perubahan struktur ekonomi lokal

advertisement
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL:
Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa
MANGKU PURNOMO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perubahan
Struktur Ekonomi Lokal : Studi Dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan
Jawa adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari komisi
pembimbing. Karya ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dala m Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2005
Mangku Purnomo
NRP. A152030031
ABSTRAK
MANGKU PURNOMO. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda
Produksi Di Desa Pegunungan Jawa. Dibawah bimbingan M.T. FELIX SITORUS
dan ARYA H. DHARMAWAN.
Penelitian tentang transformasi pedesaan Jawa hingga saat ini terpusat
pada gejala diferensiasi pedesaan sehingga kurang menjelaskan gejala-gejala
perubahan moda produksi dan formasi sosial lokal dengan lebih mendalam.
Selain itu, studi-studi tersebut bias komunitas padi sawah, sementara komunitas
pegunungan belum diteliti secara spesifik. Oleh karena itu, penelitian ini
mengambil tema perubahan struktur ekonomi/formasi sosial lokal yang akan
dianalisis melalui dinamika perubahan moda produksi desa pegunungan di Jawa.
Tujuan penelitian adalah untuk (1) memetakan tipe-tipe moda produksi
yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR, (2) menganalisis
proses perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa dan faktor-faktor
yang mendorong perubahan tersebut, dan (3) menganalisis formasi sosial desa
TR disetiap masa akibat perubahan moda-moda produksi yang membangunnya.
Metode yang dipakai adalah penelitian kualita tif dengan strategi studi kasus
karena kekhasan masalah dan kemampuannya dalam menjelaskan fenomena
sosial secara lebih mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada masa kolonial moda produksi
yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan
kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan adalah pertanian tradisional (petani
biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina).
Sementara pada masa Orde Lama tetap, yakni pertanian tradisional (petani
biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis pertanian (petani
kaya dan pengusaha Cina). Memasuki Orde Baru adalah pertanian semikomersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan
juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Memasuki reformasi, moda
produksi tetap, tetapi jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan
dan industri agro berkembang.
Memudarnya moda produksi lokal pada masa kolonial didorong oleh
kegiatan-kegiatan perkebunan kina dan teh. Pada awal kemerdekaan hingga
tahun 1950 didorong oleh masuknya penjajah Jepang, kebijakan ekonomi
pemerintah, dan masuknya pengusaha Cina. Pada masa Orde Lama, oleh
perkemb angan pertanian pengusaha Cina dan gejolak politik nasional.
Memasuki Orde Baru oleh kebijakan pembangunan, investasi pemerintah, dan
masuknya industri agro pada struktur ekonomi lokal. Pada masa reformasi,
perubahan didorong oleh persaingan antar artikulasi moda produksi dan antar
artikulasi dalam satu moda produksi. Dengan demikian, formasi sosial yang
terbangun pada masa kolonial adalah kapitalis kolonial, berubah menjadi
kapitalis pertanian pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Lama, kapitalis
Negara pada masa orde Baru dan Kapitalis Industri pada masa reformasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa moda-moda produksi yang
hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari
moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang berasal dari luar sistem
sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi
kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi
kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan
oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial. dengan demikian,
formasi sosial lokal dari masa-ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis
yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsurangsur me mudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali.
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL:
Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa
M. PURNOMO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
magister sains pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
Judul Tesis
: Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda
Produksi di Desa Pegunungan Jawa
Nama
: M. Purnomo
NRP
: A. 152030031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS
Ketua
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi
Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M. Sc.
Tanggal Ujian : 29 Agustus 2005
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Magetan pada tanggal 20 April 1977 dari ayah Soeradi
(Alm.) dan ibu Hartutik Sayuti. Penulis adalah anak keempat dari enam
bersaudara. Lulus dari SMA PGRI I Maospati pada tahun 1996 dan masuk pada
Fakultas Pertanian Unibraw pada tahun 1997. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh
pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Sejak mahasiswa penulis telah aktif di Enlighment Malang pada tahun
1998-2001 dan LAPERA Indonesia sebagai Resoure Center (RC) pada tahun
2000 hingga saat ini. Pada tahun 2002 penulis menjadi staff pengajar di Fakultas
Pertanian Universitas Widya Gama Malang dan pada tahun 2004 penulis kembali
mengabdi ke almamater sebagai staff pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi
Universitas Brawijaya.
Kata Pengantar
Segala puji pada Tuhan yang maha kuasa atas segala karunia-Nya
sehingga tesis yang berjudul Perubahan Struktur Ekonomi Lokal : Studi Dinamika
Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa dapat terselesaikan. Ungkapan
terimakasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir.
M.T. Felix Sitorus, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc,
selaku anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam
pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Prof.
H.A. Mukthie Fadjar, SH. MS selaku Rektor Universitas Widya Gama Malang
yang telah menugaskan penulis untuk mengambil studi pascasarjana di Institut
Pertanian Bogor .
Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh penduduk dan
Pamong desa Tulungrejo atas bantuannya khususnya kepada Bapak Suwaji
kepala dusun Wonorejo yang telah berkenan menjadi tempat kos penulis selama
penelitian lapangan dan Mas Ferry sekeluarga yang selalu menerima penulis
untuk berdiskusi di kebun percobaan Unibraw. Kepada seluruh rekan-rekan
penulis di SPD, Mbak Rita, Mbak Inya`, Mbak Anik, Mbak Heru, Pak Jetter, Mbak
Jean, Pak Witranto, Mas Damae, Mas Taya Toru, serta Sofyan dan Pak Kalbi,
terima kasih atas kebersamaannya selama studi. Terima kasih juga kami
sampaikan kepada Mas Dadang Juliantara dan Mas Riawan Chandra dari Pokja
Pembaruan Jogjakarta serta Mas Himawan dan Samsudin serta seluruh staff
LAPERA atas suportnya. Kepada Teman-teman di RK, Doni, Wahyu, Syahid,
Eko, Dodik, Ama, Budi, Hasan dan Mas Teguh serta Mas A`an terima kasih dan
semoga kita semakin dewasa.
Pengharg aan sebesar -besarnya penulis sampaikan kepada Bapak
(Soeradi) yang telah meninggalkan penulis saat menyelesaikan tesis ini, Ibu
(Hartutik Sayuti) serta seluruh keluarga besar atas do`a dan dukungannya
sela ma ini. Kepada Fiska Nurillah Salathin, Jihan, dan keluarga di Banjarnegara
terima kasih atas dukungannya. Dan semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat serta dapat diperbaiki dimasa yang akan datang.
Bogor, Oktober, 2005
Mangku Purnomo
DAFTAR ISI
Ringkasan ........................................................................................................ i
Glosari .............................................................................................................. iv
Daftar Singkatan .............................................................................................. v
Daftar Isi ........................................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ...........................................................................................
1.1. Latar Belakang ......................................................................................
1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian.................................
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................
1
1
4
8
II. PENDEKATAN TEORITIS ............................................................................
2.1. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
2.1.1 Ciri-ciri Struktur Ekonomi Lokal ...................................................
2.1.2 Perkembangan Kapitalis dan Transformasi Ekonomi Lokal .......
2.1.3 Konsep Moda Produksi dan Formasi Sosial ................................
2.1.4 Perubahan Moda Produksi dan Struktur Ekonomi.......................
2.2. Alur Pemikiran.......................................................................................
2.3. Hipotesis Pengarah ..............................................................................
9
9
9
11
13
20
24
27
III. METODE PENELITIAN ...............................................................................
3.1. Jenis Penelitian .....................................................................................
3.2. Lokasi Penelitian dan waktu .................................................................
3.3. Penentuan Subyek Kasus ...................................................................
3.4. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data..................................................
3.6. Hambatan dalam proses penelitian ......................................................
28
28
28
28
29
29
30
IV. DESA TULUNG REJO : SOSIAL EKONOMI DAN SEJARAH DESA ......
4.1. Sejarah Desa ..............................................................................................
4.2. Gambaran Sosial- ekonomi Desa ...............................................................
4.2.1. Basis Ekologi .................................................................................
4.2.2. Dinamika Sosial Ekonomi...............................................................
34
34
38
38
40
V. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL :
PERPEKTIF HISTORIS .................................................................................
5.1. Moda Produksi dan Formasi Sosial Masa Kolonial (1870-1945).............
5.1.1. Cara Produksi Pertanian Tradisional .............................................
5.1.2. Cara Produksi Kapitalis Kolonial ....................................................
5.1.3. Perubahan Moda Produksi Lokal: Perombakan Moda Produksi
Pertanian Tradisional......................................................................
5.1.4. Formasi Sosial Kapitalis Kolonial dan Keberlangsungan
Moda produksi Lokal ....................................................................
5.2. Moda Produksi dan Formasi Sosial Awal
Kemerdekaan (1945-1950).......................................................................
5.2.1. Kedatangan Penjajah Jepang........................................................
5.2.2. Revolusi Nasional dan Rencana Ekonominya ...............................
5.2.3. Peran Pengusaha Pertanian Pengusaha Cina ..............................
5.2.4. Tipe-tipe Moda Produksi yang Hadir pada
Formasi Sosial Lokal .....................................................................
5.2.4. Perubahan Moda Produksi Lokal: Dari Pertanian Tradisional
47
48
48
50
53
56
60
60
60
60
63
Menuju Semi-Komersil ................................................................... 65
5.2.5. Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan keberlangsungan Moda
Produksi Lokal................................................................................. 68
5.3. Moda Produksi dan Formasi Sosial Selama Orde Lama (1950-1965) .... 71
5.3.1. Bekerja dan Belajar Bersama Pengusaha Cina ............................ 61
5.3.2. Ketegangan Politik dan Stagnasi Ekonomi .................................... 72
5.3.3. Moda Produksi yang Terbangun .................................................... 75
5.3.4. Perubahan Moda Produksi Lokal : Dari Semi-komersil menuju
Kapitalis Pertanian.......................................................................... 77
5.3.5. Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan Keberlangsungan
Cara Produksi Lokal.................................................................... 80
5.4. Moda Produksi dan Formasi Sosial Orde Baru (1965-1997)................... 82
5.4.1. Repelita dan Pembangunan Ekonomi ........................................... 82
5.4.2. Gelombang Masuknya Industri Agro.............................................. 86
5.4.4. Moda Produksi Yang Terbangun ................................................... 91
5.4.5. Perubahan Moda Produksi Lokal : Kemapanan
Kapitalis Pertanian.......................................................................... 92
5.4.6. Formasi Sosial Kapitalis Negara dan Keberlangsungan
Moda Produksi Lokal....................................................................... 96
5.5. Ikhtisar......................................................................................................... 100
VI. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL
KONTEMPORER (1997-2005) .....................................................................
6.1. Kecenderungan Perkembangan Juragan dan Pengusaha Cina ..............
6.2. Kecenderungan Perkembangan Tani Tanggung .......................................
6.3. Kecenderungan Perkembangan Tani Srabutan ........................................
6.4. Kecenderungan Perkembangan Industri Agro ...........................................
6.5. Kecenderungan Perkembangan Industri Pariwisata ..................................
6.6. Moda Produksi yang Terbangun.................................................................
6.7. Perubahan Moda Produksi Lokal : Dominasi Kapitalis Industri .................
6.8. Formasi Sosial Kapitalis Industri dan keberlangsungan
Moda Produksi Lokal ..................................................................................
6.9. Ihktisar.........................................................................................................
VII. Kesimpulan dan Saran .............................................................................
7.1. Kesimpulan ................................................................................................
7.2. Saran ..........................................................................................................
108
108
116
120
123
127
133
134
148
150
154
154
157
Daftar Tabel
Table 4.1
: Sejarah desa Tulung Rejo............................................................. 37
Tabel 5.1
: Aspek moda produksi kapitalis kolonial dan pertanian tradisonal
masa kolonial................................................................................. 53
Tabel 5.2
: Perubahan aspek cara produksi subsistensi di TR setelah masuknya
cara produksi kapitalis pada masa kolonial .................................. 54
Tabel 5.4
: Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan
kapitalis pada masa awal kemerdekaan ....................................... 65
Tabel 5.5
: Perubahan aspek cara produksi pertanian tradisional di TR awal
kemerdekaan ................................................................................ 67
Tabel 5.6
: Kecenderungan perubahan ciri-ciri cara produksi yang berkembang
pada sistem sosial lokal pada masa awal kemerdekaan ............. 68
Tabel 5.7
: Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan
kapitalis pertanian pada masa Orde Lama ................................... 76
Tabel 5.8
: Perubahan aspek cara produksi lokal pada ma sa Orde Lama .... 78
Tabel 5.9
: Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada
sistem sosial lokal pada masa Orde Lama .................................. 79
Tabel 5.10 : Artikulasi cara produksi semi -komersil, kapitalis pertanian dan
kapitalis industri pada masa Orde Baru ........................................ 92
Tabel 5.8
: Perubahan aspek cara produksi semi-komersil dan kapitalis di TR
pada masa Orde Baru .................................................................. 94
Tabel 5.11 : Kecenderungan perubahan moda produksi yang berkembang pada
sistem sosial lokal pada masa Orde Baru .................................... 95
Tabel 5.12 : Perubahan aspek-aspek cara produksi pertanian tradisonal dari
jaman kolonial hingga saat ini ....................................................... 102
Tabel 5.13 : Evolusi ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional dari masa kolonial
hingga saat ini ................................................................................ 104
Tabel 5.14 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi .............. 106
Tabel 6.1
: Artikulasi cara produksi semi -komersil, kapitalis pertanian dan
kapitalis pada masa reformasi ..................................................... 134
Tabel 6.2
: Perubahan aspek cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian
dan kapitalis pada masa reformasi .............................................. 139
Tabel 6.3
: Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada
sistem sosial lokal pada masa Reformasi ................................... 144
Tabel 6.4 : Perubahan aspek-aspek cara produksi lokal selama reformasi .. 151
Tabel 6.5
: Perubahan ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional pada masa
reformasi ........................................................................................ 152
Tabel 6.6
: Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi .............. 153
iv
DAFTAR SINGKATAN
BPR
:
Bank Perkreditan Rakyat
BTI
:
Barisan Tani Indonesia (Organisasi underbow PKI yang
mengorganisir petani di pedesaan)
CV
:
Commanditer Vennotschip
DPL
:
Di Bawah Permukaan Laut
Ha
:
Hektar (10.000, M2)
HDI
:
Human Development Indeks
Kg
:
Kilogram
Km
:
Kilometer
KPH
:
Kawasan Pemangku Hutan
PKI
:
Partai Komunis Indonesia
PPN
:
Perusahaan Perkebunan Nasional
PT
:
Perseroan Terbatas
PTPN
:
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara
RAC
:
Remaja Anti Cina
TAHURA
:
Taman Hutan Rakyat
THR
:
Tunjangan hari raya
TMII
:
Taman Mini Indonesia Indah
TNI-AU
:
Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara
UMR
:
Upah Minimum Regional
iv
GLOSARI
Angpao
:
Semacam uang sogokan untuk memperlancar proses konsesi
tanah untuk para pejabat yang berwenang
Aspal godok
:
Pengerasan jalan dengan aspal kasar yang direbus dalam tong
kemudian disiram ke jalan dan ditaburi pasir.
Bagor
:
Semacam karung pembungkus pupuk terbuat dari plastik yang
digunakan oleh penduduk untuk celana
Bero
:
Kondisi lahan yang tidak ditanami tanaman produktif dalam
jangka waktu lama
Bongkor
:
Kondisi lahan yang tidak dipelihara hingga ditumbuhi tanaman
tidak berguna. Jika bero lahan masih akan dimanfaatkan
kemudian jika bongkor lahan benar-benar tidak terurus.
Boro kerjo
:
Istilah bagi buruh dari luar daerah yang mencari kerja di
Tulungrejo dan menginap di sana hingga berbulan-bulan
bahkan tahunan. Mereka biasanya berasal dari daerah marjinal
seperti selatan Malang, Blitar, juga dari Pujon dan daerahdaerah lainnya. Mereka menginap di rumah rumah
penampungan khusus untuk mereka, dan ada juga yang
menginap dirumah penduduk atau di rumah saudaranya yang
telah dulu masuk dan menjadi warga desa
Burgur
:
Ampas jagung yang sarinya telah diambil untuk minyak goreng,
biasanya untuk makanan sapi dan kuda atau ternak lainnya
Buruh bebas
:
Buruh yang tidak terikat oleh juragan manapun dan bebas
bekerja dimanapun, biasanya mereka penduduk asli desa
Tulungrejo
Buruh lepas
:
Buruh yang hanya diupah tanpa diberi makan sehingga imbalan
gaji saja
Cabut
:
Istilah untuk kerja borongan memetik wortel yang dilakukan
sekelompok pekerja.
Divisi
:
Jabatan di bawah manejer pada pabrik jamur dan bunga yang
membawahi beberapa supervisor.
Gestok
:
Gerakan Satu Oktober (Istilah lain untuk peristiwa PKI 1965
yang digunakan oleh Bung Karno)
Juragan
:
Seorang yang memiliki tanah lebih luas dari lima herktar, kaya
dan mempekerjakan banyak buruh hingga 50-an orang di lahan
pertaniannya.
Manajer
:
Pemimpin dalam perusahaan bunga dan jamur yang memimpin
perusahaan yang dipekerjakan oleh pemilik perusahaan.
Mandor
:
Orang yang dipercaya juragan atau pengusaha Cina untuk
mengawasi kerja para buruh
Mbangkat
:
Kerja memikul hasil bumi dari lahan dengan menggunakan
keranjang, biasanya dilakukan jika lahan jauh dari jalan raya.
Mbangkat ini biasanya dilakukan berkelompok hingga 10 orang.
Ngasak
:
Mencari sisa kentang pada kebun yang diusahakan pengusaha
v
Cina sehabis di panen
Nglaju
:
Kegiatan pulang pergi yang dilakukan pekerja tiap hari, atau
pagi berangkat kerja sore pulang kembali kerumah dan
dilakukan secara rutin.
Pandek
:
Orang yang bekerja pada seorang juragan sepanjang hidupnya
dan tidak berpindah juragan.
Pasangan
:
Orang yang dianggap sangat cocok oleh tani tanggung untuk
bermitra dengannya dalam bekerja. Pasangan ini biasanya
teman akrabnya atau mitra kerja disaat keduannya menjadi
buruh pada juragan atau tani tanggung lain.
Pelita
:
Pembangunan lima tahun-sebuah rencara pembangunan yang
disusun secara nasional dengan jangka lima tahun oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Pemilu
:
Pemilihan Umum (proses politik berupa pemilihan wakil rakyat
yang akan menduduki dewan perwakilan rakyat yang
seharusnya dilakukan lima tahun sekali untuk suksesi
kepemimpinan nasional)
SARFAAT
:
Wilayah di sekitar gedung yang bernama Sarfaat di daerah
perbatasan antara Dusun Gerdu dan Junggo
Srabutan
:
Petani yang memiliki tanah dibawah 0,25 hektar yang sebagian
besar waktunya untuk bekerja di luar pertanian dan pertanian
tergantung pekerjaan apa yang tersedia di desa.
Supervisor
:
Jabatan di bawa divisi dalam perusahaan bunga dan jamur
yang membawahi beberapa kelompok kerja
Tani
Tanggung
:
Petani yang memiliki lahan tidak lebih dari dua hektar, kondisi
ekonomi biasa saja dan hanya mempekerjakan buruh upahan
jika lahanya memerlukan banyak tenaga.
Tetel
:
Pembatan lahan hutan untuk lahan pertanian, tanah tetelan
adalah tanah yang diperoleh dari membuka lahan hutan
Translok
:
Tasmigrasi lokal bagi para purnawirawan TNI-AU yang
ditempatkan di Tulungrejo secara bertahap yakni tahun 1973,
1975, dan 1979
Willis
:
Merk jip yang digunakan untuk mengangkut sayur dari atas
gunung. Jip ini memiliki kekuatan bagus sehingga mampu
menembus daerah-daerah pegunungan dengan medan berat
dan masih digunakan hingga saat ini
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diskursus tentang transformasi ekonomi pedesaan Jawa tidak dapat dilepaskan
dari sejarah dinamika sosial ekonomi di kawasan ini. Kajian historis sangat berguna
untuk menjelaskan lebih mendalam gejala-gejala perubahan struktur sistem pertanian
dan kultur yang berkembang pada komunitas lokal. Diawali dari masa penjajahan,
kolonialisme telah memperkenalkan cara produksi “modern” yang datang seiring
dengan implementasi sistem produksi pertanian ala perkebunan yang kapitalistik oleh
pemerintah penjajah Belanda. Penetrasi kapital dilakukan oleh penjajah melalui
perkebunan pada sistem ekonomi lokal yang telah mapan sebelumnya.
Bentuk paling nyata dari penetrasi kapital terhadap sistem pertanian di
Indonesia oleh Belanda adalah keberhasilannya melakukan perombakan berbagai
rejim (cara pengaturan) penguasaan/kepemi likan sumberdaya agraria lokal digantikan
dengan rejim kepemilikan pribadi. Penghapusan hak-hak feodal atas tanah dilakukan
untuk mendukung perluasan perkebunan besar, dimana tanah dan tenaga kerja
menjadi kekuatan produksi (forces of production) utama. Kebijakan politik agraria
tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memperkuat struktur keuangan pemerintah
Belanda yang porak poranda akibat keterlibatannya dalam perang di Jawa. Untuk
tujuan itu ketersediaan tanah murah dan mudah diperlukan guna memperluas usahausaha perkebunan 1.
Kota Malang, pada masa awal perluasan perkebunan Belanda belum banyak
berkontribusi bagi penciptaan surplus kapital pada pemerintah penjajah Belanda
karena pemusatan kegiatan ekonomi perkebunan masih di Pasuruan (Malang masih
menjadi bagian dari Kabupaten Pasuruan pada masa itu). Namun demikian, dengan
berkembangnya komoditas Kopi di daerah Dampit (salah satu Kawedanan di Malang),
pengaruh ekonomi perkebunan semakin besar2. Baru pada tahun 1870-an perkebunan
1
Kebijakan Belanda ini kemudian dikenal sebagai tanam paksa (culture stel- sel) yang dilakukan oleh Van
den Bosch, Lihat Soehartono (1991: 75-77), Apanage Dan Bekel: Perubahan Sosial Di Pedesaan
Surakarta 1830-1920., Tiara Wacara, Jogjakarta. Daerah Malang termasuk Manca Negara (di luar Jogja
dan Solo) sehingga kekuasaan pemerintah Belanda penuh dan tanam paksa langsung tanpa persetujuan
Raja Jawa. Dari sinilah kemudian eksploitasi berlanjut ketika kaum swasta Belanda ikut memperluas
perkebunan dengan terbitnya Agrarische Wet 1870, lihat, Gunawan Wiradi (2001:8-9), Tonggak -tonggak
perjalanan kebijakan agraria di Indonesia, dalam Tim Lappera, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria : Jalan
Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat, Lappera, Jogjakarta.
2
Kopi Merupakan tanaman cukup berpengaruh pada abad ke 19 di Malang sebelum tebu, ditanam di
distrik Turen dimana Dampit merupakan daerah penting di sana, lihat Hiroyosi Kano, Pagelaran ;
Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyarakat Tani Sebuah Desa Di Jawa Timur (1990:12-13).
2
kina dan Selecta (industri pariwisata) dibuka oleh Belanda di desa Tulung Rejo (TR),
dimana per kebunan teh dibuka kemudian pada tahun 1938. Sejak saat itu industri
perkebunan besar dan pariwisata terus berkembang hingga masa penjajahan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang ini sebagian perkebunan teh dikonversi menjadi
kawasan tanaman pangan (Gordon, et al 1985:160).
Perkebunan dan industri pariwisata di TR pada masa kolonial adalah dua
bentuk kegiatan ekonomi yang diperkenalkan kepada sistem masyarakat lokal oleh
kekuatan ekonomi exstra-lokal (penjajah Belanda). Sementara itu tanaman pangan
adalah kegiatan ekonomi tradisional (lokal) yang merupakan sistem ekonomi asli desa
TR sebelum penetrasi kapitalisme per kebunan merasuk ke dalam sistem sosialekonomi kemasyarakatan di kawasan tersebut. Kedua struktur sistem produksi
tersebut memiliki ciri yang saling bertolak belakang. Pertemuan kedua sistem tersebut
tentunya akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan terbentuk struktur
ekonomi baru.
Setelah penjajahan berakhir, struktur ekonomi desa memasuki masa transisi
karena matinya kegiatan ekonomi perkebunan dan wisata. Masa-masa ini diwarnai
dengan kekacauan politik dan ketidak pastian ekonomi di desa. Sepenuhnya corak
struktur ekonomi dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi exstra-lokal yang
dibawa oleh aktor-aktor lain. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam masa perang
sangat berpengaruh terhadap formasi penguasaa kekuatan produksi di desa dan
tentunya juga berpengaruh terhadap kultur yang berkembang pada masyarakat lokal.
Perubahan drastis terjadi setelah program revolusi hijau diperkenalkan pada
tahun 1970-an dimana petani kaya mulai mengaplikasikan obat-obatan, pupuk, juga
bibit unggul yang diperkenalkan oleh otoritas pertanian pemerintah. Tahun 1970-an
adalah awal keterlibatan petani pegunungan pada sistem ekonomi pasar yang
kemudian menyeret mereka ke dalam arus ekonomi komersial. Proses komersialisasi
komoditas pertanian tradisional tersebut pada akhirnya mengantarkan masyarakat
petani pegunungan Jawa kepada sistem sosial “berkelas” yang tidak dikenal
sebelumnya. Hal ini selaras dengan temuan Hefner (1999) di Tengger sebelum
masuknya kebijakan pemerintah (exstra-lokal) dalam menata kegiatan ekonomi,
penduduk pegunungan lebih banyak mengusahakan tanaman pangan dan berorientasi
pada pemenuhi kebutuhan sendiri.
Gejala
perubahan
struktur
sosial
ekonomi
pedesaan
Jawa
tersebut
berlangsung dramatis termasuk di desa TR. Tanah alluvial gunung Arjuno yang subur,
3
sumber air yang melimpah, merupakan faktor yang mempercepat proses transformasi
pertanian tersebut. Apel dan tanaman dataran tinggi seperti kubis, kentang, wortel, dan
bunga tumbuh dengan baik dan menjadi penggerak utama perekonomian lokal. Pada
tahun 2000-an pertanian tidak lagi menanam tanaman pangan, tapi telah berkembang
tanaman komersial seperti kentang, sayur, apel, dan tanaman komersial lainnya. Hasil
produksi tanaman ini dipasarkan ke kota-kota besar di di Jawa bahkan luar Jawa.
Komoditas pertanian komersial diusahakan secara intensif dengan penggunaan
teknologi budidaya yang modern sehingga ciri-ciri pertanian “tradisional” sebagaimana
kebanyakan di desa-desa tidak terlihat.
Intensifikasi pertanian telah mencapai puncaknya pada akhir abad 21. Hampir
seluruh waktu dalam setahun, tanah pertanian di TR tidak mengenal bero. Tanaman
utama adalah sayur, bunga potong maupun hidup, apel, serta sedikit jagung. Seluruh
lahan ditanami secara monokultur dengan rotasi tanam yang sangat cepat. Begitu
intensifnya, lahan pertanian yang belum dipanen kadang telah ditanami tanaman baru.
Wilayah yang dulunya kosong karena terletak pada kawasan miring, juga telah
diusahakan dengan tanaman komersial. Pertanian dikelola secara modern baik
teknologi budidaya maupun alat-alat yang digunakan. Obat-obatan, pupuk, dan bibit
demikian juga telah diaplikasikan secara meluas hampir oleh seluruh petani.
Tidak hanya di kawasan yang miring, petani juga membuka lahan hingga ke
lereng-lereng pegunungan. Lahan milik perhutani berupa hutan lindung dibuka dan
ditanami kentang, kol, sawi, juga bawang. Lahan baru ini memiliki kemampuan yang
lebih baik daripada lahan umum, karena hama belum banyak juga lapisan humusnya
masih tebal. Tidak tanggung-tanggung, pembukaan lahan ini luasannya mencapai
ratusan hektar di tiga lereng pegunungan yakni Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro.
Transformasi sistem pertanian tradisional menjadi modern tersebut memperlihatkan
adanya perubahan-perubahan struktural sistem pertanian.
Selain perubahan struktural, sistem pertanian tradisional di TR juga mengalami
perubahan kultural. Orientasi produksi petani TR kini berubah sepenuhnya dari
subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar guna mendapatkan
keuntungan. Oleh karena itu petani selalu membuat perencanaan produksi sesuai
dengan permintaan pasar. Petani di TR juga sudah sangat terbiasa dengan sistem
pendanaan bank untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Mereka juga memiliki
perhitungan layaknya perusahaan dalam melakukan pinjaman meski pengelolaan
4
usaha tani masih dalam keluarga. Nilai-nilai usaha modern sepenuhnya telah
diterapkan pada sistem pertanian di TR.
Perubahan struktur sistem pertanian dan kultur petani juga didorong oleh
perkembangan sistem ekonomi modern lain yakni industri agro jamur dan bunga yang
menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Industri ini dikelola secara modern dan
mengusahakan tanaman khusus untuk eksport. Industri ini didirikan di atas lahan-lahan
pertanian produktif dengan membeli lahan-lahan petani. Terdapat tujuh industri agro di
TR yang berkembang selama sepuluh tahun terakhir. Kebanyakan dari industri agro itu
diusahakan oleh orang luar daerah yang memiliki modal kuat. Industri agro ini
sepenuhnya merupakan cara produksi baru yang diperkenalkan oleh orang luar pada
sistem so sial desa TR karena kemunculanya tidak karena sebuah proses sosial tapi
lebih sebagai introdusir.
Selain industri agro yang juga mendorong perubahan struktur sistem pertanian
dan kultur petani adalah adalah kegiatan ekonomi pariwisata. Wilayah yang berbuki tbukit dengan pemandangan alam yang indah, serta suhu yang sejuk menjadi tempat
wisata favorit masyarakat sekitarnya, juga kota-kota besar lain di Indonesia.
Perkembangan wisata di TR dapat dilihat dari peningkatan usaha perhotelan,
pertokoan (baik pelayanan pariwisata maupun umum), restoran -restoran, juga
pedagang bunga dan buah. Kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut dikelola dengan
manajemen modern dan padal modal, dan penduduk sekitar banyak terserap sebagai
tenaga kerja upahan. Restoran-restoran besar dan hotel-hotel banyak dimiliki oleh
orang luar TR, terutama dari Surabaya dan Malang. Selain itu juga muncul tempattempat wisata baru seperti Coban Talon (air terjun dan perkemahan) dan pemandian
air panas Cangar melengkapi Selecta yang memang telah lama ada 3.
Villa-villa dan penginapan juga berkembang cukup pesat. Hawa sejuk dan
pemandangan yang indah mendorong orang luar daerah, juga para pekerja di kota
Malang untuk bertempat tinggal di sana. Jarak yang dekat (6 km) dari Malang dan
transportasi yang baik memungkinkan orang “nglaju”. Di TR juga ada sebuah
3
Pariwisata di TR ini telah lama di kenal terutama karena tanaman apel yang memang hanya dapat
tumbuh di Batu terutama TR dan Nongkojajar (wilayah sebelah Timur Malang), obyek wisata ini
merupakan rangkaian dari beberapa daerah pariwisata di Batu yakni (taman kota), Selecta di TR (taman
wisata), Songgoriti (air panas). Lihat, Hiroyosi Kano, op. cit., hal :1. Saat ini tempat wisata telah
berkembang seperti Coban talon di TR (air terjun dan perkemahan), Coban Rais (air terjun) Cangar di TR
(air panas), Jatim Park (taman wisata), Songgoriti (aero wisata), bahkan usaha hotel juga banyak yang
memfasilitasi pariwisata seperti Kusuma Agrowisata (hotel privat agrowisata), Klub bunga (hotel dan
taman bunga), dll, serta ada Gunung Van Der Man (nama orang Belanda) yang sangat digemari oleh para
pendaki dan masyarakat umum karena pemandangan di atas yang indah serta pendakiannya tidak terjal.
5
perumahan yang dibangun untuk para pensiunan pejabat di lahan seluah 10 ha. Selain
pemukiman dan perumahan juga bermunculan villa -villa untuk disewakan pada
wisatawan. Villa-villa ini banyak dibangun oleh para pengusaha atau keluarga-keluarga
kaya di Surabaya dan Malang. Penduduk Desa banyak yang menjadi pekerja dan
penjaga villa- villa itu dan kadang kala juga menjadi manajer persewaan villa jika
pemiliknya tidak hadir4.
Perubahan dramatis pada struktur sosial lokal dari gejala-gejala modernisasi di
atas ditandai perubahan hubungan sosial produksi karena adanya peralihan tenaga
kerja keluarga menjadi buruh upahan. Jaringan produksi yang sebelumnya hanya
melibatkan anggota keluarga meluas dengan masuknya lembaga keuangan, penyedia
sarana produksi, dan pedagang perantara. Sistem produksi pertanian secara perlahan
berubah dari bentuk otonomi menjadi jaringan yang tergantung satu dengan yang
lainnya. Sementara itu, perubahan kultur petani ditandai dengan pergeseran orientasi
produksi mereka. Produksi yang sebelumnya untuk keperluan keluarga berubah untuk
memenuhi kebutuhan pasar. Penjualan hasil produksi pertanian hingga ke kota-kota
besar yang tidak pernah ada sebelumnya, kini telah biasa dilakukan oleh masyaraka t.
Nilai-nilai yang bertujuan untuk mengejar keuntungan merasuk ke dalam seluruh
sistem pertanian di TR.
Perumusan Masalah
Studi tentang transformasi ekonomi pedesaan Jawa telah dilakukan oleh
banyak sarjana sejak jaman kolonial. Studi-studi tersebut banyak terkait dengan
dinamika perubahan sistem ekonomi lokal akibat penetrasi sistem ekonomi kapitalis
yang di bawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satu studi yang cukup penting
adalah studi Booke (1952) yang mengemukakan teori “dualisme ekonomi” untuk
menggambarkan perkembangan ekonomi tradisional (lokal) dan kapitalistik (exstralokal) yang masing-masing merepresentasikan ekonomi kaum pribumi dan kolonial
Belanda. Menurut Booke, sistem ekonomi penduduk Jawa berada dalam kondisi statis
sulit berkembang karena sifat dasar orang Jawa yang tidak ingin mengumpulkan
keuntungan dan memupuk modal. Nilai “kebersamaan” dan “persamaan” mendorong
4
Kebiasaan ini hampir terjadi di seluruh Batu, dimana penduduk sekitar villa menjadi penjaga dan
sekaligus pemasar persewaan jika pemilik tidak memakai. Biasanya pemilik akan datang pada hari
minggu atau hari libur yang lain dan saat demikian penjaga tidak boleh memasukan penyewa.
6
orang untuk membagi hasil ekonomi pada semua anggota masyarakat, dan tidak ada
orang yang dapat melepaskan diri dari kewajiban sosial ini.
Ekonomi kapitalis yang diartikulasikan pada perkebunan Belanda di sisi lain
memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sistem lokal. Orientasi produksi untuk
mendapatkan keuntungan dan pemupukan modal. Karena sifat berbeda ini maka
keduanya berkembang menurut caranya masing-masing. Kehadiran ekonomi kapitalis
di pedesaan tidak mendorong terjadinya pemupukan modal pada penduduk lokal
malah terjadi kemendekan pertumbuhan. Kedua sistem ekonomi tersebut terjebak
pada dualisme hingga tidak pernah terjadi kemandirian dari keduanya.
Teori Booke tentang dualisme akhirnya mendapat kritikan karena dirasa kurang
realistis melihat hubungan antara dua sistem ekonomi tersebut. Sistem tradisional
kenyataannya memiliki hubungan yang erat dengan sistem kapitalis, atau malah
mendukung sepenuhnya5. Debat ini mendapat jawaban ketika Geerzt (1963)
mengenalkan teori “Involusi pertanian”. Menurut beliau , perkembangan sistem ekonomi
pedesaan Jawa mandek tidak hanya karena “bawaan” sistem sosial tapi merupakan
pengaruh dari eksploitasi kolonial dan pertumbuhan penduduk.
Lebih lanjut Geerzt mengatakan bahwa surplus produksi yang dihasilkan oleh
proses intensifikasi produksi pertanian tidak digunakan untuk mengakumulasi modal
sebagai dasar investasi tapi harus dibagi merata pada seluruh penduduk desa.
Ekonomi desa akhirnya tidak berkembang menjadi kapitalis tapi tumbuh ke dalam
sehingga terjadi involusi meski inovasi teknologi diterapkan. Di daerah penelitiannya di
Jawa Timur Geertz meyakini adanya proses “diferensiasi sosial” sebagai wujud
akomodasi atas tekanan pertumbuhan penduduk yang tajam.
Temuan Geerzt akhirnya juga menuai kritik karena dianggap terlalu membesarbesarkan “penyamarataan” sebagai media masyarakat golongan bawah tetap
mendapat bagian dari surplus produksi. Penerapan inovasi teknologi pada sistem
pertanian mampu membatasi akses lapisan bawah terhadap surplus produksi. Petani
lapisan atas dengan alasan mengeluarkan biaya lebih berhak untuk memotong akses
lapisan bawah pedesaan. Nilai penyamarataan ternyata tidak mampu bertahan di
5
Lihat Bahctiar Rifai (1958) Bentuk Milik Tanah dan Tingkat Kemakmuran ; Penyelidikan Pedesaan di
Daerah Pati, Djawa Tengah, Desertasi Fakultas pertanian Universitas Indonesia, Bogor
7
tengah perubahan sistem produksi akibat masuknya inovasi teknologi. Selain itu
teknologi yang di introdusir memang membatasi keperluan tenaga kerja secara alami6.
Di tengah perdebatan tentang arah transformasi struktur al tersebut, muncul
beberapa studi yang mengajukan konsep berlawanan. Diferensiasi sosial terbukti tidak
terjadi di pedesaan Jawa malah cenderung ke arah polarisasi. Lapisan sosial atas
semakin jauh jarak sosialnya dengan lapisan bawah , dan penyamarataan surplus tidak
terjadi sedemikian mulus. Atas dasar itu para pengkritiknya mengatakan apabila
pedesaan Jawa tidak terdiferensiasi namun terpolarisasi. Dalam pengantar terjemahan
buku ivolusi pertanian, secara khusus Sayogjo (1973) mengkritik metode dan
kesimpulan Geerzt yang saling bertolak belakang dengan data empiris. Berdasar atas
kerja lapangan setelah program revolusi hijau, ternyata di pedesaan Jawa terjadi
kesenjangan yang semakin lebar antara lapisan bawah dan kelas elit desa.
Studi-studi transformasi ekonomi lokal di pedesaan setelah revolusi hijau di
paruh 1980-an masih berdebat pada dua isu utama yakni polarisasi dan diferensiasi
sosial (White, 2002). Di tengah perdebatan tersebut muncul penelitian Hayami dan
Kikuchi (1984) yang mengatakan jika di pedesaan Jawa dan Philipina telah terjadi
proses perumitan struktur sosial desa. Polarisasi tidak terjadi setajam yang
diperlihatkan
oleh
para
peneliti
pendukungnya,
namun
yang
terjadi
adalah
penambahan kelas sosial dari dua kelas menjadi banyak tingkat. Maksud dari banyak
tingkat adalah munculnya lapisan-lapisan sosial baru diantara lapisan sosial terdahulu
yang mendapat berkah atau bagian surplus produksi dari kelas di atasnya.
Antara
pendukung
polarisasi
dan
diferensi asi
akhirnya
sama-sama
menyimpulkan apabila pertanian jawa terlah mengalami proses evolusi dan bukan
involusi. Modernisasi telah menunjukkan gejala perubahan yang berbeda dari
kesimpulan yang diambil oleh Geerzt. Telah terjadi pemisahan antara petani bertanah
luas dengan petani tak bertanah dan sedikit memiliki tanah. Selain itu juga terjadi
pemisahan antara buruh tani yang masih dapat mengakses pada petani bertanah luas
dengan yang tidak dapat mengakses sama sekali . Gejala sosial tersebut oleh Gordon
(1978) dianggap sebagai proses kapitalisa si pertanian, dimana pedesaan Jawa
sepenuhnya telah melampui tahap pra-kapitalis. Dengan demikian, kesimpulan ini
6
Penerapan varietas PB yang berumur singkat dan bertangkai pendek tidak lagi memerlukan ani-ani (alat
panen manual) saat memanen dan ini dengan sendirinya mengurangi akses perempuan lapisan bawah
untuk ikut menikmati surplus produksi.
8
menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya bahwa pedesaan Jawa pada dasarnya telah
melampui tahap pra-kapitalis dan menjadi kapitalis pertanian.
Pedesaan Jawa yang berkembang dari sistem tradisional (pra-kapitalis)
menjadi “kapitalis pertanian” menunjukkan adanya perubahan struktur sosial dan kultur
masyarakatnya. Untuk menguraikan perubahan tersebut dari masa ke masa, dapat
didekati melalui teori perkembangan kapitalisme. Konsep yang membangun teori
perkembangan kapitalisme sendiri adalah moda produksi (mode of production) dan
formasi sosial (social formation) . Konsep ini merupakan konsep dasar bagi tradisi
Marxis untuk menjelaskan perkembangan struktur sosial masyarakat.
Moda produksi adalah gabungan antara kekuatan produksi dan hubungan
produksi sehingga tercipta sebuah produk, sementara formasi sosial adalah kehadiran
dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi yang lain.
Perubahan dari masa pra-kapitalis (pertanian tradisional) menjadi kapitalis pertanian
(pertanian kapitalistik) berarti perubahan moda produksi dari ciri tradisional menjadi ciri
kapitalis. Karena itu mengkaji perubahan struktur ekonomi lokal dengan sendirinya
akan menguraikan perubahan moda-moda produksi yang membangunnya.
Moda produksi berubah apabila basis kekuatan produksi (forces of production)
dan sifat hubungan sosial produksi (relation of production) mengalami perubahan.
Menurut teori perkembang an kapitalisme, kekuatan produksi utama yang membangun
struktur ekonomi berkembang dari tanah (sebagai basis kekuatan produksi masyarakat
pra-kapitalis) menjadi modal uang (sebagai basis kekuatan produksi masyarakat
kapitalis). Sementara itu, relasi hubungan sosial produksi berkembang dari egaliter
(sebagai bentuk hubungan sosial produksi masyarakat pra-kapitalis) menjadi herakhis
(sebagai bentuk hubungan sosial produksi masyarakat kapitalis).
Di negara dunia ketiga, perubahan moda produksi dan struktur ekonomi lokal
dalam kerangka perkembangan kapitalisme, sebagian besar disebabkan oleh
penetrasi kapital melalui perkebunan besar yang dibawa oleh kaum penjajah. Di
Indonesia, masuknya moda produksi kapitalis kolonial berupa perkebunan besar yang
menanam tanaman eksport menyebabkan kerusakan luar biasa pada moda produksi
tradisional. Pertanian tradisional yang bercirikan “subsisten” mengalami goncangan
akibat masuknya ekonomi uang dan munculnya sistem upah. Sistem tradisional hanya
menjadi penopang jalannya perkebunan dan tidak mengalami perkembangan apa-apa,
9
atau malah hancur. Secara sistematis telah terjadi ekstraksi surplus produksi dari
pertanian lokal ke perkebunan melalui eksploitasi tenaga kerja dan pangan7.
Penelitian
di
daerah
Jawa
Timur
Khususnya
kawasan
Malang
(Batu
sebelumnya menjadi Wilayah Malang) belum banyak dilakukan, apalagi terkait dengan
transformasi perekonomian desa. Hiroyoshi Kano (1990) melihat dalam proses
masuknya sistem ekonomi perkebunan tidak merubah sedikitpun pelapisan sosial
masyarakat desa. Petani kaya yang berasal dari elit desa, mampu menangkap peluang
dengan menanam tebu (komoditas komersial) dan memperluas lahan garapannya,
sementara petani kecil tetap menanam padi (komoditas non-komersial) yang bercirikan
pertanian tradisional. Penelitian ini dilakukan di Pagelaran, sebuah desa di salah satu
Kecamatan di kabupaten Malang.
Penelitian lain dilakukan oleh Cederroth (1995) tentang berbagai strategi yang
dikembangkan petani untuk bertahan dari tekanan politik dan ekonomi dari supra desa,
serta bagaimana surplus produksi dipupuk oleh berbagai golongan dalam komunitas
pedesaan. Penelitian tersebut memang tidak menekankan pada perubahan moda
produksi lokal dan formasi sosi al pertanian secara spesifik, tapi temuan Cenderroth
memperlihatkan tetap adanya ciri pertanian tradisional pada komunitas pedesaan
meski moda produksi kapitalis sangat mendominasi. Ciri tersebut terutama melekat
pada para petani padi sawah yang lebih memilih tanaman padi meski keuntungan yang
diperoleh kecil.
Studi-studi tentang transformasi ekonomi pedesaan di atas, seluruhnya fokus
pada masyarakat komunitas padi sawah. Sementara komunitas masyarakat yang
berekologi pegunungan belum diteliti secara spesifik. Salah satu peneliti, Heffner
(1999) mengatakan jika masyarakat pegunungan memiliki struktur longgar, serba
kabur pelapisan sosialnya, dimana ikatan-ikatan antar individu sangat longgar.
Masyarakat pegunungan kurang memiliki pembatasan kelas sosial yang ketat
sebagaimana masyarakat daerah padi sawah. Orang “dianggap” sama kedudukkannya
dan tidak ada hal yang perlu ditonjolkan untuk menunjukkan status sosialnya. Paling
tidak kondisi seperti itu masih dijumpai pada masyarakat pegunungan sebelum
komersialisasi terjadi akibat penetrasi kapital melalui perkebunan. Penelitian Heffner
tersebut dilakukan pada masyarakat di desa-desa pegunungan Tengger, Jawa Timur.
7
Mengenai ini lihat Houben dalam Lindblad (2000:73-98), Neil (2003:154-197) rata-rata mereka setuju
telah terjadi kerusakan pada tatanan tradisional setelah perkebunan masuk dan desa semakin masuk pada
ekonomi uang dan terjadi ekstraksi dari sistem lokal. Mengenai tinjauan teorit is lihat Taylor (1989:192193) yang membicarakan dampak moda produksi kapitalis pada moda produksi lokal Indonesia.
10
Struktur longgar pada masyarakat Tengger sebelum komersialisasi tak lepas
dari penguasaan kekuatan produksi dan hubungan produksi yang dibangun. Kekuatan
produksi masyarakat pegunungan utama adalah tanah sementara tenaga kerja
mengandalkan anggota keluarga. Tanah penduduk desa -desa pegunungan rata-rata
cukup luas dengan kepemilikan yang hampir merata dimana sangat jarang orang tidak
memiliki tanah. Keluarga petani di pegunungan relatif mandiri dalam produksi dan
kurang tergantung keluarga lain. Selain pengusaan tanah yang tidak timpang, sumber
tenaga kerja keluarga juga menjadi sebab kenapa ketergantungan tidak terjadi. Hal ini
sangat berbeda dengan komunitas padi sawah dimana sumber tenaga kerja adalah
pasar kerja dan penguasaan tanah yang sangat timpang. Hubungan patron klien dalam
produksi menjadi ciri utama masyarakat padi sawah yang jarang ditemukan pada
masyarakat padi sawah.
Lebih lanjut, Hefner (1999) melihat tranformasi ekonomi pedesaan pegunungan
menjadi komersial berjalan lebih lambat daripada daerah sawah. Selain faktor budaya,
penetrasi kapital penjajah Belanda masuk lebih akhir dibanding komunitas padi sawah.
Selain itu, komunitas padi sawah juga telah menjadi wilayah kendali kekuasaan feodal
Jawa sehingga tekanan politik dan ekonomi sudah sangat kurang kuat sejak awal.
Baru pada akhir-akhir penjajahan, penetrasi kapital masuk di desa-desa Tengger
melalui perkebunan-perkebunan besar teh dan kopi.
Perubahan sangat cepat terjadi malah pada masa Orde Baru karena adanya
program modernisasi pertanian. Masuknya teknologi modern terutama obat-obatan
mendorong perluasan budidaya tanaman sayur yang lebih komersial dibanding dengan
tanaman jagung dan ketela. Budidaya tanaman komersial ini memberi ruang luas
terjadinya akumulasi dan merubah seluruh basis budaya pegunungan. Hefner tidak
mengupas secara spesifik perubahan moda produksi yang terjadi, tapi teknologi
modern dan kebijakan modernisasi (kekuatan exstra-lokal) secara umum menjadi
pemicu perubahan yang mendasar pada kehidupan ekonomi masyarakat desa.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memfokuskan diri pada
proses perubahan struktur ekonomi lokal (desa Tulung Rejo) dengan menguraikan
dinamika perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Lokal dalam hal ini
menunjuk sebuah komunitas desa, yang keberadaannya tidak lepas dari komunitas
lebih luas yakni Kota, Propinsi, atau juga negara bahkan dunia. Lebih jauh penelitian
ini menjelaskan secara mendalam, “mengapa” dan “bagaimana” struktur ekonomi lokal
dengan melihat dinamika moda produksinya. Dengan melihat dinamika moda-moda
11
produksi sebagai pembangun struktur ekonomi dapat
dianalisis kenapa dan
bagaimana sebuah sistem ekonomi timbul dan tenggelam serta faktor apa yang
menyebabkannya.
Untuk menerangkan gejala-gejala perubahan struktur ekonomi, dalam sosiologi
dapat didekati melalui konsep moda produksi. Analisis moda produksi sebenarnya
dikembangkan untuk menganalisis masyarakat Eropa sehingga tidak dapat begitu saja
diterapkan di negara dunia ketiga yang memiliki ciri berbeda. Dalam perkembangan
berikutnya muncul konsep formasi sosial sebagai turunan teori sosiologi aliran Marxis
yang dikembangkan untuk dapat membedah realita perkembangan kapitalis di negara
dunia ketiga. Dengan demikian perubahan struktur ekonomi desa TR akan dibedah
menggunakan konsep formasi sosial.
Penelitian ini juga dibatasi pada perubahan-perubahan yang terjadi pada modamoda produksi yang berkembang dalam masyarakat desa TR. Secara khusus akan
diuraikan perubahan moda produksi petani tradisional yang bercirikan subsistensi pada
awalnya menjadi komersial saat ini. Kajian menguraikan struktur sosial dan nilai
budaya
yang
berkembang
di
TR
dari
masa
ke
masa,
serta
bagaimana
keberlangsungan moda-moda produksinya dalam setiap masa. Bagaimana perubahan
yang terjadi, dan apa-apa saja yang mendorong perubahan itu pada kehidupan sosial
masyarakat desa TR fokus penelitian ini.
Struktur ekonomi/formasi sosial dalam hal ini dimaknai sebagai kehadiran dua
atau lebih moda produksi secara bersamaan di desa TR dalam waktu tertentu. Satu
moda akan cenderung mendominasi moda lain sehingga seluruh corak masyarakat
akan ditentukan oleh moda produksi dominan. Moda produksi mampu menjadi
dominan jika mampu “mereproduksi” unsur-unsur yang membangunya. Reproduksi
dilakukan melalui penguasaan kekuatan produksi dan relasi hubungan produksi. Moda
produksi dominan jika mampu mempengaruhi dan mengambil surplus produksi dari
moda produksi lain. Penelitian ini dengan demikian melihat moda-moda produksi apa
yang dominan di desa TR dari waktu ke waktu dan bagaimana proses perubahannya.
Dengan demikian digunakan pendekatan historis untuk dapat menjelaskan prosesproses perubahan dengan lebih rinci.
12
Berdasar ata s uraian diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1) Apa sajakah tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam
struktur ekonomi desa TR dari masa ke masa ?
2) Bagaimanakah proses perubahan moda-moda produksi dalam struktur
ekonomi desa TR dari masa ke masa, dan faktor-faktor apa saja yang
berperan dalam perubahan itu?
3) Dari dua permasalahan di atas muncul pertanyaan, sejauh manakah
perubahan moda-moda produksi menyebabkan perubahan formasi sosial
desa TR dari masa ke masa ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1) Memetakan tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam
struktur ekonomi desa TR.
2) Menganalisis proses perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa
dan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut.
3) Menganalisis formasi sosial desa TR yang terbangun disetiap periode
sebagai akibat perubahan moda-moda produksi tersebut.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pengertian Moda Produksi dan Formasi Sosial
Dalam tradisi Marxis, untuk menjelaskan realitas sosial dikenal dua konsep
penting yakni moda produksi (mode of production) dan formasi sosial (social
formation) . Moda produksi atau “cara produksi” merupakan gabungan antara kekuatan
produksi (forces of production) dan hubungan/relasi sosial produksi (relation of
production). Sementara itu, formasi sosial (social formation) adalah kehadiran dua atau
lebih moda produksi dalam satu masyarakat dimana salah satu akan mendominasi.
kemampuan mendominasi ditentukan oleh kekuatan masing -masing moda produksi
untuk mereproduksi sistemnya. Kehadiran dua atau lebih moda produksi demikian juga
disebut sebagai struktur ekonomi (Russel 1998:8).
Kembali pada moda produksi, komponen kekuatan produksi terdiri dari tenaga
kerja, instrumen atau alat-alat produksi, dan bahan baku, teknologi produksi,
manajemen produksi, juga modal uang, sementara relasi produksi adalah struktur
sosial yang mengatur relasi antar manusia dalam satu proses produksi barang dan
jasa kebutuhan manusia. Relasi produksi melekat atau bahkan sepenuhnya ditentukan
oleh struktur sosial. Dengan demikian, moda produksi sangat erat kaitannya dengan
struktur sosial, karena berjalan atau tidaknya moda produksi tergantung pada
pengaturan struktur sosial. Struktur sosial meliputi juga sistem politik, sistem nilai,
ideologi, juga budaya masyarakat dimana kegiatan produksi itu berkembang.
Dalam kehidupan sehari-hari moda produksi ter“artikulasi” dalam kegiatankegiatan ekonomi. Artikulasi merupakan bentuk strukturasi moda produksi pada
budaya setempat berbentuk kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, kerajinan,
perkebunan, perdagangan, pariwisata, dan jenis-jenis kegiatan-kegiatan ekonomi
lainnya. Masing-masing kegiatan ekonomi dapat mencerminkan moda produksi apa
yang digunakan, dengan melihat ciri-ciri kekuatan produksi dan hubungan/relasi sosial
produksinya. Secara skematis moda produksi dapat digambarkan sebagai berikut:
14
Gambar 2.1 Skema Moda Produksi
IDEOLOGY AND CULTURE
Beliefs, representation, discourse
STATE AND POLITICS
Government, legal, sistem, police,
army, civil, service
FORCES OF PRODUCTION
RELATION OF PRODUCTION
Kin, class, gender
Labor power
tools, machine
Land scape, resources, territory, place, social space
NATURAL ENVIRONMENT
sumber: Richard Peet, (1999:101)
Dalam proses strukturasi terbangun sebuah struktur sosial sebagai pola
(pattern) yang relatif mapan dari konstelasi berbagai artikulasi moda produksi.
Hubungan antar moda produksi dan artikulasinya masing-masing biasanya asimetris
atau cenderung terjadi dominasi moda produksi tertentu. Moda produksi yang mampu
mereproduksi sistem yang dikembangkan yang akan bertahan. Moda produksi
dominan yang kemudian akan mendominasi struktur sosial, nilai, kepercayaan, dan
ideologi masyarakat. Seluruh interelasi antar moda produksi tersebut, serta unsurunsur lain yang melingkupi bekerjanya moda produksi menggambarkan bentuk formasi
sosial sebuah masyarakat.
Perubahan moda produksi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi
pada kekuatan produksi dan hubungan sosial produksinya. Kekuatan produksi lokal
yang dulunya mengandalkan tanah pertanian, telah bergeser dengan berkembangnya
usaha-usaha lain yang mengandalkan modal uang sebagai kekuatan produksi utama.
Relasi produksi yang dulunya bersifat egaliter karena tenaga kerja berasal dari
keluarga, berubah menjadi herakhis karena tenaga kerja mengandalkan buruh upahan.
Pola perubahan moda produksi tersebut, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu , dan
dalam sebuah sistem sosial mencerminkan arah perkembangan kapitalisme.
Jenis penguasaan kekuatan produksi dalam masyarakat bermacam-macam,
sehingga hubungan sosial produksi yang terbangun juga bermacam-macam pula.
Paling tidak ada dua tipe utama yakni non -kapitalis dan kapitalis, yang kehadirannya
15
dapat dalam satu kontinum, namun juga dapat hadir secara bersamaan. Moda
produksi kapitalis berbasis pada penguasaan modal uang sebagai kekuatan produksi,
sementara non-kapitalis lebih pada penguasaan atas tanah dan tenaga kerja.
Sementara itu hubungan produksi menurut Russel (1989: 8-9) memiliki tiga tipe yakni
egaliter, kelas, dan transisi atau antara.
Tipe egaliter menunjukkan tidak adanya eksploitasi antar aktor dalam proses
produksi. Tipe egaliter mencakup cara produksi komunal dan komunis, dimana
kepemilikan kekuatan produksi tidak pada pribadi tapi pada kelompok. Jika cara
produksi komunal aturan penguasaan kekuatan produksi ditetapkan oleh kelompok
melalui aturan adat, maka pada komunis diatur oleh Negara. Keduanya tidak mengenal
kepemilikan pribadi tapi kepemilikan bersama. Semua anggota memiliki kekuatan
produksi sama, sehingga hubungan produksi yang terbangun dalam masyarakat
demikian bertipe egaliter karena tidak adanya buruh majikan.
Tipe kelas menunjukkan adanya aksploitasi antar kelas karena adanya
dominasi kelas tertentu atas kelas lain. Kelas pengua sa menguasai seluruh kekuatan
produksi sehingga ia merekut buruh untuk bekerja padanya. Dengan demikian ada dua
kelompok pelaku produksi yakni pemilik kekuatan produksi dan pekerja dalam proses
produksi. Tipe ini mencakup cara produksi Negara, Slavery, feudal, dan kapitalis. Cara
produksi Negara menunjukkan negaralah yang memegang kekuasaan atas kekuatan
produksi dan rakyat harus menyetor hasil produksi pada Negara. Cara produksi slavery
yang
memegang
kekuatan
produksi
adalah
tuan
tanah
dimana
mereka
mengeksploitasi budak untuk memproduksi barang dan jasa. Sementara untuk feudal,
kekuasaan tertinggi atas kekuatan produksi adalah Raja dan keluarganya, sementara
rakyat bekerja padanya. Sementara cara produksi kapitalis, yang memegang
kekuasaan atas kekuatan produksi adalah individu-individu yang menguasai kekuatan
produksi dan mampu mengakumulasi surplus produksi untuk modal investasi .
Hubungan sosial produksi dalam perkembangan kapitalisme bermula dari tipe
egaliter sebagai ciri masyarakat komunal (pra-kapitalis) menjadi tipe kelas sebagai ciri
masyarakat perbudakan, negara, feudal, dan kapitalis dan menjadi tipe egaliter
kembali sebagai ciri masyarakat komunis. Perubahan dari tipe egaliter menjadi tipe
kelas terdapat masa transisi dimana hubungan sosial produ ksi bertipe antara/transisi.
Tipe antara/ transisi mencakup cara produksi petani mandiri, kepemilikan sederhana
(simple property) dan sosialis. Dalam hubungan sosial produksi tipe transisi masih
terdapat ciri-ciri egaliter, namun juga telah mulai mengembangkan kepemilikan pribadi
16
atas kekuatan produksi. Akumulasi modal untuk memupuk kekekuatan produksi mulai
ada meski tidak memusat pada kelompok tertentu sebagaimana feudal ataupun
kapitalis. Tipe transisi ini merupakan ciri khas hubungan produksi yang berkembang
pada negara dunia ketiga termasuk Indonesia.
Dalam kondisi riel, dalam satu sistem sosial moda produksi tidak mungkin
tunggal dan selalu hadir lebih dari satu moda produksi. Kehadiran secara bersama ini
membentuk sebuah konstelasi, dan akan terjadi persaingan antar keduanya.
Kehadiran secara bersamaan dua atau lebih
cenderung
mendominasi
disebut
sebagai
moda produksi dimana salah satu
formasi
sosial.
Dengan
demikian,
menjelaskan sistem sosial an sich menggunakan analisis moda produksi sangat tidak
mungkin. Moda produksi menurut Budiman dalam Sitorus (1999:16) merupakan tipe
ideal yang kurang mendekati kenyataan empiris. Dengan demikian analisis yang lebih
cocok tentunya adalah analisis formasi sosial yang lebih mendekati kenyataan.
Dengan mengetahui formasi sosialnya maka dengan sendirinya akan terlihat
bagaimana
perubahan
struktur
ekonomi
lokal
terjadi.
Taylor
(1979)
juga
mengungkapkan hal yang sama, dimana kajian tentang moda produksi sangat terbatas
untuk memberi gambaran struktur sosial secara utuh. Kajian formasi sosial yang
merupakan bentuk lebih menyeluruh atas struktur sosial lebih tepat digunakan.
Althouser dalam Taylor (1979:106) mengungkapkan bahwa formasi sosial
merupakan perwujudan secara keseluruhan sejumlah praktek yang komplek dalam
ekonomi, politik, ideology, dan teoritisasi. Praktis-praktis itu masing-masing memiliki
perbedaan, namun berstruktur sama yakni bagaimana bahan dasar (raw material)
ditransformasikan menjadi produk spesifik yang bernilai sosial. Transformasi tersebut
terjadi karena adanya pengorganisasian buruh menggunakan alat produksi tertentu.
Praktis ekonomi terpusat pada tiga komponen utama yakni pekerja, alat
produksi, dan tujuan dari kerja (produksi). Pekerja ada dua jenis yakni kapitalis
(pekerja pasif) atau orang yang menguasai kapital atau alat produksi, sementara buruh
(pekerja aktif) adalah orang yang langsung bersentuhan dengan alat untuk
memproduksi sesuatu. Produk sebagai hasil kerja buruh menghasilkan surplus nilai
yang mengalir pada pekerja pasif. Dalam setiap tipe masyarakat, aliran surplus dari
pekerja aktif ke pekerja pasif selalu ada dengan pola yang berbeda-beda.
Praktik politik mengacu pada potensi alamiah moda produksi dominan untuk
selalu mereproduksi sistem agar tetap bertahan. Moda produksi dominan harus
membangun sistem poli tik, ideologi, dan nilai yang mendukung keberlangsungan moda
17
produksi. Di Jawa, penerbitan undang-undang Agraria (agrariche wet, 1870) oleh
pemerintah Belanda adalah contoh keputusan politik yang kemunculannya didorong
oleh kaum pengusaha swasta (sebagai pelaku moda produksi dominan) yang ingin
berinvestasi dengan bebas. Pengakuan hak milik dan hak menguasai negara melalui
pemerintah, yang merupakan ide dasar undang-undang agraria, akan memudahkan
bagi swasta untuk menyewa tanah untuk usahanya. Sistem komunal dan kepemilikan
Raja sebelumnya sangat menyulitkan perusahaan perkebunan berinvestasi di Jawa.
Praktik ketiga yakni praktik ideology, yang dibangun oleh moda produksi
dominan (moda produksi kapitalis) untuk membenarkan/mengesahkan cara produksi
yang mereka kembangkan. Mereka memproduksi pandangan bahwa hubungan
produksi yang dikembangkan merupakan sesuatu yang sah dan tidak menimbulkan
kerugian. Dalam bentuk nyata, ideology ini diemban oleh apparatus ideology bisa
Negara, keluarga, gereja, juga apparatus lain. Althouser (1989) mengatakan apparatus
ini ada dua yakni ISA (ideological state apparatus) dan SA (state apparatus). ISA
proses produksi pandangan-pandangan kaum kapitalis untuk mengesahkan praktek
hubungan produksi yang dikembangkan juga mempromosikan gaya hidup, sementara
SA merupakan aparat penegaknya seperti polisi dan tentara.
Formasi sosial pada dasarnya memiliki unsur utama sebuah moda produksi
dominan, yang berdampingan dengan moda produksi lain. Moda produksi dominan
mengestraksi surplus tenaga kerja dari moda produksi lain. Moda produksi dominan
selanjutnya membangun sistem ideology dan sistem politik untuk mengesahkan proses
ekstraksi tersebut. Komplek relasi yang berisi proses ekstraksi demikian, disebut
sebagai sebuah formasi sosial. Jadi dalam sebuah formasi sosial paling tidak ada dua
moda produksi yang hadir secara bersamaan dimana salah satu terdominasi.
Gambaran formasi sosial sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi
dimana salah satu mendominasi telah ditemukan beberapa ahli. Jeffrey Paige dalam
Roxborough (1986:103-104) menguraikan artikulasi berbagai moda produksi dalam
masyarakat perkebunan dibedakan dalam lima artikulasi yakni sistem (1) Manor
komersial atau hacienda. Merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga
mesin, dikerjakan secara hak usaha oleh buruh upahan lokal atau ulang alik setiap hari
dari lahan subsistensi didekatnya. (2) perkebunan bagi hasil, merupakan juga bersifat
individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikelola petani bagi hasil atau penyewa.
(3) perkebunan yang menggunakan buruh migrasi, merupakan usaha individual, tidak
menggunakan tenaga mesin, dan digarap oleh tenaga pindahan. (4) perkebunan
18
besar, perusahaan dimiliki oleh perusahaan swasta atau perusahaan pemerintah atau
oleh individu, menggunakan mesin, serta tenaga kerja upahan dari wilayah itu untuk
jangka waktu setahun atau lebih, dan (5) pertanian kecil milik keluarga, merupakan
usaha individual, digarap pemilik dan keluarganya. Moda produksi kapitalis yang
diartikulasikan dalam sistem perkebunan besarlah yang paling mendominasi, sehingga
seluruh bangunan politik, norma, dan ideologi ditentukan olehnya.
Temuan Hiroyosi Kano (1990:182-183) di Desa Pagelaran, Kabupaten Malang,
memperlihatkan masih adanya ciri produksi non-kapitalis dengan merujuk pada sistem
pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah meski memiliki hasil
cukup besar tidak menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor kapitalis. Usaha
padi sawah kurang terkomersialisasi, akibat orienta si produksi untuk keperluan sendiri
dan sedikit dipertukarkan. Di sisi lain, pertanian tebu di sana sangat komersial sebagai
artikulasi ciri kapitalis. Peran para pedagang sangat dominan dalam membawa usaha
tani tebu menjadi usaha berciri kapitalis. Usaha tani tebu ini dikembangkan oleh
perusahaan gula Krebet baru yang di introdusir penjajah Belanda. Perluasan tanaman
tebu pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini
menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman
padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional).
Penelitian Khan (1974:304) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda
produksi bersamaan yakni : (1) Cara produksi subsistensi (subsistensi production)
yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam
keluarga inti dan bersifat egaliter; (2) Produksi komersialis (petty commodity
production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang (sudah) berorientasi
pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui
hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial produksi egaliter karena (umumnya
keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) Produksi kapitalis yakni usaha padat
modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan
struktur buruh-majikan/pemilik “modal” dan pemilik “tenaga”.
Lebih lanjut Khan menemukan usaha pandai besi (sebagai artikulasi moda
produksi kapitalis) yang dulunya mendominasi tidak berkembang menjadi kapitalis
malah semakin memperkecil produksinya (teratomisasi). Hal ini disebabkan oleh
masuknya berbagai produk import yang menggeser dominasi produk lokal. Dominasi
usaha pandai besi (kapitalis lokal) berakhir digantikan oleh moda produksi kapitalis dari
luar (produsen barang import).
19
Ciri-ciri Struktu r Ekonomi Lokal
Uraian tentang ciri-ciri struktur ekonomi pasti merupakan analisis pada aras
umum sebagai generalisasi realitas-realitas ekonomi oleh peneliti sebelumnya. Dengan
demikian generalisasi tersebut belum masuk pada konteks lokal dimana penelitian ini
dilakukan. Oleh karena itu kajian pustaka ciri-ciri ekonomi lebih bersifat untuk
mengantarkan pemahaman peneliti saja.
Ekonomi lokal dalam kajian ini dimaknai bagaimana struktur ekonomi
sebagaimana uraian diatas dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada
satu komunitas ter tenntu yang batasa n ruang maupun besar komunitasnya jelas. Lokal
berarti menunjuk pada daerah, kesatuan kehidupan sosial didalamnya beserta seluruh
dinamikanya. Dalam hal ini, ekonomi lokal berarti merujuk pada ekonomi desa
penelitian sekaligus sebagai batas wilayah untuk membedakan dengan daerah lebih
luas misalnya kota Batu, jawa Timur, atau Indonesia.
Dalam
sosiologi,
perubahan
struktur
ekonomi
tidak
dimaknai
dengan
perubahan pendapatan, perubahan suku bunga, penyerapan tenaga kerja, atau
peningkatan secara kuantitatif berbagai indikator ekonomi sebagaimana ahli ekonomi.
Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial sekelompok
masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup.
Interaksi sosial hingga menghasilkan produk (untuk memenuhi kebutuhan) dinamakan
proses
produksi,
sementara
cara-cara
bagaimana
sumberdaya
diatur
untuk
menghasilkan produk disebut sebagai cara produksi. Dengan demikian, ada
kemungkinan dalam masyarakat berkembang lebih dari satu cara produksi.
Struktur ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas paling tidak ada dua tipe
dalam perkembangan masyarakat, yakni non-kapitalis dan kapitalis. Yang pertama
merujuk pada moda produksi masyarakat sebelum kapitalisme pasar berkembang di
Eropa, berupa jenis-jenis moda produksi asli masyarakat setempat. Khusus untuk
Negara bekas jajahan sebagaimana Indonesia, ciri-ciri tradisional menggambarkan
struktur ekonomi terutama sebelum penjajahan datang. Struktur ekonomi sendiri berisi
interelasi moda-moda produksi yang berarti interelasi berbagai tipe pola penguasaan
kekuatan produksi dan hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi,
distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam suatu masyarakat.
Struktur ekonomi non kapitalis hasil produksi tidak untuk dipertukarkan dalam
arti komersial, namun untuk digunakan bersama secara sosial. Sementara itu hasil
produksi sistem kapitalis sebaliknya, dimana hasil produksi dipertukarkan dalam pasar
20
dan sedikit digunakan bersama secara sosial. Dengan demikian, struktur ekonomi nonkapitalis produksi berorientasi pada “nilai guna”, sementara kapitalis pada “nilai tukar”.
Yang satu berdimensi sosial karena berasas nilai guna, sementara yang lain
berdimensi keuntungan karena berasas nilai tukar (Sanderson 2003:112).
Struktur ekonomi non-kapitalis atau kapitalis dalam tradisi Marxis dimaknai
sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung
mendominasi, atau yang dikenal dengan konsep formasi sosial. Struktur ekonomi
dalam pengertian Sanderson di atas terbangun atas berbagai kegiatan produksi yang
masing-masing memiliki ciri khusus. Dengan demikian, struktur ekonomi juga dapat
dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu sistem sosial
yang oleh Russel (1989) dan Olin T. Wright (1999) dimaknai sebagai formasi sosial.
Jadi, menganalisis struktur ekonomi pada dasarnya adalah menjelaskan dinamika
komponen-komponen penyusunnya yakni moda-moda produksi.
Pembedaan atas “produksi untuk dipakai” atau “produksi untuk dijual” tidaklah
mungkin ada secara mutlak dalam sektor ekonomi. Dalam ekonomi non-kapitalis masih
ada barang dan jasa yang dipertukarkan meski jumlahnya sedikit. Fungsi barang untuk
ditukar sekunder saja bagi sektor ekonomi non-kapitalis. Hal ini berarti produksi untuk
dipakai tidak benar jika dianggap hanya untuk subsistensi anggotanya saja. Demikian
juga dengan ketidak samaan sosial berdasar pada produksi untuk dipakai, bukan pada
besarnya kekayaan sebagaimana ekonomi kapitalis.
Dalam
sektor
ekonomi
non-kapitalis,
kekuatan-kekuatan
produksi
penguasaannya sangat bervariasi. Penguasaan terhadap sumberdaya potensial untuk
aktifitas produksi ini akan menentukan organisasi sosial apa yang terbangun.
Sanderson (2003:113) melihat pali ng tidak ada empat pola penguasaan yakni
komunisme primitive, pemilikan keluarga besar (lineage ownership), pemilikan oleh
pemimpin (chiefly ownership), dan pemilikan signeureal8. Meski demikian sektor
kepemilikan ini tidak representative seluruh jenis kepemilikan dalam sektor ekonomi
non-kapitalis, dan masih ada variasi-variasi tertentu.
8
Kepemilikan ini menunjuk pada masyarakat pemburu dan peramu yang primitive, dimana kepemilikan
sumberdaya utama dimiliki bersama. Pemilik an keluarga besar adalah kepemilikan berdasar atas lineage
(kadang klan) atas sumberdaya utama. Keluarga-keluarga ini menguasai sumber utama yang biasanya
tanah. Chiefly ownership menunjuk kepemilikan oleh ketua atau pemimpin yang kuat (dapat suku atau
raja). Sementara itu signeureal lebih mengarah pada kepemilikan oleh sekelompok kecil anggota
masyarakat atau sering disebut tuan tanah., lebih lanjut lihat Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah
Pendekatan Terhadap Sebuah Realita Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 2003.
21
Hubungan produksi yang terbangun dalam kepemilikan komunal primitive lebih
cenderung egaliter, atau bahkan tidak ada ikatan herarkhis dalam produksi. Namun
demikian dalam kegiatan-kegiatan perburuan tentu saja mengenal kelompok-kelompok
yang terorganisasi, yang lebih banyak dibedakan atas keahlian. Kepemilikan keluarga
besar berbeda dimana keanggotaan kelompok menjadi faktor penting dalam
mengakses sumberdaya. Chiefly ownership hubungan produksi ditentukan oleh
pemimpin dan ia harus menyerahkan sebagian hasil agar hak untuk melakukan
produksi tetap diperoleh. Dan untuk kepemilikan signeureal, peranan tuan tanah
sangat besar dimana hubungan produksi didominasi para pemilik tanah yang
didapatkan secara
turun temurun, jika ada orang memakai maka ada kewajiban-
kewajiban tertentu (Sanderson 2003:113-117).
Sementara itu, menurut Eric Wolf (1983:84-88) pola penguasaan ini dalam
masyarakat tradisional berawal dari sistem komunal menuju pada penguasaan pribadi.
Kepemilikan menentukan hak-hak penguasaan, yang dikenal sebagai hak “Domain”.
Ada tiga pola penguasaan utama yakni patrimonial domain, prebendal domain, dan
mercantile domain 9. Selain itu juga dikenal administrative domain, yakni penguasaan
oleh Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi atas tanah. Tipe-tipe penguasaan ini
dapat juga hadir secara bersamaan dalam satu sistem sosial. Sementara itu dalam
masyarakat kapitalis modern kepemilikan lebih didominasi kepemilikan pribadi dapat
diperjual belikan layaknya komoditi yang lain.
Hubungan produksi yang terbangun pada domain-domain di atas memiliki sifat
yang hampir sama dengan pembagian Sanderson. Patrimonial mengacu pada
kepemilikan keluarga besar, prebendal pada signeureal, sementara dalam mercantile
kepemilikan pribadi penuh. Karena kepemilikan pribadi, maka hubungan produksi
mengarah pada hubungan herakhis antara pemilik dan buruh, meski keluarga juga
masih berperanan. Sementara itu untuk administrative domain, hubungan produksi
terbangun dalam usaha keluarga dengan kewajiban tertentu pada pemerintah berupa
9
Patrimonial domain, menunjuk pada penguasaan berdasar kelompok atau garis keturunan dimana orang
yang berada diatasnya harus membayar upeti karen atanggal diatasnya. Sistem Kebekelan di Jawa,
dimana tanah adalah milik raja dan massa rakyat pengarap merupakan contoh domain ini. Prebendal
domain menunjuk penguasaan berdasar atas pemberian karena jabatan tertentu dan berhak atas hasilnya.
Namun ada juga model kutipan sebagian hasil tani oleh pejabat dari tanah raja sebagai upah jabatan. Ini
dapat kita lihat pada sistem tanam paksa dimana kepala Desa berhak mendapat bagian dari hasil tanam
paksa. Dan terakhir mercantile domain menunjuk pada kepemilikan individu dan dapat dipertukarkan
bahkan diperjualbelikan dalam pasar, dan tanah menjadi komoditi. Lihat Eric Wolf, 1983, Petani Suatu
Tinjauan Antropologis, CV. Rajawali, Jakarta
22
pajak (tunai dan tenaga kerja). Model kuli kenceng, kuli kendo, dan tlosor di Jawa
merupakan contoh baik corak domain ini.
Untuk pedesaan Indonesia, dan Jawa pada khususnya, kepemilikan pribadi
atas tanah telah terjadi sejak diperkenalkannya culturestelsel oleh Belanda. Tanahtanah raja telah diberikan hak kepemilikannya pada petani dengan kewajibankewajiban tertentu yang harus dipenuhi seperti pajak dan kerja bakti. Kita ketahui
tanah merupakan kekuatan produksi dominan hingga saat ini. Sementara itu hubungan
produksi ada yang bersifat egaliter, kelas, juga campuran. Namun menjadi ciri umum
yang selalu ada di setiap Desa Jawa dan kiranya juga di Desa -Desa Asia Tenggara,
adala h dominasi pola hubungan patron klien (Hayami dan Kikuchi 1984: Hunsken
1998: Scott 2000: Antlov 2002).
Perkembangan Kapitalisme dan Transformasi Ekonomi Lokal
Pengaruh kapitalisme di Negara dunia ketiga, sebagian besar masuk melalui
proses kolonialisasi/penjajahan. Kapitalisme yang berkembang di Negara dunia ketiga
sering disebut sebagai kapitalis pinggiran (peripheral capitalism) atau juga kapitalis
semu. Hal ini menandakan adanya perbedaan antara pertumbuhan ekonomi kapitalis
di Negara dunia ketiga dengan Eropa (Beaud, 2001). Kapitalisme di pusat
pertumbuhan industri bersamaan dengan pertanian, sementara di pinggiran industri
tumbuh melalui ekstraksi pertanian. Di pinggiran transformasi struktural tidak terjadi
secara seimbang antar sistem ekonomi, dimana satu cenderung didominasi.
Di Indonesia, penelitian tentang tranformasi struktur ekonomi pedesaan
sebenarnya sudah lama dilakukan. Kajian banyak fokus pada dampak masuknya
kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama terkait dengan (1) transformasi
ekonomi non kapitalis menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh
sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal paska kolonial. Studi
Booke (1953) melihat adanya dua sistem ekonomi yang berdampingan antara
perkebunan Belanda yang bersifat modern dengan pertanian tradisional yang bersifat
subsistensi. Booke menyebutnya sebagai dualisme ekonomi. Terjadi co-exsistence
dimana satu sistem berkembang dengan caranya sendiri tanpa mengganggu sistem
lain. Dengan demikian pertanian tr adisional akan memiliki pola perkembangan sendiri,
demikian juga ekonomi kapitalis modern. Namun selanjutnya dibuktikan bahwa
hubungan yang terjalin bukan co-existence tapi proses dominasi sistem ekonomi
kalonial atas ekonomi lokal.
23
Hal yang sama terjadi pada struktur lokal di daerah bekas koloni Perancis di
Kenya, Afrika Barat. Ekonomi pedesaan meski telah terrintegrasi pada sistem kapitalis
melalui perdagangan internasional reproduksi sistem lokal tetap terjadi. Temuan
Freidberg (2003) memperlihatkan perdagangan hortikultura dari pedesaan Kenya ke
Uni Eropa meski telah dilakukan standar isasi sesuai dengan nilai di Eropa tetap
dimaknai secara lokal oleh penduduk Kenya. Konstruksi kolonial bagaimanapun tetap
melekat erat pada jaringan pemasaran itu.
Kartodirdjo dalam Lindblad (2000:268-269), mengatakan bahwa umumnya
perkebunan mengatur pertanian komersial dan karena itu cepat sekali mendominasi
ekonomi pedesaan secara luas. Dengan kemampuan modal dan fasilitas kebun dapat
mengembangkan produksi yang terpisah dengan pertanian secara fisik, tapi terjadi
hubungan eksploitatif dimana ekonomi desa lebih banyak melayani ekonomi
perkebunan. Hal itu tidak hanya dalam hal teknis produksi, tapi juga pada sisi ideology
dimana perkebunan tetap mempertahankan struktur tr adisional sebagai sumberdaya
utama di pedesaan.
Sistem tradisional diintegrasikan dalam struktur produksi perkebunan untuk
menekan biaya operasional. Patron petani tetap pada otoritas lokal, sementara buruh
mengiblat pada perkebunan. Secara perlahan perke bunan melalui struktur lokal
melakukan eksploitasi atas sumberdaya desa melalui kerja rodi dan pajak-pajak. Apa
yang terjadi? Ekonomi desa hanya berkembang di dalam desa saja sementara
perkebunan berkembang keluar terkait dengan perekonomian luar desa.
Selama dua dasa warsa setelah kemerdekaan adalah waktu yang cukup
kondusif bagi petani lokal di sekitar perkebunan untuk mengembangkan produksinya.
Tema-tema penelitian pedesaan berkisar pada kerja-kerja program pemerintah untuk
meningkatkan produksi pangan bagi pembangunan ekonomi. Pada masa ini tidak ada
tema penelitian tentang proses transformasi pedesaan setelah keluarnya Belanda.
Perekonomian desa tetap berkembang setelah Belanda keluar memasuki masa-masa
kemerdekaan. Berbagai program pembangunan mulai dirintis ditingkat desa untuk
meningkatkan produksi pertanian. Kebijakan nasionalisasi perkebunan Belanda
merubah patron para buruh pada Negara sementara ekonomi desa mulai bekembang
akibat peningkatan produksi dan pertumbuhan penduduk.
Seluruhnya berbalik saat peristiwa 1965 meletus dan struktur ekonomi
pedesaan kembali goyah. Kebijakan pemerintah kembali dominan dan memberi warna
berbeda pada ekonomi pedesaan. Modernisasi pertanian melalui revolusi hijau
24
digalakkan hingga keseluruh pelosok desa. Cara produksi lama digantikan dengan
cara baru demikian juga teknologinya. Investasi dibuka lebar baik di kota maupun
pedesaan untuk mentranformasikan kehidupan masyarakat pedesaan. Industrialisasi
pedesaan juga dikembangkan untuk memodernisasi kehidupan desa.
Bagaimana pendapat para peneliti tentang proses transformasi ekonomi desa?
Ada dua kutup utama yakni pertama, terjadi polarisasi pada struktur sosial pedesaan
dan
kedua,
terjadi
deferensiasi.
Kutub
pertama
meyakini
modernisasi
telah
meningkatkan kesejangan dalam struktur masyarakat desa dimana terjadi akumulasi
berlebih pada kelompok kaya akibat kesiapannya dalam menangkap modernisasi.
Sementara kedua meyakini terjadi peningkatan berbagai aktifitas luar pertanian
sehingga terjadi transformasi ekonomi desa menjadi lebih kapitalis.
Akhirnya kedua kutup itu mendapatkan titik terang saat Hayami dan Kikuchi
(1987) mengumumkan penemuan atas studinya di dua negara yakni Indonesia dan
Philipina. Masyarakat pedesaan tidak mengalami polarisasi tapi hanya sebagai proses
penjenjangan kelas sosial yang semkin rumit untuk menghindari kegoncangan sosial.
Ada kelas-kelas antara yang menjadi tempat bagi kelompok tertentu yang tidak masuk
dalam dua kutub berbeda.
Pada dasarnya seluruh penelitian menyepakati bahwa telah terjadi proses
kapitalisasi di pedesaan Jawa selama masa kolonial hingga paska kolonial. Aktor yang
mendorong hal itu adalah perkebunan pada masa kolonial dan kebijakan pemerintah
masa setelah itu. Corak pertanian tradisional yang subsisten yang padat karya,
berubah menjadi pertanian yang kapitalistik yang padat modal. Jika merujuk Marx,
kaum tanilah yang melakukan akumulasi modal lalu menjadi kapitalis. Hanya saja
dalam kasus Indonesia hal itu ternyata tidak berlaku , dan kaum elit tradisionallah yang
menjadi pelopor kapitalis di tingkat lokal (Geerzt, 1963).
Perubahan Moda Produksi dan Struktur Ekonomi
Perubahan sosial merupakan gejala sosial yang multi dimensi dan sulit dilihat
dari satu sisi saja. Membicarakan perubahan sosial menurut Harper (1989:6-8) kita
harus mulai dari level perubahan, perbedaan frame waktu, penyebab perubahan,
bagaimana perubahan terkait dengan manusia (agency), serta beberapa istilah terkait
dengan perubahan. Level perubahan dilihat dari struktur sosial ditingkat group kecil,
organisasi, institusi, masyarakat, atau global. Jika institusi maka yang berubah adalah
peran, struktur komunikasi, pengaruh, dan klik. Di tingkat organisasi perubahan
25
meliputi struktur, herarkhi, otoritas, produktifitas, sementara ditingkat kelembagaan
meliputi ekonomi, religi, keluarga, dan pendidikan. Dalam masyarakat perubahan
meliputi stratifikasi, demografi, dan kekuasaan, sementara ditingkat global meliputi
evolusi, hubungan internasional, modernisasi dan pembangunan.
Sementara itu Sztompka (1994:21) membedakan dalam perubahan makro
(masyarakat global, bangsa, kawasan dan kelompok etnic), meso (kelompok besar,
asosiasi, partai politik, angkatan bersenjata, dan birokrasi), serta mikro ( proses seharihari dalam kehidupan sehari-hari individu, dalam kelompok kecil seperti keluarga,
sekolah, lingkungan tempat kerja dan pertemanan). Penelitian ini akan melihat
perubahan pada tingkat mikro dan meso secara bersamaan karena perubahan
keluarga sangat terpengaruh dinamika ditingkat meso demikian juga sebaliknya.
Kembali pada Harper, frame waktu mengacu pada lama perubahan (jangka
panjang atau pendek). Perubahan sosial dalam jangka pendek mungkin tidak terlihat,
namum dalam jangka panjang baru terlihat. Demikian juga perubahan-perubahan
jangka pendek dapat tidak berpola, sementara dalam jangka panjang memiliki pola.
Untuk itu menetapkan waktu dalam penelitian perubahan sosial menjadi sangat
penting, terutama agar pengambilan kesimpulan hasil studi tahu jangka waktunya.
Selain waktu, studi perubahan sosial juga harus menguraikan sumber
penyebab perubahan. Ada dua sumber penyebab perubahan yakni dari dalam
masyarakat endogenious dan dari luar yakni exogenius. Penyebab dari luar
masyarakat meliputi teknologi baru, ide, gaya hidup, penyakit, dan lain-lain, sementara
dari dalam merupakan sebab yang melekat pada sistem sosial itu sendiri (S ztompka,
1994:19). Sebuah perubahan pada level berbeda diwaktu yang sama dapat dianggap
sebagai sebab dari luar. Sementara itu, untuk melihat perubahan sosial beruntun
Harper (1989:7) memberikan definisi konsekwensi untuk penyebab perubahan yang
ada diantara dua hal yang berubah. Perubahan A menuju B, lalu ke C, maka B adalah
konsekwensi dari A penyebab perubahan di C. Terkait dengan sebab perubahan
Sztompka (1994:21) menyarankan untuk melihat sebab yang terpenting atau penyebab
utama perubahan sosial.
Sebuah perubahan dapat terjadi dengan sendirinya, juga karena sebuah
rencana. Menurut Harper (1989:8) ini tergantung pada apakah perubahan itu
dikehendaki atau terjadi dengan sendiri karena sebuah konsekwensi. Terkait dengan
itu ada tiga variasi perubahan yakni (1) trend; (2) perubahan yang direncanakan secara
sengaja yang berhubungan dengan dengan proses pengambilan keputusan elit; dan
26
(3) perubahan disengaja yang berhubungan dengan gerakan sosial yang melibatkan
sebagian segmen masyarakat. Trend terjadi tanpa dapat dikontrol oleh siapapun dan
merupakan konsekwensi dari perkembangan masyarakat. Sementara dua perubahan
terakhir direncanakan dan melibatkan kesengajaan aktor (elit pengambil keputusan
dan segmen sosial tertentu).
Lebih lanjut, Harper (1989:55 -56) melihat perubahan sosial dari dua dimensi
utama yakni materialistic dan idealistic. Pendekatan materialistic melihat perubahan
cara produksi adalah dasar bagi perubahan-perubahan yang lain. Sementar a itu
perspektif idealistic melihat perubahan nilai pendorong perubahan sosial. Karena
penelitian ini menyangkut transformasi ekonomi, yang berarti perubahan-perubahan
banyak terkait dengan cara produksi pendekatan yang digunakan tentu lebih dekat
pada perspektif materialistic.
Proses perubahan terjadi karena banyak faktor. Penelitian Stavenhagen
(1975:129-130) bahwa tranformasi dari pertanian hutan (tradisional) ke pertanian
komersial terjadi didorong berbagai variasi faktor ekonomi dan politik sebelum tanaman
komersial masuk. Administrasi Perancis dan pajak yang dikenakan pada penduduk
mengurangi peran raja dan menurunkan penghasilannya, hingga terjadi kegoncangan
sosial. Terjadi migrasi besar-besaran yang menghabiskan tenaga kerja pedesaan yang
menjadi sumber utama eksploitasi kaum bangsawan. Kegoncangan semakin besar
saat tanaman coklat dikenalkan sebagai tanaman komersial, karena terjadi perubahan
relasi produksi. Struktur ekonomi dan formasi sosial berubah, demikian juga pola
produksi tradisional.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari tiga sebab utama yakni : (1) Terbukanya
negara dari dunia luar melalui perusahaan komersial oleh negara metropolis kolonial
dan perluasan aktifitas pasar; (2) Tumbuhnya organisasi politik tradisional bekerja
untuk menjalankan administrasi kolonial (dalam wilayah perancis) atau sub-ordinasi
(dalam wilayah inggris); (3) Pekerjaan ekonomi moneter yang distimulus oleh
perluasan tanaman komersial dalam bentuk perpajakan dan tenaga kerja (pelayanan)
untuk kepentingan asing. Dalam konteks pedesaan Indonesia, perubahan itu dapat
disebabkan oleh masuknya sistem produksi “large scale” berupa perkebunanperkebunan besar, komersialisasi, juga berbagai kebijakan pemerintah.
Studi Fukutake (1975:34) di pedesaan India memperlihatkan perubahan di
Desa banyak disebabkan oleh faktor ekonomi terutama oleh kolonialisasi yang
mengembangkan industrialisasi sehingga meningkatkan penetrasi uang ke Desa. Hal
27
ini mendorong munculnya industri manufaktur dalam struktur ekonomi Desa untuk
dijual pada orang luar. Hal itu secara otomatis merubah okupasi tradisional dengan
terbukanya lapangan kerja baru. Petani yang dulu dapat mendapatkan tenaga kerja
dengan mudah melalui hubungan sewa menyewa dan patron klien tergantikan akibat
munculnya sumber ekonomi baru. Ini terlihat secara nyata ada perubahan pada
kekuatan produksi di Desa sehingga merubah juga hubungan produksi tradisional.
Penelitian Hefner (1999) di pegunungan Tengger memperlihatkan bila
transformasi cara produksi tradisional non-kapitalis ke kapitalis melalui proses
komersialisasi ditandai masuknya tanaman berorientasi pasar, program modernisasi
berupa revolusi hijau, juga konflik sosial dalam masyarakat akibat politik negara. Ciriciri tradisional memudar seiring semakin terkomersialisasinya kehidupan ekonomi,
dimana cara-cara produksi tradisional berubah menjadi pertanian intensif berorientasi
pasar. Pergantian komoditas yang dibudidayakan petani mendorong perubahan cara
produksi pertanian tradisional dengan sangat cepat.
Studi Sitorus (2004) pada masyarakat Situwu, memperlihatkan bahwa
masuknya cara produksi baru yang diartikulasikan dalam tanaman komersial telah
merubah formasi sosial lokal. Terjadi perubahan struktur agraria ditandai dengan
munculnya kelompok petani komersial yang menggeser posisi petani tradisional.
Imigran bugis yang terbiasa dengan cara produksi komersial memonopoli sumber
produksi dan merubah struktur agraria yang ada. Sementara orang Kaili sebagai
penduduk asli terlempar dan membuka lahan ke lereng-lereng gunung, sebuah daerah
yang dulu tidak tersentuh aktifitas ekonomi.
Studi Khan (1974) menemukan apabila masyarakat Minangkabau memiliki tiga
tipe cara produksi yakni subsistensi, komersialisasi, dan kapitalis. Yang pertama
dipakai oleh para petani padi sawah, yang kedua oleh para pedagang, sementara
ketiga diwakili oleh industri-industri kecil peralatan besi. Struktur ekonomi demikian
berubah seiring dengan masuknya komersialisasi, munculnya kaum pedagang ke
pedesaan, juga persaingan dengan produksi industri lain. Yang terjadi pada cara
produksi kapitalis yakni industri besi ternyata tidak mengalami pertumbuhan malah
terjadi “atomisasi” atau pengecilan skala usaha dan penurunan pemakaian tingkat
teknologi. Sementara yang lain tumbuh menjadi usaha kapitalis atau paling tidak
mengarah kesana dengan munculnya buruh upahan dalam produksi pertanian dan
para tengkulak. Dari uraian diatas, kita dapat melihat apabila transformasi ekonomi
pedesaan terjadi dari ciri non-kapitalis ke kapitalis. Hal itu ditandai dengan dominasi
28
moda produksi kapitalis pada struktur ekonomi desa yang sebelumnya didominasi oleh
ciri non-kapitalis. Cara produksi subsistensi telah bergeser menjadi cara produksi
kapitalis yang dikatakan oleh Khan (1974) sebagai proses Komersialisasi.
Alur Pemikiran
Sebelum moda produksi kapitalis masuk, ciri-ciri cara produksi non-kapitalis
lebih dominan pada pertanian tradisional Jawa. Usahatani skala kecil, produksi
pangan, dan menggunakan tenaga kerja kerabat atau anggota keluarga. Di Malang
(kodya Batu dan Desa Tulung Rejo dulu menjadi wilayah Kabupaten Malang),
masuknya birokrasi Belanda terjadi tahun 17 68 ditandai oleh takluknya pemberontak
Jawa yang lama menguasai wilayah Malang dengan bebas, hingga selanjutnya
dibangun perkebunan-perkebunan kopi dan tebu, khususnya di daerah Malang bagian
Selatan. Wilayah Utara (Batu berada di sana) banyak didominasi oleh tempat-tempat
peristirahatan, tidak hanya bagi orang Malang, namun juga dari Surabaya. Fungsi yang
agak berbeda ini tentu saja mempengaruhi struktur ekonomi masyarakat lokal dan pola
nafkahnya yang dicirikan oleh cara produksi non-kapitalis itu 10.
Saat ini, perkembangan ekonomi Batu secara makro terjadi cukup pesat
ditandai dengan munculnya pusat-pusat perdagangan, hotel-hotel, jasa -jasa, juga
restoran-restoran sepajang jalan dari Malang ke Batu yang bercirikan moda produksi
kapitalis padat modal. Tenaga kerja banyak direkrut untuk mengisi peluang-peluang
kerja baru itu. Di sisi lain pertanian juga mengalami perkembangan pesat semenjak
dikenalkan tanaman sayur, bunga, kentang dan apel yang menjadi tanaman utama
juga bercirikan padat modal meski cara produksi keluarga masih dominan.
Pengusahaan pertanian meluas hingga menebang lereng-lereng gunung yang
mengelilingi Batu. Dari sini dapat terlihat ada dua perubahan cara produksi yakni cara
produksi tanaman komersial sebagai evolusi dari pertanian lokal dan cara produksi
pariwisata sebagai introdusir cara baru.
Pertanyaan
selanjutnya
adalah
“mengapa”
perubahan
itu
terjadi
dan
“bagaimana” prosesnya? Sebelum masuk ke sana kita harus tahu secara mendalam
apa cara produksi dominan masyarakat Desa dulu, apa norma yang melingkupinya,
hubungan produksinya, serta herarkhi produksinya. Selanjutnya dibandingkan dengan
keadaan sekarang untuk dapat melihat perubahan-perubahannya.
Desa-Desa di Jawa, secara umum sebelum masuknya kolonialisme masih
dicirikan kehidupan non-kapitalisme. Lebih berorientasi subsistensi dan memproduksi
10
Lihat Hiroyosi Kano, Op cit. Hal 12-13
29
bahan pangan terutama padi untuk keperluanya sendiri. Tanah menjadi kekuatan
produksi utama dan menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
Hubungan produksi lebih bersifat egaliter. Surplus terjadi karena penggunaan tenaga
kerja keluarga dan belum ada eksploitasi surplus. Masuknya kolonialisme dan
pembangunan
perkebunan-perkebunan
besar
merutuhkan
bangunan
itu
dan
menimbulkan struktur baru pada di pedesaan.
Perubahan tentunya tidak hanya berhenti saat kolonialisme masuk, namun
berlanjut. Di jaman kemerdekaan konsolidasi politik dilakukan hingga masuk ke
wilayah Desa baik oleh aparat pemerintah ataupun oleh jaringan partai politik.
Pembaruan sektor ekonomi juga dilakukan melalui nasionalisasi, pembangunan
pertanian, juga land reform. Sementara dalam sektor sosial sendiri tentu terjadi
dinamika paling tidak perubahan demografi. Intervensi pemerintah dan pertumbuhan
penduduk tentu berpengaruh pada struktur ekonomi pedesaan, tak terkecuali di TR.
Di jaman orde baru, pembangunan ekonomi menjadi agenda kerja utama dan
pertanian menjadi prioritas utama pada awal-awal. Revolusi hijau menjadi program
nasional untuk meningkatkan produksi beras dengan cepat. Program ini memang
khusus untuk daerah dataran rendah, namun Desa di dataran tinggi dikenalkan pada
tanaman-tanamam komersial terutama cengkeh. Meski fokus pada padi sawah, namun
intensifikasi dan program revolusi hijau juga dikenalkan pada daerah pegunungan
terutama
pengenalan
cara
produksi
baru.
Teknik
petanian
baru,
terutama
pemerantasan hama dikenalkan untuk mendukung penanaman tanaman pangan. Hal
inilah yang mendorong perubahan besar pada cara produksi mereka dari tradisional
menjadi sangat intensif. Di Tulung Rejo, dan rata-rata daerah lain di Batu, penggunaan
cara produksi sudah sangat intensif bahkan pemakaian pemberantas hama paling
tinggi dibandingkan dengan daerah dataran rendah.
Dari uraian di atas, dapat ditang kap adanya perubahan-perubahan pada
formasi sosial lokal. Pertanyaan yang muncul adalah apa sebab-sebab perubahan itu
terjadi? Apakah benar karena masuknya cara produksi kapitalis, pembangunan
pertanian, revolusi hijau, atau mungkin perkembangan disebabkan masalah demografi.
Dengan demikian muncul juga pertanyaan bagaimana mekanisme perubahan itu
terjadi dari masa ke masa?
Menjelaskan seluruh pertanyaan di atas harus dilihat dulu secara lebih rinci
tentang apa struktur ekonomi. Struktur ekonomi adalah hadirnya dua atau lebih cara
produksi dalam satu sektor sosial. Ada cara produksi dominan yang menjadi ciri dasar
30
masyarakat, ia memiliki norma, alat produksi dan hubungan produksi. Dua atau lebih
cara produksi tersebut selanjutnya membentuk pola produksi tertentu dan akhirnya
akan membangun formasi sosial tertentu pula. Secara skematis dapat dilihat dalam
bagan berikut ini:
Gambar 2.2. Bagan alur berfikir
Moda produksi kapitalis
dari luar sistem sosial
Bersifat
Kapitalistik
Moda Produksi
Lokal lama
Tipe formasi sosial
lokal lama
Moda Produksi baru
yang mengadaptasi
ciri kapitalistik
Tipe formasi sosial baru
yang terpengaruh moda
produksi luar
Hipotesis Pengarah
Agar pertanyan pokok tentang “mengapa” dan “bagaimana” perubahan struktur
ekonomi di Desa Tulung Rejo, berdasar atas konsep, teori, dan perumusan masalah
yang dilakukan, maka hipotesis pengarahnya adalah sebagai berikut :
1) Dari masa kolonial hingga saat ini, moda produksi lokal mengalami
kemunduran akibat dominasi moda produksi kapitalis yang masuk pada
struktur ekonomi lokal.
2) Perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa di dorong oleh
dominasi moda produksi kapitalis yang masuk pada struktur ekonomi
lokal.
3) Dengan masuknya moda produksi kapitalis dari luar sistem sosial desa
maka formasi sosial desa dari masa ke masa akan didominasi oleh moda
produksi baru tersebut.
31
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah kualitatif dengan strategi studi kasus. Strategi studi kasus
dipilih karena kekhasan masalah selain kemampuannya untuk menjelaskan fenomena
sosial secara lebih mendalam (Cresswel, 1994; Babie 2004. Menurut Sitorus (1999 :
46) dengan studi kasus maka pendekatan kualitatif yang memungkinkan “dialog”
peneliti dan tineliti (teori kritis), “interaksi antara dan dalam kalangan peneliti dan
tineliti” (teori kontruktivis) dapat dipadukan dengan pandangan emik (post-positivisme).
Kebenaran
adalah
kesepahaman
bersama
atas
sebuah
masalah
berupa
intersubyektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti.
Studi kasus terdiri dari dua jenis yakni intrinsik dan instrumental. Intrinsik
menunjuk pada penelitian dimana obyek telah ada dan ditentukan sebagai misal
evaluasi program. Jika dalam penelitian itu terdapat pertanyaan penelitian (research
question) yang dibangun dari rumusan masalah, sehingga perlu dipilih kasus tertentu,
maka disebut studi kasus instrumental (Stake 1995; 3). Dengan demikian karena
penelitian ini terdapat pertanyaan penelitian juga dibangun konsep secara jelas (moda
produksi dan formasi sosial) untuk menganalisis fakta sosial, maka dapat dikategorikan
sebagai studi kasus instrumental.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian di Desa Tulungrejo (TR) , Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu,
Propinsi Jawa Timur yang dilakukan pada bulan Mei-Juni tahun 1995. Desa TR di pilih
karena kota Batu, dimana TR berada, merupakan salah satu daerah penghasil sayur
dan buah utama di Jawa setelah Dieng, Lembang, dan Bromo. Desa TR sendiri adalah
wilayah penghasil sayur dan buah utama di kota Batu. Di TR juga terdapat tiga obyek
wisata penting di Batu yakni Selecta, Coban Talun, dan pemandian air panar Cangar
yang merupakan obyek wisata utama di Batu. Karena suhunya yang dingin di TR juga
berkembang pabrik-pabrik bunga potong dan jamur merang yang keseluruhannya
berjumlah tujuh perusahaan.
Dalam perkembangan kapitalisme lokal, TR termasuk wilayah cukup penting
sejak jaman penjajahan. Pada masa kolonial, TR berada dalam wilayah Afdelling
Malang, Distrik Penanggungan yang merupakan daerah penghasil kina utama. Selain
itu juga menjadi tujuan wisata para pekebun Belanda baik dari Surabaya atau daerah
32
lain di luar Malang sehingga dibangun sebuah taman wisata (Selecta). Setelah
penjajahan berakhir TR perkembangan ekonomi TR tidak berhenti me ski perkebunan
berhenti. Bahkan pertanian berkembang dengan cepat setelah komoditas komersial di
luar tanaman pangan masuk dan dibudidayakan oleh penduduk. Hal itu semakin
mengukuhkan TR sebagai daerah penting dalam perkembangan ekonomi lokal.
Dengan demikian pilihan terhadap Tulungrejo sebagai daerah penelitian sangat tepat
karena adanya kekhasan masalah dengan kerangka teoritis yang dibangun.
Penentuan Subyek Kasus
Subyek kasus dipilih berdasarkan kesesuaian antara masalah yang akan diteliti
dengan subyek yang menjadi sumber informasi. Ada tiga masalah utama yang digali
yakni sejarah desa, sejarah dinamika (timbul dan tenggelamnya moda-moda produksi
baik yang berbasis lokal maupun luar), proses perubahan moda produksi dan faktorfaktor penyebabnya, serta formasi sosial yang terbangun akibat perubahan moda
produksi dari msa ke masa.
Untuk sejarah desa, data digali dari informan kunci yang terdiri dari para tokoh
desa dan orang-orang tua yang masih merasakan jaman penjajahan akhir dan
didukung oleh dokumen sejarah desa. Untuk mendapatkan data dinamika moda
produksi, informan kuncinya adalah para pelaku usaha dari seluruh golongan
masyarakat baik yang masih berlangsung atau yang telah berhenti. Karena
keterbatasan waktu dan tenaga maka informan kunci dibatasi pada beberapa pelaku
ekonomi yang kuat pada masa lalu dan sekarang.
Dengan demikian subyek kasus dalam penelitian ini adalah (1) Para tokoh,
perangkat desa, dan orang tua yang hidup pada akhir-akhir penjajahan, (2) Pelaku
ekonomi aktif maupun bekas yang besar (juragan dan pengusaha Cina) di TR dari
yang tua hingga pelaku ekonomi baru dibidang pertanian atau pabrik dan pariwisata,
(3) Para tani tanggung, srabutan, dan buruh tani baik yang tua maupun muda, (4) Para
boro kerjo baik yang lama maupun baru, (5) Para buruh bebas baik muda maupun tua,
dan (6) Para Pandek baik lama maupun baru. Lebih rinci mengenai permasalahan dan
subyek kasus yang telah diwawancarai dalam secara lebih rinci dapat dlihat dalam
lampiran II.
33
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, wawancara
bebas, mengamati secara langsung fenomena sosial, juga ikut serta dalam berbagai
kegiatan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data primer tentang
dinamika masyarakat. Data-data ini selanjutnya dituliskan langsung menjadi catatan
harian yang akan dijadikan bahan dasar untuk analisa.
Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan kunci
yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan dengan beberapa
orang untuk satu topik dan diulang kembali untuk mencocokkan data. Wawancara
bebas dilakukan dengan orang yang ditemui di lapang baik pedagang, penjual bakso,
penjual mie, juga sopir dan para wisatawan yang datang di TR.
Sementara itu untuk pengamatan langsung, telah peneliti lakukan sejak tahun
1998 karena di desa TR ada kebun percobaan Universitas Brawijaya dimana peneliti
belajar. Selain itu peneliti juga pernah menjadi asisten peneliti untuk penelitian
lembaga BALITSA (Balai penelitian tanaman sayur) Lembang selama 2 bulan di TR.
Penelitian itu bertujuan untuk menganalisis perkembangan organisasi produksi
tanaman kentang di Indonesia dan TR salah satu wilayah penelitiannya. Selain itu
secara intensif juga dilakukan wawancara dengan beberapa orang yang telah
melakukan penelitian di TR sebelumnya.
Selain data primer, juga dilakukan telaah dokumen dari sejarah wilayah juga
sejarah sosial ekonominya. Sejarah berguna untuk menelusuri perkembangan desa
dan wilayah penelitian. Penelusuran dilakukan melalui perpustakaan daer ah dan
sumber lainnya yang mendukung data yang diperlukan. Data ini juga digali dari
berbagai penelitian sebelumnya yang menggambarkan moda produksi desa TR atau
paling tidak gambaran moda produksi yang pernah berkembang di TR terutama untuk
masa-masa awal kolonial untuk memberi gambaran lebih lengkap.
Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Data-data di atas disusun berdasar tindakan sambil membandingkan sumber
tertulis (dokumen-dokumen), catatan lapangan, peta dan data statisitik. D ata yang
berhasil dikumpulkan selanjutnya diproses melalui kegiatan penyusunan satuan atau
pemilahan data dalam bidang masing-masing. Data yang telah tersusun tersebut
selanjutnya diolah berdasarkan pada kerangka analisis yang telah dirumuskan.
34
Pengujian keabsahan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi
yaitu, check, recheck, and cross check terhadap data yang diperoleh. Triangulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data yang ada untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data
tersebut (Moleong, 1998:178). Triangulasi dapat dilakukan dengan sumber data dan
peneliti atau pengamat lain.
Teknik triangulasi merupakan prosedur pencocokan data melalui beberapa
sumber yang berbeda sehingga diperoleh data yang sah. Hal itu dapat dilakukan pada
beberapa aspek penting dari data yakni sumber data, metode, penyidik dan teori..
Triangulasi menggunakan sumber dilakukan dengan jalan (1) membandingkan data
hasil penelitian dengan hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan
orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; (3) membandingkan
apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan orang
sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
pendapat dan pandangan orang lain; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan.
Pemeriksaan metode dilakukan melalui pengecekan pada data pertama
dengan data kedua, dicocokkan lagi dengan data ketiga dan seterusnya dengan data
pertama. Masing-masing data akan dicocokkan pada data lainnya untuk memastikan
kebenaran dari data. Hal itu dapat dilakukan melalui (1) membandingkan fakta
lapangan dengan data hasil wawancara, (2) membandingkan data hasil wawancara
dengan isu dokumen yang saling berkaitan, (3) mengecek keabsahan data yang
diberikan antara informan-informan yang datanya saling berkaitan.
Sementara itu masalah penelitian dijawab melalui penjelasan atas pertanyaan
penelitian berdasarkan data di lapang yang telah di interprestasi dengan pendekatan
teori yang dirumuskan dalam tinjauan pustaka. Dari uraian ini akan muncul sebuah
gambaran sejauhmana formasi sosial yang terbangun akibat perubahan moda-moda
yang ada di desa TR dari masa ke masa.
Hambatan dalam Proses Penelitian
Desa TR termasuk desa yang cukup “maju” untuk ukuran desa-desa di jawa
jika kita lihat dari pendapatan desa, juga apresiasinya terhadap kehidupan kota.
Masyarakatnya sudah cukup urban, sehingga sangat susah bagi peneliti untuk dapat
memasuki karena waktu mereka yang sempit. Kerja keras sepanjang hari dan berbagai
35
aktifitas sosial yang bertumpuk kadang menyulitkan peneliti untuk mencari tempat dan
waktu yang baik untuk wawancara. Bahkan untuk mewawancarai seorang juragan
peneliti harus menunggu dua tiga hari setelah beli au pulang dari kirim barang.
Jika masuk pada petani srabutan peneliti harus menyesuaikan dengan jadwal
kerja mereka. Jika sedang mendapat borongan cabut (petik wortel) jangan diharapkan
akan diterima meski kita ganti waktunya dengan uang. Kepentingan jangka panjang
tani srabutan untuk mempertahankan kinerja kayaknya lebih mereka pilih daripada
menerima uang kita. Cabut kadangkala bisa satu minggu penuh apalagi jika bekerja
ditempat juragan, tak ada waktu untuk kita sampai pekerjaannya selesai.
Jangan harap bisa bertemu petani di pagi hari. Mereka lebih suka malam atau
sore, itupun harus konfirmasi lebih dulu. Jika tidak kita akan ditinggal begitu saja
dengan sedikit basa-basi dengan alasan dipanggil temannya. Demikian juga jangan
sampai mewawancarai saat kerja karena akan ditegur oleh juragan atau ketua
rombongan. Jadi selama hampir satu minggu penulis masih dalam rangka pendekatan
untuk mencari celah yang tepat. Akhirnya penulis pindah kos ke rumah pemilik warung
yang memungkinkan penulis untuk kenal dengan banyak orang.
Sementara itu untuk mendapatkan informasi lebih dalam dari juragan, kepala
dusun yang kebetulan masih keluarga dekat dengan juragan sangat membantu.
Selama satu bulan wawancara dilakukan sambil menagih PBB (pajak bumi dan
bangunan) yang telah keluar SPPT-nya. Ini juga menjadi media untuk melihat lebih
dekat secara keseluruhan penduduk desa. Dari sinilah baru dapat merinci sasaran
dengan tepat sesuai dengan permasalahan yang mula i terbayang.
Informan kunci yang sudah tua sajalah yang dapat dengan mudah untuk
ditemui. Jika untuk juragan, tani tanggung, srabutan, atau pengelola pabrik dapat
ditemui malam, maka untuk orang tua dapat pagi hari. Kebanyakan dari mereka sudah
tidak lagi bekerja berat dan hanya menunggu rumah atau kerja kecil membersihkan
pekarangan. Jika panen kadangkala masih ikut membersihkan kentang atau sayur
lainnya meski hanya sebentar.
Hambatan yang juga
alami adalah data sejarah perkebunan di TR yang tidak
ada. Perkebunan hanya dapat dilihat sisa -sisanya saja sementara seluruh arsip di
perpustakaan daerah, Jogja dan Perpustakaan Nasional tidak ditemukan. Hanya
disebutkan dalam sejarah Malang, kalau Batu termasuk wilayah yang penting bagi
pariwisata dan pertanian. Lebih rinci tidak ada, dan hanya disinggung sedikit saja.
Dengan demikian hambatan ini sangat mempengaruhi perumusan data-data desa TR
36
pada
masa-masa kolonial. Ketidakmampuan membaca bahasa Belanda juga
mempengaruhi kualitas interprestasi data dari arsip.
Hambatan tersebut akhirnya diatasi dengan melakukan konsultasi pada
beberapa sejarawan. Berdasar atas saran Beliau, penelusuran juga dapat dilakukan
melalui laporan studi-studi yang telah dilakukan di TR atau paling tidak gambaran
wilayah itu pada masa kolonial. Untuk selanjutnya peneliti lebih berkonsentrasi pada
cara ini sehingga pencarian data -data laporan masa kolonial tidak kami lakukan.
Pilihan cara ini juga terkait dengan keterbatasan waktu dan biaya yang harus
keluarkan.
DESA TULUNG REJO :
SOSIAL EKONOMI DAN SEJARAH DESA
Sejarah Desa
Desa TR tidak memiliki kawasan landai yang memadai sebagaimana
daerah dataran rendah pada umumnya. Daerah landai biasanya digunakan untuk
pemukiman penduduk dan bangunan-bangunan perkantoran juga sarana-sarana
umum. Dengan kondisi geografis demikian maka pemukiman penduduk desa TR
cenderung menyebar terdiri dari kelompok-kelompok kecil rumahtangga yang
biasanya masih kerabat dekat. Pemukiman penduduk juga cenderung mendekati
lahan pertanian agar memudahkan mereka dalam memelihara tanamannya. Pola
pemukiman yang menyebar dan bergerombol ini kiranya telah ada sejak
berdirinya desa.
Pada tahun 1835 ada tiga kelompok pemukiman mandiri yang masingmasing memiliki seorang Petinggi9 (kepala Desa) yakni (1) Gondang dan Gerdu,
dikenal dengan dusun Gondang, (2) Kekep dan Pare (sekarang jadi satu dengan
Gondang), dikenal dengan Dusun Kekep, serta (3) Junggo yang dikenal dengan
nama dusun Junggo. Gondang merupakan kelompok pemukiman penduduk
paling tua dan telah memiliki pemerintahan sejak tahun 1836. Dusun Gondang
akhirnya terpecah menjadi dua dusun yakni Gondang dan Kekep. Pada tahun
1916 ketiga dusun yang asalnya kelompok-kelompok pemukiman penduduk
tersebut digabung menjadi satu desa yakni Tulungrejo dengan Gondang sebagai
ibukotanya (krajan).
Tahun-tahun itu adalah masa dimana pemerintah kolonial Belanda sangat
kuat pengaruhnya. Ada dua asset penting yang mereka lindungi yakni Selecta
dan perkebunan kina. Meskipun keduanya milik swasta, namun komitmen
pemerintah Belanda untuk mengamankan keduannya sangat kuat. Hal tersebut
tak lepas dari besarnya sokongan yang diberikan perkebunan kepada
pemerintah Belanda untuk biaya operasional tentara. Pemandian Selecta
merupakan tempat peristirahatan yang penting bagi para pekebun Belanda yang
tinggal di sekitar Malang dan Surabaya.
Usaha pemerintah kolonial Belanda untuk menguras sumberdaya alam
desa TR tidak berhenti pada perkebunan kina dan Selecta saja. Di jurang Kuali
9
Petinggi inilah yang menjalankan kepemimpinan Desa dan mengatur rumah tangganya sendiri. Ia juga
menjadi penghubung warga Desa dengan kekuasaan pemerintah diatasnya yakni Gubermen Belanda.
39
(dusun Sumberbrantas sekarang) meski jaraknya cukup jauh dari pusat desa,
namun penjajah Belanda tetap membuka kebun teh pada tahun 1938.
Ketika kebun teh mulai beroperasi, penjajah Belanda menyerah pada
armada perang Jepang dan secara otomatis daerah jajahannya menjadi hak
tentara Jepang. Pada jaman Jepang perkebunan ditutup dan tanah dikuasai
Negara yang sebagian diserahkan pada penduduk Desa untuk diolah.
Perkebunan teh dibongkar, dan penduduk wajib membudidayakan tanaman
pangan dan jarak. Pada masa-masa penjajahan Jepang, penduduk sangat
menderita karena bahan pangan susah didapatkan sementara tanaman jagung
dan ketela banyak yang tidak panen.
Pada tahun 1948, pemukiman bekas perkebunan teh yang telah
dibongkar berubah menjadi dusun baru yakni Sumberbrantas. Sumberbrantas
dulu lebih dikenal sebagai jurang Kuali dan masih dalam wilayah desa
Tulungrejo. Sementara itu, perkebunan kina yang ada di Junggo tidak dibongkar
oleh Jepang dan dibiarkan saja karena diperlukan dalam perang. Hal itulah yang
menyebabkan kina masih dapat dijumpai hingga tahun 50-an.
Revolusi fisik juga melanda desa TR. Seluruh kekuatan nasional
dimobilisasi oleh pemerintah RI termasuk perkebunan di TR. Pada tahun 1947,
presiden Sukarno berpidato di desa TR dan menyerukan agar tentara bahu
membahu berjuang bersama rakyat. Rakyat dihimbau untuk giat bertani dan
menyediakan pangan bagi perang, sementara tentara di garis depan untuk
berperang. Pidato tersebut dikumandangkan dari Hotel Bima Sakti (hotel Selecta
sekarang) dimana presiden pernah menginap di sana untuk mengendalikan
pemerintahan. Saat itu presiden Soekarno dikejar-kejar oleh Belanda untuk
ditangkap, setelah Jepang menyerah tanpa sarat pada sekutu tahun 1945.
Di tengah-tengah suasana perang, pada tahun 1948 berdirilah secara
resmi dusun Sumberbrantas dan lengkaplah cikal bakal desa TR. Bersamaan
dengan berdirinya dusun Sumberbrantas pemerintah Indonesia dan penjajah
Belanda menyepakati perjanjian yang mengatakan bahwa para pemilik
perkebunan Belanda berhak meneruskan usaha perkebunan sampai habis masa
kontraknya. Kembalinya pemilik perkebunan Belanda tersebut menimbulkan
kekacauan politik di desa TR. Kepala desa TR, P. Martorejo yang tidak mau
diatur perkebunan Belanda akhirnya terpaksa mengungsi. Perkebunan Belanda
akhirnya mengangkat P. Makali sebagai kepala desa baru, dan akhirnya dibunuh
oleh rakyat pada tahun 1948.
40
Perkebunan Belanda kemudian melakukan pemilihan kepala desa dan
terpilih P. Ahmad sebagai kepala desa yang baru. P. Achmad hanya menjabat
dua tahun dan digantikan P. Martorejo yang telah kembali dari pengungsian. P.
Martorejo menjabat kepala desa hingga tahun 1967 dan diturunkan karena
dianggap terlibat PKI. Pada masa-masa genting tersebut kepala desa dijabat
oleh karateker Mulyono selama tiga bulan, September-Nofember 1967, dan
digantikan oleh karateker lagi P. Sunaryo hingga tahun 1972. Untuk menetralkan
suasana dan mengurangi konflik laten diadakan program transmigrasi lokal yang
anggotanya purnawirawan TNI-AU10.
Karena masuknya penduduk baru yang berasal dari peserta transmigrasi
tersebut maka dusun Junggo termasuk dusun yang cukup padat penduduknya.
Karena itu pada tahun 1999, dusun Junggo pecah menjadi dua yakni dusun
Junggo dan Wonorejo. Dusun baru tersebut memiliki seorang kepala dusun
melalui pilihan umum pada tahun 2001 dan masih menjabat hingga tahu n 2005.
Dengan demikian pada tahun 2005, desa Tulungrejo memiliki 6 dusun yakni
Gondang, Gerdu, Kekep, Junggo, Wonorejo dan Sumberbrantas. Untuk ukuran
desa di Jawa, jumlah ini cukup besar apalagi dilihat dari jumlah penduduknya
yang mencapai 12000-an. Rata-rata di Jawa Timur hanya sekitar 4-7 ribu jiwa
saja. Tak heran jika saat penelitian dilakukan warga dusun Sumberbrantas
menuntut pembentukan Desa baru. Mengenai sejarah desa TR dari awal berdiri
hingga saat ini dapat dilihat dalam tabel berikut:
10
Para transmigran tersebut menempati daerah pusat sengketa yakni tanah -tanah bekas perkebunan
Belanda di dusun Junggo terutama di blok Pancasila. Blok Pancasila digunakan untuk
menghilangkan kesan bahwa daerah tersebut pernah menjadi basis PKI. Dengan memberi nama
Pancasila sebagai dasar Negara, maka daerah basis PKI menjadi kabur karena PKI dianggap mau
merubah dasar Negara.
41
Table 4.1 : Sejarah desa Tulung Rejo
Tahun
Sebelum
1835
1916-1922
Wilayah
Ada 3 desa kecil yakni
(1) desa Gondang
yang terdiri dari dua
dusun Gondang dan
Gerdu, dan (2) desa
Kekep terdiri dari 2
dusun yakni kekep
dan Pare, (3) Desa
Junggo
Seluruh desa kecil
disatukan menjadi
satu desa besar
Pemimpin
Masing-masing
dusun memiliki
seorang petinggi
yang memegang
kekuasaan mengatur
segala urusan desa.
Pengaruh luar
Masih dalam kekuasaan
mataram meski kontrol
longgar pada dasarnya
mereka hanya pemukiman
berdasarkan pada ikatan
kekerabatan
Kepala desa pilihan
massa rakyat yang
wewenang tidak
seluas petinggi.
Nama P. Dul
Wongsosari
P. Siyah
P. Mukri
P. Martorejo
Belanda termasuk
kebijakan menyatukan
desa-desa
1922-1925
1925-1932
1932-1947
Tetap
Tetap
Tetap
1947-1948
Bertambah satu dusun
yakni Sumberbrantas
P. Makali
1948-1950
Tetap
P. Achmad
1950-1967
Tetap
P. Martorejo
1967(Septem
bernofember)
1967-1972
Tetap
P. Mulyono
Tetap
P. Soekaryo
1972-1990
1990-1998
Tetap
Tetap
P. Armanu
H. Prawoto
1998sekarang
Tambah satu dusun
H. Prawoto
yakni Wonorejo dan
dusun Sumberbrantas
akan memisahkan diri
Sumber : Catatan sejarah desa dan wawancara (2005)
Belanda
Belanda
Belanda dan mengungsi
saat agresi militer kedua
1947
Boneka Belanda yang
akhirnya dibunuh oleh
penduduk
Belanda, dan melakukan
pemilihan untuk menjamin
perkebunan setelah
kembali
Pemerintah RI dan P.
Martorejo terpilih setelah
pulang dari mengungsi
tahun 1947. beliau terlibat
PKI ditangkap dan
diasingkan
Karateker yang ditunjuk
oleh pemerintahan militer
Ditunjuk lagi oleh
pemerintahan militer
Pemerintahan orde baru
Pemerintah orde baru
melalui pemilihan
Saat pemerintahan Gus
Dur melalui pemilihan
langsung
42
Gambaran Sosial-ekonomi Desa
Basis Ekologi
Sebagai daerah pegunungan, top ografi wilayah desa TR berbukit-bukit
dengan ketinggian berkisar antara 1.115 hingga 1.700 Dpl. Perbedaan tinggi
tersebut menyebabkan keragaman vegetasi tumbuh di sana. Bagian bawah
didominasi tanaman apel dan buah-buahan lain, tengah lebih banyak sayur
seperti kobis, wortel, kacang-kacangan, juga sedikit kentang sementara daerah
atas didominasi kentang terutama dusun Sumber Brantas.
Keragaman vegetasi tersebut, menyebabkan petani disetiap wilayah
memiliki keahlian bercocok tanam berbeda-beda. Meski tidak tegas dibedakan,
orang dusun Junggo dianggap lebih ahli menanam apel dibandingkan dengan
orang Sumberbrantas. Demikian juga orang Sumberbrantas akan dianggap lebih
ahli menanam kentang daripada orang dusun Junggo. Dusun Junggo ada di
bawah dan cocok untuk apel, sementara Sumberbrantas di atas dan sangat
cocok dengan tanaman kentang.
Daerah pegunungan juga membentuk pola penyebaran penduduk yang
tidak teratur. Pemukiman-pemukiman penduduk membentuk kantong-kantong
yang menyebar di daerah-daerah landai yang dihubungkan dengan jalan-jalan
kecil. Perumahan tidak mengumpul sebagaimana penduduk sawah tapi
menyebar sesuai dengan kelandaian daerah. Daerah-daerah yang padat
penduduk berada di dusun Sumberbrantas dan Wonorejo, sementara dusun
Gondang, Kekep, dan Gerdu, perumahan hanya ada kana-kiri jalan utama saja.
Karena topografi berbukit mekanisasi pertanian kurang berkembang.
Mekanisasi hanya dilakukan pada mesin penyemprotan hama dan alat siram
saja. Karena itu tidak mengherankan jika usaha tani sayur di desa TR
memerlukan banyak tenaga kerja mulai dari mengolah tanah hingga tanam.
Curah hujan rata-rata 8,9 Mm/tahun dengan suhu rata-rata 18 derajat
Celcius, dimana suhu terdingin dapat mencapai 17 derajat. Curah hujan cukup
besar bila dibandingkan
dengan
wilayah
lain. Curah hujan tinggi ini
memungkinkan ketersediaan air sepanjang tahun di desa TR. Air merupakan
penunjang utama pertumbuhan tanaman sehingga ketersediaan sepanjang
tahun sangat menguntungkan. Dengan demikian ketersediaan air sepanjang
tahun sangat menunj ang intensifikasi pertanian di TR. Lahan pertanian dapat
ditanami sayur hingga tiga hingga empat kali setahun. Ditunjang oleh kesuburan
tanah yang tinggi, pertanian di desa TR menjadi percontohan petani dari desa
43
lain bahkan dari Bromo. Bibit kentang Jurangkuali (istilah untuk Sumberbrantas)
menjadi langganan petani kentang dari Bromo dan Pujon karena terkenal
kualitasnya. Kentang Sumberbrantas umbinya jauh lebih besar jika dibandingkan
dengan kentang jenis yang sama dari daerah Pujon dan Bromo.
Secara geografi desa TR terletak di sebelah Utara kota Batu yang diapit
oleh tiga pegunungan yakni Arjuno, Welirang dan Anjasmoro. Gunung Welirang
merupakan salah satu gunung yang masih aktif sehingga menyebabkan desa TR
termasuk daerah yang cukup subur di pulau Jawa . Sebelah Selatan berbatasan
dengan kecamatan Bumiaji, sebelah utara dengan gunung Welirang, dan barat
dengan gunung Anjasmoro. Sebelah timur laut berbatasan dengan gunung
Arjuno, sementara tenggara dengan desa Gondo. Antara desa Gondo dan TR
sebenarnya juga dipisahkan dengan sungai kecil yang bermuara di kali Brantas.
Secara administratif desa TR berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto di
sebelah Utara yakni wilayah Pacet. Karena dibatasi oleh pegunungan, kontak
sosial penduduk desa TR jarang terjadi. Hanya ada jalan tembus kecil yang
cukup sulit dilalui kendaraan karena medannya yang curam. Luas wilayah desa
TR adalah 1.249,155 Ha, terdiri dari 1.060,312 Ha lahan sawah dan tegal,
sementara sisa nya berupa pemukiman, jalan, pekuburan, serta bondo deso.
Jarak desa dari kota kecamatan 1,5 kilometer, dan dari kota Batu enam
kilometer, sementara dari kota propinsi (Surabaya) 133 kilometer. Transportasi
dari desa ke kota kecamatan telah dilayani angkutan pedesaan (Mikrolet) yang
ada sepanjang hari hingga jam enam sore. Mikrolet telah beroperasi sejak tahun
1984 untuk mengangkut penduduk yang akan ke pasar atau ke kota Malang
yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Angkutan desa
memudahkan pengujung tempat wisata sehingga menjadi salah satu penarik
turis lokal. Tarif yang dikenakan tidak terlalu mahal dan hampir sama dengan tarif
di kota malang meski jarak yang ditempuh lebih jauh pada tahun 2005.
Pengunjung dari luar daerah yang akan ke masuk atau keluar dari TR
harus transit dulu di terminal Arjosari kota Malang baru ke terminal Landungsari,
ke Batu, baru ke TR. Jalur yang cukup panjang bagi pengujung dari luar kota
tersebut menyebabkan mereka lebih menyukai kendaraan pribadi daripada naik
angkutan umum. Orang Surabaya biasanya menggunakan jalan tembus yang
melewati Singosari, dan tidak melalui kota Malang sehingga menghemat waktu
hampir setengah jam. Jalan tembus tersebut sudah beraspal halus hanya saja
medannya masih banyak tanjakan.
44
Untuk pengunjung dari Kediri, mereka dapat melalui jalan tembus yang
sangat terjal melalui pegunungan Kawi dan Anjasmoro. Pegunungan Anjasmoro
dan Kawi ini konon adalah batas yang kerajaan yang dibuat oleh Mpu Barada
untuk memisahkan antara Jenggolo (Singhasari) di Timur dan Kediri di Barat.
Jalan tembus Kediri-Singosari tersebut juga menjadi jalur utama perdagangan
selain jalan tentara dari dua kerajaan yang memang sering bertempur.
Budaya Masyarakat Pegunungan Reproduksi Kultur Arek
Sebagaimana daerah pegunungan pada umumnya, masyarakat TR pada
awalnya tidak memiliki stratifikasi yang ketat sebagaimana daerah sawah. Tidak
ketatnya stratifikasi sosial dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari antara pekerja
dan juragan. Meski orang bekerja pada seorang juragan dan sangat tergantung
secara ekonomi, namun mereka tidak menunjukkan kesan sebagai hamba
sahaya. Dalam pergaulan mereka tetap menggunakan bahasa jawa “ngoko”
(bahasa tingkat rendah dalam bahasa Jawa). Hal ini menunjukkan adanya
budaya egaliter yang tertanam masyarakat.
PNM
(45)
seorang
juragan
mengatakan,
mereka
(para
buruh)
kebanyakkan juga teman sejawat. Selain itu di sini tidak ada bedanya antara
juragan dan buruh semuanya bekerja sama. Juragan tidak hidup kalau ada buruh
demikian juga buruh susah cari kerja kalau tidak ada juragan. Dalam pergaulan
tidak ada yang lebih tinggi , yang penting dapat hidup bersama dan jangan
membeda-bedakan. “Kabeh wis pernah ngrasake sugih, mlarat, dadi wong biasa,
sing penting iso kumpul karo koncone” (semua sudah pernah merasakan kaya,
miskin, jadi orang biasa, yang penting dapat berku mpul dengan teman-teman).
Kebiasaan egaliter dalam pergaulan tersebut jarang ditemukan pada
komunitas padi sawah. Pernah seorang anggota DPR datang ke kantor kepala
desa, mereka dibiarkan saja dan tidak disambut layaknya pejabat. Malah ditanya
basa-basi “ Yok opo kabare rek, wah dadi DPR wis arang metu” (bagaimana
kabarnya, wah setelah jadi DPR jarang keluar lagi). Hal tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat pergunungan tidfak membedakan tingkat sosial pergaulan.
Jika orang berprilaku membeda-bedakan antar kelas sosial akan dikatakan
“metuek” (sikap sok merasa tua).
Budaya egaliter tersebut mendapat bentuk semakin kuat ketika bertemu
dengan “kultur arek” yang juga tidak begitu memperhatikan tingkatan sosial
dalam pergaulan. Kultur arek tidak begitu memperhatika n kelas sosial dalam
pergaulan sehingga bahasa yang digunakan juga bahasa biasa sehari-hari. Hal
45
ini berbeda dengan kebiasaan pada masyarakat daerah padi sawah yang sangat
memperhatikan kelas sosial. Wilayah Surabaya dan Malang merupakan pusat
perkembangan budaya arek.
Hal tersebut sejalan yang sama ditemukan oleh Chenderroth (1995) pada
masyarakat desa Batur di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dengan
demikian terjadi pertemuan dua kultur yang saling mendukung yakni budaya
pegunungan dan kultur arek. Apa implikasi sosiologis kultur demikian terhadap
dinamika moda produksi di TR dari masa ke masa? Sing penting iso kumpul
kancane (yang penting bisa berkumpul dengan temannya) mengandung makna
bahwa seseorang dalam mengejar apapun termasuk harta tujuannya hanya
untuk dapat berkumpul dengan temannya. Berkumpul di sini dalam arti kecil
berarti dapat ikut menyumbang jika tetangga ada kesusahan, dapat membeli
rokok untuk dirokok bersama saat berkumpul malam-malam dengan temantemannya. Dalam arti lebih luas berkumpul bermakna dapat setara atau lebih
tinggi sedikit dengan rata-rata seluruh anggota masyarakat. Menjadi anggota
komunitas yang berhasil dimaknai dapat dengan bebas berkumpul dengan
anggota yang lain karena memiliki modal yang cukup. Tidak usah berlebih, yang
penting dapat sama dengan yang lain atau lebih tinggi sedikit sudah cukup.
Spirit demikian berimplikasi pada orientasi usaha yang dikembangkan
oleh penduduk TR. Motivasi usaha tidaklah untuk akumulasi tanpa batas
sebagaimana jiwa kapitalis calvinistik, tapi memiliki konteks sosial lokal. Sebuah
keberhasilan materi akan dikejar oleh orang TR dengan jiwa kapitalis murni, dan
jika telah mencapai puncak akan berhenti karena motivasi lokal. Kultur egaliter
dan reproduksi kultur arek menjadi penghambat perkembangan kapitalis lokal.
Tidak ada motivasi lebih tinggi daripada memperoleh pengakuan sebagai orang
yang telah pernah kaya dan mampu menjadi lebih baik dari yang lain. Untuk
selanjutnya mereka cenderung untuk mempertahankan saja statusnya dan tidak
mengembangkan diri lebih besar.
Setiap usaha yang dikembangkan setelah mencapai titik maksimal
biasanya akan turun kemudian bangkrut. Beberapa tidak berkembang menjadi
semakin besar pada usaha yang sama atau investasi lain, dan hanya sekedar
mempertahankan ritme saja. Kecenderungan ini dapat dilihat pada beberapa
juragan mulai tidak menanam sayur yang berpotensi untung besar. Mereka
beralih pada apel yang berpotensi untung kecil namun aman dan tidak menguras
tenaga. Jika orang telah dapat menunjukkan mampu memiliki harta yang lebih
46
dan dapat sejajar dengan yang lain, maka kepuasan telah terpenuhi. Pameo
mereka “alah mas, aku kabeh wis ngrasane, sugih lan mlarat podo ae rasane”
(aduh mas, saya semua sudah merasakan, kaya dan miskin sama saja rasanya).
Dinamika Sosial Ekonomi
Kegiatan ekonomi utama adalah pertanian komersil yang diusahakan
rakyat terutama sayur, bunga dan apel yang menghidupi hampir 55% dari jumlah
penduduknya. Sayur dan apel telah dijual ke seluruh wilayah Indonesia bahkan
kesemek telah dieksport ke Singapura. Sayur diusahakan secara intensif,
menggunakan teknologi modern, juga dikelola seperti perusahaan bagi petani
kaya. Setiap hari kita akan melihat orang mencuci sayur di jalanan untuk dipak
dan dikirim ke pasar.
Selain sayur ekonomi utama desa yang lain adalah pabrik bunga dan
jamur. Kedua usaha ini menyerap tenaga kerja hampir 25% angkatan kerja. Dua
buah perkebunan jamur menyerap hampir 700 tenaga kerja kasar, sementara
lima buah perusahaan bunga menyerap hampir 1500 tenaga kerja. Dari jumlah
pemilih 8500 orang, yang berarti usia produktif, maka jumlah tersebut termasuk
cukup besar.
Selain bekerja di sayur dan pabrik, sekitar 10 % penduduk bekerja di
sektor perdagangan, sementara lima persen di sektor pariwisata, dan sisanya
lima persen merupakan pedagang, pegawai, atau usaha lainnya. Dengan
demikian dominasi utama tetap pada produksi pertanian, disusul oleh
perkebunan lalu perdagangan dan pariwisata.
Kegiatan-kegiatan ekonomi utama di TR dikendalikan sepenuhnya oleh
petani-petani kaya dan pemodal. Petani kaya mengendalikan produksi sayur dan
apel sebagai tanaman utama karena kepemilikan lahan yang luas dan modal
kuat. Sementara itu pabrik-pabrik bunga dan jamur sepenuhnya merupakan
investasi pemodal dari luar daerah. Tani tanggung, srabutan, dan buruh tani
sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada petani kaya dan pemilik modal.
Kegiatan ekonomi di TR dapat dilihat disepanjang jalan utama yang
memanjang mulai dari kota Batu hingga Pacet. Dusun-dusunnya terletak dikanan
kiri jalan utama ini hingga berakhir di Sumber Brantas. Sebelum masuk ke TR
akan melewati desa Punten, yang terkenal sebagai pusat wisata bunga. Kanan
kiri jalan terpajang bunga beraneka warna, bahkan hingga masuk ke gang-gang
kecil seluruhnya ditanami bunga. Setiap halaman penduduk dipenuhi bunga dan
ditawarkan dengan harga mulai dari Rp. 500 hingga jutaan rupiah. Agrek, kaktus,
47
valentine, bonsai adalah daftar bunga yang mahal, selain bunga-bunga lainnya
seperti mawar, bogenvil, dan paku-pakuan yang harganya tidak terlalu mahal 11.
Di daerah perbatasan TR dengan punten terdapat sebuah pos mangkal
truk untuk menunggu barang kiriman hasil bumi. Truk-truk itu biasanya truk dari
Jakarta, Jogja, Bandung, Bali bahkan juga truk dari Kalimantan. Mereka mencari
muatan dari wilayah TR berupa sayur dan apel setelah kirim barang tertentu ke
Surabaya atau kota-kota lainnya di Jawa timur. Hal ini mereka lakukan agar truk
tidak kosong saat kembali ke daerah asal, atau yang mereka kenal dengan istilah
“balen”. Biasanya ongkos yang dikeluarkan oleh pemilik barang juga agak murah
daripada langsung menyewa truk yang bukan balen12.
Di kanan kiri jalan desa TR, terdapat villa-villa dan losmen-losmen, dan
penginapan kecil yang disewakan untuk pada wisatawan. Harganya bervariasi
mulai dari 25 ribu hingga 300 ribu permalam tergantung besar penginapan dan
fasilitas yang disediakan. Biasanya penginapan yang menyewakan kamar saja
banyak diisi oleh pasangan yang tidak membawa anak, atau yang datang sendiri.
Losmen dan villa biasanya lebih banyak disewa oleh keluarga-keluarga karena
mereka menyediakan tempat untuk anak-anak juga sarana masak dan bermain.
Selain villa dan losmen di TR juga terdapat hotel kecil MN yang sekarang
telah dibeli oleh pemilik hotel VT yang merupakan hotel paling besar di TR.
Kabar yang beredar di masyarakat, hotel itu bangkrut saat krisis dan tidak
mampu menggaji karyawanya karena pengunjung sepi. Karena itu hotel akhirnya
dijual dan dibeli oleh pemilik hotel VT. Meski berganti pemilik hotel itu tetap pada
kondisi semula baik arsitektur maupun nuansanya. Kata pekerja lama
sebenarnya hotel telah memiliki langganan sendiri yang suka nuansa aslinya.
Selain itu di kanan kiri jalan utama berjajar pedagang-pedagang buah dan
oleh-oleh, serta bunga yang jumlahnya tak kurang dari 20 kios, hingga belok
kearah taman wisata Selecta. Jalan ke arah Selecta tepat di depan Balai Desa
dan jaraknya hanya 500 meter saja dari jalan utama. Selecta inilah yang menjadi
pusat industri pariwisata terbesar di TR, bahkan menjadi ikon Batu secara
nasional. Dalam kawasan sel ecta ini terdapat pasar buah dan bunga yang juga
11
Sebagai daerah wisata, TR tidak dapat dilepaskan dari wilayah di sekitarnya. Obyek wisata di
sana menjadi satu paket dengan berbagai obyek wisata di sekitarnya, dan wisata bunga Punten
merupakan daerah paling penting.
12
Balen adalah istilah bagi truk yang telah mengantar barang ke daerah tertentu dan ia mencari
muatan yang arahnya menuju ke daerah asal truk. Asalkan sejalur maka barang akan diangkut dan
ini disebut sebagai muatan balen. Karena statusnya yang bukan muatan pokok, maka balen ini
biasanya tarifnya lebih murah daripada menyewa langsung.
48
menjadi outlet bagi petani apel dan sayur, meski jumlahnya tidak terlalu besar 13.
Di sekitar selecta ini hampir seluruh lahan ditanami apel dan sedikit tanaman
kesemek, dan jarang bahkan tidak ada tanaman sayur. Daerah ini masuk dalam
dusun Gondang sebagai ibukota desa (krajan) dan Kekep yang merupakan
daerah dibawah Selecta.
Di sekitar kawasan selecta ini terdapat dua hotel berbintang tiga dan dua
hotel biasa termasuk MN. Hotel -hotel ini dua diantaranya merupakan warisan
Belanda yakni Gedung Perkasa dan dan hotel Bima Sakti 14, sementara dua hotel
lain adalah bangunan baru. Penginapan demikian juga lahir saat pariwisata
ramai-ramainya tahun 80-90-an, yang waktu itu sedang digalakan Visit
Indonesian Years. Sejak krisis moneter pariwisata mulai meredup, termasuk juga
pengunjung di Selecta sangat sedikit. Selain pusat wisata, kawasan selecta ini
juga menjadi pusat pemerintahan dan pendidikan yang masuk dalam dusun
Gondang. Lebih detail tentang letak dusun-dusun di TR dapat dilihat dalam
lampiran I.
Dusun yang berdekatan dengan Gondang adalah Gerdu yang terletak
sebelah utaranya. Di kanan kiri dusun Gerdu, baik di tanah terbuka ataupun di
pekarangan penduduk banyak ditanami apel. Bunga juga ditanam di pinggir jalan
meski tidak banyak karena mereka kebanyakan menyetor tanamannya ke
Punten. Di dusun Gerdu terdapat perkampungan baru yang berisi keluargakeluarga tidak bertanah (tumpang karang) yang menguasai tanah milik
pengusaha Cina. Jumlah keluarga yang ada di sana tak kurang dari 75 rumah
tangga yang tergabung dalam satu RT. Hingga saat ini tanah itu masih menjadi
sengketa, namun karena telah diduduki warga lama pemerintah tidak berani
mengambil tindakan. Keluarga itu berasal dari dusun-dusun sekitar yang
kebanyakan dari daerah Junggo.
Dusun Gerdu berbatasan dengan dusun Junggo di sebelah utara. Junggo
adalah wilayah penting dalam produksi pertanian, karena terdapat juraganjuragan sayur, apel, dan sebagian besar petani maju tinggal di sini. Ada 6
juragan sayur dan dua juragan buah. Sayur dan apel dikirim hampir ke seluruh
13
Selecta awalnya merupakan taman pemandian bagi para Bule Belanda yang berlibur ke Batu,
baik dari Surabaya ataupun dari kota Malang. Selecta sendiri ada sejak jaman colonial dan dikelola
oleh pengusaha Belanda. Sejak kemerdekaan diambil alih oleh pemerintah dan akhirnya dijual
pada PT. Selecta sebagai pengelola saat ini, yang sahamnya dimiliki oleh pemilik dan masyarakat.
14
Desa TR tahun 1946 pernah menjadi tempat pengendalian pemerintahan republic Indonesia
dimana Presiden Sukarno bertempat di Hotel Bima Sakti, Wakil Presiden M. Hatta bertempat di
gedung Mimosa sekarang menjadi balai desa, sementara para menteri bertempat di gedung perkasa
sekarang menjadi hotel Selecta II.
49
Indonesia, sementara buah kesemek akhir-akhir ini permintaan dari Singapura
cukup besar dan mereka mengekspor melalui Surabaya dengan menggunakan
perusahaan rekanan. Kiriman sayur biasanya dikemas dalam keranjangkeranjang besar, sementara buah dalam dos-dos khusus dengan merk tertentu
tergantung pedagangnya. Pengemasan dilakukan sejak buah import masuk
dengan kemasan khusus, karena kemasan dulu hanya keranjang bambu
sehingga penampilannya kurang bagus serta tidak tahan lama.
Di dusun Junggo terdapat perumahan Bukit Cemara Emas yang dihuni
para pensiunan pejabat di Jawa Timur. Rumahnya sekitar 25 rumah saja meski
luasnya hampir sama dengan perkampungan baru di bawahnya. Tanah
perumahan ini didapatkan dari pembelian tanah penduduk dan beberapa pemilik
Cina dengan harga sangat murah. Kejadian pendudukan lahan oleh keluarga
tidak mampu membuat orang-orang Cina takut dan cepat menjual tanahnya.
Perumahan ini sekaligus batas antara Dusun Gerdu dan Junggo.
Di Junggo juga terdapat terminal kecil angkutan kota dan mobil-mobil
pick-up yang disewakan untuk mengangkut hasil pertanian. Mobil-mobil ini
melayani pengangkutan berskala kecil yang biasanya langsung disewa petani ke
pasar sekitar seperti Dinoyo, Batu, Gadang, dan pasar-pasar tradisional lainnya.
Setiap hari berjajar sekitar 5-10 Pick-up menunggu penyewa. Kadang-kadang
mobil ini juga disewa oleh petani untuk mengambil pupuk, dan jemputan buruh.
Terminal ini pada tahun 50-70-an adalah pos bagi para buruh angkut dari atas.
Di samping terminal kecil ini terdapat bekas perkebunan kina milik Tuan
Anno Dangger, seorang Belanda yang meninggal tahun 1917. Perkebunan ini
dibangun kira-kira bersamaan dengan pembangunan pemandian selecta. Selain
perkebunan kina, kuda dan sapi juga dibudidayakan sementara tanaman apel
juga ditanam meski hanya untuk tanaman hias. Perkebunan kina ini bertahan
hingga jaman kemerdekaan, meski banyak yang rusak pada jaman Jepang.
Perkebunan inilah bentuk introdusir cara produksi dan nilai-nilai produksi baru,
selain pembukaan selecta. Saat ini wilayah kebun telah menjadi lokasi
transmigrasi lokal dan sebagian telah dikuasai massa rakyat, sementara TNI-AU
hanya memiliki kantor saja. Sebagian lahan perkebunan ini sekarang telah
menjadi dusun Wonorejo, yang penduduknya sebagian besar para purnawirawan
TNI-AU dan bekas pekerja perkebunan.
Di Junggo juga ada perkampungan baru yang berisi keluarga-keluarga
tak bertanah yakni Besta. Sekitar 50-an keluarga tidak mampu mendapatkan
50
lahan pembagian perhut ani yang ditukar guling dengan lahan di Malang Selatan.
Sebelum resmi demikian, penduduk tidak bertanah itu telah mendirikan rumah di
sana dan menduduki begitu saja sebagaimana lahan di dusun Gerdu yang di
kuasai Cina. Karena konflik yang berkepanjangan, pemerintah akhirnya
mengganti dengan tindakan tukar guling.
Dusun terakhir terletak diujung sebelah utara desa, yakni Sumber
Brantas. Meski masih satu desa, dusun Sumber Brantas dipisahkan dengan
dusun-dusun lain oleh hamparan tanah pertanian yang tidak ada penduduknya
sepanjang lebih dari enam kilometer. Tanah ini dulunya adalah bekas
perkebunan Belanda yang sekarang telah dikuasai oleh penduduk. Bangunan
yang ada hanyalah pabrik-pabrik bunga dan jamur, berjumlah tujuh buah, yang
diusahakan dengan manajemen perusahaan.
Bangunan pertama terbuat dari bambu berupa rumah-rumah kecil untuk
budidaya jamur Sintakhe yang berdiri di lahan kira-kira seluas satu Ha. Pekerja
jamur ini kira-kira 20-an orang yang hampir seluruhnya penduduk lokal. Di
samping persis pabrik jamur ini ada pabrik bunga potong PT. Kharisma yang
mempekerjakan kira-kira 200 orang tenaga kerja. Naik sedikit di samping jalan
terdapat pabrik bunga baru yang lebih besar dari PT. Kharisma yakni PT. Inggu
Laut. Pabrik ini juga diproyeksikan untuk membu didayakan bunga potong untuk
tujuan eksport. Hingga saat ini pembangunan masih berjalan dan belum ada
perekrutan tanaga kerja.
Satu Km dari ketiga pabrik itu terdapat juga pabrik bunga besar yakni PT.
Saka Tani dan pabrik bunga milik TNI-AL. PT. Sakatani menjelang krisis pernah
diguncang demo besar-besaran oleh karyawan yang menuntut pembayaran gaji
sesuai UMR dan pembayaran THR. Sebelumnya tak kurang dari 300 orang yang
bekerja di sini mulai dari tenaga ahli hingga buruh kasar. Saat ini pabrik mulai
jalan kembali sedikit-sedikit dan manajemen sangat selektif terhadap tenaga
kerja. Mereka mengandalkan tenaga kerja kontrak dan borongan, sementara
tenaga kerja kasar cukup mengambil tenaga harian.
Pabrik bunga yang didirikan oleh TNI AL berdiri di atas tanah pembagian
tahun 1984, dimana TNI-AL mendapat bagian selain masyarakat, Unibraw, dan
Perhutani. Lahan ini secara resmi merupakan hak koperasi TNI-Al karena
pembagian itu diberikan pada koperasi. Kebun bunga ini baru dibangun dan
nampaknya bukan hanya bunga potong, namun juga bunga biasa untuk dijual
51
dalam negeri. Hingga laporan ini ditulis pembangunan kebun bunga ini belum
selesai, bahkan terlihat ada pelebaran luas kebun.
Kebun bunga TNI-AL ini berdampingan dengan kebun bunga milik CV.
Arjuno Flora. Kebun ini tidak begitu besar dan menurut pemiliknya mereka
memang mencoba kecil-kecilan saja. Namun demikian telah ada 20-an orang
yang bekerja di kebun dan akan ada penambahan jika kebun baru ini selesai
dibangun. Tanah di sana nampaknya baru saja dibeli, karena sebelumnya kebun
ada di bawah dekat pabrik jamur Sinthake.
Kawasan pabrik ini berbatasan langsung dengan dusun Sumberbrantas.
Di daerah perbatasan seluruh lahan terbuka dan ditanami tanaman sayur hingga
masuk ke dusun Sumber Brantas. Di tanah terbuka ini terdapat kampung baru
yang menempati tanah Negara yang kosong. Lahan itu sebenarnya adalah lahan
hutan lindung di pinggir sungai yang telah ditimbun oleh masyarakat sehingga
datar. Tak kurang dari 10-an rumah tangga yang mendirikan rumah di sana, yang
keseluruhannya sebelumnya tumpang karang. Portal jalan didirikan di ujung desa
untuk menarik pajak bagi truk yang lewat. Pajak ini dikelola oleh dusun untuk
perbaikan sarana dan prasarana desa.
Di Sumber Brantas, pedagang sayur hanya sedikit, tapi petani sayur
hampir seluruhnya berpusat di sini. Tanaman kentang saat ini telah naik hingga
ke lereng gunung baik di lahan resmi maupun lahan jarahan. Desa ini dulunya
adalah perkebunan teh yang dibuka tahun 1938 oleh pemerintah Belanda. Di
desa ini ada satu Gereja, dua masjid dan beberapa mushola kecil. Sebelah utara
desa terdapat Alborentum, atau semacam daerah resapan air yang penting
artinya bagi pengairan desa. Lahan itu seluas 11,3 Ha yang menurut masyarakat
dulu dibeli oleh pemerintah dengan harga murah. Beberapa penduduk ahli waris
saat ini masih sering menanyakan hal itu meski tidak pernah ada tanggapan.
Di Alborentum ini seharusnya perumahan penduduk habis, karena
setelah itu adalah wilayah Taman Hutan Rakyat (TAHURA) R. Suryo.
Kenyataannya lahan-lahan perbukit an telah menjadi lahan sayur dan perumahan
penduduk, bahkan terdapat pabrik jamur yang mempekerjakan 600-an orang di
ujung TAHURA. Pabrik ini memproduksi jamur merang untuk ekspor dan dimiliki
oleh orang Korea yang bermitra dengan orang Indonesia. Setelah pabrik jamur
terdapat pemandian air panas Cangar yang dikelola oleh PERHUTANI dan
kebun percobaan Fakultas Pertanian Unibraw.
52
Pemukiman penduduk TR sebenarnya hanya memusat di sekitar jalan
utama dan hanya dusun Kekep dan Wonorejo saja yang harus melalui jalan
masuk. Di belakang jajaran rumah itulah tanaman apel dan sayur dibudidayakan.
Sementara itu tanah terluas berada di blok Gabes yakni wilayah tak berpenduduk
antara Junggo dan Sumber Brantas. Tanah ini dulunya bekas perkebunan kina
dan dikuasai oleh TNI-AU, yang sekarang telah diolah rakyat.
Dilihat dari banyaknya pabrik bunga dan jamur maka tidak heran apabila
kegiatan pabrik memiliki peran yang sangat penting, di samping pertanian dan
wisata. Tenaga kerja dan lahan diperlukan pabrik-pabrik ini untuk memperluas
usahanya. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar pelaku ekonomi
(juragan-pengusaha Cina-pabrik-wisata) untuk memperebutkan dua sumberdaya
produksi tersebut.
DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL :
PERPEKTIF HISTORIS
Tinjauan historis bertujuan untuk memetakan tipe-tipe moda produksi
yang hadir di TR dari masa ke masa, dinamikanya, serta formasi sosial yang
terbangun. Bahasan dibagi dalam empat bagian yakni masa kolonial 1870-1945,
awal kemerdekaan 1945-1950, dan Orde Lama 1950-1965, dan masa Orde Baru
1966-1997. Pembagian masa berdasar faktor dominan yang mempengaruhi cara
produksi lokal sehingga terjadi perubahan-perubahan. Pertama, periode kolonial,
adalah masa pembentukan formasi sosial kapitalis awal, ditandai masuknya cara
produksi kapitalis kolonial melalui perkebunan sebagai artikulasinya.
Kedua, awal kemerdekaan adalah masa-masa perginya penjajah Belanda
dan Jepang hingga tahun 50-an. Masa ini ditandai dengan proses konsolidasi
pemerintahan RI dan berbagai perang melawan agresi Belanda. Kondisi perang
memporakporandakan seluruh bangunan ekonomi perkebunan, juga ekonomi
rakyat. Masa-masa ini mencapai puncaknya saat nasionalisasi dilakukan
pemerintah pada perkebunan-perkebunan asing. Kesempatan ekonomi yang
dikuasai oleh perkebunan beralih setelah proses nasionalisasi. Penguasaan
ekonomi berpindah dari pejajah ke penduduk Indonesia.
Ketiga, adalah masa Orde Lama dimana krisis politik berkepanjangan
mewarnai kehidupan desa. Permasalahan politik masuk dan menjadi wacana
umum hingga di tingkat desa dan mencapai puncak pada tahun 1965 saat
peristiwa PKI (partai Komunis Indonesia) meletus. Kejadian ini merombak
seluruh tata ekonomi dan politik desa. Dengan demikian cara produksi dan
formasi sosial banyak diwarnai oleh kondisi-kondisi politik tersebut.
Keempat, masa orde baru yakni masa dimana pembangunan mulai
dilaksanakan secara berencana melalui Pelita (pembangunan lima tahun).
Revolusi hijau dalam paket modernisasi pertanian diterapkan di pedesaan untuk
meningkatkan produksi pangan. Dikenalkan cara bercocok tanam modern
dengan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan kimia. Seluruh kegiatan
tersebut tentu saja berpengaruh terhadap corak cara produksi yang berkembang
di daerah penelitian.
54
Moda Produksi dan Formasi Sosial Masa Kolonial (1870-1945)
Moda produksi yang ada pada masa kolonial terdapat dua tipe yakni cara
produksi pertanian tradisional dan cara produksi kapitalis kolonial. Yang pertama
mencakup usahatani yang dikelola oleh penduduk lokal sebagai warisan budaya
dan menjadi tradisi sejak lama, sementara kedua merupakan perkebunan kina
dan teh yang dikembangkan oleh kaum swasta Belanda 14. Kedua corak moda
produksi ini hadir secara bersamaan dalam sistem sosial desa dimana moda
produksi kapitalis yang diartikulasikan perkebunan Belanda mendominasi.
Tipe -tipe Moda Produksi yang Hadir pada Formasi Sosial Lokal
Cara Produksi Pertanian Tradisional
Cara produksi non-kapitalis yang terartikulasi dalam pertanian tradisional
kekuatan produksi bertumpu pada penguasaan lahan pertanian dan tenaga kerja
keluarga. Penguasaan alat tidak menjadi kekuatan utama karena seluruh petani
memiliki alat yang sama. Tidak ada sistem upah, dan dikenal sistem gotong
royong. Tenaga kerja keluarga mendorong penerapan menajemen terbuka dan
bersifat informal, sehingga hubungan sosial produksi cenderung egaliter.
Menurut MSN (84) rumah penduduk di TR sebelum Jepang datang masih
beratap alang-alang dan berdinding gedek (anyaman bambu). Jagung dan
pohong (ketela pohon) ditanam sekali setahun dan dijual apabila ingin membeli
kebutuhan dapur. Makanan utama jagung dan pohong dan beras tidak ada.
Tidak ada orang yang menjual seluruh hasil kebun seperti sekarang, karena
hasilnya memang untuk dimakan. Pakaian cukup satu atau dua potong saja,
tidak perlu satu lemari seperti sekarang. Orang jarang bekerja upahan kecuali
para petani yang menumpang pada orang kaya atau buruh perkebunan.
Perkampungan penduduk TR pada mulanya hanya gerombol-gerombol
kecil keluarga dan mereka lebih mengutamakan produksi subsisten. Belanda
tidak begitu peduli dengan kehidupan mereka, malah memanfaatkan menjadi
tempat menginap atau singgah pada pekerja pabrik yang didatangkan dari
daerah lain. Perkampungan menyuplai bahan pangan para pekerja dan tempat
sosialisasi bagi para buruh upahan. Selanjutnya penduduk lokal banyak yang
14
Untuk mengkontruksi bagaimana moda produksi yang hadir pada masa ini didasarkan pada
wawancara dengan orang-orang tua bekas buruh perkebunan dan digabungkan dengan kontruksi
yang telah dilakukan peneliti lain di wilayah Malang. Hal ini mengingat cukup sulit untuk
mengkontruksi dengan tepat moda produksi di desa TR secara pasti selama masa colonial. Untuk
itu kajian atas penelitian lain diperlukan untuk lebih mendekati kenyataan. Peneliti tersebut antara
lain Kano di Pagelaran distrik Gondanglegi (1990), Gordon et al., di Tulungrejo distrik Batu
(1985), Cenderroth di Batur d istrik Tump ang (1995)
55
bekerja di perkebunan dan semakin mengukuhkan integrasi ekonomi lokal pada
ekonomi kapitalis.
Orientasi produksi masih untuk keperluan keluarga sendiri, dan meski ada
pertukaran bukan untuk tujuan komersial. Petani menanam sesuai dengan
kebutuhan, dan kalau ada sedikit kelebihan dipertukarkan dengan barang lain.
Alat pertanian juga terbatas dan dibuat oleh sendiri meski untuk alat-alat tertentu
perlu tukang. Alat ini biasanya dari besi yang harus dibuatkan oleh ahlinya.
Jagung dan ketela sebagai tanaman utama, juga beberapa jenis polowijo, yang
seluruhnya adalah tanaman pangan. Pakaianpun banyak disediakan oleh
penduduk melalui “ngantih” (menenun kapas menjadi benang lalu kain) dan
kebiasaan ini tetap hidup hingga jaman kemerdekaan, bahkan tahun 50-an masih
ditemukan orang menenun kain. Bahan kapas mereka dapatkan dari pasuruan,
atau Malang dan kadang ada pedagang Cina yang datang menjajakan kapas.
Seorang petani juga memiliki tanggungjawab tertentu terkait dengan
haknya dalam pengelolaan tanah. Kewajiban ini biasanya berupa kepatuhan
pada otoritas lokal, juga kewajiban untuk mengorbankan sebagian hasil buminya
untuk berbagai kebutuhan adat, juga berbagai biaya sosial lainnya. Sedekah
Bumi di TR yang hingga kini diperingati setiap tahun, juga bersih desa adalah
kewajiban massal yang harus ditanggung bersama.
Sementara itu kekuatan produksi terutama a
l han, bukan batasan bagi
petani karena hutan masih u
l as, dan siapa saja berhak untuk membukanya.
Batasan bukan pada regulasi atau larangan, tapi lebih pada keterbatasan tenaga
kerja. Sebenarnya TR masih masuk dalam kekuasaan Mataram. Karena jauh
dari lingkar kekuasaan aturan ketat sebagaimana pedesaan lain yang dekat
dengan istana tidak berlaku. Namun secara budaya penduduk desa tetap
mengiblat pada kebiasaan dan kebudayaan dari Mataram. Aturan yang ketat
tentang tanah sebagaimana di Jawa tengah kurang berlaku.
Kurang ketatnya pengaturan penguasaan lahan dari kekuasaan lebih
tinggi berakhir kira-kira sejak adanya kebijakan kolonial tentang administrasi
desa. Dikaitkan dengan politik kolonial, yakni re-organisasi pemerintahan desa,
penyatuan desa-desa kecil menjadi satu desa dan pengurangan hak “petinggi”
berguna untuk mengontrol politik lokal. Hal itu untuk mengesahkan bahwa tanah
hutan selain yang dikuasai petani adalah milik Negara. Catatan penyatuan
dusun-dusun di kawasan TR menjadi satu desa di tahun 1916 dilakukan oleh
56
Belanda untuk menjamin keberadaan kebunnya secara politik sehingga
penerapan administrasi desa menjadi penting.
Relasi sosial produksi dibangun dalam unit keluarga dimana pemilik dan
pelaku usaha menjadi kesatuan unit produksi. Meski keluarga adalah organisasi
produksi utama, kerapkali orang luar masih diperlukan terutama kerabat. Unit
produksi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial secara keseluruhan karena
keduanya saling tergantung. Meski keluarga bebas memproduksi pada dasarnya
seluruh produksi itu tidak hanya untuk keluarga tapi juga untuk sistem sosial.
Cara Produksi Kapitalis Kolonial
Cara produksi kapitalis yang diartikulasikan perkebunan teh dan kina,
produksi berorientasi ekspor, dengan perusahaan sebagai unit produksi.
Dibanding dengan petani, teknologi budidaya dan alat yang digunakan
perkebunan lebih modern. Paling tidak telah diperkenalkan mesin angkut dan
pengolahan kina. Tenaga kerja mengandalkan buruh upahan, sementara
tanaman yang dibudidayakan bernilai ekonomi tinggi di pasar Eropa. Keuntungan
menjadi tujuan utama usaha perkebunan. Dengan demikian hubungan sosial
produksi lebih cenderung kearah hubungan herakhis.
Kekuatan produksi perkebunan mengandalkan kemampuan modal uang
untuk menggerakan produksi. Meski lahan didapatkan gratis, pembukaan,
penanaman, pemeliharaan, juga biaya operasional lainnya memerlukan uang.
Dukungan pendanaan yang kuat diperlukan untuk membuka perkebunan di TR.
Kondisi TR yang berbukit dengan ketinggian hingga 1700 M Dpl, serta akses
yang sulit memerlukan pembangunan infrastruktur. Modal uang digunakan untuk
mengupah buruh, membeli alat, juga mesin-mesin pertanian.
Menurut
MHR
(sekdes
1945-1966)
pembukaan
kebun
teh
di
Sumberbrantas tahun 1938 banyak pekerja didatangkan dari luar daerah untuk
mebuat jalan dan membukan hutan. Penduduk desa yang muda juga banyak
terlibat. Jalan dibuat mulai dari Junggo hingga Sumberbrantas agar dapat dilalui
Jeep. Pengerjaan jalan utama saja memerlukan waktu dua bulan belum lagi
jalan-jalan kecil di tengah kebun.
Artikulasi cara produksi kapitalis kedua adalah industri pariwisata
pemandian Selecta. Kekuatan produksi utama modal yang digunakan untuk
membangun kawasan wisata dan pendukungnya. Selecta termasuk taman
pemandian besar. Ada dua hotel dan gedung pertemuan cukup besar untuk
57
ukuran daerah kecil. Namun demikian karena sifatnya pelengkap perkebunan,
pengaruhnya pada formasi sosial belum terlihat.
Perkembangan cara produksi kapitalis Belanda di TR tidak dapat
dipisahkan dari skema kapitalisme kolonial secara nasional dan dunia. Malang,
dimana Batu sebagai salah satu distrik utama, dan TR berada-menjadi tujuan
investasi yang cukup menjanjikan secara ekonomis. Selain tanahnya yang subur,
kondisi alam yang indah dan hampir menyerupai hawa di Eropa, TR menarik
investor Belanda tidak hanya perkebunan tapi juga fasilitas wisata.
Cara produksi kapitalis kolonial di TR diartikulasikan dalam industri
perkebunan dan pariwisata. Selecta sebagai tempat wisata dan kebun kina
adalah wujud artikulasi itu. Selecta terkenal sebagai tempat pemandian, taman
wisata, serta tempat peristirahatan, sementara kina memiliki nilai ekonomis tinggi
di pasar dunia. Meski jauh dari kota dan memiliki infrastruktur buruk, sementara
daerahnya pegunungan, tak aneh jika Belanda mau membuka perkebunan dan
tempat wisata di sana.
Kebun Kina di TR mulai diusahakan pada abad 19 bersamaan dengan
tanaman kopi dan karet hevea, dan coklat. Luas tanaman kina pada tahun 1922
menurut Landbouwatlas van Java en Madura, Weltevreden, 1926, Jilid 2 Hal 92
(dalam Hiroyosi Kano) adalah 507 Ha, khusus di afdeeling Malang. Jika dilihat
dari tahun dan luas perkebunan, pekebunan Tuan Anno Danggerlah yang ada
pada tahun itu dengan luas yang hampir sama dengan luas yang ada. Hal ini
menunjukan jika TR adalah desa yang cukup penting bagi perkembangan
industri kapitalis perkebunan kolonial (Kano, 1989:15).
Pada aras makro perkembangan perkebunan swasta Belanda mulai
pesat setelah tahun 1870. Meski demikian tidak berarti tahun sebelum itu mereka
tidak memiliki peran. Bahkan produksi perkebunan swasta pernah menjadi
saingan pemerintah meski kemudian menurun. Bahkan tahun 1960 perkebunan
ini benar-benar menjadi pesaing utama perkebunan pemerintah. Hal ini tidak
menutup kemungkinan perkebunan kina di TR menjadi salah satu yang
berkembang di sana (Houben, dalam Lindblad 2000:97-98).
Produk kina bukan merupakan konsumsi dalam negeri, dan menjadi
bahan dasar untuk obat malaria. Dengan demikian pohon ini murni untuk ekspor
dan menjadi produk penting bagi industri obat di Eropa. Selain itu daerah-daerah
Hindia Belanda juga merupakan daerah rawan malaria dan kina menjadi penting
untuk dikembangkan. Jadi pemilik kebun ini orientasi produksinya adalah
58
memenuhi industri obat di Eropa, dimana pabriknya tidak ada di Indonesia.
Tabelt kina adalah obat malaria terkenal saat perang gerilya sampai tahun 60-an.
Menurut KPN (79) seorang bekas pekerja
perkebunan, bahwa
perkebunan memiliki tak kurang dari empat gudang penyimpanan kina dan satu
alat pemotong kulit kina. Gudang merupakan tempat penyimpanan kulit kina
yang baru di petik, sementara pemotong digunakan untuk mengemas kulit
sebelum dibawa ke luar. Pekerja dipimpin oleh seorang mandor dan membawahi
beberapa ratus hektar lahan kina. Pekerjaannya mulai dari membersihkan lahan,
memotong ranting, dan menguliti kina untuk dipanen.
Selain buruh dan mandor, juga terdapat seorang Belanda yang mengecek
kerja di lapang pada saat-saat tertentu untuk memeriksa para mandor. Mereka
mencatat kondisi kebun juga memberi petunjuk pada mandor untuk mengerjakan
hal-hal tertentu yang diperlukan untuk perbaikan kebun. Jumlah mereka cukup
banyak sampai ada enam orang dan tinggal dalam rumah utama perkebunan
bersama pemiliknya. Mereka itu menurut Kartodirdjo (1990) biasanya merupakan
pekebun baru yang ingin mengembangkan usaha di Jawa, atau pemuda Belanda
yang magang di daerah hindia Belanda.
Pemilik kebun secara langsung juga menjadi manajer pabrik dan
langsung
mengendalikan
organisasi
produksi.
Ini
merupakan
ciri
dari
perkebunan-perkebunan swasta Belanda dimana pemilik modal langsung
mengomandoi jalanya perkebunan. Tuan Dangger yang meninggal tahun 1917
adalah pemilik kebun kina itu yang diteruskan kemudian oleh anak-anaknya, dan
akhirnya diambil alih oleh Negara.
Bagaimana
dengan
pariwisata?
Industri
pariwisata
berkembang
bersamaan dengan pembukaan perkebunan Belanda. Hal ini bisa dilacak dari
pendirian Selecta dan gedung-gedung peristirahatan yang diperuntukan bagi
para pekebun Belanda. Sejak awal Selecta telah dikelola layaknya sebuah
perusahaan karena bentuknya berupa badan usaha swasta Belanda. Namun
demikian pada masa kolonial, industri pariwisata ini tidak memiliki kaitan secara
ekonomi dengan komunitas sekitar. Selain karena pendiriannya yang cukup jauh
dari perkampungan penduduk, Belanda sangat tegas memisahkan antara
aktifitas perusahaan dengan aktifitas penduduk15.
15
Telah menjadi kebiasaan dalam perusahaan Belanda melarang penduduk pribumi mengakses,
bahkan masuk ke wilayah usaha saja merupakan pelanggaran. Hal ini juga terjadi dalam
pemandian Selecta dimana penduduk tidak boleh mengakses meski itu orang orang terkemuka di
59
Paket wisata di TR sebenarnya menjadi satu dengan daerah wisata
lainnya di Batu, seperti pemandian air panas Songgoriti dan berbagai tempat
wisata lainnya. Banyak orang Belanda dari Malang, Dampit, juga Surabaya yang
datang untuk menikmati liburan di Batu dan tentunya juga Selecta. Mengenai
aspek kedua moda produksi tersebut diatas (kapitalis kolonial dan pertanian
tradisional) diuraikan dalam tabel berikut:
Tabel 5. 1 : Aspek moda produksi kapitalis kolonial dan pertanian tradisonal masa kolonial
Kapitalis kolonial
Pertanian tradisional
Aspek cara produksi
(Perkebunan kina & teh)
(pertanian rakyat)
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Modal
2
Unit produksi
Keluarga inti
Perusahaan
3
Tenaga kerja utama
Keluarga inti
Buruh upahan
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial hubungan produksi
Keluarga inti
Perusahaan
2
Struktur hubungan produksi
Egaliter (antar keluarga
inti)
Herarkhis (majikan dan
buruh kebun)
3
Sifat hubungan produksi
Non-eksploitatif
Eksploitatif
Perubahan Moda Produksi Lokal: Perombakan Moda Produksi
Pertanian Tradisional
Seluruh kegiatan perkebunan di TR dan daerah lain pada umumnya
selalu berusaha mengarahkan potensi sosial dan fisik desa untuk mendukung
perkebunan. Tak heran jika cara produksi lokal terpaksa harus berubah dan
menyesuaikan dengan ritme perkebunan, jika tidak ingin mati sama sekali. Paling
tidak ada enam kegiatan utama dalam menjalankan usahanya. Kegiatan tersebut
antara lain (1) melakukan alih fungsi lahan hutan, (2) Melakukan perekutan buruh
baik penduduk lokal maupun yang didatangkan dari luar, (3) mengenalkan teknik
produksi baru yang modern dan berbeda dengan teknik pertanian lokal, (4)
melakukan kontrol politik untuk memastikan keberlangsungan perkebunan, (5)
memperkenalkan kepemilikan pribadi, (6) membatasi akses petani terhadap
teknologi modern terutama terkait dengan teknologi produksi perkebunan.
MSN (84) mengungkapkan kalau pada masa sebelum Jepang lahan
petani hanya tanah-tanah yang tidak masuk dalam areal perkebunan. tanah itu
biasanya warisan dari orang tua mereka, dan kalaupun ada tanah lain mereka
membuka hutan dan bukan menjadi hak milik. Banyak petani mengerjakan tanah
daerah itu. Pemandian di khususkan bagi orang-orang Belanda yang memiliki kelas lebih tinggi
daripada penduduk pribumi.
60
perkebunan yang tidak terurus. Saat itu sudah mulai ada orang menjual tanah
meski sangat murah. Buruh juga banyak yang membuat rumah di TR apalagi
dengan pembukaan kebun baru (Teh) di Sumberbrantas pada tahun 1938.
Pembukaan kebun itu digambarkan oleh KPN (79) sebagai “usum kerjo”
atau iklim kerja. Kondisi itu menggambarkan ramainya pekerjaan karena banyak
rekutmen buruh terutama untuk pembukaan kebun teh. Pekerja datang dari luar
daerah hingga beratus-ratus sehingga meramaikan desa. Warung menjadi ramai,
muncul pedagang, dan anak-anak muda bekerja karena upah cukup baik
menurut ukuran saat itu.
Alih fungsi lahan hutan membatasi akses petani terhadap lahan sehingga
lahan semakin langka. Perekutan buruh dengan sendirinya meningkatkan arus
uang ke desa sehingga mendorong ekonomi uang. Sementara itu teknik baru
memberi pelajaran bagi petani tentang cara produksi modern, meski dalam kasus
ini tidak begitu berpengaruh pada teknik produksi petani. Kontrol politik jelas
mempengaruhi pengaturan atas lahan dan pemerintahan lokal. Sedangkan
kepemilikan pribadi akan meningkatkan jual beli dan sewa menyewa tanah. Di
sisi lain pembatasan akses teknologi menghambat perkembangan pertanian
hingga tetap pada kondisi sebelumnya dan menjadi pelayan perkebunan.
Hubungan produksi dengan masuknya buruh terkait batas hubungan
sosial produksi meluas menjadi organisasi produksi. Struktur hubungan mulai
herarkhis dan sifat hubungan mulai eksploitatif. Buruh diupah dengan uang dan
produksi berorientasi pada pengambilan keuntungan. Meski demikian produksi ini
pada dasarnya tidak untuk akumulasi sebagaimana jiwa kapitalis tapi lebih untuk
mendapat pengakuan sosial secara lokal. Perubahan aspek-aspek cara produksi
pertanian pada masa kolonial secara sederhana dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.2 : Perubahan aspek cara produksi subsistensi di TR setelah masuknya cara
produksi kapitalis pada masa kolonial
Aspek cara produksi
Masa kolonial
Pert. semi-komersial
Pert. Tradisional
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Tanah
2
Unit produksi
Keluarga inti
Keluarga inti
3
Tenaga kerja utama
Keluarga luas (kerabat)
Keluarga inti
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial hubungan produksi
Organisasi produksi
Keluarga inti
2
Struktur hubungan produksi
Mulai herarkhis
Egaliter
3
Sifat hubungan produksi
Mulai eksploitatif
Tidak eksploitatif
61
Dengan adanya perubahan pada aspek-aspek moda produksi tersebut,
secara otomatis merubah seluruh norma masyarakat terkait dengan proses
produksi. Sumber tenaga utama tidak lagi mengandalkan keluarga inti,
menambah jangkauan pengaruh produksi. Produksi tidak lagi hanya melibatkan
anggota keluarga inti, tapi sudah orang lain (meski kerabat) sehingga pertukaran
yang terbangun juga akan berubah. Demikian juga batas produksi yang meluas,
hubungan yang herarkhis dan sifatnya yang mulai eksploitatif.
MSN (84) menggambarkan jika waktu itu dengan dibukanya perkebunan
Teh banyak berdiri warung, penduduk kaya mulai mengupah tenaga, juga
banyak pedagang masuk ke desa. Tanah semakin sulit didapatkan dan mulai
ada jual beli lahan yang sebelumnya tidak ada. Terkait pemerintahan desa
menurut MSN tidak ada pengaruh sama sekali dan hanya menjadi pembuka
acara saat panen raya saja. Petani tradisional tidak berubah dan tetap menanam
sekali setahun dan tidak menjual hasil panennya.
Dari uraian MSN perubahan dalam sistem sosial akibat masuknya
perkebunan dapat ditangkap ada empat perubahan yakni: Pertama, terkait
kelembagaan produksi ditandai dengan munculnya kelembagaan jual dan beli
dalam usaha pertanian. Hal itu terjadi karena kepemilikan pribadi mulai
diperkenalkan sementara lahan bebas yang dapat dibuka untuk pertanian
semakin langka. Pembukaan lahan hutan semakin mengurangi tanah yang dapat
diakses petani lokal. Lahan yang dulunya tidak menjadi kekuatan produksi utama
semakin penting peranannya menggeser peran sentral tenaga kerja keluarga.
Selain itu orientasi produksi juga bergeser dari subsistensi menjadi lebih
terbuka pada pasar. Produksi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga
tapi juga untuk memenuhi permintaan pasar terutama untuk keperluan buruh.
Selain itu dalam kelembagaan produksi juga mulai terlibat buruh upahan
mengikuti apa yang dilakukan perkebunan. Meski demikian unit produksi tetap
keluarga meski telah mulai berubah menjadi lebih komersial.
Kedua, terkait bentuk pertukaran mulai menggunakan mekanisme pasar
dan tidak lagi mengandalkan ikatan kerabat. Hal itu terjadi akibat peningkatan
aktifitas ekonomi yang disebabkan oleh peredaran uang dan besarnya
permintaan pangan, baik karena perkembangan penduduk asli maupun
kedatangan para buruh dari luar daerah. Dengan demikian basis pertukaran yang
dulunya bersifat primordial dalam ikatan kerabat menjadi kontraktual dan berlaku
tawar-menawar antar individu. Selain itu produksi tidak hanya untuk keluarga tapi
62
juga pasar. Barang-barang lain juga mulai masuk untuk memenuhi kebutuhan
para buruh, yang dibawa pedagang seiring dengan masuknya ekonomi uang.
Ketiga, terkait dengan relasi sosial produksi, hubungan buruh dan
majikan bersifat herarkhis. Kelangkaan tenaga kerja pertanian lokal karena
diserap perkebunan, mendorong petani untuk merekut buruh tani. Mereka yang
dulunya tenaga kerja utama pertanian berubah menjadi buruh upahan. Jejaring
produksi yang bertumpu pada unit keluarga berubah dengan melibatkan pasar,
dan perkebunan. Usaha mandiri pertanian terpaksa harus membuka diri agar
mendapatkan tenaga yang tidak mungkin bertumpu pada keluarga lagi. Produksi
ditentukan oleh permintaan pasar dan besarnya konsumsi keluarga. Hal itu
sangat dipengaruhi oleh kebijakan perkebunan terutama terkait tenaga kerja.
Keempat, terkait relasi kekuasaan terjadi pergeseran dari elit mandiri
menjadi elit dalam kontrol perkebunan. Gejala Terjadi perubahan relasi
kekuasaan akibat penerapan sistem politik kolonial yang menghilangkan fungsi
desa asli. Kepemimpinan tidak lagi ditentukan oleh
kepemimpinan
yang
dikendalikan
oleh
rakyat, tapi merupakan
perkebunan.
Pemimpin
bukan
representasi rakyat yang memperjuangkan hak mereka, tapi hanya petugas
pencatat saja. Namun demikian pemimpin menjadi apparatus yang efektif untuk
menyosialisasikan seluruh kepentingan perkebunan.
Formasi Sosial Kapitalis Kolonial dan Keberlangsungan
Moda produksi Lokal
Dalam teori formasi sosial kehadiran dua atau lebih cara produksi secara
bersamaan bersifat asimetris atau satu akan cenderung mendominasi yang lain.
Dalam kasus TR berdasar pada uraian di atas, siapa yang mendominasi?
perkebunan ataukah pertanian tradisional? Agar terlihat secara lebih rinci, perlu
ditelusuri hubungan kedua cara produksi itu secara lebih dalam, hingga terlihat
konstelasinya.
Produksi lokal sejak perkebunan masuk, praktis menjadi penyedia
pangan bagi buruh. Masuknya buruh besar-besaran dari luar daerah yang
didatangkan Belanda memerlukan sokongan pangan. Peran pertanian tradisional
sangat vital dalam menyediakan pangan bagi buruh perkebunan. Terjadilah
peningkatan produksi di desa. Seiring dengan itu terjadi pula peningkatan arus
uang karena munculnya buruh upahan dan perdagangan. Keduanya berdampak
pada peningkatan komersialisasi di pedesaan.
Tidak hanya pangan, tenaga kerja pertanian tradisional juga diserap oleh
perkebunan. Cara produksi lokal terpaksa melakukan perombakan sistem
63
produksi untuk mengantisipasi kekurangan pekerja. Batas sosial produksi yang
dulunya hanya keluarga inti terpaksa meluas dengan masuknya buruh upahan.
Karena sebagian besar hasil untuk kebutuhan pangan perkebunan, meski
konsumsi keluarga tetap, perombakan ini mendorong peningkatan produksi.
Ujungnya tetap untuk menjamin ketersediaan pangan bagi buruh-buruh
perkebunan. Jika demikian reproduksi sistem kapitalis ditopang sepenuhnya oleh
keberadaan pertanian tradisional.
Dengan bertambahnya kebutuhan pangan maka produksi lokal juga
mengalami peningkatan. Tahun 1938 menurut KPN (79) hanya ada beberapa
orang saja yang menjual hasil buminya ke pasar yakni petani kaya bertanah luas
dan mampu untuk mengupah buruh. Petani kebanyakan berproduksi apa adanya
dan hanya untuk keperluan keluarga saja. Jika demikian adanya maka
peningkatan permintaan pangan ternyata hanya dapat ditangkap oleh para elit
desa terutama para petani kaya. Petani-petani kaya itu adalah pak Lurah dan
beberapa tokoh desa, yang kebanyakan dari daerah Bawah (Junggo dan
Gondang).
Masuknya cara produksi kapitalis kolonial yang diartikulasikan pada
perkebunan Kina dan Teh di TR secara perlahan mengintegrasikan seluruh
ekonomi desa pada aktifitas perkebunan. Produksi lokal yang sebelumnya hanya
untuk keluarga dipaksa untuk dapat memenuhi kebutuhan buruh. Selain itu
tenaga kerja yang dulunya hanya untuk pertanian keluarga terseret menjadi
buruh upahan. Aturan-aturan tentang penguasaan alat produksi dan hubungan
produksi berubah mengikuti cara perkebunan. Masuknya ekonomi uang
mempercepat proses integrasi tersebut.
Integrasi ekonomi desa direspon berbeda oleh struktur sosial lokal. Para
petani kaya yang terdiri dari elit desa yang biasanya sekaligus pemimpin desa
menangkap peluang itu dengan jalan meningkatkan produksi dan merekut buruh
untuk pertaniannya. Mereka meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan
pangan buruh yang bekerja di perkebunan. Namun demikian peningkatan
produksi ini tidak untuk akumulasi gaya cara produksi kapitalis, tapi hanya untuk
mengukuhkan status sosial lokal.
Untuk
petani
kebanyakan, masuknya cara produksi baru tidak
berpengaruh banyak terhadap cara produksinya. Meski ada tenaga kerja yang
tertarik pada perkebunan, mereka cenderung tidak merubah sistem produksinya.
Hal itu setidaknya masih dapat dilihat di akhir-akhir penjajahan dimana masih
banyak penduduk lokal yang tidak melakukan produksi untuk dijual ke pasar.
64
Pemukiman-pemukiman di pinggiran desa pada tahun 1940-an masih memakai
daun kelapa dan membudidayakan tanaman sesuai dengan kebutuhan keluarga
dan tidak komersial.
Respon kedua kelas sosial di desa TR dalam mengartikulasikan cara
produksi masing-masing terlihat ada perubahan mendasar pada cara produksi
lokal. Petani kaya cenderung terpengaruh dan mengikuti pola produksi kapitalis
kolonial dengan jalan meningkatkan produksinya. Namun demikian mereka tidak
merubah orientasi produksinya ke arah kapitalis sebagaimana perkebunan dan
hanya untuk mengukuhkan statu sosial lokal saja. Sementara itu petani
kebanyakan ternyata masih mempertahankan cara lama dalam usaha taninya.
Jadi cara produksi lokal pada dasarnya selama penjajahan tidak ada
perubahan yang berarti setelah masuknya cara produksi kolonial. Cara lama
tetap dipertahankan dan tumbuh hanya sekedar untuk mengamankan
perkebunan saja. Pertanian lokal hanya menjadi sumber pangan dan tenaga
kerja yang murah bagi perkebunan sehingga pertumbuhannya terbatas. Elit lokal
yang seharunya menjadi sumber perubahan ternyata hanya meningkatkan
produksi yang hanya berorientasi pada sistem sosial lokal.
Terkait dengan ketidakmampuan petani kaya untuk menjadi kapitalis
murni di masa kolonial ini tak lepas dari kebijakan politik Belanda. Menurut MHR
(sekdes 1946-1966) orang-orang kaya yang biasanya juga pamong desa
mendapat prioritas dari perkebunan. Mereka mendapat uang cuma-cuma dan
berbagai hadiah saat hari besar agama. Selain itu mereka dilibatkan aktif dalam
mengatur keberadaan buruh dan menjadi pembicara saat-saat panen atau
perayaan-perayaan yang dibiayai oleh perkebunan. Dengan peran demikian
maka dapat dimaklumi jika kesempatan ekonomi bagi elit ini tidak mampu
merubah orientasi ekonomi mereka sehingga tetap menjadi elit politik sekaligus
elit ekonomi lokal yang dikendalikan oleh perkebunan.
Perlu untuk dicatat bahwa sub-ordinasi cara produksi pertanian tradisional
hanya terjadi saat perkebunan dan pariwisata masih memiliki pengaruh. Masamasa itu berakhir setelah Jepang datang dan merubah seluruh tata produksi
desa, sehingga merusak berbagai pranata yang ada sebelumnya. Dengan
adanya revolusi kemerdekaan perubahan semakin nyata dengan keluarnya
seluruh pengusaha perkebunan karena proses nasionalisasi. Cara produksi
perkebunan praktis tidak mampu bangkit dan terjadi dis-kontinuitas. Sehingga
perkembangan cara produksi kapitalis berikutnya akan ditentukan oleh sifat-sifat
aktor yang membawanya, juga oleh perkembangan internal sistem sosial.
65
Moda Produksi dan Formasi Sosial Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada masa ini moda produksi yang hadir pada masa sebelumnya kembali
mengalami perubahan mendasar karena adanya gejolak politik nasional.
Revolusi nasional merombak seluruh sistem ekonomi lokal karena perkebunan
terhenti kegiatannya. Di awali penjajahan Jepang hingga berdiri pemerintahan
baru, sub-bab berikut menjelaskan peristiwa-peristiwa itu serta dinamika moda
produksi dengan lebih rinci.
Faktor-faktor Pendorong Perubahan
Kedatangan Penjajah Jepang
Perginya pengusaha perkebunan Belanda setelah pasukan Jepang
menang perang, mendorong para buruh mengusahakan lahan pertanian
sebagaimana para petani tradisional. Selain itu petani memiliki akses lahan lebih
luas karena perginya pengelola perkebunan. Namun demikian, pasukan Jepang
memaksa penanaman seluruh lahan perkebunan untuk kebutuhan perang
terutama pangan dan jarak. Pohon kina dibiarkan saja malah dikelola untuk
kebutuhan para tentara perangnya. Hingga tahun 1950-an pohon kina masih
diusahakan perkebunan meski tidak maksimal.
Penjajah Jepang tidak lama berkuasa, namun terjadi kerusakan tatanan
lokal
dan
sendi-sendi
ekonominya.
Dengan
paksaan
senjata
mereka
membangun pemerintahan desa dan memobilisasi seluruh sumberdaya desa
untuk keperluan perang. Menurut BJO (76), tentara Jepang tidak hanya
menyuruh menanam jarak tapi juga banyak kerja wajib yang dikoordinasi kepala
desa. Anak-anak diajari Taisho (senam pagi/baris berbaris) dan menghormat
(Teno Heika) Kaisar Jepang dengan bungkuk pagi hari di lapangan desa
menghadap matahari.
Pak KPN (79) mengatakan bahwa produksi pertanian saat itu buruk dan
kelaparan dimana-mana. Pakaian tidak lagi dari kain tapi digantikan dengan
celana kolor dari Bagor (Semacam sak pupuk) yang terbuat dari plastik. Banyak
kutu celana dan makanan tidak lagi beras, ketela, atau jagung tapi Burgur
(ampas jagung). Desa serasa mati, ekonomi tidak berkembang malah mengalami
penurunan. Barang mahal dan langka karena tidak ada penjual yang masuk
selain memang tidak ada barang. Kondisi buruk ini berakhir setelah Jepang kalah
perang pada tahun 1945 dan meninggalkan Indonesia.
66
Revolusi Nasional dan Rencana Ekonominya
Dengan tiba-tiba tahun 1945 Jepang pergi di TR begitu saja. Tidak ada
penyerahan kekuasaan apapun termasuk pengelolaan lahan perkebunan. Petani
akhirnya melanjutkan produksi sebagaimana sebelumnya dan menggantikan
tanaman jarak dengan jagung dan ketela. Mereka mengusahakan lahan sesuai
dengan kekuatan anggota keluarganya. Kondisi itu berubah dan aturan tentang
pengelolaan
lahan
perkebunan
mulai
jelas
saat
presiden
Soekarno
mengintruksikan seluruh rakyat Indonesia untuk kembali membangun ekonomi
nasional. Perintah itu juga diucapkan di TR saat presiden mengungsi bersama
wakil presiden dan para menterinya16.
Presiden Soekarno memerintahkan kepada rakyat untuk tidak sedikitpun
mengosongkan lahan yang ada, baik itu milik pribadi maupun bekas perkebunan.
Semuanya harus berproduksi untuk menyokong ekonomi nasional yang telah
hancur. Secara nasional hal itu dikenal dengan “rencana Kasimo” dan ujung
tombaknya adalah sektor pertanian. Di TR pidato presiden Soekarno dari Hotel
Selecta (ada di kawasan wisata Selecta) menjadi pemacu mereka untuk
mengusahakan lahan-lahan bekas perkebunan di samping lahan pribadi. Hal itu
juga memberi kesempatan bagi para bekas buruh untuk melakukan hal sama.
Belanda kembali lagi tahun 1948 dan langsung melakukan konsolidasi
dengan mengangkat kepala desa baru. Namun sayang kepala desa itu harus
mati dibunuh oleh rakyat, dan terpaksa dilakukan pilihan ulang. Baliknya Belanda
juga sangat singkat-selain factor keamanan, kondisi politik yang tidak menentu
mendorong swasta Belanda untuk merelakan asetnya hilang begitu saja.
Tahun 50-an dengan kepergian Belanda penguasa perkebunan kembali
kosong dan negaralah yang mengambil alih. Beberapa daerah di Indonesia
tanah-tanah itu dikelolakan pada PTPN yang dulu PPN, namun untuk
perkebunan di TR rupanya lebih dipercayakan pada AURI. Menurut perencanaan
katanya untuk lapangan terbang dan fasilitas militer lainnya. AURI ini selanjutnya
mencoba menghidupkan kembali perkebunan dengan membuka peternakan dan
mengusahakan kembali kina di sana. Jadi, hingga tahun 1950 perkebunan
praktis tidak beroperasi dengan baik bahkan berhenti total, sehingga kegiatan
ekonomi utama di TR hanyalah pertanian rakyat saja.
16
Presiden Soekarno pernah menginap di TR sewaktu dikejar-kejar oleh Belanda bersama
Mohamad Hatta dan para menterinya serta mengendalikan pemerintahan dari sana. Saat itu
Sokarno berpidato bahwa rakyat tidak boleh tinggal diam dan harus bergerak membangun
ekonomi dengan menanami seluruh tanah yang kososng termasuk bekas perkebunan.
67
Peran Pengusaha Pertanian Cina
Percepatan komersialisi cara produksi tradisional terjadi saat Cina mulai
mengenalkan tanaman kentang di daerah itu. Salah satu pengusaha Cina yang
masih hidup hingga saat ini adalah PNO (71) , ALG (87). Mereka merekut orang
dari luar daerah untuk menjadi buruh terutama untuk daerah-daerah yang masih
sepi seperti Sumberbrantas, sementara untuk daerah Junggo dan sekitarnya
Cina juga merekut penduduk lokal. Introdusir cara produksi komersil terjadi, juga
jenis tanamannya dan penduduk dapat belajar dan mencoba sekaligus. Hal ini
berbeda dengan masuknya perkebunan kina dimana penduduk tidak mungkin
meniru karena pasarnya yang tidak mereka ketahui dan memang terbatas.
Petani kebanyakan menikmati berkah kentang dengan cara “ngasak” atau
mencari sisa-sisa panen kentang yang tidak terbawa saat panen. Mereka pada
awalnya sulit untuk mendapatkan bibit karena pengusaha Cina membawa
langsung dari luar negeri, dan petani belum dapat membiakkan. Setelah tanaman
mulai banyak dan Cina ternyata juga membiakan sendiri bibitnya di TR petani
mulai tahu cara pembiakan bibit. Jadi pertanian kentang dibawa langsung oleh
pengusaha Cina saat perkebunan Teh dan Kina mulai rusak di tahun 50-an.
Selain mengenalkan tanaman komersil yang sangat dekat dengan pasar
luar, pengusaha Cina juga mengenalkan cara produksi komersil. Upah dan sewa
lahan yang sebelumnya kurang lazim semakin banyak orang yang melakukan.
Buruh-buruh yang telah mandiri dan berkeluarga dengan penduduk asli adalah
pelopor pengupahan dan sewa menyewa tanah. Kekuatan produksi didapatkan
tidak lagi hanya melalui pewarisan atau pembelian dan pembukaan lahan-lahan
baru tapi melalui penyewaan. Menurut sumber informasi penelitian ini, di tahun
50-60-an belum ditemui sistem gadai.
Relasi sosial produksi yang dibangun pengusaha Cina pada dasarnya
menggunakan cara-cara produksi kapitalis murni. Ia memposisikan sebagai
juragan sementara para buruh adalah pekerja upahan yang ia gaji sesuai dengan
pasar tenaga kerja. Juga dikenal sistem mandor sebagai pengawas produksi
yang biasanya orang kepercayaan juragan. Jam kerja menjadi ukuran utama,
dan pengawasan ketat terhadap target produksi, bahkan untuk kerja-kerja
tertentu telah ada sistem insentif seperti lembur dan bonus. Lembur terutama
dikenakan untuk kerja panen dan tanam yang harus dilakukan serentak. Bonus
68
diberikan pada buruh “mbangkat” yang membawa barang dari kebun hingga ke
pasar, paling tidak ke tempat dimana kendaraan dapat menjangkau 17.
Tenaga kerja terdiri dari dua golongan yakni orang dalam yang tidak
punya tanah dan orang luar “boro kerjo” yang datang dari berbagai daerah
seperti Ponorogo, Blitar, Pujon, Kediri dan daerah Malang Selatan. Pekerja ini
tinggal di bedeng-bedeng, dan banyak yang menginap di rumah penduduk. Para
Boro pulang ke kampungnya hanya saat-saat tertentu biasanya hari raya, bahkan
banyak diantaranya tidak pulang selama bertahun-tahun. Jika pulang ia akan
membawa teman-temannya atau saudara untuk bekerja bersama. Dengan
semakin besarnya kebutuhan kentang kebutuhan tenaga kerja saat itu besar dan
berapapun yang dibawa boro lama akan tertampung.
Dari tahun ke tahun perkembangan pertanian komersil ini semakin
meningkat dan lahan bekas perkebunan semakin berkurang. Pembukaan
dilakukan besar-besaran secara terus menerus dan etnik Cina juga semakin
banyak yang terjun ke pertanian. Tenaga kerja juga semakin banyak didatangkan
hingga terkenal daerah TR adalah tempat boro yang paling menjanjikan.
Jangankan mau bekerja, menjadi pemungut sisa panen saja akan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu terkenalnya wilayah ini sebagai pusat
pertanian, mendatangkan banyak imigrant masuk untuk bekerja juga berdagang.
Lama kelamaan pedagang juga masuk dan membeli hasil pertanian
kentang. Selain itu jagung juga mulai menjadi komersil meski keuntungan tidak
sebesar kentang. Pedagang datang secara berkala dan hanya satu dua orang
saja. Itupun yang dibeli adalah kentang sisa panen tertinggal yang dikumpulkan
petani. Kentang bukan makanan utama sehingga jarang penduduk yang suka
memakannya hingga saat ini. Meski mereka hanya mengambil sisa, tujuannya
bukan untuk konsumsi tapi untuk dijual.
Tipe -tipe Moda Produksi yang Hadir pada Formasi Sosial Lokal
Kapitalis Pertanian
Moda produksi kapitalis pertanian di TR pada awal kemerdekaan,
diartikulasikan pada usahatani pengusaha Cina. Alat produksi utama modal, unit
produksi organisasi produksi, tenaga kerja utama buruh upahan. Modal bagi
17
Mbangkat adalah istilah bagi para kuli angkut yang membawa hasil panen juga sarana produksi
dari tempat pemberhentian kendaraan bermotor terakhir juga pasar. Mereka biasanya membawa
pikulan dengan dua keranjang yang mebawa barang hingga 1 kwintal. Mbangkat paling berat
adalah medan ke Sumberbrantas yang jauhnya mencapai 6 kilometer dengan jalan yang
bergunung. Jalur untuk mbangkat ini sekarang menjadi jalur tiang listrik karena rutenya yang lurus
dan paling pendek.
69
pengusaha Cina digunakan untuk mendapatkan sewa tanah dan biaya
operasional usahataninya. Tanah didapatkan melalui pejabat lokal dan tentara,
terutama pada tanah-tanah bekas perkebunan. Pada saat itu tanah pertanian
umum belum menjadi sasaran pengusaha Cina karena ketersediaan lahan
perkebunan masih luas. Bahkan Cina hanya mengambil tanah-tanah yang paling
subur di daerah yang mudah terjangkau.
Sementara itu hubungan sosial produksi terbatas pada organisasi
produksi. Struktur hubungan sosial produksi herarkhis, dan sifat hubungan
produksi eksploitatif. Pengusaha Cina menjalankan usahanya sangat terpisah
dengan keluarga dan menggunakan organisasi yang cukup rumit. Mandor dan
pengawas lapang diangkat untuk mendatangkan dan menggerakkan buruh yang
jumlahnya dapat ratusan. Ada tingkatan-tingkatan yang memperlihatkan struktur
herarkhis sehingga kecenderungan sifat hubungan produksi eksploitatif.
Beberapa pengusaha Cina hingga saat ini masih hidup sekitar tujuh orang yang
usaha taninya diteruskan oleh anak-anaknya.
Pertanian Semi-komersil
Usahatani rakyat pada masa ini alat produksi masih bertumpu pada
tanah, unit produksi keluarga inti, dan tenaga kerja utama dari keluarga luas dan
buruh upahan. Tanah mereka dapatkan dari warisan orang tua mereka sebelum
perkebunan berdiri. Tanah sudah menggunakan hak milik pribadi semenjak
pemberlakuan tanah milik di Jawa tahun 1870-an. Tanah-tanah itu menyebar di
sekitar perkebunan pada perkampungan-perkampungan yang tidak besar.
Produksi dikerjakan masih oleh keluarga inti meski petani-petani kaya banyak
yang mempekerjakan buruh upahan sebagaimana pengusaha Cina. Usaha
mereka tidak kemudian meluas menjadi usaha bersifat massal sebagaimana
usaha etnik Cina, dan hanya kecil saja sesuai dengan kepemilikan lahannya.
Hubungan produksi. Batas sosial hubungan adalah organisasi produksi
yang melibatkan petani sendiri, buruh, juga keluarga luas yang bekerja padanya.
Dengan adanya buruh upahan, struktur hubungan produksi herarkhis antara
pemilik dan pekerja, meski masih ada kerabat yang mungkin tidak menjadi buruh
upahan. Kerabat ini membantu biasanya akan dibalas dengan bantuan serupa
oleh petani pemilik dan kalaupun diupah dibayar dengan natura. Sementara itu
karena kentang termasuk tanaman bukan dikonsumsi utama, seluruhnya masuk
pada mekanisme pasar. Keuntungan menjadi tujuan utama produksi sehingga
eksploitatiflah sifat hubungan produksinya. Buruh diupah dengan harga pasar,
sementara kentang ditentukan oleh harga pasar yang bisa lebih mahal dari harga
70
buruh juga bisa lebih murah, dimana marjin ini tidak lalu dibagi pada seluruh
buruh tapi untuk pemilik kekuatan produksi.
Pertanian Tradisional
Produksi pertanian tradisonal ini mencakup petani-petani yang tidak
mampu mengakses usaha tani kentang dan tetap menanam tanaman pangan.
Mereka juga tidak berorientasi pada pasar sebagaimana petani lainnya dan lebih
memilih mengamankan pangan untuk keluarga dan sedikit pertukaran. Mereka
sebenarnya juga bersentuhan dengan usaha tani swasta namun karena
keterbatasan modal dan juga lahan tidak memungkinkan menjadi kapitalis.
Kekuatan produksi mereka tetap tahan milik yang diperoleh dari
pewarisan. Unit produksi keluarga inti demikian juga tenaga kerja yang
diorganisir seluruhnya anggota keluarga. Hubungan produksi dengan demikian
masih egaliter karena batas sosial produksi juga masih dalam keluarga. Dengan
sendirinya hubungan demikian tidak bersifat eksploiatif. Petani dengan ciri
demikian di TR hingga tahun 1950-an masih banyak dan dominan.
Petani-petani yang masih memperlihatkan ciri-ciri cara produksi pertanian
tradisional kebanyakan adalah petani lokal. Mereka tidak begitu terpengaruh
karena orientasi yang masih melihat kedalam untuk kepentingan keluarga.
Keluarga-keluarga ini juga banyak yang masih mengantih (menenun kain)
bahkan hingga tahun 1950. tanaman yang diusahakan juga hanya jagung dan
ketela dan tidak menanam tanaman komersil. Mengenai artikulasi tiga moda
produksi diatas hingga tahun 1950 dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.3 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan kapitalis
pada masa awal kemerdekaan
Aspek cara produksi
Pertanian
Pertanian Semi- Kapitalis pertanian
tradisonal
komersil
(Pengusaha Cina)
(petani kecil)
(Petani kaya )
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Tanah
Modal
2
Unit produksi
Keluarga inti
Keluarga inti
Organisasi produksi
3
Tenaga kerja utama
Keluarga inti
Keluarga
buruh
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial
hubungan produksi
Keluarga inti
Organisasi
produksi
Organisasi produksi
2
Struktur hubungan
produksi
Egaliter
Semakin
herarkhis
Herarkhis
3
Sifat hubungan
produksi
Tidak eskploitatif
Semakin
eksploitatif
Eksploitatif
luas
&
Buruh upahan
71
Perubahan Moda Produksi Lokal: Dari Pertanian Tradisional Menuju SemiKomersil
Pertanian intensif pengusaha Cina berdampingan dengan pertanian
tradisional yang diusahakan petani lokal. Sentuhan langsung ini memungkinkan
terjadinya transformasi keahlian. Hasilnya lama-kelamaan petani juga menanam
tanaman sayur meski jumlahnya sedikit. Mereka masih menggunakan tenaga
kerja keluarga dan sayur hanya tanaman sela saja. Namun karena permintaan
yang besar maka petani akhirnya beralih menanam kentang. Kedatangan
pedagang yang ke desa membuka kran pasar bagi petani yang dulunya tertutup.
Selain itu di pasar lokal kentang juga telah menjadi komoditas yang cukup laku.
Seiring dengan itu maka perlahan pertanian komersil juga mulai ditiru oleh para
petani lokal. Pergaulan dengan para buruh, juga perkawinan yang terjadi diantara
mereka semakin membuka peluang kearah itu.
Pada mulanya, kentang masih menjadi tanaman utama sementara wortel
dan kol menjadi tanaman sela. Usaha juga dilakukan kecil-kecilan dengan pasar
yang juga sangat terbatas, dan pedagang mulai masuk dan penjualan sayur
semakin mudah. Hal ini mendorong penduduk untuk mulai menanam tanaman
sayur agak luas. Namun demikian karena kurangnya keahlian dan akses pasar
lemah, pertanian yang diusahakan oleh penduduk kurang berhasil.
Namun
paling tidak kedatangan pengusaha Cina ini meninggalkan keahlian khusus yang
sebelumnya tidak pernah diperoleh dari Belanda meski di TR ratusan tahun.
Pada awal-awal pembukaan perkebunan, hadirnya pengusaha Cina di TR
tidak bermasalah dalam perkembangan ekonomi desa. Hal itu terkait dengan
lahan pertanian yang cukup luas, selain ketertarikan masyarakat lokal dalam
usaha pertanian komersil belum besar. Sebelumnya meski sudah ada
peningkatan produksi dan komersialisasi, tidak pernah muncul akumulasi kapital
dalam masyarakat. Dengan demikian orientasi akumulasi tidak berjiwa kapitalis
tapi tetap tradisional dan melihat ke dalam. Hal ini penting bagi keberlangsungan
perkebunan, terutama dalam penyediaan tenaga kerja dan lahan.
Sentuhan cara produksi kapitalis pertanian yang dibawa Cina pada
beberapa sisi mampu mengubah corak pertanian tradisonal, namun pada sisi lain
banyak yang tidak berubah. Meski modal dibutuhkan dalam proses produksi,
terutama untuk keperluan bibit dan upah kerja, tanah tetap menjadi alat produksi
utama dalam usahatani rakyat. Unit produksi juga masih pada keluarga inti,
sementara tenaga kerja utama berasal dari keluarga luas dan buruh. Jadi
72
kekuatan produksi hanya pada tenaga kerja saja yang mengalami perubahan,
tidak lagi bertumpu pada kerabat dan keluarga, tapi berpindah pada buruh.
Untuk relasi sosial produksi batas sosial hubungan produksi tidak
berubah masih dalam lingkup organisasi produksi, sementara struktur hubungan
produksi semakin herarkhis sebagai konsekwensi semakin banyaknya buruh
yang bekerja. Dengan demikian sifat hubungan yang terjalin eksploitatif karena
ekstraksi buruh semakin besar dilakukan oleh petani. Secara sederhana
perubahan itu dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5. 4 : Perubahan aspek cara produksi pertanian tradisional di TR awal
kemerdekaan
Aspek cara
produksi
Masa kolonial
Pertanian
semi-komersil
Masa awal kemerdekaan (19451950)
Pertanian
tradisional
Pertanian
semi-komersil
Pertanian
tradisional
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
2
Unit produksi
Keluarga inti
Keluarga inti
Keluarga inti
Keluarga inti
3
Tenaga kerja
utama
Keluarga luas
(kerabat)
Keluarga inti
Keluarga luas
dan buruh
Keluarga inti
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial
hubungan
produksi
Organisasi
produksi
Keluarga inti
Organisasi
produksi
Keluarga inti
2
Struktur
hubungan
produksi
Mulai
herarkhis
Egaliter
Semakin
herarkhis
Egaliter
3
Sifat hubungan
produksi
Mulai
eksploitatif
Tidak
eksploitatif
Semakin
eksploitatif
Tidak
eksploitatif
Perubahan pada berbagai aspek moda produksi di atas, tentu saja akan
merubah ciri-ciri cara produksi pertanian yang tampak kemudian. Dengan
mempekerjakan buruh pada proses produksi dengan demikian batas hubungan
produksi tidak lagi pada keluarga inti tapi pada organisasi produksi. Ini berarti
pertukaran tidak lagi hanya didasari oleh kerjasama dan harus ada imbalan
sehingga upah menjadi penting. Hubungan kontraktuallah yang berkembang
daripada primordial sehingga hak dan kewajiban dari buruh dan majikan jelas.
Jika demikian adanya, produksi harus mampu melampui keluaran petani
dan pasar menjadi tumpuan. Orientasi produksi dengan demikian lebih untuk
mencari keuntungan daripada melayani sistem sosial. Kewajiban-kewajiban
tertentu masih ada tapi menjadi bagian kecil dari seluruh tujuan produksi. Secara
sederhana perubahan ciri-ciri tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
73
Tabel 5.6 : Kecenderungan perubahan ciri-ciri cara produksi yang berkembang pada
sistem sosial lokal pada masa awal kemerdekaan
Artikulasinya
Ciri-ciri cara produksi
Masa kolonial
Awal kemerdekaan (19451950)
Berorientasi pada kebutuhan
sistem kapitalis
Berorientasi pada kebutuhan
sistem kapitalis
Memenuhi kebutuhan
keluarga, buruh perkebunan,
mulai komersil
Pada keselarasan dengan
lingkungan sosial
Keluarga sebagai unit
produksi
Tanah milik pribadi tapi
memiliki tanggungjawab
sosial
Balance
Memenuhi kebutuhan
keluarga dan untuk dijual
Elemen yang terlibat
dalam proses produksi
Petani dan keluarga, kerabat,
buruh upahan, dan sesepuh
desa.
Petani-buruh-kerabat
Mekanisme petukaran
Tukar-menukar melalui
pasar, kecuali dalam jaringan
kerabat
Tukar menukar melalui pasar
Basis kerjasama
Hubungan kontraktual
dengan adanya buruh
Hubungan kontraktual
Relasi sosial produksi
Mulai mengenal system upah
Sistem upah semakin biasa
Sifat relasi sosial
produksi
Sumber buruh
Mulai bersifat herarkhis dengan
adanya buruh upahan
Dari sistem sosial secara
luas, meski kerabat ada
Mulai eksploitatif
Kedekatan dan ketrampilan
Herarkhis karena buruh
semakin banyak
Dari sistem sosial secara
luas
Semakin eksploitatif
Ketrampilan
Penguasaan kekuatan
produksi terutama lahan
Penguasaan kekuaan
produksi terutama lahan
Petani kaya
Pengusaha cina
Kelembagaan produksi
Nilai yang mengatur
orientasi produksi
Nilai yang mengatur
tujuan produksi
Nilai yang mengatur
organisasi produksi
Nilai yang mengatur
penguasaan kekuatan
produksi
Tipe/bentuk pertukaran
ekonomi
Relasi kekuasaan
Sumber
kekuasaan
buruh
Sumber kekuasaan
majikan
Kekuasaan dominan
Pada nilai kapitalis meski
melihat lingkungan sosial
Keluarga sebagai unit
produksi
Tanah milik pribadi unt uk
mencari keuntungan
Mulai negatif
Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan keberlangsungan
Moda Produksi Lokal
Berbagai peristiwa setelah Belanda pergi, moda produksi yang hadir
dalam struktur ekonomi lokal menjadi tiga tipe. Moda produksi lokal terdiri dari
pertanian semi-komersil dan sisa-sisa pertanian tradisional, sementara muncul
cara produksi baru yakni kapitalis pertanian yang dibawa oleh pengusaha Cina.
Ketiganya saling berhubungan membangun sebuah formasi sosial.
Tiga cara produksi ini tidaklah berdiri sendiri, karena masing-masing
memiliki ketergantungan. Pertanian tradisional meski mengusahakan kentang,
74
jumlah jagung dan ketela lebih besar. Ini merupakan sumber pangan bagi buruhburuh kebun yang didatangkan pengusaha Cina. Tumbuhnya peranian
pengusaha Cina didukung sepenuhnya oleh produksi pangan petani tradisional
maupun petani semi-komersil. Namun demikian yang paling menyumbang
banyak terhadap kelangsungan pertanian pengusaha Cina adalah petanian
tradisional, karena ia sepenuhnya menanam tanaman pangan.
Dengan sistem upah, pertanian tradisional merupakan penyedia tenaga
kerja murah. Pembukaan lahan kebun teh dilakukan petani lokal dan buruh
dengan cara borongan. Meski mendapatkan keuntungan dengan masuknya
ketang, petani tetap memprioritaskan tanaman jagung dan ketela. Ini merupakan
subsidi yang besar untuk menjamin keberlangsungan usaha etnik Cina.
Hal menarik dalam periode ini dimana para petani kaya yang dulunya
telah komersil pada jaman kolonial mulai berubah orientasi produksinya.
Perlahan mereka mulai menanam kentang dalam jumlah yang cukup besar
terutama di daerah-daerah bawah seperti Junggo dan Gerdu, serta sebagian
Gondang. Pertumbuhan ini cenderung terus berlanjut mengingat kentang
semakin biasa ditanam penduduk meski tidak menjadi tanaman utama. Beberapa
responden mengatakan jika waktu itu sekitar tahun 1948-an sudah ada
pedagang-pedagang pengumpul di Junggo meski hanya sekali seminggu.
Mana yang dominan dan mengendalikan seluruh proses produksi? Jika
kita melihat pertanian lokal dari tanaman yang ditanam dan jaringan pasar yang
dibangun jelas tidak mungkin. Tanaman pangan hanya untuk konsumsi lokal dan
melayani cara produksi lain yang tidak memiliki kekuatan untuk mampu merubah
cara produksi lainnya. Meski mereka sudah bersentuhan dengan pasar, sifatnya
masih terbatas. Volume produksi kentang tidak sebanyak pengusaha Cina,
sehingga yang memiliki pengaruh kuat adalah pengusaha Cina.
Jika pengusaha Cina, kita tahu mereka yang paling pertama menangkap
peluang usaha pertanian komersil dengan memanfaatkan aset Belanda yang
kosong. Ia juga memasukan tanaman komersil dan membudidayakan secara
luas berdampingan dengan tanaman pangan petani. Akhirnya petani secara
perlahan juga mengadopsi cara ini, hingga benar-benar menggantikan saat
pengusaha Cina terusir. Teknologi budidaya, pasar, dan organisasi produksi
seluruhnya diwariskan pada seluruh petani tradisional.
Apa yang terjadi dengan cara produksi pariwisata? Jaman kacau tidaklah
mungkin wisata dapat hidup dan berkembang. Praktis saat-saat kemerdekaan
75
pariwisata rusak dan tidak ada aktifitas ekonomi dari sana. Selain itu pada masa
itu penikmat obyek wisata adalah Belanda yang telah pergi meninggalkan
seluruh asetnya, termasuk Selecta. Jadi pengaruhnya dalam menentukan corak
formasi sosial sangatlah kecil.
Dari uraian di atas, terlihat cara produksi kapitalis memiliki pengaruh
paling besar pada struktur ekonomi lokal. Cara produksi yang ada sebelumnya
seperti pertanian semi-komersil dan tradisional seluruhnya tumbuh untuk
mendukung cara produksi kapitalis pertanian. Peran perkebunan sebagai
dominator sebelumnya digantikan oleh pertanian pengusaha Cina. Jadi secara
perlahan jumlah petani tradisonal dan semi-komersil menurun digantikan oleh
kapitalis pertanian baik oleh pengusaha Cina maupun oleh petani kaya yang
mulai melakukan akumulasi.
Setelah kemerdekaan terjadi perubahan mendasar pada dua cara
produksi lokal yang sebelumnya hadir dalam struktur ekonomi lokal. Cara
produksi pertanian semi-komersil muncul dan memiliki peran semakin besar.
Petani-petani tradisional semakin banyak yang menjadi semi komersil apalagi
setelah pengusaha Cina mengusahakan tanaman kentang. Petani tradisional
semakin kecil jumlahnya, dan hanya tinggal di daerah-daerah pinggiran desa
yang semakin hari semakin habis.
Sementara petani tradisional berubah, petani kaya mulai merubah
orientasi produksinya. Meski masih menerapkan cara produksi semi-komersil,
mereka lebih maju dibanding dengan petani kebanyakkan. Diantara mereka
masih mengusahakan tanaman pangan, namun kentang juga menjadi tanaman
penting. Semakin hari tanaman kentang semakin bertambah luas apalagi
dengan masuknya pedagang perantara di TR. Cara-cara bertani pengusaha
Cina juga mulai mereka tiru meski tidak seluruhnya.
Jadi cara produksi lokal telah berubah menjadi dua ciri yakni pertanian
semi-komersil yang diartikulasikan oleh petani kaya dan pertanian tradisional
yang dilakukan oleh petani kebanyakan. Cara produksi pertanian semi-komersil
cenderung mendominasi karena semakin banyak petani kebanyakan yang
menggunakannya. Sementara itu pertanian tradisional semakin kehilangan
pengaruhnya hingga berakhirnya penjajahan meski aktor-aktor ekonomi yang
bermain di TR telah berganti.
76
Moda Produksi dan Formasi Sosial Selama Orde Lama (1950-1965)
Pada masa ini moda produksi pertanian menunjukkan kemapanan karena
para petani mulai mengikuti teknik bertani pengusaha Cina. Petani kaya perlahan
mengusahakan kentang sebagai tanaman komersil secara luas. Mereka juga
melakukan akumulasi lahan pertanian dan menguasai pasar kentang. Di sisi lain,
petani kebanyakan juga melirik kentang untuk menggantikan tanaman pangan
terutama petani bekas buruh kebun. Lahan hasil nasionalisasi menjadi kekuatan
produksi utama mereka, sehingga pada akhir-akhir periode pengusaha Cina
terdesak dan mencari konsesi baru dengan tentara.
Faktor-faktor Pendorong Perubahan
Bekerja dan Belajar Bersama Pengusaha Cina
Pengusaha Cina merekut buruh dari luar daerah, seperti Ponorogo,
Kediri, Tulungagung, Blitar, atau daerah Malang Selatan yang tandus. Buruh
bekerja mulai dari membongkar lahan perkebunan Teh dan Kina, mengolah,
hingga menanam, memelihara, memanen, bahkan mengangkutnya ke pasar.
Penduduk lokal juga direkut menjadi buruh upahan sebagaimana buruh dari luar
daerah. Keterlibatan penduduk lokal ini menjadi media belajar membudidayakan
tanamam komersial. Petani-petani kaya yang memiliki modal mengikuti jejak
pengusaha Cina mengusahakan tananam kentang. Bibit harus dibeli dengan
harga mahal selain penjualan masih jauh di kota yang tidak mungkin dilakukan
petani kecil.
Ketang pada awalnya hanya dibudidayakan petani-petani kaya yang
biasanya juga para pemimpin desa. Petani pada dasarnya terdiri dari dua
kelompok besar yakni petani bekas para pekerja perkebunan dan petani asli.
Petani-petani kaya pada saat itu masih didominasi oleh penduduk asli.
Merekalah yang meniru dulu, sebelum akhirnya para petani bekas pekerja
perkebunan juga melakukan hal yang sama sekitar tahun 1953.
KPN (79), mengatakan kebanyakan petani ikut menjadi pekerja
pengusaha Cina untuk menambah pengasilan. Jagung dan ketela yang
diusahakan tidak perlu dijaga terus sehingga banyak waktu luang. Kebanyakan
dari mereka ikut dalam borongan pembongkaran lahan kebun dan pengolahan
untuk ditanami kentang. Petani kebayakan mulai membudidayakan kentang
meski untuk keperluan sendiri di pematang-pematang sawah. Beberapa petani
kaya ada lima orang yang menamam kentang tapi luasnya masih sempit. Saat itu
pedagang kentang yang datang ke desa hanya mampu membeli sedikit karena
77
sulitnya jalan masuk. Mereka biasanya hanya membeli hasil mengasak
(memungut sisa) petani di lahan bekas ketang pengusaha Cina.
Keterlibatan penduduk dengan pertanian kentang telah menambah
ketrampilan mereka secara teknis. Pasar ketang yang sebelumnya sulit diakses
oleh petani lokal perlahan menjadi mudah. Pedagang ketang telah masuk ke
desa meski dalam jumlah dan skala kecil. Kedatangan mereka menambah
volume perdagangan kentang di tingkat petani. Setidaknya mulai tahun 1955
petani-petani kaya sudah mulai menanam ketang dalam jumlah besar dan
mempekerjakan banyak buruh. Tahun-tahun berikutnya mereka menanam
ketang tidak lagi untuk selingan tapi sudah menjadi tanaman utama. Untuk petani
kecil tanaman utama mereka masih jagung dan ketela.
Kentang termasuk tanaman mahal dan memerlukan biaya tinggi. Hal ini
tidak memungkinkan seluruh petani meniru dengan begitu saja, selain juga
karena masalah budaya. Petani kecil jarang menanam dan kalaupun ada para
bekas pekerja perkebunan yang lama bekerja di pengusaha Cina dan itupun
jumlahnya masih terbatas. Namun demikian, kentang telah menjadi bagian cukup
penting dalam ekonomi desa, apalagi untuk masa-masa selanjutnya.
Ketegangan Politik dan Stagnasi Ekonomi
Di samping perkembangan yang mulai baik di sektor pertanian, dalam
komunitas desa masih tersisa beberapa permasalahan. Berhentinya dua
perkebunan besar di TR yakni kina dan teh menyisakan ribuan buruh yang tidak
tentu kemana nasibnya. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah bertani karena
industri belum berkembang. Penduduk lokal juga berkembang sehingga
menambah beban ekonomi. Kebangkrutan ekonomi nyata dirasakan. Seiring
dengan merosotnya ekonomi desa tanda-tanda kekacauan politik sudah mulai
nampak dipermukaan. Para buruh perkebunan memang terserap pengusaha
Cina namun tentu saja sangat kecil jumlahnya.
Perkebunan di TR sebenarnya oleh pemerintah masih diusahakan tetap
berdiri untuk dapat berproduksi dan menyerap tenaga kerja. TNI-AU yang
berpangkalan di Lanud Abdulrahman Saleh mendapat tugas memulihkan kondisi
dengan melakukan revitalisasi fungsi perkebunan. Kenyataannya tidak satupun
dapat diselamatkan, malah tanah banyak yang rusak dan menjadi hutan liar.
Penyelamatan bekas kebun teh tidak mungkin karena telah dibongkar seluruhnya
oleh etnik Cina dan penduduk. Untuk tanaman kina masih dapat dikelola meski
tidak menghasilkan kentungan yang baik.
78
Secara
nasional,
kembalinya
PKI
pada
kancah
politik
setelah
pemberontakan tahun 1948 di Madiun mendapat respon positif di mata rakyat.
Perolehan suaranya cukup signifikan di Pemilu tahun 1955 dan menjadi
pemenang ke empat, hanya sedikit lebih kecil dari NU. Petani dan buruh
merupakan isu utama dimana land reform sebagai platfom perjuangan partai.
Dengan suara yang ada di parleman dan pendukung yang luas di pedesaan, isuisu tanah menjadi bahan kampanye utama mereka. Di TR, tanah-tanah
perkebunan yang luas dan tidak terurus merupakan sasaran utama.
Imbas paling penting aktifitas politik PKI dalam perekonomian adalah
kampanye BTI dan gerakan pembukaan lahan perkebunan. Sasaran utama
mereka tentu saja mengarah pada pengusaha Cina yang mendapat konsesi
pada tanah-tanah negara. Intrik politik dilancarkan hingga akhirnya pengusaha
Cina terpaksa meninggalkan seluruh asetnya terutama di daerah-daerah bekas
perkebunan teh. Beberapa masi bertahan di daerah bekas perkebunan kina
namun jumlahnya juga semakin kecil.
Masa-masa gejolak politik, dan kepergian pengusaha Cina dari TR
merubah dengan cepat formasi penguasaan kekuatan produksi terutama tanah
dan tenaga kerja. Tanah dan aset-aset pengusaha Cina dikuasai oleh para
pekerja dan penduduk asli. Para pekerja yang dulunya menjadi hamba, sekarang
telah memiliki kekuatan produksi sendiri sehingga kelangkaan tenaga kerja
terjadi. Saat itu krisis memang sudah sangat memuncak, dan produksi pertanian
sepertinya tidak berhasil dengan baik. Di beberapa tempat bahkan banyak yang
menderita kekurangan pangan termasuk juga di TR. Meski kekuatan produksi
dikuasai rakyat, sebenarnya tidak menambah produksi. Kegagalan panen, hama
tikus, dan kekeringan melanda TR berkepanjangan.
Desa saat itu sedang dalam ketegangan yang luar biasa karena adanya
konsolidasi berlebihan dari kekuatan-kekuatan politik. Pengkaderan masuk
hingga ke dusun-dusun bahkan langsung ke keluarga-keluarga petani dengan
jalan menawarkan programnya. Tanah menjadi isu utama PKI, dan langsung
mendapat sambutan yang cukup bagus dari masyarakat. Di sisi lain ketahanan
pangan penduduk sebenarnya mulai goyang karena perubahan orientasi
produksi sejak masuknya tanaman kentang. Tanaman kentang tergantung pada
kondisi ekonomi di luar desa, yang secara nasional sedang terpuruk. Meski
harga baik, barang sulit didapatkan terutama bahan pangan.
79
Jika diberi kurva, puncak ketegangan politik dan stagnasi ekonomi di
pedesaan terjadi saat operasi penumpasan PKI ditingkat desa. Operasi
penangkapan terhadap pengikut PKI dan ormasnya, meresahkan seluruh rakyat.
Banyak para aktifis partai ditangkap dan dibunuh, sebagian besar anggota yang
tidak tahu juga mendapatkan perlakukan serupa. Perlu diketahui desa TR
merupakan basis PKI karena banyaknya bekas-bekas buruh perkebunan dan
pengusaha Cina yang tidak memiliki tanah pertanian. Mereka masuk karena
program utama PKI adalah tanah untuk rakyat.
Kegiatan pertanian praktis berhenti dan desa mati saat peristiwa PKI.
Ketegangan terjadi hingga bertahun-tahun dimana seluruh kegiatan politik praktis
terhenti. Trauma GESTOK bahkan tidak hilang hingga saat ini, terutama bagi
para anak bekas anggota PKI. Di TR secara resmi masih ada 350 orang yang
dicatat sebagai bekas Tapol (Tahanan Politik). Ini adalah jumlah yang cukup
besar karena sebagian yang lain banyak yang telah mati, tertangkap atau
melarikan diri. Beberapa orang bahkan menyebut masa-masa itu hidup seperti
sapi dalam kandang yang setiap saat dapat saja dijemput untuk di penggal.
Kepala desa TR, Pak MR bahkan harus lengser dari kepemimpinan
padahal ia telah menjabat dari tahun 1932. Saat agresi militer Belanda kedua
tahun 1947-1948, beliau mengungsi karena tidak sepakat dengan kembalinya
Belanda menguasai perkebunan. Ia kembali dari pengungsian dan menjabat
sebagai kepala desa hingga akhirnya harus turun setelah PKI meletus. Soekarno
jatuh, tentara memegang kendali kekuasaan di TR, dan mengangkat seorang
karateker P. Mulyono hanya selama dua bulan, dan digantikan lagi oleh P.
Soekaryo sebagai karateker kepala desa hingga tahun 1972.
Praktis perkembangan ekonomi terhenti, bahkan bertani hanya untuk
mempertahankan
diri saja. Terjadi perubahan formasi penguasaan kekuatan
produksi secara radikal dengan perginya petani-petani penggarap yang
sebelumnya menduduki tanah perkebunan. Selain banyak yang mati dan
ditangkap sebagai tahanan politik, banyak diantaranya yang pergi meninggalkan
desa. Tanah-tanah perkebunan kembali tak tergarap, dan kembali menjadi hutan.
Tanah yang dikuasai rakyat kembali pada posisi semula, sementara tanah
perkebunan dikembalikan pada Negara. Pengusaha Cina tidak berani kembali
berusaha tani, dan Negara melalui tentara menjadi pengatur utama.
Pada masa-masa itu seluruh kegiatan ekonomi desa berhenti dan tidak
terjadi perubahan signifikan hingga tahun 1970-an. Petani lokal telah
80
sepenuhnya memiliki orientasi produksi untuk pasar sejak pengusaha Cina pergi.
Masa-masa pengolahan hasil pembagian lahan perkebunan merupakan tahap
pematangan moda produksi kapitalis pertanian di TR. Petani telah memproduksi
ketang untuk dijual ke Malang sementara tanaman pangan mulai berkurang
jumlahnya dan petani lebih memilih membeli dari pasar.
Tipe -tipe Moda Produksi yang Terbangun
Cara Produksi Kapitalis Pertanian
Kekuatan produksi utama adalah modal uang. Modal tetap menjadi alat
produksi utama pengusaha Cina demikian juga unit produksi adalah organisasi
produksi. Sebagai majikan pengusaha Cina berperan juga sebagai seorang
manajer atas yang membawahi beberapa orang mandor. Ia tidak langsung
melakukan pembayaran dan pengawasan kerja diserahkan sepenuhnya pada
mandor. Modal jugalah yang digunakan oleh pengusaha Cina untuk
mendapatkan lahan dari konsesi perkebunan, juga operasional produksinya.
Hubungan produksi herakhis karena hubungan buruh majikan. Batas
hubungan produksi adalah organisasi produksi yang melibatkan buruh, mandor,
dan pengusaha Cina sendiri sebagai pemilik. Hubungan dibangun secara
herarkhis yang memusat pada pengusaha Cina sebagai pemilik alat produksi.
Orientasi produksi jelas untuk tujuan akumulasi dan ini tidak mengalami
perubahan berarti sejak kedatangannya di tahun 1946-an di TR. Jadi sifat
hubungan yang terbangun juga tetap eksploitatif.
Cara Produksi Pertanian Semi-komersil
kekuatan produksi utama sebenarnya tidak berubah dan tetap tanah
menjadi alat produksi utama. Hanya saja tanah pada masa ini tidak hanya
terbatas pada hak milik tapi juga tanah perkebunan yang didapatkan petani saat
nasionalisasi. Sementara itu unit produksi juga masih tetap pada keluarga inti,
sedangkan tenaga kerja utama didapatkan dari kerabat dan buruh upahan dari
dalam sistem sosial.
Batas hubungan produksi dengan demikian meluas pada organisasi
sosial produksi karena telah melibatkan buruh dalam proses produksi. Petani
kaya yang menanam kentang dalam jumlah besar di TR bahkan mempekerjakan
lebih dari 10 orang secara rutin dan dapat menyewa 20 oarang untuk membawa
hasil bumi ke pasar. Saat itu angkutan masih mengandalkan manusia dan kuda.
Pelibatan buruh lebih banyak menyebabkan relasi sosial produksi menjadi
81
semakin herarkhis tidak sebagaimana perioede sebelumnya yang masih egaliter.
Dengan demikian maka sifat hubungan produksi eksploitatif karena adanya
pelibatan buruh secara intens untuk menambah keuntungan.
Cara Produksi Pertanian Tradisional
Pertanian tradisional alat produksi utama adalah tanah milik juga tanah
hasil nasionalisasi. Unit produksi adalah unit keluarga dimana seluruh anggota
keluarga juga menjadi pekerja dalam usaha. Dengan demikian sumber utama
pekerja adalah anggota keluarga. Pertanian tradisonal ini jumlahnya semakin
berkurang dan tidak sebanyak tahun 1950-an. Sebagian dari mereka ada yang
mulai menanam tanama kentang sebagian yang lain menjadi buruh tani pada
petani kaya dan pengusaha Cina.
Batas hubungan sosial produksi adalah keluarga inti karena mereka tidak
mempekerjakan buruh upahan. Kalaupun ada itu adalah dari kerabat dan
sifatnya membantu yang nanti akan dibalas dengan demikian juga. Dengan
demikian struktur hubungan produksi yang terbangun egaliter karena pekerja
juga anggota keluarga. Sementara itu sifat hubungan produksi tentu saja tidak
eksploitatif karena hasil produksi pada dasarnya untuk kepentingan bersama
seluruh anggota keluarga. Sebagai gambaran ringkas ketiga artikulasi itu dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.7 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan kapitalis
pertanian pada masa Orde Lama
Aspek cara produksi
Pertanian
tradisonal
(petani kecil)
Pertanian Semikomersil
(Petani kaya )
Kapitalis
pertanian
(Pertanian Cina)
A
1
Kekuatan produksi
Alat produksi
Tanah
Tanah
2
Unit produksi
Keluarga inti
Keluarga inti
3
Tenaga kerja utama
Keluarga inti dan
kerabat
Keluarga luas
dan buruh
Buruh upahan
B
Hubungan Produksi
Batas sosial hubungan
produksi
Keluarga luas
Organisasi
produksi
Organisasi
produksi
1
Modal
Organisasi
produksi
2
Struktur hubungan
produksi
Egaliter
Semakin herarkhis
Herarkhis
3
Sifat hubungan produksi
Tidak eskploitatif
Semakin eksploitatif
Eksploitatif
82
Perubahan Moda Produksi Lokal : Dari Semi-komersil menuju Kapitalis
Pertanian
Memasuki tahun 1950 atau lebih dikenal dengan masa Orde lama,
pertanian tradisional yang telah terpecah menjadi dua cara produksi terus
berubah seiring pekembangan-perkembangan ditingkat lokal maupun di luar
sistem sosial desa. Dinamika kehidupan desa TR selama tahun 1950-1965 tentu
saja berdampak secara langsung terhadap ciri cara produksi pertanian. Meski
secara riel kegiatan-kegiatan ekonomi tidak berjalan dengan normal, namun
pada dasarnya telah terjadi pergeseran yang cukup besar dari periode
sebelumnya.
Paling
tidak
dengan
belajar
dari
pengusaha
Cina
dan
perkembangan politik nasional yang berimbas pada tataran lokal mampu
merubah kemapanan yang ada sebelumnya.
Usaha tani setelah bersentuhan dengan pengusaha Cina ada sebagian
yang mampu meniru dan sebagian yang lain tetap berjalan sebagaimana
asalnya. Mereka yang kaya mampu meniru dan bahkan berkembang cukup
pesat setelah tahun 1955-an. Petani-petani kecil hanya menjadikan tanaman
kentang sebagai selingan saja. Hingga tahun 1960-an di TR penanam tanaman
kentang masih sedikit dan terbatas pada kelompok petani kaya, atau mereka
yang dulu pernah bekerja di pengusaha Cina.
Akibat perbedaan bentuk keterlibatan petani dengan pengusaha Cina,
maka kedua jenis petani lokal masing-masing memiliki kareakteristik yang sangat
berbeda. Petani kecil tetap menanam tanaman pangan dan masih mengikuti cara
lama baik dalam mengorganisasikan produksi juga orientasi produksinya.
Sementara itu petani kaya yang telah bersentuhan secara langsung dengan
tanaman komersial yang dibawa pengusaha Cina menjadi lebih kapitalis.
Perkembangan-perkembangan itu menunjukkan adanya perubahan
mendasar pada cara produksi pertanian. Terlihat jelas pertanian komersial mulai
menguasai seluruh kehidupan ekonomi desa. Kekuatan produksi pertanian lokal
pada dasarnya tidak berubah demikian cepat. Tanah tetap menjadi alat produksi
utama, demikian juga unit produksi tidak berubah. Hanya saja orientasi produksi
sekarang sudah mulai berkembang untuk pasar regional melalui pedagang
pengumpul yang masuk. Unti produksi demikian juga masih berkutat di keluarga
inti dan belum terbentuk usaha privat sebagaimana ciri kapitalis murni. Namun
demikian orientasi produksi dan akumulasi yang dilakukan mencirikan sifat
kapitalis murni.
83
Hubungan produksi cara produksi pertanian terlihat semakin jelas
herarkhisnya. Tenaga kerja upahan semakin banyak dipekerjakan dan semakin
menunjukkan adanya eksploitasi buruh. Dikaitkan dengan perubahan nilai
produksi dan orientasinya maka jelas keuntungan tidak untuk dibagi bersama
sesama keluarga sebagaimana sistem tradisional tapi untuk kepentingan pemilik
modal. Dengan demikian pertanian komersil semakin menemukan bentuknya
dalam formasi sosial pedesaan. Mengenai aspek-aspek cara produksi pertanian
tradisional dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 5.8 : Perubahan aspek cara produksi lokal pada masa Orde Lama
Periode 1945-1950
Periode 1950-1965
Aspek cara
Pert. semi- Pert.
Pert.
Pert.
produksi
komersil
tradisional
komersil
tradisional
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
2
Unit produksi
Keluarga inti
Keluarga inti
Keluarga inti
Keluarga inti
3
Tenaga kerja
utama
Keluarga luas
dan buruh
Keluarga inti
Keluarga luas
dan buruh
Keluarga inti
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial
hubungan
produksi
Organisasi
produksi
Keluarga inti
Organisasi
produksi
Keluarga inti
2
Struktur
hubungan
produksi
Semakin
herarkhis
Egaliter
Herarkhis
Egaliter
3
Sifat hubungan
produksi
Semakin
eksploitatif
Tidak
eksploitatif
Eksploitatif
Tidak
eksploitatif
Menguatnya
cara
produksi
kapitalis
pertanian
ternyata
diiringi
pengurangan petani tradisional. SYN (70) mengatakan pada tahun 60-an jika
masih ada keluarga yang tidak menanam tanaman kentang hanya di daerah
Sumberbrantas paling atas. Mereka tinggal beberapa keluarga saja dan segera
setelah itu mereka mengusahakan kentang juga. Namun demikian, kentang tetap
menjadi tanaman kedua setelah jagung dan ketela. Selain sulit pemeliharaanya,
kentang saat itu dianggap tidak dapat langsung dijual atau dikonsumsi dan
menunggu pedagang datang. Kalau petani kecil tidak mungkin membawa ke
pasar selain jauh, mereka tidak mampu menyewa para buruh angkutnya.
Apa implikasi terhadap ciri-ciri kehidupan desa secara keseluruhan?
Kelembagaan produksi tentu saja berubah dari sebelumya masih berorientasi
pada nilai lokal setelah periode ini mulai goyah. Pertukaran juga demikian dari
balance mulai negatif. Hal ini terutama terjadi karena buruh semakin besar
84
diusahakan dan petani kaya juga mulai memikirkan akumulasi karena pasar
kentang mulai meluas. Basis relasi sosial produksi juga tidak lagi terbatas pada
keluarga luas, namun telah mengikukan buruh upahan meski sifatnya masih
domestik. Sementara itu sifat hubungan produksi juga berubah mulai ekspolitaif
dari yang dulunya lebih mengandalkan kerjasama. Secara rinci perubahan itu
dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.9 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada sistem
sosial lokal pada masa Orde Lama
Ciri-ciri cara produksi
Artikulasinya
Awal kemerdekaan
Periode orde lama
Kelembagaan produksi
Berorientasi pada sistem
kapitalis
Berorientasi pada sistem
kapitalis
Nilai yang mengatur
orientasi produksi
Nilai yang mengatur tujuan
produksi
Nilai yang mengatur
organisasi produksi
Nilai yang mengatur
penguasaan kekuatan
produksi
Tipe/bentuk pertukaran
ekonomi
Memenuhi kebutuhan
keluarga dan untuk dijual
Pada nilai kapitalis meski
melihat lingkungan sosial
Keluarga sebagai unit
produksi
Tanah milik pribadi untuk
mencari keuntungan
Untuk dijual semakin besar
dari keluarga
Semakin erat dengan nilai
kapitalis
Keluarga sebagai unit
produksi
Tanah milik pribadi untuk
mencari keuntungan
Mulai negatif
Semakin negatif
Elemen yang terlibat dalam
proses produksi
Mekanisme petukaran
Petani-buruh-kerabat
Petani-buruh-kerabat,
buruh semakin dominan
Tukar menukar melalui
pasar
Hubungan kontraktual
Sistem upah semakin
biasa
Herarkhis karena buruh
semakin banyak
Tukar menukar pasar
Dari sistem sosial secara
luas
Semakin eksploitatif
Dari sistem sosial secara
luas
Eksploitasi bertambah
Ketrampilan
Penguasaan kekuaan
produksi terutama lahan
Ketrampilan
Penguasaan kekuatan
produksi lahan
Pengusaha cina
Pengusaha Cina & petani
kaya
Basis kerjasama
Relasi sosial produksi
Sifat relasi sosial produksi
Sumber buruh
Relasi kekuasaan
Sumber kekuasaan buruh
Sumber kekuasaan majikan
Kekuasaan dominan
Hubungan kontraktual
Sistem upah semakin
dominan
Herarkhis
Perubahan pada kehidupan sosial desa tak lepas dari perubahan cara
produksi pertanian. Pertanian komersil semakin berkembang pesat dengan
banyaknya petani yang beralih mengusahakan tanaman ketang. Hal itu semakin
kentara dengan berbagai intrik yang dilakukan petani lokal terhadap keberadaan
pengusaha Cina yang sebelumnya tidak pernah dimasalahkan.
85
Menurut TSN (71) setelah tahun 1950, pengusaha Cina memang
meningkatkan aktifitas ekonominya. Perkembangan kentang sangat cepat
perkembangannya dan mulai melakukan sewa tanah pada petani. Tanah-tanah
penduduk mulai disewa dan sebagian juga dibeli untuk memperluas tanaman
kentang. Mereka juga merekut semakin banyak pekerja baik dari penduduk lokal
maupun dari luar daerah. Kebanyakan buruh ini kemudian kawin dengan
penduduk lokal yang masih menjadi kebiasaan hingga saat ini.
Di sisi lain, petani yang mengadopsi pertanian cara pengusaha Cina juga
bertambah banyak. Mereka memperluas tanaman kentang seiring masuknya
pedagang ke desa. Petani-petani kaya yang pada masa penjajahan menjadi
penyedia pangan bagi buruh pabrik beralih menjadi kapitalis pertanian sejati.
Kentang memungkinkan mereka dapat langsung bersentuhan dengan dunia luar
dan mengenal nilai-nilai kapitalis secara langsung.
Petani kaya selanjutnya sudah mulai mengenal akumulasi sebagaimana
pengusaha Cina. Hubungan produksi yang dibangun juga lebih mirip dengan
yang diusahakan oleh pengusaha Cina meski mereka masih memiliki kaitan
dengan sistem sosial lebih erat. Karena mereka memiliki tanah maka tanah tetap
menjadi kekuatan produksi penting bagi petani kaya.
Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan Keberlangsungan Cara Produksi
Lokal
Pada masa ini cara produksi yang muncul pada struktur ekonomi lokal
ada tiga yakni kapitalis pertanian, pertanian semi-komersil, dan pertanian
tradisional. Kapitalis pertanian diartikulasikan dalam usaha tani pengusaha
Pengusaha Cina dan petani kaya yang telah kapitalis, pertanian semi-komersil
oleh petani lokal, sementara pertanian tradisional oleh sisa-sisa petani lokal yang
belum berkembang.
Dilihat dari konstelasi hubungan seluruh moda produksi di TR, yang
menentukan hingga tahun 1955 adalah pengusaha Cina. Mereka paling dominan
dalam produksi di pedesaan karena mampu menyerap banyak petani untuk
bekerja padanya juga sebagian besar lahan dikuasai olehnya. Petani kaya
bahkan terpengaruh dan mengusahakan komoditas yang sama meski tidak
sebesar pengusaha Cina. Meski tidak terlihat adanya dominasi, namun pada
dasarnya arah perkembangan ditentukan oleh kapitalis pertanian.
Hal itu semakin kentara saat petani kaya mulai mengusahakan komoditas
lebih besar lagi tahun 60-an. Pengusiran pengusaha Cina sebenarnya juga dapat
86
menjadi petunjuk baik, karena kepergiannya berarti kematian cara produksi
kapitalis. Kenyataanya kepergian pengusaha Cina malah semakin menegaskan
jika cara kapitalis pertanian sudah sepenuhnya menjadi bagian dari sistem sosial
itu sepenuhnya. Petani kaya yang mengambil alih peran pengusaha Cina dalam
menjalankan cara produksi kapitalis pertanian menandakan moda produksi ini
telah hidup dan berkembang.
Sementara itu secara perlahan pertanian tradisonal juga mengalami
penurunan jumlahnya. Petani-petani kecil ini kebanyakan dari mereka memilih
menjadi buruh pengusaha Cina dan petani kaya yang menandakan adanya
dominasi cara produksi kapitalis. Hingga tahun 1960 jumlah mereka di desa
hanya beberapa kelompok pemukiman yang kebanyakan ada di daerah
Sumberbrantas yang memang paling jauh dari jangkauan. Jadi cara produksi
kapitalis pertanian mendominasi cara produksi semi-komersil sementara
keduanya mendominasi pertanian tradisional.
Pada masa sebelumnya cara produksi lokal telah berubah menjadi semikomersil yang diperankan oleh petani kaya. Mereka meniru sistem produksi
pengusaha Cina dalam mengelola usaha taninya. Semakin hari mereka semakin
memiliki pengaruh kuat dan bahkan menjadi kapitalis pertanian sebagaimana
pengusaha Cina. Mereka mampu sepenuhnya mengadopsi cara produksi
kapitalis hingga mampu mendominasi ekonomi lokal. Puncak dominasi petani
kaya terjadi saat mereka mampu mengusir pengusaha Cina dari desa meski
menggunakan isu politik (land reform).
Di sisi lain pertanian tradisional semakin kecil pengaruhnya pada
ekonomi lokal. Di tahun 1955-an tidak ada lagi petani yang tertutup
sebagaimana periode sebelumnya. Seluruh petani telah mengenal tanaman
komersil meski mereka tidak membudidayakan secara luas. Pedagang perantara
juga mulai banyak hingga pasar terbuka sepenuhnya. Meski demikian masih ada
petani demikian meski jumlahnya sangat kecil.
Jadi masuknya pengusaha Cina sejak awal kemerdekaan, saat Orde
Lama cara produksi semi-komersil semakin kuat posisinya, meski pertanian
pengusaha Cina masih mendominasi. Para petani kaya mulai meniru pengusaha
Cina sehingga posisinya semakin kuat. Sementara itu pertanian tradisional
semakin berkurang perannya dan meski jumlahnya masih cukup banyak, dan
berkecenderungan menurun.
87
Moda Produksi dan Formasi Sosial Orde Baru (1965-1997)
Pada masa ini petani kaya yang telah komersial sebelumnya, menjadi
semakin mapan, bahkan dapat bersaing dengan pengusaha Cina. Sementara itu
petani kecil terutama bekas pekerja perkebunan yang mengikuti jejak petani kaya
juga mulai komersial. Pertanian tradisional yang masih ada pada periode
sebelumnya habis sama sekali. Pada saat yang sama berkembang industri agro
bercirikan kapitalis yang diintrodusir oleh pemerintah. Peralihan dari tradisional
ke komersial tidak dengan sendirinya membawa petani kebanyakan menjadi
kapitalis, malah banyak yang terlempar menjadi buruh.
Faktor-faktor Pendorong Perubahan
Repelita dan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ORBA di TR telah ditata sejak operasi besar-besaran
terhadap para pendukung PKI di tahun 1966 dan normalisasi pada tahun-tahun
berikutnya. Penggantian kepala desa dengan seorang karateker hingga dua kali
adalah wujud konsolidasi itu. Baru tahun 1972 setelah dipastikan kekuatan Orde
Baru mapan, dipilih seorang kepala desa. Baru pada tahun 1973 Pemilu
dilakukan untuk memberi legitimasi kekuasaan ORBA. Menurut MHR (79)
pemilihan kepala desa setahun sebelum pemilu, merupakan langkah awal ORBA
dalam
konsolidasi
kekuasaan
untuk
menambah
legitimasinya
karena
sebelumnya desa dipimpin militer.
Kebijakan ORBA mengutamakan stabilitas politik dan peningkatan
produksi pertanian saat awal-awal berdirinya. Perombakan besar-besaran
dilakukan pada sistem produksi usaha tani dengan jalan modernisasi pertanian.
Fokus utamanya adalah produksi pangan yang memang sangat terpuruk dan
mengalami stagnasi luar biasa pada tahun 60-an. Kebijakan ini dititik beratkan
pada usahatani padi sawah yang menjadi makanan pokok penduduk Indonesia.
Untuk daerah pegunungan ada program khusus, tapi tetap sebagai upaya
modernisasi pedesaan.
Di TR, upaya dari pemerintah tidak spesifik pada usaha tani tradisional,
namun pada intruksi untuk merubah atap rumah dari ilalang yang masih ada
hingga tahun 70-an menjadi genting. Menurut PRT (76) penyuluhan dilakukan
meski seringkali kepala desa agak memaksakan untuk kebijakan itu. Sesekali
ada juga himbauan untuk memperbaiki usaha tani melalui penggunaan bibit
unggul dan pupuk. Sebelumnya, meski tanaman yang ditanam telah komersial
(kentang), namun baik petani Cina maupun pribumi mengandalkan pupuk
88
kandang dan belum mengenal pupuk buatan. Kebijakan ini awal-awal diberikan
dalam bentuk penyuluhan yang sistematis tidak hanya masalah pertanian tapi
juga kehidupan sosial secara umum.
Kebijakan kedua ORBA di TR, adalah Transmigrasi Lokal (Translok) yang
terdiri dari pensiunan TNI-AU untuk menempati tanah kosong bekas perkebunan.
Mereka terdiri dari 199 KK, dan menempati 110 Ha tanah yang sedianya untuk
lahan pertanian. Kebijakan ini selain untuk menetralisir gejolak masyarakat yang
sewaktu-waktu muncul, juga berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian.
Ternyata para keluarga tentara ini tidak menguasai cara bercocok tanam
sehingga lahan banyak yang mereka jual.
Menurut ALG (87) dan TSN (71) kesempatan ini kemudian ditangkap oleh
para bekas pengusaha Cina yang dulu pernah berusaha di TR. Mereka menyewa
atau membeli tanah yang dikuasai oleh TNI-AU dan lahan penduduk. Tanahtanah bekas tentara banyak menjadi hak milik pengusaha Cina. Kebijakan yang
tidak jelas pemerintahan Orde Baru pada tanah, memungkinkan orang luar
daerah, bahkan orang asing memiliki tanah di TR, termasuk pengusaha Cina. Di
TR mereka mengubah nama menjadi nama pribumi pada akte tanahnya hingga
diwariskan pada keturunannya hingga saat ini.
Pertanian sebagai basis ekonomi rakyat dibebaskan tanpa ada
perlindungan
terutama
kejelasan
aturan
pertanahan.
Petani
dibiarkan
berkompetisi dengan kekuatan ekonomi lain yang bercukupan modal, memiliki
kemampuan managemen baik, koneksi, juga jaringan pemasaran yang luas.
Para petani selalu di bawah para pengusaha Cina, baik dalam manajemen
maupun jaringan pasar, karena kebanyakan dari mereka bekas buruh
Pengusaha Pengusaha Cina.
Pengusaha Cina kembali menghidupkan cara produksi komersial yang
telah lama hilang semenjak ketegangan tahun 60-an. Mereka melakukan
rekutmen tenaga kerja kembali dalam jumlah besar. Banyak penduduk lokal yang
bekerja pada mereka, bersama dengan pekerja boro yang didatangkan dari luar
daerah. Pengusaha Cina juga mulai membawa langsung pedagang untuk
memanen tanamannya di kebun. Mereka juga lebih intensif dalam mengawasi
kerja buruh. Kerja-kerja yang dulu dimonopoli oleh orang, seperti bangkat
sekarang digantikan dengan mobil.
Pengusaha Cina bertambah dengan cepat karena konsensi yang
difasilitasi oleh tentara. Sewa mereka lebih murah dari harga pasar juga
kepastian perlindungan dari gangguan keamanan. Bahkan secara langsung
89
tentara melalui para purnawirawan menjadi mitra di tingkat lapangan. Konsesi ini
akhirnya menjadi boomerang ketika Pengusaha Cina tidak hanya menyewa
lahan dari petani, tapi juga melakukan pembelian pada para transmigran.
Kebutuhan ekonomi dan ketidakmampuan para transmigran dalam berusaha tani
mendorong penjualan tanah-tanah jatah mereka.
Bagaimana pertanian yang mulai belajar komersial? Bagi mereka yang
memiliki tanah luas dan kemampuan manajemen, dapat bertahan. Bagi yang
tidak, banyak diantaranya kembali menanam tanaman lama yakni jagung dan
ketela. Tanaman kentang memerlukan biaya cukup besar dan keahlian khusus,
sehingga petani kecil tidak mungkin mampu. Kebijakan pemerintah yang lebih
condong pada pendekatan produktifitas tidak memberi perlindungan khusus.
Para petani kaya juga mulai mengambil buruh, bahkan mereka memberi
tempat bagi para buruh di rumah mereka. Rekutmen buruh tetap dilakukan
besar-besaran dibarengi dengan penciptaan ketergantungan. Tempat tinggal
sementara, bonus, juga kepastian pekerjaan tidak memungkinkan buruh
berpindah pada orang lain. Juragan baru ini menjadi pesaing para pengusaha
Cina. Mereka juga melakukan sewa terutama pada para transmigran dan
penduduk lokal untuk memperluas usahanya. Pendek kata mereka telah menjadi
kapitalis baru yang sama agresifnya dari para pengusaha Cina.
Pendorong utama perkembangan tanaman komersial di TR tak lepas dari
efek modernisasi yang dikenalkan orde baru. Introdusir pupuk buatan, obatobatan dan bibit unggul memacu produksi karena hambatan hama dan penyakit
teratasi. Sayur apalagi kentang yang sangat rentan terhadap serangan penyakit
dapat diatasi. Petani Cina paling pertama menangkap peluang itu dan melakukan
perubahan terhadap pola tanam menjadi lebih intensif. Penanaman kentang
menjadi dua kali setahun juga jarak tanam menjadi lebih sempit. Penggunaan
pupuk melipatkan produksi hingga berton-ton hasil kentang dalam tiap hektarnya.
Sayur yang dahulunya hanya dua kali tanam menjadi tiga sampai empat
kali dan tanah tidak pernah bero. Pestisida saat itu sangat ampuh hingga jarang
tanaman yang terserang penyakit. Pemupukan juga jarang, dengan sedikit saja
sudah meningkatkan produksi sangat besar yang tentunya menekan biaya
produksi. Tenaga kerjalah satu-satunya yang menjadi kendala utama. Tahuntahun itu pula jalan mulai dimakadam (diaspal godok) yang semakin
memudahkan transportasi. Tahun-tahun itu pula mulai banyak berkembang tokotoko pertanian, warung-warung makanan, juga tengkulak-tengkulak sayur lokal.
90
Dominasi Cina tidaklah berjalan demikian saja tanpa ada gejolak. Banyak
juga petani yang mulai berani masuk ke perkebunan meski hanya dipinggirpinggir saja untuk menanam tanaman sayur. Bahkan di Sumberbrantas secara
terang-terangan mereka melakukan pembatasan lahan yang dapat disewa oleh
pengusaha Cina. Banyak diantaranya yang hanya dengan meminjamkan uang
atau digadaikan dan tidak kembali karena gadainya yang beranak pinak.
Semakin lama pada tahun-tahun 1975-an mereka bahkan secara terangterangan mulai mempertanyakan kebijakan insentif yang diberikan oleh TNI-AU
pada pengusaha Cina. Para petani lokal merasa terganggu dengan cara
pengusaha Cina dalam menguasai lahan pertanian penduduk dan diskriminasi
yang dilakukan TNI-AU. Keresahan ini berakhir dengan diusirnya pengusaha
Cina dari Sumberbrantas sekitar tahun 1975-an 1. Dengan perginya para
pengusaha Cina, secara otomatis para petani kaya lokal yang paling benyak
memetik manfaat.
Tahun 1980-an petani lokal mulai berhasil mengambil alih dominasi
pengusaha Cina. Sayur menjadi primadona terutama kentang, wortel dan kubis.
Secara perlahan mereka juga mulai mengembangkan apel terutama pada tanah
milik. Apel saat itu mulai menjadi tanaman yang familiar di masyarakat Indonesia
dan menjadi buah-buahan elit di pasar-pasar. Permintaan apel juga meningkat
dan harga semakin baik apalagi dengan semakin tidak cocoknya lahan di daerah
kota akibat peningkatan panas. Tanaman apel yang dulunya terlalu dingin di TR
menjadi sangat baik ditanam di sana.
Tahun-tahun itu juga menjadi babak baru dalam dunia transportasi lokal.
Angkutan penumpang maupun barang mulai banyak dimiliki oleh penduduk
pribumi dan tidak hanya pengusaha Cina. Kendaraan yang dikenalkan jeep Willis
untuk mengangkut sayur dari lahan. Kerja mbangkat mulai berkurang dan Willis
menjadi transportasi utama. Dengan adanya transportasi mobil, mobilitas
penduduk dan sirkulasi barang menjadi lebih cepat.
Sirkulasi barang ini berimbas pada permintaan barang hasil pertanian
penduduk. BDO (46) mengatakan masa itu kentang dan sayur harganya sangat
baik dan permintaan meningkat. Pedagang banyak yang masuk dan membeli
1
Pada jaman orde baru pengusiran ini tentu mendapat tantangan yang sangat keras karena pasti
dianggap mengganggu kepentingan umum. Akan tetapi karena keterbatasan lahan yang memang
sudah cukup memprihatinkan dan tidak terkendalinya luas penguasaan pengusaha Cina hal itu
dibiarkan oleh pemerintah. Selain itu untuk lahan bekas perkebunan di Sumberbrantas memang
tidak dikuasai oleh Tentara sebagaimana di Junggo sehingga kontrol tidak efektif, dan sebagian
memang telah diduduki penduduk sejak lama.
91
kentang yang belum panen. Boro kerjo semakin banyak dan para juragan mulai
membuat rumah-rumah tinggal bagi mereka. Sayur yang dahulunya hanya dua
kali panen menjadi menjadi tiga sampai empat kali dalam setahun, dan tanah
tidak pernah bero. Pestisida masih sangat ampuh hingga jarang tanaman yang
terserang penyakit, juga pupuk u
j ga jarang digunakan hingga biaya produksi
sangat rendah.
Tahun-tahun itu pula jalan mulai dimakadam (diaspal godok) yang
semakin memudahkan transportasi. Ramainya kegiatan ekonomi mendorong
tumbuhnya toko-toko pertanian, warung-warung, juga tengkulak-tengkulak sayur
lokal. Tahun 1984 jalan diperlebar dan aspal diperbaiki hingga Junggo.
Pendatang mulai banyak untuk bekerja di lahan sayur atau menjadi pedagang
keliling (bakso, mie, kredit alat rumah tangga, kredit pakaian).
Gelombang Masuknya Industri Agro
Industri agro sebenarnya bukan hal baru bagi penduduk TR, karena
perkebunan Belanda pada dasarnya juga berupa industri. Industri agro yang
berkembang sekarang berbarengan dengan perkembangan pertanian rakyat
yang semakin intensif dan cenderung kearah industri juga. Dengan demikian
pengaruhnya berbeda dengan masa Belanda dimana kompetisi terjadi lebih
komplek, tidak hanya tanah, tapi juga tenaga kerja modal, dan pasar.
Industri agro pertama, masuk pada tahun 1984 berupa kebijakan dari
pusat (Jakarta) untuk menggunakan lahan Gabes II (bekas perkebunan Kina) di
Junggo untuk proyek industri pengalengan asparagus. Pengembangan industri
ini diharapkan mampu memacu pertumbuhan industri di pedesaan selain untuk
mengoptimalkan aset pemerintah yang terbengkalai. Industri itu bernaung
dibawah PT. AN yang bergerak di bidang pengalengan asparagus.
Petani diajak bermitra dengan PT. AN untuk menanam asparagus,
sementara pabrik menerima hasilnya. Modelnya kemitraan bertujuan untuk
memberi akses pada petani atas lahan bekas perkebunan secara sah, mengingat
tanah itu sebelumnya memang bukan hak petani. Petani menerima dan mulai
menanam asparagus pada lahan bekas perkebunan. Secara otomatis hak petani
atas lahan hilang dan tanah secara sah dalam kendali PT. AN.
PT. AN memperkenalkan cara produksi yang relative baru pada
penduduk. Sistem kemitraan belum dikenal sebelumnya, yang ada hanya sewa
dan gadai atau pembelian langsung. Pabrik modern juga baru sekali itu dikenal
penduduk terutama pada proses pengolahan. Mereka tidak pernah memikirkan
92
sebegitu jauh tentang pengemasan barang, yang dia tahu tanaman basah dapat
dijual langsung. Selain itu sistem upah bulanan juga mulai dikenal, juga sistem
buruh tetap. Dengan dikenalnya sisem ini hubungan perburuhan semakin
mendekati hubungan industrial.
Manajemen pengelolaan PT. AN menggunakan ciri perusahaan modern,
dimana ada tiga kompenen utama dalam produksi yakni pemilik saat itu
pemerintah dan investor, para manajer yang mengelola operasional perusahaan,
dan para buruh yang mengerjakan produksi. Hal dan kewajiban masing-masing
tercantum dalam kontrak kerja yang merujuk pada ketentuan yang dibuat
Negara. Relasi produksi sangat herarkhis dengan aturan yang rumit dan tertulis
antara pekerja dan pemilik.
Terkait dengan pengadaan bahan produksi, pabrik melakukan kemitraan
dengan petani. Kemitraan ini sebenarnya tidaklah sebagaimana konsep
semestinya dimana ada kesetaraan antar pelaku. Yang terjadi sebenarnya PT.
AN hanya mempekerjakan petani tanpa ikatan kontrak sebagai pekerja. Kenapa
demikian? Petani sebenarnya tidak memiliki kekuatan produksi pokok yakni
tanah dan modal uang. Keduanya adalah milik PT. AN. Meski sebagai mitra,
pada dasarnya petani tidak memiliki kekuatan produksi yang dapat dijadikan
modal. Mereka sebenarnya buruh yang dipekerjakan untuk menyediakan bahan
baku dengan label kemitraan.
PT. AN juga mengenalkan bermacam-macam jenis pestisida dan pupuk
buatan serta cara budidaya yang lebih modern daripada yang dikenalkan
pengusaha Cina. Cara-cara pemberantasan hama dilakukan dengan semprot
mesin yang sebelumnya menggunakan semprot tangan biasa. Pengolahan
kompos dengan cara modern juga diperkenalkan, termasuk cara pengelolaan
paska panen sayur. Cara-cara ini akhirnya banyak diadopsi oleh penduduk
dikemudian hari.
Tidak begitu jelas sebab kebangkrutan industri agro pertama ini. Menurut
beberapa sumber, sebelum bangkrut mereka sering melihat truk-truk membuang
kaleng asparagus ke kali Brantas. Para petinggi pabrik mengatakan Negara
pengimpor tidak mau menerima produk kita, sehingga banyak barang yang
dikembalikan. Namun menurut bisik-bisik saat itu, Negara pengimpor tidak mau
menerima karena kalengnya banyak yang rusak. Bahkan banyak memakai
kaleng bekas. “Biasa, anggaran kalengnya masuk menajer pabrik, katanya! Yang
jelas semenjak itu mulai ada pemberhentian pekerja dan pabrik ditutup.
93
Industri agro kedua, adalah PT. SK yang bergerak dibidang pembibitan
bunga potong. PT. SK memperkerjakan sekitar 600 orang yang kebanyakkan
penduduk lokal. Buruh juga diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan tergantung
lama kerja dan keahliannya. Perusahaan ini dimiliki oleh etnik Cina yang
bermukim di Surabaya, sementara pengelolaan pabrik diserahkan pada orang
lokal kepercayaannya.
PT. SK berdiri tahun 1995 dengan membeli jatah tanah TNI AL dari
pembagian bekas kebun Teh tahun 1984 bersamaan dengan Unibraw dan
Perhutani. PT. SK juga melakukan pembelian lahan-lahan petani di atas harga
pasaran apalagi jika lokasi berbatasan dengan pabrik. Tak segan pabrik
mengeluarkan uang 1/3 lebih tinggi dari harga semestinya, dan mengutus orangorang kepercayaan untuk membujuk pemilik tanah agar menjual tanahnya.
Sebagaimana PT. AN, PT. SK juga menggunakan manajemen modern
untuk mengelola perusahaan. Modal uang menjadi kekuatan produksi utama
selain penguasaan tenaga kerja. Pemilik perusahaan tidak berada di tempat dan
pabrik dikelola oleh seorang manajer. Para buruh diambil dari daerah sekitar bagi
tenaga kasar, sementara untuk para ahli mereka mengambil dari luar daerah.
Hak dan kewajiban buruh disesuaikan dengan aturan resmi pemerintah yang
diatur dalam undang-undang tenaga kerja.
Model penggajian di PT. SK mengikuti trend dan peraturan pemerintah
(UMR). Hal ini menyebabkan kegoncangan kestabilan pasar tenaga kerja. Upah
buruh yang sebelumnya hanya 5000 di PT. SK dapat 8000-10000 yang
menyebabkan keterpurukan petani dan langkanya tenaga kerja. Para juragan
hanya dapat mengusahakan “pandek” saja. Buruh tidak tetap banyak yang
berpindah kerja di PT. SK. Para juragan akhirnya berinisiatif mencari buruh ke
luar daerah dengan melakukan penjemputan dan pemulangan. Setiap jam 6 pagi
mobil juragan menjemput dan jam empat sore mengantarkan pulang. Para
pekerja yang rumahnya di pinggir jalan menunggu dipinggir jalan sementara yang
jauh berkumpul di rumah yang terdekat atau di perempatan jalan.
PT. SK akhirnya bangkrut karena demonstrasi besar-besaran buruh
menuntut gaji sesuai UMR. Sejak berdiri kenaikan tidak lagi sesuai dengan UMR
dan dianggap buruh merugikan mereka. Karena merasa berat, pekerja akhirnya
di PHK dan diberi pesangon. Saat ini PT. SK mulai berdiri dengan usaha kecilkecilan dan memperkerjakan 200 orang pekerja lokal. Sekarang gaji sesuai
dengan pasaran tidak mengacu pada UMR lagi.
94
Perkembangan Industri Pariwisata
Semenjak Selecta di jual pada swasta, tempat wisata yang pada mulanya
rusak perlahan mulai diperbaiki kembali. Perbaikan dilakukan bertahap dari
taman wisata, baru menginjak fasilitas gedung dan hotel-hotel. Secara perlahan
wisata kembali hidup, meski kapasitasnya masih sangat kecil dan hanya orang
dari Surabaya dan Malang saja yang datang untuk berlibur. Namun demikian
menurut ADI (55) pengelola Selecta, hal itu cukup untuk menghidupi karyawan
dan mendapat untung meski sedikit. Tidak heran jika fasilitas hanya hotel Bima
Sakti dan Gedung Perkasa yang sebenarnya bangunan lama.
Masa-masa ini secara nasional memang masa-masa pemulihan ekonomi
yang terpuruk setelah gonjang-ganjing PKI. Arus besar kebutuhan belum pada
kebutuhan pariwisata, namun lebih pada kebutuhan lainnya. Pariwisata hanya
milik kalangan tertentu yang jenuh pada kehidupan kota dan jumlahnya sangat
sedikit. Tidak mengherankan jika tahun 70-an keberadaan tempat wisata kurang
menjadi penggerak ekonomi yang penting. Tidak hanya ada di TR, kota Batu
sebagai pusat wisata, hotel-hotel juga sepi pengunjung.
Setelah
Selecta
dijual,
pengelola
baru
sudah
komitmen
untuk
melaksanakan manajemen perusahaan modern. Buruh direkrut melalui seleksi
didasarkan atas keahlian masing-masing. Perusahaan dikelola layaknya
perusahaan yang dibawahi seorang manajer. Pemilik sendiri tidak begitu aktif
mengelola usaha dan hanya hadir saat rapat pemegang saham saja. Selecta
berbeda dengan perusahaan lain dimana kawasan wisatanya tidak boleh dimiliki
swasta murni. Jadi ada saham yang dimiliki oleh masyarakat sebagai konsesi
yang harus dipenuhi Selecta saat membeli dari pemerintah.
Pada tahun-tahun 75-an Selecta mulai ramai oleh pengunjung daripada
periode sebelumnya. Saat itu apel mulai dikenal sebagai buah asli Batu dan bisa
didapatkan dari Selecta. Apel menjadi penarik wisata selain pemandian dan
taman-taman yang lebih asri mendampingi pemandian yang ada. Seiring dengan
itu pedagang juga mulai muncul, terutama penjual kerajinan dan buah apel.
Dengan demikian wisata mulai memiliki peranan pada masyarakat desa TR
dikemudian hari.
Pada tahun 80-an pariwisata semakin maju, dan banyak dibangun villa di
jalan raya sepanjang Batu Selecta. Daerah paling banyak adalah Punten, yakni
desa persis di bawah Selecta. Pemilik Villa-villa kebanyakan orang dari Surabaya
yang ingin memiliki tempat istirahat di Batu. Hal itu secara otomatis semakin
95
memperbanyak kunjungan wisata ke Selecta sebagai tujuan wisata utama.
Pendirian di punten hanya karena daerahnya lebih datar dan akses jalan besar
lebih mudah, selain tanah sekitar jalan masih kosong.
Di sisi lain, hotel dan penginapan juga mulai dibangun tidak hanya di
punten tapi juga di TR di tahun 80-90-an. Dua hotel besar dibangun khusus untuk
melayani tamu Selecta yang menginap. Hal ini menunjukkan peningkatan
kunjungan wisata dan hotel di Selecta tidak mencukupi. Pada masa ini juga ada
penambahan jumlah pedagang buah dan oleh-oleh khas Malang di sepanjang
jalan menuju Selecta.
Puncak pariwisata terjadi saat Indonesia sedang menggalakkan promosi
wisata baik nasional maupun internasional. Sejak itu banyak orang dari luar
negeri masuk untuk melihat pemandian Selecta yang terkenal sejak jaman
Belanda. Orang-orang Belanda banyak yang datang untuk melihat dari dekat
pemandian ini juga menikmati hotel-hotel bernuansa lama yang tidak dipugar
hingga saat ini. Tahun 85-an adalah puncak dari ramainya kunjungan wisata dari
luar juga dalam negeri.
Selain turis luar negeri, perekonomian Indonesia juga cukup baik.
Antusias pariwisata semakin bagus apalagi dengan berbagai kampanye tentang
wisata. Pembangunan TMII, program Visit Indonesian Years, dan programprogram lain semakin menambah jumlah kunjungan wisata. Selecta semakin
diperluas dengan membeli lahan-lahan di sekitarnya atau memberikan saham
pada orang yang memiliki tanah sekitar untuk bangunan wisata. Puncak dari
ramainya wisata terjadi ditandai dengan pembangunan pasar oleh-oleh di dalam
daerah wisata yang menjadi satu paket dengan pemandian.
Hingga masa itu pengelolaan Selecta belum mengalami perubahan sejak
menjadi milik swasta. Meski pengujung banyak dan tuntutan atas peruabhan
pengelolaan mendesak, belum juga ada perbaikan. Meski telah menggunakan
cara modern pada dasarnya peran pemilik masih sangat bear dan ini kurang
bagus bagi perkembangan perusahaan. Karena tuntutan para pemilik saham
yang sebagian besar juga masyarakat sekitar, akhirnya dilakukan perombakan.
Inilah awal babak baru dalam hubungan produksi industri pariwisata di TR.
Perkembangan Selecta ternyata juga diikuti oleh munculnya tempattempat wisata alternative. Tak jauh dari Selecta juga dibuka tempat wisata Coban
Talun, yakni air terjun dan perkemahan. Selain itu sumber air panas di dusun
Sumberbrantas yang dulunya tidak komersial juga dibuka untuk wisata.
96
Tipe -tipe Moda Produksi Yang Terbangun
Pertanian Semi-Komersial
Moda produksi pertanian semi-komersialis kekuatan produksi masih
bertumpu pada penguasaan lahan pertanian dan tenaga kerja keluarga, meski
mereka telah merekut buruh dari sistem sosial lokal. Karena lahan masih luas,
tenaga kerja menjadi kekuatan produksi utama. Penguasaan alat tidak menjadi
kekuatan bagi keluarga tani karena seluruh petani memiliki alat yang sama.
Komoditas yang diusahakan sudah bercampur antara komersial dan pangan
dengan komposisi hampir sama. Unit produksi ada dalam organisasi produksi
yang melibatkan pemilik-buruh-anggota keluarganya.
Hubungan
produksi
dibangun
pada
organisasi
produksi
karena
melibatkan buruh luar selain anggota keluarga. Dalam organisasi produksi ini ada
hubungan buruh majikan. Dengan demikian, struktur hubungan produksi semakin
herarkis dengan semakin banyaknya buruh yang bekerja. Dengan demikian sifat
hubungan produksi menjadi cenderung eksploitatif. Petani-petani semi komersial
ini sering dinamakan sebagai tani tanggung.
Kapitalis Pertanian
Moda produksi kapitalis pertanian merujuk pada usaha pertanian etnik
Cina dan juragan yang berorientasi pada pasar. Meski pengelolaan pertanian
masih dipimpin langsung oleh etnik Cina, namun sebenarnya menggunakan
prinsip perusahaan modern. Dibanding petani, teknologi budidaya dan alat yang
digunakan etnik Cina lebih modern. Transportasi motor mulai masuk meski
tenaga orang (mbangkat) dan kuda masih dominan. Kekuatan produksi etnik
Cina mengandalkan modal uang untuk mengupah buruh, menyewa lahan, dan
biaya sarana produksi.
Hubungan produksi yang dikembangkan dengan demikian terbatas pada
organisasi produksi yang dikembangkan. Dengan seluruh pekerja buruh upahan,
maka dapat dipastikan struktur hubungan produksi sangat herarkhis dengan
piramida ada di pemilik modal. Sifat hubungan produksi tentu saja eksploitatif
karena keuntungan sepenuhnya dihasilkan untuk pengusaha Cina dari
mempekerjakan buruh upahan. Juragan meski tidak sebesar pengusaha Cina
memiliki karakteristik yang hampir sama.
97
Kapitalis Industri
Kekuatan produksi jelas mengandalkan modal uang sebagai alat produksi
utama. Unit produksi perusahaan dimana manajemen modern diterapkan dengan
ketat dalam setiap unit kerja. Buruh tidak direkut berdasarkan atas kedekatan
tapi sepenuhnya mengambil dari pasar kerja berdasarkan ketrampilan yang
diperlukan. Pabrik bunga sebagai misal tidak dapat begitu saja mengambil
tenaga kerja petani karena keahlian yang dimilikinya masih lemah.
Hubungan produksi lebih dibatasi pada perusahaan sebagai unit
produksi. Hubungan sangat rumit dan herarkhis dimana pemilik menyerahkan
jalannya perusahaan pada manejer yang diangkat olehnya. Dengan demikian
sepenuhnya sifat hubungan produksi eksploitatif karena keuntungan tidak dibagi
pada buruh tapi untuk pemilik modal. Orientasi produksi sepenuhnya untuk
mencari keuntungan. Gambaran ketiga artikulasi moda produksi tersebut secara
ringkas dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5. 10 : Artikulasi cara produksi semi-komersial, kapitalis pertanian dan kapitalis
industri pada masa Orde Baru
Aspek cara produksi
Pertanian Semikomersial
(Tani tanggung
dan srabutan)
Kapitalis pertanian
(Juragan dan
pengusaha Cina)
Kapitalis
(industri agro dan
pariwisata)
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Modal
Modal
2
Unit produksi
Keluarga inti
Organisasi produksi
Perusahaan
3
Tenaga kerja utama
Keluarga luas & buruh
Buruh upahan
Buruh upahan
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial hubungan
produksi
Keluarga luas
Organisasi
produksi
Perusahaan
2
Struktur hubungan
produksi
Cenderung
herarkhis
Herarkhis
Herarkhis
3
Sifat hubungan
produksi
Cenderung
eksploitatif
Eksploitatif
Eksploitatif
Perubahan Moda Produksi Lokal : Kemapanan Kapitalis Pertanian
Setelah
intrik
politik
berakhir
ditahun
1965,
masuklah
masa
pembangunan. Petani menghadapi modernisasi pertanian yang dicanangkan
oleh pemerintah melalui revolusi hijau. Bagi petani kaya (juragan) yang memiliki
lahan luas dan telah mengadopsi cara produksi pengusaha Pengusaha Cina
telah siap menerima program pemerintah. Peluang pembangunan memberi
ruang bagi kelas elit untuk berkembang dan sejajar dengan pengusaha Cina.
98
Sepenuhnya usaha juragan dipisahkan dari rumahtangga meski pengelolaan
masih dalam unit keluarga.
Moda produksi kapitalisme pertanian semakin kuat seiring kebijakan
pengembangan industri agro pemerintah. Para juragan masih dapat bersaing
dengan industri. Industri bahkan mengadopsi cara kerja juragan terutama dalam
pengorganisasian buruh. Mereka tidak memakai cara perusahaan modern murni
tapi menggunakan cara juragan. Persaingan ini menyebabkan masyarakat
semakin banyak yang terlempar dari lingkar perkembangan ekonomi.
Juragan dan perusahaan agro, serta pariwisata secara perlahan
mengambil kekuatan produksi utama yakni lahan petani. Muncul barisan petani
tanggung dan tani srabutan yang kepemilikan tanahnya semakin sempit. Tidak
terkecuali muncul juga barisan-barisan buruh tani yang jumlahnya ribuan orang
dan bekerja pada perusahaan serta juragan. Meski terjadi perkembangan
ekonomi ternyata juga terjadi penyisihan kelompok petani kecil dari orbit
ekonomi. Munculnya kampung baru yang dihuni oleh petani tak bertanah dan
orang-orang miskin menegaskankan hal itu.
Bagaimana perubahan yang terjadi pada moda produksi pertanian
dengan adanya kejadian-kejadian itu? Secara perlahan seluruh sisa-sia
pertanian tradisional habis dan berganti menjadi kapitalis dan semi-komersial.
Jumlah semi-komersial cenderung menurun menjadi barisan buruh tani. Industri
berkembang meski tidak seagresif juragan. Telah terjadi pergeseran kekuatan
produksi maupun hubungan produksi pada pertanian komersial yang telah
tumbuh menjadi kapitalis pertanian.
Kekuatan produksi terkait alat produksi yang dulu didominasi oleh tanah
sekarang menjadi perpaduan antara keduanya. Tanah menjadi alat utama
disamping juga modal. Modal dapat menjamin alat berguna untuk operasional
produksi. Unit produksi tetap pada organisasi produksi, namun telah
dimodernisasi dengan aturan-aturan kontraktual yang ketat. Buruh tidak hanya
terbatas pada sistem sosial lokal tapi telah meluas hingga ke luar desa.
Hubungan produksi juga berubah demikian cepat. Batas hubungan
produksi pada organisasi produksi yang diorganisir dari buruh yang didatangkan
dari berbagai daerah. Struktur semakin herarkhis dengan penunjukkan mandormandor dalam proses produksi. Dengan demikian eksploitatif semakin kentara
dari hubungan buruh-juragan.
99
Untuk petani yang tidak begitu kapitalis (tani tanggung da srabutan)
memang tidak demikian herakhis dan eksploitatif. Tapi secara nyata tujuan
produksi mereka bergeser murni untuk mencari keuntungan sebagaimana
juragan dan pengusaha Cina. Kekuatan produksi masih mengandalkan tanah,
sementara modal tidak mereka kuasai. Karena kondisi itulah secara perlahan
mereka berubah menjadi kapitalis bagi yang berhasil dan menjadi buruh bagi
yang terlempar. Dan kenyatannya sebagian besar dari mereka terlempar dari
orbit ekonomi. Secara skematis gambaran aspek moda produksi keduanya dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5.11 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersial dan kapitalis di TR pada
masa Orde Baru
Periode 1950-1965
Aspek cara
produksi
Pertanian
semikomersial
A
1
Kekuatan produksi
Tanah
Tanah
2
Keluarga inti
3
Pertanian
tradisional
Periode 1966-1997
Pertanian
Semikomersial
Kapitalis
pertanian
Tanah
Tanah
Keluarga inti
Keluarga inti
Organisasi
produksi
Keluarga luas
Keluarga luas
dan buruh
dan buruh
Hubungan produksi
Keluarga inti
Keluarga luas
dan buruh
Buruh upahan
Keluarga inti
2
Organisasi
produksi
Herarkhis
Organisasi
produksi
Herarkhis
3
Eksploitatif
Organisasi
produksi
Semakin
herarkhis
Semakin
eksploitatif
B
1
Keluarga inti
Organisasi
produksi
Semakin
herarkhis
Semakin
eksploitatif
Egaliter
Tidak
eksploitatif
Eksploitatif
Perubahan cara produksi pertanian di atas dengan sendirinya merubah
seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat desa. Pertama, terkait kelembagaan
produksi. Orientasi produksi berubah kearah komersial akibat berbagai peristiwa
yang terjadi setelah kemerdekaan. Produksi tidak lagi sebatas untuk mencukupi
kebutuhan desa, tapi juga luar daerah. Nilai kewirausahaan meningkat dengan
cepat seiring keberhasilan akumulasi kekayaan petani-petani kaya. Organisasi
produksi tidak lagi bersatu dengan rumah tangga dan mulai melakukan
pembukuan terpisah. Kelembagaan sewa menjadi cara paling mudah untuk
mendapatkan lahan pertanian.
Kedua, perubahan bentuk pertukaran ekonomi. Mekanisme pertukaran
dari hubungan kerabat dan sedikit jual beli menjadi banyak jual beli dan sedikit
kerabat. Basis kerjasama telah murni kontraktual secara individual, sehingga
100
tidak ada ikatan-ikatan primordial lagi dalam pertukaran ekonomi. Harga juga
ditentukan oleh pasar dan sepenuhnya berdasar pada aspek tawar menawar.
Produksi tidak untuk dipertukarkan dengan pengakuan sosial, tapi murni untuk
mencari keuntungan.
Ketiga, perubahan relasi sosial produksi. Jika pada masa kolonial masih
ada ikatan kerabat, telah berubah menjadi murni pekerja. Upah telah
sepenuhnya dinilai dengan uang dan tidak ada pertukaran natura. Tenaga kerja
kerabatpun akan dihitung dalam uang dan tidak mengenal natura lagi. Dengan
demikian hubungan buruh-majikan bersifat sangat herarkhis. Buruh tidak hanya
dari sistem sosial desa, tapi juga didatangkan dari luar daerah.
Keempat, perubahan relasi kekuasaan. Jika pada masa sebelumnya
kekuasaan dipegang oleh pengusaha Cina, sekarang didominasi oleh para
petani kaya. Petani kaya dapat mengendalikan buruh sepenuhnya, juga
menentukan berbagai keputusan dalam produksi. Melalui pemimpin lokal petani
kaya mendapatkan legitimasi untuk melakukan akumulasi kekuatan produksi
berupa lahan pertanian. Bahkan secara nyata seluruh program pembangunan
yang lewat pemerintah masuk lebih banyak pada petani kaya. Perubahan yang
terjadi pada moda produksi pertanian tradisional selama Orde Baru dapat dilihat
dalam skema berikut:
Tabel 5.12 : Kecenderungan perubahan moda produksi yang berkembang pada sistem
sosial lokal pada masa Orde Baru
Ciri-ciri moda produksi
Artikulasinya
Kelembagaan produksi
Orde Lama (1950-1965)
Berorientasi pada kebutuhan
sistem kapitalis
Orde Baru (1966-1997)
Berorientasi
pada
kapitalis
Nilai yang mengatur
orientasi produksi
Untuk dijual semakin besar dari
keluarga
Nilai yang mengatur tujuan
produksi
Semakin erat dengan nilai
kapitalis
Keluarga sebagai unit produksi
Pasar lokal, internasional, dan
sedikit untuk konsumsi terutama
tani srabutan
Pada nilai luar meski
memperhatikan lingkungan sosial
Keluarga sebagai unit produksi
tapi telah terpisah
pembukuannya
Nilai yang mengatur
organisasi produksi
nilai
Nilai yang mengatur
penguasaan kekuatan
produksi
Bentuk pertukaran
ekonomi
Elemen yang terlibat dalam
proses produksi
Mekanisme petukaran
Tanah milik pribadi untuk
mencari keuntungan
Kepemilikan pribadi dan sewa
Semakin negatif
Negative
Petani-buruh-kerabat, buruh
semakin dominan
Tukar menukar pasar
Basis kerjasama
Hubungan kontraktual
Petani-lembaga keuangan-buruh
upahan
Sepenuhnya tukar-menukar
melalui pasar
Hubungan kontraktual dengan
adanya buruh
101
Tabel 5.12 : (lanjutan)
Ciri-ciri moda produksi
Orde Lama (1950-1965)
Artikulasinya
Orde Baru (1966-1997)
Basis Relasi sosial
produksi
Sifat relasi sosial produksi
Sistem upah semakin dominan
Upah sepenuhnya
Herarkhis
Sumber buruh
Relasi kekuasaan
Dari s istem sosial secara luas
Eksploitasi bertambah
Ketrampilan
Herarkhis karena buruh upahan,
untuk tani tanggung relative
egaliter
dan
srabutan
sepenuhnya egaliter
Dari pasar kerja dan luar daerah
Eksploitatif sepenuhnya
Ketrampilan
dan
sedikit
hubungan keluarga
Penguasaan
lahan
dan
pemanfaatan
program
pemerintah
Petani kaya/juragan
Sumber kekuasaan buruh
Sumber kekuasaan
majikan
Penguasaan kekuatan produksi
lahan
Kekuasaan yang dominan
Pengusaha pengusaha Cina dan
petani kaya
Formasi Sosial Kapitalis Negara dan Keberlangsungan Moda Produksi
Lokal
Masa setelah orde lama, formasi sosial desa TR dibangun oleh tiga moda
produksi utama yakni kapitalis pertanian yang diartikulasikan dalam pertanian
pribumi dan pengusaha Cina, kapitalis industri yang diartikulasikan dalam industri
agro dan pariwisata, serta subsistensi yang diartikulasikan dalam tani srabutan.
Kebijakan Negara mendominasi pengaturan penguasaan kekuatan produksi.
Siapa yang mampu meningkatkan produksi akan mendapat fasilitas pemerintah
asal sesuai dengan visi dan misi Orde Baru yakni pertumbuhan.
Berbagai kebijakan pemerintah merubah formasi kekuatan produksi
paska kekacauan jaman PKI berimplikasi pada ketidak seimbangan konstelasi
produksi. Pengusaha Cina dengan kekuatan modal dan kemudahan dari TNI-AU
memiliki kemampuan untuk survive lebih besar daripada petani lokal. Mereka
selalu menjaga hubungan baik dengan tentara dengan jalan menyewa lahan
dalam jumlah luas dan memberikan berbagai fasilitas. Hal ini menjadi rahasia
umum jika pengusaha Cina selalu memberi “angpao” (uang) pada para pejabat
tentara untuk memperoleh lahan bekas perkebunan.
Sementara itu petani kecil yang sudah mulai mengusahakan tanaman
komersial saat pengusaha Cina pergi di tahun 60-an kembali mengusahakan
tanaman non-komersial. Mereka sangat tertekan karena lahan perkebunan yang
telah diusahakan sebelumnya harus dikembalikan pada Negara. Kejadian PKI
adalah pukulan bagi gairah berusaha mereka. Menuntut hak atas tanah berarti
bagian dari PKI dan dapat dianggap sebagai musuh negara. Tak ada jalan lain
102
bagi mereka kecuali menjadi tani kecil dan buruh tani pada juragan kaya, juga
bekerja untuk pengusaha Cina.
Petani kaya yang mampu menyewa dan membeli tanah semakin
berkembang. Pengusiran pengusaha Cina dari desa TR menambah dominasi
mereka. Petani kaya sepenuhnya menggunakan cara pengusaha Cina untuk
mengorganisir produksinya baik dalam manajemen, maupun teknik produksi.
Untuk permasalahan buruh mereka lebih maju dari pengusaha Cina dengan
mengumpulkan tenaga kerja pada rumah-rumah yang ia bangun. Buruh
mendapat makan dan minum dari juragan sehingga harus kerja sepanjang hari.
Isi pembangunan adalah produksi. Untuk itu perlu memaksimalkan
pemanfaatan sumberdaya potensial untuk produksi. Di TR langkah pertama yang
diambil pemerintah adalah menata penguasaan kekuatan produksi terutama
lahan. Penertiban dilakukan dengan mengembalikan hak perkebunan, hak asli
rakyat, dan hak para pengusaha Cina. Namun demikian tidak seluruhnya
berhasil, karena tidak sepenuhnya lahan perkebunan yang dikuasai rakyat
dikembalikan. Karena kekuatan produksi utama saat itu adalah lahan,
menguasainya berarti dapat mengendalikan seluruh cara produksi, dan memberi
corak dominan dalam formasi sosial.
Orde baru pada dasarnya tidak memberikan perbedaan akses dalam
melakukan modernisasi. Hanya saja untuk urusan privilege ORBA lebih
mengutamakan Cina daripada penduduk. Konsesi yang diberikan oleh TNI-AU
kepada mereka untuk mengusahakan lahan bekas perkebunan, merupakan
bentuk privilege itu. Bahkan mereka dapat mengakses sumber modal lebih dulu.
Pemerintah juga secara langsung turut serta dalam produksi melalui
perusahaan Negara. PT. AN masuk mengenalkan perusahaan modern dengan
manajemen kapitalis layaknya Belanda. PT. AN juga melibatkan sepenuhnya
penduduk dalam organissi produksinya. Tidak berapa lama, PT-PT lain menyusul
muncul juga memakai cara yang sama dengan PT. AN. Seluruhnya
mengandalkan modal uang dan teknologi modern untuk menjalankan produksi.
Pemerintah juga melakukan optimalisasi pemanfaatan kawasan wisata.
Selecta yang sebelumnya tidak tergarap akhirnya di serahkan pada swasta untuk
dikembangkan. Secara perlahan pariwisata mulai memberi kontribusi pada
ekonomi TR. Bermunculan kemudian kegiatan-kegiatan ekonomi pendukung
obyek wisata. Tempat-tempat wisata lain juga bermunculan dan berkontribusi
pada perkembangan ekonomi lokal TR.
103
Dimana peran para petani? Saat-saat itu mereka lebih banyak melakukan
konsolidasi usaha yang terganggu akibat kekacauan sistem pengaturan lahan.
Bagi pemilik lahan luas mereka tinggal memanfaatkan saja fasilitas pemerintah,
dan kebanyakan mengambil keuntungan dari itu. Intensifikasi mereka lakukan
dengan gencar hingga akhirnya mampu bersaing dengan PT dan Industri
pariwisata. Sementara itu sebagian banyak yang kehilangan lahan terutama
bekas buruh yang dulu masuk ke perkebunan. Pembagian oleh PKI tidak dapat
lagi digunakan karena telah dikuasai oleh TNI-AU apalagi setelah program
transmigrasi. Kelompok inilah yang kemudian menjadi tani tanggung dan tani
srabutan dimasa datang.
Cara produksi apa yang dominan saat itu? Jika kita lihat dari besar
pengaruhnya, pada masa itu yang selalu membuat perubahan-perubahan adalah
industri agro. Kebijakan modernisasi pemerintah yang ditujukan pada penduduk
hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk, dan hanya mampu mengantarkan
mereka pada mobilisasi saja. Sementara itu industri pariwisata belum dapat
dikatakan memiliki pengaruh karena juga masih pada tahap konsolidasi. Dengan
demikian industri agrolah yang menjadi penggerak dominan perubahan. Dengan
demikian formasi sosial yang terbangun lebih menuju pada kapitalis.
Gejolak-gejolak upah tenaga kerja dan keluhan para juragan adalah
wujud dominasi industri agro pada formasi sosial kapitalis baru. Dengan berbagai
cara juragan mulai mengadopsi sistem pengorganisasian tenaga kerja berupa
pengetatan-pengetatan aturan kerja. Selain itu berbagai fasilitas yang diberikan
dulu tanpa imbalan apa-apa mulai dikaitkan dengan kinerja kerja buruh.
Puncaknya saat juragan akhirnya menyerah dan menyesuaikan upahnya dengan
pabrik meski dengan berbagai tuntutan baru pada pekerja.
Pada masa Orde Baru, moda produksi pertanian tradisional sepenuhnya
hilang dan berganti menjadi semi-komersial dan kapitalis pertanian. Semikomersial banyak diisi oleh petani-petani kebanyakan yang tidak segera meniru
cara produksi yang dikembangkan oleh pengusaha Cina pada awal-awal
kemerdekaan. Bagi yang masih memiliki kekuatan produksi bertahan menjadi
semi-komersial dan bagi yang tidak akan langsung menjadi buruh upahan pada
industri agro dan wisata maupun petani kaya dan pengusaha Cina.
Aktor-aktor ekonomi lokal yang terdiri dari petani kaya semakin kuat
posisinya karena mereka mampu bertahan dan melebarkan usahanya. Jaringan
pemasaran dan tanah mereka kuasai sebagaimana pengusaha Cina menguasai
sebelumnya. Mereka bahkan mampu bersaing dengan posisi sejajar setelah
104
pengusaha Cina yang sebelumnya di usir kembali lagi. Selama pengusaha Cina
pergi dan krisis politik berkepanjangan, petani-petani kaya ini ternyata
memapankan kemampuannya. Al-hasil setelah pembangunan seluruh peluang
yang ada dapat mereka manfaatkan dengan baik.
Pada tahun 1982 posisi Juragan yang berasal dari petani kaya semakin
kuat saat menyebar isu anti pengusaha Cina di Malang. Menurut beberapa
responden orang-orang Cina dan peranakannya sangat takut dan banyak
meninggalkan usahanya. Di TR mereka juga banyak yang begitu saja
meninggalkan asetnya dan tidak di urus hingga bertahun-tahun. Tanah terlantar
milik pengusaha Cina salah satunya diambil oleh penduduk di daerah SARFAAT
untuk pemukiman. Gencarnya isu anti Cina saat itu dikenal dengan istilah RAC
(Remaja Anti Cina) yang melakukan sweping dan intimidasi.
Jadi, selama orde baru cara produksi lokal yakni pertanian semikomersial dan tradisional masing-masing berubah menjadi kapitalis pertanian
yang diartikulasikan oleh petani kaya, sementara pertanian tradisional menjadi
buruh tani. Pertanian tradisional hilang sehingga cara produksi lokal sepenuhnya
berubah menjadi kapitalis. Masuknya industri semakin mempercepat proses
kepunahan cara produksi lokal.
Ikhtisar
Berdasar temuan di atas, pada masa kolonial cara produksi yang muncul
dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial.
Pertanian tradisional dalam posisi tersub-ordinasi karena seluruh surplus
produksi diserap oleh perkebunan melalui tenaga kerja dan pangan. Elit lokal dan
petani kaya memanfaatkan peningkatan kebutuhan pangan dengan jalan
memperbanyak produksi namun tidak sampai terjadi akumulasi. Dengan
demikian dominasi cara produksi tradisional secara perlahan memudar seiring
perkembangan perkebunan dan usaha tani petani kaya.
Pada awal kemerdekaan cara produksi yang muncul adalah pertanian
tradisional (petani biasa), semi-komersial (petani kaya), dan kapitalis pertanian
(pengusaha Cina). Cara produksi lokal terutama pertanian tradisional semakin
tidak berpengaruh dan cenderung menjadi semi-komersial. Sementara itu petani
kaya yang semi-komersial perlahan mulai menjadi kapitalis. Petani tradisional
semakin menurun dan pengaruhnya semakin kecil digantikan oleh pertanian
semi-komersial.
105
Memasuki Orde Baru, cara produksi yang muncul adalah pertanian semikomersial (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan
juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Pada masa ini pertanian
tradisional sepenuhnya hilang dan tinggal pertanian semi-komersial yang masih
memiliki corak lokal. Pertanian semi-komersial sebenarnya tidak begitu
berpengaruh karena seluruh kegiatan ekonomi berkiblat pada investasi
pemerintah. Para pelaku ekonomi lokal akhirnya menjadi buruh tani bagi yang
tidak mampu bertahan atau usaha tani kecil-kecilan bagi yang masih bertanah,
sebagian yang lain melakukan ekspansi ke lereng-lereng gunung.
Moda produksi lokal telah berubah dari moda produksi pertanian
tradisional sebelum masuknya kolonialisme menjadi kapitalis pertanian dan
pertanian semi-komersial setelah reformasi. Pada masa kolonial cara produksi
pertanian tradisional terpecah menjadi dua yakni pertanian semi-komersial yang
diartikulasikan oleh usahatani petani kaya dan pertanian tradisional yang
diusahakan oleh petani kebanyakkan. Perubahan ini didorong oleh kegiatankegiatan perkebunan yang memaksa sistem lokal untuk mendukung sepenuhnya
sistem perkebunan.
Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1950 terjadi perombakan
mendasar pada sistem sosial desa karena masuknya Jepang dan pengusaha
Cina. Jepang membongkar perkebunan dan membagikan lahan pada penduduk,
sementara pengusaha Cina memasukan komoditas kentang yang sangat
komersial pada struktur ekonomi lokal. Akibatnya petani yang telah mulai
komersial saat penjajahan menjadi semakin komersial. Jumlah mereka semakin
banyak dan cenderung meningkat pada periode berikutnya. Bahkan pada masa
Orde Lama petani lokal banyak yang menjadi semi-komersial dan mengusir
pengusaha Cina dari TR. Beberapa dari mereka bahkan telah menjadi kapitalis
pertanian dan menggantikan peran pengusaha Cina.
Memasuki Orde Baru cara produksi pertanian lokal semakin kuat bahkan
ketika
pengusaha
Cina
datang
mereka
sepenuhnya
dapat
bersaing
memperebutkan peluang pembangunan. Hanya saja perkembangan itu
dibarengi oleh meningkatnya jumlah petani tak berlahan dan buruh tani. Hal itu
semakin parah saat industri juga masuk memperebutkan kekuatan ekonomi
desa. Pada masa Orde Baru sepenuhnya pertanian tradisional tidak ada lagi.
Mengenai evolusi cara produksi lokal dari masa ke masa yang terjadi di
TR dapat dilihat secara ringkas dalam tabel berikut:
102
Tabel 5.13 : Perubahan aspek-aspek cara produksi pertanian tradisonal dari jaman kolonial hingga saat ini
Periode
Aspek cara produksi
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi dominan
2
Unit produksi
3
Sumber tenaga kerja
utama
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial hubungan
produksi
2
Struktur hubungan
produksi
3
Sifat hubungan
produksi
2
Orde Baru 1966-1997
5
Periode kolonial
2
akhir
Periode awal
kemerdekaan
3
(1945-1950)
Orde Lama 19504
1965
Pertanian semikomersial
Pertanian semi
komersial
Pertanian Semikomersial
Kapitalis pertanian
Pertanian Semi-komersial
Tanah
Tanah
Tanah
Modal
Tanah
Keluarga inti
Keluarga inti
Keluarga inti
Organisasi produksi
Keluarga inti
Keluarga luas dan
buruh
Keluarga luas dan
buruh
Keluarga luas dan
buruh
Buruh upahan
Keluarga luas dan buruh
Keluarga luas
Keluarga luas
Keluarga luas
Organisasi produksi
Keluarga luas
Mulai herarkhis
Semakin herarkhis
Herarkhis
Herarkhis
Herarkhis
Mulai eksploitatif
Semakin eskploitatif
Eksploitatif
Eksploitatif
Eksploitatif
Periode ini pertanian semi-komersialis diartikulasikan oleh petani kaya yang mampu memetik manfaat dari perkebunan, dan kebanyakan petani masih bercirikan pertanian tradisional
Periode ini pertanian semi-komersial jumlahnya semakin banyak seiring masuknya pengusaha Cina yang membawa komoditas kentang, sementara jumlah petani tradisional masih banyak.
4
Periode ini pertanian semi-komersial kelanjutan periode sebelumnya yang semakin besar, dimana jumlah petani tradisional semakin kecil dan tinggal di daerah yang jauh.
5
Periode ini pertanian komersial sebelumnya menjadi kapitalis, sementara tradisional menjadi komersial atau menjadi buruh tani, saat ini telah masuk industri agro ke desa.
3
103
Perubahan pada moda produksi lokal diatas selanjutnya berimplikasi
pada perubahan sistem sosial secara umum. Kelembagaan produksi, pertukaran
ekonomi, relasi sosial produksi dan relasi kekuasaan dalam masyarakat
mengalami pergeseran. Terlihat setelah cara produksi kapitalis kolonial masuk
kelembagaan produksi berubah orientasinya dari sistem lokal ke nilai-nilai
kapitalis. Sementara itu pertukaran ekonomi dari agak altruistic dimasa kolonial
menjadi balance dimasa kolonial, mulai negatif saat awal kemerdekaan, semakin
negatif pada masa Orde Lama, negatif penuh pada masa Orde Baru, dan sangat
negatif pada masa reformasi.
Relasi sosial produksi yang berkembang di masyarakat juga mengalami
perubahan secara perlahan dari masa ke masa. Pra kolonial basis hubungan
produksi masih pada hubungan keluarga, mulai mengenal sistem upah saat cara
produksi kolonial masuk, sistem upah menjadi biasa saat awal kemerdekaan,
sistem upah semakin biasa saat Orde Lama, dan selama Orde Baru dan
reformasi sistem upah mendominasi seluruh hubungan sosial produksi.
Selain relasi sosial produksi, relasi kekuasaan di TR juga mengalami
evolusi dari masa ke masa. Pada masa pro-kolonial sifat hubungan kekuasaan
dalam masyarakat masih berdasar atas kerjasama. Setelah cara produksi
kolonial masuk mulai eksploitatif dan semakin eksploitatif pada masa awal
kemerdekaan. Perkembangan berikutnya pada masa Orde Lama eksploitatif
semakin mendominasi dan saat Orde Baru sepenuhnya seluruh hubungan
kekuasaan dalam masyarakat bersifat eksploitatif. Sementara itu setelah
reformasi hubungan menjadi eksploitatif oportunistik.
Secara ringkas pergeseran yang terjadi pada sistem sosial terkait dengan
perubahan cara produksi dari masa ke masa dapat dilihat dalam tabel berikut:
104
Tabel 5.14 : Evolusi ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional dari masa kolonial hingga saat ini
Ciri-ciri cara produksi
Kolonial akhir (1870-1945)
Awal Merdeka (1945-1997)
Orde Lama (1950-1965)
Orde baru (1966-1997)
Kelembagaan produksi
Berorientasi pada sistem kapitalis
Berorientasi pada sistem
kapitalis
Berorientasi pada sistem
kapitalis
Berorientasi pada nilai kapitalis
Nilai yang mengatur
orientasi produksi
Memenuhi kebutuhan keluarga,
buruh perkebunan, dan mulai
komersial
Memenuhi kebutuhan keluarga dan
untuk dijual
Untuk dijual semakin besar dari
keluarga
Pasar lokal, internasional, dan
sedikit untuk konsumsi terutama
tani srabutan
Nilai yang mengatur
tujuan produksi
Pada keselarasan dengan lingkungan
sosial
Pada nilai kapitalis meski melihat
lingkungan sosial
Semakin erat dengan nilai kapitalis
Pada nilai luar meski
memperhatikan lingkungan sosial
Nilai yang mengatur
organisasi produksi
Keluarga sebagai unit produksi
Keluarga sebagai unit produksi
Keluarga sebagai unit produksi
Keluarga sebagai unit produksi tapi
telah terpisah pembukuannya
Nilai yang mengatur
penguasaan kekuatan
produksi
Tanah milik pribadi tapi memiliki
tanggungjawab sosial
Tanah milik pribadi untuk mencari
keuntungan
Tanah milik pribadi untuk mencari
keuntungan
Kepemilikan pribadi dan sewa
Bentuk pertukaran
ekonomi
Balance
Mulai negatif
Semakin negatif
Negative
Elemen yang terlibat
dalam proses produksi
Petani dan keluarga, kerabat, buruh
upahan, dan sesepuh desa.
Petani-buruh-kerabat
Petani-buruh-kerabat, buruh
semakin dominan
Petani-lembaga keuangan-buruh
upahan
Mekanisme petukaran
Tukar-menukar melalui pasar, kecuali
dalam jaringan kerabat
Tukar menukar melalui pasar
Tukar menukar pasar
Sepenuhnya tukar-menukar melalui
pasar
Basis kerjasama
Hubungan kontraktual dengan
adanya buruh
Hubungan kontraktual
Hubungan kontraktual
Hubungan kontraktual dengan
adanya buruh
Relasi sosial produksi
Mulai mengenal system upah
Sistem upah semakin biasa
Sistem upah semakin dominan
Upah sepenuhnya
Sifat relasi sosial produksi
Mulai bersifat herarkhis dengan
adanya buruh upahan
Herarkhis karena buruh semakin
banyak
Herarkhis
Herarkhis karena buruh upahan,
tani tanggung relative egaliter dan
srabutan egaliter
Sumber buruh
Dari sistem sosial luas, meski kerabat
diperlukan
Dari sistem sosial secara luas
Dari sistem sosial secara luas
Dari pasar kerja dan luar daerah
Relasi kekuasaan
Mulai eksploitatif
Semakin eksploitatif
Eksploitasi bertambah
Eksploitatif sepenuhnya
Sumber kekuasaan buruh
Kedekatan dan ketrampilan
Ketrampilan
Ketrampilan
Ketrampilan dan sedikit hubungan
keluarga
Sumber kekuasaan
majikan
Penguasaan kekuatan produksi
terutama lahan
Penguasaan kekuaan produksi
terutama lahan
Penguasaan kekuatan produksi
lahan
Penguasaan lahan, memanfaatkan
program pemerintah
Petani kaya
Pengusaha cina
Pengusaha pengusaha Cina dan
petani kaya
Petani kaya/juragan
Kekuasaan dominan
105
Berdasarkan moda produksi di atas dan perubahan yang terjadi pada
moda produksi lokal pada akhir kolonial hingga saat ini formasi sosial yang
terbangun dalam tiap masa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pertanian
tradisional lokal yang menjadi ciri formasi sosial awal desa berubah ketika cara
produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam perkebunan Belanda masuk dalam
struktur ekonomi lokal. Dengan masuknya cara produksi kapitalis ini cara
produksi lokal akhirnya menjadi tersub-ordinasi.
Hal itu berubah setelah Penjajah Jepang masuk, kemerdekaan dan
rencana ekonomi pemerintah saat itu, serta masuknya pengusaha Cina. Masa
awal kemerdekaan ini diliputi oleh perang fisik dan mobilitas produksi untuk
memulihkan ekonomi nasional yang sedang ambruk. Setelah Belanda pergi dan
pengusaha Cina masuk maka cara produksi lokal menjadi tersub-ordinasi oleh
cara produksi kapitalis pertanian yang dikembangkan oleh pengusaha Cina.
Masa-masa ini berakhir tahun 1950-an.
Masa berikutnya adalah Orde Lama, dimana nasionalisasi perkebunan
dilakukan dan petani mulai memiliki kesadaran politik karena masuknya politik
hingga tingkat desa. Petani sebagai pelaku ekonomi lokal mulai belajar dan
meniru cara produksi baru yang dikenalkan oleh pengusaha Cina. Petani-petani
lokal yang memiliki kemampuan akhirnya mampu menjadi lebih komersial karena
mereka mulai mengusahakan tanaman komersial. Mereka adalah para petani
kaya yang sebelumnya telah mampu memetik keuntungan dari perkebunan.
Secara perlahan dominasi cara produksi kapitalis pertanian yang dikembangkan
oleh pengusaha Cina tergeser oleh petani kaya lokal. Hal itu mencapai
puncaknya ditahun 1960-an saat pengusaha Cina di usir dari desa TR. Masa ini
berakhir tahun 1965 saat peristiwa PKI.
Memasuki Orde Baru seluruh potensi nasional diarahkan untuk
pertumbuhan ekonomi sehingga dikembangkan modernisasi di pedesaan.
Seluruhnya
diperbolehkan
mengambil
keuntungan
dari
desa
termasuk
pengusaha Cina yang telah terusir. Industri agro dan program-program
pembangunan di masukkan dan dapat ditangkap oleh petani kaya dan
pengusaha Cina. Kiblat saat itu adalah investasi pemerintah sehingga yang
dominan adalah cara produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam industri agro
dan wisata, serta petani kaya dan pengusaha Cina. Dominasi ini berubah dengan
cepat saat krisis ekonomi, dimana seluruh cara produksi di TR terhenti hingga
106
akhirnya melakukan reposisi diri. Mengenai formasi sosial yang terbangun dalam
tiap periode dapat dilihat lebih rinci dalam tabel berikut:
Tabel 5.14 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi
Cara produksi
Masa kolonial
Awal
Orde Lama
Orde Baru
kemerdekaan
Pertanian Tradisional
***
**
*
0
Kapitalis kolonial
****
0
0
0
Pertanian semi-komersial
*
**
***
*
Kapitalis pertanian
0
****
****
***
Kapitalis
0
0
0
****
Ket
:
*****
***
**
Sangat mendominasi
Mendominasi
Kurang mendominasi
*
0
Tidak mendominasi
Tidak ada
Dari tabel di atas, terlihat pada masa kolonial cara produksi kapitalis
kolonial sangat dominan, baru disusul oleh pertanian tradisional, dan pertanian
semi komersial. Pertanian komersial meski lebih dekat dengan kapitalis kolonial
belum menjadi kekuatan yang dominan akibat pertumbuhannya yang sangat
terbatas. Ia tumbuh karena kebutuhan pangan buruh dimana pertanian
tradisional juga menyumbangkan surplus produksinya meski kecil. Karena
kondisi demikian dominasi pertanian semi-komersial relatif lebih rendah
dibanding dengan pertanian tradisional.
Hal berbeda terjadi pada masa awal kemerdekaan dimana kapitalis
pertanian yang dibawa pengusaha Cina sangat mendominasi. Di sisi lain
pertanian semi-komersial juga berkembang dengan pelaku para petani kaya
yang telah tumbuh sebelumnya pada masa kolonial. Pertanian tradisional malah
menurun dominasinya karena banyak petani tradisional yang berpindah
menanam tanaman komersial sebagaimana yang diusahakan pengusaha Cina
dan tani semi-komersial.
Pada masa Orde Lama yang meningkat pengaruhnya hanyalah pertanian
semi-komersial. Banyaknya petani tradisional yang berpindah ke tanaman
komersial cenderung meningkatkan pengaruh cara produksi ini. Namun
demikian, dominasi cara produksi kapitalis pertanian tetap kuat. Di sisi lain
107
pengaruh pertanian tradisional menjadi sangat kecil karena banyak yang beralih
ke pertanian semi-komersial.
Dominasi kapitalis pertanian rupanya berakhir setelah orde baru.
Investasi pemerintah yang cukup besar di bidang industri agro menjadikan cara
produksi kapitalis menjadi dominan. Kapitalis pertanian dengan pemain
pengusaha Cina dan petani kaya harus bergeser, sementara petani semikomersial menjadi sangat kecil pengaruhnya. Banyak dari pelaku cara produksi
semi-komersial yang menjadi kapitalis atau buruh.
Pada masa reformasi sebenarnya tidak ada perbedaan dengan masa
sebelumnya. Hanya saja pertanian semi-komersial sebenarnya telah sangat
berkurang pengaruhnya dan cenderung beralih ke kapitalis pertanian. Pelakunya
banyak yang kehilangan kekuatan produksi dan menjadi buruh tani atau buruh
industri. Sebenarnya kapitalis pertanian meningkat pengaruhnya, namun
dominasi cara produksi kapitalis sangat kuat karena masuknya para investor
baru
selain
pemain
lama.
Kekuatan
modal
yang
dimiliki
dan
cara
pengorganisasian buruh baru menambah kekuatan dominasi cara produksi ini.
DINAMIKA MODA PRODUKSI
DAN FORMASI SOSIAL KONTEMPORER (1997-2005)
Bab ini membahas perubahan moda produksi kapitalis pertanian akibat
perkembangan-perkembangan mendasar berbagai artikulasi ekonomi kapitalis
terutama dalam industri agro dan pariwisata. Setelah krisis, industri agro dan
pariwisata merombak organisasi produksinya dari model manajemen modern
klasik, menjadi lebih akomodatif terhadap sistem yang berkembang di
masyarakat. Strukturnya tidak lagi kaku dan herakhis, tapi lebih luwes terutama
pada pengorganisasian buruh upahan.
Faktor-faktor Pendorong Perubahan
Perkembangan Juragan dan Pengusaha Cina
Juragan dan pengusaha Cina identik dengan kekayaan, keberhasilan,
dan tanah yang luas. Juragan mulai mendapat warna jelas pada tahun 1990-an,
saat sayur mencapai puncak kejayaan. Orang dikatakan juragan bila memiliki
tanah luas, biasanya lebih dari lima hektar, memiliki banyak tanah sewaan, dan
memelihara banyak boro kerjo 19. Meski peran juragan telah nampak dan semakin
nyata, saat itu mereka belum mendominasi sepenuhnya ekonomi desa seperti
sekarang. Disejajarkan dengan pengusaha industri agro dan pengusaha Cina,
mereka belum memiliki kekuatan berarti saat itu.
Saat ini juragan telah mendominasi dinamika ekonomi lokal, meski masih
tetap kalah dengan industri. Sebelum krisis, kekuatan produksi juragan
ditentukan oleh penguasaan lahan saja, dan sekarang mereka mampu
menggabungkan modal uang dan lahan. Modal uang digunakan untuk sewa
lahan, sementara modal lahan digunakan untuk mengambil uang di bank. Para
juragan memiliki tanah luas lebih dari lima hektar, bahkan ada diantaranya yang
hingga puluhan hektar 20.
19
Boro kerjo adalah nama bagi buruh dari luar daerah yang mencari kerja di TR dan menginap di
sana hingga berbulan-bulan bahkan tahunan mengingat kerja di sayur dan apel sepanjang tahun.
Mereka biasanya dari daerah marjinal seperti selatan Malang, Blitar, juga dari Pujon dan daerahdaerah lainnya di sekitar TR. Mereka menginap di rumah juragan karena tiap juragan memiliki
rumah penampungan khusus untuk mereka, dan ada juga yang menginap dirumah penduduk atau
di rumah saudaranya yang telah dulu masuk dan menjadi warga TR.
20
Di TR ada lima juragan yang menguasai tanah masing-masing tidak kurang dari 20 hektar baik
milik pribadi maupun sewa yakni GRN, PNO, dan NRA yang menjadi juragan karena warisan,
serta P. BK dan P. NY yang menjadi juragan karena usaha. Ketiga pertama masih memiliki
hubungan saudara keturunan orang kaya lama, sementara dua kedua adalah bekas buruh boro dari
Blitar yang kawin dengan orang elit lokal.
109
Seorang juragan mampu menampung tenaga kerja boro untuk tinggal di
rumahnya hingga 50-an orang. Mereka bekerja sepanjang tahun dan
mendapatkan gaji tiap bulan. Juragan juga memiliki beberapa orang pekerja
tetap atau yang dikenal sebagai “pandek”. Juragan juga jarang berhubungan
langsung dengan pekerja, tapi melalui mandor. Mandor adalah orang
kepercayaan juragan yang bertugas melakukan kontrol terhadap kerja buruh dan
bertanggungjawab pada penggajian. Biasanya mandor masih kerabat juragan,
atau pandek yang sudah lama dan memiliki kepemimpinan yang baik.
Seorang juragan mendapatkan pekerja melalui orang kepercayaannya.
Orang kepercayaan ini biasanya telah lama bekerja padanya dan memiliki
hubungan dengan asal pekerja. Juragan tinggal memesan berapa jumlah orang
dan apa keahliannya. Ia akan mendapatkannya segera dengan bantuan orang
kepercayaan tersebut. Karena tanaman sayur dan apel memerlukan perawatan
sepanjang tahun, maka tenaga kerja diperlukan terus. Akibatnya, tenaga kerja
harus ada sepanjang tahun dan hanya berhenti saat senggang saja. Karena itu
juragan hafal betul dengan kelompok kerja yang bekerja padanya.
Untuk juragan kaya dan memiliki tanah luas, pekerja dalam dan luar tidak
mungkin mencukupi. Juragan demikian biasanya memiliki kuli tetap yang tinggal
di rumahnya sepanjang tahun. Kuli ini digaji bulanan serta makan dan minum dari
juragan. Kuli tetap bisa boro kerjo atau orang desa sendiri yang jumlahnya dapat
10-20 orang, bahkan hingga 50 orang. Mereka makan dan minum di rumah
juragan dengan gaji yang sama dengan pekerja harian. Fasilitas lebih yang
diterima diganti dengan kerja 24 jam penuh. Kadang kala mereka juga harus
lembur jika sayur panen atau kirim barang ke luar daerah.
Seorang kuli ada yang bekerja telah 25 tahun pada juragan yang sama.
Kuli demikian biasanya berasal dari daerah yang jauh sehingga mereka tidak
memungkinkan pulang ke daerahnya setiap hari. Mereka biasanya bekerja
selama satu tahun dan pulang setiap lebaran, meski ada juga yang pulang setiap
bulan atau 3 bulan sekali tergantung keuangan dan jauh dekatnya rumah.
Seorang kuli yang pulang biasanya juga membawa teman baru untuk
bekerja pada juraganya. Pola berantai ini berguna bagi kuli lama untuk
menambah teman dan orang satu kampung agar kerasan. Orang yang
membawa teman baru biasanya telah dipercaya oleh juragan atau paling tidak
akan dikenalkan oleh orang kepercayaan agar diterima bekerja. Jika ada yang
menjamin juragan pasti dapat menerimanya.
110
Juragan, karena sifat usahanya yang sangat kapitalis, memiliki hubungan
sangat dekat dengan bank. Hal ini untuk mendukung permodalan mereka
terutama dalam menghidupi tenaga kerja. Uang pinjaman bank dapat mencapai
ratusan juta yang dicicil dua kali setahun. Bank sangat dekat dengan usaha
juragan sehingga sangat mudah untuk memberikan pinjaman dengan jaminan
sertifikat. Ini merupakan usaha dari juragan untuk mendapatkan cara kerja dan
membangun usahanya.
Cara Mengorganisasikan Buruh. Tidak hanya permasalah kekuatan
produksi, juragan juga melakukan perubahan mendasar pada relasi buruh
majikan. Jika dulu buruh dapat bekerja apa saja dan kapan saja, saat ini buruh
mengenai jumlah, jenis kelamin, dan keahliannya, tergantung pada jenis
pekerjaannya. Terjadi spesialisasi pekerjaan sebagai konsekwensi atas semakin
kapitalisnya juragan. Hal itu dapat dilihat dari seluruh item pekerjaan dalam satu
proses produksi, dimana buruh telah memiliki spesifikasi tersendiri.
Untuk tanaman apel pekerjaannya meliputi penanaman (lubang dan
pengurukan) dikerjakan oleh laki-laki secara borongan. Setiap lubang tanaman
seharga 1000 rupiah. Borongan ini marak saat PT. AN sering menggunakan
sistem itu untuk mengerjakan pembuatan jalan ke pabrik dan pengolahan lahan.
Sekarang kerja borongan tidak ada lagi dan seluruhnya dengan gaji.
Paling tidak ada tiga jenis buruh yakni : pertama pandek adalah buruh
yang telah lama bekerja pada juragan dan tidak berganti-ganti. Ia memiliki
Hubungan khusus dengan juragan yang tidak dimiliki oleh buruh biasa. Pandek
kadangkala hingga dikawinkan oleh juragan jika juragannya baik dan pandek ini
seorang bujangan. Hubungan khusus itu berupa pinjaman uang, jaminan sosial
jika kekurangan, juga membantu pekerjaan lain di luar kerja sawah. Saat pesta,
kematian keluarga juragan, hajatan, pandeklah yang memiliki pekerjaan paling
berat. Sangat jarang pandek berpindah juragan, jika tidak ada perselisihan cepat
teratasi. Pindah terjadi jika juragan mati atau bangkrut dan pekerjaan tidak ada.
Kedua, buruh bebas adalah buruh yang bekerja dengan bebas pada
juragan tanpa terikat oleh Hubungan khusus. Ia dapat berpindah juragan
semaunya dan untuk tim manapun. Buruh ini dapat memilih jenis pekerjaan dan
juragan mana yang akan diikuti. Buruh dapat berhenti kapan saja tergantung
kemampuan dan kemauannya. Ia tidak mendapat fasilitas khusus oleh juragan
dan hanya mendapat gaji biasa. Buruh bebas ini kebanyakan berasal dari dalam
desa dan memiliki kesempatan memilih juragan daripada buruh dari luar daerah.
111
Ketiga, boro Kerjo adalah pekerja luar daerah yang mencari kerja di TR
dan menginap beberapa bulan selama musim pekerjaan. Mereka ada yang
menginap di rumah juragan yang memang selalu disediakan atau di rumah
penduduk. Mereka biasanya adalah anak-anak muda tapi ada pula orang-orang
tua yang datang dari berbagai tempat. Mereka mendapatkan fasilitas dari juragan
berupa tempat tinggal dan makan. Sebagai imbalan mereka harus bekerja
sepanjang hari hingga malam. Bahkan, mereka juga harus siap mengawal
pengiriman barang ke pasar kapan saja sesuai pesanan.
Sekelompok pekerja datang ke Lokasi setiap jam 07.00 pagi dengan
membawa alat masing-masing yakni cangkul, sabit, dan alat lainnya tergantung
pekerjaan apa yang akan dilakukan. Alat-alat seperti sprayer, selang, alat angkut
telah disediakan juragan dan dibawa mandor dari rumah juragan. Lahan yang
jauh, biasanya telah dibuatkan rumah kecil untuk menampung alat-alat tersebut.
Pekerja datang ke lokasi kalau segala kebutuhan kebun telah dilayani dan
langsung bekerja.
Buruh istirahat jam 09.00 pagi untuk makan pagi. Mereka telah membawa
makanan dari rumah masing-masing. Biasanya mandor akan pergi dan makan di
luar atau pindah lokasi untuk mengawasi pekerjaan di lahan lain. Mandor dapat
membawahi beberapa tempat lahan, dan jika terlalu banyak, ia memiliki wakil
informal. Biasanya wakil ini adalah “pandek” juragan yang telah lama bekerja,
atau orang yang dipercaya mandor.
Untuk kerja rompes biasanya dikerjakan perempuan, karena gajinya kecil
dan hasilnya dengan laki-laki sama. Penanaman, rompes dan pemupukan tidak
memerlukan keahlian sehingga siapapun juga boleh ikut. Sementara itu untuk
pekerjaan memotong dan melengkungkan batang harus orang khusus. Buruh
perempuan digaji 9-10 ribu per hari, sementara buruh laki-laki 10-12 ribu, dan
buruh potong dapat 12-15 ribu sehari. Kesalahan potong dan melengkungkan
batang apel menyebabkan kematian dan tidak berbuah.
Pekerjaan pemupukan, tenaga kerja laki-laki dan perempuan bersama,
dimana laki-laki mengangkut pupuk dan membuat lubang, sementara perempuan
memupuk dan menutup lubangnya. Kalau yang tersedia tenaga kerja perempuan
atau laki-laki saja, maka pemupukan dapat dilakukan salah satu. Untuk kerja
rompes biasanya dikerjakan perempuan karena gajinya kecil dan hasilnya sama
dengan laki-laki.
Untuk mendapatkan buruh, juragan dapat menggunakan “pandek” atau
orang kepercayaan untuk menghubungi kelompok kerja tertentu. Seorang
112
pandek kebun tinggal bilang pada kelompok-kelompok kerja, baik yang ada di
dalam desa maupun yang dari luar desa. Kelompok kerja ini biasanya
sekawanan orang yang biasa bekerja bersama dan didesa ada banyak kelompok
kerja. Setiap kelompok kerja ada seorang pemimpin yang akan mengumpulkan
orang-orang jika ia mendapat pesanan orang. Dengan menunjuk ketua kelompok
ini maka juragan tidak perlu repot-repot mencari orang, tinggal pesan berapa
yang diperlukan dan apa keahliannya.
Biasanya kelompok kerja ini spesialis tertentu meski dapat juga
melakukan pekerjaan lain. Kelompok kerja ini sebenarnya tidak formal, hanya
karena keseharian mereka yang selalu bersama. Keanggotaan juga tidak tertutup
sekali, namun terbuka bagi siapa saja. Namun biasanya seorang pemimpin akan
memprioritaskan orang-orang dekatnya jika pekerjaan kecil. Namun jika
pekerjaan besar ia dapat mengajak orang lain.
Untuk mengenali kelompok, juragan tinggal melihat siapa pemimpinnya.
Orang akan mengatakan “iku lho, golongane Cak Di” (itu lho, golongannya Cak
Di). Golongan Cak Di menunjukkan kumpulan orang yang dipimpin Cak Di dan
juragan akan langsung tahu kinerjanya. Dengan tahu kelompok tertentu, maka
juragan telah paham orangnya pasti si A dan si B atau si C dengan kelemahan
dan keunggulan masing-masing.
Untuk pekerja dari luar, sang juragan akan memanfaatkan orang
kepercayaannya yang biasanya telah lama bekerja disana untuk mencari orang.
Juragan tinggal berapa kebutuhan dan apa keahliannya, ia mendapatkannya
segera dengan bantuan orang kepercayaan. Orang kepercayaan adalah orang
kampung tempat calon kuli tinggal. Setelah kuli terkumpul, keesokan harinya
juragan menjemputnya. Tanaman sayur dan apel memerlukan perawatan
sepanjang tahun, sehingga tenaga kerja diperlukan terus. Dengan demikian di
TR, pekerjaan tersedia sepanjang tahun sehingga juragan hafal betul dengan
kelompok kerja yang bekerja padanya.
Hak dan Kewajiban Buruh dan Juragan. Pada dasarnya hak buruh
adalah mendapatkan imbalan yang layak dalam bekerja dan tepat waktu
pembayarannya. Imbalan pokok berupa gaji juga fasilitas lainnya berupa bonus,
hadiah, THR atau bentuk-bentuk lain seperti rokok, makanan, juga pinjaman jika
buruh memerlukan uang mendadak. Hak ini melekat pada buruh jika ia juga
memenuhi berbagai kewajibannya.
Kewajiban buruh adalah menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tepat
waktu dan tidak merugikan majikannya (berbuat salah, salah potong, salah
113
angkut atau malas-malasan). Seorang buruh harus rajin dan terampil agar
diperhatikan dan mendapat gaji lebih dari juragannya. Buruh tidak boleh terlihat
menganggur meski pekerjaannya selesai. Jika buruh berhenti bekerja, meski
pekerjaan selesai maka tetap ia dikatakan malas dan ini menjadi beban bagi
buruh dan merasa tidak enak dengan majikan. Buruh seringkali mencari
pekerjaan lain seperti membersihkan selokan atau memeriksa kembali
pekerjaaannya meski perkerjaan utama telah selesai.
Sementara itu, hak majikan hanya satu yakni mendapatkan hasil
pekerjaan yang memuaskan. Memuaskan artinya pekerjaan tepat waktu, hasil
baik dan sedikit kerusakan. Dengan demikian, juragan memiliki hak penuh untuk
menyuruh, menegur, juga memberhentikan buruh jika tidak memuaskannya.
Teguran tidak langsung pada buruh yang bersangkutan, tapi melalui orang
kepercayaan atau ketua kelompok kerja.
Di sisi lain, kewajiban juragan adalah memberikan seluruh hak buruh
dengan baik seperti gaji, bonus juga hadiah-hadiah tertentu. Selain itu juragan
juga berkewajiban untuk menjaga hubungan baik untuk mendapatkan loyalitas
buruh. Meski hanya buruh, dan tenaga kerja melimpah, menyalahi buruh dapat
menyulitkan juragan dalam mencari buruh lagi.
Juragan yang kasar dan sering memotong gaji akan dicap sebagai
juragan lalim. Cap jelek dapat menurunkan reputasi dan berimbas pada kesulitan
mencari buruh. Paling tidak buruh akan mengerjakannya terakhir setelah juragan
lain selesai. Hal itu tentu merugikan juragan sendiri. Sebaliknya jika juragan
sering memberi hadiah di luar gaji, juga berprilaku baik, maka ia akan menjadi
prioritas. Akibat kondisi pasar kerja yang rentan isu demikian, maka juragan
cenderung ingin menambah tenaga kerja tetap agar mendapat jaminan tenaga
sepanjang tahun.
Pekerja tetap relatif sulit berpindah dan lebih tekun dari pada buruh
bebas. Buruh tetap merupakan buruh utama juragan, sementara buruh luar
sebenarnya hanya untuk tambahan karena beban kerja yang tidak mungkin
diselesaikan buruh tetap. Buruh luar cenderung sulit untuk dipegang dan kotrol
juragan lemah. Karena sulitnya mencari buruh tetap, kadang juragan terpaksa
merekut buruh luar lebih banyak.
Mekanisme Kontrol Buruh oleh Juragan. Untuk mencapai target
produksi, seorang juragan memerlukan kerja buruh yang baik. Buruh yang malas
dan sembrono sangat merugikan. Buruh dikatakan baik jika kwalitas kerja dan
kotinuitas kerja baik. Kwalitas diukur dari banykanya hasil pekerjaan dan
114
kecepatan waktunya. Sementara itu kontinuitas kerja adalah konsistensi buruh
untuk selalu masuk kerja setiap juragan memerlukan tenaganya. Agar keduanya
terjamin maka juragan perlu melakukan kontrol terhadap kerja buruh.
Kontrol dilakukan melalui beberapa tahap, yakni (1) rekutmen atau seleksi
buruh, (2) keahlian atau kerja di lapang, dan (3) konsistensi kerja. Pertama,
seleksi dilakukan oleh juragan melalui orang kepercayaannya dimana juragan
telah menyatakan nama-nama tertentu. Orang kepercayaan akan menyeleksi
anggota kerjanya sesuai dengan kebutuhan juragan. Orang kepercayaan
biasanya dipilih juragan berdasarkan kepemimpinan dan etos kerjanya. Orang
kepercayaan memiliki dua sisi peran, yakni mengamankan kelompok kerjanya,
juga harus menjaga keamanan dirinya sendiri.
Kedua, kerja lapang. Pada tahap ini kontrol dilakukan sepenuhnya oleh
juragan, atau orang dekatnya yang memimpin kerja, juga orang kepercayaan
(mandor). Juragan sekali-kali mengunjungi dan mengingatkan buruhnya agar
lebih giat. Untuk menarik simpati, biasanya juragan membawa jajanan kecil dan
rokok untuk para pekerja (Penulis ikut kelompok kerja). Ia akan melihat kerja dan
berbicara dengan buruh satu-satu sambil berputar melihat tanamannya. Setelah
dirasa cukup ia berbicara dengan mandor dan memberikan penilaian, juga
intruksi atau pesan-pesan tertentu untuk mandor.
Seorang mandor juga mengatur ritual kerja agar tidak terlalu giat atau
terlalu lambat. Sepertinya ia dapat mengukur dengan nalurinya kapan kerja itu
cepat dan kapan lambat, juga kapan harus berhenti. Saat saya bertanya kenapa
demikian? Ia menjawab “Ya agar kita tidak dianggap terlalu lambat nanti ndak
enak sama juragan, dan jika terlalu cepat ndak enak dengan kelompok lain
dianggap menjilat juragan”. (saya memikirkan dalam hati apakah HDI (human
development indeks) dapat diterapkan di Indonesia jika diukur dengan metode
biasa). Ini membuktikan jika standar kerja di TR tidak hanya berkaitan dengan
juragan saja, tapi dengan kelompok lain juga.
Kalau juragan turun maka kerja dikendalikan langsung olehnya. Ia tinggal
menyuruh sana sini untuk memastikan kerja berjalan cepat. Jika buruh lambat,
juragan bekerja lebih cepat, dan buruh akan mengikuti. Dengan isyarat perilaku
kerja, menjadi tanda/simbol bagi buruh untuk mengikuti ritme kerja juragan. Jika
buruh terlalu cepat, juragan berbicara sanepan (kiasan) “alon-alon ae po oo rek!
Koyok sesuk gaak nok dino” (Hai jangan cepat-cepat, sepertinya besok tak ada
hari). Juragan punya ukuran sendiri kapan kerja cepat, dan kapan lambat.
115
Cara kontrol efektif adalah saat buruh memasuki masa orientasi. Ini
berlaku bagi buruh baru, dimana juragan akan membimbing dengan suara keras
untuk memberi contoh cara kerja yang baik. Hal ini akan diingat selalu oleh
seorang buruh, dan akan diulang kembali oleh juragan jika kelompok buruh baru
datang. Suara keras juragan juga bermakna mengingatkan buruh untuk selalu
ingat tugas dan kewajibannya.
Ketiga, konsistensi kerja adalah evaluasi jangka panjang akan prestasi
buruh atau kontrol juragan atas kerja buruh dari waktu ke waktu. Kontrol ini
berfungsi untuk menetapkan reward/imbalan bagi prestasi buruh. Reward ada
tiga jenis yakni penghargaan/sebutan, hadiah-hadiah, juga kepercayaan juragan.
Jika buruh telaten dan loyal serta setia pada juragan maka ia dikenal sebagai
buruh baik dan sewaktu-waktu dapat menjadi orang kepercayaan juragan. Hal itu
terjadi jika buruh serius (dalam kerja) dan memiliki jiwa kepemimpinan. Orang
kepercayaan juragan sering mendapat hadiah-hadiah, dan kalau lebaran, THR
lebih besar dari buruh kebanyakan.
Perkembangan Tani Tanggung
Tani tanggung sebenarnya merujuk pada petani yang memiliki tanah tidak
terlalu luas, juga kekayaan yang biasa saja. Mereka tidak dapat mengerjakan
tanahnya sendiri tanpa mempekerjakan orang lain terutama saat panen dan
tanam. Meski demikian tenaga kerja inti adalah seluruh anggota keluarga,
terutama saat pemeliharaan tanaman. Luas lahan berkisar antara 0,5-1 hektar,
yang jumlahnya cukup luas dibandingkan petani lainnya.
Kekuatan produksi utama adalah lahan milik, juga dari sewaan. Lahan
sewa juga tidak terlalu luas hanya sekitar satu sampai dua hektar saja.
Organisasi produksi menggunakan keluarga dimana pemilik juga sekaligus
manajer usaha. Tidak ada mandor sebagaimana juragan dan hubungan kerja
relatif egaliter. Tani tanggung juga tidak memiliki buruh pandek sebagaimana
juragan. Mereka lebih mengandalkan buruh bebas dan boro kerjo yang tidak
terikat pada juragan tertentu. Selain mudah didapat, mempekerjakan buruh
bebas lebih praktis karena tidak perlu menyediakan tempat menginap. Buruh
bebas berasal dari orang sekitar sehingga tahu persis kualitas kerjanya.
Sistem kerja tidak seketat sebagaimana di rumah juragan. Selain aturan
jam mulai yang tidak ketat, waktu istirahat dan pulang juga sangat fleksible. Kerja
juga tidak ditarget meski seseorang dapat mengukur sendiri berapa lama sebuah
beban kerja seharusnya habis. Jika di juragan buruh lepas tidak mendapatkan
116
apa-apa, di tani tanggung masih mendapatkan rokok, makan, juga jajanan
tergantung kebaikan tuan rumah. Hal ini umum dibicarakan jika orang makin
kaya makin pelit, hingga waktu kencing saja harus di potong gajinya.
Hubungan kerja yang dibangun antara buruh dan majikan tidaklah
herarkhis sebagaimana juragan. Bisa saja buruh bebas teman bermain majikan,
atau bahkan saudaranya. Kesalahan-kesalahan kerja juga dapat dimaafkan
dengan mudah asalkan mau memperbaiki. Karena hal demikian sangat jarang
seorang buruh melakukan kesalahan, sebagaimana biasa terjadi pada juragan.
Tani tanggung tidak begitu memiliki hubungan erat dengan lembaga
keuangan seperti bank sebagaimana juragan. Kalaupun ada paling hanya
meminjam pada BPR yang jumlahnya kurang dari 10 juta. Mereka menganggap
berhubungan dengan bank membuat orang tidak tenang dalam usaha. Jika
memang tidak memiliki modal, mereka menanam tanaman yang tidak
memerlukan biaya tinggi seperti bawang pre atau wortel.
Cara Megorganisasikan Buruh. Tidak sebagaimana juragan, tani
tanggung tidak perlu mengerahkan banyak tenaga kerja karena lahan sempit.
Bantuan diperlukan saat beban kerja banyak yakni mengolah lahan, menanam,
dan panen saja. kadang-kadang cukup beberapa orang untuk membantu dan
tidak perlu mencari jauh-jauh. Kecuali jika panen, ada kelompok khusus yang
bekerja dan hasil dibawa langsung oleh pedagang.
Kerap kali petani tanggung mendapatkan tenaga dengan cara omongomong ke tetangga atau kelompok kerja tertentu. Dia mengatakan perlu
beberapa orang untuk membantu dan akan langsung ada orang yang
menawarkan diri. Biasanya ia tinggal berbicara pada orang yang biasa menjadi
pemimpin pekerja (dari kelompok tertentu). Orang ini selanjutnya akan
mengumpulkan anggota kelompoknya dan menentukan siapa yang berangkat.
Jika pekerjaan banyak maka seluruh anggota akan ikut, jika hanya sedikit maka
akan dipilih orang-orang tertentu tergantung kebijaksanaan pemimpin.
Sementara itu, tani tanggung akan berangkat pagi-pagi ke lahan sendiri
beserta anggota anak laki-laki dengan membawa peralatan yang diperlukan. Ia
selalu datang sebelum para pekerja dan telah melakukan beberapa pekerjaan
untuk menunjukkan bahwa ia tani “tulen”. Jika ia tidak melakukan hal ini maka
dapat dianggap berprilaku seperti juragan. Karena para pekerja kelasnya tidak
begitu jauh dengan mereka, biasanya hubungan yang dijalin lebih egaliter.
Setelah para pekerja datang, tani tanggung menghentikan pekerjaannya
dan mulai berputar mengitari lahan. Ia akan mencari tempat jauh agar tidak
117
melihat para pekerja memulai pekerjaan. Kadang kala malah pergi pulang untuk
makan atau mengambil peralatan lagi. Setelah itu datang membawa beberapa
oleh-oleh berupa makanan ringan dan minum atau paling tidak rokok.
Hak dan Kewajiban Buruh-Majikan. Pada dasarnya hak buruh
seluruhnya sama yakni mendapatkan upah yang layak sesuai aturan sosial yang
berlaku. Selain itu buruh juga berhak mendapatkan perlakukan baik selama
bertugas, juga setelah tugasnya selesai. Jika keduanya tidak diberikan, atau
salah satunya, tani tanggung akan mendapat sangsi sosial. Ia akan sulit
mendapatkan tenaga kerja, juga akan disebut sebagai orang yang “medit” (kikir)
untuk upah dan “mokong” untuk perlakuan.
Kewajiban buruh adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan
tugasnya dan tidak mengulur waktu atau bermalas-malas dalam bekerja. Selain
itu buruh juga harus menjaga ritme agar tidak terlalu cepat atau lambat. Jika
seorang buruh terlalu cepat maka ia akan mendapat teguran dari teman-temanya
dan dikatakan “ngoyo” memaksa dan jika lambat “ngisinke” memalukan.
Sekelompok pekerja sepertinya telah memiliki standar kerja sendiri sehingga
mereka menyelesaikan kerja dengan tepat waktu.
Sementara itu seorang juragan memiliki hak untuk mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan kebiasaan yang ada. Jika dalam satu hektar lahan
dikerjakan oleh 10 orang maka dalam lima hari sudah hari selesai, dan
penanaman kentang cukup dua hari. Jika panen maka tidak ada batasan karena
bentuknya borongan sesuai dengan hasil panen. Demikian juga tanaman wortel
tidak ada upah harian untuk buruh “cabut” panen karena dihitung tiap keranjang.
Banyak tani tanggung dibantu oleh anggota keluarganya dalam
menyelesaikan pekerjaan. Tidak ada upah bagi mereka dan hanya mendapatkan
bonus untuk jajan atau sekedar uang jalan-jalan bagi anak laki-laki yang
membantu. Untuk anak perempuan tidak mendapatkan hal itu. Jika tani tanggung
memanggil buruh untuk membantu mengerjakan lahannya, anggota keluarga
perempuan tidak ada satupun yang membantu. Mereka di rumah menyediakan
makan jika buruh tidak lepas atau makanan kecil jika lepas 21. Uang panen
biasanya
dikelola
oleh
perempuan
demikian
juga
pengalokasiannya.
Pembayaran buruh juga dilakukan oleh perempuan.
Mekanisme Kontrol Buruh oleh Majikan. Kontrol buruh oleh majikan
dilakukan melalui tiga tahap, sama dengan yang dilakukan oleh juragan. Pertama
21
Buruh lepas adalah buruh yang hanya diupah tanpa diberi makan sehingga imbalan gaji saja
118
kali tani tanggung memastikan buruhnya bekerja dengan baik melalui pemilihan
kelompok kerja yang diundangnya. Jika mengundang tetangga secara
perorangan, ia akan memilih buruh yang sekiranya dapat bekerja bersama dia.
Orang yang telah sering bekerja biasanya sudah “pasangan” atau telah cocok
dengan pemilik22. Pasangan biasanya juga dapat diundang khusus meski hanya
membantu beberapa hari saja. Seorang pasangan malu jika tidak memenuhi
undangan dan bekerja pada orang lain, kecuali telah ada kontrak sebelumnya.
Kedua, ia akan selalu mengikuti kerja buruh di lahan dan menunjukkan
contoh kerja. Jika buruh agak malas, ia akan meningkatkan tempo pekerjaanya
dan tentu saja buruh lain akan malu jika tidak mengikuti ritme majikan. Namun
jika ritme buruh terlalu cepat majikan juga akan mengurangi ritmenya untuk
memberi tanda bila kerjanya kelebihan. Antara buruh dan majikan pada pertanian
kapitalis sepertinya telah memiliki norma/aturan khusus. Ada kepatutan tertentu
yang mengarahkan buruh untuk tidak bekerja malas, atau sebaliknya terlalu rajin.
Ketiga, ia juga dapat menegur melalui pemimpin jika ada pekerja yang
mengecewakannya. Teguran diberikan setelah pekerjaan selesai dan biasanya
pemimpin akan menasehati anggotanya. Seorang yang ditegur akan bersikap
biasa saja dan pada hari berikutnya pasti akan mempercepat kerja. Anak muda
dan anggota barulah yang sering melakukan kesalahan. Tidak pernah ada sangsi
pemotongan upah atau tidak boleh bekerja bagi orang yang malas, tapi
kelompoklah yang akan mendapat cap buruk anggotanya. Karena itu setiap
kelompok berusaha tampil baik guna mendapat perhargaaan.
Perkembangan Tani Srabutan
Tani srabutan merujuk petani yang memiliki tanah sempit hingga memiliki
banyak waktu untuk bekerja pada orang lain. Mereka juga dapat bekerja apa saja
di luar pertanian asalkan menghasilkan uang. Seorang keluarga tani srabutan
akan mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk bekerja. Tani srabutan
biasanya mengusahakan tanaman yang cepat panen yakni wortel dan bawang
pre, atau malah sledri yang hanya perlu waktu sebulan untuk panen.
Tani srabutan tidak pernah mempekerjakan orang untuk mengolah
lahannya. Bahkan banyak waktunya digunakan untuk bekerja pada orang lain,
kebanyakan pada juragan. Tani srabutan dapat juga sebagai pandek seorang
juragan jika ia tidak sedang mengerjakan lahannya.
22
Pasangan adalah orang yang dianggap sangat cocok oleh tani tanggung untuk bermitra
dengannya dalam bekerja. Pasangan ini biasanya teman akrabnya atau mitra kerja disaat
keduannya menjadi buruh pada juragan atau tani tanggung lain.
119
Tani srabutan paling banyak ada di TR dan merupakan angkatan kerja
utama di sana. Biasanya mereka telah tergabung dalam kelompok-kelompok
kerja dan memiliki jaringan kerja sendiri. Jika sedang tidak di lahan dan
kelompoknya mendapat pekerjaan, maka ia akan berangkat. Ketersediaan
lapangan kerja sepanjang tahun menjamin tenaga kerja mereka laku.
Kerja mereka mengandalkan tenaga sehingga tidak memiliki hubungan
dengan bank. Kalaupun ada hubungan untuk pembelian barang-barang
elektronik atau biaya sekolah anaknya. Mereka lebih senang menghutang pada
BPR keliling yang jumlahnya tidak lebih dari 500 ribu.
Tani srabutan biasanya terdiri dari keluarga-keluarga muda yang baru
menikah yang berasal dari orang biasa. Banyak diantaranya merupakan
pasangan antara penduduk lokal dan para pekerja boro. Mereka kebanyakan
masih menumpang di rumah orang tuannya dan diberi tanah sedikit untuk modal
usaha. Meski demikian banyak juga keluarga-keluarga lama yang tetap menjadi
petani srabutan sepanjang hidupnya.
Kampung-kampung baru sering menjadi kantong tani srabutan. Kawasan
Besta, Sarfaat, dan talon merupakan kampung baru basis tani srabutan. Mereka
adalah keluarga tidak mampu yang tidak memiliki tanah, ataupun kalau punya
hanya sempit saja. Meski demikian dikampung-kampung lain juga ada terutama
keluarga-keluarga miskin yang telah kehilangan lahanya.
Tani srabutan ini pada saat-saat tertentu ia juga dapat bekerja sebagai
buruh lepas di pabrik bunga dan jamur. Hal ini ia pilih setelah kerja di juragan dan
tani tanggung tidak ada sama sekali, atau memang ia sedang ingin kerja di
pabrik. Karena pekerjaan yang tersedia sepanjang tahun, mereka memiliki
kesempatan untuk memilih pekerjaaanya. Meski pada dasarnya sama beban
kerjanya, namun orang lebih suka kerja pada petani biasa daripada pabrik.
Cara Megorganisasikan Buruh. Sebenarnya tidak ada istilah buruh
dalam arti upahan bagi usahatani yang dikelola petani srabutan. Lahan sempit
dapat dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga atau seluruh anggota keluarga
secara bersama. Tenaga kerja tidak dibayar. Hubungan sosial produksi yang
terbangun bersifat lebih egaliter. Suasana kerja tidak terlalu kaku, baik dalam
ritme maupun waktu kerja. Usaha tani sering sebagai sambilan dan tani srabutan
lebih banyak berburuh pada orang lain.
Ada beberapa cara yang digunakan tani srabutan untuk mensiasati
waktu. Berburuh pada juragan sangat ketat sehingga tidak mungkin membolos
untuk mengerjakan lahanya sendiri. Karena itu mereka sering mengerjakan
120
waktu sore setelah pulang kerja, atau dikerjakan penuh dalam beberapa hari, lalu
kerja lagi. Kadang-kadang cukup dikerjakan oleh istri dan anggota keluarga lain.
Yang lebih sering mereka mengerjakan pekerjaan berat sementara yang lain
diurus anak dan istrinya.
Seorang tani srabutan ada yang tidak pernah pergi ke lahan dan cukup
istrinya saja yang mengurusi. Tanaman yang dibudidayakan biasanya mudah
dan tidak memerlukan biaya besar. Wortel dan bawang pre biasanya menjadi
tanaman favorit karena tidak memerlukan tenaga kerja berat. Di sela-sela
tanaman utama, ditanami sayur untuk konsumsi sendiri. Daripada membeli,
mereka akan memaksimalkan fungsi lahannya. Tanaman komersial yang
ditanam juga hanya sedikit dan untuk dijual pada pedagang kecil saja.
Masing-masing anggota keluarga bekerja sesuai dengan kesempatan
yang ada. Seorang kepala keluarga yang mendapat panggilan dari kelompoknya
berusaha memenuhi dan meninggalkan lahan miliknya sendiri. Anak bisa
menggantikan kalau telah dewasa. Seringkali anak telah memiliki kelompok
sendiri.
Cara-cara
di
atas
merupakan
usaha
keluarga
tani
srabutan
memaksimalkan seluruh potensi keluarga untuk mendapatkan hasil maksimal
baik dari memburuh maupun dari lahannya.
Hak dan Kewajiban Buruh-Majikan. Pada dasarnya tidak ada hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi karena tidak ada buruh yang dipekerjakan.
Keluarga yang bekerja di lahan sendiri tidak dibayar karena pada dasarnya untuk
kebutuhan diri sendiri. Hanya ada kepatutan norma standar tentang orang
bekerja yang tidak boleh mengulur waktu dan ceroboh. Hal ini yang mendorong
seorang pekerja untuk bekerja giat dan cepat menyelesaikan tugas. Jika
panggilan kelompok datang kewajiban baginyalah untuk mempercepat kerja. Jadi
antara hak dan kewajiban melekat jadi satu, karena selain pemilik, tani srabutan
sekaligus pekerja.
Pekerja anak cukup dengan memberinya uang saku. Kalau yang
mengerjakan istri atau anak perempuan, maka tidak perlu menyediakan uang
saku. Kalau yang bekerja bersama, maka biasanya ayah akan mentraktir
anaknya di warung atau memberi uang padanya untuk jajan. Hal ini dilakukan
agar anaknya tertarik bekerja dengan baik dan tepat waktu.
Lahan tani srabutan sebenarnya menjadi arena sosialisasi pekerjaan
pada anak, meski mereka tidak menyadari. Berbagai teknik mengolah sawah
memelihara tanaman dan pekerjaan lainya disosialisasikan orang tua di lahan.
Orang tua sering menilai prestasi kerja yang bertujuan untuk melatih anaknya
121
bertanggungjawab. Seorang anak tani srabutan harus memburuh dikemudian
hari sehingga nilai-nilai itu penting baginya kelak. Tanpa proses sosialisasi
pekerjaan, maka anak sulit menyesuaikan kondisi kerja sebenarnya nanti.
Mekanisme Kontrol Buruh oleh Majikan. Karena tenaga kerja keluarga,
maka kontrol buruh tidak perlu dilakukan. Masing-masing anggota keluarga akan
bekerja sesuai dengan tugasnya. Pada anak yang masih belum dewasa,
seorang tani srabutan biasanya memberi peringatan agar anak bekerja cepat.
Tapi jika anak telah dewasa, akan dibiarkan saja bekerja sesuka hatinya.
Kebebasan juga diberikan pada istri dan mungkin anggota keluarga yang lain.
Ada kecenderungan pada anak muda kurang bersemangat bekerja di
lahan sendiri karena tidak digaji. Peringatan selalu diberikan oleh ibunya yang
datang mengantar makanan. Kebanyakan dari mereka hanya diberi uang saku
dan makan di luar sehingga kontrol tidak ada. Mereka kerapkali tidak bekerja dan
pergi jalan-jalan atau bekerja asal-asalan.
Perkembangan Industri Agro
Industri agro pada masa Orde Baru, kekuatan produksi terletak pada
penguasaan lahan pertanian. Secara perlahan, sekarang kekuatan produksi
beralih pada penguasaan modal uang. Pabrik-pabrik mulai menyewa dan
membeli lahan lebih agresif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pabrik
semakin intensif mendekati pemilik tanah untuk disewa atau dibeli. Akhir-akhir ini
PT. KF membeli lahan dari pensiunan AURI seluas satu hektar yang lokasinya
berdekatan dengan pabrik, seharga Rp. 500 juta.
Selain penguasaan lahan melalui kekuatan modal uang, para pemilik
pabrik juga memberlakukan sistem kerja petani kebanyakan. Mereka juga
merekut buruh upahan untuk menggantikan buruh tetap. Ini kecenderungan aneh
mengingat sebelumnya mereka mengutamakan sistem perusahaan daripada
sistem lokal. Perusahaan terus mengembangkan usahanya dan merekut
semakin banyak pekerja lepas harian tanpa ikatan formal. Sistem kapitalis
semakin lama harusnya semakin rumit dan memiliki herakhis jelas. Untuk kasus
perkebunan di TR malah sebaliknya-semakin lama hubungan produksi menjadi
lebih sederhana.
Rekutmen tenaga kerja harian ini juga dilakukan oleh PT. SK setelah
bangkrut karena demo buruh. Tenaga kerja diikat dengan sistem kontrak dan
sedikit merekut tenaga kerja tetap. PT. SK membangun relasi produksi
berdasarkan kebiasaan masyarakat yang ternyata lebih menguntungkan
122
daripada sistem perusahaan. Pada level paling bawah, yakni pekerja harian
pengorganisasian buruh tidak berbeda dengan sistem petani lokal.
Hal sama juga dilakukan oleh PT. KF. Usaha PT. KF tidak mengalami
goncangan yang berarti karena sistem penggajian yang sesuai dengan kondisi
sekitar, hingga tidak muncul kesenjangan. Komunikasi dengan pihak pemerintah
juga berjalan dengan intensif hingga hubungan dengan masyarakat juga terjalin.
Karena berdiri setelah peristiwa demo buruh di PT. SK, pengalaman itu dijadikan
bekal bagi PT. KF dalam mengelola organisasi produksinya. Sistem UMR tidak
dipakai pada seluruh pegawainya, dan lebih mengandalkan tenaga kerja harian.
Sistem lokal juga digunakan oleh pabrik Jamur Korea
dalam
mengorganisir buruh. Pekerja-pekerja tertentu saja yang digaji tetap terutama
para tenaga ahli. Besar gaji untuk pekerja harian sama dengan harga pasaran,
bahkan kadang lebih kecil. Namun demikian sistem kerja masih herarkhis antara
manajer, majikan dan buruh. Perubahan hanya menyangkut aturan kerja bagi
buruh harian yang menjadi lebih fleksibel.
Pabrik akan berusaha untuk menguasai seluruh kekuatan produksi
terutama lahan pertanian. Lahan milik P. BK (seorang Juragan) seluas 1,5 ha
ditawar dua milyar dan belum diberikan. P. BK adalah petani paling kaya di
Sumberbrantas yang mengusahakan tanah lebih dari 20 Ha belum termasuk
tanah sewa. Beliau sangat tidak cocok dengan keberadaan pabrik, yang
menurutnya merusak pasar tenaga kerja dan membeli lahan tanpa batas.
Selain pabrik jamur besar, ada juga pabrik jamur baru yang lebih kecil di
Junggo. Pabrik ini memproduksi jamur Sinthake untuk konsumsi lokal sekitar
Malang. Pemiliknya pribumi dan mempekerjakan 20-an orang. Namun demikian
pabrik sedang memperluas usaha dan membeli tanah-tanah sekitarnya. Berbeda
dengan jamur merang, pemiliknya juga bekerja bersama dengan buruh di pabrik.
Relasi produksi yang dibangun oleh pabrik jamur kecil fleksible dan
tergantung kebiasaan masyarakat. Cara merekrut karyawan tidak melalui seleksi
tapi menyerahkan pada pasar kerja lokal. Tenaga ahli juga hanya tiga orang
yang menjadi mandor langsung para pekerja kasar. Juragan sekaligus menjadi
manajer pabrik. Jadi herarkhi produksi hanya ada juragan dan buruh saja.
Saat laporan ini ditulis ada pembangunan tiga pabrik bunga besar yakni
milik TNI-AL, CV. AF dan PT. IL. Pabrik milik TNI-AL mempekerjakan sekitar 50an orang sementara PT. IL rencananya akan mempekerjakan lebih dari 400
mengingat bangunannya lebih besar dari PT. KF yang mempekerjakan 300-an
orang.
CV,
AF
paling
kecil
bengunannya,
milik
penduduk
asli
dan
123
mempekerjakan sekitar 25-an orang. Untuk dua pabrik yang lain seluruhnya
dimiliki oleh investor dari luar desa.
Berdasar atas karakteristik cara produksinya maka industri agro di TR
digolongkan dalam dua tipe utama yakni (1) Industri agro padat modal, mewakili
perkebunan bunga besar dan (2) Industri agro rumah tangga, mewakili industri
agro kecil. Yang pertama herarkhi produksi terjadi dalam tiga tingkatan yakni
pemilik, manajer dan buruh, sementara kedua hanya ada buruh dan manajer
sekaligus majikan. Di TR yang termasuk kelompok pertama adalah PT. SK, PT.
KF Flora, Pabrik Jamur Korea, PT. IL, dan kebun bunga TNI-AL, sementara
golongan kedua CV. AF dan Jamur Sithake.
Cara Mengorganisasikan Buruh. Ada perbedaan mendasar antara
pengorganisasian buruh pabrik dan buruh tani terutama terkait dengan cara
perekutan, cara kerja, juga herarkhi yang dibangun. Pabrik merekut buruh sejak
awal telah merencanakan tipe buruh yang dibutuhkan. Orang yang diterima
langsung masuk pada unit kerja tertentu. Rekrutmen juga dilakukan secara resmi
melalui panitia pendaftaran dan sebelumnya telah diumumkan oleh pamong
desa. Kerapkali pamong desa telah memiliki daftar nama yang diterima, sehingga
rekutmen bebas hanya untuk sisanya. Mekanisme itu dilakukan pabrik untuk
mendapatkan tenaga kerja kasar dan legitimasi penguasa desa.
Rekutmen tenaga ahli dilakukan melalui pengumuman resmi di media
massa, juga di kampus-kampus. Biasanya mereka mengambil sarjana budidaya
pertanian atau keahlian lainnya terkait pekerjaannya. Untuk superviser pabrik
sering menggunakan tenaga sarjana, atau paling tidak diploma. Tes dilakukan di
kampus oleh tenaga ahli dari pabrik, kadang-kadang pemilik juga ikut melakukan
tes. Tenaga ahli tidak banyak karena hanya sebagai koordinator pekerja kasar.
Untuk manajer, pabrik akan mengangkat orang tertentu dan kebanyakan
adalah famili pemilik. Paling tidak manajer memiliki kemampuan tertentu dan
dekat dengan pemilik. Manajer dapat juga melalui karier, tapi hanya berlaku bagi
orang yang dekat dengan pemilik saja. Seorang pekerja karier, jabatan tertinggi
hanya kepala bagian saja, seperti bagian peralatan, produksi, atau pemasaran.
Pekerja datang tepat jam tujuh pagi dan langsung memasuki bagian
masing-masing untuk mempersiapkan alat dan berganti baju kerja. Setiap orang
telah memiliki pekerjaan tetap sehingga langsung dapat bekerja. Hal itu tidak
berlaku jika superviser memberikan tugas tertentu pada pekerja, atau diperlukan
oleh kepala bagian untuk membantu kelompok lain. Buruh bagian produksi
sebagai misal bekerja teknis sesuai dengan bidangnya, sementara superviser
124
melakukan pengawasan, juga pencatatan segala sesuatu yang diperlukan untuk
produksi berikutnya, juga berapa produksi yang dihasilkan. Catatan ini
selanjutnya diberikan pada kepala bagian untuk dikoordinasikan dengan bagian
pemasaran dan peralatan.
Perpindahan seorang buruh dari satu superviser ke superviser lain
ditentukan sepenuhnya oleh kepala bagian, melalui usulan superviser dan
permintaan superviser lain. Biasanya perpindahan ini karena dua sebab yakni
ketidak cocokan dalam tim, atau memang terjadi overload kerja pada tim lain
sehingga perlu bantuan. Jika pertukaran terjadi antar bagian maka manajer harus
mengetahui, juga atas usulan superviser dan persetujuan kepala bagian.
Seorang superviser seringkali diputar untuk memimpin tim lain dalam satu
bagian bahkan antar bagian. Jika dalam satu bagian, kepala bagian tidak perlu
lapor pada manajer, dan jika antar bagian, manajer harus mengetahuinya. Jika
antar bagian harus ada persetujuan kepala bagian yang menerima dan manajer.
Sementara itu jika pergeseran dilakukan antar bagian manajerlah sepenuhnya
yang memiliki hak untuk itu.
Hak dan Kewajiban Buruh-Majikan. Hak dan kewajiban buruh di
perusahaan sepenuhnya menggunakan aturan pemerintah dan kesepakatan
tertentu antara pemilik dengan para buruh. Seorang buruh yang melanggar
perjanjian kerja dapat dikenakan sangsi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Akan tetapi dalam praktek hal itu sebenarnya sangat subyektif tergantung pada
penilaian pimpinan dalam unit kerja.
Secara normative seorang buruh mendapatkan upah setelah bekerja
sesuai dengan kewajibannya. Selain itu mereka juga berhak atas berbagai
tunjangan lain baik resmi maupun inisitatif perusahaan untuk menarik kerja
buruhnya. Hal itu sebenarnya juga menjadi norma umum yang ada dalam
masyarakat dan berlaku bagi buruh tani.
Perusahaan di sisi lain memiliki hak untuk memanfaatkan tenaga dan
keahlian buruh untuk menyelesaikan tugas pada unit kerjanya masing-masing.
Tugas ini sesuai dengan target perusahaan dan pekerja harus memenuhinya
bersama dengan kepala bagian. Tanggungjawab ditanggung secara herarkhis
demikian juga perintah kerja. Jika buruh lalai maka superviser akan menegur dan
melakukan koreksi.
Target kerja dapat diukur dari keberhasilan masing-masing bagian karena
merupakan unit yang mandiri. Produksi, keberhasilannya ditentukan oleh kinerja
tim-tim yang ada di dalamnya. Demikian juga perlengkapan keberhasilan jika
125
dapat menydiakan keperluan seluruh bagian dalam menjalankan tugasnya. Jika
kegagalan karena kontribusi tim lain seperti alat telat atau kurang, maka manajer
akan menegur kepala bagian yang lain. Jika karena kelalaian intern bagian,
maka kepala bagian yang bersangkutanlah yang mendapat teguran. Jika pabrik
kinerjanya buruk, manajerlah yang mendapat teguran dari pemilik karena
kerugian Ia-lah yang menanggung ruginya.
Buruh yang berprestasi menurut pimpinannya memiliki kesempatan maju
menjadi superviser. Demikian juga seorang superviser dapat naik menjadi wakil
kepala bagian ataupun kepala bagian. Hal ini sepenuhnya tergantung penilaian
manajer. Meski demikian kenaikan sangat jarang, biasanya hanya berupa bonus
saja untuk perangsang prestasi.
Mekanisme Kontrol Buruh. Kontrol buruh dilakukan dalam tiga tahap
yakni tahap seleksi, tahap selama kerja dan prestasi jangka panjang. Tahap
seleksi dilakukan oleh tim dan majikan dimana mereka memilih orang yang
sekiranya dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Meski demikian tidak
seluruhnya menjamin tenaga kerja dapat bekerja dengan baik. Paling tidak
dengan pengetatan seleksi lebih baik daripada sistem bebas.
Kontrol saat kerja dilakukan berjenjang sesuai dengan tugasnya dan
bagian mana ia berada. Superviser adalah pengontrol utama dan berhadapan
langsung dengan para buruh kasar. Seorang buruh dikatakan baik atau buruk
tergantung pada rekomendasi dari superviser. Ia juga berhak untuk mengusulkan
pemindahan buruh pada tim lain jika kurang cocok dalam timnya.
Superviser sendiri juga dikontrol oleh kepala bagian sesuai dengan target
yang diberikan padanya. Jika target tidak terpenuhi maka superviser dapat
dipindahkan memimpin tim lain atau diturunkan statusnya. Sepenuhnya penilaian
ini tergantung pada kepala bagian. Untuk kepala bagian, bertahan atau tidak
jabatanya sangat tergantung pada penilaian manajer. Manejerlah yang berhak
memberhentikan, memidah, atau menurunkan jabatannya. Sementara itu
manajer sangat tergantung pada pemilik yang ukurannya adalah kinerja
keseluruhan perusahaan.
Perkembangan Industri Pariwisata
Industri pariwisata kontemporer memiliki pola berbeda dengan jaman
pembangunan. Ada kecenderungan terjadi enklavisasi (integrasi seluruh kegiatan
wisata: obyek+pendukung) menjadi satu kesatuan. Mulai terjadi pertarungan
perebutan ruang antar pemain juga dominasi antar mereka. Lebih dalam telah
126
terjadi perubahan mendasar pada kekuatan produksi dan relasi sosial produksi
dalam industri pariwsata pada masing-masing artikulasinya.
Sejak kejayaan sayur redup saat krisis dan melambungnya ongkos
produksi melewati batas margin untung, secara perlahan industri pariwisata mulai
menampakkan prospek bagus. Tidak sebagaimana industri agro atau pertanian
yang memerlukan tenaga kerja besar, industri ini lebih mengandalkan keahlian.
Modal memiliki peranan penting daripada penguasaan lahan. Karena sifatnya
jasa, maka kinerja tergantung pelayanan yang tentunya sangat tergantung pada
kemampuan manajerial.
Berbeda dengan industri pariwisata tahun 70-an, orientasi pariwisata saat
ini tidak hanya terbatas pada orang tertentu yang memiliki hoby berwisata.
Tahun-tahun 70-80-an wisata adalah pekerjaan sia-sia bagi masyarakat karena
mereka belum membutuhkannya. Orang-orang kaya sajalah yang mau
mengeluarkan uang untuk tujuan ini. Wisata termasuk mahal dan tidak berguna
bagi orang awam.
Perkembangan kontemporer memiliki kecenderungan berbeda, dimana
seluruh lapisan masyarakat memiliki keinginan yang sama untuk berwisata.
Buruh-buruh pabrik di kota dari kelas menengah bahkan orang biasa saat ini
seluruhnya membutuhkan hiburan. Hal ini ditanggapi oleh pemilik Selecta
dengan memperluas taman wisatanya hingga beberapa hektar, juga pengelola
kawasan wisata lainnya. Dengan memperluas kawasan daya tampung
pengunjung menjadi lebih besar.
Jikalau dulu wisata bersifat ekslusif dimana orang-orang tertentu saja
yang datang untuk menikmati alam TR, saat ini semua saja dapat dan mampu ke
sana. Selain ongkos transportasi yang tidak terlalu mahal, sifat pariwisata yang
massal juga menjadi penyebabnya. Kebijakan pemerintah tentang study tour bagi
para murid sekolah juga menambah fungsi massal dari tempat wisata. Bagi
wisatawan eklusif, mereka dapat memanfaatkan hotel-hotel berbintang atau villa
elit untuk menikmati alam, sementara bagi wisatawan kebanyakkan dapat
menyewa penginapan dan rumah-rumah penduduk.
Apa konsekwensi terhadap formasi penguasaan kekuatan produksi? jelas
terjadi ekpansi besar-besaran pengusaha tempat wisata untuk mendapatkan
lahan. Selecta melakukan negosiasi dengan pemilik tanah di sekitarnya untuk
dijadikan taman dengan konsesi saham, sementara perhutani membuat batasbatas sendiri untuk membuka perkemahan di Coban Talon yang sebelumnya
127
tidak tergarap. Demikian juga pemandian air panas mulai dibatasi akses
penduduk lokal dan di beri pagar, juga didirikan bangunan-bangunan untuk
istirahat. Secara perlahan tanah di sekitar tempat wisata menjadi mahal melebihi
harga tanah di kota Batu.
Selain itu terjadi peralihan fungsi beberapa rumah penduduk di sekitar
Selecta menjadi penginapan dan villa. Pemiliknya banyak yang membuat rumah
kembali di daerah yang lebih dalam. Mereka menyewakan pada para turis
dengan harga bervariasi tergantung banyaknya pengunjung dan negosiasi yang
dilaukan. Banyak juga terjadi peralihan kepemilikan rumah-rumah di sepanjang
jalur Selecta dari penduduk ke orang luar daerah. Kemunculan penginapa ini tak
lain merupakan respon atas perkembangan kontemporer pariwisata sebagai milik
public dan bukan orang ekslusif saja.
Perkembangan yang tak kalah penting adalah kemunculan kegiatankegiatan ekonomi pendukung industri wisata. Selain hotel dan penginapan,
fasilitas yang juga memanjakan wisatawan adalah belanja oleh-oleh. Di area
Selecta telah ada pasar bunga dan buah, juga kios-kios oleh-oleh lain yang
dibangun tahun 95-an sebagai respon atas meningkatnya kunjungan wisata.
Pedagang-pedagang lama tidak lagi dapat mencukupi karena jumlahnya masih
sedikit. Bermunculan pedagang-pedagang buah baru yang jumlahnya cukup
banyak di sepanjang jalur wisata. Dagangan yang ditawarkan juga bervariasi dari
buah segar sebagaimana tradisi lama, hingga produk olahan apel dan kentang.
Bagaimana bentuk Hubungan produksi yang terjadi dalam industri
pariwisata sekarang? Jika dulu pekerja banyak harian saat-saat ramai saja,
sekarang mereka adalah pegawai yang harus bekerja sepanjang hari. Pekerja
harian terutama untuk pekerjaan kasar masih ada tapi jumlahnya sedikit. Manajer
juga diserahkan pada orang lain, sementara pemilik mengembangkan sarana
wisata baru di kawasan itu.
Setiap unit kerja dulu terpisah dan masing-masing memiliki hak untuk
mengelola unitnya baik keuangan maupun penataan wilayah seperti jualan,
parkir dan hotel. Saat ini seluruhnya menjadi satu menajemen. Administrasi
terpusat pada tata usaha mulai dari hotel, taman wisata, villa, juga tempat parkir
dan pasar. Seluruh fasilitas itu menjadi satu tiket saja yakni di pintu masuk
kawasan wisata. Dulu setiap kawasan harus membayar sendiri seperti
pemandian, taman, pasar, juga obyek yang lain. Saat ini dengan kita membeli
satu karcis dapat menikmati seluruh obyek gratis sepuasnya. Hal demikian juga
128
menjadi tren bagi kawasan wisata yang tidak hanya mengandalkan obyek wisata
saja, tapi juga menonjolkan fasilitas pendukung sebagai satu kesatuan.
Cara Mengorganisasikan Buruh. Industri pariwisata di TR meliputi dua
komponen penting yakni obyek wisata dan pendukungnya. Obyek wisata adalah
tempat tujuan wisata utama sementara pendukung adalah penyedia jasa
pelayanan seperti hotel, penginapan, dan villa. Selain itu pendukung obyek
wisata juga para pedagang oleh-oleh dan pedagang berbagai makanan untuk
melayani para pengunjung. Dengan demikian membicarakan hubungan relasi
produksi harus membedakan kegiatan-kegiatan ini lebih detail.
Obyek wisata di TR ada dua jenis yakni milik swasta murni yakni Selecta
dan milik perhutani yakni Coban Talun dan Pemandian air panas Cangar.
Selecta secara penuh menerapkan organisasi produksi yang herakris antara
majikan dan buruh, yang dikoordinasi oleh seorang manajer. Sebagaimana
dengan pabrik bunga dan jamur, organisasi produksi hampir sama skemanya.
Rekutmen juga dilakukan terbuka, dimana pemilik dan tim perusahaan
melakukan seleksi langsung untuk mendapatkan tenaga kerja. Namun demikian
banyak juga buruh diperoleh atas rekomendasi pamong desa, juga dari program
magang. Masing-masing buruh masuk dalam bagian unit produksi sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
Model kerja hampir sama dengan pabrik jamur dan bunga dimana buruh
bertanggungjawab pada atasannya. Mereka juga dapat digeser dari satu bagian
ke bagian lain sesuai dengan rekomendasi atasan. Hal itu terjadi disegala tingkat
manajemen, mulai dari buruh hingga manajer. Seluruh pengorganisasian juga
terjadi dalam kegiatan ekonomi pendukung yakni hotel. Hotel-hotel yang ada di
TR seluruhnya menggunakan standar modern manajemen dan menggunakan
aturan pemerintah yang berlaku.
Hal berbeda terdapat dalam usaha ekonomi pendudukung lain yakni
penginapan, villa, dan toko buah. Ketiganya masih menggunakan manajemen
keluarga untuk mengelola usahanya. Selain itu untuk villa kadang hanya
memerlukan satu orang penunggu yang khusus melayani tamu yang mau
menginap saja. Penginapan hanya memerlukan satu orang penjaga saja untuk
melayani para tamu, kadangkala salah satu anggota keluarga. Dengan demikian
antara pemilik, pekerja, juga manajer tidak dapat dibedakan karena mereka
merangkap seluruhnya, atau paling dibagi dalam keluarga.
129
Industri wisata berikutnya adalah Air terjun Coban talon dan pemandian
air panas Cangar yang dikelola oleh perhutani. Perhutani adalah perusahaan
Negara yang mengurusi hutan dan situs yang ada didalamnya dengan tujuan
konservasi dan ekonomi. Fungsi ekonomi adalah memanfaatkan hutan berupa
kayu, juga situs-situs didalamnya untuk wisata atau kepentingan ilmiah. Coban
Talun dan Pemandian air panas adalah situs yang dimanfaatkan Perhutani untuk
tujuan ekonomi dan konservasi.
Berbeda dengan Selecta, perhutani merupakan perusahaan berskala
nasional sehingga yang ada di TR hanya kantor cabangnya saja. Tempat wisata
itu masuk dalam wilayah KPH Malang dan menjadi bagian dari kantor propinsi
Jawa Timur. Dengan demikian, struktur organisasi herakhis dimana kegiatan di
tempat wisata merupakan bagian dari kerja perusahaan secara keseluruhan.
Tidak mungkin membedah bagaimana mekanisme Perhutani secara
nasional, sehingga penulis hanya melihat bagaimana kerja lapang digerakkan
untuk dapat melayani para pengunjung. Di air terjun, setiap hari ada dua orang
penjaga yang tetap berada di tempat untuk memungut tiket pengunjung. Jika
malam juga ada dua penjaga yang mengawasi perkemahan. Kegiatan mereka
menjadi lebih padat jika hari libur karena banyak yang datang berkemah. Hari
biasa mereka berjaga di pintu masuk saja. Hal itu juga sama dengan di Cangar
dimana hanya pada hari libur saja kerja buruh agak banyak.
Hak dan Kewajiban Buruh dan Majikan. Pada usaha penginapan dan
villa, hubungan buruh dan majikan sangat sulit diuraikan karena keduanya
menjadi satu. Untuk villa yang dimiliki oleh orang dari luar daerah pasti
dipercayakan pada orang lokal untuk disewakan. Jika pemilik memakai villa,
maka tidak disewakan dan penunggu menjadi pelayan pemilik.
Untuk obyek wisata Selecta, kewajiban buruh dan majikan sesuai dengan
aturan yang berlaku secara normative. Namun demikian seorang buruh wajib
untuk menyelesaikan tugas dengan baik sesuai beban di unit kerjanya. Pernah
ada seorang recepsionist hotel berlaku kurang enak saat ditanya oleh
pengunjung tentang cara mencari teman wanita. Hal itu membuat pengunjung
sangat marah dan melapor pada pemilik hotel. Akhirnya recepsionist dipindahkan
pada bagian lain meski perbuatan pelanggan tersebut juga tidak baik.
Sama dengan pabrik jamur, Selecta juga mengenal berbagai bonus
seperti THR dan bonus prestasi. Bahkan untuk Selecta jika pengunjung banyak
130
manajemen juga memberikan uang tip bagi karyawannya. Tip jenis ini tidak
pernah ada di pabrik jamur, juga usaha pendukung obyek wisata.
Hal berbeda terjadi di obyek wisata yang dikelola Perhutani. Seorang
pekerja adalah pegawai yang mendapat gaji dari pusat di Jawa Timur. Seluruh
penghasilan obyek wisata dimasukkan dalam kas perusahaan dan pekerja
mendapat gaji bulanan. Namun demikian kenyataannya setiap mendapatkan
hasil, mereka telah memotong sendiri. Hal ini menjadi rahasia umum dan
Perhutani diam saja. Bahkan jika ada pimpinan yang datang ke lokasi, mereka
juga harus menyediakan perlengkapan termasuk juga uang saku.
Mekanisme Kontrol Buruh. Mekanisme kontrol buruh dalam industri
pariwisata menggunakan cara perusahaan khususnya di Selecta dan hotel-hotel.
Struktur organisasi perusahaan menentukan siapa harus diawasi siapa, sesuai
dengan kedudukannya dalam unit kerja. Seorang buruh menempati unit kerja
tertentu dan ada pemimpinnya yang mengawasi kerja mereka. Di Selecta ada
dua divisi yakni taman wisata dan pemandian serta perhotelan. Taman wisata
terdiri dari bagian perlengkapan dan keamanan, pemeliharaan, juga pemasaran
yang menangani tiket. Di atasnya manajer yang mengurusi hotel dan taman, dan
di atasnya lagi ada direktur yang mengurusi seluruh unit usaha di Selecta.
Hal yang menjadi ukuran utama bagi kontrol karyawan adalah
kedatangan di tempat kerja. Orang ke taman wisata pada hari agak siang atau
paling tidak sudah jam 9 pagi. Itupun kalau mereka menginap di daerah sekitar
taman. Karena sepi, biasanya banyak pekerja yang tenang-tenang saja dan tidak
lekas bekerja. Jika demikian, maka kepala bagian akan menegur dan
melaporkan pada atasannya. Hal itu juga saat taman tutup sebelum jam kerja
karena pengunjung sepi. Manajer kerap mengingatkan pekerja untuk tetap di
tempat pengunjung meski sepi.
Hal paling penting dalam tempat wisata adalah bagian tiket, dimana ia
harus jujur dan tegas pada pengunjung. Kerapkali pengunjung tidak membeli
tiket dengan alasan penduduk penduduk sekitar atau kerabat pekerja. Hal ini
sering menyulitkan dan penjaga tiket harus tegas. Kebobolan ini sering terjadi
hingga akhirnya ditempatkan tiket tepat diatas jalan menuju kampung agar dapat
dibedakan antara orang kampung dan pengunjung. Di bagian ini seringkali
manajer melakukan kontrol langsung dan memperingatkan anak buahnya.
Selain kontrol saat kerja, setiap akhir pekan pasti ada pembekalan untuk
hari libur. Hal ini dijadikan ajang bagi pimpinan untuk melakukan koreksi atas
131
kinerja tiap bidang. Hal itu untuk memberikan legitimasi bagi kepala bagian untuk
memerintah anak buahnya agar bekerja lebih baik. Teguran langsung dari
manejer akan memberi kekuatan bagi kepala bagian untuk menekan anak
buahnya. Di bagian hotel mekanisme demikian juga dilakukan.
Bagi tempat wisata yang dikelola perhutani kontrol buruh hampir tidak ada
karena pimpinan mereka memang jarang datang. Yang ada di lapang hanya tim
kecil dan satu pemimpin hubungan dengan anak buahnya sangat dekat. Karena
itu seringkali terjadi kelalaian dan kekecewaan pengunjung. Coban talon sebagai
misal tidak pernah dilakukan perbaikan sarana, dan tidak ada penanam hutan
meski pohonya banyak ditebang. Meski ada kewajiban menanam pekerja jarang
melakukan karena tidak ada kontrol dari atasan. Satu satunya kontrol dilakukan
tiap pimpinan melakukan kunjungan.
Tipe -tipe Moda Produksi yang Terbangun
Kapitalis Industri
Sejak krisis ekonomi, hampir seluruh pelaku ekonomi di TR mereposisi
manajemen organisasi produksinya. Perusahaan-perusahaan bunga dan jamur
secara perlahan melakukan informalisasi sistem kerja dengan jalan merekut
buruh melalui pasar tenaga kerja lokal. Sebelumnya buruh adalah karyawan
tetap mulai dari tingkat manejer hingga tenaga kasar. Setelah krisis, terjadi
perampingan struktur dimana buruh tetap hanya tenaga-tenaga kunci saja,
sementara buruh kasar menggunakan tenaga kerja harian. Tenaga harian ini
diperoleh dari pasar lokal sehingga menimbulkan persaingan dengan pelaku
ekonomi lain terutama juragan dan pengusaha Cina.
Kekuatan produksi moda produksi kapitalis tidak berubah dan tetap
mengandalkan modal uang. Demikian juga unit produksi tetap perusahaan
dimana buruh didapatkan dari pasar kerja lokal. Hanya saja relasi produksi
menjadi lebih longgar karena adanya buruh harian. Buruh harian menuntut
perusahaan memberlakukan cara umum (petani) dalam mengorganisasikanya.
Tidak ada aturan formal yang mengikat buruh harian sehingga mendapatkannya
murni melalui pasar kerja lokal.
Kapitalis Pertanian
Setelah krisis para pelaku usaha pertanian komersil menyadari
pentingnya penguasaan modal dalam menjalankan usahanya. Lahan dirasa
memiliki
keterbatasan
mengingat
ongkos
produksi
yang
mulai
tinggi.
Pengeluaran-pengeluaran khusus juga harus dikeluarkan oleh juragan untuk
132
menarik buruh mau bekerja padanya. Dengan demikian juragan mulai
menggunakan modal uang untuk mengembangkan usahanya, terutama sewa
lahan dan menggerakan buruh.
Hubungan produksi yang dijalin semakin herakhis dan eksploitatif.
Juragan setelah krisis berusaha memperpanjang waktu kerja dan mengetatkan
aturan. Hal itu dilakukan dengan alasan juragan memberikan berbagai fasilitas
yang tidak diberikan pabrik terutama tempat tinggal sementara. Selain itu pekerja
di juragan juga dapat menikmati jatah makan yang tidak mereka dapatkan jika
bekerja di pabrik.
Pertanian Semi-komersial
Petani tanggung setelah krisis tidak melakukan perubahan apa-apa.
Kekuatan produksi tetap mengandalkan kepemilikan tanahnya yang sempit dan
tenaga kerja keluarga untuk menompang produksinya. Karena sifat usahanya
yang kecil, seringkali mereka mencari kesempatan ekonomi di luar pertanian,
atau paling tidak menjadi buruh di petani tanggung lainnya.
Hubungan produksi yang dikembangkan juga tetap. Hubungan egaliter
dan suasana kerja yang nyaman dikembangkan untuk mendapatkan tenaga kerja
bebas. Tenaga kerja bebas lebih murah dan efisien sehingga memberikan
keuntungan bagi tani tanggung. Tenaga kerja ini tidak memerlukan tambahan
fasilitas menginap, THR, juga fasilitas lainnya karena biasanya mereka penduduk
lokal yang telah memiliki rumah sendiri. Mengenai artikulasi ketiga cara produksi
setelah krisis dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 6.1 : Artikulasi cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian dan kapitalis
industri pada masa reformasi
Pertanian SemiKapitalis
Kapitalis
Aspek cara produksi
komersil
pertanian
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Modal
Modal
2
Unit produksi
Keluarga inti
Organisasi produksi
Perusahaan
3
Tenaga kerja utama
Keluarga luas & buruh
Buruh upahan
Buruh upahan
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial
Hubungan produksi
Keluarga luas
Organisasi
produksi
Perusahaan
2
Struktur hub. produksi
Herarkhis
Sangat Herarkhis
Kurang Herarkhis
3
Sifat Hubungan produksi
Eksploitatif
Sangat Eksploitatif
Sangat Eksploitatif
133
Perubahan Moda Produksi Lokal : Dominasi Kapitalis Industri
Tak satupun Negara di Asia Tenggara dapat menghindari krisis ekonomi
yang datang tak terkirakan sebelumnya. Kapitalis global kiranya sedang diuji
ketahanannya. Cara terbaik adalah mengorbankan Negara-negara yang akan
maju dalam percaturan perdagangan. Banyak analisis yang memprediksi Asia
Tenggara dapat menjadi saingan kuat kapitalis dunia lainnya yang telah mapan.
Kehancurannya tidak hanya perlu untuk menjaga kesetimbangan, tapi juga
penting bagi kedudukan Negara dominan. Di Indonesia krisis ini terasa hingga ke
pelosok-pelosok desa termasuk TR, karena sepenuhnya Indonesia sebenarnya
telah terintegrasi dengan pasar global.
Perubahan moda produksi pertanian setelah krisis disebabkan oleh dua hal
yakni (1) persaingan dalam penguasaan tenaga kerja dan, (2) masalah
persaingan dalam penguasaan lahan. Pertama masalah tenaga kerja. Industri
agro membuka kebun-kebun bunga yang dikelola secara intensif memerlukan
tenaga kerja ribuan orang. Industri agro jamur dari dua pabrik saja, tidak kurang
dari 620-an tenaga kerja terlibat. Dari seluruh kebun bunga tidak kurang dari
1500-an tenaga kerja yang diperlukan. Jumlah ini cukup besar untuk desa yang
memiliki tenaga kerja aktif sebanyak 8500-an orang.
Pada awalnya seluruh industri agro di TR menggunakan pola perusahaan
modern murni untuk menjalankan produksinya. Tenaga kerja digaji sesuai
dengan UMR, aturan THR, prestasi kerja, dan disiplin kerja berdasarkan standar
resmi. Para pemilik perusahaan berasal dari kota besar Surabaya dan Malang,
sehingga model kapitalis mereka terapkan. Inilah yang menjadi pangkal
terjadinya gejolak tenaga kerja di TR. Pola kapitalis bertemu dengan sistem
tradisional yang telah mapan dalam pasar tenaga kerja pertanian.
Dalam masyarakat sendiri, ada mekanisme atau aturan main yang telah
menjadi tradisi berdasar atas pasar kerja di desa. Para buruh tani, biasanya
mendapatkan upah harian dari para juragan dengan harga di bawah standar
UMR. Meski demikian juragan memiliki kewajiban menyediakan berbagai fasilitas
lain di luar gaji utama. Harga lebih tinggi yang diberikan pabrik mengacaukan
pasar tenaga kerja lokal hingga terjadi kecemburuan antara pekerja pabrik dan
pertanian biasa.
Sebenarnya hal itu pernah terjadi saat PT. AN masuk tahun 1984 yang juga
menerapkan upah UMR dan tidak memperhatikan pasar lokal. Pada saat itu juga
terjadi gejolak meski tidak terlalu lama karena pabrik segera bangkrut. Saat ini
selisih upah cukup besar antara pertanian dan industri. Para buruh pertanian
134
mulai sering menggunjing juragan pelit atau tidak bekerja sesuai dengan jamnya
lagi. Batas kerja jam 3 sore tidak berlaku dan buruh buru-buru pulang jika telah
jam satu atau dua. Kondisi ini semakin memperuncing perseteruan antara pabrik
dan juragan dalam memperebutkan tenaga kerja lokal.
Sampai beberapa tahun, selisih upah buruh tetap berjalan. Juragan tidak
mau meningkatkan upah karena menganggap pengeluarannya lebih besar untuk
fasilitas buruh daripada pabrik. Ia menyediakan tempat menginap, makan, juga
berbagai pinjaman pada buruh sementara pabrik tidak. Para buruh pabrik harus
menyewa kamar menginap, sehingga pengeluarannya lebih besar daripada
buruh tani. Karena kebanyakan tenaga kerja adalah penduduk lokal,
bagaimanapun selisih upah yang besar tetap mengacaukan pasar tenaga kerja.
Keluhan-keluhan juragan mulai keluar di forum-forum desa, juga melalui
ungkapan-ungkapan
sinis
pada
pabrik
yang
tidak
melihat
keadaan.
Bagaimanapun sangat sulit bagi juragan untuk bersaing dengan pabrik jika
selisih upah terlalu besar. Juragan akhirnya melakukan berbagai efisiensi
terutama dalam waktu kerja dan intensitas kerja. Upah dinaikkan hampir sama
dengan pabrik, dan beberapa fasilitas tidak diberikan lagi. Mereka melakukan
kontrol dan kerja selesai tepat jam tiga sore, kalaupun ada yang istirahat atau
pulang, dilakukan pemotongan.
Setelah krisis berakhir bermunculanlah pabrik-pabrik baru yakni jamur
merang, PT. KF, TNI-AL, PT. IL, juga pabrik bunga kecil-kecil lainnya. Yang
menarik adalah model rekutmen tenaga kerja mereka tidak lagi menggunakan
cara perusahaan modern murni tapi ikut berkompetisi pada pasar kerja. Hanya
tenaga inti saja yang digaji sebagaimana cara pabrik sementara tenaga kasar
mencari dipasar kerja lokal. Upah demikian juga sesuai dengan harga pasar dan
tidak memakai standar UMR lagi. Hal itu juga dilakukan oleh PT. SK yang juga
mulai membuka usahanya kembali setelah tutup. Dari sini menyebabkan pola
kompetisi berubah tidak perang harga tapi murni pada mekanisme pasar.
Apa strategi masing-masing untuk memenangkan pasar? Juragan
mengaktifkan kembali pola lama yakni memberikan tempat menginap bagi buruh
boro, juga makan dan mimun kembali diberikan. Bonus juga diberikan pada para
tenaga kerja yang loyal padanya. Pabrik selain memberikan bonus dan THR,
juga memberikan fasilitas pinjaman bagi buruh dengan potong gaji. Namun
demikian jumlah cicilan tidak boleh melebihi separuh gaji. Hal ini berbeda dengan
juragan yang dapat memberi tanpa ada batasan khusus. Persaingan antara
135
industri agro dan juragan sangat sengit karena mereka memiliki kekuatan modal
sama kuatnya.
Dari konstelasi ini dimana letak tani tanggung berada? Mereka sebenarnya
hanya pengikut saja dalam hal upah buruh. Jika juragan dan pabrik membayar
10 ribu ia akan melakukan hal yang sama. Tidak ada perlawanan dari mereka
sebagaimana yang dilakukan oleh juragan. Tani tanggung diuntungkan oleh
kecenderungan buruh bebas yang lebih suka bekerja pada mereka daripada di
juragan atau di pabrik. Buruh bebas ini memiliki karakter tidak mau menetap dan
lebih suka bekerja longgar. Pada tani tanggunglah kebutuhan itu terpenuhi.
Kenapa untung? Pertama, buruh bebas mudah didapatkan dan dapat
dipilih sesuai dengan keahliannya. Jika petani tanggung ingin menanam wortel,
ia dapat memanggil kelompok kerja tertentu, demikian juga jika panen. Kalaupun
pekerjaan sudah habis, pekerja pergi begitu saja. Kedua, tidak perlu
menyediakan tempat tinggal sebagaimana juragan. Tempat tinggal bagi pekerja
bagaimanapun tetap memerlukan pengeluaran yang lebih. Pekerja bebas
kebanyakan penduduk setempat sehingga kembali ke rumah jika selesai kerja.
Dari konstelasi perang buruh ini, dimana posisi industri pariwisata? Tidak
sebagaimana pertanian dan industri agro, industri pariwisata tidak begitu banyak
memerlukan tenaga kerja. Selain itu tenaga kerja yang masuk lebih banyak
mengandalkan keahlian khusus sehingga tidak bertarung dalam bursa kerja
lokal. Tenaga kerja kasar diperlukan sedikit dan dapat diperoleh dari daerah
sekitar tanpa harus merusak bursa kerja lokal. Dengan demikian tidak ada
persaingan khusus antara pertanian tradisional dengan pariwisata demikian juga
antara pariwisata dengan industri agro.
Kedua tentang masalah lahan. Baik pariwisata, pertanian komersil, maupun
industri agro pada dasarnya memerlukan lahan untuk membuka usahanya.
Masing-masing
akan
berusaha
menguasai
lahan
seluas-luasnya
untuk
mengembangkan produksi. Masing-masing artikulasi moda produksi akan masuk
ke pasar tanah dengan kekuatan masing-masing. Jika juragan mengandalkan
modal lahan milik sebagai kekuatan produksi utama, maka industri agro dan
pariwisata menggunakan modal uang untuk memenangkan persaingan.
Industri agro mengusai lahan pada awalnya melalui tanah-tanah konsesi
dari TNI-AU dan membeli dari para pensiunan tentara yang mendapat jatah
tanah transmigrasi. PT. KF sebagai misal menguasai lahan di bekas perkebunan
yang menjadi jatah para tranmigran seluas kurang lebih 15 hektar. Tanah itu
136
dibeli dengan harga murah dari tentara atau anaknya yang tidak dapat bertani.
Selain itu pabrik juga membeli lahan disekitarnya dari para petani lokal.
Pola yang sama juga dilakukan oleh PT. SK dan pabrik yang lain pada
awal-awal mereka beroperasi. Semakin agresifnya pembelian tanah yang
dilakukan oleh industri agro meningkatkan harga tanah. Namun demikian, pabrik
tetap melakukan pembelian berapapun harganya jika ada tanah yang dijual
apalagi yang berdampingan dengan lokasi pabrik. Secara khusus mereka
mengutus orang tertentu untuk mempengaruhi pemilik tanah juga memanfaatkan
pamong desa untuk membujuk petani agar menjual lahan ke pabrik.
Saingan utama para pemilik modal besar adalah juragan. Dengan modal
lahan yang luas, juragan mampu mengakumulasi modal uang untuk membeli
lahan dengan harga mahal dimanapun berada. Ia tidak memperdulikan lokasi
lahan apakah dekat atau jauh dari tanah-tanah mereka sebelumnya asalkan
harganya cocok. Juragan menjadi tempat bagi para pemilik tanah luas jika akan
menjual lahannya. Selain itu, juragan juga melayani gadai tanah dan sewa tanah
hingga puluhan tahun. Kerapkali tanah gadai dijual lepas pada para penyewa jika
pemilik memerlukan uang.
Untuk para pelaku industri pariwisata, pola yang digunakan sebenarnya
hampir sama dengan industri agro. Mereka juga melakukan pembelian pada
tanah-tanah di sekitar tempat usaha untuk menambah ruang bagi usahanya.
Pembelian hotel MN oleh hotel VT merupakan contoh dari usaha perluasan lahan
mereka. Penggabungan lahan-lahan penduduk di sekitar Selecta untuk
memperluas taman wisata, serta pembelian tanah untuk pasar wisata merupakan
usaha Selecta untuk memperluas lahan yang dikuasainya. Tak ayal lagi tanahtanah di sekitar tempat wisata harganya menjadi sangat mahal. Jikalau dulu
rumah-rumah penduduk banyak berjajar, saat ini ruko dan tempat usaha
pendukung pariwisata saja yang kita temui di sekitar sana.
Agresifitas para pemilik modal kuat melambungkan harga tanah di TR.
Harga tanah tidak mungkin dapat dijangkau oleh petani srabutan apalagi buruh
tani. Tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk memiliki tanah apalagi dalam
jumlah luas. Bagaimana posisi tani tanggung dalam persaingan ini? Petani
tanggung hanya dapat menjadi penonton drama persaingan juragan dan pemilik
cara besar dalam menguasai lahan pertanian. Yang dapat lakukan hanya
mengambil tanah-tanah kecil, atau orang-orang yang menjual lahannya sebagian
dan tidak dalam jumlah luas. Alasan tetangga dan kerabat digunakan agar tanah
dijual pada mereka. Kadang-kadang mereka juga melakukan penyewaan dan
137
gadai hingga akhirnya tanah dijual padanya. Mereka juga lebih suka membeli
tanah-tanah yang letaknya di dalam serta sulit diakses karena harga agak murah.
Strategi ini digunakan untuk memenangkan pemburuan lahan.
Perseteruan dalam memperebutkan lahan dan tenaga kerja di atas secara
langsung berimplikasi pada sifat moda-moda produksi di TR. Memang tidak ada
moda produksi baru yang muncul pada struktur ekonomi lokal, namun sifat moda
produksi lama sedikit berubah. Struktur hubungan produksi dengan adanya
persaingan menjadi semakin herarkhis dan sifat hubungan produksi menjadi
sangat eksploitatif melebihi masa sebelumnya. Secara rinci perubahan itu dapat
dilihat dalam tebel berikut:
Tabel 6.2 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian dan
kapitalis pada masa reformasi
Masa Orde Baru
Masa Reformasi
Aspek cara
Pertanian
Pertanian
Pertanian
Pertanian
produksi
SemiSemiSemiSemikomersil
komersil
komersil
komersil
A
Kekuatan produksi
1
Alat produksi
Tanah
Tanah
Tanah
Modal
2
Unit produksi
Keluarga inti
Organisasi
produksi
Keluarga inti
Organisasi
produksi
3
Tenaga kerja
utama
Keluarga luas
dan buruh
Buruh upahan
Keluarga luas &
buruh
Buruh upahan
B
Hubungan Produksi
1
Batas sosial
Hubungan
produksi
Organisasi
produksi
Organisasi
produksi
Keluarga luas
Organisasi
produksi
2
Struktur
Hubungan
produksi
Semakin
herarkhis
Herarkhis
Herarkhis
Sangat
Herarkhis
3
Sifat Hubungan
produksi
Semakin
eksploitatif
Eksploitatif
Eksploitatif
Sangat
Eksploitatif
Perubahan artikulasi cara produksi pertanian di atas, mencerminkan
adanya perubahan pada kehidupan sosial desa secara luas. Perubahan terjadi
pada kelembagaan produksi yang meliputi (1) nilai yang mengatur orientasi
produksi, (2) nilai/norma yang mengatur tujuan produksi, (3) nilai yang mengatur
organisasi produksinya, (3) nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi,
dan (4) nilai yang mengatur hubungan antar elemen dalam proses produksi.
Pertama, orientasi produksi jika pada masa sebelumnya produksi hanya untuk
memenuhi pasar dalam negeri dan konsumsi sendiri, saat ini orientasi produksi
sepenuhnya untuk kebutuhan pasar.
138
Kedua, norma yang mengatur tujuan produksi. Jika pada cara produksi
sebelumnya lebih condong untuk menjaga keselarasan sistem sosial, saat ini
produksi sepenuhnya bertujuan untuk akumulasi. Kewajiban-kewajiban sosial
sebagai konsekwensi status sosial seseorang juragan, tidak lagi melekat erat.
Kewajiban-kewajiban cukup dipenuhi dengan memberi hak buruh sebagaimana
mestinya. Jadi produksi untuk mendapatkan keuntungan dari usaha pertanian
telah menjadi lazim.
Ketiga, nilai yang mengatur organisasi produksi. Jika pada masa
sebelumnya seorang juragan masih menggunakan cara kekeluargan, maka saat
ini usaha berjalan layaknya perusahaan. Buruh tidak lagi dapat seenaknya
bekerja sebagaimana sebelumnya karena aturan diketatkan. Jika ada kerja
tambahan, juragan dapat memberikan bonus uang lembur. Pengrogasisasian
buruh dilakukan lebih intensif karena persaingan dengan industri agro sangat
ketat. Jugaran harus mengeluarkan biaya ekstra (menjemput buruhdan rumah
tinggal) yang tidak dilakukan oleh industri. Dengan demikian pengetatan aturan
kerja dan menuntut waktu ekstra buruh perlu dilakukan juragan.
Tipe-Tipe Pertukaran Ekonomi. Pertukaran ekonomi dalam moda
produksi kapitalis pertanian di TR melibatkan juragan sebagai majikan, buruh,
lembaga keuangan, toko penyedia saprodi, dan pasar. Majikan menguasai
kekuatan produksi dan mengorganisasikan seluruh potensi untuk produksi. Antar
elemen memiliki hubungan dengan pola tertentu dalam proses produksi. Polapola yang terbangun menentukan tipe pertukaran yang terbangun nantinya.
Untuk menuju tipe pertukaran, maka kita harus menguraikan mekanisme
pertukaran yang terjadi. Buruh digunakan tenaga dan keahliannya oleh majikan
untuk menghasilkan barang. Buruh mendapat upah sesuai dengan kebiasaan
yang berlaku. Juragan akan membangun hubungan dengan toko saprodi jika
memerlukan input produksi. Sementara itu untuk menjalankan produksi
memerlukan cara uang, dengan demikian berhubunganlah majikan dengan
lembaga keuangan. Setelah itu untuk menjual barang yang dihasilkan oleh
buruh, majikan akan berhubungan dengan pasar.
Seluruh mekanisme pertukaran itu dilandasi oleh prinsip man to man atau
hubungan individual antara majikan dengan pihak yang dilibatkannya. Seorang
buruh atas nama pribadi menjalin hubungan dengan majikan tanpa rekomendasi
kelompok. Meski ada kelompok buruh spesialis, pada dasarnya mereka tetap
bertindak secara individual dan prestasi juga diukur individual. Hal sama juga
terjadi dengan pihak-pihak lain, dimana mereka berhubungan secara pribadi
139
dengan majikan. Jadi basis pertukaran lebih pada hubungan individual dan tidak
ada hubungan primordial.
Bagaimana sifat pertukarannya? Eksploitatifkan atau egaliter? Tidak jauh
berbeda dengan moda kapitalis industri, moda kapitalis pertanian juga
menempatkan buruh sebagai pihak yang tereksploitatif. Pemilik toko saprodi
relative egaliter, sementara untuk lembaga keuangan sepertinya majikan menjadi
sub-ordinasi. Majikan bahkan mau memberikan bonus tertentu bagi lembaga
keuangan jika kreditnya dicairkan. Ada kalanya untuk mendapatkan kredit
majikan harus mengadakan pendekatan pada pegawai bank. Sementara itu
untuk hubungan dengan pasar, juragan sangat tergantung pada harga pasar.
Jadi pada moda produksi kapitalis pertanian terdapat dua tipe pertukaran, yakni
timbal-balik dan eksploitatif. Timbal balik terjadi antara majikan-toko dan majikanpasar, sementara esploitatif pada majikan-buruh dan bank-majikan.
Bentuk/Tipe Hubungan Sosial Produksi. Hubungan sosial produksi di TR
pada kapitalis petanian melibatkan buruh dan majikan. Buruh sebagaimana juga
pada indutri didapatkan dari pasar kerja lokal maupun luar daerah. Dalam
produksi mereka tergantung pada penilaian majikan sehingga posisinya sangat
imperior dalam struktur produksi, meski telah bekerja lama. Dengan demikian,
hubungan sosial produksi yang dikembangkan moda produksi kapitalis pertanian
sangat herarkhis.
Pada masing-masing jenis buruh memiliki pola hubungan sosial produksi
berbeda. Buruh bebas lebih longgar hubunganya dengan majikan dibandingkan
dengan buruh tetap. Sementara untuk pandek, hampir tidak ada tempat bagi
mereka untuk melepaskan diri dari pengaruh majikan. Hal ini juga menyiratkan
hegemoni yang bertingkat pada jenis-jenis buruh.
Buruh bebas dapat memilih juragan lebih leluasa, dan mereka lebih
mengutamakan kerja di tani tanggung daripada juragan. Kondisi lebih egaliter
yang dikembangkan tani tanggung menjadi penarik buruh bebas, yang secara
ekonomis paling menguntungkan. Seorang majikan tidak perlu menyediakan
tempat bagi pekerja tetap (boro kerjo) jika mendapatkan buruh bebas karena
mereka akan makan dan tidur di rumah masing-masing. Memilih tani tanggung
bagi buruh bebas memberi eksistensi pada dia sebagai kuli merdeka dan tidak
tergantung pada juragan.
Buruh tetap memiliki ketergantungan yang sangat besar pada juragan. Ia
makan minum, juga tidur di rumah juragan yang tentunya tidak gratis dan harus
diganti dengan kerja ekstra. Rumah jauh dan ketidakpastian kerja pada majikan
140
lain mendorong mereka mengambil resiko paling kecil yakni ikut juragan.
Biasanya mereka yang telah mapan atau lama bertempat tinggal di TR perlahan
akan memilih juragan yang lebih baik atau berpindah menjadi buruh bebas.
Pandek memiliki ketergantung lebih erat dari dua jenis buruh sebelumnya.
Mereka tidak akan pernah dapat lepas dari majikan karena tugas yang diberikan
sudah pasti dan melekat sebagai wujud kesetiaan. Juragan menjalin hubungan
khusus lebih emosiaonal dengan pandek bahkan juga memberikan banyak
fasilitas di luar fungsinya sebagai buruh biasa. Seorang pandek bisa dibuatkan
rumah, dinikahkan dan diberi modal kerja.
Jadi, relasi sosial produksi dalam moda produksi kapitalis pertanian
memiliki dua tipe yakni herarkhis merujuk pada hubungan buruh tetap-majikan,
pandek-majikan, dan semi-egaliter merujuk hubungan buruh bebas-majikan.
Buruh tetap merupakan strategi yang dikembangkan oleh majikan agar dapat
bersaing dengan pabrik, dan ini merupakan gejala kapitalisme biasa. Sementara
itu fenomena pandek merupakan peninggalan sistem feudal atau perbudakan.
Jika dicocokkan dengan sistem Hacieda, pandek menunjukkan persamaan ciri.
Relasi Kekuasaan Produksi. Pada dasarnya relasi kekuasaan buruh dan
majikan tidak berbeda jauh pada cara produksi kapitalis pertanian dan kapitalis
industri. Hanya saja perbedaan status buruh dan jenis majikan berbeda pula
relasi kekuasaan yang dibangun. Pandek membangun kekuasaan berbeda
dengan buruh bebas demikian pula buruh tetap. Majikan di sisi lain juga berbeda
antara juragan/petani kaya, tani tanggung dan tani srabutan.
Buruh tetap terikat kuat pada satu juragan karena hidup di rumah hingga
yang disediakan juragan sampai berbulan-bulan. Buruh tetap ini mendapat
makan dan minum dari juragan, dan tidak membayar uang sewa meski bertahuntahun. Akibatnya mereka menjadi sangat tergantung dan posisinya sangat lemah
bila terjadi ketidak cocokan kerja. Bargaining mereka sangat lemah karena
kertegantungan yang dibuat juragan.
Kekuatan dapat dibangkitkan jika mereka mampu menguasai seluruh
tenaga kerja sehingga dapat bernegosiasi dengan juragan. Biasanya mengenai
fasilitas rumah, fasilitas kerja, juga gaji dan pinjaman jika diperlukan. Karena itu
buruh tetap biasanya berusaha menghomogenkan kelompoknya dengan jalan
menarik pekerja dari daerah yang sama sebanyak-banyaknya. Mereka juga akan
mengangkat seorang negosiator yang biasanya dituakan diantara mereka. Jika
tidak homogen betul paling tidak dalam satu kelompok kerja akan didominasi
orang dari satu daerah.
141
Pandek, karena nilai pengabdian dan hubungan emosional yang
dibangun dengan juragan, kekuasaan tidak didasari oleh bargaining. Mereka
lebih mengadalkan hubungan baik untuk mendapatkan fasilitas biasanya
menggunakan istri. Istri pandek juga bekerja pada juragan sebagai juru masak
buruh sehingga hubungan dengan istri juragan dekat.
Bagaimana dengan pekerja bebas? Mereka tidak perduli dengan jalinan
kekuasaan. Jika tidak cocok mereka langsung pindah juragan, dan kebanyakan
mereka bekerja pada tani tanggung yang memang sudah egaliter. Kekuatan
satu-satunya mereka adalah ketidak tergantungan dan status sebagai penduduk
asli sehingga tidak bisa dianggap rendah sebagaimana buruh lain. Buruh bebas
biasanya memiliki kelebihan ketrampilan dan pengalaman karena sejak kecil
telah bekerja di pertanian.
Apa kekuatan juragan? Ia memiliki alat produksi juga lahan dan cara
sehingga tanggungjawab produksi ada padanya. Dengan demikian ia dapat
merekut buruh berapapun dan kapanpun sesuai dengan kebutuhannya. Karena
hal itu, buruh kadang menjadi sangat riskan kedudukannya apalagi dengan
masuknya buruh tetap yang dijemput dari luar daerah setiap pagi. Dengan
kekuatan modal uang juragan dapat menyediakan rumah untuk tempat tinggal
buruh sehingga buruh menjadi tergantung.
Jadi, hubungan sosial produksi di TR pada moda produksi kapitalis
pertanian memperlihatkan struktur herarkhis yang kuat terutama pada usaha tani
juragan. Sementara itu pada usaha tani tanggung hubungan lebih egaliter karena
tani tanggung berkepentingan pada petani bebas yang suka suasana kerja
egaliter. Sementara pada tani srabutan hubungan sangat egaliter karena tenaga
kerja juga sebagai anggota keluarga. Mengenai perubahan aspek-aspek cara
produksi kapitalis setelah kontemporer dapat digambarkan dalam tabel berikut:
142
Tabel 6.3 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada sistem
sosial lokal pada masa Reformasi
Perubahan ciri-ciri
cara produksi
Artikulasinya
Sebelum krisis 1965-1997
Setelah krisis 1997-2005
(Jaman pembangunan)
(Paska pembangunan)
Berorientasi pada nilai
kapitalis
Pasar lokal, internasional,
dan sedikit untuk konsumsi
terutama tani srabutan
Berorientasi pada kapitalis
global
Pasar lokal, internasional,
dan tidak ada hasil untuk
konsumsi sediri
Nilai yang mengatur
tujuan produksi
Nilai yang mengatur
organisasi produksi
Pada pembangunan karena
merupakan usaha Negara
Perusahaan sebagai
lembaga usaha
Pada nilai kapitalis karena
kepemilikan pribadi
Perusahaan sebagai
lembaga usaha
Nilai yang mengatur
penguasaan kekuatan
produksi
Kepemilikan pribadi dan
sewa
Kepemilikan pribadi dan
sewa
Pertukaran ekonomi
Negative
Negative
Kelembagaan produksi
Nilai yang mengatur
orientasi produksi
Elemen yang terlibat
Mekanisme petukaran
Basis kerjasama
Buruh, cara swasta, dan
manajemen.
Tukar menukar melalui
pasar
Pada ikatan kontraktual
buruh majikan.
Buruh, majikan, dan manajer
Tukar menukar melalui
pasar
Ikatan kontraktual tapi
menjadi lebih sederhana
Relasi sosial produksi
Upah sepenuhnya
Herakhis
Sifat relasi sosial produksi
Herarkhis meski didapati
tenaga kerja kerabat terutama
pada juragan, tani tanggung
egaliter juga srabutan
sepenuhnya
Herarkhis karena buruh
upahan, untuk tani tanggung
relative egaliter dan srabutan
sepenuhnya egaliter
Sumber buruh
Dari pasar kerja dan luar
daerah
Tetap
Relasi kekuasaan
Sumber kekuasaan
buruh
Eksploitatif sepenuhnya
Ketrampilan dan soliditas
kelompok
Eksploitatif oportunistik
Ketrampilan, soliditas
kelompok dan kedekatan
Sumber kekuasaan
majikan
Kekuasaan dominan
Penguasaan kekuatan
produksi
Juragan
Penguasaan kekuatan
produksi
Juragan
Persaingan antar cara produksi menyebabkan beberapa ekses yakni (1)
terjadi kesenjangan penguasaan kekuatan produksi, (2) perluasan pasar tenaga
kerja dan pasar tanah, (3), perubahan pada pola pemanfaatan sumberdaya alam
dan (4) pelemparan petani tanggung dan srabutan dari orbit ekonomi. masingmasing terjadi secara simultan dan memiliki efek sebab akibat.
Pertama, kesenjangan penguasan kekuatan produksi khususnya lahan,
semakin besar di tandai dengan meningkatnya penguasaan lahan industri agro,
industri wisata, juga juragan. Perlahan-lahan tanah bergeser penguasaannya dari
petani. Data dari pajak desa menunjukkan jika 60 pemilik lahan terluas pertama
143
tahun 2003 menguasai 440,0946 hektar tanah yang berarti lebih dari 50% lahan
produktif di TR. Ini merupakan kesenjangan sangat besar mengingat penduduk
TR tak kurang dari 12.000 nyawa.
Implikasi langsung dari kesenjangan ini adalah meningkatnya jumlah
keluarga tidak bertanah dari tahun ketahun. Hal itu menjadi masalah sosial yang
pelik di TR hingga muncul berbagai problem sosial. Puncaknya terjadi saat
penduduk miskin desa menduduki lahan milik Cina di daerah Sarfaat dan
dijadikan tempat pemukiman. Hingga saat ini tak kurang dari 75 keluarga
menempati tanah itu, meski terus dipermasalahkan oleh pemiliknya. Baru-baru ini
tahun 2003 pendudukan lahan juga terjadi pada tanah milik Perhutani di daerah
Besta. Sekitar 150 keluarga tak bertanah membuat pemukiman di sana. Tanah
Perhutani itu selanjutnya oleh Pemerintah ditukar dengan tanah lain di daerah
Malang selatan.
Selain untuk pemukiman, pembukaan lahan pertanian juga dilakukan
besar-besaran oleh petani sejak tahun 1997 dimulai dari tanah bekas PT. AN.
Yang melakukan pembabatan adalah para petani bekas mitra PT, atau anakanaknya. Seluruh lahan akhirnya dapat dibabat dan digunakan untuk lahan
pertanian. Tidak hanya itu, tekanan atas sumberdaya alam juga terjadi pada
lahan hutan. Kontrol pemerintah yang lemah mendorong mereka melakukan
penjarahan lahan hutan sampai ke lereng-lereng gunung. Hal yang sama
ssebenarnya juga dilakukan oleh perhutani dengan melakukan perluasan
kawasan wisata dan membuat banyak tempat parker pada wilayah yang
seharusnya tetap menjadi hutan.
Jauh sebelum itu sebenarnya telah terjadi hal yang sama. Penduduk desa
tak bertanah melakukan pendudukan lahan perhutani di daerah Talon. Mereka
kebanyakan para petani tak bertanah dan tidak memiliki tempat tinggal. Karena
kondisi yang sangat mendesak, mereka akhirnya menduduki lahan itu meski
pemerintah melarang. Kejadian itu terjadi tahun 1988 dimana pemerintah orde
baru sangat kuat dan kejadian demikian termasuk langka dan jarang terjadi.
Penduduk berani karena memang kondisinya telah sangat mendesak. Pada
waktu itu
usaha sayur mulai booming dan para juragan mulai melakukan
pembelian lahan besar-besaran.
Akhir-akhir ini terjadi juga pembabatan “tetel” lahan hutan untuk pertanian
yang dilakukan oleh orang-orang tak berlahan. Lahan ini digunakan untuk
tanaman wortel, ketang, juga sayuran lainnya. Lahan ini secara komulatif cukup
144
luas, hingga ratusan hektar. Ini belum tanah-tanah tumpangsari antara hutan dan
rumput yang luasnya juga kurang lebih sama. Jadi luas lahan yang dikuasai
petani jauh lebih banyak daripada yang mereka miliki secara resmi.
Meski lahan bertambah dengan adanya tetelan, juragan secara perlahan
juga mulai masuk dan membeli tanah-tanah itu dengan harga murah. Banyak
diantara petani tidak bertanah menjual lahannya dan kembali membatat lahan
hutan pada daerah yang lebih dalam. Akumulasi penguasaan lahan terus
berlanjut dan juraganlah yang mendapatkan keuntungan paling besar.
Kedua, terkait pasar tenaga kerja dan tanah. Sistem perusahaan yang
dikenakan industri agro dalam pengelolaan buruh bagaimanapun merubah
kesetimbangan pasar kerja lokal. Permintaan buruh meningkat dan terjadi
persaingan untuk memperebutkan buruh lokal. Selain efisien, buruh lokal juga
memiliki mobilitas cepat karena mereka tinggal dekat lokasi. Gaji UMR yang
diterapkan oleh perusahaan menyebabkan persaingan harga tidak seimbang,
dan juragan mengalami kerugian.
Kelangkaan tenaga kerja pertanian dan peningkatan upah menjadi
konsekwensi dari persaingan ini. Para juragan akhirnya mencari buruh hingga ke
desa-desa lain dengan jalan menjemput mereka. Biaya menjadi lebih besar dan
mobilitas semakin meurun larena lokasi buruh terlalu jauh. Selain itu tentu saja
buruh baru belum memiliki kemampuan yang baik sebagaimana buruh biasanya.
Selain kelangkaan buruh, lahan pertanian juga semakin mahal harganya.
Pasar lahan menjadi ramai dan terjadi perlombaan untuk menguasai kekuatan
prduksi utama ini. Perkembangan pariwisata juga menarik orang luar untuk
membeli lahan di sana untuk villa dan tempat peristirahatan. Saat ini lahan
benar-benar menjadi komoditas yang semakin bebas diperjual belikan, tidak
hanya oleh penduduk lokal tapi juga orang luar.
Ketiga, terkait dengan perubahan pola pemanfaatan lahan. Perubahan pola
pemanfaatan lahan sebenarnya lebih merupakan tanggapan atas semakin
menurunnya kemampuan pola lama bertahan dari persaingan antar cara
produksi. Jika petani hanya menanam sekali dalam setahun, maka hasil
perwaktu akan semakin kecil dan ia tidak mungkin bersaing dengan industri agro
yang terus produksi sepanjang hari. selain itu sewa lahan yang semakin tinggi
juga menuntut produksi yang semakin tniggi pula agar peningkatan biaya
produksi tertutupi.
145
Tanpa melakukan perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam tidak
mungkin cara produksi bertahan. Cara produksi akan bertahan jika ia mampu
untuk mendapat keuntungan dari produksinya. Di TR penanaman sayur sebelum
masuknya pengusaha Cina hanya dilakukan sekali setahun. Karena Cina
menanam setahun dua kali maka petani harus mengikuti jika tidak ingin lahannya
terdesak. Dulu tanaman hanya ada pada daerah datar saja, saat ini di daerah
paling miringpun orang menanam sayur. Penanaman satu kali tahun 1970-an
berubah menjadi tiga kali ditahun 1990-an. Saat ini tidak lagi ada petani yang
membiarkan lahannya diam barang satu atau dua minggu, bahkan tanaman satu
belum dipetik kerapkali telah ditanami tanaman lain.
Pemilihan jenis tanaman atau kombinasi beberapa tanaman dalam satu
tahun akan dicari yang paling optimal. Ini melibatkan ketajaman analisis petani
karena terkait dengan keadaan pasar. Sekiranya memberi keuntungan paling
besar, petani akan menanam suatu tanaman tanpa ragu. Jika petani monoton
sebagaimana gaya dulu yang hanya menanam jagung atau ketela saja maka ia
akan tergeser oleh cara produksi lain. Komersialisasi memerlukan biaya banyak
dan itu hanya dapat ditutupi oleh peningkatan produksi. Tidak heran jika petani
selalu memilih kombinasi produksi yang paling optimal yakni (wortel, kentang,
sawi)-(Kentang, bawang, wortel)-(kentang,sawi,wortel). Intensifikasi inilah adalah
cara paling efektif digunakan untuk memenangkan persaingan.
Tentu saja ketersediaan pekerjaan sepanjang tahun karena tiap musim
pasti ada petani yang memerlukan tenaga kerja. Inilah yang menjamin hidup para
buruh tani. Sayur adalah tanaman yang memerlukan banyak tenaga kerja,
apalagi medan pegunungan yang sangat sulit untuk melakukan mekanisasi.
Praktis seluruh kerja dilakukan dengan manual terutama pengolahan lahan.
Keempat, tentang keterlemparan petani kecil. Keadaan nyata kondisi ini
adalah adanya kesenjangan struktur penguasaan lahan. Lahan adalah kekuatan
produksi utama di pedesaan. Akumulasi kepemilikan lahan pada juragan dan
industri agro, serta pariwisata merupakan proses penggeseran petani dari orbit
utama ekonomi. Apakah menjadi buruh tani dan pekerja pabrik terjadi
peningkatan penguasaan kekauatan produksi di luar tanah? cara sebagai misal?
Apakah dapat mereka kumpulkan kemudian menjadi sebuah cara usaha? Paling
besar usaha mereka adalah pedagang apel pinggir jalan, yang hasil tiap harinya
tak lebih besar dari buruh tani.
146
Terjadi ketimpangan yang sangat besar, bahkan banyak penduduk yang
benar-benar tidak memiliki lahan pertanian. Terjadi reproduksi barisan buruh tani
yang meluas di TR hingga saat ini. Kampung Talun, Besta, dan Sarfaat adalah
kampung baru yang berisi keluarga-keluarga tidak bertanah dan saksi
pertarungan tiga gajah raksasa (juragan, industri agro, dan industri pariwisata)
yang memperebutkan lahan. Mau tak mau mereka harus menyingkir jika tidak
akan terlindas kaki-kaki gajah. Banyak diantaranya mengabdi pada salah satu
gajah dan tidak satupun dari mereka, setidaknya hingga hari ini menjadi gajah
atau paling tidak gajah kecil.
Formasi Sosial Kapitalis Industri dan keberlangsungan Moda Produksi
Lokal
Setelah krisis terlihat ada kecenderungan berbeda-beda dari seluruh
artikulasi
cara
produksi
di
TR.
Industri
agro
terlihat
merubah
cara
pengorganisasian buruh, tidak lagi menggunakan cara perusahaan yang ketat
tapi mengadopsi cara petani biasa. Ini dilakukan untuk mendapatkan tenaga
kerja murah terutama untuk pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian khusus.
Buruh untuk kerja kasar ini tidak lagi dari karyawan tetap sebagaimana
sebelumnya, tapi dari tenaga kerja harian.
Juragan dan pengusaha Cina di sisi lain juga melakukan perubahan cara
mengorganisir buruh. Juragan semakin memperbanyak fasilitas bagi buruh boro
dengan memperbesar gaji dan fasilitas tempat tinggal. Ini dilakukan untuk
mendapatkan tenaga ekstra dengan cara mempererat ikatan dan ketergantungan
buruh pada juragan. Pengusaha Cina tidak mungkin melakukan hal sebagaimana
juragan karena mereka tidak bertempat tinggal di desa. Mereka lebih memilih
mendatangkan tenaga kerja dari desa lain dengan model jemputan 23. Tenaga
kerja dari luar desa ini sangat murah dan lebih terjamin ketersediaannya
sehingga tidak perlu bersaing dengan pelaku ekonomi lain.
Selain tenaga kerja, secara perlahan seluruh pelaku ekonomi di TR selain
tani tanggung dan srabutan, berlomba mendapatkan kekuatan produksi penting
lainnya yakni tanah. Juragan berusaha mengakumulasi seluruh sumber kekuatan
23
Tenaga kerja jemputan adalah tenaga kerja yang diperoleh juragan dengan jalan menjemput
langsung dari desa sekitar TR terutama daerah kering sehingga harganya murah. Meski demikian
pengusaha Cina wajib menjemput tiap pagi dan menganarkanya kembali pada sore hari. Hal ini
tentu saja menambah pengeluaran produksi, tapi pengusaha Cina memeng tidak ada alternative
lain karena rata-rata penduduk local tidak mau bekerja padanya demikian juga boro karena ia tidak
menyediakan tempat tinggal sebagaimana juragan.
147
produksi terutama tanah dengan jalan meyewa dan membeli dari tani srabutan
dan tani tanggung. Demikian juga industri agro mengikuti langkahnya dalam
menguasai lahan dengan mengandalkan kemampuan modal uangnya. Industri
pariwisata di sisi lain, belum menampakkan pengaruhnya begitu kuat, meski
beberapa hal juragan juga sudah mulai melirik hal itu 24.
Perubahan kedua moda produksi tersebut berimplikasi pada formasi
sosial baru yang terbangun. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan pada
industri agro dan pariwisata tidak lagi mendominasi seluruh aspek ekonomi.
Juragan yang mulai berciri kapitalis murni menjadi pesaing utama industri.
Persaingan terjadi dalam perebutan lahan dan tenaga kerja sebagai kekuatan
produksi utama di TR. Keduanya masing-masing berusaha mengakumulasi
keuntungan untuk menguatkan cara dan membeli lahan-lahan pertanian.
Ke depan, dilihat dari kecenderungan yang ada mulai ada pergeseran
corak formasi sosial dari dominasi pertanian komersil kearah Industri Agro
dengan modifikasi pada relasi hubungan sosial produksi yang tidak berbasis
pada sistem perusahaan tapi pada sistem lokal. Sementara itu, pertanian
komersil mulai mengarah pada industri pariwisata dan peralihan pada tanaman
apel yang semakin meluas. Faktor pendorong utama perubahan adalah
kebijakan pemerintah dan pertanian komersil sendiri pengaruhnya semakin turun.
Bagaimana dengan petani tanggung dan srabutan ? Jelas ia tidak
berperan sedikitpun dalam menentukan formasi sosial. Hanya saja dalam
persaingan dengan juragan, dalam hal tenaga kerja mereka menang, karena
banyak tenaga kerja bebas sebagai tenaga kerja paling murah dan efisien dapat
mereka ikat. Paling tidak ini satu-satunya cara yang menguntungkan mereka di
tengah tekanan dua raksasa besar yakni juragan dan industri agro.
Sebenarnya tidak ada perubahan mendasar antara masa Orde Baru dan
Reformasi terkait cara-cara produksi yang hadir dalam struktur ekonomi lokal.
Hanya saja para juragan dan pengusaha Cina mulai mendapatkan tekanan yang
kuat dari pelaku ekonomi lain, khususnya industri agro dan pariwisata.
Kemampuan modal mereka mendesak para juragan dan pengusaha Cina untuk
24
Di dua obyek wisata yakni coban Talon dan air panas Cangar mulai ada wacana pengelolaan
tempat wisata tidak pada perhutani tapi pada masyarakat yang digerakan oleh para pemimpin
lokal. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa pendudk telah mampu dan mereka sanggup untuk
mengeluarkan modal. Setelah saya telusuri arah isu ini ternyata ada beberapa juragan yang
memang bersedia menjadi pemodal sekiranya desa dapat memperjuangkan pengelolaanya. Ada
beberapa malah yang mengusulkan PT dengan model saham yang disebar luas pada masyarakat.
148
merombak cara produksinya. Mereka mengetatkan aturan buruh dan majikan
selain menggunakan lahan sebagai kekuatan penyokong utama.
Usaha juragan dan pengusaha Cina untuk memenangkan tekanan itu
akhirnya berdampak pada berkurangnya jumlah petani semi-komersil (tani
tanggung dan srabutan). Juragan semakin agresif dalam mendapatkan lahan dan
membeli dari petani-petani kecil yang tidak begitu luas lahanya. Kekuatan
produksi mereka berpindah ke juragan dan pengusaha Cina hingga menjadi
buruh pabrik atau buruh tani. Laju penambahan barisan buruh semakin cepat
saat industri agro juga melakukan hal yang sama.
Jadi, secara cepat setelah Orde Baru tumbang pertanian semi-komersil
semakin habis perannya. Moda produksi satu-satunya yang dekat dengan
pertanian tradisional sebagai moda produksi awal semakin terkikis. Lahan sempit
sebagai satu-satunya kekuatan produksi tertekan terus oleh juragan, pengusaha
Cina, dan industri. Di sisi lain dengan luasan yang sempit, tidak mungkin untuk
mengakumulasi keuntungan dan menginvestasikan sebagaimana pelaku
ekonomi lain. Kalau tidak bertahan, lahan pasti akan berpindah ke juragan,
pengusaha Cina, atau industri agro dan wisata.
Ihktisar
Setelah Orde Baru dan memasuki reformasi, cara-cara produksi yang
hadir tetap, hanya saja ada kecenderungan jumlah petani semi-komersill
menurun, sementara juragan dan aktifitas industri agro berkembang. Penurunan
jumlah petani semi-komersil semakin memudarkan pengaruh cara produksi lokal
yang tersisa. Pelaku cara produksi semi-komersil beralih menjadi buruh baik
pada industri maupun juragan dan pengusaha Cina. Para petani yang kehilangan
kekuatan produksi utama (tanah) sebagian mendirikan perkampungan baru
dengan jalan menduduki lahan Perhutani dan Pengusaha Pengusaha
Pengusaha Cina.
149
Tabel 6.4 : Perubahan aspek-aspek cara produksi lokal selama reformasi
Periode
Artikulasinya
Aspek moda produksi
A
1
Kekuatan produksi
Alat produksi dominan
2
3
B
Unit produksi
Sumber tenaga kerja utama
Hubungan Produksi
1
2
Batas sosial hubungan
produksi
Struktur hubungan produksi
3
Sifat hubungan produksi
Kapitalis pertanian
Semi-komersial
Modal
Tanah
Organisasi produksi
Buruh upahan
Keluarga inti
Keluarga luas dan buruh
Organisasi produksi
Organisasi produksi
Sangat Herarkhis
Herarkhis
Sangat Eksploitatif
Eksploitatif
Sementara pada masa reformasi, perubahan didorong oleh persaingan
antar artikulasi moda produksi dan antar artikulasi dalam satu moda produksi.
Persaingan mendorong masing-masing artikulasi merubah manajemen produksi
untuk semakin banyak menguasai kekuatan produksi. Penguasaan atas
kekuatan produksi ini menjadi penentu kemampuan reproduksi masing-masing
cara produksi. Petani kaya dan pengusaha Cina mengandalkan penguasaan
lahan sementara industri agro menggunakan modal uang sepenuhnya.
Tabel 6.5 : Perubahan ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional pada masa reformasi
Ciri-ciri cara produksi
Artikulasinya
Kelembagaan produksi
Berorientasi pada kapitalis global
Nilai yang mengatur orientasi produksi
Pasar lokal, internasional, dan tidak ada hasil
untuk konsumsi sediri
Nilai yang mengatur tujuan produksi
Pada nilai kapitalis karena kepemilikan pribadi
Nilai yang mengatur organisasi produksi
Perusahaan sebagai lembaga usaha
Nilai yang mengatur penguasaan
kekuatan produksi
Kepemilikan pribadi dan sewa
Bentuk pertukaran ekonomi
Negative
Elemen yang terlibat dalam proses
produksi
Buruh, majikan, dan manajer
Mekanisme petukaran
Tukar menukar melalui pasar
Basis kerjasama
Ikatan kontraktual tapi menjadi lebih sederhana
Relasi sosial produksi
Upah sepenuhnya
Sifat relasi sosial produksi
Herarkhis karena buruh upahan, tani tanggung
relative egaliter dan srabutan egaliter
Sumber buruh
Dari pasar kerja dan luar daerah
Relasi kekuasaan
Eksploitatif oportunistik
Sumber kekuasaan buruh
Ketrampilan, soliditas kelompok dan kedekatan
Sumber kekuasaan majikan
Penguasaan kekuatan produksi
Kekuasaan dominan
Juragan
150
Setelah krisis dan memasuki masa reformasi masing-masing artikulasi
cara produksi di TR melakukan berbagai pembenahan. Industri melakukan
informalisasi kerja dengan merekut buruh harian, petani kaya dan pengusaha
Cina melakukan pengetatan aturan kerja. Masing-masing bersaing untuk dapat
menguasai tenaga kerja dan lahan sebagai kekuatan produksi utama. Namun
demikian karena kekuatan modal dan kemampuan manajemen yang lebih baik
industri agro dan wisatalah yang akhirnya mampu mendominasi. Bahkan juragan
dan pengusaha Cina juga mulai merombak organisasi produksinya menyerupai
model perusahaan untuk dapat bersaing. Mengenai formasi sosial yang
terbangun dalam tiap periode dapat dilihat lebih rinci dalam tabel berikut:
Tabel 6.6 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi
Cara produksi
Tingkat dominasi
Pertanian Tradisional
0
Kapitalis kolonial
0
Pertanian semi-komersil
*
Kapitalis pertanian
***
Kapitalis
****
Ket
:
*****
***
**
*
Sangat mendominasi
Mendominasi
Kurang mendominasi
Tidak mendominasi
0
Tidak ada
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasar temuan di atas, pada masa kolonial moda produksi yang
muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis
kolonial. Pertanian tradisional berada dalam posisi tersub-ordinasi karena seluruh
surplus produksi diserap oleh perkebunan melalui tenaga kerja dan pangan. Elit
lokal dan petani kaya memanfaatkan peningkatan kebutuhan pangan akibat
masuknya buruh dengan jalan memperbanyak produksi namun tidak sampai
terjadi akumulasi. Dengan demikian moda produksi tradisional keberadaannya
secara perlahan memudar seiring perkembangan perkebunan dan usaha tani
petani kaya.
Petani kebanyakan sebagian besar masih menggunakan moda produksi
lama meski menyesuaikan dengan perkembangan moda produksi kapitalis.
Penyesuaian dilakukan dengan cara merekut tenaga kerja upahan yang sifatnya
sangat terbatas, bahkan lebih banyak menggunakan kerabat. Meski telah
mengadopsi moda kapitalis, pertanian tradisional tetap bertahan dengan moda
lama. Hal ini lebih disebabkan oleh kebijakan kolonial yang membiarkan moda
lokal tetap hidup untuk menompang keberadaan perkebunan. Jadi, pada masa
kolonial moda produksi lokal tetap bertahan meski dalam posisi terdominasi oleh
moda produksi kapitalis kolonial.
Pada awal kemerdekaan, moda produksi yang muncul adalah pertanian
tradisional (petani biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian
(pengusaha Cina). Moda produksi lokal terutama pertanian tradisional semakin
tidak berpengaruh dan mulai mengadopsi moda baru dan cenderung menjadi
semi-komersil. Sementara itu petani kaya yang semi-komersil perlahan mulai
menjadi kapitalis. Jumlah petani tradisional semakin menurun dan pengaruhnya
semakin kecil digantikan oleh pertanian semi-komersil.
Sementara pada masa Orde Lama moda produksi tetap yakni pertanian
tradisional (petani biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis
pertanian (petani kaya dan pengusaha Cina). Hanya saja pertanian tradisional
semakin tidak berpengaruh dan hanya tinggal sisa-sisanya saja. Pertanian
komersil semakin banyak, sementara petani semi-komersil pada periode
sebelumnya sepenuhnya menjadi kapitalis pertanian bahkan mampu menggeser
dominasi pengusaha Cina.
152
Memasuki Orde Baru, moda produksi yang muncul adalah pertanian
semi-komersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina
dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Pada masa ini pertanian
tradisional sepenuhnya hilang dan tinggal pertanian semi-komersil yang masih
memiliki corak lokal. Pertanian semi-komersil
sebenarnya
tidak
begitu
berpengaruh karena seluruh kegiatan ekonomi berkiblat pada investasi
pemerintah. Para pelaku ekonomi lokal akhirnya menjadi buruh tani bagi yang
tidak mampu bertahan atau usaha tani kecil-kecilan bagi yang masih bertanah,
sebagian yang lain melakukan ekspansi ke lereng-lereng gunung.
Setelah Orde Baru dan memasuki reformasi, moda-moda produksi yang
hadir tetap, hanya saja ada kecenderungan jumlah petani semi-komersill
menurun, sementara juragan dan aktifitas industri agro berkembang. Penurunan
jumlah petani semi-komersil semakin memudarkan pengaruh moda produksi
lokal yang tersisa. Pelaku moda produksi semi-komersil beralih menjadi buruh
baik pada industri maupun juragan dan pengusaha Cina. Petani yang kehilangan
kekuatan produksi utama (tanah) sebagian mendirikan perkampungan baru
dengan jalan menduduki lahan Perhutani dan Pengusaha Cina.
Memudarnya moda produksi lokal (pertanian tradisional) pada masa
kolonial didorong oleh kegiatan-kegiatan perkebunan kina dan teh. Sumberdaya
lokal seluruhnya dipaksa mendukung sepenuhnya sistem yang dikembangkan
perkebunan. Tenaga kerja, lahan, dan pangan didapatkan dari sistem sosial
lokal sehingga muncul ketimpangan pada sistem lokal. Pengenalan sistem upah,
kepemilikan pribadi, teknik produksi baru, dan konsolidasi politik lokal, memaksa
moda lokal berubah agar tidak mati.
Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1950 perubahan didorong oleh
masuknya penjajah Jepang, kebijakan ekonomi pemerintah, dan masuknya
pengusaha Cina. Penjajah Jepang memberikan akses tanah pada petani dan
merombak seluruh sistem pertanahan. Tanah perkebunan yang sebelumnya
telah dibagi oleh Jepang selanjutnya dipertegas oleh kebijakan pemerintah.
Soekarno memerintahkan rakyat TR untuk tidak membiarkan lahan kosong yang
berarti mengesahkan pendudukan rakyat. Sementara setelah Jepang pergi,
pengusaha Cina datang membawa moda produksi baru yang diartikulasikan
dalam usahatani kentang. Karena ketiga faktor itu moda produksi lokal yang
terbangun sebelumnya berubah menyesuaikan dengan moda produksi baru
yang dibawa oleh pengusaha Cina.
153
Pada masa Orde Lama, perubahan lebih banyak didorong oleh
perkembangan pertanian pengusaha Cina dan gejolak politik nasional.
Pengusaha Cina secara tidak langsung mengenalkan teknik produksi baru yang
sepenuhnya dapat ditiru oleh petani. Secara perlahan petani kaya merespon
dengan menanam tanaman kentang, sehingga dapat menerapkan sistem
produksi pengusaha Cina. Lama-kelamaan, mereka semakin mapan. Ketika
gejolak politik nasional (land reform) semakin kuat dan memberi ruang bagi
petani kaya, mereka mengusir pengusaha Cina. Petani kaya dengan demikian
semakin mapan kedudukannya dan dominan pada masa itu.
Memasuki Orde Baru perubahan didorong kebijakan pembangunan,
investasi pemerintah, dan masuknya industri agro pada struktur ekonomi lokal.
Kebijakan pembangunan semakin mematapkan pengaruh petani kaya. Petani
kaya bahkan mampu duduk sejajar dengan pengusaha Cina yang masuk
kembali. Investasi pemerintah pada industri agro saat itu menjadi penggerak
utama ekonomi lokal sehingga seluruh moda produksi mengiblat padanya.
Masuknya industri agro swasta yang masuk kemudian, semakin mengokohkan
pengaruh kapitalis industri.
Pada masa reformasi, perubahan didorong oleh persaingan antar
artikulasi moda produksi dan antar artikulasi dalam satu moda produksi.
Persaingan mendorong masing-masing artikulasi merubah manajemen produksi
agar semakin banyak menguasai kekuatan produksi. Penguasaan atas kekuatan
produksi, menjadi penentu kemampuan reproduksi masing-masing moda
produksi. Petani kaya dan pengusaha Cina mengandalkan penguasaan lahan
sementara industri agro menggunakan modal uang sepenuhnya.
Berdasar atas peta moda produksi dan proses perubahan di atas, terlihat
pada masa kolonial moda produksi pertanian tradisional tersub-ordinasi oleh
moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam perkebunan kina dan teh.
Seluruh hasil dari pertanian tradisional sepenuhnya digunakan untuk kepentingan
perkebunan sehingga surplus produksi mengalir ke perkebunan. Moda produksi
pertanian tradisional sepenuhnya menompang keberlangsungan moda produksi
kapitalis kolonial.
Pada awal kemerdekaan, moda produksi pertanian tradisional tersubordinasi oleh moda produksi kapitalis pertanian yang diartikulasikan dalam
pertanian pengusaha Cina. Ini terjadi karena pengusaha Cina mampu
memobilisasi kekuatan produksi lokal untuk mengembangkan usaha taninya.
Dengan demikian formasi sosial lokal yang terbangun adalah kapitalis pertanian
154
yang didominasi moda produksi kapitalis pertanian. Setelah Orde Lama,
dominasi ini secara perlahan digantikan oleh petani-petani kaya lokal. Sehingga
formasi sosial tetap kapitalis pertanian dengan aktor yang berbeda.
Pada masa Orde Baru, seluruh moda produksi mengiblat pada investasi
pemerintah. Moda produksi yang dominan saat itu adalah moda produksi
kapitalis industri yang diartikulasikan dalam industri agro dan wisata. Formasi
sosial yang terbangun dengan demikian bercorak kapitalis industri yang
diintrodusir oleh pemerintah pada formasi sosial lokal. Setelah krisis, terjadi
pergeseran dimana peran pemerintah semakin hilang dan digantikan oleh swasta
yang mengembangkan industri agro di tingkat lokal. Moda produksi dominan
adalah kapitalis industri yang diartikulasikan pada industri agro dan wisata
karena memiliki kekuatan modal dan manajemen. Dengan demikian pada masa
reformasi formasi sosial yang terbangun adalah kapitalis industri dengan aktor
para pengusaha swasta.
Dari hasil penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moda
produksi lokal yang diartikulasikan oleh usahatani tradisional dari jaman kolonial
hingga reformasi tidak mengalami perubahan orientasi. Keberadaaanya dari
masa ke masa selalu dalam posisi terdominasi oleh moda produksi lain. Pada
masa kolonial oleh moda produksi kapitalis kolonial, awal kemerdekaan oleh
pengusaha Cina, Orde Lama oleh petani kaya dan pengusaha Cina, sementara
Orde Baru oleh kapitalis industri investasi pemerintah. Hal itu tidak berubah
hingga masa reformasi dimana pertanian tani tanggung dan srabutan sebagai
sisa artikulasi moda produksi lokal cenderung hilang, dimana pelakunya
perlahan-lahan beralih menjadi buruh tani dan pabrik.
Saran
Hasil penelitian memperlihatkan jika moda produksi lokal yang menjadi
penompang utama struktur ekonomi suatu daerah selalu hancur saat moda
produksi baru dimasukan. Moda produksi lokal ternyata tidak mampu
mereproduksi dirinya atau paling tidak mengakomodasi moda produksi baru.
Akibat yang kemudian timbul adalah keterlemparan pelaku ekonomi lokal
sebagai artikulasi dari moda produksi lokal. Berdasarkan atas kenyataan itu dan
berdasar temuan penelitian ini maka di sarankan, pertama, dalam menerapkan
kebijakan industrialisasi di pedesaan hendaknya dipertimbangkan moda produksi
asli yang berkembang dalam masyarakat sehingga dapat disesuaikan atau paling
tidak dapat diakomodasi oleh moda produksi lokal.
155
Kedua, jika suatu kebijakan berpotensi merombak penguasaan kekuatan
produksi dan hubungan produksi yang ada dalam masyarakat kiranya perlu untuk
melihat struktur sosial secara cermat mengingat hanya kelompok elitlah yang
selama ini mampu memetik manfaat dari seluruh kebijakan. Hasil penelitian
menunjukan jika sejak jaman kolonial hingga saat ini yang mampu
memanfaatkan kebijakan dan mengadopsi moda produksi baru hanyalah kelas
elit. Kelas bawah cenderung selalu kehilangan kontrol atas kekuatan produksinya
dan tidak mampu mempertahankan relasi sosial produksi yang dikembangkanya
sehingga terlempar dari orbit ekonomi.
Ketiga, berdasar atas kecenderungan kelas elit dan aktor ekonomi baru
untuk mengakumulasi kekuatan produksi dan membangun hubungan produksi
yang eksploitatif, maka sangat penting untuk menekan kecenderungan itu melalui
pembatasan penguasaan kekuatan produksi dan mengatur secara lebih rinci
tentang hak dan kewajiban dalam produksi. Dengan demikian tidak terjadi
percepatan laju keterlemparan kelas bawah dari orbit ekonomi sehingga
diharapkan mereka mampu berkembang.
Berdasar atas temuan penelitian maka untuk penelitian berikutnya dapat
dilengkapi dengan, pertama, melakukan kajian lebih mendalam pada aspek
supra struktur masyarakat yang terbangun (ideologi dan sistem politik) karena
perubahan moda-moda produksi di TR dari waktu ke waktu, kedua, Melakukan
kajian pada perkembangan masing-masing artikulasi moda produksi (pariwisata,
industri agro, juragan, tani tanggung, srabutan) secara spesifik agar lebih terlihat
secara detail proses dan penyebab perubahan moda produksi, dan ketiga,
melakukan kajian perkembangan ekonomi kawasan untuk dapat dilihat penyebab
perubahan dari tingkat mikro hingga meso.
DAFTAR PUSTAKA
___________, 2004, Profil Desa Tlungrejo, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu,
Jawa Timur.
___________, 2004, Potensi Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu Bulan April 2004,
Badan Pusat Statistik Nasional, Jakarta.
Babie, E. 2004, The Practies Of Social Research, Wadsworth, Belmonth
Beaud, M., 2001, A History of Capitalism 1500-2000, Montly Review Press, New
York
Boeke, J.H., 1953, Economics and Economiics Policy of Dual Societies as
Exsemplified By Indonesia, Institut Of Fasific Relation, New York
Booth, A., O’Malley, J., Weidemann, A., 1988, Sejarah Ekonomi Indonesia,
LP3ES, Jakarta
Carles L. Halper, 1989, Exploring Social Change, Prentice Hall, Engelwood Cliff,
New Jersey
Cederroth, S., 11995, Survival And Provit In Rural Java: The Case of an East
Javanese Village, Curzon Press
Collier, at all, 1974, Agricultural Technology and Institusional Change in Java,
Food Research Institut Studies, Vol. 13 N0; 21
Cresswel, J., 1994, Research Design : Qualitatif And Quantitative Approach,
Sage Publication.
Freidberg, E. S., 2003, Culture, Convention and Colonial Constructs of Rurality in
South-north Horticultural Trades, Journal of Rural Studies,
Volume 19 (2003) 97-109.
Geerzt, C.,1976, Involusi Pertanian “Perubahan Ekologis Pertanian Di Indonesia
Terdj., Institut pertanian Bogor, Bogor.
Gordon, et al 1985, The Critical Up Land of Eastern Java: An Agroecosystems
Analisis, Unibraw-Ford Foundation, USAID, Deptan.
Godelier, M., 1978, The Concept of the “Asiatic Mode of Production” and Marxis
Models of Social Evolution, dalam Seddon, D., 1978, Relation of
Prduction : Marxis Aproach to Economic Anthropology, Frank
Cass.
Hashim, Wan, 1988, Peasant Under Peripheral Capitalism, Penerbit Universitas
Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Hayami dan Khikuci, 1987, Dilemma Ekonomi Pedesaan; Suatu Pendekatan
Ekonomi Terhadap Kelembagaan di Asia Tenggara, YOI, Jakarta
Heffner, R., 1999, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik,
LkiS, Jogjakarta.
Houben, V. J.H., 2000, Perkebunan Perkebunan Swasta di Jawa Abad ke-19:
Sebuah Kaji Ulang, dalam Lindblad J. Thomas, Sejarah Ekonomi
Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, LP3ES, Jakarta
Kano, H., 1990, Pagelaran; Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyarakat Tani
Sebuah Desa Di Jawa Timur, UGM Press, Jogjakarta
Kartodirdjo, S dan Suryo J., 1991, Sejarah perkebunan di Indonesia ‘Kajian
Sosial ekonomi, Aditya media, Jogjakarta.
Khan S. Joel, 1974, Economic Integration And The Peasant Economic: The
Minangkabau (Indonesia) Blacksmith, University of London ,
London School of Economic.
Kostov P. dan Lingard J., 2002, Subsisten Farming in Transition Economic:
Lesson from Bulgaria, Journal of Rural Studies, Volume 18 (2002)
83-94.
Maleong, Lexi J., 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Penerbit Remaja
Rosda Karya.
Marzali, Amri, 1974, Konsep Peasan dan Kajian Masyarakat pedesaan
Indonesia, Jurnal FISIP UI, Jakarta.
Moedjanto, G., 2002, Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu,
Pengatar dalam Antlov, H., dan Chederroth, C.(eds), 2002,
Kepemimpinan di Jawa ; Perintah Hakus, Pemerintahan Otoriter,
YOI, Jakarta
Neil, Van, 2000, Sistem Tanam Paksa di Jawa, LP3ES, Jakarta
Nibbering, JW and A. Schrevel, 1982, The Role of Additional Activities in Rural
Java: A Chase Study of Two Vilagges in the Malang Regency,
Utrecht, Departement of Geography No. 17 University of Utrecht.
Peet, R. and Hartwick, E., 1999, Theories of Development, The Guilford Press
Pilling, G., 1980, Marx’s Capital, Philosophy and Political Economy, Routledge &
Keagan Paul
Ray, C., 2002, A Mode of Production for Fragile Rural Economic : the Territorial
Accumulation of Form of Capital, Journal of Rural Studies,
Volume 18 (2002) 225-231.
Rickelfs, M.C., 2002, Yogjakarta di Bawah Mangkubumi 1749-1792 ; Sejarah
Pembagian Jawa, Mata Bangsa, Jogjakarta
Russel, W. James, 1989, Modes Of Production in World History, London and
New York, Routlge.
Roxborough, 1986, Teori-teori keterbelakangan, LP3ES, Jakarta
Sanderson, 2003, Makro Sosiologi : Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas
Sosial, Rajawali Press, Jakarta
Sayogjo, 1982, Modernization Without Development In Rural Java, Journal Of
Social Studies, Dacca.
Sitorus, M.T.F., 2004, “revolusi coklat” : Social Formation, And Forest Margins In
Up Land Sulawesi, Indonesia, dalam Gerold, G., Fremerey, M.,
dan Guhardja (eds.) Land Use, Nature Conservation And The
Stability Of Rainforest Margins In Southeast Asia, Springer
Sitorus, M.T.F., 1999, Pembentukan Golongan Pengusaha Local Di Indonesia:
Pengusaha Tenun Dalam Masyarakat Batak Toba, Desertasi IPB,
Bogor
Soemarno, 2000, Potensi Pengembangan Agropolitan di Batu, LPM-Unibraw,
Paper tidak dipublikasikan.
Soehartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan
Surakarta 1830-1920., Tiara Wacara, Jogjakarta.
Stompka, Prior, 1994, The Sociologi Of Social Change, Oxpord: Blackwell
Publisher
Stavenhagen, R., 1975, Economic Transition in West Africa, Anchor Book,
Anchor Press, Doubleday.
Stake, R., E., 1995, The Art of Case Study Research, Sage Publication
Taylor, G., Jhon, 1979, From Modernization to Mode Of Production; A Critique of
the Sociologies of Development and Under Development,
MacMilan
Wertheim, W.F., 1999, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan
SoSial, Yogjakarta, Tiara Wacana
White, 2002, Agrarian Debates and Agrarian Research In Java, Past and
Present, Dalam 70 Tahun Gunawan Wiradi, Akatiga, Bandung
White 1976, Production and Reproduction in Javanese Village, Ph.D Thesis,
Columbia University
Wiradi, G., 2001, TonggakTtonggak perjalanan Kebijakan Agraria di Indonesia,
dalam Tim Lappera, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria : Jalan
Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lappera, Jogjakarta
Wolf. Eric R, 1966, Petani “Suatu Tinjauan Antropologis” Terjd., Yayasan IlmuIlmu Sosial, Jakarta.
Wright, Olin, E., 1997, Class Count : Acomparative Studies in Class Analysis ,
Cambridge University Press. Cambridge
Peta Jawa Timur, Kota Batu, dan Desa Tulung Rejo
Lampiran II :
Nama dan status subyek kasus serta permasalahan yang digali dalam penelitian.
Subyek
Status
Metode
No Masalah
kasus
penggalian data
Informasi umum kondisi sosial
CPR
Kepala desa
Wawancara
1
ekonomi
SDK
Kepala dusun
bebas
CPR
Kepala desa
Wawancara
2
Sejarah desa
MHR
Sekdes 1946-1966
bebas
Kemunculan pertanian
PNO
Petani umur 71 thn
Wawancara
3
komersil
mendalam
Kehidupan buruh boro kerjo
PND
Boro kerjo umur 26 thn
Wawancara
4
muda
Mendalam
Perkembangan tanaman apel
KPN
Juragan umur 79 thn
Wawancara
5
dan sayur
mendalam
BSY
Janda AURI umur 81 thn
Wawancara
6
Perjalanan hidup janda AURI
mendalam
SDK
Kepala dusun
Perkembangan ekonomi
Wawancara
7
MSN
Tani tanggung umur 71
dusun SB. Brantas
mendalam
tahun
Komposisi penduduk dan
SDK
Kepala dusun
Wawancara
8
keberadaan juragan
mendalam
BAI
Srabutan
Wawancara
9
Kemunculan usahatani besar
mendalam
Organisasi kerja pertanian
BKR
Juragan
Wawancara
10
sayur dan apel
mendalam
MSN
Tani tanggung umur 84
Wawancara
11 Profil buruh tani
tahun
mendalam
MSN
Tani tanggung umur 84
tahun
Wawancara
Cara kerja di pertanian dari
12
PRT
Bekas tani umur 76 thn
mendalam
kolonial hingga saat ini
SYH
Buruh tani umur 61 thn
BJO
Juragan umur 76 thn
Perkembangan kegiatanRNI
Peneliti Program Doktor
Wawancara
13
kegiatan ekonomi lokal TR
(peneliti) ekonomi sumberdaya
bebas
Keseharian buruh Cabut
MHD
Buruh panen
Wawancara
14
(panen) (hub. Buruh-majikan)
mendalam
Proses berdirinya kampung
HDR
Srabutan
Wawancara
15
Besta
mendalam
CPR
Kepala desa
Kemajuan dan kemunduran
LKT
Pengusaha apel
Wawancara
16
usaha tani
mendalam
MHR
Bekas kepala dusun
periode
SRP
Bekas carik 1966-1984
Pembangunan desa dari msa
Wawancara
17
CPR
Kepala desa sekarang
ke masa
mendalam
SDK
Kepala dusun
Sistem kerja di pertanian
SWJ
Kepala dusun
Wawancara
18
dalam satu tahun
mendalam
Sistem kerja di pabrik sebelum
SWJ
Kepala dusun
Wawancara
19
krisis
mendalam
SWJ
Kepala dusun
Wawancara
20 Sistem kerja setelah krisis
JMR
Buruh pabrik bunga
mendalam
MHR
Sekdes 1946-1966
Wawancara
21 Usahatani awal di TR
mendalam
ALG
Pengusaha Cina (87)
Sejarah masuknya pengusaha
Wawancara
22
Pengusaha Cina (71)
Cina
mendalam
TSN
Lampiran II (Lanjutan)
No Masalah
23
Kegiatan-kegiatan ekonomi
utama sejk tahun 1970
24
Cara mengorganisir buruh
25
27
28
29
30
Ramai sepinya usaha di luar
pertanian
Hak dan kewajiban buruhjuragan
Mekanisme kontrol buruh dan
juragan
Kegiatan ekonomi pendukung
wisata
Kegiatan ekonomi dominan
dan sejarah perkembangannya
31
Asal usul juragan dan
perjuangannya
32
Kegiatan ekonomi pariwisata
33
Nilai-nilai terkait wisata
34
Kegiatan produksi dominan
sejak 1938-sekarang
34
Kekuatan produksi utama
35
Relasi produksi seluruh
kegaitan ekonomi
36
Sistem politik lokal dan
kekuasaan lokal
Subyek
kasus
SYN
Status
Pedagang (70Thn)
BDO
Juragan (46Thn)
RBT
SAI
BDO
Pedagang bakso (76Thn)
Warung (45Thn)
Juragan (46 Thn)
BDO
SYN
KSN
PTR
Juragan (46 Thn)
Pedagang (70Thn)
Buruh bebas
Pedagang buah (35 Thn)
MTS
Bekas petani (87 thn)
PNM
BJO
BDO
BKR
Juragan
Juragan
Juragan
Juragan
(45
(68
(46
(56
Thn)
Thn)
Thn)
THN)
ADI
Karyawan hotel
ARI
Karyawan Selecta
ATM
Bekas pejuang (81 Thn)
ATN
IHN
SJD
MLH
CHP
ABI
Tani-tanggung (33 Thn)
Tani Tanggung (44 Thn)
Srabutan (46 Thn)
Tani tanggung (66 Thn)
Kepala desa
Calon Kepala desa 1984
yang gagal
Metode
penggalian data
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Wawancara
mendalam
Download