33 BAB V PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, peneliti mengukur

advertisement
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, peneliti mengukur hubungan asfiksia neonatorum dengan
daya reflek sucking bayi baru lahir umur 0 hari di RSUD Karanganyar
menggunakan instrumen data rekam medis dan lembar observasi daya reflek
sucking. Responden yang digunakan dalam penelitian ini telah sesuai dengan
kriteria restriksi. Dari data yang dihimpun telah dilakukan pengolahan data yang
diupayakan dapat menjawab pertanyaan penelitian yaitu mengetahui apakah
terdapat hubungan asfiksia neonatorum dengan daya reflek sucking pada bayi baru
lahir umur 0 hari. Penelitian dilakukan pada 38 responden menggunakan teknik
accidental sampling. Pengambilan sampel berdasarkan responden yang kebetulan
tersedia di Perinatologi RSUD Karanganyar pada saat peneliti datang.
A. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia Neonatorum dipengaruhi oleh faktor ibu, faktor plasenta dan tali
pusat, serta faktor bayi. Faktor ibu berasal dari usia ibu, paritas, preeklampsia,
perdarahan antepartum abnormal, partus lama, demam persalinan, dan
infeksi. Faktor plasenta dan tali pusat salah satunya juga dipengaruhi oleh
proses persalinan. Faktor bayi berkaitan dengan berat badan lahir (Hasan,
2007). Tabel 4.1. menunjukkan distribusi frekuensi karakteristik responden
ibu berdasarkan riwayat persalinan. Riwayat persalinan saling mempengaruhi
terhadap keadaan ibu dan janin. Riwayat persalinan dalam penelitian ini
adalah melalui pervaginam dan Secsio Caesarea (SC). Frekuensi bayi baru
33
34
lahir dengan asfiksia melalui persalinan pervaginam lebih tinggi dari SC
dengan jumlah 10 responden (26,3%). Pada penelitian, persalinan pervaginam
yang dapat menyebabkan asfiksia neonatorum mencakup persalinan
pervaginam spontan maupun buatan, seperti induksi. Persalinan pervaginam
berpengaruh terhadap angka kejadian asfiksia neonatorum karena pada
persalinan pervaginam dengan induksi memungkinkan adanya prolapsus tali
pusat, kompresi tali pusat, serta partus lama yang menyebabkan terjadinya
hipoksia pada janin dan menghambat sirkulasi oksigen (Mulastin, 2014).
Persalinan dengan SC terutama jika tidak ada tanda persalinan, bayi
tidak mendapatkan manfaat dari pengurangan cairan paru dan penekanan
pada toraks sehingga mengalami paru-paru basah yang lebih persisten. Situasi
ini mengakibatkan takipnea sementara pada bayi baru lahir. Di samping itu
asfiksia neonatorum yang disebabkan oleh SC juga berkaitan dengan tindakan
anestesi yang menyebabkan depresi pusat pernafasan bayi. Hal ini dapat
menyebabkan hipoksia dan asidosis pada fetus (Varney, 2007).
Meskipun demikian, bukan berarti kelahiran melalui SC lebih baik dari
persalinan pervaginam. Karena pada dasarnya pada persalinan SC bayi tidak
mendapat kompresi toraks seperti pada persalinan pervaginam dan
dipengaruhi pula efek anestesi saat tindakan. Penyebab angka kejadian
asfiksia neonatorum yang didapat pada persalinan pervaginam lebih besar
pada penelitian ini dikarenakan tempat penelitian merupakan salah satu
rumah sakit rujukan yang menerima kasus komplikasi pada ibu dan bayi
seperti keadaan preeklampsia, partus lama, bayi besar, dan lain sebagainya
35
dimana kondisi tersebut memungkinkan terjadinya asfiksia neonatorum pada
bayi baru lahir yang dilahirkan melalui persalinan pervaginam. Hal ini
didukung penelitian Naysha, 2015 di Rumah Sakit Maranatha Bandung
dengan nilai p = 0,608 yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara riwayat persalinan pervaginam dan SC terhadap kejadian
asfiksia neonatorum. Sehingga kejadian asfiksia neonatorum dapat terjadi
pada proses persalinan apapun. Hal ini disesuaikan dengan kriteria inklusi
yaitu seluruh bayi baru lahir tanpa melihat jenis persalinan.
Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik responden bayi berdasarkan berat
badan lahir dan jenis kelamin. Bayi dengan berat badan lahir rendah baik
yang kurang, cukup, atau lebih bulan, dapat mengalami gangguan pada proses
adaptasi pernafasan waktu lahir sehingga dapat mengalami asfiksia
neonatorum yang mempengaruhi kemampuan gerak reflek (Proverawati dan
Ismawati, 2010). Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Nugroho et al.
(2015) yang menyebutkan bahwa semakin besar derajat BBLR maka semakin
tinggi tingkat keparahan asfiksia neonatorum. Hal ini telah dikeluarkan dari
kriteria inklusi yaitu bayi dengan keadaan patologis penyerta yang salah
satunya adalah BBLR. Sehingga responden yang digunakan adalah bayi baru
lahir dengan berat badan lahir normal.
Distribusi karakteristik menurut jenis kelamin menunjukkan bayi lakilaki lebih banyak menderita asfiksia neonatorum dengan 15 responden
(39,8%). Hal tersebut diduga terkait dengan perbedaan steroid gonad in utero
sehingga kemampuan fetus laki-laki menghadapi stres lebih rendah
36
(Hendrick, 2010). Sejak di dalam kandungan, bayi laki-laki dan perempuan
menunjukkan perbedaan perkembangan dan pertumbuhan mengikuti tekanan
yang datang dari luar, seperti kebiasaan merokok atau stres psikologi.
Perbedaan respon pertumbuhan pada bayi laki-laki dan perempuan,
khususnya pada kehamilan dengan komplikasi, seperti asma, preeklampsia,
konsumsi tembakau dalam kehamilan serta pencetus stres lain, termasuk
stress psikologi terjadi karena perubahan pada fungsi plasenta yang dipicu
oleh hormon stress, yaitu kortisol. Sehingga bayi perempuan cenderung akan
melanjutkan tumbuh pada jalannya dan baik-baik saja, namun bayi laki-laki
tidak bisa menghadapinya dan berisiko lahir sebelum waktunya, berhenti
tumbuh, atau mengalami keadaan patologis lainnya (Maharani, 2012).
B. Daya Reflek Sucking
Tabel 4.3 menunjukkan daya reflek sucking dari 38 responden didapatkan
daya reflek sucking tertinggi adalah 9, terrendah adalah 3, dan terbanyak
adalah 6. Daya reflek sucking diperoleh dari jumlah skoring neurologik yang
mencakup jumlah gerakan dalam episode ledakan, kecepatan gerakan, dan
waktu antar episode ledakan (Rudolph, 2014).
Daya reflek sucking tertinggi ditunjukkan oleh skor 9 dengan
interpretasi daya reflek sucking kuat. Semakin tinggi skor neurologik daya
reflek sucking yang ditunjukkan, semakin kuat interpretasi daya reflek
sucking yang dihasilkan. Penilaian reflek sucking dilakukan dengan
memasukkan jari ke dalam mulut bayi dengan memperhatikan kekuatan serta
37
irama pengisapan secara kasar dan dipengaruhi oleh beberapa faktor
(Rudolph, 2014).
Menurut Primadi (2013), reflek sucking dipengaruhi oleh usia gestasi
dan berat badan lahir. Komponen reflek menghisap sudah mulai ada sejak
usia kehamilan 28 minggu, namun sinkronisasi masih tidak teratur, dan bayi
mudah mengalami kelelahan. Sejalan dengan proses pematangan, maka
mekanisme yang lebih teratur akan didapatkan pada usia kehamilan 32-36
minggu. Selain itu reflek sucking yang lebih kuat terdapat pada bayi baru
lahir dengan berat lahir lebih besar (Sohn et al., 2011).
Menurut teori dari Sohn et al. (2011), reflek sucking dipengaruhi oleh
skor APGAR dan status mental. Selain itu suhu bayi, suhu ruangan, dan
kesadaran bayi menurut Lestariningtyas (2006) juga merupakan faktor yang
mempengaruhi reflek sucking. Menurut Effendi dan Kadir (2013), kerusakan
bawaan sistem saraf pusat dan infeksi selama periode neonatal juga dapat
menyebabkan kesulitan makan, seperti lambat atau lemah mengisap. Hal ini
dapat menjadi indikasi pertama bahwa bayi memiliki masalah neurologis.
C. Hubungan Asfiksia Neonatorum dengan Daya Reflek Sucking
Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan rerata daya reflek sucking untuk bayi baru
lahir dengan tidak asfiksia adalah 8 dengan nilai minimum 5 dan nilai
maksimum 9 sedangkan rerata daya reflek sucking bayi baru lahir dengan
asfiksia adalah 6 dengan nilai minimum 3 dan nilai maksimum 8. Hal ini
memiliki arti bahwa bayi dengan tidak asfiksia memiliki rerata daya reflek
38
sucking lebih tinggi dari bayi baru lahir dengan asfiksia neonatorum. Rerata
daya reflek sucking pada masing- masing kelompok diperoleh dari nilai
median pada masing- masing kelompok sebagai ukuran pemusatan
dikarenakan distribusi data tidak normal (Dahlan, 2012).
Dari hasil analisis Uji Mann Whitney pada 38 responden bayi baru
lahir di RSUD Karanganyar yang ditunjukkan oleh Tabel 4.5. diperoleh nilai
p=0,001. Karena nilai p<0,05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara asfiksia neonatorum dengan daya
reflek sucking pada bayi baru lahir umur 0 hari. Penelitian ini sesuai dengan
teori Saharso, Herjana, dan Erny (2006) mengenai penurunan reflek sucking
pada bayi yang mengalami hipoksia, perdarahan intrakranial, dan laserasi
jaringan otak.
Menurut Pusdiknakes 2014, bayi baru lahir dengan tidak asfiksia
memiliki oksigenasi yang memadai sehingga memiliki kemampuan yang baik
dalam mempertahankan kecukupan pertukaran udara. Peningkatan aliran
darah paru-paru akan memperlancar pertukaran gas dalam alveolus dan akan
membantu menghilangkan cairan paru-paru dan merangsang perubahan
sirkulasi janin menjadi sirkulasi luar rahim. Seluruh jaringan memperoleh
asupan oksigen dan darah secara maksimal dengan tidak adanya hambatan.
Sehingga seluruh jaringan mampu berkoordinasi menjalankan fungsinya.
Begitupun dengan koordinasi gerak reflek pada bayi baru lahir yang
dipersarafi oleh koordinasi saraf kranialis dan beberapa bagian tubuh Saraf
kranialis merupakan salah satu komponen susunan saraf tepi yang berasal
39
langsung dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang- lubang pada
tulang yang dinamakan foramina. Gangguan saraf kranialis dapat terjadi pada
serabut saraf yang berawal dari otak atau batang otak, dan mengakibatkan
timbulnya gejala pada berbagai organ atau bagian tubuh yang dipersarafinya
(Kartikawati, 2008).
Reflek sucking digunakan untuk menilai fungsi saraf kranial V, VII,
dan XII yang dirangsang dengan memasukan jari ke dalam mulut bayi.
Penilaian daya reflek sucking diperoleh dari jumlah gerakan dalam episode
ledakan, kecepatan gerakan, dan waktu antar episode ledakan. Selain kinerja
saraf kranial V, VII, dan XII, reflek sucking juga didukung oleh asupan
oksigen dan darah di jaringan sekitar wajah dan mulut. Dengan demikian,
bayi baru lahir dengan tidak asfiksia memiliki daya reflek sucking yang lebih
tinggi dikarenakan suplai oksigen dan darah yang mencukupi ke seluruh
jaringan penunjang adanya reflek sucking (Rudolph, 2014).
Penekanan- penekanan pada proses persalinan akan menyebabkan
penurunan pola pertukaran gas, keseimbangan asam basa dalam darah, dan
aktivitas
kardiovaskuler
pada
neonatus.
Hal-
hal
tersebut
dapat
mempengaruhi penyesuaian janin ke kehidupan ekstrauterin (Hockenberry
dan Wilson, 2007). Pada penelitian didapatkan daya reflek sucking yang lebih
rendah pada bayi baru lahir dengan asfiksia. Hal ini berkaitan dengan
kurangnya asupan oksigen dan darah yang terjadi pada bayi baru lahir dengan
asfiksia sehingga mempengaruhi berbagai koordinasi organ, termasuk saraf
kranialis dan bagian tubuh penunjang reflek sucking. Adanya asfiksia
40
neonatorum menyebabkan gangguan pada saraf kranialis karena defisit suplai
oksigen yang disebabkan oleh dua hal yaitu hipoksia dan iskemia tingkat
jaringan (Amir dan Manoe, 2006).
Menurut Amir dan Manoe (2006), saat terjadi asfiksia neonatorum,
terjadi gangguan pertukaran gas fetal-plasental yang menyebabkan terjadinya
penurunan pH (asidosis), peningkatan karbon dioksida (hiperkapnia), dan
penurunan kadar oksigen (hipoksemia). Ketiga hal tersebut memicu
terjadinya metabolisme anaerob. Metabolisme anaerob menyebabkan
penurunan cardiac output sehingga terjadi penurunan aliran darah dan
oksigen ke sistem saraf akibat kehilangan energi dan hipotensi yang
ditimbulkan oleh asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. Hal ini
menimbulkan keadaan hipoksia dan iskemia pada sistem saraf tepi yang salah
satu pendukung pemeriksaannya adalah dengan gerak reflek.
Dampak asfiksia neonatorum adalah akibat dari vasokonstriksi
setempat untuk mengurangi aliran darah ke organ yang kurang vital. Selain
keadaan hipoksia dan iskemik pada saraf kranialis, asupan energi pada tingkat
jaringan di sekitar wajah dan mulut juga mengalami penurunan akibat
kompensasi. Sehingga hal tersebut mempengaruhi tonus otot yang
menggerakkan area wajah dan mulut yang merangsang adanya reflek sucking
pada bayi baru lahir. Hal ini juga didukung oleh penelitian Purwadi (2007)
mengenai hubungan gangguan perkembangan neurologis terhadap asfiksia
neonatorum dengan hasil p=0,04. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa
41
gangguan
perkembangan
neurologis
berhubungan
dengan
asfiksia
neonatorum.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah responden yang
mendekati jumlah minimal sampel penelitian. Hal ini dikarenakan banyak
responden yang tidak memenuhi kriteria restriksi, seperti berat badan lahir
rendah, tidak diperbolehkan menjadi responden, dan telah dilakukan
perangsangan reflek sucking sebelum waktu pemeriksaan yaitu dengan
inisiasi menyusui dini.
Download