Seri Hukum dan Keadilan Iklim ii Seri ini adalah publikasi untuk menyebarluaskan proses-proses pem­ belajaran dan karya ilmiah mengenai aspek hukum dalam persoalanpersoalan perubahan iklim. Seri ini diterbitkan atas dasar pertimbangan masih kurangnya publikasi-publikasi mengenai perubahan iklim yang berfokus pada persoalan hukum, keadilan sosial dan lingkungan. Tema-tema ini mempunyai arti penting bagi Indonesia mengingat kompleksnya persoalan-persoalan ekologis dan sosial akibat perubahan iklim, kebijakan dan proyek-proyek yang terkait dengannya. Bagaimanakah kebijakan dan proyek-proyek ini menjamin keseimbangan keadilan bagi masyarakat yang paling rentan dan paling terkena dampak proyek serta dampak perubahan iklim itu sendiri serta keadilan terhadap lingkungan? Inilah tema-tema pokok dari rangkaian publikasi dalam Seri ini. Khusus publikasi dalam Seri ini diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dengan dukungan pendanaan dari Rainforest Foundation Norwegia. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 2 08/11/2010 9:03:03 SERI HUKUM DAN KEADILAN IKLIM Hukum, Perubahan Iklim dan REDD Prosiding pelatihan kerangka hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif hak masyarakat dan keberlanjutan hutan iii Penyunting: Bernadinus Steni dan Mumu Muhajir HuMa Jakarta, 2010 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 3 08/11/2010 9:03:04 Hukum, perubahan iklim dan REDD: Prosiding pelatihan kerangka hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif hak masyarakat dan keberlanjutan hutan / Penyunting: Bernadinus Steni dan Mumu Muhajir. –Ed.1. –Jakarta: HuMa, 2010. viii, + 140 hlm. : Ill. : 23 x 15 cm. ISBN : 978-602-8829-07-6 Hukum, perubahan iklim dan REDD: Prosiding pelatihan kerangka hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif hak masyarakat dan keberlanjutan hutan iv © 2010 All rights reserved Penyunting: Bernadinus Steni Mumu Muhajir Penyelaras bahasa: Rohimah Sumber foto cover : Mumu Muhajir Penata letak: @cep. M Edisi pertama: Mei 2010 Penerbit: HuMA-Jakarta Jl. Jati Agung No.8 Jakarta 12540 Telepon: +62-21-78845871; 78832167 Faksimile: +62-21 7806959 E-mail: [email protected]; [email protected] Website: www.hukumdanmasyarakat.org; www.huma.or.id Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 4 08/11/2010 9:03:04 Kata Pengantar H arapan dan kekecewaan dapat saja dialamatkan pada berbagai hasil perundingan internasional terkait perubahan iklim. Demikian pula telah jamak kita ketahui bahwa berbagai skema mitigasi dan adaptasi tidak seluruhnya mampu menjamin keadilan sosial dan lingkungan, utamanya bagi masyarakat-masyarakat pemilik dan pengelola sumber daya di negara-negara berkembang. Namun, kekuatan global rezim perubahan iklim secara kontinyu terus mencengkeramkan pengaruhnya di negara-negara berkembang, secara khusus pemilik hutan tropis. Indonesia tengah berada di dalam pusaran ini. Pemerintah secara aktif menyiapkan instrumen hukum nasional serta pe­rangkat kelembagaan bagi upaya menyambut proyek-proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Tetapi, sampai dimanakah kesiapan masyarakat menghadapi perubahan-perubahan yang akan dibawa oleh proyek-proyek pe­ rubahan iklim ini? Apakah agenda-agenda laten dan manifes dari ber­bagai instrumen hukum dan perjanjian internasional yang patut mereka antisipasi? Lebih penting lagi, bagaimana masyarakat mampu menyiapkan diri di tengah terbatasnya informasi yang mereka miliki? Pelatihan tentang Kerangka Hukum dan Kebijakan Perubahan Iklim, khususnya REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) yang diselenggarakan oleh Learning Centre Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) pada tanggal 2-6 November 2009 bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi komponen organisasi masyarakat sipil untuk memahami dan menganalisis berbagai agenda di balik perundingan internasional perubahan iklim. Secara khusus, pelatihan ini membahas bagaimana skema hukum REDD dapat mendukung atau bahkan mengancam upaya pengakuan dan penguatan hak masyarakat adat/lokal dan pelestarian hutan di Indonesia. Pelatihan ini memperoleh sambutan positif dari para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang menjadi pesertanya. Para narasumber dari LSM maupun Perguruan Tinggi telah berhasil membagikan informasi dan mendorong diskusi analitis terhadap beberapa persoalan sentral terkait aspek hukum perubahan iklim dan REDD. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 5 v 08/11/2010 9:03:04 Prosiding yang kami hadirkan ke hadapan pembaca sekalian merekam proses belajar yang berlangsung dalam Pelatihan tersebut. Kami berharap Prosiding ini bermanfaat tidak hanya bagi mereka yang menjadi peserta Pelatihan tetapi juga khalayak lebih luas yang tertarik untuk mendalami permasalahan ini. Bagi kami, Prosiding ini adalah pemacu untuk terus men­jalan­kan kegiatan inspiratif bagi pembelajaran untuk dan bersama masyarakat demi membangun orde pengelolaan sumber daya yang lestari dan berkeadilan sosial. Seturut selesainya Pelatihan dan penyusunan Prosiding ini, kami meng­ucap­kan terima kasih kepada para narasumber, peserta Pelatihan, fasilitator, perekam proses diskusi, dan kawan-kawan kami yang telah mem­bantu terselenggaranya Pelatihan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Rainforest Foundation Norwegia yang telah mendukung terselenggaranya Pelatihan dan penerbitan Prosiding ini. vi Jakarta, 31 Maret 2010 Myrna A. Safitri Koordinator Eksekutif Learning Centre HuMa Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 6 08/11/2010 9:03:04 Daftar isi Kata Pengantar .................................................................... v 1. Pendahuluan ................................................................. 1 2. Perubahan iklim: Sebab-sebab dan dampaknya ........... 4 3. Perubahan iklim dan hutan ........................................... 25 4. Perubahan Iklim dan REDD dalam Hukum dan Kebijakan Internasional .................................................................. 44 5. Perubahan Iklim dan REDD dalam Hukum dan Kebijakan Nasional Indonesia ........................................................ 75 6. Skema-skema Kontrak REDD ......................................... 93 vii 7. Kajian Learning Center Mengenai Kerangka Hukum dan Kebijakan ................................................................ 109 8. Perkembangan-perkembangan Proyek Percontohan REDD .............................................................................. 114 9. Teks Perundingan PBB mengenai REDD ........................ 126 Lampiran ........................................................................ 138 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 7 08/11/2010 9:03:04 viii Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 8 08/11/2010 9:03:04 1. Pendahuluan Latar Belakang Perubahan iklim tidak lagi menjadi isu yang asing ketika literatur klasik seperti karya Gerard Foley (1991) berjudul Global warming: Who is taking the heat? muncul sebagai rujukan pengetahuan. Saat ini, pemanasan global diberitakan dan dibahas hampir tiap hari; tidak hanya sebab dan akibatnya, tetapi juga upaya pencegahan (mitigation) dan penyesuaian (adaptation) terhadap akibat-akibatnya. Perubahan iklim menjadi semakin sering dipergunjingkan ketika IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengeluarkan ber­ bagai temuan terbaru mengenai trend perubahan iklim. Beberapa temuan ter­sebut, misalnya, menyatakan bahwa konsentrasi gas CO2 di atmosfer makin meningkat dari 278 partsper million (ppm) pada era praindustri (pra-1850) menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Kenaikan ini mengakibatkan peningkatan pemanasan atmosfer bumi yang menimbulkan sejumlah dampak, seperti es mencair, kenaikan permukaan air laut, dan perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut diprediksi akan menenggelamkan 6% daerah Belanda, 17,5% daerah Bangladesh, dan kurang lebih 2000 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam (IPCC 2007). Perubahan-perubahan mendasar pada iklim muka bumi selanjutnya mengakibatkan perubahan signifikan pada iklim lokal. Hal itu berdampak pada pergeseran pola tanam dan munculnya berbagai jenis hama dan penyakit. Horor lingkungan dan ancaman terhadap keselamatan manusia dalam perubahan iklim menyatukan berbagai negara untuk membuat tanggapan bersama sehingga melahirkan Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992 atau dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Salah satu targetnya adalah pengurangan emisi negara-negara industri yang dikenal dengan sebutan negara-negara Annex I sebesar 5,2% dari level di tahun 1990. Di bawah payung Konvensi ini, berbagai perundingan perubahan iklim untuk menyepakati pengurangan emisi dan skemaskema pendukungnya terus berlanjut, antara lain melahirkan sebuah kesepakatan monumental yaitu Protokol Kyoto. Terlepas dari segala kelemahannya, Protokol ini memberi preseden bagi kesepakatan hukum yang mengikat dalam isu ini. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 1 1 08/11/2010 9:03:04 2 Namun, pasca-Protokol Kyoto, terdapat berbagai dorongan agar cakupan masalah dalam perubahan iklim diperluas dengan mem­ pertimbangkan temuan-temuan ilmiah tertentu. Salah satu temuan IPCC, misalnya, menyebutkan bahwa dari total emisi karbon sekarang, seperlimanya merupakan sumbangan dari aktivitas perubahan tata guna lahan. Bahkan, sumbangan terbesarnya berasal dari deforestasi di hutan tropis (IPCC 2007). Temuan ini, bersamaan dengan berbagai agenda ekonomi-politik lainnya, kemudian mendorong masuknya isu hutan dan kehutanan ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim. Salah satu skema baru yang dibahas di bawah tema kehutanan adalah REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). REDD menjadi salah satu isu yang menimbulkan per­debatan di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat sipil. Seberapa jauh skema REDD dapat memberikan perlindungan bagi hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen internasional lain, seperti United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, adalah pertanyaan utama dalam perdebatan tersebut. Pertanyaan lain, terutama yang berkembang dalam gerakan lingkungan, adalah apakah skema ini dapat menjamin keberlanjutan hutan di Indonesia? Kedua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang integratif antara berbagai aspek dan disiplin keilmuan. Menggali aspek hukum merupakan salah satu cara agar beberapa jawaban tersebut dapat diperoleh. Dalam kaitan untuk mendiskusikan aspek-aspek hukum dan kebijakan mengenai REDD, maka Learning Centre Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mengadakan Pelatihan tentang Kerangka Hukum dan Kebijakan Perubahan Iklim, khususnya REDD. Pelatihan ini merupakan upaya belajar bersama secara reflektif untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana skema hukum REDD dapat mendukung atau bahkan mengancam upaya pengakuan dan penguatan hak masyarakat adat/ lokal dan pelestarian hutan di Indonesia. Tujuan Pelatihan ini adalah untuk merefleksikan skema-skema hukum dan kebijakan REDD, berkaitan dengan hak masyarakat dan keberlanjutan hutan serta merumuskan rencana-rencana belajar bersama mengenai REDD dan perubahan iklim. Melalui Pelatihan ini pula maka kami mengharapkan adanya peningkatan pemahaman peserta mengenai skema-skema REDD dan implikasi hukumnya bagi masyarakat adat/lokal serta keberlanjutan hutan dan adanya kesepakatan mengenai rencana pengembangan berbagai model lingkar belajar terkait dengan isu ini. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 2 08/11/2010 9:03:04 Publikasi ini merupakan Prosiding dari Pelatihan dimaksud. Di dalamnya terdapat berbagai materi yang disampaikan oleh para narasumber dan hasil-hasil diskusi peserta Pelatihan. Pada bab 2 terdapat materi mengenai pengantar terhadap isu-isu dasar dalam perubahan iklim; bab 3 adalah bagian yang menjelaskan keterkaitan persoalan kehutanan dengan perubahan iklim; bab 4 berisikan materi mengenai perubahan iklim dalam kerangka hukum dan kebijakan internasional; bab 5 secara khusus membahas mengenai perubahan iklim dan REDD dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional; bab 6 mengenai berbagai skema kontrak yang diduga akan muncul dalam proyek-proyek REDD; bab 7 adalah bagian yang memaparkan berbagai proyek percontohan REDD dan perkembangannya; akhirnya bab 8 membahas tentang teks perundingan mengenai perubahan iklim dan usulan kelompok masyarakat sipil Indonesia terhadapnya. 3 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 3 08/11/2010 9:03:04 2. Perubahan iklim: Sebab-sebab dan dampaknya 4 Pengantar Bagian ini menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan ter­ jadi­nya perubahan iklim dan akibat-akibatnya, terutama bagi ke­ selamatan manusia dan keberlanjutan muka bumi. Pemahaman atas topik ini merupakan dasar menuju topik yang lebih spesifik terkait perubahan iklim seperti halnya REDD. Sebagai pengantar diskusi, topik ini juga akan menjelaskan mengenai urgensi membahas isu hutan dalam perbincangan mengenai perubahan iklim. Apa saja faktor dari dan yang berkenaan dengan kawasan hutan yang mengakibatkan perubahan iklim dan dampaknya bagi manusia. Narasumber untuk sesi ini adalah Nur Hidayati. Ia bekerja di Greenpeace dan aktif mengawal proses-proses politik maupun kebijakan yang berhubungan dengan perubahan iklim. Presentasi narasumber Pemanasan global adalah peningkatan suhu atmosfer yang terjadi dalam dua abad terakhir. Di bawah ini adalah hasil pemantauan IPPC mengenai pemanasan global. Mereka melakukan pengamatan iklim khususnya di atmosfer sejak tahun 1800-an. Tampak jelas dalam pengamatan itu bahwa temperatur bumi mengalami peningkatan yang cukup tajam (lihat Grafik 1). Grafik 1. Perkembangan kenaikan temperatur bumi Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 4 08/11/2010 9:03:05 Dari grafik di atas terlihat bagaimana kenaikan temperatur semakin tinggi sejak era 1800-an. Era ini adalah saat dimulainya revolusi industri. Saat itu bahan bakar fosil seperti minyak dan batubara mulai digunakan secara masif. Inilah yang kemudian memicu terjadinya pemanasan global. Kenaikan temperatur tersebut mengancam kelangsungan kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, para ahli bersepakat bahwa temperatur atmosfer bumi tidak boleh naik lebih dari dua derajat celcius. Jika lebih, maka berbagai ekosistem yang ada di bumi akan mengalami kekacauan. Akhirnya akan terjadi kekacauan pola angin, arus laut, dan lain-lainnya. Peta 1. Kenaikan temperatur di permukaan bumi 5 Pada intinya, pemanasan global akan membuat sistem bumi kita ini akan berhenti berjalan seperti semula. Untuk mendukung penyataan itu, saya tampilkan gambar-gambar fenomena terjadinya efek pemanasan global atau efek rumah kaca (lihat Gambar 1). Sering terjadi kesalahpahaman bahwa gedung-gedung bertingkat, yang terbuat dari kaca menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Padahal maksudnya bukan demikian. Di Indonesia, efek rumah kaca mungkin tidak terlalu umum. Rumah kaca ini biasanya dipakai di negara-negara empat musim. Negaranegara tersebut tidak sepanjang tahun memiliki matahari dan tidak Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 5 08/11/2010 9:03:06 sepanjang tahun itu cuacanya cocok dengan pertanian. Karena itulah para penduduknya membuat rumah-rumah kaca untuk menangkap panas matahari. Rumah itu menyimpan panas sehingga penduduk dapat melakukan penanaman di dalamnya. Ibaratnya sebuah mobil yang kita parkir di lapangan di bawah panas terik matahari dengan kaca tertutup. Cepat atau lambat bagian dalam mobil tersebut akan panas. Efek memerangkap panas inilah yang kemudian disebut dengan efek rumah kaca. Dengan efek tersebut, negara-negara empat musim masih dapat melakukan pertanian karena ruangan masih tetap hangat. Atmosfer bumi memiliki efek yang sama dengan rumah kaca tersebut (lihat Gambar 1). Gambar 1. Efek gas rumah kaca 6 Bumi memiliki beberapa macam unsur kimia: CO2, metana dan lain-lainnya. Gas-gas ini berfungsi sebagai selimut bumi. Kalau tidak ada gas tersebut maka temperatur bumi akan sangat dingin dan tidak layak untuk didiami manusia. Gas-gas inilah yang memerangkap sinar matahari yang turun ke bumi atau kerap disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Matahari menghasilkan beberapa radiasi, antara lain radiasi panas dan radiasi ultraviolet. Sebagian radiasi panas dipantulkan ke bumi Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 6 08/11/2010 9:03:07 oleh lapisan atmosfer. Radiasi panas tersebut kemudian berkumpul di bumi sehingga bumi menjadi lebih hangat. Dalam konteks itu, sebenarnya gas-gas itu (CO2, metana, dan sebagainya) berfungsi me­ nolong makhluk hidup di bumi. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Ketika terjadi revolusi industri pemakaian bahan bakar fosil yang diobral secara besar-besaran menghasilkan GRK yang terus meningkat di atmosfer bumi. Konsentrasi GRK yang tadinya tidak terlalu besar sekarang menjadi sangat besar. Akibatnya, panas yang terperangkap di bumi semakin banyak. Bahan bakar fosil penyebab pemanasan global itu asalnya ada dua sumber. Pertama, sumber alamiah yang antara lain berasal dari letusan gunung berapi dan proses biologis. Proses biologis berasal dari semua mahluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan yang telah mati. Semua mahluk hidup berasal dari satu senyawa yaitu karbon. Jadi, semua mahluk hidup memiliki karbon. Ketika hewan, manusia, dan tumbuhan mati maka akan terjadi proses pembusukan. Dari proses pembusukan itu akan dikeluarkan juga GRK. Sumber alamiah ini tidak menyebabkan perubahan yang penting. Misalnya, letusan gunung berapi hanya terjadi beberapa saat saja, tidak setiap saat. Letusan itu menimbulkan konsentrasi yang besar. Efek paling berbahaya yang menyebabkan pemanasan global adalah sumber kedua yakni aktivitas manusia yang dilakukan secara terusmenerus. Proses industri dan transportasi semuanya menggunakan bahan bakar yang berbasis karbon sehingga melepaskan emisi karbon yang sebetulnya sudah tertanam jutaan tahun dalam perut bumi. Demikian pula halnya dengan pertanian melalui pembukaan kawasan yang luar biasa besarnya. Hal ini dipicu antara lain oleh industrialisasi pertanian sehingga turut menyumbang akumulasi karbon di atmosfer bumi. Secara global, sejak tahun 1800-an emisi di negara-negara industri diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar dari fosil. Namun, pada periode pertengahan 1900-an, negara-negara berkembang juga mulai mengeluarkan emisinya. Sebagian besar emisi negara berkembang bukan berasal dari industri, tetapi lebih banyak dari kehutanan karena sebagian besar masya­rakatnya agraris. Kemudian terjadi proses industrialisasi pertanian sehingga dunia pertanian menjadi skala industri. Industri menghadirkan teknologi dan metode-metode shortcut yang memicu terjadinya pembukaan-pembukaan lahan. Akibatnya, menurut temuan IPCC emisi pertanian cukup besar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 7 7 08/11/2010 9:03:07 Kotak 1. Penyebab pemanasan global • CO2, metana, dan lain-lain; • Sumber alamiah (letusan gunung berapi, proses biologis, dan dekomposisi materi organik); • Aktivitas manusia (pembakaran bahan bakar fosil: pem­ bangkit listrik, transportasi, proses industri; akti­vi­tas nonenergi: pertanian, pembersihan lahan, pembakaran sampah). Pada saat ini komposisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global secara umum 80% berasal dari bahan bakar fosil dan 20% dari deforestasi, pembakaran atau kebakaran hutan, dan pembukaan lahan (lihat Gambar 2). 8 Gambar 2. Komposisi GR Bahan bakar fosil Penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan 80% 20% Persoalan lain lagi terkait dengan penyebab perubahan iklim adalah distribusi sumber daya di seluruh dunia yang tidak merata. Dua puluh persen penduduk dunia yang mendiami daerah industri mengkonsumsi 80% sumber daya alam di dunia (lihat Peta 2 mengenai Konsumsi sumber daya dunia). Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 8 08/11/2010 9:03:09 Peta 2. Konsumsi sumber daya dunia 2005 Keterangan: Warna merah adalah tingkat konsumsi sumber daya. Makin merah makin tinggi konsumsinya. 9 Pola konsumsi negara-negara maju yang sangat tinggi berasal dari pengerukan atau eksploitasi sumber daya alam di negara berkembang atau negara miskin yang kaya sumber daya alam. Negara berkembang sendiri hanya mendapat sebagian kecil dari sumber daya yang mereka miliki. Sebagian besarnya diborong oleh negara maju. Dampak perubahan iklim Dampak perubahan iklim sudah bisa kita rasakan. Beberapa pola iklim dan cuaca saat ini tidak bisa kita prediksikan lagi sehingga pergantian musim sulit diramal. Di Ekuador misalnya, curah hujan terus berkurang. Dalam satu tahun biasanya ada empat bulan musim hujan. Sekarang jumlah tersebut terus menyusut hanya sekitar dua hingga tiga bulan. Namun, volume air yang dibutuhkan akibat pemanasan global semakin banyak. Misalnya, satu bak penampungan air seharusnya dihabiskan empat bulan. Sekarang bisa habis hanya dalam dua bulan. Penyerapan air yang luar biasa cepatnya kemudian mengganggu proses-proses lainnya, misalnya hujan jarang datang. Ketika hujan datang, itupun disertai dengan badai dan curahan yang sangat lebat. Hari datangnya hujan semakin sedikit, tetapi intensitasnya semakin deras. Hal inilah yang menyebabkan bencana. Pola manajemen lingkungan kita yang buruk terus memperparah ekosistem. Terjadi peningkatan cuaca ekstrim misalnya angin topan tropis. Akhir-akhir ini di Filipina terjadi badai yang luar biasa. Sekarang ini, iklim tropis dan subtropis semakin tidak ada bedanya. Ekor angin Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 9 08/11/2010 9:03:10 10 topan makin sering masuk ke daerah tropis. Padahal sebelumnya angin topan badai tersebut hanya terjadi di wilayah sub-tropis. Contoh lain, beberapa waktu yang lalu Bali tersapu badai cukup hebat karena efek angin topan dari Australia. Peningkatan suhu global juga makin terasa. Pada tahun 2007, di Eropa banyak orang yang meninggal karena suhu panas. Di kawasan tropis, muncul dan berkembang biak penyakit-penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah, yang merupakan penyakit yang berkembang dengan cepat pada suhu panas. Sementara itu, di Indonesia terjadi kekeringan karena curah hujan yang tidak merata lagi dan tidak ada hujan serta banjir bandang karena intensitas hujan yang berlebihan. Dari temuan beberapa penelitian di Asia, kenaikan temperatur secara global satu derajat celcius akan menyebabkan penurunan panen gandum sampai 5%. Penurunan tersebut tentu berakibat kepada rentetan dampak yang lain, seperti kelaparan, konflik, dan seterusnya. Dampak dan kerentanan setiap wilayah beda-beda. Namun, Asia-lah yang paling rentan. Dari seluruh wilayah Asia, Asia Tenggara-lah yang paling tidak siap menghadapi perubahan iklim. Apalagi Indonesia yang kondisi geografisnya sangat unik karena berada di antara dua benua dan dua samudra sehingga fenomena alamnya menjadi tidak menentu akibat pemanasan global. Dampak terhadap beberapa ekosistem lain dapat ditemukan pada air. Jika ada kenaikan temperatur satu derajat, maka akan terjadi penurunan yang signifikan terhadap ketersediaan air yang mengakibatkan 0,4 sampai 1,7 miliar orang kekurangan air. Demikian juga terhadap makhluk hidup lain dan ekosistem secara keseluruhan. Pengaruhnya cukup banyak berdampak kepada manusia. Apa yang harus dilakukan? Sebenarnya fenomena perubahan iklim sudah menjadi pem­ bicaraan setiap tahun terutama pada tahun 1992 ketika ada Earth Summit berlangsung di Rio de Janeiro.1 Waktu itu fenomena perubahan iklim sudah teramati dan negara-negara membuat sebuah kerangka konvensi, UNFCCC. Konvensi ini menjadi konsesus pemimpin dunia. Catatan penyunting: Sebetulnya, pembicaraan tentang Perubahan Iklim yang melibatkan organisasi-organisasi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa dan banyak organisasi internasional lainnya sudah dimulai sejak 1979 pada Konferensi Pertama Dunia mengenai Perubahan Iklim. Di sana UNEP (United Nations Environment Programme) dan beberapa organisasi lain seperti WMO dan ICSU merancang Program Iklim Dunia. Pertemuan-pertemuan selanjutnya menghasilkan banyak rekomendasi dan organisasi seperti IPCC dan kemudian mencapai puncak pada Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992. Lihat United Nations Framework Convention on Climate Change Handbook 2006: 17-19. Bonn: UNFCCC. 1 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 10 08/11/2010 9:03:10 Mereka sepakat bahwa terjadi perubahan iklim dan seluruh dunia harus melakukan sesuatu. Pada tahun 1997, terdapat Protokol Kyoto yang mengatur lebih detail bagaimana negara-negara, terutama negara-negara maju, bertanggung jawab, menurunkan emisinya. Di lampirannya terdapat daftar negara-negara yang bertanggung jawab mengurangi emisi. Mereka sepakat menyetujui berlakunya prinsip “siapa yang mencemari, maka dia yang harus bertanggung jawab” (polluters pay) di setiap negara yang menyetujui perjanjian ini. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim menjadi tangung jawab bersama. Namun demikian, tetap ada beban tanggung jawab berbeda yang disebabkan oleh sejarah perilaku negara-negara maju pada masa lalu. Mereka disebut dengan negara Annex 1, nama-namanya tercantum dalam lampiran konvensi. Umumnya mereka adalah negara-negara industri. Mereka mengakui bahwa tanggung jawab tersebut muncul karena sejarah pembangunan masa lalu merekalah yang menyebabkan pemanasan global. Akan tetapi, dalam proses selanjutnya gaung komitmen negaranegara maju tidak terlalu keras. Gaungnya baru mulai terdengar pada tahun 2007 ketika seorang penasihat ratu Inggris, Nicholas Stern, membuat kajian dampak ekonomi perubahan iklim. Stern memasukkan dampak pemanasan global dalam terminologi ekonomi disertai berapa kerugian yang akan dialami akibat pemanasan global. Kajian tersebut juga membeberkan berapa besar investasi yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah pemanasan global. Kajian tersebut membuat pemerintah di negara-negara maju mulai terbuka terhadap isu perubahan iklim. Menurut Stern, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, mitigasi yakni bagaimana mengurangi atau mencegah sumber-sumber yang mengakibatkan perubahan iklim. Artinya, harus diambil tindakan yang keras untuk mengurangi emisi GRK. Kedua, adaptasi yakni penyesuaianpenyesuaian yang harus dilakukan karena perubahan iklim sudah terjadi dan harus kita hadapi. Konsep dasarnya adalah bagaimana kita menghadapi dampak yang sudah terjadi. Selanjutnya, adaptasi dan mitigasi dimasukkan ke dalam kerangka pembangunan. Pembangunan harus mengurangi dampak perubahan iklim yang lebih parah. Keduanya masuk dalam rencana pembangunan secara sistematis, tidak bisa adhoc. Di masa depan, praktik-praktik pembangunan eksploitatif seperti masa lalu tidak boleh lagi dilakukan. Ini merupakan dasar mitigasi. Sementara adaptasi berkorelasi dengan dampak yang terkait antara manusia dengan ekosistem alam. Pada Kotak 2 kita dapat menemukan definisi sederhana mengenai adaptasi. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 11 11 08/11/2010 9:03:10 Kotak 2 Adaptasi: upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis untuk mengurangi kerentanan masyarakat dan lingkungan akibat dampak perubahan iklim l Adaptasi Reaktif l Adaptasi Proaktif 12 Adaptasi mempunyai dua kategori yakni yang sifatnya reaktif dan proaktif. Adaptasi reaktif misalnya masyarakat yang tinggal di tepi Sungai Ciliwung selalu menghadapi banjir. Karena mereka tidak bisa pindah, maka setiap kali banjir mereka akan menaikkan barang mereka ke atas rumah sehingga kerugian harta-benda tidak terlalu besar. Mereka juga sudah membuat sistem komunikasi antara masyarakat Ciliwung dengan masyarakat di Katulampa Bogor. Jadi, kalau masyarakat di Katulampa memberitahukan bahwa air sudah sekian ketinggiannya, maka mereka yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung bersiap-siap menyelamatkan barang-barang mereka. Sedangkan contoh adaptasi proaktif, misalnya korban banjir akan pindah atau mereka membuat perencanaan lain. Contoh lain, pemerintah yang dapat memprediksi dalam sepuluh tahun ke depan volume banjir akan bertambah akan membuat banjir kanal untuk mencegah banjir pada masa yang akan datang. Contoh lain penggunaan adaptasi reaktif dan proaktif adalah dalam kasus prediksi banjir. Salah satu penelitian dosen ITB menemukan bahwa tahun 2050 wilayah Jakarta Utara akan tergenang. Bandara sudah tergenang. Ada tiga faktor yang menyebabkan hal ini. Pertama, terjadinya intrusi air laut karena permukaan laut naik akibat perubahan iklim. Kedua, banyak air tanah di daratan sudah tersedot sehingga laut bergerak masuk. Ketiga, penurunan permukaan tanah karena ada pembangunan besar-besaran yang secara perlahan menyebabkan permukaan tanah makin rendah. Apalagi ada banjir kiriman dari Bogor. Tiga faktor ini menghasilkan perkiraan bahwa pada 2050 beberapa wilayah di Jakarta akan tergenang air. Jika menggunakan adaptasi reaktif, respon yang akan dilakukan adalah bandara ditinggikan dan disediakan pompa. Sebaliknya, jika adaptasi proaktif maka bandara akan dipindahkan ke lokasi tertentu. Jika menggunakan mitigasi, upaya yang dilaksanakan adalah melakukan langkah-langkah sistematis untuk mengurangi penyebab terjadinya pemanasan global yang memicu banjir tahunan. Baik adaptasi proaktif dan reaktif ini hanya untuk mengurangi Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 12 08/11/2010 9:03:21 ke­rugian, tetapi tidak mencegah bencana. Sementara mitigasi ber­ maksud untuk mencegah bencana. Dalam hal ini, yang dilihat adalah sumbernya yakni gas rumah kaca. Misalnya dari sektor industri, bagai­ mana membangun industri yang menggunakan seminimal mungkin bahan bakar fosil. Selain pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, mitigasi juga dilakukan terkait dengan pembukaan lahan atau sering dikenal dengan LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry). Bagaimana deforestasi dan degradasi hutan dikurangi. LULUCF akan lebih banyak mendapat perhatian di masa depan. DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) melakukan kajian me­ ngenai berapa skenario penurunan emisi yang bisa dilakukan di Indonesia berbasis pada data emisi yang ada saat ini (Lihat Grafik 2 tentang Emisi Indonesia). Pada tingkat dunia, kenaikan jumlah karbon tidak boleh melebihi 450 ppm. Oleh karena itu, dunia perlu mengurangi emisi sebesar 3,5 giga ton. Jika tidak ingin mengalami dampak perubahan iklim, puncak emisi hanya bisa terjadi hingga 2015. Pasca itu, jumlahnya harus terus menurun. Dalam tabel di bawah ini, tahun 2005 komposisi emisi Indonesia yang paling besar adalah pembakaran hutan. Pada tahun 2005 emisi Indonesia menyumbang lima persen dari total emisi global. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus naik menjadi 5,2% pada tahun 2030. 13 Grafik 2. Perkembangan emisi Indonesia Dari komposisi sumber emisi di atas tampak 1.030 juta ton CO2 disumbang dari pembukaan lahan gambut, lalu 850 juta ton berasal dari deforestasi. Sementara itu, emisi dari sektor industri dan pertanian Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 13 08/11/2010 9:03:22 masih sangat kecil. Jumlah emisi dari deforestasi itulah yang menjadi potensi melakukan REDD. Melalui skema REDD, pemerintah ingin ada kompensasi terhadap upaya mengurangi emisi di sektor kehutanan dan lahan gambut. Konversi lahan gambut dan kawasan hutan untuk perkebunan dan peruntukan lain masih terus berlanjut. Lahan gambut itu memiliki komposisi karbon yang besar, lebih besar dari tanah biasa. Indonesia memiliki 80% lahan gambut yang ada di Asia Tenggara dan 35 miliar ton karbon dari lahan gambut. Oleh karena itu, kalau hutan gambut ditebang dan gambutnya teroksidasi, maka ada 35 miliar ton yang dilepaskan ke atmosfer. Karbon sebanyak itu sangat berbahaya bagi masa depan iklim dunia. Oleh sebab itu, studi DNPI akan memfokuskan upaya-upaya konkrit pada enam sektor yang dianggap sebagai pengemisi terbesar, yakni transportasi, energi, kehutanan dan lahan gambut, agrikultur, semen, dan gedung-gedung (lihat Gambar 3). 14 Konversi lahan gambut. Gambar 3. Enam sektor penting dalam perubahan iklim Sumber: Sementara itu, potensi pengurangan emisinya adalah sebagai berikut: Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 14 08/11/2010 9:03:25 Grafik 3. Pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia Gambaran ini memang sebagian besar dilakukan di sektor ke­ hutanan. Pada bulan September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) me­ngeluarkan penyataan di pertemuan G-20 bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK 26% pada tahun 2020. Namun kalau ada bantuan, maka akan diturunkan sampai 41% pada 2030. Presiden sangat optimis karena sebagian besar emisi Indonesia itu dari kehutanan dan deforestasi. Jadi, menurut beliau lebih mudah dan lebih besar menurunkan emisi dari kawasan hutan daripada industri. Komitmen tersebut tentu merupakan kesempatan bagi kelompok masyarakat sipil untuk mendorong pemerintahan SBY agar ada langkah yang harus segera dilakukan. Misalnya, menghentikan deforestasi dan konversi lahan. 15 Diskusi Pada bagian ini peserta mengomentari presentasi narasumber maupun berbagi pengalaman tentang dampak atau referensi lain mengenai perubahan iklim. Peserta menanyakan potensi implementasi komitmen SBY dengan me­nimbang model pengelolaan sumber daya alam dan industri seperti sekarang. Apakah mungkin terwujud? Menurut narasumber, dengan mengacu pada perhitungan DNPI, pe­merintah sebetulnya bisa menghentikan ekspansi 20% konversi lahan gambut. Jika itu terjadi, maka komitmen SBY bisa saja terwujud. Bahkan sebetulnya pemangkasan emisi bisa sampai 80%. Namun, implementasinya kembali pada kemauan politik pemerintahan SBY. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 15 08/11/2010 9:03:25 Apakah mereka benar-benar berkomitmen. Akan tetapi dengan praktik seperti sekarang, tampaknya sulit terwujud karena presiden berbicara lain, sementara menteri melakukan hal berbeda. Pemutaran Film Untuk memancing diskusi lebih jauh, narasumber memutar film me­ngenai dampak perubahan iklim di beberapa tempat, terutama di Jawa. Film tersebut memperlihatkan dampak yang sudah mulai terasa, terutama di bidang pertanian. Kekeringan yang panjang, perubahan musim, serta hama yang makin banyak sudah merugikan petani. Intinya, perubahan iklim tidak lagi wacana, tetapi sudah merupakan masalah nyata di depan mata yang harus segera direspon melalui langkah-langkah strategis dan sistematis. 16 Diskusi lanjutan Peserta mendiskusikan mengenai beberapa isu. Pertama, argumen bahwa deforestasi memang perlu dihentikan karena masalah itu merupakan bagian dari masalah urgen dalam negeri. Namun, esensi dari konvensi pe­rubahan iklim sesungguhnya adalah pengurangan emisi domestik negara-negara maju. Ini merupakan keseimbangan yang adil. Bagaimana tanggapan sejumlah jaringan internasional, seperti Greenpeace? Kedua, mengenai temuan saintifik perubahan iklim. Masih ada per­debatan apakah perubahan iklim merupakan proses alamiah atau memang buatan manusia. Ketika menjadi proses alamiah, barangkali relevan per­tanyaan negara-negara Annex I, untuk apa mereka membayar atas proses alamiah. Bagaimana kita meyakini itu dan respon IPCC terhadap pertentangan-pertentangan tersebut? Ketiga, seberapa parah perubahan iklim itu karena energi politik banyak negara sudah banyak tersita di perundingan ini. Kalau demikian parah, tentu langkah-langkahnya juga ekstrim. Akan tetapi, sejak 1992 tampaknya baru akhir-akhir ini menjadi ramai diperdebatkan. Lalu bagaimana dengan komitmen pengurangan emisi SBY, apa benar beliau serius, mengingat problem di Indonesia sangat kompleks. Tanggapan narasumber Pertama-tama berkaitan dengan posisi Greenpeace, ada beberapa posisi yang dikedepankan. Posisi Greenpeace secara internasional tetap: meminta kepada setiap negara Annex I untuk mengurangi emisinya sampai 40% pada 2020. Usulan perubahan Protokol Kyoto yang hanya 30% itu tidak cukup karena dampaknya akan sangat besar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 16 08/11/2010 9:03:25 Secara ekonomi, sebenarnya kemampuan negara maju bisa lebih dari 30%. Oleh karena itu, Greenpeace mengajukan angka 40% dan sebagai tambahan negara maju harus memberikan kompensasi kepada negara berkembang. Dana kompensasi dipakai untuk melakukan mitigasi pemanasan global dan perlindungan hutan. Greenpeace meminta negara maju menyediakan 30 miliar dollar per tahun untuk upaya-upaya mitigasi. Prinsip utamanya bukan offset. Greenpeace menolak offset. Offset adalah mekanisme tukar guling. Emisi di negara maju ditukar dengan pencegahan emisi di negara berkembang. Di sektor tambang sudah terjadi. Misalnya, sebuah perusahaam tambang, Kaltim Prima Coal (KPC) membuka tambang di Sangata, tetapi kemudian menyelamatkan dan memberikan dana penyelamatan di Kutai. Upaya KPC ini disebut sebagai pembersihan emisinya. Dalam hal ini, offset kami tolak karena ini tidak memecahkan permasalahan pemanasan global. REDD akan menerapkan kerangka offset. Misalnya, negara maju mem­berikan dana kepada negara berkembang dengan harga karbon hutan katakan­lah 20 dollar per ton. Kemudian negara maju memberikan dana sebesar dua juta USD untuk menurunkan 100.000 ton karbon dari deforestasi. Upaya negara berkembang untuk menurunkan emisi dari deforestasi tersebut bukan merupakan upaya untuk mengurangi emisi negara berkembang itu sendiri, tetapi diklaim sebagai upaya negara maju yang memberikan dana. Padahal, negara maju tersebut sama sekali tidak menurunkan emisi dari aktivitas industrinya sendiri. Negara maju hanya membeli penurunan emisi dari negara berkembang. Pada saat ini belum jelas bentuk REDD seperti apa. Akan tetapi, yang sedang berlangsung dan menjadi arus utama kelihatannya adalah mekanisme pasar. Greenpeace tidak mendukung mekanisme pasar dan offset. Penolakan terhadap mekanisme pasar terjadi karena kalau diberlakukan, harga karbon akan semakin murah. Bayangkan, di Indonesia saja ada 35 miliar ton karbon dari gambut. Belum lagi dari negara lain yang mempunyai stok karbon yang cukup besar. Sesuai dengan hukum pasar, karbon semakin banyak maka harga akan turun. Selain itu, kalau prinsip pasar diterapkan, maka prinsip yang dipakai bukan lagi additionality. Kalau konsisten dengan additionality, maka turunkan dulu emisi di negara-negara Annex I barulah kemudian memberikan kompensasi atas dampak yang disebabkan oleh pem­ bangunan mereka. Namun karena skema yang dipilih adalah pasar, maka offset menjadi pilihan. Kedua, mengenai keraguan atas data ilmiah mengenai perubahan iklim, ada beberapa cerita di balik debat ini. Pada periode Presiden Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 17 17 08/11/2010 9:03:25 18 Bush di Amerika, banyak ilmuwan yang dibayar oleh perusahaan minyak untuk menentang fenomena perubahan iklim, atau menentang temuan IPPC. Jadi, pertanyaannya adalah siapa yang ada di belakang ilmuwan yang melakukan penolakan ini. Apakah benar sebagai objektivitas ilmiah atau ada pesan-pesan sponsor di belakangnya. IPPC adalah kumpulan ribuan ilmuwan dari seluruh dunia yang mengumpulkan penelitian dari berbagai wilayah. Sayangnya, penelitian di wilayah Indonesia tidak terlalu banyak. Mereka meneliti perubahan iklim dan melihat penurunan kecenderungannya. Narasumber melihat bahwa penurunan emisi dari fosil memang harus dilakukan karena kita tidak bisa tergantung dari minyak bumi dan batubara. Semua sepakat bahwa aktivitas-aktivitas itu melepaskan karbon dan mengeluarkan emisi berlebihan. Oleh karena itu, harus kita turunkan. Hal ini terlepas dari adanya skema lain, seperti REDD, yang ingin menunggangi sebagai upaya menghindari tanggung jawab penurunan emisi. Meski demikian, ada negara yang mengambil REDD sebagai jalan lain mengurangi emisi. Akan tetapi, penurunan emisi dari fosil pun harus dilakukan karena kita tidak bisa menahan dampak yang sudah terjadi. Pencemaran dan eksploitasi dari minyak dan bahan bakar ini sudah sangat parah. Di Indonesia kondisinya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Ketiga, berkaitan dengan komitmen politik dalam perubahan iklim. Pemicunya adalah adanya periode pemenuhan komitmen yang berbasis Protokol Kyoto. Periode pertama adalah 2008-2012. Sementara periode kedua belum jelas, padahal 2012 sudah di depan mata. Untuk merespon periode kedua inilah SBY menyampaikan komitmen 26%, meski belum jelas langkah-langkah dan persiapan yang memadai untuk melakukan pemangkasan 26%. Dalam hal ini, ada faktor keterdesakan untuk mendorong agar komitmen periode kedua segera disepakati. Inilah yang memicu mengapa perdebatan ini menjadi makin hangat. Selain itu, ada laporan Nicholas Stern tahun 2007. Menurut Stern, kalau negara-negara tidak melakukan upayaupaya pemangkasan emisi, maka di masa depan akan berpengaruh pada GDP. Kalau tidak segera bertindak, maka perubahan iklim akan menghilangkan lima persen dari GDP global tiap tahunnya. Kalau semua dampak kerusakan dihitung, kehilangan tersebut bahkan sampai 20%. Dalam kacamata ekonomi inilah negara-negara baru melihat ongkos besar yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sejak itu, mereka mulai memikirkan bagaimana mengurangi emisi. Perundingan Copenhagen menjadi penting karena di sana akan ditentukan mekanisme seperti apa yang hendak diterapkan untuk penurunan emisi setelah 2012. Di sana akan dibahas aturan mainnya, apakah ada perubahan Annex Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 18 08/11/2010 9:03:25 1. Bisa saja, negara berkembang seperti Cina dan India akan menjadi Annex 1. Atau Indonesia bisa menjadi Annex 1. Sementara REDD itu akan dilihat, apakah disepakati menjadi mekanisme penurunan emisi atau tidak. Semuanya akan dibicarakan di Copenhagen. Diskusi Kelompok Dalam diskusi kelompok, peserta yang dibagi menjadi dua kelompok mensimulasikan pandangan negara maju dan negara ber­kembang mengenai offset. Bagaimana pandangan kedua kubu terhadap offset. Kelompok “negara maju” Offset itu baik karena : ♦Membantu negara berkembang untuk pembangunan dan me­ngatasi kemiskinan; Transfer teknologi tanpa merusak lingkungannya; (berdampak secara baik terhadap sosial ekonomi di negara berkembang); ♦Menyediakan dana segar untuk mengurangi emisi dan pe­ nyematan iklim; ♦Ada dasar hukumnya “CDM” Protokol Kyoto 1997; ♦Offset itu praktis karena bisa memakai mekanisme pasar dan memberikan keuntungan bagi banyak pihak (multiplier effects); ♦Sebagai tanggung jawab moral terhadap bumi. 19 Penjelasan “negara maju” Kawan-kawan dari negara berkembang, kami dari Annex 1 memiliki be­berapa pandangan. Dengan melihat perdebatan yang lalu dan kesepakatan yang sudah ada, selanjutnya kami berpikir skema offset cocok untuk kehidupan dunia yang lebih baik. Kami memaknai offset lebih baik karena dapat membantu negara berkembang, tidak perlu mengeluarkan keringat yang besar, dan dapat uang untuk menjual karbon. Kemudian ada transfer teknologi kepada negara berkembang. Teknologi untuk menyelamatkan bumi lebih maju sehingga dapat menyelamatkan bumi. Ini baik untuk negara berkembang dan maju. Indonesia yang berutang besar itu merupakan indikator betapa sulitnya mendapatkan dana segar. Oleh karena itu, skema offset menjadi penting. Banyak perusahaan dan bank akan mengucurkan dana. Tinggal disepakati aja. Jika kalian mengusulkan G to G, maka menurut kami, skema Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 19 08/11/2010 9:03:25 pasarlah yang lebih baik karena menyerap lebih banyak uang dan tenaga kerja. Hal itu penting di negara berkembang karena banyak penganggur yang susah mencari pekerjaan. Selain alasan-alasan ini, juga ada dasar hukum untuk melakukan offset. Misalnya, Protocol Kyoto yang mengucurkan kredit Clean Development Mechanism (CDM). Kita tidak berdagang liar tanpa kerangka hukum. Selalu ada kerangka hukum yang jelas dan tegas. Jika ada kekurangan dalam skema hukum itu, bisa segera diperbaiki. Yang paling penting juga adalah melalui offset ada tanggung jawab moral dari kami untuk memberikan uang kepada negara berkembang yang miskin dan melarat. 20 Di sini kita juga sadar dan harus akui bahwa kerusakan di utara tidak hanya menimbulkan akibat di utara, tetapi di seluruh bumi. Offset adalah pilihan yang menyatukan kita bersama. Ada take and give. Jika skema ini tidak dipakai, kami pun harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Harus ada perubahan teknologi yang lebih rendah emisinya. Kemudian kita didorong untuk melakukan perubahan pembangunan yang tidak mungkin kita lakukan. Bahkan hampir tidak ada industri yang mampu mengurangi emisi itu hingga zero. Tidak adil kalau kami dipaksa mengurangi emisi domestik kami. Lebih adil jika kami mencari skema yang murah dan itu melalui offset. Tambahan, jika kami mengubah pola pembangunan dan indutri, ekonomi dunia akan terguncang. Dampaknya juga pasti akan dialami oleh negara berkembang. Supaya sama-sama untung, kita kedepankan skema yang lebih mengakomodasi kepentingan kami dan tuntutan kalian negara berkembang. Kelompok “negara berkembang” Offset buruk karena: • Skema offset menjadi ancaman paling besar bagi kehidupan masya­rakat adat; • Kebijakan pemerintah RI tidak sepenuhnya mendukung masya­ rakat adat sehingga dana offset tidak sampai ke masyarakat adat. Namun, justru rentan menimbulkan sumber korupsi baru; • Prinsip keadilan yaitu negara maju harus bertanggung jawab lebih besar daripada negara berkembang karena mereka penyumbang emisi terbesar; Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 20 08/11/2010 9:03:26 • Menyederhanakan penghitungan nilai hutan. Harus dihitung me­lampaui karbon. Secara menyeluruh nilai karbon yang ditawarkan dalam skema offset terlalu kecil/murah; • Skema offset kalau diserahkan ke mekanisme pasar akan merugikan negara-negara pemilik kawasan hutan; • Adanya upaya-upaya mandiri untuk merehabilitasi hutan dan men­cegah deforestisasi yang sudah dilakukan di luar skema offset. Penjelasan “negara berkembang” Kami dari negara berkembang sudah memutuskan bahwa kami me­nolak offset. Alasan kami menolak, pertama karena skema offset akan berdampak bagi masyarakat adat. Menurut data tahun 2002, di Indonesia ada 48 juta orang yang tinggal di hutan. Skema offset pemerintah akan membatasi akses masyarakat adat terhadap hutan. Apalagi, Indonesia tidak sepenuhnya mendukung masyarakat adat. Selain itu, dana offset juga rentan menimbulkan korupsi baru. Kalau diberi dana besar, justru akan menjadi rebutan korupsi. Selain itu, perlu diperhatikan prinsip keadilan. Negara maju harus bertangung jawab lebih besar karena kerusakan hutan terjadi untuk memenuhi kebutuhan negara maju. Yang tidak kalah pentingnya adalah offset terlalu menyederhanakan persoalan. Hutan hanya dilihat sebagai karbon. Padahal, nilai hutan lebih dari itu. Misalnya fungsi ekosistem, kelestarian air, dan biodiversity. Kalau hanya dinilai 20 dollar, lebih baik kami menebang pohon. Sistem offset akan merugikan. Proses perubahan iklim akan terus berlangsung dan kita punya tangung jawab untuk mencegah itu. Di sisi lain, ada swadaya mandiri untuk merehabilitasi hutan. Tanpa offset, pencegahan deforestasi sudah dilakukan di Papua dan daerah-daerah lain. 21 Selain itu, dalam pengalaman selama ini, negara-negara maju me­ nyebarkan uangnya ke bank dunia dan kita tidak bisa mengontrol secara baik. Penggunaannya kepada negara berkembang tidak jelas sehingga hanya menguntungkan beberapa pihak. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 21 08/11/2010 9:03:26 22 Dialog “negara maju” dengan “negara berkembang” Tanggapan kelompok “negara maju” Menanggapi pandangan negara berkembang, kami punya be­ berapa bantahan. Pertama, Offset ini menguntungkan semua orang di muka bumi, tidak hanya masyarakat adat. Dari enam miliar penduduk di dunia ini, jumlah masyarakat adat hanya sedikit. Apalah artinya. Selain itu, secara teknis offset memberikan ruang untuk mengelola REDD secara berbeda di setiap tempat. Artinya, Anda bisa punya aturan sendiri. Tidak seragam dari satu tempat ke tempat lain. Pada intinya offset itu praktis. Kedua, tidak ada kebijakan pemerintah untuk melakukan korupsi. Masalah penggunaan dana, sangat tergantung independensi negaranegara berkembang. Bukankah independensi ini yang kalian mau. Kalau masalahnya adalah korupsi, itu merupakan masalah di negara masing-masing yang harus diatasi. Ketiga, tanggapan kalian bahwa offset menyederhanakan masalah, me­nurut kami sama sekali tidak benar. Kami mendukung keberlanjutan hutan tropis yang menyokong kehidupan masyarakat adat atau siapa pun yang mendapat manfaat dari hutan itu. Keempat, masalah keadilan yang kalian soroti juga merupakan sesuatu yang penting dan mendesak buat kami. Namun keadilan boleh jadi samar dan subjektif. Bagi kami, skema yang kami tawarkan sudah adil. Kelima, mengenai masalah atas skema yang berbasis pasar, yang memang hanya bicara soal cara mendapatkan uang. Menurut kami, buntunya negosiasi ini memang pertama-tama karena sulit mendapat sumber pendanaan. Menggunakan pasar adalah skema yang realistis. Apalagi, kita bisa mendapat dua keuntungan sekaligus, menekan laju perubahan iklim dan keuntungan ekonomi. Tanggapan “negara berkembang” Ketika negara maju menyampaikan alasan mengapa offset me­ nguntung­kan, kami menangkap asumsi utama di belakangnya, bahwa uang adalah sentral dan penting. Tetapi ironisnya, nilai yang ditawarkan pada skema offset itu sangat kecil. Kebutuhan di lapangan sangat besar. Selain itu, yang perlu diingat dari argumen utama konvensi perubahan iklim adalah tanggung jawab historis negara-negara maju. Delapan puluh persen emisi berasal dari negara maju akibat eksploitasi industri mereka pada masa lalu. Oleh karena itu, target utama konvensi ini adalah memangkas emisi domestik tersebut lang­sung dari industri pencemar, bukan memangkas emisi deforestasi di negara berkembang. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 22 08/11/2010 9:03:26 Berikutnya, jika negara maju serius bertanggung jawab, maka skema yang dirancang juga harus serius. Skema itu harus mendesain dari hulu sampai hilir, termasuk bagaimana mengatasi korupsi dan lack of governance di negara berkembang. Pengalaman menunjukkan bahwa akibat ketidakseriusan penerapan CDM Kehutanan dalam Protokol Kyoto, offset itu gagal. Oleh sebab itu, lebih baik memangkas emisi domestik. Masukan narasumber Setelah menyimak perdebatan ini, ada semacam argumen utama yang bisa memperkokoh argumen negara berkembang. Masalah utama emisi adalah mempertahankan carbon stock sehingga dalam kaitannya dengan REDD, upaya yang dilakukan adalah bagaimana hutan yang kita punya menjadi cadangan karbon. Hutan sebagai penyimpan cadangan karbon tidak boleh ditebang agar karbonnya tidak terlepas. Oleh karena itu, pembukaan lahan tidak boleh. Tujuan utamanya adalah sebagaimana ditetapkan dalam konvensi, yakni mencegah keluar­nya emisi dari sumber-sumber penyebab emisi. Jika dibawa ke skema offset, maka industri, transportasi, dan lain-lain yang terus-menerus melepaskan emisi akan mempertahankan cadangan karbon hutan karena dianggap akan menurunkan emisi domestik mereka. Ada lompatan logika yang tidak masuk akal karena emisi industri tersebut tetap keluar. Sebaliknya, dampak pemanasan global akan terus terjadi. Argumentasi negara berkembang memang harus dimulai dari argumen impact karena sudah dirasakan. Berdasarkan dampak, kita kembali kepada prinsip-prinsip konvensi yang otomatis ada tanggung jawab pelaku di sana. Agenda 21 di Rio de Janeiro misalnya, bagaimana negara maju mengalokasikan sebagian GDP-nya (Gross National Product), 0,4%, untuk pembangunan di negara berkembang. Hal ini menjadi latar belakang kategori Annex 1. Alasannya bersifat historis bahwa negara Annex 1 sudah menikmati kemajuan pembangunan akibat eksploitasi sumber daya di negara berkembang. Namun, GDP 0,4% itu tidak dipenuhi juga oleh negara maju. Tanggung jawab itulah yang harusnya ditekankan dalam konteks pe­rubahan iklim. Tanggung jawab bukan bantuan, tetapi persoalan kompensasi dari proses yang sudah terjadi. Tentu ada impact yang sudah dialami oleh negara berkembang. Berkaitan dengan dampak, bagi negara berkembang penting untuk memaparkan mengenai upaya mengurangi korban. Hanya beberapa negara yang bicara seperti ini. Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan harusnya sudah memiliki perspektif itu. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 23 23 08/11/2010 9:03:26 Rangkuman 24 Dari pemaparan sesi ini, ada beberapa isu penting yang akan terus berulang selama pelatihan ini, antara lain: • Pengembangan kapasitas • Pendanaan: pasar versus fund • Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) REDD • Tenure(masyarakat adat) • MRV (Measurable, Reportable, Verifiable): definisi hutan = Perkebunan • Demonstration activities • Karbon hutan versus karbon fosil (fuel) • Dampak • Adaptasi • Litigasi • Kompensasi • Polluters pay • Transfer technology • Carbon sink dan carbon stock Dalam kaitannya dengan REDD, barangkali ada pembicaraan me­ ngenai mekanisme dan sejumlah pertanyaan bisa muncul. Misalnya, siapa yang akan mendapat keuntungan, apakah melibatkan pe­ merintah saja atau kelompok kepentingan lain. Lalu bagaimana transparansinya, apakah melibatkan masyarakat adat. Kemudian definisi hutan. Apakah akan meng­gunakan definisi hutan FAO. Kalau misalnya perkebunan dilihat sebagai hutan, apakah itu bisa langsung menghentikan deforestasi atau itu merupakan peluang bagi perusahaan untuk melanggengkan konversi? Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 24 08/11/2010 9:03:26 3. Perubahan iklim dan hutan Pengantar Bagian ini memaparkan mengenai beberapa konsep kunci pe­ rubahan iklim yang berhubungan dengan hutan. Ada tiga pertanyaan utama ter­hadap konsep-konsep ini, yakni ide dasar dari konsep tersebut, sejauh mana konsep tersebut bekerja, dan bagaimana im­plemen­tasinya atau ke­mungkinan implementasinya di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan hak masyarakat (adat/lokal) dan keberlanjutan hutan. Konsep ini akan berawal dari skema Kyoto yang mengusung LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry) dan kemudian membongkar skema-skema yang sedang diperdebatkan dalam isu REDD. Pada bagian akhir akan dilihat secara khusus hubungan antara perdebatan dalam skema-skema hukum REDD dengan mekanisme pasar sebagai salah satu jalan keluar pendanaan REDD. Pembicaraan mengenai pasar menjadi sangat penting saat ini karena berbagai proposal REDD, baik dari pemerintah maupun swasta, mengusung pasar sebagai salah satu sumber pendanaan REDD. Skema pasar memiliki konsekuensi hukum tertentu yang berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain pertanyaan tentang validitas karbon sebagai objek, hak masyarakat (adat/lokal), dan berbagai pertanyaan lain yang berhubungan dengan dinamika pasar. Pada sesi ini narasumber tidak akan bicara REDD secara spesifik, tetapi akan memaparkan secara spesifik kesiapan tatakelola (governance) REDD untuk Program Rintisan – Kemitraan. Narasumber mengajak peserta berdiskusi dengan menjelaskan ekologis dan ekonomi politik kemudian me­nawarkan dua skenario yang potensial terjadi di Copenhagen. Narasumber adalah Arief Wicaksono. Ia bekerja di Partnership Governance Reform, sebuah lembaga yang aktif mendorong isu-isu tatakelola di Indonesia. 25 Presentasi narasumber Masalah dasar perubahan iklim adalah sebagai berikut : Perubahan iklim = kenaikan konsentrasi GRK di atmosfer akibat agresivitas spesies manusia. GRK? -- q uap air, karbon dioksida, methana, nitro oksida, ozon (CO) dan CFC; Revolusi industri antara abad 18 dan 19 -- q intensifikasi dan efisiensi produksi; Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 25 08/11/2010 9:03:26 Sumber emisi GRK: pembakaran bahan bakar fosil; produksi barang industrial; pabrik semen; pertanian; perubahan tata guna lahan dan kehutanan; GRK secara normal ada di atmosfer. Akan tetapi, revolusi industri pada abad 19 membuatnya meningkat secara mendadak, antara lain melalui pembuatan bahan bakar fosil. Revolusi industri terjadi karena pada saat itu muncul kebutuhan bagaimana membuat barang dan jasa lebih efisien. Grafik 3. Peningkatan karbon di dunia 26 Sumber: IPCC, 2004 Grafik di atas ini menggambarkan peningkatan karbon dari tahun 1750 kemudian meningkat pesat setelah Perang Dunia II. Adanya Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 26 08/11/2010 9:03:27 modernisasi membuat kerja menjadi lebih praktis dan mudah, tetapi ongkosnya adalah perubahan iklim. Penggunaan bahan bakar fosil dan pembukaan lahan pertanian adalah sebab-sebab utama. Memakai bahan bakar fosil mudah, beberapa jam habis. Namun, membuatnya membutuhkan waktu beberapa juta tahun. Bahkan, dampaknya pun ratusan tahun. Jika membicarakan pertanian jangan bayangkan pertanian kecil, tetapi yang skalanya besar. Gambar 4. Kontribusi sektor-sektor terhadap perubahan iklim 27 Gambar di atas menunjukkan kontribusi sektor terhadap perubahan iklim. Ada sektor transportasi, jalan, udara, kereta api, dengan persentasenya masing-masing. Demikian halnya dengan pertanian. Dari total emisi dunia, Amerika Serikat menyumbangkan emisi sekitar 20-an persen. Sementara itu, Cina 30-an persen. Kini, Cina berada di peringkat atas. Dulu Indonesia peringkat 30-an, tetapi sekarang Indonesia peringkat ketiga. Kontribusi dari industri Indonesia sebenarnya kecil. Sektor pertanian juga sebenarnya kecil. Namun, sumbangan utama berasal dari pembakaran hutan dan deforestasi. Emisi domestik kita 80% berasal dari hutan. Hutan sendiri mengandung hampir setengah perdagangan karbon yang ada di Indonesia. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 27 08/11/2010 9:03:28 Kotak 2. Hutan dan cadangan karbon dunia Hutan mengandung hampir ½ dari total cadangan karbon terestrial dunia Total kandungan karbon pada ekosistem hutan pada 2005 ≈ 283 Gt, termasuk yang tersimpan sebagai biomassa, tanah dan kayu mati (FAO 2006); Deforestasi tidak hanya melepas karbon yang tersimpan di atas muka tanah, tetapi menjurus ke dekomposisi massa akar dan mobilisasi karbon tanah; Emisi karbon global (CO2 dan GRK lain) dari perubahan tataguna lahan, termasuk pada deforestasi tropis ≈ 18 25% dari total emisi tahunan global dari semua sumber (Stern 2006). 28 Pemangkasan emisi dari deforestasi berbeda dari sekuestrasi karbon, yang bertujuan menahan CO2 dari atmosfer dan lebih fokus pada “penyimpanan” dibandingkan sumber emisi. Mencegah &/ mengurangi emisi CO2 dari biomassa, tanah dan kayu mati. Rincian mekanisme masih “terus dirumuskan”. Fokus pada penghindaran atau pemangkasan emisi CO2 daripada deforestasinya. Sumbangan Indonesia untuk deforestasi paling tinggi dan paling besar. Upaya mencegah dan mengurangi emisi CO2, rinciannya sampai se­karang masih dirumuskan. Ragamnya banyak sekali. Ada yang dikeluarkan Greanpeace dan lainnya. Saat ini sudah ada 60 proposal mengikuti. COP (Conference of Parties) yang pertama kali membicarakan soal hutan adalah di Marakesh. Namun tidak dalam arti hutan secara khusus, melainkan menghubungkannya dengan perubahan iklim. Dalam pembicaraan itu, muncul CDM yang memasukkan pertanian. Dalam pertemuan itulah untuk pertama kali Food and Agricultural Organization (FAO) diminta merumuskan definisi hutan yang tepat. Definisi hutan FAO kemudian mengkategorikan hutan sebagai kawasan yang minimal mencakup sepuluh persen tutupan hutan. Definisi itu jauh dari memadai karen tidak menyebutkan spesies apa saja sehingga perkebunan potensial dianggap hutan juga (lihat sejarah singkat dalam Kotak 3). Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 28 08/11/2010 9:03:28 Kotak 3. Isu hutan dalam perundingan internasional perubahan iklim Pada COP6 (lanjutan) di Bonn, pertama kali hutan di­bicarakan Hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon (sinks & sequestration); Perubahan tataguna lahan (land use change) – emisi karbon dari sektor kehutanan ◊ LULUCF = Land Use, and Land Use Change in Forestry; Montreal, COP11, 2005, perubahan dramatik konstelasi pihak pada UNFCCC Aliansi Negara-negara Pemilik Hutan Tropika (Alliance of the Rainforest Nations) yang dipimpin oleh Papua Nugini plus Costa Rica ◊ negara non-Annex ingin punya mekanisme terpisah untuk dapatkan manfaat finansial; COP13 di Bali, populer dengan sebutan REDD COP Meskipun tidak tertuang dalam agenda utama COP, isu hutan untuk iklim menguat pada event-event paralel; PNG dan Brasil memimpin G77+ ◊ skema insentif me­ lindungi “hutan tua” tanpa mengurangi kewajiban negaranegara Annex I ◊ reducing emission from defores­tation in the developing countries (REDD). 29 Mengapa hutan masuk sebagai salah satu topik pembicaraan? Pertama-tama, harus diingat bahwa konvensi perubahan iklim meletakan tanggung jawab historis bagi negara maju. Isu hutan membuat mereka bisa bernegosiasi sedemikian rupa agar dibebaskan dari kewajiban historis tersebut. Oleh karena itu, mereka ingin ada kewajiban negara berkembang. Ada juga Cina dan India yang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru dan potensial menyaingi pertumbuhan ekonomi negara maju, terutama Amerika Serikat. Selain itu, kehadiran negara-negara yang pernah besar, misalnya Eropa Timur dan Rusia, turut mempengaruhi perdebatan ini. Juga ada negara yang sedang mengalami pertumbuhan. Berbagai peta tersebut dan perangkat yang disediakan Protokol Kyoto saling mempengaruhi dalam menentukan isu apa yang bakal muncul ke permukaan. Dalam Protokol Kyoto terdapat Annex A yang diwajibkan me­ nyediakan dana. Namun, sejak 2000 ada beberapa negara di Annex A tidak wajib me­nyediakan dana karena beberapa alasan. Singapura antara lain, tidak wajib karena dianggap skala emisinya tidak besar. Di Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 29 08/11/2010 9:03:28 dalam Protokol Kyoto mekanisme blok pembangunan ada tiga yaitu capacity building, financial mechanism, dan technology transfer. Blok pembangunan ini yang selalu menjadi bahan perdebatan (lihat Kotak 4). Kotak 4. Perdebatan peran negara-negara dalam perundingan pe­ rubahan iklim Emisi GRK ≈ agresivitas laju pertumbuhan ekonomi & laju industrialisasi Memangkas emisi GRK ≈ memperlambat agresivitas laju pertumbuhan ekonomi dan laju industrialisasi 30 Sumber emisi Pembakaran BBF, pertanian, produksi barang-barang indus­trial ≈ negara-negara industri maju Tata guna lahan, perubahan tata guna lahan, hutan ≈ negara-negara berkembang/ mengindustri di sabuk tropika Protokol Kyoto vs langkah solutif membalik krisis klimatik Mekanisme lentur untuk negara-negara Annex I 1. Annex A = wajib menyediakan dana 2. Annex B = tidak wajib menyediakan dana Blok yang membentuk (building blocks) Protokol Kyoto: (1) capacity building; (2) financial mechanism; (3) technology transfer Ketika bicara pemangkasan emisi, maka kita segera bicara soal per­ kembangan ekonomi. Pemangkasan emisi sama dengan pemangkasan laju ekonomi. Ibaratnya seorang perokok disuruh berhenti merokok, tetapi dengan meminta dia memberi sumbangan. Ada anggapan bahwa dengan berkurangnya uang maka kebiasaan merokok akan berkurang. Tahun 2005 ada proposal dari ARFN (Alliance of Rainforest Nations) berisikan tentang negara-negaraAnnex B ingin mengambil ruang terpisah. Kedua proposal dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan tahun 2005. Namun, mekanisme yang dibuat di Bali lebih bagus dibandingkan dengan tahun 2005. Pada proposal ARFN kita membaca bahwa non-Annex memberi peluang ke negara maju untuk belanja karbon dengan murah. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 30 08/11/2010 9:03:28 Kotak 5. ARFN dan keadilan iklim Proposal ARFN versus keadilan iklim: a. Proposal ARFN = Negara-negara non-Annex punya ruang pengambilan keputusan terpisah dari ketiga me­ kanisme Protokol Kyoto; b. Tuntutan pemangkasan emisi pada 1995 = utang histo­ rikal (ekonomis, politik, ekologis) berupa kewajiban tanpa syarat bagi negara-negara industri maju untuk menurunkan emisi “melalui” transfer dana, “penge­ tahuan & kemampuan” dan teknologi. c. Dua perspektif membaca Bali Action Plan 2007: 1. Membuka ruang politik baru bagi negara-negara non-Annex; 2. Peluang-peluang kredit karbon murah bagi negara-negara Annex. 31 Pemangkasan emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan versus pengendalian faktor-faktor penyebab defores­ tasi dan degradasi hutan a. Pemangkasan emisi ≈ pelambatan laju industrialisasi “meng­gunakan” instrumen moneter; b. Pengendalian faktor penyebab deforestasi dan deg­ radasi hutan = pembenahan penataan ruang, politik pertanahan, reorientasi industri berbasis tanah & kekayaan alam, dan sebagainya. Pemangkasan CO2 mengurangi emisi dari deforestasi tidak sama dengan mengurangi karbon karena transaksi yang terjadi hanya di atas kertas sebagai transaksi keuangan. Sementara kalau bicara deforestasi, maka ada persoalan lain yang mesti dibicarakan, misalnya saja ada soal tata ruang, relasi industri, dan seterusnya. Jadi, bukan sekadar alat moneter. Inilah yang menjadi inti perdebatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah. Diskusi Pertanyaan-pertanyaan peserta mencakup beberapa isu: Pertama, mengapa dalam pembicaraan mengenai pengurangan emisi lebih banyak menggerogoti isu hutan? Di mana rasionya? Padahal kalau bicara iklim, komposisi sebagian besarnya adalah air. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 31 08/11/2010 9:03:28 32 Kedua, kalau kita bicara pengendalian emisi, jika tidak salah tahun 1978, Indonesia berhak mendapatkan pendanaan dari hutan. Namun, tidak ada kemajuan berarti. Dalam hal ini, pemerintah hanya berorientasi untuk mendapatkan uang saja. Di sisi lain, masalah di bawah seperti tata batas hutan, perkebunan, lahan gambut, dan lainlain, di Kalimantan Tengah belum juga diatasi. Ketiga, bagaimana membaca HPH restorasi dalam proyek REDD? Keempat, seberapa penting ketika kita bicara dengan konteks nasional, jika itu kemudian diatur oleh kekuatan global dan privat? Kelima, bagaimana komentar narasumber mengenai proyek di Kapuas Hulu di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hak Guna Usaha (HGU). Ada anggapan bahwa REDD bisa mengusir HGU. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber me­ ngurai­kan beberapa jawaban. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, menurut narasumber logika yang muncul dari perdebatan tersebut adalah logika penyerapan dan mencegah emisi. Jika dibandingkan berbasis sektor, ada beberapa sektor yang memang lebih kecil dibanding hutan. Laut tidak menjadi target karena barangkali lebih kecil. Dalam hal ini, motif Papua Nugini dengan aliansi negara tropis terhadap isu hutan adalah untuk memiliki ruang politik di dalam PBB, tidak hanya dalam emission trading, CDM, dan Joint Implementation sebagaimana dalam Protokol Kyoto. Namun, nanti akan ada mekanisme keempat yang disebut REDD. Indonesia mencoba tampil dengan tema adaptasi dengan menggunakan laut. Akan tetapi, promosinya kurang karena kejar tayang. CTI (Coral Triangle Initiative) hasil Manado mencoba maju, tetapi masih belum kuat juga. Sementara itu, logikanya adalah logika emisi. Emisi yang dihitung akan berujung pada keluarnya dana. Terhadap pertanyaan kedua, penjelasannya agak melingkar. Sebelum sampai ke jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu ada penjelasan mengenai watak REDD. Dalam hal ini, perlu perjelasan ekologis versus ekopolitik. REDD sebetulnya cuma selembar kertas. Di atas kertas ada dua pihak yang menandatangani. Kotak 6. Watak dan problematik REDD REDD = selembar kertas perjanjian pihak I mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; pihak II menjamin pembiayaan; alih teknologi dan pengembangan kemampuan). Karbondioksida (CO2) adalah alat tukar dari REDD untuk men­dapatkan dukungan pembiayaan dari sumber-sumber yang berlaku. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 32 08/11/2010 9:03:28 Problematika integrasi hutan ke dalam perubahan iklim: Definisi hutan yang efektif; Tunggakan persoalan pada isu hutan di berbagai tingkat; Kegagalan integrasi tatakelola hutan, penegakan hukum dan pe­negakkan perangkat perdagangan regional/ glo­bal menangani pem­balakan dan balak liar ◊ pasar “mengendalikan” produk ilegal dibanding yang legal; Perangkat PK yang berlaku, LULUCF, lebih mengarah kepada tindakan “penghutanan” (afforestasi/reforestasi atau A/R) lewat jalur CDM. Dengan demikian, REDD merupakan alat untuk mencari uang. Namun, siapa yang mendapat untung dari uang tersebut? Definisi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan terkait dengan tutupan hutan atau definisi hutan agak mengerikan karena perkebunan bisa masuk sebagai kawasan hutan. Artinya, REDD memberi uang tambahan bagi perkebun sawit. Berkaitan dengan Kalimantan Tengah angka peruntukan kawasan hutannya adalah 14% untuk APL, sementara kawasan hutannya 82%. Pemberi izin di Kalteng seharusnya banyak yang masuk penjara karena sebagian besar kawasannya adalah hutan. Jika hukum benar-benar dimainkan, maka banyak bupati diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi, masalahnya tidak hanya di Kalimantan Tengah, tetapi Departemen Kehutanan yang punya kuasa mengontrol dan menentukan status kawasan hutan. Soal lain adalah muncul tuntutan persoalan pusat daerah, perusahaan dengan masyarakat. Kegagalan tata kelola hutan dan kesulitan menghadapi pembalak liar. Hal ini sulit untuk ditangani karena pasar lebih suka membeli produk ilegal (lihat kotak 7). 33 Kotak 7. Ihwal konsep, rujukan dan tatakelola pengelolaan hutan Lingkup yang selalu berkembang tetapi selalu jauh dari cukup ◦ Deforestasi = legal? ilegal? ◦ Degradasi hutan = alami? peladangan berpindah? ◦ Peningkatan stok karbon = perkebunan skala besar? hutan tanaman industri? ◦ Ekosistem gambut = bukan stok, tetapi aliran (flow). Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 33 08/11/2010 9:03:28 Tingkat rujukan ◦ Masa lalu (historikal) ◦ Sekarang (struktural) ◦ Masa depan (proyeksi) Tatakelola (governance) ◦ Aturan dan hukum ◦ Kelembagaan ◦ Pembiayaan ◦ Pengelolaan risiko (masih pada risiko investasi, be­ lum masuk ke risiko tidak terhindarkan yang akan dihadapi masya­rakat sekitar hutan). 34 Sementara itu, skema LULUCF tampaknya akan dipakai dalam isu ke­hutanan. Dalam pengalaman CDM, kedudukan negara dengan swasta itu sama. Pemrakarsa adalah pengusaha dari negara maju yang duduk setara dengan negara berkembang. Situasi itu tidak disukai oleh berbagai LSM di belahan selatan. Soal lain adalah masalah deforestasi untuk produk kayu legal dan ilegal. Menurut perhitungan FAO, kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia lebih banyak yang ilegal. Apalagi pada era Suharto dengan model deforestasi terpimpin, penghancuran hutan sangat sistematik. Ini pun masih belum diambil contoh buruknya penataan ruang era Suharto. Terakhir, mengenai perkebunan dan lahan gambut. Gambut itu dinamik sehingga sulit. Terkena panas saja, ia akan melepas emisi apalagi kalau dibakar. Penelitian terakhir, hasilnya menarik. Kelihatan kalau tentang gambut, tidak bisa bicara emisi kotor. Hal ini dikarenakan ada yang keluar sebab intervensi manusia dan alami. Variasi kedalamannya sangat luar biasa. Sejauh ini berlaku dua model baseline yakni masa lalu hingga sekarang dan masa depan. Misalkan, negara maju meng-klaim deforestasi sejak tahun berapa di masa lalu hingga sekarang. Masa depan misalnya adalah tahun 2012 dan ke depannya. Proyek-proyek ini ditujukan atas kawasan hutan yang izinnya sudah terlanjur keluar atau sudah ada rencana pembukaan hutan. Berdasarkan hal itu, ada beberapa risiko sosial yang tak terhindarkan. Ada yang khawatir masyarakat tidak bisa bertani dan tidak bisa masuk hutan. Namun, risiko tidak terhindarkan itu tidak bisa diprediksi lebih baik. Sementara Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 34 08/11/2010 9:03:28 itu, aturan di Indonesia masih belum jelas. Yang baru ada saat ini adalah Permenhut yang hanya akan berlaku pada tingkat departemen dan pengusaha. Sementara status lembaga sampai sekarang masih tarik ulur. Kalimantan Tengah akan membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang kelembagaan, tetapi belum tahu situasinya di propinsi lain. Selain itu ada pembicaraan mengenai CCTF (Climate Change Trust Fund). Pembiayaan sejauh ini ada tiga sumber, yakni funding, pasar, dan campuran. Sumber funding adalah Australia. Sementara Norwegia belum ke pemerintah, tetapi memberikan ke masyarakat sipil. Ausaid hanya membiayai satu demonstration activities untuk development accounting. Jepang sudah bersedia. Prancis akan masuk ke pertanian. Yang belum ada yaitu pasar. Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat mempunya kontak dengan the new forest. Jimmy Morgan juga terlibat dalam skema pasar, tetapi cenderung memasukkan pertanian karena dia melihatnya sebagai pabrik asap. Supaya tidak menghasilkan pabrik asap, perlu dilakukan perubahan. Mereka menyerah dan akan memperbaiki metodenya. Pasar akan meng-offset proyek mereka. Landscape ecosistem yang merupakan jabaran untuk pembiayaan hibrid sampai sekarang belum ada. Hibrid ala IDF (Institutional Development Fund) berbeda dengan Greenpeace. Menurut IDF tahapannya adalah perjanjian bilateral baru ke pasar. Kalau Greenpeace membolehkan pasar, tetapi negara maju tidak boleh menghilangkan tanggung jawabnya. Untuk pertanyaan ketiga, HPH restorasi tidak ada kaitannya dengan emisi, tetapi mereka melihat pendanaan dari REDD. Lalu mereka menelikung dengan upaya agar skema yang diusulkan tidak bicara biomassa, tetapi soal karbon. Metodenya dari CBS dengan cara mereka merestorasi, tetapi tidak melindungi. Mereka mengklaim bahwa mereka lebih memperbaiki ekosistem. Namun, saya tidak mengerti bagaimana mereka akan klaim REDD. Sebelum ada REDD pun, mereka sudah mulai. Voluntary mechanism-nya belum ada. Pertanyaannya mengapa ada orang mau investasi di situ? Itu yang mesti digali. Ada kecurigaan, ini adalah upaya untuk mengunci lahan. Di sisi lain kalaupun dalam standarnya mungkin ada biomassa, namun ada pertanyaan apa standar yang digunakan untuk menurunkan emisi. Jika menengok dan membaca sebuah proposal, barangkali aspek-aspek di bawah ini akan kelihatan (lihat tabel 1). Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 35 35 08/11/2010 9:03:28 Tabel 1. Ragam stok karbon 36 Ada pohon memutih dan ada yang ditebang, tetapi ada anakan. Ini stock karbon, bisa karbon di atas tanah, karbon dari proses penguraian, atau karbon tanah. Namun, bukan berarti karbon bisa segera dijual. Karbon akan disertifikasi dulu. Sampai saat ini belum ada standar. Klaimnya baru mengacu pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Angka perhitungan tersebut akan dibawa ke satu lembaga sertifikasi yang akan mengesahkan. Jadi, karbon itu adalah alat tukar yang akan dibawa, bisa oleh brokernya atau langsung ke pasar. Dalam pandangan pasar yang penting ada wilayah dan kesepakatan. Pertanyaan keempat, dalam konteks pemenuhan target, per­ kembangan di Bangkok menunjukkan bahwa negara-negara termasuk Uni Eropa mengusul­kan agar Protokol Kyoto tidak perlu diperbaiki. Yang diperlukan adalah bilateral agreement. Kalau multilateral bentuknya akan seperti pasar. Dalam hal ini, Amerika tidak butuh Protokol Kyoto dan Copenhagen. Akan banyak proyek di Indonesia yang bilateral, tetapi namanya perdagangan karbon. Kyoto Trading System pun untuk flexible mechanism tidak dibicarakan di Bangkok. Jika tiga skema Kyoto saja tidak dibicarakan, bagaimana membicarakan complience. REDD pada hakekatnya membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, bicara aspek complience saja tidak cukup karena market bisa juga complience. Dalam kaitannya dengan peran negara, sejak dari Montreal, ujungujung­nya pasar. Skema-skema ini memang tidak keluar dari model pembangunan yang ada. Kalau konvensi benar-benar dijalankan serius saja sebetulnya sudah ada langkah-langkah konkret, tetapi itu tidak pernah terjadi. Yang perlu kita ingat juga, ada satu pengguna bahan bakar yang paling boros, tetapi tidak pernah terbahas yaitu militer. Itulah PBB. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 36 08/11/2010 9:03:28 Barangkali perlu untuk bertindak serius betul di lapangan. Di Thailand ada lima petani dituduh telah bertanggung jawab terhadap perubahan iklim. Mereka dianggap menggunakan hutan negara yang mengakibatkan pelepasan emisi. Jaringan LSM di Thailand menggunakan kasus itu untuk kampanye mengenai pemerintah yang tidak mengetahui tentang perubahan iklim. Yang mengkhawatirkan di Indonesia adalah illegal logging. Polisi bisa memakai illegal logging untuk menuduh rakyat. Berkaitan dengan Kapuas Hulu, APL bukan merupakan ke­ wenangan Depar­temen Kehutanan. Dia tidak masuk di hutan. Dalam hubungannya dengan carbon pool, ada konsep bahwa karbon tersebut milik masyarakat. Menurut saya, ini tidak masalah karena masyarakat telah mengklaim karbon. Jadi masyrakat penerima manfaat terbesar. Akan tetapi, kalaupun masuk di kewenangan daerah, maka dia harus memakai aturan yang ada. Ada kerja sama dengan pemerintah daerah untuk menetapkan status kawasan sebagai kawasan hutan. Artinya, hal itu memperbesar kontrol Departemen Kehutanan. Namun, REDD untuk mengusir HGU, saya tidak tahu caranya. 37 Skenario perundingan Jika mengacu pada skenario keuangan CDM Kehutanan dari Protokol Kyoto, maka ada dua skema besar yakni pasar dan sukarela. Kemungkinan besar adalah muncul skenario baru yang mencakup CDM pertanian (lihat box di bawah). Skenario 1: Protokol Kyoto gagal disempurnakan ◊ tidak ada Komitmen Periode Kedua & tidak ada protokol baru dari COP15 ◦ Skema REDD yang mengaju kepada Protokol Kyoto tidak ada, yang banyak muncul lebih berbasis pasar & bersifat sukarela (voluntary) ◦ Muncul skema baru yang lebih akomodatif ◊ AFOLU (Agriculture, Forest and Land Use) Skenario II: Protokol Kyoto disempurnakan ◊ ada Komitmen Periode Kedua, tetapi tidak ada protokol baru dari COP15 ◦ Skema REDD+ dilaksanakan ◊ UN-REDD (untuk fund-based baik compliance maupun voluntary) bersanding dengan FCPF (untuk voluntary-based) ◦ REDD+ = sumber pembiayaan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 37 08/11/2010 9:03:28 Skenario III: Protokol Kyoto disempurnakan & ada protokol baru dari COP15 ◦ ?????? Skema REDD plus tidak cuma menyangkut deforestasi dan deg­ radasi, tetapi juga stok karbon. Skema ini diangkat oleh India dan kemudian bisa menggaet Malaysia. Sampai sekarang, REDD yang difasilitasi oleh UN bukan sebuah mekanisme wajib dan final, tetapi didesain sebagai insentif kepada negara berkembang. Untuk fundbase sponsornya banyak. Di Indonesia, fund akan bersanding dalam ICTF dengan volunteraly base. Namun, skenario REDD plus bukan alat untuk mengontrol deforestasi. Namun, hanya fund raising. 38 Diskusi atas skenario Beberapa tanggapan atas skenario di atas adalah sebagai berikut: Pertama, ada kecenderungan perubahan skenario yang terusmenerus. Ketika satu skenario menguntungkan suatu negara, maka negara tersebut cenderung memilih skenario itu. Di sisi lain, masyarakat sipil sulit mempunyai opsi yang kokoh jika perubahan ini terus berlanjut dan rumit. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami proses ini agar bisa memberi tanggapan yang jelas dan solid. Menurut narasumber, cara memulai pemahaman yang paling sederhana adalah dengan melihat bahwa emisi rumah kaca berpengaruh pada laju ekonomi. Kalau negara maju disuruh menurunkan emisi, maka mereka akan menurunkan laju ekonomi. Mereka tak mau me­ nurunkan emisi. Oleh karena itu, PBB mencoba meningkatkan efisiensi melalui pertukaran emisi. Skema pertukaran ini lebih ngawur lagi. Misalnya, menurut perhitungan IPCC negara A memiliki kelebihan emisi, sementara negara B jatah emisinya masih kurang. Berdasarkan baseline yang mengacu pada standar PBB, negara A harus menekan laju emisinya di bawah level yang sekarang ini. Mereka hanya mampu menurunkan sedikit. Oleh sebab itu, negara A melakukan perjanjian dengan negara B agar negara B membeli sebagian emisi negara A sehingga jatah negara B sesuai dengan jatah yang ditetapkan PBB. Secara factual, emisi negara A tidak turun karena yang terjadi hanya memindahkan emisi di atas kertas, bukan tindakan konkret. Pola perdagangan emisi mirip dengan REDD. Tidak ada penurunan emisi domestik negara maju secara nyata. Dalam sejarahnya, intervensi moneter dalam perdagangan karbon dimulai di Amerika lewat sulfur trading. Tujuannya adalah untuk mengundang partisipasi kalangan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 38 08/11/2010 9:03:28 bisnis agar target pengumpulan dana bisa tercapai. Kreditnya dijual murah untuk mengundang perusahaan besar bergabung. Namun praktiknya, perusahaan tidak pernah membayar sehingga kreditnya gratis. Oleh karena itu, perdagangan karbon sebetulnya satu skema yang gagal. Salah satu alasannya adalah karena menggunakan instrumen moneter. Tanggapan berikutnya adalah mengenai model yang paling ideal dalam skema-skema ini. Selanjutnya, kelembagaan seperti apa yang baik di tingkat nasional dan daerah. Menurut narasumber, skema yang ideal adalah skema konvensi 1992 yaitu upaya meninggalkan paradigma ekonomi politik yang agresif dengan memulai dari bawah. Small is beautiful. Paradigma pembangunan itu harus dikoreksi. Namun, mulai tahun 1995 sampai 1997, faktanya negara-negara tidak bisa menurunkan laju emisi. PBB diminta memfasilitasi upaya-upaya konkret. Perpecahan dimulai dari sana. Ada yang percaya PBB sebagai solusi dan ada yang tidak. Negara yang terlibat dengan PBB harus masuk pada hal yang rumit ini. Sedangkan yang di luar tidak bisa apa-apa. Realitasnya rezim di Indonesia ada keinginan kuat agar kemajuan industrial negara difotokopi habis dan tuntas. Sejarahnya panjang. Mulai dari penanaman modal asing dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Kemudian mengacu pada interpretasi atas pasal 33 UUD 1945. UU yang lain pun mengekor untuk memberi karpet merah bagi pembangunan eksploitatif yang dimonopoli negara. Model ini yang harus diubah dari yang state based menjadi community based. Namun, agak mustahil kalau perubahan itu dimulai dari negara. Lebih memungkinkan jika dimulai dari kampung. Ada proses belajar dari bawah, dari kelompok yang rentan dengan intervensi negara. Akan tetapi, radar masyarakat sipil adalah radar donor, dimulai dari proposal dan sebagainya. Barangkali yang bisa kita lakukan adalah merespon masalah di bawah. Bagaimana supaya risiko tidak besar dan manfaatnya aman. Tidak perlu besar. Bentuk lembaganya apa, tidak ada model baku yang bisa diandalkan. Bisa dimulai dengan menyusun check list masalah. Misalnya, melihat kejelasan payung hukum. Kemudian membuat daftar masalah. Selanjutnya, memeriksa gap pengetahuan tentang REDD. Jangan-jangan, setingkat gubernur saja tidak tahu tentang risiko di tingkat masyarakat. Kemudian memperhatikan tentang tata kelola. REDD sangat beda dengan advokasi biasa. Dia mencakup lintas sektor. Harus ada data base dan secara prinsipil tidak bisa hanya mengandalkan FPIC (Free and Prior Informed Consent). Konteks Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 39 39 08/11/2010 9:03:28 40 pergulatan REDD jauh lebih rumit daripada yang kita pikirkan. Lembaga-lembaga internasional turun langsung dalam isu ini. FAO misalnya, terlibat di dalam sirkus perubahan iklim antara tahun 19981999 kemudian masuk dalam lingkaran LULUCF. Dalam isu ini, target FAO adalah booming CDM pertanian yang mencakup perternakan skala besar di Amazon dan macam-macamnya. FAO kemudian memperkenalkan AFOLU yang menggabung LULUCF dengan REDD. Jika skema REDD plus masuk, maka AFOLU tidak jadi. Namun kalau tidak jadi, maka AFOLU akan dibawa ke skema-skema bilateral yang complience. Dia pasti akan berjalan karena negara berkembang membutuhkan insentif. AFOLU tidak butuh Protokol Kyoto dan Copenhagen. Dalam konteks Indonesia, yang perlu didorong adalah per­ lindungan HAM diakui dalam proses pembangunan. Maka, kita tidak hanya bicara soal menguji pasar. Dalam hal ini, selain harapan adanya komitmen yang lebih kuat dari Protokol Kyoto, skenario hukum Indonesia perlu digarap agar ada pengakuan hak. Namun kalau melihat delegasi Indonesia ada keraguan luar biasa, harapan-harapan tersebut sulit terwujud. Kebijakan kita juga menerima semua sumber. Pasar , fund , hybrid pun diterima. Beberapa gerakan advokasi sudah dilakukan, tetapi banyak yang sudah terbuai dengan tawaran manfaat REDD. Padahal, isu hak belum diakomodasi. Di Poznan, isu masyarakat adat pernah disebut dalam pidato Menteri Lingkungan Hidup. Namun, setelah ada semacam tekanan dari NGO, Indonesia akan dimasukan dalam fossil of the day. Di lapangan, daerah merespon dengan cepat. MoU antara pemerintah daerah dengan broker REDD sudah terjadi di beberapa tempat. Latar belakangnya berbeda di masing-masing daerah. Saat ini, total ada 18 kontrak di Jambi, Gorontalo, dan Papua. Namun kalau melihat isi kontrak, semuanya copy paste. Hanya beda nama gubernur dan daerah. Yang melakukan itu perusahaan yang sama. Diskusi kelompok Fasilitator mengantar sesi ini dengan memaparkan beberapa istilah yang masih sulit dan membutuhkan diskusi ekstra di luar sesi. Selain itu, peserta dibagi dalam tiga kelompok yang mendiskusikan skenarioskenario yang bakal terjadi dalam perundingan di Copenhagen. Hal itu berdasarkan apa yang sudah diulas narasumber. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 40 08/11/2010 9:03:28 Presentasi hasil diskusi Kelompok skenario 1: Kelompok ini membahas skenario mengenai Protokol Kyoto gagal disempurnakan. Beberapa hasilnya adalah sebagai berikut: 41 Akibat masuknya AFOLU, maka perkebunan skala besar didorong untuk menjadi pihak utama dalam skema ini. Penanam modal akan masuk dengan cepat lewat fasilitas kebijakan untuk mempermudah perjanjian bilateral. Konflik sosial sudah pasti akan terjadi karena ada perebutan lahan dan kawasan. Masyarakat akan kehilangan tanah yang diikuti oleh sejumlah masalah sosial. Misalnya, berkaitan dengan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 41 08/11/2010 9:03:32 sistem produksi, dari bertani menjadi buruh perkebunan. Di sini, masyarakat hanya menjadi buruh. Selain itu, kriminalisasi rakyat akan semakin meningkat. Petani, yang akan melakukan pertanian, akan dikriminalisasi atas nama perubahan iklim. Kelompok skenario 2 Protokol Kyoto disempurnakan. Konsekuensinya adalah: 42 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 42 08/11/2010 9:03:34 Tanggapan narasumber Diskusi kedua kelompok ini menampilkan tafsiran yang bagus. Namun, belum berhasil memvisualisasikan skenario risiko. Misalnya, risikonya adalah konflik. Perlu dibeberkan konflik apa, cakupannya seperti apa, dan akibat-akibatnya bagaimana. Kalau kita gagal memvisualisasikan risiko, maka sulit untuk memetakan di mana letak krisis. Risiko birokrasi juga perlu diuraikan. Korupsi misalnya. Makin banyak aturan, makin besar peluang korupsi. Investor butuh kepastian hukum karena mereka tidak tanam saham sia-sia. Oleh karena itu, hukum di Indonesia pasti lebih mendukung investor daripada masyarakat. Investor pasti butuh kepastian tanah. Pemerintah menyanggupi itu dengan sertifikat. Situasi ini perlu diartikulasikan dengan baik ke masyarakat. Bila menggunakan bahasa makro dan normatif, tidak akan sukses. Seandainya AFOLU diterima, maka pertanian akan masuk ke skala industri. Logikanya adalah menyediakan lapangan kerja, pelibatan modal swasta, dan pembangunan infrastruktur. Maka, petani naik kelas menjadi buruh pabrik. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 43 43 08/11/2010 9:03:34 4. Perubahan Iklim dan REDD dalam Hukum dan Kebijakan Internasional Pengantar 44 Masalah lingkungan hidup memberikan pengaruh besar pada perubahan be­berapa konsep dalam Hukum Internasional. Konsep kedaulatan negara tidak bisa lagi mutlak sebagaimana dipahami dulu. Setiap negara mempunyai hak sama untuk membangun, tetapi tidak boleh membangun yang merusak lingkungan hidup di luar yurisdiksinya. Dibahas pula tentang perjanjian inter­nasional: latar belakang, bentuk, dan keterikatannya pada negara. Disisir pula struktur perjanjian UNFCCC dengan mengetengahkan tonggaktonggak perundingan internasional dalam masalah lingkungan hidup dan beberapa perundingan penting di bawah payung UNFCCC. Latar belakang di­masukkannya hutan dalam strategi mitigasi perubahan iklim, beserta mekanisme perwujudannya seperti REDD. Pelaksanaan skema REDD seharusnya mengambil pelajaran dari skema CDM. Tema ini disampaikan oleh Andreas Pramudianto, S.H. dari PSL UI [Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia]. Presentasi narasumber: Tugas saya dalam sesi ini adalah membicarakan soal perubahan iklim dan hukum lingkungan hidup internasional. Sesi ini akan mencoba untuk mengulas secara normatif, hukum lingkungan internasional mengenai perubahan iklim dan cikal bakal masuknya REDD dalam perdebatan hukum. Setidaknya, ada dua instrumen internasional yang akan dibahas pada topik ini, yakni Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Pertanyaan atas dua instrumen ini adalah apa saja pemikiran dasarnya terutama berkaitan dengan isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pada bagian mana isu hutan, khususnya REDD menemukan dasar hukumnya, bagaimana cara mengimplementasikannya berkaitan dengan hak masyarakat dan keberlanjutan hutan. Juga, bagaimana status Indonesia terhadap keduanya. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 44 08/11/2010 9:03:34 Hukum lingkungan internasional Pertama, kita harus tahu dulu di dalam pergaulan internasional, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sistem hukum tersendiri yang dikenal dengan sistem hukum nasional. Dalam sistem hukum internasional, subjek hukumnya adalah negara nasional yang memiliki perangkat seperti sistem hukum, budaya, sosial, dan sebagainya, termasuk pengelolaan kekayaan alam. Untuk mempelajari lebih jauh Protokol Kyoto, tentu dasarnya adalah pengetahuan mengenai hukum internasional yang dihubungkan dengan hukum lingkungan hidup. Kedua, selama ini hukum internasional yang tradisional masih ber­patokan pada kedaulatan wilayah atau teritorial yang dicirikan dengan tiga prinsip: kedaulatan, kemerdekaan, dan persamaan. Beberapa negara maju, contohnya Amerika Serikat, memanfaatkan benar ketiga prinsip dasar ini. Misalnya, Amerika menerapkan konsep ekstrateritorial. Jika suatu negara tidak merdeka maka Amerika akan membantu memerdekakannya. Padahal, setiap negara pada dasarnya mempunyai kedaulatan penuh akan hak-haknya. Dalam perkembangannya terjadi pergeseran dalam hukum internasional. Pertama, pergeseran itu terjadi karena ada per­ kembangan dalam men­definisikan kedaulatan negara. Selama ini kedaulatan negara dipahami dalam batas teritorial yaitu angkasa, laut, dan tanah. Namun ketika kita membicarakan tentang lingkungan hidup, definisi mutlak kedaulatan tidak dapat lagi dipergunakan. Lihat misal­ nya, masalah asap akibat kebakaran hutan. Sebuah negara yang berdaulat tidak bisa mencegah masuknya asap kebakaran dari negara lain. Apakah negara itu tetap berdaulat? Pengertian kedaulatan dalam hukum internasional yang tradisional termasuk dalam arti jika ada orang asing masuk ke wilayah suatu negara, maka negara tersebut dapat melakukan usaha untuk mencegahnya. Misalnya, dengan me­ ngerahkan militer. Namun ketika asap masuk, tidak ada kekuatan militer yang dapat mencegahnya. Maka, mendefinisikan kembali pengertian kedaulatan negara menjadi sangat penting. 45 ASAS 21 Deklarasi Stockholm 1972 “Sesuai dengan piagam PBB dan asas-asas hukum inter­nasional, semua negara mempunyai hak kedaulatan untuk menggali sumber-sumber alamnya sesuai dengan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 45 08/11/2010 9:03:34 kebijaksanaan lingkungan mereka masing-masing dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa aktivitas dalam kawasan atau penguasaan mereka tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara-negara lain atau wilayah-wilayah di luar batas yurisdiksi nasional mereka”. Kalimat di atas menegaskan bahwa aktivitas pembangunan diperbolehkan sepanjang tidak menimbulkan kerusakan di luar batas yurisdiksi negaranya. Kalimat ini harus kita ingat. Jika ada peserta dari Kalimantan yang melakukan kegiatan pembakaran hutan untuk dijadikan ladang, jangan sampai menimbul­kan kebakaran yang asapnya mengakibatkan kerugian di Malaysia. Hal yang sama bisa ditemukan dalam Deklarasi Rio: 46 PRINSIP 2 DEKLARASI RIO 1992 “ Negara-negara berdasarkan Piagam PBB dan prinsipprinsip hukum internasional, mempunyai kedaulatan untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka sesuai dengan kebijakan di bidang ling­kungan dan pembangunan dan berkewajiban pula agar ke­giatan yang berada dalam wilayah dan wewenangnya tidak akan menyebabkan timbulnya kerusakan terhadap lingkungan di negara lain dan di luar wilayah yurisdiksi nasional.” Jadi, secara teori suatu kedaulatan akan berakhir dengan muncul­ nya kedaulatan negara lain. Perubahan penting Hukum Lingkungan Internasional Hukum Lingkungan Internasional merupakan cabang dari Hukum Internasional. Hukum internasional tradisional yang selama ini telah ber­ kembang didasarkan pada konsep kedaulatan wilayah (territorial soverignity concept) yang dicirikan oleh tiga prinsip dasar yaitu kedaulatan (soverignity), kemerdekaan (freedom), dan persamaan (equality). (Kusumaatmadja: 1976) (Weiss: 1992). Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 46 08/11/2010 9:03:34 Kini mengalami beberapa pergeseran diantaranya : – Mendefinisikan kembali konsep kedaulatan negara – Perubahan orientasi kepentingan nasional – Peranan ilmu pengetahuan – Integrasi antara lingkungan hidup dan pembangunan – Terbukanya akses internasional – Meningkatnya kesadaran internasional Kedua, ada perubahan orientasi kepentingan nasional. Selama ini ber­patok pada kesejahteraan masing–masing negara. Namun begitu ada masalah lingkungan hidup, masalahnya bukan lagi semata-mata ekonomi. Akan tetapi, bagaimana menyelamatkan bumi dari pencemaran. Dari kesadaran ini muncul istilah pembangunan berkelanjutan. Ketiga, pergeseran adalah peranan ilmu pengetahuan. Ilmu dan teknologi sudah demikian berkembang sehingga hampir semua data di bumi sudah bisa diketahui. Jika kita mau tahu kondisi saat ini di lokasi yang ada di Amerika dan sebagainya, kita bisa memanfaatkan fasilitas Google Earth yang versi berlangganan. Jika tidak mau ber­ langganan, ada Google Earth gratis. Namun, dengan peta tahun 2004. Dengan fasilitas itu pula kita bisa memantau kondisi hutan. Jadi, ilmu pengetahuan akan memberikan pengaruh besar seperti halnya pengetahuan tentang perubahan iklim. Negara-negara membentuk IPPC yang terdiri dari sekumpulan ilmuwan dunia. IPPC menyelenggarakan pertemuan setahun tiga kali hanya untuk mem­bahas kira-kira adakah peningkatan suhu di muka bumi. Kalau melihat laporan IPPC keempat, IPPC membuktikan kirakira di mana spot-spot yang terjadi peningkatan suhu di muka bumi. Bukti ilmiah ini menjadi tidak ter­bantahkan bahwa perubahan iklim itu sedang terjadi. Hal yang sama terjadi dalam kasus lapisan ozon. Pada tahun 1985, sekelompok ilmuwan melakukan survei ke Kutub Utara untuk mengukur lapisan ozon bumi. Mereka menemukan lapisan itu sudah bolong. Hasil temuan ini menjadi dasar pembentukan konvensi lapisan ozon. Selama ini lingkungan hidup dan pembangunan selalu dianggap ber­tolak belakang. Investasinya tinggi, tetapi tidak mau mengeluarkan biaya lingkungan karena mahal. Mungkin bisa lebih besar daripada biaya modal. Pengusaha besar tidak mau, apalagi pengusaha kecil. Hal ini disebabkan mereka berusaha mencari untung, bukan untuk membersihkan lingkungan. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 47 47 08/11/2010 9:03:34 48 Pemikiran awalnya mungkin seperti itu, tetapi sekarang tidak bisa lagi dipakai. Biaya lingkungan harus diinternalisasikan ke dalam modal. Jadi, negara maju yang punya industri besar dan berinvestasi di negara berkembang wajib mengelola lingkungan. Keempat, terbukanya akses internasional. Berapa menit dari Jakarta ke New York? Cukup dua menit dengan hanya memencet Google. Lalu lihat pakai Youtube. Segala informasi kota itu tersedia: hotel, restoran, museum, dll. Itu terjadi. Dalam suatu pertemuan internasional misalnya, tiba-tiba ada yang menyampaikan bahwa hutan Indonesia itu sudah rusak. Kita harus menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan teknologi informasi bisa membantu pertanyaan itu. Dengan data yang tersedia cepat dan lengkap, maka kita bisa memperdebatkan data yang mengatakan hutan Indonesia sudah rusak. Di situ mulai debat soal data. Kejadian itu pernah terjadi saat perundingan di ITTO. Waktu itu Jerman meminta Indonesia mengklarifikasi hutan rusak. Beruntung ada delegasi Indonesia yang pengusaha, yang membawa data hutan, sehingga dapat dilakukan klarifikasi. Kelima, meningkatnya kesadaran internasional tentang lingkungan hidup. Peranan organisasi di luar negara makin membesar, seperti badan multilateral maupun NGO. Sudah begitu agresifnya mereka sehingga sekarang bisa ikut dalam konferensi internasional. Dalam Perundingan Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, hanya negara saja yang boleh hadir dalam konferensi. Organisasi di luar negara hanya ada di luar arena konferensi. Namun ketika Konvensi Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, dan KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 di Johannesburg, banyak pihak selain negara yang ikut dan terlibat dalam dua konferensi internasional itu. Subjek Hukum Internasional Subjek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional atau setiap negara, badan hukum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan internasional. (Huzna : 2007) Dalam konsep hukum internasional tradisional hanya negaralah yang menjadi subjek hukum internasional. Namun, beberapa konferensi internasional, pihak di luar negara masih belum boleh terlibat. Di dalam hukum internasional ada yang dikenal dengan subjek hukum internasional, yakni badan hukum atau Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 48 08/11/2010 9:03:34 manusia atau individu yang memiliki hak dalam hubungan internasional. Contoh mereka yang menjadi subjek hukum internasional adalah diplomat atau orang-orang yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti Genosida Milosevic, dan lain-lain. Pasal 34 (1) PIAGAM MAHKAMAH INTERNASIONAL “Hanya negaralah yang boleh menjadi pihak dalam perkara di muka Mahkamah.” Warga negara biasa tidak bisa dianggap sebagai subjek hukum inter­nasional. Ketika terjadi sengketa yang melibatkan individu dan atau negara, seorang warga negara tidak dapat membawa sengketa itu ke Mahkamah Inter­nasional. Dia harus meminta negara untuk melibatkan diri ke dalam seng­keta itu agar bisa diproses di Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional ini hanya menerima sebuah perkara jika negara-negara sepakat untuk membawa sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional. Jika tidak ada kesepakatan, maka penyelesaian perkaranya memakai jalur arbitrase atau memakai jalur hukum nasional. 49 Tonggak-tonggak konferensi internasional lingkungan hidup Ada beberapa tonggak konferensi internasional yang membicarakan lingkungan hidup. Pertama, Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (Konferensi Stockholm, 1972) yang menghasilkan Deklarasi Stockholm dan Rekomendasi Rencana Aksi kepada 109 negara. Di dalam Deklarasi Stockholm tersebut, disinggung masalah perubahan iklim serta rekomendasi kepada salah satu badan PBB, IMO, untuk menangani masalah perubahan iklim. Dalam perkembangannya nanti, IMO serta UNEF membentuk IPPC. Sepuluh tahun sesudah Konferensi Stockholm, diadakan Stockholm Plus 10 yang diadakan di Nairobi pada tahun 1982, yang dikenal sebagai Konferensi Nairobi. Pada tahun 1992, diadakan perundingan di Rio de Janeiro bernama KTT Rio atau KTT Bumi. Perundingan itu merupakan perundingan lingkungan hidup di tingkat internasional yang dipandang paling penting. KTT Rio ini menghasilkan beberapa dokumen penting, seperti Deklarasi Rio, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Prinsip-prinsip Hutan, agenda 21, dan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 49 08/11/2010 9:03:34 50 Lima tahun setelah KTT bumi, setelah tidak ada perkembangan berarti, diadakan lagi KTT New York 1997 yang juga dianggap sebagai pemanasan sebelum KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 di Johannesburg, Afsel. Dalam KTT New York ini kembali dituntut komitmen negara-negara maju mengenai soal lingkungan hidup. Dalam KTT Johannesburg sendiri tidak ada kesepakatan yang mengikat. Negaranegara maju juga kelihatan ragu dengan komitmen mereka, terutama mengenai bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang yang diperhitungkan dari GDP mereka. Bahkan, Amerika Serikat, yang waktu itu dipresideni oleh George Bush, hanya diwakilkan oleh Menteri Luar Negerinya. Itu pun hanya datang untuk pidato selama kurang lebih lima menit dan kemudian ke luar arena untuk jalan-jalan. Sikap ini jelas jauh dari mencerminkan kepedulian. Padahal, delegasi lain hadir sejak pagi sampai sore. Akibatnya, USA menjadi negara yang tidak care terhadap lingkungan. Sebenarnya selain konferensi tersebut, ada banyak konferensi atau pertemuan internasional yang kalau dikumpulkan mungkin lebih dari 400. Oleh karena itu, hanya yang penting saja yang saya kemukakan di sesi ini. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 50 08/11/2010 9:03:35 Konferensi lain yang juga penting, walaupun tidak secara langsung bicara mengenai lingkungan hidup, namun memiliki kedekatan erat adalah KTT Millenium di New York pada tahun 2000. KTT Millenium ini menghasilkan MDG’s, yang targetnya adalah paling tidak setengah dari jumlah penduduk di dunia yang tidak mendapatkan akses air bersih dan kesehatan, harus mendapatkan akses pada dua hal penting itu pada tahun 2012. Target ini juga mengikat kepada Indonesia. Presiden SBY sudah mengeluh, tidak mungkin Indonesia mencapai target ini karena cukup berat. Apalagi jika tidak ada bantuan dari negara-negara maju. 51 Perjanjian internasional Sebelum masuk ke topik perjanjian internasional, akan dibahas mengenai sumber-sumber hukum internasional. Dalam Piagam Mahkamah Internasional Pasal 38 disebutkan: Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Beberapa sumber hukum internasional primer dan sekunder sebagai berikut : 1. Bagi Mahkamah yang tugasnya memberi keputusan yang sesuai dengan hukum internasional, bagi perselisihanperselisihan yang di­ajukan padanya akan berlaku : Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 51 08/11/2010 9:03:36 52 a) Konvensi-konvensi internasional, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus, yang dengan tegas menyebut ke­tentuan-ketentuan yang diakui oleh negara-negara yang berselisih. b) Kebiasaan-kebiasaan internasional yang ter­bukti merupakan praktik-praktik umum yang diterima sebagai hukum. c) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab. d) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 59, keputusan para hakim dan ajaran-ajaran dari para ahli hukum yang tercakup di berbagai negara, se­ bagai bahan pelengkap untuk penentuan peraturan-peraturan hukum. 2. Ketentuan ini tidak mempengaruhi kekuasaan hakim untuk me­mutus­kan suatu perkara ex aequo et bono bila pihak-pihak me­nyetujuinya. Sumber hukum internasional itu pertama, konvensi internasional. Masalah ini sudah banyak yang dibahas. Konvensi ada berbagai bentuk: khusus atau umum serta mengikat secara hukum atau tidak. Kedua, kebiasaan internasioal misalkan dalam soal REDD. Sampai sekarang REDD belum disetujui sebagai kekuatan hukum mengikat dan rencananya baru akan dilaksanakan pada periode kedua komitmen UNFCCC tahun2012. Rencananya di Copenhagen (COP 15) akan di­ putus­kan apakah REDD ini mengikat atau tidak. Sebenarnya sudah ada mekanisme yang hampir sama, yakni CDM (Clean Development Mechanism) CDM mengandung beberapa prinsip penting seperti tanggung jawab negara, pemberitahuan dini, serta pencegahan. Itu prinsip pembangunan berkelanjutan yang diakui di dalam KTT. Ketiga, sumber hukum internasional adalah keputusan para hakim dan ajaran para ahli hukum. Misalkan saja terjadi kasus sengketa dalam mekanisme REDD yang melibatkan masyarakat adat di Amerika Latin. Kemudian sengketa itu masuk ke pengadilan dan mendapatkan keputusan hakim di suatu negara. Maka, bisa saja keputusan hakim di suatu negara itu menjadi sumber penting hukum internasional ketika menyangkut masalah sengketa REDD yang melibatkan masyarakat adat. Keputusan hakim itu bisa menjadi produk hukum internasional. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 52 08/11/2010 9:03:36 Perjanjian hukum internasional sendiri berbagai macam: statuta, kon­vensi, treaty, dsb. Masing-masing mempunyai karakteristik khas dan berbeda. Perjanjian internasional yang umum adalah konvensi. Sekarang sedang berkembang perjanjian internasional yang berbentuk Framework Convention atau Kerangka Kerja Konvensi. UNFCCC adalah salah satu contoh perjanjian berbentuk Kerangka Kerja. Kerangka Kerja Konvensi ini biasanya berisi dua: perjanjian internasional dan protokol. Perjanjian internasional berisi prinsip-prinsip penting yang bersifat umum. Sementara itu, protokol merupakan penerapan dari beberapa aturan dalam perjanjian internasional. UNFCCC dan Protokol Kyoto adalah contohnya. Namun, ada Kerangka Kerja Konvensi yang isinya protokol dan protokol itu tambahan. Misalnya, ada konvensi mengenai pencemaran udara di lintas batas. Konvensi itu mempunyai lima protocol mengenai penurunan emisi. Lalu apa yang dimaksud dengan ratifikasi? Ratifikasi hanya di­ berlakukan bagi negara yang menandatangani suatu konvensi itu. Prosesnya dimulai dengan membawa naskah aslinya ke Indonesia untuk disimpan di Direktorat Perjanjian Internasional di Departemen Luar Negeri. Pihak Deplu kemudian menyampaikan surat kepada presiden. Setelah ada surat persetujuan dari presiden kemudian di­ kirim­kan ke DPR. DPR mengadakan sidang untuk membahas per­ mintaan ratifikasi dari pemerintah. Di DPR ada proses per­temuan dengan pihak departemen maupun pihak lainnya yang dipandang ada kaitannya dengan proses ratifikasi. Jika proses ratifikasi itu tidak disepakati oleh DPR, maka perjanjian internasional itu akan disimpan di Direktorat Perjanjian Internasional. Sebaliknya, jika disepakati, maka naskah perjanjian itu akan dibawa ke Sekretaris Negara untuk diberikan nomor dan ditandatangani oleh presiden. Hasil ratifikasi itu dikirimkan kembali ke Deplu kemudian dikirim ke Badan Deposit di PBB. Proses ratifikasi ini bisa memakan waktu lama, seperti proses ratifikasi Protokol Kyoto, atau cepat, seperti ratifikasi konvensinya. Terhadap perubahan konvensi, sebuah negara yang menandatangi bisa mengajukan surat ke PBB, apakah akan mengikuti perubahan itu atau tidak. Mengikuti perubahan ini berarti terikat dengan perubahan dalam konvensi itu. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 53 53 08/11/2010 9:03:36 Struktur Konvensi UNFCCC 54 STRUKTUR Conference of Parties (COP) Pertemuan Para Pihak Konvensi; Diadakan setiap tahun Conference of Parties served as Meeting of the Parties to Protokol Kyoto (COP/MOP) Pertemuan Para Pihak Protokol Kyoto; Diadakan setiap tahun Subsidiary Body for Implementation (SBI) Badan Tambahan untuk Penerapan; Badan ini dirancang untuk tindakan-tindakan implementasi (Aspek Pendanaan, aturan dan pedoman); Diadakan setahun dua kali (biannually) Subsidiary Body for Scientific and Technical Advice Badan Tambahan untuk Nasihat Teknologi dan Ilmu Penge­ tahuan; Badan ini dirancang untuk isu-isu teknologi yang muncul sebelum diterapkan/implementasi (Aspek ilmu pe­ ngetahuan, pilihan tek­nologi, metodologi, pedoman prak­tik yang baik) Diadakan setahun dua kali. Adhoc Working Group on Further Commitment for Annex-1 Kelompok Kerja Sementara tentang Komitmen Selanjutnya untuk Annex I; KK ini dirancang untuk isu politik dan teknis untuk komitmen selanjutnya pada rezim post 2012; Diadakan setiap tahun dua kali. Pertemuan COP sebagai MOP itu ada pertemuan sendiri. Pertemuan COP sebagai MOP membahas tentang Protokol Kyoto. Berikut adalah perjalanan perundingan perubahan iklim di bawah payung UNFCCC: Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 54 08/11/2010 9:03:36 55 UNFCCC ada dua badan penting: SBI dan SABSTA. SBI dirancang untuk merundingkan implementasi peraturan. Pertemuan SBI di­ selenggarakan dua kali setahun. SABSTA dibuat untuk merundingkan hal yang lebih teknis. Yang paling penting, kalau berhubungan dengan REDD di Bonn, sedikit disinggung. Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC bertujuan untuk menjaga stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang aman, untuk kehidupan di dunia. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) (KTT Bumi, Rio de Janeiro, 1992) Konvensi mengenai Perubahan Iklim bertujuan untuk menjaga stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang aman, untuk kehidupan di dunia COP/MOP UNFCCC Merupakan konferensi tingkat tertinggi untuk pengambilan keputusan terkait isu perubahan iklim Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 55 08/11/2010 9:03:37 UNFCCC terdiri dari 26 pasal yang mengatur beberapa hal, misalnya prinsip umum, kerja sama internasional, bantuan keuangan, serta transfer teknologi. Pertimbangan dalam Konvensi Bahwa andil terbesar emisi gas rumah kaca global di masa lalu dan dewasa ini berasal dari negara-negara maju. Bahwa emisi per kapita negara-negara berkembang relatif masih rendah serta andil emisi global yang berasal dari negaranegara berkembang akan bertambah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pem­bangunan dan sosial. Mengukuhkan prinsip kedaulatan negara dalam melakukan kerja­sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim 56 Pengertian konvensi perubahan iklim Pasal 1 Pengertian Akibat yang merugikan dari perubahan iklim adalah perubahan pada lingkungan fisik atau biota. Perubahan iklim menimbulkan dam­pak yang merusak pada kom­ posisi, ketahanan, dan produk­tivitas ekosistem alami dan ekosistem yang teratur, atau pada pelaksanaan sistem sosioekonomis, atau pada kesehatan dan kesejahteraaan manusia. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia, yang me­nyebab­kan perubahan komposisi atmosfer secara global. Selain itu, juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang ter­amati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Emisi adalah lepasnya gas rumah kaca dan/atau zat-zat asalnya ke atmosfer pada suatu daerah dalam jangka waktu tertentu Gas Rumah Kaca adalah gas yang terkandung dalam atmos­ fer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan me­mancar­kan kembali radiasi inframerah. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 56 08/11/2010 9:03:37 57 Proses ini harus teramati pada kurun waktu yang lama dan dapat dibandingkan sehingga dihasilkan fakta, apakah terjadi perubahan iklim atau tidak. Proses itu tidaklah mudah karena misalnya, data yang dikumpulkan dan diteliti sampai tahun 1800. Pasal 2 Tujuan akhir konvensi ini dan setiap pengaturan hukum, terkait yang disetujui oleh COP berdasarkan ketentuanketentuan kon­vensi, adalah tercapainya kestabilan kon­sen­ trasi GRK di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah perbuatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Tingkat yang demikian itu harus di­capai dalam jangka waktu yang cukup agar ekosistem dapat menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Juga untuk menjamin agar produksi pangan tidak terancam serta memungkinkan pem­bangunan ekonomi dapat berlanjut terus. UNFCCC akan bubar kalau tercapai kestabilan konsentrasi GRK di atmosfer. Sepanjang belum ada kestabilan konsentrasi GRK, maka konvensi ini tetap berlaku. Kestabilan ini harus dicapai dalam waktu yang cukup lama, mungkin 100 tahun baru akan cukup. Lalu, stabil Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 57 08/11/2010 9:03:38 di jumlah berapa? UNFCC menentukan tahun 1990 sebagai baseline pengukuran GRK di atmosfer. Pasal 4 Komitmen kepada negara pulau kecil dan daratan rendah, negara semi kering, dan negara rawan terjadi bencana alam. 58 Pasal 4 Komitmen Delapan aspek yang perlu diperhatikan : (a) Negara-negara kepulauan kecil (b) Negara-negara berpantai daratan rendah (c) Negara-negara berdaratan kering dan semi kering, serta daerah berhutan dan daerah yang rentan terhadap ke­ rusakan hutan (d) Negara-negara dengan daerah yang kering dilanda bencana alam (e) Negara-negara dengan daerah yang mudah terkena ke­ keringan dan penggurunan (f) Negara-negara dengan daerah pencemaran atmosfer per­ kotaan yang tinggi (g) Negara-negara dengan daerah yang berekosistem rentan, ter­masuk daerah pegunungan (h) Negara-negara yang ekonominya sangat tergantung pada pen­dapatan yang berasal dari produksi, pengolahan, dan ekspor dan atau konsumsi bahan bakar fosil dan produkproduk yang menggunakan energi secara intensif (i) Negara-negara tidak berpantai dan negara transit Pasal 17 Pasal ini merupakan dasar hukum dibuatnya protokol untuk me­ laksanakan suatu ketentuan dalam UNFCCC. Dengan kata lain, pasal ini menjadi dasar lahirnya Protokol Kyoto. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 58 08/11/2010 9:03:38 Pasal 17 Protokol 1. COP pada setiap sidang biasa boleh menyetujui protokol pada konvensi 2. Naskah protokol yang diusulkan harus disampaikan kepada pihak sekretariat paling lambat enam bulan sebelum sidang COP selanjutnya 3. Syarat-syarat berlakunya suatu protokol akan ditetapkan oleh ketentuan dalam protokol tersebut 4. Hanya para pihak konvensi yang boleh menjadi pihak dalam protokol 5. Keputusan-keputusan di bawah ini menegaskan suatu protokol hanya boleh diambil oleh pihak pada protokol yang bersangkutan. Dalam Protokol Kyoto ini ditentukan adanya Komitmen Pertama dari negara-negara Annex 1 (yakni negara-negara yang dikenai kewajiban menurunkan emisi sebesar lima persen dari emisi tahun 1990 pada tahun 2012). 59 ....”Target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan negara maju, yaitu sebesar lima persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai dalam periode 2008-2012.” (Protokol Kyoto) Konvensi ini dengan sangat tegas menyatakan andil negara-negara maju pada terjadinya perubahan iklim. Oleh karena itu, mereka harus diberikan tanggung jawab lebih besar untuk bertindak mengurangi dampak perubahan iklim. Negara-negara maju ini dimasukkan ke dalam kelompok negara Annex 1 di dalam konvensi. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 59 08/11/2010 9:03:38 LAMPIRAN NEGARA-NEGARA DALAM TOTAL EMISI KARBON 60 Australia Austria Belgia Bulgaria Canada Republik Ceko Denmark Estonia Finlandia France Germany Greek Hungary Islandia Irlandia Itali Jepang Latvia Liechtenstein Luxemburg Monako Netherland New Zealand Norwegia Polandia Portugal Rumania Rusia Slovakia Spanyol Swedia Swiss UK USA 288.965 59.200 113.405 82.990 457.441 169.514 52.100 37.797 53.900 366.536 1.012.443 82.100 71.673 2.172 30.719 428.941 1.173.360 22.976 208 11.343 71 167.600 25.530 35.533 414.930 42.148 171.103 2.388.720 58,278 260.654 61.256 43.600 584.078 4.957.022 (2,1) (0,4) (0,8) (0,6) (3,3) (1,2) (0,4) (0,3) (0,4) (2,7) (7,4) (0,6) (0,5) (0,0) (0,2) (3,1) (8,5) (0,2) (0,0) (0,1) (0,0) (1,2) (0,2) (0,3) (3,0) (0,3) (1,2) (17,4) (0,4) (1,9) (0,4) (0,3) (4,3) (36,1) Posisi negara-negara berkembang sendiri belum diberikan tanggung jawab untuk mengurangi dampak perubahan iklim, dengan alasan emisi yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang relatif Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 60 08/11/2010 9:03:38 masih kecil dibanding­kan dengan emisi yang dihasilkan dari negaranegara maju. Namun dalam perkembangannya, sepertinya beberapa negara berkembang yang mempunyai laju pertumbuhan pesat seperti China dan India, sudah mulai disinggung mengenai tanggung jawab mereka dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini. Adaptasi dan Mitigasi 61 REDD [Reducing Emissions from Degradation in developing countries] Deforestation and Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in deve­loping countries adalah mekanisme penurunan emisi yang bertujuan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara ber­kembang terutama bagi negara yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mencegah deforestasi artinya juga mempertahankan ke­ aneka­ragaman hayati dan sumber daya genetika (plasma nutfah), menjaga karbon untuk tidak terlepaskan ke atmosfer, dan menyediakan sumber pendapatan yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar hutan. Tingkat deforestasi di Indonesia bisa dikatakan tinggi. Dengan REDD, Indonesia akan mendapatkan insentif jika berhasil mengurangi Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 61 08/11/2010 9:03:38 deforestasi. Jadi, jika angka deforestasinya 100 juta ha/tahun dan kemudian Indonesia berhasil menguranginya ke angka 75 juta ha/tahun, maka Indonesia akan mendapatkan insentif sebesar 25 juta ha dikalikan dengan harga karbon pada waktu itu. Masalahnya adalah mencegah deforestasi ini berarti, dalam banyak hal, mencegah masyarakat di sekitar hutan untuk memanfaatkan hutan. Padahal, ada banyak masyarakat sekitar hutan yang sudah lama menggantungkan hidupnya dari hutan. Tidak hanya sekadar ekonomi, tetapi juga sosial dan spiritual. REDD bukan CDM 62 REDD adalah performance-based, pembayaran dapat di­ laku­kan sepanjang dapat dibuktikan bahwa pengurangan emisi benar-benar terjadi. aspek metodologi sangat penting REDD bukan merupakan kegiatan tanam-menanam untuk penyerapan karbon seperti halnya di CDM (A/R CDM), tetapi ke­giatan mengurangi emisi melalui penghindaran konversi hutan dan kegiatan lain yang menyebabkan hutan terdegradasi. Pasar REDD kemungkinan jauh lebih besar dari A/R CDM dan proyek karbonkehutanan di pasar sukarela yang ada saat ini. Dibawah REDD, kehutanan bukan lagi tentang proyekproyek kecil maupun proyek tanam-menanam, tetapi REDD merupakan pembayaran terhadap reformasi kebijakan dan intervensi-intervensi /skema lain untuk menghindari konversi hutan dan ke­giatan yang mengakibatkan hutan terdegradasi. Di Indonesia, CDM kurang mendapatkan perhatian. Padahal, banyak pelajaran yang bisa diambil dari CDM. Misalkan soal ketidakmampuan men­cegah kebocoran (leakage) yang berujung pada turunnya atau bahkan hilangnya insentif. Masalahnya, untuk menentukan besaran insentif, ke­bocoran, dan lain sebagainya membutuhkan keakuratan data. Di Indonesia justru itulah masalah terbesarnya sehingga orang luar tidak yakin benar apakah benar ada pengurangan emisi. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 62 08/11/2010 9:03:38 Sekilas tentang asal mula REDD ini. Mekanisme ini pertama kali diajukan Papua Nugini bersama Costa Rica. Waktu pertama kali diajukan namanya RED, yang kemudian didiskusikan secara intensif pada COP 13 di Bali, Indonesia. Indonesia menambahkan kata “degradasi” pada RED sehingga menjadi REDD. Potensi CDM sektor kehutanan? Proyek MPB di sektor kehutanan terbatas pada reforestasi dan aforestasi. Di Indonesia, tipe proyek kehutanan yang masuk ke dalam kategori ter­sebut adalah reboisasi, perkebunan, hutan masyarakat, penghijauan kembali, dan agroforestry. Penerima dana REDD 63 Penerima dana REDD Pihak yang memiliki inisiatif untuk memerangi illegal loging Pengusaha yang memiliki sertifikasi kayu Pengelola kawasan lindung Jasa lingkungan dan manajemen hutan berbasis masyarakat Dll. - Usulan RI Di sini perlu ada ketegasan mengenai posisi masyarakat adat karena ke­banyakan mereka berada di dalam hutan dan menggantungkan hidupnya kepada hutan. Jangan sampai REDD membuat mereka tidak punya kebebasan dalam memanfaatkan hutan di sekelilingnya. Tantangan REDD TANTANGAN UNTUK REDD : nasional 1. Penguasaan, pemahaman, serta penyiapan metodologi 2. Penyiapan kelembagaan termasuk governance 3. Pengetahuan, pemahaman, dan persepsi stakeholders yang sangat beragam 4. Diintegrasikannya REDD ke dalam kebijakan nasional, sektoral, dan lokal (propinsi, kabupaten, dst.) Sumber : WWF Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 63 08/11/2010 9:03:38 Diskusi Dalam sesi diskusi ada beberapa pertanyaan peserta : Pertama, bagaimana mengenai pembiayaan dalam skema REDD? Kedua, bicara tentang subjek hukum internasional. Perkembangan yang terjadi di lapangan adalah transaksi jual beli karbon ini langsung ke pemerintah daerah, tidak melalui pemerintah pusat. Dalam otonomi daerah, kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan pihak asing merupakan kewenangan pemerintah pusat. Apalagi jika transaksi jual beli itu langsung dengan masyarakat adat, padahal hanya sedikit masyarakat adat yang diakui. Bagaimana mengatasinya? 64 Ketiga, masyarakat adat sudah mengklaim suatu wilayah hutan. Semen­tara menurut pemerintah, kawasan hutan itu peruntukannya bagi pihak lain. Ketika masyarakat adat mau meregister atau memperkuat status hukumnya, malah mendapatkan penolakan. Ini persoalan di lapangan yang belum selesai. Bagaimana kesempatannya bagi masyarakat adat ketika ada proyek REDD? Keempat, bagaimana masyarakat adat dilibatkan dalam proses proyek REDD? Kelima, seberapa jauh perjanjian internasional itu memiliki kekuatan mengikat? Kemudian bagaimana kekuatan mengikat sebuah konvensi bagi negara yang menandatanganinya, tetapi tidak melakukan ratifikasi? Lalu apa kira-kira yang harus dipersiapkan di daerah sehubungan dengan perjanjian internasional berupa REDD? Keenam, seberapa kuat mengikatnya sebuah perjanjian inter­ nasional kepada negara-negara besar, misalkan Amerika Serikat? Serta bagaimana dengan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat? Ketujuh, apa yang kita pelajari dari proyek CDM serta konsekuensi hukumnya? Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 64 08/11/2010 9:03:38 Tanggapan narasumber Tanggapan pada pertanyaan pertama. Narasumber memaparkan bah­wa di dalam Konvensi Perubahan Iklim/UNFCCC ada ketentuan tentang mekanisme pembiayaan (financial), seperti bagaimana cara mengeluarkan dana untuk mengurangi emisi, apa itu dana adaptasi, mitigasi, dst. Dana adaptasi adalah dana yang berupa hibah. Sementara itu, dana untuk mitigasi masih menjadi persoalan. Dana adaptasi itu ada beberapa sumber pendanaannya: [1] hibah berasal dari prosentase pendanaan negara maju untuk membiayai suatu kegiatan di negara berkembang. Jadi misalnya negara maju memberikan suatu proyek nonhibah, maka jika proyek itu diterima, negara tersebut akan mendapatkan dana hibah. Akan tetapi, ada dana adaptasi yang [2] berasal dari keuntungan CDM. Belum jelas berapa persentase potongannya. Namun, yang jelas dana itu bisa diminta oleh UNFCCC lewat mekanisme COP yang disesuaikan dengan kebutuhan negara berkembang. Dana hibah ini hanya diperuntukkan bagi kepentingan negara berkembang Negara maju tidak dapat mengaksesnya. Selain itu, [3] ada juga dana adaptasi yang bersumber dari badan dunia lain. Dana adaptasi sekarang ini dikoordinasi melalui mekanisme yang diatur dalam UNFCCC. Dana mitigasi berasal dari beberapa sumber seperti dari Carbon Trading, Joint Implementation, serta kredit dari CDM. Carbon Trading dan Joint Implementation merupakan skema pendanaan antara negara maju dengan negara maju. Namun untuk CDM, merupakan mekanisme pendanaan antara negara maju dengan negara berkembang. Dengan CDM, kreditnya dicari di negara berkembang. Dananya akan didapatkan jika pelaksana CDM bisa membuktikan adanya pengurangan emisi dari adanya proyek CDM itu. Artinya, dana itu diberikan berdasarkan tindakan tertentu (performancebased incentive). Sebenarnya performancebased incentive itu bisa dipahami karena pada dasarnya Protocol Kyoto itu sendiri berjalan di atas rel bisnis/ rezim perdagangan. Bergerak berdasarkan transaksi, kalau kamu punya emisi, maka saya beli. Sayangnya, proses CDM sampai mendapatkan kredit karbon atau CER itu harus melalui proses yang panjang dan mahal. Dalam soal REDD, justru saya meminta tidak dijalankan dalam rezim perdagangan karena nanti akan ada konsekuensi berat. Istilahnya, dengan REDD yang berdasarkan pada rezim perdagangan itu, pada dasarnya pemberi dana REDD menjadi pengijon hutan, sedangkan pihak lain tidak dapat memanfaatkannya lagi. Dalam hal ini, REDD persis Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 65 65 08/11/2010 9:03:39 sama dengan CDM. Begitu proyek REDD dilakukan di kawasan hutan dengan masyarakat di sekitarnya, maka akan ada tuntutan kepada mereka untuk tidak memanfaatkan hutan dan bahkan harus menjaga hutan agar tidak ada “kebocoran”, misalnya karena kebakaran. Pengijon (pemberi dana REDD) mempunyai hak untuk menuntut masyarakat tersebut. Konsekuensinya adalah masyarakat harus memagari hutan. Kerugian terbesarnya adalah di masyarakat sekitar hutan itu. Selain terbatas, bahkan mungkin tidak dapat lagi memanfaatkan sumber daya hutan, mereka juga rawan terkena gugatan hukum,atau insentif tidak dibayarkan jika terjadi kebocoran. Oleh karena itu, REDD lebih baik skema pendanaannya berasal dari hibah. Negara berkembang mengusahakan REDD berupa hibah, namun negara maju tidak mau. Mereka bicara soal dagang. 66 Tanggapan pada pertanyaan kedua. Narasumber memaparkan yang menjadi masalah di lapangan adalah adanya masyarakat adat yang mengaku mempunyai suatu kawasan hutan dan mereka ini hendak melakukan kontrak dengan pihak asing, seperti Australia. Namun, pertama, siapa yang mengakui masyarakat adat itu? Apakah mereka dapat membuktikan bahwa dia adalah masyarakat adat? Memang mereka sudah berada di lokasi hutan itu bergenerasigenerasi. Jangan-jangan pada waktu kontrak ternyata belum jelas. Berdasarkan keputusan Kepala BPN di tahun 1990-an, masyarakat adat bisa meregisterkan hutannya pada BPN sehingga dia memiliki kekuatan secara hukum. Namun, ketika melakukan kontrak dengan pihak asing, masya­ rakat adat tidak bisa langsung melakukan transaksi. Mereka harus memberikan kuasanya, baik kepada Pemda, institusi tertentu di pemerintah pusat, atau orang per orang. Ini tergantung keinginan masya­rakat. Dalam konteks hukum internasional ketika subjek hukum­ nya sudah jelas, maka kontrak baru bisa dilakukan. Jika status hukumnya belum jelas, harus diperjelas terlebih dahulu. Kalau tidak, maka akan rawan dicurangi. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari proyek CDM. Dalam proyek CDM, yang menanggung biaya operasional sampai mendapatkan CER adalah pelaksana proyek CDM. Sementara pembeli baru akan membayar jika sudah ada CER. Sebelum ada CER, jika ada kerugian, sepenuhnya akan ditanggung oleh pelaksana proyek. Oleh karena itu, dalam proyek REDD ini harus diperjelas dulu subjek hukum serta pembagian beban pembiayaannya. Jika ada perselisihan, maka harus dipilih sistem pengadilan yang memberikan “persamaan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 66 08/11/2010 9:03:39 kekuatan” bagi masyarakat adat. Jika karena ketidaktahuan, ternyata penyelesaian perkaranya mempergunakan sistem persidangan inter­ nasional, maka ke­mungkinan besar masyarakat adat akan kalah karena status hukumnya tidak jelas. Tanggapan pada pertanyaan ketiga. Narasumber berargumen bahwa hak masyarakat adat masih bisa diperjuangkan. Dalam ke­bijakan kehutanan yang dikeluarkan oleh Dephut, ada yang namanya hutan kemasyarakatan. Masalahnya adalah mengurus untuk mendapat­ kan status hutan kemasya­rakatan itu bukanlah pekerjaan mudah. Hal pertama yang harus dilakukan oleh masyarakat adat adalah men­ dokumentasikan kondisi sosial ekonomi penduduk, luas lahan, dan kriteria lain yang diperlukan. Tanggapan pada pertanyaan keempat. Narasumber mengatakan bahwa dalam teorinya, pelibatan masyarakat itu wajib dilakukan dalam setiap kegiatan pemerintah. Hal itu sudah diatur dalam perundangundangan. Sekarang bagaimana membuktikan adanya pelibatan masyarakat dan bahwa pelibatan masyarakat dalam sebuah proyek itu menguntungkan? 67 Pelibatan masyarakat adat mengandung kesulitan tersendiri. Pertama, masalah bahasa. Masyarakat adat memiliki bahasa sendiri sehingga harus ada penerjemahan. Kedua, masalah pemahaman mereka akan sebuah proyek, misalkan REDD, yang masih terbatas. Dua hal ini paling pokok dan harus disikapi dengan serius. Kalau mereka tidak paham, bagaimana bisa menandatangani sebuah dokumen yang mereka sendiri tidak pahami isinya. Untuk mengatasi masalah ini, harus ada pendampingan kepada mereka oleh seseorang yang mengerti bahasa mereka dan persoalan yang akan dibahas. Jika pendamping itu memang baik dan benar-benar mau membantu, maka hasilnya akan sangat baik. Sebaliknya jika pendampingnya bermasalah, maka ini bisa jadi masalah tersendiri bagi masyarakat adat. Tanggapan pada pertanyaan kelima. Narasumber menjelaskan bahwa pertama-tama perjanjian internasional itu memiliki konsekuensi yang berbeda dan memiliki tataran berbeda. Konvensi dan treaty itu dilakukanantarnegara dan hanya mengikat negara. MoU atau letter of intent bisa antara negara dengan individu dan individu dengan individu. Hukum internasional itu sendiri terbagi dua: publik dan privat. Kalau hukum internasionl publik itu misalnya adalah soal konvensi dan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 67 08/11/2010 9:03:39 68 treaty. Kalau hukum internasional privat/perdata, maka ia berbicara soal kontrak internasional, baik antara negara dengan individu, maupun antarindividu. MoU bisa tidak berlaku, misalkan karena ada satu orang mundur dari perjanjian. Pihak lain bisa saja menuntut pihak yang mundur itu berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati. Namun, dalam perjanjian internasional, perselisihan hanya bisa dilakukan di mahkamah internasional atau badan arbitrasi. Pe­ nyelesaiannya pun mengikuti tata aturan penyelesaian perkara secara internasional pula, seperti penunjukan tim konsultasi dan sebagainya. Terakhir, mengenai apa yang harus dipersiapkan dalam aspek hukum REDD terutama soal kontrak. Pertama, Anda harus menyiapkan dokumen yang mendukung status hukum Anda, seperti dokumen pengakuan, dokumen penguasaan izin, dst. Kedua, siapkan juga siapa yang menjadi orang yang mempunyai kewenangan menandatangani atau mengeksekusi, misalnya memberi surat kuasa kepada ketua adat atau pihak lain yang dipercaya. Ketiga, sejauh mungkin diusahakan proyek REDD itu memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat adat. Namun perlu diingat untuk mencapai keuntungan itu, Anda harus menyiapkan hutan ini agar layak untuk dijadikan pelaksanaan REDD. Hal ini disebabkan negara yang akan berinvestasi akan bertanya tentang kredibilitas hutan itu, apakah cukup pantas untuk dijadikan wilayah proyek REDD? Dengan kelengkapan dokumen setidaknya bisa dijawab. Orangnya sudah jelas. Hutannya sudah jelas. Pemerintahan sudah mendukung. Tinggal Anda bayangkan. Tanggapan pada pertanyaan keenam. Narasumber mengutarakan dua hal. Pertama, dalam dunia internasional sebenarnya dalam prinsipnya kekuatan negara itu seimbang. Masing-masing negara memiliki kedaulatan. Indonesia dengan Amerika Serikat pada dasarnya kedudukannya sama dalam hubungan internasional. Namun, kedua, dalam hal tekanan agar sebuah negara mematuhi aturan perjanjian internasional bisa melalui ber­bagai bentuk, misalnya cara-cara ekonomi, teknologi, militer, budaya, dan sebagainya. Pertanyaan berikutnya: Siapakah yang paling kuat antara Indonesia dengan Amerika dalam hubungan internasional? Pengalaman bapakbapak yang ikut dalam proses perjanjian internasional itu, belum pernah ada ceritanya negara berkembang berhasil menekan negara maju. Malah sebaliknya, balik ditekan oleh negara maju. Misalnya negara maju mempergunakan tekanan secara ekonomi sehingga banyak negara berkembang yang diam. Jika tekanan secara ekonomi Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 68 08/11/2010 9:03:39 tidak berhasil, bisa dilakukan tekanan secara militer. Kalau masalah kekuatan militer, tidak ada negara yang bisa mengalahkan Amerika Serikat. Amerika Serikat harus mempunyai kepentingan nasionalnya sendiri ke­tika akan menandatangani atau meratifikasi suatu perjanjian internasional. Di luar itu sulit dilakukan. Akhirnya, seberapa jauh perjanjian internasional itu mengikat digantung­kan pada komitmen. Maka, dalam sesi konferensi inter­ nasional selalu dimintai komitmennya. Namun, komitmen ini tidak memiliki kekuatan mengikat apa­pun sehingga menjadi tidak jelas. Ambil contoh dalam soal ruang angkasa. Konvensi internasional me­ nentukan bahwa ruang angkasa itu tidak ada yang punya dan ia adalah milik bersama. Akan tetapi, hanya Amerika dan Rusia yang memiliki kemampuan untuk terbang sampai ke sana. Mereka menempatkan stasiun penelitian, atau malah satelit mata-mata. Garis edar satelit itu sebenarnya terbatas, dia ada di wilayah garis katulistiwa. Namun apakah Indonesia bisa memprotes atau mengajukan tuntutan agar kedua pihak negara itu membayar karena telah mempergunakan garis edar di atas wilayah Indonesia? Indonesia mengajukan hal ini di perundingan internasional. Akan tetapi, apakah usulan ini mendapatkan dukungan dari negara lain? Kemampuan itu bersinggungan erat dengan kapasitas negara. Oleh karena secara aturan internasional belum jelas, maka REDD di­hadapkan pada bagaimana posisi tawar suatu negara pada negara lain. Mengenai manfaat REDD, ia jelas memberikan manfaat pada peningkatan ekologi. 69 Tanggapan pada pertanyaan ketujuh. Narasumber berpendapat proyek CDM pada dasarnya adalah perdagangan atau bisnis. Misalkan saja, saya menjalankan sebuah pabrik yang mengeluarkan emisi 100 juta ton karbon/ tahun. Kemudian saya berencana membuat tindakan tertentu sehingga emisi itu turun menjadi hanya 50 juta saja. Nilai ini menjadi nilai kredit saya. Proses penurunan emisi karbon itu kemudian diajukan sebagai proyek CDM. Untuk itu dilakukan proses pendaftaran ke PBB atau PDD. Dalam proses PDD ini, ada proses pengumpulan data terkait tindakan yang dilakukan dan penurunan emisi tersebut. PDD ini dijadikan dasar yang akan diverifikasi oleh suatu tim independen. Dokumen-dokumen itu kemudian disampaikan ke CDM executive board di PBB. Executive board inilah nantinya yang akan memvalidasi kebenaran proyek CDM yang saya lakukan. Jika berhasil melewati Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 69 08/11/2010 9:03:39 70 proses validasi, maka akan dikeluarkan dokumen berupa CER. CER inilah yang akan diperjualbelikan di perdagangan karbon. REDD merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Prosesnya kira-kira akan sama. Siapakah pemilik sah hutan itu, peme­rintah atau pemilik izin, atau koperasi? Apakah hutan itu disewa? Kalau bentuknya disewa, maka proses tidak akan dilanjutkan. Hal itu terjadi jika sewanya selama 10 tahun, sementara CER-nya baru keluar setelah melewati masa sewanya. Oleh karena itu, CER tidak eligible. Usulan saya jangan menggunakan ini. Ada satu mekanisme yang bisa dijadikan contoh untuk proses REDD ini, yakni DNS atau DebtforNature Swaps. DNS ini merupakan mekanisme hutang diganti dengan hutan. Dengan cara ini, hutang bisa dikurangi dan diganti dengan komitmen untuk melestarikan hutan. Dalam perkembangannya, DNS ini tidak hanya hutan saja, tetapi bisa berupa pendidikan dan kesehatan. Contohnya adalah negara Jerman yang melakukan debt-swap untuk pendidikan. Dalam debt-swap ini, Indonesia tetap membayar hutang. Akan tetapi, tidak ke negara kreditur, melainkan untuk program pendidikan dan kesehatan. Dalam CDM, ada konsekuensi jika CER yang dijual tidak memenuhi nilai yang sesungguhnya. CER ini akan dihitung pada tahun 2012 saat komitmen pertama negara Annex 1 berakhir. Jika kurang, maka uang yang sudah diterima harus dikembalikan. REDD juga kurang lebih sama. Kalau hutan Anda sudah saya ijon, artinya tolong Anda urus semua mulai dari surat apa yang diperlukan. Jika telah lengkap, baru akan saya bayar. Namun begitu selesai, hutan Anda ternyata kebakaran. Uang Anda bisa diminta kembali. Sebenarnya ada jalan keluar untuk masalah ini, yaitu buat saja kontraknya pertermin, tidak sekaligus sampai 20-30 tahun. Jadi, modelnya seperti cicilan. Jangan sampai kita dituntut untuk bayar di kemudian hari. Diskusi kelompok Diskusi kelompok dibagi dua: Kelompok 1 Kelompok 2 Peluang dan tantangan hukum internasional terhadap perlindungan masyarakat adat. Peluang dan tantangan hukum internasional terhadap keberlanjutan hutan. Dalam pembicaraan sebelumnya sudah dibicarakan tantangan serta dampak yang mungkin lahir ketika perusahaan bertemu dan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 70 08/11/2010 9:03:39 melakukan kontrak dengan masyarakat. Dalam diskusi kelompok kita kali ini, kita akan lihat bagaimana memperkecil dampak itu dan mencari peluang penyelesaiannya. Kita akan diskusi setengah jam saja. Setelah itu kita akan ada presentasi. Diakhir, kita akan mengkonfirmasi ke narasumber jika ada permasalahan yang dirasa belum/kurang jelas dibahas dalam diskusi kelompok. Presentasi diskusi kelompok Kelompok I Peluang dan Tantangan Hukum International Masyarakat Adat Peluang : • Saat ini sudah ada UNDRIP (UN Declaration on the Rights Of Indigenous Peop­ les)-2007 • Sudah ada Konvensi ILO 169-Bangsa Pribumi dan Masya­rakat adat di negara merdeka • Konvensi Internasional ten­ tang Hak Sipil dan Politik dan Ekonomi, Sosial dan Budaya. Tantangan : • Pengakuan keberadaaan IP’s di Indonesia sangat normatif, belum ada pe­ ngakuan substantif • Hingga kini Indonesia belum meratifikasi kon­ ven­si ILO 169 • Ada persoalan ketidak­ mampuan memahami dan mengimplementasikan instru­ment hukum inter­ nasional (bukan subjek hukum) 71 Penjelasan Tambahan Kelompok I Selain yang disebutkan di atas, sebagai peluang, ada yang namanya Hak sipil dan Politik dalam ECOSOC yang juga secara jelas memposisikan masyarakat adat seperti apa. Mengenai tantangan, memang betul di Indonesia itu hukumnya sangat normatif. Kalau tidak ada penjelasan rinci dalam pelaksanaan, itu menjadi sia-sia. Di level internasional, memang ada pengakuan masyarakat adat, tetapi di tingkat nasional/Indonesia banyak yang tidak sejalan. Oleh karena itu, Kon­vensi ILO tidak diratifikasi. Usaha pengakuan menjadi berbelit-belit. Peraturan pelaksananya susah. Syaratnya hampir tidak terpenuhi karena bicara soal kepentingan nasional. Ini sederhana, tetapi sangat berat. Kalau kita relasikan dengan internasional, dari level internasional sudah ada, tetapi tingkat ratifikasinya yang sangat Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 71 08/11/2010 9:03:39 72 tidak menggembirakan. Persoalan di depan mata, misalnya akan ada persengketaan soal kontrak. Masyarakat adat akan meminta pihak ketiga sebagai perwakilannya. Itu mungkin berhasil di satu komunitas, tetapi bagaimana dengan ribuan komunitas lainnya. Tambahan, terkait soal definisi. Masyarakat adat menurut hukum nasional kita berbeda dengan hukum internasional. Masyarakat adat yang kita pahami dalam UU masih menggunakan definisi masyarakat hukum adat. Ada kesulitan untuk mengembangkan definisi itu ke tingkat lokal. Pengalaman kita ketika mendorong rancangan perda tentang masyarakat adat itu, lima tahun yang lalu saja sampai sekarang tidak jalan. Peluang untuk intervensi di level kabupaten sebenarnya lebih cepat dibandingkan dengan di provinsi. Ada kesenjangan pemahaman antara pemerintah, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil untuk memahami bagaimana sebetulnya hukum internasional yang diberlakukan. Ini akan menjadi masalah yang rumit jika tidak ada peningkatan kapasitas. Presentasi Kelompok II Kelompok II, Keberlanjutan Hutan Peluang - Ada dukungan dan pengawasan dari dunia internasional - Partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan - Adanya mekanisme penyelesaian sengketa antarnegara dalam pe­ ngelolaan hutan Tantangan - Perjanjian internasional hanya bersifat komitmen - Minimnya pemahaman masyarakat tentang perjanjian internasional - Masih adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan hutan - Deforestasi masih terjadi di Indonesia - REDD bisa memberikan manfaat sekaligus ancaman. Misalkan ada sumber pembiayaan dan pelestarian hutan, sekaligus ada ancaman hak-hak kelola masyarakat yang dirampas. - Banyak provinsi yang belum punya tata batas hutan yang jelas. Terkait dengan peluang dan tantangan terhadap keberlanjutan hutan, pertama, untuk peluang kami melihat ada dukungan dan pengawasan dari dunia internasional terkait dengan pengelolaan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 72 08/11/2010 9:03:39 hutan yang lebih lestari. Selain itu, partisipasi masyarakat sudah lebih diakomodasi dalam pelestarian hutan. Mekanisme penyelesaian sengketa antarnegara ini mengikuti penyelesaian sengketa dalam hukum publik internasional. Sementara jika urusannya privat, ada mekanisme penyelesaian sengketa lain seperti arbitrasi. Untuk tantangannya, perjanjian internasional terlalu bergantung pada komitmen. Kalau komitmen, segi pemaksaaannya berkurang. Oleh karena itu, sedikit harapannya ketika berkaitan dengan upaya dan inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat dalam perlindungan hutan. Selain itu, pemahaman masyarakat akan seluk -beluk aturan hukum internasional juga masih harus ditingkatkan. Masalah lain yang penting adalah soal masih banyaknya tumpang tindih aturan di negara kita. Apakah tumpang tindihnya itu lintas sektoral atau hirarki aturan. Belum lagi masalah implementasi aturan di lapangan. Misalkan saja dalam soal persoalan tata ruang yang sampai sekarang masih sulit diselesaikan. Contohnya Kalteng, muncul berbagai kasus tumpang tindih antara pertambangan dengan hutan. Terakhir, cara berpikir birokrat di Indonesia dalam memandang sumber daya alam terlalu ekonomis, apa yang bisa dieksploitasi dari sumber daya alam yang ada. Apakah REDD ini ancaman atau peluang dalam perlindungan hutan? Tantangannya ada dalam soal penghargaan terhadap budaya masyarakat sekitar hutan. REDD akan menjadi ancaman jika tidak menghargai budaya masyarakat sekitar hutan, apalagi jika belum ada kepastian kelola oleh masyarakat. Mekanisme REDD sampai saat ini kita tidak tahusehingga sulit untuk menentukan apakah ia menjadi ancaman atau peluang. Pemahaman masyarakat bahkan pemerintah tentang hukum internasional masih harus ditingkatkan. Satu lagi masalah adalah kepastian wilayah hutan sebenarnya sampai saat ini belum jelas. Perbaikan ke arah sana juga masih minim. Sementara itu REDD sepertinya akan tetap jalan, di luar apakah kita menyetujuinya atau tidak. 73 Tanggapan narasumber Konvensi Perubahan Iklim/UNFCCC tidak pernah menyatakan secara tegas tentang masyarakat adat. UNCBD justru secara tegas menyatakan tentang masyarakat yang ada di dalam hutan. Masyarakat yang ada di dalam hutan ini menjadi persoalan politis. Soal hutannya sebagai tempat tinggalnya saja bermasalah. Ini akan menjadi masalah yang lebih lebar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 73 08/11/2010 9:03:39 74 Ini sama dengan masalah Forest Principle yang dihasilkan dari KTT Bumi Rio. Kenapa Forest Principle tidak mengikat secara hukum? Ada beda pengertian hutan menurut negara maju dan berkembang. Negara maju tidak mau membantu pengelolaan hutan di negara berkembang. Negara maju merasa bahwa pengelolaan hutan di negara berkembang merupakan masalah dalam negeri negara berkembang sendiri. Hutan, bagi negara maju, harus steril dari masyarakat. Di negara maju hutan memang steril dari masyarakat. Sedangkan di negara berkembang, masyarakat menjadi bagian dari hutan. Mengenai masyarakat adat juga bermasalah. Bermasalah, mengapa? Bagi negara maju masyarakat adat itu sudah tidak ada. Mereka hanya ada dalam istilah budaya. Di negara maju, “masyarakat adat” memang punya budaya dan cara hidup sendiri. Namun mereka sudah punya sistem hukum yang jelas sehingga masyarakat adat tunduk kepadanya. Di sisi lain, masyarakat adat itu siapa, masih jadi pertanyaan besar di negara Indonesia. Bagi Pemerintah Indonesia, semua penduduk Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat adat. Jadi, pengertian masyarakat adat sama dengan penduduk asli. Berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang diakui dunia internasional ada dua, yakni melalui badan dunia dan kedua melalui aturan yang diatur dalam perjanjian internasional. Jadi, dalam peraturan internasional itu ada macam-macam, ada pengadilan khusus, pembentukan tim khusus, atau katakanlah semacam pengadilan panel. Mengenai pengertian hutan dalam rancangan konferensi perubahan iklim, masih dalam taraf perdebatan. Termasuk bagaimana posisi masyarakat adat dan hutan. Pasti ada negara yang mau memperjuangkan itu. Berarti ada peluang. Sepanjang itu belum diketok palu, jangan khawatir. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 74 08/11/2010 9:03:39 5. Perubahan Iklim dan REDD dalam Hukum dan Kebijakan Nasional Indonesia Pengantar Sesi ini mengetengahkan tema tentang bagaimana implementasi hukum nasional dalam menanggapi isu perubahan iklim. Dipaparkan pula mengenai keberlakuan hukum internasional ke dalam suatu sistem hukum nasional. Dalam tema ini disinggung pula tentang “jurang kebijakan” atau policy gap antara hukum internasional dan nasional. Tema disampaikan oleh Giorgio Budi Indarto dari CSF [Civil Society Forum on Climate Justice]. 75 Presentasi Narasumber Terima kasih. Saya tidak tahu kemarin tentang apa diskusinya, tetapi saya akan mengikuti TOR yang diberikan kepada saya. Masalah yang akan saya sampaikan sangat sederhana dan tidak banyak analisis. Diskusi ini banyak membahas tentang hutan dan masyarakat adat. Saya mulai dengan Indonesia menjadi salah satu anggota UNFCCC dan Indonesia sudah meratifikasi dan melalui apa. Indonesia dan perubahan iklim • United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diluncurkan pada tahun 1992 pada Earth Summit di Rio de Janeiro. • Indonesia menjadi salah satu negara yang menanda­ tangani­nya. • UNFCCC diratifikasi dengan UU no. 6 tahun 1994 dan juga me­ratifikasi Protokol Kyoto dengan UU no. 17 tahun 2004. Namun, masih ada diskusi seperti apa berlakunya hukum inter­ nasional di nasional. Ada dua aliran mengenai keberlakuan hukum internasional: monolis dan dualis. Aliran monolis melihat hukum internasional dan nasional itu se­bagai satu kesatuan. Oleh karena itu, otomatis negara dan warga negaranya terikat ketika negara tersebut menandatangani satu perjanjian internasional. Sementara itu, aliran Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 75 08/11/2010 9:03:39 dualis melihat hukum nasional dan internasional dalam posisi yang berbeda sehingga untuk keberlakuan hukum internasional harus ditransformasikan dulu ke dalam sistem hukum nasional. Sistem Keberlakukan Hukum Internasional Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional”, maka ada beberapa pembagian aliran hukum internasional, yaitu: • Aliran dualisme menganggap bahwa hukum nasional dan hukum inter­nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dengan yang lainnya. Dalam praktiknya, aliran ini beranggapan bahwa hukum internasional sangat sulit untuk bersanding dengan hukum nasional. Hukum internasional tidak mempunyai implikasi terhadap warga negara secara langsung. Dengan kata lain, hukum nasional akan sangat sulit untuk di­ sanding­kan dengan hukum internasional dan harus melalui suatu “transformasi” untuk dapat berlaku dan menimbulkan tanggung jawab pada warga negara. • Aliran Monisme mendasarkan pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Aliran ini beranggapan bahwa antara hukum nasional dan hukum internasional me­rupakan suatu kesatuan dari hukum yang mengatur umat manusia sehingga dalam penerapannya diketahui bahwa hukum internasional bisa untuk dipersandingkan dengan hukum na­sional. Permasalahan yang timbul adalah mengenai hierarki dalam hukum internasional dan hukum nasional, mana yang lebih tinggi kedudukannya. Oleh karena itu, aliran monisme dibagi lagi menjadi dua jenis. • Aliran Monisme dengan Primat Hukum Nasional, memberikan suatu pemikiran bahwa hukum internasional tidak lain merupakan kelanjutan dari hukum nasional, atau dengan kata lain hukum nasional untuk urusan luar negeri ( auszeres staatrecht ). Dalam penerapannya, aliran ini menganggap bahwa hukum internasional tergantung pada hukum nasional suatu negara. Pemikiran ini sangat sulit untuk diterapkan karena senada dengan aliran dualisme. Maka, aliran ini juga secara tidak langsung menyangkal keberadaan dan keberlakuan dari hukum internasional. • Aliran Monisme dengan Primat hukum Internasional, berangga­ pan bahwa hukum nasional bersumber pada hukum internasional, yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat ke­ 76 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 76 08/11/2010 9:03:39 tentuan hukum yang hierarkinya lebih tinggi. Dalam aliran ini, hukum internasional dianggap menjadi cantolan dari suatu hukum nasional. Kekuatan mengikat dari hukum nasional didasarkan pada pendelegasian kewenangan dari hukum nasional. Melihat dari beberapa aliran ini, Indonesia sebenarnya lebih cencerung pada aliran dualisme. Walaupun demikian, UUD 1945 tidak secara spesifik membicarakan hal ini, hanya saja dinyatakan bahwa perjanjian internasional itu ditandatangani oleh presiden. Tidak dijelaskan secara spesifik apa yang kita pakai. Namun berdasarkan apa yang telah diuraikan itu, kita memakai sistem dualisme karena hukum internasional harus ditransformasikan dulu ke dalam sistem hukum nasional untuk keberlakuannya. Sistem Keberlakukan Hukum Internasional • Dalam praktik hukum nasional (formal), Indonesia tidak dapat dikatakan menganut satu diantara beberapa aliran tersebut. • Dalam UUD ’45 pengaturan mengenai perjanjian inter­ nasional hanya sebatas bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyata­kan perang, membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain (Pasal 11). • Sedangkan UU no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian inter­ nasional hanya mengatur mengenai bentuk pengesahan per­janjian inter­nasional, dengan persetujuan DPR atau tanpa persetujuan DPR. 77 Bagaimana pelaksanaan UNFCCC di tingkat nasional? Di Indonesia belum ada UU yang memayungi terhadap perubahan iklim secara keseluruhan atau UU Perubahan Iklim. Ini sempat menjadi wacana. Yang menjadi pertanyaan, apa kita perlu UU khusus Perubahan Iklim? UNFCCC dan Pelaksanaan di tingkat nasional • Pada tingkat nasional, belum ada kerangka hukum yang secara umum mengatur mengenai perubahan iklim. • Apakah diperlukan? 1. Indonesia bukan merupakan negara yang wajib menurunkan emisi. 2. Perubahan iklim merupakan dampak dan bukan subjek masalah. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 77 08/11/2010 9:03:39 3. Ada pilihan untuk memiliki adaptive policy dibandingkan dengan UU Perubahan Iklim. 78 AS sudah mempunyai UU tersendiri yang mengatur soal perubahan iklim, begitu juga beberapa negara lain seperti Australia. Kalau saya ditanya apakah Indonesia perlu punya UU tersendiri mengenai perubahan iklim, saya akan menjawab tidak atau belum perlu. Pertama karena Indonesia tidak menjadi target untuk menurunkan emisi. Australia dan AS memang harus punya karena mereka dikenakan ke­wajiban menurunkan emisi di dalam negerinya. Mereka harus mengubah pola perekonomiannya. Sementara Indonesia sekarang justru harus membangun. Akan tetapi, itu tidak berarti kita dengan seenaknya mencemari lingkungan hanya karena kita punya hak untuk membangun. Dengan demikian, perhatiannya bukan ke kita yang wajib mengurangi emisi. Masalahnya, ada kecenderungan kewajiban mitigasi perubahan iklim mulai digeser ke negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan Cina. Ini agak berbahaya karena tidak adil. Indonesia yang punya hutan, “dipaksa” untuk mengurangi polusi, yang dibuat oleh negara maju. Alasan kedua, perubahan iklim ini senyatanya adalah dampak, bukan sebab. Mengapa ada perubahan iklim? Hal ini karena dampak dari pola pembangunan yang tidak berkelanjutan. Bagaimana dengan Indonesia? Seharusnya Indonesia memakai pola pembangunan berkelanjutan. Harus ada kebijakan yang luwes. Yang di maksud dengan kebijakan yang luwes ini adalah kebijakan yang bisa peka terhadap keadaan, tetapi tidak melepaskan kepastian. Dia bisa berubah dan merespon ketidakpastian yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Kita memang tidak punya payung hukum untuk soal perubahan iklim, tetapi bukan itu yang diperlukan. Sekarang kita masuk ke pembicaraan sektor hutan. Di mana posisi kebijakan dalam melihat hutan dan perubahan iklim? Hutan dan Perubahan Iklim • Tutupan hutan yang luas dari Indonesia secara tidak langsung membuat hutan Indonesia menjadi sorotan dunia. • Pada COP 13 di Bali pengurangan emisi dari sektor kehutanan resmi menjadi keputusan Rencana Tindak Bali/Bali Action Plan. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 78 08/11/2010 9:03:39 • REDD kemudian dijadikan suatu fokus perhatian dalam mem­bicara­kan konteks perubahan iklim dan hutan. UNFCCC tidak mengatur mengenai hutan. Namun, hutan masuk dalam pembahasan di Protokol Kyoto. Di COP 13 yang lalu di Bali, Indonesia, hutan masuk ke dalam perundingan. Hasil dari COP 13 inilah yang menjadi dasar kita bicara soal REDD. Posisi Indonesia sebenarnya menguntungkan karena ia punya hutan yang besar. Sayang, Pemerintah Indonesia tidak meresponnya dengan bijak. Indonesia memang memiliki kebijakan mengenai REDD ini walaupun dibuatkan dalam bentuk Permenhut. Namun, tiga Permenhut itu tidak menjawab pertanyaan mendasar. Hutan dan Perubahan Iklim • Indonesia merespon REDD dengan mengeluarkan tiga Permen­hut pada tahun 2009. • Namun, Permenhut tersebut masih mengandung be­ berapa per­tanyaan mendasar a.l. : 1. Apakah Permenhut bisa menjawab permasalahan tenurial dan permasalahan mendasar lain? 2. Bagaimana dengan tata guna lahan di Indonesia? 3. Ke manakah arah kelembagaan pengelolaan hutan ? 4. Bagaimana dengan hak kelola masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan? 79 Selain itu, banyak permasalahan lain yang belum terjawab. Mengapa saya utarakan masalah ini? Ternyata respon pemerintah Indonesia sangat reaktif. Indonesia menandatangani UNFCCC dan Protokol Kyoto, namun masih belum terlihat hadir dalam kebijakan nasional. UNFCCC bertujuan untuk mengurangi gas efek rumah kaca. Ketika Permen­hut mengenai REDD hadir, sama sekali tidak terlihat ada perubahan emisi. Permenhut itu masih membolehkan offset. Padahal, offset tidak akan bisa mengurangi emisi. Dengan offset ini, hutan diharapkan bisa menyerap karbon dari negara maju. Namun, mustahil hal itu berhasil jika sumber emisi di negara maju tidak dikurangi. Masalah kedua, karena saya aktif di koalisi masyarakat sipil untuk pe­rubahan iklim, REDD tidak akan menyelesaikan masalah keadilan. Ini bukan permasalahan teknis. Permenhut tidak akan merespon nuansa ketidakadilan yang muncul. Masalah bagaimana tata guna lahan, Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 79 08/11/2010 9:03:39 masalah tenurial, masya­rakat adat, serta kebijakan yang lain. Jadi, saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia masih reaktif. Mari kita lihat bagaimana Indonesia memposisikan masalah hutan dalam perubahan iklim di dalam dokumen RAN (Rencana Aksi Nasional) Perubahan Iklim yang dibuat pada tahun 2007 dan dipublikasikan pada saat COP 13 di Bali. 80 Rencana Aksi Nasional • Rencana aksi nasional perubahan iklim dikeluarkan oleh KLH pada tahun 2007. • Diharapkan dapat menjadi acuan dalam proses pe­ ngambilan dan penyusunan kebijakan nasional terkait perubahan iklim. • Dalam RANPI didapatkan pengaturan rencana aksi di sektor kehutanan, namun problem mendasar sektor kehutanan juga belum terjawab. Diharapkan ini menjadi acuan untuk membuat kebijakan. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. RAN tidak pernah menjadi acuan kebijakan, ia menjadi dokumen mati. Dalam RAN PI itu, Dephut diharapkan melakukan restorasi hutan, namun izin tetap dikeluarkan. Selain itu, Departemen Per­tanian masih saja memberikan izin perkebunan di areal berhutan. Pembakaran hutan harus dikurangi. Kenyataannya, tahun ini di Kalimantan masih terjadi kebakaran. RAN PI itu juga tidak menjawab beberapa masalah dasar. Kita sudah tahu bagaimana Indonesia merespon kebijakan perubahan iklim dalam beberapa aspek. Dalam melakukan perubahan iklim ini ada beberapa aktor. Aktor Terkait • Departemen Kehutanan • Departemen dalam Negeri • Dewan Nasional Perubahan Iklim • BAPPENAS • Sektor Nonkehutanan Masih digunakan pendekatan sektoral dalam melihat per­ masalahan ini. Kalau kita lihat dari beberapa aktor ini, kita bisa menyatakan bahwa Indonesia melihat perubahan iklim ini masih sebatas isu sektoral. Padahal, kita punya badan yang multisektor yaitu Dewan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 80 08/11/2010 9:03:39 Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. DNPI punya hubungan dengan 16 departemen, memiliki sekretariat sendiri, dan harapan kita para menteri bisa membuat kebijakan yang terkoordinasi. Akan tetapi kondisi sekarang, rapat jarang mereka lakukan sehingga akhirnya keluarlah kebijakan masing-masing sektor. Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan masing-masing mengeluarkan kebijakan sendiri ter­kait pemanfaatan lahan dan hutan. Begitu juga DKP, DESM, PU, dst. Tidak tercapai komunikasi multisektor. Padahal, tugas DNPI ini salah satunya adalah membuat kebijakan na­sional. Dengan kondisi seperti itu, posisi DNPI itu di antara penting dan tidak penting. Perubahan iklim itu multisektor. Namun, kalau melihat kelembagaan­nya sangat lemah dan dianggap tidak penting. Itu gambaran kebijakan saat ini. Peran DNPI sebagai Wadah Multisektor • DNPI dibentuk berlandaskan Perpres no.46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim • Salah satu tugas dari DNPI adalah untuk “ Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program, dan kegiatan pengendalian pe­ruba­han iklim.” • Selain itu tugas dari DNPI juga untuk “mengkoordinasikan ke­giatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan.” 81 Khusus mengenai hutan, DNPI dan Dephut sepakat untuk mem­ bagi tugas. Padahal sekali lagi, DNPI ini bersifat multisektor sehingga seharusnya dia mengoordinasikan kebijakan sektoral. DNPI, dalam hal ini ketua harian DNPI, membuat perjanjian dengan Dephut terkait dengan kebijakan perubahan iklim. Dephut akan membuat perencanaan kerja terkait perubahan iklim untuk hutan. Sedang DNPI, wilayahnya di luar hutan. Bagaimana kita bisa melakukan usaha pengurangan dampak perubahan iklim ketika penyelesaiannya dilakukan secara terpisah. Sekarang ini Dephut sudah membuat kerangka kerja. Pemisahan seperti ini seharusnya tidak terjadi karena ada perwakilan Departemen Kehutanan di DNPI. Departemen Kehutanan tidak rela wilayah kerjanya diambil orang. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 81 08/11/2010 9:03:39 82 Beberapa tahun ini pemerintah cukup responif merespon REDD dan lainnya. Berkaitan dengan REDD, kita tidak bisa membuat logikanya menjadi terbalik. Tantangan Indonesia : • Logika REDD tidak dapat dibalik. • Melihat kondisi yang ada saat ini, Indonesia memerlukan perangkat kelembagaan kehutanan yang transparan dan akuntabel. • Penegakan hukum kejahatan kehutanan mutlak untuk dilakukan. • Pengelolaan sumber daya secara sektoral harus diselesaikan se­cara segera. Diharapkan dengan masuknya REDD, tata kelola hutan bisa membaik. REDD tidak bisa bermanfaat ketika membiarkan masalah yang dulu tidak terselesaikan. Karena jika REDD ini ditumpangi, maka masalahnya tidak terselesaikan. Kita perlu tata kelola hutan yang baik. Sayangnya, DNPI tidak pernah disebut perannya dalam soal REDD ini. Ketika DNPI bubar, ini akan bahaya. Kita akan kembali mengelola SDA secara sektoral. Dalam soal pembiayaan, kita melihat ada Bappenas dan DNPI. Kedua institusi ini seperti bermusuhan, seperti rebutan mainan. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 82 08/11/2010 9:03:40 Masing-masing merasa berwenang untuk mengelola dana terkait perubahan iklim. Bappenas membuat ICCTF/Indonesian Climate Change Trust Fund, yang berarti semua pendanaan adaptasi dan mitigasi digabungkan. DNPI sendiri punya mekanisme pendanaan sendiri. Cara-cara sektoral semakin kelihatan. Mereka tidak mau menggabungkan pengelolaan dana ini dalam satu kerangka yang jelas. Akhirnya, DNPI mencari dana sendiri dan Bappenas juga me­ ngumpulkan sendiri lewat ICCTF-nya itu (ICCTF belum sepenuhnya jalan, tetapi arah kerjanya sudah kelihatan menuju ke mana). Dalam soal pendanaan ini, sangat minim sekali partisipasi masyarakat. Ini sangat berbahaya. Diskusi Beberapa pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut : Pertama, REDD diperkirakan akan memicu lahirnya produkproduk hukum baru. Namun, sepertinya tidak bisa seperti itu juga karena masih ada persoalan yang mesti dijawab dulu. Apakah RAN ini harus ada atau tidak ada? RAN juga tidak akan memberikan dampak. Kemudian, apakah masalahnya harus ada kerangka hukum? Berikut juga masalah masyarakat adat. Bagi Dephut, tidak ada masalah dengan masyarakat adat. Pemerintah sudah mem­buka pintu bagi pengakuan masayarakat adat. Lalu di mana masalahnya? Kedua, berkaitan dengan kebijakan, sepertinya perlu waktu efektif (lama) untuk memberi obat agar memulihkan kita yang sakit. Sementara REDD sudah di depan mata. 83 Tanggapan Narasumber Tanggapan pada pertanyaan pertama. Narasumber melihat perlunya mencari hubungan antara keluarnya RAN dengan REDD. Apakah RAN ini men­jadi prasyarat bagi implementasi REDD? RAN, pertama, ternyata tidak ber­peran banyak dalam mengubah kebijakan Indonesia. Namun, mestinya ia berperan banyak. Kondisi ini yang tidak terlihat sekarang. Kita masih terkesan hanya mengirim proposal. Kemudian Bank Dunia melihat proposal itu dan merasa ada yang kurang karena tidak dimasukkan mengenai partisipasi masya­rakat. Kita akhirnya membuat berdasarkan permintaan Bank Dunia dan kita menganggap proposal kita bagus. Kemudian soal pengakuan hak, Dephut merasa sudah ada ke­ bijakan soal pengakuan masyarakat adat. Namun, detail soal ini tidak terlihat di dalam RAN. Padahal seharusnya, hal seperti itu diatur secara detail. Misalkan nanti Indonesia mau menerapkan REDD, pihak Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 83 08/11/2010 9:03:40 pelaksana REDD harus memuat konsultasi dengan masyarakat seperti ini. Kalau mau melakukan penataan hutan, harus mengikuti aturan seperti ini. Kalau tidak rinci akan sulit untuk dijadikan acuan. Di dalam proposal, hal-hal mendasar itu tidak dibicarakan, seolah kondisi hutan Indonesia baik-baik saja. Akibatnya, dilihat dari luar tampak luar biasa. Indonesia sudah mengakui masyarakat adat, ditambah lagi promosi di pemerintah. Di sini terjadi salah pengertian. Pemerintah Indonesia tidak men­ ceritakan kondisi perhutanan Indonesia dengan jujur. Itu seperti kita berobat ke dokter, tetapi kita bohong tentang penyakit. Maka, dokter akan memberikan obat untuk penyakit lain sehingga kita tidak akan sembuh. Kita harus jujur, misalnya kita ada masalah di Kalimantan. Kalau kita bohong terus, maka kita tidak akan sembuh. 84 Dengan demikian, RAN dan REDD belum terkait sama sekali. Tanggapan pada pertanyaan kedua. Berkaitan dengan upaya memperbaiki ke­bija­kan sebagaimana diutarakan dalam pertanyaan kedua, menurut Nara­sumber peluangnya kecil, tetapi ada. Contoh ketika kita mengirimkan proposal RPP masyarakat sipil dengan Sawit Watch, kita memberikan potret real apa yang bertentangan dengan apa yang didengungkan oleh Indonesia. Pemerintah memang punya konsultasi publik dan Permenhut, tetapi belum ada hasilnya. Namun saya tidak bisa berharap kepada Bank Dunia. Akan tetapi, dengan potret sebenarnya itu, Bank Dunia bertanya ke Pemerintah Indonesia apakah benar apa yang ditunjukkan oleh masyarakat sipil itu. Ibu Nur Masrifatin menyatakan bahwa dia sudah datang ke masyarakat sipil dan sudah mencoba menjelaskan. Posisi tawar ini yang kita coba buka. Betul sekali, tidaklah tepat memandang Bank Dunia sebagai dokter. Namun kalau kita punya niat baik, maka kita sebaiknya tidak membohongi. Departemen Kehutanan bicaranya selalu optimis bahwa REDD ini lebih bagus dari HTI karena bisa menghasilkan uang sebanyak Rp 2,8 triliun/tahun. Akan tetapi, dia tidak tahu kalau negara ini sedang sakit. Ini yang harus ada posisi tawar. Tambahan Steni Steni menjelaskan tentang skema pendanaan dalam REDD dan hubungan­nya dengan skema pendanaan ke dalam negeri. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 84 08/11/2010 9:03:40 Steni menceritakan mengenai situasi pendanaan REDD di Brasil yang menggunakan fundbased. Beberapa waktu lalu ketika REDD dirundingkan, peng­giat masyarakat adat membuat surat kepada donor agar mereka diikutsertakan dalam Brasil Amazon Fund. Usul itu disetujui oleh Donor (Norwegia). Mereka menyatakan bahwa harus ada kamar khusus masyarakat adat dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan sebagai syarat untuk mendapatkan dana dari Norwegia. Pemerintah takut ketika kelompok masyarakat menolak maka dana itu tidak cair. Jadi, modelnya seperti di bawah ini, mungkin bisa menjadi strategi kita nanti. Mereka terdiri dari beberapa kelompok CSO. Setelah ini setuju, uang donor ini baru dicairkan. 85 Greenpeace mengusulkan skema serupa. Dengan menghantam donor, kita bisa memasukkan isu-isu penting dan diadopsi sebelum dana dicairkan. Ada beberapa usulan penting yang masuk. Mereka bisa membuat peta wilayah adat di seluruh Brasil. Peta wilayah itu kemudian dibawa ke Bonn dan Bangkok. Mereka petakan komunitas adat ada di mana saja. Dengan demikian, bisa dikatakn perjuangan mereka berhasil Meskipun implementasinya masih bolong sana -sini. Kembali ke soal Indonesia, Bappenas merancang skema yang dipresentasi­kan 12 Desember 2009. Skema ini banyak dibahas di Bappenas. Kemudian ini kira-kira struktur yang diharapkan. Kawankawan, di sebelah kiri terkait dengan perubahan iklim dan kanan ini program Bappenas. Bagaimana dengan skema keuangan? Intinya adalah ongkos perubahan iklim sangat mahal. Pada level nasional dana yang dibutuhkan hampir enam triliun. Kemudian, untuk reservasi 1,4 juta dollar. Itu yang terakhir. Itu data yang disediakan. Peta keuangan yang ada sekarang dari Indonesia tiga kerangka itu. Ini skema. Kalau Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 85 08/11/2010 9:03:40 86 ada pengadaan, di tengah adalah mekanisme yang diharapkan oleh pemerintah. Kiri, program spesifiknya. Ini skema yang digunakan oleh pemerintah. Ada Paris Declaration, MDG’s, UU tentang Keuangan. Ini sumber pendanaan. Yang sudah ada kira-kira seperti ini. Kemudian yang diusulkan soal pendanaan untuk trust fund. Ada grant, ada trust fund sendiri, dan bahkan ada soft loan. Trust fund kemarin sudah disinggung Mas Arif dan sudah ditangani UNDP-Bappenas.Mereka tidak mau melibatkan NGO. Harapan kita pada saat itu ada perwakilan masyarakatnya. Namun pada saat dideklarasikan, mereka menutup pintu bagi perwakilan masyarakat. UNDP yang menangani sendiri karena pada dasarnya donor tidak percaya dengan pemerintah. Ini ada, SC-nya adalah para menteri yang terkait. Ada program SC lalu ada sub isu. Kemudian ada pemerintah lokal dan seterusnya. Ini usulan Bappenas. Akan tetapi dalam launching, kawan-kawan sudah masuk ke dalam yang dikirim. Yang terlibat adalah kawan-kawan donor. Ini proses donor biasa. Jadi, trust fund sudah melenceng karena board sudah satu pihak. Sekarang sudah dimonopoli dengan donor. Brasil mampu mendorong ini. Pemerintah Indonesia merasa belum tertekan karena belum banyak yang membahas isu. DNPI mengusulkan special fund. Trust fund itu inisiatif nasional dan mereka melihat pengalaman lain. Indonesia bisa belajar dari Brasil yang memiliki Climate Special fund. Ini diusulkan negara seperti Brasil dan PNG. PNG berharap dana dari payung UNFCCC akan digunakan dalam bentuk grant. Kalau Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 86 08/11/2010 9:03:40 trust fund inisiatif dari negara. Seperti Indonesia. Trust fund ini harus menjadi bagian dari rencana kerja nasional. Ia berada di bawah struktur pemerintahan, tetapi semua pihak, termasuk NGO, bisa mengakses dana itu. Ini juga penting untuk strategi pemerintah daerah. Pemerintah daerah dalam skema ini menjadi pihak yang mendorong turunnya dana. Donor yang mengurus dan akan berhubungan dengan pemerintah daerah, dan seterusnya. Tanggapan peserta Cukup menarik karena ini pendekatan yang agak unik. Dapat dibandingkan dengan lingkungan hidup, tetapi tidak berpengaruh dengan pendekatan sektoral. Kalau melihat dari adaptifnya, bisa merespon ketidakpastian. Agak mustahil ada adaptif policy yang dibuat secara sektoral. Diskusi Kelompok Kelompok akan dibagi untuk menjawab beberapa pertanyaan, antara lain apa yang diprediksikan menjadi masalah hukum ketika REDD dijalankan. Apa yang akan dilakukan teman-teman di daerah? Pemerintah daerah seharusnya melakukan apa? 87 Presentasi Kelompok I Terima kasih. Saya dipercayakan oleh kawan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, dan Sulawesi. Masalah hukum tingkat lokal diambil dari masing-masing daerah. Kelompok I - Tidak ada pengakuan terhadap tanah adat. Di Sulsel ada SE Gubernur tahun 1993 yang menghambat pengakuan terhadap tanah adat. Dengan SE itu, pemerintah menyatakan tidak ada tanah adat di Sulawesi Tengah. - Di Papua sudah ada UU Otsus, tetapi aturan pelengkap UU tersebut belum ada. - Tumpang tindih aturan perundang-undangan. - Kebijakan tingkat lokal masih sektoral. - Proses legislasi di daerah tidak partisipatif sebab tidak melibatkan masyarakat secara lebih luas. - Tata guna lahan atau kebijakan tata ruang sering menimbulkan konflik. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 87 08/11/2010 9:03:41 - Ada stigma separatis di Papua sehingga membuat sulit masya­ rakat bicara tentang haknya. - Perdasi dan Perdasus sering mandek di DPRP sebab pokok pikiran yang diberikan oleh MRP dianggap bertentangan dengan negara. - Gubernur Papua dan Papua Barat sudah menandatangani MoU tentang REDD. Akan tetapi, tidak ada UU pelengkap yang menguatkan hak masyarakat - Ada permasalah yang masih belum selesai, misalkan per­ tambangan di dalam kawasan hutan lindung. - Good governance belum berjalan. - Di Sumbar sudah ada Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat, tetapi belum menyelesaikan persoalan sektoral, misalkan antara kawasan hutan dengan bukan kawasan hutan. 88 Untuk kasus Sulteng, Amran mungkin nanti akan menjelaskan posisi Surat Edaran Gubernur tahun 1993 itu yang menghambat pengakuan masya­rakat adat. Kasus kedua, di Sumatera Barat terjadi hal yang sama. Tidak ada pengakuan tanah adat. Payung hukum tertinggi UU Otsus Papua masih sulit dijalankan karena belum ada aturan pelaksananya seperti Perdasus. Ketiga, tumpang tindih aturan perundang-undangan. Ada ben­ turan ke­pentingan dan sepertinya ini menjadi masalah umum di berbagai daerah. Kemudian, departemen dan pemerintah lokal seperti berjalan sendiri-sendiri. Keempat, proses legalisasi di daerah umumnya tidak partisipatif. Sangat jarang muncul peraturan perundangan di tingkat daerah yang benar-benar merepresentasikan kepentingan masyarakat tingkat bawah. Keenam, tata guna lahan ini sering diselesaikan secara kasuistik dan tidak melihat pada kebijakan tata ruangnya. Terkait dengan UU no. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, perlakuan pemerintah pusat seperti lepas kepala, tetapi ekornya tetap dipegang. Pemerintah pusat memberikan otonomi khusus ke Papua, tetapi tidak me­lepas­kan orang Papua untuk bekerja sendiri. Ketika Orang Papua berbicara soal pengelolaan hutan dan sebagainya, sudah dianggap separatis dan ini membuat mereka tidak bisa bicara. Masalah terbesar dari UU Otsus ini adalah tidak adanya aturan pe­laksananya, seperti Perdasus. Kondisi pemerintahan Papua ini agak berbeda dengan daerah lain. Selain perwakilan berupa DPR dan DPRD Papua dan Papua Barat, juga memiliki MRP/Majelis Rakyat Papua. MRP Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 88 08/11/2010 9:03:41 itu kantor pusat­nya berada di Jayapura. Perdasus mandeg di tingkat gubernur karena isi Perdasus yang dibuat oleh MRP itu bertentangan dengan kepentingan negara/pemerintah pusat. Itu akhirnya membuat orang Papua tidak berdaya. Saat ini proyek REDD sudah ditandatangani oleh dua gubernur di Papua. Namun, tidak ada aturan pelengkap. Yang punya wewenang ada di tingkat gubernur saja. Baru saja kita merumuskan beberapa soal dari berbagai daerah. Ada beberapa yang berbeda dan dan mirip yang terjadi di beberapa tempat. Ternyata tidak hanya di tingkat nasional, tetapi di provinsi juga masih kadang berbeda jalannya. Ada pelibatan masyarakat, tetapi pelibatan ini masih minim. Sering kali pelibatan masyarakat hanya sedikit saja sehingga masyarakat tidak tahu. Tata guna lahan di Jambi ada aturan tentang konservasi, tetapi bertentangan dengan konsep hutan negara dan lainnya. Praktiknya, sesuai kenyataan di lapangan masih ada tata ruang provinsi juga masih belum beres, misalnya di Kalteng.Akibatnya, salah satu sisi proses pemahaman masyarakat masih kurang, dan di sisi lain pemerintahnya belum jalan. Di Sumbar ada Perda yang mengatur tentang tanah ulayat, tetapi pem­bicaraan tanah ulayat masih menjadi perdebatan dengan negara. Banyak masyarakat ketika membaca Perda, ternyata Hutan Ulayatnya yang berada di wilayahnya, termasuk ke dalam kawasan hutan lindung. Dalam konteks Sulteng, Surat Edaran Gubernur tahun 1993 itu secara tersurat tidak ada pengakuan tentang tanah ulayat. Argumentasinya adalah tanah itu merupakan bekas kerajaan. Berarti semua tanah menjadi tanah negara. Celakanya, ini menjadi preseden karena tanah itu dipergunakan untuk transmigrasi serta HG. Secara hukum hal ini sebenarnya bisa digugat, tetapi sampai sekarang temanteman ini belum berhasil. Bupati atau walikota di Palu patokan kerjanya hanyalah bagaimana cara menarik investasi sebesar-besarnya. 89 Presentasi Kelompok II Problem hukum di tingkat lokal ada di Bogor dan Kalimantan Tengah. Ada persoalan tata ruang. Kelompok II - Persoalan tata ruang, tumpang-tindih IUPHHK-TN-Kawasan Lindung-Perkebunan Besar-Wilayah Adat. - Ada perda terkait adat, tetapi hanya tentang lembaga adat dan insentif terhadap elit adat. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 89 08/11/2010 9:03:41 - Perda Kademangan (Kalteng) diarahkan untuk menyambut proyek iklim dan politis, bukan pengakuan substantif. - Terjadi gap kebijakan nasional-daerah mengenai pemberlakuan REDD (Kaspuas Hulu) sebab tidak punya kontribusi bagi peningkatan PAD. - Perda adat tidak pernah menunjuk secara pasti di mana wilayah kelola bersama, meskipun menyebutkan mengakui ada tanah bersama di dalam aturannya. - Kademangan lebih banyak mengurus kegiatan ritual adat. - Yang duduk di dewan adat, kalau di Kalbar itu dipenuhi oleh birokrat, mantan birokrat ,dan teman-teman birokrat. 90 Dalam soal Kalteng, problemnya terutama bersinggungan dengan per­soalan tata ruang. Tata ruang Provinsi Kalteng sampai sekarang belum disah­­kan oleh DPR. Selain itu, ada Perda Provinsi yang mengatur mengenai masyarakat adat di tingkat lokal dan insentif kepada masyarakat. Perda itu pada dasarnya mengatur soal Kelembagaan Adat. Dalam Perda itu dihidupkan kembali “Damang” yang sudah tidak aktif dan dipergunakan sebagai pilihan untuk kelembagaan adat. Teritori Damang ini mengikuti struktur pemerintahan. Jadi, ada Damang tingkat kecamatan, ada dewan adat di kecamatan, di kabupaten, serta di provinsi. Jadi lebih struktural. Kalau dianalisis, struktur kelembagaan adat itu hanya untuk memberikan sebagai pelayanan teknis, sebagai bantuan bagi pemerintah. Model kelembagaan adat seperti ini tidak sama dengan yang diangankan, misalnya, oleh AMAN. Definisi siapa itu masyarakat adat tidak sama. Masya­rakat adat di Kalteng tidak pernah menyebutkan wilayah adatnya sehingga tidak jelas di mana. Perda itu lebih banyak mengatur soal tunjangan bagi lembaga adat yang nilainya bervariasi mengikuti jenjang pemerintahan. Perda itu mengakui adanya wilayah adat perseorangan dan kelompok, tetetapi tidak ada kejelasan di mana. Kelembagaan adat itu bersisian dengan struktur pemerintahan. Jadi, di desa tetap ada kepala desa dan struktur pemerintahan desanya, serta ada struktur kelembagaan adat. Bahkan ada MADN (Masyarakat Adat Dayat Nasional) yang “berkuasa” di tingkat nasional. Jadi, bukan pemerintahan baru. Kelembagaan adat ini juga hanya berperan dalam soal pelaksanaan ritual adat, seperti ritual pembersihan (ruwatan dan segala macam). Maka, Perda itu tidak mengatur mengenai pengelolaan SDA oleh kelompok adat tertentu. Pengelolaan SDA oleh masyarakat adat Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 90 08/11/2010 9:03:41 ini masih kaburkarena di dalam Perda yang ada itu tidak disebutkan soal hutan adat. Ada hutan seperti tanah adat, tetapi itu berbeda. Penguasaan lahan tidak menjadi fokus perhatian. Dalam soal posisi tawar, jelas kelembagaan adat ini sangat lemah ketika berhadapan dengan pemerintah. Hal ini dikarenakan ketua dewan adatnya itu adalah Gubernur Kalteng sendiri. Jadi, struktur lembaga adat agak identik dengan pemerintah daerah. Oleh karena itu, Perda itu jelas kita lihat bukan sebagai pengakuan hakiki masyarakat adat. Ditambah dengan kenyataan yang mengisi jabatan dalam kelembagaan adat itu kebanyakan diisi oleh birokrat, mantan birokrat, dan orang dekat birokrat. Bagaimana mereka bisa independen? Ada perkembangan terbaru mengenai lembaga adat di Kalteng ini, yakni Damang berhak mengeluarkan kebijakan soal tanah. Namun, soal ini dibuatkan supaya bisa melindungi tanah yang akan digunakan. Kebijakan ini menguntungkan para investor sawit yang memandang lebih mudah mengurus soal tanah langsung berhubungan dengan para Damang. Namun belum tahu bagaimana pertentangannya dengan proses sertifikat, misalnya soal DPT yang dikeluarkan oleh pihak kelurahan. Perda itu belum proporsional karena belum ada Pergub/Peraturan Gubernur. Beberapa belum punya sendiri. Saya pikir menarik juga gagasan ke arah itu. Saat ini sudah ada pikiran di forum masyarakat akan membuat yayasan untuk menampung dana REDD di tingkat kabupaten. Ini belum ada pernyataan secara resmi. Kalau konteks Kalimantan Barat, terus terang kami belum men­ cermati­nya. SK Bupati soal masyarakat adat rata-rata dibuat tahun 1999. Namun, sebenarnya ada peluang bagi kita untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat lewat perda. 91 Tanggapan Narasumber: Hasil diskusinya asyik, intinya memang ada.Saya mencatat ada beberapa poin: belum ada pengakuan tanah adat, otonomi khusus yang belum berjalan dengan baik, isu sektoral dalam pengelolaan SDA, serta partisipasi minim masya­rakat. Kesemua masalah ini sepertinya umum ditemukan di berbagai daerah. Ada satu permasalahan yang menurut say berkait, misalkan definisi masyarakat adat. Saya baru saja berbicara sedikit dengan Direktur HuMa (Asep Yunan Firdaus). Ternyata, kita tidak memiliki definisi masyarakat adat. Pemerintahan Indonesia, saya kira, tidak Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 91 08/11/2010 9:03:41 92 akan keberatan jika ada definisi secara spesifik. Di Indonesia, Saya orang Jawa, besar di Jawa, maka saya di­anggap masyarakat Jawa. Dia pun ngomongnya sama. Pemahaman seperti itu jadi jelas arahnya. Ternyata tidak ada jaminan secara substantif bicara soal masyarakat adat. Jadi, semua orang mengklaim. Ada peluang dengan RUU tentang Masyarakat Adat yang dimotori oleh AMAN. Kita harus menyamakan persepsi di tingkat nasional. Jika tidak, maka agak sulit hak masyarakat adat akan tercapai. Apakah mereka, masyarajat adat itu, dimasukkan ke dalam kelompok tersendiri karena misalnya, ketergantungan yang tinggi alam? Namun jika disamakan dengan masyarakat lain, apakah ada konsekuensinya? Ada soal kelembagaan, ada DPRD dan MRP yang berkonflik dan ada masalah adatnya. Kalau menurut saya ada kepentingan politis dan ini harus dijawab bersama-sama. Bagaimana menjawabnya? Jujur saja, saya tidak mengerti soal Papua, tetapi saya mau komentar soal kelembagaan dan kepentingan politisnya. Pertanyaan apakah persoalan masyarakat adat bisa selesai dengan memberikan keuntungan/dana. Padahal ketika ada keuntungan, pasti ada risiko. Karena REDD tidak seperti membeli laptop. Ketika ada pohon yang ditebang, siapa yang akan menanggung bebannya? Jika hanya sebagian orang yang mendapatkan dana, tetapi pemerintah tidak mau menanggung kerugian. Untuk perencanaan masih menjadi masalah. Ada tumpang tindih ka­wasan dan kebijakan. Ada satu yang belum dibicarakan, yakni soal review pada pemberian izin yang sudah terjadi. Akan tetapi, kalau melihat pada aturan tentang tata ruang yang baru, kita punya peluang. UU tata ruang memberi ruang pada masyarakat serta pe­rencanaan tata ruang yang lebih baik. Kita harus mengusahakan UU tata ruang ini berjalan dengan baik. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 92 08/11/2010 9:03:41 6. Skema-skema Kontrak REDD Pengantar Skema kontrak merupakan salah satu bagian dari pembahasan dalam perundingan skema REDD, terutama di bawah sumber keuangan yang berasal dari pasar. Kontrak merupakan relasi keperdataan antara dua belah pihak. Kontrak secara yuridis merupakan undang-undang bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, kekuatan berlakunya sekuat ikatan undang-undang. Dalam kaitannya dengan hak masyarakat (adat/ lokal) dan keberlanjutan hutan, memahami seluk -beluk kontrak akan membantu menyajikan pilihan bagi masyarakat yang akan terlibat dalam kontrak REDD, apakah memilih skema tertentu atau menolak sama sekali. Uraian kontrak akan membeberkan mengenai definisi kontrak, apa saja prinsip-prinsip kontrak, dan bagaimana model kontrak jika prinsip-prinsip tersebut akan diterjemahkan dalam rezim karbon dari skema REDD. 93 Narasumber pada sesi ini adalah Josi Catarina dari Indonesian Center for Environmental Law, sebuah lembaga yang sejak lama mengadvokasi isu-isu lingkungan, terutama dari aspek hukum di Indonesia. Presentasi Narasumber Pada bagian sebelumnya, sudah dibicarakan tentang hukum inter­nasional. Pada bagian ini, kita masuk ke skema kontrak untuk menengok apa saja yang potensial terjadi dalam kontrak REDD. Kita akan mendorong diskusi materi dalam sesi ini lebih partisipatif. Kita akan diskusi kelompok kemudian presentasi. Masing-masing peserta akan presentasi tentang kondisi masing-masing di daerah. Selain materi kontrak, kita akan mendengar perkembangan riset yang dikembangkan oleh Steni dan Mumu mengenai dokumen peraturan dan beberapa masalah tentang REDD. Sedikit perkenalan, pembicara kita berasal dari ICEL yang sejak berdirinya bergulat dengan isu-isu lingkungan hidup. Narasumber Ketika menerima undangan ini untuk mengisi materi kontrak, saya se­betul­nya tidak begitu mendalami kontrak REDD.Akantetapi, karena kita juga sudah punya pengalaman lapangan, kita belajar sama-sama. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 93 08/11/2010 9:03:41 Pada prinsipnya, kita coba melihat bagaimana kontrak-kontrak tersebut menjamin hak masyarakat adat yang terpengaruh REDD. Saya akan memulai dari aspek umum kontrak. Kontrak merupakan per­janjian antara para pihak yang menimbulkan ikatan di antara mereka dan orang yang terlibat terikat pada hukum. Perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuat. Misalnya, antara Josi dengan Erlan. Sebelumnya tidak ada keterikatan apapun antara keduanya. Namun kemudian, ikatan itu muncul karena kita membuat perjanjian. Perjanjian menjadi sah dan me­ngikat semua pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat sebagai berikut: 94 Ada empat syarat sah perjanjian yang dibagi menjadi dua, yaitu syarat objektif dan subjektif. Syarat subjektif berhubungan dengan orang yang me­lakukan perjanjian. Misalnya jika terjadi perjanjian jual beli, tidak ada yang memaksa saya untuk melakukan itu. Jadi basisnya adalah kesukarelaan. Selain itu, pihak yang mampu atau cakap melakukan perjanjian sudah cukup umur dan bukan orang gila. Dia harus sudah masuk dalam kategori cukup umur menurut undangundang. Syarat objektif ada dua. Pertama adalah ada hal atau objek yang di­perjajikan. Jika tidak ada objeknya, maka perjanjian itu akan batal. Kedua, dilakukan atas sebab yang halal, yakni sebab yang tidak melanggar undang-undang dan kepatutan. Misalnya, bukan perjanjian untuk membuat narkoba. Jika hal itu terjadi, maka kontrak tersebut batal demi hukum. Namun, beda halnya dengan syarat subjektif. Jika Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 94 08/11/2010 9:03:42 tidak terpenuhi, maka kontrak tersebut bisa diminta pembatalan. Misalnya, ada dua pihak a dan b ini orang gila. Nah, pihak yang menjadi pengampu b bisa mengatakan bahwa kontrak ini tidak sah karena si b tidak mampu untuk masuk dalam hubungan itu. Contoh lain, misalnya Josi melakukan perjanjian dengan Erlan untuk memberi sesuatu karena Erlan ditekan atau diancam oleh pihak tertentu. Itu dua syarat subjektif yang bisa menjadi alasan untuk membatalkan perjanjian. 95 Jadi, jika tidak dipenuhi syarat objektif ini bisa batal demi hukum. Untuk bandar narkoba misalnya, tanpa harus dibawa ke pengadilan dengan sendirinya perikatan itu batal. Oleh karena itu, jika hendak melakukan kontrak, kita harus memperhatikan aspek yang berkaitan dengan waktu. Perikatan itu muncul sejak ada kesepakatan. Perjanjian tertulis bukan satu-satunya sebab perjanjian itu timbul. Misalnya, Yance ber­ janji memberikan sesuatu kepada Erlan. Walaupun tidak ada bukti tertulis, tetapi jika perjanjian itu tidak dipenuhi Yance, maka Erlan tetap punya hak untuk meminta Yance memberikannya. Pertanyaannya, bagaimana Erlan membuktikan janji itu pernah ada? Pertama-tama, kata-katanya harus jelas. Misalnya dalam pemilihan, hukum yang akan dipilih harus memperjelas pilihan dalam kontrak. Jika ada dualisme penafsiran, maka yang akan digunakan penafsiran yang memungkinkan atau berdasarkan kebiasaan. Persoalan timbul karena kadang-kadang Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 95 08/11/2010 9:03:42 kedua belah pihak memiliki kebiasaan yang berbeda. Misalnya orang Indonesia dengan orang Indonesia, tetapi memiliki kebiasaan yang berbeda. Kontrak tersebut harus menjabarkan hukum-hukumnya dalam bahasa yang jelas. Katakanlah satu pihak wanprestasi, maka apa saja ruang lingkup wanprestasi harus jelas. 96 Wanprestasi mempunya risiko tertentu (lihat di atas). Dalam kaitannya dengan REDD, saya mengambil contoh dari Noel Kempff Climate Action Project di Bolivia yang dilakukan oleh salah satu NGO di Amerika. Laporannya dikeluarkan oleh Greenpeace. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 96 08/11/2010 9:03:43 Pada 1997, Bolivia menginisiasi sejenis REDD bersama dengan LSM Konservasi TNC dan perusahaan energi, antara lain American Electric Power (AEP), BP-Amoco (BP). Kemudian mereka bekerja sama dengan LSM lokal Fundación Amigos de la Naturaleza (FAN) dan mengembangkan proyek karbon yang akan dijual di bursa saham Chicago Climate Exchange (CCX). Lokasi proyek tersebut adalah sebelah utara-timur Bolivia dekat Taman Nasional Noel Kempff Mercado yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Di wilayah ini, mereka melakukan kegiatan perlindungan hutan karena logging masih terus mengancam. Model yang dikembangkan di Bolivia ini adalah jenis kontrak yang para pihaknya adalah pihak luar, bukan masyarakat sekitar hutan. Masyarakatnya sendiri menyatakan mereka tidak dilibatkan dalam kontrak. Namun, perusahaan sendiri menyatakan masyarakat memiliki benefit dalam kontrak. Informasi dan laporan mengenai proyek ini dapat dilihat di www.greenpeace.org/raw/ content/.../carbon-scam-noel-kempff-clima.pdf - 97 Diskusi Peserta ingin mendapat penjelasan lebih dalam mengenai skema yang dikembangkan di Bolivia, apakah publik atau pasar. Ada lembaga yang me­nyepakati. Prinsipnya government to government, ada yang bilateral dan pasar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 97 08/11/2010 9:03:44 Menurut narasumber, skema Noel Kempff adalah skema pasar. Perbedaan antara keduanya adalah skema publik akan masuk ke dalam kesepakatan internasional. Sementara yang satu bersifat voluntary, tidak tergantung pada perundingan Internasional. CAP ada dua, market dan fund. Diskusi ini diarahkan ke isu kontrak, yang akan terjadi di kawasan hutan, yang dihuni masyarakat adat. Narasumber memulai dengan sejumlah pertanyaan penting. 98 Mengenai posisi hutan adat dalam rezim REDD, bagan di atas memberikan gambaran mengenai konstruksi hukum saat ini. Pada prinsipnya, meskipun tidak ada kesepakatan Internasional mengenai REDD, proyek berbasis pasar ini tetap akan jalan. Masalahnya, siapa yang mau bayar emisi dari deforestasi dan siapa yang akan dicegah untuk tidak melakukan deforestasi. Diskusi ini fokus pada dua pertanyaan. Pertama, siapa yang akan men­jalani proyek ini. Jika pihak luar yang memiliki proyek ini, mari kita identifikasi siapa yang akan terlibat di dalam perjanjian. Di satu pihak, ada pihak yang akan membeli hak untuk melakukan REDD, yang di dalam lokasi itu terdapat masyarakat adat. Kedua, bagaimana kalau masyarakatnya sendiri yang memiliki karbon kredit atau pelaku penjual karbon? Misalnya, mereka mau mengadakan kerja sama dengan pihak lain. Bagaimana bentuknya? Harus diingat, syarat-syarat REDD adalah harus menjadi tidak boleh leakage dan karbon permanen. Satu lagi, REDD hanya additionality. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 98 08/11/2010 9:03:44 Untuk membahas dua pertanyaan ini, peserta dibagi dalam diskusi ke­lompok. Pertama, masyarakat adat atau lokal tinggal di dekat hutan, tetapi mereka bukan pemilik. Sedangkan yang satu lagi jika dia menjadi pemilik, bagaimana kontraknya. Dalam rangka mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini, sejumlah pe­serta juga menggarisbawahi soal lain yang juga perlu dibayangkan, yakni melihat pembatasan-pembatasan hukum yang dialami masya­ rakat adat. Misalnya, di kawasan konservasi, dari sisi hukum ada wilayah yang secara hukum tidak bisa diakses, secara hukum dilarang. Akan tetapi, masyarakat adat seharusnya dapat manfaat. Jika di­ periksa prosedur kehutanan saat ini, hampir semua wilayah hutan sebetulnya tidak bisa diakses masyarakat karena tidak punya dasar penguasaan secara hukum (negara). Status mereka di kawasan hutan bisa dikatakan ilegal. Atas dasar apa mereka melakukan perjanjian. Hal ini sangat relevan diperjelas untuk menjawab pertanyaan kedua. Masalah-masalah ini juga akan coba kita bahas dalam kelompok. Oleh karena itu, ada tambahan satu kelompok yang akan bicara mengenai isu legalitas masyarakat adat. Isu yang muncul dalam konteks REDD adalah mengenai tanggung jawab negara. Di satu pihak ada negara, di lain pihak ada swasta. Jika baseline-nya adalah suatu wilayah tertentu, maka sebagai pihak di UNFCCC, negara tetap bertanggung jawab, Meskipun itu merupakan proyek swasta. Negara dalam hal ini adalah penjamin proyek swasta. Dia bertanggung jawab atas leakage yang terjadi, maupun isu per­ manen atas stok karbon. 99 Tanggapan Narasumber Dalam konteks Indonesia, apakah pemerintah lokal itu tidak bisa men­­jadi wakil dalam proyek, terutama dalam konteks otonomi daerah. Dengan memberi ruang bagi pemerintah lokal, maka kontrol akan lebih punya gigi. Maka, negara sebagai penjamin, tetapi di level lokal, peran itu dimainkan oleh pemerintah daerah. Namun kalau negara sebagai penjamin, tempat bagi masyarakat adat semakin sempit. Jika, sebagai penjamin dia memastikan efektivitas dan efiesiensi proyek, termasuk keuntungan proyek. Kalau menggunakan emerintah daerah, bagi pem­rakarsa proyek termasuk masyarakat juga lebih menguntungkan. Tidak tergantung pemerintah nasional. Masalahnya, dalam praktik yang mampu menjalankan proyek adalah perusahaan besar. Pen­ dekatan perusahaan besar sangat berisiko leakage karena mereka juga punya bisnis logging atau konversi hutan di tempat lain. Hal ini akan merugikan upaya mengatasi perubahan iklim. Akan tetapi dalam Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 99 08/11/2010 9:03:44 konteks hutan adat, perlu diperlihatkan model kontrak seperti apa, terutama masyarakat adat yang sudah diakui oleh peraturan daerah. Hutan desa 100 Dalam skenario hutan desa, pemerintah desa bisa sebagai pemilik dan yang kena dampak. Masyarakatlah nanti yang akan menjadi pihak lain dan dia yang punya hak pengelolaan. Hak atas tanah itu terpisah dengan hak yang ada di atas tanah. Orang bisa punya hak pengelolaan atas tanah, tetapi bukan pemilik tanah. Dalam kaitannya dengan kontrak REDD, bagaimana konstelasinya di hutan desa. Apakah pemerintah dengan masyarakat punya kontrak? Strateginya tentu bukan hanya soal uang, tetapi masyarakat bisa punya akses. Melakukan kontrak REDD tidak berarti hutannya tidak boleh dimasuki oleh masyarakat. Namun untuk mendapatkan hutan desa, masyarakat harus punya izin. Subjek haknya jelas tercantum dalam izin tersebut. Menurut seorang peserta, subjek izin dan kontrak adalah dua hal yang berbeda. Kalau hutan desa, subjeknya adalah masyarakat. Kalau kontrak, pasti individu. Siapa yang menjadi perwakilan di sana. Menurut narasumber, secara hukum dalam skema hutan desa, mayarakat itu pengelola. Pertanyaannya adalah bagaimana supaya masyarakat menjadi pemilik? Bagaimana masyarakat bisa langsung membuat perjanjian dengan pihak tertentu? Siapa yang membuat dan apakah mereka subjek hukum yang mampu untuk melaksanakan? Selanjutnya, apa saja yang harus diperjanjikan? Oleh karena REDD Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 100 08/11/2010 9:03:45 ini perjanjian yang berhubungan dengan uang,kita bisa mencatat isu utamanya apa saja. Diskusi Kelompok Ada tiga kelompok: 1. Hutan adat (diakui Perda) masyarakat adat sebagai pemilik. 2. Hutan adat (belum diakui sebagai Perda) masyarakat adat dampak­ nya seperti apa. 3. Hutan desa, masyarakat sebagai pemilik. Presentasi Kelompok Hutan Desa Kelompok hutan desa menjawab pertanyaan mengenai apa yang di­butuh­kan dalam isu-isu kunci terkait dengan REDD. Dalam hal persiapan, yang perlu disiapkan adalah kelembagaan desa (lihat box). 101 Dalam mengajukan proposal, supaya masyarakat memiliki dukungan hukum juga dibutuhkan rekomendasi bupati atau dari kelembagaan desa. Lembaga desa kemudian mengajukan izin pemanfaatan hutan desa. Isinya antara lain menyangkut rencana pengelolaan dan pemanfaatannya. Ada blok-blok rencana kerja tahunan. Selanjutnya, perlu asistensi teknis. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 101 08/11/2010 9:03:45 Terkait dengan apa yang akan kita perhatikan jika instrumen hukum sudah diperoleh dalam bentuk SK Penetapan Hutan Desa dari Menteri Kehutanan, perlu ada jaminan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan bagi masyarakat desa atau FPIC. 102 Artinya ketika jaminan FPIC ada, masyarakat punya hak veto untuk me­nyatakan iya atau tidak dalam menjawab proyek. Selain itu, bagaimana norma sosial di kampung diperhatikan oleh pihak luar. Perhitungan benefitnya tentu yang tercantum jelas di kontrak agar mengurangi konflik. Bisa juga dituangkan dalam Perdes. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah kontrak harus menjamin peningkatan kapasitas masyarakat ataupun upaya-upaya yang lain terkait dengan pencegahan deforestasi hutan desa. Dalam soal mekanisme monitoring dan pengawasan, perlu digarisbawahi kesepakatan antara pihak yang melakukan monitoring. Kami juga menginginkan kejelasan dalam hak akses atas hutan. Maksudnya jangan sampai dalam pelaksanaan kontrak tersebut, akses masyarakat betul-betul menjadi haram. Ada satu contoh sekarang ini di Jambi, di dua lokasi hutan desa. Satu sudah disetujui, sementara yang satu lagi sedang dalam proses usulan dan telah sampai di tingkat pemerintah. Namun, masih ada kendala dengan tata batas. Yang diusulkan ini adalah perluasan taman nasional, tetapi batasnya belum terpasang . Di dalam wilayah yang diusulkan ini sudah ada 30% pohon karet masyarakat. Dulu merupakan hutan produksi, tetapi sudah Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 102 08/11/2010 9:03:46 tidak aktif lagi. Secara hukum merupakan tanah negara, tetapi tidak aktif lagi dan masih masuk tanah desa. Sekarang ini, karetnya masuk masa produksi. Akan tetapi, tidak diperbolehkan. Padahal, metode pemanfaatannya hanya disadap untuk mengambil getahnya dan tidak ditebang. Tanggapan Narasumber Kontrak ini tampaknya adalah kontrak jual beli. Ada beberapa kondisi, antara lain masyarakat harus bisa masuk untuk menyadap getah karet. Di sisi lain, ada penebangan hutan yang berujung pada jual kayu. Dengan adanya REDD, tidak akan ada lagi penebangan. Kalaupuan ada yang ditebang, maka akan ditanam kembali. Di wilayah yang ditunjuk menjadi REDD tersebut, akan ada konsultasi dan lembaga verifikasi. Jika tidak ada penebangan, maka berdasarkan verifikasi karbon bisa dijual. Dalam hal pemantauan agar tidak terjadi pelepasan karbon, masyarakat selaku pemilik memastikan tidak akan terjadi penebangan kayu. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kontrak antara lain dicantumkan bahwa masyarakat diberi peningkatan kapasitas yang memastikan hutan tidak ditebang. Dalam 25 hingga 30 tahun ke depan wilayah ini tidak dapat melakukan penebangan. Selain itu, masyarakat harus memastikan tidak ada kebocoran. Ketika masyarakat bisa menunjukkan itu, maka akan ada yang mau membeli. Kalau ada penebangan, maka masya­rakatnya wanprestasi. Artinya, masyarakat mungkin tidak akan memperoleh benefit. Namun, jika kebocoran dilakukan di luar wilayah proyek, maka meto­dologi­nya harus diputuskan. Kalau baseline-nya nasional, maka untuk wilayah proyek REDD, masyarakatlah yang menjaga hutan. Sementara, pemerintah harus memastikan secara nasional tidak terjadi kebocoran di luar wilayah proyek. Oleh karena itu, bisa dilihat bahwa kelemahan dari kontrak REDD di wilayah yang dipunyai masyarakat adalah jika sebelumnya masyarakat punya kewenangan atas wilayah, di bawah kontrak REDD kewenangan mereka justru berkurang. Pengurangan itu diganti oleh sharing benefit. Selain itu, syarat-syarat untuk mengamankan wilayah harus dipenuhi oleh masyarakat. Masyarakat tidak boleh membiarkan orang lain menebang untuk menjamin haknya atas benefit tetap terjaga. Isu berikutnya adalah bagaimana memenuhi syarat-syarat kontrak tersebut dengan pembeli. Andaikan perjanjiannya 30 tahun, tetapi di tengah jalan masyarakat merasa harga karbon terlalu rendah. Lalu mereka memutuskan untuk melakukan penebangan. Di sini terjadi wanprestasi. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 103 103 08/11/2010 9:03:46 Tanggapan Peserta Skema di atas dianggap tidak adil. Perusahaan hampir tidak merugi. Dia menjual saham dan kemudian membeli kembali. Sedang masyarakat butuh bayaran untuk melindungi hutan. Tanggapan lain mengenai penyelesaian sengketa. Jika meng_ gunakan hukum arbitrase, pemilihan hukumnya bagaimana. Apalagi bila pembelinya orang asing. Bisa saja menggunakan hukum Indonesia, tetapi belum tentu dia mau. Namun yang menjadi masalah besar, dalam pemilihan tersebut masyarakat tidak dilibatkan. Dari segi mekanisme mengikatkan diri, ada kesulitan memastikan semua orang mengikatkan diri pada satu kontrak. Barangkali perlu ada mekanisme monitoring seperti menggunakan mekanisme adat. 104 Tanggapan Narasumber Ada dua isu yang mempengaruhi kontrak kredit karbon. Pertama, REDD akan disepakati atau ditolak di tingkat internasional. Di sana ada aturan mainnya sehingga si pembeli dan masyarakat hanya memiliki sedikit keleluasaan karena sudah dibatasi dengan peraturan. Kedua, ada harga karbon premium untuk kredit karbon yang dilakukan lewat masyarakat. Saat ini ada pasarnya, tetapi tidak besar. Presentasi Kelompok 2 Contoh kasus yang diambil adalah di Jambi , yang sudah ada pengakuan hak masyarakat adat. Di dalam masyarakat sendiri, sampai saat ini sudah ada mekanisme sendiri. Diantaranya ada hak untuk memanfaatkan fungsi lain dari hutan adat seperti air. Selain itu, masyarakat adat memanfaatkan kayu untuk pembuatan rumah dan adat, setiap rumah itu 20 kubik. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 104 08/11/2010 9:03:46 Subjek hukum Hak Kewajiban Catatan Masyarakat adat Hak untuk memanfaatkan hutan adat • Memanfaatkan air di kawasan hutan adat • Pemanfaatan hutan bukan kayu, seperti buah-buahan, madu • Memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, akan tetapi hanya sesuai kebutuhan, misalnya untuk rumah ( tidak boleh di jual) Memberikan perlindu­ ngan terhadap kawa­san hutan adat, misal­nya tidak boleh melaku­ kan penebangan ke­ cuali sesuai dengan kebutuhan. • Penetapan batas wi­ layah hutan adat. • Mensosialisasikan hasil hutan adat ke masyarakat luas. • Melakukan patrol rutin di kawasan hutan adat • Pembuatan Mekanis­ me sanksi adat. • Penetapan batas wilayah hukum adat dilakukan secara partisipatif, yang melibatkan semua pihak ( Masyarakat adat, dinas kehutanan, dll.) • Pelanggaran adat dan pe­­nyelesaian sengketa di wilayah hukum adat diselesaikan melalui pe­ radilan adat. • Hasil pemanfaatan hu­ tan yang didapatkan dibagi untuk pengelola 40 %, 20 persen untuk pemdes, 20 %BPD, dan 20 % masyarakat adat • Sanksi adat diberikan dalam bentuk semanis mung­kin berdasarkan jenis dan bentuk pelang­ garannya Pemerintah desa • Mengatur kebutuhan administrasi hutan adat • Bertanggung jawab mengoordinasikan dengan semua • pihak yang berhubungan pengelolaan hutan adat. 105 • Menfasilitasi pem­buatan regulasi dengan bupati atau gubernur Pemberi hibah, pemberi kredit atau pembeli Masyarakat adat sendiri sudah menyebutkan batas-batas hutannya dan mereka mensosialisasikan ke masyarakat adat yang lain dan pemerintah. Ada monitoring yang rutin. Selengkapnya ada di matriks, di atas. Presentasi kelompok 3 (Kontrak REDD di hutan adat nonperda) Menurut kelompok kami, dalam tahap prakontrak, kita harus memastikan pengakuan hukum masyarakat adat atas hutan (lihat box). Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 105 08/11/2010 9:03:46 106 Bentuk pengakuan bisa MoU, Perda, SK, atau terobosan hukum lainnya. Pengakuan tersebut akan membuat masyarakat setara dengan para pembeli. Kelompok HKM Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 106 08/11/2010 9:03:48 Satu kelompok masyarakat sudah bisa membuat perjanjian dengan yang lain. Akan tetapi, jangka waktunya harus cukup panjang. 107 Selanjutnya kami mencatat hal sebagai berikut: Tanggapan Peserta Dalam pertanyaan mengenai siapa yang menjadi representasi, jika ko­munitas­nya adalah adat, maka lembaga adat itu yang menjadi representasi. Ini menjadi isu kunci dalam kontrak. Akan tetapi karena berkaitan dengan kontrak, maka ketentuan internal masyarakat tidak cukup. Maka, perlu ada perlindungan hukum dari Perda. Dalam konteks Hkm, dia bisa berbentuk badan hukum yang mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan pem­beli. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 107 08/11/2010 9:03:48 Mengenai isu partisipasi, barangkali bukan di kontraknya, tetapi di manajemen. Bahwa ada partisipasi masyarakat adat, harus ada semacam kontrak sosial dan kontrak politik. Dalam hal ini, pemerintah desa dan pemerintah adat akan memegang mandat untuk memastikan aturannya berjalan. Komentar Fasilitator Ada beberapa ulasan yang tampak dari diskusi ini, yakni: 1. kepastian hukum tentang wilayah hutan. 2. pemerintah adat atau masyarakat harus punya kapasitas untuk menjalan­kan REDD. 108 Selanjutnya mengenai risiko, pertanyaannya adalah siapa yang akan me­nanggung. Misalnya, risiko yang sifatnya force major. Selain itu, risiko bila harga karbon fluktuatif sehingga bagi masyarakat tidak lagi menguntungkan. Kemudian kalau ada kebocoran, siapa yang akan kena penalti. Hal-hal seperti ini akan mejadi bagian perjanjian. Dalam hukum perdata biasa, kewajiban-kewajiban untuk memastikan objek yang dijual tetap memiliki kualitas yang sama, merupakan kewajiban penjual. Pembeli membayar berdasarkan kualitas objek. Tanggapan Narasumber Kalau mengikuti model penjualan saham, harga karbon bisa mengikuti harga saham. Kalau pembeli tidak datang langsung ke masyarakat, di bursa saham ada pihak ketiga yang akan menjual saham. Kontraknya adalah antara penjual dengan pihak yang lain. Menjadi catatan adalah menyangkut pembagian keuntungan. Ada berbagai perhitungan, termasuk pajak. Secara fair, harusnya ada pembagian biaya antara pihak penjual dan pembeli. Jika menggunakan skema pasar, pemerintah tidak banyak terlibat, tetapi hanya memperhitungkawan awal produksi. Oleh karena itu, perlu diperiksa benar mana model yang paling menguntungkan. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 108 08/11/2010 9:03:48 7. Kajian Learning Center Mengenai Kerangka Hukum dan Kebijakan Pengantar Dalam kaitannya dengan kerangka hukum, Learning Center HuMa sedang melakukan kajian berkaitan dengan perkembangan hukum perubahan iklim dan REDD, baik di level nasional maupun internasional. Kajian ini belum selesai. Kajian hukum nasional dikerjakan oleh Mumu Muhajir, sementara kerangka hukum internasional dibuat oleh Bernadinus Steni. 109 Safe Guard dalam Kerangka Hukum Internasional Safe guard adalah kebijakan yang melindungi masyarakat maupun lingkungan dalam kaitan dengan skema REDD. Ada kebijakan yang tercantum dalam konvensi perubahan iklim, yang akan melindungi orang dari dampak perubahan iklim, dan dari skema untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Beberapa organisasi mengembangkan safe guard, seperti World Bank. Dalam salah satu safe guard-nya, World Bank menyatakan bahwa setiap proyeknya harus memperhatikan aspek sosial di lingkungan proyek. Dalam surat yang kami kirim ke World Bank, kami menggunakan safe guard mereka untuk menyatakan bahwa proses REDD di Indonesia tidak mengikuti safe guard World Bank, terutama menyangkut partisipasi publik. Meski safe guard penting, namun tidak memecahkan persoalan yang terjadi. Akan tetapi, setidaknya kita bisa mendorong beberapa lembaga untuk menggunakan safe guard, terutama agar bisa me­ lindungi kelompok rentan seperti masyarakat adat. Ada beberapa safe guard policy yang menyangkut proses-proses yang mengancam lingkungan, misalnya transfer teknologi, apakah capacity building. Transfer teknologi yang merupakan bagian dari konvensi, membuat risiko bagi negara penerima. Dalam konvensi pun disebutkan, negara yang berinisiatif membuat proyek mitigasi harus puny upaya meminimalisasikan dampak. Dalam Protocol Kyoto pun demikian. Protocol Kyoto misalnya, menyebut safe guard untuk negara pulau, negara kecil, yang rentan terhadap penggurunan, sebagian wilayahnya kering, berekosistem rendah, dll. Indonesia memenuhi kategori itu, tetapi tidak punya standar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 109 08/11/2010 9:03:48 110 Di teks REDD AWG LCA juga kita bisa lihat safe guard policy. Di Bangkok safe guard dibahas keras sekali. Posisi negara-negara berbeda, bahkan NGOs pun saling bertarung. Dalam pasal empat teks tersebut, sebagian besar bicara safe guard. Akan tetapi, Protokol Kyoto sendiri bermasalah. Ketika prinsip Protokol Kyoto tidak menentukan lebih lanjut soal kebijakan pengamannya, maka bentuk pelaksanaannya diatur pada pasal dua. Dalam pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto sebetulnya sudah memasukkan penanaman sebagai hutan. Dari situ awal diskusi, perkebunan boleh masuk sebagai hutan. Selanjutnya, dalam Marrakesh Accord sebagai tindak lanjut Kyoto, definisi hutan menjadi lebih terbuka memasukkan perkebunan sebagai hutan. Keputusan ini mengacu pada FAO. Dalam konteks REDD plus, definisi ini digunakan oleh negara yang mendorong penanaman kembali untuk masuk sebagai definisi hutan. Perkebunan sawit, bisa masuk sebagai hutan. Ada yang berargumen bahwa sawit bisa menyerap karbon. Namun, hasil penelitian Sawit Watch memperlihatkan sawit hanya bisa menyerap tiga jenis gas rumah kaca. Sawit tidak sepenuhnya menyerap karbon. Kerangka Hukum Nasional Topik yang digarap untuk hukum nasional adalah berbasis pada satu pertanyaan, yaitu kebijakan dan kelembagaan macam mana yang seharusnya ada di Indonesia. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat adat dan hutan. Cara membaca dan menjawab pertanyaan itu adalah dengan dua pendekatan. Membaca bagaimana lembaga yang ada sekarang dan bagaimana interaksi antara lembaganya di dalam sistem nasional di Indonesia. Apakah dengan hadirnya Permenhut menjawab pertanyaan dan kebutuhan masyarakat? Semua didekati pada level nasional. Berbagai temuan memperlihatkan bahwa pendekatan sektoral itu jelek. Sementara di daerah, persoalannya juga ramai. Di pusat banyak aktor yang bermain. Lalu, bagaimana hubungan ketiga aktor (masyarakat, daerah, pusat) ketika masuk ke dalam hutan negara yang statusnya HPL atau HPH? Apakah dia bisa melakukan konversi? Yang kemudian menarik itu mencoba membandingkan tentang kontrak dalam REDD. Ini akan dikerjakan setelah Copenhagen. Dalam kontrak ini yang biasa dipakai pemerintah sebagai kontrak terbaik di dalam hutan adalah sistem perizinan. Akan tetapi, ada isu korupsi. Hubungan korupsi dan izin itu sudah banyak sekali penelitiannya. Dalam hal ini, penelitian tidak lagi berbicara persoalan negara punya posisi di mana karena fakta bahwa dia mengabaikan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 110 08/11/2010 9:03:49 hutan kemasyarakatan. Penelitian ini akan mengkombinasikan penelitian lapangan dengan analisis kebijakan. Persepsi masyarakat kemudian dibandingkan dengan working paper yang ada. Diskusi Sejumlah pertanyaan yang muncul sebagai berikut: Pertama, apa konsekuensinya kalau sawit ditetapkan sebagai hutan, mungkin ini bisa dijelaskan bagaimana implikasinya. Kedua, peserta juga menanyakan cakupan riset ini, apakah juga menjangkau kebijakan daerah. Apalagi Pemda melihat ini sebagai sumber uang. Ketiga, peserta juga menanggapi bahwa ketika bicara kebocoran (leakage), maka itu sebetulnya urusan pemerintah, bukan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah harus merespon secara sistemik, tidak secara sektoral. 111 Keempat, peserta ingin mendapat contoh dari negara lain. Kelima, dalam perdebatan internasional REDD mengacu pada safe guard yang mana. Jika menengok WB dan ADB, safe guard yang mereka kembangkan pasti ada konsekuensinya. Yang terjadi di Indonesia, Permenhut REDD mengasumsikan kondisi Indonesia normal. Safe guard masyarakat sendiri bagaimana. Kekhawatiran lain adalah beberapa waktu lalu pejabat Bapeda bertemu untuk membahas rencana kerja mereka tahun 2010. Di sana ditetapkan lima kebijakan prioritas dan perubahan iklim adalah salah satu prioritas. Namun, mereka melihat ini sebagai proyek pemerintah. Anggarannya dialokasikan untuk penanganan banjir, membeli pelampung, dan sebagainya. Idealnya langkah-langkah ini integrated dengan langkah yang diambil untuk perubahan iklim (mitigasi dan adaptasi). Menjadi pertanyaan adalah jika uang REDD turun, uangnya ini akan dipakai untuk apa? Boleh jadi, dalam desain mereka REDD dipakai untuk beli pelampung. Tanggapan Narasumber Pertanyaan pertama mengenai sawit sebagai kawasan hutan. Konse­kuensi­nya adalah pihak yang akan masuk kontrak ini adalah Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 111 08/11/2010 9:03:49 112 pengusaha sawit dan dia diperlakukan sebagai subjek, yang punya hak dan yang akan dapat manfaat lebih banyak. Selain itu, wilayahnya juga lebih luas sehingga klaimnya lebih besar. Dalam hal ini, pengusaha sawit akan dapat keuntungan ganda, dari REDD dan sawit. Selain itu, menurut UU Perkebunan, satu investasi di bidang perkebunan adalah upaya untuk menyerap karbon. Menyerap emisi gas rumah kaca. Artinya, masuknya sawit sebagai hutan atau perkebunan. Sebagai hutan, jelas merupakan ancaman. Misalnya di Jawa Tengah, masyarakat sudah ada yang ditahan karena dia dianggap memasuki kawasan. Dalam konteks REDD, dia juga akan ditahan karena masuk perkebunan. Berkaitan dengan pertanyaan kedua, sejauh ini riset tersebut baru masuk ke nasional dan provinsi. Akan tetapi, belum ada analisis, meskipun jangkauan riset juga mencakup provinsi. Di sisi lain, Pemda pun belum banyak mengeluarkan kebijakan yang langsung mengatur REDD. Kami melihat ke beberapa isu yang bisa ditarik ke atas. Misalnya saja, belum ada integrasi skema perubahan iklim dalam pembangunan nasional. Bagaimana kita melihat proses kebijakan perubahan iklim dalam kebijakan nasional. Untuk yang spesifik dengan hutan, misalnya, masalah masih kuatnya tarik-menarik kontrol atas sumber keuangan. Berkaitan dengan respon pemerintah, menurut Narasumber skema REDD harusnya dimasukkan dalam skema pembangunan daerah. Namun, hal itu bukan persoalan yang diselesaikan dalam hitungan bulan. Asumsi-asumsi teoretis di atas adalah persoalan yang akan jelas wujudnya ketika diuji di lapangan. Skema yang muncul dari COP 15 dan yang lain akan menentukan ke depan. Bagi kita di level nasional, perlu mendorong tempat yang jelas bagi REDD dalam hukum nasional. Apakah harus dibuatkan Perda untuk perubahan iklim? Atau REDD dimasukkan saja ke dalam kebijakan yang sudah ada? Berkaitan dengan pertanyaan tentang contoh REDD yang sudah me­ nimbulkan masalah, sebetulnya banyak. Saat ini yang sedang menjadi pembicaraan adalah PNG. Di sana, hukumnya ketinggalan dari proyek REDD, alias ada kekosongan hukum. Akan tetapi, proyek REDD tetap jalan. Indonesia sudah punya kebijakan dan akan menerapkannya. Namun dalam rujukan hukum yang lebih tinggi, sebetulnya belum punya dasar hukum. Jangankan REDD, DNPI saja masih menjadi persoalan. Ada pertanyaan apakah perdagangan karbon merupakan objek yang bisa dirujuk ke UU no. 41 atau barang baru yang dirumuskan dalam rezim hukum yang lain. Jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, seperti Nicaragua dan Ekuador, pemerintah mereka berani mendorong masalah yang dihadapi rakyatnya ketika perundingan UNFCCC mengusulkan skema pasar. Oleh karena itu, mereka menolak Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 112 08/11/2010 9:03:49 skema pasar. Akan tetapi, kelembagaan mereka juga tidak begitu jelas statusnya. Menjawab pertanyaan dan komentar kelima, menurut Narasumber dalam pertemuan terakhir UN-REDD, ada upaya untuk menyandingkan safe guard UN-REDD atas masyarakat adat, terutama FPIC dengan WB. Jika WB menerima, maka persoalan berikutnya adalah di negara. WB sendiri dan banyak negara, termasuk Indonesia, tidak mau memasukkan kata consent dalam FPIC., Sepertinya WB hanya membuatnya menjadi konsultasi. Proses yang cukup bagus berjalan di UN-REDD karena dia mendorong perwakilan masyarakat masuk ke sana. Di sisi lain, dalam teks SBSTA di perundingan UNFCCC, ada prinsip partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat dalam desain implementasi dan monitoring REDD. Sampai sekarang pembahasannya masih berlangsung. Pada level implementasi inilah yang masih debat dan ada monitoring. Dalam kaitannya dengan inisiatif Bapeda, aritnya harus ada yang me­ngintegrasikan kebijakan daerah. Inisiatif awal dari Bapeda itu sudah menjadi langkah bagus. Meski sifatnya berorientasi uang karena hanya berhubungan dengan masalah bagaimana mengatur dana dari luar. Selain itu, perlu mem­perlakukan entitas nasional itu sebagai penerima dana. Dengan itu, kita mendorong partisipasi warga negara sendiri, termasuk masyarakat adat. Saat ini, masyarakat adat diperlakukan tidak sebagai pemangku kepentingan. Beda dengan India. Ketika melakukan CDM, India jadi orang kaya yang menghitung karbon, berapa bayaran yang diperoleh negara dan uangnya digunakan untuk forestasi. Maka, CDM India lebih cenderung aman saja. Cina juga lebih aman karena tidak menghadapi isu deforestasi. Jadi dari segi keuangan, ada pertanyaan besar bagaimana uang itu masuk dan bagaimana REDD itu diterima. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 113 113 08/11/2010 9:03:49 8. Perkembangan-perkembangan Proyek Percontohan REDD Pengantar Diskusi Diskusi ini mulai dari kerja praksisnya UNREDD. Skema ini muncul sebagai upaya jemput bola atas Bali Action Plan. Pertama-tama diinisiasi oleh UNDP dan UNEP, kemudian dapat dana segar dari pemerintah Norwegia. Sebagaimana diketahui, diskusi payung pendanaan untuk skema perubahan iklim ini ada beberapa alternatif yakni, pertama memperkuat dan memberi tambahan untuk GEF. Kedua, membentuk skema baru di bawah UN. Ketiga membentuk skema baru yang lain di bawah COP. 114 UNREDD dorongan di bawah UN dan tidak di bawah COP UNFCCC karena isu di COP adalah isu sektoral, hanya perubahan iklim. Namun jika dibawa ke UN, maka isunya lintas sektoral, termasuk semua aspek. Jadi, bisa melibatkan banyak organisasi UN seperti FAO, WHO, UNESCO, UNDP, dll. Indonesia mulai terlibat tahun 2008. Komitmen pendanaan pertama datang dari Norway sebagai skema public fund sebesar 1 miliar dollar US. Uang itu yang dipakai untuk melaksanakan proses ini. Sesi ini diisi oleh sharing desain penelitian yang dibuat oleh Lili Hasanudin yang diminta oleh RFN (Rainforest Foundation Norway) untuk melihat aspek governance dan hak masyarakat di tiga wilayah (Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara) yang diusulkan dalam program UNREDD. Selanjutnya, para peserta dari masingmasing regio mempresentasikan situasi aktual tentang REDD di daerahnya masing-masing. Sharing Penelitian di Sulteng Sharing berikut ini terkait dengan satu rencana UNREDD di tiga tempat di Sulawesi dan ini sangat terbuka bagi kawan-kawan memberikan input. Sebagaimana sudah disinggung di pengantar, UNREDD merupakan kolaborasi badan PBB yang dilakukan di bawah UNEP. Tujuan UNREDD untuk membantu rancangan strategi nasional agar siap di masa mendatang. Ada beberapa prinsip kerja yang menarik, prinsip kerja itu sangat kental dan prinsip kerjanya berbasis Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 114 08/11/2010 9:03:49 hak. Setidaknya dari sisi konseptual, prinsip kerja yang berbasis hak merupakan pendekatan yang sangat berbeda dengan pendekatan berbasis kebutuhan. Selain itu, prosesnya partisipatif. Jadi, bukan belas kasihan. Bahwa rakyat memiliki hak mendapatkan pelayanan negara. Prosesnya bukan karitatif, tetapi bagaimana memberdayakan. Jadi, orientasi kebijakan menjadi pendekatan berbasiskan hak. Seharusnya ini terimplementasi ketika dilaksanakan. Narasumber menunjukkan bagaimana satu prinsip bekerja dari yang nasional untuk program di tingkat nasional dan lokal. Pada level operasional melekat transparansi dan akuntabilitas. Satu langkah dalam penyiapan REDD ini adalah mengarah pada pembicaraan COP 2009. Jadi bagaimana UNREDD berusaha melakukan penguatan kapasitas, termasuk pelatihan kepada negosiator-negosiator. Selain itu juga diantisipasi bagaimana kita menghitung karbon kebocoran dan lainnya. Dibicarakan juga pasar karbon dan pembagian benefitnya. Apakah benefit ke pemerintah pusat kemudian dibagi juga ke Pemda. Ada beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai. Misalnya, menguatkan partisipasi multi- pihak. Hal ini sudah dilakukan konsultasi publik untuk penguatan para pihak. Kemudian peningkatan kapasitas di tingkat lokal. Jadi, mereka sebenarnya juga punya kegiatan dengan adanya kesiapan di daerah implementasi skema REDD, terutama di propinsi dan kabupaten. Tiga hal ini yang menjadi perhatian dalam penelitian di tiga wilayah Sulawesi (Sulteng, Gorontalo, Sulut). Beberapa pertanyaan adalah apakah sudah tersedia perangkat pemberdayaan stake holder. Kelihatannya pelibatan itu masih di skala nasional. Di Palu, kita belum dengar apa yang sudah dilakukan oleh mereka. Sulteng memiliki potensi hutan yang cukup signifikan. Jadi kalau memang UNREDD ingin mengejar sampai COP 2009, maka peningkatan kapasitas lokal harus memenuhi target. Dari kondisi hutan, wilayah-wilayah hutan ini rentan dari perambahan sehingga penting skema REDD dilakukan di tiga wilayah tersebut. Ini adalah lokasi yang sudah dikembangkan sebelum inisiatif rakyat dikembangkan. Gorontalo akan mengembangkan biofuel dengan cara tanam jarak dan akan dipotong. Jika itu rencana jangka panjang, maka itu akan bertabrakan. Apakah proses itu melibatkan stake holders di wilayah atau hanya orang-orang tertentu saja. Sebagai monitoring, riset ini meminjam kerangka monitoring yang d­igunakan WRI yang disebut Governance Forest Indicator. Alat ini bisa di­terapkan di tingkat lokal. Ini sebuah inisiatif global dan ini menjadi konteks yang berbeda di tingkat provinsi, maka indikator-indikator WRI bisa menolong. Ada 93 indikator yang akan kita gunakan. Kerangka Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 115 115 08/11/2010 9:03:49 ini coba menggabungkan antara prinsip good governance dengan satu kajian terhadap aktor dan aturannya, serta praktik-praktiknya dibenturkan dengan transparancy. Walaupun tidak semua indikator akan dipakai. Gambaran umum mengenai indikator ini dapat diperiksa dalam indikator Governance Forest Indicator yang sedang dikerjakan HuMa dan beberapa organisasi lain. Presentasi Peserta Berkaitan dengan perkembangan UNREDD, perlu kiranya peserta mempresentasikan pengalaman di wilayah masing-masing untuk melihat kemungkinan memberi input dan catatan atas rencana riset terhadap lokasi pilihan UN-REDD di Sulawesi. Oleh karena itu, masingmasing peserta dipersilakan untuk mempresentasikan situasi yang terjadi di wilayahnya yang berkaitan dengan REDD. 116 Kalteng KFCP melibatkan banyak aktor termasuk dosen-dosen. Di wilayah yang ditunjuk, banyak masyarakat belum tahu apa itu REDD. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 116 08/11/2010 9:03:49 Informasinya masih minim di NGO, apalagi ke masyarakat. Kemarin ada seminar, tetapi pelibatannya dalam skala besar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 117 117 08/11/2010 9:03:51 Ini tujuan KFCP Ini yang sudah rusak karena pembuatan LPG. Hal ini akan bertambah terus menjadi 200.000. 118 Fasilitator Barangkali perlu dilihat lagi dari proses ini, mana saja yang ber­ kaitan dengan aspek governance yang bisa dikaitkan dengan riset di Sulawesi. Tambahan Peserta Kalteng Aktor utama uji coba REDD di Kalteng hanya gubernur, perguruan tinggi, dan instansi yang instens, misalnya BKSDA, BAPPEDA. Prosesproses lobby dari teman-teman Partnership dan Care dilakukan dengan Bapeda. Kalau analisis aktor saya pikir NGO lokal banyak yang melakukan diskusi. Misalnya, diskusi di Walhi mengenai bagaimana inisiatif lokal berkaitan dengan REDD. Kemudian AMAN berencana melakukan lokakarya dengan masyarakat adat pascaCopenhagen pada Januari nanti. Sikap terhadap REDD berbeda-beda, ada yang sepakat dan tidak sepakat. Pertanyaan-pertanyaan pokok misalnya, apakah ingin menjamin kelangsungan lingkungan atau yang lain. Yang jelas kalau di Kalteng itu NGO internasional ada Plan, Care, WWF, dan lainnya. Sebetulnya diskusi REDD di Kalteng dimulai dari proses rehabilitasi PLG (Proyek Lahan Gambut). Ada kelompok kerja yang diinisiasi oleh beberapa institusi di sana seperti WWF, Care, dan kampus. Sekarang Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 118 08/11/2010 9:03:52 kalau bicara tentang REDD, aktornya banyak yang selain NGO. Aktor yang lain itu misalnya perusahaan HPH. Selain itu, lembaga internasional seperti Starling Resources dan Jimmy. Tanggapan peserta lain Penetapan lokasinya ini hanya menempelkan REDD di wilayah rehabilitasi PLG. Saya mau tahu proses ditetapkannya lokasi ini sebagai wilayah REDD. Peserta dari Kalteng Ini ada hubungannya dengan GTZ Jerman di Indonesia. Walaupun yang mendukung itu Pemprov, tetapi peran donor cukup besar. Namun, isu ini tidak sama di tingkat kabupaten, misalnya Kapuas. Mereka sudah mengeluarkan izin tambang dan sawit. Arpag dan Walhi menolak REDD sebagai carbon trading. Dalam diskusi mereka berkembang konsep yang selalu berhubungan dengan hak masyarakat. Selanjutnya ada isu tata ruang yang sekarang tidak jelas. Jadi dari segi proses, banyak yang dilangkahi. 119 Kalbar Saya membagikan informasi soal demonstrasi REDD, mengapa banyak sekali NGO internasional ke kab. Kapuas hulu? Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 119 08/11/2010 9:03:52 Pemilihan awal kabupaten tahap 1 120 Sekarang sudah banyak NGO yang datang. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 120 08/11/2010 9:03:53 Yang paling banyak membicarakan ini adalah FFI. 121 Peta lokasi FFI Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 121 08/11/2010 9:03:55 Proyek Indonesia-Jerman di Kapuas Hulu 122 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 122 08/11/2010 9:03:57 123 Soal aktor Training REDD sudah dilakukan oleh Dinas Kehutanan provinsi bekerja sama dengan LSM lokal yang diundang Dinas Kehutanan. Terlibat juga be­berapa akademisi, mentraining akunting REDD. Dari proses yang terjadi, tampaknya lebih didorong skema pasar. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 123 08/11/2010 9:03:57 Pemda Kapuas Hulu protes tentang alokasi benefit REDD dalam Permen­hut 36/2009. Menurut Pemda, mereka sudah membuat perencanaan sendiri sejak tahun 2003 dan ternyata hasilnya hanya sedikit. Oleh karena itu, GTZ berusaha mempertemukan dengan Menteri Kehutanan. Kaltim 124 Pertama saya tidak terlalu mengikuti REDD di Kaltim, hanya sekilas saja. Ada beberapa catatan saja. Pertama, Kaltim membentuk tim kajian REDD pada Januari 2008. Terlibat WWF dan Universitas Mulawarman. Kajian itu berpotensi memasukkan perkebunan sawit sebagai hutan dalam REDD. April 2008 workshop KBCF dilaksanakan. Ada pertentangan di antara NGO nasional dan internasional. Sementara lokal langsung menolak. Walhi menolak, bahkan pecinta alam menolak. Menurut mereka, lebih penting jeda tebang. Pasca itu, workshop diselenggarakan oleh center for social forestry dan mengadakan diskusi seri hutan kemasyarakatan. Diskusi ini bergantiganti topik dan mereka mencoba mensinergikan itu. Kemudian ada beberapa pihak yang terlibat di Samarinda. Di situ ada Pemda Kaltim, GTZ, dan FFI. Universitas juga terlibat dalam penelitian yang dibiayai TNC. Di situ REDD jadi seolah-olah melibatkan masyarakat. Padahal, masyarakat sebetulnya tidak peduli, yang penting hutan diserahkan kepada adat. Selain itu juga, telah masuk di Malinau satu perusahaan konservasi. Dari segi pola, sepertinya jauh dari REDD, tapi mereka coba masuk ke REDD. REDD memang berat. Secara kelembagaan dianggap siap. Namun, dalam proses ternyata tidak siap. Papua Di Papua proyek REDD masih baru sekali dan sebenarnya tanpa sepe­ngetahuan masyarakat, gubernur telah menandatangani MoU. Kami tahu ini dari kepala Bapeda Papua Barat. Ternyata sudah tanda tangan dengan Australia. Jadi, ini sangat rahasia. Akan tetapi, mereka sendiri tidak tahu apa itu REDD. Padahal, Papua punya Otsus yang berlaku untuk seluruh tanah Papua dan melindungi hak-hak orang Papua. Persoalannya Otsus tidak punya pelengkap yang harus disahkan oleh MRP dan gubernur. Contoh saja, masyarakat adat mengaku bahwa ini hutan milik adat. Namun, dari sisi lain tidak ada aturan pelengkap Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 124 08/11/2010 9:03:57 yang mengatur dan mengontrol sehingga seluruh perjanjian REDD tidak pernah melibatkan masyarakat. Jambi Warsi mulai mengidentifikasi skema yang melibatkan masyarakat ini akan ke mana. Identifikasi dilakukan ke wilayah-wilayah yang difasilitasi Warsi, di Jambi, Riau, dan Sumbar. Kami mulai berdiskusi apa itu REDD dan tanggapannya. Masyarakat mulai memberikan masukan atau mencoba mengumpulkan aspirasi kepada desa-desa yang sudah melakukan pengelolaan kawasan hutan. Rencana ke depan adalah apa yang dikumpulkan dari FGD akan kita konsultasikan dengan Pemda. Pertengahan 2008 Warsi bekerja sama dengan ICRAF melakukan hitungan cadangan karbon di salah satu hutan adat, yang sebelumnya merupakan desa yang menjadi wilayah fasilitas Warsi, dalam proyek pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Ini dalam rangka mempersiapkan dan memberikan pengetahuan tentang penghitungan itu. Metodologi yang digunakan itu cukup sederhana. Maka, diharapkan penghitungan sederhana ini dapat disebarkan ke masyarakat di kawasan hutan yang lain. 125 Sulteng Berkaitan dengan isu REDD, secara perencanaan di Sulteng belum ada. Kita belum mendapatkan informasi apakah ada skema di Sulteng, kecuali di Sulbar. Akan tetapi, kami sudah mulai melakukan diskusi perintis di Sulteng dengan menyimak diskusi kritis tingkat nasional. Saat ini ada draft aturan lokal mengakui masyarakat adat, tetapi belum selesai. Untuk menunjang pengakuan hak masyarakat adat, kami ada usaha untuk mencabut Surat Gubernur yang tidak mengakui hak adat di Sulteng. Perkembangan lain adalah ada diskusi untuk melakukan negosiasi soal kompensasi atas penetapan hutan konservasi. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 125 08/11/2010 9:03:57 9. Teks Perundingan PBB mengenai REDD Pengantar 126 Dalam proses pertemuan para pihak yang ke-13 di Bali atau sering disebut dengan Conference of Parties (COP) 13, para pihak menyepakati roadmap atau alur yang akan ditempuh menuju negosiasi final mengenai teks keputusan bersama yang dibahas dalam AWG LCA dan AWG KP. AWG LCA adalah Adhoc Working Group on Long Term Cooperative Action, sementara itu AWG KP adalah Adhoc Working Group under Protokol Kyoto. Keduanya dibentuk dalam pertemuan para pihak yang ke-11. Roadmap tersebut direncanakan akan final pada pertemuan ke15 di Copenhagen, 2009.2 Dalam roadmap tersebut dibicarakan juga isu REDD di bawah payung AWG LCA yang kemudian menjadi pembahasan berkelanjutan di berbagai pertemuan formal maupun informal. Salah satu pertemuan para pihak yang diagendakan oleh UNFCCC adalah pertemuan Bangkok yang diharapkan menghasilkan teks yang solid untuk keputusan akhir di Copenhagen. Dalam kaitannya dengan ini, para peserta pelatihan yang memiliki pengalaman lapangan di daerah masing-masing diajak untuk terlibat mendiskusikan teks REDD yang sudah dibicarakan di Bangkok. Teks tersebut menjadi bahan lobi ke Pemerintah RI, khususnya delegasi yang akan berangkat ke Barcelona dan Copenhagen. Berikut ini adalah proses dan hasil diskusinya. Fasilitator Sesi di hari terakhir dipergunakan membahas teks yang akan dibahas di Barcelona (Pertemuan dua working groups, AWG–LCA (Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention) dan AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Protokol Kyoto) tanggal 2 – 6 November 2009). Dari pembahasan ini diharapkan muncul usulan Pertemuan Copenhagen pada akhirnya tidak menghasilkan keputusan politik apapun dalam AWG LCA. Dinamika untuk menuju keputusan ini sarat dengan negosiasi politik yang membuat banyak negara enggan mengambil keputusan sehingga semua pembahasan dalam AWG LCA, termasuk REDD dibawa ke perundingan berikut pada COP 16 di Mexico. Sementara itu, untuk menutupi kegagalan perundingan, sejumlah pihak (Amerika, Brasil, Afrika Selatan, India, China, dll.) mengeluarkan keputusan yang tidak mengikat, disebut Copenhagen Accord. Accord ini jauh dari target perundingan yang mendesak agar ada pemangkasan yang signifikan (deeper cut) atas emisi domestik negara-negara Annex I. 2 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 126 08/11/2010 9:03:57 pada teks. Usulan ini nantinya akan disampaikan kepada beberapa pihak, terutama delegasi negara Indonesia. Beberapa perkembangan baru akan saya ungkapkan sebagai latar be­­lakangnya. Di koran Kompas ada kolom yang menyatakan bahwa AS mengesahkan UU Perubahan Iklim. Termasuk di dalam UU itu adalah rencana penurunan emisi dari angka 17 % menjadi 20 %. Kemarin, sudah sedikit disinggung skenario untuk pertemuan Barcelona ini. Protokol Kyoto sepertinya akan gagal disempurnakan. Ada usaha untuk menutup proses perundingan tentang pasca-Protokol Kyoto ini dengan cara menghambat proses yang bersifat multilateral dan kembali ke proses bilateral. Selain itu, Protokol Kyoto tidak akan diperpanjang lebih dari tahun 2012 yang diusulkan oleh UE, Denmark, dan Australia. Sebenarnya pengusul tidak disebutkan secara terinci, kelompok negara itu terindikasi ingin menghentikan proses kelanjutan pasca-Protokol Kyoto. Apapun yang terjadi, kita sudah melihat ada teks yang harus dikritisi. Jika pun tidak dicapai kesepakatan, yang membuat teks itu menjadi mengikat secara hukum, tetapi setidaknya kita bisa membuat posisi jelas dari setiap negara. Hal ini dipergunakan ketika, misalnya Indonesia, akan melakukan perjanjian bilateral dengan negara pihak tertentu. Cara membaca dan memberikan catatan pada teks. Pertama, cara bacanya adalah dengan memperhatikan kalimat yang tidak ada tanda apapun di pinggirnya. Kalimat yang berada di antara tanda kurung merupakan kalimat yang belum disepakati dan akan terus diperdebatkan sampai pertemuan COP 15 di Copenhagen. Di paragraf 1 dan 2 ada pilihan isi suatu ketentuan. Pilihan isi ketentuan ini tetap bisa ditinjau ulang atau ditambahkan kalimat tertentu. Tanda xx, artinya belum ada kepastian mengenai letak maupun isi pasal/ketentuan dalam teks yang akan disepakati ini. Bisa jadi ia ada di bagian lain dari suatu pasal/ketentuan, belum dikonsolidasikan. Akan tetapi, boleh jadi juga karena belum dirumuskan. Bagaimana cara menengok memeriksa ketentuan yang ada di dalam teks ini? Apakah ada usulan? Kita akan sulit memberikan kritikan pada teks yang masih dalam proses persetujuan ini. Teksnya bersifat dinamis. Untuk keperluan tersebut, ada baiknya dalam sesi ini usulan kita bersifat mendasar dan dihubungkan dengan dua tema utama pelatihan kali ini: keberlanjutan hutan dan perlindungan masyarakat adat. Prinsip-prinsip dasar apa yang bisa diusulkan dan bagaimana mengintegrasikannya ke dalam teks. Apakah kita menolak offset atau tidak ada konversi hutan alam? Bagaimana mengawasi pelaksanaan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 127 127 08/11/2010 9:03:57 ketentuan perjanjian serta pembiayaannya? Sebelum masuk ke diskusi kelompok, isu pembiayaan merupakan isu yang penting. Namun kali ini, kita tidak akan terlalu jauh masuk ke dalam isu pembiayaan ini. Kita hanya akan mengusulkan proses kelembagaannya serta pengawasannya. Mungkin ini tidak akan berbeda jauh dengan diskusi kelompok kemarin. Sesi ini juga akan membagi peserta dalam dua kelompok: kelompok keberlanjutan hutan dan kelompok perlindungan masya­ rakat adat/lokal. Setelah itu ada presentasi dari masing-masing dan setelahnya pengintegrasian usulan itu ke dalam. Usulan ini tidak hanya akan diwartakan pada pertemuan di Barcelona, tetapi juga sampai COP 15 di Copenhagen. Kita akan coba berikan usulan ini ke DNPI serta delegasi Indonesia di COP 15 nanti. 128 Pertanyaan Peserta #1 Apakah prinsip dasar itu kita buat sendiri? Fasilitator Kita bisa menguatkan atau malah menentang prinsip-prinsip yang ada di dalam teks. Kita dapat menambahkan kalimat baru pada bagian tertentu dari teks. Dalam tahapan pelaksanaannya, kita menyetujui bentuk yang mana. Jika pun tidak bisa memberi usulan prinsip baru, juga tidak apa-apa. Diskusi Kelompok Pembagian Kelompok: 1. Kelompok Perlindungan Masyarakat Adat 2. Kelompok Keberlanjutan Hutan Presentasi Kelompok I Kami sempat berdebat dalam soal penulisan karena teks ini lebih banyak menjelaskan tentang hak negara, dalam hal ini lingkup nasional dan internasional. Akan tetapi, sedikit menjelaskan hak masyarakat adat. Dalam prinsip perlindungan, kami melihat bahwa partisipasi stakeholder dilakukan secara penuh termasuk masyarakat adat. Partisipasi ini mencakup pula dalam aturan Protokol Kyoto dan dituliskan dalam tanda kurung. Namun ketika dikaitkan dengan Indonesia, ada beberapa catatan. Aturan yang membahas tentang masyarakat adat sebenarnya ada, tetapi tidak memihak pada kepentingan masyarakat Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 128 08/11/2010 9:03:57 adat. Bagaimana peran negara dalam lingkup hukum nasional dan internasional sehingga kami melihat apakah dalam pasal 4 butir e: “sudah mengacu pada FPIC (Free Prior Informed Consent)” di dalam kurung kedua ini, kalimat itu tidak diperlukan? Begitu sebaliknya, dalam kurung “(konsisten dengan peraturan yang dibuat legislatif)”. Artinya kalau misalnya, secara nasional aturan itu belum berlaku, maka yang akan berlaku adalah hukum internasional. Namun selama hukum nasional tidak memihak masyarakat adat, maka kondisinya akan sama saja. Tujuan perlindungan tidak akan pernah tercapai. Meski hukum internasional menyatakan melindungi masyarakat adat, tetapi hukum nasional tidak. Maka, hasilnya tetap sama seperti sekarang. Jadi, menurut kami, pada kalimat itu ditambahkan kalimat “konsisten dengan peraturan yang dibentuk legislasi nasional yang memajukan hak-hak masyarakat adat”. Poin lainnya kami melihat seperti 12 f tidak masalah bagi kami. Masyarakat tidak perlu diberi tanda tangan sertifikasi manajemen hutan yang berkelanjutan, itu sudah membantu masyarakat adat. Hanya poin itu yang kami masukkan. Terima kasih. 129 Kelompok Masyarakat Adat • Prinsip-prinsip perlindungan paragraf 4 (2) Kalimat: Partisipasi stakeholder apakah sudah mencakup FPIC. Maka kurang II tidak diperlukan, begitu sebaliknya. Kalimat “konsisten dengan peraturan yang dibentuk oleh legislasi nasional” = terkait UNDRIP jika hal itu belum diatur. • Yang mengakui, menghormati, dan memajukan masya­ rakat adat. Fasilitator Ini persoalan konsistensi saja, di kurung kurawal yang ke-3 frase “yang konsisten” itu mesti digarisbawahi. Sejauh mana mau konsis­ten ketika aturan yang ada di legislasi nasional tidak berpihak pada masyarakat adat? Harus ada kata “konsisten” dan “mengakui masyarakat adat”. Mengenai partisipasi, apakah cakupan “partisipan stake holder” ini sesuai dengan nomor 2? Jika mencakup, maka yang ada dalam kurung kurawal ini otomatis akan muncul. Partisipasi ini yang harus diperjelas apakah FPIC termasuk di dalamnya. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 129 08/11/2010 9:03:57 Tanggapan Peserta #2 Itu tambahan, narasinya belum dimasukkan ,tetapi kata “konsisten” ini dalam kaitannya dengan aturan yang berpihak pada masyarakat adat. Ini untuk mempertegas saja karena di lapangan ada legislasi tentang masyarakat adat. Namun, tidak berpihak pada masyarakat adat. 130 Presentasi Kelompok II Kami tidak sempat membahas semua hal yang ada di dalam teks. Kalau diperdebatkan akan memerlukan banyak waktu: 1. tujuan dan ruang lingkup poin 1 (satu) tidak dibahas karena tahapan harus ada. Akan tetapi, batasan itu kami kira di luar batas kami. Untuk poin 2 (dua) itu yang pertama, kami beranggapan tidak perlu memasukkan sektor pertanian. Maka, tidak ada justifikasi bagi per­kebunan sawit menjadi alat dan usaha untuk mengurangi emisi karbon. 2. untuk opsi, kami memilih opsi dua yakni pemilihan SFM/ Sustainable Forest Management. Sedangkan prinsip umum yang kita tekankan pada poin e. Jadi usaha untuk REDD ini, jangan jadikan dalam skema OFFSET; negara maju harus memberikan kompensasi dan negara maju juga harus menurunkan emisi. 3. poin H menawarkan poin baru strategi menurunkan emisi rumah kaca dari pencegahan deforestasi. Seharusnya diperluas... proses penurunan emisi rumah kaca akan melingkupi sektor industri dan sebagainya yang akan tunduk pada strategi yang akan disepakati dalam teks. 4. pada poin k “menghapuskan dan dengan demikian menerapkan ekonomi rendah karbon”. Ini masih dalam perdebatan. Indonesia bukan negara yang menyumbangkan emisi karbon dari industri se­hingga tidak masalah jika Indonesia, dalam usaha ekonominya, tidak cepat-cepat masuk ke skema ekonomi rendah karbon. Kami khawatir, jika sekarang Indonesia menerapkan sistem ekonomi rendah karbon, pembangunan ekonomi Indonesia akan rendah. Selain itu, harus ada teknologi transfer dari negara maju ke negara berkembang. 5. pada prinsip perlindungan poin C tentang struktur tata kelola pen­danaan dan kompensasi, maka perlu tata kelola pemerintahan yang baik. 6. Cara 2 implementasi. Memilih opsi satu: “dana wajib berasal dari kon­tri­busi negara maju” kalimat selanjutnya dihapuskan. Selain itu, “dana-dana ini merupakan bantuan baru dan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 130 08/11/2010 9:03:57 tambahan dari ODA”. Oleh karena itu, opsi dua dan tiga tidak dipakai. 7. poin 8 tentang kebutuhan finansial. Kami kira akan sangat beragam dan untuk Indonesia, sudah ada aksi mitigasi secara dan pendanaan melalui APBN. 8. Poin 9 kita memilih opsi 1 dan 2. Kita menolak penggunaan mekanisme pasar yang berdasar pada skema offset. Fasilitator Diskusi kelompok ini sangat maju dan sudah ada banyak yang telah di­bahas. Poin yang disampaikan banyak beririsan dengan usulan teman-teman jaringan lain, misalnya dalam soal mendorong opsi nonpasar dalam REDD. Rencananya beberapa poin ini akan dikemas lagi dan akan kami kirim via email ke delegasi RI. Minimal ada suara dan ada perjuangan daripada tidak sama sekali. Input ini penting karena beberapa waktu lalu ketua delegasi Indonesia meminta kelompok masyarakat sipil/civil society memberikan input. Jadi kita gunakan ruang yang sudah dibuka itu. Saran dari kawankawan ini akan memperkuat input kami nanti. Ada lagi poin lain yang mau ditambahkan? 131 Tanggapan Peserta #1 Melihat sektor pertanian dalam soal mitigasi perubahan iklim ini. Saya rasa kalau yang dimaksud dalam kata itu adalah pertanian skala besar, seperti perkebunan sawit. Akan tetapi, bagaimana dengan sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat adat. Apakah ada perlakuan khusus dari aturan itu? Hal ini karena ketakutan saya adanya perlakuanyang disamakan dengan pertanian skala besar. Fasilitator Kalau dalam soal REDD, maka jawabannya adalah disamakan. Pertanian dalam model apapun masuk dalam skema LULUCF. LULUCF tidak punya indi­kator pelepasan emisi dari pertanian skala kecil. Tidak ada perhitungan emisi dari pertanian besar atau kecil sehingga pastinya tidak akan ada perbedaan. Dengan demikian, masyarakat adat dan lokal yang bertani akan dianggap sebagai pelaku pelepas emisi. Padahal mereka juga orang yang berjasa men­jaga pelepasan emisi. Ini akan menjadi perdebatan yang rumit. Diskusi kita tidak akan ke sana karena sudah ada pengakuan masyarakat adat. Kita mengakui dan melindungi masyarakat adat. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 131 08/11/2010 9:03:58 Daerah lain dan negara lain juga mengusulkan seperti itu. Setidaknya ini ada manfaatnya. Evaluasi Pelatihan Berkaitan dengan manfaat ini sebaiknya kita melakukan evaluasi. Silakan berkomentar. Pelatihan ini bermanfaat dalam hal apa. Kalau tidak bermanfaat, dalam hal apa. Ini untuk perbaikan pada masa mendatang. 132 Tanggapan Peserta dari Jambi Karena menurut saya lebih banyak sharing tentang REDD atau me­ ngumpulkan informasi REDD di daerah lain lebih tepat dibilang training, bukan Training for Trainer. Materi yang disampaikan sangat membantu sekali untuk kami yang baru memulai kegiatan REDD, termasuk soal peta isu perubahan iklim di tingkat nasional dan internasional. Namun, cara penyajian materi agak sedikit monoton. Barangkali pertemuan selanjutnya ada banyak cara penyajian, misalnya dengan permainan. Satu hal lagi, karena ada perbedaan penafsiran dan pendapat antara narasumber dengan panitia dalam sebuah materi, mungkin sebaiknya ada briefing terlebih dahulu dengan Narasumber sehingga materi yang disampaikan bisa jelas dan dalam perspektif yang sama. Secara umum training ini luar biasa. Salam. Tanggapan Peserta dari Semarang Saya banyak mendapatkan manfaat dan mengerti sedikit tentang isu REDD. Hutan di Jawa memang sedikit dan mungkin tidak menarik bagi pelaksanaan REDD. Meskipun demikian, ancaman bagi hutan di Jawa berasal dari perkebunan. Jika ini masuk menjadi hutan, maka ini berimplikasi dengan masyarakat yang telah me-reclaiming tanah pertanian. Menurut saya penting melakukan pemetaan implikasi REDD di daerah-daerah sehingga kita punya persiapan untuk melakukan advokasi. Tanggapan Peserta dari Kalimantan Tengah #1 Banyak kata-kata baru yang saya dapatkan dari pelatihan ini. Saya sendiri belum pernah mendapatkan pelatihan seperti ini. Oleh karena itu, bagi saya, ada beberapa hal yang seperti meloncat dalam memahami soal REDD. Akan tetapi, pelatihan ini memaksa kita Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 132 08/11/2010 9:03:58 mengerti soal REDD. Begitu juga tentang AFOLU itu. Saya juga baru tahu dari pelatihan ini. Belum ada jaringan diskusi untuk saling berbagi pengalaman dan sikap atas REDD ini di Indonesia. Maka, pelatihan ini menjadi titik awal. Kemarin kita sudah mendapatkan bekal, bahkan sampai metodologi dan pengevaluasiannya seperti yang disampaikan oleh Pak Lili. Akan sangat menarik jika kita pakai di lapangan. Jaringan diskusi ini, saya kira penting, sehingga saya bisa belajar dengan apa yang terjadi di Jambi misalnya, atau di daerah lainnya. Di Kalteng sendiri, NGO, terutama NGO lokal, masih sangat minim memahami isu REDD ini. Pertanyaan Peserta Ada bayangan bentuk jaringan diskusinya seperti apa? 133 Fasilitator Lingkar Belajar HuMa akan berusaha merumuskannya. Atau ada pihak lain yang mau melanjutkan ke arah sana untuk merawat komunikasi? Saya bisa bercerita sedikit tentang jaringan komunikasi ini. Avi Mahaningtyas sedang membangun jaringan itu dan dia menawarkan keterlibatan CSO pada jaringan itu. Dalam jaringan itu ada sharing soal informasi terbaru. Jadi, kawan-kawan dari Kalimantan bisa tahu situasi pelaksanaan REDD di Jambi dan sesekali mereka ada waktu untuk bertemu. Jika LC dimintakan melanjutkan pembicaraan itu, saya akan bertemu dengan mbak Avi untuk mengobrol dan menghubungkan jaringan ini dengan jaringan yang sudah mereka bangun. Tanggapan Peserta dari Papua Barat Pertama, isu REDD merupakan hal baru sekali di Papua. Saya mendapatkan banyak pengalaman dan pengetahuan dari pelatihan ini. Ini merupakan tambahan pengetahuan yang penting karena sedikit sekali yang tahu REDD di Papua. Masyarakat Papua juga tidak tahu tentang hal ini. Padahal sudah ada tanda tangan, yakni kedua gubernur di Pulau Papua sudah menandatangani MoU tentang REDD ini. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 133 08/11/2010 9:03:58 Setelah mengikuti kegiatan ini, ada baiknya kita tetap membangun kerja sama dan saling berbagi informasi. Dengan HuMa di Jakarta, kita juga akan berbagi informasi tentang pelaksanaan REDD di Papua Barat. Sudah ada penandatanganan MoU REDD, maka kita perlu kerja, mengawasi agar dana REDD yang akan turun dipergunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat adat. Tanggapan Peserta dari Kalimantan Tengah #2 Pelatihan ini memenuhi apa yang saya harapkan. Kami pernah me­ngadakan pelatihan tentang REDD, tetapi belum mengetahui aspek hukum dari REDD ini. Sekarang saya tahu banyak tentang REDD. Walaupun di kantor saya masih terpasang pamflet: “go to hell REDD”. 134 Penyampaian materi selama pelatihan ini dibuat sangat sederhana dan punya garis pemikiran yang sama. Itu menarik. Saya rasa ketika harus menyampaikan penjelasan ke masyarakat, kita juga harus membuatnya sesederhana mungkin. Sayangnya di materi bagian akhir sepertinya harus bersambung dan itu membuat saya penasaran: skema apa yang akan dibuat untuk melaksanakan REDD ini? Harapan saya, HuMa bisa membuat media pendidikan yang sederhana agar seluas mungkin diterima dan dimengerti oleh masyarakat. Sedikit kritikan pada pelatihan ini adalah kita terlalu banyak duduk sehingga sakit pinggang. Sedikit sekali ice breaking. Tanggapan Peserta Secara umum, pelatihan berjalan karena kita bisa berbagi informasi dan jaringan. Teman juga bertambah. Bagi saya, penting untuk dilihat apa dan bagaimana skema pembiayaan dan kontrak dalam REDD ini. Pada sesi materi yang disampaikan oleh Mbak Oci, saya kurang mengerti apa yang disampaikan. Entahlah, salah dia atau salah saya. Padahal, materi itu penting karena menyangkut tentang kontrak. Mestinya setelah beliau menggambarkan teori hukumnya, beliau juga bisa menyampaikan contoh kasusnya. Selain itu, apakah ada contoh kontrak CDM sehingga bisa kita baca dan bisa menjadi pembelajaran kita ke depan? Tidak hanya yang ada di Costarika. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 134 08/11/2010 9:03:58 Kemudian, tentang apa yang akan kita lakukan ke depan. Jaringan ini pen­ting untuk memperbaharui terus informasi. Jaringan yang akan kita bangun ini tidak harus berbiaya mahal. Kita bisa mempergunakan jaringan pertemanan seperti Facebook atau milis. Hal penting lainnya adalah melakukan pertemuan langsung dengan masyarakat di daerah agar mereka juga bisa paham dan kita juga mengetahui apa yang mereka ketahui tentang perubahan iklim. Untuk keperluan itu, barangkali perlu ada buku saku atau buku kecil sebagai pegangan yang informasinya terstruktur dengan baik – isinya yang mendasar saja – sehingga informasinya bisa menyebar dan tercerna oleh masyarakat. Jadi, dasar-dasarnya saja. Secara umum, pelatihan ini sangat bagus. Tanggapan Peserta dari Sulawesi Tenggara Secara umum kegiatan bermanfaat besar untuk saya pribadi karena bisa tahu isu perubahan iklim beserta turunannya. Pengetahuan saya cukup bertambah serta bisa berbagi pengalaman dengan banyak kawan dari tempat lain. Semakin banyak teman dan istilah yang didapat. 135 Tantangannya adalah bagaimana membumikan bahasa ini. Barangkali, bahasa itu dapat dengan mudah dipahami aktivis, namun akan sulit ketika diterima oleh masyarakat di kampung. Aktivitas ini harusnya bisa dibagi dengan kawan-kawan di Sulawesi sehingga banyak kawan yang akan mengerti isu ini. Posisi penolakan kita atau penerimaan kita – dengan bantuan jaringan – bisa juga diketahui oleh orang lain. Sayangnya, kelompok seperti ini di daerah kami belum ada. Bisa saja jaringan itu bersifat regional Sulawesi dan HuMa bisa memfasilitasi jaringan itu. Fasilitator Untuk soal media pendidikan bagi masyarakat, HuMa saat ini sedang menerjemahkan tulisan tentang Tenure dalam skema REDD. Tulisan itu ada di CD yang dibagikan, tetapi masih dalam bahasa Inggris. Soal tenure ini sangatlah penting. Kami berusaha menterjemahkan dalam waktu dekat dan kami akan bagi hasilnya lewat email. Tulisan itu sangat baik dijadikan referensi. Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 135 08/11/2010 9:03:58 Tanggapan Peserta dari Burung Indonesia Saya wakil dari Burung Indonesia sangat berterima kasih dapat bergabung di pelatihan ini. Burung Indonesia saat ini sedang belajar tentang REDD dan sama dengan teman yang lain, mendapatkan informasi baru dari pelatihan ini. Semoga ke depannya kita masih tetap berhubungan. Tanggapan Peserta dari FKKM Walaupun tidak secara penuh mengikuti pelatihan ini, saya bukan hanya mendapatkan banyak pembelajaran dari materi narasumber, tetapi juga banyak mengetahui cerita dari daerah. Cerita dari daerah ini yang justru menarik bagi saya, minimal untuk melihat bagaimana situasi di lapangan. 136 FKKM sendiri dalam beberapa bulan ke depan ingin belajar soal REDD, tetapi lebih fokus pada peran kehutanan masyarakat. Ada berbagai model HKM, hutan desa, dan sebagainya yang akan coba kita pelajari peranannya dalam menghadapi perubahan iklim, terutama skema REDD. Evaluasi dari teman-teman juga penting sebagai masukan bagi kami. HuMa mungkin bisa memfasilitasi pertemuan dengan teman-teman daerah sehingga isu ini tidak hanya berputaran di pusat saja, tetapi juga bergerak ke daerah. Jadi, ketika FKKM membuat pembelajaran tentang perubahan iklim, dapat dilakukan di lokasi yang sesuai. Selain itu, kita bisa berbagi pengalaman. Walaupun misalnya lokasi FKKM hanya di tiga daerah, kita dapat memahami banyak lokasi lainnya. Oleh karena itu, kita akan bisa dan mudah memotret yang lebih dalam problemnya. Tanggapan Peserta dari Kalimantan Barat Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada HuMa. Saya tidak tahu pertemuan ini memberikan manfaat seperti apa pada saya. Namun, harapansaya adalah pelatihan ini dapat memberikan ilmu yang akan dipakai dalam perundingan tertentu dalam skema REDD. Mungkin ke depannya kita perlu ada proses berbagi ilmu di tingkat lokal. Biarpun bahasa yang trend sekarang REDD, tetapi sejatinya yang kita hadapi adalah persoalan yang hampir sama. Sebagai usulan, bagaimana kalau inisiatif serta tema disesuaikan dengan kondisi di daerah. Oleh karena itu, ada banyak istilah yang perlu dicarikan Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 136 08/11/2010 9:03:58 padanan kata sederhananya serta membuat konsep yang rumit ini menjadi sederhana. Fasilitator Saya ucapkan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi temanteman dalam acara ini. Ke depannya, semoga kita bisa berbagi informasi dengan lebih sistematis mungkin dalam bentuk diskusi atau riset bersama HuMa. Akan tetapi,jelas HuMa akan membagi literatur yang kami punya ke kawan-kawan. Juga mengenai indikator dari Pak Lili yang belum diterjemahkan dan belum dimasukkan ke dalam CD akan kami kirimkan lewat email kawan-kawan. Indikator itu penting untuk memantau skema REDD dari aspek tenure. Atas nama HuMa, sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Mohon maaf jika ada yang salah. 137 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 137 08/11/2010 9:03:58 Lampiran I Alur dan Peserta Pelatihan Topik 138 1. Pengantar Perubahan Iklim: Sebab-sebab dan Dampaknya Narasumber : Yaya Nurhidayati Hari/tanggal : Selasa, 3 November 2009 Waktu : 09.00 – 12.00 WIB 2. Konsep-konsep Dasar tentang Hutan dan Perubahan Iklim Narasumber Hari/tanggal Waktu 3. Perubahan Iklim, REDD dan Hukum Lingkungan Internasional Narasumber Hari/tgl Waktu 4. Hukum Nasional dan Perubahan Iklim Narasumber Hari/tgl Waktu 5. Skema-skema Kontrak REDD Narasumber Hari/tgl Waktu 6. Perkembangan-perkembangan Proyek Percontohan REDD Presentasi Hari/tgl Waktu Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 138 : Arief Wicaksono : Selasa, 3 November 2009 : 13.30 – 17.30 WIB : Pramudya : Rabu, 4 November 2009 : 09.00 – 12.00 WIB : Giorgio Budi Indarto : Rabu, 4 November 2009 : 13.30 – 17.00 WIB : Josi Chatarina : Kamis, 5 November 2009 : 09.00 – 12.00 WIB : Lili Hasanudin dan Sharing Pengalaman Peserta tentang (Rencana) Proyek REDD : Kamis, 5 November 2009 : 13.30 – 15.00 WIB 08/11/2010 9:03:58 7. Kajian Learning Center HuMa tentang Kerangka Hukum dan Kebijakan Perubahan Iklim terkait Hak Masyarakat Adat dan Keberlanjutan Kawasan Hutan dalam Rancangan Skema REDD Presentasi Hari/tgl Waktu : Bernadinus Steni & Mumu Muhajir : Kamis, 5 November 2009 : 15.15 – 17.00 WIB Diskusi atas Teks REDD dalam AWG LCA Hari/tanggal : Jumat, 6 November 2009 Waktu : 08.30 – 12.00 WIB 139 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 139 08/11/2010 9:03:58 Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 140 12 13 1 2 3 4 3 4 5 6 7 8 9 10 11 No. Lembaga Warsi Jambi LP3BH Papua FOKER Papua FOKER Papua LBBT LBBT Walhi Kalteng LAMAN Kalteng Bantaya LBH Semarang Warsi Jambi FKKM YMPP Jatam Kaltim Nama Rainal Firdaus Yanti Lyndon Abner Mansai Laurens Gawing Concordius Kanyan Anang Juhaidi Rano Rahman Erlan Karman Farid Andri Santosa Tambaru Amran Siswandi Azarudin Daftar peserta Kontak Hp [email protected] 081363181880 [email protected] 081248853491 [email protected] 085244310102 [email protected] 085750651999 [email protected] 0816223327 [email protected] 085248958657 [email protected] 081528277742 [email protected] 081341170927 [email protected] 081228166988 [email protected] 08129451659 [email protected] atau nakita.amran@ 081341083836 gmail.com 085250092424 [email protected] 081250935789 Alamat Email 140 08/11/2010 9:03:58