BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN INCEST 2.1. Pengertian Aborsi Aborsi berasal dari bahasa Latin, yaitu abortus, yang mengandung pengertian berakhirnya atau berhentinya kehamilan dimana janin belum dapat hidup di luar rahim (viable) atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. 36 Konsepsi itu sendiri terjadi ketika telur yang dibuahi menjadi tertanam di dalam rahim. Kejadian ini menandakan bermulanya kehamilan.37 Menurut Taufan Nugroho, aborsi adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup janin sebelum tumbuh. 38 Menurut Eastman yang dikutip dalam buku karangan Rustam Mochtar, menyatakan bahwa aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimana 36 Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Karya Putra Darwati, Bandung, h. 366. 37 Boyke Dian Nugraha, 2010, It’s All About Sex: A-Z Tentang Seks, Bumi Aksara, Jakarta, h. 167. 38 Taufan Nugroho, 2011, Buku Ajar Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan, Nuha Medika, Yogyakarta, h. 20. 25 fetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup artinya apabila fetus itu beratnya antara 400-1000 gram atau kehamilan kurang dari 28 minggu. 39 Menurut Bambang Poernomo, pengguguran kandungan (abortus) adalah lahirnya buah kandungan sebelum waktunya oleh perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan pidana kejahatan. 40 Menurut Kamus Hukum, Aborsi merupakan penghentian atau penggagalan kehamilan atau pengguguran anak dalam kandungan dengan menggunakan cara yang melawan hukum. 41 Menurut Ensiklopedi Indonesia yang dikutip dalam buku karangan Wila Chandrawila Supriadi, pengguguran kandungan diartikan sebagai “pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1000 gram.”42 Sedangkan, dalam Black’s Law Dictionary yang dikutip dalam buku karangan Wila Chandrawila Supriadi, dikatakan bahwa abortions adalah: “the spontaneous or artificially induces expulsion of an embryo or fetus. As used in legal context; usually reffers to induced abortion”.43 39 Rustam Mochtar, 1998, Sinopsis Obstetri, EGC, Jakarta, h. 209. 40 Bambang Poernomo, 1982, Hukum Pidana Kumpulan Karangan Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta, h. 137. 41 M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, h. 10. 42 Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, h. 74. 43 Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, 2010, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis, Mandar Maju, Bandung, h. 60. 26 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan aborsi adalah berakhirnya atau berhentinya kehamilan sebelum waktunya, baik yang terjadi secara alamiah (bersifat spontan) maupun yang bersifat kriminal. 2.2. Jenis-Jenis Aborsi Aborsi dapat terjadi, baik karena sebab-sebab alamiah atau dengan sendirinya (aborsi spontan), maupun akibat perbuatan manusia (abortus provokatus). Abortus Provokatus itu sendiri merupakan gagalnya kehamilan atau gugurnya anak di dalam kandungan dengan ditandai keluarnya fetus atau embrio karena adanya unsur kesengajaan (adanya campur tangan manusia) atau sematamata tidak terjadi secara alami. 44 Aborsi karena perbuatan manusia tersebut dapat terjadi, baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit, maupun untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan (abortus provokatus therapeutics/medicinalis). Di samping itu juga karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus provocatus criminalis). Berikut merupakan jenis-jenis aborsi yang dikenal dalam dunia kedokteran. a. Aborsi spontan (alamiah), berlangsung tanpa tindakan apapun, biasanya disebabkan kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. b. Aborsi buatan (sengaja) adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan sengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun 44 M. Marwan dan Jimmy P., Loc.cit. 27 beranak). Aborsi buatan dapat dibagi menjadi aborsi provokatus terapetikus (buatan legal) dan aborsi provokatus kriminalis (buatan ilegal). a) Aborsi provokatus terapetikus adalah pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat-syarat medis dan cara yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, biasanya karena alasan medis untuk menyelamatkan nyawa atau mengobati ibu. b) Aborsi provokatus kriminalis adalah pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan atau mengobati ibu, dilakukan oleh tenaga medis atau non medis yang tidak kompeten, serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Biasanya di dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. 45 Dari segi medis gambaran klinis adapun tahapan-tahapan aborsi spontan (keguguran) adalah sebagai berikut: a. Aborsi iminens, yaitu terjadi pendarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan, hal ini dapat mengancam adanya aborsi, di mana janin sendiri belum terlepas dari rahim (abortus tingkat permulaan). Keadaan seperti ini masih dapat diselamatkan dengan pemberian obat hormonal serta istirahat total. b. Aborsi insipiens, yaitu aborsi yang sedang berlangsung, di mana terjadi pendarahan yang banyak disertai janin yang terlepas dari rahim. Jenis seperti ini biasanya janin tidak dapat lagi diselamatkan. c. Aborsi inkomplitus, yaitu sudah terjadi pembukaan rahim, janin sudah terlepas dan keluar dari dalam rahim, namun masih ada sisa plasenta yang menempel dalam rahim, dan menimbulkan pedarahan yang banyak, akhirnya plasenta benar-benar keluar dari rahim. Pengobatannya harus dilakukan kuretase untuk mengeluarkan sisa plasenta ini. d. Aborsi komplitus, yaitu aborsi di mana janin dan plasenta sudah keluar secara lengkap dari dalam rahim, walaupun masih ada sisa-sisa pendarahan yang kadang masih memerlukan tindakan kuretase untuk membersihkannya. e. Aborsi servikalis, yaitu pengeluaran hasil konsepsi terhalang oleh os uteri eksternum yang tidak membuka, sehingga mengumpul di dalam kanalis servikalis (rongga serviks) dan uterus membesar, membentuk bundar, dan dindingnya menipis. f. Missed abortion, yaitu abortus dimana fetus atau embrio telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu, akan tetapi hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu atau lebih. g. Abortus habitualis (keguguran berulang) adalah keadaan terjadinya abortus tiga kali berturut-turut atau lebih. h. Abortus infeksiosa, adalah abortus yang disertai infeksi genital. 45 Syahrul Machmud, Op.cit, h. 368. 28 i. Abortus septik adalah abortus yang disertai infeksi berat dengan penyebaran kuman ataupun toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritonium. 46 Dari uraian jenis-jenis aborsi tersebut, dapat dilihat bahwa pada Aborsi spontan (abortus spontaneous), kehilangan janin terjadi secara tidak sengaja atau tanpa intervensi dari luar yang biasanya dialami saat usia kehamilan masih muda. Berhentinya kehamilan tersebut diakibatkan oleh sebab-sebab yang memang di luar keinginan seseorang atau dengan kata lain merupakan suatu kejadian alami, sehingga tidak menimbulkan masalah etika dan hukum. 47 Keguguran dapat ditandai oleh terjadinya pendarahan yang hebat dari vagina dan mungkin membutuhkan pertolongan secara medis. 48 Sedangkan, dalam aborsi sengaja (abortus provocatus) berakhirnya kehamilan karena adanya intervensi dari luar. Artinya, ada unsur kesengajaan, karena itu menimbulkan masalah etika dan hukum. 49 Dalam abortus provocatus, penghentian kehamilan dilakukan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Kata “alasan tertentu” disini akan membagi abortus provocatus tersebut menjadi 2 (dua) jenis, yaitu abortus provocatus therapeuticus (medicinalis) yang didorong oleh alasan medis, misalnya untuk menyelamatkan nyawa perempuan tersebut, dan abortus provocatus criminalis yang memang ditujukan untuk alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum. 50 Berikut ini merupakan jenis-jenis abortus provocatus: 46 Syahrul Machmud, Op.cit, h. 369. 47 Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Op.cit, h. 61. 48 Boyke Dian Nugraha, Loc.cit. 49 Marcel Seran dan Anna Maria Wahyu Setyowati, Loc.cit. 50 Syahrul Machmud, Op.cit, h. 367. 29 a. Abortus provocatus therapeuticus/medicinalis merupakan pengguguran anak dalam kandungan yang dilakukan secara sengaja (adanya campur tangan manusia) dengan tujuan untuk menyelamatkan nyawa ibunya. 51 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pada dasarnya abortus provocatus therapeuticus adalah jenis pengguguran kandungan (aborsi) yang sengaja dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk menyelamatkan jiwa perempuan yang mengandung. Aborsi ini dilakukan berdasarkan pertimbangan medik dalam ilmu kedokteran. b. Abortus provocatus criminalis merupakan pengguguran anak dalam kandungan yang dilakukan secara sengaja (adanya campur tangan manusia) dengan tujuan kejahatan. 52 Mengenai hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam abortus provocatus criminalis, penghentian kehamilan dilakukan tanpa memperhitungkan umur bayi dalam kandungan. 2.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Aborsi Hukum telah mengatur pelarangan aborsi kecuali atas indikasi medis, meskipun banyak negara melegalkan aborsi. Ada pro dan kontra berkait dengan masalah ini antara lain Kaum Pro Choice (kaum yang setuju pada aborsi). a. Janin merupakan cetak biru yang tidak memiliki nilai yang sama dengan manusia dewasa yang telah dilahirkan. b. Menelantarkan anak jauh lebih berat akibat sosial dan budaya daripada dilakukan terminasi saat si ibu tidak siap menghadapi kehamilannya. c. Mengendalikan kelahiran dapat ikut membantu mengendalikan populasi dunia. 51 M. Marwan dan Jimmy P., Loc.cit. 52 M. Marwan dan Jimmy P., Loc.cit. 30 d. Membiarkan aborsi ilegal yang dilakukan secara diam-diam oleh seorang yang tidak punya keahlian lebih buruk dan berbahaya daripada memberikan kebebasan aborsi dengan mensyaratkan dokter ahli sebagai pelaksananya. Alasan ini dikemukakan dengan alasan bahwa aborsi yang dilakukan diamdiam menelan lebih banyak korban dan tanpa pertanggungjawaban baik secara hukum maupun medis, karena kedua belah pihak tentu tidak akan melaporkan kejadian tersebut. e. Resiko yang dihadapi ibu yang melakukan aborsi hanya sama dengan resiko seorang pasien mencabut gigi jika ditangani oleh ahlinya. 53 Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mendorong seseorang melakukan aborsi: a. b. c. d. e. f. g. Kondisi usia masih muda atau menurutnya belum layak memiliki anak. Malu diketahui oleh orang tua atau keluarga dan masyarakat. Pria yang menghamilinya tidak bertanggung jawab (kabur). Masih sekolah. Kondisi ekonomi yang tidak mencukupi. Janin yang dikandung dari kasus perkosaan. Dorongan dari keluarga.54 Selain faktor-faktor di atas, terdapat juga beberapa faktor penyebab terjadinya aborsi, yaitu sebagai berikut: a. Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami istri yang sudah tidak mau menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang kontasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal. b. Faktor kesehatan, adanya penyakit herediter, ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan mendapatkan kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik. c. Faktor psikologis, di mana pada para perempuan korban perkosaan yang hamil harus menanggung akibatnya. Dapat juga menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah tangganya. d. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih belum dewasa dan matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus membangun suatu keluarga yang prematur. e. Faktor penyakit ibu, seperti: 53 Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, h. 274. 54 Mien Rukmini, Op.cit., h. 18. 31 1) Dalam perjalanan kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau eklampsia yang mengancam nyawa ibu. 2) Demikian juga faktor kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, kelainan inilah yang paling umum menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum umur kehamilan 8 minggu. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan ini antara lain : kelainan kromoson/genetik, lingkungan tempat menempelnya hasil pembuahan yang tidak bagus atau kurang sempurna dan pengaruh zat-zat yang berbahaya bagi janin seperti radiasi, obat-obatan, tembakau, alkohol dan infeksi virus. 3) Faktor yang lain kelainan pada plasenta. Kelainan ini bisa gangguan sirkulasi plasenta akibat ibu menderita suatu penyakit, atau kelainan pembentukan plasenta. 4) Ibu menderita penyakit berat seperti infeksi yang disertai demam tinggi, penyakit jantung atau paru yang kronik, keracunan, mengalami kekurangan vitamin berat, dan lain-lain. 5) Kelainan yang terjadi pada organ kelamin ibu seperti gangguan pada mulut rahim, kelainan bentuk rahim terutama rahim yang lengkungannya ke belakang (secara umum rahim melengkung ke depan), mioma uteri, dan kelainan bawaan pada rahim. 6) Antagonis Rhesus ibu yang merusak darah janin. f. Faktor kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy), seperti kehamilan di luar nikah, kehamilan akibat perkosaan atau hubungan incest, kehamilan akibat kegagalan kontrasepsi, dan sebagainya. 55 Berdasarkan faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa aborsi dapat terjadi disebabkan oleh faktor intern dan ekstern dari perempuan hamil. Faktor intern yang timbul atau datang dari keadaan-keadaan si ibu hamil sendiri baik, misalnya disebabkan oleh faktor usia yang terlalu muda untuk melahirkan. Selain itu, aborsi dapat pula terjadi disebabkan oleh adanya penyakit dalam diri si ibu hamil maupun kesehatan bayi yang buruk dalam kandungan. Apabila kehamilan diteruskan, akan menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan si ibu hamil sendiri maupun bayi yang ada di dalam kandungan tersebut. 55 Syahrul Machmud, Op.cit., h. 373. 32 Di samping faktor-faktor intern tersebut, juga terdapat faktor-faktor ekstern yang merupakan faktor-faktor yang timbul dari keadaan-keadaan di luar si ibu hamil tersebut, sehingga aborsi menjadi pilihan untuk dilakukan. Faktor ekstern ini misalnya faktor kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy). Kehamilan yang tidak diinginkan tersebut biasanya terjadi karena ketidaksiapan pasangan untuk mempunyai anak maupun karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak diinginkan oleh si perempuan, misalnya kehamilan akibat perkosaan incest. 2.4. Tindak Pidana Perkosaan 2.4.1. Pengertian Perkosaan Kata perkosa (to rape) adalah kata kerja, yaitu intinya tentang perbuatan hubungan seksual disertai dengan pemaksaan dan yang diperkosa tidak menghendaki perbuatan itu dilakukan.56 Perkosaan adalah tindak kejahatan secara fisik terhadap orang lain. Perkosaan biasanya dilakukan oleh laki-laki, yang berusaha melakukan hubungan seksual dengan orang lain, biasanya terhadap seorang perempuan dan bertentangan dengan kehendak korbannya. Kontak seksual mungkin dengan memasukkan penis ke dalam vagina, dubur, atau mulut, ejakulasi pada daerah 56 Wila Chandrawila Supriadi, Loc.cit. 33 vagina atau tempat lain pada tubuh, atau memaksa korban melakukan bentukbentuk aktivitas seksual lainnya. 57 Menurut Kamus Hukum, yang dimaksud dengan perkosaan adalah melakukan kekerasan dan dengan ancaman memaksa seseorang perempuan di luar perkawinan bersetubuh dengan dia. 58 Sedangkan, menurut Wirdjono Prodjodikoro, perkosaan adalah: “Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.59 Dari beberapa pengertian perkosaan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perkosaan adalah seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengannya. 2.4.2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perkosaan Tindak pidana perkosaan atau verkrachting diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” 57 Boyke Dian Nugraha, Op.cit, h. 217. 58 M. Marwan dan Jimmy P., Op.cit, h. 507. 59 Wirdjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, (selanjutnya disingkat Wirdjono Prodjodikoro III), h. 117. 34 Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP hanya mempunyai unsur-unsur obyektif, masing-masing yakni: a. b. c. d. e. f. g. Barangsiapa Dengan kekerasan atau Dengan ancaman akan memakai kekerasan Memaksa Seorang wanita Mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan Dengan dirinya. 60 Walaupun dalam perumusannya tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Dengan demikian perkosaan dalam hal ini termasuk perbuatan pidana karena perkosaan itu sendiri merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undangundang dan dapat diancam dengan pidana. Berikut ini merupakan unsur-unsur tindak pidana perkosaan. a. Barangsiapa Menurut Abdul wahid, “Yang dimaksud dengan barangsiapa atau subjek tindak pidana adalah orang atau manusia.”61 Unsur barang siapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana 60 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang I), h. 97. 61 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 110. 35 sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana perkosaan. b. Dengan kekerasan Menurut R. Soesilo yang dikutip dalam buku karangan Adami Chazawi, memberikan arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. 62 Sedangkan, menurut M. H. Tirtaamidjaja yang dikutip dalam buku karangan Leden Marpaung, yang dimaksud “dengan kekerasan” adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat.63 Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan, para hakim dalam prakteknya memberikan pengertian mengenai kekerasan dengan merujuk pada Pasal 89 KUHP yang menyebutkan bahwa “membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. c. Dengan ancaman kekerasan Menurut Adami Chazawi, yang dimaksud dengan ancaman kekerasan, yaitu: “Ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian 62 Adami Chazawi, 2007, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi II), h. 64. 63 Leden Marpaung, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakata, (selanjutnya disingkat Leden Marpaung II), h. 52. 36 bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.”64 Mengenai unsur dengan ancaman kekerasan ini, Abdul Wahid berpendapat bahwa: “Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan, tapi yang menyebabkan orang yang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan”.65 Sedangkan, menurut Hoge Raad yang dikutip dalam buku karangan P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, mensyaratkan mengenai ancaman akan kekerasan tersebut dalam arrest-arrest-nya, yakni: a. Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya; b. Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.66 Mengancam akan memakai kekerasan dalam hal ini harus diartikan sebagai suatu ancaman, apabila orang yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengannya, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam tersebut. 64 Adami Chazawi II, Op.cit, h. 65. 65 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.cit, h. 111. 66 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang I, Op.cit, h. 99. 37 d. Memaksa Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) disini adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. 67 Mengenai unsur memaksa tersebut, Satochid Kartanegara yang dikutip dalam buku karangan Leden Marpaung, mengemukakan pendapatnya bahwa “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.” 68 Perbuatan memaksa ini dapat dilakukan baik dengan perbuatan maupun dengan ucapan. Unsur memaksa disini merupakan unsur terpenting dalam hal terjadinya tindak pidana perkosaan, karena perbuatan yang membuat perempuan menjadi terpaksa melakukan persetubuhan dengan seseorang, hanya dapat dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga perempuan tersebut berada dalam keadaan yang membuat dirinya terpaksa melakukan perbuatan yang sama sekali tidak diinginkannya. Jika persetubuhan tersebut dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan atas dasar suka sama suka, maka tindak pidana perkosaan tidak terpenuhi. e. Wanita (di luar perkawinan) Mengenai unsur wanita ini, perlu diketahui bahwa bagi kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai wanita, adapun yang 67 Adami Chazawi II, Op.cit, h. 63. 68 Leden Marpaung II, Loc.cit. 38 dimaksud wanita dalam Pasal 285 KUHP, ialah wanita pada umumnya. 69 Ditentukannya unsur wanita dalam tindak pidana perkosaan ini, mengakibatkan apabila seorang laki-laki memaksa seorang yang sama jenis kelamin dengannya untuk bersetubuh, maka unsur tindak pidana perkosaan tidaklah terpenuhi. Apabila merujuk pada beberapa pengertian perkosaan, salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah unsur yang dipaksa bersetubuh adalah wanita di luar perkawinan dengan pelaku. Dari adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa: 1) Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita; 2) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki atau wanita terhadap wanita; 3) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban. Atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap isteri (maritaal rape).70 f. Bersetubuh di luar Perkawinan Menurut M.H. Tirtaamidjaja yang dikutip dalam buku karangan Leden Marpaung, pengertian bersetubuh mengandung arti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Tidak perlu bahwa telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.71 Menurut Van Bemmelen dan Van Hattum yang dikutip dalam buku karangan P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang menyatakan bahwa: “Met Noyon-Langemeijer ben ik van oordeel dat ejaculatio seminis niet vereist is voor vleselijke gemeenschap. Het brengen van het mannelijk, geslachtsdeel in het vrouwelijke is voldoende.” 69 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang I, Op.cit, h. 101. 70 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.cit, h. 112. 71 Leden Marpaung II, Op.cit, h. 53. 39 Artinya : “Saya berpendapat dengan Noyon-Langemeijer bahwa bagi adanya suatu perbuatan mengadakan hubungan kelamin itu tidak disyaratkan telah terjadinya suatu “ejaculatio seminis” melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya ke dalam vagina seorang perempuan.” 72 Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP merupakan delik materiil, yang baru dapat dipandang sebagai telah selesai dilakukan oleh pelaku jika akibat perbuatan telah terjadi. Apabila pelaku ternyata tidak berhasil memasukkan penisnya ke dalam vagina korban. Sedangkan unsur di luar perkawinan mengandung makna bahwa setiap perbuatan mengadakan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang dilakukan dalam perkawinan, tidak akan pernah merupakan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan sepanjang perkawinan yang dilakukan adalah perkawinan yang sah. 2.4.3. Ciri-ciri Korban Perkosaan Menurut Arif Gosita, beberapa hal yang berkaitan dengan ciri korban perkosaan yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut: a. Lemah mental 1) Kurang mampu berpikir, membuat penilaian, pemilihan secara tepat dalam menghadapi persoalan tertentu. Akibatnya mudah terbawa, tidak dapat menghindarkan dan mudah terperosok dalam kesulitan yang memungkinkan dirinya diperkosa. Kekurangan ini antara lain disebabkan oleh kurangnya pendidikan, pembinaan dan/atau karena kurang sempurnanya daya berpikir (kelainan). 2) Dihinggapi rasa takut untuk melawan. b. Lemah Fisik 1) Kurang mampu melawan karena tubuhnya. 72 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang I, Op.cit, h. 102. 40 2) Kurang mampu melawan karena tidak mempunyai keterampilan membela diri. 3) Tidak mempunyai sarana untuk melindungi diri. 4) Mempunyai kecenderungan tertentu yang dapat menyebabkan perkosaan. c. Lemah Sosial 1) Termasuk golongan masyarakat yng kurang mampu secara ekonomis, finansial, yang tidak mampu melindungi diri sendiri. 2) Termasuk golongan musuh yang tidak mempunyai perlindungan. 73 Korban perkosaan selain mengalami penderitaan kekerasan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial. Misalnya mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, sehingga dikenal istilah korban ganda. 74 2.5. Incest Incest merupakan salah satu jenis gangguan seksual dalam Parafilia. Parafilia berasal dari kata “para” yang berarti penyimpangan pada apa yang membuat orang tertarik (philia). Mengacu pada sekelompok gangguan yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap obyek yang tidak biasa.75 Inses (Incest) yang menjadi salah satu jenis parafilia itu sendiri merupakan jenis perlakuan atau penyiksaan secara seksual yang melibatkan dua anggota keluarga dalam satu keluarga baik ayah, anak perempuan, ibu-anak lelaki, saudara 73 Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 340. 74 Ibid, h. 341. 75 Fitri Fausiah, Julianti Widury, 2005, Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, h. 61. 41 lelaki-saudara perempuan, kakek-cucu perempuan. 76 Berikut ini merupakan beberapa pengertian mengenai incest : Inses dalam Kamus Hukum diartikan sebagai perkawinan atau hubungan seksual yang dilakukan oleh dua orang yang bersaudara dekat (sedarah). 77 Menurut Kartini Kartono, incest adalah hubungan seks diantara pria dan wanita di dalam atau diluar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dalam hubungan kekerabatan atau keturunan yang yang dekat sekali. 78 Sedangkan, menurut Nina Surtiretna, incest atau inses adalah hubungan seks antara seseorang dengan keluarga sedarah atau orang-orang yang tidak sah menikah, baik adik atau kakak kandung, bibi, paman bahkan ibu atau ayah sendiri (baik kandung maupun tiri). 79 Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa incest merupakan hubungan seksual yang terjadi di antara kerabat atau saudara dekat yang masih dihubungkan oleh pertalian darah (sedarah). Inses dalam hal ini mengacu pada hubungan seksual antara keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah antara ayah dengan anak perempuan. Bukti menunjukkan, struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak biasa dan tradisional, terutama 76 Boyke Dian Nugraha, Op.cit, h. 228. 77 M. Marwan dan Jimmy, Op.cit, h. 288. 78 Kartini Kartono, 2009, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Mandar Maju, Jakarta, h. 255. 79 Nina Surtiretna, 1997, Bimbingan Seks Bagi Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 71. 42 dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. 80 Incest itu sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu incest yang sifatnya sukarela atau suka sama suka dan ada yang bersifat paksaan (perkosaan). Menurut Lustig yang dikutip dalam buku karangan Sawitri Supardi Sadarjoen, menyatakan bahwa terdapat lima kondisi gangguan keluarga yang memungkinkan terjadinya incest, yaitu: a. Keadaan terjepit, dimana anak perempuan menjadi figur perempuan utama yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu. b. Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan seksualnya. c. Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah karena kebutuhan untuk mempertahankan façade kestabilan sifat patriachatnya. d. Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali. e. Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan peranan seksual sebagai istri.81 Jenis-jenis incest berdasarkan penyebabnya adalah: a. Incest yang terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki perempuan remaja yang tidur sekamar, bisa tergoda melakukan eksperimentasi seksual sampai terjadi incest. b. Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini biasa terjadi antara ayah yang alkoholik atau psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya adalah kendornya kontrol diri akibat alkohol atau psikopati sang ayah. c. Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli anakanak perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri. d. Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senang melakukan incest karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang sama dengan kakak atau adik perempuannya. e. Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak harmonis. Seorang suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi serba 80 Fitri Fausiah dan Julianti Widury, Op.cit, h. 62. 81 Sawitri Supardi Sadarjoen, 2005. Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika Aditama, Bandung, h. 74-75. 43 mendominasi dari istrinya bias terpojok melakukan incest dengan anak perempuannya. 82 Incest apabila dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak di bawah umur akan dianggap sebagai bentuk pelecehan seksual terhadap anak. Mengenai tindak pidana incest itu sendiri, oleh KUHP diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Incest oleh orang tua terhadap anaknya juga dapat terjadi karena adanya perlakuan fisik yang mesra dan kurang tepat atau berlebihan dengan anak remaja mereka, seperti meraba-raba, mengusap-usap, memeluk, mencium, menggelitik, menjepit, bergelut, memukul pantat, bergulat (terutama antara ayah dengan anak perempuannya), meringkuk atau menyelip di atas tempat tidur dalam waktu yang lama, dan kegiatan lain yang sama seperti itu. 83 Hal tersebut jika dilakukan dengan berlebihan, maka akan tinggi pula kemungkinan adanya ketertarikan secara seksual yang dapat mengakibatkan terjadinya incest itu sendiri. Sebagai perkosaan, incest adalah salah satu bentuk tindakan kekerasan seksual yang paling dikutuk karena menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi korbannya. Perbuatan incest ini disebut pula sebagai peristiwa “penodaan darah”. 82 Abd. Kadir, 2012, Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Incest Dengan Korban Anak, Skripsi, Makassar, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, h. 38. 83 Boyke Dian Nugraha, Op.cit, h. 230. 44 Produk tingkah laku incest ini seringkali melahirkan anak-anak yang cacat jasmaniah dan rokhaniahnya.84 Berdasarkan ilmu medis, dua orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan memang mempunyai risiko 1,7–2,8 % untuk mempunyai keturunan yang mengalami kelainan genetik. Hal ini disebabkan, dua orang yang masih memiliki kedekatan relasi darah memiliki hubungan genetik yang hampir sama. Dua genetik yang hampir sama ini juga berarti memiliki kelebihan yang hampir sama atau sama dan kekurangan yang hampir sama atau sama. Kekurangan yang sama tersebut dapat memperbesar kemungkinan terjadinya kelainan genetik pada keturunannya. 85 84 Kartini Kartono, Op.cit, h. 256. Redaksi Klik Dokter, 2013, “Perkawinan Incest”, available from : URL : http://www.klikdokter.com/tanyadokter/read/2013/05/16/20978/perkawinan-incest, (cited 19 Juni 2013). 85 45