GAMBARAN DARAH IKAN MAS Cyprinus carpio SETELAH

advertisement
PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA
TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF
NUR AKBAR MASWAN
SKRIPSI
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA
TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF
adalah benar merupakan karya sendiri dan belum digunakan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2009
NUR AKBAR MASWAN
C14104036
RINGKASAN
NUR AKBAR MASWAN. Pengujian Efektivitas Dosis Vaksin DNA Dan
Korelasinya Terhadap Parameter Hematologi Secara Kuantitatif. Dibimbing oleh
SRI NURYATI dan AYI SANTIKA.
Ikan mas adalah ikan konsumsi air tawar yang banyak digemari oleh
masyarakat Indonesia, sedangkan ikan koi adalah jenis ikan hias yang memiliki
nilai ekonomis penting yang dibudidayakan di Indonesia karena banyak menarik
perhatian para peminat ikan hias. Namun sejak Maret 2002, pembudidaya ikan
mas dan koi di Indonesia menghadapi wabah penyakit yang serius akibat koi
herpesvirus (KHV) Upaya penanggulangan wabah KHV telah dilakukan salah
satu cara efektif adalah membuat kekebalan spesifik pada ikan dengan pemberian
vaksin. Hal ini karena vaksin dapat merangsang kekebalan spesifik dan kekebalan
yang timbul relatif tinggi. Vaksin DNA menawarkan suatu metoda imunisasi
yang menanggulangi beberapa kelemahan vaksin tradisional (vaksin hidup dan
vaksin mati) seperti resiko infeksi dan biaya yang mahal. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji pengaruh dosis vaksin DNA 2.5, 7.5 dan 12.5 µg/100µl terhadap
parameter gambaran darah ikan mas pada saat vaksinasi maupun ketika diuji
tantang dengan virus KHV. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga
Maret 2009, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat dan
Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ikan mas yang digunakan
berasal dari Cianjur, prosedur penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu: 1) persiapan wadah dan ikan uji; 2) vaksinasi melalui penyuntikan vaksin
DNA secara intramuskular dengan tiga tingkatan dosis yaitu 2.5 µg/100µl, 7.5
µg/100µl dan 12.5 µg/100µl; 3) uji tantang dilakukan pada hari ke-43 dengan
menginjeksi virus aktif dosis pengenceran 10-3, sebanyak 0,1 ml melalui
intramuskular (otot punggung) ke semua ikan uji. Paramater yang diamati adalah
gambaran darah ikan meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit,
leukosit total, hitung jenis (diferensial) leukosit, aktivitas fagositik dan identifikasi
bakteri. Pengamatan dilakukan selama masa vaksinasi (hari ke-7 – 42) dan masa
setelah uji tantang (hari ke-49 – 70).
Hasil penelitian menunjukan bahwa vaksin DNA dengan dosis 2.5, 7.5 dan
12.5 µg/100µl selama masa vaksinasi memberikan pengaruh terhadap beberapa
parameter gambaran darah ikan mas yaitu total leukosit, persentase limfosit dalam
darah dan indeks fagositik. Sedangkan pada masa uji tantang dengan virus KHV
pengenceran 10-3 parameter darah yang terlihat berpengaruh nyata adalah limfosit,
monosit dan indeks fagositik. Pada akhir pengamatan, perlakuan C (dosis12.5
µg/100µl) menunjukan persentase limfosit tertinggi, total rataan eritrosit tertinggi
dan persentase monosit yang lebih cepat turun dari kedua perlakuan dosis lainnya,
sehingga dapat disimpulkan bahwa vaksin DNA dengan dosis 12.5 µg/100µl
memberikan efektifitas (respon tanggap kebal) terbaik dibandingkan dengan
kedua dosis yang lain.
PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA
TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF
NUR AKBAR MASWAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul
: PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN
KORELASINYA
TERHADAP
PARAMETER
HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF
Nama
: Nur Akbar Maswan
Nomor Pokok : C14104036
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Sri Nuryati, M.Si
NIP :197106061995122001
Ayi Santika, M.Si
NIP : 196903131998031003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.
NIP. 196104101986011002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil’aalamin, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat
Allah Swt karena atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya Skripsi yang berjudul
“Pengujian Efektivitas Dosis Vaksin DNA Dan Korelasinya Terhadap
Parameter Hematologi Secara Kuantitatif” ini dapat diselesaikan. Penulisan
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang setulustulusnya kepada :
1. Ibu Sri Nuryati, M.Si selaku Pembimbing I serta Bapak Ayi Santika, M.Si
selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan
masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Dinar Tri Soelistyowati selaku Dosen Penguji Tamu yang telah
memberikan banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Ayahanda Bakarrudin Maswan, Ibunda Nuri Soraya, kakakku Fitria
Fithona, Farida Fatmah dan adikku Fathi Muhammad, atas kasih sayang,
doa, dukungan semangat baik moril dan materi.
4. Pak Ranta, Kang udin, mba Ana, bu Ayu atas bantuan yang diberikan.
5. Iswi Hayati, Dwi, Riki, Mauluddin, Rahman Saleh, Dani, dan Yudha atas
kebersamaan, kerjasama dan dukungannya.
6. Teman-teman BDP 41, kakak kelas BDP’40, BDP’39 dan BDP’38 adik
kelas BDP 42 atas persahabatan dan bantuan yang diberikan.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi Penulis dan juga
bagi semua pihak yang memerlukan informasi yang berhubungan dengan tulisan
ini. Amin.
Bogor, Agustus 2009
Nur Akbar Maswan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 14 Agustus 1986, adalah anak ketiga dari
empat bersaudara dari ayah bernama Bakarrudin Maswan dan ibu Nuri Soraya.
Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu SD Angkasa I Bogor, SLTPN 7
Bogor, SMUN 5 Bogor. Pada tahun 2004, Penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan tinggi ke Intitut Pertanian Bogor di Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur
melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama kuliah, Penulis pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu
Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) sebagai staf Departemen
Kewirausahawan (2005-2006). Selain itu, Penulis juga pernah menjadi Asisten
Mata Kuliah Dasar-Dasar mikrobiologi (2008/2009), Penyakit dan Parasit Ikan
(2008/2009). Dalam usaha menambah wawasan di bidang akuakultur, penulis
melakukan Praktek Pembenihan ikan patin dan Pembesaran udang galah di Loka
Riset Pemuliaan Teknologi dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, SukamandiSubang, Jawa Barat pada bulan Juli - Agustus 2007. Tugas akhir di perguruan
tinggi Penulis selesaikan dengan menulis Skripsi yang berjudul “Pengujian
Efektivitas Dosis Vaksin DNA Dan Korelasinya Terhadap Parameter
Hematologi Secara Kuantitatif”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koi Herpesvirus (KHV) ....................................................................
2.2 Hematologi........................................................................................
2.3 Sistem Pertahanan Ikan ....................................................................
2.4 Vaksin DNA .....................................................................................
3
6
8
14
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat ...........................................................................
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................
3.3 Prosedur Penelitian ...........................................................................
3.3.1 Persiapan Wadah .....................................................................
3.3.2 Persiapan Ikan Uji ...................................................................
3.3.3 Penyuntikan Vaksin DNA .........................................................
3.3.4 Penyediaan Suspensi KHV........................................................
3.3.5 Uji Tantang ...............................................................................
3.4 Metode Pengukuran Hematologi .......................................................
3.4.1 Pengambilan Darah..................................................................
3.4.2 Perhitungan Kadar Hemoglobin ...............................................
3.4.3 Perhitungan Kadar Hematokrit .................................................
3.4.4 Penghitungan Total Eritrosit ....................................................
3.4.5 Penghitungan Total Leukosit ...................................................
3.4.6 Pembuatan Preparat Ulas Darah ...............................................
3.4.7 Indeks Fagositik.......................................................................
3.5 Analisa Data .....................................................................................
18
18
18
18
18
19
19
19
19
19
20
20
20
21
21
22
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ................................................................................................
4.1.1 Total Leukosit ..........................................................................
4.1.2 Differensial Leukosit ................................................................
4.1.3 Total Eritrosit............................................................................
4.1.4 Kadar Hemoglobin ....................................................................
4.1.5 Kadar Hematokrit ....................................................................
4.1.6 Indeks Fagositik ........................................................................
4.2 Pembahasan ....................................................................................
23
23
24
28
29
30
31
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 39
5.2 Saran ............................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 40
LAMPIRAN ............................................................................................... 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Keuntungan dan Kekurangan Vaksin DNA ...............................................
15
2. Jumlah Rataan Leukosit Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi ............
23
3. Jumlah Rataan Leukosit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang .........
23
4. Persentase Rataan Limfosit Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi ........
25
5. Persentase Rataan Limfosit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang ....
25
6. Persentase Rataan Monosit Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi .......
26
7. Persentase Rataan Monosit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang ....
26
8. Persentase Rataan Neutrofil Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi .......
27
9. Persentase Rataan Neutrofil Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang ...
27
10. Jumlah Rataan Eritrosit Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi ...........
28
11. Jumlah Rataan Eritrosit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang ........
29
12. Nilai Rataan Hemoglobin Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi ........
30
13. Nilai Rataan Hemoglobin Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang ....
30
14. Nilai Rataan Hematokrit Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi ..........
30
15. Nilai Rataan Hematokrit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang .......
31
16. Nilai Indeks Fagositik Pada Setiap Perlakuan Selama Vaksinasi.............
31
17. Nilai Indeks Fagositik Pada Setiap Perlakuan Selama Uji Tantang ..........
31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hubungan tingkat dosis dengan jumlah total leukosit ikan mas pada hari
ke-21 dan 42..................................................................................................24
2. Hubungan tingkat dosis dengan persentase limfosit ikan mas pada hari
ke-28 dan 63..................................................................................................25
3. Hubungan tingkat dosis dengan persentase rataan monosit ikan mas pada
hari ke-63 ......................................................................................................26
4. Hubungan tingkat dosis dengan persentase rataan neutrofil ikan mas pada
hari ke-14 dan 63 ...........................................................................................28
5. Hubungan tingkat dosis dengan jumlah rataan eritrosit ikan mas pada hari
ke-63 .............................................................................................................29
6. Hubungan tingkat dosis dengan persentase rataan indeks fagositik ikan
mas pada hari ke-28, 35, 42, 49 dan 63 ..........................................................32
7. Sel darah pada ikan mas : Eritrosit (E), Monosit (M), Neutrofil (N),
Limfosit (L)...................................................................................................37
8. Proses fagositosis ...........................................................................................37
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kadar Hemoglobin, Kadar Hematokrit, Total Eritrosit dan Total Leukosit 44
2. Differensial Leukosit ................................................................................. 46
3. Indeks Fagositik ........................................................................................ 47
4. Hasil Uji Identifikasi Bakteri..................................................................... 48
5. Suhu Selama Uji Tantang .......................................................................... 48
6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) .............................................................. 48
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ikan mas adalah ikan konsumsi air tawar yang banyak digemari oleh
masyarakat Indonesia, sedangkan ikan koi adalah jenis ikan hias yang memiliki
nilai ekonomis penting yang dibudidayakan di Indonesia karena banyak menarik
perhatian para peminat ikan hias. Setiap tahun produksi budidaya ikan mas terus
meningkat : 56,546 metrik ton (MT) (1998), 57,278 MT (1999), 75,322 MT
(2000), 76,475 MT (2001) dan 83,885 MT (2002). 50% hasil produksi tersebut
dikontribusi dari daerah Jawa Barat (Sunarto et al. 2005). Namun sejak Maret
2002, pembudidaya ikan mas dan koi di Indonesia menghadapi wabah penyakit
yang serius akibat koi herpesvirus (KHV) (Sunarto et al. 2005).
KHV bersifat sangat menular namun terbatas menyerang ikan mas dan koi
(Cyprinus carpio), mengakibatkan mortalitas tinggi (80-95% populasi) (Sunarto et
al. 2005). Kasus ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi petani, penggemar
serta pengusaha ikan mas dan koi. Kerugian yang tercatat di Indonesia,
berdasarkan informasi yang dikumpulkan hingga bulan Desember 2003 kerugian
akibat serangan KHV mencapai Rp 100 - 150 milyar (Sunarto et al. 2005).
Patogenitas KHV sangat tinggi dan penyebarannya sangat cepat, sehingga
dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling serius dalam budidaya ikan air
tawar.
Upaya penanggulangan wabah KHV telah dilakukan dengan menggunakan
bahan kimia atau obat-obatan, namun terbukti tidak efektif. Obat-obatan tersebut
hanya membantu mengatasi infeksi sekunder oleh bakteri, fungi atau parasit.
Ketidakefektifan pengobatan tersebut dikarenakan patogenitas KHV di dalam
tubuh ikan berlangsung antar sel sehingga tidak perlu keluar sel dan masuk ke
dalam sistem sirkulasi tubuh inang untuk penyebarannya. Oleh karena itu,
diperlukan suatu alternatif lain yang dapat mengatasi masalah yang ditimbulkan
oleh penyakit virus tersebut. Salah satu cara efektif adalah membuat kekebalan
spesifik pada ikan dengan pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin dapat
merangsang kekebalan spesifik dan kekebalan yang timbul relatif tinggi.
Beberapa tahun terakhir telah ditemukan vaksin jenis terbaru yaitu vaksin
DNA. Vaksin ini mengandung satu atau lebih gen yang memberi kode sebagian
sifat antigenik suatu virus core protein atau envelope protein. Ekspresi antigen
yang terjadi di dalam sel inang yang telah divaksinasi merangsang pengaktivan
sistem kekebalan tubuh inang (Lorenzen & Lapatra 2005). Vaksin DNA
menawarkan suatu metoda imunisasi (pengebalan) yang menanggulangi beberapa
kelemahan vaksin tradisional (vaksin hidup dan vaksin mati) seperti resiko infeksi
dan biaya yang mahal (Zheng et al. 2006). DNA vaksin memiliki kelebihan dari
pada vaksin konvensional, mencakup kemampuan untuk mempengaruhi suatu
jangkauan jenis tanggapan kebal yang lebih luas (Naim 2004).
Sel dan cairan darah (plasma darah) merupakan aspek diagnosa yang
penting untuk dikaji, karena kedua aspek tersebut mempunyai peran fisiologis
yang sangat penting serta mampu menggambarkan kondisi kesehatan ikan.
Svobodova dan Vyukusova (1991) menjelaskan bahwa pemeriksaan darah dapat
membantu untuk memantapkan tujuan diagnostik, beberapa diantara tujuan
tersebut adalah untuk mengevaluasi kondisi ikan, menguji efek zat beracun pada
ikan, untuk menguji pantas tidaknya makanan untuk ikan dan mengevaluasi efek
tekanan situasi.
Nabib dan Pasaribu (1989) menjelaskan pula bahwa, suatu pemeriksaan
darah sangatlah perlu pada keadaan patologis dan kita bisa mendapatkan
pelengkap diagnosa. Susunan darah ikan merupakan faktor diagnostik penting,
sehingga perubahan gambaran darah banyak digunakan untuk menilai status
kesehatan ikan (Amrullah 2004). Pada penelitian ini, parameter hematologi yang
diamati meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit total,
hitung jenis (diferensial) leukosit dan aktivitas fagositik.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dan efektivitas dosis
vaksin DNA 2.5, 7.5 dan 12.5 µg/100µl terhadap parameter gambaran darah ikan
mas pada saat vaksinasi maupun ketika diuji tantang dengan virus KHV.
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Koi Herpesvirus (KHV)
2.1.1 Kronologis Kejadian
Serangan KHV pada ikan mas dan koi telah tersebar ke berbagai belahan
dunia sejak tahun 1998, meliputi beberapa negara seperti Amerika Serikat,
Jerman, Italia, Belanda, Israel (Gilad et al. 2003); Jepang (Sano et al. 2005); dan
sejak Maret 2002 tercatat menyerang berbagai kawasan di Indonesia (Sunarto et
al. 2005).
Di Indonesia, infeksi KHV berawal dari ikan koi yang didatangkan dari
Cina pada bulan Desember 2001 dan Januari 2002 yang masuk ke Surabaya
selanjutnya dibawa ke Blitar dan mulailah terjangkit wabah KHV yang
mengakibatkan kematian massal (80-95%). Blitar merupakan pusat budidaya ikan
koi di Indonesia. Koi yang terinfeksi KHV didistribusikan ke daerah sekitar pulau
Jawa, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jakarta yang menjadi pasar utama. Di
daerah Jawa Barat wabah KHV mulai merambah daerah Subang pada bulan April
2002 dan pada bulan Mei 2002 di waduk Cirata). Kemudian pada Februari 2003
wabah KHV mulai merambah ke daerah Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Ikan
mas di Lubuk Linggau terinfeksi KHV akibat tertular ikan mas yang didatangkan
dari waduk Cirata, Jawa Barat. Wabah menyebar ke daerah sekitar Sumatera
Selatan yaitu Bengkulu dan Jambi (Sunarto et al. 2005).
Dampak sosial-ekonomi yang diakibatkan oleh virus KHV tersebut
pertama kali terjadi daerah Blitar. Asosiasi pembudidaya ikan koi di Blitar
melaporkan bahwa pada 3 bulan pertama setelah terjadi wabah KHV (Juli 2002),
sabanyak 5000 petani ikan mengalami kerugian ekonomi yang bila ditotal
mencapai Rp 5 miliar. Sedangkan sampai bulan Desember 2003 kerugian akibat
serangan KHV mencapai Rp 100 - 150 milyar. Kerugian yang disebabkan oleh
infeksi virus ini sangat besar, sehingga untuk menanggulangi kerugian yang
diderita, para petani terpaksa menjual ikannya dengan murah. KHV merupakan
penyakit yang paling serius pada budidaya ikan air tawar karena patogenisitas
KHV sangat tinggi dan penyebarannya yang cepat (Sunarto et al. 2005).
2.1.2 Karakteristik Koi Herpesvirus
KHV merupakan penyakit viral pada ikan mas dan koi yang sangat
menular dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas antara 80 – 100% dari
populasi ikan, dengan masa inkubasi 1 – 14 hari. Individu yang bertahan hidup
sekitar 20% pada saat terjadi wabah umumnya akan menjadi tahan (resisten)
terhadap infeksi berikutnya. Namun ketahanan tersebut tidak menunjukan adanya
transfer kepada keturunannya (Taukhid et al. 2004).
Waltzek et al. (2005) menyatakan koi herpesvirus (KHV) merupakan salah
satu virus DNA dari famili Herpesviridae, dikenal juga sebagai cyprinid
herpesvirus-3 atau CyHV3. Penelitian yang dilakukan oleh Waltzek et al. (2005)
menunjukkan bukti kuat bahwa KHV tergolong virus herpes. Berdasarkan pada
morfologi dan genetikanya, KHV memiliki hubungan yang erat dengan kedua
jenis virus herpes lainnya yaitu carp pox virus( cyprinid herpesvirus-1 atau Cyhv1) dan hematopoietic necrosis herpesvirus gold fish ( cyprinid herpesvirus-2 atau
Cyhv-2).
Virus herpes merupakan virus yang berukuran besar dibandingkan dengan
virus lain. Secara morfologik, anggota virus herpes mempunyai arsitektur yang
serupa. Morfologi, sturktur virus herpes dari bagian dalam ke bagian luar terdiri
dari genom DNA untai ganda linier berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegument
dan selubung. Kapsid terdiri atas protein yang tersusun dalam simetri ikosahedral.
Menurut Miwa et al. (2007) inti sel yang terinfeksi KHV mengandung banyak
kapsid KHV dengan diameter 110 nm dan morfologi yang bervariasi. Tegumen
yang terdapat diantara kapsid dan selubung merupakan massa fibrous dengan
ketebalan bervariasi dan sering kali asimetrik (Daili dan Makes 2002).
Selubung, jika dilihat dibawah mikroskop elektron tampak seperti susunan
tiga lapis. Sebagian selubung berasal dari membran sel yang diinfeksinya. Karena
dalam selubung terkadung unsur lipid, virus herpes menjadi sensitif terhadap
pengaruh deterjen dan pelarut lipid lainnya. Selubung virion dewasa, memiliki
kisaran diameter 170 - 200 nm (Miwa et al. 2007). Dari selubung keluar tonjolantonjolan yang disebut spike yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan
virus berselubung lainnya. Tonjolan tersebut tersusun atas glikoprotein dengan
5
panjang tonjolan 8 nm. Jenis dan jumlah glikoprotein selubung virus herpes
bervariasi (Daili dan Makes 2002).
Kelompok Herpesvirus umumnya memiliki karakter yang unik, yaitu
memiliki kemampuan untuk survive latent dalam sel inang untuk jangka waktu
yang lama dan akan menjadi aktif kembali apabila ada pemicu seperti perubahan
lingkungan atau stres yang terjadi pada inang (Taukhid et al. 2004). Sejumlah
virus herpes tinggal tetap dalam bentuk laten seumur hidup induk semangnya
(Malole 1988).
Mekanisme penularan KHV umumnya terjadi melalui kontak antar ikan,
cairan dari ikan yang terinfeksi, lewat air atau lumpur yang terkontaminasi, serta
peralatan perikanan (Sunarto et al. 2005). Hal ini didukung pula oleh pendapat
Perelberg et al. (2003) bahwa partikel virus KHV masih dapat bertahan di luar
inang (dalam air) dan masih infektif sekurang-kurangnya selama 4 jam. Di sisi
lain mekanisme infeksi KHV sangat dipengaruhi pula oleh faktor suhu lingkungan
(Gilad et al. 2003).
Dalam sistem budidaya virus ini dapat menginfeksi ikan pada suhu
lingkungan yang sangat spesifik, yaitu pada suhu air 18-25oC (Ronen et al. 2003),
18-28 oC (Gilad et al. 2003). Kematian ikan terjadi sangat cepat antara 7 – 12 hari
setelah infeksi, dengan tingkat kematian 80-95% dalam waktu satu minggu sejak
gejala klinis pertama muncul (Gilad et al. 2003), atau bahkan 1-2 hari setelah
muncul gejala klinis yang pertama (Hartman et al. 2004). Namun, kematian ikan
akan menurun bahkan berhenti bila suhu berada diatas atau dibawah kisaran
toleransi suhu tersebut (Gilad et al. 2003). Kisaran suhu optimal bagi kehidupan
(replikasi) KHV yang diamati pada penelitian secara in vitro yaitu pada kisaran 15
– 25 oC dan tidak ada atau minimum replikasinya pada suhu 4, 10, 30, 37 o (Gilad
et al. 2003).
2.1.3 Gejala Klinis
Gejala klinis ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukan kondisi ikan
yang lemah, kehilangan keseimbangan dan kesulitan bernafas. Penampakan luar
yang umum terjadi yaitu pengelupasan epitelium dengan produksi mukus
berkurang dan kulit terasa kasar, pendarahan (hemoragi) pada operkulum, sirip
ekor dan perut yang disertai kerusakan pada insang (Sunarto et al. 2005).
Lebih lengkap Taukhid et al. (2004) menunjukan beberapa gejala-gejala
yang timbul pada ikan mas dan koi yang terinfeksi koi herpes virus : 1) produksi
lendir (mukus) berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen,
selanjutnya produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat, 2)
insang berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat (sebenarnya adalah
kematian sel-sel insang atau nekrosa insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis
pada ujung tapis insang dan akhirnya membusuk. Secara mikroskopis terjadi
adanya kerusakan jaringan yang serius serta kematian sel yang berat, 3)
pendarahan (hemoragi) disekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh
lainnya, 4) adanya kulit melepuh, 5) hati berwarna pucat selanjutnya menjadi
rusak, 6) ginjal (anterior dan posterior) berwarna pucat.
2.2 Hematologi
Darah ikan tersusun dari sel-sel yang tersuspensi dalam plasma dan
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup. Menurut
Takashima dan Hibiya (1995), darah tersusun atas cairan darah (plasma darah)
dan elemen-elemen seluler ( sel-sel darah). Plasma darah terdiri dari air, protein
(yakni albumin, globulin dan faktor-faktor koagualasi), lipid dan ion, adapun sel
darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit).
Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat
dan oval tergantung pada jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan
sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan giemsa (Chinabut et al.
1991). Jumlah eritrosit berbeda-beda pada berbagai spesies dan juga sangat
dipengaruhi oleh suhu, namun umumnya berkisar antara 1 - 3 juta sel/mm3
(Takashima & Hibiya 1995).
Penentuan kadar hematokrit dan hemoglobin dalam cairan darah berguna
untuk melihat kesehatan ikan serta hubungan antara darah dan hormon pada ikan.
Kadar hematokrit yaitu persentase volume sel darah merah pada ikan mas berkisar
antara 28 – 40 % (Svobodova & Vyukusova 1991). Kadar hemoglobin adalah
banyaknya hemoglobin (g) per 100cc volume darah. Hasil kadar hemoglobin yang
diperoleh untuk ikan mas adalah 6 - 10 g% (gram/100cc darah) (Svobodova &
Vyukusova 1991).
7
Sel darah putih (leukosit) ikan merupakan bagian dari sistem pertahanan
tubuh yang bersifat non-spesifik. Leukosit ikan terdiri dari granulosit dan
agranulosit. Lagler et al. (1977) mengungkapkan, bahwa agranulosit terdiri dari
limfosit, monosit dan trombosit, sedangkan granulosit terdiri dari basofil, netrofil
dan eosinofil. Moyle dan Cech (1988) menjelaskan bahwa jumlah sel darah putih
lebih rendah dibandingkan dengan sel darah merah yaitu berkisar 20.000 sel/mm3
– 150.000 sel/mm3. Perubahan nilai leukosit total dan persentase jenis leukosit
sering dijadikan petunjuk keadaan fisiologi ikan atau indikator keberadaan
penyakit pada tubuh ikan.
Limfosit adalah berupa sel darah kecil dengan nukleus yang besar
(menempati bagian terbesar dari sel) tidak bergranula dan dikelilingi sejumlah
kecil sitoplasma (Chinabut et al. 1991). Limfosit biasanya merupakan proporsi sel
darah putih terbanyak (Takashima & Hibiya 1995). Jumlah limfosit pada ikan
lebih besar dari pada mamalia dengan kepadatan 48.000 sel/mm3 (Nabib dan
Pasaribu 1989).
Menurut Svobodova dan Vyukusova (1991) kisaran limfosit
adalah 76 – 97,5 % dari total leukosit. Limfosit merupakan sel-sel respon
pertahanan tubuh terpenting, dan diklasifikasikan ke dalam 2 sub-kelas : sel B dan
sel T. Sel B mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menjadi sel plasma
yaitu sel yang memproduksi antibodi. Sedangkan sel T sangat berperan dalam
mengontrol respon imun (Takashima & Hibiya 1995).
Monosit ikan berbentuk bulat oval, intinya terletak ditengah sel dengan
sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima & Hibiya 1995). Monosit dihasilkan
dari jaringan haemapoietik dalam ginjal yang siap untuk melakukan fungsinya
dalam jaringan, kisaran jumlah monosit sebesar 3 - 5 % dari jumlah leukosit
(Svobodova & Vyukusova 1991). Monosit berkemampuan masuk ke jaringan dan
berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Peran monosit sangat penting, sebagai sel
fagosit utama untuk menghancurkan berbagai patogen penyerang dan berperan
pula sebagai antigen presenting cells (APC) yang fungsinya untuk menyajikan
antigen kepada sel limfosit (Kresno 2001).
Netrofil ikan berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagian ruang
sitoplasma (diamaeter 9-13 µm) dan terdapat granula dalam sitoplasmanya
(Chinabut et al. 1991). Seperti halnya monosit, sel netrofil berperan pula dalam
respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan
mikroorganisme penyerang (Kresno 2001). Jumlah netrofil berkisar antara 2 – 10
% dari total leukosit (Svobodova & Vyukusova 1991).
Sel dan cairan darah (plasma darah) merupakan aspek diagnosa yang
penting untuk dikaji, karena kedua aspek tersebut mempunyai peran fisiologis
yang sangat penting serta mampu menggambarkan kondisi kesehatan ikan.
Svobodova dan Vyukusova (1991) menjelaskan bahwa pemeriksaan darah dapat
membantu untuk memantapkan tujuan diagnostik, beberapa diantara tujuan
tersebut adalah untuk mengevaluasi kondisi ikan, menguji efek zat beracun pada
ikan, untuk menguji pantas tidaknya makanan untuk ikan dan mengevaluasi efek
tekanan situasi.
Nabib dan Pasaribu (1989) menjelaskan pula bahwa, suatu pemeriksaan
darah sangatlah perlu pada keadaan patologis dan kita bisa mendapatkan
pelengkap diagnosa. Susunan darah ikan merupakan faktor diagnostik panting,
sehingga perubahan gambaran darah banyak digunakan untuk menilai status
kesehatan ikan (Amrullah 2004).
Dalam penelitan hematologik ikan, parameter darah yang diukur meliputi
jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit total dan hitung jenis
(diferensial) leukosit (Nabib & Pasaribu 1989; Svobodova & Vyukusova 1991).
Rendahnya jumlah eritrosit menunjukan ikan mengalami infeksi (Nabib dan
Pasaribu 1989). Perubahan nilai leukosit total dan hitungan jenis leukosit dapat
dijadikan indikator adanya penyakit infeksi tertentu yang terjadi pada ikan (Moyle
& Cech 1988).
Lagler et al. (1977) mengatakan, bahwa kadar Hemoglobin (Hb) dalam
darah ikan berkaitan dengan jumlah eritrosit. Hemoglobin mengangkut oksigen
dalam ikatan dengan Fe (besi) dari darah. Kadar hematokrit yang abnormal dapat
dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan atau ikan
mendapat infeksi (Blaxhall 1972 dalam Anderson 1990).
2.3 Sistem Pertahanan Ikan
Ikan seperti hewan pada umumnya, memiliki mekanisme pertahanan diri
terhadap patogen. Sistem pertahanan tersebut terdiri dari sistem pertahanan
9
konstitutif dan yang diinduksi (inducible). Sistem pertahanan konstitutif
menjalankan perlindungan secara umum terhadap invasi flora normal, kolonisasi,
dan penyakit infeksi yang disebabkan oleh patogen. Sistem pertahanan konstitutif
dikenal pula sebagai sistem pertahanan innate (bawaan atau alami). Adapun
sistem pertahanan yang diinduksi atau dapatan (acquaired), maka untuk berfungsi
dengan baik harus diinduksi antara lain dengan pemaparan pada patogen atau
produk-produk yang berasal dari patogen (misal: LPS, vaksin) (Irianto 2005).
Ikan merupakan rantai penghubung antara invertebrata dan vertebrata
tingkat tinggi. Meskipun sistem imun belum selengkap pada vertebrata tinggi
tetapi jauh lebih berkembang dibandingkan sistem imun pada invertebrata (Irianto
2005). Ikan memiliki kemampuan respon imun humoral dan yang diperantai sel
(cell mediated immune respon). Selain itu pada ikan sudah mulai terdapat respon
imun spesifik terhadap antigen (immunoglobulin). Selain itu organ limfoid (organ
yang merespon antigen) serta myeloid (organ penghasil darah) menjadi satu, yaitu
pada ginjal untuk teleostei (Irianto 2005).
Pada ikan teleostei ginjal merupakan organ limfoid penting. Secara umum
ginjal ikan terdiri dari tiga bagian yaitu ginjal anterior, bagian tengah, dan
posterior. Ginjal anterior merupakan situs yang memiliki kapasitas hematopoietik
tertinggi tetapi memiliki fungsi renal yang terbatas. Pada ginjal ditemukan adanya
limfosit mirip sel B dan sel T yang menunjukan peran jaringan limfoid ginjal
dalam mekanisme pertahanan tubuh. Organ limfoid sekunder meliputi limpa dan
jaringan limfoid yang berasosiasi dengan intestinum (gut-associated lymphoid
tissue, GALT) (Irianto 2005).
Pada ikan teleostei terdapat dua macam sistem imun yaitu sistem imun
bawaan atau alamiah (innate) yang bersifat spesifik dan sistem imun dapatan
(adaptive) yang bersifat spesifik. Kedua macam sistem imun tersebut mirip
dengan sistem imun mamalia, meskipun akibat perkembangan evolusinya
menyebabkan ikan memiliki aspek imunitas yang spesifik. Perbedaan terbesar
diantara mamalia dan teleostei, yaitu pada teleostei tidak ada nodus limfatikus
serta ontogeni leukosit dan sistem imunnya sangat terpengaruh suhu karena sifat
ikan yang poikilotermal (Irianto 2005).
Sistem imun non spesifik ikan, meliputi penghalang fisik (mukus, kulit,
sisik dan insang), pertahanan humoral dan sel-sel fagositik. Penghalang fisik ikan
teleostei meliputi kulit (sisik) dan mukus (lendir). Mukus memiliki kemampuan
menghambat kolonisasi mikroorganisme pada kulit, insang dan mukosa. Mukus
ikan mengandung immunoglobulin alami, bukan sebagai respon dari pemaparan
terhadap antigen. Immunoglobulin (antibodi) tersebut dapat menghancurkan
patogen yang menginfeksi (Irianto 2005). Sedangkan sisik atau kulit merupakan
pelindung fisik yang melindungi ikan dari kemungkinan luka dan berperan dalam
mengendalikan osmoralitas tubuh. Kerusakan sisik atau kulit akan mempermudah
patogen menginfeksi inang (Irianto 2005).
Sistem imun non spesifik didukung oleh dua komponen utama yaitu
respon selular dan respon humoral (Irianto 2005). Respon selular imun non
spesifik meliputi beberapa tipe mekanisme : inflamasi, fagositosis, fagositosis
sebagai penyaji antigen (antigen presenting cells) dan non spesific citotoxic cells.
Inflamasi merupakan upaya proteksi reaksi restoratif dari tubuh sejak ikan
berusaha menjaga kondisi kestabilan sistem dari pengaruh lingkungan yang
kurang baik (Tizard 1988). Inflamasi ditandai dengan rasa sakit, pembengkakan,
kulit memerah atau peradangan, suhu tubuh naik atau kehilangan fungsi-fungsi
fisiologis. Hal tersebut merupakan respon protektif awal tubuh dalam upaya
menghalangi patogen dan menghancurkannya (Irianto 2005).
Fagositosis merupakan pertahanan pertama dari respon selular yang
dilakukan oleh monosit (makrofag) dan granulosit (netrofil). Proses fagositosis
meliputi tahap kemotaksis, tahap pelekatan, tahap penelanan dan tahap
pencernaan. Tahap kemotaksis yaitu pergerakan sel fagosit yang terarah dibawah
pengaruh rangsangan kimiawi eksternal (pelbagai produk patogen yang
menginfeksi ataupun sel yang rusak akibat infeksi patogen) (Tizard 1988).
Setelah sel fagosit bertemu dengan suatu partikel yang akan ditelannya,
partikel tersebut diikat kuat-kuat, proses ini disebut perlekatan. Sekali terpasang
kuat pada membrane sel fagosit, partikel yang melekat tampak merangsang
membran sel lokal dan aktivitas mikrotubul, yang sebaliknya menyebabkan
sitoplasma mengalir diatas dan sekitar partikel dan menelannya, proses ini disebut
penelanan. Sebuah partikel yang terkurung dalam sitoplasma sel fagosit
11
menempatkan dirinya dalam ruang yang disebut fagosom. Penghancuran partikel
terjadi bila enzim hidrolitik yang biasanya tersimpan di dalam lisosom,
dikosongkan ke dalam fagosom. Hal ini terjadi sebagai akibat granula bermigrasi
melalui sitoplasma dan bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Enzim
lisosom dapat mencernakan beberapa dinding sel bakteri, sedangkan enzim
proteolotik, mieloperoksidase, ribonuklease dan fosfolipase bersifat letal bagi
sebagian mikroorganisme (Tizard 1988).
Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit (makrofag) berperan pula dalam
mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk menstimulasi
respon sel limfosit. Partikel yang difagosit diproses dan dipresentasikan sebagai
peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan
sel fagosit (Gillund et al. 2008). T cell receptor ( TCR) mampu mengenali peptide
antigen yang dipresentesikan oleh MHC kelas I dan MHC kelas II, yang masingmasing merangsang CD 8+ T sel ( cytotoxic T sel, CTL) dan CD4+T sel (helper-T
sel) (Gillund et al. 2008).
Mekanisme lain dari pertahanan seluler adalah non spesific cytotoxic cells
(NCCs), pada mamalia dikenal sebagai sel natural killer (NK). Sel NK merupakan
subpopulasi sel limfosit yang dapat membunuh sel sasaran secara spontan tanpa
pengaktifan terlebih dahulu dan tanpa bergantung pada produk-produk MHC
(Kresno 2001). Sel NK memegang peranan penting dalam pertahanan alamiah
terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi, khususnya infeksi
virus tanpa pengaktifan sebelumnya (Kresno 2001).
Respon humoral imun nonspesifik meliputi beberapa tipe mekanisme
dalam perlawanan terhadap invasi patogen. Diantara tipe mekanisme tersebut,
komplemen dan interferon sangat berperan dalam respon pertahanan terhadap
infeksi virus (Affandi dan Tang 2002). Komplemen adalah suatu komplek enzimenzim yang terdiri atas sebelas unsur protein yang terpisah, yang terdapat dalam
serum dan diduga dibentuk oleh makrofag-makrofag. Komplemen memiliki
potensi aktivitas antimikroba melalui siat-sifat penghancurannya (Nabib dan
Pasaribu 1989). Sedangkan interferon adalah suatu polipeptida yang diproduksi
selama infeksi virus dan aktivitas antivirusnya bersifat spesifik (Affandi dan Tang
2002). Cara kerja interferon adalah dengan memasuki sel yang dapat diinfeksi
virus dan mencegah replikasi dari asam nukleus. Pada ikan pembentukan
interferon ini dipengaruhi oleh suhu (Affandi dan Tang 2002).
Sistem imun spesifik (adaptive immunity) merupakan mekanisme interaksi
antara sel limfosit dan fagosit. Respon spesifik ini diawali dengan aktifitas sel-sel
fagosit
atau
antigen
presenting
cells
(APC)
yang
memproses
dan
mempresentasikan potongan-potongan antigen pada sel-sel imun spesifik (Kresno
2001). Sel limfosit merupakan inti dalam respon imun spesifik karena sel-sel ini
merupakan sel yang mengenal berbagai antigen, baik antigen yang terdapat
intraselular maupun ekstraselular (dalam cairan tubuh ataupun dalam darah)
(Kresno 2001).
Antigen merupakan subtansi spesifik yang dapat merangsang suatu reaksireaksi kekebalan yang spesifik. Umumnya subtansi antigen tersebut berupa
molekul besar seperti protein dan polisakarida (Nabib dan Pasaribu 1989).
Pengolahan antigen merupakan proses yang penting untuk merangsang limfosit
selanjutnya, karena reseptor pada sel limfosit akan mengenali antigen berdasarkan
susunan asam amino dalam rantai peptide (bukan proteinnya) peptide antigen
hasil pengolahan akan dipresentasikan bersama-sama dengan molekul protein
MHC (major histicompatibility complex) tertentu membentuk struktur yang unik
pada permukaan sel makrofag atau APC dan dapat dikenali oleh reseptor sel T
(TcR). Pengenalan struktur ini oleh sel limfosit T, mengakibatkan sel-sel imun
berproliferasi dan berdiferensiasi, menjadi sel yang memiliki kompetensi
imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen tersebut (Kresno 2001).
Berdasarkan bentuk responnya, sistem imun spesifik pada dasarnya terdiri
dari respon imun selular yang merupakan fungsi dari sel T dan respons humoral
yang merupakan fungsi dari sel limfosit B (Kresno 2001). Respon imun selular ini
sangat diperlukan untuk melawan organisme intraselular. Sel teinfeksi dapat
dibunuh melalui sistem efektor ekstraseluler, misalnya oleh sel T sitotoksik, atau
sel terinfeksi diaktivasi agar mampu membunuh organisme yang menginfeksinya.
Sub populasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali
mikroorgnisme bersangkutan melalui MHC kelas II. Sinyal ini menginduksi
limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya adalah
interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme
13
tersebut. Sedangkan sub populasi sel T yang lain disebut T-cytotoxic (Tc)
berperan dalam menghancurkan mikroorganisme intraselular yang disajikan
melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell contact). Selain itu juga
menghasilkan gamma-interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme ke
sel-sel lain (Kresno 2001).
Respon imun humoral dilaksanakan oleh sel B dan produknya yaitu
antibodi, dan berfungsi dalam pertahanan terhadap mikroba ekstraseluler. Respon
ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu populasi sel plasma yang
memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Antibodi
memiliki kemampuan berikatan khusus dengan antigen serta mempercepat
penghancurannya (Tizard 1988). Antibodi ini berikatan dengan antigen
membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan
mengakibatkan hancurnya antigen tesebut (Kresno 2001).
Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibodi diperlukan
bantuan limfosit Th atas sinyal yang diberikan oleh makrofag. Makrofag sebagai
APC (antigen presenting cells) akan menelan antigen yang berbentuk partikel
maupun yang larut, kemudian memprosesnya dengan degradasi, denaturasi atau
modifikasi dan selanjutnya menyajikan fragmen-fragmen antigen tersebut pada
permukaan sel bersama-sama dengan MHC kelas II kepada sel T (Kresno 2001).
Pada respon imun juga berlaku respon primer yang membentuk klon sel
memori. Klon limfosit memori ini dapat mengenali antigen bersangkutan, dan
mampu menghasilkan respon imun yang lebih cepat dan lebih intensif pada
kejadian infeksi oleh patogen yang sama di kemudian hari (Kresno 2001).
Menurut Tizard (1988) sel ini hidup berbulan-bulan atau tahunan setelah
pertama kali bersentuhan dengan antigen, akibatnya bila dosis antigen kedua
diberikan kepada hewan, akan bertemu dan merangsang lebih banyak lagi sel
peka-antigen dari pada dosis yang pertama, karena itu respon imun spesifik
sekunder secara kuantitatif lebih besar dari pada respon imun spesifik primer.
Menurut Kresno (2001) pengelompokan respon imun ke dalam dua
kelompok yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik terlalu
disederhanakan karena telah dibuktikan bahwa kedua jenis respon tersebut saling
meningkatkan efektivitas dan bahwa respon imun yang terjadi sebenarnya
merupakan interaksi antara satu komponen dengan komponen yang lain yang
terdapat di dalam sistem imun. Diantara aktivitas terpadu antara kedua sistem
yang paling penting adalah : 1) respon imun bawaan (innate) terhadap mikroba
merangsang dan mempengaruhi sifat respon sistem imun didapat (acquired); 2)
sistem imun didapat menggunakan berbagai mekanisme efektor sistem imun
bawaan untuk menyingkirkan mikroba dan seringkali meningkatkan fungsi sistem
imun bawaan.
2.4 Vaksin DNA
Lebih dari 100 tahun berlalu, pengembangan dan penggunaan vaksin yang
meluas untuk "memerangi" agen infeksius telah menjadi suatu kesuksesan dalam
bidang kedokteran. Pengembangan vaksin diawali dengan kerja dari Edward
Janner pada tahun 1796, seorang dokter Inggris yang melakukan eksperimen
untuk menemukan suatu cara untuk memproteksi manusia dari serangan smallpox.
Ia melakukan hal tersebut 80 tahun sebelum Robert Koch menyatakan postulatnya
yang terkenal dengan nama Postulat Koch. Kemudian pada tahun 1880, Louis
Pasteur telah menemukan bagaimana vaksinasi dapat bekerja. Ia yang telah
menggunakan istilah vaccine untuk kultur atau biarkan dari mikroorganisme yang
tidak virulen yang digunakan untuk inokulasi preventif (Naim 2004).
Salah satu alasan untuk kesuksesan vaksinasi tersebut adalah bahwa vaksin
dapat menginduksi antibodi yang merupakan agen prinsipal dari proteksi imun
terhadap kebanyakan virus dan bakteri (Naim 2004). Semua vaksin yang ada saat
ini, apakah dipreparasi dari sel mikroorganisme utuh yang dimatikan atau
diinaktivasi, protein rekombinan, atau mikroorganisme hidup yang diatenuasi,
akan menginduksi produksi antibodi. Dengan pengecualian vaksin yang
dipreparasi dari organisme hidup yang diatenuasi, semua vaksin yang ada tidak
menginduksi imunitas seluler. Lebih lanjut, kemungkinan dari penggunaan vaksin
hidup yang diatenuasi terhadap virus yang sangat berbahaya telah meningkatkan
perhatian terhadap prosedur produksinya dan risiko yang akan diterima bila
vaksin hidup digunakan untuk imunisasi populasi yang besar (Naim 2004).
Dengan alasan tersebut, suatu pendekatan yang relatif baru terhadap
vaksinasi yang melibatkan injeksi suatu potongan DNA yang mengandung gen
15
untuk antigen mikroba tertentu masih terus diteliti dengan intensif. Suatu studi
telah melaporkan bahwa induksi respon imunitas seluler terhadap suatu peptida
dari parasit malaria Plasmodium falciparum pada manusia melalui vaksin DNA.
Hal ini meningkatkan harapan untuk kemampuan aplikasi klinis dari metode
imunisasi dengan DNA (Naim 2004).
DNA vaksinasi merupakan suatu teknik untuk melindungi suatu organisma
melawan terhadap penyakit dengan menyuntikkan konstruksi DNA untuk
menghasilkan suatu tanggapan imunologi. vaksin DNA masih bersifat percobaan,
dan telah diberlakukan bagi sejumlah model penyakit disebabkan kuman virus,
yang seperti parasit dan hasil bakteri. DNA vaksin memiliki kelebihan dari pada
vaksin konvensional, mencakup kemampuan untuk mempengaruhi suatu
jangkauan jenis tanggapan kebal yang lebih luas (Naim 2004).
Tabel 1. Keuntungan dan kekurangan vaksin DNA (Lorenzen & LaPatra
2005)
Keuntungan
Tingkat keamanan yang cukup
tinggi. vaksin tidak memiliki resiko
infeksi penyakit
Dapat digabungkan dengan adjuvant
untuk meningkatkan kemampuan
vaksin.
Mengaktivkan respon imun baik
bersifat humoral maupun selular
Kemungkinan dapat dilakukan
penggabungan beberapa jenis vaksin
(multivalent)
Tetap menghasilkan efek yang baik
ketika diberikan saat stadia awal
organisme
Proteksi timbul tidak lama setelah
vaksinasi dan juga tahan lama
Murah dan cepat dalam memperoleh
vaksin dari patogen varian baru
Biaya produksi relatif rendah dan
mudah
Kekurangan
Masih diperlukan suatu strategi baru
untuk vaksinasi secara massal
Tidak effisien terhadap semua
patogen
Ketidakjelasan berkenaan dengan
perbedaan antara vaksinasi DNA
dengan
modifikasi
genetik
organisme (Genetically Modified
Organism /GMO’s),
akibatnya
antipati sebagian masyarakat umum
terhadap produk GMO’s, besar
kemungkinan
mempengaruhi
penerimaan konsumen terhadap
vaksin DNA
Disamping memiliki kelebihan Vaksin DNA juga memiliki kekurangan,
yang diakibatkan masih terbatasnya informasi berkenaan dengan perbedaan antara
vaksinasi DNA dengan modifikasi genetik organisme (Genetically Modified
Organism /GMO’s), akibatnya antipati sebagian masyarakat umum terhadap
produk GMO’s, besar kemungkinan mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap vaksin DNA (Lorenzen & LaPatra 2005).
Dalam suatu vaksin DNA, gen untuk antigen dari mikroba tertentu diklon
ke dalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen
yang diinsersikan di dalam sel-sel hewan. Setelah diinjeksikan ke dalam suatu
hewan, plasmid akan memasuki sel hewan tersebut, tempat ia menetap dalam
nukleus sebagai suatu episom, ia tidak berintegrasi ke dalam DNA sel
(kromosom). Dengan menggunakan mesin metabolik sel hewan tersebut, DNA
plasmid dalam episom secara langsung mensintesis antigen yang dikodenya
(Naim 2004). Kemudian kode genetik virus yang telah disintesis tersebut
diekspresikan oleh sel yang mengandung kode gen virus tersebut, seperti pada gen
glikoprotein rabdhovirus yang dijadikan sebagai informasi genetik pada suatu
konstruksi vaksin DNA, setelah dimasukkan ke sel hewan dan disintesis oleh
mesin metabolik sel hewan tersebut kemudian glikoprotein virus tersebut akan
diekspresikan pada lapisan dalam dan permukaan sel hewan tersebut dimana
keadaan ini sama dengan keadaan ketika sel terserang virus yang sebenarnya
(Lorenzen & Lapatra 2005).
Dengan alasan-alasan tersebut, vaksin DNA memiliki potensial untuk
menginduksi imunitas seluler yang potensial dan mungkin bersifat long-term. Ada
suatu keterbatasan yang masih bersifat teoritis dari metode ini, yaitu bahwa sel T
sitotoksik yang diinduksi oleh vaksin mungkin akan membunuh semua sel yang
memproduksi antigen yang diimunisasi. Sebagaimana yang mungkin diharapkan
pada tahap perkembangannya, ada perhatian yang diberikan terhadap keamanan
vaksin DNA bagi manusia. Ada beberapa kekhawatiran yang mengemuka, antara
lain bahwa kemungkinan DNA dalam vektor plasmid akan berintegrasi ke dalam
genom inangnya, kemungkinan akan menginduksi tumor, atau menginduksi
terbentuknya antibodi terhadap DNA (Naim 2004).
Penelitian mengenai vaksin DNA untuk ikan tergolong baru dan beberapa
studi telah dilakukan terhadap infectious hematopoietic necrosis virus ( IHNV)
(LaPatra et al. 2001) dan limphocystis disease virus ( LCDV) (Zheng et al. 2006).
17
Anderson melaporkan aplikasi pertama teknologi vaksin DNA dilakukan untuk
merangsang respon imun ikan rainbow trout muda menggunakan plasmid yang
berisi gen glycoprotein (G) dari IHNV (Zheng et al. 2006). Studi lebih lanjut
telah menunjukkan bahwa vaksin DNA ecara perendaman maupun disuntik, pada
ikan rainbow trout ukuran 2 – 160 gram (Corbeil et al. 1999).
Pada penelitian distribusi dan eskpresi vaksin DNA melawan LCDV yang
dilakukan pada ikan Japanese flounder (Paralichthys olivaceus) menunjukan hasil
bahwa vaksin DNA yang diberikan secara intramuskular terdistribusi dan
diekspresikan pada beberapa jaringan (usus, insang, ginjal anterior, limpa, hati
dan gonad, tujuh hari setelah vaksinasi) serta berbeda persistensinya pada masingmasing jaringan. Hal ini menunjukan bahwa pemberian vaksin DNA pada
Japanese flounder telah berhasil menyediakan antigen dan memproduksi respon
kekebalan tubuh ikan (Zheng et al. 2006).
III.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2009,
bertempat di laboratorium Kesehatan Ikan, Balai Besar Pengembangan Budidaya
Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Jawa Barat dan Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah akuarium (40x40x60)cm, alat suntik
(syringe), gelas objek, gelas penutup, eppendorf, hemometer, pipet sahli, tabung
hematokrit sentrifuse, penggaris, haemacytometer tipe Neubauer, mikroskop,
kertas tisu.
Bahan yang digunakan adalah ikan mas strain wildan yang berasal dari
daerah Cianjur, minyak cengkeh, darah ikan, antikoagulan (Na-sitrat 3,8%),
larutan HCl 0.1 N, akuades, crytoseal, larutan Hayem’s, larutan Turk’s, bakteri
Staphylococcus aureus, PBS, larutan methanol, pewarna Giemsa.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan adalah akuarium (40x40x60) cm. Akuarium yang
digunakan terlebuh dahulu dibersihkan kemudian dikeringkan. Setelah itu
disemprot klorin dan dibiarkan kering udara. Akuarium diisi air setinggi 30 cm
dan diberi aerasi.
3.3.2 Persiapan Ikan Uji
Ikan uji yang digunakan adalah ikan mas strain wildan dari daerah Cianjur.
Selama beberapa hari ikan diadaptasikan terlebih dahulu sebelum perlakuan.
Jumlah ikan yang digunakan sebanyak 60 ekor per perlakuan. Kemudian jumlah
ikan dibagi 2 (masing-masing 30 ekor) pada pengamatan status kelangsungan
hidup ikan dan haematologi. Selama masa adaptasi maupun perlakuan ikan diberi
pakan berupa pelet sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore.
19
3.3.3 Penyuntikan Vaksin DNA
Penyuntikan dilakukan secara intramuskular, dengan tiga tingkatan dosis
yaitu 2.5 µg/100µl, 7.5 µg/100µl dan 12.5 µg/100µl. Adapun kelompok
perlakuannya yaitu :
Perlakuan A : Ikan disuntik dengan vaksin DNA dosis 2,5 µg/100µl
Perlakuan B : Ikan disuntik dengan vaksin DNA dosis 7,5 µg/100µl
Perlakuan C : Ikan disuntik dengan vaksin DNA dosis 12,5 µg/100µl
Kontrol (K) : Ikan kontrol positif
Setelah vaksinasi, ikan dipelihara selama 42 hari (6 minggu).
3.3.4 Penyediaan suspensi KHV
Sebanyak satu gram insang yang terinfeksi KHV digerus kemudian
disuspensikan dengan 9 ml larutan PBS. Lalu disentrifus dengan kecepatan 5000
rpm selama 30 menit dengan suhu 5 oC. Supernatan yang dihasilkan diambil dan
disaring dengan kertas milipore 0.45 µm sehingga didapat konsentrasi virus
dengan konsentrasi 20%, kemudian dilakukan pengenceran sampai 10 -3.
3.3.5 Uji Tantang
Ikan yang telah divaksin dan telah dipelihara selama 6 minggu (42 hari)
kemudian diuji tantang untuk melihat respon kekebalannya. Uji tantang dilakukan
dengan menginjeksi virus aktif dengan konsentrasi pengenceran 10-3, sebanyak
0,1 ml secara intramuskular ke semua ikan uji.
3.4 Metode Pengukuran Hematologi
3.4.1 Pengambilan Darah
Pengambilan darah dilakukan setiap seminggu sekali selama pemeliharaan
setelah vaksinasi dan uji tantang. Sebelum pengambilan darah, ikan terlebih
dahulu dibius dengan minyak cengkeh dosis 0.04 ppt. Pada pengambilan darah,
ikan diletakkan dengan kepala disebelah kiri, sebelumnya alat suntik sudah dibilas
dengan Na-sitrat sedikit, kemudian darah diambil pada bagian vena caudalis yaitu
pembuluh darah yang terletak tepat dibagian ventral tulang vertebrae (tulang
punggung). Jarum ditusukan di antara anus dan sirip anal. Lalu jarum ditarik
sedikit kemudian darah dihisap sampai batas yang diinginkan. Setelah itu alat
suntik dicabut kemudian darah ditempatkan ke dalam eppendorf.
3.4.2 Perhitungan Kadar Hemoglobin
Pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) dilakukan dengan metode Sahli yang
mengkonversi darah ke dalam bentuk asam hematin setelah darah ditambah
dengan asam klorida. Pertama darah dihidap dengan pipet sahli sampai skala 20
mm3 atau pada skala 0.02 ml, kemudian darah dipindahkan ke dalam tabung Hbmeter yang telah diisi HCl 0.1 N sampai skala 10, aduk dan dibiarkan selama 3 –
5 menit.
Setelah itu aquades ditambahkan sampai warna darah dan HCl tersebut
seperti warna larutan standar yang ada dalam Hb meter tersebut. Skala dibaca
dengan melihat permukaan cairan dan dicocokkan dengan skala tabung sahli yang
dilihat pada skala jalur gr % (kuning) yang berarti banyaknya hemoglobin dalam
gram per 100 ml darah.
3.4.3 Perhitungan Kadar Hematokrit (Chinabut et al. 1991)
Darah dihisap dengan tabung mikrohematokrit sampai mencapai ¾ bagian
tabung. Kemudian ujung tabung ditutup dengan crytoseal sedalam kira-kira 1 mm,
sehingga terbentuk sumbat crytoseal. Lalu tabung mikrohematokrit disentrifus
dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit dengan posisi tabung yang bervolume
sama berhadapan agar putaran sentrifuse seimbang. Nilai kadar hematokrit
ditentukan dengan persentase panjang bagian darah yang mengendap (a) serta
panjang total volume darah yang terdapat di dalam tabung (b) : (a/b) x 100%.
Kadar hematokrit ini mencerminkan banyaknya sel darah (digambarkan dengan
endapan/padatan) dalam cairan darah.
3.4.4 Penghitungan Total Eritrosit (Svobodova & Vyukusova 1991)
Darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah
sampai skala 0,5). Lalu tambahkan larutan Hayem’s (berfungsi untuk mematikan
sel-sel darah putih) sampai skala 101, pengadukan darah di dalam pipet dilakukan
dengan mengayunkan tangan yang memegang pipet seperti membentuk angka
delapan selama 3 – 5 menit sehingga darah tercampur rata. Setelah itu tetesan
pertama larutan darah dalam pipet dibuang, selanjutnya teteskan pada
haemacytometer tipe Neubauer kemudian ditutup dengan gelas penutup. Jumlah
sel darah merah dengan bantuan mikroskop dengan perbesaran 400 x. Jumlah
21
eritrosit total dihitung pada 5 kotak kecil haemacytometer dan jumlahnya di
hitung dengan rumus (Nabib & Pasaribu 1989) :
Jumlah eritrosit : (A/N) x (1/V) x Fp
Keterangan :
A = ∑ sel terhitung
V = volume kotak haemacytometer
N = ∑ kotak haemacytometer yang diamati
Fp = Faktor pengenceran
3.4.5 Penghitungan Total Leukosit (Svobodova & Vyukusova 1991)
Darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna putih sampai
skala 0,5. Lalu tambahkan larutan Turk’s (berfungsi untuk mematikan sel-sel
darah merah) sampai skala 11, pengadukan darah di dalam pipet dilakukan dengan
mengayunkan tangan yang memegang pipet seperti membentuk angka delapan
selama 3 – 5 menit sehingga darah tercampur rata. Setelah itu tetesan pertama
larutan darah dalam pipet dibuang, selanjutnya teteskan pada haemacytometer tipe
Neubauer kemudian ditutup dengan gelas penutup. Jumlah sel darah putih dengan
bantuan mikroskop dengan perbesaran 400 x. Jumlah leukosit total dihitung
sebanyak 5 kotak besar dan dan jumlahnya dihitung dengan rumus :
Total Leukosit = jumlah sel terhitung x 50 sel/mm3
3.4.6 Pembuatan Preparat Ulas Darah (Svobodova & Vyukusova 1991)
Sebelumnya gelas objek yang akan digunakan direndam dalam methanol
untuk menghilangkan lemak yang menempel. Pembuatan preparat ulas darah
dilakukan dengan menempatkan setetes darah pada gelas objek, gelas objek kedua
diletakan dengan suduk 45o terhadap gelas objek pertama, kemudian digeser ke
belakang sehingga menyentuh darah, kemudian gelas objek kedua digeser
berlawanan arah sehingga membentuk lapisan tipis darah. Selanjutnya preparat
dikering-udarakan kemudian difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Kemudian
preparat dibilas dengan akuades dan dikering udarakan kembali sebelum diwarnai
dengan pewarna Giemsa selama 15 menit. Lalu preparat dicuci kembali dengan
akuades untuk mengurangi kelebihan warna dan dikeringkan dengan tisu. Setelah
itu diamati di bawah mikroskop. Persentase sel-sel leukosit dihitung dengan cara
mengamati sebanyak 10 lapang pandang dan masing-masing jenis leukosit yang
terhitung dikelompokan dan dipersentasi menurut jenisnya, satuannya adalah
persen (%).
3.4.7 Indeks Fagositik
Sebanyak 50 µl darah dimasukan ke dalam mikrotiter plate, ditambahkan
50 µl suspensi Staphylococcus aureus dalam PBS (108 sel/ml), dihomogenkan dan
diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit. Setelah itu sebanyak 5 µl dibuat
sediaan ulas darah dan dikering-udarakan. Lalu difiksasi dengan metanol selama 5
menit dan dikeringkan. Kemudian direndam dalam pewarna Giemsa selama 15
menit. Lalu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tisu. Setelah itu
diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x. Jumlah sel yang
menunjukan proses fagostosis dihitung dari 100 sel fagosit yang teramati.
3.5 Analisa Data
Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan SPSS ver 15.0 untuk uji
Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%, untuk
menentukan apakah perlakuan berpengaruh nyata terhadap gambaran darah ikan.
Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji
lanjut dengan uji lanjutan Duncan. Garis regresi dibuat hanya pada perlakuan
yang berbeda nyata dan memiliki nilai korelasi yang tinggi (>0.3) untuk
mengetahui hubungan antara dosis dengan parameter hematologi.
23
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Total Leukosit
Jumlah total rata-rata leukosit dalam darah ikan mas yang dipelihara
selama 70 hari berkisar antara 27.2±6.3-127±11.3 (x103 sel/mm3) (Tabel 2 dan 3).
Nilai tertinggi dicapai pada perlakuan B (dosis 7,5 µg/100µl) yaitu 127±11.3
(x103 sel/mm3) pada hari ke-42 setelah ikan divaksinasi. Nilai terendah terdapat
perlakuan A (dosis 2,5 µg/100µl) yaitu 27.2±6.3 (x103 sel/mm3), pada hari ke-49
(seminggu setelah uji tantang). Dari analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji
lanjutan Duncan pada selang kepercayaan 95% (p<0,05), diperoleh hasil bahwa
pada masa vaksinasi perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan B pada
hari ke-21 dan 42, namun pada hari ke-28 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan
perlakuan A dan B (Tabel 2). Sedangkan setelah ikan diuji tantang (diinfeksi
KHV) jumlah rataan leukosit masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata
(Tabel 3).
Tabel 2. Jumlah Rataan Leukosit Pada Setiap Perlakuan (x 103 sel/mm3)
Selama Vaksinasi
Perlakuan
Masa Vaksinasi (hari)
7
14
21
28
35
42
ab
c
ab
43.8±15
33.6±7.5
44.8±16.1
86±4.4
82.7±4.3
100±8.5
A
35.7±18.5
44±9.1
68.1±16.1b 73.7±18.3bc 82.3±3.9
127±11.3b
B
ab
ab
58.9±2.9
42.5±7.8
54.1±9.2
52.9±31.6
90.1±36.5 101±49.7ab
C
a
a
27.6±8.2
31.3±16.7
33.7±4.4
43.6±11.6
77.5±12.2
76±9.6a
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
berbeda nyata (p<0,05)
Tabel 3. Jumlah Rataan Leukosit Pada Setiap Perlakuan (x 10 3 sel/mm3)
Selama Uji Tantang
Perlakuan
A
B
C
K
Masa Uji Tantang (hari)
49
27.2±6.3
46.5±8.4
44.2±11.1
45.9±10.1
56
36.9±10.4
32.1±17.3
33±6.9
45±12.9
63
46.7±4.5
50.5±4.5
51.9±3.1
47.7±5.1
70
57.6±1.9
H+21
y = -927.33x 2 + 13761x + 74522
R2 = 0.9904
140000
Nilai (sel/mm3)
H+42
120000
100000
80000
60000
40000
y = -522.14x 2 + 8416.2x + 31388
R2 = 0.9469
20000
0
0
2.5
5
7.5
10
12.5
15
Dosis
Gambar 1. Hubungan tingkat dosis (X) dengan jumlah total rataan leukosit
(Y) ikan mas pada hari ke-21 dan 42.
Pada gambar 1 menunjukkan peningkatan jumlah total rata-rata leukosit
dalam darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2.5, 7.5, dan
12.5 µg/100µl pada hari ke-21 dan 42 masing-masing membentuk pola kuadratik.
Nilai korelasi yang diperoleh pada hari ke-21 dan 42 masing-masing sebesar 0.97
dan 0.99 yang berarti hubungan tingkat dosis dengan jumlah total rataan leukosit
sangat tinggi. Sedangkan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh pada
pada hari ke-21 dan 42 masing-masing sebesar 0.9469 dan 0.9904. Nilai
determinasi yang didapat menunjukkan variabel dosis dapat menerangkan
variabilitas masing-masing sebesar 94.69% dan 99.04% dari variabel total
leukosit.
4.1.2 Differensial Leukosit
a. Persentase Limfosit
Pengamatan terhadap persentase jumlah limfosit dalam darah ikan mas,
menunjukan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu 95.3±2.5 %
pada hari ke 42 setelah ikan divaksinasi (Tabel 4). Nilai terendah juga terdapat
perlakuan B yaitu 75.3±9.3 %, pada hari ke-28 setelah ikan divaksinasi. Dari
analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada selang
kepercayaan 95% (p<0.05), diperoleh hasil bahwa pada masa vaksinasi perlakuan
B pada hari ke-28 berbeda nyata dengan perlakuan C (dosis 12.5 µg/100µl) dan
kontrol. Pada hari ke-63 terdapat perlakuan yang berbeda nyata antara perlakuan
C dengan ketiga perlakuan yang lain.
25
Tabel 4. Persentase Rataan Limfosit Pada Setiap Perlakuan Selama
Vaksinasi
Perlakuan
A
B
C
K
Masa Vaksinasi (hari)
7
86.7±2.1
90.7±4
91.3±1.5
90.3±1.2
14
89.7±0.6
91±3.5
92.7±2.5
87±1
21
90.3±1.5
90.7±0.6
89.7±2.1
94.3±3.1
28
85±3.5ab
75.3±9.3a
87.3±3.1b
91.3±1.5b
35
91.3±4
92±3.6
91.3±3.2
93±2.6
42
93.7±1.5
95.3±2.5
94±3.6
93.7±1.5
Tabel 5. Persentase Rataan Limfosit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji
Tantang
Perlakuan
Masa Uji Tantang (hari)
49
56
63
70
a
77.7±6.7
81±1.5
80±1
A
79.3±12 83.7±3.2 79.3±3.1a
B
80.3±3.5 86±3.5 91.3±1.5b 82.3±2.1
C
79±2.6 84.3±3.1 76.3±1.5a
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
berbeda nyata (p<0,05)
H+28
100
H+63
Rataan (%)
80
y = 0.3321x 2 - 4.5888x + 92.399
R2 = 0.9491
60
40
y = 0.1197x 2 - 0.4506x + 77.74
R2 = 0.9054
20
0
0
2.5
5
7.5
Dosis
10
12.5
15
Gambar 2. Hubungan tingkat dosis (X) dengan persentase rataan limfosit (Y)
ikan mas pada hari ke-28 dan 63
Pada gambar 2 menunjukkan peningkatan persentase rataan limfosit dalam
darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2.5, 7.5, dan 12.5
µg/100µl pada hari ke-28 dan 63 masing-masing membentuk pola kuadratik. Nilai
korelasi yang diperoleh pada hari ke-28 dan 63 masing-masing sebesar 0,97 dan
0.95 yang berarti hubungan tingkat dosis dengan persentase rataan limfosit
keduanya tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh pada pada hari
ke-28 dan 63 masing-masing sebesar 0.9491 dan 0.9054. Nilai determinasi yang
didapat menunjukkan variabel dosis dapat menerangkan variabilitas masingmasing sebesar 94.91% dan 90.54% dari variabel persentase limfosit.
b. Persentase Monosit
Pengamatan terhadap persentase rataan monosit dalam darah ikan mas,
menunjukan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 12.7±2 % pada
hari ke-49 (seminggu setelah ikan diinfeksi KHV). Nilai terendah terdapat
perlakuan B dan C yaitu 2±1 %, pada hari ke-42 setelah ikan divaksinasi. Dari
analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada selang
kepercayaan 95% (p<0,05) menunjukan pada masa vaksinasi tidak terdapat
perbedaan yang nyata antar perlakuan, namun pada masa uji tantang pada hari ke63 perlakuan C berbeda nyata dengan (p<0,05) kedua perlakuan yang lain dan
kontrol, yakni lebih rendah. Secara umum rataan persentase monosit masingmasing perlakuan cenderung meningkat seminggu setelah ikan disuntik KHV (uji
tantang), hal ini menunjukan bahwa infeksi KHV meningkatkan jumlah monosit.
Tabel 6. Persentase Rataan Monosit Pada Setiap Perlakuan Selama
Vaksinasi
Perlakuan
7
7.3±0.6
5.7±4
6±2.6
5.7±2.9
A
B
C
K
Masa Vaksinasi (hari)
14
21
28
35
7±1
6.7±3.2 4.3±3.5 3.7±2.5
6.7±3.8
6±1.7
9±4.4
4.3±1.5
5.3±2.3
6±1.7
6±5.2
5.7±3.1
6.3±2.5
3±1
4.7±0.6
5±1.7
42
2.7±1.2
2±1
2±1
2.7±1.2
Tabel 7. Persentase Rataan Monosit Pada Setiap Perlakuan Selama Uji
Tantang
Perlakuan
Masa Uji Tantang (hari)
Rataan (%)
49
56
63
70
b
11.7±7.2
10.5±3.6
11±3.6
A
12.3±10 6.3±3.2 12.3±1.5b
B
12.7±2.5 8.3±2.1
4.3±0.6a 10.7±0.6
C
10±5.6
9±1.7
9.7±0.6b
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
berbeda nyata (p<0,05)
14
12
10
8
6
4
2
0
H+63
y = -0.1434x2 + 1.4157x + 9.2111
R2 = 0.965
0
2.5
5
7.5
Dosis
10
12.5
15
Gambar 3. Hubungan tingkat dosis (X) dengan persentase rataan monosit
(Y) ikan mas pada hari ke-63
27
Pada gambar 3 menunjukkan peningkatan persentase rataan monosit dalam
darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2.5, 7.5, dan 12.5
µg/100µl pada hari ke 63 membentuk pola kuadratik. Nilai korelasi yang
diperoleh sebesar 0.98 yang berarti hubungan tingkat dosis dengan persentase
rataan monosit sangat tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh
sebesar 0.965. Nilai determinasi yang didapat menunjukkan variabel dosis dapat
menerangkan variabilitas sebesar 96.5% dari variabel persentase monosit.
c. Persentase Neutrofil
Pengamatan terhadap persentase rata-rata neutrofil dalam darah ikan mas,
menunjukan bahwa jumlah neutrofil berfluktuasi. Nilai tertinggi terdapat pada
perlakuan B yaitu 15.7±5.7% pada hari ke-28. Nilai terendah terdapat perlakuan C
dan K yaitu 2±1%, masing-masing pada hari ke-14 dan 35 setelah ikan
divaksinasi. Dari analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada
selang kepercayaan 95% (p<0.05), diperoleh hasil bahwa pada masa vaksinasi
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan A, B dan C pada hari ke-14. Pada hari ke28 perlakuan A dan B berbeda nyata dengan kontrol. Sedangkan pada hari ke-63
kontrol berbeda nyata dengan perlakuan B dan C.
Tabel 8. Persentase Rataan Neutrofil Pada Setiap Perlakuan Selama
Vaksinasi
Perlakuan
A
B
C
K
7
6±4.5
3.7±1.5
2.7±0.6
4±1.7
14
3.3±1.5a
2.3±0.6a
2±1a
6.7±1.5b
Masa Vaksinasi (hari)
21
28
3±2
10.7±1.5bc
3.3±2.1 15.7±5.7c
4.3±0.6 6.7±2.5ab
2.7±2.1
4±1.7a
35
5±2
3.7±2.3
3±2.6
2±1
42
3.7±0.6
2.7±1.5
4±2.3
3.7±0.6
Tabel 9. Persentase Rataan Neutrofil Pada Setiap Perlakuan Selama Uji
Tantang
Perlakuan
Masa Uji Tantang (hari)
49
10.7±1.2
A
8.3±5.1
B
7±2.6
C
11±3.5
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda
berbeda nyata (p<0,05)
56
63
70
8.5±3.2 9±4.6ab
10±0
8.3±1.5a
5.7±1.5 4.3±1.2a 7±0
6.7±4.7 14±1.7b
pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
Rataan %
16
14
12
10
8
6
4
2
0
H+14
y = 0.0237x 2 - 0.9652x + 13.049
R2 = 0.8807
H+63
y = 0.0528x 2 - 0.9876x + 6.2513
R2 = 0.9213
0
2.5
5
7.5
10
12.5
15
Dosis
Gambar 4. Hubungan tingkat dosis (X) dengan persentase rataan neutrofil
(Y) ikan mas pada hari ke-14 dan 63
Pada gambar 4 menunjukkan peningkatan persentase rataan neutrofil
dalam darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2,5, 7,5, dan
12,5 µg/100µl pada hari ke-14 dan 63 membentuk pola kuadratik. Nilai korelasi
yang diperoleh masing-masing sebesar 0.95 dan 0.93 yang berarti hubungan
tingkat dosis dengan persentase rataan neutrofil tinggi. Nilai koefisien determinasi
(R2) yang diperoleh masing-masing sebesar 0.9213 dan 0.8807. Nilai determinasi
yang didapat menunjukkan variabel dosis dapat menerangkan variabilitas masingmasing sebesar 92.13% dan 88.07% dari variabel persentase neutrofil.
4.1.3 Total Eritrosit
Pengamatan terhadap jumlah total rata-rata eritrosit dalam darah ikan mas
pada perlakuan yang berbeda, menunjukan bahwa nilai tertinggi terdapat pada
perlakuan C yaitu 16.8±1.6 x 105 sel/mm3 pada hari ke-70. Nilai terendah terdapat
pada kontrol yaitu 710.000 sel/mm3, pada hari ke-63. Dari analisa statistik ragam
(ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada selang kepercayaan 95% (p<0,05)
diperoleh hasil pada hari ke-63 kontrol berbeda nyata (p<0,05) dengan pelakuan
A, B dan C yakni jumlah eritrosit lebih rendah dari ketiga perlakuan.
Tabel 10. Jumlah Rataan Eritrosit Pada Setiap Perlakuan (x 10 5 sel/mm3)
Selama Vaksinasi
Perlakuan
A
B
C
K
7
14.6±1.7
11.5±2.4
12.8±4.7
15.3±3.5
14
13.8±1.6
14.3±3.0
13.1±2.7
11.8±4.8
Masa Vaksinasi (hari)
21
28
13.1±3.9 15.0±2.7
11.7±3.0 11.7±1.2
14.2±1.2
11.25.4
15.8±0.5 13.6±2.5
35
15.3±2.4
12.3±2.2
15.1±5.5
14.1±3.1
42
13.9±1.4
13.4±4.0
13.4±5.5
12.77±0.7
29
Tabel 11. Jumlah Rataan Eritrosit Pada Setiap Perlakuan (x 10 5 sel/mm3)
Selama Uji Tantang
Perlakuan
Masa Uji Tantang (hari)
Nilai (sel/mm3)
49
56
13.5±4.1 14.5±4.5
A
12.9±3.2 13.5±3.2
B
14.6±2.5 15.3±6.6
C
10.5±0.4 14.1±1
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada
berbeda nyata (p<0,05)
1600000
1400000
1200000
1000000
800000
600000
400000
200000
0
63
70
bc
12.0±0.8
10.2±0.2b
13.5±2.4c 16.8±1.6
7.1±0.9a
kolom yang sama menunjukkan pengaruh
H+63
2
y = -1629.5x + 57682x + 833819
R2 = 0.5773
0
2.5
5
7.5
10
Dosis
12.5
15
Gambar 5. Hubungan tingkat dosis (X) dengan jumlah rataan eritrosit (Y)
ikan mas pada hari ke-63
Pada gambar 5 menunjukkan peningkatan jumlah rataan eritrosit dalam
darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2.5, 7.5, dan 12.5
µg/100µl pada hari ke-63 membentuk pola kuadratik. Nilai korelasi yang
diperoleh sebesar 0.78 yang berarti hubungan tingkat dosis dengan jumlah rataan
eritrosit cukup tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh sebesar
0.5773. Nilai determinasi yang didapat menunjukkan variabel dosis dapat
menerangkan variabilitas sebesar 57.73% dari variabel total eritrosit.
4.1.4 Kadar Hemoglobin
Pengamatan terhadap nilai hemoglobin dalam darah ikan mas pada
perlakuan yang berbeda, menunjukan bahwa nilai tertinggi terdapat pada
perlakuan A yaitu 11.7±0.6 g% pada hari ke-42 setelah ikan divaksinasi. Nilai
terendah terdapat perlakuan C dan kontrol yaitu 7.1±3 g%, pada hari ke 28. Dari
analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada selang
kepercayaan 95% (p<0,05), diperoleh hasil bahwa pada masa vaksinasi yaitu pada
hari ke-42 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan pelakuan A dan B. Sedangkan
pada masa uji tantang juga tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol
dengan ketiga perlakuan dosis 2.5, 7.5 dan 12.5 µg/100µl. Nilai korelasi pada hari
ke-42 kurang dari 0.3 hal ini menunjukan hubungan tingkat dosis dengan
persentase rataan hemoglobin sangat rendah sehingga tidak dapat dibuat garis
regresi
Tabel 12. Nilai Rataan Hemoglobin Pada Setiap Perlakuan (g%) Selama
Vaksinasi
Perlakuan
A
B
C
K
7
10±1.4
9.9±0.8
7.5±1.6
8.9±1.4
14
9.3±1.6
8.9±0.6
9.9±1.5
8.9±1.2
Masa Vaksinasi (hari)
21
28
35
8.8±3.0 7.3±0.7
8±2
8.7±2.2 7.2±1.6
9±2.8
8.9±3.1
7.1±3
8.3±3.3
9.1±4.6 7.1±0.2 8.7±1.1
42
11.7±0.6b
11±0.9b
10.4±4.4ab
9.3±1.0a
Tabel 13. Nilai Rataan Hemoglobin Pada Setiap Perlakuan (g%) Selama
Uji Tantang
Perlakuan
Masa Uji Tantang (hari)
49
56
63
70
9.2±1.2 11.6±2.8 10.1±1.8
A
8.3±0.1
8.7±0.2
9.5±2.1
B
10.3±1.2
9.9±1.7
10.5±1.3
8.5±4
C
8.2±2
10.5±1
9.3±1.1
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
berbeda nyata (p<0,05)
4.1.5 Kadar Hematokrit
Pengamatan terhadap nilai hematokrit dalam darah ikan mas pada
perlakuan yang berbeda, menunjukan nilai yang berfluktuasi. Nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan B yaitu 39.3±3.1% pada hari ke-7 setelah ikan
divaksinasi. Nilai terrendah yaitu 21±6 % pada perlakuan B hari ke-63. Dari
analisa statistik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%, diperoleh hasil
bahwa pada masa vaksinasi maupun masa uji tantang tidak terdapat perlakuan
yang berbeda nyata.
Tabel 14. Nilai Rataan Hematokrit Pada Setiap Perlakuan (%) Selama
Vaksinasi
Perlakuan
A
B
C
K
7
35.2±5.8
39.3±3.1
37.3±3.8
32±1
14
27±4.5
24.5±4.7
28.7±7.5
25.3±3.5
Masa Vaksinasi (hari)
21
28
21±8.7
27.2±3.3
23±7.4
27.2±3.3
31.7±3.1
21±12
30±4.6
24.3±2.1
35
28.5±4.8
23.8±8.8
24.5±10
21.7±6.5
42
30.3±5.5
26.5±6.3
25.3±11
24.33±9
31
Tabel 15. Nilai Rataan Hematokrit Pada Setiap Perlakuan (%) Selama Uji
Tantang
Perlakuan
A
B
C
K
Masa Uji Tantang (hari)
49
29.7±5.0
27.7±2.9
30.7±5.1
23.7±9.3
56
26±2.7
27.3±4.5
30.7±2.1
28.5±4
63
26.3±5.5
21±6
30.3±7.5
23.3±2.9
70
30.2±7.5
4.1.6 Indeks Fagositik
Pengamatan terhadap nilai indeks fagositik dalam darah ikan mas pada
perlakuan yang berbeda, menunjukan nilai yang berfluktuasi. Nilai tertinggi
terdapat pada perlakuan C yaitu 24±1% pada hari ke-49 (seminggu setelah uji
tantang). Nilai terendah terdapat perlakuan kontrol yaitu 7±1%, pada hari ke-42.
Dari analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada selang
kepercayaan 95%, diperoleh hasil bahwa pada masa vaksinasi kontrol berbeda
nyata dengan ketiga perlakuan yang lain pada hari ke-28, 35, 42 dan 49.
Sedangkan pada masa uji tantang kontrol berbeda nyata dengan perlakuan A, B
dan C pada hari ke-49, namun pada hari ke-63 perlakuan C berbeda nyata dengan
perlakuan B, C dan kontrol.
Tabel 16. Nilai Rataan Indeks Fagositik Pada Setiap Perlakuan (%) Selama
Vaksinasi
Perlakuan
A
B
C
K
21
7.7±1.5
8.7±0.6
10±2
7.3±1.2
Masa Vaksinasi (hari)
28
35
42
12.7±1.5c 11.7±2.1ab 9.3±1.5b
16.7±1.5b 13.3±3.1b 10.3±0.6b
13.7±1.5b
14±1b
11±1b
a
a
8.3±1.2
8±1
7±1a
Tabel 17. Nilai Rataan Indeks Fagositik Pada Setiap Perlakuan (%) Selama
Uji Tantang
Perlakuan
Masa Uji Tantang (hari)
49
56
63
70
23±1b
19±2
17±1b
A
23.7±0.6b 20.3±1.5 18.3±1.5b
B
24±1b
17±2.6
10±1a
12.7±1.5
C
a
b
20±1
19.3±2.1 17±2.6
K
Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
berbeda nyata (p<0,05)
H+28
H+35
H+42
30
Rataan (%)
y = -0.0455x2 + 0.8437x + 20.409
25
R2 = 0.8961
H+49
H+63
y = -0.0576x2 + 1.1559x + 8.3953
R2 = 0.9551
y = -0.1278x2 + 1.1131x + 16.31
R2 = 0.9307
20
15
10
5
y = -0.1355x2 + 2.1261x + 8.2864
R2 = 0.9996
0
0
2.5
5
y = -0.0328x2 + 0.6993x + 7.2747
R2 = 0.949
7.5
Dosis
10
12.5
15
Gambar 6. Hubungan tingkat dosis (X) dengan persentase rataan indeks
fagositik (Y) ikan mas pada hari ke-28, 35, 42, 49 dan 63
Pada gambar 7 menunjukkan peningkatan persentase rataan indeks
fagositik dalam darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2,5,
7,5, dan 12,5 µg/100µl pada hari ke-28, 35, 42, 49 dan 63 membentuk pola
kuadratik. Nilai korelasi yang diperoleh masing-masing sebesar 0.99, 0.97, 0.97,
0.94 dan 0.96 yang berarti hubungan tingkat dosis dengan persentase rataan
indeks fagositik sangat tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh
masing-masing sebesar 0.9996, 0.9551, 0.949, 0.8961 dan 0.9307. Nilai
determinasi yang didapat menunjukkan variabel dosis dapat menerangkan
variabilitas sebesar 99.96%, 95.51%, 94.9%, 89.61% dan 93.07% dari variabel
indeks fagositik.
4.2 Pembahasan
Pengamatan gambaran darah ikan selama penelitian meliputi jumlah
eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit total dan hitung jenis
(diferensial) leukosit dan indek fagositik. Pemberian vaksin DNA (vaksinasi)
terhadap ikan mas memberikan pengaruh terhadap jumlah sel darah putih
(leukosit) dalam darah ikan.
Berdasarkan analisis statistik pada masa vaksinasi perlakuan kontrol
berbeda nyata dengan perlakuan B pada hari ke-21 dan 42, namun pada hari ke-28
perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan A dan B, yaitu total leukosit
kontrol lebih rendah dari kedua perlakuan tersebut (Tabel 2). Sedangkan setelah
33
ikan diuji tantang (diinfeksi KHV) jumlah rataan leukosit masing-masing
perlakuan tidak ada yang berbeda nyata (Tabel 3).
Pada tabel 2 menunjukan jumlah total rata-rata leukosit pada ikan mas
yang divaksinasi lebih besar dibanding dengan ikan kontrol dan semakin tinggi
seiring dengan bertambahnya hari. Dapat dikatakan vaksinasi meningkatkan
jumlah leukosit. Hal ini berkaitan dengan fungsi sel darah putih dalam tubuh yaitu
sebagai alat pertahanan. Namun seminggu setelah uji tantang dengan KHV (hari
ke-49), secara umum jumlah total rata-rata leukosit pada ikan mas menurun.
Penurunan ini menandakan virus KHV yang diinfeksikan ke ikan mulai
aktiv. Hal ini turut pula didukung, dari hasil pengukuran suhu harian diperoleh
kisaran suhu harian 23,5-25oC (lampiran 5), kisaran tersebut berada pada kisaran
optimum bagi kehidupan (replikasi) KHV yaitu 18-25oC (Ronen et al. 2003).
Penurunan tersebut masih berada di kisaran normal total leukosit ikan mas yaitu
20.000-150.000 sel/mm3. Diduga penurunan terjadi karena kuatnya infeksi virus,
leukosit yang ada pada pembuluh darah sangat berkurang, karena sebagian besar
leukosit bergerak maju menuju jaringan-jaringan yang terinfeksi. Hal ini
merupakan respon ikan dalam upaya mengenal dan mengingat kembali jenis virus
yang masuk.
Pengenalan terhadap virus yang menginfeksi merupakan implementasi
respon imun spesifik pada ikan. Namun seiring dengan lamanya pemeliharaan,
kembali terjadi peningkatan total sel darah putih dalam darah ikan. Peningkatan
jumlah rataan sel darah putih pada penginfeksian virus mengindikasikan bahwa
ikan memberi respon tanggap kebal terhadap adanya benda asing yang masuk ke
dalam tubuh.
Gambar 1 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan jumlah
total rataan leukosit pada hari ke-21 dan 42 berbentuk kuadratik dengan nilai
koefisien determinasi (R2) masing-masing 0.9469 dan 0.9904 menunjukkan
pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat besar terhadap perubahan total
leukosit ikan mas yakni masing-masing sebesar 94.69% dan 99.04%.
Diferensial leukosit meliputi limfosit, monosit dan neutrofil. Persentase
rataan limfosit pada hari yang sama dari hari ke 7 – 21 dan hari ke 35 - 56 tidak
berbeda nyata, sedangkan pada hari ke-28 perlakuan B berbeda nyata (p<0.05)
dengan perlakuan C dan kontrol. Tiga minggu setelah uji tantang (hari ke-63)
perlakuan C berbeda nyata (p<0.05) dengan ketiga perlakuan yang lain, dimana
perlakuan C menunjukan nilai limfosit tertinggi. Gambar 2 menunjukan garis
trend hubungan tingkat dosis dengan persentase limfosit pada hari ke-28 dan 63
berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) ) masing-masing
0.9491 dan 0.9054 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat
besar terhadap persentase limfosit ikan mas yakni masing-masing sebesar 94.91%
dan 90.54%.
Seminggu setelah uji tantang (hari ke-49), terjadi penurunan persentase
limfosit pada ikan yang divaksin maupun ikan kontrol (tidak divaksin), kemudian
pada minggu ke-2 (hari ke-56) persentase limfosit kembali meningkat. Hal ini
mengindikasikan bahwa ikan memberi respon tanggap kebal terhadap adanya
benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Diduga penurunan limfosit pada hari ke-49 menunjukan bahwa virulensi
virus pengaruhnya lebih dominan dibanding sistem pertahanan ikan pada semua
perlakuan, namun infeksi lebih kuat terjadi pada perlakuan A, B dan kontrol.
Respon imunitas ikan pada perlakuan C terlihat lebih dominan pada minggu ke-2
dan 3 setelah infeksi virus, terlihat dari peningkatan limfosit yang lebih tinggi.
Peningkatan persentase limfosit tersebut terkait dengan peran sel limfosit
sebagai sel pertahanan tubuh. Pada dasarnya sel limfosit terdiri dari dua populasi :
sel B dan sel T. Sel B mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menjadi sel
plasma yaitu sel yang memproduksi antibodi. Sedangkan sel T sangat berperan
dalam kekebalan berperantara sel (sel T sitotoksik) dan mengontrol respon imun
(sel T supresor) (Kresno 2001). Setelah terjadi pengikatan antigen dengan reseptor
antigen sel limfosit, maka sel limfosit akan membelah dan berdiferensiasi menjadi
sel efektor dan sel memori (Tizard 1988).
Persentase rataan monosit (Tabel 6) pada berbagai perlakuan selama masa
vaksinasi tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada tabel 7 menunjukan
bahwa seminggu pasca infeksi KHV persentase monosit semua perlakuan
meningkat tajam. Hal ini menunjukan infeksi KHV meningkatkan jumlah monosit
dalam darah ikan, hal ini terkait dengan peran monosit sebagai makrofag yaitu sel
fagosit utama untuk menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, serta
35
mengolah bahan asing demikian rupa sehingga bahan asing itu dapat
membangkitkan tanggap kebal (Tizard 1988).
Kemudian dua minggu pasca infeksi KHV, persentase monosit cenderung
menurun. Diduga penurunan ini disebabkan infeksi KHV mulai merusak jaringanjaringan tubuh ikan sedemikian sehingga merangsang sel monosit keluar dari
sirkulasi darah dengan menembus dinding pembuluh darah kemudian masuk ke
jaringan yang terinfeksi dengan berdiferensiasi menjadi makrofag (Affandi dan
Tang 2002), akibatnya jumlah monosit dalam pembuluh darah menurun. Pada
minggu ketiga (hari ke-63) pasca infeksi perlakuan C (dosis 12.5 µg/100µl)
berbeda nyata dengan ketiga perlakuan yang lain (perlakuan A, B dan kontrol)
yaitu lebih rendah, dimana persentase rataan monosit pada perlakuan A, B dan
kontrol kembali meningkat.
Gambar 3 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan
persentase monosit pada hari ke-63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.965 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang
diuji sangat besar terhadap perubahan persentase monosit ikan mas yaitu sebesar
96.5%. Pada gambar tersebut menunjukan perlakuan C memiliki persentase yang
lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan A, B dan kontrol hal ini
mengindikasikan pada perlakuan A, B dan kontrol infeksi KHV semakin
mengganas, sehingga monosit masih diproduksi untuk melawan infeksi virus
ataupun infeksi sekunder oleh bakteri, sedangkan pada perlakuan C infeksi KHV
dapat ditekan, sehingga produksi monosit tidak diperlukan, atau juga dapat diduga
bahwa sistem pertahanan tubuh ikan pada perlakuan C tetap bekerja dengan baik,
dimana sebagian besar monosit masih melakukan migrasi dari pembuluh darah
menuju ke sel-sel yang terinfeksi virus dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag
yang berperan dalam memfagosit dan menyajikan antigen kepada sel limfosit.
Persentase neutrofil perlakuan B pada hari ke-28 berbeda nyata (p<0,05)
dengan perlakuan C dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A.
Peningkatan jumlah netrofil pada perlakuan B bahkan melebihi kisaran normal
persentase netrofil ikan mas yaitu 2 – 10%. Hal ini disebabkan oleh adanya infeksi
bakteri yang terjadi pada minggu keempat setelah vaksinasi.
Pada hari ke-63 (minggu ke-3 pasca infeksi KHV) perlakuan kontrol yang
berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan B dan C, tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan A. Perlakuan kontrol dan A memiliki persentase neutrofil lebih
tinggi dari kisaran normal. Hal ini diduga akibat infeksi KHV yang semakin
virulen yang menyebabkan terjadinya penurunan kondisi tubuh sehingga terjadi
infeksi sekunder oleh bakteri (Puspitaningtyas 2006). Hasil identifikasi bakteri
(lampiran 4) yang diisolasi dari ginjal menunjukan bakteri yang menyerang adalah
Aeromonas sp. identifikasi bakteri merujuk pada Cowan (1974). Takashima dan
Hibiya (1995) mengatakan bahwa fungsi neutrofil adalah untuk menahan serangan
atau infeksi bakteri. Menurunnya jumlah neutrofil dalam darah disebabkan
neutrofil sudah melakukan aktivitas fagositik di dalam sel dan neutrofil berumur
pendek (Tizard 1988).
Gambar 4 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan
persentase neutrofil pada hari ke-14 dan 63 berbentuk kuadratik dengan nilai
koefisien determinasi
(R2)
masing-masing
sebesar
0.9213
dan 0.8807
menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji cukup besar terhadap
perubahan persentase neutrofil ikan mas, baik sebelum maupun sesudah uji
tantang dengan virus KHV.
Jumlah rataan sel darah merah (eritrosit) dalam darah ikan mas pada
masing-masing perlakuan, menunjukan tidak berbeda nyata pada hari yang sama
dari hari ke-7 sampai hari ke-56. Sedangkan pada hari ke-63 jumlah rataan
eritrosit pada kontrol berbeda nyata (p<0,05) dengan pelakuan A, B dan C.
Rendahnya
jumlah
rataan
eritrosit
pada
kontrol
(710.000
sel/mm3),
mengindikasikan virulensi KHV semakin mengganas, diduga telah terjadi
pendarahan (hemoragi) yang cukup parah disekitar pangkal dan ujung sirip serta
permukaan tubuh lainnya. Selain itu ada kemungkinan organ penghasil darah
(hemopoietik) ikan yaitu ginjal telah mengalami kerusakan.
Gambar 5 menunjukan garis tren hubungan tingkat dosis dengan jumlah
total rataan eritrosit pada hari ke-63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.5773 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang
diuji terhadap perubahan total eritrosit ikan mas hanya 57.73% sedangkan sisanya
dipengaruhi oleh faktor lain.
37
E
N
L
M
Gambar 7. Sel Darah Pada Ikan Mas : Eritrosit (E), Monosit (M), Neutrofil
(N), Limfosit (L). bar = 10 μm
a
b
c
Gambar 8. Proses fagositosis (F) pada : a = Monosit; b = Neutrofil;
c = Limfosit, bar = 10 μm
Kadar hemoglobin (Hb) pada masing-masing perlakuan menunjukan nilai
yang fluktuatif, namun jumlahnya masih berada dalam kisaran kadar Hb normal
ikan mas (6 - 10 g%). Pada tabel 13 menunjukan seminggu pasca infeksi virus.
Kadar Hb pada masing-masing perlakuan cenderung menurun. Diduga hal ini
disebabkan kadar oksigen dalam darah menurun. Ikan yang terserang KHV akan
sulit mendapatkan oksigen karena produksi lendir di insang yang berlebih dan
terjadi nekrosis pada insang.
Nilai hematokrit dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda,
menunjukan nilai yang berfluktuasi. Secara umum tidak terdapat perbedaan yang
nyata pada masing-masing perlakuan di hari yang sama. Namun bila dilihat pada
tabel 15, pasca infeksi KHV perlakuan C terlihat memberikan respon peningkatan
hematokrit yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini
menggambarkan bahwa sistem pertahanan pada ikan perlakuan C mampu
merespon lebih baik terhadap infeksi KHV dibanding perlakuan yang lain.
Nilai indeks fagosistik pada hari 28, 35, 42 dan 49 menunjukan terdapat
perbedaan yang nyata (p<0,05) antara perlakuan kontrol dengan ketiga perlakuan
yang lain. Nilai indeks fagositik perlakuan kontrol lebih rendah dibanding ketiga
perlakuan yang lain. Dapat dikatakan nilai indek fagositik pada ikan yang
divaksinasi lebih tinggi dibanding yang tidak divaksinasi. Selain itu, seminggu
setelah ikan diinfeksi KHV, cenderung terjadi peningkatan nilai indeks fagositik.
Hal ini menunjukan terjadi peningkatan kekebalan tubuh.
Gambar 6 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan indeks
fagositik pada hari ke-28, 35, 42 dan 63 berbentuk kuadratik dengan nilai
koefisien determinasi (R2) masing-masing sebesar 0.9996, 0.9551, 0.949, 0.8961
dan 0.9307 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat besar
terhadap perubahan nilai indeks fagositik ikan mas, baik sebelum maupun sesudah
uji tantang dengan virus KHV.
Pola peningkatan persentase indeks fagositik ini adalah fungsi dari
peningkatan total leukosit maupun persentase jenis darah leukosit masing-masing
pada limfosit, monosit dan neutrofil. Proses fagositosis (gambar 8) terhadap
bakteri Staphylococcus aureus menunjukan terjadinya tahapan dari proses
fagositosis. Pada proses tersebut meliputi tahap kemotaksis, tahap pelekatan,
tahap penelanan dan tahap pencernaan (Tizard 1988).
Nilai
indeks
fagositik
yang
tinggi
pada
perlakuan
vaksinasi
menggambarkan pula bahwa proses fagositosis yang terjadi dengan cepat
berkontribusi dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk
merangsang respon sel limfosit (Santika 2007). Partikel antigen yang difagosit,
diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan
molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Sub populasi sel T yang
disebut sel T-helper (Th) akan mengenali mikroorganisme bersangkutan melalui
MHC kelas II. Sinyal ini menginduksi sel limfosit untuk memproduksi berbagai
jenis limfokin, termasuk diantaranya adalah interferon yang dapat membantu
makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Disamping itu pengikatan
MHC kelas II dengan sel Th akan memberi sinyal supaya sel limfosit B
berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk antibodi (Kresno 2001).
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penggunaan vaksin DNA dengan dosis 2.5, 7.5 dan 12.5 µg/100µl selama
masa vaksinasi memberikan pengaruh terhadap beberapa parameter hematologi
yaitu total leukosit, persentase limfosit dalam darah dan indeks fagositik.
Sedangkan pada masa uji tantang dengan virus KHV pengenceran 10-3 parameter
darah yang terlihat berpengaruh nyata adalah limfosit, monosit dan indeks
fagositik. Pada akhir pengamatan, perlakuan C (dosis 12.5 µg/100µl) menunjukan
persentase limfosit tertinggi, total rataan eritrosit tertinggi dan persentase monosit
yang lebih cepat turun dari kedua perlakuan dosis lainnya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa vaksin DNA dengan dosis 12.5 µg/100µl memberikan
efektifitas (respon tanggap kebal) terbaik dibandingkan dengan kedua dosis yang
lain.
5.2 Saran
Diperlukan suatu kajian mengenai penambahan dosis vaksin DNA untuk
mengetahui dosis optimum vaksin, sehingga diperoleh respon kekebalan tubuh
ikan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Pekanbaru.
Amrullah. 2004. Penggunaan Imunostimulan Spirulina platensis Untuk
Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Koi (Cyprinus carpio) Terhadap
Virus Herpes [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Anderson DP. 1990. Immunological indicators: effects of environmental stress on
immune protection and disease outbreaks. Di dalam: Adams, SM, editor.
Biological Indicators of Stress in Fish. American Fisheries Symposium 8.
hlm 38-35.
Chinabut S, Limsuwan C, Katsuwan. 1991. Histology of Walking Catfish Clarius
batracus. IDRC, Canada. 96ps.
Corbeil S, Lapatra SE, Anderson ED, Jones J, Vincent B, Hsu YL, Kurath G,
1999. Evaluation of the protective immunogenicity of the N, P, M, NV and
G proteins of infectious hematopoietic necrosis virus in rainbow trout
Oncorhynchus mykiss using DNAvaccines. Dis. Aquat. Org. 22;39 (1),
29–36.
Cowan ST . 1974. Manual For The Identification of Medical Bacteria. Second
Edition. Cambrigde University Press
Daili SF dan Makes WI. 2002. Infeksi Virus Herpes. Fakultas Kedoteran
Universitas Indonesia. Kelompok Studi Herpes Virus. Jakarta
Gilad O, Yun S, Adkison MA, Way K, Willits NH, Bercovier H, Eldar A and
Hedrick RP. 2003. Molecular comparison of isolates of an emerging fish
pathogen, koi herpesvirus and effect of water temperature on mortality of
experimentally infected koi. Journal of General Virology 84: 2661-2668
Gillund F, Dalmo R, Tonheim TC, Seternes T and Mhyr AI. 2008. DNA
vaccination in aquaculture, Expert judgments of impacts on environment
and fish health. . Elsevier. Journal of Aquaculture 284 : 25-34
Hartman KH, Yanong RPE, Petty BD, Francis-Floyd R, Riggs AC. 2004. Koi
Herpes Virus (KHV) Disease, Universitas of Florida, IFAS Exten. Fact
Sheet VM-149.
Hibiya T and Takashima F. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and
Pathological Feature. Second Edition. Takashima F. Kodansha Ltd
Tokyo. 195 hlm.
41
Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada Universitas Press,
Yogyakarta. 256 hlm.
Kresno SB. 2001. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ketiga.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Lagler KF, Bardach JE, Miller RR and Paxino DRM. 1963. Ichtyology. Jhon
Willey and Sons inc. New York. 295 ps.
LaPatra SE, Corbeil S, Jones GR, Shewmaker WD, Lorenzen N and Anderson
ED. 2001. Protection of rainbow trout against infectious hematopoietic
necrosis virus four days after specific or semi-specific DNA vaccination.
Vaccine 19 : 4011–4019.
Lorenzen N and LaPatra SE 2005. DNA Vaccines for Aquacultured Fish. Rev Sci
Tech supl 24 : 201-213.
Miwa S, Ito T and Sano M. 2007. Morphogenesis of koi herpesvirus observed by
electron microscopy. Journal of Fish Diseases 30: 715–722.
Moyle PB and Chech JJ. 1988. Fishes: An Introduction to Ichtyology. PrenticeHall Inc. A Division of Salmon and Schuster Englewood Cliffs, New
Jersey. 597 ps.
Malole MB. 1988. Virologi. Pusat Antar Universitas IPB.
Nabib R dan Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor .
Naim R. 20 Juli 2004. Molecular Medicine: Vaksin DNA. Kompas:
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0407/20/ilpeng/1153089.htm [14
April 2009]
Perelberg A, Smirnov M, Hutoran M, Diamant A, Bejerano M and Kotler M.
2003. Epidemiological description of a new viral disease afflicting
cultured Cyprinus carpio in Israel. The Israeli Journal of Aquaculture 55 :
5-12.
Pokorova D, Vesely T, Piackova V, Reschova S and Hulova J. 2005. Current
knowledge on koi herpesvirus (KHV): a review. Vet. Med. – Czech, 50
(4): 139–147.
Purwanto A. 2006. Gambaran Darah Ikan Mas Cyporinus carpio Yang Terinfeksi
Koi Herpes Virus. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Puspitaningtyas D. 2006. Potensi Ekstrak Bawang Putih Allium sativum Untuk
Menginaktivasi Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Mas Cyprinus carpio.
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor.
Ronen A, Pereberg A, Abramowitz J, Hutoran M, Tinman S, Bejerano L, Steinitz
M and Kotler M. 2003. Efficient vaccine against the virus causing a lethal
disease in culture Cyprinus carpio. Elsevier. Vaccine Journal 21 : 46774684.
Sano M, Ito T, Kurita J, Miwa S and Iida T. 2005. Diagnosis of koi herpesvirus
(KHV) disease in Japan. Bulletin of Fisheries Research Agency, Supl 2 :
59-64.
Santika A. 2007. Efektivitas Suplementasi Kromium-Ragi (Cr3+) Untuk
Meningkatkan Ketahanan Tubuh Ikan Mas Terhadap Virus Herpes Pada
Suhu Rentan KHV. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Sunarto A, Rukyani A and Itami T. 2005. Indonesian experience on the outbreak
of koi herpes virus in koi and carp (Cyprinus carpio). Bulletin of Fisheris
Research Agency, Tokohama, Japan. 86 : 15-21.
Svobodova Z, Vyukusova B. 1991. Diagnostik, Prevention and Therapy of Fish
Disease and Intoxication. Research Institute of fish Culture and
Hydrobiology
Vodnany
Czechoslovakia.
http//www.fao.org/fi/website/firetriveaction.do?dom=topic&fid=16064&la
ng=en [22 April 2009]
Taukhid, Sunarto A, Koesharyani I, Supriyadi H, Gaedenia L. 2004. Strategi
pengendalian penyakit koi herpes virus (KHV) pada ikan mas dan koi.
Makalah seminar pengendalian penyakit koi herpes virus (KHV) pada
budidaya ikan air tawar. Bogor
Tizard I. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Ed ke-2. Partodirejo M,
Hardjosworo S, penerjemah; Surabaya: Airlangga University Press.
Terjemahan dari: An Introduction to Veterinary Immunology.
Waltzek BT, Kelley GO, Stone DM, Way K, Hanson L, Fukuda H, Hirono I, Aoki
T, Davidson AJ and Hedrick RP. 2005. Koi herpesvirus represent a third
cyprinid herpesvirus (CyHV-3) in the family Herpesviridae. Journal of
General Virology 86: 1689-1667
Zheng FR, Sun XQ, Liu HZ, Zhang JX. 2006. Study on the distribution and
expression of a DNA vaccine against lymphocystis disease virus in
japanese flounder (Paralichthys olivaceus). Aquaculture 26: 1128-1134.
43
Lampiran 1. Kadar Hemoglobin, Kadar Hematokrit, Total Eritrosit dan Total Leukosit
sampel
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
K1
K2
K3
Hb
(g%)
11,6
9
9,4
10
10,6
9
6
9,2
7,4
9
6,6
11
Ht
29
40,5
36
36
42
40
39
33
40
33
31
32
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
K1
K2
K3
8
7.2
6.6
6
6.6
9
7.2
8.2
6
7
7.4
7
31
25
25.5
31
25
25.5
20
31
12
26
22
25
7
Total
eritrosit
1370000
1660000
1360000
880000
1220000
1340000
1030000
990000
1830000
1150000
1610000
1830000
28
1240000
1490000
1780000
1220000
1250000
1030000
1020000
1070000
850000
1390000
1600000
1100000
Total
leukosit
42150
29500
59600
14350
46200
46650
60950
60150
55450
24850
36900
21150
Hb
(g%)
9
7,8
11
9,2
8,2
9,2
11
10,4
8,2
8,6
7,8
10,2
81000
87900
89100
74650
54950
91450
43550
55150
59950
55550
32300
43000
8
10
6
5.8
11
10.2
6
9
10
8.2
10
8
Sampling hari ke14
Total
Ht
eritrosit
23,5
1560000
23
1340000
31
1240000
22,5
1780000
20
1220000
29
1300000
33
1620000
33
1170000
20
1140000
25
1740000
22
900000
29
910000
35
33
1480000
29
1790000
23.5
1320000
14
1020000
31
1460000
26.5
1200000
21
980000
27
1650000
25.5
1900000
15
1550000
22
1630000
28
1050000
Total
leukosit
42100
28050
30700
33700
47500
50900
47250
46650
33450
50550
22000
21350
Hb
(g%)
12
6
8,4
8,5
11
6,7
8,3
7,4
11,2
9,4
8,4
9,6
Ht
27
11
25
31,5
18
19,5
29
31
35
31
25
34
86750
83200
78150
77800
83800
85250
75700
84450
110250
63450
84950
84050
11.2
12.4
11.4
11.4
10
11.6
10.4
10.6
10.2
9.8
10
8.2
34
33
24
33
26
20.5
22
34
20
30
29
14
21
Total
eritrosit
1750000
1010000
1170000
1320000
1380000
830000
1460000
1510000
1290000
1630000
1530000
1580000
42
1240000
1520000
1420000
1800000
1150000
1060000
860000
1340000
1330000
1330000
1200000
1300000
Total
leukosit
27350
47950
59100
74250
80100
49800
62550
44350
55500
35550
36850
28750
92300
109250
99800
125950
139300
116800
90950
77100
135250
70950
87050
69850
45
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
K1
K2
K3
9.1
10.4
8
8.2
8.4
8.4
9
11
11
10
8.5
6
29
35
25
26
31
26
25
32
35
30
28
13
C1
C2
C3
4
10
11.6
35
34
21.5
49
910000
1720000
1420000
1280000
1620000
990000
1530000
1180000
1670000
1100000
1030000
1020000
70
1840000
1520000
1690000
26100
21550
33950
53500
48800
37100
52700
48300
31600
55050
47400
35100
55750
59700
57400
11.6
14.4
8.8
8.8
8.8
8.4
10.4
11.2
8
11
9.4
11.2
29
25
24
32
23
27
29
33
30
33
27
25.5
56
1160000
1970000
1210000
1150000
940000
1560000
1160000
2300000
1140000
1440000
1620000
1470000
27300
47950
35350
26600
18300
51500
35050
25250
38650
49800
30300
54800
8
11
11.2
11.2
10
7.2
9.4
10.2
12
10.8
11.4
13
20
29
30
21
27
15
26
26
39
20
25
25
63
1250000
1240000
1110000
1040000
1000000
1020000
1140000
1290000
1610000
660000
650000
820000
42250
46400
51350
46750
55500
49350
48350
53550
53750
43500
46200
53450
Lampiran 2. Differensial Leukosit
a. Persentase Limfosit
Perlakua
n
A
Ulanga
n
1
2
3
rata2
B
1
2
3
rata2
C
1
2
3
rata2
K
1
2
3
rata2
7
86
89
85
86.6
7
93
86
93
90.6
7
91
90
93
91.3
3
91
89
91
90.3
3
14
89
90
90
89.6
7
87
93
93
91
95
90
93
92.6
7
87
88
86
87
Masa Vaksinasi
21
28
35
90
87
89
92
81
96
89
87
89
90.3
91.3
85
3
3
91
78
91
90
83
89
91
65
96
90.6 75.3
92
7
3
89
90
95
88
88
89
92
84
90
89.6 87.3 91.3
7
3
3
97
91
91
95
90
96
91
93
92
94.3 91.3
93
3
3
42
94
95
92
93.6
7
98
93
95
95.3
3
95
97
90
94
95
94
92
93.6
7
Masa Uji Tantang
49
56
63
70
82
83
80
81
80
81
70
82
79
77.6
81
80
7
75
85
80
93
80
82
70
86
76
79.3 83.6 79.3
3
7
3
84
90
80
90
77
84
83
93
80
84
84
91
80.3
91.3 82.3
86
3
3
3
81
85
75
76
81
76
80
87
78
84.3 76.3
79
3
3
b. Persentase Monosit
Perlakua
n
A
Ulanga
n
1
2
3
rata2
B
1
2
3
rata2
C
1
2
3
rata2
K
rata2
7
4
9
9
7.33
3
5
10
2
5.66
7
5
9
4
6
1
2
3
4
9
4
5.66
7
Masa Vaksinasi
14
21
28
35
6
9
1
6
7
3
8
1
8
8
4
4
6.66 4.33 3.66
7
7
3
7
11
5
8
4
4
5
6
6
5
8
13
3
6.66
4.33
6
9
7
3
4
7
3
3
8
7
3
5
4
4
12
9
5.33
5.66
6
6
3
7
6
2
4
6
4
3
5
3
9
4
5
6
6.33
4.66
3
5
3
7
42
2
2
4
2.66
7
1
3
2
2
2
1
3
2
2
2
4
2.66
7
Masa Uji Tantang
49
56
63
70
8
12
12
7
14
14
20
7
7
11.6
10.5
11
7
11
5
12
3
10
11
23
4
14
12.3 6.33 12.3
3
3
3
10
6
11
5
13
9
11
4
15
10
10
4
12.6 8.33 4.33 10.6
7
3
3
7
4
10
10
15
7
9
11
10
10
9.66
10
9
7
47
c. Persentase Neutrofil
Perlakua
n
A
Ulanga
n
1
2
3
rata2
B
6
1
2
3
2
4
5
3.66
7
4
1
3
2.66
7
5
2
5
rata2
C
1
2
3
rata2
K
7
10
2
6
1
2
3
rata2
4
14
5
3
2
3.33
3
2
3
2
2.33
3
1
2
3
2
7
8
5
6.66
7
Masa Vaksinasi
21
28
35
1
12
5
5
11
3
3
9
7
10.6
3
5
7
4
14
5
5
11
5
1
22
1
3.33 15.6 3.66
3
7
7
4
7
2
5
9
6
4
4
1
4.33 6.66
3
3
7
1
5
3
2
5
1
5
2
2
2.66
4
2
7
42
4
3
4
3.66
7
1
4
3
2.66
7
3
2
7
4
3
4
4
3.66
7
Masa Uji Tantang
49
56
63
10
5
8
12
6
5
10
11
14
10.6
8.5
9
7
14
10
8
4
10
7
7
10
10
8.33
8.3
10
3
33
6
4
5
10
7
3
5
6
5
5.66 4.3
7
7
33
15
5
15
9
12
15
9
3
12
6.66
11
14
7
Lampiran 3. Indeks Fagositik
Perlakukan
A
B
C
K
Ulangan
1
2
3
R
1
2
3
R
1
2
3
R
1
2
3
R
Masa sebelum infeksi (hari)
21
28
35
42
9
11
10
8
8
14
14
9
6
13
11
11
7.67 12.67 11.67 9.33
9
18
14
10
8
17
16
10
9
15
10
11
8.67 16.67 13.33 10.33
10
14
15
10
8
12
14
11
12
15
13
12
10
13.67
14
11
8
9
8
7
6
7
7
6
8
9
9
8
7.33
8.33
8
7
Masa uji tantang (hari)
49
56
63
70
23
21
16
24
19
17
22
17
18
23
19
17
24
22
18
23
20
17
24
19
20
23.67
20.33 18.33
23
15
9
14
25
20
10
11
24
16
11
13
24
17
10
12.67
20
21
14
21
20
19
19
17
18
20
19.33
17
70
9
6
6
7
Lampiran 4. Hasil Uji Identifikasi Bakteri
Uji identifikasi
Pewarnaan Gram
Uji O/F (Oksidatif/Fermentatif)
Uji Katalase
Uji Motilitas
Uji Oksidase
Uji Gelatin
Bakteri
Hasil
Gram negatif
Fermentatif
+
+
+
Aeromonas sp
Lampiran 5. Suhu Selama Uji Tantang (oC)
Minggu ke-1
Hari
kePagi Sore
1
24
25
2
24
25
3
24
25
4
24
25
5
23.5 25
6
24
25
7
24
25
Minggu ke-2
Hari ke8
9
10
11
12
13
14
Pagi Sore
24
25
24
25
24
25
23.5 25
23.5 25
23.9 25
24 24.5
Minggu ke-3
Hari
kePagi Sore
15
23.5 24.5
16
23.5 25
17
23.8 24.8
18
24
25
19
23.8 24.8
20
23.5 24.5
21
23.5 24.8
Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA)
a. Total Eritrosit
ANOVA
sdm1
Between Groups
Within Groups
Total
sdm2
sdm3
sdm4
Sum of Squares
272691666666.667
861800000000.000
df
3
Mean Square
90897222222.222
8 107725000000.000
1134491666666.667
11
Between Groups
105133333333.333
3
Within Groups
846533333333.333
8 105816666666.667
Total
951666666666.667
11
Between Groups
262700000000.000
3
87566666666.667
Within Groups
516866666666.667
8
64608333333.333
Total
779566666666.667
11
Between Groups
470466666666.666
Within Groups
327200000000.000
8
Total
797666666666.667
11
173025000000.000
3
862266666666.667
8 107783333333.333
sdm5 Between Groups
Within Groups
F
Sig.
.844 .507
35044444444.444
3 156822222222.222
.331 .803
1.355 .324
3.834 .057
40900000000.000
57675000000.000
.535 .671
49
Total
sdm6
sdm7
sdm8
sdm9
1035291666666.667
11
Between Groups
77225000000.000
3
25741666666.667
Within Groups
526066666666.667
8
65758333333.333
Total
603291666666.667
11
Between Groups
270425000000.000
3
90141666666.667
Within Groups
665466666666.667
8
83183333333.333
Total
935891666666.667
11
Between Groups
188466666666.667
3
Within Groups
1511400000000.000
Total
1699866666666.667
62822222222.222
.391 .763
1.084 .410
.333 .802
8 188925000000.000
11
Between Groups
676625000000.000
3 225541666666.667 12.319 .002
Within Groups
146466666666.667
8
Total
823091666666.667 11
18308333333.333
sdm9
Duncan
N
perlakuan
4
2
Subset for alpha = .05
1
3
2
710000.00
3
1
3
1
1020000.0
0
1200000.0
0
1200000.0
0
3
1346666.6
3
7
Sig.
1.000
.142
.221
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
b. Total Leukosit
ANOVA
Sum of Squares
1594870833.333
df
3
Within Groups
1296128333.333
8
Total
2890999166.667 11
sdp1 Between Groups
sdp2 Between Groups
Within Groups
Total
sdp3 Between Groups
Mean Square
F
Sig.
531623611.111 3.281 .080
162016041.667
360651666.667
3
120217222.222 1.007 .438
955143333.333
8
119392916.667
1315795000.000 11
1904854166.667
3
634951388.889 4.090 .049
Within Groups
1241888333.333
8
155236041.667
Total
3146742500.000 11
sdp4 Between Groups
3350457291.667
3
Within Groups
1118785000.000
8
Total
4469242291.667 11
sdp5 Between Groups
Within Groups
1116819097.222 7.986 .009
139848125.000
245495000.000
3
81831666.667
1009665000.000
8
126208125.000
.648 .606
Total
1255160000.000 11
sdp6 Between Groups
3965870625.000
3
Within Groups
2431015000.000
8
Total
6396885625.000 11
sdp7 Between Groups
Within Groups
Total
762200625.000
3
671766666.667
8
1321956875.000 4.350 .043
303876875.000
254066875.000 3.026 .094
83970833.333
1433967291.667 11
sdp8 Between Groups
309083958.333
3
103027986.111
Within Groups
1245061666.667
8
155632708.333
Total
1554145625.000 11
sdp9 Between Groups
52788333.333
3
17596111.111
Within Groups
153591666.667
8
19198958.333
Total
206380000.000 11
sdp3
Duncan
N
perlakuan
4
Subset for alpha = .05
1
3
2
33716.67
1
1
3
44800.00
44800.00
3
3
54133.33
54133.33
2
3
68050.00
Sig.
.090
.060
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
sdp4
Duncan
N
perlakuan
4
Subset for alpha = .05
1
3
3
3
3
2
1
Sig.
2
43616.67
52883.33
3
52883.33
73683.33
1
73683.33
3
86000.00
.365
.063
.238
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
sdp6
Duncan
N
perlakuan
4
1
3
2
Sig.
Subset for alpha = .05
1
3
3
3
3
2
75950.00
100450.00
101100.00
1
100450.00
101100.00
127350.00
.129
.107
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
.662 .598
.917 .475
51
c. Kadar Hemoglobin
ANOVA
Hb1
Hb2
Hb3
Hb4
Hb5
Hb6
Sum of Squares
11.707
df
3
Mean Square
3.902
Within Groups
20.080
8
2.510
Total
31.787 11
Between Groups
Between Groups
2.010
3
.670
Within Groups
13.227
8
1.653
Total
15.237 11
Between Groups
.289
3
.096
Within Groups
36.280
8
4.535
Total
36.569 11
Between Groups
.037
3
.012
Within Groups
8.560
8
1.070
Total
8.597 11
Between Groups
1.743
3
.581
Within Groups
34.773
8
4.347
Total
36.517 11
Between Groups
Within Groups
Total
Hb7
Hb8
Hb9
8.827
3
2.942
4.373
8
.547
Between Groups
8.833
3
2.944
Within Groups
13.747
8
1.718
Total
22.580 11
Between Groups
13.587
3
4.529
Within Groups
23.280
8
2.910
Total
36.867 11
Between Groups
8.303
3
2.768
Within Groups
20.987
8
2.623
Total
29.290 11
Duncan
N
3
2
1
Sig.
.405 .753
.021 .995
.011 .998
.134 .937
5.382 .025
13.200 11
Hb6
perlakuan
4
F
Sig.
1.555 .274
Subset for alpha = .05
1
3
2
9.3333
3
10.4000
3
3
1
10.4000
11.0000
11.6667
.115
.079
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
1.714 .241
1.556 .274
1.055 .420
d. Kadar Hematokrit
ANOVA
Ht1 Between Groups
Sum of Squares
88.729
df Mean Square
F
Sig.
3
29.576 2.031 .188
Within Groups
116.500
Total
205.229 11
Ht2 Between Groups
8
14.563
36.750
3
12.250
Within Groups
220.667
8
27.583
Total
257.417 11
Ht3 Between Groups
.444 .728
244.250
3
81.417 2.022 .189
Within Groups
322.167
8
40.271
Total
566.417 11
Ht4 Between Groups
77.417
3
25.806
Within Groups
235.000
8
29.375
Total
312.417 11
Ht5 Between Groups
73.229
3
24.410
Within Groups
304.833
8
38.104
Total
378.062 11
Ht6 Between Groups
62.063
3
20.688
Within Groups
414.500
8
51.813
Total
476.563 11
Ht7 Between Groups
7.000
3
2.333
Within Groups
280.000
8
35.000
Total
287.000 11
Ht8 Between Groups
Within Groups
Total
Ht9 Between Groups
35.229
3
11.743
94.833
8
11.854
.878 .492
.641 .610
.399 .757
.067 .976
.991 .445
130.063 11
86.250
3
28.750
Within Groups
292.667
8
36.583
Total
378.917 11
.786 .535
e. Limfosit
ANOVA
Sum of Squares
df
Mean Square
39.583
3
48.667
8
88.250 11
13.194
6.083
2.169 .170
51.583
3
17.194
3.497 .070
4.917
Total
39.333
8
90.917 11
Between Groups
39.583
3
13.194
Within Groups
Total
32.667
8
4.083
Limfosit1
Between Groups
Limfosit2
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Limfosit3
72.250 11
F
Sig.
3.231 .082
53
Limfosit4
Limfosit5
Between Groups
416.250
3
138.750
Within Groups
220.000
8
27.500
Total
636.250 11
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Limfosit7
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Between Groups
Within Groups
Total
Limfosit9
1.861
11.667
.160 .921
6.917
3
30.000
8
36.917 11
2.306
3.750
.615 .624
10.917
3
3.639
.070 .974
413.333
8
424.250 11
51.667
28.917
68.000
390.250
3
30.000
8
420.250 11
Duncan
N
Subset for alpha = .05
1
3
3
3
3
2
75.33
85.00
1
85.00
87.33
91.33
.054
.194
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
3
4
Sig.
Limfosit9
Duncan
N
Perlakuan
4
2
1
3
Subset for alpha = .05
1
3
2
76.33
3
3
79.33
80.00
3
1
91.33
.057
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Sig.
3
8
9.639
8.500
1.134 .392
96.917 11
Between Groups
Within Groups
Total
Limfosit4
Perlakuan
2
1
3
8
98.917 11
Limfosit6
Limfosit8
5.583
93.333
5.045 .030
130.083 34.689 .000
3.750
f. Monosit
ANOVA
Monosit1 Between Groups
Sum of Squares
5.667
Within Groups
80.000
Total
85.667 11
Monosit2 Between Groups
4.667
3
1.556
8
6.750
Total
58.667 11
.230 .873
24.250
3
8.083 1.865 .214
Within Groups
34.667
8
4.333
Total
58.917 11
40.667
3
13.556 1.030 .430
Within Groups
105.333
8
13.167
Total
146.000 11
Monosit5 Between Groups
6.667
3
2.222
Within Groups
42.000
8
5.250
Total
48.667 11
Monosit6 Between Groups
Within Groups
Total
1.333
3
.444
9.333
8
1.167
57.583
3
19.194
Within Groups
445.333
8
55.667
Total
502.917 11
Monosit8 Between Groups
33.333
3
Within Groups
61.333
8
Total
94.667 11
Monosit9 Between Groups
110.667
3
32.000
8
Within Groups
Total
142.667 11
Monosit9
Duncan
N
Subset for alpha = .05
1
2
3
.423 .742
.381 .770
10.667 11
Monosit7 Between Groups
2
Sig.
F
Sig.
.189 .901
10.000
54.000
Monosit4 Between Groups
4
1
8
Within Groups
Monosit3 Between Groups
Perlakuan
3
df Mean Square
3
1.889
1
4.33
3
9.67
3
3
11.00
12.33
1.000
.156
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
.345 .794
11.111 1.449 .299
7.667
36.889 9.222 .006
4.000
55
g. Neutrofil
ANOVA
Neutrofil1
Neutrofil2
Neutrofil3
Between Groups
Sum of Squares
17.583
Within Groups
47.333
Total
64.917 11
Between Groups
40.917
3
Within Groups
12.000
8
Total
52.917 11
Between Groups
Within Groups
Total
Neutrofil4
Total
Neutrofil8
4.667
3
1.556
26.000
8
3.250
.479 .706
77.417 7.038 .012
88.000
8
11.000
14.250
3
4.750 1.096 .405
Within Groups
34.667
8
4.333
Total
48.917 11
Between Groups
3.000
3
1.000
Within Groups
20.000
8
2.500
Total
23.000 11
Between Groups
35.000
3
11.667
Within Groups
114.667
8
14.333
Total
149.667 11
.400 .757
.814 .521
Between Groups
63.000
3
21.000 1.938 .202
Within Groups
86.667
8
10.833
149.667 11
Between Groups
Total
95.583
3
57.333
8
152.917 11
Neutrofil2
Duncan
N
4
Sig.
1.500
3
Within Groups
Perlakuan
3
2
1
13.639 9.093 .006
320.250 11
Total
Neutrofil9
5.917
232.250
Neutrofil5 Between Groups
Neutrofil7
8
F
Sig.
.991 .445
30.667 11
Between Groups
Within Groups
Neutrofil6
df Mean Square
3
5.861
Subset for alpha = .05
1
2
1
3
3
2.00
2.33
3
3
3.33
6.67
.237
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
31.861 4.446 .041
7.167
Neutrofil4
Duncan
N
Perlakuan
4
Subset for alpha = .05
1
2
3
3
3
1
3
4.00
6.67
3
2
1
6.67
10.67
10.67
3
15.67
Sig.
.354
.178
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
.102
Neutrofil9
Duncan
N
Perlakuan
3
2
1
4
Subset for alpha = .05
1
2
3
3
3
3
1
6.33
8.33
9.00
9.00
14.00
Sig.
.276
.051
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000
h. Indeks Fagositik
ANOVA
IF3 Between Groups
Within Groups
Total
IF4 Between Groups
Within Groups
Total
IF5 Between Groups
Within Groups
Total
IF6 Between Groups
Within Groups
Total
IF7 Between Groups
Within Groups
Total
IF8 Between Groups
Within Groups
Total
Sum of Squares
12.917
16.000
Df
3
8
28.917 11
107.000
3
16.667
8
123.667 11
64.917
31.333
Mean Square
4.306
2.000
F
Sig.
2.153 .172
35.667 17.120 .001
2.083
3
8
21.639
3.917
5.525 .024
96.250 11
27.583
3
9.194
7.881 .009
9.333
8
36.917 11
30.000
3
6.667
8
36.667 11
17.583
1.167
10.000 12.000 .002
.833
3
5.861
35.333
8
52.917 11
4.417
1.327 .332
57
IF9 Between Groups
Within Groups
128.250
22.667
Total
3
8
42.750 15.088 .001
2.833
150.917 11
IF4
Duncan
N
Perlakuan
4.00
Subset for alpha = .05
1
3
1.00
2
8.3333
3
3
3.00
2.00
3
12.6667
13.6667
3
Sig.
1.000
.421
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
IF5
Duncan
N
Perlakuan
4.00
1.00
Subset for alpha = .05
1
2.00
3.00
Sig.
3
2
8.0000
3
11.6667
11.6667
.053
13.3333
14.0000
.203
3
3
1
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
IF6
Duncan
N
Perlakuan
4.00
1.00
Subset for alpha = .05
1
3
3
3
3
2.00
3.00
2
7.0000
1
9.3333
10.3333
11.0000
Sig.
1.000
.107
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
IF7
Duncan
N
Perlakuan
4.00
1.00
2.00
3.00
Subset for alpha = .05
1
3
3
3
3
2
20.0000
1
23.0000
23.6667
24.0000
1.000
.234
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Sig.
1
16.6667
1.000
IF9
Duncan
N
Perlakuan
3.00
1.00
4.00
2.00
Sig.
Subset for alpha = .05
1
3
2
10.0000
1
3
3
17.0000
17.0000
3
18.3333
1.000
.379
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
Download