PRESS RELEASE Waspadai peredaran dan penggunaan obat palsu! Mari kurangi penggunaan obat palsu dan ilegal dimulai dari diri sendiri. Jakarta, 3 Juni 2015 – Sanofi Group Indonesia bersama-sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, Badan Reserse Kriminal (BARESKRIM) POLRI, International Manufacturer Pharmaceutical Group (IPMG) dan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) menyerukan agar masyarakat turut berperan dalam menanggulangi peredaran obat palsu di Indonesia dengan cara memutus mata rantai peredaran obat palsu demi keselamatan pasien. Hal ini disampaikan dalam Seminar Media hari ini yang diadakan oleh Sanofi, perusahaan pelayanan kesehatan global yang menyediakan pelayanan kesehatan dan memberikan harapan bagi 7 milyar pasien di dunia, sehubungan dengan Hari Anti-Counterfeit Sanofi Sedunia yang dicanangkan tanggal 8 Juni setiap tahun sebagai bagian dari upaya mengkampanyekan bahayanya obat palsu bagi keselamatan pasien. Benoit Martineau, General Manager Sanofi Group Indonesia mengatakan, “Sanofi adalah perusahaan penyedia layanan kesehatan terkemuka yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan akses pasien terhadap pengobatan yang terbaik. Mengingat bahaya obat palsu yang sangat besar bagi pasien, kami secara aktif telah bekerjasama dengan bebagai pihak guna memerangi pemalsuan obat dengan tujuan semata-mata bagi keselamatan pasien”. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat pertumbuhan peredaran obat ilegal dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Berdasarkan data dari BPOM, terdapat peningkatan jumlah temuan obat palsu selama 3 tahun terakhir (sejak tahun 2012 hingga 2014), dimana pada tahun 2012 ditemukan 6 item, 2013 ditemukan 13 item dan 2014 ditemukan 14 item. pada data tahun 2014, diketahui bahwa jenis obat dari kelas terapi paling banyak dipalsukan, secara berturut-turut berasal dari kelas terapi AntiKonvulsi, Antitusif (opioid) dan Anti-Diabetes. Sementara itu, data sebaran wilayah lokasi tempat ditemukannya obat palsu paling banyak berada di pulau Jawa. Persentase paling sering ditemukan berturut-turut yakni di provinsi DKI Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jogjakarta. “Pengawasan peredaran obat palsu lebih difokuskan pada produk, sarana distribusi/ sarana pelayanan kesehatan dan/ atau pelaku peredaran obat palsu, bukan pada besaran nilai ekonomis yang timbul. Sehingga estimasi kerugian negara akibat peredaran obat palsu tidak dapat dihitung secara pasti. Sementara itu bagi konsumen, penggunaan obat palsu dapat mengakibatkan kesehatan bertambah buruk dan dapat berakibat kematian, biaya pengobatan meningkat, pasien tidak membaik dan komplikasi. sebagai contoh, antibiotik palsu dapat menyebabkan mikroba menjadi kebal,” demikian diungkapkan Drs. T. Bahdar JH., Apt., M.Pharm, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Republik Indonesia. “Peredaran obat palsu dapat merusak kepercayaan konsumen tentang pelayanan medis, khususnya mengenai manfaat obat dalam mengatasi penyakit. Pemalsuan juga dapat merendahkan nilai inovasi yang berkembang, sehingga beresiko menurunkan motivasi dalam penciptaan inovasi-inovasi baru dalam dunia pelayanan kesehatan. Perusahaanperusahaan berbasis riset dan pengembangan telah melakukan berbagai upaya dalam menghambat pemalsuan obat, antara lain melalui inovasi dalam hal segel dan hologram obat, serta meningkatkan kinerja departemen keamanan obat.” tambah Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturing Group (IPMG), yang beranggotakan perusahaan-perusahaan farmasi multinasional berbasis R&D. Namun terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh semua pihak, pada akhirnya masyarakat atau pasien juga yang menentukan obat yang akan dikonsumsinya. Oleh karena itu pemahaman masyarakat akan obat-obatan asli yang berkualitas memegang peranan yang sangat penting dalam mengurangi peredaran obat palsu dan ilegal. “Mayoritas konsumen terdorong untuk membeli obat-obat ilegal atau palsu akibat faktor ketidaktahuan. Mereka sadar bahwa kualitas obat-obatan harus menjadi pertimbangan utama dalam membeli produk farmasi karena obat/produk farmasi palsu sangat berbahaya bagi diri sendiri maupun keluarganya. Namun sangat sulit untuk membedakan mana obat yang asli dan mana yang palsu” papar Justisiari P. Kusumah, perwakilan dari Masyarakat Anti Pemalsuan (MIAP). “Untuk memastikan keaslian obat yang akan dikonsumsi, masyarakat dihimbau untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dengan cara menebus resep obat hanya di apotek, sampaikan pada dokter jika tidak ada kemajuan setelah minum obat yang diresepkan, membeli obat di sarana pelayanan kesehatan berijin (Obat Bebas / Obat Bebas Terbatas di Apotek dan Toko Obat Berijin ; Obat Keras di Apotek) dan memperhatikan kemasan yakni segel, kebersihan, label obat (nama obat, nomor registrasi/NIE, nama produsen dan tanggal kadalusarsa) serta mencurigai jika terdapat perbedaan harga obat yang cukup tinggi. Selain itu masyarakat diminta untuk Segera musnahkan obat kadaluarsa, rusak atau obat yang sudah tidak terpakai dengan cara menghancurkan obat dan merusak kemasan agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” tutup Drs. T. Bahdar JH., Apt., M.Pharm, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, BPOM RI. -selesai- Tentang Sanofi Sanofi, pemimpin global dalam bidang kesehatan, menemukan, mengembangkan serta mendistribusikan solusi pengobatan yang berfokus pada kebutuhan pasien. Sanofi memiliki kekuatan utama di bidang kesehatan dengan tujuh platform yang berkembang: solusi diabetes, vaksin untuk manusia, obat-obatan inovatif, layanan kesehatan konsumen, pasar berkembang, kesehatan hewan dan Genzyme baru. Sanofi terdaftar di Paris (EURONEXT: SAN) dan di New York (NYSE: SNY). Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi : Sanofi Group Indonesia Eugenia Communications Hanum Yahya Director of Communications and Public Affairs Sanofi Group Indonesia Telp: +62 21 4789 9847 Email: [email protected] Eugenia Siahaan PR Director Eugenia Communications Telp: +62 21 8660 7015 Email: [email protected]