BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Mata Pelajaran IPA Menurut Piaget dalam Dimyati dan Mudjiono (2006: 14-15), pembelajaran terdiri dari empat langkah yaitu : 1. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh siswa sendiri. 2. Memahami dan mengembangkan aktivitas khusus dengan topik tersebut. 3. Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjukkan proses pemecahan masalah. 4. Memiliki pelaksanaan terhadap kegiatan, memperhatikan kebersamaan dan melakukan revisi. Menurut Sagala (2006: 61-62) Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki oleh siswa meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang akademisnya, latar belakang sosial ekonominya, dan lain sebagainya. Kesiapan guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran Dalam pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seorang (peserta didik) mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai baru dalam suatu proses yang sistematis melalui tahapan rancangan, pelaksanaan dan evaluasi dalam konteks kegiatan belajar mengajar. IPA merupakan salah satu disiplin ilmu yang berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistemetis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. 5 Pembelajaran IPA dapat membantu peserta didik memperoleh pengalaman langsung dan pemahaman untuk mengembangkan kompetensinya agar dapat menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. IPA mengandung makna pengajuan pertanyaan, pencarian jawaban, pemahaman jawaban, penyempurnaan jawaban baik tentang gejala maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara sistematis (Depdiknas,2002a: 1). Berdasar pada definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa sains selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama lain. IPA merupakan salah satu disiplin ilmu yang berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistemetis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pembelajaran IPA dapat membantu peserta didik memperoleh pengalaman langsung dan pemahaman untuk mengembangkan kompetensinya agar dapat menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. WJS Poerwadarminto (1985 : 768) memberikan pengertiaan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan, dikerjakan dan dihasilkan. Sedangkan menurut Zainal Arifin (1988 : 3), prestasi adalah kemampuan kerampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal. Nana Sudjana (2000 : 28) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Seseorang dikatakan belajar apabila dirinya telah mengalami perubahan. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (1990 : 21) belajar adalah suatu bentuk perumusan atau perubahan dalam diri seseorang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Pendangan seorang guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi tindakan dalam membimbing siswa untuk belajar. Seorang guru yang mengartikan belajar sebagai hafalan fakta tentunya akan lain cara mengajarnya dibandingkan dengan guru lain yang mengartikan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku. Untuk itu penting artinya pemahaman guru akan pengertian belajar tersebut (Usman 1993: 5). Indikator keberhasilan/ prestasi siswa dapat dilihat melalui peningkatan nilai hasil belajar siswa ketika mengikuti pelajaran IPA. Peningkatan hasil belajar siswa akan dilihat melalui soal yang diberikan ketika dilaksanakan evaluasi pembelajaran untuk setiap siklus. 2.2 Metode Pembelajaran Deep Dialogue Deep Dialogue (dialog mendalam), dapat diartikan sebagai percakapan antara orang-orang (dialog) yang harus diwujudkan dalam hubungan yang interpersonal, saling keterbukaan, jujur dan mengandalkan kebaikan (GDI, 2001). Beberapa prinsip yang harus dikembangkan dalam Deep Dialogue , antara lain adalah: adanya Filosofi Deep Dialogue adalah melakukan penajaman-penajaman terhadap seluruh metode pembelajaran yang telah ada, baik yang bersifat konvensional maupun yang bersifat inovatif. Global Dialogue Institute (2001) mengindetifikasi ciri-ciri pembelajaran yang menggunakan Deep Dialogue , yaitu: 1) peserta didik dan Guru nampak aktif, 2) mengoptimalisasikan potensi intelligensi peserta didik, 3) berfokus pada mental, emosional dan spiritual, 4) menggunakan pendekatan dialog mendalam dan berpikir kritis, 5) peserta didik dan guru dapat menjadi pendengar, pembicara, dan pemikir yang baik, 6) dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, 7) lebih menekankan pada nilai, sikap dan kepribadian. Agar deep dialogue dapat diimplementasikan dalam pembelajaran perlu diperhatikan kaidah-kaidah deep dialogue sebagai berikut: Pertama, keterbukaan, langkah awal untuk melakukan dialog mendalam individu harus membuka diri terhadap mitra dialog, karena sifat terbuka dalam diri akan membuka peluang untuk belajar, mengubah dan mengembangkan persepsi. Dialog sebagai suatu kegiatan memiliki dua sisi yakni dalam masyarakat dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Hal ini dilakukan mengingat bahwa dialog pada hakekatnya bertujuan untuk saling berbicara, belajar dan mengubah diri masing-masing pihak yang berdialog. Kedua, kejujuran, bersikap jujur dan penuh kepercayaan diperlukan dalam deep dialogue, sebab dialog hanya akan bermanfaat manakala pihak-pihak yang melakukan bersikap jujur dan tulus. Artinya masing-masing mengemukakan tujuan, harapan, kesulitan dan cara mengatasinya melalui berpikir kritis secara apa adanya, serta saling percaya diantara mereka. Dengan demikian kejujuran merupakan prasyarat terjadinya dialog. Ketiga, kerjasama, untuk menanamkan kepercayaan antara personal, langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan menyamakan persepsi dengan cara bekerjasama dengan orang lain, selanjutnya memilih pokok-pokok permasalahan yang memungkinkan memberi satu dasar berpijak yang sama. Setelah terjadi kesamaan persepsi selanjutnya melangkah pada permasalahan umum yang dapat dihadapi bersama atau mencari solusinya. Hal ini penting karena kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama atau dengan bekerjasama akan menghasilkan pemecahan yang menguntungkan pihak-pihak yang bermasalah (win-win solution). Keempat, setiap personal harus mampu menjunjung nilai-nilai moral, deep dialogue terjadi manakala masing-masing pihak yang berdialog mampu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etis atau santun, saling menghargai, demokratis yakni dengan memperlakukan mitra dialog sedemikian rupa sehingga berketetapan hati untuk berdialog. Artinya kita paling mengetahui apa yang kita ketahui, dan mitra dialog kita paling mengerti apa yang mereka ketahui. Kelima, saling mengakui keunggulan, deep dialogue akan terjadi manakala masing-masing pihak menghadirkan hati. Dalam berdialog harus menghadirkan hati dan tidak hanya fisik. Dengan menghadirkan hati, masing-masing pihak yang berdialog dapat memberi respon kepada mitra dialog secara baik, dan tidak ada yang berkeinginan untuk mendominasi selama proses dialog berlangsung. Oleh sebab itu setiap personal harus saling mengakui keunggulan masing-masing dengan tidak menonjolkan diri sehingga akan diperoleh pemahaman bersama secara baik. Keenam, membangun empati. Jangan menilai sebelum meneliti, merupakan ungkapan yang tepat dalam membangun deep dialogue. Kita jauhkan prasangka, bandingkan secara adil. Dalam berdialog sedapat mungkin kita tidak menduga-duga tentang hal yang disetujui dan hal yang akan ditentang. Membangun empati dalam dialog mendalam pihak-pihak yang berdialog dapat menyetujui dengan tetap menjaga integritas diri mitra dialog, masyarakat dan tradisinya. Pengembangan pembelajaran berbasis deep dialogue yang diimplementasikan dalam proses pembelajaran dilakukan secara tahap demi tahap sebagaimana proses pembelajaran pada umumnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana (1997) yakni : a. Tahap pra instruksional Tahap pra instruksional merupakan tahap awal yang ditempuh pada saat memulai proses pembelajaran, antara lain melalui kegiatan: 1) Memberi kesempatan peserta didik untuk bertanya mengenai bahan pelajaran yang belum dikuasai dari pelajaran yang sudah dibelajarkan, 2) Mengajukan pertanyaan pada peserta didik mengenai bahan yang telah dibelajarkan, 3) Mengulang secara singkat semua aspek yang telah dibelajarkan. b. Tahap instruksional Merupakan tahap pemberian atau pelaksanaan kegiatan pembelajaran yakni: 1) Penyampaian materi materi, tugas dan contoh-contoh, 2) Penggunaan alat bantu untuk memperjelas perolehan belajar, 3) Serta menyimpulkan hasil pembelajaran. c. Tahap evaluasi Tahap evaluasi dan tindak lanjut adalah tahap yang diperlukan untuk mengatahui sejauh mana keberhasilan dari tahap instruksional. Model pembelajaran dengan pendekatan deep dialogue merupakan model pembelajaran yang membantu guru untuk menjadikan pembelajaran bermakna bagi peserta didik. Dalam pendekatan ini pembelajaran sedapat mungkin mengurangi pengajaran yang terpusat pada guru (teacher centered) dan sebanyak mungkin pengajaran yang terpusat pada peserta didik (student centered), namun demikian guru harus tetap memantau dan mengarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Perencanaan pembelajaran berbasis deep dialogue. Penyusunan rancangan pembelajaran berbasis deep dialogue dilakukan melalui empat tahapan utama yaitu: a. Mengembangankan komunitas (community building) Membangun komunitas belajar merupakan bagian refleksi diri guru terhadap dunia peserta didiknya. Pandangan dunia guru tentang kemampuan yang dimiliki oleh peserta didiknya menjadi bagian yang berguna dalam menyusun rancangan pembelajarannya yang bernuansa dialog mendalam dan berpikir kritis. Kegiatan refleksi ini meliputi identifikasi pengalaman guru dan pengalaman peserta didiknya, kelas belajar, dan sebagainya. b. Analisis isi (content analysis) Analisis isi adalah proses untuk melakukan identifikasi, seleksi dan penetapan materi pembelajaran. Proses ini dapat ditempuh dengan berpedoman atau mengunakan rambu-rambu materi yang terdapat dalam kurikulum/diskripsi mata pelajaran, yang antara lain standar minimal, urutan (sequence) dalam keluasan (scope) materi, kompetensi dasar yang dimiliki, serta keterampilan yang dikembangkan. Di samping itu, dalam menganalisis materi guru hendaknya juga menggunakan pendekatan nilai moral, yang subtansinya meliputi pengenalan moral, pembiasaan moral dan pelakonan moral (Depdiknas, 2000). c. Analisis latar kultural (cultural setting analysis) Analisis latar yang dikembangkan dari latar kultural dan siklus kehidupan (life cycle). Dalam analisis ini mengandung dua konsep, yaitu konsep wilayah atau lingkungan (lokal, regional, nasional dan global) dan konsep manusia berserta aktifitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan (ipoleksosbudhankam). Selain itu, analisis latar juga mempertimbangkan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang serta dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat serta kemungkinan kebermanfaatannya bagi kehidupan peserta didik. Dalam kaitan itu, analisis latar berhubungan erat dengan prinsip yang harus dikembangkan dalam mengajarkan nilai dan moral, yaitu prinsip dari mudah ke yang sukar, dari yang sederhana menjadi kompleks, dari konkrit ke abstrak, dari lingkungan sempit/dekat ke lingkungan yang meluas (Depdiknas, 2000) d. Pengorganisasian materi (content organizing) Pengorganisasian materi dalam pendekatan deep dialogue dilakukan dengan memperhatikan prinsip “4 W dan 1 H”, yaitu What (apa), Why (mengapa), When (kapan), Where (dimana) dan How (bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran , keempat prinsip ini, harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran dengan Deep Dialogue dalam menuju pengalaman nilai-nilai moral dalam upaya pemahaman konsep (concept attaintment) dan pengembanagn konsep (concept development). Kesemuanya dilakukan dengan memberdayakan metode pembalajaran yang memungkinkan peserta didik untuk ber deep dialogue. 2.3 Hakekat Belajar Suatu kegiatan belajar merupakan mencapai perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Bahkan lebih luas lagi, perubahan tingkah laku ini tidak hanya mengenai perubahan pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, dan penyesuaian diri. Belajar dalam arti yang luas ialah proses perubahan tingkah laku yang dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, dan penilaian, atau mengenai sikap dan nilai-nilai pengetahuan serta kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan. Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sardiman, (2007: 40) Keinginan atau dorongan untuk belajar inilah yang disebut motivasi. Motivasi dalam hal ini meliputi dua hal yakni: 1). Mengetahui apa yang akan dipelajari dan 2). Memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari. dengan berpijak pada kedua unsur motivasi inilah sebagai dasar permulaan yang baik untuk belajar. WJS Poerwadarminto (1985 : 768) memberikan pengertiaan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan, dikerjakan dan dihasilkan. Sedangkan menurut Zainal Arifin (1988 : 3), prestasi adalah kemampuan kerampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal. Nana Sudjana (2000 : 28) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Seseorang dikatakan belajar apabila dirinya telah mengalami perubahan. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (1990 : 21) belajar adalah suatu bentuk perumusan atau perubahan dalam diri seseorang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Pendangan seorang guru terhadap pengertian belajar akan mempengaruhi tindakan dalam membimbing siswa untuk belajar. Seorang guru yang mengartikan belajar sebagai hafalan fakta tentunya akan lain cara mengajarnya dibandingkan dengan guru lain yang mengartikan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku. Untuk itu penting artinya pemahaman guru akan pengertian belajar tersebut (Usman 1993: 5). Indikator keberhasilan/ prestasi siswa dapat dilihat melalui peningkatan nilai hasil belajar siswa ketika mengikuti pelajaran IPA. Peningkatan hasil belajar siswa akan dilihat melalui soal yang diberikan ketika dilaksanakan evaluasi pembelajaran untuk setiap siklus. 2.4 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Ida Kartika (2011) menyimpulkan bahwa pendekatan deep dialogue dalam pembelajaran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga berdampak pada peningkatan prestasi belajar. Hal ini dapat dilihat dari 1) kesiapan mengikuti pelajaran sebelum diadakan tindakan sebesar 57,99 %, di akhir putaran mencapai 78,95 %, 2) memperhatikan penjelasan guru sebelum diadakan tindakan sebesar 65,79 %, di akhir putaran mencapai 92,10 %, serta 3) mengerjakan soal latihan guru sebelum diadakan tindakan sebesar 71,05 %, pada di akhir putaran mencapai 94,74 %. Hasil tes tertulis yang dilakukan sebelum dan sesudah penelitian menunjukkan adanya peningkatan pada prestasi belajar siswa. Sebelum diberikan tindakan kelas, prestasi belajar siswa hanya mencapai daya serap 60,53 %, sedangkan di akhir tindakan prestasi belajar siswa mencapai daya serap 94,73 %. Purwiyastuti (2009) berjudul ”Penerapan Variasi Model Pembelajaran Berbasis Joyful Learning Untuk Meningkatkan Kualitas Proses Dan Hasil Belajar Matematika” dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan proses dan hasil belajar matematika melalui penerapan variasi model pembelajaran berbasis Joyful Learning. 2.5 Kerangka Pikir Kondisi awal 1. 2. 3. 4. Tindakan Pemecahan masalah dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis deep dialogue . 1. 2. 3. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Siswa ramai dan tidak fokus pada materi yang di pelajari Siswa kurang merespon pertanyaan dari guru Siswa ragu dalam menjawab pertanyaan dari guru. Nilai siswa rendah 4. Siswa fokus pada materi yang di pelajari Siswa merespon pertanyaan dari guru Siswa mampu menjawab pertanyaan dari guru. Nilai siswa meningkat 2.6 Hipotesis Tindakan Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut: “ Penggunaan Metode pembelajaran Deep Dialogue Dapat Meningkatkan Hasil Belajar IPA Pada Materi Daur Hidup Mahluk Hidup Siswa Kelas 4 SDN Kalipancur 02 Semester 1 Tahun Pelajaran 2013/20134”