BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membicarakan seksualitas pada saat ini, bukanlah lagi sesuatu yang ditabukan. Pikiran lawas tentang “menutup-nutupi” pembahasan seksualitas, oleh banyak kalangan cenderung dikatakan sebagai sesuatu hal yang tidak mendidik. Dalam masyarakat yang terbuka seperti hari ini, mendorong banyak kalangan untuk membahasnya. Pembahasan seksualitas tidak hanya bicara tentang struktur biologis saja, melainkan juga hubungannya secara sosial. Sehingga lebih baik jika sinergi berbagai ilmu untuk membahas seksualitas lebih penting daripada sekedar menentukan siapa yang berhak membahas tema seksualitas. Secara sosiologis seksualitas akan dibahas sesuai dengan porsinya sebagai bagian dari perilaku masyarakat dan hubungan-hubungan yang terjadi. Namun kita tidak bisa juga menghindarkan aspek lain yang berada dalam diri individu tersebut. Penulis melakukan penelitian tentang Incest (persetubuhan antara ayah dengan anak kandung) dikaitkan dengan stuktur-struktur yang melingkupinya. Bagi sebagian banyak orang hal ini tentunya “menggegerkan”, karena selalu diasosiasikan sebagai tindakan yang a moral, karena tidak sesuai dengan moralitas yang ada di Indonesia. Tatanan sosial mengenai tak diterimanya incest di Indonesia bukan hanya muncul melalu mitos dalam folkore saja yang sejak dahulu kala telah diceritakan secara berulang-ulang. Seperti yang sering kita dengar, cerita rakyat Terjadinya Tangkuban Parahu misalnya. Pada masa kini, nampak terasa juga melalui pemberitaan-pemberitaan yang diproduksi oleh media massa dalam memposisikan diri mereka untuk melihat fakta adanya incest di sekitar. Media massa (koran, TV,radio,dll) memiliki peranan penting juga untuk mereproduksi discourse tentang gejala seksual “tak wajar”. Misalnya, berita yang dibuat oleh Espos.com tanggal 04 Februari 2011, dikalimat pembuka berita tersebut menyatakan, “Perilaku bejat dilakukan seorang ayah terhadap anak kandungnya yang terbilang masih dibawah umur” (Espos.com,04/2/2011) Dari kalimat awal kita sudah langsung melihat dikotomisasi aktor, yaitu pelaku dan korban. Pelaku adalah ayah dan korban adalah anak kandung. Laul bandingkan dengan berita yang ada di detikNews tanggal 20 Juni 2014, “MRS (16), remaja asal Deli Serdang, Sumatera Utara (SUMUT), sempat dua kali menyetubuhi ibu kandungnya. Ternyata, sang ibu juga menikmatinya….. Warga sekitar rumah pelaku resah. Mereka meminta si anak jangan lagi kembali ke kampung, namun sang ibu tidak apa-apa tetap disanan.” (detik.com, 20/6/2014). Kita melihat ada kebingungan oleh sosial dalam menentukan antara pelaku dengan korban. Laki-laki ditempatkan pada posisi pembuat represi (pelaku) dan perempuan yang direpresi (korban). Perlu jadi catatan, bahwa pnelitian ini bukan sedang mengarahkan terhadap isu-isu maskulinitas atau feminisme, yang nantinya hanya akan menjebak diri pada justifikasi yang semena-mena seperti yang muncul pada dua contoh diatas. Namun penelitian ini akan lebih mengarah pada bahasa yang menyelubungi tiap-tiap tindakan seksual itu. Media sangat mudah memberikan analisis (penulis tidak sedang mengatakan analisis mereka dangkal) yang mengakibatkan orang yang membaca beritanya mudah terhanyut dan akhirnya menentukan posisi pandang dalam menanggapi sesuatu. Dalam kasus incest diatas, orang yang membaca berita sebagian besar pasti akan geram terhadap “pelaku” yang memiliki orientasi seksual “tak wajar” dalam struktur sosial mereka. Kemudian bukan hanya dalam masyarakat yang memiliki tatanan sosial tak tertulis saja membincangkan incest sebagai sebuah pelarangan. Struktur-struktur lain yang akrab bagi kehidupan manusia sehari-hari seperti agama dan hukum yang memiliki tatanan sosial yang tertulispun juga ikut membicarakan hal ini. Islam sebagai mayoritas agama yang ada di Indonesia dan diwilayah Aran Pandang pada khususnya menjadi rujukan bagi penulis dalam mengkaji hal ini. Kehadiran agama tak bisa di hindarkan dalam perkembangan individu, karena di Indonesia sendiri mengakui bahwa kehidupan bermasyarakatnya berbasis pula pada agama (ketuhanan). Agama juga memiliki peran penting dalam menuntun masyarakat menjadi “beradab” sesuai dengan ajaran-ajarannya. Baik secara langsung maupun tidak juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat Indonesia dalam memandang sesuatu. Dalam konteks incest, Islam mengharamkan dan memberikan hukuman bagi pelaku Incest, seperti yang ada pada kitab sucinya. Hal ini ditegaskan pada Surat An-Nisa ayat 22-23, yang menyatakan hubungan seksual dengan ikatan darah yang sama merupakan sesuatu yang haram hukumnya, dan haram merupakan dosa. Incest dalam agama dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak baik dan menimbulkan keburukan bagi individu dan masyarakatnya. Maka dari itu agama menyarankan dalam melumpuhkan hasrat seksual hewani tersebut melalui suatu sistem pertalian yang dianggap sakral seperti melalui pernikahan. Dalam ranah hukum, incest antara ayah dengan anak kandung ini diproses secara pidana melalui berbagai pasal yang telah ditetapkan. Pasal-pasal tersebut berisi mengenai perkosaan, persetubuhan, dan perzinahan seperti dalam Pasal 284 (1) KUHP, Pasal 285 KUHP, Pasal,286 KUHP, Pasal 287 (1) KUHP, Pasal 289 KUHP, pasal 290 KUHP, Pasal 294 (1) KUHP serta dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak dan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga. Tentunya semua produk hukum tersebut sangat strict sifatnya pada masyarakat, dengan harapan produk hukum tersebut dapat menimbulkan rasa takut masyarakat untuk melanggar dan menjalani kehidupan sesuai dengan adab yang berlaku di Negara ini. Penjara akan menanti bagi tiap individu jika melanggar nilai-nilai hukum tersebut. Kita bisa melihat bahwa sebenarnya dimana posisi tatanan sosial masyarakat di Indonesia menanggapi permasalahan seksual “tak wajar” ini. Peradaban masyarakat di Indonesia melakukan penolakan terhadap aktivitas seksual semacam itu, seperti dapat dilihat diatas, ada norma sosial, hukum, agama, hingga media massa membicarakan tentang penolakannya terhadap aktivitas seksual ini. Sekuat tenaga mereka membuat discourse untuk menghalangi hasrat seksual yang dianggap mereka “brutal”. Pada akhirnya mereka harus melakukan berbagai cara untuk membelokan hasrat seksual itu. Melalui berbagai pembelokan tersebut kita bisa merasakan bahwa peradaban telah melakukan berbagai upaya pembelokan baik yang bersifat represif seperti hukuman pengasingan (penjara, pengusiran, dsb) maupun non-represif seperti dengan membelokkannya kearah kerja. Kembali pada melihat individu sebagai subjek yang terhalang (direpresi) oleh tatanan moral, nilai, ataupun norma. Insting seksuil dilemahkan atas nama peradaban, yang menginginkan ketertiban yang dinikmati secara „bersama”. Hasrat seksual dibelokkan menjadi hasrat-hasrat lain yang tidak menyentuh hasrat seksual itu sendiri. Hal ini disebut apa yang dinamakan sebagai sublimasi. Sublimasi adalah insting-insting yang harus didorong untuk merubah kondisi pemuasan seksual, lalu mencari kepuasan melalui jalan lai n, dapat diarahkan pada kegiatan kegiatan ilmah, artistik, dan ideologis agar dapat memainkan peranan di kehidupan beradab (Freud, 2007:59). Merujuk pada bukunya Cinta dan Peradaban (Marcuse, 2004) yang mengikuti pemikiran Freud, menyoal juga masalah seksualitas. Perlu ditegaskan kembali bahwa manusia saat ini berada dalam peradaban dimana mereka hidup se”cara” bersama (disebut dengan masyarakat) yang memiliki seperangkat pembatasan-pembatasan kesenangan individu, kehidupan manusia dimanapun termasuk di ranjang telah dimasuki semangatsemangat Ketuhanan dan hukum moral. Marcuse menawarkan tentang manusia yang harus menjadi tujuannya sendiri bukan hanya menjadi sarana, namun diakuinya bahwa ideologi hanya akan berlaku pada taraf individu, tidak akan efektif dalam fungsi-fungsi sosial dan ranah kerja (2004:257). Tersirat dari penyataan Marcuse bahwa individu akan berhasil dengan pembebasan seksualnya walaupun harus dengan cara melawan semangat Ketuhanan dan hukum moral, dan gagal jika itu dilaksanakan secara masiv karena akan mengantarkan pada kehancuran peradaban. Peradaban melalui produknya (kebudayaan) membuat modifikasi atas pemuasan seksual menjadi kerja dengan tidak membelokkan hakikat pemuasan seksual itu sendiri. Dengan ini konsep desublimasi (sublimasi non-represi) oleh Marcuse muncul dimana tujuan seksualitas tidak dibelokkan maupun ditahan , dalam mencapai tujuannya seksualitas mentransendensi diri menuju seksualitas yang lain, mencari pemuasan kebutuhan yang penuh (2004:270). Dalam hal ini berarti konsep kerja yang bersifat represif terhadap pemuasan seksual harus berubah menjadi konsep kerja yang “bermain” dimana akan keluar pula kesenangan-kesenangan primitif yang hidup tanpa tekanan. Rasa pesimis Marcuse tentang gerakan kebebasan, tentunya dapat dibenarkan. Individu yang kecil itu melawan sesuatu yang sangat besar (struktur dan tananan masyarakat) yang semua individu mengamini keberadaannya. Namun yang menarik terkait dengan kasus persetubuhan ayah dengan anak kandung. Kita melihat ada subjek yang bebas dan berhasil memerdekakan fantasi dan hasrat seksualnya. Ada “sesuatu yang besar” disana, namun ada perlawanan dari subjek Realitas sosial semacam ini tidaklah muncul begitu saja karena sebuah kondisi atau situasi tertentu. Banyak dari kita berargumentasi bahwa terjadinya persetubuhan ayah dengan anak kandung akibat adanya relasi kuasa yang muncul karena struktur masyarakat patriarkhis. Namun sepertinya relasi kuasa bisa jadi merupakan “cara” untuk mewujudkan fantasi dan hasrat seksual tersebut. Realitas sosial ini, dapat dikatakan berada dalam diri individu. Berada disebuah tempat yang tidak dapat dijangkau oleh moralitas yang telah ada dalam masyarakat. Individu menjadi subjek yang bebas sekaligus terhalang secara seksual. Individu sadar bahwa diri berada dalam sebuah lingkungan yang memiliki segenap aturan, namun lebih dalam dalam diri individu ada subjek yang terhalang secara seksualnya karena segenap aturan tersebut. Hingga banyak subjek yang enggan menunjukkan “pikiran tidak sadar” itu menjadi sebuah entitas yang dapat dilihat. Berbeda dengan kasus transeksual yang berani menunjukkan entitas seksualnya melalui cara berperilaku maupun berpakaiannya. Persetubuhan ayah dengan anak kandung ini, fantasi dan hasrat seksual lebih dalam dan lebih rapat tersimpan dalam diri subjek. Karena, ada hal-hal yang menghalangi dan bahkan memperbelokkannya kearah lain diluar tindakan seksual. Maka dari itu yang sebetulnya menjadi garis besar penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana fantasi dan hasrat seksual yang tersimpan bahkan direpresi habis-habisan ini dapat muncul ke permukaan sebagai suatu tindakan persetubuhan yang dalam masyarakat dianggap sebagai ketabuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku seksual yang dianggap selama ini oleh kebanyakan masyarakat sebagai patologi adalah merupakan sebuah paradoks atas ketetapan moral yang merepresi dan menjadi belenggu fantasi dan hasrat tidak sadar mereka. Hingga pada suatu kesempatan ketika ketetapan moral yang menjadi jerat rantai atas kesadaran manusia lengah, fantasi dan hasrat seksual yang tak sadar keluar merayakan kebebasannya. B. Rumusan Masalah Persetubuhan antara ayah dengan anak kandung dianggap sebagai suatu perilaku yang menyimpang. Namun perilaku itu ada sebagai sebuah realitas sosial yang berkelindan dengan ketetapan moral di masyarakat. Segala bentuk represi dilakukan seperti dengan hukuman sosial maupun penjara, namun bisa jadi yang dipenjara adalah tubuh sedangkan hasrat seksual masih liar dalam diri individu. Bagaimanakah hasrat seksual pada diri ayah pelaku tindakan incest tersebut dapat muncul, sementara perangkat struktur membatasi atau bahkan menolak itu? Kedua, bagaimanakah tindakan tersebut dibahasakan oleh struktur yang berlaku di masyarakat? Ketiga, bagaimanakah ayah pelaku incest mendefinisikan dirinya pada saat terjadi persetubuhan itu? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui munculnya hasrat seksual disaat struktur disekitarnya sedang membelenggu. Selain itu penelitian ini ingin menunjukkan bahwa persoalan incest bukan hanya berada di wilayah perilaku individual saja, melainkan juga merupakan perilaku sosial dan psikologis. Penelitian ini juga bertujuan sebagai awalan untuk mendorong adanya penelitian-penelitian sejenis, baik dibidang psikologi, sosiologi, maupun bidang-bidang ilmu yang lainnya. D. Manfaat Penelitian Melalui tulisan ini penulis berharap dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai permasalahan incest yang terjadi diwilayah Aran Pandang, terkait pandangan masyarakat secara keseluruhan (termasuk agama) dan hukum positif terhadap hal ini. Selain itu juga dapat diketahui mengenai “makna” tersembunyi yang membuat seseorang melakukan hubungan seksual incest ditengah represi struktur disekitarnya. Terakhir tulisan ini diharapkan dapat membuka mata dan wawasan bukan hanya pada kajian ditingkat akademik, melainkan dapat digunakan oleh berbagai pihak terkait (penegak hukum, masyarakat, maupun agama) sebagai bahan pembacaan jika terdapat persoalan incest disuatu saat nanti. Bukan hanya persoalan incest sebenarnya yang menjadi fokus utama bagi pengembangan kajian seperti ini. Namun, dapat juga dikembangkan untuk melihat persoalan-persoalan lain terkait terjadinya pelanggaran subjek terhadap struktur disekitarnya. E. Kajian Pustaka 1. Incest Sebagai Dampak Dari Sistem Patriarki Sebenarnya cukup kesulitan pula dalam mencari literatur di dalam negeri yang membahas secara khusus menganai persoalan incest ini. Padahal seperti yang diketahui bahwa persoalan incest benar adanya dalam kehidupan sosial kita. Namun terdapat beberapa kajian penelitian dengan berbagai paradigma yang dapat dibaca untuk mendekatkan diri pada pembahasan mengenai incest yang terjadi di Indonesia. Salah satu literatur yang mendekati penelitian yang saya lakukan adalah tulisan dari Bagus Haryono dalam Jurnal Dilema yang berjudul “Kontruksi Sosial Penyebab Incest Di Indonesia Dan Dampak Yang Ditimbulkannya” 1. Tulisan ini membantu saya sebagai penulis dalam mengawali pendalaman untuk mengkaji struktur-struktur yang memberikanp pelarangan terhadap incest itu sendiri. Terlihat dalam tujuan penulisan, Bagus menyatakan jika dirinya ingin mengungkap bahwa penyebab terjadinya incest tak lepas dari kontruksi sosial yang bias gender. Selain itu juga tulisannya melegitimasi bahwa incest merupakan negasi atas moral yang memiliki dampak buruk didalam masyarakat, maka dari itu secara khusus Bagus ingin menyumbangkan tulisannya ini untuk mengembangkan kajian mengenai pembenahan terhadap kontruksi sosial yang keliru tersebut. Bagus melihat bahwa terdapat kontruksi-kontruksi sosial yang pada akhirnya dapat mendukung terjadinya kasus incest dapat terjadi di dalam masyarakat. Menurutnya konstruksi bahwa Incest adalah hal yang tabu untuk diperbincangkan karena takut dapat merusak citra keluarga, sebagai perbuatan aib yang harus dirahasiakan, merupakan urusan keluarga yang tidak perlu diketahui oleh orang lain, sebagai urusan privat, bukan urusan yang menyangkut masyarakat luas adalah yang menyebabkan incest sulit untuk dideteksi dan pada akhirnya tenggelam tak pernah diperbincangkan. Selain itu juga Bagus menggunakan pendekatan berbasis gender dalam melihat latar belakang terjadinya incest, tentunya dalam sudut pandang persoalan gender di Indonesia yang bias. Baginya terdapat pemahaman keliru di dalam masyarakat bahwa anak dan istri adalah milik ayah dan dapat diperlakukan sesukanya bahkan hingga hubungan seksual sekalipun. Berbagai dampak akibat terjadinya incest juga dijelaskan oleh Bagus secara tegas. Bagi ayah pelaku incest dengan melakukan hal tersebut maka dirinya akan kehilangan hak sebagai manusia yang hidup bermasyakat karena harus menuai akibat dari perbuatan yang 1 Haryono,Bagus. “Kontruksi Sosial Penyebab Incest Di Indonesia Dan Dampak Yang Ditimbulkannya”. Jurnal Sosiologi Dilema vol.20 Th. 2008 dilakukannya. Dampak bagi ayah pelaku adalah ketika dirinya dihukum penjara sehingga membatasi gerak-geriknya sebagai manusia. Selain itu fungsinya sebagai ayah yang mencari nafkah dan mengayomi keluarga menjadi hilang. Bagi istri akan menjadi kebingungan nantinya jika anak yang melakukan hubungan seksual dengan suaminya melahirkan seorang bayi. Istri lalu akaan kebingungan jika memanggil bayi yang dilahirkan oleh anak kandungnya. Bagi anak kandung, Bagus melihat juga dari sisi biologis yaitu rusaknya selaput dara dan hasil dari hubungan incest tersebut dapat mengakibatkan anak dari hubungan itu kemungkinan menjadi cacat. Dari hubungan seksual yang tidak dikehendaki itu dapat menyebabkan si anak kandung tersebut mengalami tekanan kejiwaan yang berkepanjangan. Pada intinya menurut Bagus, jika terjadi hubungan incest tersebut maka yang terjadi adalah rusaknya struktur keluarga dan fungsi-fungsi didalamnya juga akan hancur. Terakhir adalah dampak bagi masyarakat, bagi Bagus akan terjadi pergolakan didalamnya. Struktur masyarakatpun juga akan menjadi rusak, dimana lembaga perkawinan dipertanyakan efektivitasnya sebagai pengendali anggotanya. Kajian yang dilakukan oleh Bagus ini sangat jelas menentukan dimana posisinya dalam memahami incest. Bagus sepakat dengan struktur yang ada di masyarakat yang menganggap bahwa incest merupakan perbuatan yang dilarang dan harus dihentikan dengan berbagai dampak yang akan dihasilkan nantinya. Tersurat dalam tulisan Bagus ini, bahwa seakan struktur akan memiliki pola yang stabil dan terus menerus. Namun argumennya mengenai adanya kontruksi sosial yang keliru ini perlu dicatat sebagai kritik atas dirinya sendiri, hal ini menunjukkan jika struktur itu sebenarnya memiliki sistem yang tidak stabil sehingga suatu saat akan muncul penyimpangan-penyimpangan terhadapnya. Selanjutnya dari tulisan yang dibuat Bagus ini, mempersoalkan apa yang sudah terjadi dan tidak menilik pada tataran individual pelaku. Hal ini dimungkinkan karena sudut pandang yang diambil oleh Bagus adalah kajian Gender. Kajian ini selalu merujuk pada ketidakseimbangan antara kuasa laki-laki dan perempuan, sehingga tidak memperhatikan hal yang lebih penting yaitu apa yang menyebabkan pelaku melakukan hubungan seksual incest itu sendiri. 2. Incest Adalah Bentuk Kejahatan Berikutnya terdapat penelitian mengenai incest (hubungan sedarah) yang dilakukan di Aceh.2 Peneliti ini menggunakan pendekatan hukum sebagai landasan berpikirnya, dimana incest diasosiasikan sebagai bentuk dari kejahatan (kekerasan). Di Aceh khususnya di daerah Meulaboh, Pidie, dan Lhoksumawe terdapat total 38 kasus hubungan seksual sedarah yang terjadi diwilayah tersebut. dalam penelitian yang dilakukan oleh Elviana ini tidak secara rinci ditunjukkan bentuk hubungan yang semacam apa dari incest tersebut, namun melihat definisi konseptualnya sepertinya merujuk pada incest secara umum. Mengikuti Kempe dan Kempe, Elviana menunjukkan bahwa incest adalah sangat luas yaitu hubungan seksual antara anggota keluarga baik antara kakak dengan adik kandung/tiri, ayah dengan anak kandung/tiri, paman dengan keponakan atau ibu dengan anak kandung/tiri. sedangkan penelitian yang saya lakukan cukup menggali incest yang dilakukan oleh ayah dengan anak kandung saja. Namun hal ini cukup membantu dalam memberikan definisi tentang incest secara lebih luas. Menurut Elviana, terjadinya incest selalu dihubungkan dengan berbagai faktor yang langsung berkaitan dengan pelakunya. Ada beberapa faktor yang menurutnya dapat mendukung terjadinya incest. Pertama, Incest dapat terjadi karena faktor ekonomi keluarga yang buruk/lemah dengan fasilitas rumah yang terbatas. Kedua, faktor adanya peluang atau 2 Elviana, Dian (Skripsi). 2015. Kajian Tentang Kekerasan Seksual Yang Dilakukan Dalam Hubungan Sedarah (Incest): Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Meulaboh, Pengadilan Negeri Lhokseumawe dan Pengadilan Negeri Pidie). Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. kesempatan, dalam hal ini menurutnya karena persoalan waktu (timing) karena sebagian besar kejadian incest terjadi diwaktu kondisi rumah sedang sepi. Ketiga, faktor tidak terpenuhinya kebutuhan biologis pelaku yang tidak mampu ditahannya sehingga meniadakan hukum yang ada. Keempat, minimnya pengetahuan tentang agama, dimana pelaku tidak bisa membedakan mana perbuatan baik dan buruk. Dari keempat faktor yang diajukan oleh Elviana ini belakang merupakan pendapat yang populer di semua kalangan. Namun pendapat ini menjadi sangat riskan, karena dapat membangun ideologi bahwa orang miskin, ruang yang sepi, atau orang yang tidak beragama kuat adalah menjadi kandidat kuat untuk dianggap sebagai pelaku kejahatan seksual (mengikuti pemikiran Elvina). Hal ini yang dalam penelitian saya coba hindari sejak awal, bukan berarti memang tidak mungkin hal itu memang benar adanya. Namun dengan menempatkan diri di posisi yang netral di awal, maka selanjutnya kita bisa menggali secara lebih mendalam mengenai persoalan incest ini kepada pelakunya langsung tanpa intervensi ideologi yang seperti ini dari awal. Karena dalam penelitian yang saya lakukan tidak merujuk untuk mencari apa yang benar dan salah. Selanjutnya Elviana menjelaskan mengenai akibat dari tindakan incest terhadap korban. Disini Elviana memilih posisi berperspektif ke korban. Dimana dampak-dampak yang dihasilkan oleh hubungan incest sangat medikal sekali. Pertama, dapat menimbulkan gangguan psikologis dimana korban akan menjadi tertekan dan trauma atas kejadian incest yang dia alami. Kedua, dampak terhadap fisik karena dalam perjalanannya hubungan seksual incest dilakukan dengan diikuti kekerasan yang dilakukan oleh pelaku. Ketiga, Dampak pada kesehatan reproduksi yang diakibatkan oleh pengguguran kandungan karena malu untuk melahirkan bayi hasil incest. Keempat, dianggap sebagai pembawa aib/ petaka pada masyarakat (Gampong), masyarakat yang menganggap hubungan sedarah sebagai aib mendorong korban menjadi takut dicela dan akhirnya harus mengasingkan diri. Kelima, terhambanya pendidikan, seringkali pihak sekolah memilih tindakan mengeluarkan korban yang mungkinsedang hamil demi nama baik sekolahan. Keenam, membuat korban sering menyalahkan diri sendiri. Bagi Elviana diperlukan bentuk perlindungan yang holistik, baik dari segi hukum hingga proses pemulihan baik fisik dan psikologisnya. Kemudian korban tidak boleh berdekatan dengan orang-orang yang menyalahkannya karena akan cenderung menambha beban kepadanya. Selain itu untuk menyembuhkan dampak psikisnya maka korban juga membutuhkan bimbingan konseling dan untuk perlindungan secara hukum maka korban perlu didampingi pengacara selama proses persidangan maupun setelahnya agar selalu merasa nyaman dan aman. Membaca penelitian yang dilakukan oleh Elvina, hampir memiliki kesimpulan yang sama dengan Bagus sebelumnya. Dmana mengesankan bahwa korban incest adalah perempuan yangb kemudian menjadi lemah karena kasus itu. Lalu pelaku adalah laki -laki dimana memiliki superioritas baik secara fisik maupun wacananya didalam keluarga. Nmaun melalui penelitian ini kita melihat bahwa terdapat bahasa yang sama dalam memandang incest yaitu sebagai perbuatan yang terlarang. Sedangkan pelakunya adalah seorang penjahat . 3. Cerita-Cerita Rakyat (Legenda) mengenai Incest Di Indonesia. Tentunya bagi sebagian banyak orang Indonesia telah banyak mendengarkan folklore tentang terbentuknya Tangkuban Parahu di Jawa Barat, yang menceritakan hampir terjadinya incest antara Sangkuriang dengan ibu kandungnya Dayang Sumbi. 3 3 Dalam cerita rakyat diceritakan bahwa terdapat seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang yang jatuh cinta kepada Dayang Sumbi yang konon memiliki kecantikan yang abadi dan awet muda. Sangkuriang ingin meminang Dayang Sumbi untuk menjadi istrinya, hampir saja Dayang Sumbi menerima pinangan tersebut. Namun, keputusan itu langsung Sunda itu kita bisa melihat bahwa ada titik dimana “kesadaran” berhasil memenangkan pertarungan terhadap hasrat individu yang berada di tataran “ketidaksadaran” ketika Dayang Sumbi mengurungkan niatnya untuk menerima pinangan seorang pemuda tampan yang ternyata adalah anak kandungnya yang lama menghilang dan terkena amnesia. Terlihat juga bahwa hasrat itu ingin menolak segala bentuk tatanan sosial yang berlaku, dimana Sangkuriang tetap teguh ingin menikahi Dayang Sumbi, walaupun sudah diberitahu bahwa dia adalah ibu kandungnya sendiri. Hasrat itu diselubungi oleh cinta, sehingga memiliki kesan suci dan bersih. Tapi sebenarnya Dayang Sumbi tidaklah konsisten menanggapi gejolak hasratnya, hal ini dapat dilihat dengan perkawinannya dengan seekor anjing hutan (walaupun konon merupakan jelmaan dewa), padahal tatanan sosial melarang hubungan seksual terjadi antara hewan dengan manusia. Tapi hal itu bisa diakali dengan menyatakan bahwa anjing itu merupakan peliharaan, dan mungkin orang tidak akan mengurusinya karena itu merupakan urusan rumah masing-masing. Begitu pula dengan pengalihan hasrat seksuil, Dayang Sumbi memberikan syarat pekerjaan yang berat kepada Sangkuriang dan berharap dia gagal meluapkan hasratnya, dan hasrat seksuil itu berubah menjadi hasrat bekerja. Melalui cerita rakyat ini yang tentunya banyak diketahui oleh seluruh masyarakat di saja berubah ketika mengetahui dan sadar bahwa Sangkuriang adalah anak kandungnya yang dahulu menghilang setelah diusirnya sewaktu kecil karena membunuh anjing yang merupakan jelmaan suaminya. Sangkuriang kini berubah menjadi pemuda tampan dan gagah sehingga Dayang Sumbi sempat tertarik juga. Dayang Sumbi ingin menolak pinangan Sangkuriang dengan cara yang halus, karena dia tidak mau juga diketahui secara langsung oleh sangkuriang bahwa dia adalah ibunya (mungkin hal ini karena rasa bersalah yang muncul karena mengusir Sangkuriang saat kecil). Dayang Sumbi membuat persyaratan yang tidak masuk akal yaitu menyuruh Sangkuriang untuk membuat sebuah danau dan perahu pada waktu satu malam saja. Sangkuriang menyanggupi syarat itu, dan mulai memulai pekerjaannya dengan kesaktian dan bantuan dari banyak makhluk halus. Dayang Sumbi menjadi panik ketika belum sampai fajar datang pekerjaan itu hampir selesai, sehingga dia harus mencari cara agar Sangkuriang gagal menyelesaikan pekerjaannya. Dengan bantuan masyrakat desa terdekat, Dayang Sumbi membuat suasana seakan-akan sudah pagi yang ditandai dengan langit-langit yang kemerah merahan dan ayam yang sudah mulai berkokok. Sangkuriang tahu bahwa itu ulah dayang sumbi yang mengakibatkan para makhluk halus meninggalkan pekerjaan mereka. Marah, Sangkuriang menendang perahu buatannya hingga sekarang menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Parahu. Sedangkan Dayang Sumbi melarikan diri jauh dan berubah menjadi sebuah bunga, Sangkuriang kehilangan jejak dan akhirnya dia pun menghilang. Indonesia memiliki banyak pesan-pesan mengenai tatanan sosial yang berlaku ketat dan tatanan sosial yang dapat dimanipulasi dengan kondisi tertentu. Selain kisah Tangkuban Parahu, di Indonesia khususnya pada masyarakat Bali dan Jawa ada beberapa yang mengenal cerita mengenai Watugunung4, dimana memiliki persoalan yang sama dengan sangkuriang. Keduanya sama-sama memiliki hubungan asmara dengan ibu kandungnya. Namun yang membedakan jika sangkuriang belum sempat mengawini ibunya, Watugunung sudah memperistri ibu kandungnya. Cerita kedua kisah itupun hampir memiliki kesamaan, Watugunung kecil yang memiliki kesaktian tidak bisa mati kecuali dengan Batara Wisnu sangat bandel dan nakal. Pada suatu hari karena sangat lapar Watugunung kecil mencuri makanan dan kemudian ibunya tahu dan marah. Maka dipukulah watugunung dengan entong hingga berdarah. Marah, akhirnya Watugunung meninggalkan rumah. Saat dewasa karena kesaktiannya Watugunung unjuk gigi dengan mengalahkan kerajaan-kerajaan, termasuk kerajaan ibunya. Lalu sang ibu diperistri oleh Watugunung. Ibu Watugunung baru tahu bahwa suaminya ini adalah anak kandungnya sendiri setelah mencari kutu di rambut Watugunung. Merasa bersalah karena mempersuami anak kandungnya, maka perlahan ingin menjauhkan diri dari Watugunung. Watugunung menolaknya, namun tak habis akal sang ibu memberi syarat agar dirinya bertahan Watugunung harus juga mengawini istri Batara Wisnu. Batara Wisnu tentu saja menolak dan marah karena istrinya ingin dimadu oleh Watugunung. Mengetahui kelemahan Watugunung adalah dengannya maka dia ingin membunuhnya. Tapi dewa Siwa akhirnya memohon kepada Wisnu agar tidak membunuhnya. Dari sinilah postulat mengenai pelarangan 4 http://www.ypdkuta.com/index.php/artikel/2-uncategorised/24-saraswati-dan-makna-mitos-runtuh-watugunung perkawinan dengan dengan wanita yang sudah bersuami, apalagi ibu kandung atau ibu tirinya. Hingga kini momentum kisah Watugunung menjadi monumen fiksi dan diwujudkan dalam bentuk peribadatan umat Hindu Bali. Ada hari Redite paing (diambil dari nama kecil Watugunung), dimana umat Hindu melakukan mandi dilaut, sungai dan rumah dengan bunga tujuh rupa sebagai proses penandaan pendewasaan dan penyucian diri. Jadi, mitos Watugunung dapat dianggap melambangkan berakhirnya, atau teratasinya, “kegelapan” manusia purba.Dengan Kedasaran yang Tercerahkan sebagaimana terwujud dalam: (1) pelarangan atas inses (tabu); (2) kesadaran akan waktu dan penyusunan kelender; (3) penetapan aturan sosial dan ritual-ritual agama; dan (4) penceraian, terungkap unsurunsur yang merupakan hakikat dari Jati Diri Manusia yang beradab versi Bali (dan Jawa). Ajaran tentang kisah watugunung melukiskan bahwa terdapat hubungan yang dekat antara dunia dengan alam akhirat. Dimana dalam menyeimbangkan keduanya manusia dilarang untuk melampaui ketetapan dari Akhirat. Namun jika diperhatikan merasa dosa mengawini anak sendiri yang disadari oleh Dayang Sumbi dan Sinta (ibu Watugunung) sebenarnya telah hadir sebelum postulat tentang pelarang itu dibuat. Karena jika memang incest bukan dianggap sebagai sebuah kesalahan maka tidak perlu bagi para ibu itu ingin menjauhkan diri dari anak kandung yang ingin mengawininya. Artinya Dalam folklore itu sudah terbangun ideologi tentang pelarangan incest sebelum cerita itu selesai. Karena ada kesadaran bahwa incest bagi tokoh-tokoh itu terlarang. Folklore sepertinya dapat menjadi medium penting dalam mereproduksi pelarangan tentang incest yang dapat mudah diingat dan tertanan dalam diri individu. F. Kerangka Teoritik 1. Incest: Tabu Seksual. Pandangan tentang incest tidaklah bisa melalui satu arah saja yaitu dengan memahaminya hanya sebagai sebuah pelanggaran yang berakibat pada rusaknya suatu institusi dalam sebuah struktur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia incest diartikan sebagai zina sekandung, yang bermakna bahwa tindakan ini merupakan hal yang kotor. Hal ini setidaknya hanya akan mengarahkan setiap pembahasan mengenai incest sebagai yang selalu dianggap menjijikkan dan menimbulkan amarah. Sehingga dibutuhkan pendekatan teoritik yang lebih jernih dan adil dalam membincangkan persoalan ini. Jacques Lacan seorang psikoanalis Perancis tidak menentukan posisinya pada memberikan definisi incest merupakan tindakan yang menyimpang atau tidak. Melainkan lebih detil mengungkap dorongan subjek dalam melakukan tindakan perversi semacam itu.5 Lacan melihat ada keguncangan dalam diri subjek pelaku “perversi” tersebut, karena terdapat persoalan yang tak mampu dijawab oleh subjek itu sendiri. Keguncangan itu sebenarnya sudah dimulai sejak masa infantil manusia, yang oleh Lacan disebut sebagai fase cermin (mirror stage). Fase ini merupakan proses identifikasi bagi subjek itu untuk mencoba mengenali dirinya sendiri melalui hal-hal eksternal yang berada diluar tubuhnya (diri), hingga mendapat apa yang disebut dengan imago (citra diri).6 Pada fase ini si infantil sedang mencari kesejatian atas dirinya, dia mungkin telah menerima “pengidentifikasian” atas dirinya dari hal-hal dar luar seperti orang tua atau lingkungan. Subjek pada akhirnya menjadi terbahasakan dan dideterminasi oleh struktur sosial diluar 5 Lihat dalam Zizek, Slavoj. The Ticklish Subject Of Ideology… ,Hal; 247. Menurut Lacan mengikuti Freud, pervesi selalu dikontrusi oleh sosial. 6 Lihat, Lacan.Ecrits, hal; 76 dirinya. Walaupun pada akhirnya subjek itu memperoleh identitas melalui citra diri itu, tapi sesungguhnya dirinya tidak benar-benar bertemu dengan diri (aku) yang sejati itu. Karena fungsi dari imago itu sendiri adalah menyusun hubungan antara organisme dengan realitas (sosial) nya. 7 Selanjutnya subjek akan mengalami transference (pengalihan) dan displacement (pemindahan) dari ke-aku-annya menjadi “Aku” sosial. Sesungguhnya pula “aku” yang sejati itu adalah pada saat seorang manusia masih menjadi bayi (masa neo-natal) yang mana belum terdapat bahasa yang membelenggunya, karena pada masa itu yang diketahuinya adalah pemuasan akan kebutuhannya saja. Goncangan terjadi ketika dirinya mulai menjadi bagian dari sosial dan mendapatkan akan citra dirinya. Tahapan cermin ini disebut Lacan berada dalam wilayah imajiner, dimana imago tentang diri tercipta melalui proses identifikasi imajiner dimana citraan di cermin sebagai ego, padahal citraan itu lebih stabil daripada Aku itu sendiri. Infant mencari contoh pada dunia luarnya atau yang disebut oleh Lacan sebagai other (liyan), dan dia akan mendambakan akan dapat menyatu dengan liyan tersebut, other yang paling utama bagi infant sesungguhnya adalah Sang ibu dan imago yang terdapat pada tahapan cermin itu yang berlangsung ketika anak berusia 6-8 bulan.8 Dalam tahapan cermin itu selanjutnya akan membawa anak (individu) kepada suatu normalisasi terhadap kebutuhan seksuilnya, bahwa apa yang dirasakannya sebelum tahapan cermin itu dihilangkan. Namun rasa kehilangan itu yang cenderung membuat individu selalu mengalami kekurangan (lack) atas pemuasan hasratnya. Sehingga individu akan terus melakukan pencarian selama hidupnya. 7 8 Ibid, hal; 78 Ibid, hal; 77-80 Dalam hal ini Lacan mengikuti Freud mengenai adanya kompleks odipus (odiepus complex) pada diri subjek. Hal ini dikarenakan terdapatnya goncangan pada diri subjek yang sedang menuntut kembalinya “aku” yang utuh itu pada dirinya selalu tidak terpenuhi. Sehingga yang terjadi adalah adanya pelarangan-pelarangan terhadap hasrat primal yang ada pada masa neo-natal pada diri subjek. Begi Freud penderita neurosis termasuk incest biasanya menampakkan suatu bentuk infantilisme psikis dimana dirinya tidak bisa membebaskan dirinya kondisi psikososial anak-anak, atau ia malah kembali, jadi fiksi libido yang berbasis incest ini masih atau kembali memainkan peran utama dalam kehidupan psikis ketaksadarannya (unconcisscouness). 9 Freud percaya bahwa objek seksual individu memiliki pemilihan objek seksual awal adalah cenderung menuju incest yang mana selalu diarahkan pada hal-hal yang terlarang seperti pada ibu atau saudara perempuan sekandungnya. Artinya kecenderungan tindakan incest ini sendiri sebenarnya sudah mengendap pada diri individu dalam ketaksadarannya. Namun persoalannya hal ini terhalang oleh sosial yang menganggap bahwa tindakan itu adalah terlarang. Sehingga pada masa dewasanya manusia diintervensi oleh kultural dalam pemilihan objek seksualnya dan hal ini terkait dengan oedipus complex itu sendiri.10 Pada odiepus complex dapat dipahami, jika sesungguhnya manusia masih menyimpan perasaan arkais yang telah dilalui pada masa sebelum ada bahasa. Perasaan rasa takut untuk kehilangan objek pemenuhan kesenangannya. Dalam penelitian ini incest yang terjadi antara ayah dengan anak kandungnya hanya berbeda konteks pelakunya saja. 9 Lihat, Freud.S, terj.Kurniawan A.S, Totem dan Tabu, hal;29 Lihat, Ecrits, hal;79. Oedipus Complex adalah terdapat keinginan dari anak laki-laki yang cenderung memiliki hasrat erotis terhadap ibunya sedangkan bersamaan dengan permusuhan dengan sang ayah sebagai saingan. Ambivalensi terjadi pada diri individu itu, perasaan cinta terhadap ibu cenderung agresif sedangkan rasa benci pada ayah dapat menjadi simpati. Perlu ditekankan bahwa kontestasi ini berada pada ketaksadaran. (lebih lengkap lihat pengantar K.Bertens dalam buku Freud, Mempersoalkan Psikoanalisa, hal; xxix-xxx) 10 Namun, konteks yang dapat dikaitkan dengan pemikiran Lacan maupun Freud tadi adalah “perversi” yang dilakukan pelaku ini berkaitan pula dengan aspek sosial disekitarnya. Mereka dianggap pervert (menyimpang) karena pada saat itu membongkar hal-hal yang telah lama dihalangi dan menjadi terlarang, memunculkan dalam tindakannya dalam realitas sosial yang sebenarnya. Foucault juga memiliki pandangan mengenai incest yang pada beberapa hal memiliki kesamaan dengan Freud, dimana seksualitas lahir dengan ciri ”incest”.11 Bukan tanpa sebab Foucault menuduh seperti itu. Keluarga sejak dulu telah menjadi tempat wajib untuk kasih sayang dan perasaan cinta. Sehingga dengan sangat radikal bahwa kencenderungan incest bisa saja terjadi kepada siapa saja dan dimana saja asalkan dalam bentuk kekerabatan. Bagi Foucault, incest berada pada kondisi yang ambivalen dimana dia didambakan tapi juga ditolak, menghantui tapi diinginkan, rahasia yang ditakuti dan mau tidak mau harus ada.12 Karena dengan adanya incest itu keluarga dianggapnya akan terus berjalan, kasih sayang dan perasaan cinta akan terus diproduksi. Namun kuasa pengetahuan pada sistem modern telah membangun incest sebagai bentuk seksualitas yang terlarang, yang mana pada setiap kebudayaan diletakkan dalam tanda peraturan dan hukum.13 2. Subjek Berada Di Dunia Simbolik, The [big] Other, Name-Of-The-Father: Negara, Agama, Dan Masyarakat. Persoalan persetubuhan ayah dengan anak kandung ini tidak terlepas dari cara pandang umum terhadap kasus ini. Secara umum fenomena ini dianggap sebagai suatu 11 Foucault, M. 2008. La Valonte de Savoir Historie de la Sexualite : Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, hal; 140 12 Ibid Ibid,hal: 141 13 kesalahan dan aib bagi lingkungan sekitar kejadian. Lalu, tentunya banyak dari kita pertama kali akan menyatakan bahwa ini adalah kebejatan dari “pelaku” hubungan seksual, mereka adalah para “pervert”, tidak kenal norma agama, hukum, dan sosial, maka matilah saja mereka. Hal itu mungkin yang terbersit dalam common sense kita semua yang memegang struktur norma yang tetap dan kaku ini. Namun, pertanyaan sederhana yang sejak awal dibahas dalam tulisan ini kembali muncul, kenapa hal ini muncul ketika struktur norma itu kaku, sebagian besar orang akan patuh untuk tidak melakukannya. Disinilah peran besar analisis psikologis dan sosiologis untuk memahami persoalan ini, membantu untuk menjembatani agar keduanya menjadi sinergis, dengan melibatkan discourse dalam persoalan persetubuhan ayah dengan anak ini. Persetubuhan ayah dan anak adalah konteks yang diperebutkan oleh struktur besar (Negara, Agama, Masyarakat) dengan diri sebagai subyek yang ingin bebas. Jika begini, maka marilah kita menggeser cara kita memandang fenomena persetubuhan ayah dengan anak kandung ini dengan tidak terburu-buru menimpakan kesalahan secara sepihak kepada para pelaku, dalam penelitian ini adalah ayah “pelaku”. Maka perlu untuk dikembangkan pembahasan ini menuju suatu persoalan yang lebih besar ketimbang membahas diri sebagai subjek “independen”, yaitu persoalan sosialnya. Sosial ini terkait dengan ruang-ruang yang didalamnya sebenarnya terdapat subjek yang juga ikut terlibat. Lebih khususnya adalah negara dengan hukumnya, agama dengan moralnya, dan masyarakat dengan adatnya. Ini tidak bisa dikesampingkan dalam psikoanalisis yang dikembangkan Lacan, ketiganya merupakan pemasok pada The Other, sesuatu yang sebenarnya berada diluar ketidaksadaran subjek, …who, giving soul to the ego's wagers and body to the mirages of perverse desire,brings about coalescences of the signifier with the signified onto which all resistance grabs hold and in which all suggestion finds its pivotal point,without anything being sketched out thereby way of some cunning of reason, if not that they are permeable to it…this Other (to be provided with a capital O) ,faith in whom is invoked by anyone when he addresses another (with a lowercase o),even if only to lie to him…The unconscious is the Other's discourse in which the subject receives his own forgotten message in the inverted form suitable for promises.14 Walaupun berada diluar (tubuh) subjek namun, apa yang dimaksud the Other oleh Lacan ini pada akhirnya sebenarnya ikut memberi warna pada ketidaksadaran untuk dapat mengetahui hasrat (desire)-nya. Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh banyak psikolog bahwa sepertinya hubungan antara id (unconciousness), ego (Conciousness), dan super ego (other/structures) itu terpisah, dan untuk melakukan treatment kepada subjek ego itu maka yang dimunculkan adalah legitimasi kebenaran super ego yang berada diluar diri subjek. Hal ini sebenarnya memenjarakan subjek itu kedalam ruang hampa pencarian jati diri yang tak kunjung selesai dia temukan. Subjek menjadi limbung, mempertanyakan keabsahan super ego yang dibawa oleh subjektivitas analyst tentang kemana seharusnya hasrat mereka dibawa. Para psikolog sementara selalu membuat pertentangan antara ketidaksadaran dengan kesadaran seperti instingtual menjadi intelektual, otomatis menjadi terkontrol, intuitif menjadi diskursif, bernafsu menjadi terasionalisasi, perasaan dasar menjadi terintegrasi. Dengan menempatkan objek analisis sebagai “yang rendah” dan para ahli itu adalah “yang tinggi”, memberikan intervensi tentang kebenaran yang hakiki untuk hidup menjadi manusia sosial. Bagi Lacan ini cenderung sia-sia jika ternyata ketidaksadaran dan kesadaran adalah sintesis. 15 Keduanya berada pada lokus yang sama yaitu The Other discourse, yang membedakan 14 15 Lihat, Lacan, J.2006 (1966). Ecrits. Hal: 366 Ibid, hal : 369 pada akhirnya adalah bagaimana subjek itu menampilkan dalam pergaulannya. Lacan mengikuti Hegel dalam cara pandang ini, membicarakan tentang hasrat (desire), hasrat merupakan bukan sesuatu yang diinginkan oleh tubuh tersebut, karena manusia itu sedang berhasrat memiliki hasrat orang lain. 16 Artinya bahwa, walaupun ketidaksadaran itu berada jauh didalam diri subjek namun berkaitan erat dengan other diluar dirinya. Sama dengan kesadaran yang bersentuhan langsung dengan other yang mampu menampilkan dirinya sebagai manusia sosial. Inilah awal yang menjembatani bahwa persoalan diri (termasuk didalamnya ketidaksadaran) bukanlah konsumsi analisis psikologis semata, melainkan secara sosiologis menjadi penting untuk dibahas. Melalui pembahasan mengenai The [Big]Other yang muncul pada diri subjek. Kita mengetahui bahwa manusia bukanlah merupakan subjek yang tidak teratur dalam hubungannya dengan masyarakat, mereka secara tidak sadar mengikuti aturan yang telah disepakati olehnya dan generasi sebelum mereka. Lingkungan pergaulan (milieu) mereka mengajarkan tentang hal itu dengan beragam cara, bahkan mereka tidak sadar telah melakukannya sebagai suatu cara untuk melegitimasi aturan, seolah berjalan sebagaimana adanya. Mari kita melihat suatu contoh yang agak satir, pernahkah bertanya pada diri sendiri mengapa Dian Sastro kita anggap cantik? Seolah para laki-laki ingin menikahinya, atau, mengapa Al Ghazali anak Ahmad Dhani adalah ganteng? Apakah kita punya ukuran sendiri tentang itu, kalaupun benar kita memiliki ukuran sendiri mengenai keduanya, baik penolakan maupun penerimaan terhadap asumsi tersebut perlu dipertanyakan ulang independensinya, darimana kita 16 Kojève, Alexandre (1947 [1933–39]) Introduction to the Reading of Hegel,trans. James H.Nichols Jr., New York and London: Basic Books, 1969. mendapatkan ukurannya dan mengapa?. Disinilah The [Big] Other bekerja, merasuk dalam ketidaksadaran subyek dan menghadirkan gambaran tertentu. Contoh lain, ketika kita berbicara dengan teman-teman di sebuah rumah makan yang ramai, menyerempet pembicaraan mengenai hal yang seksuil lalu tertawa terbahak-bahak, kemudian pada titik tertentu kita mengatakan “ups” karena takut didengar orang diluar kelompok kita, sehingga membuat kita malu nantinya. “Ups” merupakan komunikasi spontan yang menginformasikan kepada teman-teman kita bahwa pembicaraan ini menjadi salah jika diperdengarkan oleh orang lain diluar kelompok. Kehadiran The [Big] Other tentang pelarangan membicarakan hal seksuil di ruang public terasa disini secara otomatis ego kita terkontrol (bukan yang dari otomatis menjadi terkontrol). The [Big] Other hadir dengan cara yang luar biasa melalui ketidaksadaran yang diterima oleh ego sehingga dapat memutuskan apa yang harus dimunculkan subjek dalam komunikasinya. The [Big] Other17 menyediakan gambaran kepada kita mengenai apa yang menjadi persepsi yang sudah lazim. The [Big] Other (The Other oleh Lacan) sendiri bagi Lacan merupakan perintah simbolik, keadaan tak tertulis di masyarakat, sifat penyokong dari tiap wujud pembicaraan, yang mengatur dan mengkontrol tiap tindakan. Lacan melalui Zizek mengistilahkan bahwa The [big] Other merupakan, We human individuals are mere epiphenomena, shadows with no real power of our own, that our self-perceptionas autonomous free agents is a kind of user's illusion blinding us to the fact that we are tools in the hands of the big Other that hides behind the screen and pulls the strings? 18 Merangkak dari sini kita mulai dapat mengidentifikasi subjek di mata Lacan yang sebenarnya teralienasikan, terjauhkan dari dirinya sendiri. Subjek kehilangan daya untuk 17 18 istilah ini dipakai oleh Zizek, sedangkan Lacan menggunakan The Other dengan huruf capital “O” besar. Lihat Zizek, Slavoj.2007 (2006). How To Read Lacan. W.W Norton & Compani.inc. New York. Hal: 8 menemukan dirinya sendiri, menjauhkan dari penemuan atas jati dirinya. Individu (subjek) dapat dibilang pada akhirnya mengikuti common sense dari lingkungan organicnya, menempatkan dirinya untuk hidup menjadi mereka. Common sense menjadi baku layaknya hukum yang mengatur tindakan mereka dan menjadi tabu untuk dilangkahi. Sebagai contoh ketika kita menonton sebuah sinetron drama tentang perselingkuhan, dimana tokoh laki-laki berselingkuh sementara istrinya adalah seorang yang baik dan alim. Dia berselingkuh dengan seorang perempuan yang materialistis (haus akan uang) menggerogoti perekonomian keluarga laki-laki terus menerus. Suatu hari sang istri tahu dan menemukan bahwa suaminya telah tidur bersama di suatu hotel dengan perempuan lain itu. Apa yang muncul dalam pikiran kita, sama kebanyakan pastinya, mungkin kata-kata yang muncul dalam pikiran kita adalah “tampar mereka”, “laporkan ke polisi”, atau “minta cerai pada suamimu”. 19 Inilah tempat dimana The [big] Other bekerja, menjalankan pikiran kita sama dengan yang lainnya. Lalu ketika si istri memaafkan, dan mengakui perempuan lain itu sebagai madunya, maka kita akan menyebut istri itu adalah perempuan yang aneh (pervert). Coba kalau kita detail dalam melihat ini, mungkin saja sang istri mengharapkan kepuasan seksual melalui threesome sex. The [big] Other tidak menawarkan kosakata mengenai threesome dalam hubungan seksual lazim mereka, sehingga yang dimunculkan adalah penyimpangan sebagai bahasa yang mesti diterima oleh istri itu. Subjek dihilangkan dari keberadaannya, digantikan sebagai The [big] Other. Manusia sebenarnya “kebenaran”, 19 sehingga mengalami manusia kebingungan. menjadi Lihat Contoh yang ditunjukkan Zizek dalam ibid, hal: 8 Struktur sosial telah menetapkan tidak tahu dengan hasratnya sendiri. Sesungguhnya kita tidak memiliki kosakata bahasa yang dapat mengungkapkan hasrat kita, maka yang terjadi adalah pencarian. Kita (manusia) adalah subjek yang dibahasakan oleh struktur kita, maka hadirlah The [big] Other itu. Itu tidaklah muncul sebelum kehadiran subjek, semenjak subjek tidak dapat datang ke tempat dimana itu bisa dimunculkan, melainkan muncul di tempat dimana subjek berada. 20 The [big] Other menyediakan bahasa kepada subjek agar dapat menamai dirinya sendiri, namun dalam pencariannya tidak pernah menemukan hasrat yang sesunggungnya. Maka dari itu dalam pencarian itu selalu mengalami kegelisahan. Walaupun struktur telah memberikan pengalihan kepada subjek sekalipun, kegelisahan itu tetap muncul. Subjek memiliki Jouissance21 dan menginginkan agar hasratnya terpenuhi, namun tidak tahu apa hasrat itu. Lacan menyebut Jouissance sebagai ruang dimana subjek tidak memiliki keberadaan, bukan tanpa alasan perlindungan itu sendiri membuat keberadaan itu merana. 22 Dapat diartikan bahwa jouissance merupakan ruang bagi subjek untuk mengamankan hasrat terselubungnya karena tidak diakomodasi oleh realitas sosialnya. Prinsip kesenangan sebagai bahasa (Law) menolak kehadiran jouissance itu sendiri. Zizek menegaskan bahwa jouissance merupakan tempat dimana subjek tidak mungkin dapat berada disana, das sein, dan juga subjek tidak mendapatkan tempat, tidak bisa bergabung, dan harus menghargai itu.23 “Desire is desire for desire, the Other's desire, as I have said,in other words, subjected to the Law.”24 20 Lihat Ecrits, hal: 432 Jouissance merupakan istilah yang digunakan oleh Lacan untuk merujuk pada “penikmatan/penyenangan” subjek, dan cenderung bersifat seksual (Lacan menyatakan sebagai orgasme). Lihat penerjemahannya oleh Evan, Dylan. 1996. An introductory dictionary of Lacanian psychoanalysis. Routledge. New York,hal:93-94 22 Lihat Zizek, Slavoj.2008.The Plague Of Fantasy. Verso. New york, hal: 60 23 Ibid, hal: 61 24 Lihat Ecrits, hal: 723 21 Dalam hal ini Lacan mengikuti Freud dengan konsep Oedipal-nya, Lacan melihat dengan menamakan ini sebagai kondisi “The-Name-Of-Father”25. Dimana Father sebagai pemilik kuasa (phallus) memiliki hasrat (desire) kepada Mother sama seperti anak yang membutuhkan layanan “seksuil” mother. Ayah menciptakan hukum untuk melarang anak berhasrat seksual kepada ibu yang menyebabkan terjadinya Incest.“Father” disini adalah ayah simbolik, bukan dalam artian ayah secara hubungan biologis. Untuk lebih membumi Father dapat diterjemahkan sesuai persoalan sehari-hari, contoh; Negara, agama, maupun adat masyarakat. Ayah simbolik menjadi aparatus bagi prinsip kesenangan (pleasure principle) untuk menghalangi hadirnya jouissance subjek dengan membuat bahasa yang dikenal sebagai kebenaran dalam realitas sosial. Sehingga jika jouissance subjek dimunculkan lalu tidak memiliki bahasa yang ada pada Ayah Simbolik, maka yang terjadi adalah munculnya penyimpangan. Lalu, selanjutnya yang kita dapatkan dari konsep-konsep yang dibicarakan oleh Lacan pada penelitian kita kali ini adalah pelampauan independensi subjek oleh The [big] Other yang telah menjadi objek dari Name-of-thefather. Perilaku persetubuhan antara ayah dengan anak kandung tidak memiliki bahasa di masyarakat, tidak berada dalam institusi apapun, dan ditolak oleh struktur realitas sosial. Negara dengan hukumnya, melalui berbagai undang-undangnya menolak adanya peristiwa ini. Untuk mengkastrasi jouissance dari subjek maka ditawarkannya pelanggaran hukum yang konsekuensinya adalah pemenjaraan tubuh subjek. Subjek 25 Istilah ini dipergunakan Lacan untuk menunjukkan bentuk normalisasi, yang ditemukan dalam tugas “Father” yang berhak memberi pelarangan terhadap pelanggaran. Father disini bukanlah ayah dalam artian hubungan biologis, tapi lebih diartikan sebagai Ayah simbolik. Lacan menggunakan istilah ini untuk menanggapi Oedipus Complex, dimana terdapat peranan Ayah (Father) untuk melakukan pelarang terhadap incest taboo dan mengkategorikannya sebagai pelanggaran. Lihat penerjemahannya pada Dylan, Evan. 1996. An introductory dictionary of Lacanian psychoanalysis. Routledge. New York, hal: 112 sebelum dibahasakn oleh hukum negara, sebetulnya tidak bisa membahasakan dirinya sendiri namun menggunakan organ genitalnya untuk melakukan tindakan itu. Persoalannya dimana The [big] Other berada sebelum hukum Negara membahasakan perilaku mereka?. Asumsi yang dapat ditawarkan adalah bahwa The Other yang dipengaruhi oleh hukum Negara hadir bersamaan dengan discourse The Other yang lain (commonsense tentang pemenuhan birahi dengan melakukan hubungan seksual). Artinya subjek memiliki discourse sendiri dalam menanggapi perilaku ini. Agama dengan kebenaran Ilahiahnya, menentukan perilaku sebagai orang baik dan buruk, menawarkan surga bagi yang baik dan neraka bagi yang buruk. Hubungan seksual sedarah adalah haram dan laknat Tuhan didepan mata. Lalu kasus persetubuhan ayah dengan anak kandung masih ada, hal ini bukan sekedar langsung diartikan karena subjek tidak takut kepada Tuhan. Padahal, internalisasi agama dari sebelum lahir-pun telah menjadi bagian dari diri mereka. Persoalannya sederhana, agama tidak memiliki atau membuat kosakata bahasa untuk peristiwa ini, maka hasilnya peristiwa itu adalah menyimpang dari moral ilahiah. Masyarakat dengan Adat atau nilai sosialnya, sebenarnya hal ini tergantung pada system masyarakatnya. Jika merupakan masyarakat terbuka biasanya ini menjadi gejala patologi sosial, sedangkan jika dalam masyarakat tertutup biasanya menjadi lazim dilakukan. Namun, masyarakat hari ini adalah masyarakat yang terbuka sehingga kemungkinan peristiwa ini ditolak sangatlah besar. Sesungguhnya masyarakat merupakan objek dari phallic Ayah Simbolik. The Other hadir didalam keseluruhan subjek masyarakat melalui hukum dan agama (yang paling jelas terlihat). Sehingga, masyarakat juga akan menjadi bingung jika peristiwa “patologik” muncul diantara mereka, sehingga yang mereka gunakan untuk menanggapinya adalah dengan discourse agama dan hukum. Menjaga agar fantasi dan hasrat seksual tidak menjadi liar dan mengendalikan individu berbuat semaunya, bukanlah suatu perkara yang mudah dalam sebuah masyarakat. Artinya, dibutuhkan cara yang begitu sistematis dan terstruktur hingga individu dapat menyadarai dirinya sebagai bagian dari manusia social yang hidup dalam suatu bentuk masyarakat yang telah diatur. Fantasi dan hasrat seksual harus ditertibkan sebagai bagian dari suatu bentuk pendisiplinan tubuh. Pada masyarakat Indonesia telah diatur berbagai nilai dan norma yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam memandang kasus Incest ini, hal ini dibuktikan dengan adanya hukum, tatanan agama, dan kultur yang serentak melakukan penolakan terhadap fenomena ini. Discourse yang berlaku pada masyarakat Indonesia khususnya di Boyolali adalah melakukan represi atas perilaku ini. Namun jika melihat pada kasus incest di Boyolali ini hadir sebuah pemaknaan atas kejadian ini, disini terdapat penamaan atas korban dan pelaku incest. Korban Incest adalah anak perempuan yang diajak berhubungan intim oleh sang ayah, sedangkan ayah menjadi pelaku dan mendapatkan hukuman penjara. Discourse yang muncul sepintas adalah untuk melakukan represi atas incest, maka yang harus dilakukan adalah menjauhkan (memenjarakan) laki-laki. Lebih mudahnya dapat dikatakan bahwa laki-laki adalah sumber dari perilaku incest dan dia yang dipersalahkan. Terkesan bahwa discourse kriminalitas dan pelanggaran atas nilai dan moral saja yang ditangkap melainkan melewati narasi discourse yang juga disampaikan oleh subjek pelaku (ayah). 3. Represi Terhadap Tubuh Melalui Pendisiplinan. Tentunya sangat naïf jika kajian tentang incest ini hanya berhenti sampai penjelasan itu saja. Foucault pernah melakukan suatu telaah pada sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di Perancis. Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun kepada ibunya yang sedang hamil, adik perempuannya, dan dua orang adik laki-lakinya. Pemuda itu bernama Pierre Riviere, yang menginginkan sebuah pembunuhan yang penuh kemenangan karena dia lepas dari tirani ibunya. Ketika publik saat itu memberikan penghakiman pada Riviere atas perbuatannya yang dianggap sebagai kekejian, Foucault tidak menerima itu dengan mentah-mentah. Foucault menelusuri arsip-arsip yang ada pada saat itu dan memahami narasi yang dibuat Riviere. Foucault melihat bahwa publik saat itu terjebak pada satu discouse yang berkembang pada masa itu, dimana discourse itu bicara tentang kekejian akibat pembunuhan. Foucault coba membandingkan tentang pembunuhan pada saat perang, kuasa raja untuk melakukan penguasaan atas daerah lain yang tentunya disertai juga dengan pembunuhan. Menurutnya ada kuasa dalam pembunuhan, dalam pembunuhan itu akan muncul siapa yang akan menjadi pahlawan. Jadi pendeknya, bahwa kasus pembunuhan itu tergantung kuasa dan discourse yang melingkupinya. Discourse yang dibawa oleh pembunuh dan discourse mainstream yang ada di masyarakat. Lalu bagaimana dengan kasus Incest?. Foucault mengantarkan pada pemahaman bahwa ada discourse biner pada suatu kasus, termasuk incest. Ada discourse mainstream yang ada pada masyarakat yang bersilangan dengan discourse yang dibawa individu. Discourse yang dibawa individu merupakan sesuatu yang ideologis yang mungkin sulit diterima oleh masyarakat luas. Ideologi itu mengendap dalam diri subyek individu yang tersimpan rapat dalam fantasi alam bawah sadar. Dalam kasus incest ini, apa yang tersimpan dalam alam bawah sadar keluar dan menjadi bentuk material yaitu tindakan persetubuhan. Dalam masyarakat, tindakan inilah yang menjadi persoalannya bukan pada narasi tentang incest yang terjadi. Bagi Foucault discourse seksualitas sendiri berada dalam ketidaknetralan. Penolakan atas Incest bukan karena ingin melawan incest itu sendiri melainkan perlawanan terhadap implikasi penyebaran seksualitas semacam ini yang dapat digunakan untuk mengesampingkan hukum dan susunan yuridis dari perserikatan (Foucault, 1978:109). Artinya bahwa konsentrasi penindakan didasarkan hanya pada perilaku itu tidak sesuai dengan hukum yang berlaku tapi mengesampingkan narasi apa yang digunakan oleh subjek pelaku. Sehingga terkesan bahwa masyarakat hanya akan menindak jika terjadi sebuah tindakan yang dapat mereka lihat, tapi untuk membicarakan saja sebelumnya mereka anggap tabu dan penuh sensor (Foucault, 1978: 17). Incest merupakan paradoks atas moralitas yang menjadi discourse utama di masyarakat. Discourse yang memiliki jangkauan yang berlaku general bagi seluruh anggota masyarakat. Namun munculnya Incest ditengah discourse moralitas ini tentunya menampar mereka. Pendisiplinan yang sudah dilakukan secara tersturktur dan sistematis merasa “kecolongan” dengan adanya kasus ini. Pendisiplinan tubuh sebagai agenda penjinakan atas tubuh (Foucault, 1977: 135-137) agar mudah diatur oleh discourse moralitas ternyata tidak berlaku bagi pelaku incest ini. Bahkan strategi panoptik yang berupa pengawasan dan pengontrolan (Foucault,1977 : 202) juga tidak mampu menjangkau hal ini. Panoptik hadir untuk meningkatkan kualitas moral masyarakat (Foucault,1977 : 208) sepertinya tidak berjalan sesuai tujuan secara keseluruhan. Perangkat panoptik sudah disiapkan oleh pemilik kuasa, aparatus yang berperan sebagai pengawas (Foucault,1977: 204) dalam konteks penelitian ini dapat kita asumsikan misalnya polisi, perangkat desa atau pemuka agama, namun mereka tidak dapat melihat secara mendalam kejadian incest hingga persetubuhan itu terlihat hasilnya seperti misalnya kehamilan dan sebagainya. Kehadiran Panoptik sebagai mekanisme pendisiplinan tubuh hanya menjangkau lapisan atas saja, namun tidak mampu untuk menjangkau hingga lapisan terdalam (pikiran). Bahkan proses pendisiplinan ini tidak mampu menjangkau kedalam rumah (keluarga), sehingga disini bisa jadi terdapat discourse tertentu yang digunakan untuk melegitimasi ideologi/fantasi dalam melakukan tindakan incest tersebut. 4. Tindakan Incest Sebagai Otentitas Subjek a. Munculnya Fantasi dan Hasrat Seksual Dalam penelitian ini hadirnya fantasi dan hasrat seksual menjadi tidak dapat dipisahkan. Keduanya bisa jadi tidak muncul secara bersamaan namun menjadi saling berkaitan. Fantasi terletak didalam ruang yang tersembunyi di dalam tataran tidak sadar dari individu. Fantasi merupakan mode aktifitas yang tetap bebas dari realitas dan hanya tetap berada di bawah tekanan pengaruh kesenangan, fantasi juga menggabungkan lapisan tak sadar yang paling dalam dengan produk kesadaran hingga citra-citra kebebasan yang ditabukan.26 Dalam ruang itu sebetulnya tidak ada yang mampu menyentuhnya, namun yang anehnya ruang itu sering terbelenggu oleh sesuatu diluar diri. Dapat dikatakan kesadaran dirilah yang berhasil menegoisasikan sesuatu 26 Lihat Marcuse, Herbert (2007). Cinta Dan Peradaban, hal: 180. Marcuse mengikuti pemikiran Freud tentang imajinasi, baca juga: Freud, Sigmund.Interpretation Of Dream (1955,2010). Fantasi sebagai bentuk material yang dibawa kedalam alam ketidak sadaran. diluar diri hingga mampu membuatnya tak berani muncul ke permukaan sewaktuwaktu. Fantasi meberikan tempat bagi hal-hal yang dianggap tabu dalam masyarakat, di ruang itu gambar-gambar “cabul” dapat diproduksi terus menerus. Dalam kaitannya dengan permasalahan persetubuhan dengan anak kandung, ada kemungkinan bahwa si ayah menyimpan gambaran tertentu yang tak tidak dapat dia ungkapkan dengan bahasa (kata) kepada orang lain, yang bisa jadi membuat dia malu atau apapun, sehingga tetap diendapkan namun selalu muncul dalam ketidak sadaran. Lacan menyebutkan fantasi sebagai sesuatu yang mode pertahanan yang relatif stabil dan permanen untuk membela diri dari pengebirian dan menutupi kekurangan dari The Other.27 Mode defensif dilakukan oleh individu untuk menyelamatkan fantasi mereka yang sebenarnya tak ingin diganggu oleh dunia luar dan dunia luar tak mampu memuaskan kesenangan-kesenangan yang diinginkan. Fantasi tidak sesederhana ketika kita menginginkan sesuatu dan tidak mendapatkannya maka kita akan berfantasi. Hal ini sekedar menyiratkan suatu diri yang pasrah atas kegagalan mendapatkan sesuatu. Maka dari itu perlu dikaitkan antara fantasi dengan hasrat. Hasrat sendiri sering membingungkan ketika dicari padanan kata secara teoritis. Lacan memberikan batasan tentang hasrat seksual sebagai desir yang padanan katanya lebih dekat dengan bahasa Inggris “desire” bukan keinginan atau harapan seperti yang Freud katakan. Bagi Lacan dengan tidak mengesampingkan kesadaran, memberikan pengertian hasrat sebagai keinginan yang berada dalam alam tidak sadar, hasrat tak sadar sepenuhnya seksual.28 Fantasi dan hasrat seksual dapat menjadi kolaborasi yang mengagumkan. 27 28 Lihat Evan, Dylan. An introductory dictionary of Lacanian psychoanalysis, hal: 61. Lihat Lacan, Jacques (2007). Ecrit, hal:131 Dalam pengertian Zizek melihat praxis antara fantasi dan hasrat sebagai “through fantasy, we learn „how to desire‟”29. Jadi untuk memperjelas bagaimana dan fantasi bekerja untuk dapat memproduksi hasrat, dalam penelitian ini cenderung akan menggunakan pemikiran Lacan juga Zizek yang mengungkapkan bahwa fantasilah yang mengkoordinasikan hasrat, namun disaat yang sama juga melawan “apa yang mereka mau”.30 b. Objek Hasrat Dari Subjek Pelaku Incest Untuk memperjelas konsep diatas, perlu sekiranya dalam penelitian ini menentukan subjek dan objeknya. Penelitian ini akan cenderung memberikan pemahaman tentang subjek yang memiliki fantasi dan hasrat serta untuk apa keduanya. Dalam hal ini merujuk pada pemikiran Lacan tentang Subjek yang tak lebih dari “keberadaan manusia”. 31 Lacan membedakan tiga jenis subjek32. Pertama, subjek impersonal, yang independen dari yang lain, subjek gramatikal murni, subjek yang abstrak. Kedua, ada subjek timbal balik, yang benar-benar sama dengan dan disubstitusikan untuk yang lain, dan yang mengakui dirinya dalam kesetaraan dengan yang lain. Ketiga, ada subjek pribadi, yang adalah keunikan dibentuk oleh tindakan afirmasi diri. Dari ketiga definisi yang ditawarkan oleh Lacan, dalam penelitian ini nantinya kita akan dapat memberikan makna yang berbeda-beda bahkan dari satu objek saja. Secara implisit, dapat disederhanakan sebagai subjek sebagai diri dan subjek secara sosial. Dalam pengertian tersebut menyiratkan bahwa tidak hanya subjek “sadar” saja yang akan menjadi perhatian melainkan juga subjek “tak sadar” juga 29 Lihat Zizek (1989,2008). The Sublime Of Ideology, hal:132. Disini Zizek mengikuti pemikiran Lacan tentang fantasi dan hasrat seksual 30 Ibid. “apa yang mereka mau” dalam pengertian Zizek disebut “Che Vuoi” 31 Lihat Evan, Dylan. An introductory dictionary of Lacanian psychoanalysis, hal:197 32 Ibid menjadi sangat penting. Karena didalam subjek “tak sadar” itulah fantasi dan hasrat seksual akan terkuak. Dalam fantasi dan hasrat seksual tentunya akan hadir obyek tertentu tentang “yang lain”. Seperti yang dikatakan pada pembahasan sebelumnya tentang fantasi sebagai hal yang tidak kosong dan memiliki gambaran serta scene tertentu. Gambaran itulah adalah sebuah objek, objek yang menyenangkan. Fantasi dan hasrat seksual arahnya bukan menuju pada rasa sakit melainkan rasa senang atau nikmat. Lacan menyebut ini sebagai Jouissance (penikmatan). Lacan menjelaskan jouissance terkait hasrat seksual sebagai penikmatan atas objek seksual yang sering juga dihalangi. 33 Hanya subjek individu yang dapat memahami penikmatan yang dia rasakan, karena hanya mereka yang merasakannya. Penikmatan ini lebih berada di tempat tersembunyi, bersama dengan fantasi untuk melahirkan hasrat seksual. Objek fantasi seksual merupakan hal penting dalam fantasi itu sendiri. Objek seksual bisa disebut sebagai pembangkit hasrat individu. Dalam konteks persetubuhan ayah dengan anak kandung, bisa jadi si ayah mendapatkan objek seksualnya melalui si anak. Dirinya membuat gambaran-gambaran tertentu yang dapat membangkitkan gairah tersebut, namun belum tentu juga yang muncul adalah gambar anak itu, karena bisa jadi yang muncul adalah gambar objek lain. sedangkan si anak hanya menjadi tubuh yang digunakan. Lacan menyebutnya sebagai object petit a, maksudnya adalah objek yang menyebabkan hasrat berkaitan dengan arah untuk menuju kenikmatan si subjek34. Oleh Lacan objek bukanlah sesederhana untuk diterjemahkan sebagai bentuk 33 Lihat THE SEMINAR OF JACQUES LACAN Edited by Jacques-Alain Miller BOOK VII The Ethics of Psychoanalysis 1959-1960, hal: 179-190. Dalam penjelasan ini, Jouissance bahnan disebut sebagai bentuk dari kejahatan. 34 Lihat Zizek (1989,2008 : 184), dan Lacan (2007: 653-656) material berupa manusia, karena bisa jadi objek adalah bagiannya atau bahkan sesuatau yang material. Maka, dengan pengertian objek ini akan mengantarkan kita bagaimana individu mendapatkan ransangan dalam fantasinya dan mengirim kode menjadi hasrat seksual. c. Tindakan Subversif Subjek Pelaku Incest Lokus fantasi dan hasrat seksual diatas sebenarnya berada didalam pikiran manusia. Keduanya tersimpan dalam ruang ketidaksadaran subjek, berkontestasi dengan ego yang berada di lapisan atasnya. Ketaksadaran bagi Lacan bukanlah sebenar-benarnya kosong, namun berisi konten-konten imajiner mengenai diri. Menurut Lacan ketidaksadaran memiliki struktur seperti bahasa, 35 yang mana penanda tidak selalu merujuk pada satu petanda saja. Seperti yang kita pahami pada Lacan bahwa dia menolak bahwa subjek absolut itu dibentuk dalam kesadaran, melainkan ketidaksadaranlah yang membentuk subjek itu sendiri. Maka yang dapat kita ambil disini adalah tindakan incest ini menjadi sebuah konsep pelarangan karena telah ditandai sebelumnya oleh The [big] Other melalui hukum The-Name of-Father. Namun karena subjek merasa bahwa apa yang menjadi pemenuhan kesenangan seksualnya tidak dicapai melalui The [big] Other, dalam konteks ini misalnya melalui pernikahan. Maka dia mencari petanda lain yang mampu untuk memuaskan kesenangannya itu. Bagi Lacan mengikuti Freud hal-hal yang tidak diterima oleh realitas sosial, akan mucul dalam alam ketidaksadaran seperti melalui mimpi, keseleo lidah, maupun lelucon sebagai bentuk “strategi menghindar” dari jangkauan The [big] Other. Hal ini akan merujuk pada dorongan (Trieb) untuk 35 Lihat Lacan, The Four Fundamental Concept, hal;18-26 mencari, mengembalikan,dan memperbaiki objek pemuasannya yang telah hilang dimasa lalu. Melalui hal itu kita telah mendapatkan jembatan antara yang selama ini fiksi karena berada dalam alam ketidaksadaran yang telah menjadi suatu tindakan seperti incest ini. Disini Zizek sebagai pengikut setia Lacan, memberikan provokasi terhadap subjek mengenai tindakan bebas radikal. Membedakan dirinya dengan Lacan, yang menyatakan bahwa pelepasan diri subjek dari yang simbolik bukan hanya pada tataran dalam alamp pikiran tidak sadar saja, melainkan dapat muncul melalui suatu tindakan yang cenderung radikal. Bagi Zizek yang mendorong tindakan radikal subjek adalah kesadaran terhadap kehampaan dan kekosongan yang besar dari setiap pendasaran ideologis, ia telah berhasil menaklukan ketidak mungkinan dari suatu kenyatan dimana tidak ada lagi kata-kata yang berbicara.36 Zizek melihat bahwa ketika tidak ada lagi yang mempengaruhi secara eksternal kepada subjek, maka subjek itu telah menemukan “diri”-nya. Kita lihat pada pelaku tindakan incest ketika struktur diluar dirinya begitu mengekangnya, mereka berani mengambil sikap yang cederung bersifat destruktif pada dirinya di dunia normal. Dilanjutkan oleh Zizek, bahwa tindakan radikal itu tidak bicara tentang apa yang telah dicapai, melainkan terlebih “aku tidak lagi sama seperti sebelumnya”, dimana dampaknya adalah subjek pada akhirnya akan dibantai namun kemudian menjadi lahir kembali (atau tidak). 37 Dapat diartikan bahwa subjek telah melepaskan dirinya dari belenggu simbolik, melalui kesadaran akan kekosongan dan kekurangan atas kesenangannya yang hilang diawal kehidupannya. 36 37 Lihat, Zizek, S. Enjoy Your Symptomp, hal; 36 Ibid, hal :150 G. Kerangka Berpikir Pada masyarakat hari ini yang telah menganggap bahwa incest merupakan tindakan yang terlarang dan tidak patut untuk dilakukan, nyatanya masih didapati dilakukan oleh anggotanya. Hal ini mendorong perlunya kajian akademik yang melibatkan bukan hanya persoalan manusia secara individual saja melainkan juga terkait dengan lingkaran struktur dalam lingkungan sosial yang ada. Pelaku incest dianggap sebagai kriminal, pelanggar, atau nama-nama buruk lainnya adalah merupakan kontruksi sosial. Sehingga tidak perlu lagi untuk secara runtut membincangkan definisi incest di masyarakat Indonesia hari ini. Karena jawabannya sudah jelas dan sangat terbuka. Melihat hal ini maka penulisan ini berkeinginan untuk mengungkap terdapat persoalan yang ada ketika terdapat struktur yang begitu kuat dan kentara menghalangi munculnya incest , namun disisi lain masih ada yang melakukannya. Penulisan ini sekali lagi tidak bertujuan untuk mendefinisikan incest sebagai bentuk tindakan yang buruk atau tidak, melainkan lebih menekankan pada pengungkapan persoalan ini. Untuk itu perlu pemahaman terhadap subjek yang melakukan tindakan incest itu. Melihat subjek tidak hanya pada yang terlihat secara visual saja, melainkan sampai ranah ruang psikisnya menjadi sangat penting disini. Karena di ruang itu terdapat manuver-manuver yang menggerakkan subjek melakukan suatu tindakan. Subjek sendiri sebenarnya merupakan suatu entitas yang kosong, namun terdapat ruang ketidaksadaran yang sudah berisi berbagai impuls-impuls yang siap untuk mendorong subjek itu melakukan suatu tindakan. Kerinduan subjek atas prinsip kesenangan yang telah hilang, yaitu kesenangannya yang dapat dipenuhi oleh “ibu”, tidak mampu dipenuhi atau bahkan dihalangi oleh struktur sosial telah mengaktifkan mode-mode tertentu dalam diri subjek. Mode yang paling mencolok ada fantasi, dimana di ruang itu subjek bisa melakakukan apa yang tidak boleh oleh struktur. Namun dalam persoalan persetubuhan incest ini tidaklah hasrat itu selesai ditingkat fantasi, melainkan membutuhkan sentuhan material dalam pemenuhan hasratnya itu. Tindakan incest dapat terjadi ketika subjek merasa bahwa tidak ada struktur yang tengah mengawasinya. Dia merasa jika tidak ada kuasa/belenggu struktur atas dirinya tau sengaja menghilangkannya. Sehingga dengan leluasa, subjek pelaku tindakan incest berani mengambil sikap keluar dari belenggu struktur. Struktur yang seyogyanya dapat menuntut subjek untuk patuh padanya, sepertinya gagal dalam mewujudkannya. Untuk itu agar lebih memperjelas masalah ini, perlu juga untuk melihat relasi yang terjadi antara subjek dengan struktur dan begitupun sebaliknya. Dengan melacak itu diharapkan bahwa didapat hal-hal yang fundamental yang menyebabkan terjadinya incest ditengah-tengah struktur yang menolaknya begitu kuat. H. Metode Penelitian 1. Psikoanalisis Dalam Pendekatan Biografi Life Story Penelitian ini bersifat kualitatif, yang lebih mengutamakan kepadatan eksplorasi data yang didapatkan dilapangan. Penelitian kualitatif mencakup, mempelajari memanfaatkan dan mengumpulkan berbagai bahan empiris - studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, cerita hidup, wawancara, artefak, teks-teks produksi budaya dan; observasi sejarah. interaksional, dan teks-visual yang menggambarkan tentang momen rutin dan makna dalam kehidupan pribadi. 38 Dalam penelitian kali ini saya menggunakan pendekatan biografi life story (kisah hidup) dimana dalam pendekatan ini percaya bahwa 38 Lihat Denzin, Norman K & Lincoln, Yvonna S (2005). The Sage Handbook Of Qualitatif Researh Third Edition, hal: 3 terdapat keterkaitan antara kehidupan individual dengan dinamika sosial. 39 Kehidupan individual seseorang (informan) tak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang melingkupinya selama menjadi bagian anggota masyarakat. Pendekatan biografis digunakan untuk menangkap pengalaman-pengalaman informan ketika melakukan tindakan incest, yang mana disekitarnya terdapat institusi-institusi sosial yang selalu melingkupinya. Artinya dalam menjelaskan mengenai perilaku dan kehidupan individual informan maka sekaligus juga sedang membicarakan struktur sosial yang berada disekitarnya.40 Maka dalam penelitian ini tidak hanya secara mendalam menjelaskan mengenai diri informan secara pribadi tentang tindakan incest yang dilakukannya, tapi juga menjelaskan pandangan informan terhadap struktur sosial (lingkungan sosial) secara umum dan khususnya mengenai incest itu sendiri. Bahkan juga, menjelaskan secara mendalam mengenai pandangan institusi-institusi (struktur) terhadap informan pelaku incest. Pendekatan biografis bagi Ferraroti mengijinkan peneliti untuk melihat irama yang terjadi antara biografi (kisah hidup individu) pada sistem sosial ataupun sebaliknya, selain itu juga memediasi hubungan resiprokal yang sifatnya dialektis antara satu masyarakat dengan satu individu secara khusus. 41 Untuk itu dalam penelitian ini sangat perlu melacak kehidupan sehari-hari para informan kunci ini serta keseluruhan masyarakat yang ada disekitar mereka. Penting bagi penelitian ini untuk dapat menunjukkan hal itu, agar dapat melihat relasi antara subjek dengan struktur. Daniel Bertaux dan Isabelle Bertaux – Wiame menggunakan pendekatan penelitian seperti ini menitik-beratkan pada proses keseharian dalam struktur dan 39 Lihat Bertaux, Daniel (1981). Biography and Society: The Life History Approach in The Social Science. Sage publication.inc, hal; 6 40 Ibid, hal; 8-9 41 Ibid, hal;21-22 ketetapannya, menunjukkan kontradiksinya, dan untuk mengikuti dinamikanya melalui alur historisnya.42 Kejadian incest yang ada dalam penelitian ini bukanlah sesuatu yang biasa dialami oleh masyarakat disana. Hal ini bertolak belakang dengan keseharian yang dilakukan oleh keseluruhan masyarakat disana. Mengetahui bahwa incest merupakan hal yang bertolak belakang dengan keseharian masyarakat dapat dilakukan dengan informasiinformasi mengenai keseharian masyarakat yang ada disana sendiri. Sehingga didapatkan letak kontradiksi antara jalannya struktur dengan hal yang bertolak belakang dengannya. Untuk mendapatkan informasi-informasi yang semacam itu, dapat dilakukan dengan mengumpulkan cerita-cerita mengenai kehidupan sehari-hari (daily activity) informan maupun lingkungannya. Seperti yang dikatakan oleh Bertaux, untuk mulai mengumpulkan kisah hidup seseorang dapat melalui cerita yang keluar dari mulutnya (oral) sendiri.43 Artinya disini seorang peneliti harus mampu untuk membuat informannya mengungkapkan berbagai cerita kehidupannya sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam pendekatan biografi life story yang saya lakukan ini sangat mementingkan penuturan informan, terkait dengan incest mereka adalah orang-orang yang mengalami hal itu sendiri. Sedangkan penuturan mereka tidak selalu dapat ditangkap langsung, karena beberapa kali ada penuturan yang sifatnya tidak kronologis atau bahkan keluar dari konteks. Mengingat bahwa incest merupakan tindakan yang traumatik bagi mereka, sehingga banyak hal yang terkesan ditutupi atau menggunakan cerita-cerita lain yang sebenarnya mengarah pada tindakan itu. Sehingga dibutuhkan kemampuan peneliti untuk dapat memaknai setiap penuturan dari informan itu. 42 43 Ibid, hal; 169 Ibid, hal; 7 Kajian biografis sangat berkaitan dengan sisi psikologis seseorang untuk menjelaskan tindakan yang telah dilakukannya. Maka yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mencari dan merekontruksi makna historis dari fenomena psikologis pada suatu masa, dan diungkapkan oleh informan pada saat ini. 44 Saya disini membuat informan untuk dapat menceritakan kembali mengenai tindakan incest yang dilakukan pada beberapa tahun lalu, untuk dapat direkontruksi dalam penelitian ini. Pada saat para informan menceritakan pengalaman hidupnya, saya “memaksa” mereka untuk dapat menggali sangat dalam memori mengenai kejadian incest tersebut. Karena dengan masuk secara dalam pada alam pikiran tersebut, informasi mengenai pokok persoalan pada penelitian ini akan terjawab. Terkait dengan penelitian ini Lacan pernah membicarakan tentang pengungkapan suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang haruslah dilacak hingga kedalam alam ketaksadarannya (unconciscousness) hingga diketahui motif sebenarnya tindakan itu.45 Pada tahap ini saya berhutang pada teknik psikoanalisis yang dipakai Lacan dalam melakukan terapi terhadap pasiennya. Psikoanalisis sangat populer dikalangan para akademisi lintas ilmu setelah dikembangkan oleh Freud. Psikoanalisis Freud menitik beratkan pemikirannya bahwa ketidaksadaran (unconciusness) merupakan titik penting dari munculnya gangguan kejiwaan (psycotic).46 Tehnik terkenal yang digunakan oleh Freud adalah tafsir mimpi. Dalam tafsir mimpi dikumpulkan data-data atau kode-kode tertentu, memahami pengulangan-pengulangan (repetition) si pasien atas peristiwa traumatis dalam hidupnya di masa lalu, dan pengalaman seksual. 44 Ibid. ditulis oleh Jan Szczepanski, hal; 226-228 . Lihat Ecrits, hal: 102-12 46 Untuk selayang pandang pemikiran Freud tentang Psikoanalisisnya baca Memperkenalkan Psikoanalisa. PT. Gramedia.1984.Jakarta. Selain itu 45 Namun selama beberapa dekade psikoanalisis Freud dipertanyakan bahkan banyak yang meninggalkannya. Tapi Lacan mengikuti Freud berusaha menghidupkannya kembali, bahkan melampauinya. Psikoanalisis Lacan bersandar pada pembacaan bahasa. Melihat bahwa ketidaksadaran dibangun seperti sebuah bahasa. 47 Bagi Lacan, psikoanalisis tidak sekedar teori dan praktis untuk mengatasi gangguan kejiawaan, tapi merupakan teori dan praktis menghadapkan individu dengan dimensi eksistensi manusia yang radikal. 48 Lacan juga mengkritik para psikoanalisis yang berorientasi klinik, baginya Psikoanalisis bukan membuat pasien menjadi sembuh, berhasil dalam kehidupan sosialnya, pemenuhan pribadinya. Melainkan, untuk membawa pasien untuk menghadapi penyelarasan mendasar dengan jalan buntu dari hasratnya. Dapat dikatakan bahwa Lacan menginginkan individu yang dapat memahami hasratnya dan pilihan tindakan yang harus dia lakukan sendiri terhadap struktur sosialnya. Penjelasan singkat diatas terkesan sangat psikologis, sedangkan penelitian ini adalah untuk sosiologi. Lacan menerangkan dalam presentasinya “A theoritical Introduction to the Function Of Psycoanalysis in Criminology (1950)” 49 bahwa untuk menjangkau kebenaran pelaku kriminal yang melakukan tindakan kejahatan perlu dilacak hingga ketidaksadarannya (unconciouness) untuk mendapatkan informasi dan alasan melakukan itu. Sering ditemukan bahwa tindakan kejahatan oleh subjek dikatakan karena tidak sadar, terdesak, atau karena intuisi. Hal ini cenderung membingungkan bagi analisa hukumnya. Lacan meletakkan psikoanalisis berdampingan dengan sosiologi untuk dapat menerjemahkannya. Berbekal pernyataan agung dari Saint Paul yang memformulasikan bahwa hukum yang membuat kejahatan. Maksud dari pernyataan ini adalah hukum (super 47 Op.cit, hal; 66-67 Lihat How To Read Lacan, hal: 3 49 Lihat Ecrits, hal: 102-12 48 ego), membuat bahasa untuk mengatur individu, yang melanggar akan disebut sebagai kriminal (sang pelaku kejahatan). Konsekuensi dari pelanggaran itu, maka kriminal harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan diberi hukuman yang macam-macam. Bagi Lacan ini belum selesai perlu ada penjelasan yang lebih terang untuk menyelesaikan persoalan kejahatan. Dalam pandangan sosiologis, individu hidup didalam organisme sosial berperilaku sesuai dengan kebiasaan sekitarnya. Jika dia berbuat diluar sosialnya dan kontra produktif maka dia bisa saja dianggap tidak wajar. Lacan menganggap kriminalitas muncul karena super ego, maksudnya adalah kriminal dibahasakan oleh super ego. Dengan kata lain hukuman seharusnya tidak bisa digeneralisasikan. Sehingga perlu penanganan khusus secara psikologis untuk melacak motif melalui ketidaksadaran dengan melihat struktur yang menyelimutinya. Inilah pada akhirnya psikoanalisa dan sosiologi dapat saling bersinergi dapat melihat persoalan individu dimasyarakat dan begitu juga sebaliknya, masyarakat/struktur mempengaruhi individu. 2. Unit Analisis a) Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Aran Pandang, Jawa Tengah. Alasan dipilihnya lokasi ini terkait dengan kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Terdapat dua kejadian incest antara ayah dengan anak kandungnya yang terjadi di kabupaten ini. Namun kejadian persetubuhan ayah dengan anak dalam satu rumah tangga telah terjadi beberapa kali pada tahun yang sama. Berikut adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti dari berbagai media lokal. Kasus Persetubuhan antara Ayah dengan Anak Dalam Lingkungan Rumah Tangga Di Aran Pandang Waktu Pemberitaan Aktor yang terlibat Tempat kejadian 28 Mei 2013 Ayah kandung Anak Perempuan Dalam Rumah 13 Juni 2013 Ayah tiri Anak Perempuan Dalam Rumah 3 Juli 2013 Ayah Kandung Anak Perempuan Dalam Rumah 5 Juli 2013 Ayah tiri Anak Perempuan Dalam Rumah Sumber: dikumpulkan dari s***pos.com dan Me***ka.com50 Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada “pelaku” hubungan seksual sedarah saja. Lebih khusus adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh ayah dengan anak kandungnya. Tempat dilakukannya interview sendiri terpisah-pisah sesuai dengan para informan berada. Untuk kedua informan kunci, saya melakukan interview di Lapas Aran Pandang dan Alas Watu yang mana mereka ditempatkan untuk menjalani hukuman. Lalu informan yang meliputi tokoh masyarakat dan agama, interview saya lakukan di dukuh Sidorejo dan Worombo, di Kabupaten Aran Pandang yang juga merupakan tempat tinggal para informan kunci. Sedangkan untuk Institusi hukum, saya menemui dan melakukan interview mereka di Polresta Aran Pandang, begitupun dengan petugas lapas yang ada di Aran Pandang dan Alas Watu. b) Pemilihan Informan Melalui sumber tersebut, saya melakukan pelacakan yang dikhususkan pada para pelaku incest melalui pihak-pihak terkait. Karena yang informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah para pelaku tindakan persetubuhan yang 50 LIhat http://www.me***ka.com/peristiwa/ditolak-istri-seorang-ayah-di-boyolali-gagahi-anak-sendiri.html ,http://www.s***pos.com/2013/06/13/pemerkosaan-duh-siswi-smp-diperkosa-ayah-tiri-415429, http://www.me***ka.com/peristiwa/ditinggal-mati-istri-bapak-di-aranpandang-perkosa-anak-kandungnya.html, http://www.me***ka.com/peristiwa/ayah-di-aranpandang-tega-cabuli-anak-tirinya-hingga-800-kali.html diakses pada tanggal 29 Oktober 2013 dilakukan oleh ayah dengan anak kandungnya saja. Lebih mengerucut lagi, yang menjadi informan kunci disini adalah para ayah “pelaku” incest yang di kabupaten ini terdapat dua orang. Para ayah “pelaku” ini dipilih sebagai informan karena sesuai dengan tujuan utama penelitian untuk mencari makna yang sebenarnya dibalik terjadinya incest yang mereka lakukan. Seperti yang dijelaskan oleh Camargo dalam pendekatan kisah hidup ini diperlukan seorang aktor (dalam bahasanya) yang mengetahui tentang persoalan yang dibahas dalam penelitian, dapat mengartikulasikan tindakan yang dilakukannya sendiri, selain itu dapat menjelaskan proses-proses sosial dan sejarah yang melingkupinya dan kronologisnya. 51 Hal ini tentunya hanya akan didapatkan dari subjek “pelaku” tindakan incest yang mengalami kejadian itu sendiri.52 Sehingga kedua subjek “pelaku” incest itu kemudian akan disebut sebagai informan kunci dalam penelitian ini. Selanjutnya bukan hanya informan kunci seperti yang dijelaskan diatas saja, sehingga untuk kebutuhan pemenuhan data saya juga mencari informan pendukung untuk memperkuat argumentasi pada penelitian ini nantinya. Dibutuhkan informan pendukung yang juga mengetahui seluk beluk dari informan kunci dan kesehariannya. Selain itu mereka juga harus memahami melalui pengalamannya selama hidup dalam institusi-institusi sosial. Baik mengenai aturan hidup, cara berperilaku dan berpikir yang menjadi common sense, dan kebiasaan yang ada. Intinya mereka merupakan representasi dari dari tiap institusi yang mereka ikuti, mereka merupakan mediator 51 Dalam Bertaux,D. hal; 196-197 Saya menggunakan pilihan kata pelaku bukan merujuk pada identitas yang diberikan oleh hukum positif sebagai subjek yang dianggap bersalah dalam tindakannya, melainkan lebih bermaksud pada subjek yang melakukan dan memiliki pengalaman tentang tindakan incest. 52 dari struktur sosial ada.53 Sehingga yang dipilih dalam penelitian ini adalah orangorang yang selain memiliki hubungan secara sosial dengan subjek “pelaku” incest, juga orang yang mengetahui seluk beluk struktur sosial. Seperti misalnya tokoh masyarakat, agama, polisi, dan petugas Lapas. Saya mendapatkan nama para informan kunci setelah melakukan penelusuran terhadap mereka melalui berbagai pihak. Dua informan kunci dalam penelitian saya bernama As dan Puj. Keduanya merupakan ayah yang melakukan hubungan seksual incest dengan anak kandungnya sendiri. Sedangkan untuk informan pendukung, seperti yang disebutkan sebelumnya mereka berasal dari beberapa institusi. Had dan Dar, merupakan representasi dari institusi “masyarakat” dimana kedua informan kunci itu tinggal. Keduanya, karena telah hidup bersama dalam hubungan bertetangga cukup lama maka dianggap sangat mengetahui kehidupan sehari-hari As dan Puj. Lalu di institusi hukum terdapat tiga informan yaitu, Bay, An, Ut dan petugas Lapas. Petugas lapas hanya memiliki porsi sedikit dalam penelitian ini karena tidak banyak informasi yang dapat diberikan oleh mereka. Selanjutnya yang terakhir adalah Kat dan Had yang merupakan representasi dari institusi agama. Keduanya dianggap memiliki pengetahuan agama yang baik di wilayah tempat tinggal para subjek “pelaku” incest tersebut. Saya menggunakan nama inisial yang disamarkan untuk para informan dalam penelitian ini, karena dengan sangat sadar dan mengakui bahwa persoalan incest masih amatlah sensitif jika dibicarakan. Apalagi hal ini sudah masuk ranah hukum negara, beberapa informan meminta kepada saya untuk menyamarkan nama mereka 53 Ibid,ditulis oleh Franco Ferrarotti,hal; 23-24 agar tidak ada resiko disuatu hari nanti. Selain itu dengan menunjukkan itikad seperti ini kepada kedua informan kunci membuat mereka lebih leluasa untuk bercerita kepada saya. Sehingga diputuskan untuk penelitian ini bahwa nama informan hingga nama daerah (dukuh hingga kabupaten) disamarkan. 3. Teknik Pengumpulan Penelitian ini dimulai Maret 2014 setelah membaca beberapa sumber yang didapat dari media massa lokal yang memberitakan akan adanya kasus incest di Aran Pandang. Diawali dengan pelacakan para informan yang akan diinterview untuk kebutuhan penelitian ini. Pelacakan informan ini dilakukan karena pada saat itu benarbenar belum mengetahui dimana posisi para informan kunci itu tinggal. Karena pada saat itu kedua informan kunci tidak lagi tinggal di kedua dusun yang seperti diberitakan oleh media massa lokal itu. Penelurusuran dimulai dengan mencari informasi melalui pihak kepolisian. Ada seorang polisi yang sudah saling berkomunikasi dengan saya terkait dengan adanya kasus ini. Dia bersedia membantu untuk melacak melalui dokumendokumen yang menjadi arsip pihak kepolisian Aran Pandang. Namun sayangnya kami tidak menemukan dokumen lengkap terkait pemeriksaan hukum (BAP) para informan kunci, karena menurutnya dokumen itu berada di Unit kepolisian lain (Unit Perlindungan Anak Dan Perempuan). Saya hanya mendapatkan informasi singkat mengenai nama asli, waktu pemeriksaan, dan alamat mereka tinggal saja. Selain itu saya juga mendapatkan informasi singkat mengenai pandangan polisi itu terhadap kejadian incest menurut pribadi dan hukum yang berlaku. Kemudian dia menyarankan kepada saya untuk melengkapi surat-surat perijinan agar dapat menemui pihak Unit Perlindungan Anak Dan Perempuan Polres Aran Pandang atau langsung saja menuju ke Lapas Aran Pandang, karena biasanya untuk pertama kali tahanan masuk biasanya ditempatkan disana. Sehingga mereka mungkin tahu dimana para informan kunci itu ditempatkan. Selanjutnya saya menuju ke Lapas Aran Pandang untuk meminta keterangan mengenai posisi kedua informan kunci saya saat ini ditempatkan. Disanalah pada akhirnya kedua informan kunci saya tersebut ditemukan keberadaaannya. Menurut pihak Lapas kedua informan saat itu berada di Lapas aran Pandang dan Alas Watu. Namun sebelum saya melakukan interview kepada para informan kunci, pihak Lapas menyarankan saya untuk melengkapi perijinan baik dari universitas maupun Kemenkumham. Saya menyanggupi, dan mengapresiasi keramahan mereka dalam mendukung adanya penelitian diwilayah mereka. Pada April 2015, setelah semua surat perijinan saya lengkap. Saya menuju Polres Aran Pandang untuk mendapatkan informasi mengenai pandangan hukum terhadap incest dan pelakunya. Begitupun juga pada saat saya berada di Lapas Aran Pandang, disana mendapatkan sedikit pandangan mengenai pelaku incest. Sayangnya dikedua lembaga negara tersebut saya tidak mendapat akses untuk melihat BAP dari kedua informan kunci karena merupakan rahasia negara. Pada Juli hingga Desember tahun 2015, saya melakukan interview kepada kedua informan kunci dan juga para tetangga mereka yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat. Pada kedua informan kunci yang merupakan para pelaku tindakan incest itu saya menerapkan teknik mengungkap informasi yang terdalam dari mereka, yaitu dengan membiarkan pembicaraan itu mengalir begitu saja dari para informan. Hal ini merupakan teknik yang digunakan oleh Freud dan kemudian diikuti oleh Lacan dalam mengungkap berbagai informasi dari pasien mereka. Teknik ini disebut sebagai free association, dimana lebih mengutamakan analisis terhadap pengalaman pasien (informan) dalam kehidupannya sehari-hari serta menguak fantasi dan hasrat terdalam yang keluar dari mulut mereka sendiri tanpa intervensi dari luar (peneliti atau pihak lain). 54 Sesuai yang diinginkan pendekatan biografi life story yang mengutamakan story telling untuk mengungkap pengalaman individu seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan dalam free association melihat gestur dan kesalahan-kesalahan bicara yang kemudian diralat oleh para informan, karena disana terkadang terdapat makna yang tersembunyi. Oleh sebab itu disini saya sebagai peneliti harus menempatkan diri sebagai teman bicara.55 Cara ini cukup berhasil dalam penelitian ini untuk menumbuhkan kepercayaan informan kepada saya, karena salah satu informan kunci (off the record) mengutarakan bahwa diharapkan pembicaraan ini tidak hanya berhenti sampai disini saja dan dia berharap suatu hari bisa bertemu lagi untuk saling berdiskusi. Hal ini juga terjadi pada informan pendukung yang berasal dari tokoh masyarakat dan agama, bahwa pertemuan dengan mereka merupakan awal terbentuknya hubungan persaudaraan. Untuk itu dibutuhkan kesabaran tinggi peneliti pada saat menjadi teman bicara informan. Selain itu juga dibutuhkan pendengaran yang baik oleh peneliti, dalam memahami setiap detil kata yang diucapkan oleh informan. Untuk itu saya menggunakan bantuan teknologi alat perekam, agar bisa secara tepat memahami ucapan informan.Tentunya penggunaan alat perekam itu seizin dari para informan. Tugas utama seorang psikoanalis (peneliti) adalah untuk mendengar (listening) apa yang diucapkan oleh informan, mendengar disini berarti tidak berusaha langsung mengerti (pura-pura 54 55 Lihat, Ecrits, hal; 65-66 Ibid, hal; 67 mengerti) namun lebih pada memahami kondisi saat terjadinya pembicaraan, memperhatikan secara seksama setiap ucapan dari informan, dan membandingkan juga dengan pengalaman kita.56 Itulah pentingnya ada bantuan alat perekam, sehingga kita tidak terburu-buru dapat mengambil kesimpulan atas apa yang kita dengan pada saat pembicaraan itu terjadi. Melainkan kita bisa mengulangnya agar detil dari pembicaraan itu tidak hilang. Setelah semua data interview terkumpul, sampailah pada tahap untuk melakukan pemilahan data. Dalam melakukan analisis tidak hanya menggunakan data yang didapatkan dari interview saja, melainkan dibutuhkan juga observasi dan sumber-sumber literatur yang mendukung untuk penelitian ini seperti Undang-undang atau kitab-kitab suci. Selain itu pula penting dalam membandingkan data interview yang diberikan oleh informan kunci dengan interview dengan informan pendukung sebagai model untuk melakukan triangulasi data. Seperti yang diungkapkan Elder, bahwa analisis dengan menggunakan data dari informan saja melainkan juga perlu memperhatikan keterangannya dengan struktur sosial yang ada disekitar sebagai proses yang dialektis. 57 Hal ini saya lakukan dengan cara membandingkan antara yang diungkapkan oleh informan kunci dengan para pihak lain seperti Polisi, Tokoh agama, dan Tokoh masyarakat. Disinilah didapatkan kepaduan data yang mengerucut pada tujuan utama kajian penelitian yang saya lakukan. 56 57 Lihat Fink, Bruce, hal; 1-3 Lihat dalam Bertaux.D, hal;108 4. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini saya melakukan analisa dengan pendekatan psikoanalisa Lacanian dimana lebih pada pembacaan bahasa. Sedangkan bahasa itu dapat muncul melalui pengujaran-pengujaran oleh subjek penelitian. Sebelum melakukan intepretasi, diperlukan formulasi pertanyaan yang dapat membuat subjek mampu menceritakan pengalaman dan kenangannya yang mungkin menyakitkan baginya. Dalam hal ini peneliti harus berada dalam posisi yang sama dengan subjek penelitiannya, terkait kata dan ekspresinya, dan tidak membangun pertanyaan sesuai dengan pikiran-pikiran yang sebelumnya dibawa oleh peneliti.58 Hal ini dilakukan agar data terkumpul murni dari ujaran dari subjek dan tidak ada intervensi dari peneliti sebelum dilakukan intepretasi. Dalam pembacaan data melalui psikoanalisis Lacanian diperlukan kesabaran dan tidak boleh begitu saja menyederhanakan informasi yang diberikan oleh subjek. Untuk itu menurut Lacan (dalam Fink) menyatakan bahwa interpretasi yang disediakan oleh peneliti tidak bermaksud ditemukan dalam pengetahuan subjek itu sendiri, namun dapat menambahkan kedalam pengetahuan itu sendiri dan memberikan makna atasnya. 59 Dimana artinya disini peneliti harus dapat memaknai berbagai ujaran-ujaran yang disampaikan oleh subjek penelitian untuk dapat melakukan analisa. Artinya pula peneliti perlu untuk mereduksi berbagai informasi itu untuk merujuk pada makna tertentu agar kemudian dapat dibaca. Dengan begitu maka dalam pembacaan data kita dapat melihat dan mengaitkan hubungan-hubungan subjek dengan lingkungan sosialnya. Hal ini selain untuk melihat 58 59 Lihat Fink, Bruce, hal; 1-3 Ibid, hal; 82 kaitan hasrat subjek dengan dunia sosialnya juga melihat bahasa-bahasa apa saja yang menempel pada subjek itu. Melalui pembacaan data yang seperti ini, maka analisisnya akan sangat mendalam hingga ke dasar alam ketaksadaran subjek. Setelah itu, peneliti juga perlu melihat pula informasi-informasi dari informan lain mengenai subjek penelitian sebagai bentuk triangulasi. Hal ini juga berguna untuk melihat subjek diluar dirinya sendiri, dan bagaimana dirinya dinilai oleh lingkungan sekitarnya. Karena dengan begitu analisis mengenai hasrat dan juga bentuk-bentuk represinya akan terlihat.