6 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Sikap Sosial a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Sikap Sosial
a. Pengertian Sikap
Thurstone, Likert, dan Osgood dalam Azwar (2013: 4), menyatakan
sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut.
Chave, Bogardus, LaPierre, Mead, dan Allport dalam Azwar(2013: 5)
mengatakan bahwa sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa
kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk
bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respons.
Menurut Campbel dalam Notoadmodjo (2003: 29) sikap adalah
sekumpulan respon yang konsisten terhadap obyek sosial. Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulus atau objek. Eagle dan Chaiken dalam Wawan dan Dewi (2010:
20) berpendapat bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi
terhadap objek sikap yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif,
afektif dan perilaku. Sunaryo (2004: 196) menyatakan bahwa sikap
merupakan kesadaran individu untuk menentukan tingkah laku nyata dan
perilaku yang mungkin terjadi. Sedangkan Kendler (1974: 362)
mengatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk mendekati
atau menjauhi, serta melakukan sesuatu, baik secara positif maupun
negative terhadp suatu lembaga, peristiwa, gagasan atau konsep.
Secord dan Backman (1974: 75) berpendapat bahwa sikap sebagai
keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan
predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di
6
7
lingkungan sekitarnya.Sikap seseorang terhadap suatu objek selalu
berperansebagai perantara antara responnya dan objek yang bersangkutan
(Azwar, 2013: 7). Menurut Allport dalam Sarwono dan Meinarno(2009:
12) sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang
berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan pengalaman individual
masing-masing, mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai
objek dan situasi.
Pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
reaksi yang ditimbulkan dari adanya stimulus yang berasal dari lingkungan
sekitarnya.
Sax (1980: 67-68) menunjukkan beberapa karakteristik sikap, yaitu
arah, intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitasnya. Arah, artinya
sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak
setuju, mendukung atau tidak mendukung, memihak atau tidak memihak
terhadap suatu atau seseorang sebagai objek.Intensitas, artinya kedalaman
atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya
mungkin
tidak
berbeda.Keluasan,
maksudnya
kesetujuan
atau
ketidaksetujuan terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek
yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak
sekali aspek yang ada pada objek sikap.Konsistensi, maksudnya adalah
kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responsnya
terhadap objek sikap termaksud.Spontanitas, yaitu menyangkut sejauh
mana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan.
Walgito (2001: 27-28) mengemukakan bahwa sikap mengandung tiga
komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut
adalah komponen kognitif, afektif, dan konatif.
1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang
berkaitan
dengan
pengetahuan,
pandangan,
keyakinan
yang
berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek
sikap.
8
2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek
sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak
senang merupakan hal yang negatif.
3) Komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku
terhadap objek sikap.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut
Azwar (2013: 30-31), antara lain pengalaman pribadi, pengaruh orang lain
yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga
pendidikan dan lembaga agama, serta pengaruh faktor emosional.
1) Pengalaman pribadi
Setiap hal yang dialami oleh individu akan mempengaruhi individu
dalam penghayatan terhadap stimulasi sosial. Individu harus memiliki
pengalaman yang berkaitan dengan tanggapan yang menjadi salah satu
dasar terbentuknya sikap. Tidak adanya pengalaman sama sekali
terhadap suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap
yang negative terhadap objek tersebut.
2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu yang dianggap khusus dan tidak ingin dikecewakan akan
banyak mempengaruhi pembentukan sikapnya terhadap sesuatu. Pada
umumnya individu cenderung untuk memiliki sikap yang searah
dengan sikap dari orang yang dianggap penting.Kecenderungan ini
karena dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk
menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.
3) Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan yang ada di tempat dimana individu hidup dan dibesarkan
akan memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikapnya.
Kebudayaan telah menjadi pengaruh bagi sikap terhadap masalah dan
memberikan pengalaman pada individu yang menjadi anggota
masyarakatnya.
9
4) Media massa
Berbagai bentuk dari media massa seperti televisi, radio, surat kabar
dan
majalah
mampu
mempengaruhi
pembentukan
opini
dan
kepercayaan, karena media massa membawa pesan – pesan yang berisi
sugesti yang dapat mengarahkan opini.
5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Kedua lembaga tersebut ikut mempengaruhi pembentukan sikap pada
seseorang karena keduanya meletakan dasar pengertian dan moral
dalam diri individu.
6) Faktor emosional
Sikap seseorang tekadang juga didasari oleh emosi.Sikap ini dapat
berupa sikap sementara sebagai penyaluran frustasi, tetapi juga dapat
lebih konsisten dan mampu bertahan lama.
b. Pengertian Sosial
Secara bahasa sosial berarti sesuatu yang berkenaan dengan orang lain
atau masyarakat. Sosial juga bisa berarti suka memperhatikan kepentingan
umum, seperti suka menolong, menderma, dan sebagainya Alwi, dkk
dalam Wiyani(2014: 1085). Perkembangan sosial adalah tingkat jalinan
interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, teman
bermain, hingga masyarakat secara luas (Suyadi, 2010: 108).
Perilaku sosial pada anak usia dini diarahkan untuk perkembangan
sosial yang baik, seperti kerja sama, tolong – menolong, berbagi, simpati,
dan empati (Susanto, 2011: 137). Wiyani (2014: 131-136) mengemukakan
setidaknya ada dua perkembangan perilaku sosial sebagai bentuk dari
perilaku sosial, yaitu perkembangan perilaku prososial dan perkembangan
empati.
1) Perkembangan perilaku prososial
Eisenberg dan Fabes (Wiyani, 2014: 132) mendefinisikan perilaku
prososial dengan perilaku sukarela yang diniatkan dan dilakukan untuk
menguntungkan orang lain.
10
2) Perkembangan empati
Alwi (Wiyani, 2014: 134) menyatakan bahwa empati merupakan
keadaan psikis yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi
dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang
lain atau kelompok. Kemunculan empati diawali dengan adanya
simpati. Wiyani (2014: 136) mengungkapkan bahwa pada usia 4 – 6
tahun anak sadar bahwa orang lain mungkin memiliki reaksi terhadap
situasi yang berbeda dari reaksi anak terhadap situasi yang sama. Salah
satu faktor yang mempengaruhi perkembangan empati pada anak usia
4 – 6 tahun adalah kemampuannya untuk mengambil perspektif orang
lain pada usia tersebut anak memiliki sudut pandang yang bersifat
egosentris.
Pada usia prasekolah, perkembangan sosial peserta didik sudah tampak
jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman
sebayanya. Pada tahap ini peserta didik memasuki tahap bermain
kooperatif, artinya anak sudah bisa terlibat dalam permainan kelompok
bersama teman-temannya meski masih sering terjadi pertengkaran
(Kibtiyah, 2006: 62). Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini
adalah: 1) anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan
keluarga maupun dalam lingkungan bermain, 2) sedikit demi sedikit anak
sudah mulai tunduk pada peraturan, 3) anak mulai menyadari hak atau
kepentingan orang lain, 4) anak mulai dapat bermain bersama anak-anak
lain, atau teman sebaya.
Berikut ini tingkat pencapaian perkembangan sosial-emosi pada anak
usia dini (Wiyani, 2014: 137-139):
Usia
0-3 bulan
3-6 bulan
6-9 bulan
Perkembangan Sosial-Emosi
- Menatap dan tersenyum.
- Menangis untuk mengekspresikan ketidanyamanan,
- Merespon dengan gerakan tangan dan kaki.
- Menangis jika tidak mendapatkan yang diinginkan.
- Mengulurkan tangan atau menolak untuk diangkat.
11
- Menunjuk kepada sesuatu yang diinginkan.
9-12 bulan
- Menempelkan kepala bila merasa nyaman dalam
pelukan atau meronta kalau merasa tidak nyaman.
- Menyatakan keinginan dengan berbagai gerakan
tubuh dan ungkapan kata-kata sederhana.
- Meniru cara menyatakan perasaan sayang dengan
memeluk.
12-18 bulan
- Menunjukkan reaksi marah jika permainannya
diambil.
- Menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap orang
yang baru dikenal.
- Bermain bersama teman tetapi sibuk dengan
mainannya sendiri.
- Memperhatikan/
mengamati
teman-temannya
beraktivitas.
18-24 bulan
- Mengekspresikan berbagai reaksi emosi.
- Menunjukkan reaksi menerima atau menolak
kehadiran orang lain.
- Bermain bersama teman dengan mainan yang sama.
- Berekspresi dalam bermain.
2-3 tahun
- Memahami hak orang lain.
- Menunjukkan sikap berbagi, membantu dan bkerja
sama.
- Menyatakan perasaan terhadap anak lain.
- Berbagi peran dalam suatu permainan.
3-4 tahun
- Bersabar menunggu antrian.
- Bereaksi terhadap hal-hal yang dianggap tidak
benar.
- Menunjukkan reaksi menyesal saat melakukan
kesalahan.
12
- Menunjukkan sikap toleran sehingga dapat bekerja
dengan kelompok.
4-5 tahun
- Mampu berbagi, menolong dan membantu teman.
- Antusias dalam melakukan perlombaan.
- Menahan perasaan dan mengendalikan reaksi.
- Mematuhi peraturan yang berlaku dalam suatu
permainan.
5-6 tahun
- Bersikap kooperatif dengan teman.
- Menunjukkan sikap toleran.
- Mengekspresikan emosi dalam berbagai situasi.
- Memahami peraturan dan disiplin.
- Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai
dengan nilai sosial budaya setempat.
Tabel 2.1. Tingkat Pencapaian Perkembangan Sosial Emosional
Menurut Suyadi (2010: 114-116), ada beberapa hal yang bisa diajarkan
kepada
anak
usia
dini
untuk
meningkatkan
kecerdasan
sosial-
emosionalnya, diantaranya yaitu mengembangkan empati dan kepedulian,
optimisme, pemecahan masalah, dan motovasi diri.
1) Mengembangkan empati dan kepedulian
Anak yang mempunyai kemampuan empati cenderung lebih sosial dan
tidak terlalu agresif. Hal ini akan menjadikan pribadi anak lebih mudah
bergaul dengan teman-temannya. Dampak positif lainnya adalah
kemudahan dalam menjalin hubungan dengna siapa pun.Anak tidak
lagi merasa takut kepada sesama temannya sendiri, tidak pemalu, tidak
pemarah, tidak mudah cemas dan khawatir, serta selalu merasa
bahagia.
2) Optimisme
Sikap optimistis mampu menjadikan emosi anak selalu beranggapan
baik terhadap suatu kejadian, sehingga anak selalu berharap yang lebih
baik. Sikap optimistis bisa ditumbuhkan dengan memberikan
13
penjelasan terhadap suatu perkara secara sederhana dengan gaya
penuturan penuh daya gerak.
3) Pemecahan masalah
Seringkali orang tua tidak memberikan kebebasan kepada anak untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri.Akibatnya, anak cenderung manja
bahkan cengeng.Lebih dari itu, anak bisa menjadi mudah marah dan
frustasi jika keinginannya tidak segera diberikan.Untuk mengatasinya,
orang tua harus mengajarkan bagaimana anak mengatasi masalah
dunianya sendiri.Orang tua cukup membimbing dengan bahasa yang
mudah dipahami anak.
4) Motivasi diri
Motivasi adalah sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan
perbuatan atau tindakan guna mencapai harapan tertentu. Motivasilah
yang nantinya akan menumbuhkan sikap optimistis, antusiasme,
percaya diri, dan tidak mudah menyerah.
Perkembangan sosial peserta didik sangat dipengaruhi oleh proses
perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan
berbagai
aspek
kehidupan
sosial,
atau
norma-norma
kehidupan
bermasyarakat. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau
memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka
anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.
c. Karakteristik Perkembangan Perilaku Sosial Anak pada Masa
Kanak-kanak Awal
Menurut Hurlock (1978: 262-263), pola perilaku dalam situasi sosial
pada masa kanak-kanak awal antara lain sebagai berikut:
1) Kerja sama
Sejumlah kecil anak belajar bermain atau bekerja sama dengan anak
lain sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan
yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin
cepat mereka belajar melakukannya dengan cara bekerja sama.
14
2) Persaingan
Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha
sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal itu
diekspresikan
dalam
pertengkaran
dan
kesombongan,
akan
mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk.
3) Kemurahan hati
Kemurahan hati merupakan kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan
anak lain. Hal ini akan meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri
semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati
menghasilkan penerimaan sosial.
4) Hasrat akan penerimaan sosial
Jika hasrat untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk
menyesuaikan diri dengan tututan sosial.Hasrat untuk diterima oleh
orang dewasa biasanya timbul lebih awal dibandingkan dengan hasrat
untuk diterima oleh teman sebayanya.
5) Simpati
Anak kecil tidak mampu berperilaku simpati sampai mereka pernah
mengalami situasi yang mirip duka cita.Mereka mengekspresikan
simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang
sedang bersedih.
6) Empati
Empati merupakan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi
orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya
berkembang jika anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud
pembicaraan orang lain.
7) Ketergantungan
Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian dan
kasih sayang, mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang
diterima secara sosial.
15
8) Sikap ramah
Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan
sesuatu bersama orang lain dengan mengekspresikan kasih sayang
kepada mereka.
9) Sikap tidak mementingkan diri sendiri
Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk
membagi apa yang mereka miliki dan yang tidak terus-menerus
menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan
bukan hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik
mereka sendiri.
10) Meniru
Dengan meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial,
anak-anak mengembangkan sifat
yang menambah penerimaan
kelompok terhadap diri mereka.
11) Perilaku kelekatan
Dari pengalaman pada masa bayi, yaitu saat bayi mengembangkan
suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada ibu, anak
akan mengalihkan pola perilaku ini kepada orang lain dan belajar
membina persahabatan dengan mereka.
Peningkatan perilaku sosial cenderung paling mencolok pada masa
kanak-kanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang
semakin bertambah, dan anak-anak mempelajari pandangan pihak lain
terhadap
perilaku
mereka
dan
bagaimana
pandangan
tersebut
mempengaruhi tingkat permainan dari kelompok teman sebayanya.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial
Ada empat faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak dalam
bersosialisasi, antara lain sebagai berikut (Bhatia dalam Kibtiyah, 2006:
67-68):
1) Adanya kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di sekitarnya
dari berbagai usia dan latar belakang.
16
Semakin banyak dan bervariasi pengalaman dalam bergaul dengan
orang-orang di lingkungannya, maka akan semakin banyak pula halhal yang dapat dipelajari untuk menjadi bekal dalam meningkatkan
kemampuan sosialisasi anak.
2) Adanya minat dan motivasi untuk bergaul.
Semakin banyak pengalaman yang menyenangkan yang diperoleh
melalui pergaulan dan aktivitas sosialnya, minat dan motivasi untuk
bergaul juga akan semakin berkembang. Keadaan ini memberikan
peluang yang lebih besar untuk meningkatkan ketrampilan sosialnya.
Dengan minat dan motivasi bergaul yang besar akan memacu anak
untuk selalu memperluas wawasan pergaulan dan pengalaman dalam
bersosialisasi,
sehingga
semakin
banyak
pula
hal-hal
yang
dipelajarinya yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan
bersosialisasinya. Sebaliknya bila anak tidak memiliki minat dan
motivasi untuk bergaul, anak akan cenderung menyendiri dan lebih
suka melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak banyak melibatkan dan
menuntut hubungan dengan orang lain. Dengan demikian semakin
sedikit pengalaman bergaulnya dan makin sedikit pula yang dapat
dipelajarinya tentang pergaulan yang dapat menjadi bekal untuk
meningkatkan kemampuan sosialnya.
3) Adanya bimbingan dan pengajaran dari orang lain yang biasanya
menjadi model bagi anak.
Meskipun
kemampuan
sosialisasi
yang
dialami
anak
dapat
berkembang melalui trial and error maupun melalui pengalaman
bergaul atau dengan meniru perilaku orang lain dalam bergaul, akan
lebih efektif apabila ada bimbingan dan pengajaran yang secara
sengaja diberikan oleh orang yang dapat dijadikan model bergaul yang
baik bagi anak.
4) Adanya kemampuan berkomunikasi yang baik yang dimiliki anak.
Dalam berkomunikasi dengan orang lain, anak tidak hanya dituntut
untuk berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dipahami, tetapi
17
juga dapat membicarakan topik yang dimengerti dan menarik bagi
orang lain yang menjadi lawan bicaranya. Kemampuan berkomunikasi
ini menjadi inti dari sosialisasi.
e. Aspek-aspek Perkembangan Sikap Sosial Anak
Menurut Handayani, Dantes, dan Lasmawan (2013: 5), perkembangan
sikap sosial anak yang harus dijalani pada masa kanak-kanak antara lain:
1) belajar memberi, membagi dan memperoleh kasih sayang, yaitu
kemampuan saling memberi dan berbagi kasih sayang antar anak yang
satu dengan anak yang lain untuk dapat hidup bermasyarakat secara aman
dan bahagia dalam lingkungan yang berbeda, 2) elajar bergaul dengan
anak yang lain, yaitu belajar mengembangkan hubungan dengan anak lain
yang dapat menghasilkan dampak positif dari anak lain dalam lingkungan
sekolah yang lebih luas daripada lingkungan keluarga, 3) mengembangkan
pengendalian diri yakni belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan
tuntutan masyarakat, 4) belajar bermacam-macam peran orang dalam
masyarakat, 5) mengembangkan perasaan positif dalam berhubungan
dengan lingkungan, yaitu mengembangkan perasaan kasih sayang terhadap
benda-benda atau orang-orang yang ada di sekitarnya.
2. Kegiatan Bermain Cooperative
a. Pengertian Bermain
Bermain adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan
yang ditimbulkannya tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain
dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar
atau kewajiban (Hurlock, 1978: 320). Bettelheim dalam Hurlock(1978:
320) berpendapat bahwa kegiatan bermain adalah kegiatan yang tidak
mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan
tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar.Kibtiyah
(2006: 68) menyatakan bahwa permainan adalah suatu aktivitas yang
menyenangkan dan dapat mencerminkan kemampuan kognisi, emosi dan
sosial anak dalam mengulang pengalaman dan berfantasi serta menangkap
18
rangsangan melalui afeksinya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar
atau berdasarkan latar belakang budaya anak.
Groos dalam Yus(2011: 33) mengemukakan bahwa:
Bermain merupakan proses penyiapan diri untuk menyandang peran
sebagai orang dewasa. Yusberpendapat bahwa bermain merupakan
proses belajar baik disadari anak atau tidak anak lelah belajar sesuatu
yang berguna bagi hidupnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa bermain bagi anak sangat besar mafaatnya, serta bermain
berguna untuk mengembangkan diri anak.Bermain merupakan suatu
aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan yang utuh,
baik fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional.
Menurut Latif, Zukhairina, Zubaidah, dan Afandi (2013: 77) bemain
diartikan sebagai suatu aktivitas yang langsung atau spontan, dimana
seorang anak berinteraksi dengan orang lain, benda-benda di sekitarnya,
dilakukan dengan senang, atas inisiatif sendiri, menggunakan daya khayal,
menggunakan panca indra, dan seluruh anggota tubuhnya. Montessori
dalam Suyadi(2014: 183) menyatakan bahwa bagi anak, permainan adalah
sesuatu yang menyenangkan, suka rela, penuh arti, dan aktivitas secara
spontan.Permainan sering juga dianggap kreatif, menyertakan pemecahan
masalah, belajar ketrampilan sosial baru, bahasa baru dan keterampilan
fisik yang baru.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa bermain adalah kegiatan yang dapat menimbulkan kesenangan serta
dapat membantu anak dalam mencapai perkembangan yang utuh.
b. Fungsi Bermain
Bermain bagi anak usia dini memiliki beberapa manfaat dimana anak
dapat mempelajari dan belajar banyak hal, seperti dapat mengenal aturan,
bersosialisasi, menempatkan diri, menata emosi, toleransi, kerja sama, dan
menunjung tinggi sportivitas. Di samping itu, aktivitas bermain juga dapat
mengembangkan kecerdasan mental, spiritual, bahasa, dan keterampilan
motorik anak usia dini. Oleh karena itu, bagi anak usia dini tidak ada hari
tanpa
bermain,
dan
bagi
mereka
bermain
merupakan
pembelajaran yang sangat penting (Mulyasa, 2012: 166).
kegiatan
19
Menurut Hartley, Frank dan Goldenson dalam Moeslichatoen (2004:
33-34) ada 8 fungsi bermain bagi anak, diantaranya yaitu:
1) Menirukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Contohnya, meniru
ibu memasak di dapur, dokter mengobati orang sakit, dan sebagainya.
2) Untuk melakukan berbagai peran yang ada di dalam kehidupan nyata
seperti guru mengajar di kelas, sopir mengendarai bus, petani
menggrap sawah, dan sebagainya.
3) Untuk menceminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup
yang nyata. Contohnya ibu memandikan adik, ayah membaca koran,
kakak mengerjakan tugas sekolah, dan sebagainya.
4) Untuk menyalurkan perasaan yang kuat seperti memukul-mukul
kaleng, menepuk-nepuk air, dan sebagainya.
5) Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima
seperti berperan sebagai pencuri, menjadi anak nakal, pelanggar lalu
lintas, dan lain-lain.
6) Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan seperti gosok gigi,
sarapan pagi, naik angkutan kota, dan sebagainya.
7) Mencerminkan pertumbuhan seperti pertumbuhan misalnya semakin
bertambah tinggi tubuhnya, semakin gemuk badannya, dan semakin
dapat berlari cepat.
8) Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian
masalah seperti menghias ruangan, menyiapkan jamuan makan, pesta
ulang tahun.
Dworetzky dalam Moeslicahtoen(2004: 34) mengemukakan bahwa
fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peran penting
bagi perkembangan kognitif dan sosial anak. Beberapa fungsi bermain
yang lain menurut Moeslicahtoen (2004: 34-36) antara lain:
1) Mempertahankan keseimbangan
Setelah melakukan kegiatan bermain, anak akan memperoleh
keseimbangan antara kegiatan dengan menggunakan kekuatan tenaga
dan kegiatan yang memelukan ketenangan.
20
2) Menghayati berbagai pengalaman yang diperoleh dari kehidupan
sehari-hari
Fungsi bermain sebagai sarana untuk menghayati kehidupan seharihari ini berguna untuk menumbuhkan kebiasaan pada anak.Fungsi
bermain yang satu ini juga memiliki nilai terapeutik. Misalnya, bila
anak selalu dimanja dalam keluarga, ia mungkin tidak akan menyukai
kehadiran anak lain. Kehadiran anak lain dapat dianggap merupakan
saingan baginya atau ancaman berkurangnya kasih sayang yang akan
diperolehnya.
3) Mengantisipasi peran yang akan dijalani di masa yang akan datang
Meskipun anak berpura-pura memerankan sebagai orang tua, perawat,
atau guru, namun sebenarnya kegiatan tersebut merupakan upaya
untuk mempersiapkan anak melaksanakan peran tersebut kelak.
4) Menyempurnakan ketrampilan-ketrampilan yang dipelajari
Anak TK merupakan pribadi yang sedang tumbuh. Dengan demikian
anak
selalu
berusaha
menggunakan
kekuatan
tubuhnya.Selain
ketrampilan gerak yang dimantapkan, interaksi sosial juga perlu
dimantapkan.Bermain merupakan latihan spontan untuk meningkatkan
ketrampilan tersebut.
5) Menyempurnakan ketrampilan memecahkan masalah
Masalah yang dihadapi oleh anak-anak dapat bersifat masalah
emosional, sosial, maupun intelektual.Anak dapat menggunakan
kegiatan bermain sebagai sarana untuk memecahkan persoalan
intelektualnya.
6) Meningkatkan ketrampilan berhubungan dengan anak lain
Melalui kegiatan bermain anak memperoleh kesempatan untuk
meningkatkan ketrampilan bergaulnya seperti bagaimana menghindari
pertentangan dengan teman, bagaimana tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain, berbagi kesempatan menuntut hak dengan cara yang
dapat diterima, mengkomunikasikan keinginan, dan bagaimana
caranya mengungkapkan perasaan serta kebutuhannya.
21
c. Tahapan Bermain Sosial
Gordon
dan
Browne
dalam
Moeslicahtoen(2004:
37-38)
menggolongkan kegiatan bermain sesuai dengan dimensi perkembangan
sosial anak dalam 4 bentuk, yaitu bermain secara soliter, bermain secara
parallel, bermain asosiatif, dan bermain secara kooperatif.
1) Bermain secara soliter
Yaitu anak bermain sendiri atau dapat juga dibantu oleh guru. Para
peneliti menganggap bermain secara soliter mempunyai fungsi yang
penting, karena setiap kegiatan bermain jenis ini 50% menyangkut
kegiatan edukatif dan 25% menyangkut kegiatan otot kasar.
2) Bermain secara parallel
Yaitu anak bermain sendiri-sendiri secara berdampingan.Jadi, tidak
ada interaksi antara anak satu dengan anak yang lainnya. Anak senang
dengan kehadiran anak lain, tetapi belum terjadi keterlibatan di antara
mereka. Selama bermain parallel anak sering menirukan apa yang
dilakukan oleh anak lain yang berdekatan. Dengan cara meniru anak
akan belajar berbagi tema bermain yang dimiliki anak lain.
3) Bermain asosiatif
Bermain asosiatif terjadi bila anak bermain bersama dalam
kelompoknya.Misalnya, menepuk-nepuk air beramai-ramai, bermain
bola bersama, bermain pasir bersama, dan lain-lain.
4) Bermain secara kooperatif
Bermain secara kooperatif terjadi bila anak secara aktif menggalang
hubungan dengan anak-anak lain untuk membicarakan, merencanakan,
dan melaksanakan kegiatan bermain. Pemahaman nonverbal sering
merupakan awal kegiatan untuk mengadakan interaksi secara verbal
dan koordinasi sosial yang akan terjadi pada bermain secara asosiatif
atau kooperatif.
d. Pengertian Bermain Kooperatif
Craig dan Kermis dalam Kibtiyah(2006: 69) menyatakan bahwa:
22
Bermain kooperatif adalah sebuah permainan anak-anak yang
mencakup berbagai barang-barang selama periode waktu tertentu,
mengikuti peraturan yang dibuat, menyelesaikan perselisihan, saling
membantu sesama dan kelompok serta berbagi peran.
Sedangkan menurut Cartledge dan Mailburn dalam Kibtiyah(2006:
69), permainan kooperatif adalah:
Salah satu bentuk permainan dimana dalam permainan tersebut anak
belajar bekerja sama untuk tujuan bersama serta mereka mampu saling
memberi semangat dan mendukung, mengasumsikan tanggung jawab
belajar, baik pada diri mereka atau orang lain, serta menggunakan
keterampilan sosial yang behubungan dengan kelompok.
Bermain kooperatif adalah kegiatan bermain ketika masing-masing
anak menerima peran yang diberikan, dan dalam mencapai tujuan bermain,
mereka masing-masing melakukan perannya secara tergantung satu sama
lain dalam mencapai tujuan bersama (Mulyasa, 2012: 170).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
bermain kooperatif adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersamasama untuk mencapai suatu tujuan dengan adanya pembagian peran.
e. Karakteristik Bermain Kooperatif
Menurut Wismiarti dalam Latif, dkk(2013: 77) dalam kegiatan
bermain kooperatif pada anak, hendaklah mendukung beberapa hal,
diantaranya yaitu: 1) terdapat tiga jenis permainan, yaitu sensorimotor,
peran, dan pembangunan, 2) terdapat sejumlah beberapa bahan main,
dimana bahan main terdiri dari banyak jenis dan bermacam-macam.
Misalnya disediakan bahan main yang membuat anak dapat membedakan
kasar dan halus, besar dan kecil, berat dan ringan, tebal dan tipis, dan
sebagainya, 3) penataan bahan main, dimana ditata dengan direncanakan
terlebih dahulu dan keseriusan, sehingga anak yang baru mulai bergabung
dapat belajar melalui melihat, 4) terdapat hubungan sosial, yakni dengan
permainan yang disiapkan dan ditata dengan perencanaan yang baik dapat
menimbulkan interaksi sosial dengan teman sebaya, dan bahan mainan
ditata untuk bermacam-macam tahap perkembangan sosial.
23
f. Langkah-langkah Bermain Kooperatif
Menurut Moeslichatoen (2014: 63-65), terdapat beberapa langkahlangkah dalam kegiatan bermain kooperatif, yaitu kegiatan prabermain,
kegiatan bermain, dan kegiatan penutup.
1) Kegiatan prabermain kooperatif
Ada dua macam persiapan dan kegiatan prabermain kooperatif, yaitu:
a) Kegiatan penyiapan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan
bermain kooperatif
(1) Guru mengkomunikasikan kepada peserta didik tujuan kegiatan
bermain kooperatif ini.
(2) Guru mengkomunikasikanbatasan-batasan yang harus dipatuhi
peserta didik.
(3) Guru menawarkan peran kepada masing-masing anak beserta
tugasnya.
(4) Guru memperjelas apa yang harus dilakukan peserta didik
terhadap perannya.
b) Kegiatan penyiapan bahan dan perlatan yang siap untuk
dipergunakan.
2) Kegiatan bermain kooperatif
Kegiatan bermainkooperatif itu sendiri meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Semua peserta didik pergi ke tempat bermain.
b) Dengan bimbingan guru, anak mulai memposisikan sesuai
perannya masing-masing.
c) Guru memasang dan membagi alat dan bahan permainan.
d) Peserta didik memulai permainan dan bekerja sama bersama teman
satu kelompoknya.
3) Kegiatan penutup
Dalam kegiatan penutup, kegiatan bermain kooperatif itu guru dapat
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
24
a) Menarik perhatian dan membangkitkan minat anak tentang aspekaspek penting dalam permainan.
b) Guru memberireward setelah mengevaluasi kegiatan bermain
kooperatif.
g. Kelebihan dan Kelemahan Bermain Kooperatif
Menurut Kibtiyah (2006: 73-74), kelebihan kegiatan bermain
kooperatif dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Membina hubungan dengan anak lain.
Anak belajar cara mengemukakan gagasan dengan anak lain, anak
belajar mempertahankan diri, mengkomunikasikan keinginan, dan
mengadakan negoisasi dengan cara yang dapat diterima kelompok,
mempertahankan barang miliknya, meminta izin untuk menggunakan
peralatan, menyatakan keinginan untuk melakukan sesuatu kepada
anak lain.
2) Membina hubungan dengan kelompok.
Anak belajar untuk dapat berperan serta dan meningkatkan hubungan
kelompok, meningkatkan hubungan antar pribadi, mengenal identitas
kelompok, dan belajar bekerja sama dalam kelompok. Anak juga
belajar menghargai hak, perasaan, dan barang milik orang lain, serta
belajar untuk bersabar menunda dan menanti giliran untuk melakukan
sesuatu perbuatan.
3) Membina diri sebagai individu.
Anak belajar untuk bertanggung jawab untuk membantu diri sendiri,
menjaga diri sendiri, membersihkan bangku setelah melakukan
kegiatan. Anak juga belajar bekerja berdekatan dengan anak lain tanpa
mengganggu, mengadakan kesepakatan, berkomunikasi, dan menerima
penolakan atau perasaan yang menyakitkan atau kekecewaan dengan
cara yang dapat diterima kelompok, misalnya: tidak merebut
permainan teman, dan mengadakan kesepakatan dalam berbagai
permainan.
25
Menurut Abimanyu (2008: 63) kelemahan metode bermain kooperatif
antara lain: 1) guru khawatir apabila terjadi kekacauan di kelas. Kondisi
ini dapat diatasi dengan cara mengkondisikan kelas atau pembelajaran
dilakukan di luar kelas seperti di aula atau di tempat yang terbuka, 2)
perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik
atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan
kelompok. Karakteristik pribadi tidak luntur hanya karena bekerjasama
dengan orang lain, justru keunikan itu semakin kuat bila disandingkan
dengan orang lain, 3) peserta didik takut bahwa pekerjaan tidak akan
terbagi rata atau secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh
pekerjaan tersebut. Dalam bermain kooperatif pembagian tugas dilakukan
secara rata, setiap anggota kelompok harus dapat menjelaskan apa yang
telah dihadapinya dalam kelompok sehingga ada pertanggungjawaban
secara individu.
h. Rancangan
Kegiatan
Bermain
Kooperatif
sebagai
Upaya
Meningkatkan Sikap Sosial Anak TK
Rancangan kegiatan bermain kooperatif sebagai upaya meningkatkan
sikap sosial meliputi penentuan tujuan dan tema kegiatan bermain, macam
kegiatan bermain, tempat dan ruang bermain, bahan dan peralatan
bermain, dan urutan langkah bermain.
1) Menentukan tujuan dan tema kegiatan bermain kooperatif
Tujuan kegiatan bermain bagi anak usia TK adalah untuk
meningkatkan pengembangan seluruh aspek perkembangan anak usia
TK baik perkembangan motorik, kognitif, bahasa, kreativitas, emosi
maupun sosial. Tujuan kegiatan bermain kooperatif disini adalah untuk
meningkatkan sikap sosial pada peserta didik. Setelah peserta didik
melakukan kegiatan bermain kooperatif, diharapkan peserta didik
dapat bekerjasama dengan baik, dapat menunjukkan rasa toleransi
terhadap temannya, serta dapat mentaati peraturan yang berlaku dan
disiplin dalam permainan. Tema yang digunakan dalam penelitian ini
ada dua tema, yakni tema pekerjaan dan tema tanah air.
26
2) Menentukan macam kegiatan bermain kooperatif
Setelah ditentukan tujuan dan tema bermain, selanjutnya
ditentukan macam kegiatan bermain yang cocok dengan tujuan dan
tema tersebut. Gordon dan Browne (Moeslicahtoen, 2004: 37)
menyatakan:
Kegiatan bermain sesuai dengan dimensi perkembangan sosial
anak dalam 4 bentuk, yaitu bermain secara soliter, bermain secara
parallel, bermain asosiatif, dan bermain secara kooperatif. Bermain
secara kooperatif merupakan kegiatan bermain dimana adanya
interaksi sosial, kerjasama, dan tolong-menolong.
Berdasarkan penjelasan tersebut kegiatan bermain kooperatif
digunakan untuk meningkatkan sikap sosial peserta didik. Permainan
kooperatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bermain
pedagang, nelayan, membuat bendera merah putih dan menyusun
bendera merah putih.
3) Menentukan tempat dan ruang bermain
Tempat dan ruang bermain dapat dilakukan di dalam dan di luar
ruangan.
Untuk
kegiatan
bermain
kooperatif
dalam
rangka
meningkatkan sikap sosial peserta didik, sebagaimana ditentukan
dalam tujuan dan tema yang dipilih, maka kegiatan bermain kooperatif
ini dilakukan di luar ruangan.
4) Menentukan bahan dan peralatan bermain.
Sebelum melakukan kegiatan bermain, bermacam bahan dan
peralatan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perlu disiapkan
terlebih dahulu secara lengkap. Selama melakukan kegiatan bermain
kooperatif, guru tidak lagi mencari bahan atau perlengakapan yang
belum tersedia, agar kegiatan bermain berlangsung tanpa hambatan
yang berarti.
Dalam kegiatan bermain kooperatif disini, alat dan bahan yang
digunakan yaitu gabus, sayur, buah, keranjang, uang mainan, ember,
27
jaring, ikan, plastik, kertas asturo warna warni, sedotan, lem, busa,
kertas manila, bendera merah putih, kertas asturo, lem, dan busa.
5) Menentukan urutan langkah bermainkooperatif
Sebelum menentukan urutan langkah bermain, maka perlu
ditetapkan pula kegiatan yang harus dilaksanakan oleh peserta didik
yang terlibat dalam permainan ini. Misalnya pada siklus I pertemuan I,
dalam permainan ini, ada peserta didik yang bertugas memetik sayur
dan buah, ada yang menjadi penjual, dan ada pula yang berperan
sebagai pembeli. Pada siklus I pertemuan II peran peserta didik dibagi
menjadi tiga kelompok sama banyak serta kegiatan bermain yang
dilakukan yakni menjaring ikan, estafet ikan, dan menyusun puzzle.
Pada
siklus
II
pertemuan
I
peserta
didik
bertugas
untuk
mengelompokkan bendera sesuai warna tiang secara berpasagan. Pada
siklus II pertemuan II peserta didik bertugas melewati lintasan dengan
perahu koran, lompat geometri, dan menyusun bendera.Langkahlangkah kegiatan bermain kooperatif pada penelitian ini meliputi
kegiatan prabermain, kegiatan bermain, dan kegiatan penutup.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
1. Handayani, Dantes, Lasmawan (2013) dalam penelitian yang berjudul
“Penerapan Permainan Tradisional Meong-Meongan untuk Perkembangan
Sikap Sosial Anak Kelompok B Taman Kanak-Kanak Astiti Dharma
Penatih Denpasar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sikap
sosial anak pada kelompok B TK Astiti Dharma Penatih dalam penerapan
permainan tradisional meong-meongan. Kesimpulan dari penelitian
tersebut adalah pemberian tindakan dengan penerapan permainan
tradisional meong-meongan telah berhasil meningkatkan sikap sosial anak
kelompok B TK Astiti Dharma Penatih Despansar. Penelitian Handayani,
Dantes, Lasmawan (2013) ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini,
yaitu pada variabel terikatnya yakni sikap sosial.
28
2. Mariah Kibtiyah (2006) dalam penelitian yang berjudul “Efektivitas
CooperativeGames dalam Meningkatkan Ketrampilan Sosial Anak Taman
Kanak-Kanak”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
permainan kooperatif dalam meningkatkan ketrampilan sosial anak Taman
Kanak-Kanak. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah adanya
perbedaan setelah perlakuan pada ketrampilan sosial antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol, sehingga permainan kooperatif
efektif dalam meningkatkan ketrampilan sosial anak Taman Kanak-Kanak.
Penelitian Mariah Kibtiyah ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini,
yaitu pada variabel bebasnya yang berupa permainan kooperatif.
3. Kartika, Jaya, Riswandi (2015) dalam penelutian yang berjudul “Pengaruh
Aktivitas dalam Permainan Kooperatif terhadap Keterampilan Sosial Anak
Usia 5-6 Tahun”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
aktivitas dalam permainan kooperatif terhadap keterampilan sosial anak
usia 5-6 tahun. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah adanya
pengaruh
antara
aktivitas
dalam
permainan
kooperatif
terhadap
keterampilan sosial anak usia 5-6 tahun kelompok B di TK Pertiwi
sebanyak 1-2 pencapaian indikator setiap pertemuan. Penelitian Kartika,
Jaya, Riswandi (2015) ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu
pada variabel bebasnya yang berupa permainan kooperatif.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilaksanakan di
TK Aisyiyah 50 Surakarta, diketahui bahwa tingkat kemampuan sikap sosial
peserta didik masih kurang.Kemampuan sikap sosial peserta didik yang
kurang ini terlihat dari aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik baik selama
pembelajaran maupun di luar pembelajaran, seperti kurangnya dalam
memahami peraturan, kurang disiplin, maupun kurangnya memahami tata
karma dan sopan santun yang ada. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang
memberikan kesempatan kepada peserta didik, karena pembelajaran
29
cenderung berpusat kepada guru sehingga proses pembelajaran terkesan
menjenuhkan bagi peserta didik yang menyebabkan kemampuan sikap sosial
peserta didik kurang berkembang dengan optimal.
Kemampuan sikap sosial peserta didik perlu dikembangkan secara optimal
sejak dini, karena sikap sosial ini akan berperan penting dalam perkembangan
peserta didik selanjutnya dan juga akan berguna bagi kehidupan peserta didik
selanjutnya. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam meningkatkan
kemampuan sikap sosial peserta didik yaitu dengan menggunakan kegiatan
bermain kooperatif. Dalam kegiatan bermain kooperatif ini menekankan pada
kerjasama dalam anggota kelompok, toleransi antar anggota, bersikap
kooperatif dengan teman, memahami peraturan dan disiplin, serta mengenal
tata karma dan sopan santun.Dengan digunakannya kegiatan bermain
kooperatif ini diharapkan kemampuan sikap sosial peserta didik kelompok B
TK Aisyiyah 50 Surakarta dapat meningkat dan berkembang secara optimal.
Dari uraian tersebut, dapat dibuat kerangka berpikir dalam bagan
berikutini :
30
Guru
belum
menggunakan
Kondisi
Awal
Kemampuan
metode
pembelajaran yang dapat
sikap
sosial
mengembangkan
peserta
didik
kemampuan sikap sosial
masih rendah
peserta didik
Guru
kegiatan
Tindaka
n
Siklus I
menggunakan
bermain
1. Perencanaan
untuk
2. Pelaksanaan
cooperative
meningkatkan
3. Pengamatan/
kemampuan sikap sosial
Observasi
peserta didik
4. Refleksi
Siklus II
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
3. Pengamatan/
Observasi
4. Refleksi
Kondisi
Akhir
Dengan
menggunakan
kegiatan
bermain
cooperative
dapat
meningkatkan kemampuan sikap
sosial peserta didik
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
31
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan.Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris
yang diperoleh melalui pengumpulan data.Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan
sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban
yang empirik dengan data (Sugiyono, 2012: 96).
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka
hipotesis
tindakan
dalam
penelitian
ini
dapat
dirumuskan
sebagai
berikut:“Penerapan kegiatan bermain cooperative dapat meningkatkan
kemampuan sikap sosial anak kelompok B TK Aisyiyah 50 Surakarta tahun
ajaran 2014/ 2015”.
Download