sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan

advertisement
SINERGI TEKNOLOGI MARKA MOLEKULER
DALAM PEMULIAAN TANAMAN JAGUNG
Muhammad Azrai
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274, Maros 90514, Kotak Pos 1173 Makassar
ABSTRAK
Penggunaan marka molekuler yang saat ini telah meluas terbukti dapat membantu introgresi gen mayor ke dalam
kultivar elit dengan metode silang balik. Jika suatu gen tunggal atau lokus karakter kuantitatif berpengaruh nyata
terhadap suatu karakter target dan dapat diidentifikasi berdasarkan keterpautannya dengan marka molekuler maka
pemilihan karakter yang dituju pada plasma nutfah elit akan lebih efisien. Dengan mengombinasikan pendekatan
analisis quantitative trait loci (QTL) metode silang balik, gen-gen pengendali karakter kuantitatif dapat diidentifikasi
baik pada plasma nutfah tanaman liar maupun tanaman budi daya, dan telah berhasil dipindahkan ke galur-galur elit
pemulia. Di Indonesia, pemanfaatan marka molekuler pada tanaman jagung dimulai sejak program pemuliaan
jagung Indonesia bergabung dalam jalinan kerja sama bioteknologi jagung Asia (AMBIONET). Sasaran strategis dari
jaringan kerja sama tersebut adalah meningkatkan dan mendukung kemampuan program pemuliaan untuk mengadopsi
alat bantu bioteknologi dalam perbaikan genetik jagung. Fokus utama kegiatan penelitian dari masing-masing
negara peserta AMBIONET adalah pebaikan sifat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai, identifikasi dan
karakterisasi keragaman genetik galur-galur elit pemulia, serta perbaikan kualitas protein jagung dan ketahanan
terhadap kekeringan. Saat ini, peneliti Balai Penelitian Tanaman Serealia mulai mensinergikan pemanfaatan
marka SSR dalam kegiatan pemuliaan tanaman jagung.
Kata kunci: Jagung, marka molekuler, pemuliaan tanaman
ABSTRACT
Sinergy of molecular marker technology in corn breeding in Indonesia
The most widespread use of marker assisted selection (MAS) to date is to assist backcrossing of major gene to elite
cultivars. If an individual gene or quantitative trait loci (QTL) significantly influenced specific target traits and can
be identified based on their linkage to molecular markers, the efficiency of incorporating the desired traits in elite
germplasm could be greatly enhanced. By combining the QTL analysis approach with backcross breeding method,
useful genes that control quantitative traits have been identified in the germplasm of plant not adapted to
agriculture and have successfully been transferred to danced breeding lines. Application of MAS in Indonesian
maize crop breeding was started when Indonesian maize breeding program joined in the Asian Maize Biotechnology
Network (AMBIONET). The strategic objective of the network was to enhance and support the capacity of the
breeding program to adopt biotechnology tools for maize improvement. The focus of the country research
activities included improvement of maize for downy mildew resistance, genetic diversity, quality protein maize,
and drought tolerance. In this time, researchers of the Indonesian Cereals Research Institute are starting to apply
SSR markers in maize breeding.
Keywords: Maize, molecular markers, plant breeding
S
wasembada jagung tahun 2007 yang
dicanangkan oleh pemerintah merupakan suatu tantangan untuk menjawab
permasalahan pangan dan kemiskinan.
Selain sebagai bahan pangan kedua
setelah padi, jagung merupakan bahan
baku industri, terutama pakan ternak,
sehingga kebutuhan jagung terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena
itu, peningkatan kapasitas produksi
jagung mutlak dilakukan untuk memenuhi
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu
upaya pencapaian peningkatan kapasitas
produksi jagung nasional adalah mengintensifkan kegiatan pemuliaan untuk
mendapatkan benih unggul yang berpotensi hasil tinggi.
Pemuliaan tanaman merupakan suatu
metode eksploitasi potensi genetik untuk
mendapatkan kultivar unggul baru yang
berdaya hasil dan berkualitas tinggi pada
kondisi lingkungan tertentu (Mayo 1980;
Guzhov 1989; Stoskopf et al. 1993;
Shivanna dan Sawhney 1997). Kegiatan
eksploitasi potensi genetik tanaman
semakin gencar setelah dicetuskannya
Revolusi Hijau. Sejak itu, dengan teknik
pemuliaan konvensional, pemulia tanaman termasuk pemulia jagung telah berhasil
memperbaiki sifat kualitatif maupun
kuantitatif tanaman. Walaupun teknologi
pemuliaan konvensional terbukti berhasil
81
meningkatkan produksi tanaman dan
mampu memenuhi pangan penduduk bumi
sampai saat ini, teknologi tersebut memiliki
keterbatasan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, berkurangnya luas
lahan produktif, dan semakin melandainya produktivitas hasil pertanian.
Kegiatan seleksi dalam pemuliaan
secara konvensional hanya didasarkan
pada pengamatan fenotipe yang dibantu
dengan pendugaan menggunakan metode statistik yang tepat. Beberapa masalah
yang sering muncul dalam pemuliaan
secara konvensional, seperti yang disarikan oleh Lamadji et al. (1999), adalah:
1) memerlukan waktu yang cukup lama, 2)
sulit memilih dengan tepat gen-gen yang
menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi atau
agronomi, karena penampilan fenotipe
tanaman bukan hanya ditentukan oleh
komposisi genetik, tetapi juga oleh
lingkungan tempat tanaman tersebut
tumbuh, 3) rendahnya frekuensi individu
berkenan yang berada dalam suatu
populasi yang besar sehingga menyulitkan kegiatan seleksi untuk mendapatkan hasil yang valid secara statistik, dan
4) pautan gen antara sifat yang diinginkan
dengan yang tidak diinginkan sulit
dipisahkan saat melakukan persilangan.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi molekuler pada
awal tahun 1980-an, ditemukan teknologi
molekuler yang berbasis pada DNA.
Marka molekuler merupakan alat yang
sangat baik bagi pemulia dan ahli genetik
untuk menganalisis genom tanaman.
Sistem ini telah merevolusi bidang pemetaan genetik dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan keragaman genetik,
klasifikasi dan filogeni dalam pengelolaan
plasma nutfah, dan sebagai alat bantu
dalam pemuliaan dan seleksi melalui
penandaan gen. Marka molekuler juga
dapat digunakan untuk pengklonan gen
yang difasilitasi oleh peta marka molekuler.
Kegiatan seleksi pada pemuliaan
secara konvensional dapat dipercepat jika
dapat disinergikan dengan teknologi marka
molekuler yang dikenal dengan nama
marker assisted selection (MAS). Dengan
MAS, kegiatan seleksi menjadi lebih
efektif dan efisien karena seleksi hanya
didasarkan pada sifat genetik tanaman,
tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Tulisan ini membahas secara ringkas
beberapa strategi sinergi teknologi marka
molekuler dalam pemuliaan jagung.
82
MARKA MOLEKULER
SEBAGAI ALAT BANTU
SELEKSI
Teknologi marka molekuler pada tanaman
jagung berkembang sejalan dengan makin
banyaknya pilihan marka DNA yaitu: 1)
marka yang berdasarkan pada hibridisasi
DNA seperti restriction fragment length
polymorphism (RFLP), 2) marka yang
berdasarkan pada reaksi rantai polimerase
yaitu polymerase chain reaction (PCR)
dengan menggunakan sekuen-sekuen
nukleotida sebagai primer, seperti
randomly amplified polymorphic DNA
(RAPD) dan amplified fragment length
polymorphism (AFLP), 3) marka yang
berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan
sekuen komplementer spesifik dalam DNA
target, seperti sequence tagged sites
(STS), sequence characterized amplified
regions (SCARs), simple sequence
repeats (SSRs) atau mikrosatelit, dan
single nucleotide polymorphisms (SNPs).
Pemilihan marka yang akan digunakan dalam analisis genetik perlu
mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki,
fasilitas yang tersedia, serta kelebihan dan
kekurangan masing-masing tipe marka.
Keberhasilan penggunaan suatu marka
penyeleksi dalam kegiatan pemuliaan
bergantung pada tiga syarat utama yang
harus dipenuhi (AMBIONET 1998) yaitu:
1) tersedianya peta genetik dengan jumlah
marka polimorfis yang cukup memadai
sehingga dapat mengidentifikasi QTL
atau gen-gen mayor target secara akurat,
2) marka terkait erat dengan QTL atau gen
mayor target pada peta genetik yang
sudah dikonstruksi, dan 3) kemampuan
menganalisis sejumlah besar tanaman
secara efektif. Karakteristik beberapa tipe
marka untuk analisis genetik disajikan
pada Tabel 1. Pada makalah ini hanya
ditampilkan marka isozim dan beberapa
marka DNA yaitu RFLP, RAPD, mikrosatelit (SSR), dan AFLPs, karena marka
DNA tersebut paling banyak digunakan
di laboratorium dan marka yang lain pada
umumnya merupakan varian dari marka
tersebut.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa
tingkat kemampuan deteksi marka isozim
dan DNA dibagi menjadi dua, yaitu
marka yang memiliki kemampuan mendeteksi keragaman di tingkat alel, yaitu
isozim, RFLP dan mikrosatelit, serta mar-
ka yang mampu mendeteksi keragaman
di tingkat lokus yaitu RAPD dan AFLPs.
AFLPs merupakan marka DNA dengan
prinsip kerja menggabungkan kelebihan
dari RFLP dan RAPD sehingga sangat
baik digunakan dalam penelitian genetik.
Namun demikian, penggunaan marka
AFLPs di Indonesia belum meluas karena
memerlukan investasi yang besar dan
keterampilan khusus.
Dalam konteks MAS, marka berbasis
DNA dapat lebih efektif jika digunakan
untuk tiga tujuan dasar, yaitu: 1) identifikasi galur-galur tetua untuk perbaikan
suatu karakter untuk tujuan khusus, 2)
penelusuran alel-alel dominan atau resesif
pada tiap generasi persilangan, dan 3)
identifikasi individu-individu target sesuai
dengan karakter yang diinginkan di antara
turunan yang bersegregasi, berdasarkan
komposisi alel persilangan sebagian atau
seluruh genom.
Identifikasi Galur-Galur Tetua
untuk Tujuan Khusus
Marka DNA dapat digunakan untuk
mengidentifikasi plasma nutfah yang
memiliki karakter khusus jika marka DNA
tersebut berasosiasi kuat dengan gen
yang mengendalikan karakter yang
diinginkan. Salah satu contoh adalah
resistensi penyakit bulai pada tanaman
jagung yang dapat dikarakterisasi secara
molekuler pada alel tertentu dengan marka
RFLP dan SSR (George et al. 2003).
Dengan pendekatan ini, tetua yang
memiliki komposisi alel pengatur karakter
ketahanan terhadap penyakit bulai
dengan mudah dapat diidentifikasi.
Identifikasi galur-galur dengan
bantuan marka molekuler juga sangat
bermanfaat dalam analisis sidik jari (finger
printing), karena dapat memberikan
informasi untuk perencanaan program
pemuliaan, terutama dalam pembentukan
segregasi baru, varietas hibrida dan
sintetik unggul baru, serta dalam menentukan tetua yang digunakan untuk memilih
pasangan persilangan baru. Walaupun
informasi dari kelompok heterosis tidak
selalu mampu menghasilkan kombinasi
persilangan terbaik, pendekatan ini dapat
mengurangi jumlah persilangan maupun
keturunan bersegregasi yang diperlukan
untuk evaluasi lebih lanjut. Selain itu, sidik
jari DNA sangat diperlukan dalam perlindungan galur elit pemulia dari pencurian (klaim) oleh pihak yang tidak
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan beberapa tipe marka untuk aplikasi genetika molekuler.
Uraian
Isozim
RFLPs
RAPDs
SSRs
AFLPs
Sidik jari
Keragaman genetik
Penandaan gen
Pemetaan QTL
MAS
Prinsip kerja
+
+
−
−
−
Alat bantu
enzim
++
++
++
++
++
Pemotongan
Endonuklease,
hybridisasi
southern blot
−/+
−
++
−/+
−
Amplifikasi DNA
dengan primer
acak
++
+
+
+
++
PCR dengan
ulangan sekuen
pendek
+++
+
++
++
+/++
Pemotongan
endonuklease
menggunakan
adaptor dan
primer khusus
Tipe polimorfis
Perubahan beban
elekroforesis
Perubahan basa
tunggal
Insersi dan delesi
Perubahan basa
tunggal
Insersi dan delesi
Perubahan pada
panjang ulangannya
Perubahan basa
tunggal
Insersi dan delesi
Kelimpahan genom
Tingkat polimorfis
Sifat pewarisan
Deteksi varian alelik
Jumlah lokus terdeteksi
Kebutuhan untuk informasi
sekuen
Tingkat kesulitan
Reliabilitas
Jumlah DNA yang diperlukan
Penggunaan radioisotop
Tipe primer
Rendah
Sedang/rendah
Ko-dominan
Ya
1−5
Tidak
Tinggi
Sedang
Ko-dominan
Ya
1−5
Tidak
Sangat tinggi
Sedang
Dominan
Tidak
1−10
Tidak
Sedang/tinggi
Tinggi
Ko-dominan
Ya
1
Ya
Sangat tinggi
Tinggi
Dominan/ko-dominan
Tidak
30−100
Tidak
Sedang
Tinggi
−
Tidak
−
Sedang
Tinggi
2−15 µg
Ya/tidak
gDNA/cDNA
Rendah
Tinggi
50−100 µg
Ya/tidak
Primer khusus
16−30 mer
Sedang/tinggi
Tinggi
1 µg
Ya/tidak
Adapter dan
primer khusus
Biaya awal
Biaya pengembangan
Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
10−50 µg
Tidak
Random 9-atau
10-meroligo
nucletida
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang/tinggi
Sumber: AMBIONET (1998).
Penelusuran Alel yang
Diinginkan pada Setiap
Generasi Persilangan
tetua donor dapat diseleksi dengan
menggunakan marka yang lokasinya
berdekatan atau di dalam gen target
sehingga memiliki peluang keberhasilan
yang lebih besar (Gambar 1), 2) marka dapat
digunakan untuk mempercepat dan
mengefisienkan seleksi progeni silang
balik yang memiliki porsi genom terbesar
(99%) dan gen target 1% (Gambar 2), dan
3) marka dapat digunakan untuk menyeleksi turunan silang balik, sehingga
Marka DNA dapat digunakan untuk
menelusuri keberadaan gen target
(foreground selection) dan mempercepat
pemulihan genom tetua recurrent
(background selection) pada pemuliaan
silang balik. Keberhasilan metode marker
assisted backcrossing (MAB) dalam
meningkatkan efisiensi pemuliaan secara
konvensional telah dilaporkan oleh
Holland (2005) sebagai berikut: 1) jika
fenotipe tetua yang mengandung gen
target tidak mudah diamati maka turunan
silang balik yang mengandung gen dari
Gambar 1. Identifikasi individu tanaman jagung resesif homozigot untuk alel opaque-2
pada populasi BC2S2 dengan menggunakan marka umc 1066. Pita DNA
pertama adalah galur tetua non-QPM (P1) dan pita DNA kedua adalah
galur tetua QPM (P2). Individu tanaman bertanda * adalah homozigot untuk
alel mutan resesif opaque-2 recessive (Babu 2005).
bertanggung jawab. Dengan demikian,
efisiensi pemuliaan dapat ditingkatkan
melalui seleksi secara terarah berdasarkan
data molekuler dan ekspresi genetik secara
fenotipik di lapangan.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
gen yang tidak diinginkan tidak terbawa
meskipun terpaut dengan gen target
(linkage drag) (Gambar 3).
Individu tanaman yang mengandung gen homozigot resesif mutant
opaque-2 ditandai dengan pita tunggal,
sedangkan individu tanaman yang masih
heterozigot ditandai dengan pita ganda
(Gambar 1). Introgresi alel resesif mutant
opaque-2 ke jagung normal dengan menggunakan marka SSR hanya membutuhkan
83
sudah dipergunakan secara meluas, terutama untuk menyeleksi galur-galur
jagung transgenik yang memiliki ketahanan terhadap herbisida dan resisten
terhadap hama (Ragot et al. 1995).
Beberapa parameter diperlukan untuk
mengoptimalkan penerapan background
selection, antara lain flanking marka
dengan alel target untuk memindahkan
pautan yang tidak diinginkan, optimalisasi jarak antara gen target dan flanking
marka melalui seleksi yang intensif dan
jumlah tanaman silang balik yang diperlukan untuk diregenerasi dan diaklimatisasi
dengan set khusus flanking marka
(Hospital dan Charcosset 1997).
% genom tetua silang balik:
94%
BC3
87%
BC2
75%
BC1
99%
BC6
% genom tetua silang balik:
75%
87%
99%
MAS untuk Perbaikan Karakter
Kualitatif
Gambar 2. Perbandingan penerapan metode seleksi secara konvensional (atas)
dan dengan menggunakan marka RFLP (bawah) pada pemuliaan silang
balik (Young dan Tanskley 1989).
F1
F1
BC1
BC2
BC1
BC2
BC3
BC20
BC100
Gambar 3. Perbandingan kekuatan seleksi untuk introgresi gen dari kerabat liar
ke plasma nutfah komersial dengan metode seleksi silang balik secara
konvensional (atas) dan dengan menggunakan marka RFLP (bawah)
(Young dan Tanskley 1989).
dua generasi silang balik (Babu 2005). Hal
ini karena introgresi gen target ke tetua
donor dipadukan dengan penggunaan
marka DNA sebagai sidik jari terhadap
kedua galur tetua persilangan, sehingga
persentase genom nontarget dapat
dideteksi. Metode ini didasari oleh metode
yang diperkenalkan oleh Young dan
Tanskley (1989) seperti disajikan pada
Gambar 2.
Introgresi gen target dengan menggunakan marka molekuler dalam pemuliaan silang balik dapat meningkatkan
efisiensi seleksi dan mengurangi jumlah
generasi silang balik menjadi separuhnya
dibandingkan dengan seleksi secara
konvensional. Hal ini karena pemuliaan
secara konvensional memerlukan tambahan beberapa generasi silang dalam secara
84
berulang-ulang serta materi genetik dan
tenaga yang lebih banyak. Pemanfaatan
marka molekuler untuk menelusuri gen
target telah dilaporkan oleh Melchinger
(1990) yang memindahkan gen ketahanan
oligenik terhadap penyakit melalui
pendekatan estimasi jumlah individu
minimum dan ukuran famili yang diperlukan dalam ulangan silang balik. Namun
demikian, jika marka-marka alel spesifik
belum ditemukan, penggunaan pendekatan ini dalam pemuliaan tanaman masih
terbatas.
Untuk menghindari linkage drag
pada seleksi secara konvensional, dibutuhkan 100 generasi silang balik,
sedangkan dengan menggunakan marka
sebagai alat bantu seleksi hanya dibutuhkan dua generasi (Gambar 3). Marka DNA
Pemuliaan tanaman untuk karakter
kualitatif berhasil dikembangkan melalui
pemuliaan secara konvensional dengan
metode silang balik. Seperti dijelaskan
sebelumnya, metode ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu selain membutuhkan
waktu yang lama, juga terdapat masalah
besarnya linkage drag pada saat dilakukan introgresi gen donor dari plasma
nutfah liar ke plasma nutfah komersial.
Young dan Tanskley (1989) melaporkan
adanya linkage drag pada saat introgresi
gen ketahanan Tm2 yang berasal dari
Lycopersicum peruvianum ke dalam
kultivar tomat komersial melalui pemuliaan
silang balik. Mereka menemukan bahwa
kultivar yang dikembangkan melalui 20
generasi silang balik memiliki segmen yang
diintrogresikan sebesar 4 cM, sedangkan
kultivar yang dikembangkan melalui 11
generasi silang balik masih mengandung
seluruh lengan kromosom yang membawa
gen dari tetua donor.
Pemuliaan silang balik dengan memanfaatkan marka DNA dapat memfasilitasi
introgresi gen pengendali karakter kualitatif
secara efektif dan efisien. Salah satu contoh
keberhasilan MAS untuk pengembangan
karakter kualitatif adalah pemanfaatan marka
SSR sat309 untuk menyeleksi genotipe
yang memiliki gen rhg1 sebagai gen
pengendali ketahanan terhadap soybean
cyst nematode (SCN) yang disebabkan oleh
Heterodera glycinae (Mudge et al. 1997;
Cregan et al. 2000). Marka SSR sat309
diketahui berlokasi 1−2 cM dari rhg1
sehingga dapat diprediksi tingkat akurasinya sekitar 99% genotipe rentan SCN.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Keberhasilan juga dilaporkan pada
pemuliaan untuk quality protein maize
(QPM). Pemuliaan yang bertujuan untuk
memperbaiki mutu protein jagung telah
dilakukan secara intensif setelah Mertz et
al. (1964) menemukan mutan jagung pada
biji opak yang mengandung lisin tinggi:
gen opaque-2. Gen opaque-2 (o-2)
mampu meningkatkan kadar lisin dan
triptofan pada endosperm jagung. Namun
pada awal kegiatan pemuliaan tersebut,
jagung yang mengandung gen opaque-2
memiliki endosperm yang lunak sehingga
menyulitkan dalam proses pengeringan
serta peka terhadap penyakit. Setelah
melalui serangkaian penelitian yang
cukup panjang, pemuliaan dengan metode
silang balik secara konvensional berhasil
mengkonversi gen opaque-2 ke dalam
jagung biasa dengan kandungan lisin dan
triptofan meningkat dua kali lipat dan
endosperm keras (Vasal 2001).
Meskipun pemuliaan secara konvensional telah berhasil mengubah kultivarkultivar komersial ke dalam bentuk
varietas QPM sintetis, introgresi opaque2 bersama dengan modifiers endosperm
ke dalam galur-galur elit cukup rumit
karena adanya tiga faktor pembatas utama
yaitu: 1) setiap generasi persilangan
memerlukan enam generasi silang balik
dan setiap generasi silang balik memerlukan silang diri untuk mengidentifikasi gen
resesif opaque-2, 2) selain memerlukan
pemeliharaan gen opaque-2 homozigot,
jumlah modifiers yang harus diseleksi
cukup banyak, dan 3) pengujian secara
biokimia diperlukan untuk memastikan
kadar lisin dan triptofan dalam materimateri yang terseleksi pada setiap
generasi pemuliaan. Untuk mengatasi
kendala tersebut, CIMMYT berhasil
mengembangkan teknologi inovatif
berdasarkan marka SSR terhadap alel
opaque-2, sehingga konversi galur-galur
jagung normal ke dalam QPM lebih efisien
dari segi waktu dan biaya.
Ada tiga marka SSR yang telah
diidentifikasi pada kromosom 7, bin 7.01
yang memiliki hubungan erat dengan gen
opaque-2, yaitu phi 057, phi 112, dan
umc1066 (CIMMYT 2002). Dengan memanfaatkan marka SSR, waktu yang diperlukan untuk memulihkan genom tetua silang
balik hanya dua atau tiga generasi, yang
setara dengan enam generasi silang balik
pada seleksi secara konvensional. Selain
itu, tingkat kesalahan dalam merekombinasikan gen-gen target dan pautan marka
dapat berkurang selama marka SSR dapat
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
mendeteksi gen target itu sendiri. Pengujian biokimia yang secara rutin dilakukan
untuk mendeteksi keberadaan gen
opaque-2 pada setiap generasi pada
pemuliaan secara konvensional murni
tidak diperlukan lagi. Dengan demikian
penggunaan marka SSR untuk mengonversi galur jagung normal ke dalam QPM
cukup sederhana, cepat, akurat, serta
efisien dari segi biaya dan waktu (Dreher
et al. 2000).
Pengembangan karakter kualitatif
dengan MAS juga dapat berupa gen
tagging dan piramiding. Gen tagging
merupakan cara cepat dan tepat untuk
menyeleksi individu tanaman dengan
menggunakan marka yang terpaut kuat
untuk suatu karakter, seperti gen
resistensi terhadap penyakit blas dan
hawar daun bakteri pada padi dan karat
daun pada gandum, melalui pendekatan
analisis segregasi bulk (bulk segregation
analysis = BSA), tanpa memerlukan uji
lapangan. Metode gen tagging dan
piramiding berpeluang besar diaplikasikan untuk mempercepat perbaikan sifat
tanaman jagung komersial.
MAS untuk Pengembangan
Karakter Kuantitatif
Masalah yang sering muncul dalam
perakitan kultivar unggul baru adalah
umumnya karakter agronomi penting
tanaman sangat kompleks dan dikendalikan oleh banyak gen. Ketidakterpautan
karakter sederhana yang dikendalikan
oleh satu atau beberapa gen mayor menyebabkan perbaikan karakter poligenik
melalui MAS menjadi sangat rumit.
Kesulitan memanipulasi karakter kuantitatif yang berhubungan dengan
kompleksitas genetik disebabkan oleh
banyaknya gen yang terlibat dalam
ekspresinya, namun efek dari setiap gen
tersebut terhadap penampilan fenotipe
tanaman hanya kecil. Adanya interaksi
antargen (epistasis) juga menjadi faktor
penghambat dalam memanipulasi karakter
kuantitatif. Dengan demikian, diperlukan
beberapa lokasi genom yang harus
dimanipulasi pada waktu yang sama untuk
mendapatkan pengaruh yang nyata,
meskipun untuk menghasilkan efek yang
nyata pada suatu lokasi genom pada
individu tanaman cukup sulit. Untuk
kasus ini, reposisi pengujian lapangan
diperlukan untuk mengkarakterisasi efek
QTL secara akurat dan menguji stabi-
litasnya pada lingkungan yang berbeda.
Evaluasi interaksi QTL dengan lingkungan (Q x E) secara kontinu merupakan
pembatas utama terhadap efisiensi MAS
(Beavis dan Keim 1996). Adanya interaksi
epistasis di daerah yang berbeda pada
genom dapat mempengaruhi pengujian
arah efek QTL. Jika semua lokasi genom
yang terlibat dalam interaksi tidak menyatu
dalam skema seleksi maka efek QTL akan
menjadi bias.
Penghambat utama dalam penerapan
MAS pada karakter kuantitatif menurut
Tanskley dan Nelson (1996) antara lain
adalah: 1) identifikasi jumlah terbatas pada
players mayor (QTLs) pengendali
karakter spesifik, 2) defisiensi percobaan
dalam analisis QTL terutama dalam
estimasi yang berlebihan atau estimasi
yang sangat rendah pada jumlah dan efek
QTL, 3) ketiadaan dalam validasi QTL
(marka) yang berhubungan dengan
penerapan materi pemuliaan yang
berbeda, 4) kekuatan interaksi antar QTL
x E, dan 5) kesulitan dalam mengevaluasi
efek epistasis dengan tepat.
Meskipun sulit, tidak berarti peningkatan efisiensi MAS untuk karakter
kuantitatif tidak dapat dilakukan. Melalui
perbaikan rancangan percobaan, penyempurnaan model matematika, dan
penggunaan pendekatan metode statistik
yang tepat, efisiensi MAS pada karakter
kuantitatif dapat ditingkatkan. Dengan
composite interval mapping (CIM), data
dari lingkungan yang berbeda dapat
diintegrasikan dalam analisis gabungan
untuk mengevaluasi Q x E, dan selanjutnya memungkinkan identifikasi QTL yang
stabil dari lingkungan yang berbeda
(Jiang dan Zeng 1995). Selain itu, dengan
peta pautan yang rinci, CIM mampu
mengidentifikasi presisi QTL dalam genom
dan pautan QTL (gabungan) yang berasal
dari beberapa galur tetua.
Pengetahuan tentang lokasi dan efek
QTL dapat dimanfaatkan untuk percepatan program pemuliaan. Aplikasi marka
sebagai alat bantu seleksi karakter
kuantitatif yang menggunakan metode
advanced back-crossing (AB) QTL
antara lain telah dilakukan oleh Tanskley
dan Nelson (1996) untuk perbaikan
ketahanan buah tomat terhadap patogen
penyebab blackmold dan Stuber et al.
(1999) untuk peningkatan hasil hibrida
silang tunggal B73 x Mo17. Prospek
pengembangan karakter kuantitatif pada
tanaman jagung cukup besar dengan
keberhasilan identifikasi lokasi QTL
85
MARKA MOLEKULER
DALAM LITBANG JAGUNG
DI INDONESIA
Penelitian dan pengembangan biologi
molekuler dalam pemuliaan jagung di
Indonesia belum berkembang luas dan
baru berupa penelitian dasar. Kegiatan
tersebut dimulai sejak Indonesia bergabung dalam jaringan kerja regional Asia
pada tahun 1998, yakni Asian Maize
Biotechnology Network (AMBIONET).
Jaringan tersebut beranggotakan lima
negara pada fase I yakni Cina, Filipina,
Indonesia, Thailand, dan India dan menjadi
enam negara pada fase II dengan bergabungnya Vietnam. Kegiatan pada fase I
(tahun 1998−2002) meliputi peningkatan
sumber daya manusia, karakterisasi dan
identifikasi ketahanan terhadap penyakit
bulai serta keragaman genetik galur-galur
jagung. Karena laboratorium biologi
molekuler terdapat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Genetik Pertanian (BB Biogen), maka
kegiatan molekuler dilakukan oleh tim
AMBIONET di Bogor, sedangkan kegiatan lapangan dilaksanakan oleh tim
AMBIONET di Balai Penelitian Tanaman
Serealia (Balitsereal), Maros. Pembagian
tugas tersebut ternyata tidak efektif
sehingga pada fase I, Indonesia belum
berhasil menyelesaikan aktivitas dalam
kegiatan molekuler, sedangkan kegiatan
lapangan telah berhasil mengidentifikasi
ketahanan penyakit bulai pada 40 galur
jagung di lima lokasi pada dua musim
tanam, serta karakterisasi fenotipe untuk
pemetaan QTL ketahanan penyakit bulai
di Maros, Sulawesi Selatan.
Belajar dari pengalaman pada fase I
serta keberhasilan Cina dan India,
kegiatan molekuler pada fase II dilakukan
oleh Tim AMBIONET dari Balitsereal yang
dimagangkan di laboratorium BB Biogen,
Bogor. Pada fase II, berhasil diidentifikasi
QTL ketahanan penyakit bulai pada
jagung dengan menggunakan marka by
RFLP dan SSR (Gambar 4), identifikasi QTL
ketahanan kekeringan pada populasi F3
86
dan RIL, introgresi gen homozigot resesif
opaque-2 pada galur jagung tahan bulai,
dan pemanfaatan marka SSR untuk
mengidentifikasi diversitas genetik galurgalur jagung untuk membentuk kelompok
heterosis yang sangat bermanfaat dalam
pembentukan hibrida.
QTL mayor yang teridentifikasi
dengan marka RFLP, yaitu bnl5.47,
bnl8.23, dan csu95d, berasosiasi kuat
dengan ketahanan penyakit bulai pada
jagung (Gambar 4). Setelah dilakukan
pemetaan dengan marka SSR, ternyata di
antara flanking marka tersebut teridentifikasi satu marka SRR yang berada
pada posisi antara bnl5.47 dan bnl8.23
yaitu bnlg1154, serta empat marka SSR
yang berada pada posisi antara bnl8.23
dan csu95d yaitu mmc0241, phi078,
bnlg1702, dan nc013. Marka-marka tersebut juga berasosiasi kuat dengan
ketahanan penyakit bulai di empat lokasi
pada tiga negara, yakni Mandya dan
Udaipur (India), Filipina dan Thailand
(George et al. 2003). Marka-marka SSR
yang secara konsisten berasosiasi kuat
dengan gen ketahanan penyakit bulai
pada jagung dapat digunakan untuk
meningkatkan efisiensi seleksi dan
mempercepat introgresi gen tahan bulai
dengan metode AB-QTL.
QTL ketahanan kekeringan pada
jagung juga telah dianalisis dengan
menggunakan data marka RFLP sebagai
data genotipe dan hasil penyaringan
kekeringan di Probolinggo tahun 2004.
Beberapa marka RFLP berasosiasi dengan
karakter agronomis untuk toleransi
terhadap kekeringan, yaitu parameter
daya kapasitas akar dan bobot 100 biji
untuk genotipe F3 dan untuk genotipe RIL
adalah tinggi tanaman, letak tongkol,
selang berbunga jantan dan betina, daya
kapasitas akar, dan umur berbunga betina.
Namun demikian, marka yang mendeteksi
karakter ketahanan tersebut tidak
konsisten antara populasi F3 dan RIL
sehingga diperlukan pemetaan untuk
menentukan posisi QTL mayor secara
tepat. Tidak semua marka yang terdeteksi
berasosiasi dengan QTL suatu karakter
dapat digunakan sebagai MAS. Hanya
marka yang berasosiasi dengan QTL
mayor yang memiliki efek yang sangat
kuat mengendalikan karakter penting
tersebut yang dapat digunakan sebagai
MAS. Kekuatan efek suatu QTL
ditentukan oleh kerapatan pautan gen
pada suatu lokus, tingkat konsistensi
informasi mengenai jumlah QTL, lokasi
Ch6
unc85 (6,01)
10,4
brl6.29 (6,01)
41,3
unc65a (6,04)
54,1
csu95d (6,04)
69,9
bnlg1154
82,1
bnl8.23 (6,05)
91,5
92,0
92,4
95,2
98,5
99,8
102,4
115,3
130,3
mmc0241
phi078
bnlg1702
nc013
bnl5.47a (6,05)
bnl9.03 (6,05)
unc33a (6,06)
unc140c (6,56)
unc132a (6,07)
Mayor QTL
▲
mayor untuk karakter toleransi terhadap
kekeringan oleh Ribaut et al. (2002),
karakter ketahanan terhadap southwestern
corn borer (SWBC) oleh Khairallah et al.
(1997), karakter ketahanan terhadap
Cercospora zeae-maydis oleh Gordon et
al. (2004), dan karakter ketahanan penyakit bulai oleh George et al. (2003).
Gambar 4. Posisi QTL mayor untuk
ketahanan tanaman jagung
terhadap penyakit bulai yang
diidentifikasi dengan marka
RFLP dan SSR (Azrai et al.
2003).
dan efek genetiknya, serta stabilitasnya
dari pengaruh lingkungan (Babu et al.
2002).
Introgresi gen opaque-2 dari galur
QPM ke galur normal tahan bulai dengan
menggunakan MAB sedang dilakukan.
Pemilihan galur tahan bulai didasarkan
pada hasil penyaringan Kasim et al. (2002)
dari 40 galur dengan metode inokulasi
semibuatan di lima lokasi dan dua musim
di Indonesia. Saat ini, kegiatan MAS telah
berhasil mengintrogresikan gen resesif
opaque-2 pada galur Nei9008 dan Mr10.
Galur-galur hasil introgresi tersebut saling
disilangkan dan sedang diuji daya hasilnya di Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan.
Dengan demikian, diharapkan 2–3 tahun
mendatang dapat dilepas kultivar unggul
jagung baru bermutu protein tinggi dan
tahan terhadap penyakit bulai.
Pada kegiatan AMBIONET fase II,
10 galur elit jagung Indonesia dari
Balitsereal bersama-sama dengan galurgalur yang berasal dari CIMMYT, Eropa,
dan Amerika Serikat serta negara peserta
AMBIONET telah diambil sidik jarinya
dengan menggunakan marka SSR dan
ditemukan 409 alel dalam 102 galur jagung.
Sebanyak 19% alel unik ditemukan pada
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
galur-galur jagung Asia dan tidak
ditemukan pada galur-galur CIMMYT,
Amerika Serikat maupun Eropa, yaitu Cina
3 alel, India 3 alel, Indonesia 11 alel,
Filipina 10 alel, Thailand 6 alel, Vietnam 1
alel, dan program jagung Asia 11 alel
(George et al. 2004).
Untuk pembentukan pola heterosis
berdasarkan analisis marka molekuler,
telah dilakukan analisis klaster terhadap
delapan galur elit Balitsereal menggunakan 26 marka SSR (Pabendon et al. 2005).
Kekerabatan atau kemiripan genetik dapat
dilihat pada visualisasi dendrogram
(Gambar 5). Dari dendrogram tersebut,
galur Mr11 dan Mr12 mempunyai tingkat
kemiripan genetik yang paling tinggi
sebesar 0,76 (1 = paling mirip), dengan
tingkat kepercayaan pengelompokan
85%. Kedua galur tersebut berasal dari
populasi Suwan2C7 (Mejaya et al. 2005)
sehingga masih memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Galur Mr4
mempunyai kemiripan genetik yang
rendah dengan galur Mr14 yaitu sekitar
0,27, yang berarti kedua galur tersebut
memiliki hubungan yang jauh. Galur Mr4
berasal dari J1, sedangkan Mr14 dari
populasi Suwan3C7 (Mejaya et al. 2005).
Untuk mendapatkan informasi
hubungan kekerabatan galur-galur
penyusun hibrida tersebut, selanjutnya
dilakukan analisis klaster terhadap
delapan galur dengan menggunakan 26
marka SSR (Pabendon et al. 2005).
Kekerabatan atau kemiripan genetik dapat
dilihat pada visualisasi dendrogram
(Gambar 5). Dari dendrogram tersebut,
galur Mr11 dan Mr12 mempunyai tingkat
kemiripan genetik yang paling tinggi
yaitu 0,76, dengan tingkat kepercayaan
pengelompokan 85%. Hal ini sesuai
dengan silsilahnya, yaitu kedua galur
berasal dari populasi Suwan2C7 sehingga
memiliki hubungan yang dekat. Galur
inbrida Mr4 mempunyai kemiripan genetik
yang rendah dengan inbrida Mr14 yaitu
sekitar 0,27, yang berarti kedua galur
memiliki hubungan yang jauh. Hal ini
sesuai dengan silsilahnya yaitu galur Mr4
berasal dari J1, sedangkan Mr14 dari populasi Suwan3C7 (Mejaya et al. 2005).
Jarak genetik antarpasangan galur
tetua hibrida disajikan pada Tabel 2.
Hibrida Semar-8 merupakan hasil
persilangan tiga jalur (Mr9 x Mr10)//
GM15). Jarak genetik Mr9 dengan Mr10
sebesar 0,50, sedangkan antara GM15
dengan Mr9 dan Mr10 masing-masing
0,51 dan 0,54. Semar-9 merupakan hasil
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
persilangan tiga jalur (Mr11 x Mr12)//
GM15. Jarak genetik antara Mr11 dan
Mr12 sebesar 0,25, sedangkan GM15
dengan genotipe Mr11 dan Mr12 masingmasing 0,46 dan 0,49. Semar-8 dan Semar-9
tersusun dari galur-galur yang memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat sampai
sedang (nilai 0,25–0,54). Selanjutnya
Semar-10 adalah hasil silang tiga jalur
(Mr13 x Mr04)// Mr14. Jarak genetik antara
Mr13 dan Mr4 sebesar 0,62, sedangkan
antara Mr14 dengan Mr13 dan Mr4
masing-masing 0,60 dan 0,71. Jadi, Semar10 tersusun dari galur-galur yang memiliki
hubungan kekerabatan cukup jauh (nilai
0,60–0,71).
Varietas Bima-1 merupakan hasil
silang tunggal antara Mr4 dan Mr14
dengan nilai jarak genetik 0,71. Nilai jarak
genetik terbesar (0,85) diperoleh pada
pasangan Mr14 x GM15, sedangkan
pasangan persilangan Mr11 dan Mr12
memiliki nilai jarak genetik terendah (Tabel
2). Nilai jarak genetik galur-galur di atas
sesuai dengan silsilahnya (Mejaya et al.
2005).
Tabel 2 memperlihatkan terdapat
beberapa pasangan persilangan yang
mempunyai peluang sebagai kandidat
tetua berdasarkan nilai jarak genetik yang
tinggi. Dengan memilih pasangan per-
Mr4
Mr9
75,20
56,30
Mr11
85
47,20
Mr12
57,80
GM15
Mr10
60,60
Mr13
Mr14
0,27
0,52
0,39
0,64
0,76
Koefisien kemiripan genetik
Gambar 5. Dendrogram delapan inbrida jagung berdasarkan kemiripan genetik yang
dikonstruksi dengan menggunakan koefisien Jaccard pada 26 lokus SSR.
Nilai di atas garis menunjukkan tingkat kepercayaan pengelompokan yang
diperoleh melalui analisis boot strapping (Pabendon et al. 2005).
Tabel 2. Matriks jarak genetik inbrida-inbrida jagung pembentuk kultivar
Semar-8, Semar-9, Semar-10, dan Bima-1.
Mr4
Mr9
Mr10
Mr11
Mr12
Mr13
Mr14
GM15
Mr4
Mr9
Mr10
Mr11
Mr12
Mr13
Mr14 GM15
0,00
0,65
0,60
0,55
0,53
0,62
0,71
0,60
0,00
0,50
0,38
0,34
0,71
0,75
0,51
0,00
0,56
0,48
0,63
0,76
0,54
0,00
0,25
0,78
0,74
0,46
0,00
0,68
0,74
0,49
0,00
0,60
0,73
0,00
0,83
0,00
Sumber: Pabendon et al. (2005).
87
silangan dengan nilai di atas 0,70, terdapat
delapan persilangan lain di luar Mr4 x
Mr14 yang mempunyai peluang untuk
mendapatkan heterosis tinggi dan digunakan sebagai bahan percobaan,
misalnya Mr14 dengan GM15. Dengan
demikian penampilan dan kelebihan lain
secara fenotipik perlu diperhitungkan
sehingga akan memberi peluang keberhasilan yang lebih besar dan lebih akurat
dalam melakukan seleksi tetua. Estimasi
jarak genetik sejumlah inbrida jagung
yang dilakukan oleh Lee (1995) berdasarkan Modified Rogers’ Distance menunjukkan bahwa hasil dan kemampuan daya
gabung khusus (DGK) mempunyai
korelasi yang nyata.
KESIMPULAN
Teknologi marka DNA telah banyak
dimanfaatkan oleh peneliti jagung di
beberapa negara dan cukup prospektif
dikembangkan untuk mempercepat dan
meningkatkan efisiensi seleksi dalam
pemuliaan jagung di Indonesia. Melalui
jalinan kerja sama AMBIONET, telah
berhasil diidentifikasi lokus karakter
kuantitatif (QTL) ketahanan jagung
terhadap penyakit bulai dan karakterisasi
keragaman genetik dan homozigositas
galur-galur elit pemulia yang berguna bagi
pengembangan varietas jagung hibrida.
Perbaikan kualitas protein jagung
dengan mengintrogresikan gen resesif
opaque-2 ke galur jagung elit tahan bulai
juga telah dilakukan. Lokus karakter
kuantitatif dari beberapa parameter
agronomis yang terpaut dengan karakter
ketahanan terhadap kekeringan juga berhasil diidentifikasi, namun masih memerlukan studi lebih lanjut sebelum dilakukan
fine mapping dalam rangka MAS.
DAFTAR PUSTAKA
AMBIONET. 1998. Molecular marker applications to plant breeding. AMBIONET’s First
Training Workshop, 9 November – 4
December 1998. CIMMYT Headquarters,
El Batan, Mexico.
Azrai, M., F. Kasim, Sutrisno, dan S. Moeljopawiro.
2003. Identifikasi lokus karakter kuantitatif
ketahanan penyaki bulai pada jagung
menggunakan marka RFLP. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(1): 8−14.
Babu, R. 2005. Two-generation marker-aided
backcrossing for rapid conversion of normal
maize lines to quality protein maize (QPM).
Presented in the 9th Asian Maize Research
Workshop, 05−09 September 2005, CAASCIMMYT, Beijing.
Babu, R., S.K. Nair, and B.M. Prasanna. 2002.
Integrating marker assisted selection in crop
breeding: prospect and challenges. Manual
Molecular Marker Applications in Plant
Breeding. ICAR Short-Term Training
Course, 26 September−5 October 2002.
Division of Indian Agricultural Research
Institute, New Delhi, India.
Beavis, N.D. and P. Keim. 1996. Identification
of QTL that are affected by environment. p.
123−149. In M.S. Kang and H.G. Gauch (Eds.).
Genotype-by-Environment Interaction. CRC
Press, Florida.
CIMMYT. 2002. SSR Markers for Opaque-2.
Service Lab Protocols. Applied Biotechnology Laboratory, CIMMYT, Mexico.
Cregan, P.B., J. Mudge, J.P. Kenworthy, W.J.
Kenworthy, J.H. Orf, and N.D. Young. 2000.
Two simple sequence repeat markers to select
for soybean cys nematode resistance conditioned by rghl locus. Theor. Appl. Genet.
99: 172−181.
Dreher, K. Morris, M. Khairallah, J.M. Ribaut,
S. Pandey, and G. Sinivasan. 2000. Is marker
assisted selection cost-effective compared
to conventional plant breeding methods?
The case of quality protein maize. Paper
presented at the Fourth Annual Conference
88
of the International Consortium on Agricultural Biotechnology Research (ICBR),
Economics of Agricultural Biotechnology,
held in Ravello, Italy, 24–28 August 2000.
George, M.L.C., B.M. Prasanna, R.S. Rathore,
T.A.S. Setty, N.N. Singh, F. Kasim, M. Azrai,
S. Vasal, O. Balla, E. Regalado, M. Vargas.
M. Khairallah, D. Jeffers, and D. Hoisington.
2003. Identification of QTL conferring
resistance to downy mildews of maize in Asia.
Theor. Appl. Genet. 107: 544–551.
George, M.L., E. Regalado, M. Warburton, S.
Vasal, and D.A. Hoisington. 2004. Genetic
diversity of maize inbred lines in relation to
downy mildew. Euphytica 135: 145–155.
Gordon, S.G., M. Bartsch, I. Matthies, H.O.
Gevers, P.E. Lipps, and R.C. Pratt. 2004.
Linkage of molecular markers to Cercospora
zeae-maydis resistance in maize. Crop Sci.
44: 628–636.
Guzhov, Y. 1989. Genetics and Plant Breeding
for Agriculture. Mir Publisher, Moscow.
Holland, J.B. 2005. Implementation of molecular
marker for quantitative traits in breeding
programs: challenges and opportunities.
Manual Training of Advances in MarkerAssisted Selection Workshop, 21−24 February
2005. IRRI, Laos Banos, Philippines.
Hospital, F. and A. Charcosset. 1997. Marker
assisted introgression of quantitative trait
loci (QTL). Genetics 132: 1.199−1.210.
Jiang, C. and Z.B. Zeng. 1995. Multiple trait
analysis of genetic mapping for quantitative
trait loci. Genetics 140: 1.111−1.127.
Kasim, F., M. Azrai, Sutrisno, and D. Ruswandi,
2002. Preliminary marker assisted selection
breeding program for downy mildew
resistance in Indonesia. Proceedings of the
8 th Asian Regional Maize Workshop,
Bangkok, Thailand, 5 August 2002.
Kasetsart University: 82−90.
Khairallah, M., M. Bohn, C. Jiang, J.A. Deutsch,
D.C. Jewell, J.A. Mihm, A.E. Melchinger,
D. Gonzales-de-Leon, and D.A. Hoisington.
1997. Moleculer mapping of QTL for
southwestern corn borer resistance, plant
height and flowering in tropical maize. Plant
Breed. 117: 309−318.
Lamadji, S., L. Hakim, dan Rustidja. 1999.
Akselerasi pertanian tangguh melalui pemuliaan nonkonvensional. Prosiding
Simposium V Pemuliaan Tanaman PERIPI
Komda Jawa Timur. hlm. 28−32.
Lee, M. 1995. DNA markers and plant breeding
programs. Adv. Agron. 55: 265–344.
Mayo, O. 1980. The Theory of Plant Breeding.
Clarendon Press, Oxford.
Mejaya, M.J., M.M. Dahlan, dan M.B. Pabendon.
2005. Pola Heterosis dalam Pembentukan
Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas dan
Hibrida. Seminar Bulanan Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor, 12 Mei 2005. hlm. 13.
Melchinger, A.E. 1990. Use of molecular markers
in breeding for oligogenic disease resistance.
Plant Breed. 104: 1−19.
Mertz, E.T., L.S. Bates, and O.E. Nelson. 1964.
Mutant gene that changes protein composition and increases lysine content of
maize endosperm. Science 145: 279−280.
Mudge, J., P.B. Cregan, J.P. Kenworthy, W.J.
Kenworthy, J.H. Orf, and N.D. Young. 1997.
Two microsatellite markers that flank the
major soybean cys nematode resistance locus.
Crop Sci. 37: 1.611−1.615.
Pabendon, M.B., M.J. Mejaya, O. Superman,
M.M. Dahlan, dan Subandi. 2005. Karakterisasi molekuler plasma nutfah jagung varietas
Semar-8, Semar-9, Semar-10, dan Bima-1.
Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. hlm.12.
Ragot, M., A. Beeville, and M. Tarsac. 1995.
Marker Assisted Back Crossing: A practical
example in techniques et utilizations des
marquees molecularies. Les Colloques,
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Institute National de la Recherché Agronomique 72: 45−56.
Ribaut, J.M., C. Jiang, and D.A. Hoisington. 2002.
Simulation experiments on efficiencies of
gene introgression by backcrossing. Crop Sci.
42: 557–565.
Shivanna, K.R. and Sawhney. 1997. Pollen biology
and pollen biotechnology: an introduction.
In Shivanna and Sawhney (Eds.). Pollen
Biotechnology for Crop Production and
Improvement. Cambridge University Press.
hlm. 253−265.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Stoskopf, N.C., D.T. Thomes, and B.R. Christie.
1993. Plant Breeding, Theory and Practice.
Westview Press, Oxford.
Stuber, C.W., M.D. Edwards, and J.F. Wendel.
1999. Synergy of empirical breeding, markerassisted selection, and genomics to increase
yield potential. Crop Sci. 39: 1.571−1.583.
Tanskley, S.D. and J.C. Nelson. 1996. Advanced
backcross QTL analysis, a method for the
simultaneous discovery and transfer of
valuable QTLs from unadapted germplasm
into elite breeding lines. Theor. Appl. Genet.
92: 191−203.
Vasal, S.K. 2001. High quality protein corn. p.
85−129. In A.R. Hallauer (Ed.). Specialty
Corns. Second Ed. CRC Press LLC, Boca
Raton, Florida.
Young, N.D. and S.D. Tanskley. 1989. RFLP
analysis of the size of the chromosomal
segments retained around the tm-2 locus of
tomato during backcross breeding. Theor.
Appl. Genet. 77: 353−359.
89
Download