Ragam Bahasa Pramuwisata, Berwisata: Cara Praktis Pembelajaran BIPA Daeng Noerdjamal, M.Pd. Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung Abstrak Dalam pembelajaran BIPA seorang guru dapat bertindak sebagai seorang pramuwisata, yakni memandu peserta didik dalam berwisata sambil mengajarkan bahasa Indonesia ataubelajar bahasa Indonesia sambil berwisata. Sebagai pramuwisata dia akan menggunakan bahasa Indonesia ragam santai. Bahasa yang digunakan oleh guru-pramuwisata, dengan maksud menjelaskan suatu objek wisata demi meyakinkan dan memuaskan rasa ingin tahun wisatawan, pastilah berbeda dengan ragam bahasa yang digunakan dalam situasi lain. Bahasa itu juga digunakan guru-pramuwisata untuk mengisahkan, menjelaskan, meyakinkan, menginformasikan dan mendeskripsikan suatu objek atau atraksi wisata kepada para wisatawan-peserta didik merupakan bahasa yang segar-aktual-komunikatif. Penggunaan bahasa dalam situasi resmi dan santai pastilah berbeda. Untuk mengetahui ragam bahasa apa yang digunakan seseorang, kita dapat mengenalinya dari segi (1) pilihan kata/diksi, (2) fonologi (3) morfologi, (4) sintaksis, dan (5) intonasi. Adalah kenyataan setiap bahasa mempunyai banyak ragam yang dipakai selaras dengan keadaan atau tujuan yang berbeda-beda. Pengawal Wacana Tahun 1989/1990, merupakan tahun penting bagi saya dalam karir sebagai pengajar bahasa Indonesia. Saya berkenalan dengan Mrs. Barbara Simcock dan Mr. Pieter Thomson, keduanya guru bahasa Inggris di STPB — keduanya sudah fasih berbahasa Indonesia, keduanya berasal dari Australia. Suatu hari di tahun 1990, saya dimintai atasan untuk mengajari Mr. Ohashi-pakar Pariwisata dari Jepang -- berbahasa Indonesia. Pada kesempatan lain, November 1991, saya pun dititipi seorang mahasiswa asal Kamboja, yang bertugas belajar di STPB, agar dibimbing berbahasa Indonesia sampai bisa mengikuti perkuliahan di STPB. Pada tahun yang sama saya membuka diri untuk “berteman belajar” dengan beberapa orang pembelajar bahasa Indonesia. Tahun 1993 – 1998 saya melanjutkan studi dan dengan bekal pengalaman itu, saya menyelesaikan Tesis dengan judul “Ragam Bahasa Pramuwisata: Studi kasus penggunaan bahasa Indonesia dalam praktik memandu wisatawan”. Ketika ditawari tugas itu, saya belum berpengalarnan mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing. Tugas tersebut sangat berat saya rasakan, tetapi setelah dijalani ternyata besar juga manfaat yang saya dapatkan baik manfaat secara sosial maupun-terutama finansial. “Berbahasa Indonesia itu gampang-gampang susah, lebih susah dari bahasa Inggris,” kata Ms. Tomomi, Ms. Megumi, juga Tuan Ohashi kepada saya ketika mengawali pertemuan-pembelajaran pertama bahasa Indonesia. Pernyataan itu sempat menyurutkan nyali saya. Saya beranggapan Mr. Ohashi pasti sudah belajar bahasa Indonesia sehingga berkesimpulan “gampang-gampang susah dan bahasa Indonesia lebih sulit daripada bahasa Inggris”. Dugaan saya itu benar. Buktinya mereka, pada awal pertemuan suka langsung memperlihatkan “catatan harian” berbahasa Indonesia, “tolong koreksi-perbaiki bahasa Indonesianya, banyak yang salah, ya?” Saya membaca catatan hariannya itu. Berikut ini penggalan pengalaman salah seorang murid, yang samar-samar masih saya ingat. “Tadi malam saya berjalan-jalan sendiri saja melalui jalan Braga, alun-alun, dan pertokoannya. Di jalan saya dimintai uang oleh orang Indonesia. Saya beri dia seribu rupiah tapi dia minta lagi lima ribu…Untung orang itu baik sekali, padahal saya penakut.” Dalam halaman lain-buku yang lain, saya temukan pengalaman yang lain lagi tetapi intinya sama berkaitan dengan uang dan orang Indonesia. Tulisnya, “Saya mau beli rokok satu bungkus, uangnya sepuluh ribu tapi kembaliannya hanya seribu rupiah. Orang Indonesia suka minta uang kepada orang asing. Saya harus belajar bahasa Indonesia dengan baik-baik.” Saketika saya punya akal. Saya suruh teman-teman membaca dengan suara nyaring catatan hariannya itu, saya menjadi penyimak setia. Pertemuan-pertemuan awal yang mendebarkan itu, akhirnya dapat saya lalui dengan baik. Waktu seratus menit saya habiskan dengan membaca-menyimak catatan harian, berbincang riang masalah pengalamannya di Bandung dan sedikit tentang keluarga. Pada hari lain, menjelang pertemuan mengajar, salah seorang murid menelepon saya satu jam lebih awal dari jadwal belajar. Kata-kata beliau masih saya ingat dengan baik, karena cukup mengesankan. “Pak, Daeng saya mau diantar makan siang di Restoran Nusantara, bolehkah Pak Daeng menemani saya berbicara belajar bahasa Indonesia?” Ajakan itu saya sambut hangat, meski tetap deg deg plas, materi yang saya siapkan tidak diberikan hari itu. Acara makan siang tersebut membuka kesempatan saya untuk menjelaskan aneka makanan Indonesia kepada murid tunggal saya. Kebetulan menu Restoran Nusantara hari itu memang menu Indonesia. Saya membisiki pramusaji Restoran agar berbicara dengan bahasa Indonesia kepada tamu istimewa hari itu. “Selamat siang Pak, … ada yang bisa saya bantu?” Sapa ramah pramusaji yang tak lain adalah mahasiswa saya yang sedang praktik sebagai pramusaji di Restoran Nusantara, salah satu restoran praktik milik STPB. Itu adalah sekelumit pengalaman pertama saya mengajari orang asing berbahasa Indonesia. Menjadi pengajar BIPA itu perlu kreativitas khusus. Kreativitas itu menghasilkan keyakinan saya, bahwa dengan “berwisata bahasa itu merupakan salah satu cara praktis pembelajaran BIPA”. Berwisata bahasa: Sejak pengalaman pertama makan bersama dengan murid BIPA itu, terbuka kesempatan saya untuk sekali-kali mengajak teman-teman makan siang bersama di Rumah Makan Padang, rumah makan khas Sunda, dan Warteg pinggir jalan. Bahkan akhirnya disepakati jadwal-kegiatan untuk sekali-kali mengikuti Bandung city tour dan mengunjungi beberapa objek wisata di kota Bandung. Kegiatan ini saya namai berwisata bahasa dan dilakukan rutin dengan mitra belajar saya.. Pada kesempatan jalan-jalan saya berkesempatan menjelaskan suatu legenda suatu objek, menjawab pertanyaan mereka tentang sesuatu yang dilihatnya, pada saat makan bersama terbuka kesempatan untuk menjelaskan nama-nama dan jenis makanan khas Indonesia, atau saya bertanya-menyuruh mereka menyebutkan namanama makanan yang tersaji, pembelajaran pun berlangsung sambil menikmati hidangan-pemandangan. Kegiatan ini terasa ringan dan menyenangkan. Acara keliling kota Bandung yang kami kemas, rupanya cukup menyenangkan mintra belajar saya. Buktinya pada pertemuan berikutnya “peserta wisata bahasa” bersemangat menceritakan pengalamannya, membuka-membacakan buku catatan hariannya, menyuruh saya mengoreksinya, dan kadang-kadang memberondong saya dengan menanyakan beberapa kosa kata populer seperti: nggak, kerjaan, diterusin, kiri pir,…. Anda puas beri tahu kawan, Anda kecewa beri tahu kami…..itu apa artinya. Membawa dan membaca koran merupakan salah satu kegiatan yang selalu kami lakukan dalam berwisata bahasa. Koran menjadi media pembelajaran yang cukup praktis. Saya menyuruh murid-mitrawisata membacanya. Mula-mula saya suruh mereka membaca judul-judul berita-tulisan yang bercetak besar. Kemudian saya dengarkan mereka bergiliran membaca salah satu artikel atau berita ringansingkat pilihannya atau cerita humor yang saya pilihkan. Saya beri kesempatan mereka menandai-mencatat kosa kata yang kurang dipahaminya. Saya jelaskan seperlunya, saya suruh mereka menggunakan kata-kata tersebut dalam kalimat sederhana. Saya beri kesempatan pula beliau-beliau untuk menceritakan kembali isi bacaan secara ringkas. Diskusi pun berlangsung akrab bertolak dari berita surat kabar atau suatu pengalaman yang mereka temukan selama berada di objek wisata. Pulangnya, sebagai PR (pekerjaan rumah) saya tugasi beliau-beliau itu membaca artikel-berita lainnya dan agar mencatat kosa kata yang dianggapnya sukar dipahami serta tak lupa menuliskan pengalamannya berwisata hari itu. Koran Pikiran Rakyat (PR) Bandung akhirnya sering menyertai salah seorang murid saya. Tiap bepergian, Mr. T diam-diam menjadikan PR sebagai sahabat sekaligus teman-pengaman dalam perjalanan. Di angkot, di mobilnya, beliau rajin membaca Pikiran Rakyat. Seminggu tiga kali beliau membelinya, sehingga orang lain, penjual koran menganggapnya sebagai pelanggan setia Pikiran Rakyat. “PR-nya Tuan,..” kata si penjual koran, setiap Mr. T melewati kiosnya. Ragam bahasa Pramuwisata Penggunaan bahasa selalu disesuaikan dengan situasi pembicaraan. Situasi yang dimaksud adalah situasi resmi-formal dan situasi tidak resmi-nonformal. Bahasa yang digunakan oleh seorang pemandu wisatawan, dalam kegiatan memandu wisatawan, dengan maksud menjelaskan kekhasan suatu objek wisata demi meyakinkan dan memuaskan rasa ingin tahu wisatawan, pastilah berbeda dengan ragam bahasa yang digunakannya dalam situasi lain. Dalam kegiatan memandu wisatawan, seorang pemandu /prawisata akan menggunakan bahasa Indonesia lisan ragam semiresmi atau bisa juga ragam bahasa santai sesuai dengan situasinya yang santai/nonformal. Hal ini sejalan dengan pendapat Nababan (1984:149) yang menjelaskan bahwa dalam situasi bahasa nonformal yaitu situasi penggunaan bahasa dalam perbincangan antara teman, ketika rekreasi, ketika olah raga, dsb. digunakan bahasa semiresmi. Bahasa tutur/lisan digunakan para pemandu wisatawan dalam fungsinya untuk: mengisahkan, menjelaskan, meyakinkan, menginformasikan dan mendeskripsikan suatu objek atau atraksi wisata kepada para wisatawan. Pemilihan bahasa oleh pembicara dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu situasi, partisipan, isi pembicaraan, dan fungsi serta tujuan interaksi (Rusyana,1989:34). Situasi pembicaraan atau situasi penggunaan bahasa merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi seseorang memilih ragam bahasa yang digunakannya. Situasi berbahasa secara umum dapat dibedakan menjadi situasi resmi dan tidak resmi. Penggunaan bahasa dalam kedua situasi itu dengan sendirinya pastilah berbeda. Menurut Badudu (1991:85) untuk mengetahui ragam bahasa apa yang digunakan seseorang, kita dapat mengenalinya dari segi (1) pilihan kata/diski/leksis, (2) fonologi, (3) morfologi, (4) sintaksis, dan (5) intonasi. Sedangkan Nababan (1984:22) menjelaskan bahwa setiap bahasa mempunyai banyak ragam, yang dipakai dalam keadaan atau keperluan/tujuan yang berbeda-beda. Ragam- ragam itu menunjukkan perbedaan struktural dalam unsur- unsurnya. Perbedaan struktural itu berbentuk ucapan, intonasi, morfologi, identitas kata-kata, dan sintaksis. Situasi berwisata, guru bertindak sebagai pemandu dan murid sebagai wisatawan, boleh dikatakan resmi dan tidak resmi/santai. Dikatakan resmi karena kegiatan itu dilakukan dalam suasana dan kegiatan pembelajaran. Dikatakan tidak resmi, karena suasananya suasana berwisata, saat orang bersantai. Pengakhir: simpulan Ragam bahasa pramuwisata yang tersaji dalam makalah ini adalah salah satu ragam yang digunakan oleh para penutur bahasa yang terikat kuat pada situasi dan objek/pokok pembicaraan di seputar rute perjalanan atau objek wisata. Perbedaan atau kekhasan ragam bahasa pramuwisata tampak pada penggunaan diksi / pilihan kata dan suasana/situasi pembicaraan-pemanduan. Secara sederhana kekhasan ragam bahasa pramuwisata dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Ragam bahasa pramuwisata diwarnai dengan dominasi ragam bahasa santai yang sangat tinggi. Hal ini dapat dipahami mengingat, pertama, suasana berwisata merupakan suasana orang untuk bersantai sehingga penggunaan bahasa ragam santai sangat memungkinkan terjadi; kedua, karena para pramuwisata yang terdiri dari para pemandu profesional ‘kota’ dan para mahasiswa yang sedang berpraktik tergolong mewakili remaja-masyarakat perkotaan maka dengan sendirinya pemakaian bahasa khas remaja atau masyarakat perkotaan dengan sendirinya susah mereka hindari. b. Secara khusus dari aspek fonologi, morfologi, dan disksi ragam bahasa pramuwisata dapat dijelaskan bahwa secara fonologis ditemukan variasi pelafalan /ai/ menjadi /e/ seperti pada kata-kata ramai, sampai, …yang adakalanya dilafalkan [rame], [sampe], [nyampe]; variasi pelafalan kata-kata bervokal /a/ yang dilafalkan /e/ seperti pada kata-kata [bener], [denger], [macem-macem], [garem] yang seharusnya dilafalkan [benar], [dengar], [macam-macam], [garam]; variasi pelafalan fonem /u/ menjadi /o/ seperti pada kata-kata [gedung] / [gedong] , [berubah] / [berobah], [perjuangan] / [perjoangan]. c. dari aspek morfologi ditemukan variasi pembentukan kata dengan menggunakan imbuhan -in, seperti pada kata-kata [lanjutin], [melanjutin], dengan frekuensi yang cukup tinggi.. d. berdasarkan diksi/leksis ragam bahasa pramuwisata ditemukan variasi (1) pemakaian kata sapaan anda dan saudara yang digunakan secara simultan dalam satu tuturan; (2) penggunaan kata daripada, di mana, yang mana yang tidak tepat; (3) penggunaan ragam bahasa cakapan khas anak muda seperti nggak, pengennya, aja, doyan, diresmiin, makasih; (4) pemakaian kosa kata asing dan ragam cakapan secara simultan, contohonya: [melanjutin guiding], [ guide anda], [ shoping] , [flower market-nya], [mulai start]. Ketiga, berkaitan dengan fungsi komunikasi ragam bahasa pramuwisata dapat dikemukakan bahwa fungsi komunikasi pemanduan yang dominan adalah memerikan/mendeskripsikan objek yang dilewati dan dikunjungi; argumentasi/meyakinkan peserta tur agar mereka mencobanya sekali lagi secara bersengaja untuk secara khusus menikmati keindahan/kekhasan objek wisata yang dikunjungi. Dari aspek komunikasi, ragam bahasa pramuwisata ini mengusung beberapa fungsi, yakni fungsi informatif dan deskriptif. Artinya, sebagian besar pramuwisata menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan objek: sejarah, kekhasan objek, tokoh di balik nama objek. Selain itu juga diketahui bahwa para pramuwisata umumnya mendeskripsikan objek apa adanya. Misalnya, menjelaskan nama-nama bangunan: toko, hotel, bank, rumah makan, apotek, dan sebagainya yang ada di kiri kanan jalan. Selain itu, fungsi komuniksi ragam bahasa pramuwisata ini dapat digolongkan pada empat fungsi yakni: fungsi pembuka yang meliputi salam, sapaan, dan perkenalan; fungsi paparan, penyampaian informasi dan fakta; fungsi penyegar suasana; fungsi mengetahui respons/tanggapan orang lain; fungsi mengarahkan/ mengendalikan orang lain; dan fungsi penutup pemanduan yang ditandai dengan ungkapan permohonan maaf dan ucapan selamat berwisata atau selamat menikmati objek wisata berikutnya, serta salam penutup: selamat pagi, selamat siang, atau selamat sore, disesuaikan dengan waktu berlangsungnya pemanduan. Implikasi penelitian sederhana ini terutama bagi pengembangan materi pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) pada kelas kursus khususnya diarahkan pada keterampilan berbahasa aktif, yakni berbicara dalam konteks nyata dan menggoda: salah satu diantaranya menciptakan dialog pertemuan dalam suasan berwisata. Dialog pemandu (guru) dengan wisatawan (peserta) akan tercipta dengan menyenangkan. Keterampilan berbicara hanya mungkin dikuasai apabila porsi latihan cukup intensif. Konsekuensi logis dari pendekatan bahwa berbahasa adalah kegiatan berkomunikasi secara langsung maka berbagai pengetahuan dan keterampilan komunikasi harus tercermin pada proses pembelajaran BIPA. Bila tidak, maka pembelajaran bahasa akan terjerumus pada kebiasaan lama yaitu mengajarkan teoriteori atau pengetahuan bahasa dan bukan praktik berbahasa. Implikasi dari pendekatan bahwa berbahasa adalah berkomunikasi dan berkomunikasi adalah aplikasi berbahasa maka pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa perlu mendapat perhatian para pengajar bahasa, baik para pengajar bahasa Indonesia untu orang asing, maupun para pengajar bahasa asing untuk orang Indonesia. Apabila pendekatan komunikatif yang dipilih sekaligus sebagai landasan atau pegangan guru dalam mengajarkan berbahasa maka kesenjangan atara teori dan keterampilan berbahasa tidak akan terlalu lebar. Lebih dari itu, pembelajaran bahasa akan menarik minat para peserta (profesional, siswa, dan mahasiswa) dalam setiap pertemuannya, karena mereka merasa perlu akan pemanfatan bahasa secara langsung. Berbahasa bukanlah penghapalan teori bahasa semata tetapi bagaimana bahasa itu digunakan dalam kenyataan dan situasi kontak sosial penggunaan bahasa yang sebenarnya, misalnya dalam pertemuan pemandu (guru) memandu wisatawan (peserta). Ini perlu dan bagus untuk memberi keleluasaan kepada guru dalam mengemas materi pelajaran dan sekaligus improvisasi pembelajarannya. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang berkeinginan untuk memanfaatkan dan mengembangkannya lebih lanjut. Bandung, peng-ujung bulan kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia 2001 Biodata: Daeng Noerdjamal, dilahirkan di Garut, 11 Juli 1957, alumnus jurusan bahasa Indonesia UPI Bandung. Sejak 1987 bekerja sebagai PNS--pengajar bahasa Indonesia dan Korespondensi Hotel serta pemimpin Redaksi Berita Kopensi-- di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung. Aktif menghadiri seminar, diskusi, dan menulis artikel populer. Beberapa tulisannya pernah dimuat Pikiran Rakyat, Kompas, dll. Contact details: Jl. Dr. Setiabudi 186, bandung 40141 Tel (022) 2010684, Faks (022) 2031482