PERAN BUDAYA ORGANISASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI SETIA TJAHYANTI STIE Trisakti [email protected] PENDAHULUAN kekurang-mampuan mengelola keragaman budaya diantara SDM dalam organisasi. Hasil dari eksplorasi menunjukkan bahwa budaya organisasi yang kuat, adaptif serta dinamis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan organisasi dalam jangka panjang. Perubahan lingkungan strategis bisnis dengan globalisasi menuntut organisasi semakin kompetitif. Namun, peran strategis dan implementasi budaya organisasi saat ini masih belum disadari oleh banyak pihak manajemen selaku pelaku organisasi. Untuk itu, perubahan budaya organisasi menjadi suatu kebutuhan mutlak. Hanya dengan perubahan budaya organisasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja untuk menciptakan daya saing yang diperlukan. Budaya Organisasi diyakini para peneliti merupakan faktor penentu utama terhadap kesuksesan kinerja suatu organisasi (Kotter dan Hesket 1992, Hofstede 1991, Wilhelm 1992, Martin 1992, Mondy dan Noe 1996, Kreitner dan Kinicki 1995, dan Luthans 1998). Keberhasilan suatu organisasi untuk mengimplementasikan aspek-aspek atau nilai-nilai (values) budaya organisasinya dapat mendorong organisasi tersebut berkembang dan berkelanjutan (Lako dan Irmawati 1997, Lako 2001). Pada prinsipnya, budaya organisasi dapat membantu mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi suatu organisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Schermehorn dan Hunt (1993) bahwa “The culture of an organization can help it deal with problem of both esternal adaptation and internal integration”. S ejumlah hasil riset empiris telah mendokumentasikan bahwa budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis dalam menentukan arah dan tujuan organisasi, serta memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Suatu organisasi biasanya dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kinerja Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada dalam organisasi. Namun, kinerja SDM sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan internal maupun eksternal organisasi, termasuk budaya organisasi. Pemahaman dan kesadaran para pelaku bisnis terhadap peran budaya organisasi dirasakan masih belum bisa menunjukkan perubahan kearah perbaikan, Oleh karena itu kemampuan dalam menciptakan organisasi dengan budaya yang mampu mendorong kinerja adalah suatu kebutuhan untuk tetap bertahan dan mendorong kinerja organisasi secara berkelanjutan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa suatu organisasi yang melakukan perubahan budaya organisasinya mampu meningkatkan kinerjanya sangat signifikan dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukan perubahan organisasi. Namun, tidak semua perubahan budaya memberikan hasil apabila tidak dilakukan dengan baik. Studi lainnya juga menunjukkan bahwa banyak organisasi yang mempunyai sumber daya manusia dengan kompetensi tinggi dapat saja tidak berhasil karena 46 40 2011 Pemahaman yang berhubungan dengan adaptasi ekstenal dapat dilakukan melalui pengembangan tentang strategi dan misi koperasi, tujuan utama organisasi dan pengukuran kinerja. Sedangkan permasalahan yang berhubungan dengan integrasi internal dapat dilakukan antara lain melalui komunikasi, seleksi karyawan, penentuan standar insentif (reward) dan sanksi (punishment) serta melakukan pengawasan internal organisasi. Pembentukan budaya organisasi yang kuat, adaptif dan dinamis diyakini Kotter dan Heskett (1992) dapat berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja dan keunggulan organisasi dalam jangka panjang. Budaya Organisasi yang kuat juga diyakini Smircich (1983) dapat berperan sebagai variabel yang mempengaruhi parktek-praktek manajemen dan sikap pegawai dan sebagai variabel intern yang berperan untuk mengkonseptualisasikan organisasi dalam proses produksi dan jasanya. Noe dan Mondy (1996) melihat bahwa budaya organisasi merupakan proses untuk mencapai misi dan tujuan organisasi. Tulisan ini difokuskan untuk membahas pemahaman dan peran strategis budaya organisasi dalam mendorong kesuksesan kinerja suatu organisasi serta bagaimana membangun suatu model budaya organisasi yang efektif. PENGERTIAN DAN PERAN BUDAYA ORGANISASI Budaya organisasi adalah kerangka berpikir yang diyakini secara bersama-sama oleh setiap anggota organisasi tersebut yang terdiri dari asumsi-asumsi dan nilai-nilai dasar. Asumsi dan nilai-nilai dasar ini disosialisasikan kepada setiap anggota baru sebagai cara atau persepsi mereka dalam berpikir, merasakan, bertingkah laku dan bagaimana mereka menaruh harapan agar orang lain dalam organisasi juga berperilaku sama seperti mereka (AimanSmith 2004). Setia Tjahyanti Schein (2004) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsiasumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan cukup baik, hingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan dan merasakan dengan masalahmasalah tersebut. Reschke and Aldag (2000) mengatakan bahwa jika struktur organisasi dapat digambarkan sebagai kumpulan kerangka serta otot organisasi, maka budaya organisasi dapat dipandang sebagai semangat atau jiwa dari organisasi tersebut. Budaya organisasi terdiri dari asumsi dan nilai yang diyakini secara bersama-sama membentuk perilaku anggotanya dan membantu mereka untuk lebih memahami organisasi itu sendiri. Berdasarkan dari pengertian budaya organisasi di atas, Reschke & Aldag (2000) menjelaskan elemen-elemen kunci dari suatu budaya organisasi yaitu: (1) Nilai-nilai (Values), Elemen ini merupakan hal yang penting bagi suatu organisasi, yang merupakan standar individu yang mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya pemahaman tentang moral, respon terhadap sesama dan juga komitmen terhadap sasaran individu dan organisasi. Nilai-nilai ini diyakini sebagai fondasi dari budaya organisasi. Nilainilai organisasi yang kuat akan mendorong pengetahuan karyawan tentang bagaimana seharusnya mereka diharapkan untuk berperilaku dan aksi-aksi apa yang mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai perilaku yang dapat diterima dan mana yng tidak dapat diterima. Banyak perusahaan ataupun organisasi yang menggambarkan nilai-nilai ini ke dalam suatu filosofi terkait dengan pelanggan, pemegang saham, kualitas, karyawan dan lingkungan kerja, (2) Asumsi-asumsi (Assumptions), Elemen 47 Media Bisnis ini merupakan elemen yang bersifat taken-forgranted dari kepercayaan, persepsi dan perasaan. Elemen ini dapat dikaitkan dengan banyak hal termasuk didalamnya, visi-misi dan strategi, sasaran yang spesifik, keinginan untuk mencapai sasaran tersebut, kriteria yang sesuai untuk mendefinisikan efektivitas, strategi yang sesuai dan banyak lagi, (3) Narratives, Elemen ini merupakan bentuk tertulis atau lisan dari formulir, cerita, legenda, dan atau mitos. Elemen ini biasanya merupakan refleksi dari tema-tema dasar, seperti bagaimana budaya organisasi mendapat dukungan yang sesuai atau tidak, aman atau tidak, dan terkontrol atau tidak, (4) Simbol-simbol (Symbols), Elemen ini merupakan bentuk penggambaran sesuatu, misalnya peraturan-peraturan organisasi, kode etik berpakaian, logo, moto organisasi dan lain-lain. Beberapa simbol dibentuk secara sengaja sebagai bagian atau sinyal perubahan dalam budaya, beberapa mungkin terbentuk dari ketidaksengajaan aksi yang menghasilkan hasil yang kadang-kadang kontraproduktif, namun semuanya membentuk pencitraan atas budaya organisasi, (5) Kepahlawanan (Heroes), Elemen ini maksudnya adalah role model dalam suatu organisasi. Kinerja, karakter, dan dukungan dari para role model ini terhadap budaya organisasi saat ini menjadi suatu kekuatan untuk mendorong terbentuknya nilai-nilai atau budaya bagi organisasi, dan (6) Perayaan, Seremoni dan Ritual, Elemen ini merupakan bentuk dari nilai-nilai organisasi yang diperoleh dari pengaruh luar. Perayaan dan seremoni memfasilitasi banyak tugas-tugas organisasi yang penting, termasuk didalamnya bagaimana membangun ikatan yang sama, mengurangi konflik, memperbaharui komitmen dan mengelola perubahan anggota organisasi. Ritual memandu perilaku sehari-hari dalam kehidupan berorganisasi, termasuk didalamnya bagaimana berinteraksi dengan sesama anggota, dengan pelanggan, serta tata krama lainnya dalam beraktivitas. Hodge et al. (1996) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu konstruksi dua 48 Maret tingkat yang meliputi karakteristik-karakteristik organisasi yang dapat kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakuip beberapa aspek organisasi, seperti arsitektur, pakaian seragam, pola-pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa dan seremoni-seremoni yang dilakukan perusahaan. Sementara pada level unobservable, budaya organisasi mencakup shared values, norma-norma, kepercayaan, dan asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah-masalah di sekitarnya. Budaya Organisasi juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan bagaimana mengalokasikan sumberdaya, mengelola sumberdaya organizacional dan SDM, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan. Budaya organisasi juga berperan penting untuk memberikan suatu sense of identity kepada anggota organisasi untuk memahami misi dan visi serta menjadi bagian integral dari organisasi, menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi dan visi serta menjadi bagian integral dari organisasi, dan (3) memberikan arah dan memperkuat standar-standar perilaku untuk mengendalikan para pelaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama (Noe dan Mondy 1996). Kreitner dan Kinicki (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat social (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama dalam satu visi atau tujuan yang sama. Menurut Martin (1992), budaya organisasi juga memberikan core organizational values bagi perusahaan yang tercermin dalam nilai-nilai fundamental organisasi seperti: sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawannya, kebebasan atau minat karyawan untuk memberikan ide-ide baru, kemauan untuk menerima resiko yang mungkin saja terjadi, dan keterbukaan untuk melakukan komunikasi 2011 secara bebas dan bertanggung jawab. Perbedaan nilai-nilai mendasar ini dapat mempengaruhi perbedaan kompetensi dan kinerja antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Hasil penelitian Kotter dan Heskett (1992) terhadap lebih dari 200 perusahaan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki kekuatan dan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Studi tersebut menyimpulkan paling sedikit ada empat peran penting budaya organisasi, yaitu memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja organisasi, menjadi faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses gagalnya organisasi pada dekade selanjutnya, mendorong peningkatan kinerja organisasi dalam jangka panjang, dan dapat berkembang secara mudah apabila organisasi memiliki SDM yang cerdas, dan budaya organisasi dapat dibentuk untuk meningkatan kinerja organisasi. Sementara Hayden (1986) menjelaskan pengertian budaya organisasi yang lebih spesifik. Budaya organisasi adalah suatu bentuk dari asumsi-asumsi dasar, budaya organisasi ditemukan dan dikembangkan oleh sekelompok orang yang terpilih, budaya organisasi adalah alat untuk menyelaraskan organisasi dengan perubahan lingkungan external dan mengintegrasikan internal organisasi, budaya organisasi diyakini sebagai sesuatu yang valid sehingga budaya organisasi harus diajarkan kepada setiap anggota baru, dan budaya organisasi adalah cara yang benar untuk menciptakan persepsi, berpikir, dan perasaan terhadap persoalan-persoalan organisasi. Dari berbagai pandangan mengenai pengertian budaya organisasi tersebut, tampak bahwa budaya organisasi mempunyai peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh atau tidak dilakukan, bagaimana mengalokasi dan mengelola Setia Tjahyanti sumberdaya organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan organisasi. Sejumlah hasil riset empiris juga menunjukkan bahwa budaya organisasi memiliki korelasi erat dengan kinerja organisasi secara keseluruhan (Aiman-Smith (2004), Schein (2004), Reschke and Aldag (2000), Hodge et al. (1996), Mondy and Noe (1996), Kreitner dan Kinicki (1995), Martin (1992), Kotter dan Hesket (1992), Hayden (1986)). MODEL DAN KARAKTERISTIK DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI Untuk dapat memahami budaya organisasi sesuai konteksnya, beberapa peneliti telah mengembangkan berbagai model budaya organisasi baik secara kualitatif maupun kuantitatif. (Hofstede (1980), O‟Reilly, Chatman and Caldwell (1991), Nagel (2006), Cameron and Quinn (1991), Schein (1985), Luthan (1998), Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001), Noe and Mondy (1996), Porter and Parker, (1992), Tan (2002)). Hofstede (1980) mengidentifikasikan 5 (lima) karakteristik budaya organisasi yaitu: (1) Power Distance, yaitu tingkatan dimana adanya ekspektasi untuk memperoleh perbedaan tingkat kekuasaan, (2) Uncertainty avoidance, merupakan refleksi dari keluasan penerimaan ketidakpastian dan risiko dari anggota organisasi. (3) Individualism vs collectivism, merupakan gambaran harapan anggota organisasi untuk berdiri pada kepercayaan sendiri atau alternatif tindakan-tindakan yang dibutuhkan sebagai anggota dari suatu kelompok atau organisasi, (4) Masculinity vs femininity, merupakan refleksi dari nilai-nilai yang dipercaya secara tradisional oleh pria atau wanita, dan (5) Long vs short term orientation, menggambarkan nilai-nilai di masa depan yang dibandingkan dengan nilai saat ini dan nilai masa lampau. Para perneliti manajemen kemudian secara cepat merespon hasil penemuan dari Hofstede tersebut dan mulai melakukan suatu 49 Media Bisnis investigasi budaya di dalam organisasi. Teori Organizational Culture Profile (OCP) dari O‟Reilly, Chatman, and Caldwell (1991) menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki 7 (tujuh) karakteristik yaitu (1) innovation & risk taking, (2) attention to detail, (3) outcome orientation, (4) people orientation, (5) team orientation, (6) aggressiveness, (7) stability, dan Nagel (2006) menambahkan karakteristik ke-8 yaitu (8) agility. Masing-masing dari karakteristik ini dinilai berdasarkan elemen-elemen terkait di dalamnya yaitu sebagai berikut: (1) Innovation & Risk Taking (memiliki semangat inovasi, memiliki respon yang cepat untuk memanfaatkan peluang, berani mengambil resiko, berani bertanggung jawab, (2) Attention to Detail (bersikap hati-hati, memperlihatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat detil, memiliki wewenang sesuai kapasitas masing-masing, berorientasi pada peraturan, memiliki sifat ketepatan dalam bekerja (precise), (3) Outcome Orientation (berorientasi pada proses dan pencapaian akhir, menekankan pada kualitas, memiliki perbedaan dengan yang lain, mampu bersaing, (4) People Orientation (berorientasi pada manusia, bersifat adil, menghormati hak-hak individu, memberi peluang bagi perkembangan profesional, bertoleransi, (5) Team Orientation (berorientasi pada keunggulan kelompok, memiliki kebebasan dalam berbagi informasi, ada upaya kolaborasi, berorientasi pada manusia), (6) Aggressiveness (agresif, berorientasi pada aksi-aksi / upaya, memiliki inisiatif, berorientasi pada pencapaian, memiliki harapan tinggi pada kinerja, (7) Stability, (stabilitasi, tenang, keamanan karyawan, konflik yang minim, dan (8) Agility (kemampuan beradaptasi, dapat bekerja dengan pihak lain, menekankan pada adaptasi strategi-strategi baru, menekankan pada aspek kualitas, memiliki keunikan yang berbeda dengan pihak lain, memiliki kemampuan kompetisi, memiliki keteraturan). Sementara Cameron and Quinn (1991) berdasarkan survei budaya organisasi melalui pendekatan OCAI (Organizational Culture Assessment Instrument) terdapat 4 model 50 Maret budaya organisasi yaitu: (1) Clan : internal, fleksibel, yaitu Profil organisasi dengan Clan Culture antara lain: kendali dan pengawasan rendah, fokus perhatian lebih kepada pihak internal, sedangkan diskresi individu tinggi, tapi fokus masih ke dalam. Budaya organisasi clan dicirikan dengan tempat kerja yang menyenangkan, seperti sebuah keluarga besar. Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menjalankan peran mentor, bahkan sebagai „orang-tua‟ bagi bawahannya. Sedangkan perekat di dalam organisasi ini adalah loyalitas dan tradisi, (2) Adhocracy : eksternal, fleksibel, yaitu Profil organisasi dengan Adhocracy Culture antara lain: kendali dan pengawasan rendah, fokus perhatian lebih kepada pihak eksternal, dan diskresi individu tinggi, tetapi memperhatikan kepentingan pihak luar pengguna jasa. Budaya organisasi adhocracy dicirikan dengan tempat kerja yang dinamis, kreatif, dan entrepreneurial. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang mempunyai visi jauh ke depan, inovatif, dan berani mengambil resiko. Perekat dalam organisasi ini adalah komitmen pada peluang untuk melakukan eksperimen dan inovasi secara terus-menerus, (3) Market : eksternal, stabilitas dan kontrol, yaitu Profil organisasi dengan Market Culture antara lain: kendali dan pengawasan tinggi, fokus perhatian lebih kepada pihak eksternal. Diskresi individu agak rendah, cenderung sistem komando, fokus ke luar, walaupun birokratis tetapi sudah mementingkan pihak luar pengguna jasa. Budaya organisasi market dicirikan dengan tempat kerja yang berorientasi pada hasil. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang keras hati, suka bekerja keras, dan gesit. Perekat dalam organisasi ini adalah keinginan untuk memenangkan persaingan. Kriteria sukses biasanya dilihat dari pangsa pasar dan posisi bersaing, dan (4) Hierarchy: internal, stabilitas dan kontrol, yaitu Profil organisasi dengan Hierarchy Culture antara lain: kendali dan pengawasan tinggi, fokus perhatian lebih kepada pihak internal. Diskresi individu agak rendah, cenderung sistem komando, fokus perhatian ke dalam, dan sangat birokratis. Budaya 2011 Setia Tjahyanti organisasi hierarchy dicirikan dengan tempat kerja yang formal dan terstruktur. Prosedur baku menentukan apa yang harus dilakukan oleh anggota organisasi. Pemimpin yang efektif adalah koordinator yang baik. Memelihara kelancaran di perusahaan adalah hal yang teramat penting. Setiap perusahaan (atau organisasi pada umumnya) memiliki kecenderungan pada budaya tertentu. Adapun jenis kecenderungan budaya organisasi tersebut dapat diiliustrasikan dalam Competing Values Framework (CVF) seperti pada Gambar di bawah ini: Keluwesan & Diskresi CLAN ADHOCRACY Internal Eksternal HIERARCHY MARKET Kestabilan & Pengendalian Gambar 1 Jenis Budaya Organisasi dalam Competing Values Framework Menurut Shein (2004), budaya organisasi terdiri dari 3 tingkatan yaitu: (1) Artifacts – aspek budaya organisasi yang dapat diamati seperti layout, seragam, pernyataan visi-misi, struktur organisasi, proses atau standar operasi dan lain-lain, (2) Espoused Values - yaitu aspek budaya yang dapat diamati sebagai normanorma, ideologi, strategi, tujuan atau sasaran organisasi, filosofi yang terdokumentasi, dan (3) Basic Underlying Assumptsions – merupakan inti dari budaya organisasi yaitu sesuatu yang diyakini ada tetapi tidak dirasakan, atau persepsi, pemikiran, perasaan yang bersifat taken-for-granted, atau juga merupakan sumber dari nilai-nilai dan aksi-aksi dari suatu organisasi. Artifacts Espoused Beliefs And Values Underlying Assumptions (Sumber : Edgar H. Scein (2004) 51 Media Bisnis Maret Untuk lebih jelasnya lagi mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam Gambar berikut ini: Tak Tampak Sulit berubah Nilai yang dianut bersama : Keyakinan dan tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan orang dalam kelompok yang cenderung membentuk perilaku kelompok, dan sering bertahan lama, bahkan walaupun sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok. Contoh : para manajer yang mempedulikan pelanggan; eksekutif yang suka dengan pertimbangan jangka panjang. Norma perilaku kelompok : cara bertindak yang sudah lazim atau sudah meresap yang ditemukan dalam satu kelompok dan bertahan karena anggota kelompok cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan praktek-praktek (juga nilai-nilai yang mereka anut bersama) kepada para anggota baru memberi imbalan kepada mereka yang menyesuaikan dirinya dan menghukum yang tidak. Contoh : para karyawan cepat menanggapi permintaan pelanggan; para menajer yang sering melibatkan karyawan tingkat bawah dalam pengambilan keputusan. Tampak Mudah berubah Gambar 2 Budaya dalam Sebuah Organisasi (sumber : Kotter. & Heskett (1998) Schein (1985) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu: (1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat 5 (lima) hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction. (2) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu: (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable: ideology and religion. Budaya organisasi memiliki sejumlah karakteristik, Luthan (1998) mengetengahkan 6 (enam) model dari budaya organisasi, yaitu: (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang 52 tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misal tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi 2011 para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain. Beberapa pakar organisasi dan peneliti budaya organisasi (Hofstede, 1990 Kotter dan Hesket, 1992) mengungkapkan bahwa budaya perusahaan yang adaptif merupakan kunci sukses keberhasilan suatu organisasi. Pembentukan budaya organisasi yang adaptif juga merupakan suatu strategi untuk membangun perusahaan agar selalu beradaptasi dan berinteraksi secara terus menerus dengan perubahan lingkungan yang kompleks. Menurut Kreitner dan Kinicki (2001:80), terdapat tiga perspektif budaya yang bersifat meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: Pertama, Strength Perspective, memprediksi hubungan penting antara kekuatan budaya organisasi dengan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Strong Culture menciptakan penyelarasan tujuan, motivasi pekerja, struktur dan kontrol yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja organisasi. Karakteristik budaya organisasi ini dapat dibangun atau dikembangkan serta harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan karyawan) untuk menyelaraskan (goals congruence) antara tujuan individu dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi. Selain itu, budaya yang dibangun tersebut harus mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka dalam arah dan tujuan yang sama, serta dalam semangat yang sama pula. Kedua, Fit Perspective artinya budaya organisasi harus selaras dengan konteks bisnis atau strateginya. Budaya yang melakukan standarisasi dan perencanaan mungkin dapat bekerja baik dalam industri yang berjalan lamban, akan tetapi tidak cocok dalam perusahaan internet yang bekerja dalam perubahan sangat tinggi dan lingkungan yang berubah. Sebaliknya, budaya dimana kinerja individual dihargai dapat membantu organisasi penjualan, tetapi akan merusak kinerja dalam organisasi dimana orang bekerja dalam tim. Oleh sebab itu, perlunya budaya organisasi menyesuaikan dengan tuju- Setia Tjahyanti an dengan konteks bisnis maupun strateginya. Ketiga, Adaptive Perspective, artinya budaya organisasi yang dibangun harus fleksibel dan responsive terhadap dinamika lingkungan internal dan eksternal seperti tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi, dan lainnya. Adaptive Perspective mengasumsikan bahwa budaya yang paling efektif membantu organisasi dalam mengantisipasi dan mengadaptasi pada perubahan lingkungan dan peningkatan kinerja dalam jangka panjang. Noe and Mondy (1996) mengidentifikasikan ada dua variable lingkungan yang mempengaruhi efektivitas suatu budaya organisasi, yaitu faktor-faktor yang berasal dari variabel lingkungan internal organisasi seperti (a) misi, visi, peraturan dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh para CEO, (b) komitmen, moral dan etika serta suasana kekeluargaan dan kelompok pekerja, (c) gaya kepemimpinan dari para manajer lini atau supervisor, dan (d) karakteristik organisasi seperti bentuk dan aktivitas utama, otonomi dan kompleksitas perusahaan, system penghargaan, system komunikasi dan konflikkerjasama, serta toleransi terhadap resiko dalam proses administrasi perusahaan dan faktor-faktor yang berasal dari lingkungan global meliputi kecenderungan globalisasi ekonomi, tuntutan hokum dan sosial, perkembangan teknologi manfaktur, transformasi teknologi informasi dan perubahan ekologi. Untuk membangun model budaya perusahaan yang memiliki karakteristik tersebut, setidaknya haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut: ada perasaan membutuhkan dari semua pelaku organisasi, ada kesadaran, komitmen dan keterlibatan manajemen puncak dalam proses perubahan budaya organisasi, ada arah ataupun fokus orientasi yang jelas kemana organisasi akan melangkah di masa depan, ada keterlibatan aktif karyawan dalam proses perubahan tersebut, ada pelatihan dan sosialisasi yang memadai terhadap anggota organisasi dan ada transparansi dan akunta- 53 Media Bisnis bilitas (accountability) manajemen atau antara semua pihak terlibat dalam proses perubahan budaya organisasi. (Porter and Parker 1992). Tan (2002) dalam bukunya Changing Your Corporate Culture, mengatakan bahwa ada 10 karakteristik budaya organisasi yaitu: (1) Inisiatif individual, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan dan independensi yang dimiliki oleh individu, (2) Toleransi terhadap tindakan berisiko, yaitu sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan mengambil risiko, (3) Arah, yaitu sejauh mana organisasi tersebut menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi, (4) Integrasi, yaitu tingkat sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi, (5) Dukungan dari manajemen, yaitu tingkat sejauh mana para manajemen memberi komunikasi yang jelas, bantuan, serta dukungan terhadap bawahan mereka, (6) Kontrol, yaitu jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai, (7) Identitas, yaitu tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya dibanding dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian professional, (8) Sistem imbalan, yaitu tingkat sejauh mana alokasi imbalan (misal kenaikan gaji promosi) didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap pilih kasih dan sebagainya, (9) Toleransi terhadap konflik, yaitu tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka, dan (10) Pola komunikasi, yaitu tingkat sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Untuk membangun budaya organisasi yang kuat dan adaptif, dibutuhkan strategi yang perlu diterapkan organisasi, Pertama, merekrut dan mengembangkan pola kepemimpinan yang transformasional (transformational leadership) yaitu kepemimpinan yang memiliki visi kedepan dan mampu mengidentifikasi perubahan lingkungan dan mampu mentransformasi perubahan 54 Maret tersebut ke dalam organisasi, mempelopori perubahan dan memberikan motivasi serta inspirasi kepada karyawan agar lebih kreatif dan inovatif, serta membangun teamwork yang solid, membawa pembaharuan dalam etos kerja dan kinerja manajemen, berani dan bertanggungjawab memimpin serta mengendalikan organisasi (Bass 1985). Kedua, mendesain kembali strategi manajemen SDM yang berbasis pada budaya organisasi. Mengembangkan dan memberdayakan kompetensi SDM sebagai asset perusahaan dengan memberikan reward tertentu. Ketiga, mendesain kembali system usaha dan strategi bersaing perusahaan pada lingkungan organisasi serta beradaptasi dan mengadopsi nilai-nilai budaya global yang dianggap dapat menjadi share values untuk membangun core competence perusahaan. Keempat, mendesain kembali struktur organisasi yang memisahkan tugas dan tanggungjawab struktural atau fungsional secara jelas dan tegas. Kelima, merancang kembali system manajemen dan pengendalian yang berbasis pada shares values budaya perusahaan. Keenam, perusahaan perlu membangun system yang fleksibel dan adaptif untuk mengantisipasi pada isu diversity and multiculturalism seperti gender, age, race, marital status, physical ability, income level, and lifestyle (Daft 2008) yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan kinerja organisasi. PENUTUP Berdasarkan pada paparan mengenai budaya organisasi di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi mempunyai peran yang sangat strategis dalam mendorong dan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Yaitu: Pertama, Budaya organisasi sebagai alat untuk menentukan arah dan tujuan organisasi. Kedua, sebagai perekat social (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama dalam satu visi atau tujuan yang sama. Ketiga, sebagai alat 2011 untuk membentuk sense of belonging (rasa ikut memiliki) dan sense of identity (rasa bangga sebagai bagian dari suatu organisasi) para pelaku organisasi. Keempat, core organizational values bagi perusahaan yang tercermin dalam nilai-nilai fundamental organisasi seperti sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawannya, kebebasan atau minat karyawan untuk memberikan ide-ide baru, kemauan untuk menerima resiko yang mungkin saja terjadi, dan keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggungjawab. Kelima, Sebagai alat yang efektif untuk membangun efektivitas kesuksesan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Untuk membangun model budaya yang dapat meningkatkan kinerja organisasi terdapat tiga perspektif budaya yang dapat meningkatkan kinerja organisasi, yaitu: Pertama, Strength Perspective, memprediksi hubungan penting antara kekuatan budaya organisasi dengan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Kedua, Fit Perspective artinya budaya organisasi harus selaras dengan konteks bisnis atau strateginya. Ketiga, Adaptive Perspective, artinya budaya organisasi yang dibangun harus fleksibel dan Setia Tjahyanti responsive terhadap dinamika lingkungan internal dan juga eksternal seperti tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi, dan lainnya. Untuk membangun model budaya perusahaan yang memiliki karakteristik tersebut, setidaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) Ada perasaan membutuhkan dari semua pelaku organisasi, (2) Ada kesadaran, komitmen dan keterlibatan manajemen puncak dalam proses perubahan budaya organisasi, (3) Ada arah atau fokus orientasi yang jelas kemana organisasi akan melangkah di masa depan, (4) Ada keterlibatan aktif karyawan dalam proses perubahan tersebut, (5) Ada pelatihan dan sosialisasi yang memadai terhadap anggota organisasi, dan (6) Ada transparansi dan akuntabilitas (accountability) manajemen atau antara semua pihak terlibat dalam proses perubahan budaya organisasi. Budaya organisasi yang kuat, adaptif dan dinamis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan organisasi serta mampu mendorong pertumbuhan bisnis perusahaan secara berkelanjutan. REFERENSI Daft, L. Richard, 2004. Leadership, International Editions, South-Western, Cengage Learning. Davis, S.M., 1984. Managing Corporate Culture. Ballinger, Cambridge-Massachusetts. Deal, T.E., and Kennedy, A.A., 1982. Corporate Culture: The Rites and Rituals of Corporate Life Reading. Addison Wesley Publishing Company, Inc. Massachusetts. Graves, D., 1986. Corporate Culture Diagnosis and Change: Auditing and Changing the Culture Organizations. Frances Pinter (Publisher) Limited. London. Handy, C.B., 1985. Understanding Organizations, 3rd Ed. Penguin Books. Harmondsworth. Hodge, B.J., William P.A., and L. Gales. 1996. Organizational Strategy, 5th Ed. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey. Hofstede, G., 1980. Culture’s Consequences. International Differences in Work Related Values. Sage Publications, Beverly Hills, C.A. John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). PT Prehalindo, Jakarta. Kreitner, R. & A. Kinicki. 1995. Organizational Behavior, Third Editions. Richard D. Irwin,. Inc. Homewood, IIIinois. Lako, Andreas, 2004. Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi: Isu, Teori, dan Solusi, Amara Books. Luthans, F. 1998. Organizational Behavioral. Seventh Editions. McGraw-Hill. NewYork. Schein, E. 2004. Organizational Culture and Leadership. 3rd Edition. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco. 55