Khotbah Minggu (30 Agustus 2015) Ringkasan Khotbah GRII Kelapa Gading Pengkhotbah : Pdt. Billy Kristanto, Th.D Tema : …....….…..…….…………...…......... Nas Alkitab : .................................................................................................................................. Tahun ke-16 793 23 Agustus 2015 Kebahagiaan Sejati-2 Pdt. Billy Kristanto, Th.D Lukas 6:21-36 Sabda bahagia sudah kita bahas sampai ayat 21a, hari ini kita akan masuk ke dalam sabda bahagia yang ketiga dalam urutan injil Lukas yaitu “Berbahagia kamu yang sekarang ini menangis karena kamu akan tertawa”. Kalau kita membandingkan dengan versi Matius ada perbedaaan yang cukup mencolok, Matius mengatakan “Berbahagialah kamu yang berdukacita (maksudnya berkaitan dengan menangis), dukacita orang yang miskin rohani, lalu bicara dukacita, kemudian disambung dengan kelemah lembutan dari kemiskinan rohani akan memiliki Kerajaan Sorga, lalu dukacita akan dihibur, lalu kelemah lembutan memiliki bumi”. Tetapi dalam penulisan injil Lukas tidak diberikan kalimat berikutnya yaitu mereka yang menangis atau berdukacita comparable, maksudnya pararel dengan injil Matius akan dihibur, tapi di sini karena akan tertawa, sementara yang tertawa akan menangis. Kita tetap bisa mengaitkan pembahasan ini dengan perspektif Matius juga. Sebagaimana yang sudah pernah kita bahas, intinya adalah mereka yang menangis akan tertawa dan yang tertawa akan menangis, precisely the same spirit seperti ini, mereka yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, yang terakhir menjadi terdahulu; yang miskin sebenarnya kaya, yang kaya sebenarnya miskin; orang yang merasa di dalam sesungguhnya di luar, yang dianggap orang diluar justru adalah orang yang di dalam; orang yang merasa righteous justru tidak righteous dihadapan Tuhan dst. Di dalam spirit seperti ini dikatakan berbahagialah mereka yang menangis karena akan tertawa, yang tertawa justru akan menangis. Kenapa di dalam alkitab seringkali berbicara tentang dukacita digambarkan sebagai yang lebih berkenan kepada Tuhan, seperti seolah-olah kemiskinan itu lebih berkenan kepada Tuhan dari pada kekayaan. Mengapa menangis di sini dikatakan akan tertawa, tetapi celaka mereka yang tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis? Ini sangat berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, tentang kenyang, kaya, miskin dan lapar. Sekali lagi pararel kekayaan, kekenyangan, tertawa, lalu kemiskinan, kelaparan dan menangis sangat berkaitan dalam urutan tersebut. Seperti dalam Amsal juga ada tertulis, orang itu lebih baik berada dalam rumah duka daripada di rumah pesta, comparable dengan bagian ini, kenapa di dalam alkitab ada ayat-ayat seperti itu? Ini ayat yang menolong kita untuk mengerti apa artinya waktu Yesus mengatakan berbahagia kamu yang sekarang ini menangis karena kamu akan tertawa, bukan di dalam pengertian bahwa pesta itu sesuatu yang salah, tidak, kita tahu bahwa Yesus GRII KG 793 (hal 4) pun pergi ke pesta, Yesus juga bisa berbagian dalam sukacita orang lain, bukan hanya berbagian dalam dukacita orang lain. Seperti dalam perjamuan Kana, Dia juga terlibat dalam kesulitan di sana, waktu ada kesulitan Yesus sendiri masuk, involve di dalam kesulitan itu, ini prinsip yang indah, ada banyak orang datang ke pesta hanya berbagaian di dalam sukacita-nya saja, dia tidak mau tahu pergumulan setelah pernikahan dst., itu bukan urusan saya, yang penting saya datang ke pestanya saja. Kembali dalam bagian ini, kenapa menangis, kenapa bukan tertawa? Padahal tertawa kan bukan sesuatu yang sinful? Kita percaya, tertawa di sini bukan sekedar tertawa dan bahwa orang yang tertawa bagaimanapun dianggap tidak religius atau dianggap keduniawiaan, kita tidak terima prinsip seperti itu, tetapi sekali lagi pertanyaannya, kenapa disini dikatakan tertawa itu yang celaka, tetapi menangis yang berbahagia? Kalau kita jujur dengan kehidupan ini, hidup ini susah, hidup ini adalah banyak kesulitan. Orang yang jujur di dalam hatinya, dia tahu bahwa kesulitan-kesulitan itu menyakitkan dan itu bisa membuat keluar air mata, kalau dia jujur. Tetapi ada orang yang tidak jujur dengan kehidupannya, yang menutupi problem yang ada dalam kehidupannya, yang akhirnya kebal terhadap penghiburan yang dari Tuhan karena dia sendiri memang tidak pernah mau dihibur, dia selalu menutupi kalau dia ada persoalan dan karena itu dia tidak pernah mau menangis, dan dia sendiri dihadapan Tuhan tidak pernah menangis. Itu orang-orang yang tidak jujur dengan kehidupan. Ini bukan persoalan bahwa orang kristen tidak boleh cerita lelucon, karena lelucon punya potensial menimbulkan orang tertawa, setelah tertawa bisa luka celaka. Tetapi ini mempunyai pengertian yang lebih dalam, waktu dikatakan kenapa menangis yang dipuji, yang tertawa justru dianggap yang celaka, sama seperti kita juga menghadapi kesulitan-kesulitan ketika membaca kenapa yang celaka adalah yang kaya, sementara yang miskin yang berbahagia. Bukan semua yang miskin masuk kerajaan Allah, semua orang kaya pasti akan celaka, bukan sesederhana itu. Gambarannya bukan simplistic seperti itu, tetapi ada prinsip yang lebih dalam yang ingin diajarkan oleh Lukas kepada kita semua: Pertobatan, pertobatan yang sejati. Perspektif Matius saat bicara tentang dukacita “Berbahagialah mereka yang miskin dihadapan Allah atau miskin rohani –poor in spiritmereka akan memiliki kerajaan Allah”. Miskin rohani itu berarti saya sadar kalau saya kurang righteous, kurang saleh, kurang benar, saya bangkrut secara rohani dihadapan Tuhan dan karena itu saya berdukacita. Pertobatan yang GRII KG 793 (hal 1) Ekspositori Injil Lukas (70) Ekspositori Injil Lukas (70) sejati itu seringkali diiringi dengan air mata, saya bukan mau mengatakan air mata itu selalu adalah pertobatan, tidak tentu, ada juga air mata buaya, tetapi ini bicara tentang pertobatan yang membawa kepada kesedihan yang sesungguhnya seringkali melibatkan air mata, bukan melibatkan ketertawaan, tidak. Kalau ada orang yang bertobat, merenungi dosanya lalu tertawa-tawa, itu setan, itu sudah pasti bukan pertobatan, di dalam hal ini dikatakan, celaka kamu kalau sekarang kamu tertawa, ini bukan masalah tertawanya, tetapi menertawakan apa? Kenapa dunia ini tertawa? Ada orang yang hidup di dalam dosa dan mereka tetap tertawa-tawa di dalam kehidupannya, celakalah orang seperti itu. Mereka tidak kenal apa artinya air mata pertobatan, tidak ada, kalaupun mereka menangis, keluar air mata, itu air mata egois, air mata karena mereka disakiti, air mata karena mereka gagal dan merasa kurang kaya atau kurang sukses, air mata egois, itu bukan menangis yang dimaksud dalam bagian ini. Kita tidak boleh over simplistik menafsir bahwa semua orang miskin Kerajaan Allah, semua orang kaya neraka, kita tidak menafsir seperti ini kan ya? Begitu juga kita tidak bisa menafsir bahwa semua yang menangis disebut Tuhan yang berbahagia, mereka semua yang tertawa itu neraka, pembahasan seperti itu over simplistik. Pertobatan yang sejati dalam konsep Lukas bukan hanya sekali, karena kita tahu bahwa kita terus ada kelemahan, kita masih bergumul dengan kelemahan kita. Air mata menurut versi Matius, itu yang membawa kita kepada penghiburan yang sesungguhnya, “Berbahagialah mereka yang berdukacita karena mereka akan dihibur”, kebahagiaan di dalam pengertian penghiburan ada kedalaman tersendiri, yang mengasumsikan penderitaan dan tangisan, ada kedalaman tersendiri dengan kesenangan karena mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, lalu memperoleh, lalu tertawa, bagian ini tidak salah. Tetapi ada kebahagiaan yang berbeda, waktu seseorang di dalam dukacita yang dalam, lalu dia mendapatkan penghiburan dari Tuhan, seperti misalnya ditinggalkan oleh seorang sahabat karib, itu pasti sedih, dalam saat seperti itu, ketika seseorang menangis, itu respon yang wajar. Waktu dia menangis, dia menjadi rentan, dia menjadi apa adanya, jadi tidak ada tameng lagi, dalam keadaan seperti itu, dia membiarkan Tuhan untuk menghibur dia, waktu dia dihibur, dia ada kebahagiaan yang betul-betul diberikan Tuhan dan itu tetap tidak diekspresikan dengan tertawa, tidak kan ya? Di dalam satu pertemuan dengan beberapa theological lecturer di Singapore, salah satu pesertanya waktu dia kecil, dia beribadah ke satu gereja yang selalu mengajarkan tentang sukacita, semakin lama dia kecewa karena gereja ini tidak address kesulitan, tidak able to address suffering, mereka tidak bisa bicara tentang suffering, tidak bisa. Jadi setiap kali orang datang dengan tangisan dan pergumulan dianggap sebagai semacam dosa, kenapa kamu harus menangis, kan kita harus tertawa, harus bersukacita? Akhirnya dia keluar dari gereja itu karena tidak menjawab tentang penderitaan, menipu diri seperti burung unta yang menyembunyikan kepalanya di dalam pasir ketika ada bahaya, dia berpikir dengan menyembunyikan kepalanya di pasir tidak ada bahaya lagi, padahal binatang buas ada disebelahnya, tetapi dia tidak melihat binatang buasnya. Dia menipu diri dengan memasukkan kepala di dalam pasir, tapi badannya yang besar tidak masuk pasir, lalu bagaimana? Ini menjadi satu koreksi untuk manusia, karena kadang-kadang kita juga seperti itu, menggambarkan kalau kita tidak lihat bahaya berarti tidak ada bahaya, bukan, kalau kita tidak lihat artinya adalah kita tidak melihat, bukan berarti tidak ada bahaya. Orang-orang yang tidak bisa address tentang suffering, tangisan, cenderung suppressing, cenderung menekan, kita tertawa saja, nah itulah salah satunya yang dimaksud Lukas orang celaka, kehidupannya tidak realistik. Kalau kita membaca di dalam kehidupan Yesus Kristus sendiri bagaimana Dia lamenting, Dia menangis tapi bukan karena tersinggung, karena disakiti, tidak, tetapi Dia menangisi Yerusalem yang tidak bisa bertobat, yang tidak bisa dikumpulkan oleh Dia. Kita melihat kemudian di dalam tangisan itu akan diubah menjadi tertawa seperti yang ditulis dalam kitab PL, “Mereka yang menabur dengan air mata, mereka akan menuai sorak-sorai”, mereka yang berbagian di dalam tangisan, dalam kesulitan, waktu menuai mereka tertawa dan tertawa betulbetu tertawa dalam, tertawa substansial, bukan tertawa permukaan, bukan. Kita seringkali tertawa permukaan, kita kumpul sama orang-orang, cerita lucu-lucu, tertawa terbahak-bahak dsb., setelah semua teman pergi, kita baru merasakan apa artinya loneliness, itu tertawa yang sangat superficial, tertawa yang tidak membawa kita kemana-mana, tidak mengubah kita, kita tetap dalam keadaan dukacita, dalam kekosongan, lalu kita tetap mencoba cari kesenangan-kesenangan yang akhirnya membawa kita kepada addiction, kecanduan, termasuk mungkin kecanduan tertawa, kesenangan dsb. Tetapi bagi orang-orang yang jujur, yang courage to cry, untuk orang-orang seperti itu, alkitab mengatakan, berbahagialah karena kamu akan tertawa, dukacitamu akan diubah menjadi sukacita kalau kita merelasikan keadaan dukacita ini dihadapan Tuhan bersama dengan Kristus. Lukas sangat tertarik untuk menekankan poin sukacita yang didahului oleh dukacita, seperti kemuliaan yang didahului oleh kesengsaraan. Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah kita harus malalui berbagai macam sengsara, demikian ada ayat dalam Kisah Para Rasul, lalu kita melihat di dalam kehidupan Kristus sendiri bagaimana Dia sebelum masuk ke dalam kemuliaan, Dia sendiri melewati kesengsaraan, melewati kematian, kematian, kesengsaraan yang mendahului kemuliaan. Orang yang tidak ada pengalaman menangis atau kurang pengalaman menangis hidupnya itu cenderung dangkal, tetapi bukan semua jenis menangis, tidak. Ada jenis menangis yang tidak membawa orang kepada pertumbuhan juga. Ada orang menangis karena alasan yang sangat egois karena dia menyembah perasaaannya, lalu karena itu dia menangis, kalau dia disakiti dan dia selalu menangis untuk itu. Dia tidak pernah menangis kalau menyakiti perasaan orang lain, dia tidak punya kepekaan bagaimana dia menyakiti perasaaan orang lain. Dia tidak akan menangis untuk itu. Dia pura-pura tidak mengerti untuk itu, kalau orang lain menangis karena disakiti perasaannya. Tetapi dia selalu menangis kalau perasaannya sendiri dilukai. Itu jelas bukan menangis yang sedang dibahas disini, tetapi menangis dalam pengertian kejujuran, membawa dukacita dihadapan Tuhan, menabur di GRII KG 793 (hal 2) dalam dukacita, lalu akhirnya Tuhan akan menghiburkan bahkan memberikan tertawa kebahagiaan yang sesungguhnya. “Berbahagialah kamu jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, jika mereka mengucilkan kamu dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat, bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar disorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi”. Ini satusatunya sabda bahagia yang tidak cukup hanya dengan berbahagialah, tetapi juga ditambahkan dengan bersukacitalah dan bergembiralah, apa bedanya berbahagia, bersukacita dan bergembira? Ini mulai masuk kepada aspek atau dimensi subyektif, kalau berbahagia di dalam pengertian yang disebut berbahagia oleh Tuhan, misalnya yang tadi, berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa, orang menangis itu tidak mungkin berbahagia kan ya? Tapi disebut oleh Tuhan berbahagia, orang menangis tidak mungkin tertawa at the same time, itu namanya kegilaan, orang menangis ya menangis, tetapi Tuhan bilang, yang menangis itu disebut berbahagia oleh Tuhan. Tapi waktu di sini bicara tentang penderitaan karena nama Kristus, dikatakan, bukan hanya berbahagialah, tapi bersukacita dan bergembiralah, ini kelihatan seperti ayat yang paling edan, orang dianiaya kok bersukacita. Bersukacita dan bergembiralah kalau dianiaya, kalau orang membenci karena Kristus, kalau orang mengucilkan kamu, mencela kamu, menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat, jangan lupa ya, karena Kristus. Yang pertama dikatakan “karena upahmu besar di sorga”, orang di dalam keadaan seperti ini, tidak ada upah yang tersisa di dunia, bukan berarti upah yang di dunia itu sama sekali tidak boleh, tidak seperti itu, kita ini terlalu lemah, karena begitu lemahnya sampai kadang-kadang Tuhan harus distribusi upah yang ada di sorga untuk dinikmati di sini, karena kita terlalu lemah. Karena kita tidak bisa hidup, nanti jangan-jangan kita bunuh diri kalau kita tidak ada upah sama sekali di sini dan sekarang, maka Tuhan yang kasihan dengan kita, Tuhan yang panjang sabar bisa memberikan upah di sini dan sekarang menghibur kita. Tapi kalau kita tidak ada upah sama sekali di sorga, karena semuanya sudah didistribusi di dunia, ini masalah juga, di sorga tidak ada upah sama sekali, tapi di sini dikatakan, upahmu besar di sorga, kenapa? Orang-orang yang dianiaya kalau kita merenungkan, lalu kita mengikuti berita bagaimana kejahatan yang dilakukan misalnya di Sirya, Irak dsb., orang-orang kristen yang dianiaya di sana, mereka betul-betul kehilangan segala sesuatu, tidak ada lagi yang ada pada mereka di dalam dunia ini. Kita belum mampu sampai ke sana, kita tidak cukup iman, Tuhan masih kasihan kepada kita, maka disediakan fasilitas begitu baik untuk kita, tetapi orang-orang yang di sana, tidak punya apa-apa, orang-orang seperti itu dikatakan, upahnya besar di sorga. Karena di dalam dunia mereka tidak ada penghiburan sama sekali, mereka dikejar-kejar, bahkan mereka tidak bisa istirahat dengan wajar, mereka harus pindah dari satu kota ke kota yang lain, tidak ada kebahagiaan keluarga, Tuhan memberikan penghiburan yang begitu tinggi bagi orang-orang seperti ini, yang menderita karena nama Tuhan. GRII KG 793 (hal 3) Tetapi kita harus mengerti ayat ini di dalam pengertian yang realistik, yang bisa dihidupi oleh kita di sini dan sekarang juga, supaya kita jangan hanya memikirkan penderitaan yang jauh sekali dari pada kita, orang-orang yang disiksa di sana, yang di Timur Tengah, yang dibakar dsb., dan waktu kita mendengar cerita seperti itu kita hanya bisa melongo, betapa jauhnya mereka dari kita, karena kalau dimengerti seperti itu, kita tidak bisa mengert ayat ini. Ini berarti ayat ini bisa sangat men-discourage kita, kenapa kita tidak bisa mengalami ayat ini, begitu kan ya? Maksudnya adalah setiap kali membaca, gambarannya jadi elitis, ooh iya itu Paulus, itu Kristus, itu adalah nabinabi yang disiksa, tapi saya yang agak hedonis seperti ini celaka dong kalau begitu? Memang betul celaka kalau kita seperti itu, tapi saya percaya waktu di sini dikatakan, karena Kristus orang membenci kamu, kita dikucilkan, kita dicela dan menolak nama kita sebagai sesuatu yang jahat, ini bukan tidak bisa dialami oleh orangorang seperti saudara dan saya? Ini bukan berbicara tentang martir yang dipenggal atau mengalirkan darah, kan bukan hanya itu? Kita diberikan kemungkinan juga untuk dibenci, tidak harus sampai dibunuh, dibenci saja, tapi karena Kristus. Waktu kita hadir di dalam dunia, dunia yang berdosa, kita membawa identitas kita sebagai orang kristen, kita menghidupi cerita hidup Kristus, orang dunia akan membenci kita, orang-orang yang hidup duniawi, itu sedikit banyak akan membenci kita. Kalau kita hidup di dalam masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, mereka hidup duniawi, tapi mereka tidak membenci kita, something is wrong dengan kehidupan kita, kemungkinan pertama, saya memang tidak pernah bergaul dengan orang lain, itu sebabnya tidak ada yang membenci juga, karena tidak ada relasi dengan siapapun, satu-satunya relasi adalah antara saya dan keluarga saya, jadi tidak ada alasan juga untuk membenci saya. Kemungkinan kedua adalah kita tidak menghidupi jalan hidup Kristus, kita hidup duniawi juga sama seperti mereka, maka dunia juga tidak membenci. Tapi waktu kita membaca dalam kehidupan Kristus, Dia betul-betul dibenci, dibenci oleh orang-orang yang tidak jujur, dibenci oleh orang-orang yang munafik, dibenci oleh orang-orang yang tidak mau bertobat dan bukan hanya Kristus, murid-muridNya juga, murid-muridNya di dalam dunia melanjutkan pekerjaan Krisus juga dibenci. Memang di dalam Kisah Para Rasul dikatakan, mereka disukai semua orang (itu aspek yang lain, bagian itu memang betul), kita tahu juga murid-murid itu satu per satu mati martir, satu per satu murid-murid itu mengalami penderitaan. Waktu alkitab mengatakan, mereka disukai semua orang, maksudnya di dalam arti waktu mereka hadir, mereka hadir jadi berkat, karena itu mereka disukai semua orang, mereka bukan hadir menjadi beban, mereka bukan hadir sebagai orang jahat yang akhirnya dijauhi oleh semua orang. Tetapi waktu alkitab mengatakan, disukai semua orang, bukan berarti tidak ada kebencian sama sekali, tidak, kita tahu orang-orang yang membenci mereka, orang-orang yang memang tidak mau bertobat untuk menerima Yesus Kristus, membenci murid-murid Kristus bukan karena kesalahan mereka, tapi karena mereka adalah pengikut Kristus. Waktu kita membaca kalimat celaka, celaka kamu jika semua orang memuji kamu, ini kontras, membenci kamu, memuji kamu, kalau dalam Matius lebih kepada penganiayaan, martir dsb., tetapi sebetulnya di dalam Lukas lebih sederhana (bukan memperlunak), kita bersyukur ada versi ini, kalau hanya ada versi martir, kita hanya bisa melongo, ayat-ayat ini hanya berlaku untuk orang-orang di Timur Tengah bukan untuk saya, begitu kan ya? Ini kalau kita hanya punya versi Matius, tapi kita bersyukur ada versi Lukas yang sangat realistik dan betul-betul experience able dalam kehidupan setiap orang percaya, regardless dia jadi martir atau tidak, dia tetap akan dibenci kalau dia mengikuti jalan hidup Kristus. Bagaimana mengujinya? Ya seperti yang dikatakan dalam bagian ini, kalau semua orang memuji kamu atau membenci kamu. Ini bukan mau mengatakan semua pujian itu pada dasarnya adalah kecelakaan, tidak, bukan bicara itu, juga bukan mau mengatakan, semua orang yang dibenci itu sudah pasti karena nama Kristus, ya memang tidak. Jadi apa maksudnya? Mengapa orang memuji? Kita sebagai orang kristen kan harus saling mendorong di dalam kasih, ajaran dari Paulus, waktu mendorong di dalam kasih, pasti ada encouragement kepada saudara seiman, yang jujur, tulus, yang mendorong mereka untuk lebih mencintai Tuhan, itu kan juga memuji? Itu bukan sesuatu yang kecelakaan, tapi justru yang diperintahkan oleh Tuhan. Tetapi di sini waktu dikatakan, celaka semua orang yang memuji kamu, apa alasannya? Kenapa di sini pujian menjadi satu kecelakaan? Dalam aya 26 dikatakan, “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.” Pertanyaannya, kenapa nabi-nabi palsu itu dipuji? Karena nabinabi palsu itu tidak pernah mengatakan kebenaran yang sesungguhnya, mereka takut, mereka adalah orang-orang yang menyenangkan pendengarnya, Tuhan sebetulnya murka, tapi nabi-nabi palsu mengatakan, damai sejahtera, damai sejahtera, damai sejahtera. Tuhan sebetulnya ingin mengatakan, bertobatlah kamu, tapi nabi-nabi palsu mengatakan, kamu di dalam anugerah Tuhan, kita di dalam Yesus, pengampunan selalu cukup. Nabi-nabi palsu selalu mengatakan beritaberita palsu, menegur itu memang susah, apalagi kita tahu, kita sendiri punya kelemahan, kalau punya kelemahan lalu menegur orang lain, bagaimana? Orang akan berkata, laah kamu sendiri ada kelemahan kok menegur orang lain, kalau seperti ini berarti yang boleh menegur hanya Tuhan dong? Manusia tidak boleh menegur sama sekali, karena semua orang juga punya kesalahan, model seperti ini pasti tidak akan jalan, tidak ada ceritanya kalau orang punya kelemahan berarti tidak boleh menegur orang lain. Nabi-nabi palsu ini terutama mau menyenangkan orangorang yang seharusnya mereka tegur, mereka lebih mau menyenangkan manusia dari pada menyenangkan Tuhan, mereka lebih suka memberitakan kalimat yang jilat-jilat manusia supaya manusia itu akhirnya senang kepada si penjilat ini, dari pada mereka dengan jujur mengatakan apa keadaan orang itu sesungguhnya. Nabi-nabi palsu itu selalu dikarakteristik dengan ketidakberanian untuk menegur, kepalsuan berita mereka, semua kalimat positif, tidak ada kalimat negatif sama sekali, ini bukan mau mengatakan bahwa semua kalimat negatif pasti menyatakan nabi asli, tidak tentu. Ada orang yang sangat dikuasai kedagingan, karena begitu kedagingannya semua orang ditegur, tapi bukan Tuhan yang menyuarakan supaya dia menegur, tidak, tapi karena dia sendiri memang adalah orang yang sombong, yang egois, yang suka menghina orang lain, lalu siapapun dia tegur, itu tidak otomatis jadi nabi asli, tidak. Tapi nabi palsu yang pasti itu suka dipuji orang lain karena mereka sendiri suka memuji-muji orang lain dengan tidak wajar. Hati-hati dengan budaya menjilat, budaya mengambil hati, terus seperti itu, akhirnya membawa kepada relasi-relasi yang palsu dan yang paling palsu adalah relasi dengan Tuhan, karena Tuhan tidak ada relasi lagi dengan orang seperti itu, itu sangat mendukakan hati Tuhan. Orang yang mengorbankan relasi dengan Tuhan untuk bisa berelasi dengan sesama, celakalah orang seperti itu, mereka tidak tahu akhir kehidupan ini kemana. Apakah orang-orang seperti itu bisa menolong orang yang dipuji itu sampai selama-lamanya? Sudah pasti tidak, waktu kita mati berhadapan dengan siapa? Apakah berhadapan dengan orang-orang yang memuji kita? Adakah pujian dari manusia yang bisa mencegah kita dari kematian? Tidak ada. Siapa yang bisa menolong kita di dalam saat seperti itu, kalau kita terus-menerus membangun kehidupan ini dengan relasi untuk mendatangkan pujian dari sesama dan bukan pujian dari pada Tuhan? Pujian dari sesama itu ada batasnya. Ada seorang yang mungkin bukan kristen, saya tidak tahu, harus kita cek lagi, namanya Samuel Johnson dia menulis tentang pujian dari pada manusia, dia bicara tentang ketololan orang yang mencari pujian dari manusia, ada dua hal: Pertama, dia tidak sadar bahwa dia just one among others di dalam pikiran orang yang memuji dia. Misalnya orang yang memuji saya, di dalam pikirannya bukan hanya ada saya, pasti ada yang lain juga, jadi saya hanya satu titik kecil di dalam pikirannya dia. Kedua, orang yang suka terus-menerus mencari pujian dari orang lain, dia tidak pernah sadar bahwa sebenarnya pujian itu tidak pernah lasting, seperti orang nonton konser, begitu dia keluar parkir, dia sudah lupa penyanyinya, dia sudah ngurusin yang lain. Tetapi orang yang dipuji, dia pikir dia terus-menerus diingat, dikenang dsb., itu orang tolol luar biasa, orang seperti itu tidak wajar, yang lebih wajar adalah kita kagum maksimal satu jam, setelah itu tidak bicara dia lagi, kita bicara yang lain. Nabi-nabi palsu tidak sadar waktu mereka melakukan ini, sebetulnya mereka sedang menjauhkan diri dari Tuhan dan nabi-nabi palsu itu potensinya juga ada pada kita, kita bisa menjadi nabi-nabi palsu seperti ini, sama seperti ayat 22, itu bisa kita alami kan? Demikian juga kalimat celaka itu bisa kita alami kalau kita tidak hati-hati, kita bisa memiliki kecenderungan seperti nabi-nabi palsu ini, orang-orang yang selalu cari muka manusia lebih dari mencari wajah Tuhan, dia sangat peka sekali kalau orang mulai tidak senang dengan dia, tapi dia sama sekali tidak peka kalau wajah Tuhan bergeser, dia tidak ada kepekaan itu, dia tidak tahu kalau wajah Tuhan sudah berpaling, tidak tahu, celakalah orang-orang seperti itu. Kiranya Tuhan memberikan kepada kita kekuatan dan pertolongan untuk bisa mengalami apa artinya bahagia sejati seperti yang difirmankan oleh Tuhan. Amin. GRII KG 793 (hal 4) Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS) GRII KG 793 (hal 1)