BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERANG DAN PERWAKILAN DIPLOMATIK 2.1 Konsep Perang dan Damai Eksistensi dan bahkan pengertian dari perang merupakan topik yang menjadi kontroversi hingga kini. Perang telah ada sebelum lahirnya hukum internasional, bahkan perang sudah ada sebelum munculnya negara-negara didunia ini. Perang pertama kali terjadi pada masa prasejarah yang dikenal dengan Prehistoric Warfare. Sejarah kemudian berlanjut pada Ancient Warfare seperti The Battle of Thermopylae pada 480 Sebelum Masehi yaitu perang yang terjadi antara prajurit Yunani kuno yang menurut Herodotus, seorang sejarawan yunani kuno sebanyak lima ribu dua ratus orang melawan pasukan Persia yang berjumlah dua setengah juta orang.1 Perang Kalingga (265-264 SM) di India dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Berikutnya adalah peperangan di abad pertengahan yang pada era itu terjadi perang salib dan ekspansi Mongol. Setelah itu, perang masuk pada era Early Modern Warfare seperti perang saudara Inggris (1642-1646, 16481649, 1649-1651), perang saat suksesi Spanyol (1701-1714), Napoleonic War (1803-1815), dan perang saudara Amerika Serikat (1861-1865). 1 http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Hdt.+8.24 Oktober 2015 pukul 20.25 WITA 17 diakses pada tanggal 27 18 Berlanjut ke Perang Dunia pertama dan kedua, dan hingga sekarang perang masih saja berlangsung di berbagai belahan dunia, terutama di wilayah Timur Tengah. Salah satu definisi klasik tentang perang dikemukakan oleh Karl von Clausewitz yang mendefinisikan perang sebagai perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukkan lawannya guna memenuhi kehendaknya.2 Dalam definisi tersebut terdapat dua aspek penting mengenai perang yaitu, perang dilakukan dalam skala besar, dan pihak-pihak yang terlibat dalam perang memiliki tujuan untuk menundukkan dan memaksakan persyaratanpersyaratan tertentu. J.G. Starke juga berpendapat bahwa pembedaan perang dan konflik bersenjata bukan perang dapat dilihat dari dimensi konflik, maksud-maksud para kontestan, serta sikap dan reaksi pihak ketiga yang bukan kontestan.3 Definisi lain dikemukakan oleh Oppenheim yang mengemukakan pendapat bahwa perang adalah, ‘… a contention between two or more States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases’.4 Berpijak pada definisi Oppenheim tadi, Dinstein berpendapat bahwa perang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:5 2 J.G. Starke, 2004, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesepuluh, cet. V, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja, Sinar Grafika, Jakarta, h.699. 3 Ibid, h. 703 4 Yoram Dinstein, 2004, War, Agression and Self-Defense, edisi ketiga, Cambridge Universiti Press, Cambridge, h. 4. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=gn6gYjdBzyYC&dq=Yoram+Dinstein,+2004,+War,+Aggres sion+and+Self-Defense,&hl=id&source=gbs_navlinks_s diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 19.25 WITA 19 a. ada permusuhan diantara setidaknya dua negara; b. ada penggunaan angkatan bersenjata oleh kontestan; c. ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh; d. tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara yang terlibat; Berdasarkan beberapa pendapat diatas, secara umum perang lazimnya dianggap sebagai konflik bersenjata yang terjadi diantara negara-negara.6 Jadi, dapat dikatakan bahwa perang adalah salah satu wujud dari konflik bersenjata (armed conflict). Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan yang non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan dengan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau yang berhadapan dalam koflik itu adalah setidaknya salah-satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara. Konflik bersenjata internasional dibedakan lagi menjadi perang dan bukan perang. Konflik bersenjata internasional bukan perang terjadi saat dua atau lebih negara terlibat dalam penggunaan kekerasan senjata satu sama lain, namun skala penggunaan kekerasan senjata itu tidak bersifat luas, dan 5 Ibid, h. 4-5 6 Ibid, h. 5. 20 tujuannya pun bukan untuk mengalahkan musuh secara total dan memaksakan syarat-syarat perdamaian. Berbicara tentang perang, tidak dapat dipisahkan dengan kaidah-kaidah yang mengatur hal tersebut. War, like most other field of human activity, today is regulated and contained by a body of laws,7 demikian pernah ditulis oleh Morris Greenspan. Hukum yang mengatur perang itu disebut Hukum Perang (laws of war, Kriegsrecht, Ologsrecht, dan sebagainya). Lauterpacht berpendapat bahwa laws of war are the rules of the law of nations respecting warfare.8 Dengan lahirnya Hukum Perang yang kini berganti nama menjadi Hukum Humaniter maka pelanggaranpelanggaran yang dilakukan negara-negara dalam berperang harusnya dapat sedikit dikurangi. Sementara itu, damai memiliki banyak arti, namun dalam kaitannya dengan karya ilmiah ini, maka penulis memilih definisi damai sebagai ketiadaan perang, tercapainya persetujuan untuk mengakhiri perang, atau periode dimana para pihak tidak lagi menggunakan kekuatannya untuk memerangi musuh. 7 Morris Greenspan, 1959, The Modern Law of Land Warfare, University Of California Press, tanpa tempat tebit, h. 4. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=8muPAAAAMAAJ&q=Morris+Greenspan,+1959,+The+Mo dern+Law+of+Land+Warfare&dq=Morris+Greenspan,+1959,+The+Modern+Law+of+Land+War fare&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjC_8jbnNPJAhWEGZQKHZkPCvMQ6AEIGjAA diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 19.25 WITA 8 Sir Hersch Lauterpacht, 1955, International Law, vol.2, tanpa penerbit, tanpa tempat terbit, h. 226. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=N0s9AAAAIAAJ&dq=Sir+Hersch+Lauterpacht,+1955,+Inte rnational+Law&hl=id&source=gbs_navlinks_s diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 19.50 WITA 21 2.2 Sejarah Diplomasi Secara etiomlogi, istilah diploma berasal dari bahasa Latin dan Yunani yang dapat diartikan sebagai surat kepercayaan. Perkataan diplomasi kemudian menjelma menjadi istilah diplomati, diplomasi, dan diplomatik.9 Herman F. Eilts dalam bukunya, “Diplomacy-Contemporary Practice” mengatakan bahwa diplomasi adalah seni atau ilmu yang harus dilakukan sehubungan dengan transaksi urusan-urusan antara negara-negara berdaulat dengan menggunakan sarana agenagen terekstradisi (diakui) dan menurut hukum internasional; diplomasi merupakan metode atau prosedur yang diterapkan dalam manajemen negosiasi internasional.10 Secara sederhana, diplomasi bisa didefinisikan sebagai proses politik yang denganya entitas politik, umumnya negara, melakukan hubungan-hubungan luar negeri satu sama lain dalam lingkungan internasional.11 Dilacak dari asal usulnya, diplomasi dimulai pada zaman kuno. Orang Cina, India, Mesir, dan Mesopotamia pada ratusan tahun sebelum Masehi telah mengirimkan dan menerima utusan dari dan ke negara lain yang bertugas untuk merancang perdamaian dan berusaha menyelesaikan perselisihan.12 Di Barat, 9 C.S.T Kansil, 2002, Modul Hukum Internasional, Djambatan, Jakarta, h.71. 10 Elmer Plischke, 1979, Modern Diplomacy: The Art and the Artisans, American Enterprise Institute, Washington D.C, h. 4. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=x_IlAAAAMAAJ&q=Elmer+Plischke,+1979,+Modern+Dipl omacy:+The+Art+and+the+Artisans&dq=Elmer+Plischke,+1979,+Modern+Diplomacy:+The+Art +and+the+Artisans&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiU5vLFntPJAhVBuJQKHeIIBd0Q6AEIGjAA diakses pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 20.20 WITA 11 Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, 2010, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 113. 12 Ibid, h. 118 22 diplomasi modern dimulai di abad kedua belas atau tiga belas ketika penguasapenguasa wilayah mengirim utusan kepada penguasa lainnya. Para utusan ini bertugas menyampaikan pandangan penguasa yang mengutusnya dan berunding dan membuat kesepakatan atas nama majikannya dengan penguasa setempat. Perkembangan diplomasi di abad empat belas atau lima belas dimana negara-negara kecil Italia mulai mengirim utusan-utusan yang menetap di luar negeri. Praktik ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain yang berdaulat dan dijadikan model standar di Eropa. Tujuan menetapnya utusan-utusan tersebut adalah agar mereka bisa memonitior kejadian di negara lain tersebut secara terusmenerus demi kepentingan negara asal. Perkembangan berikutnya terjadi karena adanya kongres Wina 1815. Saat itu para negarawan sadar akan perlunya mengatur hubungan diplomatik di antara negara-negara Eropa. Lalu setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya tahun 1958 Komisi Hukum Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat rancangan konvensi diplomatik yang mengatur tugas dan tanggung jawab korps diplomatik.13 Dalam sejarahnya, diplomasi memiliki banyak metode dalam pelaksanaannya. Namun, terdapat dua yang paling dikenal adalah Metode Perancis (diplomasi lama/tradisional) dan Metode Amerika (diplomasi baru). Metode Perancis adalah teori dan praktik negosiasi internasional yang dicetuskan oleh Richeliu, dianalisis oleh Callieres dan dipraktikkan oleh semua negara Eropa 13 Elmer Plischke, op.cit, h. 5-7 23 selama tiga abad sebelum perang dunia pertama.14 Ada lima hal yang menjadi karakteristik diplomasi tradisional ini, diantaranya: a. Eropa dianggap sebagai wilayah yang paling penting di dunia b. Asumsi bahwa negara-negara dengan kekuatan besar lebih baik disbanding negara-negara kecil, karena mereka memiliki kepentingan dan tanggung jawab lebih besar, memiliki lebih banyak uang dan tentunya senjata c. Negara-negara dengan kekuatan besar memiliki tanggung jawab bersama terhadap perilaku negara-negara kecil dan preservasi perdamaian diantara mereka. d. Keberadaan pelayanan diplomasi professional yang seragam di seluruh negara Eropa. Mereka mewakili pemerintahnya di ibukota negara lain dan memiliki standar pendidikan yang sama, perjalanan dan tujuan yang sama pula. e. Aturan yang menjelaskan negosiasi harus bersifat rahasia (confidential). Diplomasi baru (new diplomacy) pada sisi yang lain mulai berkembang pada perang dunia pertama, yang oleh Harold Nicolson disebut sebagai Diplomasi Metode Amerika. Karakteristik diplomasi baru ini mencakup beberapa hal, yaitu terdiri atas diplomasi parlementer yang dipraktikkan di organisasi internasional (Liga Bangsa-Bangsa), diplomasi personal para pemimpin politik, dan diplomasi 14 Ibid, h. 43 24 terbuka. Diplomasi baru ini disebut juga diplomasi demokratis yang digambarkan dengan peningkatan respons pada rakyat, berkurangnya rahasia pemerintah, dan kontrol legislatif yang lebih besar. Perkembangan dalam metode diplomasi diatas disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perubahan substansial pada komposisi negara-negara didunia. Pada abad XIX hanya sedikit negara yang termasuk dalam komunitas diplomatik dan kebanyakan berada di Eropa, Amerika, dan Asia dimana hanya Jepang dan Cina yang lebih menonjol. Ketika memasuki abad XX banyak negara-negara yang baru merdeka dan menjadi anggota komunitas internasional. Kedua, peningkatan kepentingan dan perhatian antar negara dalam hal perdagangan internasional, kemajuan ilmu pengetahuan, dan interaksi antarnegara di bidang budaya, ekonomi, sosial, dan keuangan. Ketiga, revolusi dalam bidang teknologi transportasi dan komunikasi. Keempat, perubahan dalam proses diplomasi. Dimana setelah perang dunia II, proses diplomasi juga dimaksudkan untuk mempromosikan ideology dan konflik sehingga para diplomat menjadi dai-dai ideology, agen spionase, dan para subversif. Kelima, munculnya persepsi yang lebih demokratis tentang hubungan internasional dengan partisipasi rakyat secara langsung maupun tidak langsung dalam kepentingan nasional, bukan hanya dipercayakan oleh segelintir elit tertentu. Terakhir, meningkatkan posisi Amerika Serikat dalam dunia internasional setelah Perang Dunia II.15 Hingga kini, diplomasi baru atau model Amerika masih dianggap yang paling relevan dalam pelaksanaannya. 15 Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman, op. cit, h.121-122. 25 Berkembangnya diplomasi melahirkan aturan-aturan mengenai praktikpraktik hubungan diplomatik dan hubungan internasional lainnya seperti Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan diolomatik beserta protokol-protokol pilihan, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler beserta protokol-protokol pilihan, Konvensi New York 1969 mengenai Misi Khusus beserta protokolprotokol pilihan, Konvensi New York 1973 mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap orang-orang yang menurut Hukum Internasional dilindungi, termasuk para diplomat, Konvensi Wina 1975 mengenai Keterwakilan Negara dalam Hubungannya dengan Organisasi Internasional yang bersifat Universal. 2.3 Konsep Perwakilan Diplomatik dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional. Dalam peraturan hukum nasional, pengertian perwakilan diplomatik dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang menyatakan berikut: Pasal 1 angka 4 KEPRES RI Nomor 108 tahun 2003: ” Perwakilan Diplomatik adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Perutusan Tetap Republik Indonesia yang melakukan kegiatan diplomatik di seluruh wilayah Negara Penerima dan/atau pada Organisasi Internasional 26 untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan Bangsa, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia.” Berdasarkan pengertian diatas dapat diketahui bahwa perwakilan diplomatik terdiri dari Kedutaan Besar Republik Indonesia yang berupa gedunggedung perwakilan (the premises of mission) dan Perutusan Tetap Republik Indonesia sebagai utusan-utusan yang dikirim oleh Republik Indonesia demi menjalankan misi diplomatik di negara penerima. Pengertian inilah yang menjadi acuan penulis dalam menggunakan istilah “perwakilan diplomatik” dalam karya ilmiah ini. Pengaturan hukum internasional mengenai pengertian dari perwakilan diplomatik tidak diatur secara tegas. Akan tetapi, penulis menemukan pembagian dari perwakilan diplomatik dalam Konvensi Wina 1961 khususnya dalam pasal 1 yang menjelaskan pengertian dari heads of mission, members of the mission, members of staff of the mission, members of diplomatic staff, diplomatic agent, members of the administrative and technical staff, members of the service staff, private servant, dan premises of the mission.16 Dari penjelasan-penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa perwakilan diplomatik terdiri atas utusan diplomatik atau wakil diplomatik atau agen diplomatik, dan gedung perwakilan diplomatik. 16 Pasal 1 Konvensi Wina 1961 27 2.3.1 Konsep agen diplomatik. Menurut Konvensi Wina 1961, agen diplomatik atau disebut juga wakil diplomatik atau pejabat diplomatik adalah kepala misi atau anggota dari staf misi diplomatik. Istilah agen diplomatik yang dulu hanya dipakai untuk menyebut kepala misi, sekarang mencakup pula anggota-anggota staf diplomatik misi; anggota-anggota staf diplomatik tidak saja mencakup anggota-anggota dinas diplomatik, tetapi juga atase-atase (para ahli yang diperbantukan dalam kedutaan), penasihat, dan anggota-anggota departemen lain, dengan syarat mereka berpangkat diplomatik.17 Istilah pangkat diplomatik tidak dirusmuskan, tetapi dalam hubungan ini dipakai untuk menyebut pada serangkaian pangkat pada misi diplomatik, yang menurut tradisi memberi hak kepada pemegang hak-hak diplomasi dan kekebalan penuh. Meskipun tidak terdapat dalam Konvensi Wina, praktik diplomasi seharihari telah mengembangkan klasifikasi pejabat diplomatik yang dikenal dengan gelar/kepangkatan dengan urutan yang lengkap sebagai berikut.18 1) Duta Besar 2) Minister 3) Minister Counsellor 4) Counsellor 17 Syahmin AK, op.cit, h. 57. 18 Ibid, h. 55. 28 5) Sekretaris Pertama 6) Sekretaris Kedua 7) Sekretaris Ketiga 8) Atase: teknik, militer, kebudayaan, pendidikan, perdagangan, pertanian dan perburuhan, dan lain-lain. Mengenai praktik di Indonesia, sesuai penjelasan Pasal 33 UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan luar negeri yang juga mengacu pada Kongres Wina 1815, Kongres Aken 1818, Konvensi Wina 1961 dan praktik internasional, jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik yang berlaku di KBRI-KBRI di luar negeri adalah: 1) Duta besar; 2) Minister; 3) Minister Counsellor 4) Counsellor 5) Sekretaris Pertama 6) Sekretaris Kedua 7) Sekretaris Ketiga 8) Atase (attache) Jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik termasuk penggunaan gelar duta besar diatur dengan keputusan menteri. 29 Pasal 14 sampai 18 Konvensi Wina 1961 memberi klasifikasi mengenai pimpinan perutusan diplomatik menjadi tiga kelompok:19 1) Duta Besar (Ambassador) atau utusan diplomatik Paus (nuncios) yang diakreditasikan kepada Kepala Negara dan pimpinan perutusan lainnya yang setingkat itu. 2) Duta, Minister dan Internuncios yang diakreditasikan kepada Kepala Negara. 3) Kuasa Usaha (Charges d’affaire) yang diakreditasikan kepada Menteri Luar Negeri. Kecuali dalam masalah pengutamaan dan tata cara, tidak ada perbedaan antara pada pimpinan misi karena alasan penggolongannya. Dan golongan pimpinan misi yang ditunjuk harus disepakati diantara negara-negara. Penambahan gelar Duta Besar, sebagai pembeda dari duta, kepada pimpinan misi diplomatik bergantung pada berbagai macam faktor termasuk tingkatan negara terkait. Sesuai Pasal 7 Konvensi Wina 1961, negara pengirim bebas mengangkat anggota-anggota staf perwakilan. Ketentuan ini merupakan penekanan terhadap prinsip umum hukum internasional bahwa pengangkatan staf perwakilan kecuali duta besar tidak memerlukan persetujuan negara penerima. Setelah adanya kesepakatan bagi pembukaan misi diplomatik tetap, maka terserah bagi negara pengirim untuk menentukan besarnya perwakilan, yaitu jumlah pejabat dan staf 19 J.G. Starke, op.cit, h. 546-547. 30 yang harus ditempatkan di negara penerima atas dasar volume pekerjaan dan tingkat atau intensitas hubungan kedua negara. Mengenai besarnya staf perwakilan diplomatik disuatu negara, biasanya tergantung dari kesanggupan negara pengirim dan pentingnya negara penerima, serta tingkat hubungan antara kedua negara.20 2.3.2 Konsep gedung perwakilan. Mengenai gedung perwakilan diplomatik, Konvensi Wina 1961 memberi batasan yang jelas tentang pengertiannya. Menurut konvensi, gedung perwakilan merupakan gedung-gedung ataupun bagian-bagiannya dan tanah tempat didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan misi termasuk rumah kediaman dari kepala perwakilan (the “premises of mission” are the buildings or parts of buildings and the land ancillary threto, irrespective of ownership, used for the purposes of the mission including the residence of the head of the mission).21 Ketentuan diatas menyatakan bahwa gedung perwakilan diplomatik bukan hanya bangunan yang menjadi kantor perwakilan beserta bagian-bagian dari bangunan tersebut namun juga mencakup tanah tempat didirikan (ancillary threto) dan rumah kediaman dari kepala perwakilan diplomatik. Hal ini sejalan dengan 20 Syahmin AK., op.cit, h. 62 21 Pasal 1 (i) Konvensi Wina 1961 31 pendapat Satow yang mengatakan bahwa baik gedung perwakilan maupun rumah kediaman diplomat, keduanya menurut hukum internasional diperlakukan sama.22 2.4 Cabang-cabang Hukum Internasional yang Membahas Tentang Perlindungan Hukum Bagi Perwakilan Diplomatik. Dalam permasalahan ini, ada dua cabang hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik dalam perang, yaitu Hukum Diplomatik dan Hukum Humaniter a. Hukum diplomatik. Pada hakikatnya hukum diplomatik ini tidak lebih hanya merupakan bagian dari hukum internasional publik, dan mempunyai sebagian sumber yang sama, seperti kebiasaan-kebiasaan internasional, dan konvensi-konvensi internasional (baik bilateral maupun multilateral) yang ada. Sementara itu, menurut Jan Osmanczyk:23 “Hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan internasional yang terdiri dari seperangkat aturan-aturan dan norma-norma hukum yang menetapkan 22 Ernest Mason Satow, 1979, Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Ltd., London, h. 213. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=KWAUAAAAIAAJ&dq=Ernest%20Mason%20Satow%2C% 201979%2C%20Guide%20to%20Diplomatic%20Practice&hl=id&source=gbs_book_other_versio ns diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 18.50 WITA 23 Edmund Jan Osmanczyk, 1995, Encyclopedia of the United Nations and International Agreement, Taylor and Francis, London. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=QqlFx7xHiSUC&dq=Edmund+Jan+Osmanczyk,+1995,+Enc yclopedia+of+the+United+Nations+and+International+Agreement&hl=id&source=gbs_navlinks_ s diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 19.43 WITA 32 kedudukan dan fungsi para diplomat, termasuk bentuk-bentuk organisasional dari dinas diplomatik.” Pada dasarnya, pengertian hukum diplomatik merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antarnegara, tugas-tugas dari perwakilan diplomatik, kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik, dan hal-hal lain yang diatur dalam konvensi-konvensi yang berkaitan dengan diplomasi. Hal ini diperkuat dengan apa yang telah ditulis oleh Eileen Denza mengenai Diplomatic Law, pada hakikatnya hanya menyangkut komentar terhadap Konvensi Wina 1961.24 Hukum diplomatik mengatur dengan tegas mengenai kekebalan dan kesitimewaan perwakilan diplomatik. Kekebalan dan keistimewaan ini dikategorikan menjadi dua pengertian, yaitu Inviolability dan immunity. Inviolability hanya diperuntukkan kekebalan terhadap organ-organ pemerintah atau alat-alat kekuasaan negara penerima, dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan serta hak untuk mendapatkan perlindungan dari aparat pemerintah negara penerima. Sementara Immunity dimaksudkan sebagai kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan negara pernerima baik dalam bidang hukum pidana maupun bidang keperdataan.25 24 Syahmin AK., op.cit, h. 8 25 Ibid, h. 119 33 Adanya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan diplomatik pada dasarnya merupakan hasil sejarah dunia diplomasi yang sudah lama, dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan hukum internasional.26 Dan sehubungan dengan hal tersebut, terdapat tiga teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik di luar negeri, yaitu sebagai berikut:27 a. Teori Eksteritorialitas. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negerinya, berada di luar wilayah akreditasi, walaupun sebenarnya ia berada di luar negeri dan melaksanakan tugas-tugasnya disana. Demikian juga halnya dengan gedung perwakilan.28 b. Teori Representatif. Teori ini mengajarkan kita bahwa perwakilan diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya.29 c. Teori Kebutuhan Fungsional. Teori ini menyatakan bahwa keistimewaan dan kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar. Teori inilah yang diadopsi dalam mukadimah Konvensi Wina 1961.30 26 Ibid, h. 116 27 William W. Bishop Jr., 1971, International Law, Cases and Materials, Little, 3rd Edition, Little, Brown and Company, Boston and Toronto, h. 710. Melalui URL: https://books.google.co.id/books?id=iuWTjgEACAAJ&dq=William+W.+Bishop+Jr.,+1971,+Inter national+Law,+Cases+and+Materials&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwj8486XodPJAhWHVZQKH ToeA6UQ6AEIKDAC diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 22.43 WITA 28 Boer Mauna, op.cit, h. 547 29 Syahmin AK., op.cit, h. 117 34 Dalam konteks pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang, Hukum diplomatik tentunya mempunyai peran yang besar. Khususnya ketentuan mengenai kekebalan dan keistimewaan (Immunity & Inviolability) bagi perwakilan diplomatik yang tidak hanya diatur dalam Konvensi Wina 1961, tetapi juga terdapat dalam Konvensi New York 1973. b. Hukum humaniter. International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict atau biasa disebut hukum humaniter berawal dari Hukum Perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (laws of armed conflict). Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:31 1) Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, yaitu hukum yang mengatur dalam hal bagaimana Negara dibenarkan menggunakan kekerasan senjata. 2) Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua yaitu: Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war), atau Hague Laws 30 Ibid 31 Haryomataram I, op.cit, h. 6-7 35 Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, atau Geneva Laws Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu:32 1) Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang dapat dipakai untuk berperang (Hukum den Haag) 2) Hukum yang mengenai perlindungan terhadap golongan kombat dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa) Dalam hukum perang, dikenal suatu prinsip yang membagi penduduk (warga negara) negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian senjata (armed conflict) dalam dua kategori, yaitu golongan kombat dan golongan yang harus dilindungi, dalam hal ini penduduk sipil (civilians). Golongan kombat inilah yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities). Prinsip membagi penduduk dalam dua golongan ini lazim disebut prinsip pembedaan atau distinction principle.33 Prinsip pembedaan ini tercermin dari Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yang mengatur tentang orang-orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut, khususnya paragraf 1 dari Pasal 4 yang menyatakan bahwa orang-orang yang dilindungi dalam 32 Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, (selanjutnya disebut Haryomataram II), h. 1 33 Haryomataram I, op.cit. h. 73 36 konvensi ini adalah ‘Orang-orang yang dilindungi oleh Konvensi adalah mereka yang dalam suatu sengketa bersenjata atau peristiwa pendudukan, pada suatu saat tertentu dan dengan cara bagaimanapun juga, ada dalam tangan suatu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara mereka.’ Sayangnya konvensi ini juga memberikan batasan terhadap orang-orang yang dilindungi, tepatnya di paragraf kedua pada pasal yang sama yang berbunyi: “Warga negara suatu negara yang tidak terikat oleh konvensi tidak dilindungi oleh konvensi. Warga negara suatu negara netral yang ada di wilayah yang berperang, serta warga negara dari suatu negara yang turut berperang, tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang dilindungi, selama negara mereka mempunyai perwakilan diplomatik biasa di negara dalam tangan mana mereka berada.” Pada tahun 1977 lahir protokol tambahan dari Konvensi Jenewa 1949 yang memuat beberapa ketentuan penting baru khususnya mengenai pengertian kombat, penduduk sipil, sasaran militer, dan sasaran sipil. Selain hal-hal tersebut masih ada beberapa ketentuan penting baru lainnya. Dalam konteks pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang, prinsip pembedaan sangat diperlukan untuk mengetahui siapa dan objek apa saja yang dapat diserang dan siapa yang harus dilindungi dalam situasi konflik bersenjata atau perang. 37 Hubungan antara kedua cabang hukum internasional tersebut diatas dengan pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam hukum diplomatik, kepatuhan terhadap prinsip kekebalan dan keistimewaan diplomatik harus benar-benar dilakukan. Perwakilan diplomatik merupakan representasi dari negara pengirim beserta kepala negaranya, oleh karenanya perlakuan-perlakuan khusus terhadap mereka harus dijalankan dan tidak boleh dilanggar. Salah satu prinsip fundamental dalam hukum humaniter adalah prinsip pembedaan. Golongan kombat tidak boleh menjadikan golongan nonkombat sebagai sasaran serangan. Terjadinya penyerangan terhadap golongan nonkombat sedah jelas menjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter. Uraian pada sub-bab ini akan memberikan suatu landasan konseptual mengenai pembahasan masalah pengaturan perlindungan hukum bagi perwakilan diplomatik di wilayah perang menurut hukum internasional dan pertanggungjawaban hukum atas gangguan terhadap perwakilan diplomatik negara pengirim di wilayah perang berdasarkan hukum internasional.