BAB V KESIMPULAN Penyebaran agama Katolik di Sumatera Utara sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Namun karena minimnya pengetahuan mengenai kebudayaan Batak dan medan misi yang sulit agama Katolik pada awalnya sulit berkembang. Usaha untuk menyebarkan agama Katolik di Sumatera mulai membuahkan hasil ketika terbentuk Prefektur Apostolik Sumatera yang berkedudukan di Padang pada 30 Juni 1911. Perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara tidak terlepas dari peran misionaris Protestan dan perkebunan. Misionaris Katolik Belanda datang ke Tanah Karo bukan untuk mencari keuntungan finansial melainkan untuk menyebarkan agama Katolik. Misionaris bekerja tanpa kepastian gaji yang tetap dan pendanaan misi masih bergantung dari Propinsial Kapusin Belanda. Pada awal kedatangan misonaris Belanda, masyarakat Karo masih memeluk agama sipemena. Oleh karena itu karya misi dilakukan dengan melakukan pendekatan dengan masyarakat. Misionaris berusaha untuk menjadi bagian dari masyarakat Karo. Salah satu cara yang ditempuh para misionaris adalah mengubah status kependudukan Belanda menjadi warga negara Indonesia dan mengambil salah satu marga di Karo. Status sebagai orang Karo dan kemampuan dalam berbahasa 76 Karo memudahkan misionaris dalam menyebarkan agama Katolik. Para Misionaris Belanda aktif mengunjungi pusat-pusat keramaian dan bersikap ramah serta terbuka. Para Misionaris Belanda sering berkeliling pasar dan mengunjungi desa-desa. Para Misionaris dibantu Suster Fransiskanes Dongen juga berusaha memperbaiki mental masyarakat Karo melalui jalur pendidikan. Para Misionaris dan Suster Fransiskanes Dongen mendirikan sekolah-sekolah yang berbasis pada nilai-nilai Katolik dengan melibatkan peran serta umat. Umat Katolik di Karo mengalami peningkatan setelah tahun 1965. Gereja Katolik banyak melakukan aksi-aksi sosial dan memberikan bantuan kepada masyarakat Karo yang sedang ketakutan karena peristiwa G 30 S. Gereja Katolik menunjukkan perhatian terhadap kondisi sosial dan mulai membangun kondisi yang porak-poranda. Hal itu mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat Karo. Pada saat itu banyak masyarakat Karo memberi diri dibabtis dan mengikuti kepercayaan Katolik. Peningkatan agama Katolik juga didukung dengan dikeluarkanya peraturan pemerintah tentang kewajiban memeluk salah satu dari lima agama yang ditetapkan. Kebijakan ini membuat sebagian besar masyarakat Karo memilih agama Kristen dan Katolik Ada banyak perubahan besar yang terjadi setelah berkembanganya Katolik di Tanah Karo. Pertama adalah pembangunan sekolah-sekolah yang berbasis agama Katolik. Pendidikan merupakan jalur penyebaran agama Katolik sekaligus membentuk karakter dan mental masyarakat. Pendidikan Katolik di sekolah-sekolah 77 juga menjadi salah satu alat bagi para misionaris untuk mengajarkan nilai-nilai kekatolikan kepada masyarakat Karo. Kedua adalah pengajaran kepada guru agama dan katekis. Memberikan pengajaran untuk menjadi guru agama adalah salah satu langkah untuk membantu kerja para misionaris dalam mengenalkan kekatolikan di sekolah-sekolah sedangkan katekis untuk melayan di gereja, lingkungan, dan stasi. Misionaris Katolik yang berkarya di Tanah Karo tahun 1942 sampai 1970an sebagian besar merupakan misionaris Belanda. Alasan pertama agama Katolik merupakan agama baru untuk masyarakat Karo dan perayaan ekaristi di gereja hanya bisa dipimpin oleh seorang pastor. Kedua, struktur kepemimpinan Gereja Katolik berbentuk hierarki, yang berpusat di Vatikan, Italia. Semua urusan dan izin untuk melakukan misi (penyebaran agama Katolik) diatur oleh pusat. Untuk daerah Sumatera Utara penyebaran agama Katolik ditugaskan kepada Kapusin Belanda. Ketiga, selama kurun waktu 1942 sampai 1970an masih minimnya minat masyarakat Karo untuk menjadi seorang pastor dan suster. Akan tetapi ada juga yang saat itu sedang dalam proses belajar menjadi seorang pastor dan pastor-pastor itulah kelak setelah tahun 1970an menggantikan para pastor Belanda. Orang Karo pertama yang berhasil menjadi pastor adalah Pastor Elias Semangat Sembiring yang ditahbiskan pada tanggal 6 Juli 1977.