BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak Konsili Vatikan II

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak Konsili Vatikan II1, Gereja mulai melihat adanya kemungkinan keselamatan dalam
agama lain. Keselamatan ini tidak hanya merupakan kekecualian yang jarang terjadi, tetapi lebih
dipandang sebagai kenyataan lazim, bahwa Allah menyelamatkan orang melalui berbagai cara
dan cara di luar batas institusi Gereja Katolik2 karena karya Allah Roh Kudus. Prestasi gemilang
Konsili Vatikan II dalam hal ini adalah pembaharuan pandangan mengenai Gereja dari “institusi
keselamatan”
kepada
“sakramen
keselamatan”3.
Yang
dimaksud
dengan
“Sakramen
keselamatan” adalah bahwa Gereja hadir sebagai tanda sekaligus sarana yang mewujudkan
kesatuan mesra manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia.4
Dari dokumen-dokumen hasil
refleksi Gereja, entah itu hasil konsili maupun hasil
refleksi lanjutan pasca konsili, ada dua hal yang selalu bersitegang. Kedua hal itu adalah dialog
dengan agama-agama berhadapan dengan tugas Gereja mewartakan karya keselamatan Allah
yang terjadi dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
1
Konsili Vatikan II (1962-1965), diadakan oleh Paus Yohanes XXIII dan bagi Gereja Katolik adalah
konsili ekumenis yang kedua puluh satu. Masa sidang ini terlaksana di bawah pimpinan dua orang Paus. Masa
sidang pertama dilaksanakan di bawah Paus Yohanes XXIII dan ketiga masa berikutnya di bawah Paus Paulus VI,
Bdk. Gerald O’ Colinns, SJ, Edward G. Farrugia, SJ, A Concise Dictionary Of Theology, dalam I. Suharyo, Pr
(Penerjemah), Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 163-164.
2
Bdk. Georg Kirchberger, Misi Gereja Dewasa Ini, (Maumere: LPBAJ 1999), hlm. 97.
3
Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah,
1
(Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 4.
4
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (21 November 1964) , dalam R. Hardawiryana,
S.J. (Penerjemah), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993) Art. 1. Untuk selanjutnya akan disingkat LG
dengan nomor artikelnya.
Di satu sisi, Gereja sudah menemukan adanya “nilai-nilai positif” berupa “sinar
kebenaran yang menerangi semua orang”,5 “benih-benih sabda”,6 “unsur-unsur kebenaran dan
rahmat”7 yang tertaburkan bukan hanya “dalam budi dan hati” para pemeluknya, melainkan juga
“dalam upacara-upacara dan kebudayaan para bangsa”,8 “adanya benih sabda hasil karya Roh
Kudus yang ada dalam berbagai adat-istiadat dan kebudayaan, serta “seraya mempersiapkan
mereka menuju kepada kedewasaan yang penuh dalam Kristus.”9 Dengan ini maka dialog
dengan agama lain sangat perlu.
Di sisi lain, Gereja harus terus dan tanpa lelah mewartakan Injil kepada seluruh bangsa.
Tugas pewartaan ini jelas termaktub dalam Perintah Yesus kepada murid-murid-Nya. Penginjil
Markus mengungkapkan hal ini sebagai tugas untuk pertobatan dan percaya (Mrk, 6:12; 16:16;
1:15b)10. Penginjil Matius mengemukakan misi sebagai proses “Menjadikan Murid” yang
menjadi “Israel Baru” (Mat, 22:1;21:33; 20:1). Penginjil Lukas dan Kisah Para Rasul melihat
misi untuk memberikan kesaksian iman akan hidup dan karya Yesus (Luk, 24:48; Kis 13:31)
serta kebangkitanNya (Luk,1 :22; Kis, 10:41). Yohanes melihat Misi berdasarkan kapasitas
Yesus sebagai utusan yang mengutus. Dan Paulus menggambarkan Misi sebagai tugas kepada
Bangsa-bangsa (Gal, 1:16).11
5
Konsili Vatikan II, Pernyataan Nostra Aetate2 (28 Oktober 1965) Art. 2, Selanjutnya akan disingkat NA
dengan nomor artikelnya.
6
Konsili Vatikan II, Dekrit Ad Gentes (7 Desember 1965) art. 11. Selanjutnya akan disingkat AG dengan
nomor artikelnya.
7
AG, art 9.
8
Bdk. Jacques Dupuis, A Theological Commentary: Dialogue and Proclamation, dalam Georg
Kirchberger (editor), Dialog dan Pewartaan, (Maumere: LPBAJ Seminari Tinggi Ledalero, Februari 2002), hlm. 92
9
Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor
2 Hominis (4 Maret 1979), dalam Marcel Beding (penerjemah),
(Yogyakarta: Kanisius, 1984), Art. 28. Selanjutnya akan disingkat RH dengan nomor artikelnya.
10
Lih. Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesi, 1976).
11
Bdk. Edmund Woga, CSsR, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 81-91.
Tentang Dialog dengan agama lain, Paus Paulus VI12 mengungkapkan beberapa macam
dialog yang harus dijalankan oleh Gereja, yakni; dialog dengan semua orang, dialog dengan
mereka yang percaya kepada Tuhan, dan dialog dengan mereka yang berada dalam tubuh
Gereja.13 Dan bagi Paus Yohanes Paulus II, dasar dialog dalam Gereja adalah misteri dialogis
Allah Tritunggal. Maksudnya, kesatuan komunikatif dan dialogis antara Bapa, Putera dan Roh
Kudus merupakan model dan tanda sempurna bagi dialog antar umat beragama. Pewahyuan
Allah kepada manusia merupakan suatu realitas dialog. Realitas dialog ini nyata serta ada dalam
Yesus Kristus.14 Hal ini tidak jauh berbeda dengan John Hick yang berpendapat bahwa dalam
berdialog dengan agama lain, agama Kristen mendasarkan diri pada revelasi Pribadi Kedua dari
Allah Tritunggal ke dalam sejarah hidup manusia.15 Dialog yang dijalankan ini hanya akan
berjalan
baik apabila Gereja berdialog dengan orang-orang yang memiliki kehendak baik.
Mengapa harus demikian? Karena memang Gereja mempunyai maksud/ intensi dan kehendak
baik untuk menemukan sekaligus meningkatkan kemanusiaan manusia sebagai ciptaan Tuhan
dan Gereja juga ingin mempertebal hubungan yang harmonis dengan membangun sikap positif
terhadap keyakinan lain. Gereja hanya bisa berbicara tentang misi yang partikular apabila
menghormati perbedaan misi dalam agama-agama melalui dialog antar agama. Kita hanya bisa
memasuki arena dialog secara penuh apabila tujuan kita bukan untuk mengkomunikasikan
sesuatu melalui dialog itu tetapi sebaliknya untuk menerima sesuatu.16
3
12
Paulus VI, Ensiklik Ecclesiam Suam (6 Agustus 1964). Selanjutnya akan disingkat ES, dilihat sebagai
“Magna Carta” Dialog dengan Agama-agama lain dalam Gereja Katolik, bdk. F.X. E. Armada Riyanto, CM, Dialog
Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 33.
13
Ibid, hlm. 37.
14
Bdk. Krispurwana Cahyadi, SJ, Yohannes Paulus II, Gereja Berdialog, (Yogyakarta: Kanisius 2011),
hlm. 75.
15
Bdk. John Hick, God Has Many Names, (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press 1982),
hlm. 117.
16
Bdk. Jurgen Moltman, Christianity and the World Religions, dalam John Hick and Brian Hebblethwaite
(ed.), Christianity and Other Religions, (Great Britain: Fount Papersbacks, William Collins Sons, Ltd., 1980), hlm.
204.
“Dialog antar agama merupakan suatu proses di mana kita hanya akan memulainya
apabila kita membuka diri untuk dikritik. Kita tidak akan kehilangan identitas dalam berdialog,
tetapi kita memperoleh suatu pemahaman baru dalam konfrontasi dengan partner dialog kita.”17
Dalam dialog, kita tidak hanya mendengarkan kata-kata tetapi mendengar manusia yang
memberi makna pada kata-kata tersebut. Sebagai orang beragama yang berdialog, kita tidak
hanya dituntut untuk mendengar perkataan orang lain tetapi mengerti siapa mereka.18
Tentang pewartaan, Paus Paulus VI menegaskan bahwa Gereja “ada untuk mewartakan
Injil, yakni untuk berkotbah dan mengajar, menjadi saluran karya rahmat, untuk mendamaikan
para pendosa dengan Allah.”19 Gereja memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemberitaan
tentang Yesus Kristus kepada orang-orang yang tidak mengenal-Nya dan undangan ini
disampaikan Gereja kepada mereka agar menjadi murid-murid Kristus.20 Pewartaan itu adalah
suatu Kabar Baik dan juga Kabar Baik itulah yang diwartakan. Oleh karena itu, “Kabar Baik
yang diwartakan dengan kesaksian hidup, cepat atau lambat, haruslah diwartakan dengan sabda
4
kehidupan. Tidak ada penginjilan yang sejati, bila nama, ajaran, hidup, janji-janji, Kerajaan
Allah dan misteri Yesus Kristus tidak diwartakan.” Selain itu, “Gereja tiada hentinya
mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni ‘jalan, kebenaran dan hidup’ (Yoh. 14:16);
dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala
sesuatu dengan diri-Nya.”21
17
Ibid. hlm. 194.
Bdk. Bernard Haring, Free and Faithful in Christ: Moral Theology for Priests and Laity, Vol. 2 The
Truth will set you free, (Broughton Road-Homebush NSW 2140: The Society Of ST. Paul, December 1979), hlm.
18.
19
Paulus VI, Ensiklik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975), dalam Marcel Beding (penerjemah),
(Ende: Nusa Indah, 1989) Art. 14. Selanjutnya akan disingkat EN dengan nomor artikelnya.
20
LG, art. 17
21
NA, art. 2
18
Paus Yohanes Paulus II22, mengungkapkan misi sebagai prioritas utama yang permanen
dalam hidup Gereja. Misi dikatakan permanen karena misi Kristus yang dipercayakan kepada
Gereja belum selesai, bahkan jauh dari selesai.23 Selain itu, banyak orang yang belum mengenal
Kristus dan bahkan bertambah dari waktu ke waktu sehingga Gereja wajib mewartakan Kristus.24
Dialog dan pewartaan seperti yang dipahami dalam dokumen-dokumen Gereja yang
resmi di atas menjadi dasar bagi Dokumen Dialogue and Proclamation25 untuk berbicara tentang
dialog dan pewartaan. Dokumen Dialogue and Proclamation dengan apiknya menunjukkan
kedua
actus, dialog dan pewartaan, sebagai sederajat, sebagai dua gaya dalam tugas
evangelisasi, di mana yang satu tidak boleh diganti oleh yang lain dan di mana dialog juga tidak
boleh dipandang sebagai hanya satu tahap persiapan dalam tugas evangelisasi yang baru akan
mencapai kepenuhannya dalam pewartaan.26 Pada dasarnya keseluruhan dokumen Dialogue and
Proclamation ini membahas tema dialog dan pewartaan, tetapi untuk memahami kedua hal ini
5
dalam hal perbedaan dan hubungannya secara jelas, penulis berusaha untuk lebih fokus dalam
mencermati dan memusatkan pemikiran hanya pada artikel 77.
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis mencoba mengulas dan memahami Dokumen
Dialogue and Proclamation dalam penulisan skripsi ini di bawah Judul:
MEMAHAMI
HUBUNGAN
PEWARTAAN
DALAM
DAN
GEREJA
PERBEDAAN
MENURUT
ANTARA
DOKUMEN
DIALOG
DAN
DIALOGUE
AND
PROCLAMATION Art. 77.
22
Bdk, Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris Missio (7 Desember 1990), dalam Marcel Beding
(penerjemah), (Yogyakarta: Kanisius, 1992) Art.22. Selanjutnya akan disngkat RMi dengan nomor artikelnya.
23
RMi, art. 1.
24
RMi, art. 3.
25
Pontifical Council for Interreligious Dialogue and Sacred Congregation for the Evangelisation of
Peoples, Dialogue And Proclamation: Reflections and Orientations on Interreligious Dialogue and Proclamation
of the Gospel of Jesus Christ, (L’Osservatore Romano, 1 July 1991). Selanjutnya akan disingkat DP dengan nomor
artikelnya.
26
Bdk. Georg Kirchberger (editor), Dialog…. Op.Cit, hlm. 7.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang menjadi titik tolak penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa itu dialog menurut Gereja?
6
2. Apa itu pewartaan Gereja?
3. Apa perbedaan Dialog dan Pewartaan dalam Gereja menurut dokumen Dialogue and
Proclamation art. 77?
4. Apa hubungan Dialog dan Pewartaan dalam Gereja menurut dokumen Dialogue and
Proclamation art. 77?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam
menyelesaikan
penulisan skripsi
ini, penulis
mengharapkan bahwa akan
mencapai tujuan-tujuan seperti di bawah ini:
1. Untuk mengetahui dan memahami dengan baik apa yang dimaksudkan dengan dialog
dan pewartaan yang dilakukan Gereja dalam terang Dokumen Dialogue and
Proclamation.
2. Untuk memahami kedudukan yang sebenarnya dari dialog dan pewartaan dalam
karya evangelisasi Gereja melalui tuntunan dokumen Dialogue and Proclamation.
3. Untuk memahami dengan jelas dan seterang-terangnya, perbedaan dari dialog dan
pewartaan sekaligus mengetahui hubungan antara keduanya.
1.4 Kegunaan Penulisan
7
Guna dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Bagi Gereja
Penulis mengharapkan bahwa melalui penelaahan yang dilakukan terhadap dokumen
Dialogue and Proclamation, segenap anggota Gereja yang membaca tulisan ini akan diberi
pemahaman baru tentang dialog dan pewartaan dalam Gereja Katolik. Karena memang sudah
saatnya segenap anggota Gereja meyakini kewajibannya untuk mewartakan Kristus dan juga
berdialog dengan berbagai agama yang berada di sekitar lingkungan di mana mereka hidup.
1.4.2 Bagi Mahasiswa FFA
Semoga tulisan ini menjadi bahan acuan yang sedikit membantu mahasiswa/mahasiswi
FFA, yang notabene adalah calon-calon pewarta dalam Gereja, untuk memahami dan mengerti
dengan baik, tentang dialog dan pewartaan dalam Gereja Katolik.
1.4.3 Bagi Penulis Sendiri
Penulisan skripsi ini akan sangat membantu penulis dalam memahami, dan mengerti
pewartaan dan dialog dalam Gereja. Selain itu, penulisan ini juga membantu penulis untuk
memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Filsafat pada Fakultas Filsafat Agama
8
Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang dipakai penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode penelitian
kepustakaan. Dengan literatur-literatur yang tersedia, penulis akan berupaya dengan maksimal
untuk mencapai pemahaman yang mendalam, menyeluruh dan komprehensif tentang dialog
antaragama dan pewartaan dalam Gereja Katolik. Oleh karena itu, literatur-literatur yang ada
dibaca, diolah, dan disimpulkan oleh penulis sendiri.
1.6 Sistematika Penulisan
Secara sitematis penulis mengklasifikasikan tulisan ini dalam lima bab. Bab pertama,
merupakan bab pendahuluan yang berisikan penegasan judul, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan. Bab kedua, penulis memaparkan
tentang pemahaman Dialog antar agama menurut Gereja Katolik. Paparan ini bermaksud untuk
memberikan landasan mendasar tentang pemahaman Gereja tentang diaog antaragama. Bab tiga,
dalam bab ini penulis berusaha memahami tentang pewartaan Gereja. Bab empat, merupakan bab
inti dari keseluruhan penulisan skripsi ini. Di sini, penulis berusaha sekuat tenaga untuk
memahami hubungan dan perbedaan antara dialog antar agama dan pewartaan dalam Gereja
menurut dokumen Dialogue and Proclamation Art. 77, oleh karena itu, penulis membuka bab ini
dengan latar belakang dan struktur dokumen Dialogue and Proclamation. Selanjutnya penulis
akan dengan teliti memahami dan membahasakan hubungan dan perbedaan antara dialog antar
9
agama dan pewartaan, yang pada akhirnya disimpulkan sebagai dua bagian yang tidak terlepas
satu dengan yang lain dalam tugas evangelisasi Gereja. Dan biarpun berada dalam satu paket
tugas evangelisasi tetapi keduanya tetap berbeda dalam level. Bab lima, penulis akan
menyimpulkan keseluruhan pembahasan tentang dialog dan pewartaan menurut dokumen
Dialogue and Proclamation Art. 77, disertai dengan usul dari penulis untuk setiap pembaca
skripsi ini.
Download