Bissmillahirrahmanirrahiim Fix…

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, kesadaran masyarakat akan pentingnya
kesehatan turut meningkat. Kesehatan merupakan kebutuhan pokok setiap
manusia yang tidak dapat ditunda. Menurut Undang - Undang Republik Indonesia
No 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap manusia berhak
mendapatkan kesehatan tanpa memandang status ekonomi, ras, serta agama.
Setiap manusia ingin memiliki tubuh yang sehat dan bebas dari segala
penyakit. Salah satu komponen yang tidak dapat lepas dari kesehatan adalah obat.
Ketersediaan obat menjadi bagian yang penting bagi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Penyediaan dan pengadaan obat yang terjamin keamanan (safety),
berkhasiat (efficacy) dan berkualitas (quality) dapat dicapai apabila Industri
Farmasi yang merupakan sarana penghasil obat dan perbekalan farmasi juga
berkualitas dan memenuhi standart yang telah dipersyaratkan.
Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.
Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan mutu
dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena menyangkut soal
nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara ketat. Industri
farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam CPOB
(Manajemen Industri Farmasi, 2007).
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.245/Menkes/SK/V/1990 tentang
Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha industri farmasi, untuk
memperoleh izin usaha farmasi diperlukan tahap persetujuan prinsip. Industri
farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB sesuai dengan ketentuan menurut
Keputusan Menteri Kesehatan No.43/Menkes/SK/II/1998. Industri farmasi wajib
mempekerjakan sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga negara Indonesia,
1
satu sebagai sebagai penangung jawab produksi dan lainnya sebagai penangung
jawab mutu. Industri farmasi yang telah memenuhi persyaratan CPOB diberikan
sertifikat CPOB.
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bertujuan untuk menjamin obat
yang dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai
dengan tujuan penggunaannya. Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan
bagi produk yang digunakan untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan kesehatan
atau memelihara kesehatan dalam hal ini produk yang dibuat tidak sesuai dengan
CPOB disebut dengan produk obat palsu. Obat palsu adalah obat yang di produksi
oleh orang yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain
yang telah memiliki izin edar (Permenkes RI, 2008). Menurut WHO obat palsu
adalah obat-obatan yang secara sengaja pendanaannya dipalsukan, baik
identitasnya maupun sumbernya.
Menurut data BPOM pada tahun 2015 pelaku pembuatan obat palsu dan
peredaran obat ilegal cukup banyak, BPOM mengusut ratusan kasus dengan nilai
total Rp 2,9 miliar. Sebelumnya Pada tahun 2011, BPOM menemukan 57 produk
illegal sedangkan pada tahun 2012, jumlahnya naik menjadi 66 produk dan pada
2013 melonjak drastis menjadi 837 produk (kompas, 2015).
Perkembangan kasus obat palsu di Indonesia dari tahun ke tahun tidak
menunjukkan kenaikan atau penurunan yang signifikan dari segi kuantitas.
Namun jika dilihat dari penyebarannya, menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini
tentu saja berdampak buruk bagi masyarakat, baik dari segi finansial maupun
kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan antisipasi dari pemerintah untuk
mengontrol agar tidak terjadi pemalsuan obat dan pemerintah juga diharapkan
untuk memberikan informasi kepada masyarakat dalam pemilihan obat, sehingga
kesehatan masyarakat lebih terjamin.
2
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah tersebut yaitu bagaimana
pengaruh dari peran seorang apoteker dalam kasus obat palsu yang beredar di
Indonesia untuk mewujudkan keselamatan jiwa guna tercapainya terapi yang
rasional ?
1. 3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran
farmasis atau apoteker di bidang industri farmasi terkait dengan kasus yang
banyak beredar tentang proses produksi obat-obatan palsu di lingkungan
masyarakat yag dapat merugikan konsumen.
1. 4 Manfaat
a. Manfaat bagi penulis
1) Memberikan informasi kepada masyarakat secraa lengkap terkait obat
palsu yang banyak beredar di pasaran.
2) Untuk melengkapi tugas mata kuliah Perilaku Pelayanan Farmasi
(PPF)
b. Manfaat bagi pembaca
1) Sumbangan informasi terkait bagaimana cara agar dapat membedakan
bentuk dan jenis obat palsu.
2) Agar masyarakat dapat berperan atau ikut serta dalam proses
pemusnahan obat palsu dengan cara melaporkan kasus serupa kepada
pihak yang berwajib.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pharmaceutical Industry
Industri farmasi adalah industri obat jadi dan industri bahan baku obat.
Industri farmasi sebagai industri penghasil obat, dituntut untuk dapat
menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan khasiat, keamanan dan mutu
dalam dosis yang digunakan untuk tujuan pengobatan. Karena menyangkut soal
nyawa manusia, industri farmasi dan produknya diatur secara ketat. Industri
farmasi di Indonesia diberlakukan persyaratan yang diatur dalam CPOB
(Manajemen Industri Farmasi, 2007).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.245/MenKes/SK/V/1990
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri
Farmasi. Industri Farmasi adalah Industri Obat Jadi dan Industri Bahan Baku
Obat. Definisi dari obat jadi yaitu sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Sedangkan yang dimaksud
dengan bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak
berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai
bahan farmasi.
2.2.1
Persyaratan Industri Farmasi
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi,
karena itu industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan. Persyaratan industri farmasi tercantum dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 245//Menkes/SK/V/1990 adalah sebagai
berikut :
a. Industri farmasi merupakan suatu perusahaan umum, badan hukum
berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
b. Memiliki rencana investasi.
c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
4
d. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku wajib memenuhi persyaratan
CPOB
sesuai
dengan
ketentuan
SK
Menteri
Kesehatan
No.
43/Menkes/SK/II/1988.
e. Industri farmasi obat jadi dan bahan baku, wajib mempekerjakan secara
tetap sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga Negara Indonesia,
masing-masing sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung
jawab pengawasan mutu sesuai dengan persyaratan CPOB.
f. Obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan
setelah memperoleh izin edar sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
2.2.2
Izin Usaha Industri Farmasi
Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang
pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM). Izin ini berlaku seterusnya selama industri tersebut berproduksi dengan
perpanjangan izin setiap 5 tahun, sedangkan untuk industri farmasi Penanaman
Modal Asing (PMA) masa berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya.
2.2.3
Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Pencabutan izin usaha industri farmasi dapat terjadi karena beberapa hal :
a. Melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan
perluasan tanpa memiliki izin.
b. Tidak menyampaikan informasi mengenai perkembangan industri secara
berturut-turut tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang
tidak benar.
c. Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis
terlebih dahulu.
d. Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak
memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu).
e. Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.
5
2.2 Ruang Lingkup Pharmaceutical Industri
CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) merupakan suatu konsep dalam
industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam
suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadi, yang diproduksi dengan
menerapkan “Good Manufacturing Practices” dalam seluruh aspek dan rangkaian
kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB
bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup
seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu (BPOM, 2006).
a. Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan
tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya
karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung
jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang
memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di
dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan
mutu secara konsisten dan dapat diandalkan diperlukan manajemen mutu yang
didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar (BPOM, 2006).
Kebijakan mutu hendaklah disosialisasikan kepada semua karyawan dengan cara
yang efektif, tidak cukup dengan cara membagikan fotokopinya dan/atau
menempelkan pada dinding. Untuk melaksanakan Kebijakan Mutu dibutuhkan 2
unsur
1.
Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan
kewajiban semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang
mengatur proses yang ada.
2.
Tindakan sistematis untuk melaksanakan system mutu, yang disebut
dengan pemastian mutu atau Quality Assurance (QA) (BPOM 2009).
6
b. Personalia
Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediatkan personil yang sehat,
terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat
berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar produk
yang dihasilkan bermutu (BPOM 2009). Kesehatan personil hendaklah dilakukan
pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan
(mulai dari petugas kebersihan, pemasangan dan perawatan peralatan, personil
produksi dan pengawasan hingga personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan
fisik dan mental yang baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk
yangdibuat. Disamping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program
pemeriksaan kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit
yang dapat berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir.
Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang kesehatan
mental dan fisiknya (BPOM 2009). Dalam kualifikasi dan pengalaman personil
yang diperlukan untuk tiap posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang
disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat ditampilkan pada Uraian Tugas
masing-masing (BPOM, 2009).
Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi.
Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas
akan dilakukan secara tergesa-gesa dengan segala akibatnya. Disamping itu,
kekurangan jumlah karyawan biasanya mengakibatkan kerja lembur sering
dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator
ataupun supervisor atau malahan bagi personil pada tingkat lebih atas yang
melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan (BPOM 2009).
Kategori personil kunci bergantung pada kebijakan perusahaan/industri
apakah terbatas hanya pada Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan
Mutu dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Industri dapat
menentukan posisi lain yang lebih tinggi, sama atau lebih rendah dicakup dalam
kategori personil kunci. Yang harus dipertahankan adalah semua Kepala Bagian
Produksi dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/Kepala Bagian
pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain(BPOM 2009).
7
c. Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain,
konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang
dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata
letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil
terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta
memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan
yang efektif untuk
menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain
yang dapat menurunkan mutu obat.
Rancang bangunan hendaklah dibuat sehingga untuk kegiatan yang
berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya dikelompokkan. Rancangan
diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif terhadap kegiatan produksi
yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih tinggi (BPOM 2009).
Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan konstruksi
bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi,
dan pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan.
d. Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi
yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan
tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan
untuk memudahkan pembersihan serta perawatan (BPOM, 2006).
e. Sanitasi dan Hygiene
Tingkat sanitasi dan hygiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap
aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan,
dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat
merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah
dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan hygiene yang menyeluruh serta
terpadu.
Sanitasi dan hygiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2006 adalah terhadap
personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan hygiene hendaklah
divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur
dan selalu memenuhi persyaratan.
8
f. Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin
produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar
(registrasi) sesuai dengan spesifikasinya (BPOM, 2006). Selain itu, produksi
baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Mutu suatu obat
tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga
oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan
awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan
dan hygiene sampai dengan pengemasan.
Prinsip utama produksi adalah :
1. Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets.
2. Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang
seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah
diproduksi maupun yang akan diproduksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain:
1. Pengadaan Bahan Awal
Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui
dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran dan
jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan
mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan
tanggal daluarsa (BPOM, 2006).
2. Pencegahan Pencemaran Silang
Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap
pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat
timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari bahan
atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian
kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis pencemar dan
produk yang tercemar.
3. Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara
dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan
9
dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara
dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih belum
daluarsa yang boleh diserahkan (BPOM, 2006).
4. Pengembalian
Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang
penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar (BPOM, 2006).
5. Pengolahan
Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum
dipakai. Semua peralatan yang dipakai dalam pengolahan hendaklah diperiksa
sebelum digunakan. Peralatan hendaklah dinyatakan bersih secara tertulis sebelum
digunakan. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikusi
prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah dilaporkan. Semua produk
antara hendaklah diberi label yang benar dan dikarantina sampai diluluskan oleh
bagian pengawasan mutu (BPOM, 2006).
6. Kegiatan Pengemasan
Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk
jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat
untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua
kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang
diberikan dan menggunakan bahan pengemas yang tercantum dalam prosedur
pengemasan induk. Rincian pelaksanaan pengemasan hendaklah dicatat dalam
catatan pengemasan bets.
7. Pengawasan Selama Proses
Pengawasan selama proses hendaklah mencakup:
a. Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada
saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan.
b. Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu
yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan
memastikan semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam
prosedur pengemasan induk.
10
8. Karantina Produk Jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum
penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan untuk
diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan untuk
memastikan produk dan catatan pengolahan bets memenuhi semua spesifikasi
yang ditentukan.
g. Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari CPOB untuk
memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang
sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak
yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai
sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi obat jadi.
Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus
terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk.
Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang
fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan
memuaskan (BPOM, 2006). Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua
kegiatan analitik yang dilakukan di laboratorium termasuk pengambilan sampel,
pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk
jadi.
Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan,
pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal,
menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode
pengujiannya (BPOM, 2006).
Area laboratorium pengawasan mutu hendaklah terpisah dari area produksi.
Selain itu bagi suatu laboratorium untuk pengawasan selama proses mungkin
lebih memudahkan apabila letaknya di daerah tempat pembuatan atau pengemasan
dimana dilakukan pengujian fisik seperti penimbangan dan uji monitoring lainnya
secara periodik.
Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan
mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan
sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum
11
didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area
produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang diperlukan.
h. Inspeksi diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi
dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB (BPOM,
2006). Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen oleh orang yang
kompeten yaitu terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam
melakukan inspeksi diri. Inspeksi diri dapat dilakukan sendiri oleh pihak
perusahaan dengan membentuk suatu tim atau oleh konsultan yang independen
dari luar perusahaan. Inspeksi diri hendaklah mencakup semua bagian yaitu
pemastian mutu, produksi, pengaweasan mutu, teknik dan gudang (termasuk
gudang obat jadi, Bahan baku, dan bahan pengemas) (BPOM, 2009).
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik
namun inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan
minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam
prosedur tetap inspeksi diri (BPOM, 2009).
i. Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Produk dan Produk
Kembalian
Kembalian Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya kerusakan obat dapat bersumber dari dalam maupun dari
luar industri, dan memerlukan penanganan dan pengkajian secara teliti (BPOM,
2009).
Keluhan/informasi yang bersumber dari dalam industri antara lain dapat dari
bagian produksi, bagian pengawasan mutu, bagian gudang dan bagian pemasaran,
sementara dari luar industri antara lain dapat berasal dari pasien, dokter,
paramedis, klinik, rumah sakit, apotek, distributor, dll (BPOM, 2009).
Penarikan kembali obat jadi dapat berupa penarikan kembali satu atau
beberapa bets atau seluruh obat jadi tertentu dari semua mata rantai distribusi.
Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan produk yang tidak memenuhi
persyaratan mutu atau atas dasar pertimbangan adanya efek samping yang tidak
diperhitungkan yang merugikan kesehatan (BPOM, 2009). Produk kembalian
adalah obat jadi yang telah keluar dari industri dan beredar yang kemudian
12
dikembalikan ke industri karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa,
atau alasan lain misalnya mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga
menimbulkan keraguan akan keamanan, identitas, mutu serta kesalahan
administratif yang menyangkut jumlah dan jenis (BPOM, 2009).
j. Dokumentasi
Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi
manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting
dari
pemastian
mutu
(BPOM,
2006).
Sistem
dokumentasi
yang
dirancang/digunakan hendaklah mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan,
memantau dan mencatat seluruh aspek produksi serta pengendalian dan
pengawasan mutu (BPOM, 2009).
Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa tiap personil
menerima uraian tugas secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko
terjadinya kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan
komunikasi lisan (BPOM, 2006).
k. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,
disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima kontrak harus dibuat
secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk
untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen
mutu (pemastian mutu).
l. Kualifikasi dan Validasi
Validasi adalah tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap
bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang
digunakan dalam produksi maupun pengawasan mutu akan senantiasa mencapai
hasil yang diinginkan (CPOB, 2006). CPOB mengisyaratkan industri farmasi
untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian
terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap
13
fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk maka
hendaklah divalidasi.
Pendekatan dengan kajian resiko hendaklah digunakan untuk menentukan
ruang lingkup dan cakupan validasi. Seluruh kegiatan validasi hendaklah
direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan
didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara.
RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. RIV hendaklah
mencakup sekurang-kurangnya adalah kebijakan validasi, struktur organisasi
kegiatan validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan
divalidasi, format dokumen, format protokol, laporan validasi, perencanaan dan
jadwal pelaksanaan, pengendalian perubahan, serta acuan dokumen yang
digunakan.
2.3
Kemungkinan Kesalahan yang Terjadi Di Industri
Kesalahan-kelasahan yang terjadi di industri farmasi antara lain:
a.
Manajemen mutu
Tidak melakukan pengkajian mutu produk secara berkala terhadap semua
obat terdaftar, termasuk produk ekspor untuk membuktikan konsistensi
proses, kesesuaian dari spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi,
untuk mengidentifikasi perbaikan dengan mempertimbangkan kajian ulang
sebelumnya.
b.
Personalia
Melakukan aktivitas seperti merokok, makan, dan minum di daerah produksi,
laboratorium dan daerah lain yang dapat merugikan produk.
c.
Bangunan dan Fasilitas
Tata letak ruangan yang tidak tepat mengakibatkan pelaksanaan kegiatan
produksi menjadi kurang efektif dan efisien.
d.
Peralatan
Menggunakan peralatan yang bereaksi dengan bahan-bahan yang akan diolah.
Tidak mematuhi prosedur-prosedur tertulis untuk perawatan peralatan.
14
e.
Sanitasi dan Higiene
Penggunaan rodentisida, insektisida, bahan fumigasi, dan bahan pembersih
yang mencemari peralatan dan bahan-bahan. Tidak menyimpan catatan
pembersihan, sanitasi, dan sterilisasi.
f.
Produksi
Sistem penomoran yang tidak dijabarkan secara rinci, mengakibatkan
terjadinya kesulitan pada penandaan suatu obat bila terjadi sesuatu.
g.
Pengawasan Mutu
Tidak melakukan pengendalian terhadap lingkungan secara berkala, yang
meliputi pemantauan terhadap air untuk proses produksi, pemantauan
mikrobiologis pada lingkungan produksi, pemantauan terhadap lingkungan
sekitar area produksi, dan pengendalian pencemaran udara.
h.
Inspeksi Diri dan Audit Mutu
Pemimpin perusahaan tidak melakukan tindak lanjut inspeksi diri berdasarkan
laporan.
i.
Penanganan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan Produk
Kembalian
Penanganan obat kembalian mencakup jumlah, karantina, penelitian,
pengolahan kembali, pemeriksaan dan pengawasan mutu tidak dilakukan
dengan seksama.
j.
Dokumentasi
Dokumentasi yang kurang baik menyebabkan terjadinya resiko salah tafsir
dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi
lisan.
k.
Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Tidak dibuatnya kontrak secara tertulis antara pemberi dan penerima kontrak,
sehingga tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak tidak dapat
ditentukan dengan jelas.
l.
Kualifikasi dan Validasi
Tidak membuat rencana kegiatan validasi dan dokumentasi sementara secara
singkat, tepat dan jelas dalam rencana induk validasi.
15
2.4
Kasus Di Lingkup Pharmaceutical Industri
Pabrik Obat Palsu Kapolda Jabar Irjen Pol Mochamd Iriawan (tengah)
meninjau lokasi penggerebekan tempat pembuatan pabrik obat palsu terbesar di
Bandung, milik PT Himajaya Raya, Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/1). PT
Himajaya Raya memproduksi sekitar 600 ribu butir/hari obat palsu jenis kalsium
laktat, carnoven, amnofein dan somadril senilai Rp. 540 juta.
Bandung (ANTARA News) - Polres Bandung menggerebek sebuah pabrik
yang membuat obat palsu di Jalan Dian Permai Nomor 11 Kelurahan Babakan,
Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jumat. Pada penggerebekan tersebut
polisi berhasil menemukan jutaan obat dalam bentuk kapsul dan tablet, selain itu
di dalam pabrik juga ditemukan bahan pembuatan obat, dan alat cetak. Selain itu,
polisi juga mengamankan seorang pemilik pabrik tersebut berinisial BH serta
delapan orang karyawannya. Menurut Mashudi, pabrik obat palsu tersebut
diperkirakan memiliki omzet sekitar Rp540 juta per harinya. "Jadi BH dalam
sehari bisa memproduksi 600 ribu tablet. Obat itu dikemas menjadi 10 butir per
kemasannya. Satu kemasan itu dijual Rp9 ribu. Kalau dikalikan 60 ribu kemasan
maka jumlahnya Rp540 juta. Sehingga dalam sebulan bisa mencapai sekitar Rp16
miliar," kata Mashudi. itu, Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Mochamad Iriawan yang
turut menyaksikan penggerebekan pabrik tersebut menuturkan pabrik itu telah
beroperasi selama dua tahun. Saat ini, pemilik pabrik tersebut yakni BH dan
delapan orang karyawannya dibawa ke Mapolrestabes Bandung untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
2.5
Analisis Kasus
2.5.1
Pengertian Obat Palsu
Obat palsu adalah obat yang di produksi oleh orang yang tidak berhak
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat
dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar
(Permenkes RI, 2008). Menurut WHO obat palsu adalah obat-obatan yang secara
sengaja pendanaannya dipalsukan, baik identitasnya maupun sumbernya.
16
2.5.2
Kategori Obat Palsu
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 242 Tahun 2000, yang
dikategorikan sebagai obat palsu adalah obat yang diproduksi pihak yang tak
berhak menurut Undang-Undang. Ada lima macam obat palsu, yaitu :
a.
Produk mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang memenuhi
syarat, diproduksi, dikemas dan diberi label seperti produk aslinya, tetapi
bukan dibuat oleh pabrik aslinya.
b.
Obat yang mengandung bahan berkhasiat dengan kadar yang tidak
memenuhi syarat.
c.
Produk dibuat dengan bentuk dan kemasan seperti produk asli, tetapi
tidak mengandung bahan berkhasiat.
d.
Produk yang menyerupai produk asli, tapi mengandung bahan berkhasiat
yang berbeda.
e.
2.5.3
Produk yang diproduksi tidak berijin (Anonim, 2008)
Cara Mengenali Obat Palsu
Langkah awal untuk mencapai hasil yang optimal dari suatu pengobatan
adalah membeli atau memperoleh obat di tempat yang benar. Beberapa tips
membeli obat yang baik untuk menghindari obat palsu adalah :
1. Perhatikan nomor registrasi sebagai tanda sudah mendapat izin untuk
dijual di Indonesia
2. Periksalah kualitas keamanan dan kualitas fisik produk obat tersebut
3. Periksalah nama dan alamat produsen, apakah tercantum dengan jelas
4. Teliti dan lihatlah tanggal kadaluwarsa
5. Untuk obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter (ethical/obat
keras), belilah hanya di apotek berdasarkan resep dokter
6. Baca indikasi, aturan pakai, peringatan, kontra indikasi, efek samping, cara
penyimpanan, dan semua informasi yang tercantum pada kemasan
7. Tanyakan informasi obat lebih lanjut pada apoteker di apotek
Setelah membeli obat di tempat yang benar, penggunaan obat yang tepat
merupakan faktor penting untuk memperoleh khasiat yang optimal dari suatu obat.
Untuk itu, hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat, yaitu :
a. Baca aturan pakai pada label/etiket setiap Anda akan menggunakan obat.
17
b. Untuk menghindari kesalahan, jangan menggunakan obat di tempat gelap
(Anonim, 2000).
2.5.4
Analisis Kasus Sebagai Apoteker
Analisis mengenai kasus obat palsu yang diproduksi oleh PT. Himajaya Raya
dari segi farmasi disini dapat dilihat dari kurangnya SDM (sumber daya manusia)
yang berkompeten dalam hal proses produksi obat, dalam artian tenaga praktek
kefarmasian (apoteker) yang dapat bertanggung jawab atas proses produksi
tersebut. Selain keterbatasan SDM pada proses produksi, industri farmasi yang
akan memproduksi seharusnya memiliki ijin resmi terkait produksi obat yang
sesuai dengan standar CPOB. Jika dicermati kasus pembuatan atau produksi obat
palsu yang dilakukan oleh PT. Himajaya Raya ini guna mendapatkan keuntungan
yang meningkat namun tanpa disadari proses produksi tersebut dapat merugikan
konsumen hingga membahayakan nyawa konsumen. Kesalahan proses produksi
tersebut terjadi karna adanya kesalahan personalia dan kesalahan produksi.
Kesalahan personalia disini dimaksudkan kurang kompetennya orang-orang yang
memproduksi obat tersebut. Kesalahan proses produksi ini ditinjau dari proses
pengadaan bahan awal, proses formulasi dan penimbangan bahan yang mana pada
proses ini lah pembuatan sediaan yang baik dan benar sesuai dengan CPOB, baik
ketepatan formulasi dan penyediaan bahannya. Kesalahan produksi obat palsu ini
juga dapat dikarenakan kesalahan proses pengemasan dan pelabelan, dimana pada
label obat palsu tersebut tetap dicantumkan kadar atau kandungan obat yang
berkhasiat untuk proses terapi pasien sedangkan pada kenyataannya obat
berkhasiat yang disebutkan tersebut tidak memenuhi persyaratan atau bahkan
kandungan bahan obat tersebut tidak ada dalam sediaan.
Ketersediaan obat bagi masyarakat merupakan salah satu komitmen
pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat. Upaya yang
telah dilakukan oleh pemerintah tentunya bertujuan agar kesehatan masyarakat
terjaga. Namun tidak dapat dihindari, bahwa upaya mulia tersebut terganjal
dengan adanya peredaran obat palsu. Beredarnya obat-obatan palsu saat ini telah
membawa konsekuensi terhadap permasalahan hukum dan permasalahan
kesehatan masyarakat yang serius. Berdasarkan hal tersebut, agar kesehatan
18
masyarakat yang optimal dapat terwujud, perlu dilakukan upaya-upaya kesehatan
yang bersifat menyeluruh dan terpadu. Untuk penyelenggaraan berbagai upaya
kesehatan tersebut, obat merupakan salah satu unsur penting karena dengan
penggunaan obat yang tepat kondisi kesehatan masyarakat dapat terjamin. Obat
palsu yang beredar di pasaran dikemas sedemikian rupa, sehingga sangat sulit
bagi masyarakat awam untuk mengetahui kecuali melalui uji laboratorium
ataupun informasi dari tenaga kesehatan. Namun demikian, pemerintah
seharusnya dapat melakukan berbagai upaya untuk menjamin kualitas obat
melalui pencegahan dan pengawasan peredaran obat palsu tersebut. Peredaran
obat palsu sudah seperti masalah yang belum diketahui penyelesaian terbaiknya
karena aturan yang tidak jelas, dan aturan tersebut sering dilanggar tanpa ada
sanksi dan penegakan hukum pun amat lemah. Masalah tersebut tidak lepas dari
sikap dari BPOM dan penegak hukum lain yang tidak tegas dalam usaha menekan
peredaran obat palsu ini. Masyarakat sebagai konsumen mempunyai hak yang
harus dilindungi.
Penegakan hak-hak konsumen ini
jelas
memerlukan
perlindungan hukum agar hak-hak konsumen lebih terjamin. Mengenai hak-hak
konsumen ini haruslah dijelaskan secara jelas dalam undang-undang yang berlaku.
Konsumen memerlukan perlindungan hukum atas kerugian yang dideritanya
karena telah mengkonsumsi obat-obat palsu. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan adanya penyelenggaraan pengamanan sediaan farmasi berupa obat
dan bahan obat.
Kewajiban seorang apoteker dalam kasus ini adalah untuk meluruskan kasus
yang seperi ini memang seorang apoteker tidak memiliki hak, akan tetapi seorang
apoteker berhak melakukan pelaporan kepada pihak yang berwajib jika
mengetahui adanya penyalahgunaan dalam prosedur pembuatan obat serta
peralatan yang tidak memadai yang mampu merugikan konsumen dan negara.
Dengan adanya hal ini diharapkan konsumen perlu waspada dengan obat yang
akan dikonsumsi agar tidak menjadi korban dari peredaran obat palsu. Tidak
hanya dari BPOM saja yang mengawasi pendistribusian obat namun perlu adanya
kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta dan pihak-pihak terkait perlu
ditingkatkan agar pengawasan obat palsu tidak beredar luas.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Konsumen memerlukan perlindungan hukum atas kerugian yang
dideritanya karena telah mengkonsumsi obat-obat palsu. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan yaitu penyelenggaraan pengamanan sediaan farmasi
berupa obat dan bahan obat
b. Seorang apoteker berhak melakukan pelaporan kepada pihak yang
berwajib jika mengetahui adanya penyalahgunaan oleh produsen dalam
prosedur pembuatan obat serta menggunakan peralatan yang tidak sesuai
CPOB yang mampu merugikan konsumen
3.2 Saran
a. Perlu Waspada dengan obat yang akan dikonsumsi agar tidak menjadi
korban dari peredaran obat palsu.
b. Tidak hanya dari BPOM saja yang mengawasi pendistribusian obat namun
perlu adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta dan
pihak-pihak terkait untuk mengawasi peredaran obat palsu.
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (1990). Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
245/Menkes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi. Jakarta
Anonim, 2000. Cara Cepat Deteksi Obat Palsu, Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.
Badan POM. (2001). Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang
Baik. Jakarta. Hal. 17 Badan POM. (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat
yang Baik. Jakarta. Hal. 1-119 Depkes RI. (1988). Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI No.43/Menkes/SK/II/1988 tentang Pedoman Cara Pembuatan
Obat yang Baik. Jakarta
Departemen Lingkungan Hidup. (1995). Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri.
Jakarta
Gelgel Wirasuta, I M.A., Dewi, Sri., Parmiati, Eni., Obat Palsu di Indonesia.
http://obat-palsu-di-indonesia.html. Diakses tanggal : 25 Mei 2015.
Hernandez Raja, B., Sambandan. P., 2015. Open Innovation in Pharmaceutical
Industry: A case study of Eli Lilly. Master of Science Thesis Stockholm,
Sweden 2015
Republik Indonesia. Undang-undang No. 1 TAHUN 1967 tentang PENANAMAN
MODAL ASING. Lembaran Negara RI Tahun 1967, Sekertariat Negara.
Jakarta
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Lembaran Negara RI Tahun 2009, Sekertariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. Peraturan Pemerinah No.51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian Lembaran Negara RI Tahun 2009, Sekertariat Negara. Jakarta
Priyambodo, B. (2007). Manajemen Farmasi Industri. Edisi I. Yogyakarta: Global
Pustaka Utama. Hal. 3, 26, 29, 75, 94-95, 99, 103, 219
Wilda, Enka., Aspek-aspek CPOB termasuk contoh terjadinya kesalahan .
http://documents.tips/documents/tugas-farmasi-industri-55f99f6a2605d.html
Diakses tanggal : 27 Mei 2016.
21
Download