Evaluasi Rencana Pengembangan Pangkalan - E

advertisement
Prajitno,
Jurnal PROTEIN
Uji Sensitifitas Flavonoid Rumput Laut (Eucheuma Cottoni) Sebagai Bioaktif Alami
Terhadap Bakteri Vibrio Harveyi.
The Sensitivity Test Of Flavonoid, of Eucheuma cottoni With Different Concentration as
Vibrio harveyi By In Vitro
Arief Prajitno
Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit udang yang diakibatkan oleh Vibriosis bersifat akut dan ganas,
karena dapat memusnahkan populasi udang dalam tempo 1-3 hari sejak gejala awal tampak.
Udang yang terserang sangat sulit untuk diselamatkan sehingga seluruh udang yang ada
terpaksa dibuang atau dimusnahkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif pengobatan
dengan menggunakan bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuhan maupun dari biota laut.
yang berfungsi sebagai antibakteri dari jenis alga merah (Eucheuma cottonii).
Metode : Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektifitas in vitro Flavonoid pada E.
cottoni sebagai zat anti bakteri terhadap bakteri Vibrio harveyi. Perlakuan konsentrasi 1 %,
2%, 3 %, 4 %, 5 % dan 6 % dengan 3x ulangan. Parameter uji yang digunakan dalam
penelitian ini adalah diameter daerah hambatan yang terlihat di sekitar kertas cakram.
Hasil: Hasil yang diperoleh hubungan antara konsentrasi ekstrak E.cottoni dengan media
TCBSA terhadap diameter daerah hambatan V.harveyi berbentuk kuadratik
dengan
persamaan
garis : Y= 4.31 + 5.47x – 0.81 x2 dengan r = 0,092. Pada konsentrasi 3 %
memberikan hasil diameter daerah hambatan rata-rata sebesar 15.37 mm. pada konsentrasi ini
bakteri bersifat bakteriosidal.
Kata Kunci : Flavonoid, E.cottoni, Vibrio harveyi.
Abstract
Background: Shrimp disease which caused by Vibriosis are acute and most virulence
characteristic because lead to mass mortality of shrimp population in 1-3 days after its
symptom. Animal infected commonly can not be survive, and must be harvested or throw
away. Therefore it is need in solving this disease by using natural substances which come
from plant or ather sea organism which known have function as antibacteria, such as red
seaweed (Eucheuma cottonii).
Methods: This study aims to know the effectiveness of flavonoid from E. cottonii as
antibacteria toward Vibrio harveyi (in vitro test). Comcentration used are 1%, 2%, 3%, 4%,
5%, and 6% with 3 replicates. Parameter measured is inhibition area around antibiotic disk.
Result: Data shows that on concentration 3% of flavonoid give average inhibition area of
15,37 mm, which has bacteriocidal activity. There is correlation between concentration of
favonoid and inhibition area with equation: y = 4,31+5,47x-0,81x2 with r = 0,092.
Keywords: flavonoid, E. Cottonii, V. harveyi
PENDAHULUAN
Sub sektor perikanan sebagai salah satu
komponen pendukung pembangunan ekonomi
66
yang perlu terus ditingkatkan produksinya.
Salah satunya melalui peningkatan usaha
budidaya dengan memanfaatkan sumberdaya
Vol. 15 No. 2 Tahun 2007
alam secara optimal dan penggunaan teknologi
yang ramah lingkungan .Salah satu bentuk
dalam upaya meningkatkan produksi adalah
dengan diversifikasi usaha budidaya udang
windu (Prajitno, 2004). Udang windu (Penaeus
monodon Fab.) merupakan salah satu
komoditas budidaya air payau yang utama di
Indonesia. Oleh sebab itu, udang windu
merupakan komoditi primadona yang tetap
diandalkan dalam meningkatkan devisa negara.
Usaha budidaya udang yang dilakukan baik
secara ekstensif, semi intensif maupun intensif
telah digalakkan oleh pemerintah di berbagai
daerah potensial untuk dikembangkan.
Namun, berbagai kendala telah diketahui
sebagai penghambat peningkatan produksi
udang windu, dan penyakit dikenal sebagai
penyebab utama (Rukyani, 2000).
Penyakit yang timbul pada usaha budidaya
udang windu, terjadi pada usaha-usaha
pembenihan maupun pada tambak-tambak
pembesaran Serangan penyakit bakterial yang
paling serius dan sering menyebabkan kematian
masal pada larva udang windu adalah serangan
bakteri berpendar yang diidentifikasi sebagai V.
harveyi. Bakteri V. harveyi pada umumnya
menyerang larva udang pada stadia zoea, mysis
dan awal post larva., sehingga merupakan
kendala dalam penyediaan benih udang yang
sehat dalam jumlah besar.
Masalah penyakit terutama ynag disebabkan
oleh bakteri sering menjadi salah satu penyebab
menurunnya produksi perikanan .Masalah yang
paling serius dalam penyediaan benur adalah
adanya kematian masal yang disebabkan
penyakit, terutama penyakit bakteri “udang
menyala” (luminescent vibriosis) atau dikenal
dengan penyakit “kunang-kunang” (Prajitno,
2005). Dilaporkan oleh Prajitno, (2005), para
pengelola panti pembenih udang windu sering
mengalami kegagalan karena tingginya tingkat
kematian larva yang disebabkan oleh serangan
bakteri bercahaya yanng umumnya terjadi
sepanjang tahun yang puncaknya biasanya pada
bulan Juli sampai September.
Ciri bakteri Vibrio adalah bentuknya
seperti batang pendek, tidak membentuk spora,
sumbu melengkung atau lurus, ukurannya 0,51
m x 1,0-2,0 m, bersifat gram negatif, tumbuh
The Sensitivity Test Of Flavonoid
baik pada kadar NaCl 1-1,5 %, terdapat tunggal
atau kadang-kadang bersatu dalam bentuk s
atau spiral (Kabata, 1985). Genus vibrio tidak
membentuk spora dan bergerak dengan flagel,
monotrik atau multitrik pada salah satu
kutubnya. (Inglis, Robert dan Bromage, 1993).
Vibrio harveyi umumnya hidup di air laut
dan payau, terutama air dangkal serta musim
dimana temperatur air menjadi tinggi (Kabata,
1985). Ditemukan di habitat-habitat akuatik,
sebagian pada air laut, lingkungan estuarin dan
berasosiasi dengan hewan laut (Inglis, et al,
1993). Bakteri Vibrio spp termasuk jenis bakteri
halofit. Dapat tumbuh secara optimum pada
salinitas 20-30 ppt, dan dapat tumbuh dengan
baik pada kondisi alkali, yaitu pH optimum
berkisar antara 7,5-8,5. Di sepanjang pantai
utara Jawa, mulai dari pantai Tuban (Bulu,
Bancar, Jenu, Palang), Gresik (Sedayu,
Manyar), Sidoarjo, Bangil (Raci), Probolinggo,
Karang Tekok (Situbondo), Banyuwangi (Suri
Tani Pemuka), setiap muncul kasus penyakit
vibrio, salinitas rata-rata lebih dari 25 ppt
(Prajitno, 2005).
Bakteri
Vibrio spp termasuk bakteri
kemoorganotropik (Larkins,1993). Bakteri
dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang
pada batas-batas duhu tertentu. Suhu optimum
untuk pertumbuhan bakteri Vibrio spp berkisar
antara 30-350C. sedangkan pada suhu 40C dan
450C bakteri tidak dapat tumbuh dan pada suhu
550C akan mati (Prajitno, 2005). Berbiak
dengan cara aseksual, (Volk dan Wheeler,
1988).
Vibriosis sering pula dikatakan sebagai
penyakit udang menyala, karena udang yang
terinfeksi terlihat bercahaya pada malam hari
(Seng,1994), dan merupakan penyakit yang
umum dijumpai dan merupakan masalah yang
serius di seluruh usaha budidaya ikan di laut
dan air payau di dunia (Prajitno, 2005). Bakteri
Vibrio spp berbahaya pada budidaya air payau
dan laut, karena dapat bertindak sebagai
patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen
primer, bakteri masuk kedalam tubuh ikan
melalui kontak langsung, sedangkan sebagai
patogen sekunder, bakteri menginfeksi ikan
yang telah terserang penyakit lain (Prajitno,
2005). Bakteri Vibrio harveyi pada umumnya
menyerang larva udang pada stadia zoea, mysis
67
Prajitno,
dan awal post larva, sehingga merupakan
kendala dalam penyediaan benih udang yang
sehat dalam jumlah besar Sebagai patogen
primer, Vibrio harveyi dapat menyebabkan
kematian sampai 100% pada larva udang windu
(P. monodon) di hatchery. (Manefield, Harris,
Rice, Rocky dan Staffan, 2000).
Vibriosis bersifat akut dan ganas, karena
dapat memusnahkan populasi udang dalam
tempo 1-3 hari sejak gejala awal tampak. Udang
yang terserang sangat sulit untuk diselamatkan
sehingga seluruh udang yang ada terpaksa
dibuang atau dimusnahkan. Penularannya dapat
langsung melalui air atau kontak langsung antar
ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan yang
dipelihara pada kepadatan tinggi (Prajitno,
2005).
Oleh karena itu, diperlukan suatu
alternatif
pengobatan
bakteri
dengan
menggunakan bahan-bahan alami yang berasal
dari tumbuhan maupun dari biota laut. yang
berfungsi sebagai antibakteri dari jenis alga
merah, Eucheuma cottonii.
Rumput laut selama ini dimanfaatkan
untuk makanan manusia. Akan tetapi, dengan
semakin
banyaknya
kamajuan
ilmu
pengetahuan, pemanfaatan rumput laut bagi
kepentingan manusia tidak hanya terbatas
sebagai makanan saja, tetapi juga digunakan
sebagai bahan baku pada industri obat-obatan,
tekstil, minuman, kosmetik, pasta gigi dan
sebagainya . Rumput laut atau algae
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, dalam
hal ini phycocoloids yang berupa agar,
karagenan dan algin. Hasil ekstraksi semakin
berkembang penggunaannya untuk gel,
pengental, pengemulsi dan penstabil dalam
industri makanan, farmasi, maupun industri
lainnya. Manfaat rumput laut di bidang
kesehatan dan kedokteran adalah mampu
mencegah
penyakit
kanker,
penyakit
kardiovaskuler, antimikroorganisme dan dapat
meningkatkan kekebalan tubuh Sebagai obat-
Jurnal PROTEIN
obatan tradisional yakni untuk mengobati
penyakit gondok, penyakit ginjal, anthalmintic
dan sebagainya. Eucheuma spp di Filipina
digunakan sebagai obat batuk (Prajitno, 2005).
Rumput laut memang ibarat “tanaman
dewa”. Itu karena unsur-unsur mineral yang
terkandung di dalamnya seperti iodium, seng
dan selenium. Unsur seng dan selenium
diketahui dapat mencegah kanker. Adapun
kadar iodium dari sumber hayati ini bahkan
sampai 2000 kali lebih tinggi dibanding yang
terdapat dalam di air laut. (Anonymous, 2006).
MATERI DAN METODE
Metode penelitian yang digunakan
adalah
metode
eksperimen.Rancangan
percobaan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Penelitian ini terdiri dari 6 level perlakuan
ditambah dan 1 kontrol dengan 3 ulangan.
Perlakuan tersebut adalah konsentrasi ekstrak
kasar rumput laut Eucheuma cottonii sebesar
1%, 2%, 3%, 4%, 5%, dan 6% dan 0% sebagai
kontrol.
Parameter Uji
Parameter uji yang digunakan dalam
penelitian ini adalah parameter utama, yaitu
data yang diperoleh dari hasil pengukuran
diameter daerah hambatan yang terlihat di
sekitar kertas cakram.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Hambat Flavonoid Rumput Laut E.
cottonii Terhadap Bakeri V. harveyi
Hasil uji hambat minimal Flavonoid
E.cottoni yang terbentuk bervariasi pada
masing-masing perlakuan, pada perlakuan C,
konsentrasi 3 % mempunyai nilai rerata
tertinggi dibanding perlakuan lainnya (Tabel 1).
Tabel 1. Diameter Daerah Hambatan Pada Masing-masing Perlakuan
Perlakuan
Ulangan I
Ulangan II
Ulangan III
Jumlah
8.5
8.0
7.5
A (1%)
24
12.5
11.7
13.3
B (2%)
37.5
14.75
15.0
16.35
C (3%)
46.1
68
Rerata
8.0
12.5
15.37
Vol. 15 No. 2 Tahun 2007
D (4%)
E (5%)
F (6%)
The Sensitivity Test Of Flavonoid
11.3
10.3
8.4
12.25
10.85
9.1
Hal ini ditandai dengan tidak ditumbuhi
bakteri setelah masa inkubasi 24 jam. Sedang
pada konsentrasi 1% dan 2 % masih tampak
adanya pertumbuhan bakteri, walaupun pada uji
cakram
sudah tampak adanya daerah
hambatan, tetapi bersifat bakteriostatik. Karena
kandungan Flavonoid E.cottoni belum termasuk
dalam daftar ukuran daerah hambatan berbagai
antibiotik yang dapat menggolongkan kepekaan
kuman dalam kategori resisten, intermediate
ataupun peka, maka diduga bahwa diameter
daerah hambatan yang terbentuk pada
konsentrasi 1 dan 2 % dalam kategori resisten,
artinya pada konsentrasi tersebut belum mampu
merusak sel bakteri. Larkins (1993); Pelczar,
(1997), menjelaskan bahwa resistensi yang
terjadi pada suatu organisme terhadap
konsentrasi suatu zat merupakan mekanisme
alamiah untuk mempertahankan kehidupannya.
Pada lanjutan uji MIC terlihat bahwa setelah
ditanam dan diinkubasi pada media TCBSA,
pada konsentrasi 1 % dan 2 % masih dijumpai
adanya pertumbuhan bakteri.Pada konsentrasi 4
%, 5 % dan 6 % kemampuan daerah hambat
mengalami penurunan.
Dengan demikian disimpulkan bahwa
ekstrak E.cottoni.
hasil sokletasi dengan
10.17
8.85
10.94
33.72
30.0
28.44
11.24
10.0
9.48
kandungan
Falvonoid
pada
perlakuan
konsentrasi 3 %, merupakan. konsentrasi
terkecil
yang
mampu
menghambat
pertumbuhan V.Harveyi secara in vitro.
Pelczar et al. (1977) menyatakan bahwa
persenyawaan Flavonoid sebagai anti-bakteri
menghambat pertumbuhan dan metabolisme
bakteri dengan cara merusak membran
sitoplasma dan mendenaturasi protein sel.
Volk dan Wheeler (1988) menjelaskan bahwa
senyawa Flavonoid dapat merusak membran
sitoplasma yang dapat menyebabkan bocornya
metabolit penting dan menginaktifkan sistem
enzim bakteri. Kerusakan ini memungkinkan
nukleotida dan asam amino merembes keluar
dan mencegah masuknya bahan-bahan aktif ke
dalam sel, keadaan ini dapat menyebabkan
kematian bakteri.
Hubungan antara konsentrasi Flavonoid
dengan media TCBSA terhadap
diameter
daerah hambatan V.harveyi
berbentuk
kuadratik dengan persamaan
garis: Y=
4.31 + 5.47x – 0.81 x2, r = 0,096. Grafik
hubungan konsentrasi Flavonoid dengan
diameter daerah hambatan bakteri V.harveyi
disajikan pada Gambar 1.
16
14
12
10
Diameter Hambat
8
(mm)
6
4
2
0
0
2
4
6
8
Konsentrasi Flanoid E.cottoni (%)
Gambar 1. Grafik hubungan konsentrasi Flavonoid dengan diameter daerah hambatan
bakteri V.harveyi
107
Prajitno,
Dari diagram balok dan grafik tersebut
dapat diketahui bahwa semakin tinggi
konsentrasi, maka daerah hambatan yang
terbentuk juga semakin lebar dan dari hasil uji
statistik memberikan hasil berbeda sangat
nyata. Pada konsentrasi 3 % memberikan hasil
diameter daerah hambatan rata-rata sebesar
15.37 mm. Setelah masa inkubasi 24 jam
daerah hambatan tetap tampak jernih, hal ini
dapat dikatakan pada konsentrasi ini bakteri
bersifat bakteriosidal. Kemudian cenderung
konstan pada konsentrasi 4%, akhirnya
mengalami penurunan. Hal ini dimungkinkan
bahwa
kemampuan
Flavonoid
dalam
membunuh bakteri mengalami penurunan.
Pada konsentrasi 1 % dan 2 % sudah
tampak adanya daerah hambatan dengan rata-
Jurnal PROTEIN
rata diameter masing-masing 8.0 mm dan 12.50
mm. pada konsentrasi 1 % dan 2 %
menghambat pertumbuhan V.harveyi secara in
vitro tetapi bersifat bakteriostatik. Pada
perusakan membran sitoplasma, ion H+ dari
senyawa fenol dan turunannya (flavonoid) akan
menyerang gugus polar (gugus fosfat) sehingga
molekul fosfolipida akan terurai menjadi
gliserol, asam karboksilat dan asam fosfat. Hal
ini mengakibatkan fosfolipida tidak mampu
mempertahankan bentuk membran sitoplasma
akibatnya membran sitoplasma akan bocor dan
bakteri akan mengalami hambatan pertumbuhan
dan bahkan kematian. Reaksi penguraian
fosfolipida pada membran sitoplasma bakteri
oleh flavon ditunjukkan dalam Gambar 2
(Gilman et al., 1991 dalam Noviana, 2004).
Gambar 2. Reaksi penguraian fosfolipida pada membran sitoplasma bakteri oleh flavon
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan seluruh hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa : 1) Pada uji sensifitas
E.cottoni terhadap V.harveyi secara in vitro,
mampu berperan baik sebagai bakteriostatik
dan bakteriosidal (konsentrasi 3%) dengan
diameter rata-rata 15.37 mm. 2) Grafik
hubungan konsentrasi H.opuntia dengan
diameter daerah hambatan bakteri V.harveyi
berbentuk kwadratik dengan persamaan Y =
4.31 + 5.47 x – 0.81 x2, nilai r = 0.096
Saran
106
Dari hasil penelitian ini disarankan
beberapa hal sebagai berikut : 1) Dalam uji
coba secara invivo pada udang windu yang
terinfeksi
Vibrio
harveyi
sebaiknya
menggunakan konsentrasi 3 % sebagai
konsentrasi awal dalam pengobatan.2) Perlu
dikaji pembuatan ekstrak E.cottoni dicampur
dengan pakan sebagai metode pencegahan dan
pengobatan penyakit V. harveyi.
DAFTAR PUSTAKA
Vol. 15 No. 2 Tahun 2007
_________. 2006. Menggali Manfaat Rumput
Laut.
http://kompas.com/kompascetak/0307/23/bahari/431127.htm.
Buchanan, R.E and Gibbon, N.E., 1974.
Bergeys’s Manual of Determinative
Bacteriology. Eight Edition.Williams
and
Wilkns,Baltimore.
Bullock, 1971. Bacterial Diseases of Fish,
Book 2A. In Snieskzko and Axelord
(Eds)
Disease
of
Fish
.T.F.H.Publication.England, 145 p.
Inglis,V., J Roberts, and N.R. Bromage. 1993.
Bacterial Disease of Fish. Instintute
of Aquaculture. Blackwell Science Ltd.
Oxford. 312 p.
Manefield. M, L.Harris, S.Rice, Rocky dan
Staffan K. 2000. Inhibition of
Luminescence and Virulence In The
Black Tiger Prawn (Penaeus
Monodon) Pathogen Vibrio Harveyi B
y Intercelluler Signal
Antagonis.
http://aem.asm.org/cgi/content/full/66/
5/2079. 6 hal.
Larkins, P.E.,1993. Shrimp Diseases and
Shrimp Farm Management on The
Mallaca Strait Coast of North
Sumatra
Prtovince.NESPP/ODA.
Directorate General of Fisheries of
Indonesia.p.108.
Lightner, D.V., 1996. A Hanbook of Shrimp
Pathology
and
Diagnostic
Procedurees For Diseases of Culture
Penaeid
Shrimp.The
Word
Aquaculture Society, Baton Rouge,
Lousiana, USA.
The Sensitivity Test Of Flavonoid
Noviana, L. 2004. Identifikasi Senyawa
Flavonoid dari Propolis Lebah Madu
(Apis mellifera) dan Uji Aktivitasnya
sebagai Antibakteri Staphylococcus
aureus. Skripsi. Fakultas Matematika
dan IPA Universitas Brawijaya.
Malang. 61 hal.
Pelczar, M.J.Roger,D.R and E.C.S.Chan, 1977.
Microbiology. Mc.Graw-Hill
Book
Company, New York, USA.
Prajitno, A. 2004. Teknologi Immunostimulan
(Levamisol)
terhadap
Kelulushidupan
Udang
Windu
(Penaeus
monodon)
di
Mini
Backyard. Bahan Kuliah Penyakit
Ikan. Fakultas Perikanan. Universitas
Brawijaya. 25 hal.
Prajitno, A. 2005. Diktat Parasit dan Penyakit
Ikan .Fakultas Perikanan.Universitas
Brawijaya, 105 hal.
Rukyani, A. 2000. Penanganan Kematian
Udang
Windu
Di
Tambak.
Teknologi Penanggulangan Penyakit
White Spot. Makalah Dialog Solusi
dan Aksi Tentang Penanganan
Kematian
Udang
Di
Tambak.
Surabaya. 13 hal.
Seng, L.T. 1994. Parasites and Diseases of
Cultured Marine Finfish in South
East Asia.Pusat Pengkajian Sains
Kajihayat, Universitas Sains Malaysia.
pp 25
Volk, W.A. and Wheeler, 1988.Mikrobiologi
Dasar.
Eds
Markham.Penerbit
Erlangga Jakarta.
71
Download