MODUL PERKULIAHAN New Media and Society Cyber Community

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
New Media and
Society
Cyber Community: Struktur
dan Hyperrealitas
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Broadcasing
TatapMuka
04
Kode MK
DisusunOleh
41021
Eli Jamilah M., M. Si
Abstract
Kompetensi
Modul ini berisi pembahasan mengenai
struktur
cyber
community
dan
kaitannya dengan hiper realitas.
Pendefinisian dan ruang lingkup
konsep cyber community, bentuk cyber
comunity,
dan
struktur
cyber
community. Pembahasan mengenai
hyper realitas berisikan pandanganpandangan filsafat mengenai realitas
dan fenomena hiper realitas sebagai
produk dari teknologi komunikasi.
Mahasiswa memahami bentuk-bentuk
struktur cyber community dan hyper
realitasnya
Pembahasan
1. Cyber Community
Istilah cyber community terbentuk dari konsep cyber society. Cyber society terbentuk
karena adanya internet atau computer-mediated-communication (Jones, 1994). Kemampuan
teknis adalah penting dalam navigate cyber space, tetapi yang lebih penting adalah
komponen utama dalam hubungan social cyber space adalah pertukaran informasi (transmisi)
dan ritual transmisi yang menjadi karakteristik tersendiri dalam kehidupan cyber society.
Jones menyebut cyber society sebagai pseudo-community, komunitas semu yang berbasis
dalam hubungan interpersonal tetapi menggunakan alat-alat massa.
Dalam dunia maya, terdapat kesulitan dalam memberikan definisi tentang cyber
community atau virtual community. Fernback (dalam Jones, 1999:207-213) memberikan tiga
konsep definisi tentang cyber community yakni:
1. Community as Place, hal ini didasarkan pada pengertian bahwa cyber space
merupakan sebuah tempat di mana komunitas dibangun dan bertahan, di mana
hubungan sosial ekonomi baru dibentuk dan di mana horison baru bisa tercapai. Ide
2016
2
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
ini secara mendalam merupakan cerminan dari adanya unsur kejiwaan dan tradisi
yang bisa kita dapatkan ketika mengidentifikasi komunitas berdasarkan tempat.
2. Community
as
Symbol,
seperti
halnya
komunitas
pada
umumnya
komunitas cyber juga memiliki simbol-simbol tertentu dimana simbol-simbol yang
ada dapat diinterpretasikan. Cakupan simbol disini menekankan pada “substansi yang
dibentuk”. Komunitas berusaha untuk merekonstruksi simbol-simbol sebagai hasil
dari kumpulan kode-kode yang bersifat normatif dan nilai-nilai yang dihasikan
bersama oleh anggota komunitas sebagai bentuk identitas mereka. Penekanannya
disini lebih pada “makna” daripada “struktur”.
3. Community as Virtual artinya komunitas ini secara maya dalam ruang cyberdengan
meninggalkan identitas fisik penggunanya. Cyber community memiliki sistem nilai
bersama, norma-norma, aturan-aturan dan identitas bersama yang ditunjukkan dari
komitmen atau kepentingan diantara komunitas lainnya.
Schement membagi kategori komunitas menjadi dua berdasarkan sifat hubungannya yakni:
Primary relationship dan Secondary relationship. Komunitas virtual masuk dalam kategori
secondary relationship. “internet communities are really made up of secondary relationship
in which pople onlyknow each other in single, or few dimension” (Schement dalam
Livingstone, 2006:98)
Konsep komunitas dan masyarakat saling tumpang tindih. Istilah masyarakat adalah
istilah yang umum bagi satu kesatuan hidup manusia, karena itu bersifat lebih luas dari pada
istilah komunitas. Koentjaraningrat mengungkapkan arti komunitas merupakan suatu
kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.
(Koentjaraningrat, 1965: 65)
Komunitas memiliki makna yang lebih khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan
kesadaran wilayah. Sedangkan menurut Fernback definisi tentang komunitas juga memiliki
definisi yang bersifat fungsional dan simbolik. Kita sering mengelompokkan diri kita ke
dalam bagian wilayah secara fisik yang disebut dengan komunitas urban, pedesaan, suburban,
dan juga kita sering mengelompokkan diri kita secara simbolik berdasarkan gaya hidup
identitas atau karakter yang pada perkembangan berikutnya kita sebut juga dengan
komunitas. Sehingga berdasarkan fungsi dan gaya hidup itu kita bisa menemukan komunitas
agama, komunitas hobi, komunitas filosof atau bahkan komunitas virtual. (Jones, 1999: 203).
2016
3
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Gaya hidup modern yang serba praktis ternyata membawa dampak terhadap perilaku
masyarakatnya. Kehadiran perangkat teknologi yang serba canggih mampu mengambil alih
peran sosial manusia sebagai bagian dari masyarakat. Terbentuknya komunitas-komunitas
online dalam masyarakat perkotaan merupakan contoh dari fenomena pergeseran makna
sosial dalam kehidupan masyarakat modern.
Melalui media internet interaksi sosial dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dengan
siapa saja tanpa harus bertatap muka secara langsung. Komunitas ini sudah jamak bagi
masyarakat perkotaan. Komunitas-komunitas ini dapat terbentuk berdasarkan kesamaan
minat para anggotanya, seperti komunitas ilmiah atau komunitas budaya sampai dengan
yang paling ringan seperti hobi. Komunitas-komunitas online ini mencerminkan bahwa
masyarakat modern cenderung hidup terkotak-kotak dalam minat dan perhatian masingmasing. Ini merupakan gaya hidup baru masyarakat modern.
Esensi komunitas tidak hanya terletak pada pondasi yang didasarkan pada lokasinya
saja tetapi juga terletak pada “kualitas dalam mempertahankan kesepakatan bersama dalam
kepentingan komunitas itu sendiri, kebutuhan akan komunitas itu sendiri rasa identitas
bersama dan kesamaan karakter yang dimiliki”. Komunitas yang terbentuk lebih
menunjukkan karakter elastis sebagaimana perkembangan dan kesepakatan akan berbagai
elemen yang menghasilkan makna simbol-simbol baru secara leksikal dan kebertahanannya
dalam menghadapi tantangan-tantangan dari luar (Jones, 1999: 204)
2016
4
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Struktur Masyarakat
Suatu masyarakat atau komunitas memiliki struktur. Dalam Sosiologi, struktur merupakan
hasil dari stratifikasi masyarakat (Soekanto, 2009). Sistem stratifikasi sosial merupakan
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis).
Stratifikasi atau sistem pelapisan ini dapat terjadi dengan sendirinya atau juga sengaja
dibentuk karena tujuan tertentu.
Sistem pelapisan dapat dianalisis dalam arti-arti (Soekantor, 2009: 201) :
1. Distribusi hak-hak istimewa yang objektif seperti penghasilan, kekayaan, keselamatan
(kesehatan, keamanan)
2. Sistem pertanggaan yang diciptakan warga masyarakat (prestise dan penghargaan)
3. Kriteria berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik,
wewenang atau kekuasaan
4. Lambang-lambang kedudukan, seperti tingkah-laku hidup, cara berpakaian,
perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi
5. Kemudahan bertukar kedudukan
6. Solidaritas di antara individu atau kelompok-kelompo sosial yang menempati
kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat, yaitu:
a) pola-pola interaksi (struktur klik, keanggotaan organisasi, perkawinan)
b) kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai
c) kesadaran akan kedudukan masing-masing
d) aktivitas sebagai organ kolektif
2. Struktur Cyber Community
Menurut Prasetya (2010), komunitas virtual adalah yaitu mereka yang saling
berinteraksi menggunakan teknologi komputer (cyberspace - cybercommunity), karena
melalui interaksi antar mereka ruang itu tebentuk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Oswald, “The critical componentof any definition of cyberspace is theelement of community”
(Oswald, dalam Holmes, 2005:45). Anggota masyarakat maya tidak terikat secara territorial
atau bahkan tidak pernah bertemu muka sekalipun. Melalui sarana virtual mereka berinteraksi, mempertukarkan makna dan membangun realitas dunia. Kelompok masyarakat ini
diberikan label sebagaivirtual communities. “Virtual communities are social aggregation that
2016
5
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
emerge from the netwhen enough people carry on those public discussion,with sufficient
human feeling, to form webs of personal relationship in cyberspace”(Rheingold, 1993:5)
Prasetya juga mengutip Holmes (1997: 148) menguraikan bahwa komunitas virtual
terbentuk dan berfungsi di dalam cyberspace, ruang yang eksis dalam hubungan dan jaringan
teknologi komunikasi. Komunitas ini direpresentasikan dengan pertambahan jumlah penulis
sebagai bentuk baru suatu komunitas yang membebaskan seorang individu dari hambatan
sosial seperti identitas, hambatan geografis yang berupa jarak, menghapuskan kedudukan
lewat penghapusan struktur hirarkis; dan mempromosikan rasa keterhubungan (atau
persaudaraan) antara peserta secara interaktif. Oleh karena itu, Prasetya menyimpulkan
bahwa tidak ada struktur dalam komunitas virtual atau cyber community ini.
Ruang -ruang berdimensi computer memiliki arti yang sama dengan cyberspace dan
ruang internet ketika diakses melalui teknologi; dan muatan (content)yang ada mengacu pada
data, informasi, diskusi, ekspresi dan perasaan-perasaan yang timbul dalam diskusi yang
terjadi sesama anggota. Secara sosial keberadaan komunitas biasanya akan memunculkan apa
yang disebut sebagai “sense of community” yakni karakteristik suatu komunitas yang ditandai
oleh perilaku saling membantu dan secara emosional adalah perasaaan memiliki “attachment.
Komunitas virtual bahkan memberikan cara dan kemudahan bagi individu mendapatkan
perasaan diikutsertakan (inclusion), terutama bagi para individu yang mencari orang-orang
yang berpikiran sama. Komunitas virtual menggunakan jaringan social internet sebagai
tempat (space) bertemunya anggota-anggotanya sebagai upaya mempertahan afiliasinya
sehingga interaksi dan keterhubungan tersebut dapat terus berlangsung. Dengan demikian,
setiap komunitas virtual memiliki budaya kolaboratif yang dibentuk, dipelihara,
dipertahankan dan dikembang oleh partisipannya. Budaya ini mempengaruhi bagaimana
orang berperilaku di dalamnya, dan orang berinteraksi untuk berbagi nilai, makna dan juga
identitas mereka. Oleh karena itu, keberadaan komunitas virtual selalu memunculkan budaya
virtual,
3. Hyperreality
Menurut Piliang (2012 ) Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia
(politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksual) di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk
substitusi artifisialnya, sehingga apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dapat
dilakukan dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace. Cyberspace menciptakan sebuah
kehidupan yang dibangun sebagian besar—mungkin nanti seluruhnya—oleh model
2016
6
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh teknologi, sehingga berbagai fungsi alam
kini diambil alih oleh substitusi teknologisnya, yang disebut kehidupan artifisial (artificial
life).
Pengaruh cyberspace terhadap kehidupan sosial setidak-tidaknya tampak pada tiga
tingkat: tingkat individu, antarindividu, dan komunitas. Pertama, pada tingkat individual,
cyberspace telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang
'identitas'. Kedua, pada tingkat antar-individual, perkembangan komunitas virtual di dalam
cyberspace telah menciptakan relasi-relasi sosial yang bersifat virtual di ruang-ruang virtual :
virtual shopping, virtual game, virtual conference, virtual sex dan virtual mosque. Ketiga,
pada tingkat komunitas, cyberspace diasumsikan dapat menciptakan satu model komunitas
demokratik dan terbuka yang disebut Rheingold 'komunitas imaginer' (imaginary
community).
Di dalam era artifisial dewasa ini, berbagai ruang sosial yang ada di dunia nyata, kini
dapat dicarikan substitusinya di dalam dunia informasi digital, dalam wujudnya yang
artifisial, yaitu wujud simulasi sosial (social simulation). Cyberspace adalah sebuah ruang
utama yang di dalamnya berbagai simulasi sosial menemukan tempat hidupnya.
Internet mampu mengatasi hambatan jarak, waktu dan ruang. Internet memiliki
karakteristik interactivity. Dalam dimensi interaktivitas ada beberapa karakteristik yang
dimiliki oleh teknologi informasi ini, antara lain: bidirectionality, quick response, bandwidth,
user control, amount of user activity, ratio of user to medium activity, feedback transparancy
social presence, dan artificial intelligence. (Jaffe dan Stavins 1995: 3). Jadi peranan internet
sebagai media baru dengan keunggulan interaktif dan membangun hubungan secara personal,
kelompok maupun massa.
Namun, internet memiliki makna artifisial intelligence dan bersifat cair. Artinya
teknologi internet merupakan teknologi yang bertumpu pada realitas virtual yang
bersifat hybrid dan bekerja pada level representasi atau pencitraan. Sementara itu, setiap
orang yang tergabung didalamnya bisa keluar masuk didalamnya. Pengguna bisa mengakses
internet, mengirim dan menerima pesan kapan pun sesuai keinginan mereka. Jadi teknologi
internet membiarkan seseorang untuk berhubungan satu dengan yang lain bertukar kualitas
personal mereka. Hubungan pertemanan dan relasi yang bersifat romantis dapat terjalin meski
ekstrim sekalipun dimana secara tradisional hal ini sulit dilakukan. Ini menjadikan
kekurangan dalam menjalin relasi dalam internet. Menurutnya hal ini disebabkan seseorang
2016
7
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tidak dapat melihat orang yang sedang diajak bercakap, terkecuali jika mereka bertukar foto
atau pernah bertemu secara langsung. Dan terkadang foto pun tidak menjamin bahwa foto
yang ditampilkan memang nyata foto yang bersangkutan sehingga untuk memperoleh
kebenaran konfirmasi sangat sulit dilakukan (De Vito, 2003: 183).
Dalam dunia maya (online) orang juga bisa membuat kesalahan dengan sedikit resiko,
seperti pertukaran identitas yang sulit untuk dilacak. Yang lainnya adalah interaksi melalui
komputer membuat seseorang bisa berubah menjadi “unforgiving” dari segala kekurangan
yang bisa diperlihatkan oleh orang dalam kehidupan nyata karena dalam online seseorang
akan diberi pilihan lebih banyak. Saat seseorang merasa tidak cocok bercakap dengan orang
didepannya maka ia akan beralih ke orang lain (De Vito, 2003: 184). Hasilnya seseorang
hanya akan menghabiskan waktu di depan komputer untuk mencari sesuatu yang sempurna
yang mungkin tidak akan pernah ada. Tidak seperti kehidupan nyata ketika seseorang
berhubungan dengan orang lain dan mendapati mereka memiliki kekurangan maka mereka
akan memberi pemakluman alih-alih menyerah pada hubungan itu atau mencari orang lain
yang lebih sempurna.
Keberadaan media-media sosial, ternyata menciptakan fenomena baru yang menarik
untuk dikaji lebih dalam. Fenomena yang paling jelas adalah hiperrealitas. Jean Baudrillard,
seorang
sosiologis
ternama
dari
Perancis,
dalam
bukunya
“Simulacra
and
Simulation”, menyebutkan bahwa hiperralitas adalah sebuah konsep dimana realitas yang
dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan tanda-tanda yang
melampaui realitas aslinya (hyper-sign).
Hiperrealitas adalah suatu keadaan di mana kepalsuan bersatu dengan keaslian,
tercampur-baur. Masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa,
tanda melebur dengan realitas, dusta bersenyawa dengan kebenaran.
Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi (tiruan
yang mirip dengan aslinya). Simulasi itu menciptakan simulacrum (jamak: simulacra),
didefinisikan sebagai image atau representation. Hiperrealitas membuat orang akhirnya
terjebak pada simulacra, dan bukan pada sesuatu yang nyata. Nicolas Carr menyebut hal ini
sebagai citra kamuflase. Dalam buku The Shallows: What the Internet Is Doing to Our
Brains, Carr menyatakan bahwa kehidupan digital (baca internet) telah mendangkalkan cara
berfikir manusia. Salah satu mengapa pikiran menjadi dangkal, adalah karena citra-citra
2016
8
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kamuflase tersebut. Orang terbiasa hidup dalam alam yang bukan realitas, tetapi hiperrealitas.
Terlebih di media sosial. Orang bisa mencitrakan dirinya sesuka hati, sehingga citra yang
muncul benar-benar positif
DaftarPustaka
Baker, C. R. (2002). Crime, fraud and deceit on the internet: is there hyperreality in
cyberspace? Critical Perspectives on Accounting, 13(1), 1-15.
Carr, N. (2011). The shallows: What the Internet is doing to our brains. WW Norton &
Company.
Holmes, D. L. (Ed.). (1997). Virtual politics: Identity and community in cyberspace. Sage.
Jaffe, A. B., & Stavins, R. N. (1995). Dynamic incentives of environmental regulations: The
effects of alternative policy instruments on technology diffusion.Journal of environmental
economics and management, 29(3), S43-S63.
Jones, Steven G (ed.). 1994. Cyber society: Computer Mediated Communication. London:
SAGE.
Piliang, Y. A. (2014). Iklan, Informasi, atau Simulasi?: Konteks Sosial dan Kultural
Iklan. MediaTor (Jurnal Komunikasi), 5(1), 63-73.
Pilliang, Y. A. (2012). Masyarakat informasi dan digital: Teknologi Informasi dan Perubahan
Sosial. Jurnal Sosioteknologi, 11(27), 143-155.
Piliang, Y. A. (1999). Hiper-realitas kebudayaan. Lembaga Kajian Islam dan Sosial.
Prasetyo, H. (2010). Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru Masyarakat
Modern. ULTIMACOMM, 2(2).
Rheingold, H. (2005). Introduction to the virtual community. The subcultures reader, 518-29.
Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Terashima, N. (2009). HyperReality. In Encyclopedia of Multimedia Technology and
Networking, Second Edition (pp. 631-640). IGI Global.
Tiffin, J., & Terashima, N. (2001). Hyperreality: Paradigm for the third millennium.
Psychology Press.
2016
9
New Media and Society
Eli Jamilah M., M. Si
PusatBahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download