KONSTRUKSI MAKNA SIMBOL DALAM KOMUNIKASI SOSIAL Oleh : Dr. Elfiandri. M.Si Abstraksi Ernst Cassirer seorang filosuf Kantien, yang menjuluki manusia sebagai binatang yang menggunakan simbol (animal simbolicum), saking dekatnya manusia dengan symbol sehingga peradaban manusia dapat dikenali dengan simbol yang digunakan, tulisan ini akan membicarakan bagaimana fungsi simbol dalam komunikasi social masyarakat studi kasus diaderah Limokoto, dan secara umum juga akan dijelaskan bagaimana fungsi simbol dalam komunikasi sosial masyarakat, tulisan ini menyimpulkan bahwa simbol mengandung tiga fungsi sosial yaitu sebagai simbo idelaistik (stndar normative), kedua fungsi interpretasi (Pemaknaan) dan ketiga Fungsi Intreperetatif prefentif in group (Penyatuan persepsi dalam kelompok social). Manusia hampir tidak mungkin hidup tanpa simbol. Sepanjang hidup manusia berkecimpung dalam simbol dan tanda. Simbol merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Tidak dapat dibayangkan bagaimana manusia hidup tanpa simbol. Karenanya, Ernst Cassirer seorang filosuf Kantien, yang menjuluki manusia sebagai binatang yang menggunakan simbol (animal simbolicum). Manusia bukan hanya makhluk yang berakal budi (animal rationale), bukan hanya makhluk sosial, makhluk ekonomi tetapi makhluk bersimbol. Kuntowijoyo (1987:66), menegaskan bahwa manusia hidup di tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan sosial, lingkungan material dan lingkungan simbolik. Yang dimaksud dengan lingkungan material bukan ekosistem atau tempat ketika lingkungan tadi terkait, melainkan lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan, peralatan- peralatan. Lingkungan sosial adalah organisasi sosial, stratifikasi sosial, sosialisasi, gaya hidup dan sebagainya. Lingkungan simbolik adalah segala sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi seperti kata, bahasa, mite, nyanyian, seni, upacara-upacara, tingkah laku, konsep-konsep dan sebagainya. Disamping itu ada suatu pengertian di mana kita menciptakan dunia kita dengan memberikan makna terhadapnya: Sepotong kayu adalah sepotong kayu. Dalam kegiatan harian kita hal itu menjadi sebuah meja. Kata “meja” berarti peran yang dimainkannya dalam interaksi kita, sesuatu yang menjadi tempat makan, tempat bekerja, sebagai penghalang untuk melawan juru sita. Makna-makna tersebut berusaha dan berkembang dan ketika hal tersebut terjadi di dunia pun berubah dan berkembang. 1 Kata simbol atau lambang menurut Heru Susanto (2000 : 10) dalam Alex Sobur ( 2003 : 155) berasal dari bahasa Yunani sym-ballien berartikan melemparkan bersama (benda , perbuatan) dikaitkan dengan satu ide. Disisi lain ada juga yang menyebutnya berawal dari kata “ simbolos “ berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Tubbs dan Moss (1996:72) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang digunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu yang lainnya. Jadi gambar singa dapat dipakai sebagai simbol keberanian, tiang berloreng-loreng merah dan putih sebagai simbol tempat tukang cukur. Simbolisme presentasional ialah simbol yang cara penangkapannya tidak memerlukan intelek, dengan spontan ia menghadirkan apa yang dikandungnya. Simbol presentasional inilah yang kita jumpai dalam alam, dalam lukisan, tari-tarian, dan pahatan. Aspek penting dari ungkapan Langer tersebut, bahwa untuk memahami sesuatu dalam proses interaksi kita dibantu untuk menangkap suatu makna baik secara intelek maupun spontan. Salah satu peran penting dalam simbolisme itu adalah bahasa verbal yang mengungkapkan makna dan di sisi lain ada bahasa yang maknanya ditangkap secara nonverbal. Sebagai manusia secara unik bebas menghasilkan, mengubah, dan menentukan nilai-nilai bagi simbol-simbol sesuka kita. Kebebasan untuk menciptakan simbol-simbol dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan simbol bagi simbol lainnya adalah paling penting bagi apa yang kita sebut proses simbolik. Proses simbolik adalah proses yang dilakukan manusia secara arbitrer untuk menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili halhal lainnya (S.I. Hayakawa dalam Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat (ed) (1996: 9697). Proses simbolik ini menembus kehidupan manusia dalam tingkat paling primitif dan juga tingkat paling beradab. Dalam konteks lain Hartoko-Rahmanto (1998 : 133) dalam Elex Sobur (2003 : 157) suatu simbol dipenagruhi oleh perasaan. pada dasarnya simbol dapat dibedakan kepadda pertama Simbol universal berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambing kematian. Kedua simbol cultural yangdilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu misalnya keris dalam kebudayaan Jawa. Ketiga simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang. Thorsten Veblen dalam bukunya Theory of the Leisure Class (1899) seperti yang dikutip S.I. Hayakawa dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (1996:97) menyebutkan semua pakaian dengan segala modelnya adalah simbolik: bahan, potongan, dan hiasannya antara lain ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan mengenai 2 kehangatan, kenyamanan, dan kepraktisannya. Semakin bagus pakaian kita, semakin terbatas kebebasan kita untuk bertindak. Beraneka makna diberikan oleh manusia terhadap sebuah simbol, namun makna yang diberikan tersebut tidak terlepas dari makna simbol-simbol yang ada dalam pikiran dia sebelumnya yang akan dijadikan sebagai Frame of Reference, seandainya frame of reference nya sejalan dengan makna hakikat Si-penggagas simbol, maka disini akan terjadi pemurnian makna, pemurnian makna ini akan menopang kelestarian makna simbol tersebut, tetapi jikalau makna simbol itu diberikan oleh pemakna baru dengan makna baru pula maka kesinambungan makna simbol tersebut akan membias bahkan akan menghancurkan kandungan simbol itu sendiri. Menurut perspektif semiotik, untuk memahami komunikasi terutama harus menguraikan proses internal di benak si pengirim dan penerima pesan sebagai hasil perjumpaan di antara mereka. Proses internal inilah yang menghasilkan komunikasi sebenarnya, yaitu suatu penciptaan dan bahkan sharing makna-makna (Chandra, 1996:27). Pendapat ini juga menegasakan, suatu pesan yang dikirimkan tidaklah dianggap merupakan suatu pesan kecuali bila dipahami oleh si penerima. Dengan kata lain, sesuatu yang disampaikan namun tidak bermakna bagi siapa-siapa dianggap bukan sebagai pesan. Jadi pesan menurut teori semiotik bukanlah sesuatu yang ditransmisikan dari A ke B namun merupakan apa yang mengikat atau diciptakan A dan B bersama. Komponenkomponen yang mengikat ini terdiri dari bermacam-macam hal terutama, tanda atau signal. Tanda adalah sesuatu yang diciptakan manusia untuk saling “menghubungkan diri”. Tanda ini biasanya harus dengan mudah ditangkap secara inderawi. Kehadiran tanda ini dikenali karena tanda ini berbeda dari lingkungan atau menonjol di tengah lingkungannya. Misalnya di tengah berbagai suara kacau balau, muncul suara teratur dari suara sebuah lonceng gereja. Tanda ini jelas dan memiliki makna bagi mereka yang berada di dalam konteks masyarakat tempat tanda ini diciptakan sebelumnya. Beberapa ahli seperti CS Pierce (1931-1958), Ogden dan Richards (1923), dan Saussure (1915, 1974) menunjukkan bahwa manusia mencoba mengerti kompleksitas pengalaman atau realitanya. Mereka membuat tanda-tanda untuk menangkap realita tadi dan untuk dibagikan bersama. Wujud dari suatu simbol komunikasi dalam masyarakat begitu luas sehingga sulit untuk membatasinya bahwa suatu perilaku dikatakan sebagai simbol komunikasi atau 3 bukan, sebab setiap tingkah laku untuk menyampaikan suatu pesan dapat dikatakan sebagai suatu komunikasi. Jhonson (1981) dalam A Supratikya (1995; 30) mengatakan bahwa setiap tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga merupakan sebentuk komunikasi, karena komunikasi secara luas adalah setiap tingkah laku seseorang baik verbal maupun nonverbal yang di tanggap oleh orang lain. Sementara dipihak lain, simbol komunikasi yang bergulir dalam masyarakat sudah mengejewantah dalam pola kebudayaannya sehingga tidak jarang bahkan dapat dikatakan bahwa setiap simbol komunikasi suatu masyarakat dipengaruhi oleh budayanya dan untuk memahami pola budaya haruslah dengan budaya itu sendiri, Jalaluddin dikutip Dedy Mulyana (1998; 48) mengatakan bahwa pola komunikasi suatu masyarakat tertentu merupakan bagian dari seluruh pola budaya dan dapat dipahami dalam konteks tersebut. Simbol dalam konteks ini harus dipahami simbol sebagai konsep yang terjelma dalam budaya dalam pengertian fisik dan normative, kenapa demikian ? karena simbol merupakan kristalisasi dari sebuah pencerahan manusia disaat ia bersentuhan dengan realitas hidupnya. Pemaknaan sebuah simbol itu sendiri baertautan erat dengan konteks sosial yang pengguna simbol tersebut, sebab simbol akan memberikan makna positif apabila ditautkan dengan kondisi yang mengawali simbol tersebut dalam masyarakatnya, dengan demikian unversal simbol akan sangat sulit diterapkan serta dipahami secara positif jika ia dipertautkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai pertalaian dengannya. Jikalau simbol diberikan kebebasan kepada pemaknaan manusia yang tidak mengawali lahirnya simbol itu, maka mespresepsi serta interpretasi murni dari simbol itu akan tercerabut dari tujuan semula, dimana simbol itu dikristalisasikan dalam dataran budaya. Dalam kodisi yang terakhir ini akan melahirkan bias dari konsep simbol tersebut, dan ini tidak jarang akan melahirkan perilaku simbolik yang oportunistik. Kata lain, pemaknaan simbol dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat. Anggapan simbol sebagai sarana pemasung dinamika komunikasi sosial, tidak dapat dibenarkan, karena simbol bersifat dinamis, artinya ia akan terus bergerak kearah yang sempurna, seiring dengan perkembangan zamannya. Dengan demikian keberadaan sebuah simbol akan mengalami penghilangan atau penyempurnaan, dinamika ini senada dengan kebutuhan manusia terhadap simbol itu sendiri. 4 Apabila sebuah simbol tidak lagi mampu memberikan kontribusi yang positif secara nyata terhadap pergerakan sosialnya, maka simbol itu akan terkikis secara alami, namun apabila nilai yang ditawarkan simbol itu kurang memberikan aprisiasi kesepurnaan, maka dikalah itu simbol akan mengalami penyempurnaan. Akan tetapi menghilangan konsep simbol bukanlah seperti menghilangnya air di atas pasir, melainkan ia akan bergerak seperti air dalam bajana yang dipanasi sinar mata hari. Kata lain ia akan menghilang, kalau memang itu dikehendaki, secara berlahan-lahan. Pada hakekatnya makna simbol tidak terlepas dari minimal tiga unsur sebagai berikut Pertama Simbol adalah sebagai lambang perjuangan. Simbol sebagai lambang perjuangan menandai awalnya sebuah perjuangan yang akan direbut, direalisasikan, dengan demikian ia merupakan aktivitas nyata yang dapat menghalalkan sesuatu yang belum tentu dapat diterima oleh orang lain. Dalam konteks budaya Melayu, dimana budaya melayu indentik dengan agama Islam, maka dibentuklah sesuatu peraturan yang akan mampu mengantarkan budaya malayu tersebut kedalam makna simbol budayanya sebagimana ditentukan dalam adat melayu, dalam prinsip dasar adat melayu dikatakan bahwa pemimpin orang melayu harus orang yang beragama Islam. Pengangkatan Islam sebagai karekteria pemimpin dalam budaya bukanlah dikasasri sebagai paham etnosentrisme malayuisme, melainkan hal itu harus dipandang sebagai simbol perjuangan orang melayu untuk menyatakan simbol budaya kepermukaan, dimana hal itu akan menandai yang dapat membedakan diri mereka dengan orang non melayu, konsekwensi logis dari makna tersebut, maka setiap anak negeri malayu dari dulu diarahkan serta diwajibkan menuntut ilmu agama Islam, sebab makna budaya malayu baru akan dapat dihayati oleh generasi melayu apabila anak negerinya beragama Islam. Kedua simbol sebagai makna pengharapan. Sebagai makna pengharapan, dipandang oleh orang-orang yeng mendukung simbol tersebut simbol sangat menggantungkan pengharpanya terhadap simbol tersebut, karena dengan simbol tersebut akan melahirkan sebuah pengharapan yang sangat menjanjikan kehidupan yang lebih layak daripada kehidupan sebelumnya. Berawal dari pengharapan ini, mengarahkan mereka untuk menggantungkan nasib generasi mereka kedalam gulungan makna simbol tersebut. Bagi mereka, simbol itu merupakan dewa penolong dihari tua serta 5 masa depan komunitasnya. Seandainya simbol tersebut tidak dipelihara dengan baik, maka sama saja mereka menyia-nyiakan masa depan mereka sendiri. Pada dasarnya penggantungan masa depan terhadap simbol itu tidak terlepas dari keterbatasan mereka untuk memastikan masa depan serta terlebih disebabkan oleh keterbatasan waktu mereka untuk melindungi diri, keluarga serta golongannya dimasa mendatang, sehingga akhirnya bermuara dari keterbatasn ruang dan waktu mereka tersebut, maka mereka melakukan upaya kerja kolektif yang dapat menjamin berjalannya sistem sosial mereka, dan hal yang paling dianggap sangat mampu menjalin terciptanya sistem sosial yang kolektif serta berkesinambungan itu adalah sebuah simbol, oleh karenanya mereka menciptakan sebuah simbol, dimana ia akan merajuti berbagai kepentingan serta pengharapan mereka dimasa-masa akan datang. Ketiga simbol sebagai standar nilai. Simbol sebagai strandar nilai, maka setiap anggota masyarakat harus mengikuti alur perilaku yang telah dituangkan kedalam simbol budayanya artinya segala aktivitas individual maupun kelompok serta masyarakat harus bertitik tolak dari makna simbol mereka, kebiasaan ini diberlakukan demi tegaknya keharmonisan relasi sosial secara internal, (Ingroup and outgroup) Simbol sebagai standar nilai, tidak hanya bertugas menjaga kemungkinan akan muncul perilaku yang menyimpang (Prepentif), melainkan ia juga dijadikan sebagai standar hukuman terhadap perilaku yang telah menyimpang (Kuratif), kata lain simbol tersebut tidak hanya sebagai standar nilai tatakrama sosial melainkan juga sebagai standar hukum bagi individu, kelompok yang telah melakukan kesalahan. Arti kata simbol yang dipergunakan oleh individu, atau kelompok akan menjadi rujuaan hukuman apabila mereka melanggar adat istiadat, contoh, simbol keris, untuk dijadikan tanda pinangan dalam adat Limokoto, dimana keris tersebut tidak hanya simbol sebagai anak penghulu adat tetapi juga akan dijadikan rujukan denda apabila yang dipinang tersebut membatalkan pinangannya sepihak, maka dikatakan dalam tombo adat (Pusoko kersis adalah kerbau ) Pusaka keris adalah kerbau, jadi terhadap kusus tersebut, seorang yang telah dipinang, kemudian dia membatalkan pinangannya sepihak maka ia harus membayar denda kepada pihak laki-laki senilai satu ekor kerbau. Hal inilah yang dimaksud dengan pepatah orang tua-tua kata ditimbang, salah dibayar artinya kata ditimbang adalah sebuah 6 lambang nilai-nilai normatif kehidupan sosial sedangkan salah dibayar adalah simbol hukum formal yang berlaku dalam masyarakat. Dalam konteks lain simbol juga diartikan sebagai status sosial seseorang. Kata lain simbol-simbol yang dipergunakan oleh masyarakat baik itu berupa pakaian, rumah, serta perlengkapan lainnya juga merupakan simbol status sosial seseorang atau masyarakat tertentu seperti penggunaan warna kuning adalah simbol kerajaan dalam adat melayu dan pakaian ninik mamak limokoto berwarna hitam dan tidak mempunyai kantong, melambangkan bahwa ninik mamak limokoto adalah orang bijak sebagaimanasifat warna hitam tidak dapat dinodai oleh warna apapun (independen dalam keputusan / adil ) dan dia tidak punya kekayaan pribadi, karena kekayaannya adalah kekayaan para keponakannya. Begitulah simbol dalam masyarakat melayu (Limokoto) begitu halus, sehingga melahirkan budi pekerti yang baik, serta keharmonisan dalam interakasi sosial dalam pepeta dikatakan mengeliat ikan didasar sungai sudah tahu jantanbetinanya. Pepatah ini menggambarkan begitu halusnya pembawaan serta keperibadian orang Limokoto dalam memasyarakat. Fungsi Simbol Sebagimana dipahami bersama simbol merupakan rekonstrukti berbagai pengalaman manusia kedalam wujud yang tampak, hal senada dengan kecendrungan manusia, yang hanya mampu memahami sebuah konstruk berbentuk fisik, berawal dari itu semua maka mewujudkan konstruk yang ada dalam dunia asbtrak tersebut kealam nyata sehingga makna yang abstrak itu mampu memberikan sumbangsih terhadap kehidupannya, fungsi simbol ada tiga sebagai berikut : 1. Fungsi Idealistik, yaitu fungsi yang mengatur tatakrama idealis yang harus dimainkan oleh setiap orang yang berada didalam konstruk simbol tersebut. Fungsi ini sangat membantu individu maupun kelompok untuk menata kehidupan yang harmonis, sebab dengan fungsi ini individu maupun kelompok secara spantan akan mengarahkan normatif idealisnya kepada simbol tersebut. Pada konteks ini simbol berwujud dalam bentuk normatif. 2. Fungsi Interpersonalistik. Peranan yang dimainkan simbol dalam fungsi ini adalah simbol merupakan sarana yang akan mengatur bagaimana lalu lintas norma-norma itu didalam melakukan sosialisasi antar individu maupun kelompok yang ada dalam naungan simbol tersebut. Fungsi ini beranjak dari dasar kepatutan, atau kewajaran 7 seseorang maupun kelompok didalam bersosialisasi dalam masyarakat, fungsi ini dapat memaksa individu maupun kelompok untuk berbuat sesuai dengan kepatutan makna yang terkandung didalam simbol itu, dan tidak menutup kemungkinan simbol ini dapat menjatuhkan sanksi-sanksi normatif maupun berupa fisik terhadap anggotanya yang melanggar prinsip dasar dari simbol-simbol tersebut. 3. Fungsi Intreperetatif prefentif in group. Fungsi ini lebih banyak mengarah kepada usaha prepentif. Kata lain fungsi ini berangkat dari fungsi idealistik dan interpersonalitik, namun lebih mengarah kepada masa depan yang akan terjadi. Fungsi bukanlah fungsi yang terpasung kepada fungsi idealistik maupun interpersonalitik yang sudah ada, melainkan fungsi ini merupakan kaloborasi antara kehidupan sekarang dengan kehidupan akan datang. Simbol ini fungsi ini dirancang jauh lebih awal sebelum kejadian yang sebenarnya terjadi. Artinya fungsi ini mengandung sebuah pengaharap maupun perjuangan baru bagi kontiniutas kehidupan mereka. Fungsi ini lahir berdasarkan interpretasi fungsi idealistik dan interpersonalitik yang sudah ada, namun dipandang tidak akan mampu lagi memberikan nilai tambah yang dapat menyelamatkan masa depan mereka. Pada saat itu telah terjadi kejenuhan simbol. Akibat dari kejenuhan simbol tersebut akan melahirkan kondisi serta situasi masa depan yang tak dapat dipredisksi secara tepat, dan akhirnya akan menenggelamkan masa depan komunitasnya, oleh sebab itu dilakukanlah upaya pemekaran berbagai simbol yang sudah mapan selama ini. Dalam konteks seperti ini ada perilaku yang akan muncul pertama prilaku kaloborasi silmbol yakni dengan menambah kandungan,nilai atau makna yang melekat pada simbol tersebut, namun simbolnya tetap seperti sebelumya. Kedua dengan melakukan menambah atau mengurangi ferforment simbol itu sendiri dalam kasus terakhir ini ferformen simbo-simbol tersebut mengalami berubahan sehingga tampilan simbol itu telah berubah bentuk dibandingkan ferformen sebelumnya, dan hanya ferformen yang dipandang perlu, penting, ciri khusus yang akan dipertahankan, Fungsi ini sangat dibutuhkan dalam penyelesaian komplek sosial, serta mengatur bagaimana sesuatu itu dilakukan yang bertautan dengan hal pantas dan tak pantas, boleh dan tak boleh dan lain sebaginya dalam sebuah komunitasnya. Disamping itu fungsi ini juga lebih mengarah pada masa akan datang, ia lebih bersifat Fueturistik (masa depan). Fungsi simbol ini lebih menekankan, bagaimana sebaiknya mengukir masa depan serta kandungan apa yang diperoleh dimasa depa. 8 Dengan menetapkan simbol masyadepan ini akan selalu memperbeharui semangat juang para generasi kegenerasi. Dikatup lain, fungsi simbol ini, merupakan upaya mewujudkan keseimbangan antara budaya generasi tua dengan generasi muda, keseimbangan antara dua generasi yang sama dalam budaya tetapi berbeda dalam zaman atau masa, sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah komunikasi sosial. Komunikasi sosial yang kontardikstif tidak hanya akan terjadi tarek menarik kepentingan juga akan melahirkan ketercabutan nilai perjuangan kesatuan suatu komunitas. Kondisi ini akan dapat mengancam produktivitas positif komunitas. Kelekatan budaya dalam komunikasi tidak dapat dipisahkan secara tegas artinya budaya manakah yang paling dominan bagi seorang individu dan yang cukup andal mempengaruhi di dalam pergaulan berkomunikasinya apakah budaya pribumi (budaya ditempat dia dilahirkan) ataukan budaya rantau ( budaya tempat dia mencari kehidupan), maupun adanya institusi yang lain lagi, akan tetapi secara umum Astrid S Susanto (1992; 149-150) mengatakan pengaruh atas komunikasi terjadi melalui setuasi sebagai berikut : a. Pengaruh sistem sosial terhadap individu. b. Pengaruh sistem sosial terhadap lembaga c. Pengaruh sistem lembaga satu terhadap lembaga lain d. Pengaruh sistem lembaga terhadap individu e. Pengaruh sistem individu terhadap sindividu lainnya. Dus, hubungan simbol komunikasi dengan ke-eksistensian budaya suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan dari dataran konseptual budaya tersebut seorang individu akan memperlakukan proses komunikasinya, kata lain manusia berkomunikasi bukanlah dependen (berdiri sendiri) melainkan di liliti oleh nilai, norma atau budaya sekelilingnya. Pertalian dengan membangun komunikasi sosial, maka konstruksi simbol merupakan keharusan, karena simbol merupakan pondasi awal didalam membangun komunikasi sosial, seandainya komunikasi sosial dibangun diatas pondasi yang tidak mengarah kepada konstruksi jangka panjang yang positif, maka ini merupakan langkah awal lahirnya dekonstruksi komunikasi sosial tersebut. Dalam konteks lain, proses komunikasi apapun jenis serta sifatnya selalu dibangun dari konstruksi simbol, sangat tidak mungkin membangun komunikasi yang 9 harmonis, apabila pondasi (simbol) komunikasinya tercabik-cabik oleh persepsi serta ega masing-masing yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Apalagi membangun komunikasi sosial yang begitu komplek, maka konstruksi simbol komunikasi universal adalah kebutuhan yang harus disediakan sebelum komunikasi sosial itu merajut nilai-nilai dekontruktif, yang berakibat pada inequaberium tatanan serta perilaku sosial. Rajutan simbol komunikasi sosial universal tidak diarahkan kepada upaya penyeragaman simbol, melaikan dimaknai sebagai penghargaan simbol universal tersebut yang mampu merajut simbol-simbol sektoral. Rajutan yang dituntut ialah rajutan yang memberikan peluang kepada setiap komponen untuk mengepresikan simbol komunikasinya. Kondisi terakhir ini diharapkan mampu melahirkan penggunaan simbol komunikasi realistik, sampai pada titiknya akan mendorong terciptanya komunikasi yang rasional antar berbagai sektoral, yaitu komukasi yang berdasarkan rasionalitas, kedewasaan emosional serta terbuka/saling menghargai bukan sebalinya. Perlu ditambahkan bahwa makna simbol yang di berikan oleh masyarakat akan diuji di dalam realitas sosial, Emil durkhem mengatakan realitas sosial adalah sebuah realitas cara pandanga mansyarakat itu sendiri, bukan cara padang ilmu pengetahuan maupun budaya di luar masyarakat tersebut. Dengan demikian makna serta fungsi simbol dalam dataran makna komunikasi sosial, harus dikomunikasi dalam konteks makna masyarakat yang memberikan makna simbol tersebut, kata lain jalinan komunikasi sosial terhadap sebuah pesan komunikasi harus dipahami sebagai makna serta fungsi simbol dalam masyarakatnya. 10 Daftar Bacaan Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Rosda, Bandung : 2003. A. Supratikya, Komunikasi Antar Pribadi tinjauan Psikologi, Kanisius, Yogyakarta : 1995. Deddy Mulyana, (edt), Komunikasi antar Budaya Pandung Nerkomunikasi dengan Orang yang Berbudaya, Remaja Rosda Karya, Bandung : 1998. Kunto Widjoyo, Manusia dan Budaya, Pt.Tiara Wacana, Yogyakarta : 1987. Tesis, Elfiandri, Simbol komunikasi dalam Adat Perkawinan Masyarakat Limo Koto Kabupaten Kampar, 2000. 11