1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang populasinya telah mencapai 2.632.124 ekor atau sekitar 26,92 % dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia (Lembaga penelitian IPB dan Dirjen Peternakan Republik Indonesia, 2012). Penyebaran sapi bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi sapi bali terbesar di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok, namun kemurnian sapi bali tetap dipertahankan di Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan sapi bali (P3Bali). Hardjosubroto (1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi bali termasuk sapi unggul dengan daya reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Tidaklah mengherankan apabila sapi bali merupakan sapi yang paling digemari (Talib, 2002). Jika dilihat dari bobot serta karkasnya, sapi balimemiliki bobot karkas yang tinggi serta mudah untuk digemukkan (Soesanto, 1997). Demikian pula sapi bali memiliki kualitas daging yang tidak kalah dengan sapi lain (Talib, 2002). Tetapi dengan kualitas daging yang baik, apabila dibiarkan lama setelah pemotongan akan menyebabkan autolisis. Selain menyebabkan kualitas daging menurun, autolisis juga menyebabkan gangguan dalam mendiagnosis jaringan secara histopatologi, karena autolisis memiliki ciri-ciri yang menyerupai nekrosis 1 2 seperti sel yang mengalami piknosis yang di tandai dengan hiperkromatik dengan inti sel yang mengecil, karyorheksis yang ditandai dengan inti sel yang sudah mulai pecah menjadi keping-keping dan karyolisis yang dimana sel sudah mengalami lisis dan juga disertai hilangnya batas-batas sel satu dengan sel lainnya. (Berata et al.l, 2010). Autolisis adalah penghancuran jaringan atau sel-sel dari suatu organisme oleh enzim, yang diproduksi oleh sel itu sendiri (Admadja, 1997).Autolisis juga merupakan perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzimakan mengalami proses autolisislebih cepat daripada organ-organ yang memiliki sedikit enzim (Dominick dan Vincent 1993). Pada kadaver yang dibekukan pelepasan enzim akan terhambat oleh pengaruh suhu sehingga proses autolisis ini akan berjalan lebih lambat. Demikian juga pada suhu tertentu enzim-enzim yang terdapat pada sel akan mengalami kerusakan sehingga proses autolisis akan terhambat pula (Dahlan, 2000). Organ dalam seperti paru, otot polos, otot lurik dan otot jantung mempunyai kecendrungan mengalami autolisis yang lebih lambat dibandingkan organ seperti hati, pankreas dan ginjal(Lester, 1974). Hal ini menjadi menarik untuk diteliti dimana organ yang memiliki enzim yang cukup banyak akan mengalami proses autolisis lebih cepat dibandingkan organ dalam seperi otot polos, otot lurik dan otot jantung. Hingga sampai saat ini belum ada laporan penelitian tentang tingkat autolisis otot jantung dan ginjal. 3 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Berapakah tingkat autolisis yang terjadi pada organ jantung pada sapi balidengan interval 0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam pasca pemotongan? 2. Berapakah tingkat autolisis yang terjadi pada organ ginjal pada sapi bali dengan interval 0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam pasca pemotongan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat autolisis yang terjadi pada organ jantung pada sapi balijika karkas didiamkan dalam interval waktu 0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam pasca pemotongan. 2. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat autolisis yang terjadi pada organ ginjal pada sapi bali jika karkas didiamkan dalam interval waktu 0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam pasca pemotongan. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Memperoleh informasi mengenai jumlah tingkat autolisis pada organ jantung sapi balidengan perbandingan waktu 0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam pasca pemotongan. 2. Memperoleh informasi mengenai jumlah tingkat autolisis pada organ ginjal sapi bali dengan perbandingan waktu 0, 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam pasca pemotongan. 4 3. Dapat digunakan untuk mendiagnosa kematian suatu ternak menurut waktu pasca kematian. 1.5 Kerangka Konsep Autolisis adalah penghancuran jaringan atau sel-sel oleh enzimnya sendiri.Autolisis juga merupakan perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses kimia yang disebabkan oleh enzim-enzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya dengan enzim-enzim akan mengalami proses autolisis lebih cepat daripada organ-organ yang kurang memiliki enzim (Dominick dan Vincent 1993). Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu pada kadaver yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap terjadi (Dahlan, 2000). Hogland dan braid (1987) menyatakan bahwa mikroorganisme mudah tumbuh pada jaringan/organ yang mengalami autolisis karena proses autolisis menghasilkan substansi yang digunakan oleh mikroorganisme itu sendiri sebagai sumber makanan. Proses autolisis terjadi secara bertahap dengan masing-masing jaringan memiliki kecepatan yang berbeda-beda (Berata et al, 2010). Hingga sampai saat ini belum ada laporan tentang tahapan autolisis sesuai periode waktu. Demikian pula hubungan suatu organ terutama jantung dan ginjal terhadap proses autolisis pada 0, 2, 4, 6, 10 dan 12 jam pasca pemotongan. 5 Jantung Ginjal Kondis hewan Spesies hewan Enzim intraseluler Suhu Umur Cara penyimpanan pasca pemotongan Autolisis Gambar 1.1 Kerangka Konsep Penelitian Faktor yang mempengaruhi tingkat autolisis pada jaringan/organ suatu hewan antara lain kondisi hewan (sakit/sehat), spesies hewan, cara penyimpanan jaringan/organ setelah pemotongan, kandungan enzim dalam jaringan/organ (misalnya enzim calpains dan cathepsins), faktor umur dan pembuluh darah pada jaringan/organ tersebut (Bradly dan Taylor, 1996). Oleh karena itu, autolisis pada otot jantung dan ginjal sesuai dengan tingkatan waktu yang berbeda perlu diteliti dan dipelajari untuk mengetahui tingkatan autolisis yang terjadi. Studi ini perlu dilakukan untuk melengkapi informasi mengenai pengetahuan tentang gambaran histopatologi yang berkaitan dengan autolisis pada otot jantung dan ginjal yang sampai saat ini relatif masih sangat minim pengkajiannya bahkan belum ada yang melakukan penelitian ini sebelumnya.