-nilai organisasi yang diperoleh dari pengaruh luar. Perayaan dan seremoni memfasilitasi
banyak tugas-tugas organisasi yang penting,
termasuk didalamnya bagaimana membangun
ikatan yang sama, mengurangi konflik, memperbaharui komitmen dan mengelola perubahan
anggota organisasi. Ritual memandu perilaku
sehari-hari dalam kehidupan berorganisasi,
termasuk didalamnya bagaimana berinteraksi
dengan sesama anggota, dengan pelanggan,
serta tata krama lainnya dalam beraktivitas.
Hodge et al. (1996) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu konstruksi dua
48
Maret
tingkat yang meliputi karakteristik-karakteristik
organisasi yang dapat kelihatan (observable)
dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada
level observable, budaya organisasi mencakuip
beberapa aspek organisasi, seperti arsitektur,
pakaian seragam, pola-pola perilaku, peraturan,
legenda, mitos, bahasa dan seremoni-seremoni
yang dilakukan perusahaan. Sementara pada
level unobservable, budaya organisasi mencakup
shared values, norma-norma, kepercayaan,
dan asumsi-asumsi para anggota organisasi
untuk mengelola masalah-masalah di sekitarnya. Budaya Organisasi juga dianggap sebagai
alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
dan bagaimana mengalokasikan sumberdaya,
mengelola sumberdaya organizacional dan SDM,
dan sebagai alat untuk menghadapi masalah
dan peluang dari lingkungan.
Budaya organisasi juga berperan penting untuk memberikan suatu sense of identity
kepada anggota organisasi untuk memahami
misi dan visi serta menjadi bagian integral dari
organisasi, menghasilkan dan meningkatkan
komitmen terhadap misi dan visi serta menjadi
bagian integral dari organisasi, dan (3) memberikan arah dan memperkuat standar-standar
perilaku untuk mengendalikan para pelaku
organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang
telah disepakati bersama (Noe dan Mondy 1996).
Kreitner dan Kinicki (1995) menyatakan
bahwa budaya organisasi berperan sebagai
perekat social (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama
dalam satu visi atau tujuan yang sama.
Menurut Martin (1992), budaya organisasi juga memberikan core organizational
values bagi perusahaan yang tercermin dalam
nilai-nilai fundamental organisasi seperti: sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan
karyawannya, kebebasan atau minat karyawan
untuk memberikan ide-ide baru, kemauan untuk
menerima resiko yang mungkin saja terjadi,
dan keterbukaan untuk melakukan komunikasi
2011
secara bebas dan bertanggung jawab. Perbedaan nilai-nilai mendasar ini dapat mempengaruhi
perbedaan kompetensi dan kinerja antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang
lain.
Hasil penelitian Kotter dan Heskett
(1992) terhadap lebih dari 200 perusahaan di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa budaya
organisasi memiliki kekuatan dan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Studi tersebut
menyimpulkan paling sedikit ada empat peran
penting budaya organisasi, yaitu memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja organisasi,
menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses gagalnya organisasi pada
dekade selanjutnya, mendorong peningkatan
kinerja organisasi dalam jangka panjang, dan
dapat berkembang secara mudah apabila organisasi memiliki SDM yang cerdas, dan budaya
organisasi dapat dibentuk untuk meningkatan
kinerja organisasi.
Sementara Hayden (1986) menjelaskan
pengertian budaya organisasi yang lebih spesifik.
Budaya organisasi adalah suatu bentuk dari
asumsi-asumsi dasar, budaya organisasi ditemukan dan dikembangkan oleh sekelompok
orang yang terpilih, budaya organisasi adalah
alat untuk menyelaraskan organisasi dengan
perubahan lingkungan external dan mengintegrasikan internal organisasi, budaya organisasi
diyakini sebagai sesuatu yang valid sehingga
budaya organisasi harus diajarkan kepada
setiap anggota baru, dan budaya organisasi
adalah cara yang benar untuk menciptakan
persepsi, berpikir, dan perasaan terhadap persoalan-persoalan organisasi.
Dari berbagai pandangan mengenai
pengertian budaya organisasi tersebut, tampak
bahwa budaya organisasi mempunyai peran
yang sangat strategis untuk mendorong dan
meningkatkan efektivitas kinerja organisasi, baik
dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk menentukan arah organisasi,
mengarahkan apa yang boleh atau tidak dilakukan, bagaimana mengalokasi dan mengelola
Setia Tjahyanti
sumberdaya organisasional, dan juga sebagai
alat untuk menghadapi masalah dan peluang
dari lingkungan organisasi.
Sejumlah hasil riset empiris juga menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki
korelasi erat dengan kinerja organisasi secara
keseluruhan (Aiman-Smith (2004), Schein (2004),
Reschke and Aldag (2000), Hodge et al. (1996),
Mondy and Noe (1996), Kreitner dan Kinicki
(1995), Martin (1992), Kotter dan Hesket (1992),
Hayden (1986)).
MODEL DAN KARAKTERISTIK DALAM
MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI
Untuk dapat memahami budaya organisasi sesuai konteksnya, beberapa peneliti
telah mengembangkan berbagai model budaya
organisasi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. (Hofstede (1980), O‟Reilly, Chatman and
Caldwell (1991), Nagel (2006), Cameron and
Quinn (1991), Schein (1985), Luthan (1998),
Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001), Noe
and Mondy (1996), Porter and Parker, (1992),
Tan (2002)).
Hofstede (1980) mengidentifikasikan 5
(lima) karakteristik budaya organisasi yaitu: (1)
Power Distance, yaitu tingkatan dimana adanya
ekspektasi untuk memperoleh perbedaan
tingkat kekuasaan, (2) Uncertainty avoidance,
merupakan refleksi dari keluasan penerimaan
ketidakpastian dan risiko dari anggota organisasi.
(3) Individualism vs collectivism, merupakan
gambaran harapan anggota organisasi untuk
berdiri pada kepercayaan sendiri atau alternatif
tindakan-tindakan yang dibutuhkan sebagai
anggota dari suatu kelompok atau organisasi,
(4) Masculinity vs femininity, merupakan refleksi
dari nilai-nilai yang dipercaya secara tradisional
oleh pria atau wanita, dan (5) Long vs short
term orientation, menggambarkan nilai-nilai di
masa depan yang dibandingkan dengan nilai
saat ini dan nilai masa lampau.
Para perneliti manajemen kemudian
secara cepat merespon hasil penemuan dari
Hofstede tersebut dan mulai melakukan suatu
49
Media Bisnis
investigasi budaya di dalam organisasi. Teori
Organizational Culture Profile (OCP) dari O‟Reilly,
Chatman, and Caldwell (1991) menyatakan
bahwa budaya organisasi memiliki 7 (tujuh)
karakteristik yaitu (1) innovation & risk taking,
(2) attention to detail, (3) outcome orientation,
(4) people orientation, (5) team orientation, (6)
aggressiveness, (7) stability, dan Nagel (2006)
menambahkan karakteristik ke-8 yaitu (8) agility.
Masing-masing dari karakteristik ini dinilai berdasarkan elemen-elemen terkait di dalamnya
yaitu sebagai berikut: (1) Innovation & Risk
Taking (memiliki semangat inovasi, memiliki
respon yang cepat untuk memanfaatkan peluang,
berani mengambil resiko, berani bertanggung
jawab, (2) Attention to Detail (bersikap hati-hati,
memperlihatkan perhatian pada hal-hal yang
bersifat detil, memiliki wewenang sesuai kapasitas masing-masing, berorientasi pada peraturan,
memiliki sifat ketepatan dalam bekerja (precise),
(3) Outcome Orientation (berorientasi pada
proses dan pencapaian akhir, menekankan
pada kualitas, memiliki perbedaan dengan yang
lain, mampu bersaing, (4) People Orientation
(berorientasi pada manusia, bersifat adil, menghormati hak-hak individu, memberi peluang
bagi perkembangan profesional, bertoleransi,
(5) Team Orientation (berorientasi pada keunggulan kelompok, memiliki kebebasan dalam
berbagi informasi, ada upaya kolaborasi, berorientasi pada manusia), (6) Aggressiveness
(agresif, berorientasi pada aksi-aksi / upaya,
memiliki inisiatif, berorientasi pada pencapaian,
memiliki harapan tinggi pada kinerja, (7) Stability,
(stabilitasi, tenang, keamanan karyawan, konflik yang minim, dan (8) Agility (kemampuan
beradaptasi, dapat bekerja dengan pihak lain,
menekankan pada adaptasi strategi-strategi
baru, menekankan pada aspek kualitas, memiliki keunikan yang berbeda dengan pihak lain,
memiliki kemampuan kompetisi, memiliki keteraturan).
Sementara Cameron and Quinn (1991)
berdasarkan survei budaya organisasi melalui
pendekatan OCAI (Organizational Culture
Assessment Instrument) terdapat 4 model
50
Maret
budaya organisasi yaitu: (1) Clan : internal,
fleksibel, yaitu Profil organisasi dengan Clan
Culture antara lain: kendali dan pengawasan
rendah, fokus perhatian lebih kepada pihak
internal, sedangkan diskresi individu tinggi, tapi
fokus masih ke dalam. Budaya organisasi clan
dicirikan dengan tempat kerja yang menyenangkan, seperti sebuah keluarga besar. Pemimpin
yang efektif adalah pemimpin yang menjalankan
peran mentor, bahkan sebagai „orang-tua‟ bagi
bawahannya. Sedangkan perekat di dalam
organisasi ini adalah loyalitas dan tradisi, (2)
Adhocracy : eksternal, fleksibel, yaitu Profil
organisasi dengan Adhocracy Culture antara
lain: kendali dan pengawasan rendah, fokus
perhatian lebih kepada pihak eksternal, dan
diskresi individu tinggi, tetapi memperhatikan
kepentingan pihak luar pengguna jasa. Budaya
organisasi adhocracy dicirikan dengan tempat
kerja yang dinamis, kreatif, dan entrepreneurial.
Pemimpin yang efektif adalah mereka yang
mempunyai visi jauh ke depan, inovatif, dan
berani mengambil resiko. Perekat dalam organisasi ini adalah komitmen pada peluang untuk
melakukan eksperimen dan inovasi secara
terus-menerus, (3) Market : eksternal, stabilitas
dan kontrol, yaitu Profil organisasi dengan Market
Culture antara lain: kendali dan pengawasan
tinggi, fokus perhatian lebih kepada pihak eksternal. Diskresi individu agak rendah, cenderung
sistem komando, fokus ke luar, walaupun birokratis tetapi sudah mementingkan pihak luar
pengguna jasa. Budaya organisasi market
dicirikan dengan tempat kerja yang berorientasi
pada hasil. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang keras hati, suka bekerja keras, dan
gesit. Perekat dalam organisasi ini adalah keinginan untuk memenangkan persaingan. Kriteria sukses biasanya dilihat dari pangsa pasar
dan posisi bersaing, dan (4) Hierarchy: internal,
stabilitas dan kontrol, yaitu Profil organisasi
dengan Hierarchy Culture antara lain: kendali
dan pengawasan tinggi, fokus perhatian lebih
kepada pihak internal. Diskresi individu agak
rendah, cenderung sistem komando, fokus perhatian ke dalam, dan sangat birokratis. Budaya
2011
Setia Tjahyanti
organisasi hierarchy dicirikan dengan tempat
kerja yang formal dan terstruktur. Prosedur
baku menentukan apa yang harus dilakukan
oleh anggota organisasi. Pemimpin yang efektif
adalah koordinator yang baik. Memelihara kelancaran di perusahaan adalah hal yang teramat
penting.
Setiap perusahaan (atau organisasi
pada umumnya) memiliki kecenderungan pada
budaya tertentu. Adapun jenis kecenderungan
budaya organisasi tersebut dapat diiliustrasikan
dalam Competing Values Framework (CVF)
seperti pada Gambar di bawah ini:
Keluwesan & Diskresi
CLAN
ADHOCRACY
Internal
Eksternal
HIERARCHY
MARKET
Kestabilan & Pengendalian
Gambar 1 Jenis Budaya Organisasi dalam Competing Values Framework
Menurut Shein (2004), budaya organisasi terdiri dari 3 tingkatan yaitu: (1) Artifacts –
aspek budaya organisasi yang dapat diamati
seperti layout, seragam, pernyataan visi-misi,
struktur organisasi, proses atau standar operasi
dan lain-lain, (2) Espoused Values - yaitu aspek
budaya yang dapat diamati sebagai normanorma, ideologi, strategi, tujuan atau sasaran
organisasi, filosofi yang terdokumentasi, dan
(3) Basic Underlying Assumptsions – merupakan inti dari budaya organisasi yaitu sesuatu
yang diyakini ada tetapi tidak dirasakan, atau
persepsi, pemikiran, perasaan yang bersifat
taken-for-granted, atau juga merupakan sumber
dari nilai-nilai dan aksi-aksi dari suatu organisasi.
Artifacts
Espoused Beliefs
And Values
Underlying
Assumptions
(Sumber : Edgar H. Scein (2004)
51
Media Bisnis
Maret
Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam Gambar berikut ini:
Tak Tampak
Sulit berubah
Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki
bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung
membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan
walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.
Contoh : para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang
suka dengan pertimbangan jangka panjang.
Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau
sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan
karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara
mengajarkan praktek-praktek (juga nilai-nilai yang mereka anut
bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka
yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak.
Contoh : para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan;
para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam
pengambilan keputusan.
Tampak
Mudah berubah
Gambar 2 Budaya dalam Sebuah Organisasi
(sumber : Kotter. & Heskett (1998)
Schein (1985) mengemukakan bahwa
budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua
dimensi yaitu: (1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat 5 (lima) hal
esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals;
(c) means to achieve goals; (d) measurement;
dan (e) correction. (2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek
utama, yaitu: (a) common language; (b) group
boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms
of intimacy, friendship, and love; (e) reward and
punishment; dam (f) explaining and explainable:
ideology and religion.
Budaya organisasi memiliki sejumlah
karakteristik, Luthan (1998) mengetengahkan 6
(enam) model dari budaya organisasi, yaitu: (1)
obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang
52
tampak teramati. Ketika anggota organisasi
berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka
mungkin menggunakan bahasa umum, istilah,
atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai
standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu
pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values;
yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama
oleh seluruh anggota organisasi, misal tentang
kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah
atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni
adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan
dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu
adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan
kemajuan organisasi (6) organization climate;
merupakan perasaan keseluruhan (an overall
“feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan
melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi
2011
para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan
atau orang lain.
Beberapa pakar organisasi dan peneliti
budaya organisasi (Hofstede, 1990 Kotter dan
Hesket, 1992) mengungkapkan bahwa budaya
perusahaan yang adaptif merupakan kunci sukses keberhasilan suatu organisasi. Pembentukan
budaya organisasi yang adaptif juga merupakan
suatu strategi untuk membangun perusahaan
agar selalu beradaptasi dan berinteraksi secara
terus menerus dengan perubahan lingkungan
yang kompleks.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001:80),
terdapat tiga perspektif budaya yang bersifat
meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: Pertama,
Strength Perspective, memprediksi hubungan
penting antara kekuatan budaya organisasi
dengan kinerja organisasi dalam jangka panjang.
Strong Culture menciptakan penyelarasan
tujuan, motivasi pekerja, struktur dan kontrol
yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja
organisasi. Karakteristik budaya organisasi ini
dapat dibangun atau dikembangkan serta harus
mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku
(behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan karyawan) untuk menyelaraskan (goals congruence) antara tujuan
individu dan tujuan kelompok mereka dengan
tujuan organisasi. Selain itu, budaya yang
dibangun tersebut harus mampu bekerja dan
mengekspresikan potensi mereka dalam arah
dan tujuan yang sama, serta dalam semangat
yang sama pula. Kedua, Fit Perspective artinya
budaya organisasi harus selaras dengan konteks
bisnis atau strateginya. Budaya yang melakukan
standarisasi dan perencanaan mungkin dapat
bekerja baik dalam industri yang berjalan lamban, akan tetapi tidak cocok dalam perusahaan
internet yang bekerja dalam perubahan sangat
tinggi dan lingkungan yang berubah. Sebaliknya,
budaya dimana kinerja individual dihargai dapat
membantu organisasi penjualan, tetapi akan
merusak kinerja dalam organisasi dimana orang
bekerja dalam tim. Oleh sebab itu, perlunya
budaya organisasi menyesuaikan dengan tuju-
Setia Tjahyanti
an dengan konteks bisnis maupun strateginya.
Ketiga, Adaptive Perspective, artinya budaya
organisasi yang dibangun harus fleksibel dan
responsive terhadap dinamika lingkungan
internal dan eksternal seperti tuntutan dari
stakeholders eksternal dan perubahan dalam
lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial,
teknologi informasi, dan lainnya. Adaptive
Perspective mengasumsikan bahwa budaya
yang paling efektif membantu organisasi dalam
mengantisipasi dan mengadaptasi pada perubahan lingkungan dan peningkatan kinerja dalam
jangka panjang.
Noe and Mondy (1996) mengidentifikasikan ada dua variable lingkungan yang mempengaruhi efektivitas suatu budaya organisasi,
yaitu faktor-faktor yang berasal dari variabel
lingkungan internal organisasi seperti (a) misi,
visi, peraturan dan nilai-nilai yang ditanamkan
oleh para CEO, (b) komitmen, moral dan etika
serta suasana kekeluargaan dan kelompok
pekerja, (c) gaya kepemimpinan dari para manajer lini atau supervisor, dan (d) karakteristik
organisasi seperti bentuk dan aktivitas utama,
otonomi dan kompleksitas perusahaan, system
penghargaan, system komunikasi dan konflikkerjasama, serta toleransi terhadap resiko dalam
proses administrasi perusahaan dan faktor-faktor yang berasal dari lingkungan global meliputi
kecenderungan globalisasi ekonomi, tuntutan
hokum dan sosial, perkembangan teknologi
manfaktur, transformasi teknologi informasi dan
perubahan ekologi.
Untuk membangun model budaya perusahaan yang memiliki karakteristik tersebut,
setidaknya haruslah memenuhi persyaratan
sebagai berikut: ada perasaan membutuhkan
dari semua pelaku organisasi, ada kesadaran,
komitmen dan keterlibatan manajemen puncak
dalam proses perubahan budaya organisasi,
ada arah ataupun fokus orientasi yang jelas
kemana organisasi akan melangkah di masa
depan, ada keterlibatan aktif karyawan dalam
proses perubahan tersebut, ada pelatihan dan
sosialisasi yang memadai terhadap anggota
organisasi dan ada transparansi dan akunta-
53
Media Bisnis
bilitas (accountability) manajemen atau antara
semua pihak terlibat dalam proses perubahan
budaya organisasi. (Porter and Parker 1992).
Tan (2002) dalam bukunya Changing
Your Corporate Culture, mengatakan bahwa
ada 10 karakteristik budaya organisasi yaitu:
(1) Inisiatif individual, yaitu tingkat tanggung
jawab, kebebasan dan independensi yang dimiliki oleh individu, (2) Toleransi terhadap tindakan
berisiko, yaitu sejauh mana para pegawai
dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan
mengambil risiko, (3) Arah, yaitu sejauh mana
organisasi tersebut menciptakan dengan jelas
sasaran dan harapan mengenai prestasi, (4)
Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit
dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi, (5) Dukungan
dari manajemen, yaitu tingkat sejauh mana
para manajemen memberi komunikasi yang
jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka, (6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan
dan pengawasan langsung yang digunakan
untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku
pegawai, (7) Identitas, yaitu tingkat sejauh mana
para anggota mengidentifikasi dirinya secara
keseluruhan dengan organisasinya dibanding
dengan kelompok kerja tertentu atau dengan
bidang keahlian professional, (8) Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan
(misal kenaikan gaji promosi) didasarkan atas
kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari
senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya, (9)
Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh
mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka, dan (10)
Pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana
komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki
kewenangan yang formal.
Untuk membangun budaya organisasi
yang kuat dan adaptif, dibutuhkan strategi yang
perlu diterapkan organisasi, Pertama, merekrut
dan mengembangkan pola kepemimpinan yang
transformasional (transformational leadership)
yaitu kepemimpinan yang memiliki visi kedepan
dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan dan mampu mentransformasi perubahan
54
Maret
tersebut ke dalam organisasi, mempelopori
perubahan dan memberikan motivasi serta
inspirasi kepada karyawan agar lebih kreatif
dan inovatif, serta membangun teamwork yang
solid, membawa pembaharuan dalam etos kerja dan kinerja manajemen, berani dan bertanggungjawab memimpin serta mengendalikan
organisasi (Bass 1985). Kedua, mendesain
kembali strategi manajemen SDM yang berbasis pada budaya organisasi. Mengembangkan
dan memberdayakan kompetensi SDM sebagai
asset perusahaan dengan memberikan reward
tertentu. Ketiga, mendesain kembali system
usaha dan strategi bersaing perusahaan pada
lingkungan organisasi serta beradaptasi dan
mengadopsi nilai-nilai budaya global yang
dianggap dapat menjadi share values untuk
membangun core competence perusahaan.
Keempat, mendesain kembali struktur organisasi
yang memisahkan tugas dan tanggungjawab
struktural atau fungsional secara jelas dan
tegas. Kelima, merancang kembali system
manajemen dan pengendalian yang berbasis
pada shares values budaya perusahaan. Keenam, perusahaan perlu membangun system
yang fleksibel dan adaptif untuk mengantisipasi
pada isu diversity and multiculturalism seperti
gender, age, race, marital status, physical
ability, income level, and lifestyle (Daft 2008)
yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan
kinerja organisasi.
PENUTUP
Berdasarkan pada paparan mengenai
budaya organisasi di atas, dapat disimpulkan
bahwa budaya organisasi mempunyai peran
yang sangat strategis dalam mendorong dan
meningkatkan efektivitas kinerja organisasi,
baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Yaitu: Pertama, Budaya organisasi
sebagai alat untuk menentukan arah dan tujuan
organisasi. Kedua, sebagai perekat social
(social glue) yang mengikat semua anggota
organisasi secara bersama-sama dalam satu
visi atau tujuan yang sama. Ketiga, sebagai alat
2011
untuk membentuk sense of belonging (rasa ikut
memiliki) dan sense of identity (rasa bangga
sebagai bagian dari suatu organisasi) para
pelaku organisasi. Keempat, core organizational values bagi perusahaan yang tercermin
dalam nilai-nilai fundamental organisasi seperti
sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan
karyawannya, kebebasan atau minat karyawan
untuk memberikan ide-ide baru, kemauan untuk
menerima resiko yang mungkin saja terjadi,
dan keterbukaan untuk melakukan komunikasi
secara bebas dan bertanggungjawab. Kelima,
Sebagai alat yang efektif untuk membangun
efektivitas kesuksesan kinerja organisasi dalam
jangka panjang.
Untuk membangun model budaya yang
dapat meningkatkan kinerja organisasi terdapat
tiga perspektif budaya yang dapat meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: Pertama, Strength
Perspective, memprediksi hubungan penting
antara kekuatan budaya organisasi dengan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Kedua,
Fit Perspective artinya budaya organisasi harus
selaras dengan konteks bisnis atau strateginya.
Ketiga, Adaptive Perspective, artinya budaya
organisasi yang dibangun harus fleksibel dan
Setia Tjahyanti
responsive terhadap dinamika lingkungan internal dan juga eksternal seperti tuntutan dari
stakeholders eksternal dan perubahan dalam
lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial,
teknologi informasi, dan lainnya.
Untuk membangun model budaya perusahaan yang memiliki karakteristik tersebut,
setidaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Ada perasaan membutuhkan
dari semua pelaku organisasi, (2) Ada kesadaran, komitmen dan keterlibatan manajemen
puncak dalam proses perubahan budaya
organisasi, (3) Ada arah atau fokus orientasi
yang jelas kemana organisasi akan melangkah
di masa depan, (4) Ada keterlibatan aktif karyawan dalam proses perubahan tersebut, (5) Ada
pelatihan dan sosialisasi yang memadai terhadap
anggota organisasi, dan (6) Ada transparansi
dan akuntabilitas (accountability) manajemen
atau antara semua pihak terlibat dalam proses
perubahan budaya organisasi.
Budaya organisasi yang kuat, adaptif
dan dinamis memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap kesuksesan organisasi serta mampu
mendorong pertumbuhan bisnis perusahaan
secara berkelanjutan.
REFERENSI
Daft, L. Richard, 2004. Leadership, International Editions, South-Western, Cengage Learning.
Davis, S.M., 1984. Managing Corporate Culture. Ballinger, Cambridge-Massachusetts.
Deal, T.E., and Kennedy, A.A., 1982. Corporate Culture: The Rites and Rituals of Corporate Life Reading. Addison
Wesley Publishing Company, Inc. Massachusetts.
Graves, D., 1986. Corporate Culture Diagnosis and Change: Auditing and Changing the Culture Organizations.
Frances Pinter (Publisher) Limited. London.
Handy, C.B., 1985. Understanding Organizations, 3rd Ed. Penguin Books. Harmondsworth.
Hodge, B.J., William P.A., and L. Gales. 1996. Organizational Strategy, 5th Ed. Prentice Hall. Englewood Cliffs,
New Jersey.
Hofstede, G., 1980. Culture’s Consequences. International Differences in Work Related Values. Sage Publications,
Beverly Hills, C.A.
John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). PT
Prehalindo, Jakarta.
Kreitner, R. & A. Kinicki. 1995. Organizational Behavior, Third Editions. Richard D. Irwin,. Inc. Homewood, IIIinois.
Lako, Andreas, 2004. Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi: Isu, Teori, dan Solusi, Amara Books.
Luthans, F. 1998. Organizational Behavioral. Seventh Editions. McGraw-Hill. NewYork.
Schein, E. 2004. Organizational Culture and Leadership. 3rd Edition. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco.
55
Download