BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia dan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia dan Permasalahannya
Dewasa akhir (late adulthood) atau lanjut usia, biasanya merujuk pada tahap
siklus kehidupan yang dimulai pada usia 65 tahun. Ahli gerontologi membagi
lanjut usia menjadi dua kelompok: young-old, berusia 65-74 tahun; dan old-old,
berusia 75 tahun ke atas. Kadang-kadang digunakan istilah oldest old untuk
merujuk pada orang-orang yang berusia 85 tahun ke atas (Sadock & Sadock,
2007).
Idealnya seorang lansia dapat menjalani proses menua secara normal
sehingga dapat menikmati kehidupan yang bahagia dan mandiri. Menurut Rowe &
Kahn, proses penuaan yang sukses merupakan suatu kombinasi dari tiga
komponen:
(1)
penghindaran
dari
penyakit
dan
ketidakmampuan;
(2)
pemeliharaan kapasitas fisik dan kognitif yang tinggi di tahun-tahun berikutnya;
dan (3) keterlibatan secara aktif dalam kehidupan yang berkelanjutan (Hoyer &
Roodin, 2003).
Masalah-masalah yang berhubungan dengan usia lanjut adalah masalah
kesehatan – baik kesehatan fisik maupun mental, masalah sosial, masalah
ekonomi, dan masalah psikologis. Menurut Gottlieb dalam Goldman (2000),
banyak orang menghadapi proses penuaan dengan keprihatinan. Di banyak
negara, penuaan dikaitkan dengan ketidakmampuan, defisit kognitif, dan
kesendirian (Hoyer & Roodin, 2003). Menurut Setiati, Harimurti, dan Roosheroe
(2006), proses menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan:
kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata pencaharian, kehilangan
teman dan keluarga.
Ketika manusia semakin tua, mereka cenderung untuk mengalami masalahmasalah kesehatan yang lebih menetap dan berpotensi untuk menimbulkan
ketidakmampuan. Kebanyakan lansia memiliki satu atau lebih keadaan atau
ketidakmampuan fisik yang kronis (Papalia, Olds, dan Feldman, 2003). Masalah
Universitas Sumatera Utara
kesehatan kronik yang paling sering terjadi pada lansia adalah artritis, hipertensi,
gangguan pendengaran, penyakit jantung, katarak, deformitas atau kelemahan
ortopedik, sinusitis kronik, diabetes, gangguan penglihatan, varicose vein (Sadock
& Sadock, 2007).
Ketidakmampuan fungsional yang merupakan akibat dari beberapa penyakit
medis yang terjadi bersama-sama dan ketidakmampuan ortopedik dan neurologik
pada lansia merupakan suatu kehilangan yang besar. Dalam Blazer (2003)
disebutkan bahwa ketidakmampuan fisik tampaknya membawa jumlah kejadian
hidup negatif yang lebih tinggi. Ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan
keterbatasan untuk melakukan aktivitas sosial atau aktivitas di waktu luang
(leisure activities) yang bermakna, isolasi, dan berkurangnya kualitas dukungan
sosial.
Dalam Goldman (2000) disebutkan bahwa berbagai kehilangan dan kejadian
hidup yang merugikan merupakan penentu utama penyakit-penyakit psikiatrik
pada
lansia.
Kehilangan
teman-teman
dan
orang-orang
yang
dicintai
menyebabkan terjadinya isolasi sosial. Kehilangan anak, atau yang lebih sering,
kehilangan pasangan merupakan faktor risiko penting untuk depresi mayor,
hipokondriasis, dan penurunan fungsi.
Lansia lebih mudah untuk mengalami isolasi sosial. Dalam Hoyer & Roodin
(2003) disebutkan bahwa lansia memiliki jaringan dukungan sosial yang lebih
kecil daripada orang yang lebih muda, dan jaringan ini didominasi oleh sanak
saudara.
Menurut Goldman (2000), pengunduran diri (retirement) atau kehilangan
fungsi utama di rumah, terutama ketika hal tersebut tidak direncanakan atau
diinginkan, berhubungan dengan kelesuan, involusi (degenerasi progresif), dan
depresi. Retirement berhubungan dengan pengurangan pendapatan personal
sebesar sepertiga sampai setengahnya. Perubahan peran akan berdampak langsung
pada penghargaan diri. Retirement juga akan menyebabkan perubahan gaya hidup
pada pasangannya dan menyebabkan beberapa adaptasi dalam hubungan mereka.
Dalam Hoyer & Roodin (2003) disebutkan bahwa sekitar 15% lansia mengalami
kesulitan-kesulitan besar dalam penyesuaian diri terhadap retirement.
Universitas Sumatera Utara
Hal-hal di atas menyebabkan lansia menjadi lebih rentan untuk mengalami
masalah kesehatan mental. Gangguan yang sering terjadi meliputi depresi,
kecemasan, alkoholisme, dan gangguan dalam penyesuaian terhadap kehilangan
atau disabilitas fungsional (Hoyer & Roodin, 2003).
2.2 Depresi pada Lansia
2.2.1
Definisi
Depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood adalah suasana perasaan
yang meresap dan menetap yang dialami secara internal dan yang mempengaruhi
perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia (Sadock & Sadock, 2007)
Depresi ialah suasana perasaan tertekan (depressed mood) yang dapat
merupakan suatu diagnosis penyakit atau sebagai sebuah gejala atau respons dari
kondisi penyakit lain dan stres terhadap lingkungan. Depresi pada lansia adalah
depresi sesuai kriteria DSM-IV. Depresi mayor pada lansia adalah didiagnosa
ketika lansia menunjukkan salah satu atau dua dari dua gejala inti (mood
terdepresi dan kehilangan minat terhadap suatu hal atau kesenangan) bersama
dengan empat atau lebih gejala-gejala berikut selama minimal 2 minggu: perasaan
diri tidak berguna atau perasaan bersalah, berkurangnya kemampuan untuk
berkonsentrasi atau membuat keputusan, kelelahan, agitasi atau retardasi
psikomotor, insomnia atau hipersomnia, perubahan signifikan pada berat badan
atau selera makan, dan pemikiran berulang tentang kematian atau gagasan tentang
bunuh diri (American Psychiatric Association/APA, 2000).
2.2.2 Epidemiologi
Menurut White, Blazer, dan Fillenbaum (1990) dalam Blazer (2000),
gejala-gejala depresif lebih sering terjadi pada oldest old, yaitu lebih dari 20%
dibandingkan dengan kurang dari 10% pada young old. Tetapi frekuensi yang
lebih tinggi tersebut diterangkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan
penuaan, seperti proporsi wanita yang lebih tinggi, lebih banyak ketidakmampuan
fisik, lebih banyak gangguan kognitif, dan status sosioekonomik yang lebih
Universitas Sumatera Utara
rendah. Ketika faktor-faktor tersebut terkontrol, tidak ada hubungan antara gejalagejala depresi dan usia.
Prevalensi depresi pada lansia berjenis kelamin wanita lebih tinggi. Alasan
untuk perbedaan ini meliputi perbedaan hormonal, efek-efek dari melahirkan,
perbedaan stressor psikososial, dan model-model perilaku dari learned
helplessness (Sadock & Sadock, 2007). Wanita memiliki risiko untuk depresi
lebih tinggi daripada pria, bahkan di masa tua (Gallo & Gonzales, 2001). Pada
penelitian oleh Schoever et al
(2000) didapati prevalensi depresi pada pria
sebesar 6,9% dan sebesar 16,5% pada wanita. Pada penelitian oleh Schoever
tersebut dapat dilihat pada subjek penelitian bahwa disabilitas fungsional lebih
sering terjadi pada wanita dan lebih banyak wanita yang tidak atau tidak lagi
menikah.
Dalam Hoyer & Roodin (2003) disebutkan bahwa angka depresi per tahun
paling rendah pada mereka yang menikah yaitu sebesar 1,5%. Angka depresi
tertinggi terdapat mereka yang telah bercerai sebanyak 2 kali, yaitu sebesar 5,8%.
Angka depresi pada mereka yang bercerai satu kali adalah 4,1% sedangkan
mereka yang tidak pernah menikah memiliki angka depresi tahunan sebesar 2,4%.
Dalam Gallo dan Gonzales (2001) disebutkan bahwa angka depresi pada
pasien lansia dengan penyakit medis serius adalah lebih tinggi. Depresi dialami
oleh sekitar 40% pasien dengan stroke, 35% pasien dengan kanker, 25% pasien
dengan penyakit Parkinson, 20% pasien dengan penyakit kardiovaskular, dan 10%
pasien dengan diabetes.
2.2.3
Etiologi
Etiologi diajukan para ahli mengenai depresi pada usia lanjut (Damping,
2003) adalah:
1. Polifarmasi
Terdapat beberapa golongan obat yang dapat menimbulkan depresi,
antara lain: analgetika, obat antiinflamasi nonsteroid, antihipertensi,
antipsikotik, antikanker, ansiolitika, dan lain-lain.
2. Kondisi medis umum
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kondisi medis umum yang berhubungan dengan depresi
adalah gangguan endokrin, neoplasma, gangguan neurologis, dan lainlain.
3. Teori neurobiologi
Para ahli sepakat bahwa faktor genetik berperan pada depresi lansia.
Pada
beberapa
penelitian
juga
ditemukan
adanya
perubahan
neurotransmiter pada depresi lansia, seperti menurunnya konsentrasi
serotonin, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, serta meningkatnya
konsentrasi monoamin oksidase otak akibat proses penuaan. Atrofi
otak juga diperkirakan berperan pada depresi lansia.
4. Teori psikodinamik
Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses berkabung
menghasilkan pendapat bahwa hilangnya objek cinta diintrojeksikan ke
dalam individu tersebut sehingga menyatu atau merupakan bagian dari
individu itu. Kemarahan terhadap objek yang hilang tersebut ditujukan
kepada diri sendiri. Akibatnya terjadi perasaan bersalah atau
menyalahkan diri sendiri, merasa diri tidak berguna, dan sebagainya.
5. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman tentang learned helplessness menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat
proses penuaan seperti keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya
dengan sensasi passive helplessness pada pasien usia lanjut.
6. Teori psikoedukatif
Hal-hal yang dipelajari atau diamati individu pada orang tua usia lanjut
misalnya ketidakberdayaan mereka, pengisolasian oleh keluarga,
tiadanya sanak saudara ataupun perubahan-perubahan fisik yang
diakibatkan oleh proses penuaan dapat memicu terjadinya depresi pada
usia lanjut.
Dukungan sosial yang buruk dan kegiatan religius yang kurang
dihubungkan dengan terjadinya depresi pada lansia. Suatu penelitian komunitas di
Hongkong menunjukkan hubungan antara dukungan sosial yang buruk dengan
Universitas Sumatera Utara
depresi. Kegiatan religius dihubungkan dengan depresi yang lebih rendah pada
lansia di Eropa. “Religious coping” berhubungan dengan kesehatan emosional
dan fisik yang lebih baik. “Religious coping” berhubungan dengan berkurangnya
gejala-gejala depresif tertentu, yaitu kehilangan ketertarikan, perasaan tidak
berguna, penarikan diri dari interaksi sosial, kehilangan harapan, dan gejala-gejala
kognitif lain pada depresi (Blazer, 2003).
2.2.4
Gambaran Klinik
Ciri-ciri pokok untuk episode depresif mayor adalah suatu periode paling
sedikit 2 minggu yang mana selama masa tersebut terdapat mood terdepresi atau
kehilangan ketertarikan atau kesenangan dalam hampir semua aktivitas. Individu
dengan depresi juga harus mengalami paling sedikit empat gejala tambahan yang
ditarik dari suatu daftar yang meliputi perubahan-perubahan dalam nafsu makan
atau berat badan, tidur, dan aktivitas psikomotorik; energi yang berkurang;
perasaan tidak berharga atau bersalah; kesulitan dalam berpikir, berkonsentrasi,
atau membuat keputusan; atau pemikiran-pemikiran berulang tentang kematian
atau pemikiran, rencana-rencana, atau usaha untuk bunuh diri (American
Psychiatric Association).
Dalam Gallo & Gonzales (2001) disebutkan gejala-gejala depresi lain pada
lanjut usia:
1. kecemasan dan kekhawatiran
2. keputusasaan dan keadaan tidak berdaya
3. masalah-masalah somatik yang tidak dapat dijelaskan
4. iritabilitas
5. kepatuhan yang rendah terhadap terapi medis atau diet
6. psikosis
Manifestasi depresi pada lansia berbeda dengan depresi pada pasien yang
lebih muda. Gejala-gejala depresi sering berbaur dengan keluhan somatik.
Keluhan somatik cenderung lebih dominan dibandingkan dengan mood depresi.
Gejala fisik yang dapat menyertai depresi dapat bermacam-macam seperti sakit
kepala, berdebar-debar, sakit pinggang, gangguan gastrointestinal, dan sebagainya
Universitas Sumatera Utara
(Mudjaddid, 2003). Penyakit fisik yang diderita lansia sering mengacaukan
gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan (Soejono,
Probosuseno, dan Sari, 2006). Inilah yang menyebabkan depresi pada lansia
sering tidak terdiagnosa maupun diterapi dengan baik.
Penyebab lain kesulitan dalam mengenal depresi pada lansia adalah baik
lansia maupun keluarga biasanya tidak memperdulikan gejala-gejala depresif.
Mereka menganggap bahwa gejala-gejala tersebut normal bagi orang yang telah
mencapai usia tua. Lansia sendiri sering gagal mengenali depresi yang terjadi
pada dirinya (Hoyer & Roodin, 2003). Dalam Gallo & Gonzales (2001)
disebutkan bahwa Lehman dan Rabbins melaporkan bahwa sampai sepertiga
lansia yang menderita depresi mayor tidak menggambarkan mood mereka sebagai
mood terdepresi. Selain itu lansia sering menutupi rasa sedihnya dengan justru
menunjukkan dia lebih aktif (Soejono, Probosuseno, dan Sari, 2006). Para klinisi
juga mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi depresi pada lansia dengan
menggunakan kriteria pada DSM-IV. Kriteria diagnostik tersebut tidak
disesuaikan dengan golongan usia. Seringkali terjadi kesulitan dalam memisahkan
depresi dari perubahan fisik khas yang terkait usia, penyakit, dan gejala-gejala
yang terjadi di masa tua (Hoyer & Roodin, 2003).
2.2.5
Dampak Depresi Pada Lansia
Pada usia lanjut depresi yang berdiri sendiri maupun yang bersamaan
dengan penyakit lain hendaknya ditangani dengan sungguh-sungguh karena bila
tidak diobati dapat memperburuk perjalanan penyakit dan memperburuk
prognosis.
Pada depresi dapat dijumpai hal-hal seperti di bawah ini (Mudjaddid,
2003):
-
Depresi dapat meningkatkan angka kematian pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler
-
Pada
depresi
timbul
ketidakseimbangan
hormonal
yang
dapat
memperburuk penyakit kardiovaskular. (Misal: peningkatan hormon
adrenokortikotropin akan meningkatkan kadar kortisol).
Universitas Sumatera Utara
-
Metabolisme serotonin yang terganggu pada depresi akan menimbulkan
efek trombogenesis.
-
Perubahan suasana hati (mood) berhubungan dengan gangguan respons
imunitas termasuk perubahan fungsi limfosit dan penurunan jumlah
limfosit.
-
Pada depresi berat terdapat penurunan aktivitas sel natural killer.
-
Pasien depresi menunjukkan kepatuhan yang buruk pada program
pengobatan maupun rehabilitasi.
Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung bertahun-tahun
dan dihubungkan dengan kualitas hidup yang jelek, kesulitan dalam fungsi sosial
dan fisik, kepatuhan yang jelek terhadap terapi, dan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas akibat bunuh diri dan penyebab lainnya (Unützer, 2007). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa depresi pada lansia menyebabkan peningkatan
penggunaan rumah sakit dan outpatient medical services (Blazer, 2003).
Depresi mayor pada lansia setelah masa follow-up yang lebih lama
menunjukkan perjalanan yang kronik pada beberapa penelitian (Blazer, 2003).
Penelitian-penelitan menunjukkan bahwa orang-orang yang pernah memiliki suatu
episode depresi mayor cenderung memiliki episode tambahan. Lansia mungkin
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih dari depresi dan memiliki
waktu untuk relapse yang lebih singkat daripada orang-orang yang lebih muda
(Gallo & Gonzales, 2001).
2.3 Skrining Depresi pada Lansia dengan Geriatric Depression Scale
Skrining depresi pada lansia pada layanan kesehatan primer sangat penting.
Hal ini penting karena frekuensi depresi dan adanya gagasan untuk bunuh diri
pada lansia adalah tinggi (Blazer, 2003). Skrining juga perlu dilakukan untuk
membantu edukasi pasien dan pemberi perawatan tentang depresi, dan untuk
mengikuti perjalanan gejala-gejala depresi seiring dengan waktu (Gallo &
Gonzales, 2001). Skrining tidak ditujukan untuk membuat diagnosis depresi
Universitas Sumatera Utara
mayor, namun untuk mendokumentasikan gejala-gejala depresi sedang sampai
berat pada lansia apapun penyebabnya.
Skrining depresi pada lansia memiliki kekhususan tersendiri. Gejala-gejala
depresi seperti kesulitan-kesulitan tidur, energi yang berkurang, dan libido yang
menurun secara umum ditemukan pada lansia yang tidak mengalami depresi.
Pemikiran tentang kematian dan keputusasaan akan masa depan mempunyai
makna yang berbeda bagi mereka yang berada pada fase terakhir kehidupan.
Lagipula, kondisi medik kronik lebih umum pada pasien geriatri dan dapat
berhubungan dengan retardasi motorik dan tingkat aktivitas yang berkurang.
Komorbiditas dengan demensia dapat mempengaruhi konsentrasi dan proses
kognitif.
Geriatric Depression Scale (GDS) dirancang untuk menjadi tes untuk
skrining depresi yang mudah untuk dinilai dan dikelola (Rush, et al, 2000).
Geriatric Depression Scale memiliki format yang sederhana, dengan pertanyaanpertanyaan dan respon yang mudah dibaca. Geriatric Depression Scale telah
divalidasi pada berbagai populasi lanjut usia, termasuk di Indonesia. Selain GDS,
screening scale lain yang telah terstandardisasi adalah Center for Epidemiologic
Studies Depression Scale, Revised (CES-D-R). Selain GDS dan CES-D-R, masih
ada instrumen skrining lain seperti Hamilton Rating Scale for Depression, Zung
Self-Rating Depression Scale,
Montgomery-Asberg Depression Rating Scale
(Holroyd dan Clayton, 2002), namun kedua instrumen inilah yang paling sering
digunakan (Blazer, 2000).
Geriatric Depression Scale terdiri dari 30 pertanyaan yang dirancang
sebagai suatu self-administered test, walaupun telah digunakan juga dalam format
observer-administered test. Geriatric Depression Scale dirancang untuk
mengeliminasi hal-hal somatik, seperti gangguan tidur yang mungkin tidak
spesifik untuk depresi pada lansia (Gallo & Gonzales, 2001). Skor 11 pada GDS
mengindikasikan adanya depresi yang signifikan secara klinis, dengan nilai
sensitivitas 90,11 % dan nilai spesifisitas 83,67% (Nasrun, 2009). Terdapat juga
GDS versi pendek yang terdiri dari 15 pertanyaan saja. Pada GDS versi pendek
ini, skor 5 atau lebih mengindikasikan depresi yang signifikan secara klinis.
Universitas Sumatera Utara
Geriatric Depression Scale menjadi tidak valid bila digunakan pada lansia
dengan gangguan kognitif. Status kognitif harus terlebih dahulu dinilai dengan
Mini Mental State Examination (MMSE), karena kemungkinan yang besar dari
komorbiditas depresi dan fungsi kognitif (Blazer, 2003).
Mini Mental State Examination adalah suatu skala terstruktur yang terdiri
dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi tempat,
orientasi waktu, registrasi, atensi dan konsentrasi, mengingat kembali, bahasa, dan
konstruksi visual. Mini Mental State Examination didesain untuk mendeteksi dan
menjejaki kemajuan dari gangguan kognitif yang terkait dengan gangguan
neurodegenerative seperti penyakit Alzheimer. Mini Mental State Examination
telah terbukti merupakan instrumen yang valid dan sangat dapat dipercaya (Rush,
et al, 2000). Nilai MMSE 0-16 menunjukkan suatu definite gangguan kognitif.
Universitas Sumatera Utara
Download