Hukum, perubahan iklim dan REDD

advertisement
Seri Hukum dan Keadilan Iklim
ii
Seri ini adalah publikasi untuk menyebarluaskan proses-proses pem­
belajaran dan karya ilmiah mengenai aspek hukum dalam persoalanpersoalan perubahan iklim. Seri ini diterbitkan atas dasar pertimbangan masih
kurangnya publikasi-publikasi mengenai perubahan iklim yang berfokus pada
persoalan hukum, keadilan sosial dan lingkungan. Tema-tema ini mempunyai
arti penting bagi Indonesia mengingat kompleksnya persoalan-persoalan
ekologis dan sosial akibat perubahan iklim, kebijakan dan proyek-proyek yang
terkait dengannya. Bagaimanakah kebijakan dan proyek-proyek ini menjamin
keseimbangan keadilan bagi masyarakat yang paling rentan dan paling terkena
dampak proyek serta dampak perubahan iklim itu sendiri serta keadilan
terhadap lingkungan? Inilah tema-tema pokok dari rangkaian publikasi dalam
Seri ini. Khusus publikasi dalam Seri ini diterbitkan oleh Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dengan
dukungan pendanaan dari Rainforest Foundation Norwegia.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 2
08/11/2010 9:03:03
SERI HUKUM DAN KEADILAN IKLIM
Hukum, Perubahan Iklim dan REDD
Prosiding pelatihan kerangka hukum dan kebijakan perubahan iklim,
khususnya REDD dari perspektif hak masyarakat dan
keberlanjutan hutan
iii
Penyunting:
Bernadinus Steni dan Mumu Muhajir
HuMa
Jakarta, 2010
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 3
08/11/2010 9:03:04
Hukum, perubahan iklim dan REDD: Prosiding pelatihan kerangka
hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif
hak masyarakat dan keberlanjutan hutan / Penyunting: Bernadinus
Steni dan Mumu Muhajir. –Ed.1. –Jakarta: HuMa, 2010.
viii, + 140 hlm. : Ill. : 23 x 15 cm.
ISBN : 978-602-8829-07-6
Hukum, perubahan iklim dan REDD: Prosiding pelatihan kerangka
hukum dan kebijakan perubahan iklim, khususnya REDD dari perspektif
hak masyarakat dan keberlanjutan hutan
iv
© 2010
All rights reserved
Penyunting:
Bernadinus Steni
Mumu Muhajir
Penyelaras bahasa:
Rohimah
Sumber foto cover : Mumu Muhajir
Penata letak: @cep. M
Edisi pertama: Mei 2010
Penerbit:
HuMA-Jakarta
Jl. Jati Agung No.8
Jakarta 12540
Telepon: +62-21-78845871; 78832167
Faksimile: +62-21 7806959
E-mail: [email protected]; [email protected]
Website: www.hukumdanmasyarakat.org; www.huma.or.id
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 4
08/11/2010 9:03:04
Kata Pengantar
H
arapan dan kekecewaan dapat saja dialamatkan pada berbagai hasil
perundingan internasional terkait perubahan iklim. Demikian pula
telah jamak kita ketahui bahwa berbagai skema mitigasi dan adaptasi
tidak seluruhnya mampu menjamin keadilan sosial dan lingkungan,
utamanya bagi masyarakat-masyarakat pemilik dan pengelola sumber
daya di negara-negara berkembang. Namun, kekuatan global rezim
perubahan iklim secara kontinyu terus mencengkeramkan pengaruhnya
di negara-negara berkembang, secara khusus pemilik hutan tropis.
Indonesia tengah berada di dalam pusaran ini. Pemerintah secara aktif
menyiapkan instrumen hukum nasional serta pe­rangkat kelembagaan
bagi upaya menyambut proyek-proyek mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim. Tetapi, sampai dimanakah kesiapan masyarakat menghadapi
perubahan-perubahan yang akan dibawa oleh proyek-proyek pe­
rubahan iklim ini? Apakah agenda-agenda laten dan manifes dari
ber­bagai instrumen hukum dan perjanjian internasional yang patut
mereka antisipasi? Lebih penting lagi, bagaimana masyarakat mampu
menyiapkan diri di tengah terbatasnya informasi yang mereka miliki?
Pelatihan tentang Kerangka Hukum dan Kebijakan Perubahan
Iklim, khususnya REDD (Reducing Emission from Deforestation and
Forest Degradation) yang diselenggarakan oleh Learning Centre
Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMa) pada tanggal 2-6 November 2009 bertujuan untuk
menyediakan kesempatan bagi komponen organisasi masyarakat
sipil untuk memahami dan menganalisis berbagai agenda di balik
perundingan internasional perubahan iklim. Secara khusus, pelatihan
ini membahas bagaimana skema hukum REDD dapat mendukung atau
bahkan mengancam upaya pengakuan dan penguatan hak masyarakat
adat/lokal dan pelestarian hutan di Indonesia.
Pelatihan ini memperoleh sambutan positif dari para aktivis
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua yang menjadi pesertanya. Para narasumber dari
LSM maupun Perguruan Tinggi telah berhasil membagikan informasi
dan mendorong diskusi analitis terhadap beberapa persoalan sentral
terkait aspek hukum perubahan iklim dan REDD.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 5
v
08/11/2010 9:03:04
Prosiding yang kami hadirkan ke hadapan pembaca sekalian
merekam proses belajar yang berlangsung dalam Pelatihan tersebut.
Kami berharap Prosiding ini bermanfaat tidak hanya bagi mereka yang
menjadi peserta Pelatihan tetapi juga khalayak lebih luas yang tertarik
untuk mendalami permasalahan ini. Bagi kami, Prosiding ini adalah
pemacu untuk terus men­jalan­kan kegiatan inspiratif bagi pembelajaran
untuk dan bersama masyarakat demi membangun orde pengelolaan
sumber daya yang lestari dan berkeadilan sosial.
Seturut selesainya Pelatihan dan penyusunan Prosiding ini, kami
meng­ucap­kan terima kasih kepada para narasumber, peserta Pelatihan,
fasilitator, perekam proses diskusi, dan kawan-kawan kami yang telah
mem­bantu terselenggaranya Pelatihan. Ucapan terima kasih juga
kami sampaikan kepada Rainforest Foundation Norwegia yang telah
mendukung terselenggaranya Pelatihan dan penerbitan Prosiding ini.
vi
Jakarta, 31 Maret 2010
Myrna A. Safitri
Koordinator Eksekutif
Learning Centre HuMa
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 6
08/11/2010 9:03:04
Daftar isi
Kata Pengantar ....................................................................
v
1. Pendahuluan .................................................................
1
2. Perubahan iklim: Sebab-sebab dan dampaknya ...........
4
3. Perubahan iklim dan hutan ...........................................
25
4. Perubahan Iklim dan REDD dalam Hukum dan Kebijakan
Internasional ..................................................................
44
5. Perubahan Iklim dan REDD dalam Hukum dan Kebijakan
Nasional Indonesia ........................................................
75
6. Skema-skema Kontrak REDD .........................................
93
vii
7. Kajian Learning Center Mengenai Kerangka Hukum
dan Kebijakan ................................................................ 109
8. Perkembangan-perkembangan Proyek Percontohan
REDD .............................................................................. 114
9. Teks Perundingan PBB mengenai REDD ........................ 126
Lampiran ........................................................................ 138
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 7
08/11/2010 9:03:04
viii
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 8
08/11/2010 9:03:04
1. Pendahuluan
Latar Belakang
Perubahan iklim tidak lagi menjadi isu yang asing ketika literatur
klasik seperti karya Gerard Foley (1991) berjudul Global warming:
Who is taking the heat? muncul sebagai rujukan pengetahuan. Saat
ini, pemanasan global diberitakan dan dibahas hampir tiap hari; tidak
hanya sebab dan akibatnya, tetapi juga upaya pencegahan (mitigation)
dan penyesuaian (adaptation) terhadap akibat-akibatnya.
Perubahan iklim menjadi semakin sering dipergunjingkan ketika
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) mengeluarkan ber­
bagai temuan terbaru mengenai trend perubahan iklim. Beberapa
temuan ter­sebut, misalnya, menyatakan bahwa konsentrasi gas
CO2 di atmosfer makin meningkat dari 278 partsper million (ppm)
pada era praindustri (pra-1850) menjadi 379 ppm pada tahun 2005.
Kenaikan ini mengakibatkan peningkatan pemanasan atmosfer bumi
yang menimbulkan sejumlah dampak, seperti es mencair, kenaikan
permukaan air laut, dan perubahan iklim. Kenaikan permukaan air
laut diprediksi akan menenggelamkan 6% daerah Belanda, 17,5%
daerah Bangladesh, dan kurang lebih 2000 pulau kecil di Indonesia
akan tenggelam (IPCC 2007). Perubahan-perubahan mendasar pada
iklim muka bumi selanjutnya mengakibatkan perubahan signifikan
pada iklim lokal. Hal itu berdampak pada pergeseran pola tanam dan
munculnya berbagai jenis hama dan penyakit.
Horor lingkungan dan ancaman terhadap keselamatan manusia
dalam perubahan iklim menyatukan berbagai negara untuk membuat
tanggapan bersama sehingga melahirkan Konvensi Perubahan
Iklim tahun 1992 atau dikenal dengan UNFCCC (United Nations
Framework Convention on Climate Change). Salah satu targetnya
adalah pengurangan emisi negara-negara industri yang dikenal
dengan sebutan negara-negara Annex I sebesar 5,2% dari level di
tahun 1990. Di bawah payung Konvensi ini, berbagai perundingan
perubahan iklim untuk menyepakati pengurangan emisi dan skemaskema pendukungnya terus berlanjut, antara lain melahirkan sebuah
kesepakatan monumental yaitu Protokol Kyoto. Terlepas dari segala
kelemahannya, Protokol ini memberi preseden bagi kesepakatan
hukum yang mengikat dalam isu ini.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 1
1
08/11/2010 9:03:04
2
Namun, pasca-Protokol Kyoto, terdapat berbagai dorongan agar
cakupan masalah dalam perubahan iklim diperluas dengan mem­
pertimbangkan temuan-temuan ilmiah tertentu. Salah satu temuan
IPCC, misalnya, menyebutkan bahwa dari total emisi karbon sekarang,
seperlimanya merupakan sumbangan dari aktivitas perubahan tata
guna lahan. Bahkan, sumbangan terbesarnya berasal dari deforestasi
di hutan tropis (IPCC 2007). Temuan ini, bersamaan dengan berbagai
agenda ekonomi-politik lainnya, kemudian mendorong masuknya isu
hutan dan kehutanan ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim.
Salah satu skema baru yang dibahas di bawah tema kehutanan
adalah REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation). REDD menjadi salah satu isu yang menimbulkan
per­debatan di Indonesia, terutama di kalangan masyarakat sipil.
Seberapa jauh skema REDD dapat memberikan perlindungan bagi hak
masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen
internasional lain, seperti United Nations Declaration on the Rights
of Indigenous Peoples, adalah pertanyaan utama dalam perdebatan
tersebut. Pertanyaan lain, terutama yang berkembang dalam gerakan
lingkungan, adalah apakah skema ini dapat menjamin keberlanjutan
hutan di Indonesia? Kedua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang
integratif antara berbagai aspek dan disiplin keilmuan. Menggali aspek
hukum merupakan salah satu cara agar beberapa jawaban tersebut
dapat diperoleh.
Dalam kaitan untuk mendiskusikan aspek-aspek hukum dan
kebijakan mengenai REDD, maka Learning Centre Perkumpulan
untuk Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)
mengadakan Pelatihan tentang Kerangka Hukum dan Kebijakan
Perubahan Iklim, khususnya REDD. Pelatihan ini merupakan upaya
belajar bersama secara reflektif untuk mengetahui dan menganalisis
bagaimana skema hukum REDD dapat mendukung atau bahkan
mengancam upaya pengakuan dan penguatan hak masyarakat adat/
lokal dan pelestarian hutan di Indonesia.
Tujuan Pelatihan ini adalah untuk merefleksikan skema-skema
hukum dan kebijakan REDD, berkaitan dengan hak masyarakat dan
keberlanjutan hutan serta merumuskan rencana-rencana belajar
bersama mengenai REDD dan perubahan iklim. Melalui Pelatihan
ini pula maka kami mengharapkan adanya peningkatan pemahaman
peserta mengenai skema-skema REDD dan implikasi hukumnya
bagi masyarakat adat/lokal serta keberlanjutan hutan dan adanya
kesepakatan mengenai rencana pengembangan berbagai model
lingkar belajar terkait dengan isu ini.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 2
08/11/2010 9:03:04
Publikasi ini merupakan Prosiding dari Pelatihan dimaksud. Di
dalamnya terdapat berbagai materi yang disampaikan oleh para
narasumber dan hasil-hasil diskusi peserta Pelatihan. Pada bab 2
terdapat materi mengenai pengantar terhadap isu-isu dasar dalam
perubahan iklim; bab 3 adalah bagian yang menjelaskan keterkaitan
persoalan kehutanan dengan perubahan iklim; bab 4 berisikan materi
mengenai perubahan iklim dalam kerangka hukum dan kebijakan
internasional; bab 5 secara khusus membahas mengenai perubahan
iklim dan REDD dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional; bab
6 mengenai berbagai skema kontrak yang diduga akan muncul dalam
proyek-proyek REDD; bab 7 adalah bagian yang memaparkan berbagai
proyek percontohan REDD dan perkembangannya; akhirnya bab 8
membahas tentang teks perundingan mengenai perubahan iklim dan
usulan kelompok masyarakat sipil Indonesia terhadapnya.
3
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 3
08/11/2010 9:03:04
2. Perubahan iklim: Sebab-sebab
dan dampaknya
4
Pengantar
Bagian ini menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan ter­
jadi­nya perubahan iklim dan akibat-akibatnya, terutama bagi ke­
selamatan manusia dan keberlanjutan muka bumi. Pemahaman atas
topik ini merupakan dasar menuju topik yang lebih spesifik terkait
perubahan iklim seperti halnya REDD. Sebagai pengantar diskusi, topik
ini juga akan menjelaskan mengenai urgensi membahas isu hutan
dalam perbincangan mengenai perubahan iklim. Apa saja faktor dari
dan yang berkenaan dengan kawasan hutan yang mengakibatkan
perubahan iklim dan dampaknya bagi manusia. Narasumber untuk sesi
ini adalah Nur Hidayati. Ia bekerja di Greenpeace dan aktif mengawal
proses-proses politik maupun kebijakan yang berhubungan dengan
perubahan iklim.
Presentasi narasumber
Pemanasan global adalah peningkatan suhu atmosfer yang terjadi
dalam dua abad terakhir. Di bawah ini adalah hasil pemantauan IPPC
mengenai pemanasan global. Mereka melakukan pengamatan iklim
khususnya di atmosfer sejak tahun 1800-an. Tampak jelas dalam
pengamatan itu bahwa temperatur bumi mengalami peningkatan yang
cukup tajam (lihat Grafik 1).
Grafik 1. Perkembangan kenaikan temperatur bumi
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 4
08/11/2010 9:03:05
Dari grafik di atas terlihat bagaimana kenaikan temperatur semakin
tinggi sejak era 1800-an. Era ini adalah saat dimulainya revolusi
industri. Saat itu bahan bakar fosil seperti minyak dan batubara mulai
digunakan secara masif. Inilah yang kemudian memicu terjadinya
pemanasan global. Kenaikan temperatur tersebut mengancam
kelangsungan kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, para ahli
bersepakat bahwa temperatur atmosfer bumi tidak boleh naik lebih
dari dua derajat celcius. Jika lebih, maka berbagai ekosistem yang ada
di bumi akan mengalami kekacauan. Akhirnya akan terjadi kekacauan
pola angin, arus laut, dan lain-lainnya.
Peta 1. Kenaikan temperatur di permukaan bumi
5
Pada intinya, pemanasan global akan membuat sistem bumi
kita ini akan berhenti berjalan seperti semula. Untuk mendukung
penyataan itu, saya tampilkan gambar-gambar fenomena terjadinya
efek pemanasan global atau efek rumah kaca (lihat Gambar 1). Sering
terjadi kesalahpahaman bahwa gedung-gedung bertingkat, yang
terbuat dari kaca menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Padahal
maksudnya bukan demikian.
Di Indonesia, efek rumah kaca mungkin tidak terlalu umum. Rumah
kaca ini biasanya dipakai di negara-negara empat musim. Negaranegara tersebut tidak sepanjang tahun memiliki matahari dan tidak
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 5
08/11/2010 9:03:06
sepanjang tahun itu cuacanya cocok dengan pertanian. Karena itulah
para penduduknya membuat rumah-rumah kaca untuk menangkap
panas matahari. Rumah itu menyimpan panas sehingga penduduk
dapat melakukan penanaman di dalamnya. Ibaratnya sebuah mobil
yang kita parkir di lapangan di bawah panas terik matahari dengan
kaca tertutup. Cepat atau lambat bagian dalam mobil tersebut akan
panas. Efek memerangkap panas inilah yang kemudian disebut dengan
efek rumah kaca. Dengan efek tersebut, negara-negara empat musim
masih dapat melakukan pertanian karena ruangan masih tetap hangat.
Atmosfer bumi memiliki efek yang sama dengan rumah kaca tersebut
(lihat Gambar 1).
Gambar 1. Efek gas rumah kaca
6
Bumi memiliki beberapa macam unsur kimia: CO2, metana dan
lain-lainnya. Gas-gas ini berfungsi sebagai selimut bumi. Kalau tidak
ada gas tersebut maka temperatur bumi akan sangat dingin dan tidak
layak untuk didiami manusia. Gas-gas inilah yang memerangkap sinar
matahari yang turun ke bumi atau kerap disebut Gas Rumah Kaca
(GRK).
Matahari menghasilkan beberapa radiasi, antara lain radiasi panas
dan radiasi ultraviolet. Sebagian radiasi panas dipantulkan ke bumi
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 6
08/11/2010 9:03:07
oleh lapisan atmosfer. Radiasi panas tersebut kemudian berkumpul
di bumi sehingga bumi menjadi lebih hangat. Dalam konteks itu,
sebenarnya gas-gas itu (CO2, metana, dan sebagainya) berfungsi me­
nolong makhluk hidup di bumi. Akan tetapi, yang terjadi kemudian
adalah sebaliknya. Ketika terjadi revolusi industri pemakaian bahan
bakar fosil yang diobral secara besar-besaran menghasilkan GRK yang
terus meningkat di atmosfer bumi. Konsentrasi GRK yang tadinya tidak
terlalu besar sekarang menjadi sangat besar. Akibatnya, panas yang
terperangkap di bumi semakin banyak.
Bahan bakar fosil penyebab pemanasan global itu asalnya ada dua
sumber. Pertama, sumber alamiah yang antara lain berasal dari letusan
gunung berapi dan proses biologis. Proses biologis berasal dari semua
mahluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan yang telah mati.
Semua mahluk hidup berasal dari satu senyawa yaitu karbon. Jadi,
semua mahluk hidup memiliki karbon. Ketika hewan, manusia, dan
tumbuhan mati maka akan terjadi proses pembusukan. Dari proses
pembusukan itu akan dikeluarkan juga GRK. Sumber alamiah ini tidak
menyebabkan perubahan yang penting. Misalnya, letusan gunung
berapi hanya terjadi beberapa saat saja, tidak setiap saat. Letusan itu
menimbulkan konsentrasi yang besar.
Efek paling berbahaya yang menyebabkan pemanasan global adalah
sumber kedua yakni aktivitas manusia yang dilakukan secara terusmenerus. Proses industri dan transportasi semuanya menggunakan
bahan bakar yang berbasis karbon sehingga melepaskan emisi karbon
yang sebetulnya sudah tertanam jutaan tahun dalam perut bumi.
Demikian pula halnya dengan pertanian melalui pembukaan kawasan
yang luar biasa besarnya. Hal ini dipicu antara lain oleh industrialisasi
pertanian sehingga turut menyumbang akumulasi karbon di atmosfer
bumi.
Secara global, sejak tahun 1800-an emisi di negara-negara industri
diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar dari fosil. Namun, pada
periode pertengahan 1900-an, negara-negara berkembang juga mulai
mengeluarkan emisinya. Sebagian besar emisi negara berkembang
bukan berasal dari industri, tetapi lebih banyak dari kehutanan
karena sebagian besar masya­rakatnya agraris. Kemudian terjadi
proses industrialisasi pertanian sehingga dunia pertanian menjadi
skala industri. Industri menghadirkan teknologi dan metode-metode
shortcut yang memicu terjadinya pembukaan-pembukaan lahan.
Akibatnya, menurut temuan IPCC emisi pertanian cukup besar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 7
7
08/11/2010 9:03:07
Kotak 1. Penyebab pemanasan global
• CO2, metana, dan lain-lain;
• Sumber alamiah (letusan gunung berapi, proses biologis,
dan dekomposisi materi organik);
• Aktivitas manusia (pembakaran bahan bakar fosil: pem­
bangkit listrik, transportasi, proses industri; akti­vi­tas
nonenergi: pertanian, pembersihan lahan, pembakaran
sampah).
Pada saat ini komposisi gas rumah kaca yang menyebabkan
pemanasan global secara umum 80% berasal dari bahan bakar fosil
dan 20% dari deforestasi, pembakaran atau kebakaran hutan, dan
pembukaan lahan (lihat Gambar 2).
8
Gambar 2. Komposisi GR
Bahan bakar fosil
Penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan
kehutanan
80%
20%
Persoalan lain lagi terkait dengan penyebab perubahan iklim
adalah distribusi sumber daya di seluruh dunia yang tidak merata.
Dua puluh persen penduduk dunia yang mendiami daerah industri
mengkonsumsi 80% sumber daya alam di dunia (lihat Peta 2 mengenai
Konsumsi sumber daya dunia).
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 8
08/11/2010 9:03:09
Peta 2. Konsumsi sumber daya dunia 2005
Keterangan: Warna merah adalah tingkat konsumsi sumber daya.
Makin merah makin tinggi konsumsinya.
9
Pola konsumsi negara-negara maju yang sangat tinggi berasal dari
pengerukan atau eksploitasi sumber daya alam di negara berkembang
atau negara miskin yang kaya sumber daya alam. Negara berkembang
sendiri hanya mendapat sebagian kecil dari sumber daya yang mereka
miliki. Sebagian besarnya diborong oleh negara maju.
Dampak perubahan iklim
Dampak perubahan iklim sudah bisa kita rasakan. Beberapa
pola iklim dan cuaca saat ini tidak bisa kita prediksikan lagi sehingga
pergantian musim sulit diramal. Di Ekuador misalnya, curah hujan terus
berkurang. Dalam satu tahun biasanya ada empat bulan musim hujan.
Sekarang jumlah tersebut terus menyusut hanya sekitar dua hingga tiga
bulan. Namun, volume air yang dibutuhkan akibat pemanasan global
semakin banyak. Misalnya, satu bak penampungan air seharusnya
dihabiskan empat bulan. Sekarang bisa habis hanya dalam dua bulan.
Penyerapan air yang luar biasa cepatnya kemudian mengganggu
proses-proses lainnya, misalnya hujan jarang datang. Ketika hujan
datang, itupun disertai dengan badai dan curahan yang sangat lebat.
Hari datangnya hujan semakin sedikit, tetapi intensitasnya semakin
deras. Hal inilah yang menyebabkan bencana.
Pola manajemen lingkungan kita yang buruk terus memperparah
ekosistem. Terjadi peningkatan cuaca ekstrim misalnya angin topan
tropis. Akhir-akhir ini di Filipina terjadi badai yang luar biasa. Sekarang
ini, iklim tropis dan subtropis semakin tidak ada bedanya. Ekor angin
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 9
08/11/2010 9:03:10
10
topan makin sering masuk ke daerah tropis. Padahal sebelumnya angin
topan badai tersebut hanya terjadi di wilayah sub-tropis. Contoh lain,
beberapa waktu yang lalu Bali tersapu badai cukup hebat karena efek
angin topan dari Australia.
Peningkatan suhu global juga makin terasa. Pada tahun 2007, di
Eropa banyak orang yang meninggal karena suhu panas. Di kawasan
tropis, muncul dan berkembang biak penyakit-penyakit tropis,
seperti malaria dan demam berdarah, yang merupakan penyakit
yang berkembang dengan cepat pada suhu panas. Sementara itu, di
Indonesia terjadi kekeringan karena curah hujan yang tidak merata lagi
dan tidak ada hujan serta banjir bandang karena intensitas hujan yang
berlebihan.
Dari temuan beberapa penelitian di Asia, kenaikan temperatur
secara global satu derajat celcius akan menyebabkan penurunan panen
gandum sampai 5%. Penurunan tersebut tentu berakibat kepada
rentetan dampak yang lain, seperti kelaparan, konflik, dan seterusnya.
Dampak dan kerentanan setiap wilayah beda-beda. Namun, Asia-lah
yang paling rentan. Dari seluruh wilayah Asia, Asia Tenggara-lah yang
paling tidak siap menghadapi perubahan iklim. Apalagi Indonesia yang
kondisi geografisnya sangat unik karena berada di antara dua benua
dan dua samudra sehingga fenomena alamnya menjadi tidak menentu
akibat pemanasan global.
Dampak terhadap beberapa ekosistem lain dapat ditemukan
pada air. Jika ada kenaikan temperatur satu derajat, maka akan
terjadi penurunan yang signifikan terhadap ketersediaan air yang
mengakibatkan 0,4 sampai 1,7 miliar orang kekurangan air. Demikian
juga terhadap makhluk hidup lain dan ekosistem secara keseluruhan.
Pengaruhnya cukup banyak berdampak kepada manusia.
Apa yang harus dilakukan?
Sebenarnya fenomena perubahan iklim sudah menjadi pem­
bicaraan setiap tahun terutama pada tahun 1992 ketika ada Earth
Summit berlangsung di Rio de Janeiro.1 Waktu itu fenomena perubahan
iklim sudah teramati dan negara-negara membuat sebuah kerangka
konvensi, UNFCCC. Konvensi ini menjadi konsesus pemimpin dunia.
Catatan penyunting: Sebetulnya, pembicaraan tentang Perubahan Iklim yang melibatkan
organisasi-organisasi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa dan banyak organisasi
internasional lainnya sudah dimulai sejak 1979 pada Konferensi Pertama Dunia mengenai
Perubahan Iklim. Di sana UNEP (United Nations Environment Programme) dan beberapa
organisasi lain seperti WMO dan ICSU merancang Program Iklim Dunia. Pertemuan-pertemuan
selanjutnya menghasilkan banyak rekomendasi dan organisasi seperti IPCC dan kemudian
mencapai puncak pada Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992. Lihat United Nations Framework
Convention on Climate Change Handbook 2006: 17-19. Bonn: UNFCCC.
1
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 10
08/11/2010 9:03:10
Mereka sepakat bahwa terjadi perubahan iklim dan seluruh dunia
harus melakukan sesuatu.
Pada tahun 1997, terdapat Protokol Kyoto yang mengatur lebih
detail bagaimana negara-negara, terutama negara-negara maju,
bertanggung jawab, menurunkan emisinya. Di lampirannya terdapat
daftar negara-negara yang bertanggung jawab mengurangi emisi.
Mereka sepakat menyetujui berlakunya prinsip “siapa yang mencemari,
maka dia yang harus bertanggung jawab” (polluters pay) di setiap
negara yang menyetujui perjanjian ini. Oleh karena itu, masalah
perubahan iklim menjadi tangung jawab bersama. Namun demikian,
tetap ada beban tanggung jawab berbeda yang disebabkan oleh sejarah
perilaku negara-negara maju pada masa lalu. Mereka disebut dengan
negara Annex 1, nama-namanya tercantum dalam lampiran konvensi.
Umumnya mereka adalah negara-negara industri. Mereka mengakui
bahwa tanggung jawab tersebut muncul karena sejarah pembangunan
masa lalu merekalah yang menyebabkan pemanasan global.
Akan tetapi, dalam proses selanjutnya gaung komitmen negaranegara maju tidak terlalu keras. Gaungnya baru mulai terdengar
pada tahun 2007 ketika seorang penasihat ratu Inggris, Nicholas
Stern, membuat kajian dampak ekonomi perubahan iklim. Stern
memasukkan dampak pemanasan global dalam terminologi ekonomi
disertai berapa kerugian yang akan dialami akibat pemanasan global.
Kajian tersebut juga membeberkan berapa besar investasi yang harus
dilakukan untuk menghadapi masalah pemanasan global. Kajian
tersebut membuat pemerintah di negara-negara maju mulai terbuka
terhadap isu perubahan iklim.
Menurut Stern, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, mitigasi
yakni bagaimana mengurangi atau mencegah sumber-sumber yang
mengakibatkan perubahan iklim. Artinya, harus diambil tindakan yang
keras untuk mengurangi emisi GRK. Kedua, adaptasi yakni penyesuaianpenyesuaian yang harus dilakukan karena perubahan iklim sudah
terjadi dan harus kita hadapi. Konsep dasarnya adalah bagaimana kita
menghadapi dampak yang sudah terjadi. Selanjutnya, adaptasi dan
mitigasi dimasukkan ke dalam kerangka pembangunan. Pembangunan
harus mengurangi dampak perubahan iklim yang lebih parah. Keduanya
masuk dalam rencana pembangunan secara sistematis, tidak bisa adhoc.
Di masa depan, praktik-praktik pembangunan eksploitatif seperti
masa lalu tidak boleh lagi dilakukan. Ini merupakan dasar mitigasi.
Sementara adaptasi berkorelasi dengan dampak yang terkait antara
manusia dengan ekosistem alam. Pada Kotak 2 kita dapat menemukan
definisi sederhana mengenai adaptasi.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 11
11
08/11/2010 9:03:10
Kotak 2
Adaptasi: upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis untuk
mengurangi kerentanan masyarakat dan lingkungan akibat
dampak perubahan iklim
l
Adaptasi Reaktif
l
Adaptasi Proaktif
12
Adaptasi mempunyai dua kategori yakni yang sifatnya reaktif dan
proaktif. Adaptasi reaktif misalnya masyarakat yang tinggal di tepi Sungai
Ciliwung selalu menghadapi banjir. Karena mereka tidak bisa pindah,
maka setiap kali banjir mereka akan menaikkan barang mereka ke atas
rumah sehingga kerugian harta-benda tidak terlalu besar. Mereka juga
sudah membuat sistem komunikasi antara masyarakat Ciliwung dengan
masyarakat di Katulampa Bogor. Jadi, kalau masyarakat di Katulampa
memberitahukan bahwa air sudah sekian ketinggiannya, maka mereka
yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung bersiap-siap menyelamatkan
barang-barang mereka.
Sedangkan contoh adaptasi proaktif, misalnya korban banjir
akan pindah atau mereka membuat perencanaan lain. Contoh lain,
pemerintah yang dapat memprediksi dalam sepuluh tahun ke depan
volume banjir akan bertambah akan membuat banjir kanal untuk
mencegah banjir pada masa yang akan datang.
Contoh lain penggunaan adaptasi reaktif dan proaktif adalah dalam
kasus prediksi banjir. Salah satu penelitian dosen ITB menemukan
bahwa tahun 2050 wilayah Jakarta Utara akan tergenang. Bandara
sudah tergenang. Ada tiga faktor yang menyebabkan hal ini. Pertama,
terjadinya intrusi air laut karena permukaan laut naik akibat perubahan
iklim. Kedua, banyak air tanah di daratan sudah tersedot sehingga laut
bergerak masuk. Ketiga, penurunan permukaan tanah karena ada
pembangunan besar-besaran yang secara perlahan menyebabkan
permukaan tanah makin rendah. Apalagi ada banjir kiriman dari Bogor.
Tiga faktor ini menghasilkan perkiraan bahwa pada 2050 beberapa
wilayah di Jakarta akan tergenang air.
Jika menggunakan adaptasi reaktif, respon yang akan dilakukan
adalah bandara ditinggikan dan disediakan pompa. Sebaliknya, jika
adaptasi proaktif maka bandara akan dipindahkan ke lokasi tertentu.
Jika menggunakan mitigasi, upaya yang dilaksanakan adalah melakukan
langkah-langkah sistematis untuk mengurangi penyebab terjadinya
pemanasan global yang memicu banjir tahunan.
Baik adaptasi proaktif dan reaktif ini hanya untuk mengurangi
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 12
08/11/2010 9:03:21
ke­rugian, tetapi tidak mencegah bencana. Sementara mitigasi ber­
maksud untuk mencegah bencana. Dalam hal ini, yang dilihat adalah
sumbernya yakni gas rumah kaca. Misalnya dari sektor industri, bagai­
mana membangun industri yang menggunakan seminimal mungkin
bahan bakar fosil. Selain pengurangan penggunaan bahan bakar fosil,
mitigasi juga dilakukan terkait dengan pembukaan lahan atau sering
dikenal dengan LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry).
Bagaimana deforestasi dan degradasi hutan dikurangi. LULUCF akan
lebih banyak mendapat perhatian di masa depan.
DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) melakukan kajian me­
ngenai berapa skenario penurunan emisi yang bisa dilakukan di
Indonesia berbasis pada data emisi yang ada saat ini (Lihat Grafik 2
tentang Emisi Indonesia). Pada tingkat dunia, kenaikan jumlah karbon
tidak boleh melebihi 450 ppm. Oleh karena itu, dunia perlu mengurangi
emisi sebesar 3,5 giga ton. Jika tidak ingin mengalami dampak
perubahan iklim, puncak emisi hanya bisa terjadi hingga 2015. Pasca
itu, jumlahnya harus terus menurun. Dalam tabel di bawah ini, tahun
2005 komposisi emisi Indonesia yang paling besar adalah pembakaran
hutan. Pada tahun 2005 emisi Indonesia menyumbang lima persen
dari total emisi global. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus naik
menjadi 5,2% pada tahun 2030.
13
Grafik 2. Perkembangan emisi Indonesia
Dari komposisi sumber emisi di atas tampak 1.030 juta ton CO2
disumbang dari pembukaan lahan gambut, lalu 850 juta ton berasal
dari deforestasi. Sementara itu, emisi dari sektor industri dan pertanian
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 13
08/11/2010 9:03:22
masih sangat kecil. Jumlah emisi dari deforestasi itulah yang menjadi
potensi melakukan REDD. Melalui skema REDD, pemerintah ingin ada
kompensasi terhadap upaya mengurangi emisi di sektor kehutanan
dan lahan gambut.
Konversi lahan gambut dan kawasan hutan untuk perkebunan
dan peruntukan lain masih terus berlanjut. Lahan gambut itu memiliki
komposisi karbon yang besar, lebih besar dari tanah biasa. Indonesia
memiliki 80% lahan gambut yang ada di Asia Tenggara dan 35 miliar
ton karbon dari lahan gambut. Oleh karena itu, kalau hutan gambut
ditebang dan gambutnya teroksidasi, maka ada 35 miliar ton yang
dilepaskan ke atmosfer. Karbon sebanyak itu sangat berbahaya bagi
masa depan iklim dunia. Oleh sebab itu, studi DNPI akan memfokuskan
upaya-upaya konkrit pada enam sektor yang dianggap sebagai
pengemisi terbesar, yakni transportasi, energi, kehutanan dan lahan
gambut, agrikultur, semen, dan gedung-gedung (lihat Gambar 3).
14
Konversi lahan gambut.
Gambar 3. Enam sektor penting dalam perubahan iklim
Sumber:
Sementara itu, potensi pengurangan emisinya adalah sebagai berikut:
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 14
08/11/2010 9:03:25
Grafik 3. Pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia
Gambaran ini memang sebagian besar dilakukan di sektor ke­
hutanan. Pada bulan September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) me­ngeluarkan penyataan di pertemuan G-20 bahwa Indonesia
berkomitmen menurunkan emisi GRK 26% pada tahun 2020. Namun
kalau ada bantuan, maka akan diturunkan sampai 41% pada 2030.
Presiden sangat optimis karena sebagian besar emisi Indonesia itu
dari kehutanan dan deforestasi. Jadi, menurut beliau lebih mudah dan
lebih besar menurunkan emisi dari kawasan hutan daripada industri.
Komitmen tersebut tentu merupakan kesempatan bagi kelompok
masyarakat sipil untuk mendorong pemerintahan SBY agar ada langkah
yang harus segera dilakukan. Misalnya, menghentikan deforestasi dan
konversi lahan.
15
Diskusi
Pada bagian ini peserta mengomentari presentasi narasumber maupun
berbagi pengalaman tentang dampak atau referensi lain mengenai
perubahan iklim.
Peserta menanyakan potensi implementasi komitmen SBY dengan
me­nimbang model pengelolaan sumber daya alam dan industri seperti
sekarang. Apakah mungkin terwujud?
Menurut narasumber, dengan mengacu pada perhitungan DNPI,
pe­merintah sebetulnya bisa menghentikan ekspansi 20% konversi
lahan gambut. Jika itu terjadi, maka komitmen SBY bisa saja terwujud.
Bahkan sebetulnya pemangkasan emisi bisa sampai 80%. Namun,
implementasinya kembali pada kemauan politik pemerintahan SBY.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 15
08/11/2010 9:03:25
Apakah mereka benar-benar berkomitmen. Akan tetapi dengan praktik
seperti sekarang, tampaknya sulit terwujud karena presiden berbicara
lain, sementara menteri melakukan hal berbeda.
Pemutaran Film
Untuk memancing diskusi lebih jauh, narasumber memutar film
me­ngenai dampak perubahan iklim di beberapa tempat, terutama di
Jawa. Film tersebut memperlihatkan dampak yang sudah mulai terasa,
terutama di bidang pertanian. Kekeringan yang panjang, perubahan
musim, serta hama yang makin banyak sudah merugikan petani.
Intinya, perubahan iklim tidak lagi wacana, tetapi sudah merupakan
masalah nyata di depan mata yang harus segera direspon melalui
langkah-langkah strategis dan sistematis.
16
Diskusi lanjutan
Peserta mendiskusikan mengenai beberapa isu. Pertama, argumen
bahwa deforestasi memang perlu dihentikan karena masalah itu
merupakan bagian dari masalah urgen dalam negeri. Namun, esensi
dari konvensi pe­rubahan iklim sesungguhnya adalah pengurangan
emisi domestik negara-negara maju. Ini merupakan keseimbangan
yang adil. Bagaimana tanggapan sejumlah jaringan internasional,
seperti Greenpeace?
Kedua, mengenai temuan saintifik perubahan iklim. Masih ada
per­debatan apakah perubahan iklim merupakan proses alamiah atau
memang buatan manusia. Ketika menjadi proses alamiah, barangkali
relevan per­tanyaan negara-negara Annex I, untuk apa mereka
membayar atas proses alamiah. Bagaimana kita meyakini itu dan
respon IPCC terhadap pertentangan-pertentangan tersebut?
Ketiga, seberapa parah perubahan iklim itu karena energi politik
banyak negara sudah banyak tersita di perundingan ini. Kalau demikian
parah, tentu langkah-langkahnya juga ekstrim. Akan tetapi, sejak 1992
tampaknya baru akhir-akhir ini menjadi ramai diperdebatkan. Lalu
bagaimana dengan komitmen pengurangan emisi SBY, apa benar beliau
serius, mengingat problem di Indonesia sangat kompleks.
Tanggapan narasumber
Pertama-tama berkaitan dengan posisi Greenpeace, ada beberapa
posisi yang dikedepankan. Posisi Greenpeace secara internasional
tetap: meminta kepada setiap negara Annex I untuk mengurangi
emisinya sampai 40% pada 2020. Usulan perubahan Protokol Kyoto
yang hanya 30% itu tidak cukup karena dampaknya akan sangat besar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 16
08/11/2010 9:03:25
Secara ekonomi, sebenarnya kemampuan negara maju bisa lebih dari
30%. Oleh karena itu, Greenpeace mengajukan angka 40% dan sebagai
tambahan negara maju harus memberikan kompensasi kepada negara
berkembang. Dana kompensasi dipakai untuk melakukan mitigasi
pemanasan global dan perlindungan hutan.
Greenpeace meminta negara maju menyediakan 30 miliar dollar
per tahun untuk upaya-upaya mitigasi. Prinsip utamanya bukan offset.
Greenpeace menolak offset. Offset adalah mekanisme tukar guling.
Emisi di negara maju ditukar dengan pencegahan emisi di negara
berkembang. Di sektor tambang sudah terjadi. Misalnya, sebuah
perusahaam tambang, Kaltim Prima Coal (KPC) membuka tambang
di Sangata, tetapi kemudian menyelamatkan dan memberikan dana
penyelamatan di Kutai. Upaya KPC ini disebut sebagai pembersihan
emisinya. Dalam hal ini, offset kami tolak karena ini tidak memecahkan
permasalahan pemanasan global.
REDD akan menerapkan kerangka offset. Misalnya, negara maju
mem­berikan dana kepada negara berkembang dengan harga karbon
hutan katakan­lah 20 dollar per ton. Kemudian negara maju memberikan
dana sebesar dua juta USD untuk menurunkan 100.000 ton karbon dari
deforestasi. Upaya negara berkembang untuk menurunkan emisi dari
deforestasi tersebut bukan merupakan upaya untuk mengurangi emisi
negara berkembang itu sendiri, tetapi diklaim sebagai upaya negara
maju yang memberikan dana. Padahal, negara maju tersebut sama
sekali tidak menurunkan emisi dari aktivitas industrinya sendiri. Negara
maju hanya membeli penurunan emisi dari negara berkembang.
Pada saat ini belum jelas bentuk REDD seperti apa. Akan tetapi,
yang sedang berlangsung dan menjadi arus utama kelihatannya
adalah mekanisme pasar. Greenpeace tidak mendukung mekanisme
pasar dan offset. Penolakan terhadap mekanisme pasar terjadi karena
kalau diberlakukan, harga karbon akan semakin murah. Bayangkan, di
Indonesia saja ada 35 miliar ton karbon dari gambut. Belum lagi dari
negara lain yang mempunyai stok karbon yang cukup besar. Sesuai
dengan hukum pasar, karbon semakin banyak maka harga akan turun.
Selain itu, kalau prinsip pasar diterapkan, maka prinsip yang dipakai
bukan lagi additionality. Kalau konsisten dengan additionality, maka
turunkan dulu emisi di negara-negara Annex I barulah kemudian
memberikan kompensasi atas dampak yang disebabkan oleh pem­
bangunan mereka. Namun karena skema yang dipilih adalah pasar,
maka offset menjadi pilihan.
Kedua, mengenai keraguan atas data ilmiah mengenai perubahan
iklim, ada beberapa cerita di balik debat ini. Pada periode Presiden
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 17
17
08/11/2010 9:03:25
18
Bush di Amerika, banyak ilmuwan yang dibayar oleh perusahaan
minyak untuk menentang fenomena perubahan iklim, atau menentang
temuan IPPC. Jadi, pertanyaannya adalah siapa yang ada di belakang
ilmuwan yang melakukan penolakan ini. Apakah benar sebagai
objektivitas ilmiah atau ada pesan-pesan sponsor di belakangnya.
IPPC adalah kumpulan ribuan ilmuwan dari seluruh dunia yang
mengumpulkan penelitian dari berbagai wilayah. Sayangnya, penelitian
di wilayah Indonesia tidak terlalu banyak. Mereka meneliti perubahan
iklim dan melihat penurunan kecenderungannya. Narasumber melihat
bahwa penurunan emisi dari fosil memang harus dilakukan karena kita
tidak bisa tergantung dari minyak bumi dan batubara. Semua sepakat
bahwa aktivitas-aktivitas itu melepaskan karbon dan mengeluarkan
emisi berlebihan. Oleh karena itu, harus kita turunkan. Hal ini terlepas
dari adanya skema lain, seperti REDD, yang ingin menunggangi sebagai
upaya menghindari tanggung jawab penurunan emisi. Meski demikian,
ada negara yang mengambil REDD sebagai jalan lain mengurangi emisi.
Akan tetapi, penurunan emisi dari fosil pun harus dilakukan karena
kita tidak bisa menahan dampak yang sudah terjadi. Pencemaran dan
eksploitasi dari minyak dan bahan bakar ini sudah sangat parah. Di
Indonesia kondisinya sudah tidak bisa ditoleransi lagi.
Ketiga, berkaitan dengan komitmen politik dalam perubahan
iklim. Pemicunya adalah adanya periode pemenuhan komitmen
yang berbasis Protokol Kyoto. Periode pertama adalah 2008-2012.
Sementara periode kedua belum jelas, padahal 2012 sudah di depan
mata. Untuk merespon periode kedua inilah SBY menyampaikan
komitmen 26%, meski belum jelas langkah-langkah dan persiapan
yang memadai untuk melakukan pemangkasan 26%. Dalam hal ini,
ada faktor keterdesakan untuk mendorong agar komitmen periode
kedua segera disepakati. Inilah yang memicu mengapa perdebatan ini
menjadi makin hangat. Selain itu, ada laporan Nicholas Stern tahun
2007. Menurut Stern, kalau negara-negara tidak melakukan upayaupaya pemangkasan emisi, maka di masa depan akan berpengaruh
pada GDP. Kalau tidak segera bertindak, maka perubahan iklim akan
menghilangkan lima persen dari GDP global tiap tahunnya. Kalau semua
dampak kerusakan dihitung, kehilangan tersebut bahkan sampai 20%.
Dalam kacamata ekonomi inilah negara-negara baru melihat ongkos
besar yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Sejak itu, mereka mulai
memikirkan bagaimana mengurangi emisi. Perundingan Copenhagen
menjadi penting karena di sana akan ditentukan mekanisme seperti
apa yang hendak diterapkan untuk penurunan emisi setelah 2012.
Di sana akan dibahas aturan mainnya, apakah ada perubahan Annex
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 18
08/11/2010 9:03:25
1. Bisa saja, negara berkembang seperti Cina dan India akan menjadi
Annex 1. Atau Indonesia bisa menjadi Annex 1. Sementara REDD itu
akan dilihat, apakah disepakati menjadi mekanisme penurunan emisi
atau tidak. Semuanya akan dibicarakan di Copenhagen.
Diskusi Kelompok
Dalam diskusi kelompok, peserta yang dibagi menjadi dua
kelompok mensimulasikan pandangan negara maju dan negara
ber­kembang mengenai offset. Bagaimana pandangan kedua kubu
terhadap offset.
Kelompok “negara maju”
Offset itu baik karena :
♦Membantu negara berkembang untuk pembangunan dan
me­ngatasi kemiskinan; Transfer teknologi tanpa merusak
lingkungannya; (berdampak secara baik terhadap sosial
ekonomi di negara berkembang);
♦Menyediakan dana segar untuk mengurangi emisi dan pe­
nyematan iklim;
♦Ada dasar hukumnya “CDM” Protokol Kyoto 1997;
♦Offset itu praktis karena bisa memakai mekanisme pasar dan
memberikan keuntungan bagi banyak pihak (multiplier effects);
♦Sebagai tanggung jawab moral terhadap bumi.
19
Penjelasan “negara maju”
Kawan-kawan dari negara berkembang, kami dari Annex 1
memiliki be­berapa pandangan. Dengan melihat perdebatan yang
lalu dan kesepakatan yang sudah ada, selanjutnya kami berpikir
skema offset cocok untuk kehidupan dunia yang lebih baik. Kami
memaknai offset lebih baik karena dapat membantu negara
berkembang, tidak perlu mengeluarkan keringat yang besar, dan
dapat uang untuk menjual karbon. Kemudian ada transfer teknologi
kepada negara berkembang. Teknologi untuk menyelamatkan
bumi lebih maju sehingga dapat menyelamatkan bumi. Ini baik
untuk negara berkembang dan maju. Indonesia yang berutang
besar itu merupakan indikator betapa sulitnya mendapatkan dana
segar. Oleh karena itu, skema offset menjadi penting. Banyak
perusahaan dan bank akan mengucurkan dana. Tinggal disepakati
aja. Jika kalian mengusulkan G to G, maka menurut kami, skema
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 19
08/11/2010 9:03:25
pasarlah yang lebih baik karena menyerap lebih banyak uang dan
tenaga kerja. Hal itu penting di negara berkembang karena banyak
penganggur yang susah mencari pekerjaan. Selain alasan-alasan ini,
juga ada dasar hukum untuk melakukan offset. Misalnya, Protocol
Kyoto yang mengucurkan kredit Clean Development Mechanism
(CDM). Kita tidak berdagang liar tanpa kerangka hukum. Selalu ada
kerangka hukum yang jelas dan tegas. Jika ada kekurangan dalam
skema hukum itu, bisa segera diperbaiki. Yang paling penting juga
adalah melalui offset ada tanggung jawab moral dari kami untuk
memberikan uang kepada negara berkembang yang miskin dan
melarat.
20
Di sini kita juga sadar dan harus akui bahwa kerusakan di utara tidak
hanya menimbulkan akibat di utara, tetapi di seluruh bumi. Offset
adalah pilihan yang menyatukan kita bersama. Ada take and give.
Jika skema ini tidak dipakai, kami pun harus mengeluarkan biaya
yang tinggi. Harus ada perubahan teknologi yang lebih rendah
emisinya. Kemudian kita didorong untuk melakukan perubahan
pembangunan yang tidak mungkin kita lakukan. Bahkan hampir
tidak ada industri yang mampu mengurangi emisi itu hingga zero.
Tidak adil kalau kami dipaksa mengurangi emisi domestik kami.
Lebih adil jika kami mencari skema yang murah dan itu melalui
offset. Tambahan, jika kami mengubah pola pembangunan dan
indutri, ekonomi dunia akan terguncang. Dampaknya juga pasti
akan dialami oleh negara berkembang. Supaya sama-sama untung,
kita kedepankan skema yang lebih mengakomodasi kepentingan
kami dan tuntutan kalian negara berkembang.
Kelompok “negara berkembang”
Offset buruk karena:
• Skema offset menjadi ancaman paling besar bagi kehidupan
masya­rakat adat;
• Kebijakan pemerintah RI tidak sepenuhnya mendukung masya­
rakat adat sehingga dana offset tidak sampai ke masyarakat adat.
Namun, justru rentan menimbulkan sumber korupsi baru;
• Prinsip keadilan yaitu negara maju harus bertanggung jawab lebih
besar daripada negara berkembang karena mereka penyumbang
emisi terbesar;
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 20
08/11/2010 9:03:26
• Menyederhanakan penghitungan nilai hutan. Harus dihitung
me­lampaui karbon. Secara menyeluruh nilai karbon yang
ditawarkan dalam skema offset terlalu kecil/murah;
• Skema offset kalau diserahkan ke mekanisme pasar akan
merugikan negara-negara pemilik kawasan hutan;
• Adanya upaya-upaya mandiri untuk merehabilitasi hutan dan
men­cegah deforestisasi yang sudah dilakukan di luar skema
offset.
Penjelasan “negara berkembang”
Kami dari negara berkembang sudah memutuskan bahwa kami
me­nolak offset. Alasan kami menolak, pertama karena skema
offset akan berdampak bagi masyarakat adat. Menurut data
tahun 2002, di Indonesia ada 48 juta orang yang tinggal di hutan.
Skema offset pemerintah akan membatasi akses masyarakat adat
terhadap hutan. Apalagi, Indonesia tidak sepenuhnya mendukung
masyarakat adat. Selain itu, dana offset juga rentan menimbulkan
korupsi baru. Kalau diberi dana besar, justru akan menjadi rebutan
korupsi. Selain itu, perlu diperhatikan prinsip keadilan. Negara
maju harus bertangung jawab lebih besar karena kerusakan hutan
terjadi untuk memenuhi kebutuhan negara maju. Yang tidak kalah
pentingnya adalah offset terlalu menyederhanakan persoalan.
Hutan hanya dilihat sebagai karbon. Padahal, nilai hutan lebih dari
itu. Misalnya fungsi ekosistem, kelestarian air, dan biodiversity.
Kalau hanya dinilai 20 dollar, lebih baik kami menebang pohon.
Sistem offset akan merugikan. Proses perubahan iklim akan terus
berlangsung dan kita punya tangung jawab untuk mencegah itu. Di
sisi lain, ada swadaya mandiri untuk merehabilitasi hutan. Tanpa
offset, pencegahan deforestasi sudah dilakukan di Papua dan
daerah-daerah lain.
21
Selain itu, dalam pengalaman selama ini, negara-negara maju me­
nyebarkan uangnya ke bank dunia dan kita tidak bisa mengontrol
secara baik. Penggunaannya kepada negara berkembang tidak jelas
sehingga hanya menguntungkan beberapa pihak.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 21
08/11/2010 9:03:26
22
Dialog “negara maju” dengan “negara berkembang”
Tanggapan kelompok “negara maju”
Menanggapi pandangan negara berkembang, kami punya be­
berapa bantahan. Pertama, Offset ini menguntungkan semua orang di
muka bumi, tidak hanya masyarakat adat. Dari enam miliar penduduk
di dunia ini, jumlah masyarakat adat hanya sedikit. Apalah artinya.
Selain itu, secara teknis offset memberikan ruang untuk mengelola
REDD secara berbeda di setiap tempat. Artinya, Anda bisa punya
aturan sendiri. Tidak seragam dari satu tempat ke tempat lain. Pada
intinya offset itu praktis.
Kedua, tidak ada kebijakan pemerintah untuk melakukan korupsi.
Masalah penggunaan dana, sangat tergantung independensi negaranegara berkembang. Bukankah independensi ini yang kalian mau.
Kalau masalahnya adalah korupsi, itu merupakan masalah di negara
masing-masing yang harus diatasi.
Ketiga, tanggapan kalian bahwa offset menyederhanakan masalah,
me­nurut kami sama sekali tidak benar. Kami mendukung keberlanjutan
hutan tropis yang menyokong kehidupan masyarakat adat atau siapa
pun yang mendapat manfaat dari hutan itu.
Keempat, masalah keadilan yang kalian soroti juga merupakan
sesuatu yang penting dan mendesak buat kami. Namun keadilan boleh
jadi samar dan subjektif. Bagi kami, skema yang kami tawarkan sudah
adil.
Kelima, mengenai masalah atas skema yang berbasis pasar, yang
memang hanya bicara soal cara mendapatkan uang. Menurut kami,
buntunya negosiasi ini memang pertama-tama karena sulit mendapat
sumber pendanaan. Menggunakan pasar adalah skema yang realistis.
Apalagi, kita bisa mendapat dua keuntungan sekaligus, menekan laju
perubahan iklim dan keuntungan ekonomi.
Tanggapan “negara berkembang”
Ketika negara maju menyampaikan alasan mengapa offset me­
nguntung­kan, kami menangkap asumsi utama di belakangnya, bahwa
uang adalah sentral dan penting. Tetapi ironisnya, nilai yang ditawarkan
pada skema offset itu sangat kecil. Kebutuhan di lapangan sangat besar.
Selain itu, yang perlu diingat dari argumen utama konvensi perubahan
iklim adalah tanggung jawab historis negara-negara maju. Delapan
puluh persen emisi berasal dari negara maju akibat eksploitasi industri
mereka pada masa lalu. Oleh karena itu, target utama konvensi ini
adalah memangkas emisi domestik tersebut lang­sung dari industri
pencemar, bukan memangkas emisi deforestasi di negara berkembang.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 22
08/11/2010 9:03:26
Berikutnya, jika negara maju serius bertanggung jawab, maka
skema yang dirancang juga harus serius. Skema itu harus mendesain
dari hulu sampai hilir, termasuk bagaimana mengatasi korupsi dan
lack of governance di negara berkembang. Pengalaman menunjukkan
bahwa akibat ketidakseriusan penerapan CDM Kehutanan dalam
Protokol Kyoto, offset itu gagal. Oleh sebab itu, lebih baik memangkas
emisi domestik.
Masukan narasumber
Setelah menyimak perdebatan ini, ada semacam argumen utama
yang bisa memperkokoh argumen negara berkembang. Masalah utama
emisi adalah mempertahankan carbon stock sehingga dalam kaitannya
dengan REDD, upaya yang dilakukan adalah bagaimana hutan yang kita
punya menjadi cadangan karbon. Hutan sebagai penyimpan cadangan
karbon tidak boleh ditebang agar karbonnya tidak terlepas. Oleh karena
itu, pembukaan lahan tidak boleh. Tujuan utamanya adalah sebagaimana
ditetapkan dalam konvensi, yakni mencegah keluar­nya emisi dari
sumber-sumber penyebab emisi. Jika dibawa ke skema offset, maka
industri, transportasi, dan lain-lain yang terus-menerus melepaskan
emisi akan mempertahankan cadangan karbon hutan karena dianggap
akan menurunkan emisi domestik mereka. Ada lompatan logika yang
tidak masuk akal karena emisi industri tersebut tetap keluar.
Sebaliknya, dampak pemanasan global akan terus terjadi.
Argumentasi negara berkembang memang harus dimulai dari argumen
impact karena sudah dirasakan. Berdasarkan dampak, kita kembali
kepada prinsip-prinsip konvensi yang otomatis ada tanggung jawab
pelaku di sana. Agenda 21 di Rio de Janeiro misalnya, bagaimana
negara maju mengalokasikan sebagian GDP-nya (Gross National
Product), 0,4%, untuk pembangunan di negara berkembang. Hal ini
menjadi latar belakang kategori Annex 1. Alasannya bersifat historis
bahwa negara Annex 1 sudah menikmati kemajuan pembangunan
akibat eksploitasi sumber daya di negara berkembang. Namun, GDP
0,4% itu tidak dipenuhi juga oleh negara maju.
Tanggung jawab itulah yang harusnya ditekankan dalam konteks
pe­rubahan iklim. Tanggung jawab bukan bantuan, tetapi persoalan
kompensasi dari proses yang sudah terjadi. Tentu ada impact yang
sudah dialami oleh negara berkembang. Berkaitan dengan dampak,
bagi negara berkembang penting untuk memaparkan mengenai upaya
mengurangi korban. Hanya beberapa negara yang bicara seperti ini.
Indonesia sendiri sebagai negara kepulauan harusnya sudah memiliki
perspektif itu.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 23
23
08/11/2010 9:03:26
Rangkuman
24
Dari pemaparan sesi ini, ada beberapa isu penting yang akan terus
berulang selama pelatihan ini, antara lain:
• Pengembangan kapasitas
• Pendanaan: pasar versus fund
• Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) REDD
• Tenure(masyarakat adat)
• MRV (Measurable, Reportable, Verifiable): definisi hutan =
Perkebunan
• Demonstration activities
• Karbon hutan versus karbon fosil (fuel)
• Dampak
• Adaptasi
• Litigasi
• Kompensasi
• Polluters pay
• Transfer technology
• Carbon sink dan carbon stock
Dalam kaitannya dengan REDD, barangkali ada pembicaraan me­
ngenai mekanisme dan sejumlah pertanyaan bisa muncul. Misalnya,
siapa yang akan mendapat keuntungan, apakah melibatkan pe­
merintah saja atau kelompok kepentingan lain. Lalu bagaimana
transparansinya, apakah melibatkan masyarakat adat. Kemudian
definisi hutan. Apakah akan meng­gunakan definisi hutan FAO.
Kalau misalnya perkebunan dilihat sebagai hutan, apakah itu bisa
langsung menghentikan deforestasi atau itu merupakan peluang bagi
perusahaan untuk melanggengkan konversi?
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 24
08/11/2010 9:03:26
3. Perubahan iklim dan hutan
Pengantar
Bagian ini memaparkan mengenai beberapa konsep kunci pe­
rubahan iklim yang berhubungan dengan hutan. Ada tiga pertanyaan
utama ter­hadap konsep-konsep ini, yakni ide dasar dari konsep tersebut,
sejauh mana konsep tersebut bekerja, dan bagaimana im­plemen­tasinya
atau ke­mungkinan implementasinya di Indonesia, terutama dalam
kaitannya dengan hak masyarakat (adat/lokal) dan keberlanjutan hutan.
Konsep ini akan berawal dari skema Kyoto yang mengusung LULUCF
(Land Use Land Use Change and Forestry) dan kemudian membongkar
skema-skema yang sedang diperdebatkan dalam isu REDD. Pada bagian
akhir akan dilihat secara khusus hubungan antara perdebatan dalam
skema-skema hukum REDD dengan mekanisme pasar sebagai salah
satu jalan keluar pendanaan REDD. Pembicaraan mengenai pasar
menjadi sangat penting saat ini karena berbagai proposal REDD, baik
dari pemerintah maupun swasta, mengusung pasar sebagai salah satu
sumber pendanaan REDD. Skema pasar memiliki konsekuensi hukum
tertentu yang berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain pertanyaan
tentang validitas karbon sebagai objek, hak masyarakat (adat/lokal),
dan berbagai pertanyaan lain yang berhubungan dengan dinamika
pasar. Pada sesi ini narasumber tidak akan bicara REDD secara
spesifik, tetapi akan memaparkan secara spesifik kesiapan tatakelola
(governance) REDD untuk Program Rintisan – Kemitraan. Narasumber
mengajak peserta berdiskusi dengan menjelaskan ekologis dan ekonomi
politik kemudian me­nawarkan dua skenario yang potensial terjadi
di Copenhagen. Narasumber adalah Arief Wicaksono. Ia bekerja di
Partnership Governance Reform, sebuah lembaga yang aktif mendorong
isu-isu tatakelola di Indonesia.
25
Presentasi narasumber
Masalah dasar perubahan iklim adalah sebagai berikut :
Perubahan iklim = kenaikan konsentrasi GRK di atmosfer akibat
agresivitas spesies manusia.

GRK? -- q uap air, karbon dioksida, methana, nitro oksida,
ozon (CO) dan CFC;

Revolusi industri antara abad 18 dan 19 -- q intensifikasi dan
efisiensi produksi;
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 25
08/11/2010 9:03:26
Sumber emisi GRK:

pembakaran bahan bakar fosil;

produksi barang industrial;

pabrik semen;

pertanian;

perubahan tata guna lahan dan kehutanan;
GRK secara normal ada di atmosfer. Akan tetapi, revolusi industri
pada abad 19 membuatnya meningkat secara mendadak, antara lain
melalui pembuatan bahan bakar fosil. Revolusi industri terjadi karena
pada saat itu muncul kebutuhan bagaimana membuat barang dan jasa
lebih efisien.
Grafik 3. Peningkatan karbon di dunia
26
Sumber: IPCC, 2004
Grafik di atas ini menggambarkan peningkatan karbon dari tahun
1750 kemudian meningkat pesat setelah Perang Dunia II. Adanya
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 26
08/11/2010 9:03:27
modernisasi membuat kerja menjadi lebih praktis dan mudah, tetapi
ongkosnya adalah perubahan iklim. Penggunaan bahan bakar fosil dan
pembukaan lahan pertanian adalah sebab-sebab utama. Memakai
bahan bakar fosil mudah, beberapa jam habis. Namun, membuatnya
membutuhkan waktu beberapa juta tahun. Bahkan, dampaknya
pun ratusan tahun. Jika membicarakan pertanian jangan bayangkan
pertanian kecil, tetapi yang skalanya besar.
Gambar 4. Kontribusi sektor-sektor terhadap perubahan iklim
27
Gambar di atas menunjukkan kontribusi sektor terhadap
perubahan iklim. Ada sektor transportasi, jalan, udara, kereta api,
dengan persentasenya masing-masing. Demikian halnya dengan
pertanian.
Dari total emisi dunia, Amerika Serikat menyumbangkan emisi
sekitar 20-an persen. Sementara itu, Cina 30-an persen. Kini, Cina
berada di peringkat atas. Dulu Indonesia peringkat 30-an, tetapi
sekarang Indonesia peringkat ketiga. Kontribusi dari industri Indonesia
sebenarnya kecil. Sektor pertanian juga sebenarnya kecil. Namun,
sumbangan utama berasal dari pembakaran hutan dan deforestasi.
Emisi domestik kita 80% berasal dari hutan. Hutan sendiri mengandung
hampir setengah perdagangan karbon yang ada di Indonesia.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 27
08/11/2010 9:03:28
Kotak 2. Hutan dan cadangan karbon dunia
Hutan mengandung hampir ½ dari total cadangan karbon
terestrial dunia
 Total kandungan karbon pada ekosistem hutan pada 2005
≈ 283 Gt, termasuk yang tersimpan sebagai biomassa,
tanah dan kayu mati (FAO 2006);
 Deforestasi tidak hanya melepas karbon yang tersimpan di
atas muka tanah, tetapi menjurus ke dekomposisi massa
akar dan mobilisasi karbon tanah;
 Emisi karbon global (CO2 dan GRK lain) dari perubahan
tataguna lahan, termasuk pada deforestasi tropis ≈ 18 25% dari total emisi tahunan global dari semua sumber
(Stern 2006).
28
Pemangkasan emisi dari deforestasi berbeda dari sekuestrasi
karbon, yang bertujuan menahan CO2 dari atmosfer dan lebih
fokus pada “penyimpanan” dibandingkan sumber emisi.
 Mencegah &/ mengurangi emisi CO2 dari biomassa,
tanah dan kayu mati.
 Rincian mekanisme masih “terus dirumuskan”.
 Fokus pada penghindaran atau pemangkasan emisi CO2
daripada deforestasinya.
Sumbangan Indonesia untuk deforestasi paling tinggi dan paling
besar. Upaya mencegah dan mengurangi emisi CO2, rinciannya sampai
se­karang masih dirumuskan. Ragamnya banyak sekali. Ada yang
dikeluarkan Greanpeace dan lainnya. Saat ini sudah ada 60 proposal
mengikuti.
COP (Conference of Parties) yang pertama kali membicarakan
soal hutan adalah di Marakesh. Namun tidak dalam arti hutan secara
khusus, melainkan menghubungkannya dengan perubahan iklim.
Dalam pembicaraan itu, muncul CDM yang memasukkan pertanian.
Dalam pertemuan itulah untuk pertama kali Food and Agricultural
Organization (FAO) diminta merumuskan definisi hutan yang tepat.
Definisi hutan FAO kemudian mengkategorikan hutan sebagai kawasan
yang minimal mencakup sepuluh persen tutupan hutan. Definisi itu
jauh dari memadai karen tidak menyebutkan spesies apa saja sehingga
perkebunan potensial dianggap hutan juga (lihat sejarah singkat dalam
Kotak 3).
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 28
08/11/2010 9:03:28
Kotak 3. Isu hutan dalam perundingan internasional perubahan iklim
 Pada COP6 (lanjutan) di Bonn, pertama kali hutan di­bicarakan
Hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon (sinks &
sequestration);
Perubahan tataguna lahan (land use change) – emisi
karbon dari sektor kehutanan ◊ LULUCF = Land Use, and
Land Use Change in Forestry;
 Montreal, COP11, 2005, perubahan dramatik konstelasi pihak
pada UNFCCC
Aliansi Negara-negara Pemilik Hutan Tropika (Alliance
of the Rainforest Nations) yang dipimpin oleh Papua
Nugini plus Costa Rica ◊ negara non-Annex ingin punya
mekanisme terpisah untuk dapatkan manfaat finansial;
 COP13 di Bali, populer dengan sebutan REDD COP
Meskipun tidak tertuang dalam agenda utama COP, isu
hutan untuk iklim menguat pada event-event paralel;
PNG dan Brasil memimpin G77+ ◊ skema insentif me­
lindungi “hutan tua” tanpa mengurangi kewajiban negaranegara Annex I ◊ reducing emission from defores­tation in
the developing countries (REDD).
29
Mengapa hutan masuk sebagai salah satu topik pembicaraan?
Pertama-tama, harus diingat bahwa konvensi perubahan iklim
meletakan tanggung jawab historis bagi negara maju. Isu hutan
membuat mereka bisa bernegosiasi sedemikian rupa agar dibebaskan
dari kewajiban historis tersebut. Oleh karena itu, mereka ingin ada
kewajiban negara berkembang. Ada juga Cina dan India yang muncul
sebagai kekuatan ekonomi baru dan potensial menyaingi pertumbuhan
ekonomi negara maju, terutama Amerika Serikat. Selain itu, kehadiran
negara-negara yang pernah besar, misalnya Eropa Timur dan Rusia,
turut mempengaruhi perdebatan ini. Juga ada negara yang sedang
mengalami pertumbuhan. Berbagai peta tersebut dan perangkat yang
disediakan Protokol Kyoto saling mempengaruhi dalam menentukan
isu apa yang bakal muncul ke permukaan.
Dalam Protokol Kyoto terdapat Annex A yang diwajibkan me­
nyediakan dana. Namun, sejak 2000 ada beberapa negara di Annex
A tidak wajib me­nyediakan dana karena beberapa alasan. Singapura
antara lain, tidak wajib karena dianggap skala emisinya tidak besar. Di
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 29
08/11/2010 9:03:28
dalam Protokol Kyoto mekanisme blok pembangunan ada tiga yaitu
capacity building, financial mechanism, dan technology transfer. Blok
pembangunan ini yang selalu menjadi bahan perdebatan (lihat Kotak
4).
Kotak 4. Perdebatan peran negara-negara dalam perundingan pe­
rubahan iklim
Emisi GRK ≈ agresivitas laju pertumbuhan ekonomi & laju
industrialisasi
Memangkas emisi GRK ≈ memperlambat agresivitas laju
pertumbuhan ekonomi dan laju industrialisasi
30
Sumber emisi

Pembakaran BBF, pertanian, produksi barang-barang
indus­trial ≈ negara-negara industri maju

Tata guna lahan, perubahan tata guna lahan, hutan ≈
negara-negara berkembang/ mengindustri di sabuk
tropika
Protokol Kyoto vs langkah solutif membalik krisis klimatik

Mekanisme lentur untuk negara-negara Annex I
1. Annex A = wajib menyediakan dana
2. Annex B = tidak wajib menyediakan dana

Blok yang membentuk (building blocks) Protokol Kyoto:
(1) capacity building; (2) financial mechanism; (3)
technology transfer
Ketika bicara pemangkasan emisi, maka kita segera bicara soal per­
kembangan ekonomi. Pemangkasan emisi sama dengan pemangkasan
laju ekonomi. Ibaratnya seorang perokok disuruh berhenti merokok,
tetapi dengan meminta dia memberi sumbangan. Ada anggapan bahwa
dengan berkurangnya uang maka kebiasaan merokok akan berkurang.
Tahun 2005 ada proposal dari ARFN (Alliance of Rainforest Nations)
berisikan tentang negara-negaraAnnex B ingin mengambil ruang
terpisah. Kedua proposal dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan
tahun 2005. Namun, mekanisme yang dibuat di Bali lebih bagus
dibandingkan dengan tahun 2005. Pada proposal ARFN kita membaca
bahwa non-Annex memberi peluang ke negara maju untuk belanja
karbon dengan murah.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 30
08/11/2010 9:03:28
Kotak 5. ARFN dan keadilan iklim
Proposal ARFN versus keadilan iklim:
a. Proposal ARFN = Negara-negara non-Annex punya
ruang pengambilan keputusan terpisah dari ketiga me­
kanisme Protokol Kyoto;
b. Tuntutan pemangkasan emisi pada 1995 = utang histo­
rikal (ekonomis, politik, ekologis) berupa kewajiban
tanpa syarat bagi negara-negara industri maju untuk
menurunkan emisi “melalui” transfer dana, “penge­
tahuan & kemampuan” dan teknologi.
c. Dua perspektif membaca Bali Action Plan 2007:
1. Membuka ruang politik baru bagi negara-negara
non-Annex;
2. Peluang-peluang kredit karbon murah bagi
negara-negara Annex.
31
Pemangkasan emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi
hutan versus pengendalian faktor-faktor penyebab defores­
tasi dan degradasi hutan
a. Pemangkasan emisi ≈ pelambatan laju industrialisasi
“meng­gunakan” instrumen moneter;
b. Pengendalian faktor penyebab deforestasi dan deg­
radasi hutan = pembenahan penataan ruang, politik
pertanahan, reorientasi industri berbasis tanah &
kekayaan alam, dan sebagainya.
Pemangkasan CO2 mengurangi emisi dari deforestasi tidak sama
dengan mengurangi karbon karena transaksi yang terjadi hanya di atas
kertas sebagai transaksi keuangan. Sementara kalau bicara deforestasi,
maka ada persoalan lain yang mesti dibicarakan, misalnya saja ada
soal tata ruang, relasi industri, dan seterusnya. Jadi, bukan sekadar
alat moneter. Inilah yang menjadi inti perdebatan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pemerintah.
Diskusi
Pertanyaan-pertanyaan peserta mencakup beberapa isu:
Pertama, mengapa dalam pembicaraan mengenai pengurangan
emisi lebih banyak menggerogoti isu hutan? Di mana rasionya? Padahal
kalau bicara iklim, komposisi sebagian besarnya adalah air.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 31
08/11/2010 9:03:28
32
Kedua, kalau kita bicara pengendalian emisi, jika tidak salah
tahun 1978, Indonesia berhak mendapatkan pendanaan dari hutan.
Namun, tidak ada kemajuan berarti. Dalam hal ini, pemerintah hanya
berorientasi untuk mendapatkan uang saja. Di sisi lain, masalah di
bawah seperti tata batas hutan, perkebunan, lahan gambut, dan lainlain, di Kalimantan Tengah belum juga diatasi.
Ketiga, bagaimana membaca HPH restorasi dalam proyek REDD?
Keempat, seberapa penting ketika kita bicara dengan konteks
nasional, jika itu kemudian diatur oleh kekuatan global dan privat?
Kelima, bagaimana komentar narasumber mengenai proyek di
Kapuas Hulu di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan Hak Guna
Usaha (HGU). Ada anggapan bahwa REDD bisa mengusir HGU.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, narasumber me­
ngurai­kan beberapa jawaban. Berkaitan dengan pertanyaan pertama,
menurut narasumber logika yang muncul dari perdebatan tersebut
adalah logika penyerapan dan mencegah emisi. Jika dibandingkan
berbasis sektor, ada beberapa sektor yang memang lebih kecil dibanding
hutan. Laut tidak menjadi target karena barangkali lebih kecil. Dalam
hal ini, motif Papua Nugini dengan aliansi negara tropis terhadap isu
hutan adalah untuk memiliki ruang politik di dalam PBB, tidak hanya
dalam emission trading, CDM, dan Joint Implementation sebagaimana
dalam Protokol Kyoto. Namun, nanti akan ada mekanisme keempat
yang disebut REDD. Indonesia mencoba tampil dengan tema adaptasi
dengan menggunakan laut. Akan tetapi, promosinya kurang karena
kejar tayang. CTI (Coral Triangle Initiative) hasil Manado mencoba
maju, tetapi masih belum kuat juga. Sementara itu, logikanya adalah
logika emisi. Emisi yang dihitung akan berujung pada keluarnya dana.
Terhadap pertanyaan kedua, penjelasannya agak melingkar.
Sebelum sampai ke jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu ada
penjelasan mengenai watak REDD. Dalam hal ini, perlu perjelasan
ekologis versus ekopolitik. REDD sebetulnya cuma selembar kertas. Di
atas kertas ada dua pihak yang menandatangani.
Kotak 6. Watak dan problematik REDD

REDD = selembar kertas perjanjian pihak I mengurangi emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan; pihak II menjamin
pembiayaan; alih teknologi dan pengembangan kemampuan).
 Karbondioksida (CO2) adalah alat tukar dari REDD untuk
men­dapatkan dukungan pembiayaan dari sumber-sumber
yang berlaku.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 32
08/11/2010 9:03:28

Problematika integrasi hutan ke dalam perubahan iklim:

Definisi hutan yang efektif;

Tunggakan persoalan pada isu hutan di berbagai tingkat;

Kegagalan integrasi tatakelola hutan, penegakan hukum
dan pe­negakkan perangkat perdagangan regional/
glo­bal menangani pem­balakan dan balak liar ◊ pasar
“mengendalikan” produk ilegal dibanding yang legal;

Perangkat PK yang berlaku, LULUCF, lebih mengarah kepada
tindakan “penghutanan” (afforestasi/reforestasi atau A/R)
lewat jalur CDM.
Dengan demikian, REDD merupakan alat untuk mencari uang.
Namun, siapa yang mendapat untung dari uang tersebut? Definisi
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan terkait dengan tutupan hutan
atau definisi hutan agak mengerikan karena perkebunan bisa masuk
sebagai kawasan hutan. Artinya, REDD memberi uang tambahan
bagi perkebun sawit. Berkaitan dengan Kalimantan Tengah angka
peruntukan kawasan hutannya adalah 14% untuk APL, sementara
kawasan hutannya 82%. Pemberi izin di Kalteng seharusnya banyak
yang masuk penjara karena sebagian besar kawasannya adalah hutan.
Jika hukum benar-benar dimainkan, maka banyak bupati diperiksa
Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi, masalahnya tidak hanya di
Kalimantan Tengah, tetapi Departemen Kehutanan yang punya kuasa
mengontrol dan menentukan status kawasan hutan.
Soal lain adalah muncul tuntutan persoalan pusat daerah,
perusahaan dengan masyarakat. Kegagalan tata kelola hutan dan
kesulitan menghadapi pembalak liar. Hal ini sulit untuk ditangani
karena pasar lebih suka membeli produk ilegal (lihat kotak 7).
33
Kotak 7. Ihwal konsep, rujukan dan tatakelola pengelolaan hutan
Lingkup yang selalu berkembang tetapi selalu jauh dari cukup
◦ Deforestasi = legal? ilegal?
◦ Degradasi hutan = alami? peladangan berpindah?
◦ Peningkatan stok karbon = perkebunan skala besar?
hutan tanaman industri?
◦ Ekosistem gambut = bukan stok, tetapi aliran (flow).
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 33
08/11/2010 9:03:28
Tingkat rujukan
◦ Masa lalu (historikal)
◦ Sekarang (struktural)
◦ Masa depan (proyeksi)
Tatakelola (governance)
◦ Aturan dan hukum
◦ Kelembagaan
◦ Pembiayaan
◦ Pengelolaan risiko (masih pada risiko investasi, be­
lum masuk ke risiko tidak terhindarkan yang akan
dihadapi masya­rakat sekitar hutan).
34
Sementara itu, skema LULUCF tampaknya akan dipakai dalam
isu ke­hutanan. Dalam pengalaman CDM, kedudukan negara dengan
swasta itu sama. Pemrakarsa adalah pengusaha dari negara maju yang
duduk setara dengan negara berkembang. Situasi itu tidak disukai oleh
berbagai LSM di belahan selatan.
Soal lain adalah masalah deforestasi untuk produk kayu legal dan
ilegal. Menurut perhitungan FAO, kegiatan Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) di Indonesia lebih banyak yang ilegal. Apalagi pada era Suharto
dengan model deforestasi terpimpin, penghancuran hutan sangat
sistematik. Ini pun masih belum diambil contoh buruknya penataan
ruang era Suharto.
Terakhir, mengenai perkebunan dan lahan gambut. Gambut itu
dinamik sehingga sulit. Terkena panas saja, ia akan melepas emisi
apalagi kalau dibakar. Penelitian terakhir, hasilnya menarik. Kelihatan
kalau tentang gambut, tidak bisa bicara emisi kotor. Hal ini dikarenakan ada yang keluar sebab intervensi manusia dan alami. Variasi
kedalamannya sangat luar biasa.
Sejauh ini berlaku dua model baseline yakni masa lalu hingga
sekarang dan masa depan. Misalkan, negara maju meng-klaim
deforestasi sejak tahun berapa di masa lalu hingga sekarang. Masa
depan misalnya adalah tahun 2012 dan ke depannya. Proyek-proyek
ini ditujukan atas kawasan hutan yang izinnya sudah terlanjur keluar
atau sudah ada rencana pembukaan hutan. Berdasarkan hal itu,
ada beberapa risiko sosial yang tak terhindarkan. Ada yang khawatir
masyarakat tidak bisa bertani dan tidak bisa masuk hutan. Namun,
risiko tidak terhindarkan itu tidak bisa diprediksi lebih baik. Sementara
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 34
08/11/2010 9:03:28
itu, aturan di Indonesia masih belum jelas. Yang baru ada saat ini
adalah Permenhut yang hanya akan berlaku pada tingkat departemen
dan pengusaha. Sementara status lembaga sampai sekarang masih
tarik ulur. Kalimantan Tengah akan membuat Peraturan Daerah (Perda)
tentang kelembagaan, tetapi belum tahu situasinya di propinsi lain.
Selain itu ada pembicaraan mengenai CCTF (Climate Change Trust
Fund). Pembiayaan sejauh ini ada tiga sumber, yakni funding, pasar,
dan campuran. Sumber funding adalah Australia. Sementara Norwegia
belum ke pemerintah, tetapi memberikan ke masyarakat sipil. Ausaid
hanya membiayai satu demonstration activities untuk development
accounting. Jepang sudah bersedia. Prancis akan masuk ke pertanian.
Yang belum ada yaitu pasar. Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Barat mempunya kontak dengan the new forest. Jimmy Morgan juga
terlibat dalam skema pasar, tetapi cenderung memasukkan pertanian
karena dia melihatnya sebagai pabrik asap. Supaya tidak menghasilkan
pabrik asap, perlu dilakukan perubahan. Mereka menyerah dan akan
memperbaiki metodenya. Pasar akan meng-offset proyek mereka.
Landscape ecosistem yang merupakan jabaran untuk pembiayaan hibrid
sampai sekarang belum ada. Hibrid ala IDF (Institutional Development
Fund) berbeda dengan Greenpeace. Menurut IDF tahapannya adalah
perjanjian bilateral baru ke pasar. Kalau Greenpeace membolehkan
pasar, tetapi negara maju tidak boleh menghilangkan tanggung
jawabnya.
Untuk pertanyaan ketiga, HPH restorasi tidak ada kaitannya dengan
emisi, tetapi mereka melihat pendanaan dari REDD. Lalu mereka
menelikung dengan upaya agar skema yang diusulkan tidak bicara
biomassa, tetapi soal karbon. Metodenya dari CBS dengan cara mereka
merestorasi, tetapi tidak melindungi. Mereka mengklaim bahwa
mereka lebih memperbaiki ekosistem. Namun, saya tidak mengerti
bagaimana mereka akan klaim REDD. Sebelum ada REDD pun, mereka
sudah mulai. Voluntary mechanism-nya belum ada. Pertanyaannya
mengapa ada orang mau investasi di situ? Itu yang mesti digali. Ada
kecurigaan, ini adalah upaya untuk mengunci lahan.
Di sisi lain kalaupun dalam standarnya mungkin ada biomassa,
namun ada pertanyaan apa standar yang digunakan untuk menurunkan
emisi. Jika menengok dan membaca sebuah proposal, barangkali
aspek-aspek di bawah ini akan kelihatan (lihat tabel 1).
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 35
35
08/11/2010 9:03:28
Tabel 1. Ragam stok karbon
36
Ada pohon memutih dan ada yang ditebang, tetapi ada anakan. Ini
stock karbon, bisa karbon di atas tanah, karbon dari proses penguraian,
atau karbon tanah. Namun, bukan berarti karbon bisa segera dijual.
Karbon akan disertifikasi dulu. Sampai saat ini belum ada standar.
Klaimnya baru mengacu pada masa lalu, masa sekarang, dan masa
depan. Angka perhitungan tersebut akan dibawa ke satu lembaga
sertifikasi yang akan mengesahkan. Jadi, karbon itu adalah alat tukar
yang akan dibawa, bisa oleh brokernya atau langsung ke pasar. Dalam
pandangan pasar yang penting ada wilayah dan kesepakatan.
Pertanyaan keempat, dalam konteks pemenuhan target, per­
kembangan di Bangkok menunjukkan bahwa negara-negara termasuk
Uni Eropa mengusul­kan agar Protokol Kyoto tidak perlu diperbaiki. Yang
diperlukan adalah bilateral agreement. Kalau multilateral bentuknya
akan seperti pasar. Dalam hal ini, Amerika tidak butuh Protokol Kyoto
dan Copenhagen. Akan banyak proyek di Indonesia yang bilateral,
tetapi namanya perdagangan karbon. Kyoto Trading System pun untuk
flexible mechanism tidak dibicarakan di Bangkok. Jika tiga skema Kyoto
saja tidak dibicarakan, bagaimana membicarakan complience. REDD
pada hakekatnya membahayakan masyarakat. Oleh karena itu, bicara
aspek complience saja tidak cukup karena market bisa juga complience.
Dalam kaitannya dengan peran negara, sejak dari Montreal, ujungujung­nya pasar. Skema-skema ini memang tidak keluar dari model
pembangunan yang ada. Kalau konvensi benar-benar dijalankan serius
saja sebetulnya sudah ada langkah-langkah konkret, tetapi itu tidak
pernah terjadi. Yang perlu kita ingat juga, ada satu pengguna bahan
bakar yang paling boros, tetapi tidak pernah terbahas yaitu militer.
Itulah PBB.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 36
08/11/2010 9:03:28
Barangkali perlu untuk bertindak serius betul di lapangan. Di
Thailand ada lima petani dituduh telah bertanggung jawab terhadap
perubahan iklim. Mereka dianggap menggunakan hutan negara
yang mengakibatkan pelepasan emisi. Jaringan LSM di Thailand
menggunakan kasus itu untuk kampanye mengenai pemerintah yang
tidak mengetahui tentang perubahan iklim. Yang mengkhawatirkan di
Indonesia adalah illegal logging. Polisi bisa memakai illegal logging
untuk menuduh rakyat.
Berkaitan dengan Kapuas Hulu, APL bukan merupakan ke­
wenangan Depar­temen Kehutanan. Dia tidak masuk di hutan. Dalam
hubungannya dengan carbon pool, ada konsep bahwa karbon tersebut
milik masyarakat. Menurut saya, ini tidak masalah karena masyarakat
telah mengklaim karbon. Jadi masyrakat penerima manfaat terbesar.
Akan tetapi, kalaupun masuk di kewenangan daerah, maka dia harus
memakai aturan yang ada. Ada kerja sama dengan pemerintah daerah
untuk menetapkan status kawasan sebagai kawasan hutan. Artinya,
hal itu memperbesar kontrol Departemen Kehutanan. Namun, REDD
untuk mengusir HGU, saya tidak tahu caranya.
37
Skenario perundingan
Jika mengacu pada skenario keuangan CDM Kehutanan dari
Protokol Kyoto, maka ada dua skema besar yakni pasar dan sukarela.
Kemungkinan besar adalah muncul skenario baru yang mencakup CDM
pertanian (lihat box di bawah).
Skenario 1: Protokol Kyoto gagal disempurnakan ◊ tidak
ada Komitmen Periode Kedua & tidak ada protokol baru
dari COP15
◦ Skema REDD yang mengaju kepada Protokol Kyoto
tidak ada, yang banyak muncul lebih berbasis
pasar & bersifat sukarela (voluntary)
◦ Muncul skema baru yang lebih akomodatif ◊
AFOLU (Agriculture, Forest and Land Use)
Skenario II: Protokol Kyoto disempurnakan ◊ ada Komitmen
Periode Kedua, tetapi tidak ada protokol baru dari COP15
◦ Skema REDD+ dilaksanakan ◊ UN-REDD (untuk
fund-based baik compliance maupun voluntary)
bersanding dengan FCPF (untuk voluntary-based)
◦ REDD+ = sumber pembiayaan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 37
08/11/2010 9:03:28
Skenario III: Protokol Kyoto disempurnakan & ada protokol
baru dari COP15
◦ ??????
Skema REDD plus tidak cuma menyangkut deforestasi dan deg­
radasi, tetapi juga stok karbon. Skema ini diangkat oleh India dan
kemudian bisa menggaet Malaysia. Sampai sekarang, REDD yang
difasilitasi oleh UN bukan sebuah mekanisme wajib dan final, tetapi
didesain sebagai insentif kepada negara berkembang. Untuk fundbase
sponsornya banyak. Di Indonesia, fund akan bersanding dalam ICTF
dengan volunteraly base. Namun, skenario REDD plus bukan alat untuk
mengontrol deforestasi. Namun, hanya fund raising.
38
Diskusi atas skenario
Beberapa tanggapan atas skenario di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, ada kecenderungan perubahan skenario yang terusmenerus. Ketika satu skenario menguntungkan suatu negara, maka
negara tersebut cenderung memilih skenario itu. Di sisi lain, masyarakat
sipil sulit mempunyai opsi yang kokoh jika perubahan ini terus berlanjut
dan rumit. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami proses ini
agar bisa memberi tanggapan yang jelas dan solid.
Menurut narasumber, cara memulai pemahaman yang paling
sederhana adalah dengan melihat bahwa emisi rumah kaca berpengaruh
pada laju ekonomi. Kalau negara maju disuruh menurunkan emisi,
maka mereka akan menurunkan laju ekonomi. Mereka tak mau me­
nurunkan emisi. Oleh karena itu, PBB mencoba meningkatkan efisiensi
melalui pertukaran emisi. Skema pertukaran ini lebih ngawur lagi.
Misalnya, menurut perhitungan IPCC negara A memiliki kelebihan
emisi, sementara negara B jatah emisinya masih kurang. Berdasarkan
baseline yang mengacu pada standar PBB, negara A harus menekan
laju emisinya di bawah level yang sekarang ini. Mereka hanya mampu
menurunkan sedikit. Oleh sebab itu, negara A melakukan perjanjian
dengan negara B agar negara B membeli sebagian emisi negara A
sehingga jatah negara B sesuai dengan jatah yang ditetapkan PBB.
Secara factual, emisi negara A tidak turun karena yang terjadi hanya
memindahkan emisi di atas kertas, bukan tindakan konkret.
Pola perdagangan emisi mirip dengan REDD. Tidak ada penurunan
emisi domestik negara maju secara nyata. Dalam sejarahnya, intervensi
moneter dalam perdagangan karbon dimulai di Amerika lewat sulfur
trading. Tujuannya adalah untuk mengundang partisipasi kalangan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 38
08/11/2010 9:03:28
bisnis agar target pengumpulan dana bisa tercapai. Kreditnya dijual
murah untuk mengundang perusahaan besar bergabung. Namun
praktiknya, perusahaan tidak pernah membayar sehingga kreditnya
gratis. Oleh karena itu, perdagangan karbon sebetulnya satu skema
yang gagal. Salah satu alasannya adalah karena menggunakan
instrumen moneter.
Tanggapan berikutnya adalah mengenai model yang paling ideal
dalam skema-skema ini. Selanjutnya, kelembagaan seperti apa yang
baik di tingkat nasional dan daerah.
Menurut narasumber, skema yang ideal adalah skema konvensi
1992 yaitu upaya meninggalkan paradigma ekonomi politik yang
agresif dengan memulai dari bawah. Small is beautiful. Paradigma
pembangunan itu harus dikoreksi. Namun, mulai tahun 1995 sampai
1997, faktanya negara-negara tidak bisa menurunkan laju emisi. PBB
diminta memfasilitasi upaya-upaya konkret. Perpecahan dimulai
dari sana. Ada yang percaya PBB sebagai solusi dan ada yang tidak.
Negara yang terlibat dengan PBB harus masuk pada hal yang rumit ini.
Sedangkan yang di luar tidak bisa apa-apa.
Realitasnya rezim di Indonesia ada keinginan kuat agar kemajuan
industrial negara difotokopi habis dan tuntas. Sejarahnya panjang.
Mulai dari penanaman modal asing dalam Undang-Undang Penanaman
Modal Asing. Kemudian mengacu pada interpretasi atas pasal 33 UUD
1945. UU yang lain pun mengekor untuk memberi karpet merah
bagi pembangunan eksploitatif yang dimonopoli negara. Model ini
yang harus diubah dari yang state based menjadi community based.
Namun, agak mustahil kalau perubahan itu dimulai dari negara. Lebih
memungkinkan jika dimulai dari kampung. Ada proses belajar dari
bawah, dari kelompok yang rentan dengan intervensi negara. Akan
tetapi, radar masyarakat sipil adalah radar donor, dimulai dari proposal
dan sebagainya.
Barangkali yang bisa kita lakukan adalah merespon masalah di
bawah. Bagaimana supaya risiko tidak besar dan manfaatnya aman.
Tidak perlu besar. Bentuk lembaganya apa, tidak ada model baku yang
bisa diandalkan. Bisa dimulai dengan menyusun check list masalah.
Misalnya, melihat kejelasan payung hukum. Kemudian membuat
daftar masalah. Selanjutnya, memeriksa gap pengetahuan tentang
REDD. Jangan-jangan, setingkat gubernur saja tidak tahu tentang risiko
di tingkat masyarakat. Kemudian memperhatikan tentang tata kelola.
REDD sangat beda dengan advokasi biasa. Dia mencakup lintas
sektor. Harus ada data base dan secara prinsipil tidak bisa hanya
mengandalkan FPIC (Free and Prior Informed Consent). Konteks
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 39
39
08/11/2010 9:03:28
40
pergulatan REDD jauh lebih rumit daripada yang kita pikirkan.
Lembaga-lembaga internasional turun langsung dalam isu ini. FAO
misalnya, terlibat di dalam sirkus perubahan iklim antara tahun 19981999 kemudian masuk dalam lingkaran LULUCF. Dalam isu ini, target
FAO adalah booming CDM pertanian yang mencakup perternakan
skala besar di Amazon dan macam-macamnya. FAO kemudian
memperkenalkan AFOLU yang menggabung LULUCF dengan REDD. Jika
skema REDD plus masuk, maka AFOLU tidak jadi. Namun kalau tidak jadi,
maka AFOLU akan dibawa ke skema-skema bilateral yang complience.
Dia pasti akan berjalan karena negara berkembang membutuhkan
insentif. AFOLU tidak butuh Protokol Kyoto dan Copenhagen.
Dalam konteks Indonesia, yang perlu didorong adalah per­
lindungan HAM diakui dalam proses pembangunan. Maka, kita tidak
hanya bicara soal menguji pasar. Dalam hal ini, selain harapan adanya
komitmen yang lebih kuat dari Protokol Kyoto, skenario hukum
Indonesia perlu digarap agar ada pengakuan hak. Namun kalau
melihat delegasi Indonesia ada keraguan luar biasa, harapan-harapan
tersebut sulit terwujud. Kebijakan kita juga menerima semua sumber.
Pasar , fund , hybrid pun diterima. Beberapa gerakan advokasi sudah
dilakukan, tetapi banyak yang sudah terbuai dengan tawaran manfaat
REDD. Padahal, isu hak belum diakomodasi. Di Poznan, isu masyarakat
adat pernah disebut dalam pidato Menteri Lingkungan Hidup. Namun,
setelah ada semacam tekanan dari NGO, Indonesia akan dimasukan
dalam fossil of the day.
Di lapangan, daerah merespon dengan cepat. MoU antara
pemerintah daerah dengan broker REDD sudah terjadi di beberapa
tempat. Latar belakangnya berbeda di masing-masing daerah. Saat
ini, total ada 18 kontrak di Jambi, Gorontalo, dan Papua. Namun kalau
melihat isi kontrak, semuanya copy paste. Hanya beda nama gubernur
dan daerah. Yang melakukan itu perusahaan yang sama.
Diskusi kelompok
Fasilitator mengantar sesi ini dengan memaparkan beberapa istilah
yang masih sulit dan membutuhkan diskusi ekstra di luar sesi. Selain
itu, peserta dibagi dalam tiga kelompok yang mendiskusikan skenarioskenario yang bakal terjadi dalam perundingan di Copenhagen. Hal itu
berdasarkan apa yang sudah diulas narasumber.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 40
08/11/2010 9:03:28
Presentasi hasil diskusi
Kelompok skenario 1:
Kelompok ini membahas skenario mengenai Protokol Kyoto gagal
disempurnakan. Beberapa hasilnya adalah sebagai berikut:
41
Akibat masuknya AFOLU, maka perkebunan skala besar didorong
untuk menjadi pihak utama dalam skema ini. Penanam modal akan
masuk dengan cepat lewat fasilitas kebijakan untuk mempermudah
perjanjian bilateral. Konflik sosial sudah pasti akan terjadi karena ada
perebutan lahan dan kawasan. Masyarakat akan kehilangan tanah
yang diikuti oleh sejumlah masalah sosial. Misalnya, berkaitan dengan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 41
08/11/2010 9:03:32
sistem produksi, dari bertani menjadi buruh perkebunan. Di sini,
masyarakat hanya menjadi buruh. Selain itu, kriminalisasi rakyat akan
semakin meningkat. Petani, yang akan melakukan pertanian, akan
dikriminalisasi atas nama perubahan iklim.
Kelompok skenario 2
Protokol Kyoto disempurnakan. Konsekuensinya adalah:
42
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 42
08/11/2010 9:03:34
Tanggapan narasumber
Diskusi kedua kelompok ini menampilkan tafsiran yang bagus.
Namun, belum berhasil memvisualisasikan skenario risiko. Misalnya,
risikonya adalah konflik. Perlu dibeberkan konflik apa, cakupannya
seperti apa, dan akibat-akibatnya bagaimana. Kalau kita gagal
memvisualisasikan risiko, maka sulit untuk memetakan di mana letak
krisis. Risiko birokrasi juga perlu diuraikan. Korupsi misalnya. Makin
banyak aturan, makin besar peluang korupsi.
Investor butuh kepastian hukum karena mereka tidak tanam
saham sia-sia. Oleh karena itu, hukum di Indonesia pasti lebih
mendukung investor daripada masyarakat. Investor pasti butuh
kepastian tanah. Pemerintah menyanggupi itu dengan sertifikat. Situasi
ini perlu diartikulasikan dengan baik ke masyarakat. Bila menggunakan
bahasa makro dan normatif, tidak akan sukses. Seandainya AFOLU
diterima, maka pertanian akan masuk ke skala industri. Logikanya
adalah menyediakan lapangan kerja, pelibatan modal swasta, dan
pembangunan infrastruktur. Maka, petani naik kelas menjadi buruh
pabrik.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 43
43
08/11/2010 9:03:34
4. Perubahan Iklim dan REDD
dalam Hukum dan Kebijakan
Internasional
Pengantar
44
Masalah lingkungan hidup memberikan pengaruh besar pada
perubahan be­berapa konsep dalam Hukum Internasional. Konsep
kedaulatan negara tidak bisa lagi mutlak sebagaimana dipahami
dulu. Setiap negara mempunyai hak sama untuk membangun,
tetapi tidak boleh membangun yang merusak lingkungan hidup di
luar yurisdiksinya. Dibahas pula tentang perjanjian inter­nasional:
latar belakang, bentuk, dan keterikatannya pada negara. Disisir
pula struktur perjanjian UNFCCC dengan mengetengahkan tonggaktonggak perundingan internasional dalam masalah lingkungan hidup
dan beberapa perundingan penting di bawah payung UNFCCC. Latar
belakang di­masukkannya hutan dalam strategi mitigasi perubahan
iklim, beserta mekanisme perwujudannya seperti REDD. Pelaksanaan
skema REDD seharusnya mengambil pelajaran dari skema CDM. Tema
ini disampaikan oleh Andreas Pramudianto, S.H. dari PSL UI [Pusat
Studi Lingkungan Universitas Indonesia].
Presentasi narasumber:
Tugas saya dalam sesi ini adalah membicarakan soal perubahan
iklim dan hukum lingkungan hidup internasional. Sesi ini akan
mencoba untuk mengulas secara normatif, hukum lingkungan
internasional mengenai perubahan iklim dan cikal bakal masuknya
REDD dalam perdebatan hukum. Setidaknya, ada dua instrumen
internasional yang akan dibahas pada topik ini, yakni Konvensi
Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Pertanyaan atas dua instrumen
ini adalah apa saja pemikiran dasarnya terutama berkaitan dengan
isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pada bagian mana isu
hutan, khususnya REDD menemukan dasar hukumnya, bagaimana
cara mengimplementasikannya berkaitan dengan hak masyarakat
dan keberlanjutan hutan. Juga, bagaimana status Indonesia terhadap
keduanya.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 44
08/11/2010 9:03:34
Hukum lingkungan internasional
Pertama, kita harus tahu dulu di dalam pergaulan internasional,
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sistem hukum
tersendiri yang dikenal dengan sistem hukum nasional. Dalam sistem
hukum internasional, subjek hukumnya adalah negara nasional
yang memiliki perangkat seperti sistem hukum, budaya, sosial, dan
sebagainya, termasuk pengelolaan kekayaan alam. Untuk mempelajari
lebih jauh Protokol Kyoto, tentu dasarnya adalah pengetahuan
mengenai hukum internasional yang dihubungkan dengan hukum
lingkungan hidup.
Kedua, selama ini hukum internasional yang tradisional masih
ber­patokan pada kedaulatan wilayah atau teritorial yang dicirikan
dengan tiga prinsip: kedaulatan, kemerdekaan, dan persamaan.
Beberapa negara maju, contohnya Amerika Serikat, memanfaatkan
benar ketiga prinsip dasar ini. Misalnya, Amerika menerapkan konsep
ekstrateritorial. Jika suatu negara tidak merdeka maka Amerika akan
membantu memerdekakannya. Padahal, setiap negara pada dasarnya
mempunyai kedaulatan penuh akan hak-haknya.
Dalam perkembangannya terjadi pergeseran dalam hukum
internasional. Pertama, pergeseran itu terjadi karena ada per­
kembangan dalam men­definisikan kedaulatan negara. Selama ini
kedaulatan negara dipahami dalam batas teritorial yaitu angkasa, laut,
dan tanah.
Namun ketika kita membicarakan tentang lingkungan hidup,
definisi mutlak kedaulatan tidak dapat lagi dipergunakan. Lihat misal­
nya, masalah asap akibat kebakaran hutan. Sebuah negara yang
berdaulat tidak bisa mencegah masuknya asap kebakaran dari negara
lain. Apakah negara itu tetap berdaulat? Pengertian kedaulatan dalam
hukum internasional yang tradisional termasuk dalam arti jika ada
orang asing masuk ke wilayah suatu negara, maka negara tersebut
dapat melakukan usaha untuk mencegahnya. Misalnya, dengan me­
ngerahkan militer. Namun ketika asap masuk, tidak ada kekuatan
militer yang dapat mencegahnya. Maka, mendefinisikan kembali
pengertian kedaulatan negara menjadi sangat penting.
45
ASAS 21
Deklarasi Stockholm 1972
“Sesuai dengan piagam PBB dan asas-asas hukum
inter­nasional, semua negara mempunyai hak kedaulatan
untuk menggali sumber-sumber alamnya sesuai dengan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 45
08/11/2010 9:03:34
kebijaksanaan lingkungan mereka masing-masing dan
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa
aktivitas dalam kawasan atau penguasaan mereka tidak
menimbulkan kerusakan lingkungan negara-negara lain
atau wilayah-wilayah di luar batas yurisdiksi nasional
mereka”.
Kalimat di atas menegaskan bahwa aktivitas pembangunan
diperbolehkan sepanjang tidak menimbulkan kerusakan di luar batas
yurisdiksi negaranya. Kalimat ini harus kita ingat. Jika ada peserta
dari Kalimantan yang melakukan kegiatan pembakaran hutan untuk
dijadikan ladang, jangan sampai menimbul­kan kebakaran yang asapnya
mengakibatkan kerugian di Malaysia.
Hal yang sama bisa ditemukan dalam Deklarasi Rio:
46
PRINSIP 2 DEKLARASI RIO 1992
“ Negara-negara berdasarkan Piagam PBB dan prinsipprinsip hukum internasional, mempunyai kedaulatan untuk
memanfaatkan sumber daya alam mereka sesuai dengan
kebijakan di bidang ling­kungan dan pembangunan dan
berkewajiban pula agar ke­giatan yang berada dalam wilayah
dan wewenangnya tidak akan menyebabkan timbulnya
kerusakan terhadap lingkungan di negara lain dan di luar
wilayah yurisdiksi nasional.”
Jadi, secara teori suatu kedaulatan akan berakhir dengan muncul­
nya kedaulatan negara lain.
Perubahan penting Hukum Lingkungan Internasional
Hukum Lingkungan Internasional merupakan cabang dari
Hukum Internasional.
Hukum internasional tradisional yang selama ini telah ber­
kembang didasarkan pada konsep kedaulatan wilayah
(territorial soverignity concept) yang dicirikan oleh tiga
prinsip dasar yaitu kedaulatan (soverignity), kemerdekaan
(freedom), dan persamaan (equality). (Kusumaatmadja:
1976) (Weiss: 1992).
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 46
08/11/2010 9:03:34
Kini mengalami beberapa pergeseran diantaranya :
– Mendefinisikan kembali konsep kedaulatan negara
– Perubahan orientasi kepentingan nasional
– Peranan ilmu pengetahuan
– Integrasi antara lingkungan hidup dan pembangunan
– Terbukanya akses internasional
– Meningkatnya kesadaran internasional
Kedua, ada perubahan orientasi kepentingan nasional. Selama ini
ber­patok pada kesejahteraan masing–masing negara. Namun begitu ada
masalah lingkungan hidup, masalahnya bukan lagi semata-mata ekonomi.
Akan tetapi, bagaimana menyelamatkan bumi dari pencemaran. Dari
kesadaran ini muncul istilah pembangunan berkelanjutan.
Ketiga, pergeseran adalah peranan ilmu pengetahuan. Ilmu dan
teknologi sudah demikian berkembang sehingga hampir semua data
di bumi sudah bisa diketahui. Jika kita mau tahu kondisi saat ini di
lokasi yang ada di Amerika dan sebagainya, kita bisa memanfaatkan
fasilitas Google Earth yang versi berlangganan. Jika tidak mau ber­
langganan, ada Google Earth gratis. Namun, dengan peta tahun 2004.
Dengan fasilitas itu pula kita bisa memantau kondisi hutan. Jadi,
ilmu pengetahuan akan memberikan pengaruh besar seperti halnya
pengetahuan tentang perubahan iklim.
Negara-negara membentuk IPPC yang terdiri dari sekumpulan
ilmuwan dunia. IPPC menyelenggarakan pertemuan setahun tiga kali
hanya untuk mem­bahas kira-kira adakah peningkatan suhu di muka
bumi. Kalau melihat laporan IPPC keempat, IPPC membuktikan kirakira di mana spot-spot yang terjadi peningkatan suhu di muka bumi.
Bukti ilmiah ini menjadi tidak ter­bantahkan bahwa perubahan iklim itu
sedang terjadi.
Hal yang sama terjadi dalam kasus lapisan ozon. Pada tahun
1985, sekelompok ilmuwan melakukan survei ke Kutub Utara untuk
mengukur lapisan ozon bumi. Mereka menemukan lapisan itu sudah
bolong. Hasil temuan ini menjadi dasar pembentukan konvensi lapisan
ozon.
Selama ini lingkungan hidup dan pembangunan selalu dianggap
ber­tolak belakang. Investasinya tinggi, tetapi tidak mau mengeluarkan
biaya lingkungan karena mahal. Mungkin bisa lebih besar daripada
biaya modal. Pengusaha besar tidak mau, apalagi pengusaha kecil.
Hal ini disebabkan mereka berusaha mencari untung, bukan untuk
membersihkan lingkungan.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 47
47
08/11/2010 9:03:34
48
Pemikiran awalnya mungkin seperti itu, tetapi sekarang tidak bisa
lagi dipakai. Biaya lingkungan harus diinternalisasikan ke dalam modal.
Jadi, negara maju yang punya industri besar dan berinvestasi di negara
berkembang wajib mengelola lingkungan.
Keempat, terbukanya akses internasional. Berapa menit dari
Jakarta ke New York? Cukup dua menit dengan hanya memencet
Google. Lalu lihat pakai Youtube. Segala informasi kota itu tersedia:
hotel, restoran, museum, dll. Itu terjadi.
Dalam suatu pertemuan internasional misalnya, tiba-tiba ada
yang menyampaikan bahwa hutan Indonesia itu sudah rusak. Kita
harus menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan teknologi informasi
bisa membantu pertanyaan itu. Dengan data yang tersedia cepat dan
lengkap, maka kita bisa memperdebatkan data yang mengatakan hutan
Indonesia sudah rusak. Di situ mulai debat soal data. Kejadian itu pernah
terjadi saat perundingan di ITTO. Waktu itu Jerman meminta Indonesia
mengklarifikasi hutan rusak. Beruntung ada delegasi Indonesia yang
pengusaha, yang membawa data hutan, sehingga dapat dilakukan
klarifikasi.
Kelima, meningkatnya kesadaran internasional tentang lingkungan
hidup. Peranan organisasi di luar negara makin membesar, seperti
badan multilateral maupun NGO. Sudah begitu agresifnya mereka
sehingga sekarang bisa ikut dalam konferensi internasional. Dalam
Perundingan Lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, hanya
negara saja yang boleh hadir dalam konferensi. Organisasi di luar negara
hanya ada di luar arena konferensi. Namun ketika Konvensi Bumi 1992
di Rio de Janeiro, Brasil, dan KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 di
Johannesburg, banyak pihak selain negara yang ikut dan terlibat dalam
dua konferensi internasional itu.
Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum internasional juga dapat didefinisikan
sebagai pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang
diatur oleh Hukum Internasional atau setiap negara, badan
hukum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan
kewajiban dalam hubungan internasional. (Huzna : 2007)
Dalam konsep hukum internasional tradisional hanya
negaralah yang menjadi subjek hukum internasional.
Namun, beberapa konferensi internasional, pihak di luar negara
masih belum boleh terlibat. Di dalam hukum internasional ada yang
dikenal dengan subjek hukum internasional, yakni badan hukum atau
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 48
08/11/2010 9:03:34
manusia atau individu yang memiliki hak dalam hubungan internasional.
Contoh mereka yang menjadi subjek hukum internasional adalah
diplomat atau orang-orang yang terlibat dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan, seperti Genosida Milosevic, dan lain-lain.
Pasal 34 (1)
PIAGAM MAHKAMAH INTERNASIONAL
“Hanya negaralah yang boleh menjadi pihak dalam perkara di
muka Mahkamah.”
Warga negara biasa tidak bisa dianggap sebagai subjek hukum
inter­nasional. Ketika terjadi sengketa yang melibatkan individu dan
atau negara, seorang warga negara tidak dapat membawa sengketa
itu ke Mahkamah Inter­nasional. Dia harus meminta negara untuk
melibatkan diri ke dalam seng­keta itu agar bisa diproses di Mahkamah
Internasional. Mahkamah Internasional ini hanya menerima sebuah
perkara jika negara-negara sepakat untuk membawa sengketa
tersebut ke Mahkamah Internasional. Jika tidak ada kesepakatan,
maka penyelesaian perkaranya memakai jalur arbitrase atau memakai
jalur hukum nasional.
49
Tonggak-tonggak konferensi internasional lingkungan hidup
Ada beberapa tonggak konferensi internasional yang membicarakan
lingkungan hidup. Pertama, Konferensi PBB mengenai Lingkungan
Hidup Manusia (Konferensi Stockholm, 1972) yang menghasilkan
Deklarasi Stockholm dan Rekomendasi Rencana Aksi kepada 109
negara. Di dalam Deklarasi Stockholm tersebut, disinggung masalah
perubahan iklim serta rekomendasi kepada salah satu badan PBB, IMO,
untuk menangani masalah perubahan iklim. Dalam perkembangannya
nanti, IMO serta UNEF membentuk IPPC. Sepuluh tahun sesudah
Konferensi Stockholm, diadakan Stockholm Plus 10 yang diadakan di
Nairobi pada tahun 1982, yang dikenal sebagai Konferensi Nairobi.
Pada tahun 1992, diadakan perundingan di Rio de Janeiro bernama
KTT Rio atau KTT Bumi. Perundingan itu merupakan perundingan
lingkungan hidup di tingkat internasional yang dipandang paling
penting. KTT Rio ini menghasilkan beberapa dokumen penting, seperti
Deklarasi Rio, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Prinsip-prinsip Hutan,
agenda 21, dan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 49
08/11/2010 9:03:34
50
Lima tahun setelah KTT bumi, setelah tidak ada perkembangan
berarti, diadakan lagi KTT New York 1997 yang juga dianggap sebagai
pemanasan sebelum KTT Pembangunan Berkelanjutan 2002 di
Johannesburg, Afsel. Dalam KTT New York ini kembali dituntut komitmen
negara-negara maju mengenai soal lingkungan hidup. Dalam KTT
Johannesburg sendiri tidak ada kesepakatan yang mengikat. Negaranegara maju juga kelihatan ragu dengan komitmen mereka, terutama
mengenai bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang yang
diperhitungkan dari GDP mereka. Bahkan, Amerika Serikat, yang waktu
itu dipresideni oleh George Bush, hanya diwakilkan oleh Menteri Luar
Negerinya. Itu pun hanya datang untuk pidato selama kurang lebih
lima menit dan kemudian ke luar arena untuk jalan-jalan. Sikap ini
jelas jauh dari mencerminkan kepedulian. Padahal, delegasi lain hadir
sejak pagi sampai sore. Akibatnya, USA menjadi negara yang tidak care
terhadap lingkungan.
Sebenarnya selain konferensi tersebut, ada banyak konferensi atau
pertemuan internasional yang kalau dikumpulkan mungkin lebih dari
400. Oleh karena itu, hanya yang penting saja yang saya kemukakan di
sesi ini.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 50
08/11/2010 9:03:35
Konferensi lain yang juga penting, walaupun tidak secara langsung
bicara mengenai lingkungan hidup, namun memiliki kedekatan erat
adalah KTT Millenium di New York pada tahun 2000. KTT Millenium ini
menghasilkan MDG’s, yang targetnya adalah paling tidak setengah dari
jumlah penduduk di dunia yang tidak mendapatkan akses air bersih
dan kesehatan, harus mendapatkan akses pada dua hal penting itu
pada tahun 2012. Target ini juga mengikat kepada Indonesia. Presiden
SBY sudah mengeluh, tidak mungkin Indonesia mencapai target ini
karena cukup berat. Apalagi jika tidak ada bantuan dari negara-negara
maju.
51
Perjanjian internasional
Sebelum masuk ke topik perjanjian internasional, akan dibahas
mengenai sumber-sumber hukum internasional.
Dalam Piagam Mahkamah Internasional Pasal 38 disebutkan:
Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional (International
Court of Justice)
Beberapa sumber hukum internasional primer dan sekunder
sebagai berikut :
1. Bagi Mahkamah yang tugasnya memberi keputusan
yang sesuai dengan hukum internasional, bagi perselisihanperselisihan yang di­ajukan padanya akan berlaku :
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 51
08/11/2010 9:03:36
52
a) Konvensi-konvensi internasional, baik
yang bersifat umum maupun bersifat
khusus, yang dengan tegas menyebut
ke­tentuan-ketentuan yang diakui oleh
negara-negara yang berselisih.
b) Kebiasaan-kebiasaan internasional yang
ter­bukti merupakan praktik-praktik umum
yang diterima sebagai hukum.
c) Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui
oleh bangsa beradab.
d) Sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam pasal 59, keputusan para hakim
dan ajaran-ajaran dari para ahli hukum
yang tercakup di berbagai negara, se­
bagai bahan pelengkap untuk penentuan
peraturan-peraturan hukum.
2. Ketentuan ini tidak mempengaruhi kekuasaan hakim untuk
me­mutus­kan suatu perkara ex aequo et bono bila pihak-pihak
me­nyetujuinya.
Sumber hukum internasional itu pertama, konvensi internasional.
Masalah ini sudah banyak yang dibahas. Konvensi ada berbagai
bentuk: khusus atau umum serta mengikat secara hukum atau tidak.
Kedua, kebiasaan internasioal misalkan dalam soal REDD. Sampai
sekarang REDD belum disetujui sebagai kekuatan hukum mengikat dan
rencananya baru akan dilaksanakan pada periode kedua komitmen
UNFCCC tahun2012. Rencananya di Copenhagen (COP 15) akan di­
putus­kan apakah REDD ini mengikat atau tidak. Sebenarnya sudah
ada mekanisme yang hampir sama, yakni CDM (Clean Development
Mechanism) CDM mengandung beberapa prinsip penting seperti
tanggung jawab negara, pemberitahuan dini, serta pencegahan. Itu
prinsip pembangunan berkelanjutan yang diakui di dalam KTT. Ketiga,
sumber hukum internasional adalah keputusan para hakim dan ajaran
para ahli hukum. Misalkan saja terjadi kasus sengketa dalam mekanisme
REDD yang melibatkan masyarakat adat di Amerika Latin. Kemudian
sengketa itu masuk ke pengadilan dan mendapatkan keputusan hakim
di suatu negara. Maka, bisa saja keputusan hakim di suatu negara
itu menjadi sumber penting hukum internasional ketika menyangkut
masalah sengketa REDD yang melibatkan masyarakat adat. Keputusan
hakim itu bisa menjadi produk hukum internasional.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 52
08/11/2010 9:03:36
Perjanjian hukum internasional sendiri berbagai macam: statuta,
kon­vensi, treaty, dsb. Masing-masing mempunyai karakteristik khas
dan berbeda. Perjanjian internasional yang umum adalah konvensi.
Sekarang sedang berkembang perjanjian internasional yang
berbentuk Framework Convention atau Kerangka Kerja Konvensi.
UNFCCC adalah salah satu contoh perjanjian berbentuk Kerangka Kerja.
Kerangka Kerja Konvensi ini biasanya berisi dua: perjanjian internasional
dan protokol. Perjanjian internasional berisi prinsip-prinsip penting
yang bersifat umum. Sementara itu, protokol merupakan penerapan
dari beberapa aturan dalam perjanjian internasional. UNFCCC dan
Protokol Kyoto adalah contohnya. Namun, ada Kerangka Kerja
Konvensi yang isinya protokol dan protokol itu tambahan. Misalnya,
ada konvensi mengenai pencemaran udara di lintas batas. Konvensi itu
mempunyai lima protocol mengenai penurunan emisi.
Lalu apa yang dimaksud dengan ratifikasi? Ratifikasi hanya di­
berlakukan bagi negara yang menandatangani suatu konvensi itu.
Prosesnya dimulai dengan membawa naskah aslinya ke Indonesia
untuk disimpan di Direktorat Perjanjian Internasional di Departemen
Luar Negeri. Pihak Deplu kemudian menyampaikan surat kepada
presiden. Setelah ada surat persetujuan dari presiden kemudian di­
kirim­kan ke DPR. DPR mengadakan sidang untuk membahas per­
mintaan ratifikasi dari pemerintah. Di DPR ada proses per­temuan
dengan pihak departemen maupun pihak lainnya yang dipandang ada
kaitannya dengan proses ratifikasi.
Jika proses ratifikasi itu tidak disepakati oleh DPR, maka perjanjian
internasional itu akan disimpan di Direktorat Perjanjian Internasional.
Sebaliknya, jika disepakati, maka naskah perjanjian itu akan dibawa
ke Sekretaris Negara untuk diberikan nomor dan ditandatangani oleh
presiden. Hasil ratifikasi itu dikirimkan kembali ke Deplu kemudian
dikirim ke Badan Deposit di PBB.
Proses ratifikasi ini bisa memakan waktu lama, seperti proses
ratifikasi Protokol Kyoto, atau cepat, seperti ratifikasi konvensinya.
Terhadap perubahan konvensi, sebuah negara yang menandatangi
bisa mengajukan surat ke PBB, apakah akan mengikuti perubahan itu
atau tidak. Mengikuti perubahan ini berarti terikat dengan perubahan
dalam konvensi itu.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 53
53
08/11/2010 9:03:36
Struktur Konvensi UNFCCC
54
STRUKTUR
Conference of Parties (COP)
Pertemuan Para Pihak Konvensi; Diadakan setiap tahun
Conference of Parties served as Meeting of the Parties to
Protokol Kyoto (COP/MOP)
Pertemuan Para Pihak Protokol Kyoto; Diadakan setiap tahun
Subsidiary Body for Implementation (SBI)
Badan Tambahan untuk Penerapan; Badan ini dirancang
untuk tindakan-tindakan implementasi (Aspek Pendanaan,
aturan dan pedoman); Diadakan setahun dua kali
(biannually)
Subsidiary Body for Scientific and Technical Advice
Badan Tambahan untuk Nasihat Teknologi dan Ilmu Penge­
tahuan; Badan ini dirancang untuk isu-isu teknologi yang
muncul sebelum diterapkan/implementasi (Aspek ilmu pe­
ngetahuan, pilihan tek­nologi, metodologi, pedoman prak­tik
yang baik)
Diadakan setahun dua kali.
Adhoc Working Group on Further Commitment for Annex-1
Kelompok Kerja Sementara tentang Komitmen Selanjutnya
untuk Annex I; KK ini dirancang untuk isu politik dan
teknis untuk komitmen selanjutnya pada rezim post 2012;
Diadakan setiap tahun dua kali.
Pertemuan COP sebagai MOP itu ada pertemuan sendiri.
Pertemuan COP sebagai MOP membahas tentang Protokol Kyoto.
Berikut adalah perjalanan perundingan perubahan iklim di bawah
payung UNFCCC:
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 54
08/11/2010 9:03:36
55
UNFCCC ada dua badan penting: SBI dan SABSTA. SBI dirancang
untuk merundingkan implementasi peraturan. Pertemuan SBI di­
selenggarakan dua kali setahun. SABSTA dibuat untuk merundingkan
hal yang lebih teknis. Yang paling penting, kalau berhubungan dengan
REDD di Bonn, sedikit disinggung.
Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim
Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC bertujuan
untuk menjaga stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat
yang aman, untuk kehidupan di dunia.
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate
Change) (KTT Bumi, Rio de Janeiro, 1992)
Konvensi mengenai Perubahan Iklim bertujuan untuk menjaga
stabilisasi konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang aman,
untuk kehidupan di dunia
COP/MOP UNFCCC
Merupakan konferensi tingkat tertinggi untuk pengambilan
keputusan terkait isu perubahan iklim
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 55
08/11/2010 9:03:37
UNFCCC terdiri dari 26 pasal yang mengatur beberapa hal,
misalnya prinsip umum, kerja sama internasional, bantuan keuangan,
serta transfer teknologi.
Pertimbangan dalam Konvensi
Bahwa andil terbesar emisi gas rumah kaca global di masa
lalu dan dewasa ini berasal dari negara-negara maju. Bahwa
emisi per kapita negara-negara berkembang relatif masih
rendah serta andil emisi global yang berasal dari negaranegara berkembang akan bertambah untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pem­bangunan dan sosial.
Mengukuhkan prinsip kedaulatan negara dalam melakukan
kerja­sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim
56
Pengertian konvensi perubahan iklim
Pasal 1
Pengertian
Akibat yang merugikan dari perubahan iklim adalah
perubahan pada lingkungan fisik atau biota. Perubahan
iklim menimbulkan dam­pak yang merusak pada kom­
posisi, ketahanan, dan produk­tivitas ekosistem alami dan
ekosistem yang teratur, atau pada pelaksanaan sistem
sosioekonomis, atau pada kesehatan dan kesejahteraaan
manusia.
Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan
langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia, yang
me­nyebab­kan perubahan komposisi atmosfer secara
global. Selain itu, juga berupa perubahan variabilitas
iklim alamiah yang ter­amati pada kurun waktu yang dapat
dibandingkan.
Emisi adalah lepasnya gas rumah kaca dan/atau zat-zat
asalnya ke atmosfer pada suatu daerah dalam jangka
waktu tertentu
Gas Rumah Kaca adalah gas yang terkandung dalam atmos­
fer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan
me­mancar­kan kembali radiasi inframerah.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 56
08/11/2010 9:03:37
57
Proses ini harus teramati pada kurun waktu yang lama dan dapat
dibandingkan sehingga dihasilkan fakta, apakah terjadi perubahan
iklim atau tidak. Proses itu tidaklah mudah karena misalnya, data yang
dikumpulkan dan diteliti sampai tahun 1800.
Pasal 2
Tujuan akhir konvensi ini dan setiap pengaturan hukum,
terkait yang disetujui oleh COP berdasarkan ketentuanketentuan kon­vensi, adalah tercapainya kestabilan kon­sen­
trasi GRK di atmosfer pada tingkat yang dapat mencegah
perbuatan manusia yang membahayakan sistem iklim.
Tingkat yang demikian itu harus di­capai dalam jangka waktu
yang cukup agar ekosistem dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan iklim. Juga untuk menjamin agar produksi
pangan tidak terancam serta memungkinkan pem­bangunan
ekonomi dapat berlanjut terus.
UNFCCC akan bubar kalau tercapai kestabilan konsentrasi GRK
di atmosfer. Sepanjang belum ada kestabilan konsentrasi GRK, maka
konvensi ini tetap berlaku. Kestabilan ini harus dicapai dalam waktu
yang cukup lama, mungkin 100 tahun baru akan cukup. Lalu, stabil
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 57
08/11/2010 9:03:38
di jumlah berapa? UNFCC menentukan tahun 1990 sebagai baseline
pengukuran GRK di atmosfer.
Pasal 4
Komitmen kepada negara pulau kecil dan daratan rendah, negara
semi kering, dan negara rawan terjadi bencana alam.
58
Pasal 4
Komitmen
Delapan aspek yang perlu diperhatikan :
(a) Negara-negara kepulauan kecil
(b) Negara-negara berpantai daratan rendah
(c) Negara-negara berdaratan kering dan semi kering, serta
daerah berhutan dan daerah yang rentan terhadap ke­
rusakan hutan
(d) Negara-negara dengan daerah yang kering dilanda bencana
alam
(e) Negara-negara dengan daerah yang mudah terkena ke­
keringan dan penggurunan
(f) Negara-negara dengan daerah pencemaran atmosfer per­
kotaan yang tinggi
(g) Negara-negara dengan daerah yang berekosistem rentan,
ter­masuk daerah pegunungan
(h) Negara-negara yang ekonominya sangat tergantung pada
pen­dapatan yang berasal dari produksi, pengolahan, dan
ekspor dan atau konsumsi bahan bakar fosil dan produkproduk yang menggunakan energi secara intensif
(i) Negara-negara tidak berpantai dan negara transit
Pasal 17
Pasal ini merupakan dasar hukum dibuatnya protokol untuk me­
laksanakan suatu ketentuan dalam UNFCCC. Dengan kata lain, pasal ini
menjadi dasar lahirnya Protokol Kyoto.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 58
08/11/2010 9:03:38
Pasal 17
Protokol
1. COP pada setiap sidang biasa boleh menyetujui protokol
pada konvensi
2. Naskah protokol yang diusulkan harus disampaikan kepada
pihak sekretariat paling lambat enam bulan sebelum sidang
COP selanjutnya
3. Syarat-syarat berlakunya suatu protokol akan ditetapkan
oleh ketentuan dalam protokol tersebut
4. Hanya para pihak konvensi yang boleh menjadi pihak dalam
protokol
5. Keputusan-keputusan di bawah ini menegaskan suatu
protokol hanya boleh diambil oleh pihak pada protokol
yang bersangkutan.
Dalam Protokol Kyoto ini ditentukan adanya Komitmen Pertama
dari negara-negara Annex 1 (yakni negara-negara yang dikenai
kewajiban menurunkan emisi sebesar lima persen dari emisi tahun
1990 pada tahun 2012).
59
....”Target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan negara
maju, yaitu sebesar lima persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang
harus dicapai dalam periode 2008-2012.” (Protokol Kyoto)
Konvensi ini dengan sangat tegas menyatakan andil negara-negara
maju pada terjadinya perubahan iklim. Oleh karena itu, mereka harus
diberikan tanggung jawab lebih besar untuk bertindak mengurangi
dampak perubahan iklim. Negara-negara maju ini dimasukkan ke
dalam kelompok negara Annex 1 di dalam konvensi.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 59
08/11/2010 9:03:38
LAMPIRAN NEGARA-NEGARA DALAM TOTAL EMISI KARBON
60
Australia
Austria
Belgia
Bulgaria
Canada
Republik Ceko
Denmark
Estonia
Finlandia
France
Germany
Greek
Hungary
Islandia
Irlandia
Itali
Jepang
Latvia
Liechtenstein
Luxemburg
Monako
Netherland
New Zealand
Norwegia
Polandia
Portugal
Rumania
Rusia
Slovakia
Spanyol
Swedia
Swiss
UK
USA
288.965 59.200
113.405
82.990
457.441 169.514
52.100
37.797
53.900
366.536
1.012.443 82.100
71.673
2.172
30.719
428.941
1.173.360
22.976
208
11.343
71
167.600
25.530
35.533
414.930
42.148
171.103
2.388.720
58,278
260.654
61.256
43.600
584.078
4.957.022
(2,1)
(0,4)
(0,8)
(0,6)
(3,3)
(1,2)
(0,4)
(0,3)
(0,4)
(2,7)
(7,4)
(0,6)
(0,5)
(0,0)
(0,2)
(3,1)
(8,5)
(0,2)
(0,0)
(0,1)
(0,0)
(1,2)
(0,2)
(0,3)
(3,0)
(0,3)
(1,2)
(17,4)
(0,4)
(1,9)
(0,4)
(0,3)
(4,3)
(36,1)
Posisi negara-negara berkembang sendiri belum diberikan
tanggung jawab untuk mengurangi dampak perubahan iklim, dengan
alasan emisi yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang relatif
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 60
08/11/2010 9:03:38
masih kecil dibanding­kan dengan emisi yang dihasilkan dari negaranegara maju. Namun dalam perkembangannya, sepertinya beberapa
negara berkembang yang mempunyai laju pertumbuhan pesat seperti
China dan India, sudah mulai disinggung mengenai tanggung jawab
mereka dalam mengatasi dampak perubahan iklim ini.
Adaptasi dan Mitigasi
61
REDD [Reducing Emissions from
Degradation in developing countries]
Deforestation
and
Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in
deve­loping countries adalah mekanisme penurunan emisi
yang bertujuan untuk memberikan insentif yang bersifat
positif bagi negara ber­kembang terutama bagi negara yang
berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi
hutan.
Mencegah deforestasi artinya juga mempertahankan ke­
aneka­ragaman hayati dan sumber daya genetika (plasma
nutfah), menjaga karbon untuk tidak terlepaskan ke atmosfer,
dan menyediakan sumber pendapatan yang berkelanjutan
bagi masyarakat sekitar hutan.
Tingkat deforestasi di Indonesia bisa dikatakan tinggi. Dengan
REDD, Indonesia akan mendapatkan insentif jika berhasil mengurangi
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 61
08/11/2010 9:03:38
deforestasi. Jadi, jika angka deforestasinya 100 juta ha/tahun dan
kemudian Indonesia berhasil menguranginya ke angka 75 juta ha/tahun,
maka Indonesia akan mendapatkan insentif sebesar 25 juta ha dikalikan
dengan harga karbon pada waktu itu.
Masalahnya adalah mencegah deforestasi ini berarti, dalam banyak
hal, mencegah masyarakat di sekitar hutan untuk memanfaatkan
hutan. Padahal, ada banyak masyarakat sekitar hutan yang sudah lama
menggantungkan hidupnya dari hutan. Tidak hanya sekadar ekonomi,
tetapi juga sosial dan spiritual.
REDD bukan CDM
62
REDD adalah performance-based, pembayaran dapat di­
laku­kan sepanjang dapat dibuktikan bahwa pengurangan
emisi benar-benar terjadi.  aspek metodologi sangat
penting
REDD bukan merupakan kegiatan tanam-menanam untuk
penyerapan karbon seperti halnya di CDM (A/R CDM),
tetapi ke­giatan mengurangi emisi melalui penghindaran
konversi hutan dan kegiatan lain yang menyebabkan hutan
terdegradasi.
Pasar REDD kemungkinan jauh lebih besar dari A/R CDM
dan proyek karbonkehutanan di pasar sukarela yang ada
saat ini.
Dibawah REDD, kehutanan bukan lagi tentang proyekproyek kecil maupun proyek tanam-menanam, tetapi REDD
merupakan pembayaran terhadap reformasi kebijakan
dan intervensi-intervensi /skema lain untuk menghindari
konversi hutan dan ke­giatan yang mengakibatkan hutan
terdegradasi.
Di Indonesia, CDM kurang mendapatkan perhatian. Padahal, banyak
pelajaran yang bisa diambil dari CDM. Misalkan soal ketidakmampuan
men­cegah kebocoran (leakage) yang berujung pada turunnya atau
bahkan hilangnya insentif. Masalahnya, untuk menentukan besaran
insentif, ke­bocoran, dan lain sebagainya membutuhkan keakuratan
data. Di Indonesia justru itulah masalah terbesarnya sehingga orang
luar tidak yakin benar apakah benar ada pengurangan emisi.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 62
08/11/2010 9:03:38
Sekilas tentang asal mula REDD ini. Mekanisme ini pertama kali
diajukan Papua Nugini bersama Costa Rica. Waktu pertama kali diajukan
namanya RED, yang kemudian didiskusikan secara intensif pada COP
13 di Bali, Indonesia. Indonesia menambahkan kata “degradasi” pada
RED sehingga menjadi REDD.
Potensi CDM sektor kehutanan?
Proyek MPB di sektor kehutanan terbatas pada reforestasi dan
aforestasi. Di Indonesia, tipe proyek kehutanan yang masuk ke
dalam kategori ter­sebut adalah reboisasi, perkebunan, hutan
masyarakat, penghijauan kembali, dan agroforestry.
Penerima dana REDD
63
Penerima dana REDD
Pihak yang memiliki inisiatif untuk memerangi illegal loging
Pengusaha yang memiliki sertifikasi kayu
Pengelola kawasan lindung
Jasa lingkungan dan manajemen hutan berbasis masyarakat
Dll.
- Usulan RI
Di sini perlu ada ketegasan mengenai posisi masyarakat adat karena
ke­banyakan mereka berada di dalam hutan dan menggantungkan
hidupnya kepada hutan. Jangan sampai REDD membuat mereka tidak
punya kebebasan dalam memanfaatkan hutan di sekelilingnya.
Tantangan REDD
TANTANGAN UNTUK REDD : nasional
1. Penguasaan, pemahaman, serta penyiapan metodologi
2. Penyiapan kelembagaan termasuk governance
3. Pengetahuan, pemahaman, dan persepsi stakeholders
yang sangat beragam
4. Diintegrasikannya REDD ke dalam kebijakan nasional,
sektoral, dan lokal (propinsi, kabupaten, dst.)
Sumber : WWF
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 63
08/11/2010 9:03:38
Diskusi
Dalam sesi diskusi ada beberapa pertanyaan peserta :
Pertama, bagaimana mengenai pembiayaan dalam skema REDD?
Kedua, bicara tentang subjek hukum internasional. Perkembangan
yang terjadi di lapangan adalah transaksi jual beli karbon ini langsung
ke pemerintah daerah, tidak melalui pemerintah pusat. Dalam otonomi
daerah, kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan pihak asing
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Apalagi jika transaksi
jual beli itu langsung dengan masyarakat adat, padahal hanya sedikit
masyarakat adat yang diakui. Bagaimana mengatasinya?
64
Ketiga, masyarakat adat sudah mengklaim suatu wilayah hutan.
Semen­tara menurut pemerintah, kawasan hutan itu peruntukannya
bagi pihak lain. Ketika masyarakat adat mau meregister atau
memperkuat status hukumnya, malah mendapatkan penolakan. Ini
persoalan di lapangan yang belum selesai. Bagaimana kesempatannya
bagi masyarakat adat ketika ada proyek REDD?
Keempat, bagaimana masyarakat adat dilibatkan dalam proses
proyek REDD?
Kelima, seberapa jauh perjanjian internasional itu memiliki
kekuatan mengikat? Kemudian bagaimana kekuatan mengikat sebuah
konvensi bagi negara yang menandatanganinya, tetapi tidak melakukan
ratifikasi?
Lalu apa kira-kira yang harus dipersiapkan di daerah sehubungan
dengan perjanjian internasional berupa REDD?
Keenam, seberapa kuat mengikatnya sebuah perjanjian inter­
nasional kepada negara-negara besar, misalkan Amerika Serikat?
Serta bagaimana dengan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan
kebijakan pemerintah pusat?
Ketujuh, apa yang kita pelajari dari proyek CDM serta konsekuensi
hukumnya?
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 64
08/11/2010 9:03:38
Tanggapan narasumber
Tanggapan pada pertanyaan pertama. Narasumber memaparkan
bah­wa di dalam Konvensi Perubahan Iklim/UNFCCC ada ketentuan
tentang mekanisme pembiayaan (financial), seperti bagaimana cara
mengeluarkan dana untuk mengurangi emisi, apa itu dana adaptasi,
mitigasi, dst. Dana adaptasi adalah dana yang berupa hibah. Sementara
itu, dana untuk mitigasi masih menjadi persoalan.
Dana adaptasi itu ada beberapa sumber pendanaannya: [1] hibah
berasal dari prosentase pendanaan negara maju untuk membiayai
suatu kegiatan di negara berkembang. Jadi misalnya negara maju
memberikan suatu proyek nonhibah, maka jika proyek itu diterima,
negara tersebut akan mendapatkan dana hibah. Akan tetapi, ada
dana adaptasi yang [2] berasal dari keuntungan CDM. Belum jelas
berapa persentase potongannya. Namun, yang jelas dana itu bisa
diminta oleh UNFCCC lewat mekanisme COP yang disesuaikan dengan
kebutuhan negara berkembang. Dana hibah ini hanya diperuntukkan
bagi kepentingan negara berkembang Negara maju tidak dapat
mengaksesnya. Selain itu, [3] ada juga dana adaptasi yang bersumber
dari badan dunia lain. Dana adaptasi sekarang ini dikoordinasi melalui
mekanisme yang diatur dalam UNFCCC.
Dana mitigasi berasal dari beberapa sumber seperti dari Carbon
Trading, Joint Implementation, serta kredit dari CDM. Carbon Trading
dan Joint Implementation merupakan skema pendanaan antara negara
maju dengan negara maju. Namun untuk CDM, merupakan mekanisme
pendanaan antara negara maju dengan negara berkembang. Dengan
CDM, kreditnya dicari di negara berkembang. Dananya akan didapatkan
jika pelaksana CDM bisa membuktikan adanya pengurangan emisi
dari adanya proyek CDM itu. Artinya, dana itu diberikan berdasarkan
tindakan tertentu (performancebased incentive).
Sebenarnya performancebased incentive itu bisa dipahami karena
pada dasarnya Protocol Kyoto itu sendiri berjalan di atas rel bisnis/
rezim perdagangan. Bergerak berdasarkan transaksi, kalau kamu punya
emisi, maka saya beli. Sayangnya, proses CDM sampai mendapatkan
kredit karbon atau CER itu harus melalui proses yang panjang dan
mahal.
Dalam soal REDD, justru saya meminta tidak dijalankan dalam
rezim perdagangan karena nanti akan ada konsekuensi berat. Istilahnya,
dengan REDD yang berdasarkan pada rezim perdagangan itu, pada
dasarnya pemberi dana REDD menjadi pengijon hutan, sedangkan
pihak lain tidak dapat memanfaatkannya lagi. Dalam hal ini, REDD persis
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 65
65
08/11/2010 9:03:39
sama dengan CDM. Begitu proyek REDD dilakukan di kawasan hutan
dengan masyarakat di sekitarnya, maka akan ada tuntutan kepada
mereka untuk tidak memanfaatkan hutan dan bahkan harus menjaga
hutan agar tidak ada “kebocoran”, misalnya karena kebakaran. Pengijon
(pemberi dana REDD) mempunyai hak untuk menuntut masyarakat
tersebut. Konsekuensinya adalah masyarakat harus memagari hutan.
Kerugian terbesarnya adalah di masyarakat sekitar hutan itu. Selain
terbatas, bahkan mungkin tidak dapat lagi memanfaatkan sumber
daya hutan, mereka juga rawan terkena gugatan hukum,atau insentif
tidak dibayarkan jika terjadi kebocoran.
Oleh karena itu, REDD lebih baik skema pendanaannya berasal
dari hibah. Negara berkembang mengusahakan REDD berupa hibah,
namun negara maju tidak mau. Mereka bicara soal dagang.
66
Tanggapan pada pertanyaan kedua. Narasumber memaparkan
yang menjadi masalah di lapangan adalah adanya masyarakat adat
yang mengaku mempunyai suatu kawasan hutan dan mereka ini
hendak melakukan kontrak dengan pihak asing, seperti Australia.
Namun, pertama, siapa yang mengakui masyarakat adat itu? Apakah
mereka dapat membuktikan bahwa dia adalah masyarakat adat?
Memang mereka sudah berada di lokasi hutan itu bergenerasigenerasi. Jangan-jangan pada waktu kontrak ternyata belum jelas.
Berdasarkan keputusan Kepala BPN di tahun 1990-an, masyarakat adat
bisa meregisterkan hutannya pada BPN sehingga dia memiliki kekuatan
secara hukum.
Namun, ketika melakukan kontrak dengan pihak asing, masya­
rakat adat tidak bisa langsung melakukan transaksi. Mereka harus
memberikan kuasanya, baik kepada Pemda, institusi tertentu di
pemerintah pusat, atau orang per orang. Ini tergantung keinginan
masya­rakat. Dalam konteks hukum internasional ketika subjek hukum­
nya sudah jelas, maka kontrak baru bisa dilakukan.
Jika status hukumnya belum jelas, harus diperjelas terlebih dahulu.
Kalau tidak, maka akan rawan dicurangi. Banyak pelajaran yang bisa
diambil dari proyek CDM. Dalam proyek CDM, yang menanggung
biaya operasional sampai mendapatkan CER adalah pelaksana proyek
CDM. Sementara pembeli baru akan membayar jika sudah ada CER.
Sebelum ada CER, jika ada kerugian, sepenuhnya akan ditanggung oleh
pelaksana proyek.
Oleh karena itu, dalam proyek REDD ini harus diperjelas dulu subjek
hukum serta pembagian beban pembiayaannya. Jika ada perselisihan,
maka harus dipilih sistem pengadilan yang memberikan “persamaan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 66
08/11/2010 9:03:39
kekuatan” bagi masyarakat adat. Jika karena ketidaktahuan, ternyata
penyelesaian perkaranya mempergunakan sistem persidangan inter­
nasional, maka ke­mungkinan besar masyarakat adat akan kalah karena
status hukumnya tidak jelas.
Tanggapan pada pertanyaan ketiga. Narasumber berargumen
bahwa hak masyarakat adat masih bisa diperjuangkan. Dalam ke­bijakan
kehutanan yang dikeluarkan oleh Dephut, ada yang namanya hutan
kemasyarakatan. Masalahnya adalah mengurus untuk mendapat­
kan status hutan kemasya­rakatan itu bukanlah pekerjaan mudah. Hal
pertama yang harus dilakukan oleh masyarakat adat adalah men­
dokumentasikan kondisi sosial ekonomi penduduk, luas lahan, dan
kriteria lain yang diperlukan.
Tanggapan pada pertanyaan keempat. Narasumber mengatakan
bahwa dalam teorinya, pelibatan masyarakat itu wajib dilakukan dalam
setiap kegiatan pemerintah. Hal itu sudah diatur dalam perundangundangan. Sekarang bagaimana membuktikan adanya pelibatan
masyarakat dan bahwa pelibatan masyarakat dalam sebuah proyek itu
menguntungkan?
67
Pelibatan masyarakat adat mengandung kesulitan tersendiri.
Pertama, masalah bahasa. Masyarakat adat memiliki bahasa sendiri
sehingga harus ada penerjemahan. Kedua, masalah pemahaman
mereka akan sebuah proyek, misalkan REDD, yang masih terbatas. Dua
hal ini paling pokok dan harus disikapi dengan serius. Kalau mereka
tidak paham, bagaimana bisa menandatangani sebuah dokumen yang
mereka sendiri tidak pahami isinya. Untuk mengatasi masalah ini, harus
ada pendampingan kepada mereka oleh seseorang yang mengerti
bahasa mereka dan persoalan yang akan dibahas. Jika pendamping itu
memang baik dan benar-benar mau membantu, maka hasilnya akan
sangat baik. Sebaliknya jika pendampingnya bermasalah, maka ini bisa
jadi masalah tersendiri bagi masyarakat adat.
Tanggapan pada pertanyaan kelima. Narasumber menjelaskan
bahwa pertama-tama perjanjian internasional itu memiliki konsekuensi
yang berbeda dan memiliki tataran berbeda. Konvensi dan treaty itu
dilakukanantarnegara dan hanya mengikat negara. MoU atau letter of
intent bisa antara negara dengan individu dan individu dengan individu.
Hukum internasional itu sendiri terbagi dua: publik dan privat.
Kalau hukum internasionl publik itu misalnya adalah soal konvensi dan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 67
08/11/2010 9:03:39
68
treaty. Kalau hukum internasional privat/perdata, maka ia berbicara
soal kontrak internasional, baik antara negara dengan individu,
maupun antarindividu.
MoU bisa tidak berlaku, misalkan karena ada satu orang mundur
dari perjanjian. Pihak lain bisa saja menuntut pihak yang mundur itu
berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati.
Namun, dalam perjanjian internasional, perselisihan hanya
bisa dilakukan di mahkamah internasional atau badan arbitrasi. Pe­
nyelesaiannya pun mengikuti tata aturan penyelesaian perkara secara
internasional pula, seperti penunjukan tim konsultasi dan sebagainya.
Terakhir, mengenai apa yang harus dipersiapkan dalam aspek
hukum REDD terutama soal kontrak. Pertama, Anda harus menyiapkan
dokumen yang mendukung status hukum Anda, seperti dokumen
pengakuan, dokumen penguasaan izin, dst. Kedua, siapkan juga siapa
yang menjadi orang yang mempunyai kewenangan menandatangani
atau mengeksekusi, misalnya memberi surat kuasa kepada ketua adat
atau pihak lain yang dipercaya. Ketiga, sejauh mungkin diusahakan
proyek REDD itu memberikan keuntungan lebih bagi masyarakat
adat. Namun perlu diingat untuk mencapai keuntungan itu, Anda
harus menyiapkan hutan ini agar layak untuk dijadikan pelaksanaan
REDD. Hal ini disebabkan negara yang akan berinvestasi akan bertanya
tentang kredibilitas hutan itu, apakah cukup pantas untuk dijadikan
wilayah proyek REDD? Dengan kelengkapan dokumen setidaknya bisa
dijawab. Orangnya sudah jelas. Hutannya sudah jelas. Pemerintahan
sudah mendukung. Tinggal Anda bayangkan.
Tanggapan pada pertanyaan keenam. Narasumber mengutarakan
dua hal. Pertama, dalam dunia internasional sebenarnya dalam
prinsipnya kekuatan negara itu seimbang. Masing-masing negara
memiliki kedaulatan. Indonesia dengan Amerika Serikat pada dasarnya
kedudukannya sama dalam hubungan internasional. Namun, kedua,
dalam hal tekanan agar sebuah negara mematuhi aturan perjanjian
internasional bisa melalui ber­bagai bentuk, misalnya cara-cara
ekonomi, teknologi, militer, budaya, dan sebagainya.
Pertanyaan berikutnya: Siapakah yang paling kuat antara Indonesia
dengan Amerika dalam hubungan internasional? Pengalaman bapakbapak yang ikut dalam proses perjanjian internasional itu, belum
pernah ada ceritanya negara berkembang berhasil menekan negara
maju. Malah sebaliknya, balik ditekan oleh negara maju. Misalnya
negara maju mempergunakan tekanan secara ekonomi sehingga
banyak negara berkembang yang diam. Jika tekanan secara ekonomi
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 68
08/11/2010 9:03:39
tidak berhasil, bisa dilakukan tekanan secara militer. Kalau masalah
kekuatan militer, tidak ada negara yang bisa mengalahkan Amerika
Serikat.
Amerika Serikat harus mempunyai kepentingan nasionalnya
sendiri ke­tika akan menandatangani atau meratifikasi suatu perjanjian
internasional. Di luar itu sulit dilakukan.
Akhirnya, seberapa jauh perjanjian internasional itu mengikat
digantung­kan pada komitmen. Maka, dalam sesi konferensi inter­
nasional selalu dimintai komitmennya. Namun, komitmen ini tidak
memiliki kekuatan mengikat apa­pun sehingga menjadi tidak jelas.
Ambil contoh dalam soal ruang angkasa. Konvensi internasional me­
nentukan bahwa ruang angkasa itu tidak ada yang punya dan ia adalah
milik bersama. Akan tetapi, hanya Amerika dan Rusia yang memiliki
kemampuan untuk terbang sampai ke sana. Mereka menempatkan
stasiun penelitian, atau malah satelit mata-mata. Garis edar satelit itu
sebenarnya terbatas, dia ada di wilayah garis katulistiwa. Namun apakah
Indonesia bisa memprotes atau mengajukan tuntutan agar kedua
pihak negara itu membayar karena telah mempergunakan garis edar di
atas wilayah Indonesia? Indonesia mengajukan hal ini di perundingan
internasional. Akan tetapi, apakah usulan ini mendapatkan dukungan
dari negara lain? Kemampuan itu bersinggungan erat dengan kapasitas
negara.
Oleh karena secara aturan internasional belum jelas, maka REDD
di­hadapkan pada bagaimana posisi tawar suatu negara pada negara
lain.
Mengenai manfaat REDD, ia jelas memberikan manfaat pada
peningkatan ekologi.
69
Tanggapan pada pertanyaan ketujuh. Narasumber berpendapat
proyek CDM pada dasarnya adalah perdagangan atau bisnis. Misalkan
saja, saya menjalankan sebuah pabrik yang mengeluarkan emisi 100
juta ton karbon/ tahun. Kemudian saya berencana membuat tindakan
tertentu sehingga emisi itu turun menjadi hanya 50 juta saja. Nilai ini
menjadi nilai kredit saya. Proses penurunan emisi karbon itu kemudian
diajukan sebagai proyek CDM. Untuk itu dilakukan proses pendaftaran
ke PBB atau PDD. Dalam proses PDD ini, ada proses pengumpulan data
terkait tindakan yang dilakukan dan penurunan emisi tersebut. PDD
ini dijadikan dasar yang akan diverifikasi oleh suatu tim independen.
Dokumen-dokumen itu kemudian disampaikan ke CDM executive
board di PBB. Executive board inilah nantinya yang akan memvalidasi
kebenaran proyek CDM yang saya lakukan. Jika berhasil melewati
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 69
08/11/2010 9:03:39
70
proses validasi, maka akan dikeluarkan dokumen berupa CER. CER
inilah yang akan diperjualbelikan di perdagangan karbon.
REDD merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
hutan. Prosesnya kira-kira akan sama. Siapakah pemilik sah hutan itu,
peme­rintah atau pemilik izin, atau koperasi? Apakah hutan itu disewa?
Kalau bentuknya disewa, maka proses tidak akan dilanjutkan. Hal itu
terjadi jika sewanya selama 10 tahun, sementara CER-nya baru keluar
setelah melewati masa sewanya. Oleh karena itu, CER tidak eligible.
Usulan saya jangan menggunakan ini.
Ada satu mekanisme yang bisa dijadikan contoh untuk proses
REDD ini, yakni DNS atau DebtforNature Swaps. DNS ini merupakan
mekanisme hutang diganti dengan hutan. Dengan cara ini, hutang bisa
dikurangi dan diganti dengan komitmen untuk melestarikan hutan.
Dalam perkembangannya, DNS ini tidak hanya hutan saja, tetapi bisa
berupa pendidikan dan kesehatan. Contohnya adalah negara Jerman
yang melakukan debt-swap untuk pendidikan. Dalam debt-swap
ini, Indonesia tetap membayar hutang. Akan tetapi, tidak ke negara
kreditur, melainkan untuk program pendidikan dan kesehatan.
Dalam CDM, ada konsekuensi jika CER yang dijual tidak memenuhi
nilai yang sesungguhnya. CER ini akan dihitung pada tahun 2012 saat
komitmen pertama negara Annex 1 berakhir. Jika kurang, maka uang
yang sudah diterima harus dikembalikan.
REDD juga kurang lebih sama. Kalau hutan Anda sudah saya ijon,
artinya tolong Anda urus semua mulai dari surat apa yang diperlukan.
Jika telah lengkap, baru akan saya bayar. Namun begitu selesai, hutan
Anda ternyata kebakaran. Uang Anda bisa diminta kembali. Sebenarnya
ada jalan keluar untuk masalah ini, yaitu buat saja kontraknya
pertermin, tidak sekaligus sampai 20-30 tahun. Jadi, modelnya seperti
cicilan. Jangan sampai kita dituntut untuk bayar di kemudian hari.
Diskusi kelompok
Diskusi kelompok dibagi dua:
Kelompok 1
Kelompok 2
Peluang dan tantangan hukum
internasional terhadap perlindungan
masyarakat adat.
Peluang dan tantangan hukum
internasional terhadap keberlanjutan
hutan.
Dalam pembicaraan sebelumnya sudah dibicarakan tantangan
serta dampak yang mungkin lahir ketika perusahaan bertemu dan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 70
08/11/2010 9:03:39
melakukan kontrak dengan masyarakat. Dalam diskusi kelompok
kita kali ini, kita akan lihat bagaimana memperkecil dampak itu dan
mencari peluang penyelesaiannya. Kita akan diskusi setengah jam saja.
Setelah itu kita akan ada presentasi. Diakhir, kita akan mengkonfirmasi
ke narasumber jika ada permasalahan yang dirasa belum/kurang jelas
dibahas dalam diskusi kelompok.
Presentasi diskusi kelompok
Kelompok I
Peluang dan Tantangan Hukum International
Masyarakat Adat
Peluang :
• Saat ini sudah ada UNDRIP
(UN Declaration on the
Rights Of Indigenous Peop­
les)-2007
• Sudah ada Konvensi ILO
169-Bangsa Pribumi dan
Masya­rakat adat di negara
merdeka
• Konvensi Internasional ten­
tang Hak Sipil dan Politik
dan Ekonomi, Sosial dan
Budaya.
Tantangan :
• Pengakuan keberadaaan
IP’s di Indonesia sangat
normatif, belum ada pe­
ngakuan substantif
• Hingga kini Indonesia
belum meratifikasi kon­
ven­si ILO 169
• Ada persoalan ketidak­
mampuan memahami dan
mengimplementasikan
instru­ment hukum inter­
nasional (bukan subjek
hukum)
71
Penjelasan Tambahan Kelompok I
Selain yang disebutkan di atas, sebagai peluang, ada yang
namanya Hak sipil dan Politik dalam ECOSOC yang juga secara jelas
memposisikan masyarakat adat seperti apa. Mengenai tantangan,
memang betul di Indonesia itu hukumnya sangat normatif. Kalau tidak
ada penjelasan rinci dalam pelaksanaan, itu menjadi sia-sia.
Di level internasional, memang ada pengakuan masyarakat adat,
tetapi di tingkat nasional/Indonesia banyak yang tidak sejalan. Oleh
karena itu, Kon­vensi ILO tidak diratifikasi. Usaha pengakuan menjadi
berbelit-belit. Peraturan pelaksananya susah. Syaratnya hampir tidak
terpenuhi karena bicara soal kepentingan nasional. Ini sederhana,
tetapi sangat berat. Kalau kita relasikan dengan internasional, dari
level internasional sudah ada, tetapi tingkat ratifikasinya yang sangat
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 71
08/11/2010 9:03:39
72
tidak menggembirakan. Persoalan di depan mata, misalnya akan ada
persengketaan soal kontrak. Masyarakat adat akan meminta pihak
ketiga sebagai perwakilannya. Itu mungkin berhasil di satu komunitas,
tetapi bagaimana dengan ribuan komunitas lainnya.
Tambahan, terkait soal definisi. Masyarakat adat menurut hukum
nasional kita berbeda dengan hukum internasional. Masyarakat adat
yang kita pahami dalam UU masih menggunakan definisi masyarakat
hukum adat. Ada kesulitan untuk mengembangkan definisi itu ke
tingkat lokal. Pengalaman kita ketika mendorong rancangan perda
tentang masyarakat adat itu, lima tahun yang lalu saja sampai sekarang
tidak jalan. Peluang untuk intervensi di level kabupaten sebenarnya
lebih cepat dibandingkan dengan di provinsi.
Ada kesenjangan pemahaman antara pemerintah, masyarakat
adat, dan organisasi masyarakat sipil untuk memahami bagaimana
sebetulnya hukum internasional yang diberlakukan. Ini akan menjadi
masalah yang rumit jika tidak ada peningkatan kapasitas.
Presentasi Kelompok II
Kelompok II,
Keberlanjutan Hutan
Peluang
- Ada dukungan dan pengawasan dari dunia internasional
- Partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan
- Adanya mekanisme penyelesaian sengketa antarnegara dalam pe­
ngelolaan hutan
Tantangan
- Perjanjian internasional hanya bersifat komitmen
- Minimnya pemahaman masyarakat tentang perjanjian internasional
- Masih adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perlindungan hutan
- Deforestasi masih terjadi di Indonesia
- REDD bisa memberikan manfaat sekaligus ancaman. Misalkan ada
sumber pembiayaan dan pelestarian hutan, sekaligus ada ancaman
hak-hak kelola masyarakat yang dirampas.
- Banyak provinsi yang belum punya tata batas hutan yang jelas.
Terkait dengan peluang dan tantangan terhadap keberlanjutan
hutan, pertama, untuk peluang kami melihat ada dukungan dan
pengawasan dari dunia internasional terkait dengan pengelolaan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 72
08/11/2010 9:03:39
hutan yang lebih lestari. Selain itu, partisipasi masyarakat sudah lebih
diakomodasi dalam pelestarian hutan. Mekanisme penyelesaian
sengketa antarnegara ini mengikuti penyelesaian sengketa dalam
hukum publik internasional. Sementara jika urusannya privat, ada
mekanisme penyelesaian sengketa lain seperti arbitrasi.
Untuk tantangannya, perjanjian internasional terlalu bergantung
pada komitmen. Kalau komitmen, segi pemaksaaannya berkurang.
Oleh karena itu, sedikit harapannya ketika berkaitan dengan upaya dan
inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat dalam perlindungan hutan.
Selain itu, pemahaman masyarakat akan seluk -beluk aturan hukum
internasional juga masih harus ditingkatkan.
Masalah lain yang penting adalah soal masih banyaknya tumpang
tindih aturan di negara kita. Apakah tumpang tindihnya itu lintas
sektoral atau hirarki aturan. Belum lagi masalah implementasi aturan
di lapangan. Misalkan saja dalam soal persoalan tata ruang yang
sampai sekarang masih sulit diselesaikan. Contohnya Kalteng, muncul
berbagai kasus tumpang tindih antara pertambangan dengan hutan.
Terakhir, cara berpikir birokrat di Indonesia dalam memandang
sumber daya alam terlalu ekonomis, apa yang bisa dieksploitasi dari
sumber daya alam yang ada.
Apakah REDD ini ancaman atau peluang dalam perlindungan
hutan? Tantangannya ada dalam soal penghargaan terhadap budaya
masyarakat sekitar hutan. REDD akan menjadi ancaman jika tidak
menghargai budaya masyarakat sekitar hutan, apalagi jika belum ada
kepastian kelola oleh masyarakat. Mekanisme REDD sampai saat ini
kita tidak tahusehingga sulit untuk menentukan apakah ia menjadi
ancaman atau peluang.
Pemahaman masyarakat bahkan pemerintah tentang hukum
internasional masih harus ditingkatkan.
Satu lagi masalah adalah kepastian wilayah hutan sebenarnya
sampai saat ini belum jelas. Perbaikan ke arah sana juga masih minim.
Sementara itu REDD sepertinya akan tetap jalan, di luar apakah kita
menyetujuinya atau tidak.
73
Tanggapan narasumber
Konvensi Perubahan Iklim/UNFCCC tidak pernah menyatakan
secara tegas tentang masyarakat adat. UNCBD justru secara tegas
menyatakan tentang masyarakat yang ada di dalam hutan.
Masyarakat yang ada di dalam hutan ini menjadi persoalan politis.
Soal hutannya sebagai tempat tinggalnya saja bermasalah. Ini akan
menjadi masalah yang lebih lebar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 73
08/11/2010 9:03:39
74
Ini sama dengan masalah Forest Principle yang dihasilkan dari KTT
Bumi Rio. Kenapa Forest Principle tidak mengikat secara hukum? Ada
beda pengertian hutan menurut negara maju dan berkembang. Negara
maju tidak mau membantu pengelolaan hutan di negara berkembang.
Negara maju merasa bahwa pengelolaan hutan di negara berkembang
merupakan masalah dalam negeri negara berkembang sendiri. Hutan,
bagi negara maju, harus steril dari masyarakat. Di negara maju hutan
memang steril dari masyarakat. Sedangkan di negara berkembang,
masyarakat menjadi bagian dari hutan.
Mengenai masyarakat adat juga bermasalah. Bermasalah,
mengapa? Bagi negara maju masyarakat adat itu sudah tidak ada.
Mereka hanya ada dalam istilah budaya. Di negara maju, “masyarakat
adat” memang punya budaya dan cara hidup sendiri. Namun mereka
sudah punya sistem hukum yang jelas sehingga masyarakat adat
tunduk kepadanya. Di sisi lain, masyarakat adat itu siapa, masih jadi
pertanyaan besar di negara Indonesia. Bagi Pemerintah Indonesia,
semua penduduk Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat adat.
Jadi, pengertian masyarakat adat sama dengan penduduk asli.
Berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang diakui
dunia internasional ada dua, yakni melalui badan dunia dan kedua
melalui aturan yang diatur dalam perjanjian internasional. Jadi, dalam
peraturan internasional itu ada macam-macam, ada pengadilan khusus,
pembentukan tim khusus, atau katakanlah semacam pengadilan panel.
Mengenai pengertian hutan dalam rancangan konferensi
perubahan iklim, masih dalam taraf perdebatan. Termasuk bagaimana
posisi masyarakat adat dan hutan. Pasti ada negara yang mau
memperjuangkan itu. Berarti ada peluang. Sepanjang itu belum diketok
palu, jangan khawatir.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 74
08/11/2010 9:03:39
5. Perubahan Iklim dan REDD
dalam Hukum dan Kebijakan Nasional
Indonesia
Pengantar
Sesi ini mengetengahkan tema tentang bagaimana implementasi
hukum nasional dalam menanggapi isu perubahan iklim. Dipaparkan
pula mengenai keberlakuan hukum internasional ke dalam suatu
sistem hukum nasional. Dalam tema ini disinggung pula tentang
“jurang kebijakan” atau policy gap antara hukum internasional dan
nasional. Tema disampaikan oleh Giorgio Budi Indarto dari CSF [Civil
Society Forum on Climate Justice].
75
Presentasi Narasumber
Terima kasih. Saya tidak tahu kemarin tentang apa diskusinya,
tetapi saya akan mengikuti TOR yang diberikan kepada saya. Masalah
yang akan saya sampaikan sangat sederhana dan tidak banyak analisis.
Diskusi ini banyak membahas tentang hutan dan masyarakat adat.
Saya mulai dengan Indonesia menjadi salah satu anggota UNFCCC dan
Indonesia sudah meratifikasi dan melalui apa.
Indonesia dan perubahan iklim
• United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) diluncurkan pada tahun 1992 pada Earth Summit
di Rio de Janeiro.
• Indonesia menjadi salah satu negara yang menanda­
tangani­nya.
• UNFCCC diratifikasi dengan UU no. 6 tahun 1994 dan juga
me­ratifikasi Protokol Kyoto dengan UU no. 17 tahun 2004.
Namun, masih ada diskusi seperti apa berlakunya hukum inter­
nasional di nasional. Ada dua aliran mengenai keberlakuan hukum
internasional: monolis dan dualis. Aliran monolis melihat hukum
internasional dan nasional itu se­bagai satu kesatuan. Oleh karena itu,
otomatis negara dan warga negaranya terikat ketika negara tersebut
menandatangani satu perjanjian internasional. Sementara itu, aliran
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 75
08/11/2010 9:03:39
dualis melihat hukum nasional dan internasional dalam posisi yang
berbeda sehingga untuk keberlakuan hukum internasional harus
ditransformasikan dulu ke dalam sistem hukum nasional.
Sistem Keberlakukan Hukum Internasional
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LLM dalam bukunya
“Pengantar Hukum Internasional”, maka ada beberapa pembagian
aliran hukum internasional, yaitu:
•
Aliran dualisme menganggap bahwa hukum nasional dan hukum
inter­nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang
terpisah satu dengan yang lainnya. Dalam praktiknya, aliran ini
beranggapan bahwa hukum internasional sangat sulit untuk
bersanding dengan hukum nasional. Hukum internasional tidak
mempunyai implikasi terhadap warga negara secara langsung.
Dengan kata lain, hukum nasional akan sangat sulit untuk di­
sanding­kan dengan hukum internasional dan harus melalui suatu
“transformasi” untuk dapat berlaku dan menimbulkan tanggung
jawab pada warga negara.
•
Aliran Monisme mendasarkan pemikiran kesatuan dari seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia. Aliran ini beranggapan
bahwa antara hukum nasional dan hukum internasional me­rupakan
suatu kesatuan dari hukum yang mengatur umat manusia sehingga
dalam penerapannya diketahui bahwa hukum internasional bisa
untuk dipersandingkan dengan hukum na­sional. Permasalahan
yang timbul adalah mengenai hierarki dalam hukum internasional
dan hukum nasional, mana yang lebih tinggi kedudukannya. Oleh
karena itu, aliran monisme dibagi lagi menjadi dua jenis.
•
Aliran Monisme dengan Primat Hukum Nasional, memberikan
suatu pemikiran bahwa hukum internasional tidak lain merupakan
kelanjutan dari hukum nasional, atau dengan kata lain hukum
nasional untuk urusan luar negeri ( auszeres staatrecht ). Dalam
penerapannya, aliran ini menganggap bahwa hukum internasional
tergantung pada hukum nasional suatu negara. Pemikiran ini sangat
sulit untuk diterapkan karena senada dengan aliran dualisme.
Maka, aliran ini juga secara tidak langsung menyangkal keberadaan
dan keberlakuan dari hukum internasional.
•
Aliran Monisme dengan Primat hukum Internasional, berangga­
pan bahwa hukum nasional bersumber pada hukum internasional,
yang menurut pandangannya merupakan suatu perangkat ke­
76
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 76
08/11/2010 9:03:39
tentuan hukum yang hierarkinya lebih tinggi. Dalam aliran ini,
hukum internasional dianggap menjadi cantolan dari suatu hukum
nasional. Kekuatan mengikat dari hukum nasional didasarkan pada
pendelegasian kewenangan dari hukum nasional.
Melihat dari beberapa aliran ini, Indonesia sebenarnya lebih
cencerung pada aliran dualisme. Walaupun demikian, UUD 1945 tidak
secara spesifik membicarakan hal ini, hanya saja dinyatakan bahwa
perjanjian internasional itu ditandatangani oleh presiden. Tidak
dijelaskan secara spesifik apa yang kita pakai. Namun berdasarkan apa
yang telah diuraikan itu, kita memakai sistem dualisme karena hukum
internasional harus ditransformasikan dulu ke dalam sistem hukum
nasional untuk keberlakuannya.
Sistem Keberlakukan Hukum Internasional
• Dalam praktik hukum nasional (formal), Indonesia tidak
dapat dikatakan menganut satu diantara beberapa aliran
tersebut.
• Dalam UUD ’45 pengaturan mengenai perjanjian inter­
nasional hanya sebatas bahwa Presiden dengan persetujuan
DPR menyata­kan perang, membuat perdamaian, dan
membuat perjanjian dengan negara lain (Pasal 11).
• Sedangkan UU no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian inter­
nasional hanya mengatur mengenai bentuk pengesahan
per­janjian inter­nasional, dengan persetujuan DPR atau
tanpa persetujuan DPR.
77
Bagaimana pelaksanaan UNFCCC di tingkat nasional? Di Indonesia
belum ada UU yang memayungi terhadap perubahan iklim secara
keseluruhan atau UU Perubahan Iklim. Ini sempat menjadi wacana.
Yang menjadi pertanyaan, apa kita perlu UU khusus Perubahan Iklim?
UNFCCC dan Pelaksanaan di tingkat nasional
• Pada tingkat nasional, belum ada kerangka hukum yang
secara umum mengatur mengenai perubahan iklim.
• Apakah diperlukan?
1. Indonesia bukan merupakan negara yang wajib menurunkan
emisi.
2. Perubahan iklim merupakan dampak dan bukan subjek
masalah.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 77
08/11/2010 9:03:39
3. Ada pilihan untuk memiliki adaptive policy dibandingkan
dengan UU Perubahan Iklim.
78
AS sudah mempunyai UU tersendiri yang mengatur soal perubahan
iklim, begitu juga beberapa negara lain seperti Australia. Kalau saya
ditanya apakah Indonesia perlu punya UU tersendiri mengenai
perubahan iklim, saya akan menjawab tidak atau belum perlu. Pertama
karena Indonesia tidak menjadi target untuk menurunkan emisi.
Australia dan AS memang harus punya karena mereka dikenakan
ke­wajiban menurunkan emisi di dalam negerinya. Mereka harus
mengubah pola perekonomiannya. Sementara Indonesia sekarang
justru harus membangun. Akan tetapi, itu tidak berarti kita dengan
seenaknya mencemari lingkungan hanya karena kita punya hak untuk
membangun. Dengan demikian, perhatiannya bukan ke kita yang wajib
mengurangi emisi.
Masalahnya, ada kecenderungan kewajiban mitigasi perubahan
iklim mulai digeser ke negara-negara berkembang seperti Indonesia,
India, dan Cina. Ini agak berbahaya karena tidak adil. Indonesia yang
punya hutan, “dipaksa” untuk mengurangi polusi, yang dibuat oleh
negara maju.
Alasan kedua, perubahan iklim ini senyatanya adalah dampak,
bukan sebab. Mengapa ada perubahan iklim? Hal ini karena dampak
dari pola pembangunan yang tidak berkelanjutan. Bagaimana dengan
Indonesia? Seharusnya Indonesia memakai pola pembangunan
berkelanjutan. Harus ada kebijakan yang luwes. Yang di maksud dengan
kebijakan yang luwes ini adalah kebijakan yang bisa peka terhadap
keadaan, tetapi tidak melepaskan kepastian. Dia bisa berubah dan
merespon ketidakpastian yang semakin hari semakin menjadi-jadi.
Kita memang tidak punya payung hukum untuk soal perubahan iklim,
tetapi bukan itu yang diperlukan.
Sekarang kita masuk ke pembicaraan sektor hutan. Di mana posisi
kebijakan dalam melihat hutan dan perubahan iklim?
Hutan dan Perubahan Iklim
• Tutupan hutan yang luas dari Indonesia secara tidak
langsung membuat hutan Indonesia menjadi sorotan
dunia.
• Pada COP 13 di Bali pengurangan emisi dari sektor
kehutanan resmi menjadi keputusan Rencana Tindak
Bali/Bali Action Plan.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 78
08/11/2010 9:03:39
•
REDD kemudian dijadikan suatu fokus perhatian dalam
mem­bicara­kan konteks perubahan iklim dan hutan.
UNFCCC tidak mengatur mengenai hutan. Namun, hutan masuk
dalam pembahasan di Protokol Kyoto. Di COP 13 yang lalu di Bali,
Indonesia, hutan masuk ke dalam perundingan. Hasil dari COP 13
inilah yang menjadi dasar kita bicara soal REDD. Posisi Indonesia
sebenarnya menguntungkan karena ia punya hutan yang besar. Sayang,
Pemerintah Indonesia tidak meresponnya dengan bijak. Indonesia
memang memiliki kebijakan mengenai REDD ini walaupun dibuatkan
dalam bentuk Permenhut. Namun, tiga Permenhut itu tidak menjawab
pertanyaan mendasar.
Hutan dan Perubahan Iklim
• Indonesia merespon REDD dengan mengeluarkan tiga
Permen­hut pada tahun 2009.
• Namun, Permenhut tersebut masih mengandung be­
berapa per­tanyaan mendasar a.l. :
1. Apakah Permenhut bisa menjawab permasalahan tenurial
dan permasalahan mendasar lain?
2. Bagaimana dengan tata guna lahan di Indonesia?
3. Ke manakah arah kelembagaan pengelolaan hutan ?
4. Bagaimana dengan hak kelola masyarakat adat dan
masyarakat sekitar hutan?
79
Selain itu, banyak permasalahan lain yang belum terjawab.
Mengapa saya utarakan masalah ini? Ternyata respon pemerintah
Indonesia sangat reaktif. Indonesia menandatangani UNFCCC dan
Protokol Kyoto, namun masih belum terlihat hadir dalam kebijakan
nasional.
UNFCCC bertujuan untuk mengurangi gas efek rumah kaca. Ketika
Permen­hut mengenai REDD hadir, sama sekali tidak terlihat ada
perubahan emisi. Permenhut itu masih membolehkan offset. Padahal,
offset tidak akan bisa mengurangi emisi. Dengan offset ini, hutan
diharapkan bisa menyerap karbon dari negara maju. Namun, mustahil
hal itu berhasil jika sumber emisi di negara maju tidak dikurangi.
Masalah kedua, karena saya aktif di koalisi masyarakat sipil untuk
pe­rubahan iklim, REDD tidak akan menyelesaikan masalah keadilan. Ini
bukan permasalahan teknis. Permenhut tidak akan merespon nuansa
ketidakadilan yang muncul. Masalah bagaimana tata guna lahan,
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 79
08/11/2010 9:03:39
masalah tenurial, masya­rakat adat, serta kebijakan yang lain.
Jadi, saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia masih reaktif. Mari
kita lihat bagaimana Indonesia memposisikan masalah hutan dalam
perubahan iklim di dalam dokumen RAN (Rencana Aksi Nasional)
Perubahan Iklim yang dibuat pada tahun 2007 dan dipublikasikan pada
saat COP 13 di Bali.
80
Rencana Aksi Nasional
• Rencana aksi nasional perubahan iklim dikeluarkan oleh
KLH pada tahun 2007.
• Diharapkan dapat menjadi acuan dalam proses pe­
ngambilan dan penyusunan kebijakan nasional terkait
perubahan iklim.
• Dalam RANPI didapatkan pengaturan rencana aksi di sektor
kehutanan, namun problem mendasar sektor kehutanan
juga belum terjawab.
Diharapkan ini menjadi acuan untuk membuat kebijakan. Akan
tetapi, kenyataannya tidak demikian. RAN tidak pernah menjadi
acuan kebijakan, ia menjadi dokumen mati. Dalam RAN PI itu, Dephut
diharapkan melakukan restorasi hutan, namun izin tetap dikeluarkan.
Selain itu, Departemen Per­tanian masih saja memberikan izin
perkebunan di areal berhutan. Pembakaran hutan harus dikurangi.
Kenyataannya, tahun ini di Kalimantan masih terjadi kebakaran. RAN PI
itu juga tidak menjawab beberapa masalah dasar.
Kita sudah tahu bagaimana Indonesia merespon kebijakan
perubahan iklim dalam beberapa aspek. Dalam melakukan perubahan
iklim ini ada beberapa aktor.
Aktor Terkait
• Departemen Kehutanan
• Departemen dalam Negeri
• Dewan Nasional Perubahan Iklim
• BAPPENAS
• Sektor Nonkehutanan
Masih digunakan pendekatan sektoral dalam melihat per­
masalahan ini.
Kalau kita lihat dari beberapa aktor ini, kita bisa menyatakan
bahwa Indonesia melihat perubahan iklim ini masih sebatas isu
sektoral. Padahal, kita punya badan yang multisektor yaitu Dewan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 80
08/11/2010 9:03:39
Nasional Perubahan Iklim [DNPI]. DNPI punya hubungan dengan
16 departemen, memiliki sekretariat sendiri, dan harapan kita para
menteri bisa membuat kebijakan yang terkoordinasi. Akan tetapi
kondisi sekarang, rapat jarang mereka lakukan sehingga akhirnya
keluarlah kebijakan masing-masing sektor. Departemen Pertanian
dan Departemen Kehutanan masing-masing mengeluarkan kebijakan
sendiri ter­kait pemanfaatan lahan dan hutan. Begitu juga DKP, DESM,
PU, dst. Tidak tercapai komunikasi multisektor.
Padahal, tugas DNPI ini salah satunya adalah membuat kebijakan
na­sional. Dengan kondisi seperti itu, posisi DNPI itu di antara penting
dan tidak penting. Perubahan iklim itu multisektor. Namun, kalau
melihat kelembagaan­nya sangat lemah dan dianggap tidak penting. Itu
gambaran kebijakan saat ini.
Peran DNPI sebagai Wadah Multisektor
• DNPI dibentuk berlandaskan Perpres no.46 tahun 2008
tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim
• Salah satu tugas dari DNPI adalah untuk “ Merumuskan
kebijakan nasional, strategi, program, dan kegiatan
pengendalian pe­ruba­han iklim.”
• Selain itu tugas dari DNPI juga untuk “mengkoordinasikan
ke­giatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian
perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi,
mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan.”
81
Khusus mengenai hutan, DNPI dan Dephut sepakat untuk mem­
bagi tugas. Padahal sekali lagi, DNPI ini bersifat multisektor sehingga
seharusnya dia mengoordinasikan kebijakan sektoral. DNPI, dalam hal ini
ketua harian DNPI, membuat perjanjian dengan Dephut terkait dengan
kebijakan perubahan iklim. Dephut akan membuat perencanaan kerja
terkait perubahan iklim untuk hutan. Sedang DNPI, wilayahnya di luar
hutan. Bagaimana kita bisa melakukan usaha pengurangan dampak
perubahan iklim ketika penyelesaiannya dilakukan secara terpisah.
Sekarang ini Dephut sudah membuat kerangka kerja. Pemisahan
seperti ini seharusnya tidak terjadi karena ada perwakilan Departemen
Kehutanan di DNPI. Departemen Kehutanan tidak rela wilayah kerjanya
diambil orang.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 81
08/11/2010 9:03:39
82
Beberapa tahun ini pemerintah cukup responif merespon REDD dan
lainnya. Berkaitan dengan REDD, kita tidak bisa membuat logikanya
menjadi terbalik.
Tantangan Indonesia :
• Logika REDD tidak dapat dibalik.
• Melihat kondisi yang ada saat ini, Indonesia memerlukan
perangkat kelembagaan kehutanan yang transparan dan
akuntabel.
• Penegakan hukum kejahatan kehutanan mutlak untuk
dilakukan.
• Pengelolaan sumber daya secara sektoral harus diselesaikan
se­cara segera.
Diharapkan dengan masuknya REDD, tata kelola hutan bisa
membaik. REDD tidak bisa bermanfaat ketika membiarkan masalah
yang dulu tidak terselesaikan. Karena jika REDD ini ditumpangi, maka
masalahnya tidak terselesaikan. Kita perlu tata kelola hutan yang baik.
Sayangnya, DNPI tidak pernah disebut perannya dalam soal REDD
ini. Ketika DNPI bubar, ini akan bahaya. Kita akan kembali mengelola
SDA secara sektoral.
Dalam soal pembiayaan, kita melihat ada Bappenas dan DNPI.
Kedua institusi ini seperti bermusuhan, seperti rebutan mainan.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 82
08/11/2010 9:03:40
Masing-masing merasa berwenang untuk mengelola dana terkait
perubahan iklim. Bappenas membuat ICCTF/Indonesian Climate
Change Trust Fund, yang berarti semua pendanaan adaptasi dan
mitigasi digabungkan. DNPI sendiri punya mekanisme pendanaan
sendiri. Cara-cara sektoral semakin kelihatan. Mereka tidak mau
menggabungkan pengelolaan dana ini dalam satu kerangka yang jelas.
Akhirnya, DNPI mencari dana sendiri dan Bappenas juga me­
ngumpulkan sendiri lewat ICCTF-nya itu (ICCTF belum sepenuhnya
jalan, tetapi arah kerjanya sudah kelihatan menuju ke mana).
Dalam soal pendanaan ini, sangat minim sekali partisipasi
masyarakat. Ini sangat berbahaya.
Diskusi
Beberapa pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut :
Pertama, REDD diperkirakan akan memicu lahirnya produkproduk hukum baru. Namun, sepertinya tidak bisa seperti itu juga
karena masih ada persoalan yang mesti dijawab dulu. Apakah RAN ini
harus ada atau tidak ada? RAN juga tidak akan memberikan dampak.
Kemudian, apakah masalahnya harus ada kerangka hukum? Berikut
juga masalah masyarakat adat. Bagi Dephut, tidak ada masalah dengan
masyarakat adat. Pemerintah sudah mem­buka pintu bagi pengakuan
masayarakat adat. Lalu di mana masalahnya?
Kedua, berkaitan dengan kebijakan, sepertinya perlu waktu
efektif (lama) untuk memberi obat agar memulihkan kita yang sakit.
Sementara REDD sudah di depan mata.
83
Tanggapan Narasumber
Tanggapan pada pertanyaan pertama. Narasumber melihat
perlunya mencari hubungan antara keluarnya RAN dengan REDD.
Apakah RAN ini men­jadi prasyarat bagi implementasi REDD? RAN,
pertama, ternyata tidak ber­peran banyak dalam mengubah kebijakan
Indonesia. Namun, mestinya ia berperan banyak. Kondisi ini yang
tidak terlihat sekarang. Kita masih terkesan hanya mengirim proposal.
Kemudian Bank Dunia melihat proposal itu dan merasa ada yang
kurang karena tidak dimasukkan mengenai partisipasi masya­rakat.
Kita akhirnya membuat berdasarkan permintaan Bank Dunia dan kita
menganggap proposal kita bagus.
Kemudian soal pengakuan hak, Dephut merasa sudah ada ke­
bijakan soal pengakuan masyarakat adat. Namun, detail soal ini tidak
terlihat di dalam RAN. Padahal seharusnya, hal seperti itu diatur
secara detail. Misalkan nanti Indonesia mau menerapkan REDD, pihak
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 83
08/11/2010 9:03:40
pelaksana REDD harus memuat konsultasi dengan masyarakat seperti
ini. Kalau mau melakukan penataan hutan, harus mengikuti aturan
seperti ini.
Kalau tidak rinci akan sulit untuk dijadikan acuan. Di dalam
proposal, hal-hal mendasar itu tidak dibicarakan, seolah kondisi hutan
Indonesia baik-baik saja. Akibatnya, dilihat dari luar tampak luar biasa.
Indonesia sudah mengakui masyarakat adat, ditambah lagi promosi di
pemerintah.
Di sini terjadi salah pengertian. Pemerintah Indonesia tidak men­
ceritakan kondisi perhutanan Indonesia dengan jujur. Itu seperti kita
berobat ke dokter, tetapi kita bohong tentang penyakit. Maka, dokter
akan memberikan obat untuk penyakit lain sehingga kita tidak akan
sembuh. Kita harus jujur, misalnya kita ada masalah di Kalimantan.
Kalau kita bohong terus, maka kita tidak akan sembuh.
84
Dengan demikian, RAN dan REDD belum terkait sama sekali.
Tanggapan pada pertanyaan kedua. Berkaitan dengan upaya
memperbaiki ke­bija­kan sebagaimana diutarakan dalam pertanyaan
kedua, menurut Nara­sumber peluangnya kecil, tetapi ada. Contoh
ketika kita mengirimkan proposal RPP masyarakat sipil dengan Sawit
Watch, kita memberikan potret real apa yang bertentangan dengan
apa yang didengungkan oleh Indonesia. Pemerintah memang punya
konsultasi publik dan Permenhut, tetapi belum ada hasilnya.
Namun saya tidak bisa berharap kepada Bank Dunia. Akan tetapi,
dengan potret sebenarnya itu, Bank Dunia bertanya ke Pemerintah
Indonesia apakah benar apa yang ditunjukkan oleh masyarakat sipil itu.
Ibu Nur Masrifatin menyatakan bahwa dia sudah datang ke masyarakat
sipil dan sudah mencoba menjelaskan. Posisi tawar ini yang kita coba
buka.
Betul sekali, tidaklah tepat memandang Bank Dunia sebagai
dokter. Namun kalau kita punya niat baik, maka kita sebaiknya tidak
membohongi. Departemen Kehutanan bicaranya selalu optimis bahwa
REDD ini lebih bagus dari HTI karena bisa menghasilkan uang sebanyak
Rp 2,8 triliun/tahun. Akan tetapi, dia tidak tahu kalau negara ini sedang
sakit. Ini yang harus ada posisi tawar.
Tambahan Steni
Steni menjelaskan tentang skema pendanaan dalam REDD dan
hubungan­nya dengan skema pendanaan ke dalam negeri.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 84
08/11/2010 9:03:40
Steni menceritakan mengenai situasi pendanaan REDD di Brasil
yang menggunakan fundbased. Beberapa waktu lalu ketika REDD
dirundingkan, peng­giat masyarakat adat membuat surat kepada
donor agar mereka diikutsertakan dalam Brasil Amazon Fund. Usul itu
disetujui oleh Donor (Norwegia). Mereka menyatakan bahwa harus
ada kamar khusus masyarakat adat dan dilibatkan dalam pengambilan
keputusan sebagai syarat untuk mendapatkan dana dari Norwegia.
Pemerintah takut ketika kelompok masyarakat menolak maka dana itu
tidak cair. Jadi, modelnya seperti di bawah ini, mungkin bisa menjadi
strategi kita nanti. Mereka terdiri dari beberapa kelompok CSO. Setelah
ini setuju, uang donor ini baru dicairkan.
85
Greenpeace mengusulkan skema serupa. Dengan menghantam
donor, kita bisa memasukkan isu-isu penting dan diadopsi sebelum
dana dicairkan. Ada beberapa usulan penting yang masuk. Mereka
bisa membuat peta wilayah adat di seluruh Brasil. Peta wilayah itu
kemudian dibawa ke Bonn dan Bangkok. Mereka petakan komunitas
adat ada di mana saja. Dengan demikian, bisa dikatakn perjuangan
mereka berhasil Meskipun implementasinya masih bolong sana -sini.
Kembali ke soal Indonesia, Bappenas merancang skema yang
dipresentasi­kan 12 Desember 2009. Skema ini banyak dibahas di
Bappenas. Kemudian ini kira-kira struktur yang diharapkan. Kawankawan, di sebelah kiri terkait dengan perubahan iklim dan kanan ini
program Bappenas.
Bagaimana dengan skema keuangan? Intinya adalah ongkos
perubahan iklim sangat mahal. Pada level nasional dana yang
dibutuhkan hampir enam triliun. Kemudian, untuk reservasi 1,4 juta
dollar. Itu yang terakhir. Itu data yang disediakan. Peta keuangan
yang ada sekarang dari Indonesia tiga kerangka itu. Ini skema. Kalau
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 85
08/11/2010 9:03:40
86
ada pengadaan, di tengah adalah mekanisme yang diharapkan oleh
pemerintah. Kiri, program spesifiknya. Ini skema yang digunakan oleh
pemerintah. Ada Paris Declaration, MDG’s, UU tentang Keuangan. Ini
sumber pendanaan.
Yang sudah ada kira-kira seperti ini. Kemudian yang diusulkan soal
pendanaan untuk trust fund. Ada grant, ada trust fund sendiri, dan
bahkan ada soft loan.
Trust fund kemarin sudah disinggung Mas Arif dan sudah ditangani
UNDP-Bappenas.Mereka tidak mau melibatkan NGO. Harapan kita
pada saat itu ada perwakilan masyarakatnya. Namun pada saat
dideklarasikan, mereka menutup pintu bagi perwakilan masyarakat.
UNDP yang menangani sendiri karena pada dasarnya donor tidak
percaya dengan pemerintah. Ini ada, SC-nya adalah para menteri yang
terkait. Ada program SC lalu ada sub isu. Kemudian ada pemerintah
lokal dan seterusnya. Ini usulan Bappenas. Akan tetapi dalam
launching, kawan-kawan sudah masuk ke dalam yang dikirim. Yang
terlibat adalah kawan-kawan donor. Ini proses donor biasa. Jadi, trust
fund sudah melenceng karena board sudah satu pihak. Sekarang sudah
dimonopoli dengan donor.
Brasil mampu mendorong ini. Pemerintah Indonesia merasa
belum tertekan karena belum banyak yang membahas isu. DNPI
mengusulkan special fund. Trust fund itu inisiatif nasional dan mereka
melihat pengalaman lain. Indonesia bisa belajar dari Brasil yang
memiliki Climate Special fund.
Ini diusulkan negara seperti Brasil dan PNG. PNG berharap dana
dari payung UNFCCC akan digunakan dalam bentuk grant. Kalau
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 86
08/11/2010 9:03:40
trust fund inisiatif dari negara. Seperti Indonesia. Trust fund ini harus
menjadi bagian dari rencana kerja nasional. Ia berada di bawah struktur
pemerintahan, tetapi semua pihak, termasuk NGO, bisa mengakses
dana itu.
Ini juga penting untuk strategi pemerintah daerah. Pemerintah
daerah dalam skema ini menjadi pihak yang mendorong turunnya dana.
Donor yang mengurus dan akan berhubungan dengan pemerintah
daerah, dan seterusnya.
Tanggapan peserta
Cukup menarik karena ini pendekatan yang agak unik. Dapat
dibandingkan dengan lingkungan hidup, tetapi tidak berpengaruh
dengan pendekatan sektoral. Kalau melihat dari adaptifnya, bisa
merespon ketidakpastian. Agak mustahil ada adaptif policy yang dibuat
secara sektoral.
Diskusi Kelompok
Kelompok akan dibagi untuk menjawab beberapa pertanyaan,
antara lain apa yang diprediksikan menjadi masalah hukum ketika
REDD dijalankan. Apa yang akan dilakukan teman-teman di daerah?
Pemerintah daerah seharusnya melakukan apa?
87
Presentasi Kelompok I
Terima kasih. Saya dipercayakan oleh kawan dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Papua, dan Sulawesi. Masalah hukum tingkat lokal diambil
dari masing-masing daerah.
Kelompok I
- Tidak ada pengakuan terhadap tanah adat. Di Sulsel ada SE
Gubernur tahun 1993 yang menghambat pengakuan terhadap
tanah adat. Dengan SE itu, pemerintah menyatakan tidak ada
tanah adat di Sulawesi Tengah.
- Di Papua sudah ada UU Otsus, tetapi aturan pelengkap UU
tersebut belum ada.
- Tumpang tindih aturan perundang-undangan.
- Kebijakan tingkat lokal masih sektoral.
- Proses legislasi di daerah tidak partisipatif sebab tidak melibatkan
masyarakat secara lebih luas.
- Tata guna lahan atau kebijakan tata ruang sering menimbulkan
konflik.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 87
08/11/2010 9:03:41
- Ada stigma separatis di Papua sehingga membuat sulit masya­
rakat bicara tentang haknya.
- Perdasi dan Perdasus sering mandek di DPRP sebab pokok
pikiran yang diberikan oleh MRP dianggap bertentangan dengan
negara.
- Gubernur Papua dan Papua Barat sudah menandatangani
MoU tentang REDD. Akan tetapi, tidak ada UU pelengkap yang
menguatkan hak masyarakat
- Ada permasalah yang masih belum selesai, misalkan per­
tambangan di dalam kawasan hutan lindung.
- Good governance belum berjalan.
- Di Sumbar sudah ada Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat, tetapi
belum menyelesaikan persoalan sektoral, misalkan antara
kawasan hutan dengan bukan kawasan hutan.
88
Untuk kasus Sulteng, Amran mungkin nanti akan menjelaskan
posisi Surat Edaran Gubernur tahun 1993 itu yang menghambat
pengakuan masya­rakat adat. Kasus kedua, di Sumatera Barat terjadi
hal yang sama. Tidak ada pengakuan tanah adat. Payung hukum
tertinggi UU Otsus Papua masih sulit dijalankan karena belum ada
aturan pelaksananya seperti Perdasus.
Ketiga, tumpang tindih aturan perundang-undangan. Ada ben­
turan ke­pentingan dan sepertinya ini menjadi masalah umum di
berbagai daerah. Kemudian, departemen dan pemerintah lokal seperti
berjalan sendiri-sendiri.
Keempat, proses legalisasi di daerah umumnya tidak partisipatif.
Sangat jarang muncul peraturan perundangan di tingkat daerah yang
benar-benar merepresentasikan kepentingan masyarakat tingkat
bawah. Keenam, tata guna lahan ini sering diselesaikan secara kasuistik
dan tidak melihat pada kebijakan tata ruangnya.
Terkait dengan UU no. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua,
perlakuan pemerintah pusat seperti lepas kepala, tetapi ekornya tetap
dipegang. Pemerintah pusat memberikan otonomi khusus ke Papua,
tetapi tidak me­lepas­kan orang Papua untuk bekerja sendiri. Ketika
Orang Papua berbicara soal pengelolaan hutan dan sebagainya, sudah
dianggap separatis dan ini membuat mereka tidak bisa bicara.
Masalah terbesar dari UU Otsus ini adalah tidak adanya aturan
pe­laksananya, seperti Perdasus. Kondisi pemerintahan Papua ini agak
berbeda dengan daerah lain. Selain perwakilan berupa DPR dan DPRD
Papua dan Papua Barat, juga memiliki MRP/Majelis Rakyat Papua. MRP
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 88
08/11/2010 9:03:41
itu kantor pusat­nya berada di Jayapura. Perdasus mandeg di tingkat
gubernur karena isi Perdasus yang dibuat oleh MRP itu bertentangan
dengan kepentingan negara/pemerintah pusat. Itu akhirnya membuat
orang Papua tidak berdaya.
Saat ini proyek REDD sudah ditandatangani oleh dua gubernur di
Papua. Namun, tidak ada aturan pelengkap. Yang punya wewenang
ada di tingkat gubernur saja.
Baru saja kita merumuskan beberapa soal dari berbagai daerah.
Ada beberapa yang berbeda dan dan mirip yang terjadi di beberapa
tempat. Ternyata tidak hanya di tingkat nasional, tetapi di provinsi
juga masih kadang berbeda jalannya. Ada pelibatan masyarakat, tetapi
pelibatan ini masih minim. Sering kali pelibatan masyarakat hanya
sedikit saja sehingga masyarakat tidak tahu. Tata guna lahan di Jambi
ada aturan tentang konservasi, tetapi bertentangan dengan konsep
hutan negara dan lainnya. Praktiknya, sesuai kenyataan di lapangan
masih ada tata ruang provinsi juga masih belum beres, misalnya di
Kalteng.Akibatnya, salah satu sisi proses pemahaman masyarakat
masih kurang, dan di sisi lain pemerintahnya belum jalan.
Di Sumbar ada Perda yang mengatur tentang tanah ulayat, tetapi
pem­bicaraan tanah ulayat masih menjadi perdebatan dengan negara.
Banyak masyarakat ketika membaca Perda, ternyata Hutan Ulayatnya
yang berada di wilayahnya, termasuk ke dalam kawasan hutan lindung.
Dalam konteks Sulteng, Surat Edaran Gubernur tahun 1993
itu secara tersurat tidak ada pengakuan tentang tanah ulayat.
Argumentasinya adalah tanah itu merupakan bekas kerajaan. Berarti
semua tanah menjadi tanah negara. Celakanya, ini menjadi preseden
karena tanah itu dipergunakan untuk transmigrasi serta HG. Secara
hukum hal ini sebenarnya bisa digugat, tetapi sampai sekarang temanteman ini belum berhasil. Bupati atau walikota di Palu patokan kerjanya
hanyalah bagaimana cara menarik investasi sebesar-besarnya.
89
Presentasi Kelompok II
Problem hukum di tingkat lokal ada di Bogor dan Kalimantan
Tengah. Ada persoalan tata ruang.
Kelompok II
- Persoalan tata ruang, tumpang-tindih IUPHHK-TN-Kawasan
Lindung-Perkebunan Besar-Wilayah Adat.
- Ada perda terkait adat, tetapi hanya tentang lembaga adat dan
insentif terhadap elit adat.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 89
08/11/2010 9:03:41
- Perda Kademangan (Kalteng) diarahkan untuk menyambut
proyek iklim dan politis, bukan pengakuan substantif.
- Terjadi gap kebijakan nasional-daerah mengenai pemberlakuan
REDD (Kaspuas Hulu) sebab tidak punya kontribusi bagi
peningkatan PAD.
- Perda adat tidak pernah menunjuk secara pasti di mana wilayah
kelola bersama, meskipun menyebutkan mengakui ada tanah
bersama di dalam aturannya.
- Kademangan lebih banyak mengurus kegiatan ritual adat.
- Yang duduk di dewan adat, kalau di Kalbar itu dipenuhi oleh
birokrat, mantan birokrat ,dan teman-teman birokrat.
90
Dalam soal Kalteng, problemnya terutama bersinggungan dengan
per­soalan tata ruang. Tata ruang Provinsi Kalteng sampai sekarang
belum disah­­kan oleh DPR. Selain itu, ada Perda Provinsi yang mengatur
mengenai masyarakat adat di tingkat lokal dan insentif kepada
masyarakat.
Perda itu pada dasarnya mengatur soal Kelembagaan Adat.
Dalam Perda itu dihidupkan kembali “Damang” yang sudah tidak aktif
dan dipergunakan sebagai pilihan untuk kelembagaan adat. Teritori
Damang ini mengikuti struktur pemerintahan. Jadi, ada Damang
tingkat kecamatan, ada dewan adat di kecamatan, di kabupaten, serta
di provinsi. Jadi lebih struktural. Kalau dianalisis, struktur kelembagaan
adat itu hanya untuk memberikan sebagai pelayanan teknis, sebagai
bantuan bagi pemerintah.
Model kelembagaan adat seperti ini tidak sama dengan yang
diangankan, misalnya, oleh AMAN. Definisi siapa itu masyarakat adat
tidak sama. Masya­rakat adat di Kalteng tidak pernah menyebutkan
wilayah adatnya sehingga tidak jelas di mana. Perda itu lebih banyak
mengatur soal tunjangan bagi lembaga adat yang nilainya bervariasi
mengikuti jenjang pemerintahan. Perda itu mengakui adanya wilayah
adat perseorangan dan kelompok, tetetapi tidak ada kejelasan di mana.
Kelembagaan adat itu bersisian dengan struktur pemerintahan.
Jadi, di desa tetap ada kepala desa dan struktur pemerintahan desanya,
serta ada struktur kelembagaan adat. Bahkan ada MADN (Masyarakat
Adat Dayat Nasional) yang “berkuasa” di tingkat nasional. Jadi, bukan
pemerintahan baru. Kelembagaan adat ini juga hanya berperan dalam
soal pelaksanaan ritual adat, seperti ritual pembersihan (ruwatan dan
segala macam).
Maka, Perda itu tidak mengatur mengenai pengelolaan SDA
oleh kelompok adat tertentu. Pengelolaan SDA oleh masyarakat adat
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 90
08/11/2010 9:03:41
ini masih kaburkarena di dalam Perda yang ada itu tidak disebutkan
soal hutan adat. Ada hutan seperti tanah adat, tetapi itu berbeda.
Penguasaan lahan tidak menjadi fokus perhatian.
Dalam soal posisi tawar, jelas kelembagaan adat ini sangat lemah
ketika berhadapan dengan pemerintah. Hal ini dikarenakan ketua
dewan adatnya itu adalah Gubernur Kalteng sendiri. Jadi, struktur
lembaga adat agak identik dengan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, Perda itu jelas kita lihat bukan sebagai pengakuan
hakiki masyarakat adat. Ditambah dengan kenyataan yang mengisi
jabatan dalam kelembagaan adat itu kebanyakan diisi oleh birokrat,
mantan birokrat, dan orang dekat birokrat. Bagaimana mereka bisa
independen?
Ada perkembangan terbaru mengenai lembaga adat di Kalteng
ini, yakni Damang berhak mengeluarkan kebijakan soal tanah. Namun,
soal ini dibuatkan supaya bisa melindungi tanah yang akan digunakan.
Kebijakan ini menguntungkan para investor sawit yang memandang
lebih mudah mengurus soal tanah langsung berhubungan dengan para
Damang. Namun belum tahu bagaimana pertentangannya dengan
proses sertifikat, misalnya soal DPT yang dikeluarkan oleh pihak
kelurahan.
Perda itu belum proporsional karena belum ada Pergub/Peraturan
Gubernur. Beberapa belum punya sendiri. Saya pikir menarik juga
gagasan ke arah itu. Saat ini sudah ada pikiran di forum masyarakat
akan membuat yayasan untuk menampung dana REDD di tingkat
kabupaten. Ini belum ada pernyataan secara resmi.
Kalau konteks Kalimantan Barat, terus terang kami belum men­
cermati­nya. SK Bupati soal masyarakat adat rata-rata dibuat tahun 1999.
Namun, sebenarnya ada peluang bagi kita untuk memperjuangkan
hak-hak masyarakat adat lewat perda.
91
Tanggapan Narasumber:
Hasil diskusinya asyik, intinya memang ada.Saya mencatat ada
beberapa poin: belum ada pengakuan tanah adat, otonomi khusus
yang belum berjalan dengan baik, isu sektoral dalam pengelolaan SDA,
serta partisipasi minim masya­rakat. Kesemua masalah ini sepertinya
umum ditemukan di berbagai daerah.
Ada satu permasalahan yang menurut say berkait, misalkan
definisi masyarakat adat. Saya baru saja berbicara sedikit dengan
Direktur HuMa (Asep Yunan Firdaus). Ternyata, kita tidak memiliki
definisi masyarakat adat. Pemerintahan Indonesia, saya kira, tidak
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 91
08/11/2010 9:03:41
92
akan keberatan jika ada definisi secara spesifik. Di Indonesia, Saya
orang Jawa, besar di Jawa, maka saya di­anggap masyarakat Jawa. Dia
pun ngomongnya sama. Pemahaman seperti itu jadi jelas arahnya.
Ternyata tidak ada jaminan secara substantif bicara soal masyarakat
adat. Jadi, semua orang mengklaim.
Ada peluang dengan RUU tentang Masyarakat Adat yang dimotori
oleh AMAN. Kita harus menyamakan persepsi di tingkat nasional.
Jika tidak, maka agak sulit hak masyarakat adat akan tercapai.
Apakah mereka, masyarajat adat itu, dimasukkan ke dalam kelompok
tersendiri karena misalnya, ketergantungan yang tinggi alam? Namun
jika disamakan dengan masyarakat lain, apakah ada konsekuensinya?
Ada soal kelembagaan, ada DPRD dan MRP yang berkonflik dan
ada masalah adatnya. Kalau menurut saya ada kepentingan politis
dan ini harus dijawab bersama-sama. Bagaimana menjawabnya? Jujur
saja, saya tidak mengerti soal Papua, tetapi saya mau komentar soal
kelembagaan dan kepentingan politisnya.
Pertanyaan apakah persoalan masyarakat adat bisa selesai dengan
memberikan keuntungan/dana. Padahal ketika ada keuntungan, pasti
ada risiko. Karena REDD tidak seperti membeli laptop. Ketika ada
pohon yang ditebang, siapa yang akan menanggung bebannya? Jika
hanya sebagian orang yang mendapatkan dana, tetapi pemerintah
tidak mau menanggung kerugian.
Untuk perencanaan masih menjadi masalah. Ada tumpang tindih
ka­wasan dan kebijakan. Ada satu yang belum dibicarakan, yakni soal
review pada pemberian izin yang sudah terjadi.
Akan tetapi, kalau melihat pada aturan tentang tata ruang
yang baru, kita punya peluang. UU tata ruang memberi ruang pada
masyarakat serta pe­rencanaan tata ruang yang lebih baik. Kita harus
mengusahakan UU tata ruang ini berjalan dengan baik.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 92
08/11/2010 9:03:41
6. Skema-skema Kontrak REDD
Pengantar
Skema kontrak merupakan salah satu bagian dari pembahasan dalam
perundingan skema REDD, terutama di bawah sumber keuangan yang
berasal dari pasar. Kontrak merupakan relasi keperdataan antara dua
belah pihak. Kontrak secara yuridis merupakan undang-undang bagi
kedua belah pihak. Oleh karena itu, kekuatan berlakunya sekuat ikatan
undang-undang. Dalam kaitannya dengan hak masyarakat (adat/
lokal) dan keberlanjutan hutan, memahami seluk -beluk kontrak akan
membantu menyajikan pilihan bagi masyarakat yang akan terlibat
dalam kontrak REDD, apakah memilih skema tertentu atau menolak
sama sekali. Uraian kontrak akan membeberkan mengenai definisi
kontrak, apa saja prinsip-prinsip kontrak, dan bagaimana model
kontrak jika prinsip-prinsip tersebut akan diterjemahkan dalam rezim
karbon dari skema REDD.
93
Narasumber pada sesi ini adalah Josi Catarina dari Indonesian Center
for Environmental Law, sebuah lembaga yang sejak lama mengadvokasi
isu-isu lingkungan, terutama dari aspek hukum di Indonesia.
Presentasi Narasumber
Pada bagian sebelumnya, sudah dibicarakan tentang hukum
inter­nasional. Pada bagian ini, kita masuk ke skema kontrak untuk
menengok apa saja yang potensial terjadi dalam kontrak REDD. Kita
akan mendorong diskusi materi dalam sesi ini lebih partisipatif. Kita
akan diskusi kelompok kemudian presentasi. Masing-masing peserta
akan presentasi tentang kondisi masing-masing di daerah. Selain materi
kontrak, kita akan mendengar perkembangan riset yang dikembangkan
oleh Steni dan Mumu mengenai dokumen peraturan dan beberapa
masalah tentang REDD.
Sedikit perkenalan, pembicara kita berasal dari ICEL yang sejak
berdirinya bergulat dengan isu-isu lingkungan hidup.
Narasumber
Ketika menerima undangan ini untuk mengisi materi kontrak, saya
se­betul­nya tidak begitu mendalami kontrak REDD.Akantetapi, karena
kita juga sudah punya pengalaman lapangan, kita belajar sama-sama.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 93
08/11/2010 9:03:41
Pada prinsipnya, kita coba melihat bagaimana kontrak-kontrak tersebut
menjamin hak masyarakat adat yang terpengaruh REDD.
Saya akan memulai dari aspek umum kontrak. Kontrak merupakan
per­janjian antara para pihak yang menimbulkan ikatan di antara mereka
dan orang yang terlibat terikat pada hukum. Perjanjian merupakan
undang-undang bagi yang membuat. Misalnya, antara Josi dengan
Erlan. Sebelumnya tidak ada keterikatan apapun antara keduanya.
Namun kemudian, ikatan itu muncul karena kita membuat perjanjian.
Perjanjian menjadi sah dan me­ngikat semua pihak yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat sebagai
berikut:
94
Ada empat syarat sah perjanjian yang dibagi menjadi dua, yaitu
syarat objektif dan subjektif. Syarat subjektif berhubungan dengan
orang yang me­lakukan perjanjian. Misalnya jika terjadi perjanjian
jual beli, tidak ada yang memaksa saya untuk melakukan itu. Jadi
basisnya adalah kesukarelaan. Selain itu, pihak yang mampu atau
cakap melakukan perjanjian sudah cukup umur dan bukan orang gila.
Dia harus sudah masuk dalam kategori cukup umur menurut undangundang.
Syarat objektif ada dua. Pertama adalah ada hal atau objek
yang di­perjajikan. Jika tidak ada objeknya, maka perjanjian itu akan
batal. Kedua, dilakukan atas sebab yang halal, yakni sebab yang tidak
melanggar undang-undang dan kepatutan. Misalnya, bukan perjanjian
untuk membuat narkoba. Jika hal itu terjadi, maka kontrak tersebut
batal demi hukum. Namun, beda halnya dengan syarat subjektif. Jika
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 94
08/11/2010 9:03:42
tidak terpenuhi, maka kontrak tersebut bisa diminta pembatalan.
Misalnya, ada dua pihak a dan b ini orang gila. Nah, pihak yang menjadi
pengampu b bisa mengatakan bahwa kontrak ini tidak sah karena si b
tidak mampu untuk masuk dalam hubungan itu. Contoh lain, misalnya
Josi melakukan perjanjian dengan Erlan untuk memberi sesuatu karena
Erlan ditekan atau diancam oleh pihak tertentu. Itu dua syarat subjektif
yang bisa menjadi alasan untuk membatalkan perjanjian.
95
Jadi, jika tidak dipenuhi syarat objektif ini bisa batal demi hukum.
Untuk bandar narkoba misalnya, tanpa harus dibawa ke pengadilan
dengan sendirinya perikatan itu batal. Oleh karena itu, jika hendak
melakukan kontrak, kita harus memperhatikan aspek yang berkaitan
dengan waktu.
Perikatan itu muncul sejak ada kesepakatan. Perjanjian tertulis
bukan satu-satunya sebab perjanjian itu timbul. Misalnya, Yance ber­
janji memberikan sesuatu kepada Erlan. Walaupun tidak ada bukti
tertulis, tetapi jika perjanjian itu tidak dipenuhi Yance, maka Erlan tetap
punya hak untuk meminta Yance memberikannya. Pertanyaannya,
bagaimana Erlan membuktikan janji itu pernah ada? Pertama-tama,
kata-katanya harus jelas. Misalnya dalam pemilihan, hukum yang akan
dipilih harus memperjelas pilihan dalam kontrak. Jika ada dualisme
penafsiran, maka yang akan digunakan penafsiran yang memungkinkan
atau berdasarkan kebiasaan. Persoalan timbul karena kadang-kadang
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 95
08/11/2010 9:03:42
kedua belah pihak memiliki kebiasaan yang berbeda. Misalnya orang
Indonesia dengan orang Indonesia, tetapi memiliki kebiasaan yang
berbeda. Kontrak tersebut harus menjabarkan hukum-hukumnya
dalam bahasa yang jelas. Katakanlah satu pihak wanprestasi, maka apa
saja ruang lingkup wanprestasi harus jelas.
96
Wanprestasi mempunya risiko tertentu (lihat di atas).
Dalam kaitannya dengan REDD, saya mengambil contoh dari Noel
Kempff Climate Action Project di Bolivia yang dilakukan oleh salah satu
NGO di Amerika. Laporannya dikeluarkan oleh Greenpeace.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 96
08/11/2010 9:03:43
Pada 1997, Bolivia menginisiasi sejenis REDD bersama dengan
LSM Konservasi TNC dan perusahaan energi, antara lain American
Electric Power (AEP), BP-Amoco (BP). Kemudian mereka bekerja
sama dengan LSM lokal Fundación Amigos de la Naturaleza (FAN)
dan mengembangkan proyek karbon yang akan dijual di bursa saham
Chicago Climate Exchange (CCX). Lokasi proyek tersebut adalah sebelah
utara-timur Bolivia dekat Taman Nasional Noel Kempff Mercado yang
ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO. Di wilayah ini,
mereka melakukan kegiatan perlindungan hutan karena logging masih
terus mengancam. Model yang dikembangkan di Bolivia ini adalah
jenis kontrak yang para pihaknya adalah pihak luar, bukan masyarakat
sekitar hutan. Masyarakatnya sendiri menyatakan mereka tidak
dilibatkan dalam kontrak. Namun, perusahaan sendiri menyatakan
masyarakat memiliki benefit dalam kontrak. Informasi dan laporan
mengenai proyek ini dapat dilihat di www.greenpeace.org/raw/
content/.../carbon-scam-noel-kempff-clima.pdf -
97
Diskusi
Peserta ingin mendapat penjelasan lebih dalam mengenai skema
yang dikembangkan di Bolivia, apakah publik atau pasar. Ada lembaga
yang me­nyepakati. Prinsipnya government to government, ada yang
bilateral dan pasar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 97
08/11/2010 9:03:44
Menurut narasumber, skema Noel Kempff adalah skema pasar.
Perbedaan antara keduanya adalah skema publik akan masuk ke dalam
kesepakatan internasional. Sementara yang satu bersifat voluntary,
tidak tergantung pada perundingan Internasional. CAP ada dua,
market dan fund.
Diskusi ini diarahkan ke isu kontrak, yang akan terjadi di kawasan
hutan, yang dihuni masyarakat adat. Narasumber memulai dengan
sejumlah pertanyaan penting.
98
Mengenai posisi hutan adat dalam rezim REDD, bagan di atas
memberikan gambaran mengenai konstruksi hukum saat ini. Pada
prinsipnya, meskipun tidak ada kesepakatan Internasional mengenai
REDD, proyek berbasis pasar ini tetap akan jalan. Masalahnya, siapa
yang mau bayar emisi dari deforestasi dan siapa yang akan dicegah
untuk tidak melakukan deforestasi.
Diskusi ini fokus pada dua pertanyaan. Pertama, siapa yang akan
men­jalani proyek ini. Jika pihak luar yang memiliki proyek ini, mari kita
identifikasi siapa yang akan terlibat di dalam perjanjian. Di satu pihak,
ada pihak yang akan membeli hak untuk melakukan REDD, yang di
dalam lokasi itu terdapat masyarakat adat.
Kedua, bagaimana kalau masyarakatnya sendiri yang memiliki
karbon kredit atau pelaku penjual karbon? Misalnya, mereka mau
mengadakan kerja sama dengan pihak lain. Bagaimana bentuknya?
Harus diingat, syarat-syarat REDD adalah harus menjadi tidak boleh
leakage dan karbon permanen. Satu lagi, REDD hanya additionality.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 98
08/11/2010 9:03:44
Untuk membahas dua pertanyaan ini, peserta dibagi dalam diskusi
ke­lompok. Pertama, masyarakat adat atau lokal tinggal di dekat hutan,
tetapi mereka bukan pemilik. Sedangkan yang satu lagi jika dia menjadi
pemilik, bagaimana kontraknya.
Dalam rangka mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini, sejumlah
pe­serta juga menggarisbawahi soal lain yang juga perlu dibayangkan,
yakni melihat pembatasan-pembatasan hukum yang dialami masya­
rakat adat. Misalnya, di kawasan konservasi, dari sisi hukum ada
wilayah yang secara hukum tidak bisa diakses, secara hukum dilarang.
Akan tetapi, masyarakat adat seharusnya dapat manfaat. Jika di­
periksa prosedur kehutanan saat ini, hampir semua wilayah hutan
sebetulnya tidak bisa diakses masyarakat karena tidak punya dasar
penguasaan secara hukum (negara). Status mereka di kawasan hutan
bisa dikatakan ilegal. Atas dasar apa mereka melakukan perjanjian.
Hal ini sangat relevan diperjelas untuk menjawab pertanyaan kedua.
Masalah-masalah ini juga akan coba kita bahas dalam kelompok. Oleh
karena itu, ada tambahan satu kelompok yang akan bicara mengenai
isu legalitas masyarakat adat.
Isu yang muncul dalam konteks REDD adalah mengenai tanggung
jawab negara. Di satu pihak ada negara, di lain pihak ada swasta. Jika
baseline-nya adalah suatu wilayah tertentu, maka sebagai pihak di
UNFCCC, negara tetap bertanggung jawab, Meskipun itu merupakan
proyek swasta. Negara dalam hal ini adalah penjamin proyek swasta.
Dia bertanggung jawab atas leakage yang terjadi, maupun isu per­
manen atas stok karbon.
99
Tanggapan Narasumber
Dalam konteks Indonesia, apakah pemerintah lokal itu tidak bisa
men­­jadi wakil dalam proyek, terutama dalam konteks otonomi daerah.
Dengan memberi ruang bagi pemerintah lokal, maka kontrol akan lebih
punya gigi. Maka, negara sebagai penjamin, tetapi di level lokal, peran
itu dimainkan oleh pemerintah daerah. Namun kalau negara sebagai
penjamin, tempat bagi masyarakat adat semakin sempit. Jika, sebagai
penjamin dia memastikan efektivitas dan efiesiensi proyek, termasuk
keuntungan proyek. Kalau menggunakan emerintah daerah, bagi
pem­rakarsa proyek termasuk masyarakat juga lebih menguntungkan.
Tidak tergantung pemerintah nasional. Masalahnya, dalam praktik
yang mampu menjalankan proyek adalah perusahaan besar. Pen­
dekatan perusahaan besar sangat berisiko leakage karena mereka
juga punya bisnis logging atau konversi hutan di tempat lain. Hal ini
akan merugikan upaya mengatasi perubahan iklim. Akan tetapi dalam
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 99
08/11/2010 9:03:44
konteks hutan adat, perlu diperlihatkan model kontrak seperti apa,
terutama masyarakat adat yang sudah diakui oleh peraturan daerah.
Hutan desa
100
Dalam skenario hutan desa, pemerintah desa bisa sebagai pemilik
dan yang kena dampak. Masyarakatlah nanti yang akan menjadi pihak
lain dan dia yang punya hak pengelolaan. Hak atas tanah itu terpisah
dengan hak yang ada di atas tanah. Orang bisa punya hak pengelolaan
atas tanah, tetapi bukan pemilik tanah. Dalam kaitannya dengan kontrak
REDD, bagaimana konstelasinya di hutan desa. Apakah pemerintah
dengan masyarakat punya kontrak? Strateginya tentu bukan hanya soal
uang, tetapi masyarakat bisa punya akses. Melakukan kontrak REDD
tidak berarti hutannya tidak boleh dimasuki oleh masyarakat.
Namun untuk mendapatkan hutan desa, masyarakat harus punya
izin. Subjek haknya jelas tercantum dalam izin tersebut.
Menurut seorang peserta, subjek izin dan kontrak adalah dua hal
yang berbeda. Kalau hutan desa, subjeknya adalah masyarakat. Kalau
kontrak, pasti individu. Siapa yang menjadi perwakilan di sana.
Menurut narasumber, secara hukum dalam skema hutan desa,
mayarakat itu pengelola. Pertanyaannya adalah bagaimana supaya
masyarakat menjadi pemilik? Bagaimana masyarakat bisa langsung
membuat perjanjian dengan pihak tertentu? Siapa yang membuat
dan apakah mereka subjek hukum yang mampu untuk melaksanakan?
Selanjutnya, apa saja yang harus diperjanjikan? Oleh karena REDD
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 100
08/11/2010 9:03:45
ini perjanjian yang berhubungan dengan uang,kita bisa mencatat isu
utamanya apa saja.
Diskusi Kelompok
Ada tiga kelompok:
1. Hutan adat (diakui Perda) masyarakat adat sebagai pemilik.
2. Hutan adat (belum diakui sebagai Perda) masyarakat adat dampak­
nya seperti apa.
3. Hutan desa, masyarakat sebagai pemilik.
Presentasi Kelompok Hutan Desa
Kelompok hutan desa menjawab pertanyaan mengenai apa
yang di­butuh­kan dalam isu-isu kunci terkait dengan REDD. Dalam hal
persiapan, yang perlu disiapkan adalah kelembagaan desa (lihat box).
101
Dalam mengajukan proposal, supaya masyarakat memiliki
dukungan hukum juga dibutuhkan rekomendasi bupati atau dari
kelembagaan desa. Lembaga desa kemudian mengajukan izin
pemanfaatan hutan desa. Isinya antara lain menyangkut rencana
pengelolaan dan pemanfaatannya. Ada blok-blok rencana kerja
tahunan. Selanjutnya, perlu asistensi teknis.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 101
08/11/2010 9:03:45
Terkait dengan apa yang akan kita perhatikan jika instrumen hukum
sudah diperoleh dalam bentuk SK Penetapan Hutan Desa dari Menteri
Kehutanan, perlu ada jaminan persetujuan atas dasar informasi awal
tanpa paksaan bagi masyarakat desa atau FPIC.
102
Artinya ketika jaminan FPIC ada, masyarakat punya hak veto
untuk me­nyatakan iya atau tidak dalam menjawab proyek. Selain itu,
bagaimana norma sosial di kampung diperhatikan oleh pihak luar.
Perhitungan benefitnya tentu yang tercantum jelas di kontrak agar
mengurangi konflik. Bisa juga dituangkan dalam Perdes. Selain itu, yang
perlu diperhatikan juga adalah kontrak harus menjamin peningkatan
kapasitas masyarakat ataupun upaya-upaya yang lain terkait dengan
pencegahan deforestasi hutan desa. Dalam soal mekanisme monitoring
dan pengawasan, perlu digarisbawahi kesepakatan antara pihak yang
melakukan monitoring.
Kami juga menginginkan kejelasan dalam hak akses atas hutan.
Maksudnya jangan sampai dalam pelaksanaan kontrak tersebut, akses
masyarakat betul-betul menjadi haram. Ada satu contoh sekarang ini
di Jambi, di dua lokasi hutan desa. Satu sudah disetujui, sementara
yang satu lagi sedang dalam proses usulan dan telah sampai di tingkat
pemerintah. Namun, masih ada kendala dengan tata batas. Yang
diusulkan ini adalah perluasan taman nasional, tetapi batasnya belum
terpasang . Di dalam wilayah yang diusulkan ini sudah ada 30% pohon
karet masyarakat. Dulu merupakan hutan produksi, tetapi sudah
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 102
08/11/2010 9:03:46
tidak aktif lagi. Secara hukum merupakan tanah negara, tetapi tidak
aktif lagi dan masih masuk tanah desa. Sekarang ini, karetnya masuk
masa produksi. Akan tetapi, tidak diperbolehkan. Padahal, metode
pemanfaatannya hanya disadap untuk mengambil getahnya dan tidak
ditebang.
Tanggapan Narasumber
Kontrak ini tampaknya adalah kontrak jual beli. Ada beberapa
kondisi, antara lain masyarakat harus bisa masuk untuk menyadap
getah karet. Di sisi lain, ada penebangan hutan yang berujung pada
jual kayu. Dengan adanya REDD, tidak akan ada lagi penebangan.
Kalaupuan ada yang ditebang, maka akan ditanam kembali. Di wilayah
yang ditunjuk menjadi REDD tersebut, akan ada konsultasi dan lembaga
verifikasi. Jika tidak ada penebangan, maka berdasarkan verifikasi
karbon bisa dijual. Dalam hal pemantauan agar tidak terjadi pelepasan
karbon, masyarakat selaku pemilik memastikan tidak akan terjadi
penebangan kayu. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kontrak antara
lain dicantumkan bahwa masyarakat diberi peningkatan kapasitas
yang memastikan hutan tidak ditebang. Dalam 25 hingga 30 tahun
ke depan wilayah ini tidak dapat melakukan penebangan. Selain itu,
masyarakat harus memastikan tidak ada kebocoran. Ketika masyarakat
bisa menunjukkan itu, maka akan ada yang mau membeli. Kalau ada
penebangan, maka masya­rakatnya wanprestasi. Artinya, masyarakat
mungkin tidak akan memperoleh benefit.
Namun, jika kebocoran dilakukan di luar wilayah proyek, maka
meto­dologi­nya harus diputuskan. Kalau baseline-nya nasional, maka
untuk wilayah proyek REDD, masyarakatlah yang menjaga hutan.
Sementara, pemerintah harus memastikan secara nasional tidak
terjadi kebocoran di luar wilayah proyek.
Oleh karena itu, bisa dilihat bahwa kelemahan dari kontrak
REDD di wilayah yang dipunyai masyarakat adalah jika sebelumnya
masyarakat punya kewenangan atas wilayah, di bawah kontrak REDD
kewenangan mereka justru berkurang. Pengurangan itu diganti oleh
sharing benefit. Selain itu, syarat-syarat untuk mengamankan wilayah
harus dipenuhi oleh masyarakat. Masyarakat tidak boleh membiarkan
orang lain menebang untuk menjamin haknya atas benefit tetap
terjaga. Isu berikutnya adalah bagaimana memenuhi syarat-syarat
kontrak tersebut dengan pembeli. Andaikan perjanjiannya 30 tahun,
tetapi di tengah jalan masyarakat merasa harga karbon terlalu rendah.
Lalu mereka memutuskan untuk melakukan penebangan. Di sini terjadi
wanprestasi.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 103
103
08/11/2010 9:03:46
Tanggapan Peserta
Skema di atas dianggap tidak adil. Perusahaan hampir tidak
merugi. Dia menjual saham dan kemudian membeli kembali. Sedang
masyarakat butuh bayaran untuk melindungi hutan.
Tanggapan lain mengenai penyelesaian sengketa. Jika meng_
gunakan hukum arbitrase, pemilihan hukumnya bagaimana. Apalagi
bila pembelinya orang asing. Bisa saja menggunakan hukum Indonesia,
tetapi belum tentu dia mau. Namun yang menjadi masalah besar,
dalam pemilihan tersebut masyarakat tidak dilibatkan.
Dari segi mekanisme mengikatkan diri, ada kesulitan memastikan
semua orang mengikatkan diri pada satu kontrak. Barangkali perlu ada
mekanisme monitoring seperti menggunakan mekanisme adat.
104
Tanggapan Narasumber
Ada dua isu yang mempengaruhi kontrak kredit karbon. Pertama,
REDD akan disepakati atau ditolak di tingkat internasional. Di sana ada
aturan mainnya sehingga si pembeli dan masyarakat hanya memiliki
sedikit keleluasaan karena sudah dibatasi dengan peraturan. Kedua,
ada harga karbon premium untuk kredit karbon yang dilakukan lewat
masyarakat. Saat ini ada pasarnya, tetapi tidak besar.
Presentasi Kelompok 2
Contoh kasus yang diambil adalah di Jambi , yang sudah ada
pengakuan hak masyarakat adat. Di dalam masyarakat sendiri, sampai
saat ini sudah ada mekanisme sendiri. Diantaranya ada hak untuk
memanfaatkan fungsi lain dari hutan adat seperti air. Selain itu,
masyarakat adat memanfaatkan kayu untuk pembuatan rumah dan
adat, setiap rumah itu 20 kubik.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 104
08/11/2010 9:03:46
Subjek hukum
Hak
Kewajiban
Catatan
Masyarakat adat
Hak untuk memanfaatkan
hutan adat
• Memanfaatkan air di
kawasan hutan adat
• Pemanfaatan
hutan
bukan kayu, seperti
buah-buahan, madu
• Memanfaatkan hasil
hutan berupa kayu,
akan tetapi hanya
sesuai
kebutuhan,
misalnya untuk rumah
( tidak boleh di jual)
Memberikan perlindu­
ngan terhadap kawa­san
hutan adat, misal­nya
tidak boleh melaku­
kan penebangan ke­
cuali sesuai dengan
kebutuhan.
• Penetapan batas wi­
layah hutan adat.
• Mensosialisasikan
hasil hutan adat ke
masyarakat luas.
• Melakukan
patrol
rutin di kawasan
hutan adat
• Pembuatan Mekanis­
me sanksi adat.
• Penetapan batas wilayah
hukum adat dilakukan
secara partisipatif, yang
melibatkan semua pihak
( Masyarakat adat, dinas
kehutanan, dll.)
• Pelanggaran adat dan
pe­­nyelesaian sengketa
di wilayah hukum adat
diselesaikan melalui pe­
radilan adat.
• Hasil pemanfaatan hu­
tan yang didapatkan
dibagi untuk pengelola
40 %, 20 persen untuk
pemdes, 20 %BPD, dan
20 % masyarakat adat
• Sanksi adat diberikan
dalam bentuk semanis
mung­kin berdasarkan
jenis dan bentuk pelang­
garannya
Pemerintah desa
• Mengatur kebutuhan
administrasi hutan
adat
• Bertanggung jawab
mengoordinasikan
dengan semua
• pihak yang
berhubungan
pengelolaan hutan
adat.
105
• Menfasilitasi pem­buatan
regulasi dengan bupati
atau gubernur
Pemberi hibah,
pemberi kredit
atau pembeli
Masyarakat adat sendiri sudah menyebutkan batas-batas
hutannya dan mereka mensosialisasikan ke masyarakat adat yang
lain dan pemerintah. Ada monitoring yang rutin. Selengkapnya ada di
matriks, di atas.
Presentasi kelompok 3 (Kontrak REDD di hutan adat nonperda)
Menurut kelompok kami, dalam tahap prakontrak, kita harus
memastikan pengakuan hukum masyarakat adat atas hutan (lihat box).
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 105
08/11/2010 9:03:46
106
Bentuk pengakuan bisa MoU, Perda, SK, atau terobosan hukum
lainnya. Pengakuan tersebut akan membuat masyarakat setara dengan
para pembeli.
Kelompok HKM
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 106
08/11/2010 9:03:48
Satu kelompok masyarakat sudah bisa membuat perjanjian dengan
yang lain. Akan tetapi, jangka waktunya harus cukup panjang.
107
Selanjutnya kami mencatat hal sebagai berikut:
Tanggapan Peserta
Dalam pertanyaan mengenai siapa yang menjadi representasi,
jika ko­munitas­nya adalah adat, maka lembaga adat itu yang menjadi
representasi. Ini menjadi isu kunci dalam kontrak. Akan tetapi karena
berkaitan dengan kontrak, maka ketentuan internal masyarakat tidak
cukup. Maka, perlu ada perlindungan hukum dari Perda. Dalam konteks
Hkm, dia bisa berbentuk badan hukum yang mewakili masyarakat
dalam berhubungan dengan pem­beli.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 107
08/11/2010 9:03:48
Mengenai isu partisipasi, barangkali bukan di kontraknya, tetapi
di manajemen. Bahwa ada partisipasi masyarakat adat, harus ada
semacam kontrak sosial dan kontrak politik. Dalam hal ini, pemerintah
desa dan pemerintah adat akan memegang mandat untuk memastikan
aturannya berjalan.
Komentar Fasilitator
Ada beberapa ulasan yang tampak dari diskusi ini, yakni:
1. kepastian hukum tentang wilayah hutan.
2. pemerintah adat atau masyarakat harus punya kapasitas untuk
menjalan­kan REDD.
108
Selanjutnya mengenai risiko, pertanyaannya adalah siapa yang
akan me­nanggung. Misalnya, risiko yang sifatnya force major. Selain
itu, risiko bila harga karbon fluktuatif sehingga bagi masyarakat tidak
lagi menguntungkan. Kemudian kalau ada kebocoran, siapa yang akan
kena penalti. Hal-hal seperti ini akan mejadi bagian perjanjian. Dalam
hukum perdata biasa, kewajiban-kewajiban untuk memastikan objek
yang dijual tetap memiliki kualitas yang sama, merupakan kewajiban
penjual. Pembeli membayar berdasarkan kualitas objek.
Tanggapan Narasumber
Kalau mengikuti model penjualan saham, harga karbon bisa
mengikuti harga saham. Kalau pembeli tidak datang langsung ke
masyarakat, di bursa saham ada pihak ketiga yang akan menjual saham.
Kontraknya adalah antara penjual dengan pihak yang lain. Menjadi
catatan adalah menyangkut pembagian keuntungan. Ada berbagai
perhitungan, termasuk pajak. Secara fair, harusnya ada pembagian
biaya antara pihak penjual dan pembeli. Jika menggunakan skema pasar,
pemerintah tidak banyak terlibat, tetapi hanya memperhitungkawan
awal produksi. Oleh karena itu, perlu diperiksa benar mana model
yang paling menguntungkan.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 108
08/11/2010 9:03:48
7. Kajian Learning Center
Mengenai Kerangka Hukum dan
Kebijakan
Pengantar
Dalam kaitannya dengan kerangka hukum, Learning Center HuMa
sedang melakukan kajian berkaitan dengan perkembangan hukum
perubahan iklim dan REDD, baik di level nasional maupun internasional.
Kajian ini belum selesai. Kajian hukum nasional dikerjakan oleh
Mumu Muhajir, sementara kerangka hukum internasional dibuat oleh
Bernadinus Steni.
109
Safe Guard dalam Kerangka Hukum Internasional
Safe guard adalah kebijakan yang melindungi masyarakat maupun
lingkungan dalam kaitan dengan skema REDD. Ada kebijakan yang
tercantum dalam konvensi perubahan iklim, yang akan melindungi
orang dari dampak perubahan iklim, dan dari skema untuk mengatasi
dampak perubahan iklim. Beberapa organisasi mengembangkan safe
guard, seperti World Bank. Dalam salah satu safe guard-nya, World
Bank menyatakan bahwa setiap proyeknya harus memperhatikan
aspek sosial di lingkungan proyek. Dalam surat yang kami kirim ke
World Bank, kami menggunakan safe guard mereka untuk menyatakan
bahwa proses REDD di Indonesia tidak mengikuti safe guard World
Bank, terutama menyangkut partisipasi publik.
Meski safe guard penting, namun tidak memecahkan persoalan
yang terjadi. Akan tetapi, setidaknya kita bisa mendorong beberapa
lembaga untuk menggunakan safe guard, terutama agar bisa me­
lindungi kelompok rentan seperti masyarakat adat. Ada beberapa
safe guard policy yang menyangkut proses-proses yang mengancam
lingkungan, misalnya transfer teknologi, apakah capacity building.
Transfer teknologi yang merupakan bagian dari konvensi, membuat
risiko bagi negara penerima. Dalam konvensi pun disebutkan,
negara yang berinisiatif membuat proyek mitigasi harus puny upaya
meminimalisasikan dampak. Dalam Protocol Kyoto pun demikian.
Protocol Kyoto misalnya, menyebut safe guard untuk negara pulau,
negara kecil, yang rentan terhadap penggurunan, sebagian wilayahnya
kering, berekosistem rendah, dll. Indonesia memenuhi kategori itu,
tetapi tidak punya standar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 109
08/11/2010 9:03:48
110
Di teks REDD AWG LCA juga kita bisa lihat safe guard policy. Di
Bangkok safe guard dibahas keras sekali. Posisi negara-negara berbeda,
bahkan NGOs pun saling bertarung. Dalam pasal empat teks tersebut,
sebagian besar bicara safe guard. Akan tetapi, Protokol Kyoto sendiri
bermasalah. Ketika prinsip Protokol Kyoto tidak menentukan lebih
lanjut soal kebijakan pengamannya, maka bentuk pelaksanaannya
diatur pada pasal dua. Dalam pasal 2 ayat 1 a (ii) Protokol Kyoto
sebetulnya sudah memasukkan penanaman sebagai hutan. Dari situ
awal diskusi, perkebunan boleh masuk sebagai hutan. Selanjutnya,
dalam Marrakesh Accord sebagai tindak lanjut Kyoto, definisi hutan
menjadi lebih terbuka memasukkan perkebunan sebagai hutan.
Keputusan ini mengacu pada FAO. Dalam konteks REDD plus, definisi
ini digunakan oleh negara yang mendorong penanaman kembali untuk
masuk sebagai definisi hutan. Perkebunan sawit, bisa masuk sebagai
hutan. Ada yang berargumen bahwa sawit bisa menyerap karbon.
Namun, hasil penelitian Sawit Watch memperlihatkan sawit hanya bisa
menyerap tiga jenis gas rumah kaca. Sawit tidak sepenuhnya menyerap
karbon.
Kerangka Hukum Nasional
Topik yang digarap untuk hukum nasional adalah berbasis pada
satu pertanyaan, yaitu kebijakan dan kelembagaan macam mana yang
seharusnya ada di Indonesia. Tujuannya adalah untuk melindungi
masyarakat adat dan hutan. Cara membaca dan menjawab pertanyaan
itu adalah dengan dua pendekatan. Membaca bagaimana lembaga
yang ada sekarang dan bagaimana interaksi antara lembaganya
di dalam sistem nasional di Indonesia. Apakah dengan hadirnya
Permenhut menjawab pertanyaan dan kebutuhan masyarakat? Semua
didekati pada level nasional. Berbagai temuan memperlihatkan bahwa
pendekatan sektoral itu jelek. Sementara di daerah, persoalannya juga
ramai. Di pusat banyak aktor yang bermain. Lalu, bagaimana hubungan
ketiga aktor (masyarakat, daerah, pusat) ketika masuk ke dalam hutan
negara yang statusnya HPL atau HPH? Apakah dia bisa melakukan
konversi? Yang kemudian menarik itu mencoba membandingkan
tentang kontrak dalam REDD. Ini akan dikerjakan setelah Copenhagen.
Dalam kontrak ini yang biasa dipakai pemerintah sebagai kontrak
terbaik di dalam hutan adalah sistem perizinan. Akan tetapi, ada
isu korupsi. Hubungan korupsi dan izin itu sudah banyak sekali
penelitiannya. Dalam hal ini, penelitian tidak lagi berbicara persoalan
negara punya posisi di mana karena fakta bahwa dia mengabaikan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 110
08/11/2010 9:03:49
hutan kemasyarakatan. Penelitian ini akan mengkombinasikan
penelitian lapangan dengan analisis kebijakan. Persepsi masyarakat
kemudian dibandingkan dengan working paper yang ada.
Diskusi
Sejumlah pertanyaan yang muncul sebagai berikut:
Pertama, apa konsekuensinya kalau sawit ditetapkan sebagai hutan,
mungkin ini bisa dijelaskan bagaimana implikasinya.
Kedua, peserta juga menanyakan cakupan riset ini, apakah juga
menjangkau kebijakan daerah. Apalagi Pemda melihat ini sebagai
sumber uang.
Ketiga, peserta juga menanggapi bahwa ketika bicara kebocoran
(leakage), maka itu sebetulnya urusan pemerintah, bukan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah harus merespon secara sistemik, tidak
secara sektoral.
111
Keempat, peserta ingin mendapat contoh dari negara lain.
Kelima, dalam perdebatan internasional REDD mengacu pada safe
guard yang mana. Jika menengok WB dan ADB, safe guard yang mereka
kembangkan pasti ada konsekuensinya. Yang terjadi di Indonesia,
Permenhut REDD mengasumsikan kondisi Indonesia normal. Safe guard
masyarakat sendiri bagaimana. Kekhawatiran lain adalah beberapa
waktu lalu pejabat Bapeda bertemu untuk membahas rencana kerja
mereka tahun 2010. Di sana ditetapkan lima kebijakan prioritas dan
perubahan iklim adalah salah satu prioritas. Namun, mereka melihat
ini sebagai proyek pemerintah. Anggarannya dialokasikan untuk
penanganan banjir, membeli pelampung, dan sebagainya. Idealnya
langkah-langkah ini integrated dengan langkah yang diambil untuk
perubahan iklim (mitigasi dan adaptasi). Menjadi pertanyaan adalah
jika uang REDD turun, uangnya ini akan dipakai untuk apa? Boleh jadi,
dalam desain mereka REDD dipakai untuk beli pelampung.
Tanggapan Narasumber
Pertanyaan pertama mengenai sawit sebagai kawasan hutan.
Konse­kuensi­nya adalah pihak yang akan masuk kontrak ini adalah
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 111
08/11/2010 9:03:49
112
pengusaha sawit dan dia diperlakukan sebagai subjek, yang punya hak
dan yang akan dapat manfaat lebih banyak. Selain itu, wilayahnya juga
lebih luas sehingga klaimnya lebih besar. Dalam hal ini, pengusaha
sawit akan dapat keuntungan ganda, dari REDD dan sawit. Selain itu,
menurut UU Perkebunan, satu investasi di bidang perkebunan adalah
upaya untuk menyerap karbon. Menyerap emisi gas rumah kaca.
Artinya, masuknya sawit sebagai hutan atau perkebunan. Sebagai
hutan, jelas merupakan ancaman. Misalnya di Jawa Tengah, masyarakat
sudah ada yang ditahan karena dia dianggap memasuki kawasan.
Dalam konteks REDD, dia juga akan ditahan karena masuk perkebunan.
Berkaitan dengan pertanyaan kedua, sejauh ini riset tersebut
baru masuk ke nasional dan provinsi. Akan tetapi, belum ada analisis,
meskipun jangkauan riset juga mencakup provinsi. Di sisi lain, Pemda
pun belum banyak mengeluarkan kebijakan yang langsung mengatur
REDD. Kami melihat ke beberapa isu yang bisa ditarik ke atas. Misalnya
saja, belum ada integrasi skema perubahan iklim dalam pembangunan
nasional. Bagaimana kita melihat proses kebijakan perubahan iklim
dalam kebijakan nasional. Untuk yang spesifik dengan hutan, misalnya,
masalah masih kuatnya tarik-menarik kontrol atas sumber keuangan.
Berkaitan dengan respon pemerintah, menurut Narasumber
skema REDD harusnya dimasukkan dalam skema pembangunan
daerah. Namun, hal itu bukan persoalan yang diselesaikan dalam
hitungan bulan. Asumsi-asumsi teoretis di atas adalah persoalan yang
akan jelas wujudnya ketika diuji di lapangan. Skema yang muncul dari
COP 15 dan yang lain akan menentukan ke depan. Bagi kita di level
nasional, perlu mendorong tempat yang jelas bagi REDD dalam hukum
nasional. Apakah harus dibuatkan Perda untuk perubahan iklim? Atau
REDD dimasukkan saja ke dalam kebijakan yang sudah ada?
Berkaitan dengan pertanyaan tentang contoh REDD yang sudah me­
nimbulkan masalah, sebetulnya banyak. Saat ini yang sedang menjadi
pembicaraan adalah PNG. Di sana, hukumnya ketinggalan dari proyek
REDD, alias ada kekosongan hukum. Akan tetapi, proyek REDD tetap
jalan. Indonesia sudah punya kebijakan dan akan menerapkannya.
Namun dalam rujukan hukum yang lebih tinggi, sebetulnya belum punya
dasar hukum. Jangankan REDD, DNPI saja masih menjadi persoalan.
Ada pertanyaan apakah perdagangan karbon merupakan objek yang
bisa dirujuk ke UU no. 41 atau barang baru yang dirumuskan dalam
rezim hukum yang lain. Jika dibandingkan dengan negara berkembang
lainnya, seperti Nicaragua dan Ekuador, pemerintah mereka berani
mendorong masalah yang dihadapi rakyatnya ketika perundingan
UNFCCC mengusulkan skema pasar. Oleh karena itu, mereka menolak
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 112
08/11/2010 9:03:49
skema pasar. Akan tetapi, kelembagaan mereka juga tidak begitu jelas
statusnya.
Menjawab pertanyaan dan komentar kelima, menurut Narasumber
dalam pertemuan terakhir UN-REDD, ada upaya untuk menyandingkan
safe guard UN-REDD atas masyarakat adat, terutama FPIC dengan WB.
Jika WB menerima, maka persoalan berikutnya adalah di negara. WB
sendiri dan banyak negara, termasuk Indonesia, tidak mau memasukkan
kata consent dalam FPIC., Sepertinya WB hanya membuatnya menjadi
konsultasi. Proses yang cukup bagus berjalan di UN-REDD karena dia
mendorong perwakilan masyarakat masuk ke sana. Di sisi lain, dalam
teks SBSTA di perundingan UNFCCC, ada prinsip partisipasi penuh dan
efektif dari masyarakat dalam desain implementasi dan monitoring
REDD. Sampai sekarang pembahasannya masih berlangsung. Pada
level implementasi inilah yang masih debat dan ada monitoring.
Dalam kaitannya dengan inisiatif Bapeda, aritnya harus ada
yang me­ngintegrasikan kebijakan daerah. Inisiatif awal dari Bapeda
itu sudah menjadi langkah bagus. Meski sifatnya berorientasi uang
karena hanya berhubungan dengan masalah bagaimana mengatur
dana dari luar. Selain itu, perlu mem­perlakukan entitas nasional itu
sebagai penerima dana. Dengan itu, kita mendorong partisipasi warga
negara sendiri, termasuk masyarakat adat. Saat ini, masyarakat adat
diperlakukan tidak sebagai pemangku kepentingan. Beda dengan
India. Ketika melakukan CDM, India jadi orang kaya yang menghitung
karbon, berapa bayaran yang diperoleh negara dan uangnya digunakan
untuk forestasi. Maka, CDM India lebih cenderung aman saja. Cina
juga lebih aman karena tidak menghadapi isu deforestasi. Jadi dari
segi keuangan, ada pertanyaan besar bagaimana uang itu masuk dan
bagaimana REDD itu diterima.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 113
113
08/11/2010 9:03:49
8. Perkembangan-perkembangan Proyek
Percontohan REDD
Pengantar Diskusi
Diskusi ini mulai dari kerja praksisnya UNREDD. Skema ini muncul
sebagai upaya jemput bola atas Bali Action Plan. Pertama-tama
diinisiasi oleh UNDP dan UNEP, kemudian dapat dana segar dari
pemerintah Norwegia. Sebagaimana diketahui, diskusi payung
pendanaan untuk skema perubahan iklim ini ada beberapa alternatif
yakni, pertama memperkuat dan memberi tambahan untuk GEF.
Kedua, membentuk skema baru di bawah UN. Ketiga membentuk
skema baru yang lain di bawah COP.
114
UNREDD dorongan di bawah UN dan tidak di bawah COP UNFCCC
karena isu di COP adalah isu sektoral, hanya perubahan iklim. Namun
jika dibawa ke UN, maka isunya lintas sektoral, termasuk semua
aspek. Jadi, bisa melibatkan banyak organisasi UN seperti FAO, WHO,
UNESCO, UNDP, dll. Indonesia mulai terlibat tahun 2008. Komitmen
pendanaan pertama datang dari Norway sebagai skema public fund
sebesar 1 miliar dollar US. Uang itu yang dipakai untuk melaksanakan
proses ini.
Sesi ini diisi oleh sharing desain penelitian yang dibuat oleh Lili
Hasanudin yang diminta oleh RFN (Rainforest Foundation Norway)
untuk melihat aspek governance dan hak masyarakat di tiga wilayah
(Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara) yang diusulkan
dalam program UNREDD. Selanjutnya, para peserta dari masingmasing regio mempresentasikan situasi aktual tentang REDD di
daerahnya masing-masing.
Sharing Penelitian di Sulteng
Sharing berikut ini terkait dengan satu rencana UNREDD di
tiga tempat di Sulawesi dan ini sangat terbuka bagi kawan-kawan
memberikan input. Sebagaimana sudah disinggung di pengantar,
UNREDD merupakan kolaborasi badan PBB yang dilakukan di bawah
UNEP. Tujuan UNREDD untuk membantu rancangan strategi nasional
agar siap di masa mendatang. Ada beberapa prinsip kerja yang
menarik, prinsip kerja itu sangat kental dan prinsip kerjanya berbasis
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 114
08/11/2010 9:03:49
hak. Setidaknya dari sisi konseptual, prinsip kerja yang berbasis hak
merupakan pendekatan yang sangat berbeda dengan pendekatan
berbasis kebutuhan. Selain itu, prosesnya partisipatif. Jadi, bukan belas
kasihan. Bahwa rakyat memiliki hak mendapatkan pelayanan negara.
Prosesnya bukan karitatif, tetapi bagaimana memberdayakan. Jadi,
orientasi kebijakan menjadi pendekatan berbasiskan hak. Seharusnya
ini terimplementasi ketika dilaksanakan.
Narasumber menunjukkan bagaimana satu prinsip bekerja dari
yang nasional untuk program di tingkat nasional dan lokal. Pada level
operasional melekat transparansi dan akuntabilitas. Satu langkah
dalam penyiapan REDD ini adalah mengarah pada pembicaraan COP
2009. Jadi bagaimana UNREDD berusaha melakukan penguatan
kapasitas, termasuk pelatihan kepada negosiator-negosiator.
Selain itu juga diantisipasi bagaimana kita menghitung karbon
kebocoran dan lainnya. Dibicarakan juga pasar karbon dan pembagian
benefitnya. Apakah benefit ke pemerintah pusat kemudian dibagi juga
ke Pemda. Ada beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai. Misalnya,
menguatkan partisipasi multi- pihak. Hal ini sudah dilakukan konsultasi
publik untuk penguatan para pihak. Kemudian peningkatan kapasitas
di tingkat lokal. Jadi, mereka sebenarnya juga punya kegiatan dengan
adanya kesiapan di daerah implementasi skema REDD, terutama di
propinsi dan kabupaten. Tiga hal ini yang menjadi perhatian dalam
penelitian di tiga wilayah Sulawesi (Sulteng, Gorontalo, Sulut).
Beberapa pertanyaan adalah apakah sudah tersedia perangkat
pemberdayaan stake holder. Kelihatannya pelibatan itu masih di
skala nasional. Di Palu, kita belum dengar apa yang sudah dilakukan
oleh mereka. Sulteng memiliki potensi hutan yang cukup signifikan.
Jadi kalau memang UNREDD ingin mengejar sampai COP 2009, maka
peningkatan kapasitas lokal harus memenuhi target.
Dari kondisi hutan, wilayah-wilayah hutan ini rentan dari
perambahan sehingga penting skema REDD dilakukan di tiga wilayah
tersebut. Ini adalah lokasi yang sudah dikembangkan sebelum inisiatif
rakyat dikembangkan. Gorontalo akan mengembangkan biofuel
dengan cara tanam jarak dan akan dipotong. Jika itu rencana jangka
panjang, maka itu akan bertabrakan. Apakah proses itu melibatkan
stake holders di wilayah atau hanya orang-orang tertentu saja.
Sebagai monitoring, riset ini meminjam kerangka monitoring yang
d­igunakan WRI yang disebut Governance Forest Indicator. Alat ini bisa
di­terapkan di tingkat lokal. Ini sebuah inisiatif global dan ini menjadi
konteks yang berbeda di tingkat provinsi, maka indikator-indikator WRI
bisa menolong. Ada 93 indikator yang akan kita gunakan. Kerangka
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 115
115
08/11/2010 9:03:49
ini coba menggabungkan antara prinsip good governance dengan
satu kajian terhadap aktor dan aturannya, serta praktik-praktiknya
dibenturkan dengan transparancy. Walaupun tidak semua indikator
akan dipakai. Gambaran umum mengenai indikator ini dapat diperiksa
dalam indikator Governance Forest Indicator yang sedang dikerjakan
HuMa dan beberapa organisasi lain.
Presentasi Peserta
Berkaitan dengan perkembangan UNREDD, perlu kiranya peserta
mempresentasikan pengalaman di wilayah masing-masing untuk
melihat kemungkinan memberi input dan catatan atas rencana riset
terhadap lokasi pilihan UN-REDD di Sulawesi. Oleh karena itu, masingmasing peserta dipersilakan untuk mempresentasikan situasi yang
terjadi di wilayahnya yang berkaitan dengan REDD.
116
Kalteng
KFCP melibatkan banyak aktor termasuk dosen-dosen. Di wilayah
yang ditunjuk, banyak masyarakat belum tahu apa itu REDD.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 116
08/11/2010 9:03:49
Informasinya masih minim di NGO, apalagi ke masyarakat. Kemarin
ada seminar, tetapi pelibatannya dalam skala besar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 117
117
08/11/2010 9:03:51
Ini tujuan KFCP
Ini yang sudah rusak karena pembuatan LPG. Hal ini akan bertambah
terus menjadi 200.000.
118
Fasilitator
Barangkali perlu dilihat lagi dari proses ini, mana saja yang ber­
kaitan dengan aspek governance yang bisa dikaitkan dengan riset di
Sulawesi.
Tambahan Peserta Kalteng
Aktor utama uji coba REDD di Kalteng hanya gubernur, perguruan
tinggi, dan instansi yang instens, misalnya BKSDA, BAPPEDA. Prosesproses lobby dari teman-teman Partnership dan Care dilakukan
dengan Bapeda. Kalau analisis aktor saya pikir NGO lokal banyak yang
melakukan diskusi. Misalnya, diskusi di Walhi mengenai bagaimana
inisiatif lokal berkaitan dengan REDD. Kemudian AMAN berencana
melakukan lokakarya dengan masyarakat adat pascaCopenhagen
pada Januari nanti. Sikap terhadap REDD berbeda-beda, ada yang
sepakat dan tidak sepakat. Pertanyaan-pertanyaan pokok misalnya,
apakah ingin menjamin kelangsungan lingkungan atau yang lain. Yang
jelas kalau di Kalteng itu NGO internasional ada Plan, Care, WWF, dan
lainnya.
Sebetulnya diskusi REDD di Kalteng dimulai dari proses rehabilitasi
PLG (Proyek Lahan Gambut). Ada kelompok kerja yang diinisiasi oleh
beberapa institusi di sana seperti WWF, Care, dan kampus. Sekarang
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 118
08/11/2010 9:03:52
kalau bicara tentang REDD, aktornya banyak yang selain NGO.
Aktor yang lain itu misalnya perusahaan HPH. Selain itu, lembaga
internasional seperti Starling Resources dan Jimmy.
Tanggapan peserta lain
Penetapan lokasinya ini hanya menempelkan REDD di wilayah
rehabilitasi PLG. Saya mau tahu proses ditetapkannya lokasi ini sebagai
wilayah REDD.
Peserta dari Kalteng
Ini ada hubungannya dengan GTZ Jerman di Indonesia. Walaupun
yang mendukung itu Pemprov, tetapi peran donor cukup besar. Namun,
isu ini tidak sama di tingkat kabupaten, misalnya Kapuas. Mereka sudah
mengeluarkan izin tambang dan sawit. Arpag dan Walhi menolak REDD
sebagai carbon trading. Dalam diskusi mereka berkembang konsep
yang selalu berhubungan dengan hak masyarakat. Selanjutnya ada isu
tata ruang yang sekarang tidak jelas. Jadi dari segi proses, banyak yang
dilangkahi.
119
Kalbar
Saya membagikan informasi soal demonstrasi REDD, mengapa
banyak sekali NGO internasional ke kab. Kapuas hulu?
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 119
08/11/2010 9:03:52
Pemilihan awal kabupaten tahap 1
120
Sekarang sudah banyak NGO yang datang.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 120
08/11/2010 9:03:53
Yang paling banyak membicarakan ini adalah FFI.
121
Peta lokasi FFI
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 121
08/11/2010 9:03:55
Proyek Indonesia-Jerman di Kapuas Hulu
122
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 122
08/11/2010 9:03:57
123
Soal aktor
Training REDD sudah dilakukan oleh Dinas Kehutanan provinsi
bekerja sama dengan LSM lokal yang diundang Dinas Kehutanan.
Terlibat juga be­berapa akademisi, mentraining akunting REDD. Dari
proses yang terjadi, tampaknya lebih didorong skema pasar.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 123
08/11/2010 9:03:57
Pemda Kapuas Hulu protes tentang alokasi benefit REDD dalam
Permen­hut 36/2009. Menurut Pemda, mereka sudah membuat
perencanaan sendiri sejak tahun 2003 dan ternyata hasilnya hanya
sedikit. Oleh karena itu, GTZ berusaha mempertemukan dengan
Menteri Kehutanan.
Kaltim
124
Pertama saya tidak terlalu mengikuti REDD di Kaltim, hanya
sekilas saja. Ada beberapa catatan saja. Pertama, Kaltim membentuk
tim kajian REDD pada Januari 2008. Terlibat WWF dan Universitas
Mulawarman. Kajian itu berpotensi memasukkan perkebunan sawit
sebagai hutan dalam REDD. April 2008 workshop KBCF dilaksanakan.
Ada pertentangan di antara NGO nasional dan internasional.
Sementara lokal langsung menolak. Walhi menolak, bahkan pecinta
alam menolak. Menurut mereka, lebih penting jeda tebang. Pasca
itu, workshop diselenggarakan oleh center for social forestry dan
mengadakan diskusi seri hutan kemasyarakatan. Diskusi ini bergantiganti topik dan mereka mencoba mensinergikan itu. Kemudian ada
beberapa pihak yang terlibat di Samarinda. Di situ ada Pemda Kaltim,
GTZ, dan FFI. Universitas juga terlibat dalam penelitian yang dibiayai
TNC. Di situ REDD jadi seolah-olah melibatkan masyarakat. Padahal,
masyarakat sebetulnya tidak peduli, yang penting hutan diserahkan
kepada adat. Selain itu juga, telah masuk di Malinau satu perusahaan
konservasi. Dari segi pola, sepertinya jauh dari REDD, tapi mereka coba
masuk ke REDD.
REDD memang berat. Secara kelembagaan dianggap siap. Namun,
dalam proses ternyata tidak siap.
Papua
Di Papua proyek REDD masih baru sekali dan sebenarnya tanpa
sepe­ngetahuan masyarakat, gubernur telah menandatangani MoU.
Kami tahu ini dari kepala Bapeda Papua Barat. Ternyata sudah tanda
tangan dengan Australia. Jadi, ini sangat rahasia. Akan tetapi, mereka
sendiri tidak tahu apa itu REDD. Padahal, Papua punya Otsus yang
berlaku untuk seluruh tanah Papua dan melindungi hak-hak orang
Papua. Persoalannya Otsus tidak punya pelengkap yang harus disahkan
oleh MRP dan gubernur. Contoh saja, masyarakat adat mengaku bahwa
ini hutan milik adat. Namun, dari sisi lain tidak ada aturan pelengkap
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 124
08/11/2010 9:03:57
yang mengatur dan mengontrol sehingga seluruh perjanjian REDD
tidak pernah melibatkan masyarakat.
Jambi
Warsi mulai mengidentifikasi skema yang melibatkan masyarakat
ini akan ke mana. Identifikasi dilakukan ke wilayah-wilayah yang
difasilitasi Warsi, di Jambi, Riau, dan Sumbar. Kami mulai berdiskusi apa
itu REDD dan tanggapannya. Masyarakat mulai memberikan masukan
atau mencoba mengumpulkan aspirasi kepada desa-desa yang sudah
melakukan pengelolaan kawasan hutan. Rencana ke depan adalah apa
yang dikumpulkan dari FGD akan kita konsultasikan dengan Pemda.
Pertengahan 2008 Warsi bekerja sama dengan ICRAF melakukan
hitungan cadangan karbon di salah satu hutan adat, yang sebelumnya
merupakan desa yang menjadi wilayah fasilitas Warsi, dalam
proyek pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Ini dalam rangka
mempersiapkan dan memberikan pengetahuan tentang penghitungan
itu. Metodologi yang digunakan itu cukup sederhana. Maka, diharapkan
penghitungan sederhana ini dapat disebarkan ke masyarakat di
kawasan hutan yang lain.
125
Sulteng
Berkaitan dengan isu REDD, secara perencanaan di Sulteng belum
ada. Kita belum mendapatkan informasi apakah ada skema di Sulteng,
kecuali di Sulbar. Akan tetapi, kami sudah mulai melakukan diskusi
perintis di Sulteng dengan menyimak diskusi kritis tingkat nasional.
Saat ini ada draft aturan lokal mengakui masyarakat adat, tetapi belum
selesai. Untuk menunjang pengakuan hak masyarakat adat, kami ada
usaha untuk mencabut Surat Gubernur yang tidak mengakui hak adat
di Sulteng. Perkembangan lain adalah ada diskusi untuk melakukan
negosiasi soal kompensasi atas penetapan hutan konservasi.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 125
08/11/2010 9:03:57
9. Teks Perundingan PBB mengenai REDD
Pengantar
126
Dalam proses pertemuan para pihak yang ke-13 di Bali atau sering
disebut dengan Conference of Parties (COP) 13, para pihak menyepakati
roadmap atau alur yang akan ditempuh menuju negosiasi final mengenai
teks keputusan bersama yang dibahas dalam AWG LCA dan AWG KP.
AWG LCA adalah Adhoc Working Group on Long Term Cooperative
Action, sementara itu AWG KP adalah Adhoc Working Group under
Protokol Kyoto. Keduanya dibentuk dalam pertemuan para pihak yang
ke-11. Roadmap tersebut direncanakan akan final pada pertemuan ke15 di Copenhagen, 2009.2 Dalam roadmap tersebut dibicarakan juga isu
REDD di bawah payung AWG LCA yang kemudian menjadi pembahasan
berkelanjutan di berbagai pertemuan formal maupun informal. Salah
satu pertemuan para pihak yang diagendakan oleh UNFCCC adalah
pertemuan Bangkok yang diharapkan menghasilkan teks yang solid
untuk keputusan akhir di Copenhagen.
Dalam kaitannya dengan ini, para peserta pelatihan yang memiliki
pengalaman lapangan di daerah masing-masing diajak untuk terlibat
mendiskusikan teks REDD yang sudah dibicarakan di Bangkok. Teks
tersebut menjadi bahan lobi ke Pemerintah RI, khususnya delegasi
yang akan berangkat ke Barcelona dan Copenhagen. Berikut ini adalah
proses dan hasil diskusinya.
Fasilitator
Sesi di hari terakhir dipergunakan membahas teks yang akan
dibahas di Barcelona (Pertemuan dua working groups, AWG–LCA
(Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under
the Convention) dan AWG-KP (Ad Hoc Working Group on Further
Commitments for Annex I Parties under the Protokol Kyoto) tanggal 2
– 6 November 2009). Dari pembahasan ini diharapkan muncul usulan
Pertemuan Copenhagen pada akhirnya tidak menghasilkan keputusan politik apapun dalam
AWG LCA. Dinamika untuk menuju keputusan ini sarat dengan negosiasi politik yang membuat
banyak negara enggan mengambil keputusan sehingga semua pembahasan dalam AWG LCA,
termasuk REDD dibawa ke perundingan berikut pada COP 16 di Mexico. Sementara itu, untuk
menutupi kegagalan perundingan, sejumlah pihak (Amerika, Brasil, Afrika Selatan, India, China,
dll.) mengeluarkan keputusan yang tidak mengikat, disebut Copenhagen Accord. Accord ini jauh
dari target perundingan yang mendesak agar ada pemangkasan yang signifikan (deeper cut) atas
emisi domestik negara-negara Annex I.
2
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 126
08/11/2010 9:03:57
pada teks. Usulan ini nantinya akan disampaikan kepada beberapa
pihak, terutama delegasi negara Indonesia.
Beberapa perkembangan baru akan saya ungkapkan sebagai latar
be­­lakangnya. Di koran Kompas ada kolom yang menyatakan bahwa AS
mengesahkan UU Perubahan Iklim. Termasuk di dalam UU itu adalah
rencana penurunan emisi dari angka 17 % menjadi 20 %.
Kemarin, sudah sedikit disinggung skenario untuk pertemuan
Barcelona ini. Protokol Kyoto sepertinya akan gagal disempurnakan.
Ada usaha untuk menutup proses perundingan tentang pasca-Protokol
Kyoto ini dengan cara menghambat proses yang bersifat multilateral
dan kembali ke proses bilateral. Selain itu, Protokol Kyoto tidak akan
diperpanjang lebih dari tahun 2012 yang diusulkan oleh UE, Denmark,
dan Australia. Sebenarnya pengusul tidak disebutkan secara terinci,
kelompok negara itu terindikasi ingin menghentikan proses kelanjutan
pasca-Protokol Kyoto.
Apapun yang terjadi, kita sudah melihat ada teks yang harus
dikritisi. Jika pun tidak dicapai kesepakatan, yang membuat teks itu
menjadi mengikat secara hukum, tetapi setidaknya kita bisa membuat
posisi jelas dari setiap negara. Hal ini dipergunakan ketika, misalnya
Indonesia, akan melakukan perjanjian bilateral dengan negara pihak
tertentu.
Cara membaca dan memberikan catatan pada teks. Pertama,
cara bacanya adalah dengan memperhatikan kalimat yang tidak ada
tanda apapun di pinggirnya. Kalimat yang berada di antara tanda
kurung merupakan kalimat yang belum disepakati dan akan terus
diperdebatkan sampai pertemuan COP 15 di Copenhagen.
Di paragraf 1 dan 2 ada pilihan isi suatu ketentuan. Pilihan isi
ketentuan ini tetap bisa ditinjau ulang atau ditambahkan kalimat
tertentu. Tanda xx, artinya belum ada kepastian mengenai letak maupun
isi pasal/ketentuan dalam teks yang akan disepakati ini. Bisa jadi ia ada
di bagian lain dari suatu pasal/ketentuan, belum dikonsolidasikan.
Akan tetapi, boleh jadi juga karena belum dirumuskan.
Bagaimana cara menengok memeriksa ketentuan yang ada di
dalam teks ini? Apakah ada usulan? Kita akan sulit memberikan kritikan
pada teks yang masih dalam proses persetujuan ini. Teksnya bersifat
dinamis. Untuk keperluan tersebut, ada baiknya dalam sesi ini usulan
kita bersifat mendasar dan dihubungkan dengan dua tema utama
pelatihan kali ini: keberlanjutan hutan dan perlindungan masyarakat
adat. Prinsip-prinsip dasar apa yang bisa diusulkan dan bagaimana
mengintegrasikannya ke dalam teks. Apakah kita menolak offset atau
tidak ada konversi hutan alam? Bagaimana mengawasi pelaksanaan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 127
127
08/11/2010 9:03:57
ketentuan perjanjian serta pembiayaannya?
Sebelum masuk ke diskusi kelompok, isu pembiayaan merupakan
isu yang penting. Namun kali ini, kita tidak akan terlalu jauh masuk
ke dalam isu pembiayaan ini. Kita hanya akan mengusulkan proses
kelembagaannya serta pengawasannya.
Mungkin ini tidak akan berbeda jauh dengan diskusi kelompok
kemarin. Sesi ini juga akan membagi peserta dalam dua kelompok:
kelompok keberlanjutan hutan dan kelompok perlindungan masya­
rakat adat/lokal. Setelah itu ada presentasi dari masing-masing dan
setelahnya pengintegrasian usulan itu ke dalam.
Usulan ini tidak hanya akan diwartakan pada pertemuan di
Barcelona, tetapi juga sampai COP 15 di Copenhagen. Kita akan coba
berikan usulan ini ke DNPI serta delegasi Indonesia di COP 15 nanti.
128
Pertanyaan Peserta #1
Apakah prinsip dasar itu kita buat sendiri?
Fasilitator
Kita bisa menguatkan atau malah menentang prinsip-prinsip yang
ada di dalam teks. Kita dapat menambahkan kalimat baru pada bagian
tertentu dari teks. Dalam tahapan pelaksanaannya, kita menyetujui
bentuk yang mana. Jika pun tidak bisa memberi usulan prinsip baru,
juga tidak apa-apa.
Diskusi Kelompok
Pembagian Kelompok:
1. Kelompok Perlindungan Masyarakat Adat
2. Kelompok Keberlanjutan Hutan
Presentasi Kelompok I
Kami sempat berdebat dalam soal penulisan karena teks ini lebih
banyak menjelaskan tentang hak negara, dalam hal ini lingkup nasional
dan internasional. Akan tetapi, sedikit menjelaskan hak masyarakat
adat. Dalam prinsip perlindungan, kami melihat bahwa partisipasi
stakeholder dilakukan secara penuh termasuk masyarakat adat.
Partisipasi ini mencakup pula dalam aturan Protokol Kyoto dan dituliskan
dalam tanda kurung. Namun ketika dikaitkan dengan Indonesia, ada
beberapa catatan. Aturan yang membahas tentang masyarakat adat
sebenarnya ada, tetapi tidak memihak pada kepentingan masyarakat
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 128
08/11/2010 9:03:57
adat. Bagaimana peran negara dalam lingkup hukum nasional dan
internasional sehingga kami melihat apakah dalam pasal 4 butir e:
“sudah mengacu pada FPIC (Free Prior Informed Consent)” di dalam
kurung kedua ini, kalimat itu tidak diperlukan? Begitu sebaliknya,
dalam kurung “(konsisten dengan peraturan yang dibuat legislatif)”.
Artinya kalau misalnya, secara nasional aturan itu belum berlaku, maka
yang akan berlaku adalah hukum internasional.
Namun selama hukum nasional tidak memihak masyarakat adat,
maka kondisinya akan sama saja. Tujuan perlindungan tidak akan
pernah tercapai. Meski hukum internasional menyatakan melindungi
masyarakat adat, tetapi hukum nasional tidak. Maka, hasilnya
tetap sama seperti sekarang. Jadi, menurut kami, pada kalimat itu
ditambahkan kalimat “konsisten dengan peraturan yang dibentuk
legislasi nasional yang memajukan hak-hak masyarakat adat”.
Poin lainnya kami melihat seperti 12 f tidak masalah bagi kami.
Masyarakat tidak perlu diberi tanda tangan sertifikasi manajemen
hutan yang berkelanjutan, itu sudah membantu masyarakat adat.
Hanya poin itu yang kami masukkan. Terima kasih.
129
Kelompok Masyarakat Adat
• Prinsip-prinsip perlindungan paragraf 4 (2) Kalimat:
Partisipasi stakeholder apakah sudah mencakup FPIC.
Maka kurang II tidak diperlukan, begitu sebaliknya. Kalimat
“konsisten dengan peraturan yang dibentuk oleh legislasi
nasional” = terkait UNDRIP jika hal itu belum diatur.
• Yang mengakui, menghormati, dan memajukan masya­
rakat adat.
Fasilitator
Ini persoalan konsistensi saja, di kurung kurawal yang ke-3
frase “yang konsisten” itu mesti digarisbawahi. Sejauh mana mau
konsis­ten ketika aturan yang ada di legislasi nasional tidak berpihak
pada masyarakat adat? Harus ada kata “konsisten” dan “mengakui
masyarakat adat”.
Mengenai partisipasi, apakah cakupan “partisipan stake holder” ini
sesuai dengan nomor 2? Jika mencakup, maka yang ada dalam kurung
kurawal ini otomatis akan muncul. Partisipasi ini yang harus diperjelas
apakah FPIC termasuk di dalamnya.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 129
08/11/2010 9:03:57
Tanggapan Peserta #2
Itu tambahan, narasinya belum dimasukkan ,tetapi kata
“konsisten” ini dalam kaitannya dengan aturan yang berpihak pada
masyarakat adat. Ini untuk mempertegas saja karena di lapangan
ada legislasi tentang masyarakat adat. Namun, tidak berpihak pada
masyarakat adat.
130
Presentasi Kelompok II
Kami tidak sempat membahas semua hal yang ada di dalam teks.
Kalau diperdebatkan akan memerlukan banyak waktu:
1. tujuan dan ruang lingkup poin 1 (satu) tidak dibahas karena
tahapan harus ada. Akan tetapi, batasan itu kami kira di
luar batas kami. Untuk poin 2 (dua) itu yang pertama, kami
beranggapan tidak perlu memasukkan sektor pertanian. Maka,
tidak ada justifikasi bagi per­kebunan sawit menjadi alat dan
usaha untuk mengurangi emisi karbon.
2. untuk opsi, kami memilih opsi dua yakni pemilihan SFM/
Sustainable Forest Management. Sedangkan prinsip umum yang
kita tekankan pada poin e. Jadi usaha untuk REDD ini, jangan
jadikan dalam skema OFFSET; negara maju harus memberikan
kompensasi dan negara maju juga harus menurunkan emisi.
3. poin H menawarkan poin baru strategi menurunkan emisi rumah
kaca dari pencegahan deforestasi. Seharusnya diperluas...
proses penurunan emisi rumah kaca akan melingkupi sektor
industri dan sebagainya yang akan tunduk pada strategi yang
akan disepakati dalam teks.
4. pada poin k “menghapuskan dan dengan demikian menerapkan
ekonomi rendah karbon”. Ini masih dalam perdebatan.
Indonesia bukan negara yang menyumbangkan emisi karbon
dari industri se­hingga tidak masalah jika Indonesia, dalam
usaha ekonominya, tidak cepat-cepat masuk ke skema
ekonomi rendah karbon. Kami khawatir, jika sekarang Indonesia
menerapkan sistem ekonomi rendah karbon, pembangunan
ekonomi Indonesia akan rendah. Selain itu, harus ada teknologi
transfer dari negara maju ke negara berkembang.
5. pada prinsip perlindungan poin C tentang struktur tata
kelola pen­danaan dan kompensasi, maka perlu tata kelola
pemerintahan yang baik.
6. Cara 2 implementasi. Memilih opsi satu: “dana wajib berasal
dari kon­tri­busi negara maju” kalimat selanjutnya dihapuskan.
Selain itu, “dana-dana ini merupakan bantuan baru dan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 130
08/11/2010 9:03:57
tambahan dari ODA”. Oleh karena itu, opsi dua dan tiga tidak
dipakai.
7. poin 8 tentang kebutuhan finansial. Kami kira akan sangat
beragam dan untuk Indonesia, sudah ada aksi mitigasi secara
dan pendanaan melalui APBN.
8. Poin 9 kita memilih opsi 1 dan 2. Kita menolak penggunaan
mekanisme pasar yang berdasar pada skema offset.
Fasilitator
Diskusi kelompok ini sangat maju dan sudah ada banyak yang
telah di­bahas. Poin yang disampaikan banyak beririsan dengan usulan
teman-teman jaringan lain, misalnya dalam soal mendorong opsi
nonpasar dalam REDD. Rencananya beberapa poin ini akan dikemas
lagi dan akan kami kirim via email ke delegasi RI. Minimal ada suara
dan ada perjuangan daripada tidak sama sekali.
Input ini penting karena beberapa waktu lalu ketua delegasi
Indonesia meminta kelompok masyarakat sipil/civil society memberikan
input. Jadi kita gunakan ruang yang sudah dibuka itu. Saran dari kawankawan ini akan memperkuat input kami nanti. Ada lagi poin lain yang
mau ditambahkan?
131
Tanggapan Peserta #1
Melihat sektor pertanian dalam soal mitigasi perubahan iklim
ini. Saya rasa kalau yang dimaksud dalam kata itu adalah pertanian
skala besar, seperti perkebunan sawit. Akan tetapi, bagaimana dengan
sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat adat. Apakah ada
perlakuan khusus dari aturan itu? Hal ini karena ketakutan saya adanya
perlakuanyang disamakan dengan pertanian skala besar.
Fasilitator
Kalau dalam soal REDD, maka jawabannya adalah disamakan.
Pertanian dalam model apapun masuk dalam skema LULUCF. LULUCF
tidak punya indi­kator pelepasan emisi dari pertanian skala kecil.
Tidak ada perhitungan emisi dari pertanian besar atau kecil sehingga
pastinya tidak akan ada perbedaan. Dengan demikian, masyarakat adat
dan lokal yang bertani akan dianggap sebagai pelaku pelepas emisi.
Padahal mereka juga orang yang berjasa men­jaga pelepasan emisi. Ini
akan menjadi perdebatan yang rumit.
Diskusi kita tidak akan ke sana karena sudah ada pengakuan
masyarakat adat. Kita mengakui dan melindungi masyarakat adat.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 131
08/11/2010 9:03:58
Daerah lain dan negara lain juga mengusulkan seperti itu. Setidaknya
ini ada manfaatnya.
Evaluasi Pelatihan
Berkaitan dengan manfaat ini sebaiknya kita melakukan evaluasi.
Silakan berkomentar. Pelatihan ini bermanfaat dalam hal apa. Kalau
tidak bermanfaat, dalam hal apa. Ini untuk perbaikan pada masa
mendatang.
132
Tanggapan Peserta dari Jambi
Karena menurut saya lebih banyak sharing tentang REDD atau me­
ngumpulkan informasi REDD di daerah lain lebih tepat dibilang training,
bukan Training for Trainer. Materi yang disampaikan sangat membantu
sekali untuk kami yang baru memulai kegiatan REDD, termasuk soal
peta isu perubahan iklim di tingkat nasional dan internasional. Namun,
cara penyajian materi agak sedikit monoton. Barangkali pertemuan
selanjutnya ada banyak cara penyajian, misalnya dengan permainan.
Satu hal lagi, karena ada perbedaan penafsiran dan pendapat
antara narasumber dengan panitia dalam sebuah materi, mungkin
sebaiknya ada briefing terlebih dahulu dengan Narasumber sehingga
materi yang disampaikan bisa jelas dan dalam perspektif yang sama.
Secara umum training ini luar biasa. Salam.
Tanggapan Peserta dari Semarang
Saya banyak mendapatkan manfaat dan mengerti sedikit tentang
isu REDD. Hutan di Jawa memang sedikit dan mungkin tidak menarik
bagi pelaksanaan REDD. Meskipun demikian, ancaman bagi hutan di
Jawa berasal dari perkebunan. Jika ini masuk menjadi hutan, maka
ini berimplikasi dengan masyarakat yang telah me-reclaiming tanah
pertanian. Menurut saya penting melakukan pemetaan implikasi REDD
di daerah-daerah sehingga kita punya persiapan untuk melakukan
advokasi.
Tanggapan Peserta dari Kalimantan Tengah #1
Banyak kata-kata baru yang saya dapatkan dari pelatihan ini.
Saya sendiri belum pernah mendapatkan pelatihan seperti ini. Oleh
karena itu, bagi saya, ada beberapa hal yang seperti meloncat dalam
memahami soal REDD. Akan tetapi, pelatihan ini memaksa kita
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 132
08/11/2010 9:03:58
mengerti soal REDD. Begitu juga tentang AFOLU itu. Saya juga baru
tahu dari pelatihan ini.
Belum ada jaringan diskusi untuk saling berbagi pengalaman dan
sikap atas REDD ini di Indonesia. Maka, pelatihan ini menjadi titik awal.
Kemarin kita sudah mendapatkan bekal, bahkan sampai metodologi
dan pengevaluasiannya seperti yang disampaikan oleh Pak Lili. Akan
sangat menarik jika kita pakai di lapangan.
Jaringan diskusi ini, saya kira penting, sehingga saya bisa belajar
dengan apa yang terjadi di Jambi misalnya, atau di daerah lainnya.
Di Kalteng sendiri, NGO, terutama NGO lokal, masih sangat minim
memahami isu REDD ini.
Pertanyaan Peserta
Ada bayangan bentuk jaringan diskusinya seperti apa?
133
Fasilitator
Lingkar Belajar HuMa akan berusaha merumuskannya. Atau
ada pihak lain yang mau melanjutkan ke arah sana untuk merawat
komunikasi?
Saya bisa bercerita sedikit tentang jaringan komunikasi ini. Avi
Mahaningtyas sedang membangun jaringan itu dan dia menawarkan
keterlibatan CSO pada jaringan itu. Dalam jaringan itu ada sharing soal
informasi terbaru. Jadi, kawan-kawan dari Kalimantan bisa tahu situasi
pelaksanaan REDD di Jambi dan sesekali mereka ada waktu untuk
bertemu.
Jika LC dimintakan melanjutkan pembicaraan itu, saya akan
bertemu dengan mbak Avi untuk mengobrol dan menghubungkan
jaringan ini dengan jaringan yang sudah mereka bangun.
Tanggapan Peserta dari Papua Barat
Pertama, isu REDD merupakan hal baru sekali di Papua. Saya
mendapatkan banyak pengalaman dan pengetahuan dari pelatihan
ini. Ini merupakan tambahan pengetahuan yang penting karena sedikit
sekali yang tahu REDD di Papua. Masyarakat Papua juga tidak tahu
tentang hal ini. Padahal sudah ada tanda tangan, yakni kedua gubernur
di Pulau Papua sudah menandatangani MoU tentang REDD ini.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 133
08/11/2010 9:03:58
Setelah mengikuti kegiatan ini, ada baiknya kita tetap membangun
kerja sama dan saling berbagi informasi. Dengan HuMa di Jakarta,
kita juga akan berbagi informasi tentang pelaksanaan REDD di Papua
Barat. Sudah ada penandatanganan MoU REDD, maka kita perlu kerja,
mengawasi agar dana REDD yang akan turun dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kepentingan masyarakat adat.
Tanggapan Peserta dari Kalimantan Tengah #2
Pelatihan ini memenuhi apa yang saya harapkan. Kami pernah
me­ngadakan pelatihan tentang REDD, tetapi belum mengetahui
aspek hukum dari REDD ini. Sekarang saya tahu banyak tentang REDD.
Walaupun di kantor saya masih terpasang pamflet: “go to hell REDD”.
134
Penyampaian materi selama pelatihan ini dibuat sangat sederhana
dan punya garis pemikiran yang sama. Itu menarik. Saya rasa ketika
harus menyampaikan penjelasan ke masyarakat, kita juga harus
membuatnya sesederhana mungkin. Sayangnya di materi bagian akhir
sepertinya harus bersambung dan itu membuat saya penasaran: skema
apa yang akan dibuat untuk melaksanakan REDD ini?
Harapan saya, HuMa bisa membuat media pendidikan yang
sederhana agar seluas mungkin diterima dan dimengerti oleh
masyarakat.
Sedikit kritikan pada pelatihan ini adalah kita terlalu banyak duduk
sehingga sakit pinggang. Sedikit sekali ice breaking.
Tanggapan Peserta
Secara umum, pelatihan berjalan karena kita bisa berbagi
informasi dan jaringan. Teman juga bertambah. Bagi saya, penting
untuk dilihat apa dan bagaimana skema pembiayaan dan kontrak
dalam REDD ini. Pada sesi materi yang disampaikan oleh Mbak Oci,
saya kurang mengerti apa yang disampaikan. Entahlah, salah dia atau
salah saya. Padahal, materi itu penting karena menyangkut tentang
kontrak. Mestinya setelah beliau menggambarkan teori hukumnya,
beliau juga bisa menyampaikan contoh kasusnya.
Selain itu, apakah ada contoh kontrak CDM sehingga bisa kita baca
dan bisa menjadi pembelajaran kita ke depan? Tidak hanya yang ada
di Costarika.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 134
08/11/2010 9:03:58
Kemudian, tentang apa yang akan kita lakukan ke depan. Jaringan
ini pen­ting untuk memperbaharui terus informasi. Jaringan yang akan
kita bangun ini tidak harus berbiaya mahal. Kita bisa mempergunakan
jaringan pertemanan seperti Facebook atau milis.
Hal penting lainnya adalah melakukan pertemuan langsung
dengan masyarakat di daerah agar mereka juga bisa paham dan kita
juga mengetahui apa yang mereka ketahui tentang perubahan iklim.
Untuk keperluan itu, barangkali perlu ada buku saku atau buku kecil
sebagai pegangan yang informasinya terstruktur dengan baik – isinya
yang mendasar saja – sehingga informasinya bisa menyebar dan
tercerna oleh masyarakat. Jadi, dasar-dasarnya saja.
Secara umum, pelatihan ini sangat bagus.
Tanggapan Peserta dari Sulawesi Tenggara
Secara umum kegiatan bermanfaat besar untuk saya pribadi karena
bisa tahu isu perubahan iklim beserta turunannya. Pengetahuan saya
cukup bertambah serta bisa berbagi pengalaman dengan banyak kawan
dari tempat lain. Semakin banyak teman dan istilah yang didapat.
135
Tantangannya adalah bagaimana membumikan bahasa ini.
Barangkali, bahasa itu dapat dengan mudah dipahami aktivis, namun
akan sulit ketika diterima oleh masyarakat di kampung.
Aktivitas ini harusnya bisa dibagi dengan kawan-kawan di Sulawesi
sehingga banyak kawan yang akan mengerti isu ini. Posisi penolakan kita
atau penerimaan kita – dengan bantuan jaringan – bisa juga diketahui
oleh orang lain. Sayangnya, kelompok seperti ini di daerah kami belum
ada. Bisa saja jaringan itu bersifat regional Sulawesi dan HuMa bisa
memfasilitasi jaringan itu.
Fasilitator
Untuk soal media pendidikan bagi masyarakat, HuMa saat ini
sedang menerjemahkan tulisan tentang Tenure dalam skema REDD.
Tulisan itu ada di CD yang dibagikan, tetapi masih dalam bahasa Inggris.
Soal tenure ini sangatlah penting. Kami berusaha menterjemahkan
dalam waktu dekat dan kami akan bagi hasilnya lewat email. Tulisan
itu sangat baik dijadikan referensi.
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 135
08/11/2010 9:03:58
Tanggapan Peserta dari Burung Indonesia
Saya wakil dari Burung Indonesia sangat berterima kasih dapat
bergabung di pelatihan ini. Burung Indonesia saat ini sedang belajar
tentang REDD dan sama dengan teman yang lain, mendapatkan
informasi baru dari pelatihan ini. Semoga ke depannya kita masih tetap
berhubungan.
Tanggapan Peserta dari FKKM
Walaupun tidak secara penuh mengikuti pelatihan ini, saya bukan
hanya mendapatkan banyak pembelajaran dari materi narasumber,
tetapi juga banyak mengetahui cerita dari daerah. Cerita dari daerah
ini yang justru menarik bagi saya, minimal untuk melihat bagaimana
situasi di lapangan.
136
FKKM sendiri dalam beberapa bulan ke depan ingin belajar soal
REDD, tetapi lebih fokus pada peran kehutanan masyarakat. Ada
berbagai model HKM, hutan desa, dan sebagainya yang akan coba kita
pelajari peranannya dalam menghadapi perubahan iklim, terutama
skema REDD. Evaluasi dari teman-teman juga penting sebagai masukan
bagi kami. HuMa mungkin bisa memfasilitasi pertemuan dengan
teman-teman daerah sehingga isu ini tidak hanya berputaran di pusat
saja, tetapi juga bergerak ke daerah.
Jadi, ketika FKKM membuat pembelajaran tentang perubahan
iklim, dapat dilakukan di lokasi yang sesuai. Selain itu, kita bisa berbagi
pengalaman. Walaupun misalnya lokasi FKKM hanya di tiga daerah,
kita dapat memahami banyak lokasi lainnya. Oleh karena itu, kita akan
bisa dan mudah memotret yang lebih dalam problemnya.
Tanggapan Peserta dari Kalimantan Barat
Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada HuMa. Saya tidak
tahu pertemuan ini memberikan manfaat seperti apa pada saya.
Namun, harapansaya adalah pelatihan ini dapat memberikan ilmu
yang akan dipakai dalam perundingan tertentu dalam skema REDD.
Mungkin ke depannya kita perlu ada proses berbagi ilmu di tingkat
lokal. Biarpun bahasa yang trend sekarang REDD, tetapi sejatinya yang
kita hadapi adalah persoalan yang hampir sama. Sebagai usulan,
bagaimana kalau inisiatif serta tema disesuaikan dengan kondisi
di daerah. Oleh karena itu, ada banyak istilah yang perlu dicarikan
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 136
08/11/2010 9:03:58
padanan kata sederhananya serta membuat konsep yang rumit ini
menjadi sederhana.
Fasilitator
Saya ucapkan terima kasih atas kehadiran dan partisipasi temanteman dalam acara ini. Ke depannya, semoga kita bisa berbagi
informasi dengan lebih sistematis mungkin dalam bentuk diskusi atau
riset bersama HuMa. Akan tetapi,jelas HuMa akan membagi literatur
yang kami punya ke kawan-kawan. Juga mengenai indikator dari Pak
Lili yang belum diterjemahkan dan belum dimasukkan ke dalam CD
akan kami kirimkan lewat email kawan-kawan. Indikator itu penting
untuk memantau skema REDD dari aspek tenure. Atas nama HuMa,
sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Mohon maaf jika ada yang salah.
137
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 137
08/11/2010 9:03:58
Lampiran I
Alur dan Peserta Pelatihan
Topik
138
1. Pengantar Perubahan Iklim: Sebab-sebab dan Dampaknya
Narasumber : Yaya Nurhidayati
Hari/tanggal : Selasa, 3 November 2009
Waktu
: 09.00 – 12.00 WIB
2.
Konsep-konsep Dasar tentang Hutan dan Perubahan Iklim
Narasumber
Hari/tanggal
Waktu
3.
Perubahan Iklim, REDD dan Hukum Lingkungan Internasional
Narasumber
Hari/tgl
Waktu
4.
Hukum Nasional dan Perubahan Iklim
Narasumber
Hari/tgl
Waktu
5.
Skema-skema Kontrak REDD
Narasumber
Hari/tgl
Waktu
6.
Perkembangan-perkembangan Proyek Percontohan REDD
Presentasi Hari/tgl
Waktu
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 138
: Arief Wicaksono : Selasa, 3 November 2009
: 13.30 – 17.30 WIB
: Pramudya
: Rabu, 4 November 2009
: 09.00 – 12.00 WIB
: Giorgio Budi Indarto
: Rabu, 4 November 2009
: 13.30 – 17.00 WIB
: Josi Chatarina
: Kamis, 5 November 2009
: 09.00 – 12.00 WIB
: Lili Hasanudin dan Sharing Pengalaman
Peserta tentang (Rencana) Proyek REDD
: Kamis, 5 November 2009
: 13.30 – 15.00 WIB
08/11/2010 9:03:58
7. Kajian Learning Center HuMa tentang Kerangka Hukum dan
Kebijakan Perubahan Iklim terkait Hak Masyarakat Adat dan
Keberlanjutan Kawasan Hutan dalam Rancangan Skema REDD
Presentasi
Hari/tgl
Waktu
: Bernadinus Steni & Mumu Muhajir
: Kamis, 5 November 2009
: 15.15 – 17.00 WIB
Diskusi atas Teks REDD dalam AWG LCA
Hari/tanggal : Jumat, 6 November 2009
Waktu
: 08.30 – 12.00 WIB
139
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 139
08/11/2010 9:03:58
Buku Hukum Perubahan Iklim Revisi.indd 140
12
13
1
2
3
4
3
4
5
6
7
8
9
10
11
No.
Lembaga
Warsi Jambi
LP3BH Papua
FOKER Papua
FOKER Papua
LBBT
LBBT
Walhi Kalteng
LAMAN Kalteng
Bantaya
LBH Semarang
Warsi Jambi
FKKM
YMPP
Jatam Kaltim
Nama
Rainal Firdaus
Yanti
Lyndon
Abner Mansai
Laurens Gawing
Concordius Kanyan
Anang Juhaidi
Rano Rahman
Erlan
Karman
Farid
Andri Santosa
Tambaru Amran
Siswandi
Azarudin
Daftar peserta
Kontak
Hp
[email protected]
081363181880
[email protected]
081248853491
[email protected]
085244310102
[email protected]
085750651999
[email protected]
0816223327
[email protected]
085248958657
[email protected]
081528277742
[email protected]
081341170927
[email protected]
081228166988
[email protected]
08129451659
[email protected] atau nakita.amran@
081341083836
gmail.com
085250092424
[email protected]
081250935789
Alamat Email
140
08/11/2010 9:03:58
Download