Gaul Online Sebagai Pendukung Keutuhan Pembelajaran Oleh: Adi Nugroho Onggoboyo Guru Fisika dan Sosiologi SMA Darul Hikam Bandung Sosiolog George Ritzer (2003:249) mengatakan bahwa; Pertama, adalah mustahil bahwa kita akan mempunyai sesuatu yang ingin kita komunikasikan kepada orang tertentu. Kedua, karena informasi dapat dikomunikasikan dengan sejumlah cara, maka tidak mungkin kita akan memilih dengan satu cara khusus saja. Ketiga, adalah mustahil bahwa orang yang kita ajak bicara akan memahami kita dengan tepat. Masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi bersifat kontingen. Untuk menyelesaikan problem ini, dibutuhkan kecukupan pengetahuan tentang ekspektasi orang lain sebagai landasan. Untuk mengatasi kemustahilan komunikasi, maka struktur sosial berkembang untuk mengubah komunikasi yang mustahil menjadi lebih mungkin. Dalam keseharian pembelajaran di sekolah, struktur sosial yang diciptakan sistem psikis yang bekerja pada masing-masing guru, akan membuat efek terhadap relasi siswa dan guru bervariasi. Atas nama wibawa dan penghormatan terhadap guru, kerap kali guru memutuskan untuk menciptakan ’wibawa’ tersebut dengan menjarakkan intensitas singgungan dengan siswa dan menerapkan perilaku-perilaku yang dipandang dapat membuatnya berwibawa semisal: struktur bahasa berikut artikulasi yang digunakan, pakaian, atau jarak sosial yang dilanggengkan. Alhasil, tatkala informasi yang beredar dari relasi guru-siswa tidaklah kaya dan cukup mendalam, kontingensi yang terjadi menjadi besar, yang pada gilirannya baik guru dan siswa akan melakukan ketidaktepatan tindakan pada apa yang seharusnya dilakukan. Maka juga, kalau begitu, cara pandang yang dipakai cenderung mendikotomikan antara siswa sebagai seorang manusia berikut sifat-sifat yang memanusia di dalamnya (sebagai sistem psikis individu), dengan pelajaran yang akan ditransmisikan (sebagai bagian dari sistem saintifik). Untuk lebih mensinergiskan dua sistem psikis guru-siswa dan sistem saintifik yang ditransmisikan, singgungan semuanya harus dibuat sedemikian rupa sehingga aliran informasi antara keduanya mengalir dengan amat kaya, yang berujung pada kemungkinan lebih baik untuk penyelesaian problem kontingensi: lebih egaliter, lebih personal, lebih humanis, dan saling ikhlas tanpa adanya semacam ’ketakutan’ yang tercipta dari relasi struktur sosial yang penuh ’wibawa’. Pada nantinya, hal ini akan sangat membantu memetakan kondisi siswa secara lebih utuh, dan akan sangat membantu dalam memberikan perlakuan pada saat pembelajaran berlangsung: dari konsep, metode, hingga teknisnya. Adanya perkembangan teknologi informasi yang telah menciptakan jejaring sosial (social network) dalam dunia maya, menjadikan salah satu alternatif yang relevan untuk melakukan proses-proses diatas ialah dengan Gaul Online. Penggunaan wahana chatting via instant massenger, aktivitas friendster, facebook, dan blog, hendaknya dimaksimalkan. Komunikasi yang terjadi melalui ruang maya, mengingat ketiadaan kehadiran face-to-face di tempat yang sama, plus pada umumnya ditransmisikan melalui bentuk bahasa tulis dan emoticon, secara psikologis dapat membuat sekat-sekat struktural yang biasa terjadi dalam keseharian di sekolah menjadi cair. Hingga kemudian melebur dalam aliran informasi personal yang kerap tidak diduga sebelumnya. Personalisasi itu juga dapat dilacak tidak hanya pada cara komunikasi yang synchronous (misal: chatting), namun juga asynchronous (misal: blog, email, saling tulis di dinding facebook). Akumulasi informasi yang saling bertukar ini kemudian ditafsirkan dalam makna subyektif yang berujung pada kemunculan trust, yang waktu terjadinya dapat bervariasi, dari yang langsung maupun berproses terlebih dahulu. Pada tataran praktis, cukup banyak siswa yang tidak berani atau malu menceritakan sesuatu secara langsung kepada gurunya, namun kemudian menjadi sangat terbuka jika medium yang digunakan melalui jejaring sosial di dunia maya. Jalava (2003) mengatakan bahwa kita mengetahui terdapat tingkatan dimana kode komunikasi dan pemikiran kita belum dikembangkan. Peran dari trust dititikberatkan dalam masyarakat resiko (risk society). Kita tidak membutuhkan trust dalam sebuah dunia yang familiar. Trust mensyaratkan situasi resiko. Dapat dikatakan bahwa to trust is to take a risk. Trust hanya memungkinkan dalam sebuah situasi dimana seseorang melihat kemungkinan kerusakannya lebih besar daripada keuntungannya (Deutsch, 1962: 302 dalam Jalava: 2003). Menurut Nilklas Luhmann, fungsi Trust ialah untuk merekonstruksi atau untuk mereduksi tumbuhnya kompleksitas pada masyarakat. Bentuk Gaul Online yang menurut riset dapat memperkuat argumen diatas misalnya saja blog. Riset kuantitatif Onggoboyo (2004), menyebutkan bahwa: terdapat sebuah kecenderungan otomatis bahwa jalinan sesama blogger mengakibatkan sedemikian rupa seperti sebuah konvensi tak sadar yang menyebabkan mereka relatif saling percaya satu dengan yang lain tanpa perlu merasa berbohong. Pada prinsipnya, dengan aktivitas Gaul Online yang dilakukan guru dalam relasi terhadap siswa, merupakan suatu upaya untuk menggeser struktur sosial yang dicipta guru dari yang penuh ’wibawa’ menjadi egaliter, bersahabat, personal. Dalam hal ini, guru bukan dipandang sebagai semacam ’yang lebih diatas’, namun cenderung pada partner belajar dan sebagai pengayom yang dapat memberikan pula sugesti-sugesti personal sebagai balikan atas curahan hati siswa. Guru menjadi seorang bapak atau ibu yang bijaksana, yang mendengarkan keluh kesah siswa secara lebih mendalam, yang kemudian memberi sentuhan khas pada masing-masing siswa sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Pendekatan kualitatif berbasis Gaul Online ini, kemudian akan menjadikan guru mempunyai data siswa lebih detail dan personal, sehingga guru dapat lebih bijak dalam berperilaku dan bertindak terhadap siswa dalam pembelajaran di sekolah, lantaran guru telah memiliki sebentuk pemahaman yang lebih baik akan siswa yang sedang dibimbingnya. Dengan demikian, guru bisa lebih mengerti mengapa misalnya nilai matematika seorang siswa cenderung buruk, atau mengapa seorang siswa yang lain selalu merasa tertekan dengan tertentu yang menyebabkannya malas belajar atau belajar dalam suasana penuh ketakutan. Gaul Online tidak mesti dilakukan oleh guru bimbingan konseling saja, namun hendaknya juga oleh guru mata pelajaran. Tatkala struktur sosial yang egaliter dan bersahabat yang dikembangkan, maka relasi antara guru-siswa akan lebih dinamis, tanpa paksaan dan selipan rasa ketakutan. Proses komunikasi yang berkesinambungan inilah yang akan memperlihatkan tanda-tanda perkembangan evolusioner dari suatu sistem sosial, yang kemudian akan memicu evolusi sistem sosial menjadi lebih cepat lantaran terbentuknya subsistem-subsistem yang muncul sebagai efek atas intensifnya pertukaran makna yang dikomunikasikan guru-siswa dengan penuh kreatif, keterbukaan, dan kemerdekaan. Siswa tidak menurut perintah dengan paksaan, namun lebih pada kesadaran. Siswa akan belajar menjadi manusia yang memanusia dari pembelajaran di sekolah. Adapun ’wibawa’, bergeser menjadi saling terciptanya rasa saling menghargai, respek, dan percaya dengan penuh ketulusan terkait peran dan status sosial yang disandang masing-masing pihak.