PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa MANGKU PURNOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Perubahan Struktur Ekonomi Lokal : Studi Dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa adalah karya saya sendiri dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing. Karya ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dala m Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2005 Mangku Purnomo NRP. A152030031 ABSTRAK MANGKU PURNOMO. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa. Dibawah bimbingan M.T. FELIX SITORUS dan ARYA H. DHARMAWAN. Penelitian tentang transformasi pedesaan Jawa hingga saat ini terpusat pada gejala diferensiasi pedesaan sehingga kurang menjelaskan gejala-gejala perubahan moda produksi dan formasi sosial lokal dengan lebih mendalam. Selain itu, studi-studi tersebut bias komunitas padi sawah, sementara komunitas pegunungan belum diteliti secara spesifik. Oleh karena itu, penelitian ini mengambil tema perubahan struktur ekonomi/formasi sosial lokal yang akan dianalisis melalui dinamika perubahan moda produksi desa pegunungan di Jawa. Tujuan penelitian adalah untuk (1) memetakan tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR, (2) menganalisis proses perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa dan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut, dan (3) menganalisis formasi sosial desa TR disetiap masa akibat perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Metode yang dipakai adalah penelitian kualita tif dengan strategi studi kasus karena kekhasan masalah dan kemampuannya dalam menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada masa kolonial moda produksi yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan adalah pertanian tradisional (petani biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina). Sementara pada masa Orde Lama tetap, yakni pertanian tradisional (petani biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis pertanian (petani kaya dan pengusaha Cina). Memasuki Orde Baru adalah pertanian semikomersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Memasuki reformasi, moda produksi tetap, tetapi jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan dan industri agro berkembang. Memudarnya moda produksi lokal pada masa kolonial didorong oleh kegiatan-kegiatan perkebunan kina dan teh. Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1950 didorong oleh masuknya penjajah Jepang, kebijakan ekonomi pemerintah, dan masuknya pengusaha Cina. Pada masa Orde Lama, oleh perkemb angan pertanian pengusaha Cina dan gejolak politik nasional. Memasuki Orde Baru oleh kebijakan pembangunan, investasi pemerintah, dan masuknya industri agro pada struktur ekonomi lokal. Pada masa reformasi, perubahan didorong oleh persaingan antar artikulasi moda produksi dan antar artikulasi dalam satu moda produksi. Dengan demikian, formasi sosial yang terbangun pada masa kolonial adalah kapitalis kolonial, berubah menjadi kapitalis pertanian pada masa awal kemerdekaan hingga Orde Lama, kapitalis Negara pada masa orde Baru dan Kapitalis Industri pada masa reformasi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial. dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa-ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsurangsur me mudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI LOKAL: Studi Dinamika Moda Produksi Di Desa Pegunungan Jawa M. PURNOMO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 Judul Tesis : Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa Nama : M. Purnomo NRP : A. 152030031 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS Ketua Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M. Sc. Tanggal Ujian : 29 Agustus 2005 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Magetan pada tanggal 20 April 1977 dari ayah Soeradi (Alm.) dan ibu Hartutik Sayuti. Penulis adalah anak keempat dari enam bersaudara. Lulus dari SMA PGRI I Maospati pada tahun 1996 dan masuk pada Fakultas Pertanian Unibraw pada tahun 1997. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 diterima pada Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak mahasiswa penulis telah aktif di Enlighment Malang pada tahun 1998-2001 dan LAPERA Indonesia sebagai Resoure Center (RC) pada tahun 2000 hingga saat ini. Pada tahun 2002 penulis menjadi staff pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Widya Gama Malang dan pada tahun 2004 penulis kembali mengabdi ke almamater sebagai staff pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Universitas Brawijaya. Kata Pengantar Segala puji pada Tuhan yang maha kuasa atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Perubahan Struktur Ekonomi Lokal : Studi Dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa dapat terselesaikan. Ungkapan terimakasih penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS sebagai ketua dan Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Prof. H.A. Mukthie Fadjar, SH. MS selaku Rektor Universitas Widya Gama Malang yang telah menugaskan penulis untuk mengambil studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor . Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh penduduk dan Pamong desa Tulungrejo atas bantuannya khususnya kepada Bapak Suwaji kepala dusun Wonorejo yang telah berkenan menjadi tempat kos penulis selama penelitian lapangan dan Mas Ferry sekeluarga yang selalu menerima penulis untuk berdiskusi di kebun percobaan Unibraw. Kepada seluruh rekan-rekan penulis di SPD, Mbak Rita, Mbak Inya`, Mbak Anik, Mbak Heru, Pak Jetter, Mbak Jean, Pak Witranto, Mas Damae, Mas Taya Toru, serta Sofyan dan Pak Kalbi, terima kasih atas kebersamaannya selama studi. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Mas Dadang Juliantara dan Mas Riawan Chandra dari Pokja Pembaruan Jogjakarta serta Mas Himawan dan Samsudin serta seluruh staff LAPERA atas suportnya. Kepada Teman-teman di RK, Doni, Wahyu, Syahid, Eko, Dodik, Ama, Budi, Hasan dan Mas Teguh serta Mas A`an terima kasih dan semoga kita semakin dewasa. Pengharg aan sebesar -besarnya penulis sampaikan kepada Bapak (Soeradi) yang telah meninggalkan penulis saat menyelesaikan tesis ini, Ibu (Hartutik Sayuti) serta seluruh keluarga besar atas do`a dan dukungannya sela ma ini. Kepada Fiska Nurillah Salathin, Jihan, dan keluarga di Banjarnegara terima kasih atas dukungannya. Dan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat serta dapat diperbaiki dimasa yang akan datang. Bogor, Oktober, 2005 Mangku Purnomo DAFTAR ISI Ringkasan ........................................................................................................ i Glosari .............................................................................................................. iv Daftar Singkatan .............................................................................................. v Daftar Isi ........................................................................................................... ix I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 1 1 4 8 II. PENDEKATAN TEORITIS ............................................................................ 2.1. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 2.1.1 Ciri-ciri Struktur Ekonomi Lokal ................................................... 2.1.2 Perkembangan Kapitalis dan Transformasi Ekonomi Lokal ....... 2.1.3 Konsep Moda Produksi dan Formasi Sosial ................................ 2.1.4 Perubahan Moda Produksi dan Struktur Ekonomi....................... 2.2. Alur Pemikiran....................................................................................... 2.3. Hipotesis Pengarah .............................................................................. 9 9 9 11 13 20 24 27 III. METODE PENELITIAN ............................................................................... 3.1. Jenis Penelitian ..................................................................................... 3.2. Lokasi Penelitian dan waktu ................................................................. 3.3. Penentuan Subyek Kasus ................................................................... 3.4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.................................................. 3.6. Hambatan dalam proses penelitian ...................................................... 28 28 28 28 29 29 30 IV. DESA TULUNG REJO : SOSIAL EKONOMI DAN SEJARAH DESA ...... 4.1. Sejarah Desa .............................................................................................. 4.2. Gambaran Sosial- ekonomi Desa ............................................................... 4.2.1. Basis Ekologi ................................................................................. 4.2.2. Dinamika Sosial Ekonomi............................................................... 34 34 38 38 40 V. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL : PERPEKTIF HISTORIS ................................................................................. 5.1. Moda Produksi dan Formasi Sosial Masa Kolonial (1870-1945)............. 5.1.1. Cara Produksi Pertanian Tradisional ............................................. 5.1.2. Cara Produksi Kapitalis Kolonial .................................................... 5.1.3. Perubahan Moda Produksi Lokal: Perombakan Moda Produksi Pertanian Tradisional...................................................................... 5.1.4. Formasi Sosial Kapitalis Kolonial dan Keberlangsungan Moda produksi Lokal .................................................................... 5.2. Moda Produksi dan Formasi Sosial Awal Kemerdekaan (1945-1950)....................................................................... 5.2.1. Kedatangan Penjajah Jepang........................................................ 5.2.2. Revolusi Nasional dan Rencana Ekonominya ............................... 5.2.3. Peran Pengusaha Pertanian Pengusaha Cina .............................. 5.2.4. Tipe-tipe Moda Produksi yang Hadir pada Formasi Sosial Lokal ..................................................................... 5.2.4. Perubahan Moda Produksi Lokal: Dari Pertanian Tradisional 47 48 48 50 53 56 60 60 60 60 63 Menuju Semi-Komersil ................................................................... 65 5.2.5. Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan keberlangsungan Moda Produksi Lokal................................................................................. 68 5.3. Moda Produksi dan Formasi Sosial Selama Orde Lama (1950-1965) .... 71 5.3.1. Bekerja dan Belajar Bersama Pengusaha Cina ............................ 61 5.3.2. Ketegangan Politik dan Stagnasi Ekonomi .................................... 72 5.3.3. Moda Produksi yang Terbangun .................................................... 75 5.3.4. Perubahan Moda Produksi Lokal : Dari Semi-komersil menuju Kapitalis Pertanian.......................................................................... 77 5.3.5. Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan Keberlangsungan Cara Produksi Lokal.................................................................... 80 5.4. Moda Produksi dan Formasi Sosial Orde Baru (1965-1997)................... 82 5.4.1. Repelita dan Pembangunan Ekonomi ........................................... 82 5.4.2. Gelombang Masuknya Industri Agro.............................................. 86 5.4.4. Moda Produksi Yang Terbangun ................................................... 91 5.4.5. Perubahan Moda Produksi Lokal : Kemapanan Kapitalis Pertanian.......................................................................... 92 5.4.6. Formasi Sosial Kapitalis Negara dan Keberlangsungan Moda Produksi Lokal....................................................................... 96 5.5. Ikhtisar......................................................................................................... 100 VI. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL KONTEMPORER (1997-2005) ..................................................................... 6.1. Kecenderungan Perkembangan Juragan dan Pengusaha Cina .............. 6.2. Kecenderungan Perkembangan Tani Tanggung ....................................... 6.3. Kecenderungan Perkembangan Tani Srabutan ........................................ 6.4. Kecenderungan Perkembangan Industri Agro ........................................... 6.5. Kecenderungan Perkembangan Industri Pariwisata .................................. 6.6. Moda Produksi yang Terbangun................................................................. 6.7. Perubahan Moda Produksi Lokal : Dominasi Kapitalis Industri ................. 6.8. Formasi Sosial Kapitalis Industri dan keberlangsungan Moda Produksi Lokal .................................................................................. 6.9. Ihktisar......................................................................................................... VII. Kesimpulan dan Saran ............................................................................. 7.1. Kesimpulan ................................................................................................ 7.2. Saran .......................................................................................................... 108 108 116 120 123 127 133 134 148 150 154 154 157 Daftar Tabel Table 4.1 : Sejarah desa Tulung Rejo............................................................. 37 Tabel 5.1 : Aspek moda produksi kapitalis kolonial dan pertanian tradisonal masa kolonial................................................................................. 53 Tabel 5.2 : Perubahan aspek cara produksi subsistensi di TR setelah masuknya cara produksi kapitalis pada masa kolonial .................................. 54 Tabel 5.4 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan kapitalis pada masa awal kemerdekaan ....................................... 65 Tabel 5.5 : Perubahan aspek cara produksi pertanian tradisional di TR awal kemerdekaan ................................................................................ 67 Tabel 5.6 : Kecenderungan perubahan ciri-ciri cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa awal kemerdekaan ............. 68 Tabel 5.7 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan kapitalis pertanian pada masa Orde Lama ................................... 76 Tabel 5.8 : Perubahan aspek cara produksi lokal pada ma sa Orde Lama .... 78 Tabel 5.9 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Orde Lama .................................. 79 Tabel 5.10 : Artikulasi cara produksi semi -komersil, kapitalis pertanian dan kapitalis industri pada masa Orde Baru ........................................ 92 Tabel 5.8 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersil dan kapitalis di TR pada masa Orde Baru .................................................................. 94 Tabel 5.11 : Kecenderungan perubahan moda produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Orde Baru .................................... 95 Tabel 5.12 : Perubahan aspek-aspek cara produksi pertanian tradisonal dari jaman kolonial hingga saat ini ....................................................... 102 Tabel 5.13 : Evolusi ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional dari masa kolonial hingga saat ini ................................................................................ 104 Tabel 5.14 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi .............. 106 Tabel 6.1 : Artikulasi cara produksi semi -komersil, kapitalis pertanian dan kapitalis pada masa reformasi ..................................................... 134 Tabel 6.2 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian dan kapitalis pada masa reformasi .............................................. 139 Tabel 6.3 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Reformasi ................................... 144 Tabel 6.4 : Perubahan aspek-aspek cara produksi lokal selama reformasi .. 151 Tabel 6.5 : Perubahan ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional pada masa reformasi ........................................................................................ 152 Tabel 6.6 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi .............. 153 iv DAFTAR SINGKATAN BPR : Bank Perkreditan Rakyat BTI : Barisan Tani Indonesia (Organisasi underbow PKI yang mengorganisir petani di pedesaan) CV : Commanditer Vennotschip DPL : Di Bawah Permukaan Laut Ha : Hektar (10.000, M2) HDI : Human Development Indeks Kg : Kilogram Km : Kilometer KPH : Kawasan Pemangku Hutan PKI : Partai Komunis Indonesia PPN : Perusahaan Perkebunan Nasional PT : Perseroan Terbatas PTPN : Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara RAC : Remaja Anti Cina TAHURA : Taman Hutan Rakyat THR : Tunjangan hari raya TMII : Taman Mini Indonesia Indah TNI-AU : Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Udara UMR : Upah Minimum Regional iv GLOSARI Angpao : Semacam uang sogokan untuk memperlancar proses konsesi tanah untuk para pejabat yang berwenang Aspal godok : Pengerasan jalan dengan aspal kasar yang direbus dalam tong kemudian disiram ke jalan dan ditaburi pasir. Bagor : Semacam karung pembungkus pupuk terbuat dari plastik yang digunakan oleh penduduk untuk celana Bero : Kondisi lahan yang tidak ditanami tanaman produktif dalam jangka waktu lama Bongkor : Kondisi lahan yang tidak dipelihara hingga ditumbuhi tanaman tidak berguna. Jika bero lahan masih akan dimanfaatkan kemudian jika bongkor lahan benar-benar tidak terurus. Boro kerjo : Istilah bagi buruh dari luar daerah yang mencari kerja di Tulungrejo dan menginap di sana hingga berbulan-bulan bahkan tahunan. Mereka biasanya berasal dari daerah marjinal seperti selatan Malang, Blitar, juga dari Pujon dan daerahdaerah lainnya. Mereka menginap di rumah rumah penampungan khusus untuk mereka, dan ada juga yang menginap dirumah penduduk atau di rumah saudaranya yang telah dulu masuk dan menjadi warga desa Burgur : Ampas jagung yang sarinya telah diambil untuk minyak goreng, biasanya untuk makanan sapi dan kuda atau ternak lainnya Buruh bebas : Buruh yang tidak terikat oleh juragan manapun dan bebas bekerja dimanapun, biasanya mereka penduduk asli desa Tulungrejo Buruh lepas : Buruh yang hanya diupah tanpa diberi makan sehingga imbalan gaji saja Cabut : Istilah untuk kerja borongan memetik wortel yang dilakukan sekelompok pekerja. Divisi : Jabatan di bawah manejer pada pabrik jamur dan bunga yang membawahi beberapa supervisor. Gestok : Gerakan Satu Oktober (Istilah lain untuk peristiwa PKI 1965 yang digunakan oleh Bung Karno) Juragan : Seorang yang memiliki tanah lebih luas dari lima herktar, kaya dan mempekerjakan banyak buruh hingga 50-an orang di lahan pertaniannya. Manajer : Pemimpin dalam perusahaan bunga dan jamur yang memimpin perusahaan yang dipekerjakan oleh pemilik perusahaan. Mandor : Orang yang dipercaya juragan atau pengusaha Cina untuk mengawasi kerja para buruh Mbangkat : Kerja memikul hasil bumi dari lahan dengan menggunakan keranjang, biasanya dilakukan jika lahan jauh dari jalan raya. Mbangkat ini biasanya dilakukan berkelompok hingga 10 orang. Ngasak : Mencari sisa kentang pada kebun yang diusahakan pengusaha v Cina sehabis di panen Nglaju : Kegiatan pulang pergi yang dilakukan pekerja tiap hari, atau pagi berangkat kerja sore pulang kembali kerumah dan dilakukan secara rutin. Pandek : Orang yang bekerja pada seorang juragan sepanjang hidupnya dan tidak berpindah juragan. Pasangan : Orang yang dianggap sangat cocok oleh tani tanggung untuk bermitra dengannya dalam bekerja. Pasangan ini biasanya teman akrabnya atau mitra kerja disaat keduannya menjadi buruh pada juragan atau tani tanggung lain. Pelita : Pembangunan lima tahun-sebuah rencara pembangunan yang disusun secara nasional dengan jangka lima tahun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Pemilu : Pemilihan Umum (proses politik berupa pemilihan wakil rakyat yang akan menduduki dewan perwakilan rakyat yang seharusnya dilakukan lima tahun sekali untuk suksesi kepemimpinan nasional) SARFAAT : Wilayah di sekitar gedung yang bernama Sarfaat di daerah perbatasan antara Dusun Gerdu dan Junggo Srabutan : Petani yang memiliki tanah dibawah 0,25 hektar yang sebagian besar waktunya untuk bekerja di luar pertanian dan pertanian tergantung pekerjaan apa yang tersedia di desa. Supervisor : Jabatan di bawa divisi dalam perusahaan bunga dan jamur yang membawahi beberapa kelompok kerja Tani Tanggung : Petani yang memiliki lahan tidak lebih dari dua hektar, kondisi ekonomi biasa saja dan hanya mempekerjakan buruh upahan jika lahanya memerlukan banyak tenaga. Tetel : Pembatan lahan hutan untuk lahan pertanian, tanah tetelan adalah tanah yang diperoleh dari membuka lahan hutan Translok : Tasmigrasi lokal bagi para purnawirawan TNI-AU yang ditempatkan di Tulungrejo secara bertahap yakni tahun 1973, 1975, dan 1979 Willis : Merk jip yang digunakan untuk mengangkut sayur dari atas gunung. Jip ini memiliki kekuatan bagus sehingga mampu menembus daerah-daerah pegunungan dengan medan berat dan masih digunakan hingga saat ini PENDAHULUAN Latar Belakang Diskursus tentang transformasi ekonomi pedesaan Jawa tidak dapat dilepaskan dari sejarah dinamika sosial ekonomi di kawasan ini. Kajian historis sangat berguna untuk menjelaskan lebih mendalam gejala-gejala perubahan struktur sistem pertanian dan kultur yang berkembang pada komunitas lokal. Diawali dari masa penjajahan, kolonialisme telah memperkenalkan cara produksi “modern” yang datang seiring dengan implementasi sistem produksi pertanian ala perkebunan yang kapitalistik oleh pemerintah penjajah Belanda. Penetrasi kapital dilakukan oleh penjajah melalui perkebunan pada sistem ekonomi lokal yang telah mapan sebelumnya. Bentuk paling nyata dari penetrasi kapital terhadap sistem pertanian di Indonesia oleh Belanda adalah keberhasilannya melakukan perombakan berbagai rejim (cara pengaturan) penguasaan/kepemi likan sumberdaya agraria lokal digantikan dengan rejim kepemilikan pribadi. Penghapusan hak-hak feodal atas tanah dilakukan untuk mendukung perluasan perkebunan besar, dimana tanah dan tenaga kerja menjadi kekuatan produksi (forces of production) utama. Kebijakan politik agraria tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memperkuat struktur keuangan pemerintah Belanda yang porak poranda akibat keterlibatannya dalam perang di Jawa. Untuk tujuan itu ketersediaan tanah murah dan mudah diperlukan guna memperluas usahausaha perkebunan 1. Kota Malang, pada masa awal perluasan perkebunan Belanda belum banyak berkontribusi bagi penciptaan surplus kapital pada pemerintah penjajah Belanda karena pemusatan kegiatan ekonomi perkebunan masih di Pasuruan (Malang masih menjadi bagian dari Kabupaten Pasuruan pada masa itu). Namun demikian, dengan berkembangnya komoditas Kopi di daerah Dampit (salah satu Kawedanan di Malang), pengaruh ekonomi perkebunan semakin besar2. Baru pada tahun 1870-an perkebunan 1 Kebijakan Belanda ini kemudian dikenal sebagai tanam paksa (culture stel- sel) yang dilakukan oleh Van den Bosch, Lihat Soehartono (1991: 75-77), Apanage Dan Bekel: Perubahan Sosial Di Pedesaan Surakarta 1830-1920., Tiara Wacara, Jogjakarta. Daerah Malang termasuk Manca Negara (di luar Jogja dan Solo) sehingga kekuasaan pemerintah Belanda penuh dan tanam paksa langsung tanpa persetujuan Raja Jawa. Dari sinilah kemudian eksploitasi berlanjut ketika kaum swasta Belanda ikut memperluas perkebunan dengan terbitnya Agrarische Wet 1870, lihat, Gunawan Wiradi (2001:8-9), Tonggak -tonggak perjalanan kebijakan agraria di Indonesia, dalam Tim Lappera, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria : Jalan Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat, Lappera, Jogjakarta. 2 Kopi Merupakan tanaman cukup berpengaruh pada abad ke 19 di Malang sebelum tebu, ditanam di distrik Turen dimana Dampit merupakan daerah penting di sana, lihat Hiroyosi Kano, Pagelaran ; Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyarakat Tani Sebuah Desa Di Jawa Timur (1990:12-13). 2 kina dan Selecta (industri pariwisata) dibuka oleh Belanda di desa Tulung Rejo (TR), dimana per kebunan teh dibuka kemudian pada tahun 1938. Sejak saat itu industri perkebunan besar dan pariwisata terus berkembang hingga masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini sebagian perkebunan teh dikonversi menjadi kawasan tanaman pangan (Gordon, et al 1985:160). Perkebunan dan industri pariwisata di TR pada masa kolonial adalah dua bentuk kegiatan ekonomi yang diperkenalkan kepada sistem masyarakat lokal oleh kekuatan ekonomi exstra-lokal (penjajah Belanda). Sementara itu tanaman pangan adalah kegiatan ekonomi tradisional (lokal) yang merupakan sistem ekonomi asli desa TR sebelum penetrasi kapitalisme per kebunan merasuk ke dalam sistem sosialekonomi kemasyarakatan di kawasan tersebut. Kedua struktur sistem produksi tersebut memiliki ciri yang saling bertolak belakang. Pertemuan kedua sistem tersebut tentunya akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya dan terbentuk struktur ekonomi baru. Setelah penjajahan berakhir, struktur ekonomi desa memasuki masa transisi karena matinya kegiatan ekonomi perkebunan dan wisata. Masa-masa ini diwarnai dengan kekacauan politik dan ketidak pastian ekonomi di desa. Sepenuhnya corak struktur ekonomi dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi exstra-lokal yang dibawa oleh aktor-aktor lain. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam masa perang sangat berpengaruh terhadap formasi penguasaa kekuatan produksi di desa dan tentunya juga berpengaruh terhadap kultur yang berkembang pada masyarakat lokal. Perubahan drastis terjadi setelah program revolusi hijau diperkenalkan pada tahun 1970-an dimana petani kaya mulai mengaplikasikan obat-obatan, pupuk, juga bibit unggul yang diperkenalkan oleh otoritas pertanian pemerintah. Tahun 1970-an adalah awal keterlibatan petani pegunungan pada sistem ekonomi pasar yang kemudian menyeret mereka ke dalam arus ekonomi komersial. Proses komersialisasi komoditas pertanian tradisional tersebut pada akhirnya mengantarkan masyarakat petani pegunungan Jawa kepada sistem sosial “berkelas” yang tidak dikenal sebelumnya. Hal ini selaras dengan temuan Hefner (1999) di Tengger sebelum masuknya kebijakan pemerintah (exstra-lokal) dalam menata kegiatan ekonomi, penduduk pegunungan lebih banyak mengusahakan tanaman pangan dan berorientasi pada pemenuhi kebutuhan sendiri. Gejala perubahan struktur sosial ekonomi pedesaan Jawa tersebut berlangsung dramatis termasuk di desa TR. Tanah alluvial gunung Arjuno yang subur, 3 sumber air yang melimpah, merupakan faktor yang mempercepat proses transformasi pertanian tersebut. Apel dan tanaman dataran tinggi seperti kubis, kentang, wortel, dan bunga tumbuh dengan baik dan menjadi penggerak utama perekonomian lokal. Pada tahun 2000-an pertanian tidak lagi menanam tanaman pangan, tapi telah berkembang tanaman komersial seperti kentang, sayur, apel, dan tanaman komersial lainnya. Hasil produksi tanaman ini dipasarkan ke kota-kota besar di di Jawa bahkan luar Jawa. Komoditas pertanian komersial diusahakan secara intensif dengan penggunaan teknologi budidaya yang modern sehingga ciri-ciri pertanian “tradisional” sebagaimana kebanyakan di desa-desa tidak terlihat. Intensifikasi pertanian telah mencapai puncaknya pada akhir abad 21. Hampir seluruh waktu dalam setahun, tanah pertanian di TR tidak mengenal bero. Tanaman utama adalah sayur, bunga potong maupun hidup, apel, serta sedikit jagung. Seluruh lahan ditanami secara monokultur dengan rotasi tanam yang sangat cepat. Begitu intensifnya, lahan pertanian yang belum dipanen kadang telah ditanami tanaman baru. Wilayah yang dulunya kosong karena terletak pada kawasan miring, juga telah diusahakan dengan tanaman komersial. Pertanian dikelola secara modern baik teknologi budidaya maupun alat-alat yang digunakan. Obat-obatan, pupuk, dan bibit demikian juga telah diaplikasikan secara meluas hampir oleh seluruh petani. Tidak hanya di kawasan yang miring, petani juga membuka lahan hingga ke lereng-lereng pegunungan. Lahan milik perhutani berupa hutan lindung dibuka dan ditanami kentang, kol, sawi, juga bawang. Lahan baru ini memiliki kemampuan yang lebih baik daripada lahan umum, karena hama belum banyak juga lapisan humusnya masih tebal. Tidak tanggung-tanggung, pembukaan lahan ini luasannya mencapai ratusan hektar di tiga lereng pegunungan yakni Arjuno, Welirang, dan Anjasmoro. Transformasi sistem pertanian tradisional menjadi modern tersebut memperlihatkan adanya perubahan-perubahan struktural sistem pertanian. Selain perubahan struktural, sistem pertanian tradisional di TR juga mengalami perubahan kultural. Orientasi produksi petani TR kini berubah sepenuhnya dari subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar guna mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu petani selalu membuat perencanaan produksi sesuai dengan permintaan pasar. Petani di TR juga sudah sangat terbiasa dengan sistem pendanaan bank untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Mereka juga memiliki perhitungan layaknya perusahaan dalam melakukan pinjaman meski pengelolaan 4 usaha tani masih dalam keluarga. Nilai-nilai usaha modern sepenuhnya telah diterapkan pada sistem pertanian di TR. Perubahan struktur sistem pertanian dan kultur petani juga didorong oleh perkembangan sistem ekonomi modern lain yakni industri agro jamur dan bunga yang menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Industri ini dikelola secara modern dan mengusahakan tanaman khusus untuk eksport. Industri ini didirikan di atas lahan-lahan pertanian produktif dengan membeli lahan-lahan petani. Terdapat tujuh industri agro di TR yang berkembang selama sepuluh tahun terakhir. Kebanyakan dari industri agro itu diusahakan oleh orang luar daerah yang memiliki modal kuat. Industri agro ini sepenuhnya merupakan cara produksi baru yang diperkenalkan oleh orang luar pada sistem so sial desa TR karena kemunculanya tidak karena sebuah proses sosial tapi lebih sebagai introdusir. Selain industri agro yang juga mendorong perubahan struktur sistem pertanian dan kultur petani adalah adalah kegiatan ekonomi pariwisata. Wilayah yang berbuki tbukit dengan pemandangan alam yang indah, serta suhu yang sejuk menjadi tempat wisata favorit masyarakat sekitarnya, juga kota-kota besar lain di Indonesia. Perkembangan wisata di TR dapat dilihat dari peningkatan usaha perhotelan, pertokoan (baik pelayanan pariwisata maupun umum), restoran -restoran, juga pedagang bunga dan buah. Kegiatan-kegiatan ekonomi tersebut dikelola dengan manajemen modern dan padal modal, dan penduduk sekitar banyak terserap sebagai tenaga kerja upahan. Restoran-restoran besar dan hotel-hotel banyak dimiliki oleh orang luar TR, terutama dari Surabaya dan Malang. Selain itu juga muncul tempattempat wisata baru seperti Coban Talon (air terjun dan perkemahan) dan pemandian air panas Cangar melengkapi Selecta yang memang telah lama ada 3. Villa-villa dan penginapan juga berkembang cukup pesat. Hawa sejuk dan pemandangan yang indah mendorong orang luar daerah, juga para pekerja di kota Malang untuk bertempat tinggal di sana. Jarak yang dekat (6 km) dari Malang dan transportasi yang baik memungkinkan orang “nglaju”. Di TR juga ada sebuah 3 Pariwisata di TR ini telah lama di kenal terutama karena tanaman apel yang memang hanya dapat tumbuh di Batu terutama TR dan Nongkojajar (wilayah sebelah Timur Malang), obyek wisata ini merupakan rangkaian dari beberapa daerah pariwisata di Batu yakni (taman kota), Selecta di TR (taman wisata), Songgoriti (air panas). Lihat, Hiroyosi Kano, op. cit., hal :1. Saat ini tempat wisata telah berkembang seperti Coban talon di TR (air terjun dan perkemahan), Coban Rais (air terjun) Cangar di TR (air panas), Jatim Park (taman wisata), Songgoriti (aero wisata), bahkan usaha hotel juga banyak yang memfasilitasi pariwisata seperti Kusuma Agrowisata (hotel privat agrowisata), Klub bunga (hotel dan taman bunga), dll, serta ada Gunung Van Der Man (nama orang Belanda) yang sangat digemari oleh para pendaki dan masyarakat umum karena pemandangan di atas yang indah serta pendakiannya tidak terjal. 5 perumahan yang dibangun untuk para pensiunan pejabat di lahan seluah 10 ha. Selain pemukiman dan perumahan juga bermunculan villa -villa untuk disewakan pada wisatawan. Villa-villa ini banyak dibangun oleh para pengusaha atau keluarga-keluarga kaya di Surabaya dan Malang. Penduduk Desa banyak yang menjadi pekerja dan penjaga villa- villa itu dan kadang kala juga menjadi manajer persewaan villa jika pemiliknya tidak hadir4. Perubahan dramatis pada struktur sosial lokal dari gejala-gejala modernisasi di atas ditandai perubahan hubungan sosial produksi karena adanya peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Jaringan produksi yang sebelumnya hanya melibatkan anggota keluarga meluas dengan masuknya lembaga keuangan, penyedia sarana produksi, dan pedagang perantara. Sistem produksi pertanian secara perlahan berubah dari bentuk otonomi menjadi jaringan yang tergantung satu dengan yang lainnya. Sementara itu, perubahan kultur petani ditandai dengan pergeseran orientasi produksi mereka. Produksi yang sebelumnya untuk keperluan keluarga berubah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Penjualan hasil produksi pertanian hingga ke kota-kota besar yang tidak pernah ada sebelumnya, kini telah biasa dilakukan oleh masyaraka t. Nilai-nilai yang bertujuan untuk mengejar keuntungan merasuk ke dalam seluruh sistem pertanian di TR. Perumusan Masalah Studi tentang transformasi ekonomi pedesaan Jawa telah dilakukan oleh banyak sarjana sejak jaman kolonial. Studi-studi tersebut banyak terkait dengan dinamika perubahan sistem ekonomi lokal akibat penetrasi sistem ekonomi kapitalis yang di bawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satu studi yang cukup penting adalah studi Booke (1952) yang mengemukakan teori “dualisme ekonomi” untuk menggambarkan perkembangan ekonomi tradisional (lokal) dan kapitalistik (exstralokal) yang masing-masing merepresentasikan ekonomi kaum pribumi dan kolonial Belanda. Menurut Booke, sistem ekonomi penduduk Jawa berada dalam kondisi statis sulit berkembang karena sifat dasar orang Jawa yang tidak ingin mengumpulkan keuntungan dan memupuk modal. Nilai “kebersamaan” dan “persamaan” mendorong 4 Kebiasaan ini hampir terjadi di seluruh Batu, dimana penduduk sekitar villa menjadi penjaga dan sekaligus pemasar persewaan jika pemilik tidak memakai. Biasanya pemilik akan datang pada hari minggu atau hari libur yang lain dan saat demikian penjaga tidak boleh memasukan penyewa. 6 orang untuk membagi hasil ekonomi pada semua anggota masyarakat, dan tidak ada orang yang dapat melepaskan diri dari kewajiban sosial ini. Ekonomi kapitalis yang diartikulasikan pada perkebunan Belanda di sisi lain memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sistem lokal. Orientasi produksi untuk mendapatkan keuntungan dan pemupukan modal. Karena sifat berbeda ini maka keduanya berkembang menurut caranya masing-masing. Kehadiran ekonomi kapitalis di pedesaan tidak mendorong terjadinya pemupukan modal pada penduduk lokal malah terjadi kemendekan pertumbuhan. Kedua sistem ekonomi tersebut terjebak pada dualisme hingga tidak pernah terjadi kemandirian dari keduanya. Teori Booke tentang dualisme akhirnya mendapat kritikan karena dirasa kurang realistis melihat hubungan antara dua sistem ekonomi tersebut. Sistem tradisional kenyataannya memiliki hubungan yang erat dengan sistem kapitalis, atau malah mendukung sepenuhnya5. Debat ini mendapat jawaban ketika Geerzt (1963) mengenalkan teori “Involusi pertanian”. Menurut beliau , perkembangan sistem ekonomi pedesaan Jawa mandek tidak hanya karena “bawaan” sistem sosial tapi merupakan pengaruh dari eksploitasi kolonial dan pertumbuhan penduduk. Lebih lanjut Geerzt mengatakan bahwa surplus produksi yang dihasilkan oleh proses intensifikasi produksi pertanian tidak digunakan untuk mengakumulasi modal sebagai dasar investasi tapi harus dibagi merata pada seluruh penduduk desa. Ekonomi desa akhirnya tidak berkembang menjadi kapitalis tapi tumbuh ke dalam sehingga terjadi involusi meski inovasi teknologi diterapkan. Di daerah penelitiannya di Jawa Timur Geertz meyakini adanya proses “diferensiasi sosial” sebagai wujud akomodasi atas tekanan pertumbuhan penduduk yang tajam. Temuan Geerzt akhirnya juga menuai kritik karena dianggap terlalu membesarbesarkan “penyamarataan” sebagai media masyarakat golongan bawah tetap mendapat bagian dari surplus produksi. Penerapan inovasi teknologi pada sistem pertanian mampu membatasi akses lapisan bawah terhadap surplus produksi. Petani lapisan atas dengan alasan mengeluarkan biaya lebih berhak untuk memotong akses lapisan bawah pedesaan. Nilai penyamarataan ternyata tidak mampu bertahan di 5 Lihat Bahctiar Rifai (1958) Bentuk Milik Tanah dan Tingkat Kemakmuran ; Penyelidikan Pedesaan di Daerah Pati, Djawa Tengah, Desertasi Fakultas pertanian Universitas Indonesia, Bogor 7 tengah perubahan sistem produksi akibat masuknya inovasi teknologi. Selain itu teknologi yang di introdusir memang membatasi keperluan tenaga kerja secara alami6. Di tengah perdebatan tentang arah transformasi struktur al tersebut, muncul beberapa studi yang mengajukan konsep berlawanan. Diferensiasi sosial terbukti tidak terjadi di pedesaan Jawa malah cenderung ke arah polarisasi. Lapisan sosial atas semakin jauh jarak sosialnya dengan lapisan bawah , dan penyamarataan surplus tidak terjadi sedemikian mulus. Atas dasar itu para pengkritiknya mengatakan apabila pedesaan Jawa tidak terdiferensiasi namun terpolarisasi. Dalam pengantar terjemahan buku ivolusi pertanian, secara khusus Sayogjo (1973) mengkritik metode dan kesimpulan Geerzt yang saling bertolak belakang dengan data empiris. Berdasar atas kerja lapangan setelah program revolusi hijau, ternyata di pedesaan Jawa terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara lapisan bawah dan kelas elit desa. Studi-studi transformasi ekonomi lokal di pedesaan setelah revolusi hijau di paruh 1980-an masih berdebat pada dua isu utama yakni polarisasi dan diferensiasi sosial (White, 2002). Di tengah perdebatan tersebut muncul penelitian Hayami dan Kikuchi (1984) yang mengatakan jika di pedesaan Jawa dan Philipina telah terjadi proses perumitan struktur sosial desa. Polarisasi tidak terjadi setajam yang diperlihatkan oleh para peneliti pendukungnya, namun yang terjadi adalah penambahan kelas sosial dari dua kelas menjadi banyak tingkat. Maksud dari banyak tingkat adalah munculnya lapisan-lapisan sosial baru diantara lapisan sosial terdahulu yang mendapat berkah atau bagian surplus produksi dari kelas di atasnya. Antara pendukung polarisasi dan diferensi asi akhirnya sama-sama menyimpulkan apabila pertanian jawa terlah mengalami proses evolusi dan bukan involusi. Modernisasi telah menunjukkan gejala perubahan yang berbeda dari kesimpulan yang diambil oleh Geerzt. Telah terjadi pemisahan antara petani bertanah luas dengan petani tak bertanah dan sedikit memiliki tanah. Selain itu juga terjadi pemisahan antara buruh tani yang masih dapat mengakses pada petani bertanah luas dengan yang tidak dapat mengakses sama sekali . Gejala sosial tersebut oleh Gordon (1978) dianggap sebagai proses kapitalisa si pertanian, dimana pedesaan Jawa sepenuhnya telah melampui tahap pra-kapitalis. Dengan demikian, kesimpulan ini 6 Penerapan varietas PB yang berumur singkat dan bertangkai pendek tidak lagi memerlukan ani-ani (alat panen manual) saat memanen dan ini dengan sendirinya mengurangi akses perempuan lapisan bawah untuk ikut menikmati surplus produksi. 8 menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya bahwa pedesaan Jawa pada dasarnya telah melampui tahap pra-kapitalis dan menjadi kapitalis pertanian. Pedesaan Jawa yang berkembang dari sistem tradisional (pra-kapitalis) menjadi “kapitalis pertanian” menunjukkan adanya perubahan struktur sosial dan kultur masyarakatnya. Untuk menguraikan perubahan tersebut dari masa ke masa, dapat didekati melalui teori perkembangan kapitalisme. Konsep yang membangun teori perkembangan kapitalisme sendiri adalah moda produksi (mode of production) dan formasi sosial (social formation) . Konsep ini merupakan konsep dasar bagi tradisi Marxis untuk menjelaskan perkembangan struktur sosial masyarakat. Moda produksi adalah gabungan antara kekuatan produksi dan hubungan produksi sehingga tercipta sebuah produk, sementara formasi sosial adalah kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi yang lain. Perubahan dari masa pra-kapitalis (pertanian tradisional) menjadi kapitalis pertanian (pertanian kapitalistik) berarti perubahan moda produksi dari ciri tradisional menjadi ciri kapitalis. Karena itu mengkaji perubahan struktur ekonomi lokal dengan sendirinya akan menguraikan perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Moda produksi berubah apabila basis kekuatan produksi (forces of production) dan sifat hubungan sosial produksi (relation of production) mengalami perubahan. Menurut teori perkembang an kapitalisme, kekuatan produksi utama yang membangun struktur ekonomi berkembang dari tanah (sebagai basis kekuatan produksi masyarakat pra-kapitalis) menjadi modal uang (sebagai basis kekuatan produksi masyarakat kapitalis). Sementara itu, relasi hubungan sosial produksi berkembang dari egaliter (sebagai bentuk hubungan sosial produksi masyarakat pra-kapitalis) menjadi herakhis (sebagai bentuk hubungan sosial produksi masyarakat kapitalis). Di negara dunia ketiga, perubahan moda produksi dan struktur ekonomi lokal dalam kerangka perkembangan kapitalisme, sebagian besar disebabkan oleh penetrasi kapital melalui perkebunan besar yang dibawa oleh kaum penjajah. Di Indonesia, masuknya moda produksi kapitalis kolonial berupa perkebunan besar yang menanam tanaman eksport menyebabkan kerusakan luar biasa pada moda produksi tradisional. Pertanian tradisional yang bercirikan “subsisten” mengalami goncangan akibat masuknya ekonomi uang dan munculnya sistem upah. Sistem tradisional hanya menjadi penopang jalannya perkebunan dan tidak mengalami perkembangan apa-apa, 9 atau malah hancur. Secara sistematis telah terjadi ekstraksi surplus produksi dari pertanian lokal ke perkebunan melalui eksploitasi tenaga kerja dan pangan7. Penelitian di daerah Jawa Timur Khususnya kawasan Malang (Batu sebelumnya menjadi Wilayah Malang) belum banyak dilakukan, apalagi terkait dengan transformasi perekonomian desa. Hiroyoshi Kano (1990) melihat dalam proses masuknya sistem ekonomi perkebunan tidak merubah sedikitpun pelapisan sosial masyarakat desa. Petani kaya yang berasal dari elit desa, mampu menangkap peluang dengan menanam tebu (komoditas komersial) dan memperluas lahan garapannya, sementara petani kecil tetap menanam padi (komoditas non-komersial) yang bercirikan pertanian tradisional. Penelitian ini dilakukan di Pagelaran, sebuah desa di salah satu Kecamatan di kabupaten Malang. Penelitian lain dilakukan oleh Cederroth (1995) tentang berbagai strategi yang dikembangkan petani untuk bertahan dari tekanan politik dan ekonomi dari supra desa, serta bagaimana surplus produksi dipupuk oleh berbagai golongan dalam komunitas pedesaan. Penelitian tersebut memang tidak menekankan pada perubahan moda produksi lokal dan formasi sosi al pertanian secara spesifik, tapi temuan Cenderroth memperlihatkan tetap adanya ciri pertanian tradisional pada komunitas pedesaan meski moda produksi kapitalis sangat mendominasi. Ciri tersebut terutama melekat pada para petani padi sawah yang lebih memilih tanaman padi meski keuntungan yang diperoleh kecil. Studi-studi tentang transformasi ekonomi pedesaan di atas, seluruhnya fokus pada masyarakat komunitas padi sawah. Sementara komunitas masyarakat yang berekologi pegunungan belum diteliti secara spesifik. Salah satu peneliti, Heffner (1999) mengatakan jika masyarakat pegunungan memiliki struktur longgar, serba kabur pelapisan sosialnya, dimana ikatan-ikatan antar individu sangat longgar. Masyarakat pegunungan kurang memiliki pembatasan kelas sosial yang ketat sebagaimana masyarakat daerah padi sawah. Orang “dianggap” sama kedudukkannya dan tidak ada hal yang perlu ditonjolkan untuk menunjukkan status sosialnya. Paling tidak kondisi seperti itu masih dijumpai pada masyarakat pegunungan sebelum komersialisasi terjadi akibat penetrasi kapital melalui perkebunan. Penelitian Heffner tersebut dilakukan pada masyarakat di desa-desa pegunungan Tengger, Jawa Timur. 7 Mengenai ini lihat Houben dalam Lindblad (2000:73-98), Neil (2003:154-197) rata-rata mereka setuju telah terjadi kerusakan pada tatanan tradisional setelah perkebunan masuk dan desa semakin masuk pada ekonomi uang dan terjadi ekstraksi dari sistem lokal. Mengenai tinjauan teorit is lihat Taylor (1989:192193) yang membicarakan dampak moda produksi kapitalis pada moda produksi lokal Indonesia. 10 Struktur longgar pada masyarakat Tengger sebelum komersialisasi tak lepas dari penguasaan kekuatan produksi dan hubungan produksi yang dibangun. Kekuatan produksi masyarakat pegunungan utama adalah tanah sementara tenaga kerja mengandalkan anggota keluarga. Tanah penduduk desa -desa pegunungan rata-rata cukup luas dengan kepemilikan yang hampir merata dimana sangat jarang orang tidak memiliki tanah. Keluarga petani di pegunungan relatif mandiri dalam produksi dan kurang tergantung keluarga lain. Selain pengusaan tanah yang tidak timpang, sumber tenaga kerja keluarga juga menjadi sebab kenapa ketergantungan tidak terjadi. Hal ini sangat berbeda dengan komunitas padi sawah dimana sumber tenaga kerja adalah pasar kerja dan penguasaan tanah yang sangat timpang. Hubungan patron klien dalam produksi menjadi ciri utama masyarakat padi sawah yang jarang ditemukan pada masyarakat padi sawah. Lebih lanjut, Hefner (1999) melihat tranformasi ekonomi pedesaan pegunungan menjadi komersial berjalan lebih lambat daripada daerah sawah. Selain faktor budaya, penetrasi kapital penjajah Belanda masuk lebih akhir dibanding komunitas padi sawah. Selain itu, komunitas padi sawah juga telah menjadi wilayah kendali kekuasaan feodal Jawa sehingga tekanan politik dan ekonomi sudah sangat kurang kuat sejak awal. Baru pada akhir-akhir penjajahan, penetrasi kapital masuk di desa-desa Tengger melalui perkebunan-perkebunan besar teh dan kopi. Perubahan sangat cepat terjadi malah pada masa Orde Baru karena adanya program modernisasi pertanian. Masuknya teknologi modern terutama obat-obatan mendorong perluasan budidaya tanaman sayur yang lebih komersial dibanding dengan tanaman jagung dan ketela. Budidaya tanaman komersial ini memberi ruang luas terjadinya akumulasi dan merubah seluruh basis budaya pegunungan. Hefner tidak mengupas secara spesifik perubahan moda produksi yang terjadi, tapi teknologi modern dan kebijakan modernisasi (kekuatan exstra-lokal) secara umum menjadi pemicu perubahan yang mendasar pada kehidupan ekonomi masyarakat desa. Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memfokuskan diri pada proses perubahan struktur ekonomi lokal (desa Tulung Rejo) dengan menguraikan dinamika perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Lokal dalam hal ini menunjuk sebuah komunitas desa, yang keberadaannya tidak lepas dari komunitas lebih luas yakni Kota, Propinsi, atau juga negara bahkan dunia. Lebih jauh penelitian ini menjelaskan secara mendalam, “mengapa” dan “bagaimana” struktur ekonomi lokal dengan melihat dinamika moda produksinya. Dengan melihat dinamika moda-moda 11 produksi sebagai pembangun struktur ekonomi dapat dianalisis kenapa dan bagaimana sebuah sistem ekonomi timbul dan tenggelam serta faktor apa yang menyebabkannya. Untuk menerangkan gejala-gejala perubahan struktur ekonomi, dalam sosiologi dapat didekati melalui konsep moda produksi. Analisis moda produksi sebenarnya dikembangkan untuk menganalisis masyarakat Eropa sehingga tidak dapat begitu saja diterapkan di negara dunia ketiga yang memiliki ciri berbeda. Dalam perkembangan berikutnya muncul konsep formasi sosial sebagai turunan teori sosiologi aliran Marxis yang dikembangkan untuk dapat membedah realita perkembangan kapitalis di negara dunia ketiga. Dengan demikian perubahan struktur ekonomi desa TR akan dibedah menggunakan konsep formasi sosial. Penelitian ini juga dibatasi pada perubahan-perubahan yang terjadi pada modamoda produksi yang berkembang dalam masyarakat desa TR. Secara khusus akan diuraikan perubahan moda produksi petani tradisional yang bercirikan subsistensi pada awalnya menjadi komersial saat ini. Kajian menguraikan struktur sosial dan nilai budaya yang berkembang di TR dari masa ke masa, serta bagaimana keberlangsungan moda-moda produksinya dalam setiap masa. Bagaimana perubahan yang terjadi, dan apa-apa saja yang mendorong perubahan itu pada kehidupan sosial masyarakat desa TR fokus penelitian ini. Struktur ekonomi/formasi sosial dalam hal ini dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi secara bersamaan di desa TR dalam waktu tertentu. Satu moda akan cenderung mendominasi moda lain sehingga seluruh corak masyarakat akan ditentukan oleh moda produksi dominan. Moda produksi mampu menjadi dominan jika mampu “mereproduksi” unsur-unsur yang membangunya. Reproduksi dilakukan melalui penguasaan kekuatan produksi dan relasi hubungan produksi. Moda produksi dominan jika mampu mempengaruhi dan mengambil surplus produksi dari moda produksi lain. Penelitian ini dengan demikian melihat moda-moda produksi apa yang dominan di desa TR dari waktu ke waktu dan bagaimana proses perubahannya. Dengan demikian digunakan pendekatan historis untuk dapat menjelaskan prosesproses perubahan dengan lebih rinci. 12 Berdasar ata s uraian diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1) Apa sajakah tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR dari masa ke masa ? 2) Bagaimanakah proses perubahan moda-moda produksi dalam struktur ekonomi desa TR dari masa ke masa, dan faktor-faktor apa saja yang berperan dalam perubahan itu? 3) Dari dua permasalahan di atas muncul pertanyaan, sejauh manakah perubahan moda-moda produksi menyebabkan perubahan formasi sosial desa TR dari masa ke masa ? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1) Memetakan tipe-tipe moda produksi yang ada dan masih bertahan dalam struktur ekonomi desa TR. 2) Menganalisis proses perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa dan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut. 3) Menganalisis formasi sosial desa TR yang terbangun disetiap periode sebagai akibat perubahan moda-moda produksi tersebut. PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pengertian Moda Produksi dan Formasi Sosial Dalam tradisi Marxis, untuk menjelaskan realitas sosial dikenal dua konsep penting yakni moda produksi (mode of production) dan formasi sosial (social formation) . Moda produksi atau “cara produksi” merupakan gabungan antara kekuatan produksi (forces of production) dan hubungan/relasi sosial produksi (relation of production). Sementara itu, formasi sosial (social formation) adalah kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu masyarakat dimana salah satu akan mendominasi. kemampuan mendominasi ditentukan oleh kekuatan masing -masing moda produksi untuk mereproduksi sistemnya. Kehadiran dua atau lebih moda produksi demikian juga disebut sebagai struktur ekonomi (Russel 1998:8). Kembali pada moda produksi, komponen kekuatan produksi terdiri dari tenaga kerja, instrumen atau alat-alat produksi, dan bahan baku, teknologi produksi, manajemen produksi, juga modal uang, sementara relasi produksi adalah struktur sosial yang mengatur relasi antar manusia dalam satu proses produksi barang dan jasa kebutuhan manusia. Relasi produksi melekat atau bahkan sepenuhnya ditentukan oleh struktur sosial. Dengan demikian, moda produksi sangat erat kaitannya dengan struktur sosial, karena berjalan atau tidaknya moda produksi tergantung pada pengaturan struktur sosial. Struktur sosial meliputi juga sistem politik, sistem nilai, ideologi, juga budaya masyarakat dimana kegiatan produksi itu berkembang. Dalam kehidupan sehari-hari moda produksi ter“artikulasi” dalam kegiatankegiatan ekonomi. Artikulasi merupakan bentuk strukturasi moda produksi pada budaya setempat berbentuk kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, kerajinan, perkebunan, perdagangan, pariwisata, dan jenis-jenis kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing kegiatan ekonomi dapat mencerminkan moda produksi apa yang digunakan, dengan melihat ciri-ciri kekuatan produksi dan hubungan/relasi sosial produksinya. Secara skematis moda produksi dapat digambarkan sebagai berikut: 14 Gambar 2.1 Skema Moda Produksi IDEOLOGY AND CULTURE Beliefs, representation, discourse STATE AND POLITICS Government, legal, sistem, police, army, civil, service FORCES OF PRODUCTION RELATION OF PRODUCTION Kin, class, gender Labor power tools, machine Land scape, resources, territory, place, social space NATURAL ENVIRONMENT sumber: Richard Peet, (1999:101) Dalam proses strukturasi terbangun sebuah struktur sosial sebagai pola (pattern) yang relatif mapan dari konstelasi berbagai artikulasi moda produksi. Hubungan antar moda produksi dan artikulasinya masing-masing biasanya asimetris atau cenderung terjadi dominasi moda produksi tertentu. Moda produksi yang mampu mereproduksi sistem yang dikembangkan yang akan bertahan. Moda produksi dominan yang kemudian akan mendominasi struktur sosial, nilai, kepercayaan, dan ideologi masyarakat. Seluruh interelasi antar moda produksi tersebut, serta unsurunsur lain yang melingkupi bekerjanya moda produksi menggambarkan bentuk formasi sosial sebuah masyarakat. Perubahan moda produksi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan produksi dan hubungan sosial produksinya. Kekuatan produksi lokal yang dulunya mengandalkan tanah pertanian, telah bergeser dengan berkembangnya usaha-usaha lain yang mengandalkan modal uang sebagai kekuatan produksi utama. Relasi produksi yang dulunya bersifat egaliter karena tenaga kerja berasal dari keluarga, berubah menjadi herakhis karena tenaga kerja mengandalkan buruh upahan. Pola perubahan moda produksi tersebut, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu , dan dalam sebuah sistem sosial mencerminkan arah perkembangan kapitalisme. Jenis penguasaan kekuatan produksi dalam masyarakat bermacam-macam, sehingga hubungan sosial produksi yang terbangun juga bermacam-macam pula. Paling tidak ada dua tipe utama yakni non -kapitalis dan kapitalis, yang kehadirannya 15 dapat dalam satu kontinum, namun juga dapat hadir secara bersamaan. Moda produksi kapitalis berbasis pada penguasaan modal uang sebagai kekuatan produksi, sementara non-kapitalis lebih pada penguasaan atas tanah dan tenaga kerja. Sementara itu hubungan produksi menurut Russel (1989: 8-9) memiliki tiga tipe yakni egaliter, kelas, dan transisi atau antara. Tipe egaliter menunjukkan tidak adanya eksploitasi antar aktor dalam proses produksi. Tipe egaliter mencakup cara produksi komunal dan komunis, dimana kepemilikan kekuatan produksi tidak pada pribadi tapi pada kelompok. Jika cara produksi komunal aturan penguasaan kekuatan produksi ditetapkan oleh kelompok melalui aturan adat, maka pada komunis diatur oleh Negara. Keduanya tidak mengenal kepemilikan pribadi tapi kepemilikan bersama. Semua anggota memiliki kekuatan produksi sama, sehingga hubungan produksi yang terbangun dalam masyarakat demikian bertipe egaliter karena tidak adanya buruh majikan. Tipe kelas menunjukkan adanya aksploitasi antar kelas karena adanya dominasi kelas tertentu atas kelas lain. Kelas pengua sa menguasai seluruh kekuatan produksi sehingga ia merekut buruh untuk bekerja padanya. Dengan demikian ada dua kelompok pelaku produksi yakni pemilik kekuatan produksi dan pekerja dalam proses produksi. Tipe ini mencakup cara produksi Negara, Slavery, feudal, dan kapitalis. Cara produksi Negara menunjukkan negaralah yang memegang kekuasaan atas kekuatan produksi dan rakyat harus menyetor hasil produksi pada Negara. Cara produksi slavery yang memegang kekuatan produksi adalah tuan tanah dimana mereka mengeksploitasi budak untuk memproduksi barang dan jasa. Sementara untuk feudal, kekuasaan tertinggi atas kekuatan produksi adalah Raja dan keluarganya, sementara rakyat bekerja padanya. Sementara cara produksi kapitalis, yang memegang kekuasaan atas kekuatan produksi adalah individu-individu yang menguasai kekuatan produksi dan mampu mengakumulasi surplus produksi untuk modal investasi . Hubungan sosial produksi dalam perkembangan kapitalisme bermula dari tipe egaliter sebagai ciri masyarakat komunal (pra-kapitalis) menjadi tipe kelas sebagai ciri masyarakat perbudakan, negara, feudal, dan kapitalis dan menjadi tipe egaliter kembali sebagai ciri masyarakat komunis. Perubahan dari tipe egaliter menjadi tipe kelas terdapat masa transisi dimana hubungan sosial produ ksi bertipe antara/transisi. Tipe antara/ transisi mencakup cara produksi petani mandiri, kepemilikan sederhana (simple property) dan sosialis. Dalam hubungan sosial produksi tipe transisi masih terdapat ciri-ciri egaliter, namun juga telah mulai mengembangkan kepemilikan pribadi 16 atas kekuatan produksi. Akumulasi modal untuk memupuk kekekuatan produksi mulai ada meski tidak memusat pada kelompok tertentu sebagaimana feudal ataupun kapitalis. Tipe transisi ini merupakan ciri khas hubungan produksi yang berkembang pada negara dunia ketiga termasuk Indonesia. Dalam kondisi riel, dalam satu sistem sosial moda produksi tidak mungkin tunggal dan selalu hadir lebih dari satu moda produksi. Kehadiran secara bersama ini membentuk sebuah konstelasi, dan akan terjadi persaingan antar keduanya. Kehadiran secara bersamaan dua atau lebih cenderung mendominasi disebut sebagai moda produksi dimana salah satu formasi sosial. Dengan demikian, menjelaskan sistem sosial an sich menggunakan analisis moda produksi sangat tidak mungkin. Moda produksi menurut Budiman dalam Sitorus (1999:16) merupakan tipe ideal yang kurang mendekati kenyataan empiris. Dengan demikian analisis yang lebih cocok tentunya adalah analisis formasi sosial yang lebih mendekati kenyataan. Dengan mengetahui formasi sosialnya maka dengan sendirinya akan terlihat bagaimana perubahan struktur ekonomi lokal terjadi. Taylor (1979) juga mengungkapkan hal yang sama, dimana kajian tentang moda produksi sangat terbatas untuk memberi gambaran struktur sosial secara utuh. Kajian formasi sosial yang merupakan bentuk lebih menyeluruh atas struktur sosial lebih tepat digunakan. Althouser dalam Taylor (1979:106) mengungkapkan bahwa formasi sosial merupakan perwujudan secara keseluruhan sejumlah praktek yang komplek dalam ekonomi, politik, ideology, dan teoritisasi. Praktis-praktis itu masing-masing memiliki perbedaan, namun berstruktur sama yakni bagaimana bahan dasar (raw material) ditransformasikan menjadi produk spesifik yang bernilai sosial. Transformasi tersebut terjadi karena adanya pengorganisasian buruh menggunakan alat produksi tertentu. Praktis ekonomi terpusat pada tiga komponen utama yakni pekerja, alat produksi, dan tujuan dari kerja (produksi). Pekerja ada dua jenis yakni kapitalis (pekerja pasif) atau orang yang menguasai kapital atau alat produksi, sementara buruh (pekerja aktif) adalah orang yang langsung bersentuhan dengan alat untuk memproduksi sesuatu. Produk sebagai hasil kerja buruh menghasilkan surplus nilai yang mengalir pada pekerja pasif. Dalam setiap tipe masyarakat, aliran surplus dari pekerja aktif ke pekerja pasif selalu ada dengan pola yang berbeda-beda. Praktik politik mengacu pada potensi alamiah moda produksi dominan untuk selalu mereproduksi sistem agar tetap bertahan. Moda produksi dominan harus membangun sistem poli tik, ideologi, dan nilai yang mendukung keberlangsungan moda 17 produksi. Di Jawa, penerbitan undang-undang Agraria (agrariche wet, 1870) oleh pemerintah Belanda adalah contoh keputusan politik yang kemunculannya didorong oleh kaum pengusaha swasta (sebagai pelaku moda produksi dominan) yang ingin berinvestasi dengan bebas. Pengakuan hak milik dan hak menguasai negara melalui pemerintah, yang merupakan ide dasar undang-undang agraria, akan memudahkan bagi swasta untuk menyewa tanah untuk usahanya. Sistem komunal dan kepemilikan Raja sebelumnya sangat menyulitkan perusahaan perkebunan berinvestasi di Jawa. Praktik ketiga yakni praktik ideology, yang dibangun oleh moda produksi dominan (moda produksi kapitalis) untuk membenarkan/mengesahkan cara produksi yang mereka kembangkan. Mereka memproduksi pandangan bahwa hubungan produksi yang dikembangkan merupakan sesuatu yang sah dan tidak menimbulkan kerugian. Dalam bentuk nyata, ideology ini diemban oleh apparatus ideology bisa Negara, keluarga, gereja, juga apparatus lain. Althouser (1989) mengatakan apparatus ini ada dua yakni ISA (ideological state apparatus) dan SA (state apparatus). ISA proses produksi pandangan-pandangan kaum kapitalis untuk mengesahkan praktek hubungan produksi yang dikembangkan juga mempromosikan gaya hidup, sementara SA merupakan aparat penegaknya seperti polisi dan tentara. Formasi sosial pada dasarnya memiliki unsur utama sebuah moda produksi dominan, yang berdampingan dengan moda produksi lain. Moda produksi dominan mengestraksi surplus tenaga kerja dari moda produksi lain. Moda produksi dominan selanjutnya membangun sistem ideology dan sistem politik untuk mengesahkan proses ekstraksi tersebut. Komplek relasi yang berisi proses ekstraksi demikian, disebut sebagai sebuah formasi sosial. Jadi dalam sebuah formasi sosial paling tidak ada dua moda produksi yang hadir secara bersamaan dimana salah satu terdominasi. Gambaran formasi sosial sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu mendominasi telah ditemukan beberapa ahli. Jeffrey Paige dalam Roxborough (1986:103-104) menguraikan artikulasi berbagai moda produksi dalam masyarakat perkebunan dibedakan dalam lima artikulasi yakni sistem (1) Manor komersial atau hacienda. Merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikerjakan secara hak usaha oleh buruh upahan lokal atau ulang alik setiap hari dari lahan subsistensi didekatnya. (2) perkebunan bagi hasil, merupakan juga bersifat individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikelola petani bagi hasil atau penyewa. (3) perkebunan yang menggunakan buruh migrasi, merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dan digarap oleh tenaga pindahan. (4) perkebunan 18 besar, perusahaan dimiliki oleh perusahaan swasta atau perusahaan pemerintah atau oleh individu, menggunakan mesin, serta tenaga kerja upahan dari wilayah itu untuk jangka waktu setahun atau lebih, dan (5) pertanian kecil milik keluarga, merupakan usaha individual, digarap pemilik dan keluarganya. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam sistem perkebunan besarlah yang paling mendominasi, sehingga seluruh bangunan politik, norma, dan ideologi ditentukan olehnya. Temuan Hiroyosi Kano (1990:182-183) di Desa Pagelaran, Kabupaten Malang, memperlihatkan masih adanya ciri produksi non-kapitalis dengan merujuk pada sistem pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah meski memiliki hasil cukup besar tidak menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor kapitalis. Usaha padi sawah kurang terkomersialisasi, akibat orienta si produksi untuk keperluan sendiri dan sedikit dipertukarkan. Di sisi lain, pertanian tebu di sana sangat komersial sebagai artikulasi ciri kapitalis. Peran para pedagang sangat dominan dalam membawa usaha tani tebu menjadi usaha berciri kapitalis. Usaha tani tebu ini dikembangkan oleh perusahaan gula Krebet baru yang di introdusir penjajah Belanda. Perluasan tanaman tebu pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional). Penelitian Khan (1974:304) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan yakni : (1) Cara produksi subsistensi (subsistensi production) yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter; (2) Produksi komersialis (petty commodity production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial produksi egaliter karena (umumnya keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) Produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruh-majikan/pemilik “modal” dan pemilik “tenaga”. Lebih lanjut Khan menemukan usaha pandai besi (sebagai artikulasi moda produksi kapitalis) yang dulunya mendominasi tidak berkembang menjadi kapitalis malah semakin memperkecil produksinya (teratomisasi). Hal ini disebabkan oleh masuknya berbagai produk import yang menggeser dominasi produk lokal. Dominasi usaha pandai besi (kapitalis lokal) berakhir digantikan oleh moda produksi kapitalis dari luar (produsen barang import). 19 Ciri-ciri Struktu r Ekonomi Lokal Uraian tentang ciri-ciri struktur ekonomi pasti merupakan analisis pada aras umum sebagai generalisasi realitas-realitas ekonomi oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian generalisasi tersebut belum masuk pada konteks lokal dimana penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu kajian pustaka ciri-ciri ekonomi lebih bersifat untuk mengantarkan pemahaman peneliti saja. Ekonomi lokal dalam kajian ini dimaknai bagaimana struktur ekonomi sebagaimana uraian diatas dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada satu komunitas ter tenntu yang batasa n ruang maupun besar komunitasnya jelas. Lokal berarti menunjuk pada daerah, kesatuan kehidupan sosial didalamnya beserta seluruh dinamikanya. Dalam hal ini, ekonomi lokal berarti merujuk pada ekonomi desa penelitian sekaligus sebagai batas wilayah untuk membedakan dengan daerah lebih luas misalnya kota Batu, jawa Timur, atau Indonesia. Dalam sosiologi, perubahan struktur ekonomi tidak dimaknai dengan perubahan pendapatan, perubahan suku bunga, penyerapan tenaga kerja, atau peningkatan secara kuantitatif berbagai indikator ekonomi sebagaimana ahli ekonomi. Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial sekelompok masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Interaksi sosial hingga menghasilkan produk (untuk memenuhi kebutuhan) dinamakan proses produksi, sementara cara-cara bagaimana sumberdaya diatur untuk menghasilkan produk disebut sebagai cara produksi. Dengan demikian, ada kemungkinan dalam masyarakat berkembang lebih dari satu cara produksi. Struktur ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas paling tidak ada dua tipe dalam perkembangan masyarakat, yakni non-kapitalis dan kapitalis. Yang pertama merujuk pada moda produksi masyarakat sebelum kapitalisme pasar berkembang di Eropa, berupa jenis-jenis moda produksi asli masyarakat setempat. Khusus untuk Negara bekas jajahan sebagaimana Indonesia, ciri-ciri tradisional menggambarkan struktur ekonomi terutama sebelum penjajahan datang. Struktur ekonomi sendiri berisi interelasi moda-moda produksi yang berarti interelasi berbagai tipe pola penguasaan kekuatan produksi dan hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam suatu masyarakat. Struktur ekonomi non kapitalis hasil produksi tidak untuk dipertukarkan dalam arti komersial, namun untuk digunakan bersama secara sosial. Sementara itu hasil produksi sistem kapitalis sebaliknya, dimana hasil produksi dipertukarkan dalam pasar 20 dan sedikit digunakan bersama secara sosial. Dengan demikian, struktur ekonomi nonkapitalis produksi berorientasi pada “nilai guna”, sementara kapitalis pada “nilai tukar”. Yang satu berdimensi sosial karena berasas nilai guna, sementara yang lain berdimensi keuntungan karena berasas nilai tukar (Sanderson 2003:112). Struktur ekonomi non-kapitalis atau kapitalis dalam tradisi Marxis dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi, atau yang dikenal dengan konsep formasi sosial. Struktur ekonomi dalam pengertian Sanderson di atas terbangun atas berbagai kegiatan produksi yang masing-masing memiliki ciri khusus. Dengan demikian, struktur ekonomi juga dapat dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu sistem sosial yang oleh Russel (1989) dan Olin T. Wright (1999) dimaknai sebagai formasi sosial. Jadi, menganalisis struktur ekonomi pada dasarnya adalah menjelaskan dinamika komponen-komponen penyusunnya yakni moda-moda produksi. Pembedaan atas “produksi untuk dipakai” atau “produksi untuk dijual” tidaklah mungkin ada secara mutlak dalam sektor ekonomi. Dalam ekonomi non-kapitalis masih ada barang dan jasa yang dipertukarkan meski jumlahnya sedikit. Fungsi barang untuk ditukar sekunder saja bagi sektor ekonomi non-kapitalis. Hal ini berarti produksi untuk dipakai tidak benar jika dianggap hanya untuk subsistensi anggotanya saja. Demikian juga dengan ketidak samaan sosial berdasar pada produksi untuk dipakai, bukan pada besarnya kekayaan sebagaimana ekonomi kapitalis. Dalam sektor ekonomi non-kapitalis, kekuatan-kekuatan produksi penguasaannya sangat bervariasi. Penguasaan terhadap sumberdaya potensial untuk aktifitas produksi ini akan menentukan organisasi sosial apa yang terbangun. Sanderson (2003:113) melihat pali ng tidak ada empat pola penguasaan yakni komunisme primitive, pemilikan keluarga besar (lineage ownership), pemilikan oleh pemimpin (chiefly ownership), dan pemilikan signeureal8. Meski demikian sektor kepemilikan ini tidak representative seluruh jenis kepemilikan dalam sektor ekonomi non-kapitalis, dan masih ada variasi-variasi tertentu. 8 Kepemilikan ini menunjuk pada masyarakat pemburu dan peramu yang primitive, dimana kepemilikan sumberdaya utama dimiliki bersama. Pemilik an keluarga besar adalah kepemilikan berdasar atas lineage (kadang klan) atas sumberdaya utama. Keluarga-keluarga ini menguasai sumber utama yang biasanya tanah. Chiefly ownership menunjuk kepemilikan oleh ketua atau pemimpin yang kuat (dapat suku atau raja). Sementara itu signeureal lebih mengarah pada kepemilikan oleh sekelompok kecil anggota masyarakat atau sering disebut tuan tanah., lebih lanjut lihat Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Sebuah Realita Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 2003. 21 Hubungan produksi yang terbangun dalam kepemilikan komunal primitive lebih cenderung egaliter, atau bahkan tidak ada ikatan herarkhis dalam produksi. Namun demikian dalam kegiatan-kegiatan perburuan tentu saja mengenal kelompok-kelompok yang terorganisasi, yang lebih banyak dibedakan atas keahlian. Kepemilikan keluarga besar berbeda dimana keanggotaan kelompok menjadi faktor penting dalam mengakses sumberdaya. Chiefly ownership hubungan produksi ditentukan oleh pemimpin dan ia harus menyerahkan sebagian hasil agar hak untuk melakukan produksi tetap diperoleh. Dan untuk kepemilikan signeureal, peranan tuan tanah sangat besar dimana hubungan produksi didominasi para pemilik tanah yang didapatkan secara turun temurun, jika ada orang memakai maka ada kewajiban- kewajiban tertentu (Sanderson 2003:113-117). Sementara itu, menurut Eric Wolf (1983:84-88) pola penguasaan ini dalam masyarakat tradisional berawal dari sistem komunal menuju pada penguasaan pribadi. Kepemilikan menentukan hak-hak penguasaan, yang dikenal sebagai hak “Domain”. Ada tiga pola penguasaan utama yakni patrimonial domain, prebendal domain, dan mercantile domain 9. Selain itu juga dikenal administrative domain, yakni penguasaan oleh Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi atas tanah. Tipe-tipe penguasaan ini dapat juga hadir secara bersamaan dalam satu sistem sosial. Sementara itu dalam masyarakat kapitalis modern kepemilikan lebih didominasi kepemilikan pribadi dapat diperjual belikan layaknya komoditi yang lain. Hubungan produksi yang terbangun pada domain-domain di atas memiliki sifat yang hampir sama dengan pembagian Sanderson. Patrimonial mengacu pada kepemilikan keluarga besar, prebendal pada signeureal, sementara dalam mercantile kepemilikan pribadi penuh. Karena kepemilikan pribadi, maka hubungan produksi mengarah pada hubungan herakhis antara pemilik dan buruh, meski keluarga juga masih berperanan. Sementara itu untuk administrative domain, hubungan produksi terbangun dalam usaha keluarga dengan kewajiban tertentu pada pemerintah berupa 9 Patrimonial domain, menunjuk pada penguasaan berdasar kelompok atau garis keturunan dimana orang yang berada diatasnya harus membayar upeti karen atanggal diatasnya. Sistem Kebekelan di Jawa, dimana tanah adalah milik raja dan massa rakyat pengarap merupakan contoh domain ini. Prebendal domain menunjuk penguasaan berdasar atas pemberian karena jabatan tertentu dan berhak atas hasilnya. Namun ada juga model kutipan sebagian hasil tani oleh pejabat dari tanah raja sebagai upah jabatan. Ini dapat kita lihat pada sistem tanam paksa dimana kepala Desa berhak mendapat bagian dari hasil tanam paksa. Dan terakhir mercantile domain menunjuk pada kepemilikan individu dan dapat dipertukarkan bahkan diperjualbelikan dalam pasar, dan tanah menjadi komoditi. Lihat Eric Wolf, 1983, Petani Suatu Tinjauan Antropologis, CV. Rajawali, Jakarta 22 pajak (tunai dan tenaga kerja). Model kuli kenceng, kuli kendo, dan tlosor di Jawa merupakan contoh baik corak domain ini. Untuk pedesaan Indonesia, dan Jawa pada khususnya, kepemilikan pribadi atas tanah telah terjadi sejak diperkenalkannya culturestelsel oleh Belanda. Tanahtanah raja telah diberikan hak kepemilikannya pada petani dengan kewajibankewajiban tertentu yang harus dipenuhi seperti pajak dan kerja bakti. Kita ketahui tanah merupakan kekuatan produksi dominan hingga saat ini. Sementara itu hubungan produksi ada yang bersifat egaliter, kelas, juga campuran. Namun menjadi ciri umum yang selalu ada di setiap Desa Jawa dan kiranya juga di Desa -Desa Asia Tenggara, adala h dominasi pola hubungan patron klien (Hayami dan Kikuchi 1984: Hunsken 1998: Scott 2000: Antlov 2002). Perkembangan Kapitalisme dan Transformasi Ekonomi Lokal Pengaruh kapitalisme di Negara dunia ketiga, sebagian besar masuk melalui proses kolonialisasi/penjajahan. Kapitalisme yang berkembang di Negara dunia ketiga sering disebut sebagai kapitalis pinggiran (peripheral capitalism) atau juga kapitalis semu. Hal ini menandakan adanya perbedaan antara pertumbuhan ekonomi kapitalis di Negara dunia ketiga dengan Eropa (Beaud, 2001). Kapitalisme di pusat pertumbuhan industri bersamaan dengan pertanian, sementara di pinggiran industri tumbuh melalui ekstraksi pertanian. Di pinggiran transformasi struktural tidak terjadi secara seimbang antar sistem ekonomi, dimana satu cenderung didominasi. Di Indonesia, penelitian tentang tranformasi struktur ekonomi pedesaan sebenarnya sudah lama dilakukan. Kajian banyak fokus pada dampak masuknya kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama terkait dengan (1) transformasi ekonomi non kapitalis menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal paska kolonial. Studi Booke (1953) melihat adanya dua sistem ekonomi yang berdampingan antara perkebunan Belanda yang bersifat modern dengan pertanian tradisional yang bersifat subsistensi. Booke menyebutnya sebagai dualisme ekonomi. Terjadi co-exsistence dimana satu sistem berkembang dengan caranya sendiri tanpa mengganggu sistem lain. Dengan demikian pertanian tr adisional akan memiliki pola perkembangan sendiri, demikian juga ekonomi kapitalis modern. Namun selanjutnya dibuktikan bahwa hubungan yang terjalin bukan co-existence tapi proses dominasi sistem ekonomi kalonial atas ekonomi lokal. 23 Hal yang sama terjadi pada struktur lokal di daerah bekas koloni Perancis di Kenya, Afrika Barat. Ekonomi pedesaan meski telah terrintegrasi pada sistem kapitalis melalui perdagangan internasional reproduksi sistem lokal tetap terjadi. Temuan Freidberg (2003) memperlihatkan perdagangan hortikultura dari pedesaan Kenya ke Uni Eropa meski telah dilakukan standar isasi sesuai dengan nilai di Eropa tetap dimaknai secara lokal oleh penduduk Kenya. Konstruksi kolonial bagaimanapun tetap melekat erat pada jaringan pemasaran itu. Kartodirdjo dalam Lindblad (2000:268-269), mengatakan bahwa umumnya perkebunan mengatur pertanian komersial dan karena itu cepat sekali mendominasi ekonomi pedesaan secara luas. Dengan kemampuan modal dan fasilitas kebun dapat mengembangkan produksi yang terpisah dengan pertanian secara fisik, tapi terjadi hubungan eksploitatif dimana ekonomi desa lebih banyak melayani ekonomi perkebunan. Hal itu tidak hanya dalam hal teknis produksi, tapi juga pada sisi ideology dimana perkebunan tetap mempertahankan struktur tr adisional sebagai sumberdaya utama di pedesaan. Sistem tradisional diintegrasikan dalam struktur produksi perkebunan untuk menekan biaya operasional. Patron petani tetap pada otoritas lokal, sementara buruh mengiblat pada perkebunan. Secara perlahan perke bunan melalui struktur lokal melakukan eksploitasi atas sumberdaya desa melalui kerja rodi dan pajak-pajak. Apa yang terjadi? Ekonomi desa hanya berkembang di dalam desa saja sementara perkebunan berkembang keluar terkait dengan perekonomian luar desa. Selama dua dasa warsa setelah kemerdekaan adalah waktu yang cukup kondusif bagi petani lokal di sekitar perkebunan untuk mengembangkan produksinya. Tema-tema penelitian pedesaan berkisar pada kerja-kerja program pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan bagi pembangunan ekonomi. Pada masa ini tidak ada tema penelitian tentang proses transformasi pedesaan setelah keluarnya Belanda. Perekonomian desa tetap berkembang setelah Belanda keluar memasuki masa-masa kemerdekaan. Berbagai program pembangunan mulai dirintis ditingkat desa untuk meningkatkan produksi pertanian. Kebijakan nasionalisasi perkebunan Belanda merubah patron para buruh pada Negara sementara ekonomi desa mulai bekembang akibat peningkatan produksi dan pertumbuhan penduduk. Seluruhnya berbalik saat peristiwa 1965 meletus dan struktur ekonomi pedesaan kembali goyah. Kebijakan pemerintah kembali dominan dan memberi warna berbeda pada ekonomi pedesaan. Modernisasi pertanian melalui revolusi hijau 24 digalakkan hingga keseluruh pelosok desa. Cara produksi lama digantikan dengan cara baru demikian juga teknologinya. Investasi dibuka lebar baik di kota maupun pedesaan untuk mentranformasikan kehidupan masyarakat pedesaan. Industrialisasi pedesaan juga dikembangkan untuk memodernisasi kehidupan desa. Bagaimana pendapat para peneliti tentang proses transformasi ekonomi desa? Ada dua kutup utama yakni pertama, terjadi polarisasi pada struktur sosial pedesaan dan kedua, terjadi deferensiasi. Kutub pertama meyakini modernisasi telah meningkatkan kesejangan dalam struktur masyarakat desa dimana terjadi akumulasi berlebih pada kelompok kaya akibat kesiapannya dalam menangkap modernisasi. Sementara kedua meyakini terjadi peningkatan berbagai aktifitas luar pertanian sehingga terjadi transformasi ekonomi desa menjadi lebih kapitalis. Akhirnya kedua kutup itu mendapatkan titik terang saat Hayami dan Kikuchi (1987) mengumumkan penemuan atas studinya di dua negara yakni Indonesia dan Philipina. Masyarakat pedesaan tidak mengalami polarisasi tapi hanya sebagai proses penjenjangan kelas sosial yang semkin rumit untuk menghindari kegoncangan sosial. Ada kelas-kelas antara yang menjadi tempat bagi kelompok tertentu yang tidak masuk dalam dua kutub berbeda. Pada dasarnya seluruh penelitian menyepakati bahwa telah terjadi proses kapitalisasi di pedesaan Jawa selama masa kolonial hingga paska kolonial. Aktor yang mendorong hal itu adalah perkebunan pada masa kolonial dan kebijakan pemerintah masa setelah itu. Corak pertanian tradisional yang subsisten yang padat karya, berubah menjadi pertanian yang kapitalistik yang padat modal. Jika merujuk Marx, kaum tanilah yang melakukan akumulasi modal lalu menjadi kapitalis. Hanya saja dalam kasus Indonesia hal itu ternyata tidak berlaku , dan kaum elit tradisionallah yang menjadi pelopor kapitalis di tingkat lokal (Geerzt, 1963). Perubahan Moda Produksi dan Struktur Ekonomi Perubahan sosial merupakan gejala sosial yang multi dimensi dan sulit dilihat dari satu sisi saja. Membicarakan perubahan sosial menurut Harper (1989:6-8) kita harus mulai dari level perubahan, perbedaan frame waktu, penyebab perubahan, bagaimana perubahan terkait dengan manusia (agency), serta beberapa istilah terkait dengan perubahan. Level perubahan dilihat dari struktur sosial ditingkat group kecil, organisasi, institusi, masyarakat, atau global. Jika institusi maka yang berubah adalah peran, struktur komunikasi, pengaruh, dan klik. Di tingkat organisasi perubahan 25 meliputi struktur, herarkhi, otoritas, produktifitas, sementara ditingkat kelembagaan meliputi ekonomi, religi, keluarga, dan pendidikan. Dalam masyarakat perubahan meliputi stratifikasi, demografi, dan kekuasaan, sementara ditingkat global meliputi evolusi, hubungan internasional, modernisasi dan pembangunan. Sementara itu Sztompka (1994:21) membedakan dalam perubahan makro (masyarakat global, bangsa, kawasan dan kelompok etnic), meso (kelompok besar, asosiasi, partai politik, angkatan bersenjata, dan birokrasi), serta mikro ( proses seharihari dalam kehidupan sehari-hari individu, dalam kelompok kecil seperti keluarga, sekolah, lingkungan tempat kerja dan pertemanan). Penelitian ini akan melihat perubahan pada tingkat mikro dan meso secara bersamaan karena perubahan keluarga sangat terpengaruh dinamika ditingkat meso demikian juga sebaliknya. Kembali pada Harper, frame waktu mengacu pada lama perubahan (jangka panjang atau pendek). Perubahan sosial dalam jangka pendek mungkin tidak terlihat, namum dalam jangka panjang baru terlihat. Demikian juga perubahan-perubahan jangka pendek dapat tidak berpola, sementara dalam jangka panjang memiliki pola. Untuk itu menetapkan waktu dalam penelitian perubahan sosial menjadi sangat penting, terutama agar pengambilan kesimpulan hasil studi tahu jangka waktunya. Selain waktu, studi perubahan sosial juga harus menguraikan sumber penyebab perubahan. Ada dua sumber penyebab perubahan yakni dari dalam masyarakat endogenious dan dari luar yakni exogenius. Penyebab dari luar masyarakat meliputi teknologi baru, ide, gaya hidup, penyakit, dan lain-lain, sementara dari dalam merupakan sebab yang melekat pada sistem sosial itu sendiri (S ztompka, 1994:19). Sebuah perubahan pada level berbeda diwaktu yang sama dapat dianggap sebagai sebab dari luar. Sementara itu, untuk melihat perubahan sosial beruntun Harper (1989:7) memberikan definisi konsekwensi untuk penyebab perubahan yang ada diantara dua hal yang berubah. Perubahan A menuju B, lalu ke C, maka B adalah konsekwensi dari A penyebab perubahan di C. Terkait dengan sebab perubahan Sztompka (1994:21) menyarankan untuk melihat sebab yang terpenting atau penyebab utama perubahan sosial. Sebuah perubahan dapat terjadi dengan sendirinya, juga karena sebuah rencana. Menurut Harper (1989:8) ini tergantung pada apakah perubahan itu dikehendaki atau terjadi dengan sendiri karena sebuah konsekwensi. Terkait dengan itu ada tiga variasi perubahan yakni (1) trend; (2) perubahan yang direncanakan secara sengaja yang berhubungan dengan dengan proses pengambilan keputusan elit; dan 26 (3) perubahan disengaja yang berhubungan dengan gerakan sosial yang melibatkan sebagian segmen masyarakat. Trend terjadi tanpa dapat dikontrol oleh siapapun dan merupakan konsekwensi dari perkembangan masyarakat. Sementara dua perubahan terakhir direncanakan dan melibatkan kesengajaan aktor (elit pengambil keputusan dan segmen sosial tertentu). Lebih lanjut, Harper (1989:55 -56) melihat perubahan sosial dari dua dimensi utama yakni materialistic dan idealistic. Pendekatan materialistic melihat perubahan cara produksi adalah dasar bagi perubahan-perubahan yang lain. Sementar a itu perspektif idealistic melihat perubahan nilai pendorong perubahan sosial. Karena penelitian ini menyangkut transformasi ekonomi, yang berarti perubahan-perubahan banyak terkait dengan cara produksi pendekatan yang digunakan tentu lebih dekat pada perspektif materialistic. Proses perubahan terjadi karena banyak faktor. Penelitian Stavenhagen (1975:129-130) bahwa tranformasi dari pertanian hutan (tradisional) ke pertanian komersial terjadi didorong berbagai variasi faktor ekonomi dan politik sebelum tanaman komersial masuk. Administrasi Perancis dan pajak yang dikenakan pada penduduk mengurangi peran raja dan menurunkan penghasilannya, hingga terjadi kegoncangan sosial. Terjadi migrasi besar-besaran yang menghabiskan tenaga kerja pedesaan yang menjadi sumber utama eksploitasi kaum bangsawan. Kegoncangan semakin besar saat tanaman coklat dikenalkan sebagai tanaman komersial, karena terjadi perubahan relasi produksi. Struktur ekonomi dan formasi sosial berubah, demikian juga pola produksi tradisional. Perubahan tersebut dapat dilihat dari tiga sebab utama yakni : (1) Terbukanya negara dari dunia luar melalui perusahaan komersial oleh negara metropolis kolonial dan perluasan aktifitas pasar; (2) Tumbuhnya organisasi politik tradisional bekerja untuk menjalankan administrasi kolonial (dalam wilayah perancis) atau sub-ordinasi (dalam wilayah inggris); (3) Pekerjaan ekonomi moneter yang distimulus oleh perluasan tanaman komersial dalam bentuk perpajakan dan tenaga kerja (pelayanan) untuk kepentingan asing. Dalam konteks pedesaan Indonesia, perubahan itu dapat disebabkan oleh masuknya sistem produksi “large scale” berupa perkebunanperkebunan besar, komersialisasi, juga berbagai kebijakan pemerintah. Studi Fukutake (1975:34) di pedesaan India memperlihatkan perubahan di Desa banyak disebabkan oleh faktor ekonomi terutama oleh kolonialisasi yang mengembangkan industrialisasi sehingga meningkatkan penetrasi uang ke Desa. Hal 27 ini mendorong munculnya industri manufaktur dalam struktur ekonomi Desa untuk dijual pada orang luar. Hal itu secara otomatis merubah okupasi tradisional dengan terbukanya lapangan kerja baru. Petani yang dulu dapat mendapatkan tenaga kerja dengan mudah melalui hubungan sewa menyewa dan patron klien tergantikan akibat munculnya sumber ekonomi baru. Ini terlihat secara nyata ada perubahan pada kekuatan produksi di Desa sehingga merubah juga hubungan produksi tradisional. Penelitian Hefner (1999) di pegunungan Tengger memperlihatkan bila transformasi cara produksi tradisional non-kapitalis ke kapitalis melalui proses komersialisasi ditandai masuknya tanaman berorientasi pasar, program modernisasi berupa revolusi hijau, juga konflik sosial dalam masyarakat akibat politik negara. Ciriciri tradisional memudar seiring semakin terkomersialisasinya kehidupan ekonomi, dimana cara-cara produksi tradisional berubah menjadi pertanian intensif berorientasi pasar. Pergantian komoditas yang dibudidayakan petani mendorong perubahan cara produksi pertanian tradisional dengan sangat cepat. Studi Sitorus (2004) pada masyarakat Situwu, memperlihatkan bahwa masuknya cara produksi baru yang diartikulasikan dalam tanaman komersial telah merubah formasi sosial lokal. Terjadi perubahan struktur agraria ditandai dengan munculnya kelompok petani komersial yang menggeser posisi petani tradisional. Imigran bugis yang terbiasa dengan cara produksi komersial memonopoli sumber produksi dan merubah struktur agraria yang ada. Sementara orang Kaili sebagai penduduk asli terlempar dan membuka lahan ke lereng-lereng gunung, sebuah daerah yang dulu tidak tersentuh aktifitas ekonomi. Studi Khan (1974) menemukan apabila masyarakat Minangkabau memiliki tiga tipe cara produksi yakni subsistensi, komersialisasi, dan kapitalis. Yang pertama dipakai oleh para petani padi sawah, yang kedua oleh para pedagang, sementara ketiga diwakili oleh industri-industri kecil peralatan besi. Struktur ekonomi demikian berubah seiring dengan masuknya komersialisasi, munculnya kaum pedagang ke pedesaan, juga persaingan dengan produksi industri lain. Yang terjadi pada cara produksi kapitalis yakni industri besi ternyata tidak mengalami pertumbuhan malah terjadi “atomisasi” atau pengecilan skala usaha dan penurunan pemakaian tingkat teknologi. Sementara yang lain tumbuh menjadi usaha kapitalis atau paling tidak mengarah kesana dengan munculnya buruh upahan dalam produksi pertanian dan para tengkulak. Dari uraian diatas, kita dapat melihat apabila transformasi ekonomi pedesaan terjadi dari ciri non-kapitalis ke kapitalis. Hal itu ditandai dengan dominasi 28 moda produksi kapitalis pada struktur ekonomi desa yang sebelumnya didominasi oleh ciri non-kapitalis. Cara produksi subsistensi telah bergeser menjadi cara produksi kapitalis yang dikatakan oleh Khan (1974) sebagai proses Komersialisasi. Alur Pemikiran Sebelum moda produksi kapitalis masuk, ciri-ciri cara produksi non-kapitalis lebih dominan pada pertanian tradisional Jawa. Usahatani skala kecil, produksi pangan, dan menggunakan tenaga kerja kerabat atau anggota keluarga. Di Malang (kodya Batu dan Desa Tulung Rejo dulu menjadi wilayah Kabupaten Malang), masuknya birokrasi Belanda terjadi tahun 17 68 ditandai oleh takluknya pemberontak Jawa yang lama menguasai wilayah Malang dengan bebas, hingga selanjutnya dibangun perkebunan-perkebunan kopi dan tebu, khususnya di daerah Malang bagian Selatan. Wilayah Utara (Batu berada di sana) banyak didominasi oleh tempat-tempat peristirahatan, tidak hanya bagi orang Malang, namun juga dari Surabaya. Fungsi yang agak berbeda ini tentu saja mempengaruhi struktur ekonomi masyarakat lokal dan pola nafkahnya yang dicirikan oleh cara produksi non-kapitalis itu 10. Saat ini, perkembangan ekonomi Batu secara makro terjadi cukup pesat ditandai dengan munculnya pusat-pusat perdagangan, hotel-hotel, jasa -jasa, juga restoran-restoran sepajang jalan dari Malang ke Batu yang bercirikan moda produksi kapitalis padat modal. Tenaga kerja banyak direkrut untuk mengisi peluang-peluang kerja baru itu. Di sisi lain pertanian juga mengalami perkembangan pesat semenjak dikenalkan tanaman sayur, bunga, kentang dan apel yang menjadi tanaman utama juga bercirikan padat modal meski cara produksi keluarga masih dominan. Pengusahaan pertanian meluas hingga menebang lereng-lereng gunung yang mengelilingi Batu. Dari sini dapat terlihat ada dua perubahan cara produksi yakni cara produksi tanaman komersial sebagai evolusi dari pertanian lokal dan cara produksi pariwisata sebagai introdusir cara baru. Pertanyaan selanjutnya adalah “mengapa” perubahan itu terjadi dan “bagaimana” prosesnya? Sebelum masuk ke sana kita harus tahu secara mendalam apa cara produksi dominan masyarakat Desa dulu, apa norma yang melingkupinya, hubungan produksinya, serta herarkhi produksinya. Selanjutnya dibandingkan dengan keadaan sekarang untuk dapat melihat perubahan-perubahannya. Desa-Desa di Jawa, secara umum sebelum masuknya kolonialisme masih dicirikan kehidupan non-kapitalisme. Lebih berorientasi subsistensi dan memproduksi 10 Lihat Hiroyosi Kano, Op cit. Hal 12-13 29 bahan pangan terutama padi untuk keperluanya sendiri. Tanah menjadi kekuatan produksi utama dan menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. Hubungan produksi lebih bersifat egaliter. Surplus terjadi karena penggunaan tenaga kerja keluarga dan belum ada eksploitasi surplus. Masuknya kolonialisme dan pembangunan perkebunan-perkebunan besar merutuhkan bangunan itu dan menimbulkan struktur baru pada di pedesaan. Perubahan tentunya tidak hanya berhenti saat kolonialisme masuk, namun berlanjut. Di jaman kemerdekaan konsolidasi politik dilakukan hingga masuk ke wilayah Desa baik oleh aparat pemerintah ataupun oleh jaringan partai politik. Pembaruan sektor ekonomi juga dilakukan melalui nasionalisasi, pembangunan pertanian, juga land reform. Sementara dalam sektor sosial sendiri tentu terjadi dinamika paling tidak perubahan demografi. Intervensi pemerintah dan pertumbuhan penduduk tentu berpengaruh pada struktur ekonomi pedesaan, tak terkecuali di TR. Di jaman orde baru, pembangunan ekonomi menjadi agenda kerja utama dan pertanian menjadi prioritas utama pada awal-awal. Revolusi hijau menjadi program nasional untuk meningkatkan produksi beras dengan cepat. Program ini memang khusus untuk daerah dataran rendah, namun Desa di dataran tinggi dikenalkan pada tanaman-tanamam komersial terutama cengkeh. Meski fokus pada padi sawah, namun intensifikasi dan program revolusi hijau juga dikenalkan pada daerah pegunungan terutama pengenalan cara produksi baru. Teknik petanian baru, terutama pemerantasan hama dikenalkan untuk mendukung penanaman tanaman pangan. Hal inilah yang mendorong perubahan besar pada cara produksi mereka dari tradisional menjadi sangat intensif. Di Tulung Rejo, dan rata-rata daerah lain di Batu, penggunaan cara produksi sudah sangat intensif bahkan pemakaian pemberantas hama paling tinggi dibandingkan dengan daerah dataran rendah. Dari uraian di atas, dapat ditang kap adanya perubahan-perubahan pada formasi sosial lokal. Pertanyaan yang muncul adalah apa sebab-sebab perubahan itu terjadi? Apakah benar karena masuknya cara produksi kapitalis, pembangunan pertanian, revolusi hijau, atau mungkin perkembangan disebabkan masalah demografi. Dengan demikian muncul juga pertanyaan bagaimana mekanisme perubahan itu terjadi dari masa ke masa? Menjelaskan seluruh pertanyaan di atas harus dilihat dulu secara lebih rinci tentang apa struktur ekonomi. Struktur ekonomi adalah hadirnya dua atau lebih cara produksi dalam satu sektor sosial. Ada cara produksi dominan yang menjadi ciri dasar 30 masyarakat, ia memiliki norma, alat produksi dan hubungan produksi. Dua atau lebih cara produksi tersebut selanjutnya membentuk pola produksi tertentu dan akhirnya akan membangun formasi sosial tertentu pula. Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Gambar 2.2. Bagan alur berfikir Moda produksi kapitalis dari luar sistem sosial Bersifat Kapitalistik Moda Produksi Lokal lama Tipe formasi sosial lokal lama Moda Produksi baru yang mengadaptasi ciri kapitalistik Tipe formasi sosial baru yang terpengaruh moda produksi luar Hipotesis Pengarah Agar pertanyan pokok tentang “mengapa” dan “bagaimana” perubahan struktur ekonomi di Desa Tulung Rejo, berdasar atas konsep, teori, dan perumusan masalah yang dilakukan, maka hipotesis pengarahnya adalah sebagai berikut : 1) Dari masa kolonial hingga saat ini, moda produksi lokal mengalami kemunduran akibat dominasi moda produksi kapitalis yang masuk pada struktur ekonomi lokal. 2) Perubahan moda-moda produksi dari masa ke masa di dorong oleh dominasi moda produksi kapitalis yang masuk pada struktur ekonomi lokal. 3) Dengan masuknya moda produksi kapitalis dari luar sistem sosial desa maka formasi sosial desa dari masa ke masa akan didominasi oleh moda produksi baru tersebut. 31 METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah kualitatif dengan strategi studi kasus. Strategi studi kasus dipilih karena kekhasan masalah selain kemampuannya untuk menjelaskan fenomena sosial secara lebih mendalam (Cresswel, 1994; Babie 2004. Menurut Sitorus (1999 : 46) dengan studi kasus maka pendekatan kualitatif yang memungkinkan “dialog” peneliti dan tineliti (teori kritis), “interaksi antara dan dalam kalangan peneliti dan tineliti” (teori kontruktivis) dapat dipadukan dengan pandangan emik (post-positivisme). Kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubyektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti. Studi kasus terdiri dari dua jenis yakni intrinsik dan instrumental. Intrinsik menunjuk pada penelitian dimana obyek telah ada dan ditentukan sebagai misal evaluasi program. Jika dalam penelitian itu terdapat pertanyaan penelitian (research question) yang dibangun dari rumusan masalah, sehingga perlu dipilih kasus tertentu, maka disebut studi kasus instrumental (Stake 1995; 3). Dengan demikian karena penelitian ini terdapat pertanyaan penelitian juga dibangun konsep secara jelas (moda produksi dan formasi sosial) untuk menganalisis fakta sosial, maka dapat dikategorikan sebagai studi kasus instrumental. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian di Desa Tulungrejo (TR) , Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur yang dilakukan pada bulan Mei-Juni tahun 1995. Desa TR di pilih karena kota Batu, dimana TR berada, merupakan salah satu daerah penghasil sayur dan buah utama di Jawa setelah Dieng, Lembang, dan Bromo. Desa TR sendiri adalah wilayah penghasil sayur dan buah utama di kota Batu. Di TR juga terdapat tiga obyek wisata penting di Batu yakni Selecta, Coban Talun, dan pemandian air panar Cangar yang merupakan obyek wisata utama di Batu. Karena suhunya yang dingin di TR juga berkembang pabrik-pabrik bunga potong dan jamur merang yang keseluruhannya berjumlah tujuh perusahaan. Dalam perkembangan kapitalisme lokal, TR termasuk wilayah cukup penting sejak jaman penjajahan. Pada masa kolonial, TR berada dalam wilayah Afdelling Malang, Distrik Penanggungan yang merupakan daerah penghasil kina utama. Selain itu juga menjadi tujuan wisata para pekebun Belanda baik dari Surabaya atau daerah 32 lain di luar Malang sehingga dibangun sebuah taman wisata (Selecta). Setelah penjajahan berakhir TR perkembangan ekonomi TR tidak berhenti me ski perkebunan berhenti. Bahkan pertanian berkembang dengan cepat setelah komoditas komersial di luar tanaman pangan masuk dan dibudidayakan oleh penduduk. Hal itu semakin mengukuhkan TR sebagai daerah penting dalam perkembangan ekonomi lokal. Dengan demikian pilihan terhadap Tulungrejo sebagai daerah penelitian sangat tepat karena adanya kekhasan masalah dengan kerangka teoritis yang dibangun. Penentuan Subyek Kasus Subyek kasus dipilih berdasarkan kesesuaian antara masalah yang akan diteliti dengan subyek yang menjadi sumber informasi. Ada tiga masalah utama yang digali yakni sejarah desa, sejarah dinamika (timbul dan tenggelamnya moda-moda produksi baik yang berbasis lokal maupun luar), proses perubahan moda produksi dan faktorfaktor penyebabnya, serta formasi sosial yang terbangun akibat perubahan moda produksi dari msa ke masa. Untuk sejarah desa, data digali dari informan kunci yang terdiri dari para tokoh desa dan orang-orang tua yang masih merasakan jaman penjajahan akhir dan didukung oleh dokumen sejarah desa. Untuk mendapatkan data dinamika moda produksi, informan kuncinya adalah para pelaku usaha dari seluruh golongan masyarakat baik yang masih berlangsung atau yang telah berhenti. Karena keterbatasan waktu dan tenaga maka informan kunci dibatasi pada beberapa pelaku ekonomi yang kuat pada masa lalu dan sekarang. Dengan demikian subyek kasus dalam penelitian ini adalah (1) Para tokoh, perangkat desa, dan orang tua yang hidup pada akhir-akhir penjajahan, (2) Pelaku ekonomi aktif maupun bekas yang besar (juragan dan pengusaha Cina) di TR dari yang tua hingga pelaku ekonomi baru dibidang pertanian atau pabrik dan pariwisata, (3) Para tani tanggung, srabutan, dan buruh tani baik yang tua maupun muda, (4) Para boro kerjo baik yang lama maupun baru, (5) Para buruh bebas baik muda maupun tua, dan (6) Para Pandek baik lama maupun baru. Lebih rinci mengenai permasalahan dan subyek kasus yang telah diwawancarai dalam secara lebih rinci dapat dlihat dalam lampiran II. 33 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, wawancara bebas, mengamati secara langsung fenomena sosial, juga ikut serta dalam berbagai kegiatan masyarakat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data primer tentang dinamika masyarakat. Data-data ini selanjutnya dituliskan langsung menjadi catatan harian yang akan dijadikan bahan dasar untuk analisa. Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan dengan beberapa orang untuk satu topik dan diulang kembali untuk mencocokkan data. Wawancara bebas dilakukan dengan orang yang ditemui di lapang baik pedagang, penjual bakso, penjual mie, juga sopir dan para wisatawan yang datang di TR. Sementara itu untuk pengamatan langsung, telah peneliti lakukan sejak tahun 1998 karena di desa TR ada kebun percobaan Universitas Brawijaya dimana peneliti belajar. Selain itu peneliti juga pernah menjadi asisten peneliti untuk penelitian lembaga BALITSA (Balai penelitian tanaman sayur) Lembang selama 2 bulan di TR. Penelitian itu bertujuan untuk menganalisis perkembangan organisasi produksi tanaman kentang di Indonesia dan TR salah satu wilayah penelitiannya. Selain itu secara intensif juga dilakukan wawancara dengan beberapa orang yang telah melakukan penelitian di TR sebelumnya. Selain data primer, juga dilakukan telaah dokumen dari sejarah wilayah juga sejarah sosial ekonominya. Sejarah berguna untuk menelusuri perkembangan desa dan wilayah penelitian. Penelusuran dilakukan melalui perpustakaan daer ah dan sumber lainnya yang mendukung data yang diperlukan. Data ini juga digali dari berbagai penelitian sebelumnya yang menggambarkan moda produksi desa TR atau paling tidak gambaran moda produksi yang pernah berkembang di TR terutama untuk masa-masa awal kolonial untuk memberi gambaran lebih lengkap. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Data-data di atas disusun berdasar tindakan sambil membandingkan sumber tertulis (dokumen-dokumen), catatan lapangan, peta dan data statisitik. D ata yang berhasil dikumpulkan selanjutnya diproses melalui kegiatan penyusunan satuan atau pemilahan data dalam bidang masing-masing. Data yang telah tersusun tersebut selanjutnya diolah berdasarkan pada kerangka analisis yang telah dirumuskan. 34 Pengujian keabsahan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi yaitu, check, recheck, and cross check terhadap data yang diperoleh. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data yang ada untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut (Moleong, 1998:178). Triangulasi dapat dilakukan dengan sumber data dan peneliti atau pengamat lain. Teknik triangulasi merupakan prosedur pencocokan data melalui beberapa sumber yang berbeda sehingga diperoleh data yang sah. Hal itu dapat dilakukan pada beberapa aspek penting dari data yakni sumber data, metode, penyidik dan teori.. Triangulasi menggunakan sumber dilakukan dengan jalan (1) membandingkan data hasil penelitian dengan hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan orang sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat dan pandangan orang lain; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Pemeriksaan metode dilakukan melalui pengecekan pada data pertama dengan data kedua, dicocokkan lagi dengan data ketiga dan seterusnya dengan data pertama. Masing-masing data akan dicocokkan pada data lainnya untuk memastikan kebenaran dari data. Hal itu dapat dilakukan melalui (1) membandingkan fakta lapangan dengan data hasil wawancara, (2) membandingkan data hasil wawancara dengan isu dokumen yang saling berkaitan, (3) mengecek keabsahan data yang diberikan antara informan-informan yang datanya saling berkaitan. Sementara itu masalah penelitian dijawab melalui penjelasan atas pertanyaan penelitian berdasarkan data di lapang yang telah di interprestasi dengan pendekatan teori yang dirumuskan dalam tinjauan pustaka. Dari uraian ini akan muncul sebuah gambaran sejauhmana formasi sosial yang terbangun akibat perubahan moda-moda yang ada di desa TR dari masa ke masa. Hambatan dalam Proses Penelitian Desa TR termasuk desa yang cukup “maju” untuk ukuran desa-desa di jawa jika kita lihat dari pendapatan desa, juga apresiasinya terhadap kehidupan kota. Masyarakatnya sudah cukup urban, sehingga sangat susah bagi peneliti untuk dapat memasuki karena waktu mereka yang sempit. Kerja keras sepanjang hari dan berbagai 35 aktifitas sosial yang bertumpuk kadang menyulitkan peneliti untuk mencari tempat dan waktu yang baik untuk wawancara. Bahkan untuk mewawancarai seorang juragan peneliti harus menunggu dua tiga hari setelah beli au pulang dari kirim barang. Jika masuk pada petani srabutan peneliti harus menyesuaikan dengan jadwal kerja mereka. Jika sedang mendapat borongan cabut (petik wortel) jangan diharapkan akan diterima meski kita ganti waktunya dengan uang. Kepentingan jangka panjang tani srabutan untuk mempertahankan kinerja kayaknya lebih mereka pilih daripada menerima uang kita. Cabut kadangkala bisa satu minggu penuh apalagi jika bekerja ditempat juragan, tak ada waktu untuk kita sampai pekerjaannya selesai. Jangan harap bisa bertemu petani di pagi hari. Mereka lebih suka malam atau sore, itupun harus konfirmasi lebih dulu. Jika tidak kita akan ditinggal begitu saja dengan sedikit basa-basi dengan alasan dipanggil temannya. Demikian juga jangan sampai mewawancarai saat kerja karena akan ditegur oleh juragan atau ketua rombongan. Jadi selama hampir satu minggu penulis masih dalam rangka pendekatan untuk mencari celah yang tepat. Akhirnya penulis pindah kos ke rumah pemilik warung yang memungkinkan penulis untuk kenal dengan banyak orang. Sementara itu untuk mendapatkan informasi lebih dalam dari juragan, kepala dusun yang kebetulan masih keluarga dekat dengan juragan sangat membantu. Selama satu bulan wawancara dilakukan sambil menagih PBB (pajak bumi dan bangunan) yang telah keluar SPPT-nya. Ini juga menjadi media untuk melihat lebih dekat secara keseluruhan penduduk desa. Dari sinilah baru dapat merinci sasaran dengan tepat sesuai dengan permasalahan yang mula i terbayang. Informan kunci yang sudah tua sajalah yang dapat dengan mudah untuk ditemui. Jika untuk juragan, tani tanggung, srabutan, atau pengelola pabrik dapat ditemui malam, maka untuk orang tua dapat pagi hari. Kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi bekerja berat dan hanya menunggu rumah atau kerja kecil membersihkan pekarangan. Jika panen kadangkala masih ikut membersihkan kentang atau sayur lainnya meski hanya sebentar. Hambatan yang juga alami adalah data sejarah perkebunan di TR yang tidak ada. Perkebunan hanya dapat dilihat sisa -sisanya saja sementara seluruh arsip di perpustakaan daerah, Jogja dan Perpustakaan Nasional tidak ditemukan. Hanya disebutkan dalam sejarah Malang, kalau Batu termasuk wilayah yang penting bagi pariwisata dan pertanian. Lebih rinci tidak ada, dan hanya disinggung sedikit saja. Dengan demikian hambatan ini sangat mempengaruhi perumusan data-data desa TR 36 pada masa-masa kolonial. Ketidakmampuan membaca bahasa Belanda juga mempengaruhi kualitas interprestasi data dari arsip. Hambatan tersebut akhirnya diatasi dengan melakukan konsultasi pada beberapa sejarawan. Berdasar atas saran Beliau, penelusuran juga dapat dilakukan melalui laporan studi-studi yang telah dilakukan di TR atau paling tidak gambaran wilayah itu pada masa kolonial. Untuk selanjutnya peneliti lebih berkonsentrasi pada cara ini sehingga pencarian data -data laporan masa kolonial tidak kami lakukan. Pilihan cara ini juga terkait dengan keterbatasan waktu dan biaya yang harus keluarkan. DESA TULUNG REJO : SOSIAL EKONOMI DAN SEJARAH DESA Sejarah Desa Desa TR tidak memiliki kawasan landai yang memadai sebagaimana daerah dataran rendah pada umumnya. Daerah landai biasanya digunakan untuk pemukiman penduduk dan bangunan-bangunan perkantoran juga sarana-sarana umum. Dengan kondisi geografis demikian maka pemukiman penduduk desa TR cenderung menyebar terdiri dari kelompok-kelompok kecil rumahtangga yang biasanya masih kerabat dekat. Pemukiman penduduk juga cenderung mendekati lahan pertanian agar memudahkan mereka dalam memelihara tanamannya. Pola pemukiman yang menyebar dan bergerombol ini kiranya telah ada sejak berdirinya desa. Pada tahun 1835 ada tiga kelompok pemukiman mandiri yang masingmasing memiliki seorang Petinggi9 (kepala Desa) yakni (1) Gondang dan Gerdu, dikenal dengan dusun Gondang, (2) Kekep dan Pare (sekarang jadi satu dengan Gondang), dikenal dengan Dusun Kekep, serta (3) Junggo yang dikenal dengan nama dusun Junggo. Gondang merupakan kelompok pemukiman penduduk paling tua dan telah memiliki pemerintahan sejak tahun 1836. Dusun Gondang akhirnya terpecah menjadi dua dusun yakni Gondang dan Kekep. Pada tahun 1916 ketiga dusun yang asalnya kelompok-kelompok pemukiman penduduk tersebut digabung menjadi satu desa yakni Tulungrejo dengan Gondang sebagai ibukotanya (krajan). Tahun-tahun itu adalah masa dimana pemerintah kolonial Belanda sangat kuat pengaruhnya. Ada dua asset penting yang mereka lindungi yakni Selecta dan perkebunan kina. Meskipun keduanya milik swasta, namun komitmen pemerintah Belanda untuk mengamankan keduannya sangat kuat. Hal tersebut tak lepas dari besarnya sokongan yang diberikan perkebunan kepada pemerintah Belanda untuk biaya operasional tentara. Pemandian Selecta merupakan tempat peristirahatan yang penting bagi para pekebun Belanda yang tinggal di sekitar Malang dan Surabaya. Usaha pemerintah kolonial Belanda untuk menguras sumberdaya alam desa TR tidak berhenti pada perkebunan kina dan Selecta saja. Di jurang Kuali 9 Petinggi inilah yang menjalankan kepemimpinan Desa dan mengatur rumah tangganya sendiri. Ia juga menjadi penghubung warga Desa dengan kekuasaan pemerintah diatasnya yakni Gubermen Belanda. 39 (dusun Sumberbrantas sekarang) meski jaraknya cukup jauh dari pusat desa, namun penjajah Belanda tetap membuka kebun teh pada tahun 1938. Ketika kebun teh mulai beroperasi, penjajah Belanda menyerah pada armada perang Jepang dan secara otomatis daerah jajahannya menjadi hak tentara Jepang. Pada jaman Jepang perkebunan ditutup dan tanah dikuasai Negara yang sebagian diserahkan pada penduduk Desa untuk diolah. Perkebunan teh dibongkar, dan penduduk wajib membudidayakan tanaman pangan dan jarak. Pada masa-masa penjajahan Jepang, penduduk sangat menderita karena bahan pangan susah didapatkan sementara tanaman jagung dan ketela banyak yang tidak panen. Pada tahun 1948, pemukiman bekas perkebunan teh yang telah dibongkar berubah menjadi dusun baru yakni Sumberbrantas. Sumberbrantas dulu lebih dikenal sebagai jurang Kuali dan masih dalam wilayah desa Tulungrejo. Sementara itu, perkebunan kina yang ada di Junggo tidak dibongkar oleh Jepang dan dibiarkan saja karena diperlukan dalam perang. Hal itulah yang menyebabkan kina masih dapat dijumpai hingga tahun 50-an. Revolusi fisik juga melanda desa TR. Seluruh kekuatan nasional dimobilisasi oleh pemerintah RI termasuk perkebunan di TR. Pada tahun 1947, presiden Sukarno berpidato di desa TR dan menyerukan agar tentara bahu membahu berjuang bersama rakyat. Rakyat dihimbau untuk giat bertani dan menyediakan pangan bagi perang, sementara tentara di garis depan untuk berperang. Pidato tersebut dikumandangkan dari Hotel Bima Sakti (hotel Selecta sekarang) dimana presiden pernah menginap di sana untuk mengendalikan pemerintahan. Saat itu presiden Soekarno dikejar-kejar oleh Belanda untuk ditangkap, setelah Jepang menyerah tanpa sarat pada sekutu tahun 1945. Di tengah-tengah suasana perang, pada tahun 1948 berdirilah secara resmi dusun Sumberbrantas dan lengkaplah cikal bakal desa TR. Bersamaan dengan berdirinya dusun Sumberbrantas pemerintah Indonesia dan penjajah Belanda menyepakati perjanjian yang mengatakan bahwa para pemilik perkebunan Belanda berhak meneruskan usaha perkebunan sampai habis masa kontraknya. Kembalinya pemilik perkebunan Belanda tersebut menimbulkan kekacauan politik di desa TR. Kepala desa TR, P. Martorejo yang tidak mau diatur perkebunan Belanda akhirnya terpaksa mengungsi. Perkebunan Belanda akhirnya mengangkat P. Makali sebagai kepala desa baru, dan akhirnya dibunuh oleh rakyat pada tahun 1948. 40 Perkebunan Belanda kemudian melakukan pemilihan kepala desa dan terpilih P. Ahmad sebagai kepala desa yang baru. P. Achmad hanya menjabat dua tahun dan digantikan P. Martorejo yang telah kembali dari pengungsian. P. Martorejo menjabat kepala desa hingga tahun 1967 dan diturunkan karena dianggap terlibat PKI. Pada masa-masa genting tersebut kepala desa dijabat oleh karateker Mulyono selama tiga bulan, September-Nofember 1967, dan digantikan oleh karateker lagi P. Sunaryo hingga tahun 1972. Untuk menetralkan suasana dan mengurangi konflik laten diadakan program transmigrasi lokal yang anggotanya purnawirawan TNI-AU10. Karena masuknya penduduk baru yang berasal dari peserta transmigrasi tersebut maka dusun Junggo termasuk dusun yang cukup padat penduduknya. Karena itu pada tahun 1999, dusun Junggo pecah menjadi dua yakni dusun Junggo dan Wonorejo. Dusun baru tersebut memiliki seorang kepala dusun melalui pilihan umum pada tahun 2001 dan masih menjabat hingga tahu n 2005. Dengan demikian pada tahun 2005, desa Tulungrejo memiliki 6 dusun yakni Gondang, Gerdu, Kekep, Junggo, Wonorejo dan Sumberbrantas. Untuk ukuran desa di Jawa, jumlah ini cukup besar apalagi dilihat dari jumlah penduduknya yang mencapai 12000-an. Rata-rata di Jawa Timur hanya sekitar 4-7 ribu jiwa saja. Tak heran jika saat penelitian dilakukan warga dusun Sumberbrantas menuntut pembentukan Desa baru. Mengenai sejarah desa TR dari awal berdiri hingga saat ini dapat dilihat dalam tabel berikut: 10 Para transmigran tersebut menempati daerah pusat sengketa yakni tanah -tanah bekas perkebunan Belanda di dusun Junggo terutama di blok Pancasila. Blok Pancasila digunakan untuk menghilangkan kesan bahwa daerah tersebut pernah menjadi basis PKI. Dengan memberi nama Pancasila sebagai dasar Negara, maka daerah basis PKI menjadi kabur karena PKI dianggap mau merubah dasar Negara. 41 Table 4.1 : Sejarah desa Tulung Rejo Tahun Sebelum 1835 1916-1922 Wilayah Ada 3 desa kecil yakni (1) desa Gondang yang terdiri dari dua dusun Gondang dan Gerdu, dan (2) desa Kekep terdiri dari 2 dusun yakni kekep dan Pare, (3) Desa Junggo Seluruh desa kecil disatukan menjadi satu desa besar Pemimpin Masing-masing dusun memiliki seorang petinggi yang memegang kekuasaan mengatur segala urusan desa. Pengaruh luar Masih dalam kekuasaan mataram meski kontrol longgar pada dasarnya mereka hanya pemukiman berdasarkan pada ikatan kekerabatan Kepala desa pilihan massa rakyat yang wewenang tidak seluas petinggi. Nama P. Dul Wongsosari P. Siyah P. Mukri P. Martorejo Belanda termasuk kebijakan menyatukan desa-desa 1922-1925 1925-1932 1932-1947 Tetap Tetap Tetap 1947-1948 Bertambah satu dusun yakni Sumberbrantas P. Makali 1948-1950 Tetap P. Achmad 1950-1967 Tetap P. Martorejo 1967(Septem bernofember) 1967-1972 Tetap P. Mulyono Tetap P. Soekaryo 1972-1990 1990-1998 Tetap Tetap P. Armanu H. Prawoto 1998sekarang Tambah satu dusun H. Prawoto yakni Wonorejo dan dusun Sumberbrantas akan memisahkan diri Sumber : Catatan sejarah desa dan wawancara (2005) Belanda Belanda Belanda dan mengungsi saat agresi militer kedua 1947 Boneka Belanda yang akhirnya dibunuh oleh penduduk Belanda, dan melakukan pemilihan untuk menjamin perkebunan setelah kembali Pemerintah RI dan P. Martorejo terpilih setelah pulang dari mengungsi tahun 1947. beliau terlibat PKI ditangkap dan diasingkan Karateker yang ditunjuk oleh pemerintahan militer Ditunjuk lagi oleh pemerintahan militer Pemerintahan orde baru Pemerintah orde baru melalui pemilihan Saat pemerintahan Gus Dur melalui pemilihan langsung 42 Gambaran Sosial-ekonomi Desa Basis Ekologi Sebagai daerah pegunungan, top ografi wilayah desa TR berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 1.115 hingga 1.700 Dpl. Perbedaan tinggi tersebut menyebabkan keragaman vegetasi tumbuh di sana. Bagian bawah didominasi tanaman apel dan buah-buahan lain, tengah lebih banyak sayur seperti kobis, wortel, kacang-kacangan, juga sedikit kentang sementara daerah atas didominasi kentang terutama dusun Sumber Brantas. Keragaman vegetasi tersebut, menyebabkan petani disetiap wilayah memiliki keahlian bercocok tanam berbeda-beda. Meski tidak tegas dibedakan, orang dusun Junggo dianggap lebih ahli menanam apel dibandingkan dengan orang Sumberbrantas. Demikian juga orang Sumberbrantas akan dianggap lebih ahli menanam kentang daripada orang dusun Junggo. Dusun Junggo ada di bawah dan cocok untuk apel, sementara Sumberbrantas di atas dan sangat cocok dengan tanaman kentang. Daerah pegunungan juga membentuk pola penyebaran penduduk yang tidak teratur. Pemukiman-pemukiman penduduk membentuk kantong-kantong yang menyebar di daerah-daerah landai yang dihubungkan dengan jalan-jalan kecil. Perumahan tidak mengumpul sebagaimana penduduk sawah tapi menyebar sesuai dengan kelandaian daerah. Daerah-daerah yang padat penduduk berada di dusun Sumberbrantas dan Wonorejo, sementara dusun Gondang, Kekep, dan Gerdu, perumahan hanya ada kana-kiri jalan utama saja. Karena topografi berbukit mekanisasi pertanian kurang berkembang. Mekanisasi hanya dilakukan pada mesin penyemprotan hama dan alat siram saja. Karena itu tidak mengherankan jika usaha tani sayur di desa TR memerlukan banyak tenaga kerja mulai dari mengolah tanah hingga tanam. Curah hujan rata-rata 8,9 Mm/tahun dengan suhu rata-rata 18 derajat Celcius, dimana suhu terdingin dapat mencapai 17 derajat. Curah hujan cukup besar bila dibandingkan dengan wilayah lain. Curah hujan tinggi ini memungkinkan ketersediaan air sepanjang tahun di desa TR. Air merupakan penunjang utama pertumbuhan tanaman sehingga ketersediaan sepanjang tahun sangat menguntungkan. Dengan demikian ketersediaan air sepanjang tahun sangat menunj ang intensifikasi pertanian di TR. Lahan pertanian dapat ditanami sayur hingga tiga hingga empat kali setahun. Ditunjang oleh kesuburan tanah yang tinggi, pertanian di desa TR menjadi percontohan petani dari desa 43 lain bahkan dari Bromo. Bibit kentang Jurangkuali (istilah untuk Sumberbrantas) menjadi langganan petani kentang dari Bromo dan Pujon karena terkenal kualitasnya. Kentang Sumberbrantas umbinya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kentang jenis yang sama dari daerah Pujon dan Bromo. Secara geografi desa TR terletak di sebelah Utara kota Batu yang diapit oleh tiga pegunungan yakni Arjuno, Welirang dan Anjasmoro. Gunung Welirang merupakan salah satu gunung yang masih aktif sehingga menyebabkan desa TR termasuk daerah yang cukup subur di pulau Jawa . Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Bumiaji, sebelah utara dengan gunung Welirang, dan barat dengan gunung Anjasmoro. Sebelah timur laut berbatasan dengan gunung Arjuno, sementara tenggara dengan desa Gondo. Antara desa Gondo dan TR sebenarnya juga dipisahkan dengan sungai kecil yang bermuara di kali Brantas. Secara administratif desa TR berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto di sebelah Utara yakni wilayah Pacet. Karena dibatasi oleh pegunungan, kontak sosial penduduk desa TR jarang terjadi. Hanya ada jalan tembus kecil yang cukup sulit dilalui kendaraan karena medannya yang curam. Luas wilayah desa TR adalah 1.249,155 Ha, terdiri dari 1.060,312 Ha lahan sawah dan tegal, sementara sisa nya berupa pemukiman, jalan, pekuburan, serta bondo deso. Jarak desa dari kota kecamatan 1,5 kilometer, dan dari kota Batu enam kilometer, sementara dari kota propinsi (Surabaya) 133 kilometer. Transportasi dari desa ke kota kecamatan telah dilayani angkutan pedesaan (Mikrolet) yang ada sepanjang hari hingga jam enam sore. Mikrolet telah beroperasi sejak tahun 1984 untuk mengangkut penduduk yang akan ke pasar atau ke kota Malang yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Angkutan desa memudahkan pengujung tempat wisata sehingga menjadi salah satu penarik turis lokal. Tarif yang dikenakan tidak terlalu mahal dan hampir sama dengan tarif di kota malang meski jarak yang ditempuh lebih jauh pada tahun 2005. Pengunjung dari luar daerah yang akan ke masuk atau keluar dari TR harus transit dulu di terminal Arjosari kota Malang baru ke terminal Landungsari, ke Batu, baru ke TR. Jalur yang cukup panjang bagi pengujung dari luar kota tersebut menyebabkan mereka lebih menyukai kendaraan pribadi daripada naik angkutan umum. Orang Surabaya biasanya menggunakan jalan tembus yang melewati Singosari, dan tidak melalui kota Malang sehingga menghemat waktu hampir setengah jam. Jalan tembus tersebut sudah beraspal halus hanya saja medannya masih banyak tanjakan. 44 Untuk pengunjung dari Kediri, mereka dapat melalui jalan tembus yang sangat terjal melalui pegunungan Kawi dan Anjasmoro. Pegunungan Anjasmoro dan Kawi ini konon adalah batas yang kerajaan yang dibuat oleh Mpu Barada untuk memisahkan antara Jenggolo (Singhasari) di Timur dan Kediri di Barat. Jalan tembus Kediri-Singosari tersebut juga menjadi jalur utama perdagangan selain jalan tentara dari dua kerajaan yang memang sering bertempur. Budaya Masyarakat Pegunungan Reproduksi Kultur Arek Sebagaimana daerah pegunungan pada umumnya, masyarakat TR pada awalnya tidak memiliki stratifikasi yang ketat sebagaimana daerah sawah. Tidak ketatnya stratifikasi sosial dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari antara pekerja dan juragan. Meski orang bekerja pada seorang juragan dan sangat tergantung secara ekonomi, namun mereka tidak menunjukkan kesan sebagai hamba sahaya. Dalam pergaulan mereka tetap menggunakan bahasa jawa “ngoko” (bahasa tingkat rendah dalam bahasa Jawa). Hal ini menunjukkan adanya budaya egaliter yang tertanam masyarakat. PNM (45) seorang juragan mengatakan, mereka (para buruh) kebanyakkan juga teman sejawat. Selain itu di sini tidak ada bedanya antara juragan dan buruh semuanya bekerja sama. Juragan tidak hidup kalau ada buruh demikian juga buruh susah cari kerja kalau tidak ada juragan. Dalam pergaulan tidak ada yang lebih tinggi , yang penting dapat hidup bersama dan jangan membeda-bedakan. “Kabeh wis pernah ngrasake sugih, mlarat, dadi wong biasa, sing penting iso kumpul karo koncone” (semua sudah pernah merasakan kaya, miskin, jadi orang biasa, yang penting dapat berku mpul dengan teman-teman). Kebiasaan egaliter dalam pergaulan tersebut jarang ditemukan pada komunitas padi sawah. Pernah seorang anggota DPR datang ke kantor kepala desa, mereka dibiarkan saja dan tidak disambut layaknya pejabat. Malah ditanya basa-basi “ Yok opo kabare rek, wah dadi DPR wis arang metu” (bagaimana kabarnya, wah setelah jadi DPR jarang keluar lagi). Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pergunungan tidfak membedakan tingkat sosial pergaulan. Jika orang berprilaku membeda-bedakan antar kelas sosial akan dikatakan “metuek” (sikap sok merasa tua). Budaya egaliter tersebut mendapat bentuk semakin kuat ketika bertemu dengan “kultur arek” yang juga tidak begitu memperhatikan tingkatan sosial dalam pergaulan. Kultur arek tidak begitu memperhatika n kelas sosial dalam pergaulan sehingga bahasa yang digunakan juga bahasa biasa sehari-hari. Hal 45 ini berbeda dengan kebiasaan pada masyarakat daerah padi sawah yang sangat memperhatikan kelas sosial. Wilayah Surabaya dan Malang merupakan pusat perkembangan budaya arek. Hal tersebut sejalan yang sama ditemukan oleh Chenderroth (1995) pada masyarakat desa Batur di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dengan demikian terjadi pertemuan dua kultur yang saling mendukung yakni budaya pegunungan dan kultur arek. Apa implikasi sosiologis kultur demikian terhadap dinamika moda produksi di TR dari masa ke masa? Sing penting iso kumpul kancane (yang penting bisa berkumpul dengan temannya) mengandung makna bahwa seseorang dalam mengejar apapun termasuk harta tujuannya hanya untuk dapat berkumpul dengan temannya. Berkumpul di sini dalam arti kecil berarti dapat ikut menyumbang jika tetangga ada kesusahan, dapat membeli rokok untuk dirokok bersama saat berkumpul malam-malam dengan temantemannya. Dalam arti lebih luas berkumpul bermakna dapat setara atau lebih tinggi sedikit dengan rata-rata seluruh anggota masyarakat. Menjadi anggota komunitas yang berhasil dimaknai dapat dengan bebas berkumpul dengan anggota yang lain karena memiliki modal yang cukup. Tidak usah berlebih, yang penting dapat sama dengan yang lain atau lebih tinggi sedikit sudah cukup. Spirit demikian berimplikasi pada orientasi usaha yang dikembangkan oleh penduduk TR. Motivasi usaha tidaklah untuk akumulasi tanpa batas sebagaimana jiwa kapitalis calvinistik, tapi memiliki konteks sosial lokal. Sebuah keberhasilan materi akan dikejar oleh orang TR dengan jiwa kapitalis murni, dan jika telah mencapai puncak akan berhenti karena motivasi lokal. Kultur egaliter dan reproduksi kultur arek menjadi penghambat perkembangan kapitalis lokal. Tidak ada motivasi lebih tinggi daripada memperoleh pengakuan sebagai orang yang telah pernah kaya dan mampu menjadi lebih baik dari yang lain. Untuk selanjutnya mereka cenderung untuk mempertahankan saja statusnya dan tidak mengembangkan diri lebih besar. Setiap usaha yang dikembangkan setelah mencapai titik maksimal biasanya akan turun kemudian bangkrut. Beberapa tidak berkembang menjadi semakin besar pada usaha yang sama atau investasi lain, dan hanya sekedar mempertahankan ritme saja. Kecenderungan ini dapat dilihat pada beberapa juragan mulai tidak menanam sayur yang berpotensi untung besar. Mereka beralih pada apel yang berpotensi untung kecil namun aman dan tidak menguras tenaga. Jika orang telah dapat menunjukkan mampu memiliki harta yang lebih 46 dan dapat sejajar dengan yang lain, maka kepuasan telah terpenuhi. Pameo mereka “alah mas, aku kabeh wis ngrasane, sugih lan mlarat podo ae rasane” (aduh mas, saya semua sudah merasakan, kaya dan miskin sama saja rasanya). Dinamika Sosial Ekonomi Kegiatan ekonomi utama adalah pertanian komersil yang diusahakan rakyat terutama sayur, bunga dan apel yang menghidupi hampir 55% dari jumlah penduduknya. Sayur dan apel telah dijual ke seluruh wilayah Indonesia bahkan kesemek telah dieksport ke Singapura. Sayur diusahakan secara intensif, menggunakan teknologi modern, juga dikelola seperti perusahaan bagi petani kaya. Setiap hari kita akan melihat orang mencuci sayur di jalanan untuk dipak dan dikirim ke pasar. Selain sayur ekonomi utama desa yang lain adalah pabrik bunga dan jamur. Kedua usaha ini menyerap tenaga kerja hampir 25% angkatan kerja. Dua buah perkebunan jamur menyerap hampir 700 tenaga kerja kasar, sementara lima buah perusahaan bunga menyerap hampir 1500 tenaga kerja. Dari jumlah pemilih 8500 orang, yang berarti usia produktif, maka jumlah tersebut termasuk cukup besar. Selain bekerja di sayur dan pabrik, sekitar 10 % penduduk bekerja di sektor perdagangan, sementara lima persen di sektor pariwisata, dan sisanya lima persen merupakan pedagang, pegawai, atau usaha lainnya. Dengan demikian dominasi utama tetap pada produksi pertanian, disusul oleh perkebunan lalu perdagangan dan pariwisata. Kegiatan-kegiatan ekonomi utama di TR dikendalikan sepenuhnya oleh petani-petani kaya dan pemodal. Petani kaya mengendalikan produksi sayur dan apel sebagai tanaman utama karena kepemilikan lahan yang luas dan modal kuat. Sementara itu pabrik-pabrik bunga dan jamur sepenuhnya merupakan investasi pemodal dari luar daerah. Tani tanggung, srabutan, dan buruh tani sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada petani kaya dan pemilik modal. Kegiatan ekonomi di TR dapat dilihat disepanjang jalan utama yang memanjang mulai dari kota Batu hingga Pacet. Dusun-dusunnya terletak dikanan kiri jalan utama ini hingga berakhir di Sumber Brantas. Sebelum masuk ke TR akan melewati desa Punten, yang terkenal sebagai pusat wisata bunga. Kanan kiri jalan terpajang bunga beraneka warna, bahkan hingga masuk ke gang-gang kecil seluruhnya ditanami bunga. Setiap halaman penduduk dipenuhi bunga dan ditawarkan dengan harga mulai dari Rp. 500 hingga jutaan rupiah. Agrek, kaktus, 47 valentine, bonsai adalah daftar bunga yang mahal, selain bunga-bunga lainnya seperti mawar, bogenvil, dan paku-pakuan yang harganya tidak terlalu mahal 11. Di daerah perbatasan TR dengan punten terdapat sebuah pos mangkal truk untuk menunggu barang kiriman hasil bumi. Truk-truk itu biasanya truk dari Jakarta, Jogja, Bandung, Bali bahkan juga truk dari Kalimantan. Mereka mencari muatan dari wilayah TR berupa sayur dan apel setelah kirim barang tertentu ke Surabaya atau kota-kota lainnya di Jawa timur. Hal ini mereka lakukan agar truk tidak kosong saat kembali ke daerah asal, atau yang mereka kenal dengan istilah “balen”. Biasanya ongkos yang dikeluarkan oleh pemilik barang juga agak murah daripada langsung menyewa truk yang bukan balen12. Di kanan kiri jalan desa TR, terdapat villa-villa dan losmen-losmen, dan penginapan kecil yang disewakan untuk pada wisatawan. Harganya bervariasi mulai dari 25 ribu hingga 300 ribu permalam tergantung besar penginapan dan fasilitas yang disediakan. Biasanya penginapan yang menyewakan kamar saja banyak diisi oleh pasangan yang tidak membawa anak, atau yang datang sendiri. Losmen dan villa biasanya lebih banyak disewa oleh keluarga-keluarga karena mereka menyediakan tempat untuk anak-anak juga sarana masak dan bermain. Selain villa dan losmen di TR juga terdapat hotel kecil MN yang sekarang telah dibeli oleh pemilik hotel VT yang merupakan hotel paling besar di TR. Kabar yang beredar di masyarakat, hotel itu bangkrut saat krisis dan tidak mampu menggaji karyawanya karena pengunjung sepi. Karena itu hotel akhirnya dijual dan dibeli oleh pemilik hotel VT. Meski berganti pemilik hotel itu tetap pada kondisi semula baik arsitektur maupun nuansanya. Kata pekerja lama sebenarnya hotel telah memiliki langganan sendiri yang suka nuansa aslinya. Selain itu di kanan kiri jalan utama berjajar pedagang-pedagang buah dan oleh-oleh, serta bunga yang jumlahnya tak kurang dari 20 kios, hingga belok kearah taman wisata Selecta. Jalan ke arah Selecta tepat di depan Balai Desa dan jaraknya hanya 500 meter saja dari jalan utama. Selecta inilah yang menjadi pusat industri pariwisata terbesar di TR, bahkan menjadi ikon Batu secara nasional. Dalam kawasan sel ecta ini terdapat pasar buah dan bunga yang juga 11 Sebagai daerah wisata, TR tidak dapat dilepaskan dari wilayah di sekitarnya. Obyek wisata di sana menjadi satu paket dengan berbagai obyek wisata di sekitarnya, dan wisata bunga Punten merupakan daerah paling penting. 12 Balen adalah istilah bagi truk yang telah mengantar barang ke daerah tertentu dan ia mencari muatan yang arahnya menuju ke daerah asal truk. Asalkan sejalur maka barang akan diangkut dan ini disebut sebagai muatan balen. Karena statusnya yang bukan muatan pokok, maka balen ini biasanya tarifnya lebih murah daripada menyewa langsung. 48 menjadi outlet bagi petani apel dan sayur, meski jumlahnya tidak terlalu besar 13. Di sekitar selecta ini hampir seluruh lahan ditanami apel dan sedikit tanaman kesemek, dan jarang bahkan tidak ada tanaman sayur. Daerah ini masuk dalam dusun Gondang sebagai ibukota desa (krajan) dan Kekep yang merupakan daerah dibawah Selecta. Di sekitar kawasan selecta ini terdapat dua hotel berbintang tiga dan dua hotel biasa termasuk MN. Hotel -hotel ini dua diantaranya merupakan warisan Belanda yakni Gedung Perkasa dan dan hotel Bima Sakti 14, sementara dua hotel lain adalah bangunan baru. Penginapan demikian juga lahir saat pariwisata ramai-ramainya tahun 80-90-an, yang waktu itu sedang digalakan Visit Indonesian Years. Sejak krisis moneter pariwisata mulai meredup, termasuk juga pengunjung di Selecta sangat sedikit. Selain pusat wisata, kawasan selecta ini juga menjadi pusat pemerintahan dan pendidikan yang masuk dalam dusun Gondang. Lebih detail tentang letak dusun-dusun di TR dapat dilihat dalam lampiran I. Dusun yang berdekatan dengan Gondang adalah Gerdu yang terletak sebelah utaranya. Di kanan kiri dusun Gerdu, baik di tanah terbuka ataupun di pekarangan penduduk banyak ditanami apel. Bunga juga ditanam di pinggir jalan meski tidak banyak karena mereka kebanyakan menyetor tanamannya ke Punten. Di dusun Gerdu terdapat perkampungan baru yang berisi keluargakeluarga tidak bertanah (tumpang karang) yang menguasai tanah milik pengusaha Cina. Jumlah keluarga yang ada di sana tak kurang dari 75 rumah tangga yang tergabung dalam satu RT. Hingga saat ini tanah itu masih menjadi sengketa, namun karena telah diduduki warga lama pemerintah tidak berani mengambil tindakan. Keluarga itu berasal dari dusun-dusun sekitar yang kebanyakan dari daerah Junggo. Dusun Gerdu berbatasan dengan dusun Junggo di sebelah utara. Junggo adalah wilayah penting dalam produksi pertanian, karena terdapat juraganjuragan sayur, apel, dan sebagian besar petani maju tinggal di sini. Ada 6 juragan sayur dan dua juragan buah. Sayur dan apel dikirim hampir ke seluruh 13 Selecta awalnya merupakan taman pemandian bagi para Bule Belanda yang berlibur ke Batu, baik dari Surabaya ataupun dari kota Malang. Selecta sendiri ada sejak jaman colonial dan dikelola oleh pengusaha Belanda. Sejak kemerdekaan diambil alih oleh pemerintah dan akhirnya dijual pada PT. Selecta sebagai pengelola saat ini, yang sahamnya dimiliki oleh pemilik dan masyarakat. 14 Desa TR tahun 1946 pernah menjadi tempat pengendalian pemerintahan republic Indonesia dimana Presiden Sukarno bertempat di Hotel Bima Sakti, Wakil Presiden M. Hatta bertempat di gedung Mimosa sekarang menjadi balai desa, sementara para menteri bertempat di gedung perkasa sekarang menjadi hotel Selecta II. 49 Indonesia, sementara buah kesemek akhir-akhir ini permintaan dari Singapura cukup besar dan mereka mengekspor melalui Surabaya dengan menggunakan perusahaan rekanan. Kiriman sayur biasanya dikemas dalam keranjangkeranjang besar, sementara buah dalam dos-dos khusus dengan merk tertentu tergantung pedagangnya. Pengemasan dilakukan sejak buah import masuk dengan kemasan khusus, karena kemasan dulu hanya keranjang bambu sehingga penampilannya kurang bagus serta tidak tahan lama. Di dusun Junggo terdapat perumahan Bukit Cemara Emas yang dihuni para pensiunan pejabat di Jawa Timur. Rumahnya sekitar 25 rumah saja meski luasnya hampir sama dengan perkampungan baru di bawahnya. Tanah perumahan ini didapatkan dari pembelian tanah penduduk dan beberapa pemilik Cina dengan harga sangat murah. Kejadian pendudukan lahan oleh keluarga tidak mampu membuat orang-orang Cina takut dan cepat menjual tanahnya. Perumahan ini sekaligus batas antara Dusun Gerdu dan Junggo. Di Junggo juga terdapat terminal kecil angkutan kota dan mobil-mobil pick-up yang disewakan untuk mengangkut hasil pertanian. Mobil-mobil ini melayani pengangkutan berskala kecil yang biasanya langsung disewa petani ke pasar sekitar seperti Dinoyo, Batu, Gadang, dan pasar-pasar tradisional lainnya. Setiap hari berjajar sekitar 5-10 Pick-up menunggu penyewa. Kadang-kadang mobil ini juga disewa oleh petani untuk mengambil pupuk, dan jemputan buruh. Terminal ini pada tahun 50-70-an adalah pos bagi para buruh angkut dari atas. Di samping terminal kecil ini terdapat bekas perkebunan kina milik Tuan Anno Dangger, seorang Belanda yang meninggal tahun 1917. Perkebunan ini dibangun kira-kira bersamaan dengan pembangunan pemandian selecta. Selain perkebunan kina, kuda dan sapi juga dibudidayakan sementara tanaman apel juga ditanam meski hanya untuk tanaman hias. Perkebunan kina ini bertahan hingga jaman kemerdekaan, meski banyak yang rusak pada jaman Jepang. Perkebunan inilah bentuk introdusir cara produksi dan nilai-nilai produksi baru, selain pembukaan selecta. Saat ini wilayah kebun telah menjadi lokasi transmigrasi lokal dan sebagian telah dikuasai massa rakyat, sementara TNI-AU hanya memiliki kantor saja. Sebagian lahan perkebunan ini sekarang telah menjadi dusun Wonorejo, yang penduduknya sebagian besar para purnawirawan TNI-AU dan bekas pekerja perkebunan. Di Junggo juga ada perkampungan baru yang berisi keluarga-keluarga tak bertanah yakni Besta. Sekitar 50-an keluarga tidak mampu mendapatkan 50 lahan pembagian perhut ani yang ditukar guling dengan lahan di Malang Selatan. Sebelum resmi demikian, penduduk tidak bertanah itu telah mendirikan rumah di sana dan menduduki begitu saja sebagaimana lahan di dusun Gerdu yang di kuasai Cina. Karena konflik yang berkepanjangan, pemerintah akhirnya mengganti dengan tindakan tukar guling. Dusun terakhir terletak diujung sebelah utara desa, yakni Sumber Brantas. Meski masih satu desa, dusun Sumber Brantas dipisahkan dengan dusun-dusun lain oleh hamparan tanah pertanian yang tidak ada penduduknya sepanjang lebih dari enam kilometer. Tanah ini dulunya adalah bekas perkebunan Belanda yang sekarang telah dikuasai oleh penduduk. Bangunan yang ada hanyalah pabrik-pabrik bunga dan jamur, berjumlah tujuh buah, yang diusahakan dengan manajemen perusahaan. Bangunan pertama terbuat dari bambu berupa rumah-rumah kecil untuk budidaya jamur Sintakhe yang berdiri di lahan kira-kira seluas satu Ha. Pekerja jamur ini kira-kira 20-an orang yang hampir seluruhnya penduduk lokal. Di samping persis pabrik jamur ini ada pabrik bunga potong PT. Kharisma yang mempekerjakan kira-kira 200 orang tenaga kerja. Naik sedikit di samping jalan terdapat pabrik bunga baru yang lebih besar dari PT. Kharisma yakni PT. Inggu Laut. Pabrik ini juga diproyeksikan untuk membu didayakan bunga potong untuk tujuan eksport. Hingga saat ini pembangunan masih berjalan dan belum ada perekrutan tanaga kerja. Satu Km dari ketiga pabrik itu terdapat juga pabrik bunga besar yakni PT. Saka Tani dan pabrik bunga milik TNI-AL. PT. Sakatani menjelang krisis pernah diguncang demo besar-besaran oleh karyawan yang menuntut pembayaran gaji sesuai UMR dan pembayaran THR. Sebelumnya tak kurang dari 300 orang yang bekerja di sini mulai dari tenaga ahli hingga buruh kasar. Saat ini pabrik mulai jalan kembali sedikit-sedikit dan manajemen sangat selektif terhadap tenaga kerja. Mereka mengandalkan tenaga kerja kontrak dan borongan, sementara tenaga kerja kasar cukup mengambil tenaga harian. Pabrik bunga yang didirikan oleh TNI AL berdiri di atas tanah pembagian tahun 1984, dimana TNI-AL mendapat bagian selain masyarakat, Unibraw, dan Perhutani. Lahan ini secara resmi merupakan hak koperasi TNI-Al karena pembagian itu diberikan pada koperasi. Kebun bunga ini baru dibangun dan nampaknya bukan hanya bunga potong, namun juga bunga biasa untuk dijual 51 dalam negeri. Hingga laporan ini ditulis pembangunan kebun bunga ini belum selesai, bahkan terlihat ada pelebaran luas kebun. Kebun bunga TNI-AL ini berdampingan dengan kebun bunga milik CV. Arjuno Flora. Kebun ini tidak begitu besar dan menurut pemiliknya mereka memang mencoba kecil-kecilan saja. Namun demikian telah ada 20-an orang yang bekerja di kebun dan akan ada penambahan jika kebun baru ini selesai dibangun. Tanah di sana nampaknya baru saja dibeli, karena sebelumnya kebun ada di bawah dekat pabrik jamur Sinthake. Kawasan pabrik ini berbatasan langsung dengan dusun Sumberbrantas. Di daerah perbatasan seluruh lahan terbuka dan ditanami tanaman sayur hingga masuk ke dusun Sumber Brantas. Di tanah terbuka ini terdapat kampung baru yang menempati tanah Negara yang kosong. Lahan itu sebenarnya adalah lahan hutan lindung di pinggir sungai yang telah ditimbun oleh masyarakat sehingga datar. Tak kurang dari 10-an rumah tangga yang mendirikan rumah di sana, yang keseluruhannya sebelumnya tumpang karang. Portal jalan didirikan di ujung desa untuk menarik pajak bagi truk yang lewat. Pajak ini dikelola oleh dusun untuk perbaikan sarana dan prasarana desa. Di Sumber Brantas, pedagang sayur hanya sedikit, tapi petani sayur hampir seluruhnya berpusat di sini. Tanaman kentang saat ini telah naik hingga ke lereng gunung baik di lahan resmi maupun lahan jarahan. Desa ini dulunya adalah perkebunan teh yang dibuka tahun 1938 oleh pemerintah Belanda. Di desa ini ada satu Gereja, dua masjid dan beberapa mushola kecil. Sebelah utara desa terdapat Alborentum, atau semacam daerah resapan air yang penting artinya bagi pengairan desa. Lahan itu seluas 11,3 Ha yang menurut masyarakat dulu dibeli oleh pemerintah dengan harga murah. Beberapa penduduk ahli waris saat ini masih sering menanyakan hal itu meski tidak pernah ada tanggapan. Di Alborentum ini seharusnya perumahan penduduk habis, karena setelah itu adalah wilayah Taman Hutan Rakyat (TAHURA) R. Suryo. Kenyataannya lahan-lahan perbukit an telah menjadi lahan sayur dan perumahan penduduk, bahkan terdapat pabrik jamur yang mempekerjakan 600-an orang di ujung TAHURA. Pabrik ini memproduksi jamur merang untuk ekspor dan dimiliki oleh orang Korea yang bermitra dengan orang Indonesia. Setelah pabrik jamur terdapat pemandian air panas Cangar yang dikelola oleh PERHUTANI dan kebun percobaan Fakultas Pertanian Unibraw. 52 Pemukiman penduduk TR sebenarnya hanya memusat di sekitar jalan utama dan hanya dusun Kekep dan Wonorejo saja yang harus melalui jalan masuk. Di belakang jajaran rumah itulah tanaman apel dan sayur dibudidayakan. Sementara itu tanah terluas berada di blok Gabes yakni wilayah tak berpenduduk antara Junggo dan Sumber Brantas. Tanah ini dulunya bekas perkebunan kina dan dikuasai oleh TNI-AU, yang sekarang telah diolah rakyat. Dilihat dari banyaknya pabrik bunga dan jamur maka tidak heran apabila kegiatan pabrik memiliki peran yang sangat penting, di samping pertanian dan wisata. Tenaga kerja dan lahan diperlukan pabrik-pabrik ini untuk memperluas usahanya. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar pelaku ekonomi (juragan-pengusaha Cina-pabrik-wisata) untuk memperebutkan dua sumberdaya produksi tersebut. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL : PERPEKTIF HISTORIS Tinjauan historis bertujuan untuk memetakan tipe-tipe moda produksi yang hadir di TR dari masa ke masa, dinamikanya, serta formasi sosial yang terbangun. Bahasan dibagi dalam empat bagian yakni masa kolonial 1870-1945, awal kemerdekaan 1945-1950, dan Orde Lama 1950-1965, dan masa Orde Baru 1966-1997. Pembagian masa berdasar faktor dominan yang mempengaruhi cara produksi lokal sehingga terjadi perubahan-perubahan. Pertama, periode kolonial, adalah masa pembentukan formasi sosial kapitalis awal, ditandai masuknya cara produksi kapitalis kolonial melalui perkebunan sebagai artikulasinya. Kedua, awal kemerdekaan adalah masa-masa perginya penjajah Belanda dan Jepang hingga tahun 50-an. Masa ini ditandai dengan proses konsolidasi pemerintahan RI dan berbagai perang melawan agresi Belanda. Kondisi perang memporakporandakan seluruh bangunan ekonomi perkebunan, juga ekonomi rakyat. Masa-masa ini mencapai puncaknya saat nasionalisasi dilakukan pemerintah pada perkebunan-perkebunan asing. Kesempatan ekonomi yang dikuasai oleh perkebunan beralih setelah proses nasionalisasi. Penguasaan ekonomi berpindah dari pejajah ke penduduk Indonesia. Ketiga, adalah masa Orde Lama dimana krisis politik berkepanjangan mewarnai kehidupan desa. Permasalahan politik masuk dan menjadi wacana umum hingga di tingkat desa dan mencapai puncak pada tahun 1965 saat peristiwa PKI (partai Komunis Indonesia) meletus. Kejadian ini merombak seluruh tata ekonomi dan politik desa. Dengan demikian cara produksi dan formasi sosial banyak diwarnai oleh kondisi-kondisi politik tersebut. Keempat, masa orde baru yakni masa dimana pembangunan mulai dilaksanakan secara berencana melalui Pelita (pembangunan lima tahun). Revolusi hijau dalam paket modernisasi pertanian diterapkan di pedesaan untuk meningkatkan produksi pangan. Dikenalkan cara bercocok tanam modern dengan pemakaian pupuk buatan dan obat-obatan kimia. Seluruh kegiatan tersebut tentu saja berpengaruh terhadap corak cara produksi yang berkembang di daerah penelitian. 54 Moda Produksi dan Formasi Sosial Masa Kolonial (1870-1945) Moda produksi yang ada pada masa kolonial terdapat dua tipe yakni cara produksi pertanian tradisional dan cara produksi kapitalis kolonial. Yang pertama mencakup usahatani yang dikelola oleh penduduk lokal sebagai warisan budaya dan menjadi tradisi sejak lama, sementara kedua merupakan perkebunan kina dan teh yang dikembangkan oleh kaum swasta Belanda 14. Kedua corak moda produksi ini hadir secara bersamaan dalam sistem sosial desa dimana moda produksi kapitalis yang diartikulasikan perkebunan Belanda mendominasi. Tipe -tipe Moda Produksi yang Hadir pada Formasi Sosial Lokal Cara Produksi Pertanian Tradisional Cara produksi non-kapitalis yang terartikulasi dalam pertanian tradisional kekuatan produksi bertumpu pada penguasaan lahan pertanian dan tenaga kerja keluarga. Penguasaan alat tidak menjadi kekuatan utama karena seluruh petani memiliki alat yang sama. Tidak ada sistem upah, dan dikenal sistem gotong royong. Tenaga kerja keluarga mendorong penerapan menajemen terbuka dan bersifat informal, sehingga hubungan sosial produksi cenderung egaliter. Menurut MSN (84) rumah penduduk di TR sebelum Jepang datang masih beratap alang-alang dan berdinding gedek (anyaman bambu). Jagung dan pohong (ketela pohon) ditanam sekali setahun dan dijual apabila ingin membeli kebutuhan dapur. Makanan utama jagung dan pohong dan beras tidak ada. Tidak ada orang yang menjual seluruh hasil kebun seperti sekarang, karena hasilnya memang untuk dimakan. Pakaian cukup satu atau dua potong saja, tidak perlu satu lemari seperti sekarang. Orang jarang bekerja upahan kecuali para petani yang menumpang pada orang kaya atau buruh perkebunan. Perkampungan penduduk TR pada mulanya hanya gerombol-gerombol kecil keluarga dan mereka lebih mengutamakan produksi subsisten. Belanda tidak begitu peduli dengan kehidupan mereka, malah memanfaatkan menjadi tempat menginap atau singgah pada pekerja pabrik yang didatangkan dari daerah lain. Perkampungan menyuplai bahan pangan para pekerja dan tempat sosialisasi bagi para buruh upahan. Selanjutnya penduduk lokal banyak yang 14 Untuk mengkontruksi bagaimana moda produksi yang hadir pada masa ini didasarkan pada wawancara dengan orang-orang tua bekas buruh perkebunan dan digabungkan dengan kontruksi yang telah dilakukan peneliti lain di wilayah Malang. Hal ini mengingat cukup sulit untuk mengkontruksi dengan tepat moda produksi di desa TR secara pasti selama masa colonial. Untuk itu kajian atas penelitian lain diperlukan untuk lebih mendekati kenyataan. Peneliti tersebut antara lain Kano di Pagelaran distrik Gondanglegi (1990), Gordon et al., di Tulungrejo distrik Batu (1985), Cenderroth di Batur d istrik Tump ang (1995) 55 bekerja di perkebunan dan semakin mengukuhkan integrasi ekonomi lokal pada ekonomi kapitalis. Orientasi produksi masih untuk keperluan keluarga sendiri, dan meski ada pertukaran bukan untuk tujuan komersial. Petani menanam sesuai dengan kebutuhan, dan kalau ada sedikit kelebihan dipertukarkan dengan barang lain. Alat pertanian juga terbatas dan dibuat oleh sendiri meski untuk alat-alat tertentu perlu tukang. Alat ini biasanya dari besi yang harus dibuatkan oleh ahlinya. Jagung dan ketela sebagai tanaman utama, juga beberapa jenis polowijo, yang seluruhnya adalah tanaman pangan. Pakaianpun banyak disediakan oleh penduduk melalui “ngantih” (menenun kapas menjadi benang lalu kain) dan kebiasaan ini tetap hidup hingga jaman kemerdekaan, bahkan tahun 50-an masih ditemukan orang menenun kain. Bahan kapas mereka dapatkan dari pasuruan, atau Malang dan kadang ada pedagang Cina yang datang menjajakan kapas. Seorang petani juga memiliki tanggungjawab tertentu terkait dengan haknya dalam pengelolaan tanah. Kewajiban ini biasanya berupa kepatuhan pada otoritas lokal, juga kewajiban untuk mengorbankan sebagian hasil buminya untuk berbagai kebutuhan adat, juga berbagai biaya sosial lainnya. Sedekah Bumi di TR yang hingga kini diperingati setiap tahun, juga bersih desa adalah kewajiban massal yang harus ditanggung bersama. Sementara itu kekuatan produksi terutama a l han, bukan batasan bagi petani karena hutan masih u l as, dan siapa saja berhak untuk membukanya. Batasan bukan pada regulasi atau larangan, tapi lebih pada keterbatasan tenaga kerja. Sebenarnya TR masih masuk dalam kekuasaan Mataram. Karena jauh dari lingkar kekuasaan aturan ketat sebagaimana pedesaan lain yang dekat dengan istana tidak berlaku. Namun secara budaya penduduk desa tetap mengiblat pada kebiasaan dan kebudayaan dari Mataram. Aturan yang ketat tentang tanah sebagaimana di Jawa tengah kurang berlaku. Kurang ketatnya pengaturan penguasaan lahan dari kekuasaan lebih tinggi berakhir kira-kira sejak adanya kebijakan kolonial tentang administrasi desa. Dikaitkan dengan politik kolonial, yakni re-organisasi pemerintahan desa, penyatuan desa-desa kecil menjadi satu desa dan pengurangan hak “petinggi” berguna untuk mengontrol politik lokal. Hal itu untuk mengesahkan bahwa tanah hutan selain yang dikuasai petani adalah milik Negara. Catatan penyatuan dusun-dusun di kawasan TR menjadi satu desa di tahun 1916 dilakukan oleh 56 Belanda untuk menjamin keberadaan kebunnya secara politik sehingga penerapan administrasi desa menjadi penting. Relasi sosial produksi dibangun dalam unit keluarga dimana pemilik dan pelaku usaha menjadi kesatuan unit produksi. Meski keluarga adalah organisasi produksi utama, kerapkali orang luar masih diperlukan terutama kerabat. Unit produksi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial secara keseluruhan karena keduanya saling tergantung. Meski keluarga bebas memproduksi pada dasarnya seluruh produksi itu tidak hanya untuk keluarga tapi juga untuk sistem sosial. Cara Produksi Kapitalis Kolonial Cara produksi kapitalis yang diartikulasikan perkebunan teh dan kina, produksi berorientasi ekspor, dengan perusahaan sebagai unit produksi. Dibanding dengan petani, teknologi budidaya dan alat yang digunakan perkebunan lebih modern. Paling tidak telah diperkenalkan mesin angkut dan pengolahan kina. Tenaga kerja mengandalkan buruh upahan, sementara tanaman yang dibudidayakan bernilai ekonomi tinggi di pasar Eropa. Keuntungan menjadi tujuan utama usaha perkebunan. Dengan demikian hubungan sosial produksi lebih cenderung kearah hubungan herakhis. Kekuatan produksi perkebunan mengandalkan kemampuan modal uang untuk menggerakan produksi. Meski lahan didapatkan gratis, pembukaan, penanaman, pemeliharaan, juga biaya operasional lainnya memerlukan uang. Dukungan pendanaan yang kuat diperlukan untuk membuka perkebunan di TR. Kondisi TR yang berbukit dengan ketinggian hingga 1700 M Dpl, serta akses yang sulit memerlukan pembangunan infrastruktur. Modal uang digunakan untuk mengupah buruh, membeli alat, juga mesin-mesin pertanian. Menurut MHR (sekdes 1945-1966) pembukaan kebun teh di Sumberbrantas tahun 1938 banyak pekerja didatangkan dari luar daerah untuk mebuat jalan dan membukan hutan. Penduduk desa yang muda juga banyak terlibat. Jalan dibuat mulai dari Junggo hingga Sumberbrantas agar dapat dilalui Jeep. Pengerjaan jalan utama saja memerlukan waktu dua bulan belum lagi jalan-jalan kecil di tengah kebun. Artikulasi cara produksi kapitalis kedua adalah industri pariwisata pemandian Selecta. Kekuatan produksi utama modal yang digunakan untuk membangun kawasan wisata dan pendukungnya. Selecta termasuk taman pemandian besar. Ada dua hotel dan gedung pertemuan cukup besar untuk 57 ukuran daerah kecil. Namun demikian karena sifatnya pelengkap perkebunan, pengaruhnya pada formasi sosial belum terlihat. Perkembangan cara produksi kapitalis Belanda di TR tidak dapat dipisahkan dari skema kapitalisme kolonial secara nasional dan dunia. Malang, dimana Batu sebagai salah satu distrik utama, dan TR berada-menjadi tujuan investasi yang cukup menjanjikan secara ekonomis. Selain tanahnya yang subur, kondisi alam yang indah dan hampir menyerupai hawa di Eropa, TR menarik investor Belanda tidak hanya perkebunan tapi juga fasilitas wisata. Cara produksi kapitalis kolonial di TR diartikulasikan dalam industri perkebunan dan pariwisata. Selecta sebagai tempat wisata dan kebun kina adalah wujud artikulasi itu. Selecta terkenal sebagai tempat pemandian, taman wisata, serta tempat peristirahatan, sementara kina memiliki nilai ekonomis tinggi di pasar dunia. Meski jauh dari kota dan memiliki infrastruktur buruk, sementara daerahnya pegunungan, tak aneh jika Belanda mau membuka perkebunan dan tempat wisata di sana. Kebun Kina di TR mulai diusahakan pada abad 19 bersamaan dengan tanaman kopi dan karet hevea, dan coklat. Luas tanaman kina pada tahun 1922 menurut Landbouwatlas van Java en Madura, Weltevreden, 1926, Jilid 2 Hal 92 (dalam Hiroyosi Kano) adalah 507 Ha, khusus di afdeeling Malang. Jika dilihat dari tahun dan luas perkebunan, pekebunan Tuan Anno Danggerlah yang ada pada tahun itu dengan luas yang hampir sama dengan luas yang ada. Hal ini menunjukan jika TR adalah desa yang cukup penting bagi perkembangan industri kapitalis perkebunan kolonial (Kano, 1989:15). Pada aras makro perkembangan perkebunan swasta Belanda mulai pesat setelah tahun 1870. Meski demikian tidak berarti tahun sebelum itu mereka tidak memiliki peran. Bahkan produksi perkebunan swasta pernah menjadi saingan pemerintah meski kemudian menurun. Bahkan tahun 1960 perkebunan ini benar-benar menjadi pesaing utama perkebunan pemerintah. Hal ini tidak menutup kemungkinan perkebunan kina di TR menjadi salah satu yang berkembang di sana (Houben, dalam Lindblad 2000:97-98). Produk kina bukan merupakan konsumsi dalam negeri, dan menjadi bahan dasar untuk obat malaria. Dengan demikian pohon ini murni untuk ekspor dan menjadi produk penting bagi industri obat di Eropa. Selain itu daerah-daerah Hindia Belanda juga merupakan daerah rawan malaria dan kina menjadi penting untuk dikembangkan. Jadi pemilik kebun ini orientasi produksinya adalah 58 memenuhi industri obat di Eropa, dimana pabriknya tidak ada di Indonesia. Tabelt kina adalah obat malaria terkenal saat perang gerilya sampai tahun 60-an. Menurut KPN (79) seorang bekas pekerja perkebunan, bahwa perkebunan memiliki tak kurang dari empat gudang penyimpanan kina dan satu alat pemotong kulit kina. Gudang merupakan tempat penyimpanan kulit kina yang baru di petik, sementara pemotong digunakan untuk mengemas kulit sebelum dibawa ke luar. Pekerja dipimpin oleh seorang mandor dan membawahi beberapa ratus hektar lahan kina. Pekerjaannya mulai dari membersihkan lahan, memotong ranting, dan menguliti kina untuk dipanen. Selain buruh dan mandor, juga terdapat seorang Belanda yang mengecek kerja di lapang pada saat-saat tertentu untuk memeriksa para mandor. Mereka mencatat kondisi kebun juga memberi petunjuk pada mandor untuk mengerjakan hal-hal tertentu yang diperlukan untuk perbaikan kebun. Jumlah mereka cukup banyak sampai ada enam orang dan tinggal dalam rumah utama perkebunan bersama pemiliknya. Mereka itu menurut Kartodirdjo (1990) biasanya merupakan pekebun baru yang ingin mengembangkan usaha di Jawa, atau pemuda Belanda yang magang di daerah hindia Belanda. Pemilik kebun secara langsung juga menjadi manajer pabrik dan langsung mengendalikan organisasi produksi. Ini merupakan ciri dari perkebunan-perkebunan swasta Belanda dimana pemilik modal langsung mengomandoi jalanya perkebunan. Tuan Dangger yang meninggal tahun 1917 adalah pemilik kebun kina itu yang diteruskan kemudian oleh anak-anaknya, dan akhirnya diambil alih oleh Negara. Bagaimana dengan pariwisata? Industri pariwisata berkembang bersamaan dengan pembukaan perkebunan Belanda. Hal ini bisa dilacak dari pendirian Selecta dan gedung-gedung peristirahatan yang diperuntukan bagi para pekebun Belanda. Sejak awal Selecta telah dikelola layaknya sebuah perusahaan karena bentuknya berupa badan usaha swasta Belanda. Namun demikian pada masa kolonial, industri pariwisata ini tidak memiliki kaitan secara ekonomi dengan komunitas sekitar. Selain karena pendiriannya yang cukup jauh dari perkampungan penduduk, Belanda sangat tegas memisahkan antara aktifitas perusahaan dengan aktifitas penduduk15. 15 Telah menjadi kebiasaan dalam perusahaan Belanda melarang penduduk pribumi mengakses, bahkan masuk ke wilayah usaha saja merupakan pelanggaran. Hal ini juga terjadi dalam pemandian Selecta dimana penduduk tidak boleh mengakses meski itu orang orang terkemuka di 59 Paket wisata di TR sebenarnya menjadi satu dengan daerah wisata lainnya di Batu, seperti pemandian air panas Songgoriti dan berbagai tempat wisata lainnya. Banyak orang Belanda dari Malang, Dampit, juga Surabaya yang datang untuk menikmati liburan di Batu dan tentunya juga Selecta. Mengenai aspek kedua moda produksi tersebut diatas (kapitalis kolonial dan pertanian tradisional) diuraikan dalam tabel berikut: Tabel 5. 1 : Aspek moda produksi kapitalis kolonial dan pertanian tradisonal masa kolonial Kapitalis kolonial Pertanian tradisional Aspek cara produksi (Perkebunan kina & teh) (pertanian rakyat) A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Modal 2 Unit produksi Keluarga inti Perusahaan 3 Tenaga kerja utama Keluarga inti Buruh upahan B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi Keluarga inti Perusahaan 2 Struktur hubungan produksi Egaliter (antar keluarga inti) Herarkhis (majikan dan buruh kebun) 3 Sifat hubungan produksi Non-eksploitatif Eksploitatif Perubahan Moda Produksi Lokal: Perombakan Moda Produksi Pertanian Tradisional Seluruh kegiatan perkebunan di TR dan daerah lain pada umumnya selalu berusaha mengarahkan potensi sosial dan fisik desa untuk mendukung perkebunan. Tak heran jika cara produksi lokal terpaksa harus berubah dan menyesuaikan dengan ritme perkebunan, jika tidak ingin mati sama sekali. Paling tidak ada enam kegiatan utama dalam menjalankan usahanya. Kegiatan tersebut antara lain (1) melakukan alih fungsi lahan hutan, (2) Melakukan perekutan buruh baik penduduk lokal maupun yang didatangkan dari luar, (3) mengenalkan teknik produksi baru yang modern dan berbeda dengan teknik pertanian lokal, (4) melakukan kontrol politik untuk memastikan keberlangsungan perkebunan, (5) memperkenalkan kepemilikan pribadi, (6) membatasi akses petani terhadap teknologi modern terutama terkait dengan teknologi produksi perkebunan. MSN (84) mengungkapkan kalau pada masa sebelum Jepang lahan petani hanya tanah-tanah yang tidak masuk dalam areal perkebunan. tanah itu biasanya warisan dari orang tua mereka, dan kalaupun ada tanah lain mereka membuka hutan dan bukan menjadi hak milik. Banyak petani mengerjakan tanah daerah itu. Pemandian di khususkan bagi orang-orang Belanda yang memiliki kelas lebih tinggi daripada penduduk pribumi. 60 perkebunan yang tidak terurus. Saat itu sudah mulai ada orang menjual tanah meski sangat murah. Buruh juga banyak yang membuat rumah di TR apalagi dengan pembukaan kebun baru (Teh) di Sumberbrantas pada tahun 1938. Pembukaan kebun itu digambarkan oleh KPN (79) sebagai “usum kerjo” atau iklim kerja. Kondisi itu menggambarkan ramainya pekerjaan karena banyak rekutmen buruh terutama untuk pembukaan kebun teh. Pekerja datang dari luar daerah hingga beratus-ratus sehingga meramaikan desa. Warung menjadi ramai, muncul pedagang, dan anak-anak muda bekerja karena upah cukup baik menurut ukuran saat itu. Alih fungsi lahan hutan membatasi akses petani terhadap lahan sehingga lahan semakin langka. Perekutan buruh dengan sendirinya meningkatkan arus uang ke desa sehingga mendorong ekonomi uang. Sementara itu teknik baru memberi pelajaran bagi petani tentang cara produksi modern, meski dalam kasus ini tidak begitu berpengaruh pada teknik produksi petani. Kontrol politik jelas mempengaruhi pengaturan atas lahan dan pemerintahan lokal. Sedangkan kepemilikan pribadi akan meningkatkan jual beli dan sewa menyewa tanah. Di sisi lain pembatasan akses teknologi menghambat perkembangan pertanian hingga tetap pada kondisi sebelumnya dan menjadi pelayan perkebunan. Hubungan produksi dengan masuknya buruh terkait batas hubungan sosial produksi meluas menjadi organisasi produksi. Struktur hubungan mulai herarkhis dan sifat hubungan mulai eksploitatif. Buruh diupah dengan uang dan produksi berorientasi pada pengambilan keuntungan. Meski demikian produksi ini pada dasarnya tidak untuk akumulasi sebagaimana jiwa kapitalis tapi lebih untuk mendapat pengakuan sosial secara lokal. Perubahan aspek-aspek cara produksi pertanian pada masa kolonial secara sederhana dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5.2 : Perubahan aspek cara produksi subsistensi di TR setelah masuknya cara produksi kapitalis pada masa kolonial Aspek cara produksi Masa kolonial Pert. semi-komersial Pert. Tradisional A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Tanah 2 Unit produksi Keluarga inti Keluarga inti 3 Tenaga kerja utama Keluarga luas (kerabat) Keluarga inti B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi Organisasi produksi Keluarga inti 2 Struktur hubungan produksi Mulai herarkhis Egaliter 3 Sifat hubungan produksi Mulai eksploitatif Tidak eksploitatif 61 Dengan adanya perubahan pada aspek-aspek moda produksi tersebut, secara otomatis merubah seluruh norma masyarakat terkait dengan proses produksi. Sumber tenaga utama tidak lagi mengandalkan keluarga inti, menambah jangkauan pengaruh produksi. Produksi tidak lagi hanya melibatkan anggota keluarga inti, tapi sudah orang lain (meski kerabat) sehingga pertukaran yang terbangun juga akan berubah. Demikian juga batas produksi yang meluas, hubungan yang herarkhis dan sifatnya yang mulai eksploitatif. MSN (84) menggambarkan jika waktu itu dengan dibukanya perkebunan Teh banyak berdiri warung, penduduk kaya mulai mengupah tenaga, juga banyak pedagang masuk ke desa. Tanah semakin sulit didapatkan dan mulai ada jual beli lahan yang sebelumnya tidak ada. Terkait pemerintahan desa menurut MSN tidak ada pengaruh sama sekali dan hanya menjadi pembuka acara saat panen raya saja. Petani tradisional tidak berubah dan tetap menanam sekali setahun dan tidak menjual hasil panennya. Dari uraian MSN perubahan dalam sistem sosial akibat masuknya perkebunan dapat ditangkap ada empat perubahan yakni: Pertama, terkait kelembagaan produksi ditandai dengan munculnya kelembagaan jual dan beli dalam usaha pertanian. Hal itu terjadi karena kepemilikan pribadi mulai diperkenalkan sementara lahan bebas yang dapat dibuka untuk pertanian semakin langka. Pembukaan lahan hutan semakin mengurangi tanah yang dapat diakses petani lokal. Lahan yang dulunya tidak menjadi kekuatan produksi utama semakin penting peranannya menggeser peran sentral tenaga kerja keluarga. Selain itu orientasi produksi juga bergeser dari subsistensi menjadi lebih terbuka pada pasar. Produksi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga untuk memenuhi permintaan pasar terutama untuk keperluan buruh. Selain itu dalam kelembagaan produksi juga mulai terlibat buruh upahan mengikuti apa yang dilakukan perkebunan. Meski demikian unit produksi tetap keluarga meski telah mulai berubah menjadi lebih komersial. Kedua, terkait bentuk pertukaran mulai menggunakan mekanisme pasar dan tidak lagi mengandalkan ikatan kerabat. Hal itu terjadi akibat peningkatan aktifitas ekonomi yang disebabkan oleh peredaran uang dan besarnya permintaan pangan, baik karena perkembangan penduduk asli maupun kedatangan para buruh dari luar daerah. Dengan demikian basis pertukaran yang dulunya bersifat primordial dalam ikatan kerabat menjadi kontraktual dan berlaku tawar-menawar antar individu. Selain itu produksi tidak hanya untuk keluarga tapi 62 juga pasar. Barang-barang lain juga mulai masuk untuk memenuhi kebutuhan para buruh, yang dibawa pedagang seiring dengan masuknya ekonomi uang. Ketiga, terkait dengan relasi sosial produksi, hubungan buruh dan majikan bersifat herarkhis. Kelangkaan tenaga kerja pertanian lokal karena diserap perkebunan, mendorong petani untuk merekut buruh tani. Mereka yang dulunya tenaga kerja utama pertanian berubah menjadi buruh upahan. Jejaring produksi yang bertumpu pada unit keluarga berubah dengan melibatkan pasar, dan perkebunan. Usaha mandiri pertanian terpaksa harus membuka diri agar mendapatkan tenaga yang tidak mungkin bertumpu pada keluarga lagi. Produksi ditentukan oleh permintaan pasar dan besarnya konsumsi keluarga. Hal itu sangat dipengaruhi oleh kebijakan perkebunan terutama terkait tenaga kerja. Keempat, terkait relasi kekuasaan terjadi pergeseran dari elit mandiri menjadi elit dalam kontrol perkebunan. Gejala Terjadi perubahan relasi kekuasaan akibat penerapan sistem politik kolonial yang menghilangkan fungsi desa asli. Kepemimpinan tidak lagi ditentukan oleh kepemimpinan yang dikendalikan oleh rakyat, tapi merupakan perkebunan. Pemimpin bukan representasi rakyat yang memperjuangkan hak mereka, tapi hanya petugas pencatat saja. Namun demikian pemimpin menjadi apparatus yang efektif untuk menyosialisasikan seluruh kepentingan perkebunan. Formasi Sosial Kapitalis Kolonial dan Keberlangsungan Moda produksi Lokal Dalam teori formasi sosial kehadiran dua atau lebih cara produksi secara bersamaan bersifat asimetris atau satu akan cenderung mendominasi yang lain. Dalam kasus TR berdasar pada uraian di atas, siapa yang mendominasi? perkebunan ataukah pertanian tradisional? Agar terlihat secara lebih rinci, perlu ditelusuri hubungan kedua cara produksi itu secara lebih dalam, hingga terlihat konstelasinya. Produksi lokal sejak perkebunan masuk, praktis menjadi penyedia pangan bagi buruh. Masuknya buruh besar-besaran dari luar daerah yang didatangkan Belanda memerlukan sokongan pangan. Peran pertanian tradisional sangat vital dalam menyediakan pangan bagi buruh perkebunan. Terjadilah peningkatan produksi di desa. Seiring dengan itu terjadi pula peningkatan arus uang karena munculnya buruh upahan dan perdagangan. Keduanya berdampak pada peningkatan komersialisasi di pedesaan. Tidak hanya pangan, tenaga kerja pertanian tradisional juga diserap oleh perkebunan. Cara produksi lokal terpaksa melakukan perombakan sistem 63 produksi untuk mengantisipasi kekurangan pekerja. Batas sosial produksi yang dulunya hanya keluarga inti terpaksa meluas dengan masuknya buruh upahan. Karena sebagian besar hasil untuk kebutuhan pangan perkebunan, meski konsumsi keluarga tetap, perombakan ini mendorong peningkatan produksi. Ujungnya tetap untuk menjamin ketersediaan pangan bagi buruh-buruh perkebunan. Jika demikian reproduksi sistem kapitalis ditopang sepenuhnya oleh keberadaan pertanian tradisional. Dengan bertambahnya kebutuhan pangan maka produksi lokal juga mengalami peningkatan. Tahun 1938 menurut KPN (79) hanya ada beberapa orang saja yang menjual hasil buminya ke pasar yakni petani kaya bertanah luas dan mampu untuk mengupah buruh. Petani kebanyakan berproduksi apa adanya dan hanya untuk keperluan keluarga saja. Jika demikian adanya maka peningkatan permintaan pangan ternyata hanya dapat ditangkap oleh para elit desa terutama para petani kaya. Petani-petani kaya itu adalah pak Lurah dan beberapa tokoh desa, yang kebanyakan dari daerah Bawah (Junggo dan Gondang). Masuknya cara produksi kapitalis kolonial yang diartikulasikan pada perkebunan Kina dan Teh di TR secara perlahan mengintegrasikan seluruh ekonomi desa pada aktifitas perkebunan. Produksi lokal yang sebelumnya hanya untuk keluarga dipaksa untuk dapat memenuhi kebutuhan buruh. Selain itu tenaga kerja yang dulunya hanya untuk pertanian keluarga terseret menjadi buruh upahan. Aturan-aturan tentang penguasaan alat produksi dan hubungan produksi berubah mengikuti cara perkebunan. Masuknya ekonomi uang mempercepat proses integrasi tersebut. Integrasi ekonomi desa direspon berbeda oleh struktur sosial lokal. Para petani kaya yang terdiri dari elit desa yang biasanya sekaligus pemimpin desa menangkap peluang itu dengan jalan meningkatkan produksi dan merekut buruh untuk pertaniannya. Mereka meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan buruh yang bekerja di perkebunan. Namun demikian peningkatan produksi ini tidak untuk akumulasi gaya cara produksi kapitalis, tapi hanya untuk mengukuhkan status sosial lokal. Untuk petani kebanyakan, masuknya cara produksi baru tidak berpengaruh banyak terhadap cara produksinya. Meski ada tenaga kerja yang tertarik pada perkebunan, mereka cenderung tidak merubah sistem produksinya. Hal itu setidaknya masih dapat dilihat di akhir-akhir penjajahan dimana masih banyak penduduk lokal yang tidak melakukan produksi untuk dijual ke pasar. 64 Pemukiman-pemukiman di pinggiran desa pada tahun 1940-an masih memakai daun kelapa dan membudidayakan tanaman sesuai dengan kebutuhan keluarga dan tidak komersial. Respon kedua kelas sosial di desa TR dalam mengartikulasikan cara produksi masing-masing terlihat ada perubahan mendasar pada cara produksi lokal. Petani kaya cenderung terpengaruh dan mengikuti pola produksi kapitalis kolonial dengan jalan meningkatkan produksinya. Namun demikian mereka tidak merubah orientasi produksinya ke arah kapitalis sebagaimana perkebunan dan hanya untuk mengukuhkan statu sosial lokal saja. Sementara itu petani kebanyakan ternyata masih mempertahankan cara lama dalam usaha taninya. Jadi cara produksi lokal pada dasarnya selama penjajahan tidak ada perubahan yang berarti setelah masuknya cara produksi kolonial. Cara lama tetap dipertahankan dan tumbuh hanya sekedar untuk mengamankan perkebunan saja. Pertanian lokal hanya menjadi sumber pangan dan tenaga kerja yang murah bagi perkebunan sehingga pertumbuhannya terbatas. Elit lokal yang seharunya menjadi sumber perubahan ternyata hanya meningkatkan produksi yang hanya berorientasi pada sistem sosial lokal. Terkait dengan ketidakmampuan petani kaya untuk menjadi kapitalis murni di masa kolonial ini tak lepas dari kebijakan politik Belanda. Menurut MHR (sekdes 1946-1966) orang-orang kaya yang biasanya juga pamong desa mendapat prioritas dari perkebunan. Mereka mendapat uang cuma-cuma dan berbagai hadiah saat hari besar agama. Selain itu mereka dilibatkan aktif dalam mengatur keberadaan buruh dan menjadi pembicara saat-saat panen atau perayaan-perayaan yang dibiayai oleh perkebunan. Dengan peran demikian maka dapat dimaklumi jika kesempatan ekonomi bagi elit ini tidak mampu merubah orientasi ekonomi mereka sehingga tetap menjadi elit politik sekaligus elit ekonomi lokal yang dikendalikan oleh perkebunan. Perlu untuk dicatat bahwa sub-ordinasi cara produksi pertanian tradisional hanya terjadi saat perkebunan dan pariwisata masih memiliki pengaruh. Masamasa itu berakhir setelah Jepang datang dan merubah seluruh tata produksi desa, sehingga merusak berbagai pranata yang ada sebelumnya. Dengan adanya revolusi kemerdekaan perubahan semakin nyata dengan keluarnya seluruh pengusaha perkebunan karena proses nasionalisasi. Cara produksi perkebunan praktis tidak mampu bangkit dan terjadi dis-kontinuitas. Sehingga perkembangan cara produksi kapitalis berikutnya akan ditentukan oleh sifat-sifat aktor yang membawanya, juga oleh perkembangan internal sistem sosial. 65 Moda Produksi dan Formasi Sosial Awal Kemerdekaan (1945-1950) Pada masa ini moda produksi yang hadir pada masa sebelumnya kembali mengalami perubahan mendasar karena adanya gejolak politik nasional. Revolusi nasional merombak seluruh sistem ekonomi lokal karena perkebunan terhenti kegiatannya. Di awali penjajahan Jepang hingga berdiri pemerintahan baru, sub-bab berikut menjelaskan peristiwa-peristiwa itu serta dinamika moda produksi dengan lebih rinci. Faktor-faktor Pendorong Perubahan Kedatangan Penjajah Jepang Perginya pengusaha perkebunan Belanda setelah pasukan Jepang menang perang, mendorong para buruh mengusahakan lahan pertanian sebagaimana para petani tradisional. Selain itu petani memiliki akses lahan lebih luas karena perginya pengelola perkebunan. Namun demikian, pasukan Jepang memaksa penanaman seluruh lahan perkebunan untuk kebutuhan perang terutama pangan dan jarak. Pohon kina dibiarkan saja malah dikelola untuk kebutuhan para tentara perangnya. Hingga tahun 1950-an pohon kina masih diusahakan perkebunan meski tidak maksimal. Penjajah Jepang tidak lama berkuasa, namun terjadi kerusakan tatanan lokal dan sendi-sendi ekonominya. Dengan paksaan senjata mereka membangun pemerintahan desa dan memobilisasi seluruh sumberdaya desa untuk keperluan perang. Menurut BJO (76), tentara Jepang tidak hanya menyuruh menanam jarak tapi juga banyak kerja wajib yang dikoordinasi kepala desa. Anak-anak diajari Taisho (senam pagi/baris berbaris) dan menghormat (Teno Heika) Kaisar Jepang dengan bungkuk pagi hari di lapangan desa menghadap matahari. Pak KPN (79) mengatakan bahwa produksi pertanian saat itu buruk dan kelaparan dimana-mana. Pakaian tidak lagi dari kain tapi digantikan dengan celana kolor dari Bagor (Semacam sak pupuk) yang terbuat dari plastik. Banyak kutu celana dan makanan tidak lagi beras, ketela, atau jagung tapi Burgur (ampas jagung). Desa serasa mati, ekonomi tidak berkembang malah mengalami penurunan. Barang mahal dan langka karena tidak ada penjual yang masuk selain memang tidak ada barang. Kondisi buruk ini berakhir setelah Jepang kalah perang pada tahun 1945 dan meninggalkan Indonesia. 66 Revolusi Nasional dan Rencana Ekonominya Dengan tiba-tiba tahun 1945 Jepang pergi di TR begitu saja. Tidak ada penyerahan kekuasaan apapun termasuk pengelolaan lahan perkebunan. Petani akhirnya melanjutkan produksi sebagaimana sebelumnya dan menggantikan tanaman jarak dengan jagung dan ketela. Mereka mengusahakan lahan sesuai dengan kekuatan anggota keluarganya. Kondisi itu berubah dan aturan tentang pengelolaan lahan perkebunan mulai jelas saat presiden Soekarno mengintruksikan seluruh rakyat Indonesia untuk kembali membangun ekonomi nasional. Perintah itu juga diucapkan di TR saat presiden mengungsi bersama wakil presiden dan para menterinya16. Presiden Soekarno memerintahkan kepada rakyat untuk tidak sedikitpun mengosongkan lahan yang ada, baik itu milik pribadi maupun bekas perkebunan. Semuanya harus berproduksi untuk menyokong ekonomi nasional yang telah hancur. Secara nasional hal itu dikenal dengan “rencana Kasimo” dan ujung tombaknya adalah sektor pertanian. Di TR pidato presiden Soekarno dari Hotel Selecta (ada di kawasan wisata Selecta) menjadi pemacu mereka untuk mengusahakan lahan-lahan bekas perkebunan di samping lahan pribadi. Hal itu juga memberi kesempatan bagi para bekas buruh untuk melakukan hal sama. Belanda kembali lagi tahun 1948 dan langsung melakukan konsolidasi dengan mengangkat kepala desa baru. Namun sayang kepala desa itu harus mati dibunuh oleh rakyat, dan terpaksa dilakukan pilihan ulang. Baliknya Belanda juga sangat singkat-selain factor keamanan, kondisi politik yang tidak menentu mendorong swasta Belanda untuk merelakan asetnya hilang begitu saja. Tahun 50-an dengan kepergian Belanda penguasa perkebunan kembali kosong dan negaralah yang mengambil alih. Beberapa daerah di Indonesia tanah-tanah itu dikelolakan pada PTPN yang dulu PPN, namun untuk perkebunan di TR rupanya lebih dipercayakan pada AURI. Menurut perencanaan katanya untuk lapangan terbang dan fasilitas militer lainnya. AURI ini selanjutnya mencoba menghidupkan kembali perkebunan dengan membuka peternakan dan mengusahakan kembali kina di sana. Jadi, hingga tahun 1950 perkebunan praktis tidak beroperasi dengan baik bahkan berhenti total, sehingga kegiatan ekonomi utama di TR hanyalah pertanian rakyat saja. 16 Presiden Soekarno pernah menginap di TR sewaktu dikejar-kejar oleh Belanda bersama Mohamad Hatta dan para menterinya serta mengendalikan pemerintahan dari sana. Saat itu Sokarno berpidato bahwa rakyat tidak boleh tinggal diam dan harus bergerak membangun ekonomi dengan menanami seluruh tanah yang kososng termasuk bekas perkebunan. 67 Peran Pengusaha Pertanian Cina Percepatan komersialisi cara produksi tradisional terjadi saat Cina mulai mengenalkan tanaman kentang di daerah itu. Salah satu pengusaha Cina yang masih hidup hingga saat ini adalah PNO (71) , ALG (87). Mereka merekut orang dari luar daerah untuk menjadi buruh terutama untuk daerah-daerah yang masih sepi seperti Sumberbrantas, sementara untuk daerah Junggo dan sekitarnya Cina juga merekut penduduk lokal. Introdusir cara produksi komersil terjadi, juga jenis tanamannya dan penduduk dapat belajar dan mencoba sekaligus. Hal ini berbeda dengan masuknya perkebunan kina dimana penduduk tidak mungkin meniru karena pasarnya yang tidak mereka ketahui dan memang terbatas. Petani kebanyakan menikmati berkah kentang dengan cara “ngasak” atau mencari sisa-sisa panen kentang yang tidak terbawa saat panen. Mereka pada awalnya sulit untuk mendapatkan bibit karena pengusaha Cina membawa langsung dari luar negeri, dan petani belum dapat membiakkan. Setelah tanaman mulai banyak dan Cina ternyata juga membiakan sendiri bibitnya di TR petani mulai tahu cara pembiakan bibit. Jadi pertanian kentang dibawa langsung oleh pengusaha Cina saat perkebunan Teh dan Kina mulai rusak di tahun 50-an. Selain mengenalkan tanaman komersil yang sangat dekat dengan pasar luar, pengusaha Cina juga mengenalkan cara produksi komersil. Upah dan sewa lahan yang sebelumnya kurang lazim semakin banyak orang yang melakukan. Buruh-buruh yang telah mandiri dan berkeluarga dengan penduduk asli adalah pelopor pengupahan dan sewa menyewa tanah. Kekuatan produksi didapatkan tidak lagi hanya melalui pewarisan atau pembelian dan pembukaan lahan-lahan baru tapi melalui penyewaan. Menurut sumber informasi penelitian ini, di tahun 50-60-an belum ditemui sistem gadai. Relasi sosial produksi yang dibangun pengusaha Cina pada dasarnya menggunakan cara-cara produksi kapitalis murni. Ia memposisikan sebagai juragan sementara para buruh adalah pekerja upahan yang ia gaji sesuai dengan pasar tenaga kerja. Juga dikenal sistem mandor sebagai pengawas produksi yang biasanya orang kepercayaan juragan. Jam kerja menjadi ukuran utama, dan pengawasan ketat terhadap target produksi, bahkan untuk kerja-kerja tertentu telah ada sistem insentif seperti lembur dan bonus. Lembur terutama dikenakan untuk kerja panen dan tanam yang harus dilakukan serentak. Bonus 68 diberikan pada buruh “mbangkat” yang membawa barang dari kebun hingga ke pasar, paling tidak ke tempat dimana kendaraan dapat menjangkau 17. Tenaga kerja terdiri dari dua golongan yakni orang dalam yang tidak punya tanah dan orang luar “boro kerjo” yang datang dari berbagai daerah seperti Ponorogo, Blitar, Pujon, Kediri dan daerah Malang Selatan. Pekerja ini tinggal di bedeng-bedeng, dan banyak yang menginap di rumah penduduk. Para Boro pulang ke kampungnya hanya saat-saat tertentu biasanya hari raya, bahkan banyak diantaranya tidak pulang selama bertahun-tahun. Jika pulang ia akan membawa teman-temannya atau saudara untuk bekerja bersama. Dengan semakin besarnya kebutuhan kentang kebutuhan tenaga kerja saat itu besar dan berapapun yang dibawa boro lama akan tertampung. Dari tahun ke tahun perkembangan pertanian komersil ini semakin meningkat dan lahan bekas perkebunan semakin berkurang. Pembukaan dilakukan besar-besaran secara terus menerus dan etnik Cina juga semakin banyak yang terjun ke pertanian. Tenaga kerja juga semakin banyak didatangkan hingga terkenal daerah TR adalah tempat boro yang paling menjanjikan. Jangankan mau bekerja, menjadi pemungut sisa panen saja akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu terkenalnya wilayah ini sebagai pusat pertanian, mendatangkan banyak imigrant masuk untuk bekerja juga berdagang. Lama kelamaan pedagang juga masuk dan membeli hasil pertanian kentang. Selain itu jagung juga mulai menjadi komersil meski keuntungan tidak sebesar kentang. Pedagang datang secara berkala dan hanya satu dua orang saja. Itupun yang dibeli adalah kentang sisa panen tertinggal yang dikumpulkan petani. Kentang bukan makanan utama sehingga jarang penduduk yang suka memakannya hingga saat ini. Meski mereka hanya mengambil sisa, tujuannya bukan untuk konsumsi tapi untuk dijual. Tipe -tipe Moda Produksi yang Hadir pada Formasi Sosial Lokal Kapitalis Pertanian Moda produksi kapitalis pertanian di TR pada awal kemerdekaan, diartikulasikan pada usahatani pengusaha Cina. Alat produksi utama modal, unit produksi organisasi produksi, tenaga kerja utama buruh upahan. Modal bagi 17 Mbangkat adalah istilah bagi para kuli angkut yang membawa hasil panen juga sarana produksi dari tempat pemberhentian kendaraan bermotor terakhir juga pasar. Mereka biasanya membawa pikulan dengan dua keranjang yang mebawa barang hingga 1 kwintal. Mbangkat paling berat adalah medan ke Sumberbrantas yang jauhnya mencapai 6 kilometer dengan jalan yang bergunung. Jalur untuk mbangkat ini sekarang menjadi jalur tiang listrik karena rutenya yang lurus dan paling pendek. 69 pengusaha Cina digunakan untuk mendapatkan sewa tanah dan biaya operasional usahataninya. Tanah didapatkan melalui pejabat lokal dan tentara, terutama pada tanah-tanah bekas perkebunan. Pada saat itu tanah pertanian umum belum menjadi sasaran pengusaha Cina karena ketersediaan lahan perkebunan masih luas. Bahkan Cina hanya mengambil tanah-tanah yang paling subur di daerah yang mudah terjangkau. Sementara itu hubungan sosial produksi terbatas pada organisasi produksi. Struktur hubungan sosial produksi herarkhis, dan sifat hubungan produksi eksploitatif. Pengusaha Cina menjalankan usahanya sangat terpisah dengan keluarga dan menggunakan organisasi yang cukup rumit. Mandor dan pengawas lapang diangkat untuk mendatangkan dan menggerakkan buruh yang jumlahnya dapat ratusan. Ada tingkatan-tingkatan yang memperlihatkan struktur herarkhis sehingga kecenderungan sifat hubungan produksi eksploitatif. Beberapa pengusaha Cina hingga saat ini masih hidup sekitar tujuh orang yang usaha taninya diteruskan oleh anak-anaknya. Pertanian Semi-komersil Usahatani rakyat pada masa ini alat produksi masih bertumpu pada tanah, unit produksi keluarga inti, dan tenaga kerja utama dari keluarga luas dan buruh upahan. Tanah mereka dapatkan dari warisan orang tua mereka sebelum perkebunan berdiri. Tanah sudah menggunakan hak milik pribadi semenjak pemberlakuan tanah milik di Jawa tahun 1870-an. Tanah-tanah itu menyebar di sekitar perkebunan pada perkampungan-perkampungan yang tidak besar. Produksi dikerjakan masih oleh keluarga inti meski petani-petani kaya banyak yang mempekerjakan buruh upahan sebagaimana pengusaha Cina. Usaha mereka tidak kemudian meluas menjadi usaha bersifat massal sebagaimana usaha etnik Cina, dan hanya kecil saja sesuai dengan kepemilikan lahannya. Hubungan produksi. Batas sosial hubungan adalah organisasi produksi yang melibatkan petani sendiri, buruh, juga keluarga luas yang bekerja padanya. Dengan adanya buruh upahan, struktur hubungan produksi herarkhis antara pemilik dan pekerja, meski masih ada kerabat yang mungkin tidak menjadi buruh upahan. Kerabat ini membantu biasanya akan dibalas dengan bantuan serupa oleh petani pemilik dan kalaupun diupah dibayar dengan natura. Sementara itu karena kentang termasuk tanaman bukan dikonsumsi utama, seluruhnya masuk pada mekanisme pasar. Keuntungan menjadi tujuan utama produksi sehingga eksploitatiflah sifat hubungan produksinya. Buruh diupah dengan harga pasar, sementara kentang ditentukan oleh harga pasar yang bisa lebih mahal dari harga 70 buruh juga bisa lebih murah, dimana marjin ini tidak lalu dibagi pada seluruh buruh tapi untuk pemilik kekuatan produksi. Pertanian Tradisional Produksi pertanian tradisonal ini mencakup petani-petani yang tidak mampu mengakses usaha tani kentang dan tetap menanam tanaman pangan. Mereka juga tidak berorientasi pada pasar sebagaimana petani lainnya dan lebih memilih mengamankan pangan untuk keluarga dan sedikit pertukaran. Mereka sebenarnya juga bersentuhan dengan usaha tani swasta namun karena keterbatasan modal dan juga lahan tidak memungkinkan menjadi kapitalis. Kekuatan produksi mereka tetap tahan milik yang diperoleh dari pewarisan. Unit produksi keluarga inti demikian juga tenaga kerja yang diorganisir seluruhnya anggota keluarga. Hubungan produksi dengan demikian masih egaliter karena batas sosial produksi juga masih dalam keluarga. Dengan sendirinya hubungan demikian tidak bersifat eksploiatif. Petani dengan ciri demikian di TR hingga tahun 1950-an masih banyak dan dominan. Petani-petani yang masih memperlihatkan ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional kebanyakan adalah petani lokal. Mereka tidak begitu terpengaruh karena orientasi yang masih melihat kedalam untuk kepentingan keluarga. Keluarga-keluarga ini juga banyak yang masih mengantih (menenun kain) bahkan hingga tahun 1950. tanaman yang diusahakan juga hanya jagung dan ketela dan tidak menanam tanaman komersil. Mengenai artikulasi tiga moda produksi diatas hingga tahun 1950 dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5.3 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan kapitalis pada masa awal kemerdekaan Aspek cara produksi Pertanian Pertanian Semi- Kapitalis pertanian tradisonal komersil (Pengusaha Cina) (petani kecil) (Petani kaya ) A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Tanah Modal 2 Unit produksi Keluarga inti Keluarga inti Organisasi produksi 3 Tenaga kerja utama Keluarga inti Keluarga buruh B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi Keluarga inti Organisasi produksi Organisasi produksi 2 Struktur hubungan produksi Egaliter Semakin herarkhis Herarkhis 3 Sifat hubungan produksi Tidak eskploitatif Semakin eksploitatif Eksploitatif luas & Buruh upahan 71 Perubahan Moda Produksi Lokal: Dari Pertanian Tradisional Menuju SemiKomersil Pertanian intensif pengusaha Cina berdampingan dengan pertanian tradisional yang diusahakan petani lokal. Sentuhan langsung ini memungkinkan terjadinya transformasi keahlian. Hasilnya lama-kelamaan petani juga menanam tanaman sayur meski jumlahnya sedikit. Mereka masih menggunakan tenaga kerja keluarga dan sayur hanya tanaman sela saja. Namun karena permintaan yang besar maka petani akhirnya beralih menanam kentang. Kedatangan pedagang yang ke desa membuka kran pasar bagi petani yang dulunya tertutup. Selain itu di pasar lokal kentang juga telah menjadi komoditas yang cukup laku. Seiring dengan itu maka perlahan pertanian komersil juga mulai ditiru oleh para petani lokal. Pergaulan dengan para buruh, juga perkawinan yang terjadi diantara mereka semakin membuka peluang kearah itu. Pada mulanya, kentang masih menjadi tanaman utama sementara wortel dan kol menjadi tanaman sela. Usaha juga dilakukan kecil-kecilan dengan pasar yang juga sangat terbatas, dan pedagang mulai masuk dan penjualan sayur semakin mudah. Hal ini mendorong penduduk untuk mulai menanam tanaman sayur agak luas. Namun demikian karena kurangnya keahlian dan akses pasar lemah, pertanian yang diusahakan oleh penduduk kurang berhasil. Namun paling tidak kedatangan pengusaha Cina ini meninggalkan keahlian khusus yang sebelumnya tidak pernah diperoleh dari Belanda meski di TR ratusan tahun. Pada awal-awal pembukaan perkebunan, hadirnya pengusaha Cina di TR tidak bermasalah dalam perkembangan ekonomi desa. Hal itu terkait dengan lahan pertanian yang cukup luas, selain ketertarikan masyarakat lokal dalam usaha pertanian komersil belum besar. Sebelumnya meski sudah ada peningkatan produksi dan komersialisasi, tidak pernah muncul akumulasi kapital dalam masyarakat. Dengan demikian orientasi akumulasi tidak berjiwa kapitalis tapi tetap tradisional dan melihat ke dalam. Hal ini penting bagi keberlangsungan perkebunan, terutama dalam penyediaan tenaga kerja dan lahan. Sentuhan cara produksi kapitalis pertanian yang dibawa Cina pada beberapa sisi mampu mengubah corak pertanian tradisonal, namun pada sisi lain banyak yang tidak berubah. Meski modal dibutuhkan dalam proses produksi, terutama untuk keperluan bibit dan upah kerja, tanah tetap menjadi alat produksi utama dalam usahatani rakyat. Unit produksi juga masih pada keluarga inti, sementara tenaga kerja utama berasal dari keluarga luas dan buruh. Jadi 72 kekuatan produksi hanya pada tenaga kerja saja yang mengalami perubahan, tidak lagi bertumpu pada kerabat dan keluarga, tapi berpindah pada buruh. Untuk relasi sosial produksi batas sosial hubungan produksi tidak berubah masih dalam lingkup organisasi produksi, sementara struktur hubungan produksi semakin herarkhis sebagai konsekwensi semakin banyaknya buruh yang bekerja. Dengan demikian sifat hubungan yang terjalin eksploitatif karena ekstraksi buruh semakin besar dilakukan oleh petani. Secara sederhana perubahan itu dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5. 4 : Perubahan aspek cara produksi pertanian tradisional di TR awal kemerdekaan Aspek cara produksi Masa kolonial Pertanian semi-komersil Masa awal kemerdekaan (19451950) Pertanian tradisional Pertanian semi-komersil Pertanian tradisional A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Tanah Tanah Tanah 2 Unit produksi Keluarga inti Keluarga inti Keluarga inti Keluarga inti 3 Tenaga kerja utama Keluarga luas (kerabat) Keluarga inti Keluarga luas dan buruh Keluarga inti B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi Organisasi produksi Keluarga inti Organisasi produksi Keluarga inti 2 Struktur hubungan produksi Mulai herarkhis Egaliter Semakin herarkhis Egaliter 3 Sifat hubungan produksi Mulai eksploitatif Tidak eksploitatif Semakin eksploitatif Tidak eksploitatif Perubahan pada berbagai aspek moda produksi di atas, tentu saja akan merubah ciri-ciri cara produksi pertanian yang tampak kemudian. Dengan mempekerjakan buruh pada proses produksi dengan demikian batas hubungan produksi tidak lagi pada keluarga inti tapi pada organisasi produksi. Ini berarti pertukaran tidak lagi hanya didasari oleh kerjasama dan harus ada imbalan sehingga upah menjadi penting. Hubungan kontraktuallah yang berkembang daripada primordial sehingga hak dan kewajiban dari buruh dan majikan jelas. Jika demikian adanya, produksi harus mampu melampui keluaran petani dan pasar menjadi tumpuan. Orientasi produksi dengan demikian lebih untuk mencari keuntungan daripada melayani sistem sosial. Kewajiban-kewajiban tertentu masih ada tapi menjadi bagian kecil dari seluruh tujuan produksi. Secara sederhana perubahan ciri-ciri tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: 73 Tabel 5.6 : Kecenderungan perubahan ciri-ciri cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa awal kemerdekaan Artikulasinya Ciri-ciri cara produksi Masa kolonial Awal kemerdekaan (19451950) Berorientasi pada kebutuhan sistem kapitalis Berorientasi pada kebutuhan sistem kapitalis Memenuhi kebutuhan keluarga, buruh perkebunan, mulai komersil Pada keselarasan dengan lingkungan sosial Keluarga sebagai unit produksi Tanah milik pribadi tapi memiliki tanggungjawab sosial Balance Memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk dijual Elemen yang terlibat dalam proses produksi Petani dan keluarga, kerabat, buruh upahan, dan sesepuh desa. Petani-buruh-kerabat Mekanisme petukaran Tukar-menukar melalui pasar, kecuali dalam jaringan kerabat Tukar menukar melalui pasar Basis kerjasama Hubungan kontraktual dengan adanya buruh Hubungan kontraktual Relasi sosial produksi Mulai mengenal system upah Sistem upah semakin biasa Sifat relasi sosial produksi Sumber buruh Mulai bersifat herarkhis dengan adanya buruh upahan Dari sistem sosial secara luas, meski kerabat ada Mulai eksploitatif Kedekatan dan ketrampilan Herarkhis karena buruh semakin banyak Dari sistem sosial secara luas Semakin eksploitatif Ketrampilan Penguasaan kekuatan produksi terutama lahan Penguasaan kekuaan produksi terutama lahan Petani kaya Pengusaha cina Kelembagaan produksi Nilai yang mengatur orientasi produksi Nilai yang mengatur tujuan produksi Nilai yang mengatur organisasi produksi Nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi Tipe/bentuk pertukaran ekonomi Relasi kekuasaan Sumber kekuasaan buruh Sumber kekuasaan majikan Kekuasaan dominan Pada nilai kapitalis meski melihat lingkungan sosial Keluarga sebagai unit produksi Tanah milik pribadi unt uk mencari keuntungan Mulai negatif Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan keberlangsungan Moda Produksi Lokal Berbagai peristiwa setelah Belanda pergi, moda produksi yang hadir dalam struktur ekonomi lokal menjadi tiga tipe. Moda produksi lokal terdiri dari pertanian semi-komersil dan sisa-sisa pertanian tradisional, sementara muncul cara produksi baru yakni kapitalis pertanian yang dibawa oleh pengusaha Cina. Ketiganya saling berhubungan membangun sebuah formasi sosial. Tiga cara produksi ini tidaklah berdiri sendiri, karena masing-masing memiliki ketergantungan. Pertanian tradisional meski mengusahakan kentang, 74 jumlah jagung dan ketela lebih besar. Ini merupakan sumber pangan bagi buruhburuh kebun yang didatangkan pengusaha Cina. Tumbuhnya peranian pengusaha Cina didukung sepenuhnya oleh produksi pangan petani tradisional maupun petani semi-komersil. Namun demikian yang paling menyumbang banyak terhadap kelangsungan pertanian pengusaha Cina adalah petanian tradisional, karena ia sepenuhnya menanam tanaman pangan. Dengan sistem upah, pertanian tradisional merupakan penyedia tenaga kerja murah. Pembukaan lahan kebun teh dilakukan petani lokal dan buruh dengan cara borongan. Meski mendapatkan keuntungan dengan masuknya ketang, petani tetap memprioritaskan tanaman jagung dan ketela. Ini merupakan subsidi yang besar untuk menjamin keberlangsungan usaha etnik Cina. Hal menarik dalam periode ini dimana para petani kaya yang dulunya telah komersil pada jaman kolonial mulai berubah orientasi produksinya. Perlahan mereka mulai menanam kentang dalam jumlah yang cukup besar terutama di daerah-daerah bawah seperti Junggo dan Gerdu, serta sebagian Gondang. Pertumbuhan ini cenderung terus berlanjut mengingat kentang semakin biasa ditanam penduduk meski tidak menjadi tanaman utama. Beberapa responden mengatakan jika waktu itu sekitar tahun 1948-an sudah ada pedagang-pedagang pengumpul di Junggo meski hanya sekali seminggu. Mana yang dominan dan mengendalikan seluruh proses produksi? Jika kita melihat pertanian lokal dari tanaman yang ditanam dan jaringan pasar yang dibangun jelas tidak mungkin. Tanaman pangan hanya untuk konsumsi lokal dan melayani cara produksi lain yang tidak memiliki kekuatan untuk mampu merubah cara produksi lainnya. Meski mereka sudah bersentuhan dengan pasar, sifatnya masih terbatas. Volume produksi kentang tidak sebanyak pengusaha Cina, sehingga yang memiliki pengaruh kuat adalah pengusaha Cina. Jika pengusaha Cina, kita tahu mereka yang paling pertama menangkap peluang usaha pertanian komersil dengan memanfaatkan aset Belanda yang kosong. Ia juga memasukan tanaman komersil dan membudidayakan secara luas berdampingan dengan tanaman pangan petani. Akhirnya petani secara perlahan juga mengadopsi cara ini, hingga benar-benar menggantikan saat pengusaha Cina terusir. Teknologi budidaya, pasar, dan organisasi produksi seluruhnya diwariskan pada seluruh petani tradisional. Apa yang terjadi dengan cara produksi pariwisata? Jaman kacau tidaklah mungkin wisata dapat hidup dan berkembang. Praktis saat-saat kemerdekaan 75 pariwisata rusak dan tidak ada aktifitas ekonomi dari sana. Selain itu pada masa itu penikmat obyek wisata adalah Belanda yang telah pergi meninggalkan seluruh asetnya, termasuk Selecta. Jadi pengaruhnya dalam menentukan corak formasi sosial sangatlah kecil. Dari uraian di atas, terlihat cara produksi kapitalis memiliki pengaruh paling besar pada struktur ekonomi lokal. Cara produksi yang ada sebelumnya seperti pertanian semi-komersil dan tradisional seluruhnya tumbuh untuk mendukung cara produksi kapitalis pertanian. Peran perkebunan sebagai dominator sebelumnya digantikan oleh pertanian pengusaha Cina. Jadi secara perlahan jumlah petani tradisonal dan semi-komersil menurun digantikan oleh kapitalis pertanian baik oleh pengusaha Cina maupun oleh petani kaya yang mulai melakukan akumulasi. Setelah kemerdekaan terjadi perubahan mendasar pada dua cara produksi lokal yang sebelumnya hadir dalam struktur ekonomi lokal. Cara produksi pertanian semi-komersil muncul dan memiliki peran semakin besar. Petani-petani tradisional semakin banyak yang menjadi semi komersil apalagi setelah pengusaha Cina mengusahakan tanaman kentang. Petani tradisional semakin kecil jumlahnya, dan hanya tinggal di daerah-daerah pinggiran desa yang semakin hari semakin habis. Sementara petani tradisional berubah, petani kaya mulai merubah orientasi produksinya. Meski masih menerapkan cara produksi semi-komersil, mereka lebih maju dibanding dengan petani kebanyakkan. Diantara mereka masih mengusahakan tanaman pangan, namun kentang juga menjadi tanaman penting. Semakin hari tanaman kentang semakin bertambah luas apalagi dengan masuknya pedagang perantara di TR. Cara-cara bertani pengusaha Cina juga mulai mereka tiru meski tidak seluruhnya. Jadi cara produksi lokal telah berubah menjadi dua ciri yakni pertanian semi-komersil yang diartikulasikan oleh petani kaya dan pertanian tradisional yang dilakukan oleh petani kebanyakan. Cara produksi pertanian semi-komersil cenderung mendominasi karena semakin banyak petani kebanyakan yang menggunakannya. Sementara itu pertanian tradisional semakin kehilangan pengaruhnya hingga berakhirnya penjajahan meski aktor-aktor ekonomi yang bermain di TR telah berganti. 76 Moda Produksi dan Formasi Sosial Selama Orde Lama (1950-1965) Pada masa ini moda produksi pertanian menunjukkan kemapanan karena para petani mulai mengikuti teknik bertani pengusaha Cina. Petani kaya perlahan mengusahakan kentang sebagai tanaman komersil secara luas. Mereka juga melakukan akumulasi lahan pertanian dan menguasai pasar kentang. Di sisi lain, petani kebanyakan juga melirik kentang untuk menggantikan tanaman pangan terutama petani bekas buruh kebun. Lahan hasil nasionalisasi menjadi kekuatan produksi utama mereka, sehingga pada akhir-akhir periode pengusaha Cina terdesak dan mencari konsesi baru dengan tentara. Faktor-faktor Pendorong Perubahan Bekerja dan Belajar Bersama Pengusaha Cina Pengusaha Cina merekut buruh dari luar daerah, seperti Ponorogo, Kediri, Tulungagung, Blitar, atau daerah Malang Selatan yang tandus. Buruh bekerja mulai dari membongkar lahan perkebunan Teh dan Kina, mengolah, hingga menanam, memelihara, memanen, bahkan mengangkutnya ke pasar. Penduduk lokal juga direkut menjadi buruh upahan sebagaimana buruh dari luar daerah. Keterlibatan penduduk lokal ini menjadi media belajar membudidayakan tanamam komersial. Petani-petani kaya yang memiliki modal mengikuti jejak pengusaha Cina mengusahakan tananam kentang. Bibit harus dibeli dengan harga mahal selain penjualan masih jauh di kota yang tidak mungkin dilakukan petani kecil. Ketang pada awalnya hanya dibudidayakan petani-petani kaya yang biasanya juga para pemimpin desa. Petani pada dasarnya terdiri dari dua kelompok besar yakni petani bekas para pekerja perkebunan dan petani asli. Petani-petani kaya pada saat itu masih didominasi oleh penduduk asli. Merekalah yang meniru dulu, sebelum akhirnya para petani bekas pekerja perkebunan juga melakukan hal yang sama sekitar tahun 1953. KPN (79), mengatakan kebanyakan petani ikut menjadi pekerja pengusaha Cina untuk menambah pengasilan. Jagung dan ketela yang diusahakan tidak perlu dijaga terus sehingga banyak waktu luang. Kebanyakan dari mereka ikut dalam borongan pembongkaran lahan kebun dan pengolahan untuk ditanami kentang. Petani kebayakan mulai membudidayakan kentang meski untuk keperluan sendiri di pematang-pematang sawah. Beberapa petani kaya ada lima orang yang menamam kentang tapi luasnya masih sempit. Saat itu pedagang kentang yang datang ke desa hanya mampu membeli sedikit karena 77 sulitnya jalan masuk. Mereka biasanya hanya membeli hasil mengasak (memungut sisa) petani di lahan bekas ketang pengusaha Cina. Keterlibatan penduduk dengan pertanian kentang telah menambah ketrampilan mereka secara teknis. Pasar ketang yang sebelumnya sulit diakses oleh petani lokal perlahan menjadi mudah. Pedagang ketang telah masuk ke desa meski dalam jumlah dan skala kecil. Kedatangan mereka menambah volume perdagangan kentang di tingkat petani. Setidaknya mulai tahun 1955 petani-petani kaya sudah mulai menanam ketang dalam jumlah besar dan mempekerjakan banyak buruh. Tahun-tahun berikutnya mereka menanam ketang tidak lagi untuk selingan tapi sudah menjadi tanaman utama. Untuk petani kecil tanaman utama mereka masih jagung dan ketela. Kentang termasuk tanaman mahal dan memerlukan biaya tinggi. Hal ini tidak memungkinkan seluruh petani meniru dengan begitu saja, selain juga karena masalah budaya. Petani kecil jarang menanam dan kalaupun ada para bekas pekerja perkebunan yang lama bekerja di pengusaha Cina dan itupun jumlahnya masih terbatas. Namun demikian, kentang telah menjadi bagian cukup penting dalam ekonomi desa, apalagi untuk masa-masa selanjutnya. Ketegangan Politik dan Stagnasi Ekonomi Di samping perkembangan yang mulai baik di sektor pertanian, dalam komunitas desa masih tersisa beberapa permasalahan. Berhentinya dua perkebunan besar di TR yakni kina dan teh menyisakan ribuan buruh yang tidak tentu kemana nasibnya. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah bertani karena industri belum berkembang. Penduduk lokal juga berkembang sehingga menambah beban ekonomi. Kebangkrutan ekonomi nyata dirasakan. Seiring dengan merosotnya ekonomi desa tanda-tanda kekacauan politik sudah mulai nampak dipermukaan. Para buruh perkebunan memang terserap pengusaha Cina namun tentu saja sangat kecil jumlahnya. Perkebunan di TR sebenarnya oleh pemerintah masih diusahakan tetap berdiri untuk dapat berproduksi dan menyerap tenaga kerja. TNI-AU yang berpangkalan di Lanud Abdulrahman Saleh mendapat tugas memulihkan kondisi dengan melakukan revitalisasi fungsi perkebunan. Kenyataannya tidak satupun dapat diselamatkan, malah tanah banyak yang rusak dan menjadi hutan liar. Penyelamatan bekas kebun teh tidak mungkin karena telah dibongkar seluruhnya oleh etnik Cina dan penduduk. Untuk tanaman kina masih dapat dikelola meski tidak menghasilkan kentungan yang baik. 78 Secara nasional, kembalinya PKI pada kancah politik setelah pemberontakan tahun 1948 di Madiun mendapat respon positif di mata rakyat. Perolehan suaranya cukup signifikan di Pemilu tahun 1955 dan menjadi pemenang ke empat, hanya sedikit lebih kecil dari NU. Petani dan buruh merupakan isu utama dimana land reform sebagai platfom perjuangan partai. Dengan suara yang ada di parleman dan pendukung yang luas di pedesaan, isuisu tanah menjadi bahan kampanye utama mereka. Di TR, tanah-tanah perkebunan yang luas dan tidak terurus merupakan sasaran utama. Imbas paling penting aktifitas politik PKI dalam perekonomian adalah kampanye BTI dan gerakan pembukaan lahan perkebunan. Sasaran utama mereka tentu saja mengarah pada pengusaha Cina yang mendapat konsesi pada tanah-tanah negara. Intrik politik dilancarkan hingga akhirnya pengusaha Cina terpaksa meninggalkan seluruh asetnya terutama di daerah-daerah bekas perkebunan teh. Beberapa masi bertahan di daerah bekas perkebunan kina namun jumlahnya juga semakin kecil. Masa-masa gejolak politik, dan kepergian pengusaha Cina dari TR merubah dengan cepat formasi penguasaan kekuatan produksi terutama tanah dan tenaga kerja. Tanah dan aset-aset pengusaha Cina dikuasai oleh para pekerja dan penduduk asli. Para pekerja yang dulunya menjadi hamba, sekarang telah memiliki kekuatan produksi sendiri sehingga kelangkaan tenaga kerja terjadi. Saat itu krisis memang sudah sangat memuncak, dan produksi pertanian sepertinya tidak berhasil dengan baik. Di beberapa tempat bahkan banyak yang menderita kekurangan pangan termasuk juga di TR. Meski kekuatan produksi dikuasai rakyat, sebenarnya tidak menambah produksi. Kegagalan panen, hama tikus, dan kekeringan melanda TR berkepanjangan. Desa saat itu sedang dalam ketegangan yang luar biasa karena adanya konsolidasi berlebihan dari kekuatan-kekuatan politik. Pengkaderan masuk hingga ke dusun-dusun bahkan langsung ke keluarga-keluarga petani dengan jalan menawarkan programnya. Tanah menjadi isu utama PKI, dan langsung mendapat sambutan yang cukup bagus dari masyarakat. Di sisi lain ketahanan pangan penduduk sebenarnya mulai goyang karena perubahan orientasi produksi sejak masuknya tanaman kentang. Tanaman kentang tergantung pada kondisi ekonomi di luar desa, yang secara nasional sedang terpuruk. Meski harga baik, barang sulit didapatkan terutama bahan pangan. 79 Jika diberi kurva, puncak ketegangan politik dan stagnasi ekonomi di pedesaan terjadi saat operasi penumpasan PKI ditingkat desa. Operasi penangkapan terhadap pengikut PKI dan ormasnya, meresahkan seluruh rakyat. Banyak para aktifis partai ditangkap dan dibunuh, sebagian besar anggota yang tidak tahu juga mendapatkan perlakukan serupa. Perlu diketahui desa TR merupakan basis PKI karena banyaknya bekas-bekas buruh perkebunan dan pengusaha Cina yang tidak memiliki tanah pertanian. Mereka masuk karena program utama PKI adalah tanah untuk rakyat. Kegiatan pertanian praktis berhenti dan desa mati saat peristiwa PKI. Ketegangan terjadi hingga bertahun-tahun dimana seluruh kegiatan politik praktis terhenti. Trauma GESTOK bahkan tidak hilang hingga saat ini, terutama bagi para anak bekas anggota PKI. Di TR secara resmi masih ada 350 orang yang dicatat sebagai bekas Tapol (Tahanan Politik). Ini adalah jumlah yang cukup besar karena sebagian yang lain banyak yang telah mati, tertangkap atau melarikan diri. Beberapa orang bahkan menyebut masa-masa itu hidup seperti sapi dalam kandang yang setiap saat dapat saja dijemput untuk di penggal. Kepala desa TR, Pak MR bahkan harus lengser dari kepemimpinan padahal ia telah menjabat dari tahun 1932. Saat agresi militer Belanda kedua tahun 1947-1948, beliau mengungsi karena tidak sepakat dengan kembalinya Belanda menguasai perkebunan. Ia kembali dari pengungsian dan menjabat sebagai kepala desa hingga akhirnya harus turun setelah PKI meletus. Soekarno jatuh, tentara memegang kendali kekuasaan di TR, dan mengangkat seorang karateker P. Mulyono hanya selama dua bulan, dan digantikan lagi oleh P. Soekaryo sebagai karateker kepala desa hingga tahun 1972. Praktis perkembangan ekonomi terhenti, bahkan bertani hanya untuk mempertahankan diri saja. Terjadi perubahan formasi penguasaan kekuatan produksi secara radikal dengan perginya petani-petani penggarap yang sebelumnya menduduki tanah perkebunan. Selain banyak yang mati dan ditangkap sebagai tahanan politik, banyak diantaranya yang pergi meninggalkan desa. Tanah-tanah perkebunan kembali tak tergarap, dan kembali menjadi hutan. Tanah yang dikuasai rakyat kembali pada posisi semula, sementara tanah perkebunan dikembalikan pada Negara. Pengusaha Cina tidak berani kembali berusaha tani, dan Negara melalui tentara menjadi pengatur utama. Pada masa-masa itu seluruh kegiatan ekonomi desa berhenti dan tidak terjadi perubahan signifikan hingga tahun 1970-an. Petani lokal telah 80 sepenuhnya memiliki orientasi produksi untuk pasar sejak pengusaha Cina pergi. Masa-masa pengolahan hasil pembagian lahan perkebunan merupakan tahap pematangan moda produksi kapitalis pertanian di TR. Petani telah memproduksi ketang untuk dijual ke Malang sementara tanaman pangan mulai berkurang jumlahnya dan petani lebih memilih membeli dari pasar. Tipe -tipe Moda Produksi yang Terbangun Cara Produksi Kapitalis Pertanian Kekuatan produksi utama adalah modal uang. Modal tetap menjadi alat produksi utama pengusaha Cina demikian juga unit produksi adalah organisasi produksi. Sebagai majikan pengusaha Cina berperan juga sebagai seorang manajer atas yang membawahi beberapa orang mandor. Ia tidak langsung melakukan pembayaran dan pengawasan kerja diserahkan sepenuhnya pada mandor. Modal jugalah yang digunakan oleh pengusaha Cina untuk mendapatkan lahan dari konsesi perkebunan, juga operasional produksinya. Hubungan produksi herakhis karena hubungan buruh majikan. Batas hubungan produksi adalah organisasi produksi yang melibatkan buruh, mandor, dan pengusaha Cina sendiri sebagai pemilik. Hubungan dibangun secara herarkhis yang memusat pada pengusaha Cina sebagai pemilik alat produksi. Orientasi produksi jelas untuk tujuan akumulasi dan ini tidak mengalami perubahan berarti sejak kedatangannya di tahun 1946-an di TR. Jadi sifat hubungan yang terbangun juga tetap eksploitatif. Cara Produksi Pertanian Semi-komersil kekuatan produksi utama sebenarnya tidak berubah dan tetap tanah menjadi alat produksi utama. Hanya saja tanah pada masa ini tidak hanya terbatas pada hak milik tapi juga tanah perkebunan yang didapatkan petani saat nasionalisasi. Sementara itu unit produksi juga masih tetap pada keluarga inti, sedangkan tenaga kerja utama didapatkan dari kerabat dan buruh upahan dari dalam sistem sosial. Batas hubungan produksi dengan demikian meluas pada organisasi sosial produksi karena telah melibatkan buruh dalam proses produksi. Petani kaya yang menanam kentang dalam jumlah besar di TR bahkan mempekerjakan lebih dari 10 orang secara rutin dan dapat menyewa 20 oarang untuk membawa hasil bumi ke pasar. Saat itu angkutan masih mengandalkan manusia dan kuda. Pelibatan buruh lebih banyak menyebabkan relasi sosial produksi menjadi 81 semakin herarkhis tidak sebagaimana perioede sebelumnya yang masih egaliter. Dengan demikian maka sifat hubungan produksi eksploitatif karena adanya pelibatan buruh secara intens untuk menambah keuntungan. Cara Produksi Pertanian Tradisional Pertanian tradisional alat produksi utama adalah tanah milik juga tanah hasil nasionalisasi. Unit produksi adalah unit keluarga dimana seluruh anggota keluarga juga menjadi pekerja dalam usaha. Dengan demikian sumber utama pekerja adalah anggota keluarga. Pertanian tradisonal ini jumlahnya semakin berkurang dan tidak sebanyak tahun 1950-an. Sebagian dari mereka ada yang mulai menanam tanama kentang sebagian yang lain menjadi buruh tani pada petani kaya dan pengusaha Cina. Batas hubungan sosial produksi adalah keluarga inti karena mereka tidak mempekerjakan buruh upahan. Kalaupun ada itu adalah dari kerabat dan sifatnya membantu yang nanti akan dibalas dengan demikian juga. Dengan demikian struktur hubungan produksi yang terbangun egaliter karena pekerja juga anggota keluarga. Sementara itu sifat hubungan produksi tentu saja tidak eksploitatif karena hasil produksi pada dasarnya untuk kepentingan bersama seluruh anggota keluarga. Sebagai gambaran ringkas ketiga artikulasi itu dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5.7 : Artikulasi cara produksi pertanian tradisonal, semi-komersil, dan kapitalis pertanian pada masa Orde Lama Aspek cara produksi Pertanian tradisonal (petani kecil) Pertanian Semikomersil (Petani kaya ) Kapitalis pertanian (Pertanian Cina) A 1 Kekuatan produksi Alat produksi Tanah Tanah 2 Unit produksi Keluarga inti Keluarga inti 3 Tenaga kerja utama Keluarga inti dan kerabat Keluarga luas dan buruh Buruh upahan B Hubungan Produksi Batas sosial hubungan produksi Keluarga luas Organisasi produksi Organisasi produksi 1 Modal Organisasi produksi 2 Struktur hubungan produksi Egaliter Semakin herarkhis Herarkhis 3 Sifat hubungan produksi Tidak eskploitatif Semakin eksploitatif Eksploitatif 82 Perubahan Moda Produksi Lokal : Dari Semi-komersil menuju Kapitalis Pertanian Memasuki tahun 1950 atau lebih dikenal dengan masa Orde lama, pertanian tradisional yang telah terpecah menjadi dua cara produksi terus berubah seiring pekembangan-perkembangan ditingkat lokal maupun di luar sistem sosial desa. Dinamika kehidupan desa TR selama tahun 1950-1965 tentu saja berdampak secara langsung terhadap ciri cara produksi pertanian. Meski secara riel kegiatan-kegiatan ekonomi tidak berjalan dengan normal, namun pada dasarnya telah terjadi pergeseran yang cukup besar dari periode sebelumnya. Paling tidak dengan belajar dari pengusaha Cina dan perkembangan politik nasional yang berimbas pada tataran lokal mampu merubah kemapanan yang ada sebelumnya. Usaha tani setelah bersentuhan dengan pengusaha Cina ada sebagian yang mampu meniru dan sebagian yang lain tetap berjalan sebagaimana asalnya. Mereka yang kaya mampu meniru dan bahkan berkembang cukup pesat setelah tahun 1955-an. Petani-petani kecil hanya menjadikan tanaman kentang sebagai selingan saja. Hingga tahun 1960-an di TR penanam tanaman kentang masih sedikit dan terbatas pada kelompok petani kaya, atau mereka yang dulu pernah bekerja di pengusaha Cina. Akibat perbedaan bentuk keterlibatan petani dengan pengusaha Cina, maka kedua jenis petani lokal masing-masing memiliki kareakteristik yang sangat berbeda. Petani kecil tetap menanam tanaman pangan dan masih mengikuti cara lama baik dalam mengorganisasikan produksi juga orientasi produksinya. Sementara itu petani kaya yang telah bersentuhan secara langsung dengan tanaman komersial yang dibawa pengusaha Cina menjadi lebih kapitalis. Perkembangan-perkembangan itu menunjukkan adanya perubahan mendasar pada cara produksi pertanian. Terlihat jelas pertanian komersial mulai menguasai seluruh kehidupan ekonomi desa. Kekuatan produksi pertanian lokal pada dasarnya tidak berubah demikian cepat. Tanah tetap menjadi alat produksi utama, demikian juga unit produksi tidak berubah. Hanya saja orientasi produksi sekarang sudah mulai berkembang untuk pasar regional melalui pedagang pengumpul yang masuk. Unti produksi demikian juga masih berkutat di keluarga inti dan belum terbentuk usaha privat sebagaimana ciri kapitalis murni. Namun demikian orientasi produksi dan akumulasi yang dilakukan mencirikan sifat kapitalis murni. 83 Hubungan produksi cara produksi pertanian terlihat semakin jelas herarkhisnya. Tenaga kerja upahan semakin banyak dipekerjakan dan semakin menunjukkan adanya eksploitasi buruh. Dikaitkan dengan perubahan nilai produksi dan orientasinya maka jelas keuntungan tidak untuk dibagi bersama sesama keluarga sebagaimana sistem tradisional tapi untuk kepentingan pemilik modal. Dengan demikian pertanian komersil semakin menemukan bentuknya dalam formasi sosial pedesaan. Mengenai aspek-aspek cara produksi pertanian tradisional dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 5.8 : Perubahan aspek cara produksi lokal pada masa Orde Lama Periode 1945-1950 Periode 1950-1965 Aspek cara Pert. semi- Pert. Pert. Pert. produksi komersil tradisional komersil tradisional A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Tanah Tanah Tanah 2 Unit produksi Keluarga inti Keluarga inti Keluarga inti Keluarga inti 3 Tenaga kerja utama Keluarga luas dan buruh Keluarga inti Keluarga luas dan buruh Keluarga inti B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi Organisasi produksi Keluarga inti Organisasi produksi Keluarga inti 2 Struktur hubungan produksi Semakin herarkhis Egaliter Herarkhis Egaliter 3 Sifat hubungan produksi Semakin eksploitatif Tidak eksploitatif Eksploitatif Tidak eksploitatif Menguatnya cara produksi kapitalis pertanian ternyata diiringi pengurangan petani tradisional. SYN (70) mengatakan pada tahun 60-an jika masih ada keluarga yang tidak menanam tanaman kentang hanya di daerah Sumberbrantas paling atas. Mereka tinggal beberapa keluarga saja dan segera setelah itu mereka mengusahakan kentang juga. Namun demikian, kentang tetap menjadi tanaman kedua setelah jagung dan ketela. Selain sulit pemeliharaanya, kentang saat itu dianggap tidak dapat langsung dijual atau dikonsumsi dan menunggu pedagang datang. Kalau petani kecil tidak mungkin membawa ke pasar selain jauh, mereka tidak mampu menyewa para buruh angkutnya. Apa implikasi terhadap ciri-ciri kehidupan desa secara keseluruhan? Kelembagaan produksi tentu saja berubah dari sebelumya masih berorientasi pada nilai lokal setelah periode ini mulai goyah. Pertukaran juga demikian dari balance mulai negatif. Hal ini terutama terjadi karena buruh semakin besar 84 diusahakan dan petani kaya juga mulai memikirkan akumulasi karena pasar kentang mulai meluas. Basis relasi sosial produksi juga tidak lagi terbatas pada keluarga luas, namun telah mengikukan buruh upahan meski sifatnya masih domestik. Sementara itu sifat hubungan produksi juga berubah mulai ekspolitaif dari yang dulunya lebih mengandalkan kerjasama. Secara rinci perubahan itu dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5.9 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Orde Lama Ciri-ciri cara produksi Artikulasinya Awal kemerdekaan Periode orde lama Kelembagaan produksi Berorientasi pada sistem kapitalis Berorientasi pada sistem kapitalis Nilai yang mengatur orientasi produksi Nilai yang mengatur tujuan produksi Nilai yang mengatur organisasi produksi Nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi Tipe/bentuk pertukaran ekonomi Memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk dijual Pada nilai kapitalis meski melihat lingkungan sosial Keluarga sebagai unit produksi Tanah milik pribadi untuk mencari keuntungan Untuk dijual semakin besar dari keluarga Semakin erat dengan nilai kapitalis Keluarga sebagai unit produksi Tanah milik pribadi untuk mencari keuntungan Mulai negatif Semakin negatif Elemen yang terlibat dalam proses produksi Mekanisme petukaran Petani-buruh-kerabat Petani-buruh-kerabat, buruh semakin dominan Tukar menukar melalui pasar Hubungan kontraktual Sistem upah semakin biasa Herarkhis karena buruh semakin banyak Tukar menukar pasar Dari sistem sosial secara luas Semakin eksploitatif Dari sistem sosial secara luas Eksploitasi bertambah Ketrampilan Penguasaan kekuaan produksi terutama lahan Ketrampilan Penguasaan kekuatan produksi lahan Pengusaha cina Pengusaha Cina & petani kaya Basis kerjasama Relasi sosial produksi Sifat relasi sosial produksi Sumber buruh Relasi kekuasaan Sumber kekuasaan buruh Sumber kekuasaan majikan Kekuasaan dominan Hubungan kontraktual Sistem upah semakin dominan Herarkhis Perubahan pada kehidupan sosial desa tak lepas dari perubahan cara produksi pertanian. Pertanian komersil semakin berkembang pesat dengan banyaknya petani yang beralih mengusahakan tanaman ketang. Hal itu semakin kentara dengan berbagai intrik yang dilakukan petani lokal terhadap keberadaan pengusaha Cina yang sebelumnya tidak pernah dimasalahkan. 85 Menurut TSN (71) setelah tahun 1950, pengusaha Cina memang meningkatkan aktifitas ekonominya. Perkembangan kentang sangat cepat perkembangannya dan mulai melakukan sewa tanah pada petani. Tanah-tanah penduduk mulai disewa dan sebagian juga dibeli untuk memperluas tanaman kentang. Mereka juga merekut semakin banyak pekerja baik dari penduduk lokal maupun dari luar daerah. Kebanyakan buruh ini kemudian kawin dengan penduduk lokal yang masih menjadi kebiasaan hingga saat ini. Di sisi lain, petani yang mengadopsi pertanian cara pengusaha Cina juga bertambah banyak. Mereka memperluas tanaman kentang seiring masuknya pedagang ke desa. Petani-petani kaya yang pada masa penjajahan menjadi penyedia pangan bagi buruh pabrik beralih menjadi kapitalis pertanian sejati. Kentang memungkinkan mereka dapat langsung bersentuhan dengan dunia luar dan mengenal nilai-nilai kapitalis secara langsung. Petani kaya selanjutnya sudah mulai mengenal akumulasi sebagaimana pengusaha Cina. Hubungan produksi yang dibangun juga lebih mirip dengan yang diusahakan oleh pengusaha Cina meski mereka masih memiliki kaitan dengan sistem sosial lebih erat. Karena mereka memiliki tanah maka tanah tetap menjadi kekuatan produksi penting bagi petani kaya. Formasi Sosial Kapitalis Pertanian dan Keberlangsungan Cara Produksi Lokal Pada masa ini cara produksi yang muncul pada struktur ekonomi lokal ada tiga yakni kapitalis pertanian, pertanian semi-komersil, dan pertanian tradisional. Kapitalis pertanian diartikulasikan dalam usaha tani pengusaha Pengusaha Cina dan petani kaya yang telah kapitalis, pertanian semi-komersil oleh petani lokal, sementara pertanian tradisional oleh sisa-sisa petani lokal yang belum berkembang. Dilihat dari konstelasi hubungan seluruh moda produksi di TR, yang menentukan hingga tahun 1955 adalah pengusaha Cina. Mereka paling dominan dalam produksi di pedesaan karena mampu menyerap banyak petani untuk bekerja padanya juga sebagian besar lahan dikuasai olehnya. Petani kaya bahkan terpengaruh dan mengusahakan komoditas yang sama meski tidak sebesar pengusaha Cina. Meski tidak terlihat adanya dominasi, namun pada dasarnya arah perkembangan ditentukan oleh kapitalis pertanian. Hal itu semakin kentara saat petani kaya mulai mengusahakan komoditas lebih besar lagi tahun 60-an. Pengusiran pengusaha Cina sebenarnya juga dapat 86 menjadi petunjuk baik, karena kepergiannya berarti kematian cara produksi kapitalis. Kenyataanya kepergian pengusaha Cina malah semakin menegaskan jika cara kapitalis pertanian sudah sepenuhnya menjadi bagian dari sistem sosial itu sepenuhnya. Petani kaya yang mengambil alih peran pengusaha Cina dalam menjalankan cara produksi kapitalis pertanian menandakan moda produksi ini telah hidup dan berkembang. Sementara itu secara perlahan pertanian tradisonal juga mengalami penurunan jumlahnya. Petani-petani kecil ini kebanyakan dari mereka memilih menjadi buruh pengusaha Cina dan petani kaya yang menandakan adanya dominasi cara produksi kapitalis. Hingga tahun 1960 jumlah mereka di desa hanya beberapa kelompok pemukiman yang kebanyakan ada di daerah Sumberbrantas yang memang paling jauh dari jangkauan. Jadi cara produksi kapitalis pertanian mendominasi cara produksi semi-komersil sementara keduanya mendominasi pertanian tradisional. Pada masa sebelumnya cara produksi lokal telah berubah menjadi semikomersil yang diperankan oleh petani kaya. Mereka meniru sistem produksi pengusaha Cina dalam mengelola usaha taninya. Semakin hari mereka semakin memiliki pengaruh kuat dan bahkan menjadi kapitalis pertanian sebagaimana pengusaha Cina. Mereka mampu sepenuhnya mengadopsi cara produksi kapitalis hingga mampu mendominasi ekonomi lokal. Puncak dominasi petani kaya terjadi saat mereka mampu mengusir pengusaha Cina dari desa meski menggunakan isu politik (land reform). Di sisi lain pertanian tradisional semakin kecil pengaruhnya pada ekonomi lokal. Di tahun 1955-an tidak ada lagi petani yang tertutup sebagaimana periode sebelumnya. Seluruh petani telah mengenal tanaman komersil meski mereka tidak membudidayakan secara luas. Pedagang perantara juga mulai banyak hingga pasar terbuka sepenuhnya. Meski demikian masih ada petani demikian meski jumlahnya sangat kecil. Jadi masuknya pengusaha Cina sejak awal kemerdekaan, saat Orde Lama cara produksi semi-komersil semakin kuat posisinya, meski pertanian pengusaha Cina masih mendominasi. Para petani kaya mulai meniru pengusaha Cina sehingga posisinya semakin kuat. Sementara itu pertanian tradisional semakin berkurang perannya dan meski jumlahnya masih cukup banyak, dan berkecenderungan menurun. 87 Moda Produksi dan Formasi Sosial Orde Baru (1965-1997) Pada masa ini petani kaya yang telah komersial sebelumnya, menjadi semakin mapan, bahkan dapat bersaing dengan pengusaha Cina. Sementara itu petani kecil terutama bekas pekerja perkebunan yang mengikuti jejak petani kaya juga mulai komersial. Pertanian tradisional yang masih ada pada periode sebelumnya habis sama sekali. Pada saat yang sama berkembang industri agro bercirikan kapitalis yang diintrodusir oleh pemerintah. Peralihan dari tradisional ke komersial tidak dengan sendirinya membawa petani kebanyakan menjadi kapitalis, malah banyak yang terlempar menjadi buruh. Faktor-faktor Pendorong Perubahan Repelita dan Pembangunan Ekonomi Pembangunan ORBA di TR telah ditata sejak operasi besar-besaran terhadap para pendukung PKI di tahun 1966 dan normalisasi pada tahun-tahun berikutnya. Penggantian kepala desa dengan seorang karateker hingga dua kali adalah wujud konsolidasi itu. Baru tahun 1972 setelah dipastikan kekuatan Orde Baru mapan, dipilih seorang kepala desa. Baru pada tahun 1973 Pemilu dilakukan untuk memberi legitimasi kekuasaan ORBA. Menurut MHR (79) pemilihan kepala desa setahun sebelum pemilu, merupakan langkah awal ORBA dalam konsolidasi kekuasaan untuk menambah legitimasinya karena sebelumnya desa dipimpin militer. Kebijakan ORBA mengutamakan stabilitas politik dan peningkatan produksi pertanian saat awal-awal berdirinya. Perombakan besar-besaran dilakukan pada sistem produksi usaha tani dengan jalan modernisasi pertanian. Fokus utamanya adalah produksi pangan yang memang sangat terpuruk dan mengalami stagnasi luar biasa pada tahun 60-an. Kebijakan ini dititik beratkan pada usahatani padi sawah yang menjadi makanan pokok penduduk Indonesia. Untuk daerah pegunungan ada program khusus, tapi tetap sebagai upaya modernisasi pedesaan. Di TR, upaya dari pemerintah tidak spesifik pada usaha tani tradisional, namun pada intruksi untuk merubah atap rumah dari ilalang yang masih ada hingga tahun 70-an menjadi genting. Menurut PRT (76) penyuluhan dilakukan meski seringkali kepala desa agak memaksakan untuk kebijakan itu. Sesekali ada juga himbauan untuk memperbaiki usaha tani melalui penggunaan bibit unggul dan pupuk. Sebelumnya, meski tanaman yang ditanam telah komersial (kentang), namun baik petani Cina maupun pribumi mengandalkan pupuk 88 kandang dan belum mengenal pupuk buatan. Kebijakan ini awal-awal diberikan dalam bentuk penyuluhan yang sistematis tidak hanya masalah pertanian tapi juga kehidupan sosial secara umum. Kebijakan kedua ORBA di TR, adalah Transmigrasi Lokal (Translok) yang terdiri dari pensiunan TNI-AU untuk menempati tanah kosong bekas perkebunan. Mereka terdiri dari 199 KK, dan menempati 110 Ha tanah yang sedianya untuk lahan pertanian. Kebijakan ini selain untuk menetralisir gejolak masyarakat yang sewaktu-waktu muncul, juga berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian. Ternyata para keluarga tentara ini tidak menguasai cara bercocok tanam sehingga lahan banyak yang mereka jual. Menurut ALG (87) dan TSN (71) kesempatan ini kemudian ditangkap oleh para bekas pengusaha Cina yang dulu pernah berusaha di TR. Mereka menyewa atau membeli tanah yang dikuasai oleh TNI-AU dan lahan penduduk. Tanahtanah bekas tentara banyak menjadi hak milik pengusaha Cina. Kebijakan yang tidak jelas pemerintahan Orde Baru pada tanah, memungkinkan orang luar daerah, bahkan orang asing memiliki tanah di TR, termasuk pengusaha Cina. Di TR mereka mengubah nama menjadi nama pribumi pada akte tanahnya hingga diwariskan pada keturunannya hingga saat ini. Pertanian sebagai basis ekonomi rakyat dibebaskan tanpa ada perlindungan terutama kejelasan aturan pertanahan. Petani dibiarkan berkompetisi dengan kekuatan ekonomi lain yang bercukupan modal, memiliki kemampuan managemen baik, koneksi, juga jaringan pemasaran yang luas. Para petani selalu di bawah para pengusaha Cina, baik dalam manajemen maupun jaringan pasar, karena kebanyakan dari mereka bekas buruh Pengusaha Pengusaha Cina. Pengusaha Cina kembali menghidupkan cara produksi komersial yang telah lama hilang semenjak ketegangan tahun 60-an. Mereka melakukan rekutmen tenaga kerja kembali dalam jumlah besar. Banyak penduduk lokal yang bekerja pada mereka, bersama dengan pekerja boro yang didatangkan dari luar daerah. Pengusaha Cina juga mulai membawa langsung pedagang untuk memanen tanamannya di kebun. Mereka juga lebih intensif dalam mengawasi kerja buruh. Kerja-kerja yang dulu dimonopoli oleh orang, seperti bangkat sekarang digantikan dengan mobil. Pengusaha Cina bertambah dengan cepat karena konsensi yang difasilitasi oleh tentara. Sewa mereka lebih murah dari harga pasar juga kepastian perlindungan dari gangguan keamanan. Bahkan secara langsung 89 tentara melalui para purnawirawan menjadi mitra di tingkat lapangan. Konsesi ini akhirnya menjadi boomerang ketika Pengusaha Cina tidak hanya menyewa lahan dari petani, tapi juga melakukan pembelian pada para transmigran. Kebutuhan ekonomi dan ketidakmampuan para transmigran dalam berusaha tani mendorong penjualan tanah-tanah jatah mereka. Bagaimana pertanian yang mulai belajar komersial? Bagi mereka yang memiliki tanah luas dan kemampuan manajemen, dapat bertahan. Bagi yang tidak, banyak diantaranya kembali menanam tanaman lama yakni jagung dan ketela. Tanaman kentang memerlukan biaya cukup besar dan keahlian khusus, sehingga petani kecil tidak mungkin mampu. Kebijakan pemerintah yang lebih condong pada pendekatan produktifitas tidak memberi perlindungan khusus. Para petani kaya juga mulai mengambil buruh, bahkan mereka memberi tempat bagi para buruh di rumah mereka. Rekutmen buruh tetap dilakukan besar-besaran dibarengi dengan penciptaan ketergantungan. Tempat tinggal sementara, bonus, juga kepastian pekerjaan tidak memungkinkan buruh berpindah pada orang lain. Juragan baru ini menjadi pesaing para pengusaha Cina. Mereka juga melakukan sewa terutama pada para transmigran dan penduduk lokal untuk memperluas usahanya. Pendek kata mereka telah menjadi kapitalis baru yang sama agresifnya dari para pengusaha Cina. Pendorong utama perkembangan tanaman komersial di TR tak lepas dari efek modernisasi yang dikenalkan orde baru. Introdusir pupuk buatan, obatobatan dan bibit unggul memacu produksi karena hambatan hama dan penyakit teratasi. Sayur apalagi kentang yang sangat rentan terhadap serangan penyakit dapat diatasi. Petani Cina paling pertama menangkap peluang itu dan melakukan perubahan terhadap pola tanam menjadi lebih intensif. Penanaman kentang menjadi dua kali setahun juga jarak tanam menjadi lebih sempit. Penggunaan pupuk melipatkan produksi hingga berton-ton hasil kentang dalam tiap hektarnya. Sayur yang dahulunya hanya dua kali tanam menjadi tiga sampai empat kali dan tanah tidak pernah bero. Pestisida saat itu sangat ampuh hingga jarang tanaman yang terserang penyakit. Pemupukan juga jarang, dengan sedikit saja sudah meningkatkan produksi sangat besar yang tentunya menekan biaya produksi. Tenaga kerjalah satu-satunya yang menjadi kendala utama. Tahuntahun itu pula jalan mulai dimakadam (diaspal godok) yang semakin memudahkan transportasi. Tahun-tahun itu pula mulai banyak berkembang tokotoko pertanian, warung-warung makanan, juga tengkulak-tengkulak sayur lokal. 90 Dominasi Cina tidaklah berjalan demikian saja tanpa ada gejolak. Banyak juga petani yang mulai berani masuk ke perkebunan meski hanya dipinggirpinggir saja untuk menanam tanaman sayur. Bahkan di Sumberbrantas secara terang-terangan mereka melakukan pembatasan lahan yang dapat disewa oleh pengusaha Cina. Banyak diantaranya yang hanya dengan meminjamkan uang atau digadaikan dan tidak kembali karena gadainya yang beranak pinak. Semakin lama pada tahun-tahun 1975-an mereka bahkan secara terangterangan mulai mempertanyakan kebijakan insentif yang diberikan oleh TNI-AU pada pengusaha Cina. Para petani lokal merasa terganggu dengan cara pengusaha Cina dalam menguasai lahan pertanian penduduk dan diskriminasi yang dilakukan TNI-AU. Keresahan ini berakhir dengan diusirnya pengusaha Cina dari Sumberbrantas sekitar tahun 1975-an 1. Dengan perginya para pengusaha Cina, secara otomatis para petani kaya lokal yang paling benyak memetik manfaat. Tahun 1980-an petani lokal mulai berhasil mengambil alih dominasi pengusaha Cina. Sayur menjadi primadona terutama kentang, wortel dan kubis. Secara perlahan mereka juga mulai mengembangkan apel terutama pada tanah milik. Apel saat itu mulai menjadi tanaman yang familiar di masyarakat Indonesia dan menjadi buah-buahan elit di pasar-pasar. Permintaan apel juga meningkat dan harga semakin baik apalagi dengan semakin tidak cocoknya lahan di daerah kota akibat peningkatan panas. Tanaman apel yang dulunya terlalu dingin di TR menjadi sangat baik ditanam di sana. Tahun-tahun itu juga menjadi babak baru dalam dunia transportasi lokal. Angkutan penumpang maupun barang mulai banyak dimiliki oleh penduduk pribumi dan tidak hanya pengusaha Cina. Kendaraan yang dikenalkan jeep Willis untuk mengangkut sayur dari lahan. Kerja mbangkat mulai berkurang dan Willis menjadi transportasi utama. Dengan adanya transportasi mobil, mobilitas penduduk dan sirkulasi barang menjadi lebih cepat. Sirkulasi barang ini berimbas pada permintaan barang hasil pertanian penduduk. BDO (46) mengatakan masa itu kentang dan sayur harganya sangat baik dan permintaan meningkat. Pedagang banyak yang masuk dan membeli 1 Pada jaman orde baru pengusiran ini tentu mendapat tantangan yang sangat keras karena pasti dianggap mengganggu kepentingan umum. Akan tetapi karena keterbatasan lahan yang memang sudah cukup memprihatinkan dan tidak terkendalinya luas penguasaan pengusaha Cina hal itu dibiarkan oleh pemerintah. Selain itu untuk lahan bekas perkebunan di Sumberbrantas memang tidak dikuasai oleh Tentara sebagaimana di Junggo sehingga kontrol tidak efektif, dan sebagian memang telah diduduki penduduk sejak lama. 91 kentang yang belum panen. Boro kerjo semakin banyak dan para juragan mulai membuat rumah-rumah tinggal bagi mereka. Sayur yang dahulunya hanya dua kali panen menjadi menjadi tiga sampai empat kali dalam setahun, dan tanah tidak pernah bero. Pestisida masih sangat ampuh hingga jarang tanaman yang terserang penyakit, juga pupuk u j ga jarang digunakan hingga biaya produksi sangat rendah. Tahun-tahun itu pula jalan mulai dimakadam (diaspal godok) yang semakin memudahkan transportasi. Ramainya kegiatan ekonomi mendorong tumbuhnya toko-toko pertanian, warung-warung, juga tengkulak-tengkulak sayur lokal. Tahun 1984 jalan diperlebar dan aspal diperbaiki hingga Junggo. Pendatang mulai banyak untuk bekerja di lahan sayur atau menjadi pedagang keliling (bakso, mie, kredit alat rumah tangga, kredit pakaian). Gelombang Masuknya Industri Agro Industri agro sebenarnya bukan hal baru bagi penduduk TR, karena perkebunan Belanda pada dasarnya juga berupa industri. Industri agro yang berkembang sekarang berbarengan dengan perkembangan pertanian rakyat yang semakin intensif dan cenderung kearah industri juga. Dengan demikian pengaruhnya berbeda dengan masa Belanda dimana kompetisi terjadi lebih komplek, tidak hanya tanah, tapi juga tenaga kerja modal, dan pasar. Industri agro pertama, masuk pada tahun 1984 berupa kebijakan dari pusat (Jakarta) untuk menggunakan lahan Gabes II (bekas perkebunan Kina) di Junggo untuk proyek industri pengalengan asparagus. Pengembangan industri ini diharapkan mampu memacu pertumbuhan industri di pedesaan selain untuk mengoptimalkan aset pemerintah yang terbengkalai. Industri itu bernaung dibawah PT. AN yang bergerak di bidang pengalengan asparagus. Petani diajak bermitra dengan PT. AN untuk menanam asparagus, sementara pabrik menerima hasilnya. Modelnya kemitraan bertujuan untuk memberi akses pada petani atas lahan bekas perkebunan secara sah, mengingat tanah itu sebelumnya memang bukan hak petani. Petani menerima dan mulai menanam asparagus pada lahan bekas perkebunan. Secara otomatis hak petani atas lahan hilang dan tanah secara sah dalam kendali PT. AN. PT. AN memperkenalkan cara produksi yang relative baru pada penduduk. Sistem kemitraan belum dikenal sebelumnya, yang ada hanya sewa dan gadai atau pembelian langsung. Pabrik modern juga baru sekali itu dikenal penduduk terutama pada proses pengolahan. Mereka tidak pernah memikirkan 92 sebegitu jauh tentang pengemasan barang, yang dia tahu tanaman basah dapat dijual langsung. Selain itu sistem upah bulanan juga mulai dikenal, juga sistem buruh tetap. Dengan dikenalnya sisem ini hubungan perburuhan semakin mendekati hubungan industrial. Manajemen pengelolaan PT. AN menggunakan ciri perusahaan modern, dimana ada tiga kompenen utama dalam produksi yakni pemilik saat itu pemerintah dan investor, para manajer yang mengelola operasional perusahaan, dan para buruh yang mengerjakan produksi. Hal dan kewajiban masing-masing tercantum dalam kontrak kerja yang merujuk pada ketentuan yang dibuat Negara. Relasi produksi sangat herarkhis dengan aturan yang rumit dan tertulis antara pekerja dan pemilik. Terkait dengan pengadaan bahan produksi, pabrik melakukan kemitraan dengan petani. Kemitraan ini sebenarnya tidaklah sebagaimana konsep semestinya dimana ada kesetaraan antar pelaku. Yang terjadi sebenarnya PT. AN hanya mempekerjakan petani tanpa ikatan kontrak sebagai pekerja. Kenapa demikian? Petani sebenarnya tidak memiliki kekuatan produksi pokok yakni tanah dan modal uang. Keduanya adalah milik PT. AN. Meski sebagai mitra, pada dasarnya petani tidak memiliki kekuatan produksi yang dapat dijadikan modal. Mereka sebenarnya buruh yang dipekerjakan untuk menyediakan bahan baku dengan label kemitraan. PT. AN juga mengenalkan bermacam-macam jenis pestisida dan pupuk buatan serta cara budidaya yang lebih modern daripada yang dikenalkan pengusaha Cina. Cara-cara pemberantasan hama dilakukan dengan semprot mesin yang sebelumnya menggunakan semprot tangan biasa. Pengolahan kompos dengan cara modern juga diperkenalkan, termasuk cara pengelolaan paska panen sayur. Cara-cara ini akhirnya banyak diadopsi oleh penduduk dikemudian hari. Tidak begitu jelas sebab kebangkrutan industri agro pertama ini. Menurut beberapa sumber, sebelum bangkrut mereka sering melihat truk-truk membuang kaleng asparagus ke kali Brantas. Para petinggi pabrik mengatakan Negara pengimpor tidak mau menerima produk kita, sehingga banyak barang yang dikembalikan. Namun menurut bisik-bisik saat itu, Negara pengimpor tidak mau menerima karena kalengnya banyak yang rusak. Bahkan banyak memakai kaleng bekas. “Biasa, anggaran kalengnya masuk menajer pabrik, katanya! Yang jelas semenjak itu mulai ada pemberhentian pekerja dan pabrik ditutup. 93 Industri agro kedua, adalah PT. SK yang bergerak dibidang pembibitan bunga potong. PT. SK memperkerjakan sekitar 600 orang yang kebanyakkan penduduk lokal. Buruh juga diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan tergantung lama kerja dan keahliannya. Perusahaan ini dimiliki oleh etnik Cina yang bermukim di Surabaya, sementara pengelolaan pabrik diserahkan pada orang lokal kepercayaannya. PT. SK berdiri tahun 1995 dengan membeli jatah tanah TNI AL dari pembagian bekas kebun Teh tahun 1984 bersamaan dengan Unibraw dan Perhutani. PT. SK juga melakukan pembelian lahan-lahan petani di atas harga pasaran apalagi jika lokasi berbatasan dengan pabrik. Tak segan pabrik mengeluarkan uang 1/3 lebih tinggi dari harga semestinya, dan mengutus orangorang kepercayaan untuk membujuk pemilik tanah agar menjual tanahnya. Sebagaimana PT. AN, PT. SK juga menggunakan manajemen modern untuk mengelola perusahaan. Modal uang menjadi kekuatan produksi utama selain penguasaan tenaga kerja. Pemilik perusahaan tidak berada di tempat dan pabrik dikelola oleh seorang manajer. Para buruh diambil dari daerah sekitar bagi tenaga kasar, sementara untuk para ahli mereka mengambil dari luar daerah. Hak dan kewajiban buruh disesuaikan dengan aturan resmi pemerintah yang diatur dalam undang-undang tenaga kerja. Model penggajian di PT. SK mengikuti trend dan peraturan pemerintah (UMR). Hal ini menyebabkan kegoncangan kestabilan pasar tenaga kerja. Upah buruh yang sebelumnya hanya 5000 di PT. SK dapat 8000-10000 yang menyebabkan keterpurukan petani dan langkanya tenaga kerja. Para juragan hanya dapat mengusahakan “pandek” saja. Buruh tidak tetap banyak yang berpindah kerja di PT. SK. Para juragan akhirnya berinisiatif mencari buruh ke luar daerah dengan melakukan penjemputan dan pemulangan. Setiap jam 6 pagi mobil juragan menjemput dan jam empat sore mengantarkan pulang. Para pekerja yang rumahnya di pinggir jalan menunggu dipinggir jalan sementara yang jauh berkumpul di rumah yang terdekat atau di perempatan jalan. PT. SK akhirnya bangkrut karena demonstrasi besar-besaran buruh menuntut gaji sesuai UMR. Sejak berdiri kenaikan tidak lagi sesuai dengan UMR dan dianggap buruh merugikan mereka. Karena merasa berat, pekerja akhirnya di PHK dan diberi pesangon. Saat ini PT. SK mulai berdiri dengan usaha kecilkecilan dan memperkerjakan 200 orang pekerja lokal. Sekarang gaji sesuai dengan pasaran tidak mengacu pada UMR lagi. 94 Perkembangan Industri Pariwisata Semenjak Selecta di jual pada swasta, tempat wisata yang pada mulanya rusak perlahan mulai diperbaiki kembali. Perbaikan dilakukan bertahap dari taman wisata, baru menginjak fasilitas gedung dan hotel-hotel. Secara perlahan wisata kembali hidup, meski kapasitasnya masih sangat kecil dan hanya orang dari Surabaya dan Malang saja yang datang untuk berlibur. Namun demikian menurut ADI (55) pengelola Selecta, hal itu cukup untuk menghidupi karyawan dan mendapat untung meski sedikit. Tidak heran jika fasilitas hanya hotel Bima Sakti dan Gedung Perkasa yang sebenarnya bangunan lama. Masa-masa ini secara nasional memang masa-masa pemulihan ekonomi yang terpuruk setelah gonjang-ganjing PKI. Arus besar kebutuhan belum pada kebutuhan pariwisata, namun lebih pada kebutuhan lainnya. Pariwisata hanya milik kalangan tertentu yang jenuh pada kehidupan kota dan jumlahnya sangat sedikit. Tidak mengherankan jika tahun 70-an keberadaan tempat wisata kurang menjadi penggerak ekonomi yang penting. Tidak hanya ada di TR, kota Batu sebagai pusat wisata, hotel-hotel juga sepi pengunjung. Setelah Selecta dijual, pengelola baru sudah komitmen untuk melaksanakan manajemen perusahaan modern. Buruh direkrut melalui seleksi didasarkan atas keahlian masing-masing. Perusahaan dikelola layaknya perusahaan yang dibawahi seorang manajer. Pemilik sendiri tidak begitu aktif mengelola usaha dan hanya hadir saat rapat pemegang saham saja. Selecta berbeda dengan perusahaan lain dimana kawasan wisatanya tidak boleh dimiliki swasta murni. Jadi ada saham yang dimiliki oleh masyarakat sebagai konsesi yang harus dipenuhi Selecta saat membeli dari pemerintah. Pada tahun-tahun 75-an Selecta mulai ramai oleh pengunjung daripada periode sebelumnya. Saat itu apel mulai dikenal sebagai buah asli Batu dan bisa didapatkan dari Selecta. Apel menjadi penarik wisata selain pemandian dan taman-taman yang lebih asri mendampingi pemandian yang ada. Seiring dengan itu pedagang juga mulai muncul, terutama penjual kerajinan dan buah apel. Dengan demikian wisata mulai memiliki peranan pada masyarakat desa TR dikemudian hari. Pada tahun 80-an pariwisata semakin maju, dan banyak dibangun villa di jalan raya sepanjang Batu Selecta. Daerah paling banyak adalah Punten, yakni desa persis di bawah Selecta. Pemilik Villa-villa kebanyakan orang dari Surabaya yang ingin memiliki tempat istirahat di Batu. Hal itu secara otomatis semakin 95 memperbanyak kunjungan wisata ke Selecta sebagai tujuan wisata utama. Pendirian di punten hanya karena daerahnya lebih datar dan akses jalan besar lebih mudah, selain tanah sekitar jalan masih kosong. Di sisi lain, hotel dan penginapan juga mulai dibangun tidak hanya di punten tapi juga di TR di tahun 80-90-an. Dua hotel besar dibangun khusus untuk melayani tamu Selecta yang menginap. Hal ini menunjukkan peningkatan kunjungan wisata dan hotel di Selecta tidak mencukupi. Pada masa ini juga ada penambahan jumlah pedagang buah dan oleh-oleh khas Malang di sepanjang jalan menuju Selecta. Puncak pariwisata terjadi saat Indonesia sedang menggalakkan promosi wisata baik nasional maupun internasional. Sejak itu banyak orang dari luar negeri masuk untuk melihat pemandian Selecta yang terkenal sejak jaman Belanda. Orang-orang Belanda banyak yang datang untuk melihat dari dekat pemandian ini juga menikmati hotel-hotel bernuansa lama yang tidak dipugar hingga saat ini. Tahun 85-an adalah puncak dari ramainya kunjungan wisata dari luar juga dalam negeri. Selain turis luar negeri, perekonomian Indonesia juga cukup baik. Antusias pariwisata semakin bagus apalagi dengan berbagai kampanye tentang wisata. Pembangunan TMII, program Visit Indonesian Years, dan programprogram lain semakin menambah jumlah kunjungan wisata. Selecta semakin diperluas dengan membeli lahan-lahan di sekitarnya atau memberikan saham pada orang yang memiliki tanah sekitar untuk bangunan wisata. Puncak dari ramainya wisata terjadi ditandai dengan pembangunan pasar oleh-oleh di dalam daerah wisata yang menjadi satu paket dengan pemandian. Hingga masa itu pengelolaan Selecta belum mengalami perubahan sejak menjadi milik swasta. Meski pengujung banyak dan tuntutan atas peruabhan pengelolaan mendesak, belum juga ada perbaikan. Meski telah menggunakan cara modern pada dasarnya peran pemilik masih sangat bear dan ini kurang bagus bagi perkembangan perusahaan. Karena tuntutan para pemilik saham yang sebagian besar juga masyarakat sekitar, akhirnya dilakukan perombakan. Inilah awal babak baru dalam hubungan produksi industri pariwisata di TR. Perkembangan Selecta ternyata juga diikuti oleh munculnya tempattempat wisata alternative. Tak jauh dari Selecta juga dibuka tempat wisata Coban Talun, yakni air terjun dan perkemahan. Selain itu sumber air panas di dusun Sumberbrantas yang dulunya tidak komersial juga dibuka untuk wisata. 96 Tipe -tipe Moda Produksi Yang Terbangun Pertanian Semi-Komersial Moda produksi pertanian semi-komersialis kekuatan produksi masih bertumpu pada penguasaan lahan pertanian dan tenaga kerja keluarga, meski mereka telah merekut buruh dari sistem sosial lokal. Karena lahan masih luas, tenaga kerja menjadi kekuatan produksi utama. Penguasaan alat tidak menjadi kekuatan bagi keluarga tani karena seluruh petani memiliki alat yang sama. Komoditas yang diusahakan sudah bercampur antara komersial dan pangan dengan komposisi hampir sama. Unit produksi ada dalam organisasi produksi yang melibatkan pemilik-buruh-anggota keluarganya. Hubungan produksi dibangun pada organisasi produksi karena melibatkan buruh luar selain anggota keluarga. Dalam organisasi produksi ini ada hubungan buruh majikan. Dengan demikian, struktur hubungan produksi semakin herarkis dengan semakin banyaknya buruh yang bekerja. Dengan demikian sifat hubungan produksi menjadi cenderung eksploitatif. Petani-petani semi komersial ini sering dinamakan sebagai tani tanggung. Kapitalis Pertanian Moda produksi kapitalis pertanian merujuk pada usaha pertanian etnik Cina dan juragan yang berorientasi pada pasar. Meski pengelolaan pertanian masih dipimpin langsung oleh etnik Cina, namun sebenarnya menggunakan prinsip perusahaan modern. Dibanding petani, teknologi budidaya dan alat yang digunakan etnik Cina lebih modern. Transportasi motor mulai masuk meski tenaga orang (mbangkat) dan kuda masih dominan. Kekuatan produksi etnik Cina mengandalkan modal uang untuk mengupah buruh, menyewa lahan, dan biaya sarana produksi. Hubungan produksi yang dikembangkan dengan demikian terbatas pada organisasi produksi yang dikembangkan. Dengan seluruh pekerja buruh upahan, maka dapat dipastikan struktur hubungan produksi sangat herarkhis dengan piramida ada di pemilik modal. Sifat hubungan produksi tentu saja eksploitatif karena keuntungan sepenuhnya dihasilkan untuk pengusaha Cina dari mempekerjakan buruh upahan. Juragan meski tidak sebesar pengusaha Cina memiliki karakteristik yang hampir sama. 97 Kapitalis Industri Kekuatan produksi jelas mengandalkan modal uang sebagai alat produksi utama. Unit produksi perusahaan dimana manajemen modern diterapkan dengan ketat dalam setiap unit kerja. Buruh tidak direkut berdasarkan atas kedekatan tapi sepenuhnya mengambil dari pasar kerja berdasarkan ketrampilan yang diperlukan. Pabrik bunga sebagai misal tidak dapat begitu saja mengambil tenaga kerja petani karena keahlian yang dimilikinya masih lemah. Hubungan produksi lebih dibatasi pada perusahaan sebagai unit produksi. Hubungan sangat rumit dan herarkhis dimana pemilik menyerahkan jalannya perusahaan pada manejer yang diangkat olehnya. Dengan demikian sepenuhnya sifat hubungan produksi eksploitatif karena keuntungan tidak dibagi pada buruh tapi untuk pemilik modal. Orientasi produksi sepenuhnya untuk mencari keuntungan. Gambaran ketiga artikulasi moda produksi tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5. 10 : Artikulasi cara produksi semi-komersial, kapitalis pertanian dan kapitalis industri pada masa Orde Baru Aspek cara produksi Pertanian Semikomersial (Tani tanggung dan srabutan) Kapitalis pertanian (Juragan dan pengusaha Cina) Kapitalis (industri agro dan pariwisata) A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Modal Modal 2 Unit produksi Keluarga inti Organisasi produksi Perusahaan 3 Tenaga kerja utama Keluarga luas & buruh Buruh upahan Buruh upahan B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi Keluarga luas Organisasi produksi Perusahaan 2 Struktur hubungan produksi Cenderung herarkhis Herarkhis Herarkhis 3 Sifat hubungan produksi Cenderung eksploitatif Eksploitatif Eksploitatif Perubahan Moda Produksi Lokal : Kemapanan Kapitalis Pertanian Setelah intrik politik berakhir ditahun 1965, masuklah masa pembangunan. Petani menghadapi modernisasi pertanian yang dicanangkan oleh pemerintah melalui revolusi hijau. Bagi petani kaya (juragan) yang memiliki lahan luas dan telah mengadopsi cara produksi pengusaha Pengusaha Cina telah siap menerima program pemerintah. Peluang pembangunan memberi ruang bagi kelas elit untuk berkembang dan sejajar dengan pengusaha Cina. 98 Sepenuhnya usaha juragan dipisahkan dari rumahtangga meski pengelolaan masih dalam unit keluarga. Moda produksi kapitalisme pertanian semakin kuat seiring kebijakan pengembangan industri agro pemerintah. Para juragan masih dapat bersaing dengan industri. Industri bahkan mengadopsi cara kerja juragan terutama dalam pengorganisasian buruh. Mereka tidak memakai cara perusahaan modern murni tapi menggunakan cara juragan. Persaingan ini menyebabkan masyarakat semakin banyak yang terlempar dari lingkar perkembangan ekonomi. Juragan dan perusahaan agro, serta pariwisata secara perlahan mengambil kekuatan produksi utama yakni lahan petani. Muncul barisan petani tanggung dan tani srabutan yang kepemilikan tanahnya semakin sempit. Tidak terkecuali muncul juga barisan-barisan buruh tani yang jumlahnya ribuan orang dan bekerja pada perusahaan serta juragan. Meski terjadi perkembangan ekonomi ternyata juga terjadi penyisihan kelompok petani kecil dari orbit ekonomi. Munculnya kampung baru yang dihuni oleh petani tak bertanah dan orang-orang miskin menegaskankan hal itu. Bagaimana perubahan yang terjadi pada moda produksi pertanian dengan adanya kejadian-kejadian itu? Secara perlahan seluruh sisa-sia pertanian tradisional habis dan berganti menjadi kapitalis dan semi-komersial. Jumlah semi-komersial cenderung menurun menjadi barisan buruh tani. Industri berkembang meski tidak seagresif juragan. Telah terjadi pergeseran kekuatan produksi maupun hubungan produksi pada pertanian komersial yang telah tumbuh menjadi kapitalis pertanian. Kekuatan produksi terkait alat produksi yang dulu didominasi oleh tanah sekarang menjadi perpaduan antara keduanya. Tanah menjadi alat utama disamping juga modal. Modal dapat menjamin alat berguna untuk operasional produksi. Unit produksi tetap pada organisasi produksi, namun telah dimodernisasi dengan aturan-aturan kontraktual yang ketat. Buruh tidak hanya terbatas pada sistem sosial lokal tapi telah meluas hingga ke luar desa. Hubungan produksi juga berubah demikian cepat. Batas hubungan produksi pada organisasi produksi yang diorganisir dari buruh yang didatangkan dari berbagai daerah. Struktur semakin herarkhis dengan penunjukkan mandormandor dalam proses produksi. Dengan demikian eksploitatif semakin kentara dari hubungan buruh-juragan. 99 Untuk petani yang tidak begitu kapitalis (tani tanggung da srabutan) memang tidak demikian herakhis dan eksploitatif. Tapi secara nyata tujuan produksi mereka bergeser murni untuk mencari keuntungan sebagaimana juragan dan pengusaha Cina. Kekuatan produksi masih mengandalkan tanah, sementara modal tidak mereka kuasai. Karena kondisi itulah secara perlahan mereka berubah menjadi kapitalis bagi yang berhasil dan menjadi buruh bagi yang terlempar. Dan kenyatannya sebagian besar dari mereka terlempar dari orbit ekonomi. Secara skematis gambaran aspek moda produksi keduanya dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5.11 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersial dan kapitalis di TR pada masa Orde Baru Periode 1950-1965 Aspek cara produksi Pertanian semikomersial A 1 Kekuatan produksi Tanah Tanah 2 Keluarga inti 3 Pertanian tradisional Periode 1966-1997 Pertanian Semikomersial Kapitalis pertanian Tanah Tanah Keluarga inti Keluarga inti Organisasi produksi Keluarga luas Keluarga luas dan buruh dan buruh Hubungan produksi Keluarga inti Keluarga luas dan buruh Buruh upahan Keluarga inti 2 Organisasi produksi Herarkhis Organisasi produksi Herarkhis 3 Eksploitatif Organisasi produksi Semakin herarkhis Semakin eksploitatif B 1 Keluarga inti Organisasi produksi Semakin herarkhis Semakin eksploitatif Egaliter Tidak eksploitatif Eksploitatif Perubahan cara produksi pertanian di atas dengan sendirinya merubah seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat desa. Pertama, terkait kelembagaan produksi. Orientasi produksi berubah kearah komersial akibat berbagai peristiwa yang terjadi setelah kemerdekaan. Produksi tidak lagi sebatas untuk mencukupi kebutuhan desa, tapi juga luar daerah. Nilai kewirausahaan meningkat dengan cepat seiring keberhasilan akumulasi kekayaan petani-petani kaya. Organisasi produksi tidak lagi bersatu dengan rumah tangga dan mulai melakukan pembukuan terpisah. Kelembagaan sewa menjadi cara paling mudah untuk mendapatkan lahan pertanian. Kedua, perubahan bentuk pertukaran ekonomi. Mekanisme pertukaran dari hubungan kerabat dan sedikit jual beli menjadi banyak jual beli dan sedikit kerabat. Basis kerjasama telah murni kontraktual secara individual, sehingga 100 tidak ada ikatan-ikatan primordial lagi dalam pertukaran ekonomi. Harga juga ditentukan oleh pasar dan sepenuhnya berdasar pada aspek tawar menawar. Produksi tidak untuk dipertukarkan dengan pengakuan sosial, tapi murni untuk mencari keuntungan. Ketiga, perubahan relasi sosial produksi. Jika pada masa kolonial masih ada ikatan kerabat, telah berubah menjadi murni pekerja. Upah telah sepenuhnya dinilai dengan uang dan tidak ada pertukaran natura. Tenaga kerja kerabatpun akan dihitung dalam uang dan tidak mengenal natura lagi. Dengan demikian hubungan buruh-majikan bersifat sangat herarkhis. Buruh tidak hanya dari sistem sosial desa, tapi juga didatangkan dari luar daerah. Keempat, perubahan relasi kekuasaan. Jika pada masa sebelumnya kekuasaan dipegang oleh pengusaha Cina, sekarang didominasi oleh para petani kaya. Petani kaya dapat mengendalikan buruh sepenuhnya, juga menentukan berbagai keputusan dalam produksi. Melalui pemimpin lokal petani kaya mendapatkan legitimasi untuk melakukan akumulasi kekuatan produksi berupa lahan pertanian. Bahkan secara nyata seluruh program pembangunan yang lewat pemerintah masuk lebih banyak pada petani kaya. Perubahan yang terjadi pada moda produksi pertanian tradisional selama Orde Baru dapat dilihat dalam skema berikut: Tabel 5.12 : Kecenderungan perubahan moda produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Orde Baru Ciri-ciri moda produksi Artikulasinya Kelembagaan produksi Orde Lama (1950-1965) Berorientasi pada kebutuhan sistem kapitalis Orde Baru (1966-1997) Berorientasi pada kapitalis Nilai yang mengatur orientasi produksi Untuk dijual semakin besar dari keluarga Nilai yang mengatur tujuan produksi Semakin erat dengan nilai kapitalis Keluarga sebagai unit produksi Pasar lokal, internasional, dan sedikit untuk konsumsi terutama tani srabutan Pada nilai luar meski memperhatikan lingkungan sosial Keluarga sebagai unit produksi tapi telah terpisah pembukuannya Nilai yang mengatur organisasi produksi nilai Nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi Bentuk pertukaran ekonomi Elemen yang terlibat dalam proses produksi Mekanisme petukaran Tanah milik pribadi untuk mencari keuntungan Kepemilikan pribadi dan sewa Semakin negatif Negative Petani-buruh-kerabat, buruh semakin dominan Tukar menukar pasar Basis kerjasama Hubungan kontraktual Petani-lembaga keuangan-buruh upahan Sepenuhnya tukar-menukar melalui pasar Hubungan kontraktual dengan adanya buruh 101 Tabel 5.12 : (lanjutan) Ciri-ciri moda produksi Orde Lama (1950-1965) Artikulasinya Orde Baru (1966-1997) Basis Relasi sosial produksi Sifat relasi sosial produksi Sistem upah semakin dominan Upah sepenuhnya Herarkhis Sumber buruh Relasi kekuasaan Dari s istem sosial secara luas Eksploitasi bertambah Ketrampilan Herarkhis karena buruh upahan, untuk tani tanggung relative egaliter dan srabutan sepenuhnya egaliter Dari pasar kerja dan luar daerah Eksploitatif sepenuhnya Ketrampilan dan sedikit hubungan keluarga Penguasaan lahan dan pemanfaatan program pemerintah Petani kaya/juragan Sumber kekuasaan buruh Sumber kekuasaan majikan Penguasaan kekuatan produksi lahan Kekuasaan yang dominan Pengusaha pengusaha Cina dan petani kaya Formasi Sosial Kapitalis Negara dan Keberlangsungan Moda Produksi Lokal Masa setelah orde lama, formasi sosial desa TR dibangun oleh tiga moda produksi utama yakni kapitalis pertanian yang diartikulasikan dalam pertanian pribumi dan pengusaha Cina, kapitalis industri yang diartikulasikan dalam industri agro dan pariwisata, serta subsistensi yang diartikulasikan dalam tani srabutan. Kebijakan Negara mendominasi pengaturan penguasaan kekuatan produksi. Siapa yang mampu meningkatkan produksi akan mendapat fasilitas pemerintah asal sesuai dengan visi dan misi Orde Baru yakni pertumbuhan. Berbagai kebijakan pemerintah merubah formasi kekuatan produksi paska kekacauan jaman PKI berimplikasi pada ketidak seimbangan konstelasi produksi. Pengusaha Cina dengan kekuatan modal dan kemudahan dari TNI-AU memiliki kemampuan untuk survive lebih besar daripada petani lokal. Mereka selalu menjaga hubungan baik dengan tentara dengan jalan menyewa lahan dalam jumlah luas dan memberikan berbagai fasilitas. Hal ini menjadi rahasia umum jika pengusaha Cina selalu memberi “angpao” (uang) pada para pejabat tentara untuk memperoleh lahan bekas perkebunan. Sementara itu petani kecil yang sudah mulai mengusahakan tanaman komersial saat pengusaha Cina pergi di tahun 60-an kembali mengusahakan tanaman non-komersial. Mereka sangat tertekan karena lahan perkebunan yang telah diusahakan sebelumnya harus dikembalikan pada Negara. Kejadian PKI adalah pukulan bagi gairah berusaha mereka. Menuntut hak atas tanah berarti bagian dari PKI dan dapat dianggap sebagai musuh negara. Tak ada jalan lain 102 bagi mereka kecuali menjadi tani kecil dan buruh tani pada juragan kaya, juga bekerja untuk pengusaha Cina. Petani kaya yang mampu menyewa dan membeli tanah semakin berkembang. Pengusiran pengusaha Cina dari desa TR menambah dominasi mereka. Petani kaya sepenuhnya menggunakan cara pengusaha Cina untuk mengorganisir produksinya baik dalam manajemen, maupun teknik produksi. Untuk permasalahan buruh mereka lebih maju dari pengusaha Cina dengan mengumpulkan tenaga kerja pada rumah-rumah yang ia bangun. Buruh mendapat makan dan minum dari juragan sehingga harus kerja sepanjang hari. Isi pembangunan adalah produksi. Untuk itu perlu memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya potensial untuk produksi. Di TR langkah pertama yang diambil pemerintah adalah menata penguasaan kekuatan produksi terutama lahan. Penertiban dilakukan dengan mengembalikan hak perkebunan, hak asli rakyat, dan hak para pengusaha Cina. Namun demikian tidak seluruhnya berhasil, karena tidak sepenuhnya lahan perkebunan yang dikuasai rakyat dikembalikan. Karena kekuatan produksi utama saat itu adalah lahan, menguasainya berarti dapat mengendalikan seluruh cara produksi, dan memberi corak dominan dalam formasi sosial. Orde baru pada dasarnya tidak memberikan perbedaan akses dalam melakukan modernisasi. Hanya saja untuk urusan privilege ORBA lebih mengutamakan Cina daripada penduduk. Konsesi yang diberikan oleh TNI-AU kepada mereka untuk mengusahakan lahan bekas perkebunan, merupakan bentuk privilege itu. Bahkan mereka dapat mengakses sumber modal lebih dulu. Pemerintah juga secara langsung turut serta dalam produksi melalui perusahaan Negara. PT. AN masuk mengenalkan perusahaan modern dengan manajemen kapitalis layaknya Belanda. PT. AN juga melibatkan sepenuhnya penduduk dalam organissi produksinya. Tidak berapa lama, PT-PT lain menyusul muncul juga memakai cara yang sama dengan PT. AN. Seluruhnya mengandalkan modal uang dan teknologi modern untuk menjalankan produksi. Pemerintah juga melakukan optimalisasi pemanfaatan kawasan wisata. Selecta yang sebelumnya tidak tergarap akhirnya di serahkan pada swasta untuk dikembangkan. Secara perlahan pariwisata mulai memberi kontribusi pada ekonomi TR. Bermunculan kemudian kegiatan-kegiatan ekonomi pendukung obyek wisata. Tempat-tempat wisata lain juga bermunculan dan berkontribusi pada perkembangan ekonomi lokal TR. 103 Dimana peran para petani? Saat-saat itu mereka lebih banyak melakukan konsolidasi usaha yang terganggu akibat kekacauan sistem pengaturan lahan. Bagi pemilik lahan luas mereka tinggal memanfaatkan saja fasilitas pemerintah, dan kebanyakan mengambil keuntungan dari itu. Intensifikasi mereka lakukan dengan gencar hingga akhirnya mampu bersaing dengan PT dan Industri pariwisata. Sementara itu sebagian banyak yang kehilangan lahan terutama bekas buruh yang dulu masuk ke perkebunan. Pembagian oleh PKI tidak dapat lagi digunakan karena telah dikuasai oleh TNI-AU apalagi setelah program transmigrasi. Kelompok inilah yang kemudian menjadi tani tanggung dan tani srabutan dimasa datang. Cara produksi apa yang dominan saat itu? Jika kita lihat dari besar pengaruhnya, pada masa itu yang selalu membuat perubahan-perubahan adalah industri agro. Kebijakan modernisasi pemerintah yang ditujukan pada penduduk hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk, dan hanya mampu mengantarkan mereka pada mobilisasi saja. Sementara itu industri pariwisata belum dapat dikatakan memiliki pengaruh karena juga masih pada tahap konsolidasi. Dengan demikian industri agrolah yang menjadi penggerak dominan perubahan. Dengan demikian formasi sosial yang terbangun lebih menuju pada kapitalis. Gejolak-gejolak upah tenaga kerja dan keluhan para juragan adalah wujud dominasi industri agro pada formasi sosial kapitalis baru. Dengan berbagai cara juragan mulai mengadopsi sistem pengorganisasian tenaga kerja berupa pengetatan-pengetatan aturan kerja. Selain itu berbagai fasilitas yang diberikan dulu tanpa imbalan apa-apa mulai dikaitkan dengan kinerja kerja buruh. Puncaknya saat juragan akhirnya menyerah dan menyesuaikan upahnya dengan pabrik meski dengan berbagai tuntutan baru pada pekerja. Pada masa Orde Baru, moda produksi pertanian tradisional sepenuhnya hilang dan berganti menjadi semi-komersial dan kapitalis pertanian. Semikomersial banyak diisi oleh petani-petani kebanyakan yang tidak segera meniru cara produksi yang dikembangkan oleh pengusaha Cina pada awal-awal kemerdekaan. Bagi yang masih memiliki kekuatan produksi bertahan menjadi semi-komersial dan bagi yang tidak akan langsung menjadi buruh upahan pada industri agro dan wisata maupun petani kaya dan pengusaha Cina. Aktor-aktor ekonomi lokal yang terdiri dari petani kaya semakin kuat posisinya karena mereka mampu bertahan dan melebarkan usahanya. Jaringan pemasaran dan tanah mereka kuasai sebagaimana pengusaha Cina menguasai sebelumnya. Mereka bahkan mampu bersaing dengan posisi sejajar setelah 104 pengusaha Cina yang sebelumnya di usir kembali lagi. Selama pengusaha Cina pergi dan krisis politik berkepanjangan, petani-petani kaya ini ternyata memapankan kemampuannya. Al-hasil setelah pembangunan seluruh peluang yang ada dapat mereka manfaatkan dengan baik. Pada tahun 1982 posisi Juragan yang berasal dari petani kaya semakin kuat saat menyebar isu anti pengusaha Cina di Malang. Menurut beberapa responden orang-orang Cina dan peranakannya sangat takut dan banyak meninggalkan usahanya. Di TR mereka juga banyak yang begitu saja meninggalkan asetnya dan tidak di urus hingga bertahun-tahun. Tanah terlantar milik pengusaha Cina salah satunya diambil oleh penduduk di daerah SARFAAT untuk pemukiman. Gencarnya isu anti Cina saat itu dikenal dengan istilah RAC (Remaja Anti Cina) yang melakukan sweping dan intimidasi. Jadi, selama orde baru cara produksi lokal yakni pertanian semikomersial dan tradisional masing-masing berubah menjadi kapitalis pertanian yang diartikulasikan oleh petani kaya, sementara pertanian tradisional menjadi buruh tani. Pertanian tradisional hilang sehingga cara produksi lokal sepenuhnya berubah menjadi kapitalis. Masuknya industri semakin mempercepat proses kepunahan cara produksi lokal. Ikhtisar Berdasar temuan di atas, pada masa kolonial cara produksi yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial. Pertanian tradisional dalam posisi tersub-ordinasi karena seluruh surplus produksi diserap oleh perkebunan melalui tenaga kerja dan pangan. Elit lokal dan petani kaya memanfaatkan peningkatan kebutuhan pangan dengan jalan memperbanyak produksi namun tidak sampai terjadi akumulasi. Dengan demikian dominasi cara produksi tradisional secara perlahan memudar seiring perkembangan perkebunan dan usaha tani petani kaya. Pada awal kemerdekaan cara produksi yang muncul adalah pertanian tradisional (petani biasa), semi-komersial (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina). Cara produksi lokal terutama pertanian tradisional semakin tidak berpengaruh dan cenderung menjadi semi-komersial. Sementara itu petani kaya yang semi-komersial perlahan mulai menjadi kapitalis. Petani tradisional semakin menurun dan pengaruhnya semakin kecil digantikan oleh pertanian semi-komersial. 105 Memasuki Orde Baru, cara produksi yang muncul adalah pertanian semikomersial (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Pada masa ini pertanian tradisional sepenuhnya hilang dan tinggal pertanian semi-komersial yang masih memiliki corak lokal. Pertanian semi-komersial sebenarnya tidak begitu berpengaruh karena seluruh kegiatan ekonomi berkiblat pada investasi pemerintah. Para pelaku ekonomi lokal akhirnya menjadi buruh tani bagi yang tidak mampu bertahan atau usaha tani kecil-kecilan bagi yang masih bertanah, sebagian yang lain melakukan ekspansi ke lereng-lereng gunung. Moda produksi lokal telah berubah dari moda produksi pertanian tradisional sebelum masuknya kolonialisme menjadi kapitalis pertanian dan pertanian semi-komersial setelah reformasi. Pada masa kolonial cara produksi pertanian tradisional terpecah menjadi dua yakni pertanian semi-komersial yang diartikulasikan oleh usahatani petani kaya dan pertanian tradisional yang diusahakan oleh petani kebanyakkan. Perubahan ini didorong oleh kegiatankegiatan perkebunan yang memaksa sistem lokal untuk mendukung sepenuhnya sistem perkebunan. Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1950 terjadi perombakan mendasar pada sistem sosial desa karena masuknya Jepang dan pengusaha Cina. Jepang membongkar perkebunan dan membagikan lahan pada penduduk, sementara pengusaha Cina memasukan komoditas kentang yang sangat komersial pada struktur ekonomi lokal. Akibatnya petani yang telah mulai komersial saat penjajahan menjadi semakin komersial. Jumlah mereka semakin banyak dan cenderung meningkat pada periode berikutnya. Bahkan pada masa Orde Lama petani lokal banyak yang menjadi semi-komersial dan mengusir pengusaha Cina dari TR. Beberapa dari mereka bahkan telah menjadi kapitalis pertanian dan menggantikan peran pengusaha Cina. Memasuki Orde Baru cara produksi pertanian lokal semakin kuat bahkan ketika pengusaha Cina datang mereka sepenuhnya dapat bersaing memperebutkan peluang pembangunan. Hanya saja perkembangan itu dibarengi oleh meningkatnya jumlah petani tak berlahan dan buruh tani. Hal itu semakin parah saat industri juga masuk memperebutkan kekuatan ekonomi desa. Pada masa Orde Baru sepenuhnya pertanian tradisional tidak ada lagi. Mengenai evolusi cara produksi lokal dari masa ke masa yang terjadi di TR dapat dilihat secara ringkas dalam tabel berikut: 102 Tabel 5.13 : Perubahan aspek-aspek cara produksi pertanian tradisonal dari jaman kolonial hingga saat ini Periode Aspek cara produksi A Kekuatan produksi 1 Alat produksi dominan 2 Unit produksi 3 Sumber tenaga kerja utama B Hubungan Produksi 1 Batas sosial hubungan produksi 2 Struktur hubungan produksi 3 Sifat hubungan produksi 2 Orde Baru 1966-1997 5 Periode kolonial 2 akhir Periode awal kemerdekaan 3 (1945-1950) Orde Lama 19504 1965 Pertanian semikomersial Pertanian semi komersial Pertanian Semikomersial Kapitalis pertanian Pertanian Semi-komersial Tanah Tanah Tanah Modal Tanah Keluarga inti Keluarga inti Keluarga inti Organisasi produksi Keluarga inti Keluarga luas dan buruh Keluarga luas dan buruh Keluarga luas dan buruh Buruh upahan Keluarga luas dan buruh Keluarga luas Keluarga luas Keluarga luas Organisasi produksi Keluarga luas Mulai herarkhis Semakin herarkhis Herarkhis Herarkhis Herarkhis Mulai eksploitatif Semakin eskploitatif Eksploitatif Eksploitatif Eksploitatif Periode ini pertanian semi-komersialis diartikulasikan oleh petani kaya yang mampu memetik manfaat dari perkebunan, dan kebanyakan petani masih bercirikan pertanian tradisional Periode ini pertanian semi-komersial jumlahnya semakin banyak seiring masuknya pengusaha Cina yang membawa komoditas kentang, sementara jumlah petani tradisional masih banyak. 4 Periode ini pertanian semi-komersial kelanjutan periode sebelumnya yang semakin besar, dimana jumlah petani tradisional semakin kecil dan tinggal di daerah yang jauh. 5 Periode ini pertanian komersial sebelumnya menjadi kapitalis, sementara tradisional menjadi komersial atau menjadi buruh tani, saat ini telah masuk industri agro ke desa. 3 103 Perubahan pada moda produksi lokal diatas selanjutnya berimplikasi pada perubahan sistem sosial secara umum. Kelembagaan produksi, pertukaran ekonomi, relasi sosial produksi dan relasi kekuasaan dalam masyarakat mengalami pergeseran. Terlihat setelah cara produksi kapitalis kolonial masuk kelembagaan produksi berubah orientasinya dari sistem lokal ke nilai-nilai kapitalis. Sementara itu pertukaran ekonomi dari agak altruistic dimasa kolonial menjadi balance dimasa kolonial, mulai negatif saat awal kemerdekaan, semakin negatif pada masa Orde Lama, negatif penuh pada masa Orde Baru, dan sangat negatif pada masa reformasi. Relasi sosial produksi yang berkembang di masyarakat juga mengalami perubahan secara perlahan dari masa ke masa. Pra kolonial basis hubungan produksi masih pada hubungan keluarga, mulai mengenal sistem upah saat cara produksi kolonial masuk, sistem upah menjadi biasa saat awal kemerdekaan, sistem upah semakin biasa saat Orde Lama, dan selama Orde Baru dan reformasi sistem upah mendominasi seluruh hubungan sosial produksi. Selain relasi sosial produksi, relasi kekuasaan di TR juga mengalami evolusi dari masa ke masa. Pada masa pro-kolonial sifat hubungan kekuasaan dalam masyarakat masih berdasar atas kerjasama. Setelah cara produksi kolonial masuk mulai eksploitatif dan semakin eksploitatif pada masa awal kemerdekaan. Perkembangan berikutnya pada masa Orde Lama eksploitatif semakin mendominasi dan saat Orde Baru sepenuhnya seluruh hubungan kekuasaan dalam masyarakat bersifat eksploitatif. Sementara itu setelah reformasi hubungan menjadi eksploitatif oportunistik. Secara ringkas pergeseran yang terjadi pada sistem sosial terkait dengan perubahan cara produksi dari masa ke masa dapat dilihat dalam tabel berikut: 104 Tabel 5.14 : Evolusi ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional dari masa kolonial hingga saat ini Ciri-ciri cara produksi Kolonial akhir (1870-1945) Awal Merdeka (1945-1997) Orde Lama (1950-1965) Orde baru (1966-1997) Kelembagaan produksi Berorientasi pada sistem kapitalis Berorientasi pada sistem kapitalis Berorientasi pada sistem kapitalis Berorientasi pada nilai kapitalis Nilai yang mengatur orientasi produksi Memenuhi kebutuhan keluarga, buruh perkebunan, dan mulai komersial Memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk dijual Untuk dijual semakin besar dari keluarga Pasar lokal, internasional, dan sedikit untuk konsumsi terutama tani srabutan Nilai yang mengatur tujuan produksi Pada keselarasan dengan lingkungan sosial Pada nilai kapitalis meski melihat lingkungan sosial Semakin erat dengan nilai kapitalis Pada nilai luar meski memperhatikan lingkungan sosial Nilai yang mengatur organisasi produksi Keluarga sebagai unit produksi Keluarga sebagai unit produksi Keluarga sebagai unit produksi Keluarga sebagai unit produksi tapi telah terpisah pembukuannya Nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi Tanah milik pribadi tapi memiliki tanggungjawab sosial Tanah milik pribadi untuk mencari keuntungan Tanah milik pribadi untuk mencari keuntungan Kepemilikan pribadi dan sewa Bentuk pertukaran ekonomi Balance Mulai negatif Semakin negatif Negative Elemen yang terlibat dalam proses produksi Petani dan keluarga, kerabat, buruh upahan, dan sesepuh desa. Petani-buruh-kerabat Petani-buruh-kerabat, buruh semakin dominan Petani-lembaga keuangan-buruh upahan Mekanisme petukaran Tukar-menukar melalui pasar, kecuali dalam jaringan kerabat Tukar menukar melalui pasar Tukar menukar pasar Sepenuhnya tukar-menukar melalui pasar Basis kerjasama Hubungan kontraktual dengan adanya buruh Hubungan kontraktual Hubungan kontraktual Hubungan kontraktual dengan adanya buruh Relasi sosial produksi Mulai mengenal system upah Sistem upah semakin biasa Sistem upah semakin dominan Upah sepenuhnya Sifat relasi sosial produksi Mulai bersifat herarkhis dengan adanya buruh upahan Herarkhis karena buruh semakin banyak Herarkhis Herarkhis karena buruh upahan, tani tanggung relative egaliter dan srabutan egaliter Sumber buruh Dari sistem sosial luas, meski kerabat diperlukan Dari sistem sosial secara luas Dari sistem sosial secara luas Dari pasar kerja dan luar daerah Relasi kekuasaan Mulai eksploitatif Semakin eksploitatif Eksploitasi bertambah Eksploitatif sepenuhnya Sumber kekuasaan buruh Kedekatan dan ketrampilan Ketrampilan Ketrampilan Ketrampilan dan sedikit hubungan keluarga Sumber kekuasaan majikan Penguasaan kekuatan produksi terutama lahan Penguasaan kekuaan produksi terutama lahan Penguasaan kekuatan produksi lahan Penguasaan lahan, memanfaatkan program pemerintah Petani kaya Pengusaha cina Pengusaha pengusaha Cina dan petani kaya Petani kaya/juragan Kekuasaan dominan 105 Berdasarkan moda produksi di atas dan perubahan yang terjadi pada moda produksi lokal pada akhir kolonial hingga saat ini formasi sosial yang terbangun dalam tiap masa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pertanian tradisional lokal yang menjadi ciri formasi sosial awal desa berubah ketika cara produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam perkebunan Belanda masuk dalam struktur ekonomi lokal. Dengan masuknya cara produksi kapitalis ini cara produksi lokal akhirnya menjadi tersub-ordinasi. Hal itu berubah setelah Penjajah Jepang masuk, kemerdekaan dan rencana ekonomi pemerintah saat itu, serta masuknya pengusaha Cina. Masa awal kemerdekaan ini diliputi oleh perang fisik dan mobilitas produksi untuk memulihkan ekonomi nasional yang sedang ambruk. Setelah Belanda pergi dan pengusaha Cina masuk maka cara produksi lokal menjadi tersub-ordinasi oleh cara produksi kapitalis pertanian yang dikembangkan oleh pengusaha Cina. Masa-masa ini berakhir tahun 1950-an. Masa berikutnya adalah Orde Lama, dimana nasionalisasi perkebunan dilakukan dan petani mulai memiliki kesadaran politik karena masuknya politik hingga tingkat desa. Petani sebagai pelaku ekonomi lokal mulai belajar dan meniru cara produksi baru yang dikenalkan oleh pengusaha Cina. Petani-petani lokal yang memiliki kemampuan akhirnya mampu menjadi lebih komersial karena mereka mulai mengusahakan tanaman komersial. Mereka adalah para petani kaya yang sebelumnya telah mampu memetik keuntungan dari perkebunan. Secara perlahan dominasi cara produksi kapitalis pertanian yang dikembangkan oleh pengusaha Cina tergeser oleh petani kaya lokal. Hal itu mencapai puncaknya ditahun 1960-an saat pengusaha Cina di usir dari desa TR. Masa ini berakhir tahun 1965 saat peristiwa PKI. Memasuki Orde Baru seluruh potensi nasional diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi sehingga dikembangkan modernisasi di pedesaan. Seluruhnya diperbolehkan mengambil keuntungan dari desa termasuk pengusaha Cina yang telah terusir. Industri agro dan program-program pembangunan di masukkan dan dapat ditangkap oleh petani kaya dan pengusaha Cina. Kiblat saat itu adalah investasi pemerintah sehingga yang dominan adalah cara produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam industri agro dan wisata, serta petani kaya dan pengusaha Cina. Dominasi ini berubah dengan cepat saat krisis ekonomi, dimana seluruh cara produksi di TR terhenti hingga 106 akhirnya melakukan reposisi diri. Mengenai formasi sosial yang terbangun dalam tiap periode dapat dilihat lebih rinci dalam tabel berikut: Tabel 5.14 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi Cara produksi Masa kolonial Awal Orde Lama Orde Baru kemerdekaan Pertanian Tradisional *** ** * 0 Kapitalis kolonial **** 0 0 0 Pertanian semi-komersial * ** *** * Kapitalis pertanian 0 **** **** *** Kapitalis 0 0 0 **** Ket : ***** *** ** Sangat mendominasi Mendominasi Kurang mendominasi * 0 Tidak mendominasi Tidak ada Dari tabel di atas, terlihat pada masa kolonial cara produksi kapitalis kolonial sangat dominan, baru disusul oleh pertanian tradisional, dan pertanian semi komersial. Pertanian komersial meski lebih dekat dengan kapitalis kolonial belum menjadi kekuatan yang dominan akibat pertumbuhannya yang sangat terbatas. Ia tumbuh karena kebutuhan pangan buruh dimana pertanian tradisional juga menyumbangkan surplus produksinya meski kecil. Karena kondisi demikian dominasi pertanian semi-komersial relatif lebih rendah dibanding dengan pertanian tradisional. Hal berbeda terjadi pada masa awal kemerdekaan dimana kapitalis pertanian yang dibawa pengusaha Cina sangat mendominasi. Di sisi lain pertanian semi-komersial juga berkembang dengan pelaku para petani kaya yang telah tumbuh sebelumnya pada masa kolonial. Pertanian tradisional malah menurun dominasinya karena banyak petani tradisional yang berpindah menanam tanaman komersial sebagaimana yang diusahakan pengusaha Cina dan tani semi-komersial. Pada masa Orde Lama yang meningkat pengaruhnya hanyalah pertanian semi-komersial. Banyaknya petani tradisional yang berpindah ke tanaman komersial cenderung meningkatkan pengaruh cara produksi ini. Namun demikian, dominasi cara produksi kapitalis pertanian tetap kuat. Di sisi lain 107 pengaruh pertanian tradisional menjadi sangat kecil karena banyak yang beralih ke pertanian semi-komersial. Dominasi kapitalis pertanian rupanya berakhir setelah orde baru. Investasi pemerintah yang cukup besar di bidang industri agro menjadikan cara produksi kapitalis menjadi dominan. Kapitalis pertanian dengan pemain pengusaha Cina dan petani kaya harus bergeser, sementara petani semikomersial menjadi sangat kecil pengaruhnya. Banyak dari pelaku cara produksi semi-komersial yang menjadi kapitalis atau buruh. Pada masa reformasi sebenarnya tidak ada perbedaan dengan masa sebelumnya. Hanya saja pertanian semi-komersial sebenarnya telah sangat berkurang pengaruhnya dan cenderung beralih ke kapitalis pertanian. Pelakunya banyak yang kehilangan kekuatan produksi dan menjadi buruh tani atau buruh industri. Sebenarnya kapitalis pertanian meningkat pengaruhnya, namun dominasi cara produksi kapitalis sangat kuat karena masuknya para investor baru selain pemain lama. Kekuatan modal yang dimiliki dan cara pengorganisasian buruh baru menambah kekuatan dominasi cara produksi ini. DINAMIKA MODA PRODUKSI DAN FORMASI SOSIAL KONTEMPORER (1997-2005) Bab ini membahas perubahan moda produksi kapitalis pertanian akibat perkembangan-perkembangan mendasar berbagai artikulasi ekonomi kapitalis terutama dalam industri agro dan pariwisata. Setelah krisis, industri agro dan pariwisata merombak organisasi produksinya dari model manajemen modern klasik, menjadi lebih akomodatif terhadap sistem yang berkembang di masyarakat. Strukturnya tidak lagi kaku dan herakhis, tapi lebih luwes terutama pada pengorganisasian buruh upahan. Faktor-faktor Pendorong Perubahan Perkembangan Juragan dan Pengusaha Cina Juragan dan pengusaha Cina identik dengan kekayaan, keberhasilan, dan tanah yang luas. Juragan mulai mendapat warna jelas pada tahun 1990-an, saat sayur mencapai puncak kejayaan. Orang dikatakan juragan bila memiliki tanah luas, biasanya lebih dari lima hektar, memiliki banyak tanah sewaan, dan memelihara banyak boro kerjo 19. Meski peran juragan telah nampak dan semakin nyata, saat itu mereka belum mendominasi sepenuhnya ekonomi desa seperti sekarang. Disejajarkan dengan pengusaha industri agro dan pengusaha Cina, mereka belum memiliki kekuatan berarti saat itu. Saat ini juragan telah mendominasi dinamika ekonomi lokal, meski masih tetap kalah dengan industri. Sebelum krisis, kekuatan produksi juragan ditentukan oleh penguasaan lahan saja, dan sekarang mereka mampu menggabungkan modal uang dan lahan. Modal uang digunakan untuk sewa lahan, sementara modal lahan digunakan untuk mengambil uang di bank. Para juragan memiliki tanah luas lebih dari lima hektar, bahkan ada diantaranya yang hingga puluhan hektar 20. 19 Boro kerjo adalah nama bagi buruh dari luar daerah yang mencari kerja di TR dan menginap di sana hingga berbulan-bulan bahkan tahunan mengingat kerja di sayur dan apel sepanjang tahun. Mereka biasanya dari daerah marjinal seperti selatan Malang, Blitar, juga dari Pujon dan daerahdaerah lainnya di sekitar TR. Mereka menginap di rumah juragan karena tiap juragan memiliki rumah penampungan khusus untuk mereka, dan ada juga yang menginap dirumah penduduk atau di rumah saudaranya yang telah dulu masuk dan menjadi warga TR. 20 Di TR ada lima juragan yang menguasai tanah masing-masing tidak kurang dari 20 hektar baik milik pribadi maupun sewa yakni GRN, PNO, dan NRA yang menjadi juragan karena warisan, serta P. BK dan P. NY yang menjadi juragan karena usaha. Ketiga pertama masih memiliki hubungan saudara keturunan orang kaya lama, sementara dua kedua adalah bekas buruh boro dari Blitar yang kawin dengan orang elit lokal. 109 Seorang juragan mampu menampung tenaga kerja boro untuk tinggal di rumahnya hingga 50-an orang. Mereka bekerja sepanjang tahun dan mendapatkan gaji tiap bulan. Juragan juga memiliki beberapa orang pekerja tetap atau yang dikenal sebagai “pandek”. Juragan juga jarang berhubungan langsung dengan pekerja, tapi melalui mandor. Mandor adalah orang kepercayaan juragan yang bertugas melakukan kontrol terhadap kerja buruh dan bertanggungjawab pada penggajian. Biasanya mandor masih kerabat juragan, atau pandek yang sudah lama dan memiliki kepemimpinan yang baik. Seorang juragan mendapatkan pekerja melalui orang kepercayaannya. Orang kepercayaan ini biasanya telah lama bekerja padanya dan memiliki hubungan dengan asal pekerja. Juragan tinggal memesan berapa jumlah orang dan apa keahliannya. Ia akan mendapatkannya segera dengan bantuan orang kepercayaan tersebut. Karena tanaman sayur dan apel memerlukan perawatan sepanjang tahun, maka tenaga kerja diperlukan terus. Akibatnya, tenaga kerja harus ada sepanjang tahun dan hanya berhenti saat senggang saja. Karena itu juragan hafal betul dengan kelompok kerja yang bekerja padanya. Untuk juragan kaya dan memiliki tanah luas, pekerja dalam dan luar tidak mungkin mencukupi. Juragan demikian biasanya memiliki kuli tetap yang tinggal di rumahnya sepanjang tahun. Kuli ini digaji bulanan serta makan dan minum dari juragan. Kuli tetap bisa boro kerjo atau orang desa sendiri yang jumlahnya dapat 10-20 orang, bahkan hingga 50 orang. Mereka makan dan minum di rumah juragan dengan gaji yang sama dengan pekerja harian. Fasilitas lebih yang diterima diganti dengan kerja 24 jam penuh. Kadang kala mereka juga harus lembur jika sayur panen atau kirim barang ke luar daerah. Seorang kuli ada yang bekerja telah 25 tahun pada juragan yang sama. Kuli demikian biasanya berasal dari daerah yang jauh sehingga mereka tidak memungkinkan pulang ke daerahnya setiap hari. Mereka biasanya bekerja selama satu tahun dan pulang setiap lebaran, meski ada juga yang pulang setiap bulan atau 3 bulan sekali tergantung keuangan dan jauh dekatnya rumah. Seorang kuli yang pulang biasanya juga membawa teman baru untuk bekerja pada juraganya. Pola berantai ini berguna bagi kuli lama untuk menambah teman dan orang satu kampung agar kerasan. Orang yang membawa teman baru biasanya telah dipercaya oleh juragan atau paling tidak akan dikenalkan oleh orang kepercayaan agar diterima bekerja. Jika ada yang menjamin juragan pasti dapat menerimanya. 110 Juragan, karena sifat usahanya yang sangat kapitalis, memiliki hubungan sangat dekat dengan bank. Hal ini untuk mendukung permodalan mereka terutama dalam menghidupi tenaga kerja. Uang pinjaman bank dapat mencapai ratusan juta yang dicicil dua kali setahun. Bank sangat dekat dengan usaha juragan sehingga sangat mudah untuk memberikan pinjaman dengan jaminan sertifikat. Ini merupakan usaha dari juragan untuk mendapatkan cara kerja dan membangun usahanya. Cara Mengorganisasikan Buruh. Tidak hanya permasalah kekuatan produksi, juragan juga melakukan perubahan mendasar pada relasi buruh majikan. Jika dulu buruh dapat bekerja apa saja dan kapan saja, saat ini buruh mengenai jumlah, jenis kelamin, dan keahliannya, tergantung pada jenis pekerjaannya. Terjadi spesialisasi pekerjaan sebagai konsekwensi atas semakin kapitalisnya juragan. Hal itu dapat dilihat dari seluruh item pekerjaan dalam satu proses produksi, dimana buruh telah memiliki spesifikasi tersendiri. Untuk tanaman apel pekerjaannya meliputi penanaman (lubang dan pengurukan) dikerjakan oleh laki-laki secara borongan. Setiap lubang tanaman seharga 1000 rupiah. Borongan ini marak saat PT. AN sering menggunakan sistem itu untuk mengerjakan pembuatan jalan ke pabrik dan pengolahan lahan. Sekarang kerja borongan tidak ada lagi dan seluruhnya dengan gaji. Paling tidak ada tiga jenis buruh yakni : pertama pandek adalah buruh yang telah lama bekerja pada juragan dan tidak berganti-ganti. Ia memiliki Hubungan khusus dengan juragan yang tidak dimiliki oleh buruh biasa. Pandek kadangkala hingga dikawinkan oleh juragan jika juragannya baik dan pandek ini seorang bujangan. Hubungan khusus itu berupa pinjaman uang, jaminan sosial jika kekurangan, juga membantu pekerjaan lain di luar kerja sawah. Saat pesta, kematian keluarga juragan, hajatan, pandeklah yang memiliki pekerjaan paling berat. Sangat jarang pandek berpindah juragan, jika tidak ada perselisihan cepat teratasi. Pindah terjadi jika juragan mati atau bangkrut dan pekerjaan tidak ada. Kedua, buruh bebas adalah buruh yang bekerja dengan bebas pada juragan tanpa terikat oleh Hubungan khusus. Ia dapat berpindah juragan semaunya dan untuk tim manapun. Buruh ini dapat memilih jenis pekerjaan dan juragan mana yang akan diikuti. Buruh dapat berhenti kapan saja tergantung kemampuan dan kemauannya. Ia tidak mendapat fasilitas khusus oleh juragan dan hanya mendapat gaji biasa. Buruh bebas ini kebanyakan berasal dari dalam desa dan memiliki kesempatan memilih juragan daripada buruh dari luar daerah. 111 Ketiga, boro Kerjo adalah pekerja luar daerah yang mencari kerja di TR dan menginap beberapa bulan selama musim pekerjaan. Mereka ada yang menginap di rumah juragan yang memang selalu disediakan atau di rumah penduduk. Mereka biasanya adalah anak-anak muda tapi ada pula orang-orang tua yang datang dari berbagai tempat. Mereka mendapatkan fasilitas dari juragan berupa tempat tinggal dan makan. Sebagai imbalan mereka harus bekerja sepanjang hari hingga malam. Bahkan, mereka juga harus siap mengawal pengiriman barang ke pasar kapan saja sesuai pesanan. Sekelompok pekerja datang ke Lokasi setiap jam 07.00 pagi dengan membawa alat masing-masing yakni cangkul, sabit, dan alat lainnya tergantung pekerjaan apa yang akan dilakukan. Alat-alat seperti sprayer, selang, alat angkut telah disediakan juragan dan dibawa mandor dari rumah juragan. Lahan yang jauh, biasanya telah dibuatkan rumah kecil untuk menampung alat-alat tersebut. Pekerja datang ke lokasi kalau segala kebutuhan kebun telah dilayani dan langsung bekerja. Buruh istirahat jam 09.00 pagi untuk makan pagi. Mereka telah membawa makanan dari rumah masing-masing. Biasanya mandor akan pergi dan makan di luar atau pindah lokasi untuk mengawasi pekerjaan di lahan lain. Mandor dapat membawahi beberapa tempat lahan, dan jika terlalu banyak, ia memiliki wakil informal. Biasanya wakil ini adalah “pandek” juragan yang telah lama bekerja, atau orang yang dipercaya mandor. Untuk kerja rompes biasanya dikerjakan perempuan, karena gajinya kecil dan hasilnya dengan laki-laki sama. Penanaman, rompes dan pemupukan tidak memerlukan keahlian sehingga siapapun juga boleh ikut. Sementara itu untuk pekerjaan memotong dan melengkungkan batang harus orang khusus. Buruh perempuan digaji 9-10 ribu per hari, sementara buruh laki-laki 10-12 ribu, dan buruh potong dapat 12-15 ribu sehari. Kesalahan potong dan melengkungkan batang apel menyebabkan kematian dan tidak berbuah. Pekerjaan pemupukan, tenaga kerja laki-laki dan perempuan bersama, dimana laki-laki mengangkut pupuk dan membuat lubang, sementara perempuan memupuk dan menutup lubangnya. Kalau yang tersedia tenaga kerja perempuan atau laki-laki saja, maka pemupukan dapat dilakukan salah satu. Untuk kerja rompes biasanya dikerjakan perempuan karena gajinya kecil dan hasilnya sama dengan laki-laki. Untuk mendapatkan buruh, juragan dapat menggunakan “pandek” atau orang kepercayaan untuk menghubungi kelompok kerja tertentu. Seorang 112 pandek kebun tinggal bilang pada kelompok-kelompok kerja, baik yang ada di dalam desa maupun yang dari luar desa. Kelompok kerja ini biasanya sekawanan orang yang biasa bekerja bersama dan didesa ada banyak kelompok kerja. Setiap kelompok kerja ada seorang pemimpin yang akan mengumpulkan orang-orang jika ia mendapat pesanan orang. Dengan menunjuk ketua kelompok ini maka juragan tidak perlu repot-repot mencari orang, tinggal pesan berapa yang diperlukan dan apa keahliannya. Biasanya kelompok kerja ini spesialis tertentu meski dapat juga melakukan pekerjaan lain. Kelompok kerja ini sebenarnya tidak formal, hanya karena keseharian mereka yang selalu bersama. Keanggotaan juga tidak tertutup sekali, namun terbuka bagi siapa saja. Namun biasanya seorang pemimpin akan memprioritaskan orang-orang dekatnya jika pekerjaan kecil. Namun jika pekerjaan besar ia dapat mengajak orang lain. Untuk mengenali kelompok, juragan tinggal melihat siapa pemimpinnya. Orang akan mengatakan “iku lho, golongane Cak Di” (itu lho, golongannya Cak Di). Golongan Cak Di menunjukkan kumpulan orang yang dipimpin Cak Di dan juragan akan langsung tahu kinerjanya. Dengan tahu kelompok tertentu, maka juragan telah paham orangnya pasti si A dan si B atau si C dengan kelemahan dan keunggulan masing-masing. Untuk pekerja dari luar, sang juragan akan memanfaatkan orang kepercayaannya yang biasanya telah lama bekerja disana untuk mencari orang. Juragan tinggal berapa kebutuhan dan apa keahliannya, ia mendapatkannya segera dengan bantuan orang kepercayaan. Orang kepercayaan adalah orang kampung tempat calon kuli tinggal. Setelah kuli terkumpul, keesokan harinya juragan menjemputnya. Tanaman sayur dan apel memerlukan perawatan sepanjang tahun, sehingga tenaga kerja diperlukan terus. Dengan demikian di TR, pekerjaan tersedia sepanjang tahun sehingga juragan hafal betul dengan kelompok kerja yang bekerja padanya. Hak dan Kewajiban Buruh dan Juragan. Pada dasarnya hak buruh adalah mendapatkan imbalan yang layak dalam bekerja dan tepat waktu pembayarannya. Imbalan pokok berupa gaji juga fasilitas lainnya berupa bonus, hadiah, THR atau bentuk-bentuk lain seperti rokok, makanan, juga pinjaman jika buruh memerlukan uang mendadak. Hak ini melekat pada buruh jika ia juga memenuhi berbagai kewajibannya. Kewajiban buruh adalah menyelesaikan pekerjaan dengan baik, tepat waktu dan tidak merugikan majikannya (berbuat salah, salah potong, salah 113 angkut atau malas-malasan). Seorang buruh harus rajin dan terampil agar diperhatikan dan mendapat gaji lebih dari juragannya. Buruh tidak boleh terlihat menganggur meski pekerjaannya selesai. Jika buruh berhenti bekerja, meski pekerjaan selesai maka tetap ia dikatakan malas dan ini menjadi beban bagi buruh dan merasa tidak enak dengan majikan. Buruh seringkali mencari pekerjaan lain seperti membersihkan selokan atau memeriksa kembali pekerjaaannya meski perkerjaan utama telah selesai. Sementara itu, hak majikan hanya satu yakni mendapatkan hasil pekerjaan yang memuaskan. Memuaskan artinya pekerjaan tepat waktu, hasil baik dan sedikit kerusakan. Dengan demikian, juragan memiliki hak penuh untuk menyuruh, menegur, juga memberhentikan buruh jika tidak memuaskannya. Teguran tidak langsung pada buruh yang bersangkutan, tapi melalui orang kepercayaan atau ketua kelompok kerja. Di sisi lain, kewajiban juragan adalah memberikan seluruh hak buruh dengan baik seperti gaji, bonus juga hadiah-hadiah tertentu. Selain itu juragan juga berkewajiban untuk menjaga hubungan baik untuk mendapatkan loyalitas buruh. Meski hanya buruh, dan tenaga kerja melimpah, menyalahi buruh dapat menyulitkan juragan dalam mencari buruh lagi. Juragan yang kasar dan sering memotong gaji akan dicap sebagai juragan lalim. Cap jelek dapat menurunkan reputasi dan berimbas pada kesulitan mencari buruh. Paling tidak buruh akan mengerjakannya terakhir setelah juragan lain selesai. Hal itu tentu merugikan juragan sendiri. Sebaliknya jika juragan sering memberi hadiah di luar gaji, juga berprilaku baik, maka ia akan menjadi prioritas. Akibat kondisi pasar kerja yang rentan isu demikian, maka juragan cenderung ingin menambah tenaga kerja tetap agar mendapat jaminan tenaga sepanjang tahun. Pekerja tetap relatif sulit berpindah dan lebih tekun dari pada buruh bebas. Buruh tetap merupakan buruh utama juragan, sementara buruh luar sebenarnya hanya untuk tambahan karena beban kerja yang tidak mungkin diselesaikan buruh tetap. Buruh luar cenderung sulit untuk dipegang dan kotrol juragan lemah. Karena sulitnya mencari buruh tetap, kadang juragan terpaksa merekut buruh luar lebih banyak. Mekanisme Kontrol Buruh oleh Juragan. Untuk mencapai target produksi, seorang juragan memerlukan kerja buruh yang baik. Buruh yang malas dan sembrono sangat merugikan. Buruh dikatakan baik jika kwalitas kerja dan kotinuitas kerja baik. Kwalitas diukur dari banykanya hasil pekerjaan dan 114 kecepatan waktunya. Sementara itu kontinuitas kerja adalah konsistensi buruh untuk selalu masuk kerja setiap juragan memerlukan tenaganya. Agar keduanya terjamin maka juragan perlu melakukan kontrol terhadap kerja buruh. Kontrol dilakukan melalui beberapa tahap, yakni (1) rekutmen atau seleksi buruh, (2) keahlian atau kerja di lapang, dan (3) konsistensi kerja. Pertama, seleksi dilakukan oleh juragan melalui orang kepercayaannya dimana juragan telah menyatakan nama-nama tertentu. Orang kepercayaan akan menyeleksi anggota kerjanya sesuai dengan kebutuhan juragan. Orang kepercayaan biasanya dipilih juragan berdasarkan kepemimpinan dan etos kerjanya. Orang kepercayaan memiliki dua sisi peran, yakni mengamankan kelompok kerjanya, juga harus menjaga keamanan dirinya sendiri. Kedua, kerja lapang. Pada tahap ini kontrol dilakukan sepenuhnya oleh juragan, atau orang dekatnya yang memimpin kerja, juga orang kepercayaan (mandor). Juragan sekali-kali mengunjungi dan mengingatkan buruhnya agar lebih giat. Untuk menarik simpati, biasanya juragan membawa jajanan kecil dan rokok untuk para pekerja (Penulis ikut kelompok kerja). Ia akan melihat kerja dan berbicara dengan buruh satu-satu sambil berputar melihat tanamannya. Setelah dirasa cukup ia berbicara dengan mandor dan memberikan penilaian, juga intruksi atau pesan-pesan tertentu untuk mandor. Seorang mandor juga mengatur ritual kerja agar tidak terlalu giat atau terlalu lambat. Sepertinya ia dapat mengukur dengan nalurinya kapan kerja itu cepat dan kapan lambat, juga kapan harus berhenti. Saat saya bertanya kenapa demikian? Ia menjawab “Ya agar kita tidak dianggap terlalu lambat nanti ndak enak sama juragan, dan jika terlalu cepat ndak enak dengan kelompok lain dianggap menjilat juragan”. (saya memikirkan dalam hati apakah HDI (human development indeks) dapat diterapkan di Indonesia jika diukur dengan metode biasa). Ini membuktikan jika standar kerja di TR tidak hanya berkaitan dengan juragan saja, tapi dengan kelompok lain juga. Kalau juragan turun maka kerja dikendalikan langsung olehnya. Ia tinggal menyuruh sana sini untuk memastikan kerja berjalan cepat. Jika buruh lambat, juragan bekerja lebih cepat, dan buruh akan mengikuti. Dengan isyarat perilaku kerja, menjadi tanda/simbol bagi buruh untuk mengikuti ritme kerja juragan. Jika buruh terlalu cepat, juragan berbicara sanepan (kiasan) “alon-alon ae po oo rek! Koyok sesuk gaak nok dino” (Hai jangan cepat-cepat, sepertinya besok tak ada hari). Juragan punya ukuran sendiri kapan kerja cepat, dan kapan lambat. 115 Cara kontrol efektif adalah saat buruh memasuki masa orientasi. Ini berlaku bagi buruh baru, dimana juragan akan membimbing dengan suara keras untuk memberi contoh cara kerja yang baik. Hal ini akan diingat selalu oleh seorang buruh, dan akan diulang kembali oleh juragan jika kelompok buruh baru datang. Suara keras juragan juga bermakna mengingatkan buruh untuk selalu ingat tugas dan kewajibannya. Ketiga, konsistensi kerja adalah evaluasi jangka panjang akan prestasi buruh atau kontrol juragan atas kerja buruh dari waktu ke waktu. Kontrol ini berfungsi untuk menetapkan reward/imbalan bagi prestasi buruh. Reward ada tiga jenis yakni penghargaan/sebutan, hadiah-hadiah, juga kepercayaan juragan. Jika buruh telaten dan loyal serta setia pada juragan maka ia dikenal sebagai buruh baik dan sewaktu-waktu dapat menjadi orang kepercayaan juragan. Hal itu terjadi jika buruh serius (dalam kerja) dan memiliki jiwa kepemimpinan. Orang kepercayaan juragan sering mendapat hadiah-hadiah, dan kalau lebaran, THR lebih besar dari buruh kebanyakan. Perkembangan Tani Tanggung Tani tanggung sebenarnya merujuk pada petani yang memiliki tanah tidak terlalu luas, juga kekayaan yang biasa saja. Mereka tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri tanpa mempekerjakan orang lain terutama saat panen dan tanam. Meski demikian tenaga kerja inti adalah seluruh anggota keluarga, terutama saat pemeliharaan tanaman. Luas lahan berkisar antara 0,5-1 hektar, yang jumlahnya cukup luas dibandingkan petani lainnya. Kekuatan produksi utama adalah lahan milik, juga dari sewaan. Lahan sewa juga tidak terlalu luas hanya sekitar satu sampai dua hektar saja. Organisasi produksi menggunakan keluarga dimana pemilik juga sekaligus manajer usaha. Tidak ada mandor sebagaimana juragan dan hubungan kerja relatif egaliter. Tani tanggung juga tidak memiliki buruh pandek sebagaimana juragan. Mereka lebih mengandalkan buruh bebas dan boro kerjo yang tidak terikat pada juragan tertentu. Selain mudah didapat, mempekerjakan buruh bebas lebih praktis karena tidak perlu menyediakan tempat menginap. Buruh bebas berasal dari orang sekitar sehingga tahu persis kualitas kerjanya. Sistem kerja tidak seketat sebagaimana di rumah juragan. Selain aturan jam mulai yang tidak ketat, waktu istirahat dan pulang juga sangat fleksible. Kerja juga tidak ditarget meski seseorang dapat mengukur sendiri berapa lama sebuah beban kerja seharusnya habis. Jika di juragan buruh lepas tidak mendapatkan 116 apa-apa, di tani tanggung masih mendapatkan rokok, makan, juga jajanan tergantung kebaikan tuan rumah. Hal ini umum dibicarakan jika orang makin kaya makin pelit, hingga waktu kencing saja harus di potong gajinya. Hubungan kerja yang dibangun antara buruh dan majikan tidaklah herarkhis sebagaimana juragan. Bisa saja buruh bebas teman bermain majikan, atau bahkan saudaranya. Kesalahan-kesalahan kerja juga dapat dimaafkan dengan mudah asalkan mau memperbaiki. Karena hal demikian sangat jarang seorang buruh melakukan kesalahan, sebagaimana biasa terjadi pada juragan. Tani tanggung tidak begitu memiliki hubungan erat dengan lembaga keuangan seperti bank sebagaimana juragan. Kalaupun ada paling hanya meminjam pada BPR yang jumlahnya kurang dari 10 juta. Mereka menganggap berhubungan dengan bank membuat orang tidak tenang dalam usaha. Jika memang tidak memiliki modal, mereka menanam tanaman yang tidak memerlukan biaya tinggi seperti bawang pre atau wortel. Cara Megorganisasikan Buruh. Tidak sebagaimana juragan, tani tanggung tidak perlu mengerahkan banyak tenaga kerja karena lahan sempit. Bantuan diperlukan saat beban kerja banyak yakni mengolah lahan, menanam, dan panen saja. kadang-kadang cukup beberapa orang untuk membantu dan tidak perlu mencari jauh-jauh. Kecuali jika panen, ada kelompok khusus yang bekerja dan hasil dibawa langsung oleh pedagang. Kerap kali petani tanggung mendapatkan tenaga dengan cara omongomong ke tetangga atau kelompok kerja tertentu. Dia mengatakan perlu beberapa orang untuk membantu dan akan langsung ada orang yang menawarkan diri. Biasanya ia tinggal berbicara pada orang yang biasa menjadi pemimpin pekerja (dari kelompok tertentu). Orang ini selanjutnya akan mengumpulkan anggota kelompoknya dan menentukan siapa yang berangkat. Jika pekerjaan banyak maka seluruh anggota akan ikut, jika hanya sedikit maka akan dipilih orang-orang tertentu tergantung kebijaksanaan pemimpin. Sementara itu, tani tanggung akan berangkat pagi-pagi ke lahan sendiri beserta anggota anak laki-laki dengan membawa peralatan yang diperlukan. Ia selalu datang sebelum para pekerja dan telah melakukan beberapa pekerjaan untuk menunjukkan bahwa ia tani “tulen”. Jika ia tidak melakukan hal ini maka dapat dianggap berprilaku seperti juragan. Karena para pekerja kelasnya tidak begitu jauh dengan mereka, biasanya hubungan yang dijalin lebih egaliter. Setelah para pekerja datang, tani tanggung menghentikan pekerjaannya dan mulai berputar mengitari lahan. Ia akan mencari tempat jauh agar tidak 117 melihat para pekerja memulai pekerjaan. Kadang kala malah pergi pulang untuk makan atau mengambil peralatan lagi. Setelah itu datang membawa beberapa oleh-oleh berupa makanan ringan dan minum atau paling tidak rokok. Hak dan Kewajiban Buruh-Majikan. Pada dasarnya hak buruh seluruhnya sama yakni mendapatkan upah yang layak sesuai aturan sosial yang berlaku. Selain itu buruh juga berhak mendapatkan perlakukan baik selama bertugas, juga setelah tugasnya selesai. Jika keduanya tidak diberikan, atau salah satunya, tani tanggung akan mendapat sangsi sosial. Ia akan sulit mendapatkan tenaga kerja, juga akan disebut sebagai orang yang “medit” (kikir) untuk upah dan “mokong” untuk perlakuan. Kewajiban buruh adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan tugasnya dan tidak mengulur waktu atau bermalas-malas dalam bekerja. Selain itu buruh juga harus menjaga ritme agar tidak terlalu cepat atau lambat. Jika seorang buruh terlalu cepat maka ia akan mendapat teguran dari teman-temanya dan dikatakan “ngoyo” memaksa dan jika lambat “ngisinke” memalukan. Sekelompok pekerja sepertinya telah memiliki standar kerja sendiri sehingga mereka menyelesaikan kerja dengan tepat waktu. Sementara itu seorang juragan memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kebiasaan yang ada. Jika dalam satu hektar lahan dikerjakan oleh 10 orang maka dalam lima hari sudah hari selesai, dan penanaman kentang cukup dua hari. Jika panen maka tidak ada batasan karena bentuknya borongan sesuai dengan hasil panen. Demikian juga tanaman wortel tidak ada upah harian untuk buruh “cabut” panen karena dihitung tiap keranjang. Banyak tani tanggung dibantu oleh anggota keluarganya dalam menyelesaikan pekerjaan. Tidak ada upah bagi mereka dan hanya mendapatkan bonus untuk jajan atau sekedar uang jalan-jalan bagi anak laki-laki yang membantu. Untuk anak perempuan tidak mendapatkan hal itu. Jika tani tanggung memanggil buruh untuk membantu mengerjakan lahannya, anggota keluarga perempuan tidak ada satupun yang membantu. Mereka di rumah menyediakan makan jika buruh tidak lepas atau makanan kecil jika lepas 21. Uang panen biasanya dikelola oleh perempuan demikian juga pengalokasiannya. Pembayaran buruh juga dilakukan oleh perempuan. Mekanisme Kontrol Buruh oleh Majikan. Kontrol buruh oleh majikan dilakukan melalui tiga tahap, sama dengan yang dilakukan oleh juragan. Pertama 21 Buruh lepas adalah buruh yang hanya diupah tanpa diberi makan sehingga imbalan gaji saja 118 kali tani tanggung memastikan buruhnya bekerja dengan baik melalui pemilihan kelompok kerja yang diundangnya. Jika mengundang tetangga secara perorangan, ia akan memilih buruh yang sekiranya dapat bekerja bersama dia. Orang yang telah sering bekerja biasanya sudah “pasangan” atau telah cocok dengan pemilik22. Pasangan biasanya juga dapat diundang khusus meski hanya membantu beberapa hari saja. Seorang pasangan malu jika tidak memenuhi undangan dan bekerja pada orang lain, kecuali telah ada kontrak sebelumnya. Kedua, ia akan selalu mengikuti kerja buruh di lahan dan menunjukkan contoh kerja. Jika buruh agak malas, ia akan meningkatkan tempo pekerjaanya dan tentu saja buruh lain akan malu jika tidak mengikuti ritme majikan. Namun jika ritme buruh terlalu cepat majikan juga akan mengurangi ritmenya untuk memberi tanda bila kerjanya kelebihan. Antara buruh dan majikan pada pertanian kapitalis sepertinya telah memiliki norma/aturan khusus. Ada kepatutan tertentu yang mengarahkan buruh untuk tidak bekerja malas, atau sebaliknya terlalu rajin. Ketiga, ia juga dapat menegur melalui pemimpin jika ada pekerja yang mengecewakannya. Teguran diberikan setelah pekerjaan selesai dan biasanya pemimpin akan menasehati anggotanya. Seorang yang ditegur akan bersikap biasa saja dan pada hari berikutnya pasti akan mempercepat kerja. Anak muda dan anggota barulah yang sering melakukan kesalahan. Tidak pernah ada sangsi pemotongan upah atau tidak boleh bekerja bagi orang yang malas, tapi kelompoklah yang akan mendapat cap buruk anggotanya. Karena itu setiap kelompok berusaha tampil baik guna mendapat perhargaaan. Perkembangan Tani Srabutan Tani srabutan merujuk petani yang memiliki tanah sempit hingga memiliki banyak waktu untuk bekerja pada orang lain. Mereka juga dapat bekerja apa saja di luar pertanian asalkan menghasilkan uang. Seorang keluarga tani srabutan akan mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk bekerja. Tani srabutan biasanya mengusahakan tanaman yang cepat panen yakni wortel dan bawang pre, atau malah sledri yang hanya perlu waktu sebulan untuk panen. Tani srabutan tidak pernah mempekerjakan orang untuk mengolah lahannya. Bahkan banyak waktunya digunakan untuk bekerja pada orang lain, kebanyakan pada juragan. Tani srabutan dapat juga sebagai pandek seorang juragan jika ia tidak sedang mengerjakan lahannya. 22 Pasangan adalah orang yang dianggap sangat cocok oleh tani tanggung untuk bermitra dengannya dalam bekerja. Pasangan ini biasanya teman akrabnya atau mitra kerja disaat keduannya menjadi buruh pada juragan atau tani tanggung lain. 119 Tani srabutan paling banyak ada di TR dan merupakan angkatan kerja utama di sana. Biasanya mereka telah tergabung dalam kelompok-kelompok kerja dan memiliki jaringan kerja sendiri. Jika sedang tidak di lahan dan kelompoknya mendapat pekerjaan, maka ia akan berangkat. Ketersediaan lapangan kerja sepanjang tahun menjamin tenaga kerja mereka laku. Kerja mereka mengandalkan tenaga sehingga tidak memiliki hubungan dengan bank. Kalaupun ada hubungan untuk pembelian barang-barang elektronik atau biaya sekolah anaknya. Mereka lebih senang menghutang pada BPR keliling yang jumlahnya tidak lebih dari 500 ribu. Tani srabutan biasanya terdiri dari keluarga-keluarga muda yang baru menikah yang berasal dari orang biasa. Banyak diantaranya merupakan pasangan antara penduduk lokal dan para pekerja boro. Mereka kebanyakan masih menumpang di rumah orang tuannya dan diberi tanah sedikit untuk modal usaha. Meski demikian banyak juga keluarga-keluarga lama yang tetap menjadi petani srabutan sepanjang hidupnya. Kampung-kampung baru sering menjadi kantong tani srabutan. Kawasan Besta, Sarfaat, dan talon merupakan kampung baru basis tani srabutan. Mereka adalah keluarga tidak mampu yang tidak memiliki tanah, ataupun kalau punya hanya sempit saja. Meski demikian dikampung-kampung lain juga ada terutama keluarga-keluarga miskin yang telah kehilangan lahanya. Tani srabutan ini pada saat-saat tertentu ia juga dapat bekerja sebagai buruh lepas di pabrik bunga dan jamur. Hal ini ia pilih setelah kerja di juragan dan tani tanggung tidak ada sama sekali, atau memang ia sedang ingin kerja di pabrik. Karena pekerjaan yang tersedia sepanjang tahun, mereka memiliki kesempatan untuk memilih pekerjaaanya. Meski pada dasarnya sama beban kerjanya, namun orang lebih suka kerja pada petani biasa daripada pabrik. Cara Megorganisasikan Buruh. Sebenarnya tidak ada istilah buruh dalam arti upahan bagi usahatani yang dikelola petani srabutan. Lahan sempit dapat dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga atau seluruh anggota keluarga secara bersama. Tenaga kerja tidak dibayar. Hubungan sosial produksi yang terbangun bersifat lebih egaliter. Suasana kerja tidak terlalu kaku, baik dalam ritme maupun waktu kerja. Usaha tani sering sebagai sambilan dan tani srabutan lebih banyak berburuh pada orang lain. Ada beberapa cara yang digunakan tani srabutan untuk mensiasati waktu. Berburuh pada juragan sangat ketat sehingga tidak mungkin membolos untuk mengerjakan lahanya sendiri. Karena itu mereka sering mengerjakan 120 waktu sore setelah pulang kerja, atau dikerjakan penuh dalam beberapa hari, lalu kerja lagi. Kadang-kadang cukup dikerjakan oleh istri dan anggota keluarga lain. Yang lebih sering mereka mengerjakan pekerjaan berat sementara yang lain diurus anak dan istrinya. Seorang tani srabutan ada yang tidak pernah pergi ke lahan dan cukup istrinya saja yang mengurusi. Tanaman yang dibudidayakan biasanya mudah dan tidak memerlukan biaya besar. Wortel dan bawang pre biasanya menjadi tanaman favorit karena tidak memerlukan tenaga kerja berat. Di sela-sela tanaman utama, ditanami sayur untuk konsumsi sendiri. Daripada membeli, mereka akan memaksimalkan fungsi lahannya. Tanaman komersial yang ditanam juga hanya sedikit dan untuk dijual pada pedagang kecil saja. Masing-masing anggota keluarga bekerja sesuai dengan kesempatan yang ada. Seorang kepala keluarga yang mendapat panggilan dari kelompoknya berusaha memenuhi dan meninggalkan lahan miliknya sendiri. Anak bisa menggantikan kalau telah dewasa. Seringkali anak telah memiliki kelompok sendiri. Cara-cara di atas merupakan usaha keluarga tani srabutan memaksimalkan seluruh potensi keluarga untuk mendapatkan hasil maksimal baik dari memburuh maupun dari lahannya. Hak dan Kewajiban Buruh-Majikan. Pada dasarnya tidak ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi karena tidak ada buruh yang dipekerjakan. Keluarga yang bekerja di lahan sendiri tidak dibayar karena pada dasarnya untuk kebutuhan diri sendiri. Hanya ada kepatutan norma standar tentang orang bekerja yang tidak boleh mengulur waktu dan ceroboh. Hal ini yang mendorong seorang pekerja untuk bekerja giat dan cepat menyelesaikan tugas. Jika panggilan kelompok datang kewajiban baginyalah untuk mempercepat kerja. Jadi antara hak dan kewajiban melekat jadi satu, karena selain pemilik, tani srabutan sekaligus pekerja. Pekerja anak cukup dengan memberinya uang saku. Kalau yang mengerjakan istri atau anak perempuan, maka tidak perlu menyediakan uang saku. Kalau yang bekerja bersama, maka biasanya ayah akan mentraktir anaknya di warung atau memberi uang padanya untuk jajan. Hal ini dilakukan agar anaknya tertarik bekerja dengan baik dan tepat waktu. Lahan tani srabutan sebenarnya menjadi arena sosialisasi pekerjaan pada anak, meski mereka tidak menyadari. Berbagai teknik mengolah sawah memelihara tanaman dan pekerjaan lainya disosialisasikan orang tua di lahan. Orang tua sering menilai prestasi kerja yang bertujuan untuk melatih anaknya 121 bertanggungjawab. Seorang anak tani srabutan harus memburuh dikemudian hari sehingga nilai-nilai itu penting baginya kelak. Tanpa proses sosialisasi pekerjaan, maka anak sulit menyesuaikan kondisi kerja sebenarnya nanti. Mekanisme Kontrol Buruh oleh Majikan. Karena tenaga kerja keluarga, maka kontrol buruh tidak perlu dilakukan. Masing-masing anggota keluarga akan bekerja sesuai dengan tugasnya. Pada anak yang masih belum dewasa, seorang tani srabutan biasanya memberi peringatan agar anak bekerja cepat. Tapi jika anak telah dewasa, akan dibiarkan saja bekerja sesuka hatinya. Kebebasan juga diberikan pada istri dan mungkin anggota keluarga yang lain. Ada kecenderungan pada anak muda kurang bersemangat bekerja di lahan sendiri karena tidak digaji. Peringatan selalu diberikan oleh ibunya yang datang mengantar makanan. Kebanyakan dari mereka hanya diberi uang saku dan makan di luar sehingga kontrol tidak ada. Mereka kerapkali tidak bekerja dan pergi jalan-jalan atau bekerja asal-asalan. Perkembangan Industri Agro Industri agro pada masa Orde Baru, kekuatan produksi terletak pada penguasaan lahan pertanian. Secara perlahan, sekarang kekuatan produksi beralih pada penguasaan modal uang. Pabrik-pabrik mulai menyewa dan membeli lahan lebih agresif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pabrik semakin intensif mendekati pemilik tanah untuk disewa atau dibeli. Akhir-akhir ini PT. KF membeli lahan dari pensiunan AURI seluas satu hektar yang lokasinya berdekatan dengan pabrik, seharga Rp. 500 juta. Selain penguasaan lahan melalui kekuatan modal uang, para pemilik pabrik juga memberlakukan sistem kerja petani kebanyakan. Mereka juga merekut buruh upahan untuk menggantikan buruh tetap. Ini kecenderungan aneh mengingat sebelumnya mereka mengutamakan sistem perusahaan daripada sistem lokal. Perusahaan terus mengembangkan usahanya dan merekut semakin banyak pekerja lepas harian tanpa ikatan formal. Sistem kapitalis semakin lama harusnya semakin rumit dan memiliki herakhis jelas. Untuk kasus perkebunan di TR malah sebaliknya-semakin lama hubungan produksi menjadi lebih sederhana. Rekutmen tenaga kerja harian ini juga dilakukan oleh PT. SK setelah bangkrut karena demo buruh. Tenaga kerja diikat dengan sistem kontrak dan sedikit merekut tenaga kerja tetap. PT. SK membangun relasi produksi berdasarkan kebiasaan masyarakat yang ternyata lebih menguntungkan 122 daripada sistem perusahaan. Pada level paling bawah, yakni pekerja harian pengorganisasian buruh tidak berbeda dengan sistem petani lokal. Hal sama juga dilakukan oleh PT. KF. Usaha PT. KF tidak mengalami goncangan yang berarti karena sistem penggajian yang sesuai dengan kondisi sekitar, hingga tidak muncul kesenjangan. Komunikasi dengan pihak pemerintah juga berjalan dengan intensif hingga hubungan dengan masyarakat juga terjalin. Karena berdiri setelah peristiwa demo buruh di PT. SK, pengalaman itu dijadikan bekal bagi PT. KF dalam mengelola organisasi produksinya. Sistem UMR tidak dipakai pada seluruh pegawainya, dan lebih mengandalkan tenaga kerja harian. Sistem lokal juga digunakan oleh pabrik Jamur Korea dalam mengorganisir buruh. Pekerja-pekerja tertentu saja yang digaji tetap terutama para tenaga ahli. Besar gaji untuk pekerja harian sama dengan harga pasaran, bahkan kadang lebih kecil. Namun demikian sistem kerja masih herarkhis antara manajer, majikan dan buruh. Perubahan hanya menyangkut aturan kerja bagi buruh harian yang menjadi lebih fleksibel. Pabrik akan berusaha untuk menguasai seluruh kekuatan produksi terutama lahan pertanian. Lahan milik P. BK (seorang Juragan) seluas 1,5 ha ditawar dua milyar dan belum diberikan. P. BK adalah petani paling kaya di Sumberbrantas yang mengusahakan tanah lebih dari 20 Ha belum termasuk tanah sewa. Beliau sangat tidak cocok dengan keberadaan pabrik, yang menurutnya merusak pasar tenaga kerja dan membeli lahan tanpa batas. Selain pabrik jamur besar, ada juga pabrik jamur baru yang lebih kecil di Junggo. Pabrik ini memproduksi jamur Sinthake untuk konsumsi lokal sekitar Malang. Pemiliknya pribumi dan mempekerjakan 20-an orang. Namun demikian pabrik sedang memperluas usaha dan membeli tanah-tanah sekitarnya. Berbeda dengan jamur merang, pemiliknya juga bekerja bersama dengan buruh di pabrik. Relasi produksi yang dibangun oleh pabrik jamur kecil fleksible dan tergantung kebiasaan masyarakat. Cara merekrut karyawan tidak melalui seleksi tapi menyerahkan pada pasar kerja lokal. Tenaga ahli juga hanya tiga orang yang menjadi mandor langsung para pekerja kasar. Juragan sekaligus menjadi manajer pabrik. Jadi herarkhi produksi hanya ada juragan dan buruh saja. Saat laporan ini ditulis ada pembangunan tiga pabrik bunga besar yakni milik TNI-AL, CV. AF dan PT. IL. Pabrik milik TNI-AL mempekerjakan sekitar 50an orang sementara PT. IL rencananya akan mempekerjakan lebih dari 400 mengingat bangunannya lebih besar dari PT. KF yang mempekerjakan 300-an orang. CV, AF paling kecil bengunannya, milik penduduk asli dan 123 mempekerjakan sekitar 25-an orang. Untuk dua pabrik yang lain seluruhnya dimiliki oleh investor dari luar desa. Berdasar atas karakteristik cara produksinya maka industri agro di TR digolongkan dalam dua tipe utama yakni (1) Industri agro padat modal, mewakili perkebunan bunga besar dan (2) Industri agro rumah tangga, mewakili industri agro kecil. Yang pertama herarkhi produksi terjadi dalam tiga tingkatan yakni pemilik, manajer dan buruh, sementara kedua hanya ada buruh dan manajer sekaligus majikan. Di TR yang termasuk kelompok pertama adalah PT. SK, PT. KF Flora, Pabrik Jamur Korea, PT. IL, dan kebun bunga TNI-AL, sementara golongan kedua CV. AF dan Jamur Sithake. Cara Mengorganisasikan Buruh. Ada perbedaan mendasar antara pengorganisasian buruh pabrik dan buruh tani terutama terkait dengan cara perekutan, cara kerja, juga herarkhi yang dibangun. Pabrik merekut buruh sejak awal telah merencanakan tipe buruh yang dibutuhkan. Orang yang diterima langsung masuk pada unit kerja tertentu. Rekrutmen juga dilakukan secara resmi melalui panitia pendaftaran dan sebelumnya telah diumumkan oleh pamong desa. Kerapkali pamong desa telah memiliki daftar nama yang diterima, sehingga rekutmen bebas hanya untuk sisanya. Mekanisme itu dilakukan pabrik untuk mendapatkan tenaga kerja kasar dan legitimasi penguasa desa. Rekutmen tenaga ahli dilakukan melalui pengumuman resmi di media massa, juga di kampus-kampus. Biasanya mereka mengambil sarjana budidaya pertanian atau keahlian lainnya terkait pekerjaannya. Untuk superviser pabrik sering menggunakan tenaga sarjana, atau paling tidak diploma. Tes dilakukan di kampus oleh tenaga ahli dari pabrik, kadang-kadang pemilik juga ikut melakukan tes. Tenaga ahli tidak banyak karena hanya sebagai koordinator pekerja kasar. Untuk manajer, pabrik akan mengangkat orang tertentu dan kebanyakan adalah famili pemilik. Paling tidak manajer memiliki kemampuan tertentu dan dekat dengan pemilik. Manajer dapat juga melalui karier, tapi hanya berlaku bagi orang yang dekat dengan pemilik saja. Seorang pekerja karier, jabatan tertinggi hanya kepala bagian saja, seperti bagian peralatan, produksi, atau pemasaran. Pekerja datang tepat jam tujuh pagi dan langsung memasuki bagian masing-masing untuk mempersiapkan alat dan berganti baju kerja. Setiap orang telah memiliki pekerjaan tetap sehingga langsung dapat bekerja. Hal itu tidak berlaku jika superviser memberikan tugas tertentu pada pekerja, atau diperlukan oleh kepala bagian untuk membantu kelompok lain. Buruh bagian produksi sebagai misal bekerja teknis sesuai dengan bidangnya, sementara superviser 124 melakukan pengawasan, juga pencatatan segala sesuatu yang diperlukan untuk produksi berikutnya, juga berapa produksi yang dihasilkan. Catatan ini selanjutnya diberikan pada kepala bagian untuk dikoordinasikan dengan bagian pemasaran dan peralatan. Perpindahan seorang buruh dari satu superviser ke superviser lain ditentukan sepenuhnya oleh kepala bagian, melalui usulan superviser dan permintaan superviser lain. Biasanya perpindahan ini karena dua sebab yakni ketidak cocokan dalam tim, atau memang terjadi overload kerja pada tim lain sehingga perlu bantuan. Jika pertukaran terjadi antar bagian maka manajer harus mengetahui, juga atas usulan superviser dan persetujuan kepala bagian. Seorang superviser seringkali diputar untuk memimpin tim lain dalam satu bagian bahkan antar bagian. Jika dalam satu bagian, kepala bagian tidak perlu lapor pada manajer, dan jika antar bagian, manajer harus mengetahuinya. Jika antar bagian harus ada persetujuan kepala bagian yang menerima dan manajer. Sementara itu jika pergeseran dilakukan antar bagian manajerlah sepenuhnya yang memiliki hak untuk itu. Hak dan Kewajiban Buruh-Majikan. Hak dan kewajiban buruh di perusahaan sepenuhnya menggunakan aturan pemerintah dan kesepakatan tertentu antara pemilik dengan para buruh. Seorang buruh yang melanggar perjanjian kerja dapat dikenakan sangsi sesuai dengan aturan yang berlaku. Akan tetapi dalam praktek hal itu sebenarnya sangat subyektif tergantung pada penilaian pimpinan dalam unit kerja. Secara normative seorang buruh mendapatkan upah setelah bekerja sesuai dengan kewajibannya. Selain itu mereka juga berhak atas berbagai tunjangan lain baik resmi maupun inisitatif perusahaan untuk menarik kerja buruhnya. Hal itu sebenarnya juga menjadi norma umum yang ada dalam masyarakat dan berlaku bagi buruh tani. Perusahaan di sisi lain memiliki hak untuk memanfaatkan tenaga dan keahlian buruh untuk menyelesaikan tugas pada unit kerjanya masing-masing. Tugas ini sesuai dengan target perusahaan dan pekerja harus memenuhinya bersama dengan kepala bagian. Tanggungjawab ditanggung secara herarkhis demikian juga perintah kerja. Jika buruh lalai maka superviser akan menegur dan melakukan koreksi. Target kerja dapat diukur dari keberhasilan masing-masing bagian karena merupakan unit yang mandiri. Produksi, keberhasilannya ditentukan oleh kinerja tim-tim yang ada di dalamnya. Demikian juga perlengkapan keberhasilan jika 125 dapat menydiakan keperluan seluruh bagian dalam menjalankan tugasnya. Jika kegagalan karena kontribusi tim lain seperti alat telat atau kurang, maka manajer akan menegur kepala bagian yang lain. Jika karena kelalaian intern bagian, maka kepala bagian yang bersangkutanlah yang mendapat teguran. Jika pabrik kinerjanya buruk, manajerlah yang mendapat teguran dari pemilik karena kerugian Ia-lah yang menanggung ruginya. Buruh yang berprestasi menurut pimpinannya memiliki kesempatan maju menjadi superviser. Demikian juga seorang superviser dapat naik menjadi wakil kepala bagian ataupun kepala bagian. Hal ini sepenuhnya tergantung penilaian manajer. Meski demikian kenaikan sangat jarang, biasanya hanya berupa bonus saja untuk perangsang prestasi. Mekanisme Kontrol Buruh. Kontrol buruh dilakukan dalam tiga tahap yakni tahap seleksi, tahap selama kerja dan prestasi jangka panjang. Tahap seleksi dilakukan oleh tim dan majikan dimana mereka memilih orang yang sekiranya dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Meski demikian tidak seluruhnya menjamin tenaga kerja dapat bekerja dengan baik. Paling tidak dengan pengetatan seleksi lebih baik daripada sistem bebas. Kontrol saat kerja dilakukan berjenjang sesuai dengan tugasnya dan bagian mana ia berada. Superviser adalah pengontrol utama dan berhadapan langsung dengan para buruh kasar. Seorang buruh dikatakan baik atau buruk tergantung pada rekomendasi dari superviser. Ia juga berhak untuk mengusulkan pemindahan buruh pada tim lain jika kurang cocok dalam timnya. Superviser sendiri juga dikontrol oleh kepala bagian sesuai dengan target yang diberikan padanya. Jika target tidak terpenuhi maka superviser dapat dipindahkan memimpin tim lain atau diturunkan statusnya. Sepenuhnya penilaian ini tergantung pada kepala bagian. Untuk kepala bagian, bertahan atau tidak jabatanya sangat tergantung pada penilaian manajer. Manejerlah yang berhak memberhentikan, memidah, atau menurunkan jabatannya. Sementara itu manajer sangat tergantung pada pemilik yang ukurannya adalah kinerja keseluruhan perusahaan. Perkembangan Industri Pariwisata Industri pariwisata kontemporer memiliki pola berbeda dengan jaman pembangunan. Ada kecenderungan terjadi enklavisasi (integrasi seluruh kegiatan wisata: obyek+pendukung) menjadi satu kesatuan. Mulai terjadi pertarungan perebutan ruang antar pemain juga dominasi antar mereka. Lebih dalam telah 126 terjadi perubahan mendasar pada kekuatan produksi dan relasi sosial produksi dalam industri pariwsata pada masing-masing artikulasinya. Sejak kejayaan sayur redup saat krisis dan melambungnya ongkos produksi melewati batas margin untung, secara perlahan industri pariwisata mulai menampakkan prospek bagus. Tidak sebagaimana industri agro atau pertanian yang memerlukan tenaga kerja besar, industri ini lebih mengandalkan keahlian. Modal memiliki peranan penting daripada penguasaan lahan. Karena sifatnya jasa, maka kinerja tergantung pelayanan yang tentunya sangat tergantung pada kemampuan manajerial. Berbeda dengan industri pariwisata tahun 70-an, orientasi pariwisata saat ini tidak hanya terbatas pada orang tertentu yang memiliki hoby berwisata. Tahun-tahun 70-80-an wisata adalah pekerjaan sia-sia bagi masyarakat karena mereka belum membutuhkannya. Orang-orang kaya sajalah yang mau mengeluarkan uang untuk tujuan ini. Wisata termasuk mahal dan tidak berguna bagi orang awam. Perkembangan kontemporer memiliki kecenderungan berbeda, dimana seluruh lapisan masyarakat memiliki keinginan yang sama untuk berwisata. Buruh-buruh pabrik di kota dari kelas menengah bahkan orang biasa saat ini seluruhnya membutuhkan hiburan. Hal ini ditanggapi oleh pemilik Selecta dengan memperluas taman wisatanya hingga beberapa hektar, juga pengelola kawasan wisata lainnya. Dengan memperluas kawasan daya tampung pengunjung menjadi lebih besar. Jikalau dulu wisata bersifat ekslusif dimana orang-orang tertentu saja yang datang untuk menikmati alam TR, saat ini semua saja dapat dan mampu ke sana. Selain ongkos transportasi yang tidak terlalu mahal, sifat pariwisata yang massal juga menjadi penyebabnya. Kebijakan pemerintah tentang study tour bagi para murid sekolah juga menambah fungsi massal dari tempat wisata. Bagi wisatawan eklusif, mereka dapat memanfaatkan hotel-hotel berbintang atau villa elit untuk menikmati alam, sementara bagi wisatawan kebanyakkan dapat menyewa penginapan dan rumah-rumah penduduk. Apa konsekwensi terhadap formasi penguasaan kekuatan produksi? jelas terjadi ekpansi besar-besaran pengusaha tempat wisata untuk mendapatkan lahan. Selecta melakukan negosiasi dengan pemilik tanah di sekitarnya untuk dijadikan taman dengan konsesi saham, sementara perhutani membuat batasbatas sendiri untuk membuka perkemahan di Coban Talon yang sebelumnya 127 tidak tergarap. Demikian juga pemandian air panas mulai dibatasi akses penduduk lokal dan di beri pagar, juga didirikan bangunan-bangunan untuk istirahat. Secara perlahan tanah di sekitar tempat wisata menjadi mahal melebihi harga tanah di kota Batu. Selain itu terjadi peralihan fungsi beberapa rumah penduduk di sekitar Selecta menjadi penginapan dan villa. Pemiliknya banyak yang membuat rumah kembali di daerah yang lebih dalam. Mereka menyewakan pada para turis dengan harga bervariasi tergantung banyaknya pengunjung dan negosiasi yang dilaukan. Banyak juga terjadi peralihan kepemilikan rumah-rumah di sepanjang jalur Selecta dari penduduk ke orang luar daerah. Kemunculan penginapa ini tak lain merupakan respon atas perkembangan kontemporer pariwisata sebagai milik public dan bukan orang ekslusif saja. Perkembangan yang tak kalah penting adalah kemunculan kegiatankegiatan ekonomi pendukung industri wisata. Selain hotel dan penginapan, fasilitas yang juga memanjakan wisatawan adalah belanja oleh-oleh. Di area Selecta telah ada pasar bunga dan buah, juga kios-kios oleh-oleh lain yang dibangun tahun 95-an sebagai respon atas meningkatnya kunjungan wisata. Pedagang-pedagang lama tidak lagi dapat mencukupi karena jumlahnya masih sedikit. Bermunculan pedagang-pedagang buah baru yang jumlahnya cukup banyak di sepanjang jalur wisata. Dagangan yang ditawarkan juga bervariasi dari buah segar sebagaimana tradisi lama, hingga produk olahan apel dan kentang. Bagaimana bentuk Hubungan produksi yang terjadi dalam industri pariwisata sekarang? Jika dulu pekerja banyak harian saat-saat ramai saja, sekarang mereka adalah pegawai yang harus bekerja sepanjang hari. Pekerja harian terutama untuk pekerjaan kasar masih ada tapi jumlahnya sedikit. Manajer juga diserahkan pada orang lain, sementara pemilik mengembangkan sarana wisata baru di kawasan itu. Setiap unit kerja dulu terpisah dan masing-masing memiliki hak untuk mengelola unitnya baik keuangan maupun penataan wilayah seperti jualan, parkir dan hotel. Saat ini seluruhnya menjadi satu menajemen. Administrasi terpusat pada tata usaha mulai dari hotel, taman wisata, villa, juga tempat parkir dan pasar. Seluruh fasilitas itu menjadi satu tiket saja yakni di pintu masuk kawasan wisata. Dulu setiap kawasan harus membayar sendiri seperti pemandian, taman, pasar, juga obyek yang lain. Saat ini dengan kita membeli satu karcis dapat menikmati seluruh obyek gratis sepuasnya. Hal demikian juga 128 menjadi tren bagi kawasan wisata yang tidak hanya mengandalkan obyek wisata saja, tapi juga menonjolkan fasilitas pendukung sebagai satu kesatuan. Cara Mengorganisasikan Buruh. Industri pariwisata di TR meliputi dua komponen penting yakni obyek wisata dan pendukungnya. Obyek wisata adalah tempat tujuan wisata utama sementara pendukung adalah penyedia jasa pelayanan seperti hotel, penginapan, dan villa. Selain itu pendukung obyek wisata juga para pedagang oleh-oleh dan pedagang berbagai makanan untuk melayani para pengunjung. Dengan demikian membicarakan hubungan relasi produksi harus membedakan kegiatan-kegiatan ini lebih detail. Obyek wisata di TR ada dua jenis yakni milik swasta murni yakni Selecta dan milik perhutani yakni Coban Talun dan Pemandian air panas Cangar. Selecta secara penuh menerapkan organisasi produksi yang herakris antara majikan dan buruh, yang dikoordinasi oleh seorang manajer. Sebagaimana dengan pabrik bunga dan jamur, organisasi produksi hampir sama skemanya. Rekutmen juga dilakukan terbuka, dimana pemilik dan tim perusahaan melakukan seleksi langsung untuk mendapatkan tenaga kerja. Namun demikian banyak juga buruh diperoleh atas rekomendasi pamong desa, juga dari program magang. Masing-masing buruh masuk dalam bagian unit produksi sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Model kerja hampir sama dengan pabrik jamur dan bunga dimana buruh bertanggungjawab pada atasannya. Mereka juga dapat digeser dari satu bagian ke bagian lain sesuai dengan rekomendasi atasan. Hal itu terjadi disegala tingkat manajemen, mulai dari buruh hingga manajer. Seluruh pengorganisasian juga terjadi dalam kegiatan ekonomi pendukung yakni hotel. Hotel-hotel yang ada di TR seluruhnya menggunakan standar modern manajemen dan menggunakan aturan pemerintah yang berlaku. Hal berbeda terdapat dalam usaha ekonomi pendudukung lain yakni penginapan, villa, dan toko buah. Ketiganya masih menggunakan manajemen keluarga untuk mengelola usahanya. Selain itu untuk villa kadang hanya memerlukan satu orang penunggu yang khusus melayani tamu yang mau menginap saja. Penginapan hanya memerlukan satu orang penjaga saja untuk melayani para tamu, kadangkala salah satu anggota keluarga. Dengan demikian antara pemilik, pekerja, juga manajer tidak dapat dibedakan karena mereka merangkap seluruhnya, atau paling dibagi dalam keluarga. 129 Industri wisata berikutnya adalah Air terjun Coban talon dan pemandian air panas Cangar yang dikelola oleh perhutani. Perhutani adalah perusahaan Negara yang mengurusi hutan dan situs yang ada didalamnya dengan tujuan konservasi dan ekonomi. Fungsi ekonomi adalah memanfaatkan hutan berupa kayu, juga situs-situs didalamnya untuk wisata atau kepentingan ilmiah. Coban Talun dan Pemandian air panas adalah situs yang dimanfaatkan Perhutani untuk tujuan ekonomi dan konservasi. Berbeda dengan Selecta, perhutani merupakan perusahaan berskala nasional sehingga yang ada di TR hanya kantor cabangnya saja. Tempat wisata itu masuk dalam wilayah KPH Malang dan menjadi bagian dari kantor propinsi Jawa Timur. Dengan demikian, struktur organisasi herakhis dimana kegiatan di tempat wisata merupakan bagian dari kerja perusahaan secara keseluruhan. Tidak mungkin membedah bagaimana mekanisme Perhutani secara nasional, sehingga penulis hanya melihat bagaimana kerja lapang digerakkan untuk dapat melayani para pengunjung. Di air terjun, setiap hari ada dua orang penjaga yang tetap berada di tempat untuk memungut tiket pengunjung. Jika malam juga ada dua penjaga yang mengawasi perkemahan. Kegiatan mereka menjadi lebih padat jika hari libur karena banyak yang datang berkemah. Hari biasa mereka berjaga di pintu masuk saja. Hal itu juga sama dengan di Cangar dimana hanya pada hari libur saja kerja buruh agak banyak. Hak dan Kewajiban Buruh dan Majikan. Pada usaha penginapan dan villa, hubungan buruh dan majikan sangat sulit diuraikan karena keduanya menjadi satu. Untuk villa yang dimiliki oleh orang dari luar daerah pasti dipercayakan pada orang lokal untuk disewakan. Jika pemilik memakai villa, maka tidak disewakan dan penunggu menjadi pelayan pemilik. Untuk obyek wisata Selecta, kewajiban buruh dan majikan sesuai dengan aturan yang berlaku secara normative. Namun demikian seorang buruh wajib untuk menyelesaikan tugas dengan baik sesuai beban di unit kerjanya. Pernah ada seorang recepsionist hotel berlaku kurang enak saat ditanya oleh pengunjung tentang cara mencari teman wanita. Hal itu membuat pengunjung sangat marah dan melapor pada pemilik hotel. Akhirnya recepsionist dipindahkan pada bagian lain meski perbuatan pelanggan tersebut juga tidak baik. Sama dengan pabrik jamur, Selecta juga mengenal berbagai bonus seperti THR dan bonus prestasi. Bahkan untuk Selecta jika pengunjung banyak 130 manajemen juga memberikan uang tip bagi karyawannya. Tip jenis ini tidak pernah ada di pabrik jamur, juga usaha pendukung obyek wisata. Hal berbeda terjadi di obyek wisata yang dikelola Perhutani. Seorang pekerja adalah pegawai yang mendapat gaji dari pusat di Jawa Timur. Seluruh penghasilan obyek wisata dimasukkan dalam kas perusahaan dan pekerja mendapat gaji bulanan. Namun demikian kenyataannya setiap mendapatkan hasil, mereka telah memotong sendiri. Hal ini menjadi rahasia umum dan Perhutani diam saja. Bahkan jika ada pimpinan yang datang ke lokasi, mereka juga harus menyediakan perlengkapan termasuk juga uang saku. Mekanisme Kontrol Buruh. Mekanisme kontrol buruh dalam industri pariwisata menggunakan cara perusahaan khususnya di Selecta dan hotel-hotel. Struktur organisasi perusahaan menentukan siapa harus diawasi siapa, sesuai dengan kedudukannya dalam unit kerja. Seorang buruh menempati unit kerja tertentu dan ada pemimpinnya yang mengawasi kerja mereka. Di Selecta ada dua divisi yakni taman wisata dan pemandian serta perhotelan. Taman wisata terdiri dari bagian perlengkapan dan keamanan, pemeliharaan, juga pemasaran yang menangani tiket. Di atasnya manajer yang mengurusi hotel dan taman, dan di atasnya lagi ada direktur yang mengurusi seluruh unit usaha di Selecta. Hal yang menjadi ukuran utama bagi kontrol karyawan adalah kedatangan di tempat kerja. Orang ke taman wisata pada hari agak siang atau paling tidak sudah jam 9 pagi. Itupun kalau mereka menginap di daerah sekitar taman. Karena sepi, biasanya banyak pekerja yang tenang-tenang saja dan tidak lekas bekerja. Jika demikian, maka kepala bagian akan menegur dan melaporkan pada atasannya. Hal itu juga saat taman tutup sebelum jam kerja karena pengunjung sepi. Manajer kerap mengingatkan pekerja untuk tetap di tempat pengunjung meski sepi. Hal paling penting dalam tempat wisata adalah bagian tiket, dimana ia harus jujur dan tegas pada pengunjung. Kerapkali pengunjung tidak membeli tiket dengan alasan penduduk penduduk sekitar atau kerabat pekerja. Hal ini sering menyulitkan dan penjaga tiket harus tegas. Kebobolan ini sering terjadi hingga akhirnya ditempatkan tiket tepat diatas jalan menuju kampung agar dapat dibedakan antara orang kampung dan pengunjung. Di bagian ini seringkali manajer melakukan kontrol langsung dan memperingatkan anak buahnya. Selain kontrol saat kerja, setiap akhir pekan pasti ada pembekalan untuk hari libur. Hal ini dijadikan ajang bagi pimpinan untuk melakukan koreksi atas 131 kinerja tiap bidang. Hal itu untuk memberikan legitimasi bagi kepala bagian untuk memerintah anak buahnya agar bekerja lebih baik. Teguran langsung dari manejer akan memberi kekuatan bagi kepala bagian untuk menekan anak buahnya. Di bagian hotel mekanisme demikian juga dilakukan. Bagi tempat wisata yang dikelola perhutani kontrol buruh hampir tidak ada karena pimpinan mereka memang jarang datang. Yang ada di lapang hanya tim kecil dan satu pemimpin hubungan dengan anak buahnya sangat dekat. Karena itu seringkali terjadi kelalaian dan kekecewaan pengunjung. Coban talon sebagai misal tidak pernah dilakukan perbaikan sarana, dan tidak ada penanam hutan meski pohonya banyak ditebang. Meski ada kewajiban menanam pekerja jarang melakukan karena tidak ada kontrol dari atasan. Satu satunya kontrol dilakukan tiap pimpinan melakukan kunjungan. Tipe -tipe Moda Produksi yang Terbangun Kapitalis Industri Sejak krisis ekonomi, hampir seluruh pelaku ekonomi di TR mereposisi manajemen organisasi produksinya. Perusahaan-perusahaan bunga dan jamur secara perlahan melakukan informalisasi sistem kerja dengan jalan merekut buruh melalui pasar tenaga kerja lokal. Sebelumnya buruh adalah karyawan tetap mulai dari tingkat manejer hingga tenaga kasar. Setelah krisis, terjadi perampingan struktur dimana buruh tetap hanya tenaga-tenaga kunci saja, sementara buruh kasar menggunakan tenaga kerja harian. Tenaga harian ini diperoleh dari pasar lokal sehingga menimbulkan persaingan dengan pelaku ekonomi lain terutama juragan dan pengusaha Cina. Kekuatan produksi moda produksi kapitalis tidak berubah dan tetap mengandalkan modal uang. Demikian juga unit produksi tetap perusahaan dimana buruh didapatkan dari pasar kerja lokal. Hanya saja relasi produksi menjadi lebih longgar karena adanya buruh harian. Buruh harian menuntut perusahaan memberlakukan cara umum (petani) dalam mengorganisasikanya. Tidak ada aturan formal yang mengikat buruh harian sehingga mendapatkannya murni melalui pasar kerja lokal. Kapitalis Pertanian Setelah krisis para pelaku usaha pertanian komersil menyadari pentingnya penguasaan modal dalam menjalankan usahanya. Lahan dirasa memiliki keterbatasan mengingat ongkos produksi yang mulai tinggi. Pengeluaran-pengeluaran khusus juga harus dikeluarkan oleh juragan untuk 132 menarik buruh mau bekerja padanya. Dengan demikian juragan mulai menggunakan modal uang untuk mengembangkan usahanya, terutama sewa lahan dan menggerakan buruh. Hubungan produksi yang dijalin semakin herakhis dan eksploitatif. Juragan setelah krisis berusaha memperpanjang waktu kerja dan mengetatkan aturan. Hal itu dilakukan dengan alasan juragan memberikan berbagai fasilitas yang tidak diberikan pabrik terutama tempat tinggal sementara. Selain itu pekerja di juragan juga dapat menikmati jatah makan yang tidak mereka dapatkan jika bekerja di pabrik. Pertanian Semi-komersial Petani tanggung setelah krisis tidak melakukan perubahan apa-apa. Kekuatan produksi tetap mengandalkan kepemilikan tanahnya yang sempit dan tenaga kerja keluarga untuk menompang produksinya. Karena sifat usahanya yang kecil, seringkali mereka mencari kesempatan ekonomi di luar pertanian, atau paling tidak menjadi buruh di petani tanggung lainnya. Hubungan produksi yang dikembangkan juga tetap. Hubungan egaliter dan suasana kerja yang nyaman dikembangkan untuk mendapatkan tenaga kerja bebas. Tenaga kerja bebas lebih murah dan efisien sehingga memberikan keuntungan bagi tani tanggung. Tenaga kerja ini tidak memerlukan tambahan fasilitas menginap, THR, juga fasilitas lainnya karena biasanya mereka penduduk lokal yang telah memiliki rumah sendiri. Mengenai artikulasi ketiga cara produksi setelah krisis dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 6.1 : Artikulasi cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian dan kapitalis industri pada masa reformasi Pertanian SemiKapitalis Kapitalis Aspek cara produksi komersil pertanian A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Modal Modal 2 Unit produksi Keluarga inti Organisasi produksi Perusahaan 3 Tenaga kerja utama Keluarga luas & buruh Buruh upahan Buruh upahan B Hubungan Produksi 1 Batas sosial Hubungan produksi Keluarga luas Organisasi produksi Perusahaan 2 Struktur hub. produksi Herarkhis Sangat Herarkhis Kurang Herarkhis 3 Sifat Hubungan produksi Eksploitatif Sangat Eksploitatif Sangat Eksploitatif 133 Perubahan Moda Produksi Lokal : Dominasi Kapitalis Industri Tak satupun Negara di Asia Tenggara dapat menghindari krisis ekonomi yang datang tak terkirakan sebelumnya. Kapitalis global kiranya sedang diuji ketahanannya. Cara terbaik adalah mengorbankan Negara-negara yang akan maju dalam percaturan perdagangan. Banyak analisis yang memprediksi Asia Tenggara dapat menjadi saingan kuat kapitalis dunia lainnya yang telah mapan. Kehancurannya tidak hanya perlu untuk menjaga kesetimbangan, tapi juga penting bagi kedudukan Negara dominan. Di Indonesia krisis ini terasa hingga ke pelosok-pelosok desa termasuk TR, karena sepenuhnya Indonesia sebenarnya telah terintegrasi dengan pasar global. Perubahan moda produksi pertanian setelah krisis disebabkan oleh dua hal yakni (1) persaingan dalam penguasaan tenaga kerja dan, (2) masalah persaingan dalam penguasaan lahan. Pertama masalah tenaga kerja. Industri agro membuka kebun-kebun bunga yang dikelola secara intensif memerlukan tenaga kerja ribuan orang. Industri agro jamur dari dua pabrik saja, tidak kurang dari 620-an tenaga kerja terlibat. Dari seluruh kebun bunga tidak kurang dari 1500-an tenaga kerja yang diperlukan. Jumlah ini cukup besar untuk desa yang memiliki tenaga kerja aktif sebanyak 8500-an orang. Pada awalnya seluruh industri agro di TR menggunakan pola perusahaan modern murni untuk menjalankan produksinya. Tenaga kerja digaji sesuai dengan UMR, aturan THR, prestasi kerja, dan disiplin kerja berdasarkan standar resmi. Para pemilik perusahaan berasal dari kota besar Surabaya dan Malang, sehingga model kapitalis mereka terapkan. Inilah yang menjadi pangkal terjadinya gejolak tenaga kerja di TR. Pola kapitalis bertemu dengan sistem tradisional yang telah mapan dalam pasar tenaga kerja pertanian. Dalam masyarakat sendiri, ada mekanisme atau aturan main yang telah menjadi tradisi berdasar atas pasar kerja di desa. Para buruh tani, biasanya mendapatkan upah harian dari para juragan dengan harga di bawah standar UMR. Meski demikian juragan memiliki kewajiban menyediakan berbagai fasilitas lain di luar gaji utama. Harga lebih tinggi yang diberikan pabrik mengacaukan pasar tenaga kerja lokal hingga terjadi kecemburuan antara pekerja pabrik dan pertanian biasa. Sebenarnya hal itu pernah terjadi saat PT. AN masuk tahun 1984 yang juga menerapkan upah UMR dan tidak memperhatikan pasar lokal. Pada saat itu juga terjadi gejolak meski tidak terlalu lama karena pabrik segera bangkrut. Saat ini selisih upah cukup besar antara pertanian dan industri. Para buruh pertanian 134 mulai sering menggunjing juragan pelit atau tidak bekerja sesuai dengan jamnya lagi. Batas kerja jam 3 sore tidak berlaku dan buruh buru-buru pulang jika telah jam satu atau dua. Kondisi ini semakin memperuncing perseteruan antara pabrik dan juragan dalam memperebutkan tenaga kerja lokal. Sampai beberapa tahun, selisih upah buruh tetap berjalan. Juragan tidak mau meningkatkan upah karena menganggap pengeluarannya lebih besar untuk fasilitas buruh daripada pabrik. Ia menyediakan tempat menginap, makan, juga berbagai pinjaman pada buruh sementara pabrik tidak. Para buruh pabrik harus menyewa kamar menginap, sehingga pengeluarannya lebih besar daripada buruh tani. Karena kebanyakan tenaga kerja adalah penduduk lokal, bagaimanapun selisih upah yang besar tetap mengacaukan pasar tenaga kerja. Keluhan-keluhan juragan mulai keluar di forum-forum desa, juga melalui ungkapan-ungkapan sinis pada pabrik yang tidak melihat keadaan. Bagaimanapun sangat sulit bagi juragan untuk bersaing dengan pabrik jika selisih upah terlalu besar. Juragan akhirnya melakukan berbagai efisiensi terutama dalam waktu kerja dan intensitas kerja. Upah dinaikkan hampir sama dengan pabrik, dan beberapa fasilitas tidak diberikan lagi. Mereka melakukan kontrol dan kerja selesai tepat jam tiga sore, kalaupun ada yang istirahat atau pulang, dilakukan pemotongan. Setelah krisis berakhir bermunculanlah pabrik-pabrik baru yakni jamur merang, PT. KF, TNI-AL, PT. IL, juga pabrik bunga kecil-kecil lainnya. Yang menarik adalah model rekutmen tenaga kerja mereka tidak lagi menggunakan cara perusahaan modern murni tapi ikut berkompetisi pada pasar kerja. Hanya tenaga inti saja yang digaji sebagaimana cara pabrik sementara tenaga kasar mencari dipasar kerja lokal. Upah demikian juga sesuai dengan harga pasar dan tidak memakai standar UMR lagi. Hal itu juga dilakukan oleh PT. SK yang juga mulai membuka usahanya kembali setelah tutup. Dari sini menyebabkan pola kompetisi berubah tidak perang harga tapi murni pada mekanisme pasar. Apa strategi masing-masing untuk memenangkan pasar? Juragan mengaktifkan kembali pola lama yakni memberikan tempat menginap bagi buruh boro, juga makan dan mimun kembali diberikan. Bonus juga diberikan pada para tenaga kerja yang loyal padanya. Pabrik selain memberikan bonus dan THR, juga memberikan fasilitas pinjaman bagi buruh dengan potong gaji. Namun demikian jumlah cicilan tidak boleh melebihi separuh gaji. Hal ini berbeda dengan juragan yang dapat memberi tanpa ada batasan khusus. Persaingan antara 135 industri agro dan juragan sangat sengit karena mereka memiliki kekuatan modal sama kuatnya. Dari konstelasi ini dimana letak tani tanggung berada? Mereka sebenarnya hanya pengikut saja dalam hal upah buruh. Jika juragan dan pabrik membayar 10 ribu ia akan melakukan hal yang sama. Tidak ada perlawanan dari mereka sebagaimana yang dilakukan oleh juragan. Tani tanggung diuntungkan oleh kecenderungan buruh bebas yang lebih suka bekerja pada mereka daripada di juragan atau di pabrik. Buruh bebas ini memiliki karakter tidak mau menetap dan lebih suka bekerja longgar. Pada tani tanggunglah kebutuhan itu terpenuhi. Kenapa untung? Pertama, buruh bebas mudah didapatkan dan dapat dipilih sesuai dengan keahliannya. Jika petani tanggung ingin menanam wortel, ia dapat memanggil kelompok kerja tertentu, demikian juga jika panen. Kalaupun pekerjaan sudah habis, pekerja pergi begitu saja. Kedua, tidak perlu menyediakan tempat tinggal sebagaimana juragan. Tempat tinggal bagi pekerja bagaimanapun tetap memerlukan pengeluaran yang lebih. Pekerja bebas kebanyakan penduduk setempat sehingga kembali ke rumah jika selesai kerja. Dari konstelasi perang buruh ini, dimana posisi industri pariwisata? Tidak sebagaimana pertanian dan industri agro, industri pariwisata tidak begitu banyak memerlukan tenaga kerja. Selain itu tenaga kerja yang masuk lebih banyak mengandalkan keahlian khusus sehingga tidak bertarung dalam bursa kerja lokal. Tenaga kerja kasar diperlukan sedikit dan dapat diperoleh dari daerah sekitar tanpa harus merusak bursa kerja lokal. Dengan demikian tidak ada persaingan khusus antara pertanian tradisional dengan pariwisata demikian juga antara pariwisata dengan industri agro. Kedua tentang masalah lahan. Baik pariwisata, pertanian komersil, maupun industri agro pada dasarnya memerlukan lahan untuk membuka usahanya. Masing-masing akan berusaha menguasai lahan seluas-luasnya untuk mengembangkan produksi. Masing-masing artikulasi moda produksi akan masuk ke pasar tanah dengan kekuatan masing-masing. Jika juragan mengandalkan modal lahan milik sebagai kekuatan produksi utama, maka industri agro dan pariwisata menggunakan modal uang untuk memenangkan persaingan. Industri agro mengusai lahan pada awalnya melalui tanah-tanah konsesi dari TNI-AU dan membeli dari para pensiunan tentara yang mendapat jatah tanah transmigrasi. PT. KF sebagai misal menguasai lahan di bekas perkebunan yang menjadi jatah para tranmigran seluas kurang lebih 15 hektar. Tanah itu 136 dibeli dengan harga murah dari tentara atau anaknya yang tidak dapat bertani. Selain itu pabrik juga membeli lahan disekitarnya dari para petani lokal. Pola yang sama juga dilakukan oleh PT. SK dan pabrik yang lain pada awal-awal mereka beroperasi. Semakin agresifnya pembelian tanah yang dilakukan oleh industri agro meningkatkan harga tanah. Namun demikian, pabrik tetap melakukan pembelian berapapun harganya jika ada tanah yang dijual apalagi yang berdampingan dengan lokasi pabrik. Secara khusus mereka mengutus orang tertentu untuk mempengaruhi pemilik tanah juga memanfaatkan pamong desa untuk membujuk petani agar menjual lahan ke pabrik. Saingan utama para pemilik modal besar adalah juragan. Dengan modal lahan yang luas, juragan mampu mengakumulasi modal uang untuk membeli lahan dengan harga mahal dimanapun berada. Ia tidak memperdulikan lokasi lahan apakah dekat atau jauh dari tanah-tanah mereka sebelumnya asalkan harganya cocok. Juragan menjadi tempat bagi para pemilik tanah luas jika akan menjual lahannya. Selain itu, juragan juga melayani gadai tanah dan sewa tanah hingga puluhan tahun. Kerapkali tanah gadai dijual lepas pada para penyewa jika pemilik memerlukan uang. Untuk para pelaku industri pariwisata, pola yang digunakan sebenarnya hampir sama dengan industri agro. Mereka juga melakukan pembelian pada tanah-tanah di sekitar tempat usaha untuk menambah ruang bagi usahanya. Pembelian hotel MN oleh hotel VT merupakan contoh dari usaha perluasan lahan mereka. Penggabungan lahan-lahan penduduk di sekitar Selecta untuk memperluas taman wisata, serta pembelian tanah untuk pasar wisata merupakan usaha Selecta untuk memperluas lahan yang dikuasainya. Tak ayal lagi tanahtanah di sekitar tempat wisata harganya menjadi sangat mahal. Jikalau dulu rumah-rumah penduduk banyak berjajar, saat ini ruko dan tempat usaha pendukung pariwisata saja yang kita temui di sekitar sana. Agresifitas para pemilik modal kuat melambungkan harga tanah di TR. Harga tanah tidak mungkin dapat dijangkau oleh petani srabutan apalagi buruh tani. Tidak ada lagi harapan bagi mereka untuk memiliki tanah apalagi dalam jumlah luas. Bagaimana posisi tani tanggung dalam persaingan ini? Petani tanggung hanya dapat menjadi penonton drama persaingan juragan dan pemilik cara besar dalam menguasai lahan pertanian. Yang dapat lakukan hanya mengambil tanah-tanah kecil, atau orang-orang yang menjual lahannya sebagian dan tidak dalam jumlah luas. Alasan tetangga dan kerabat digunakan agar tanah dijual pada mereka. Kadang-kadang mereka juga melakukan penyewaan dan 137 gadai hingga akhirnya tanah dijual padanya. Mereka juga lebih suka membeli tanah-tanah yang letaknya di dalam serta sulit diakses karena harga agak murah. Strategi ini digunakan untuk memenangkan pemburuan lahan. Perseteruan dalam memperebutkan lahan dan tenaga kerja di atas secara langsung berimplikasi pada sifat moda-moda produksi di TR. Memang tidak ada moda produksi baru yang muncul pada struktur ekonomi lokal, namun sifat moda produksi lama sedikit berubah. Struktur hubungan produksi dengan adanya persaingan menjadi semakin herarkhis dan sifat hubungan produksi menjadi sangat eksploitatif melebihi masa sebelumnya. Secara rinci perubahan itu dapat dilihat dalam tebel berikut: Tabel 6.2 : Perubahan aspek cara produksi semi-komersil, kapitalis pertanian dan kapitalis pada masa reformasi Masa Orde Baru Masa Reformasi Aspek cara Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian produksi SemiSemiSemiSemikomersil komersil komersil komersil A Kekuatan produksi 1 Alat produksi Tanah Tanah Tanah Modal 2 Unit produksi Keluarga inti Organisasi produksi Keluarga inti Organisasi produksi 3 Tenaga kerja utama Keluarga luas dan buruh Buruh upahan Keluarga luas & buruh Buruh upahan B Hubungan Produksi 1 Batas sosial Hubungan produksi Organisasi produksi Organisasi produksi Keluarga luas Organisasi produksi 2 Struktur Hubungan produksi Semakin herarkhis Herarkhis Herarkhis Sangat Herarkhis 3 Sifat Hubungan produksi Semakin eksploitatif Eksploitatif Eksploitatif Sangat Eksploitatif Perubahan artikulasi cara produksi pertanian di atas, mencerminkan adanya perubahan pada kehidupan sosial desa secara luas. Perubahan terjadi pada kelembagaan produksi yang meliputi (1) nilai yang mengatur orientasi produksi, (2) nilai/norma yang mengatur tujuan produksi, (3) nilai yang mengatur organisasi produksinya, (3) nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi, dan (4) nilai yang mengatur hubungan antar elemen dalam proses produksi. Pertama, orientasi produksi jika pada masa sebelumnya produksi hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri dan konsumsi sendiri, saat ini orientasi produksi sepenuhnya untuk kebutuhan pasar. 138 Kedua, norma yang mengatur tujuan produksi. Jika pada cara produksi sebelumnya lebih condong untuk menjaga keselarasan sistem sosial, saat ini produksi sepenuhnya bertujuan untuk akumulasi. Kewajiban-kewajiban sosial sebagai konsekwensi status sosial seseorang juragan, tidak lagi melekat erat. Kewajiban-kewajiban cukup dipenuhi dengan memberi hak buruh sebagaimana mestinya. Jadi produksi untuk mendapatkan keuntungan dari usaha pertanian telah menjadi lazim. Ketiga, nilai yang mengatur organisasi produksi. Jika pada masa sebelumnya seorang juragan masih menggunakan cara kekeluargan, maka saat ini usaha berjalan layaknya perusahaan. Buruh tidak lagi dapat seenaknya bekerja sebagaimana sebelumnya karena aturan diketatkan. Jika ada kerja tambahan, juragan dapat memberikan bonus uang lembur. Pengrogasisasian buruh dilakukan lebih intensif karena persaingan dengan industri agro sangat ketat. Jugaran harus mengeluarkan biaya ekstra (menjemput buruhdan rumah tinggal) yang tidak dilakukan oleh industri. Dengan demikian pengetatan aturan kerja dan menuntut waktu ekstra buruh perlu dilakukan juragan. Tipe-Tipe Pertukaran Ekonomi. Pertukaran ekonomi dalam moda produksi kapitalis pertanian di TR melibatkan juragan sebagai majikan, buruh, lembaga keuangan, toko penyedia saprodi, dan pasar. Majikan menguasai kekuatan produksi dan mengorganisasikan seluruh potensi untuk produksi. Antar elemen memiliki hubungan dengan pola tertentu dalam proses produksi. Polapola yang terbangun menentukan tipe pertukaran yang terbangun nantinya. Untuk menuju tipe pertukaran, maka kita harus menguraikan mekanisme pertukaran yang terjadi. Buruh digunakan tenaga dan keahliannya oleh majikan untuk menghasilkan barang. Buruh mendapat upah sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Juragan akan membangun hubungan dengan toko saprodi jika memerlukan input produksi. Sementara itu untuk menjalankan produksi memerlukan cara uang, dengan demikian berhubunganlah majikan dengan lembaga keuangan. Setelah itu untuk menjual barang yang dihasilkan oleh buruh, majikan akan berhubungan dengan pasar. Seluruh mekanisme pertukaran itu dilandasi oleh prinsip man to man atau hubungan individual antara majikan dengan pihak yang dilibatkannya. Seorang buruh atas nama pribadi menjalin hubungan dengan majikan tanpa rekomendasi kelompok. Meski ada kelompok buruh spesialis, pada dasarnya mereka tetap bertindak secara individual dan prestasi juga diukur individual. Hal sama juga terjadi dengan pihak-pihak lain, dimana mereka berhubungan secara pribadi 139 dengan majikan. Jadi basis pertukaran lebih pada hubungan individual dan tidak ada hubungan primordial. Bagaimana sifat pertukarannya? Eksploitatifkan atau egaliter? Tidak jauh berbeda dengan moda kapitalis industri, moda kapitalis pertanian juga menempatkan buruh sebagai pihak yang tereksploitatif. Pemilik toko saprodi relative egaliter, sementara untuk lembaga keuangan sepertinya majikan menjadi sub-ordinasi. Majikan bahkan mau memberikan bonus tertentu bagi lembaga keuangan jika kreditnya dicairkan. Ada kalanya untuk mendapatkan kredit majikan harus mengadakan pendekatan pada pegawai bank. Sementara itu untuk hubungan dengan pasar, juragan sangat tergantung pada harga pasar. Jadi pada moda produksi kapitalis pertanian terdapat dua tipe pertukaran, yakni timbal-balik dan eksploitatif. Timbal balik terjadi antara majikan-toko dan majikanpasar, sementara esploitatif pada majikan-buruh dan bank-majikan. Bentuk/Tipe Hubungan Sosial Produksi. Hubungan sosial produksi di TR pada kapitalis petanian melibatkan buruh dan majikan. Buruh sebagaimana juga pada indutri didapatkan dari pasar kerja lokal maupun luar daerah. Dalam produksi mereka tergantung pada penilaian majikan sehingga posisinya sangat imperior dalam struktur produksi, meski telah bekerja lama. Dengan demikian, hubungan sosial produksi yang dikembangkan moda produksi kapitalis pertanian sangat herarkhis. Pada masing-masing jenis buruh memiliki pola hubungan sosial produksi berbeda. Buruh bebas lebih longgar hubunganya dengan majikan dibandingkan dengan buruh tetap. Sementara untuk pandek, hampir tidak ada tempat bagi mereka untuk melepaskan diri dari pengaruh majikan. Hal ini juga menyiratkan hegemoni yang bertingkat pada jenis-jenis buruh. Buruh bebas dapat memilih juragan lebih leluasa, dan mereka lebih mengutamakan kerja di tani tanggung daripada juragan. Kondisi lebih egaliter yang dikembangkan tani tanggung menjadi penarik buruh bebas, yang secara ekonomis paling menguntungkan. Seorang majikan tidak perlu menyediakan tempat bagi pekerja tetap (boro kerjo) jika mendapatkan buruh bebas karena mereka akan makan dan tidur di rumah masing-masing. Memilih tani tanggung bagi buruh bebas memberi eksistensi pada dia sebagai kuli merdeka dan tidak tergantung pada juragan. Buruh tetap memiliki ketergantungan yang sangat besar pada juragan. Ia makan minum, juga tidur di rumah juragan yang tentunya tidak gratis dan harus diganti dengan kerja ekstra. Rumah jauh dan ketidakpastian kerja pada majikan 140 lain mendorong mereka mengambil resiko paling kecil yakni ikut juragan. Biasanya mereka yang telah mapan atau lama bertempat tinggal di TR perlahan akan memilih juragan yang lebih baik atau berpindah menjadi buruh bebas. Pandek memiliki ketergantung lebih erat dari dua jenis buruh sebelumnya. Mereka tidak akan pernah dapat lepas dari majikan karena tugas yang diberikan sudah pasti dan melekat sebagai wujud kesetiaan. Juragan menjalin hubungan khusus lebih emosiaonal dengan pandek bahkan juga memberikan banyak fasilitas di luar fungsinya sebagai buruh biasa. Seorang pandek bisa dibuatkan rumah, dinikahkan dan diberi modal kerja. Jadi, relasi sosial produksi dalam moda produksi kapitalis pertanian memiliki dua tipe yakni herarkhis merujuk pada hubungan buruh tetap-majikan, pandek-majikan, dan semi-egaliter merujuk hubungan buruh bebas-majikan. Buruh tetap merupakan strategi yang dikembangkan oleh majikan agar dapat bersaing dengan pabrik, dan ini merupakan gejala kapitalisme biasa. Sementara itu fenomena pandek merupakan peninggalan sistem feudal atau perbudakan. Jika dicocokkan dengan sistem Hacieda, pandek menunjukkan persamaan ciri. Relasi Kekuasaan Produksi. Pada dasarnya relasi kekuasaan buruh dan majikan tidak berbeda jauh pada cara produksi kapitalis pertanian dan kapitalis industri. Hanya saja perbedaan status buruh dan jenis majikan berbeda pula relasi kekuasaan yang dibangun. Pandek membangun kekuasaan berbeda dengan buruh bebas demikian pula buruh tetap. Majikan di sisi lain juga berbeda antara juragan/petani kaya, tani tanggung dan tani srabutan. Buruh tetap terikat kuat pada satu juragan karena hidup di rumah hingga yang disediakan juragan sampai berbulan-bulan. Buruh tetap ini mendapat makan dan minum dari juragan, dan tidak membayar uang sewa meski bertahuntahun. Akibatnya mereka menjadi sangat tergantung dan posisinya sangat lemah bila terjadi ketidak cocokan kerja. Bargaining mereka sangat lemah karena kertegantungan yang dibuat juragan. Kekuatan dapat dibangkitkan jika mereka mampu menguasai seluruh tenaga kerja sehingga dapat bernegosiasi dengan juragan. Biasanya mengenai fasilitas rumah, fasilitas kerja, juga gaji dan pinjaman jika diperlukan. Karena itu buruh tetap biasanya berusaha menghomogenkan kelompoknya dengan jalan menarik pekerja dari daerah yang sama sebanyak-banyaknya. Mereka juga akan mengangkat seorang negosiator yang biasanya dituakan diantara mereka. Jika tidak homogen betul paling tidak dalam satu kelompok kerja akan didominasi orang dari satu daerah. 141 Pandek, karena nilai pengabdian dan hubungan emosional yang dibangun dengan juragan, kekuasaan tidak didasari oleh bargaining. Mereka lebih mengadalkan hubungan baik untuk mendapatkan fasilitas biasanya menggunakan istri. Istri pandek juga bekerja pada juragan sebagai juru masak buruh sehingga hubungan dengan istri juragan dekat. Bagaimana dengan pekerja bebas? Mereka tidak perduli dengan jalinan kekuasaan. Jika tidak cocok mereka langsung pindah juragan, dan kebanyakan mereka bekerja pada tani tanggung yang memang sudah egaliter. Kekuatan satu-satunya mereka adalah ketidak tergantungan dan status sebagai penduduk asli sehingga tidak bisa dianggap rendah sebagaimana buruh lain. Buruh bebas biasanya memiliki kelebihan ketrampilan dan pengalaman karena sejak kecil telah bekerja di pertanian. Apa kekuatan juragan? Ia memiliki alat produksi juga lahan dan cara sehingga tanggungjawab produksi ada padanya. Dengan demikian ia dapat merekut buruh berapapun dan kapanpun sesuai dengan kebutuhannya. Karena hal itu, buruh kadang menjadi sangat riskan kedudukannya apalagi dengan masuknya buruh tetap yang dijemput dari luar daerah setiap pagi. Dengan kekuatan modal uang juragan dapat menyediakan rumah untuk tempat tinggal buruh sehingga buruh menjadi tergantung. Jadi, hubungan sosial produksi di TR pada moda produksi kapitalis pertanian memperlihatkan struktur herarkhis yang kuat terutama pada usaha tani juragan. Sementara itu pada usaha tani tanggung hubungan lebih egaliter karena tani tanggung berkepentingan pada petani bebas yang suka suasana kerja egaliter. Sementara pada tani srabutan hubungan sangat egaliter karena tenaga kerja juga sebagai anggota keluarga. Mengenai perubahan aspek-aspek cara produksi kapitalis setelah kontemporer dapat digambarkan dalam tabel berikut: 142 Tabel 6.3 : Kecenderungan perubahan cara produksi yang berkembang pada sistem sosial lokal pada masa Reformasi Perubahan ciri-ciri cara produksi Artikulasinya Sebelum krisis 1965-1997 Setelah krisis 1997-2005 (Jaman pembangunan) (Paska pembangunan) Berorientasi pada nilai kapitalis Pasar lokal, internasional, dan sedikit untuk konsumsi terutama tani srabutan Berorientasi pada kapitalis global Pasar lokal, internasional, dan tidak ada hasil untuk konsumsi sediri Nilai yang mengatur tujuan produksi Nilai yang mengatur organisasi produksi Pada pembangunan karena merupakan usaha Negara Perusahaan sebagai lembaga usaha Pada nilai kapitalis karena kepemilikan pribadi Perusahaan sebagai lembaga usaha Nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi Kepemilikan pribadi dan sewa Kepemilikan pribadi dan sewa Pertukaran ekonomi Negative Negative Kelembagaan produksi Nilai yang mengatur orientasi produksi Elemen yang terlibat Mekanisme petukaran Basis kerjasama Buruh, cara swasta, dan manajemen. Tukar menukar melalui pasar Pada ikatan kontraktual buruh majikan. Buruh, majikan, dan manajer Tukar menukar melalui pasar Ikatan kontraktual tapi menjadi lebih sederhana Relasi sosial produksi Upah sepenuhnya Herakhis Sifat relasi sosial produksi Herarkhis meski didapati tenaga kerja kerabat terutama pada juragan, tani tanggung egaliter juga srabutan sepenuhnya Herarkhis karena buruh upahan, untuk tani tanggung relative egaliter dan srabutan sepenuhnya egaliter Sumber buruh Dari pasar kerja dan luar daerah Tetap Relasi kekuasaan Sumber kekuasaan buruh Eksploitatif sepenuhnya Ketrampilan dan soliditas kelompok Eksploitatif oportunistik Ketrampilan, soliditas kelompok dan kedekatan Sumber kekuasaan majikan Kekuasaan dominan Penguasaan kekuatan produksi Juragan Penguasaan kekuatan produksi Juragan Persaingan antar cara produksi menyebabkan beberapa ekses yakni (1) terjadi kesenjangan penguasaan kekuatan produksi, (2) perluasan pasar tenaga kerja dan pasar tanah, (3), perubahan pada pola pemanfaatan sumberdaya alam dan (4) pelemparan petani tanggung dan srabutan dari orbit ekonomi. masingmasing terjadi secara simultan dan memiliki efek sebab akibat. Pertama, kesenjangan penguasan kekuatan produksi khususnya lahan, semakin besar di tandai dengan meningkatnya penguasaan lahan industri agro, industri wisata, juga juragan. Perlahan-lahan tanah bergeser penguasaannya dari petani. Data dari pajak desa menunjukkan jika 60 pemilik lahan terluas pertama 143 tahun 2003 menguasai 440,0946 hektar tanah yang berarti lebih dari 50% lahan produktif di TR. Ini merupakan kesenjangan sangat besar mengingat penduduk TR tak kurang dari 12.000 nyawa. Implikasi langsung dari kesenjangan ini adalah meningkatnya jumlah keluarga tidak bertanah dari tahun ketahun. Hal itu menjadi masalah sosial yang pelik di TR hingga muncul berbagai problem sosial. Puncaknya terjadi saat penduduk miskin desa menduduki lahan milik Cina di daerah Sarfaat dan dijadikan tempat pemukiman. Hingga saat ini tak kurang dari 75 keluarga menempati tanah itu, meski terus dipermasalahkan oleh pemiliknya. Baru-baru ini tahun 2003 pendudukan lahan juga terjadi pada tanah milik Perhutani di daerah Besta. Sekitar 150 keluarga tak bertanah membuat pemukiman di sana. Tanah Perhutani itu selanjutnya oleh Pemerintah ditukar dengan tanah lain di daerah Malang selatan. Selain untuk pemukiman, pembukaan lahan pertanian juga dilakukan besar-besaran oleh petani sejak tahun 1997 dimulai dari tanah bekas PT. AN. Yang melakukan pembabatan adalah para petani bekas mitra PT, atau anakanaknya. Seluruh lahan akhirnya dapat dibabat dan digunakan untuk lahan pertanian. Tidak hanya itu, tekanan atas sumberdaya alam juga terjadi pada lahan hutan. Kontrol pemerintah yang lemah mendorong mereka melakukan penjarahan lahan hutan sampai ke lereng-lereng gunung. Hal yang sama ssebenarnya juga dilakukan oleh perhutani dengan melakukan perluasan kawasan wisata dan membuat banyak tempat parker pada wilayah yang seharusnya tetap menjadi hutan. Jauh sebelum itu sebenarnya telah terjadi hal yang sama. Penduduk desa tak bertanah melakukan pendudukan lahan perhutani di daerah Talon. Mereka kebanyakan para petani tak bertanah dan tidak memiliki tempat tinggal. Karena kondisi yang sangat mendesak, mereka akhirnya menduduki lahan itu meski pemerintah melarang. Kejadian itu terjadi tahun 1988 dimana pemerintah orde baru sangat kuat dan kejadian demikian termasuk langka dan jarang terjadi. Penduduk berani karena memang kondisinya telah sangat mendesak. Pada waktu itu usaha sayur mulai booming dan para juragan mulai melakukan pembelian lahan besar-besaran. Akhir-akhir ini terjadi juga pembabatan “tetel” lahan hutan untuk pertanian yang dilakukan oleh orang-orang tak berlahan. Lahan ini digunakan untuk tanaman wortel, ketang, juga sayuran lainnya. Lahan ini secara komulatif cukup 144 luas, hingga ratusan hektar. Ini belum tanah-tanah tumpangsari antara hutan dan rumput yang luasnya juga kurang lebih sama. Jadi luas lahan yang dikuasai petani jauh lebih banyak daripada yang mereka miliki secara resmi. Meski lahan bertambah dengan adanya tetelan, juragan secara perlahan juga mulai masuk dan membeli tanah-tanah itu dengan harga murah. Banyak diantara petani tidak bertanah menjual lahannya dan kembali membatat lahan hutan pada daerah yang lebih dalam. Akumulasi penguasaan lahan terus berlanjut dan juraganlah yang mendapatkan keuntungan paling besar. Kedua, terkait pasar tenaga kerja dan tanah. Sistem perusahaan yang dikenakan industri agro dalam pengelolaan buruh bagaimanapun merubah kesetimbangan pasar kerja lokal. Permintaan buruh meningkat dan terjadi persaingan untuk memperebutkan buruh lokal. Selain efisien, buruh lokal juga memiliki mobilitas cepat karena mereka tinggal dekat lokasi. Gaji UMR yang diterapkan oleh perusahaan menyebabkan persaingan harga tidak seimbang, dan juragan mengalami kerugian. Kelangkaan tenaga kerja pertanian dan peningkatan upah menjadi konsekwensi dari persaingan ini. Para juragan akhirnya mencari buruh hingga ke desa-desa lain dengan jalan menjemput mereka. Biaya menjadi lebih besar dan mobilitas semakin meurun larena lokasi buruh terlalu jauh. Selain itu tentu saja buruh baru belum memiliki kemampuan yang baik sebagaimana buruh biasanya. Selain kelangkaan buruh, lahan pertanian juga semakin mahal harganya. Pasar lahan menjadi ramai dan terjadi perlombaan untuk menguasai kekuatan prduksi utama ini. Perkembangan pariwisata juga menarik orang luar untuk membeli lahan di sana untuk villa dan tempat peristirahatan. Saat ini lahan benar-benar menjadi komoditas yang semakin bebas diperjual belikan, tidak hanya oleh penduduk lokal tapi juga orang luar. Ketiga, terkait dengan perubahan pola pemanfaatan lahan. Perubahan pola pemanfaatan lahan sebenarnya lebih merupakan tanggapan atas semakin menurunnya kemampuan pola lama bertahan dari persaingan antar cara produksi. Jika petani hanya menanam sekali dalam setahun, maka hasil perwaktu akan semakin kecil dan ia tidak mungkin bersaing dengan industri agro yang terus produksi sepanjang hari. selain itu sewa lahan yang semakin tinggi juga menuntut produksi yang semakin tniggi pula agar peningkatan biaya produksi tertutupi. 145 Tanpa melakukan perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam tidak mungkin cara produksi bertahan. Cara produksi akan bertahan jika ia mampu untuk mendapat keuntungan dari produksinya. Di TR penanaman sayur sebelum masuknya pengusaha Cina hanya dilakukan sekali setahun. Karena Cina menanam setahun dua kali maka petani harus mengikuti jika tidak ingin lahannya terdesak. Dulu tanaman hanya ada pada daerah datar saja, saat ini di daerah paling miringpun orang menanam sayur. Penanaman satu kali tahun 1970-an berubah menjadi tiga kali ditahun 1990-an. Saat ini tidak lagi ada petani yang membiarkan lahannya diam barang satu atau dua minggu, bahkan tanaman satu belum dipetik kerapkali telah ditanami tanaman lain. Pemilihan jenis tanaman atau kombinasi beberapa tanaman dalam satu tahun akan dicari yang paling optimal. Ini melibatkan ketajaman analisis petani karena terkait dengan keadaan pasar. Sekiranya memberi keuntungan paling besar, petani akan menanam suatu tanaman tanpa ragu. Jika petani monoton sebagaimana gaya dulu yang hanya menanam jagung atau ketela saja maka ia akan tergeser oleh cara produksi lain. Komersialisasi memerlukan biaya banyak dan itu hanya dapat ditutupi oleh peningkatan produksi. Tidak heran jika petani selalu memilih kombinasi produksi yang paling optimal yakni (wortel, kentang, sawi)-(Kentang, bawang, wortel)-(kentang,sawi,wortel). Intensifikasi inilah adalah cara paling efektif digunakan untuk memenangkan persaingan. Tentu saja ketersediaan pekerjaan sepanjang tahun karena tiap musim pasti ada petani yang memerlukan tenaga kerja. Inilah yang menjamin hidup para buruh tani. Sayur adalah tanaman yang memerlukan banyak tenaga kerja, apalagi medan pegunungan yang sangat sulit untuk melakukan mekanisasi. Praktis seluruh kerja dilakukan dengan manual terutama pengolahan lahan. Keempat, tentang keterlemparan petani kecil. Keadaan nyata kondisi ini adalah adanya kesenjangan struktur penguasaan lahan. Lahan adalah kekuatan produksi utama di pedesaan. Akumulasi kepemilikan lahan pada juragan dan industri agro, serta pariwisata merupakan proses penggeseran petani dari orbit utama ekonomi. Apakah menjadi buruh tani dan pekerja pabrik terjadi peningkatan penguasaan kekauatan produksi di luar tanah? cara sebagai misal? Apakah dapat mereka kumpulkan kemudian menjadi sebuah cara usaha? Paling besar usaha mereka adalah pedagang apel pinggir jalan, yang hasil tiap harinya tak lebih besar dari buruh tani. 146 Terjadi ketimpangan yang sangat besar, bahkan banyak penduduk yang benar-benar tidak memiliki lahan pertanian. Terjadi reproduksi barisan buruh tani yang meluas di TR hingga saat ini. Kampung Talun, Besta, dan Sarfaat adalah kampung baru yang berisi keluarga-keluarga tidak bertanah dan saksi pertarungan tiga gajah raksasa (juragan, industri agro, dan industri pariwisata) yang memperebutkan lahan. Mau tak mau mereka harus menyingkir jika tidak akan terlindas kaki-kaki gajah. Banyak diantaranya mengabdi pada salah satu gajah dan tidak satupun dari mereka, setidaknya hingga hari ini menjadi gajah atau paling tidak gajah kecil. Formasi Sosial Kapitalis Industri dan keberlangsungan Moda Produksi Lokal Setelah krisis terlihat ada kecenderungan berbeda-beda dari seluruh artikulasi cara produksi di TR. Industri agro terlihat merubah cara pengorganisasian buruh, tidak lagi menggunakan cara perusahaan yang ketat tapi mengadopsi cara petani biasa. Ini dilakukan untuk mendapatkan tenaga kerja murah terutama untuk pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian khusus. Buruh untuk kerja kasar ini tidak lagi dari karyawan tetap sebagaimana sebelumnya, tapi dari tenaga kerja harian. Juragan dan pengusaha Cina di sisi lain juga melakukan perubahan cara mengorganisir buruh. Juragan semakin memperbanyak fasilitas bagi buruh boro dengan memperbesar gaji dan fasilitas tempat tinggal. Ini dilakukan untuk mendapatkan tenaga ekstra dengan cara mempererat ikatan dan ketergantungan buruh pada juragan. Pengusaha Cina tidak mungkin melakukan hal sebagaimana juragan karena mereka tidak bertempat tinggal di desa. Mereka lebih memilih mendatangkan tenaga kerja dari desa lain dengan model jemputan 23. Tenaga kerja dari luar desa ini sangat murah dan lebih terjamin ketersediaannya sehingga tidak perlu bersaing dengan pelaku ekonomi lain. Selain tenaga kerja, secara perlahan seluruh pelaku ekonomi di TR selain tani tanggung dan srabutan, berlomba mendapatkan kekuatan produksi penting lainnya yakni tanah. Juragan berusaha mengakumulasi seluruh sumber kekuatan 23 Tenaga kerja jemputan adalah tenaga kerja yang diperoleh juragan dengan jalan menjemput langsung dari desa sekitar TR terutama daerah kering sehingga harganya murah. Meski demikian pengusaha Cina wajib menjemput tiap pagi dan menganarkanya kembali pada sore hari. Hal ini tentu saja menambah pengeluaran produksi, tapi pengusaha Cina memeng tidak ada alternative lain karena rata-rata penduduk local tidak mau bekerja padanya demikian juga boro karena ia tidak menyediakan tempat tinggal sebagaimana juragan. 147 produksi terutama tanah dengan jalan meyewa dan membeli dari tani srabutan dan tani tanggung. Demikian juga industri agro mengikuti langkahnya dalam menguasai lahan dengan mengandalkan kemampuan modal uangnya. Industri pariwisata di sisi lain, belum menampakkan pengaruhnya begitu kuat, meski beberapa hal juragan juga sudah mulai melirik hal itu 24. Perubahan kedua moda produksi tersebut berimplikasi pada formasi sosial baru yang terbangun. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan pada industri agro dan pariwisata tidak lagi mendominasi seluruh aspek ekonomi. Juragan yang mulai berciri kapitalis murni menjadi pesaing utama industri. Persaingan terjadi dalam perebutan lahan dan tenaga kerja sebagai kekuatan produksi utama di TR. Keduanya masing-masing berusaha mengakumulasi keuntungan untuk menguatkan cara dan membeli lahan-lahan pertanian. Ke depan, dilihat dari kecenderungan yang ada mulai ada pergeseran corak formasi sosial dari dominasi pertanian komersil kearah Industri Agro dengan modifikasi pada relasi hubungan sosial produksi yang tidak berbasis pada sistem perusahaan tapi pada sistem lokal. Sementara itu, pertanian komersil mulai mengarah pada industri pariwisata dan peralihan pada tanaman apel yang semakin meluas. Faktor pendorong utama perubahan adalah kebijakan pemerintah dan pertanian komersil sendiri pengaruhnya semakin turun. Bagaimana dengan petani tanggung dan srabutan ? Jelas ia tidak berperan sedikitpun dalam menentukan formasi sosial. Hanya saja dalam persaingan dengan juragan, dalam hal tenaga kerja mereka menang, karena banyak tenaga kerja bebas sebagai tenaga kerja paling murah dan efisien dapat mereka ikat. Paling tidak ini satu-satunya cara yang menguntungkan mereka di tengah tekanan dua raksasa besar yakni juragan dan industri agro. Sebenarnya tidak ada perubahan mendasar antara masa Orde Baru dan Reformasi terkait cara-cara produksi yang hadir dalam struktur ekonomi lokal. Hanya saja para juragan dan pengusaha Cina mulai mendapatkan tekanan yang kuat dari pelaku ekonomi lain, khususnya industri agro dan pariwisata. Kemampuan modal mereka mendesak para juragan dan pengusaha Cina untuk 24 Di dua obyek wisata yakni coban Talon dan air panas Cangar mulai ada wacana pengelolaan tempat wisata tidak pada perhutani tapi pada masyarakat yang digerakan oleh para pemimpin lokal. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa pendudk telah mampu dan mereka sanggup untuk mengeluarkan modal. Setelah saya telusuri arah isu ini ternyata ada beberapa juragan yang memang bersedia menjadi pemodal sekiranya desa dapat memperjuangkan pengelolaanya. Ada beberapa malah yang mengusulkan PT dengan model saham yang disebar luas pada masyarakat. 148 merombak cara produksinya. Mereka mengetatkan aturan buruh dan majikan selain menggunakan lahan sebagai kekuatan penyokong utama. Usaha juragan dan pengusaha Cina untuk memenangkan tekanan itu akhirnya berdampak pada berkurangnya jumlah petani semi-komersil (tani tanggung dan srabutan). Juragan semakin agresif dalam mendapatkan lahan dan membeli dari petani-petani kecil yang tidak begitu luas lahanya. Kekuatan produksi mereka berpindah ke juragan dan pengusaha Cina hingga menjadi buruh pabrik atau buruh tani. Laju penambahan barisan buruh semakin cepat saat industri agro juga melakukan hal yang sama. Jadi, secara cepat setelah Orde Baru tumbang pertanian semi-komersil semakin habis perannya. Moda produksi satu-satunya yang dekat dengan pertanian tradisional sebagai moda produksi awal semakin terkikis. Lahan sempit sebagai satu-satunya kekuatan produksi tertekan terus oleh juragan, pengusaha Cina, dan industri. Di sisi lain dengan luasan yang sempit, tidak mungkin untuk mengakumulasi keuntungan dan menginvestasikan sebagaimana pelaku ekonomi lain. Kalau tidak bertahan, lahan pasti akan berpindah ke juragan, pengusaha Cina, atau industri agro dan wisata. Ihktisar Setelah Orde Baru dan memasuki reformasi, cara-cara produksi yang hadir tetap, hanya saja ada kecenderungan jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan dan aktifitas industri agro berkembang. Penurunan jumlah petani semi-komersil semakin memudarkan pengaruh cara produksi lokal yang tersisa. Pelaku cara produksi semi-komersil beralih menjadi buruh baik pada industri maupun juragan dan pengusaha Cina. Para petani yang kehilangan kekuatan produksi utama (tanah) sebagian mendirikan perkampungan baru dengan jalan menduduki lahan Perhutani dan Pengusaha Pengusaha Pengusaha Cina. 149 Tabel 6.4 : Perubahan aspek-aspek cara produksi lokal selama reformasi Periode Artikulasinya Aspek moda produksi A 1 Kekuatan produksi Alat produksi dominan 2 3 B Unit produksi Sumber tenaga kerja utama Hubungan Produksi 1 2 Batas sosial hubungan produksi Struktur hubungan produksi 3 Sifat hubungan produksi Kapitalis pertanian Semi-komersial Modal Tanah Organisasi produksi Buruh upahan Keluarga inti Keluarga luas dan buruh Organisasi produksi Organisasi produksi Sangat Herarkhis Herarkhis Sangat Eksploitatif Eksploitatif Sementara pada masa reformasi, perubahan didorong oleh persaingan antar artikulasi moda produksi dan antar artikulasi dalam satu moda produksi. Persaingan mendorong masing-masing artikulasi merubah manajemen produksi untuk semakin banyak menguasai kekuatan produksi. Penguasaan atas kekuatan produksi ini menjadi penentu kemampuan reproduksi masing-masing cara produksi. Petani kaya dan pengusaha Cina mengandalkan penguasaan lahan sementara industri agro menggunakan modal uang sepenuhnya. Tabel 6.5 : Perubahan ciri-ciri cara produksi pertanian tradisional pada masa reformasi Ciri-ciri cara produksi Artikulasinya Kelembagaan produksi Berorientasi pada kapitalis global Nilai yang mengatur orientasi produksi Pasar lokal, internasional, dan tidak ada hasil untuk konsumsi sediri Nilai yang mengatur tujuan produksi Pada nilai kapitalis karena kepemilikan pribadi Nilai yang mengatur organisasi produksi Perusahaan sebagai lembaga usaha Nilai yang mengatur penguasaan kekuatan produksi Kepemilikan pribadi dan sewa Bentuk pertukaran ekonomi Negative Elemen yang terlibat dalam proses produksi Buruh, majikan, dan manajer Mekanisme petukaran Tukar menukar melalui pasar Basis kerjasama Ikatan kontraktual tapi menjadi lebih sederhana Relasi sosial produksi Upah sepenuhnya Sifat relasi sosial produksi Herarkhis karena buruh upahan, tani tanggung relative egaliter dan srabutan egaliter Sumber buruh Dari pasar kerja dan luar daerah Relasi kekuasaan Eksploitatif oportunistik Sumber kekuasaan buruh Ketrampilan, soliditas kelompok dan kedekatan Sumber kekuasaan majikan Penguasaan kekuatan produksi Kekuasaan dominan Juragan 150 Setelah krisis dan memasuki masa reformasi masing-masing artikulasi cara produksi di TR melakukan berbagai pembenahan. Industri melakukan informalisasi kerja dengan merekut buruh harian, petani kaya dan pengusaha Cina melakukan pengetatan aturan kerja. Masing-masing bersaing untuk dapat menguasai tenaga kerja dan lahan sebagai kekuatan produksi utama. Namun demikian karena kekuatan modal dan kemampuan manajemen yang lebih baik industri agro dan wisatalah yang akhirnya mampu mendominasi. Bahkan juragan dan pengusaha Cina juga mulai merombak organisasi produksinya menyerupai model perusahaan untuk dapat bersaing. Mengenai formasi sosial yang terbangun dalam tiap periode dapat dilihat lebih rinci dalam tabel berikut: Tabel 6.6 : Formasi sosial TR dari jaman kolonial hingga reformasi Cara produksi Tingkat dominasi Pertanian Tradisional 0 Kapitalis kolonial 0 Pertanian semi-komersil * Kapitalis pertanian *** Kapitalis **** Ket : ***** *** ** * Sangat mendominasi Mendominasi Kurang mendominasi Tidak mendominasi 0 Tidak ada KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasar temuan di atas, pada masa kolonial moda produksi yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial. Pertanian tradisional berada dalam posisi tersub-ordinasi karena seluruh surplus produksi diserap oleh perkebunan melalui tenaga kerja dan pangan. Elit lokal dan petani kaya memanfaatkan peningkatan kebutuhan pangan akibat masuknya buruh dengan jalan memperbanyak produksi namun tidak sampai terjadi akumulasi. Dengan demikian moda produksi tradisional keberadaannya secara perlahan memudar seiring perkembangan perkebunan dan usaha tani petani kaya. Petani kebanyakan sebagian besar masih menggunakan moda produksi lama meski menyesuaikan dengan perkembangan moda produksi kapitalis. Penyesuaian dilakukan dengan cara merekut tenaga kerja upahan yang sifatnya sangat terbatas, bahkan lebih banyak menggunakan kerabat. Meski telah mengadopsi moda kapitalis, pertanian tradisional tetap bertahan dengan moda lama. Hal ini lebih disebabkan oleh kebijakan kolonial yang membiarkan moda lokal tetap hidup untuk menompang keberadaan perkebunan. Jadi, pada masa kolonial moda produksi lokal tetap bertahan meski dalam posisi terdominasi oleh moda produksi kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan, moda produksi yang muncul adalah pertanian tradisional (petani biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina). Moda produksi lokal terutama pertanian tradisional semakin tidak berpengaruh dan mulai mengadopsi moda baru dan cenderung menjadi semi-komersil. Sementara itu petani kaya yang semi-komersil perlahan mulai menjadi kapitalis. Jumlah petani tradisional semakin menurun dan pengaruhnya semakin kecil digantikan oleh pertanian semi-komersil. Sementara pada masa Orde Lama moda produksi tetap yakni pertanian tradisional (petani biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis pertanian (petani kaya dan pengusaha Cina). Hanya saja pertanian tradisional semakin tidak berpengaruh dan hanya tinggal sisa-sisanya saja. Pertanian komersil semakin banyak, sementara petani semi-komersil pada periode sebelumnya sepenuhnya menjadi kapitalis pertanian bahkan mampu menggeser dominasi pengusaha Cina. 152 Memasuki Orde Baru, moda produksi yang muncul adalah pertanian semi-komersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Pada masa ini pertanian tradisional sepenuhnya hilang dan tinggal pertanian semi-komersil yang masih memiliki corak lokal. Pertanian semi-komersil sebenarnya tidak begitu berpengaruh karena seluruh kegiatan ekonomi berkiblat pada investasi pemerintah. Para pelaku ekonomi lokal akhirnya menjadi buruh tani bagi yang tidak mampu bertahan atau usaha tani kecil-kecilan bagi yang masih bertanah, sebagian yang lain melakukan ekspansi ke lereng-lereng gunung. Setelah Orde Baru dan memasuki reformasi, moda-moda produksi yang hadir tetap, hanya saja ada kecenderungan jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan dan aktifitas industri agro berkembang. Penurunan jumlah petani semi-komersil semakin memudarkan pengaruh moda produksi lokal yang tersisa. Pelaku moda produksi semi-komersil beralih menjadi buruh baik pada industri maupun juragan dan pengusaha Cina. Petani yang kehilangan kekuatan produksi utama (tanah) sebagian mendirikan perkampungan baru dengan jalan menduduki lahan Perhutani dan Pengusaha Cina. Memudarnya moda produksi lokal (pertanian tradisional) pada masa kolonial didorong oleh kegiatan-kegiatan perkebunan kina dan teh. Sumberdaya lokal seluruhnya dipaksa mendukung sepenuhnya sistem yang dikembangkan perkebunan. Tenaga kerja, lahan, dan pangan didapatkan dari sistem sosial lokal sehingga muncul ketimpangan pada sistem lokal. Pengenalan sistem upah, kepemilikan pribadi, teknik produksi baru, dan konsolidasi politik lokal, memaksa moda lokal berubah agar tidak mati. Pada awal kemerdekaan hingga tahun 1950 perubahan didorong oleh masuknya penjajah Jepang, kebijakan ekonomi pemerintah, dan masuknya pengusaha Cina. Penjajah Jepang memberikan akses tanah pada petani dan merombak seluruh sistem pertanahan. Tanah perkebunan yang sebelumnya telah dibagi oleh Jepang selanjutnya dipertegas oleh kebijakan pemerintah. Soekarno memerintahkan rakyat TR untuk tidak membiarkan lahan kosong yang berarti mengesahkan pendudukan rakyat. Sementara setelah Jepang pergi, pengusaha Cina datang membawa moda produksi baru yang diartikulasikan dalam usahatani kentang. Karena ketiga faktor itu moda produksi lokal yang terbangun sebelumnya berubah menyesuaikan dengan moda produksi baru yang dibawa oleh pengusaha Cina. 153 Pada masa Orde Lama, perubahan lebih banyak didorong oleh perkembangan pertanian pengusaha Cina dan gejolak politik nasional. Pengusaha Cina secara tidak langsung mengenalkan teknik produksi baru yang sepenuhnya dapat ditiru oleh petani. Secara perlahan petani kaya merespon dengan menanam tanaman kentang, sehingga dapat menerapkan sistem produksi pengusaha Cina. Lama-kelamaan, mereka semakin mapan. Ketika gejolak politik nasional (land reform) semakin kuat dan memberi ruang bagi petani kaya, mereka mengusir pengusaha Cina. Petani kaya dengan demikian semakin mapan kedudukannya dan dominan pada masa itu. Memasuki Orde Baru perubahan didorong kebijakan pembangunan, investasi pemerintah, dan masuknya industri agro pada struktur ekonomi lokal. Kebijakan pembangunan semakin mematapkan pengaruh petani kaya. Petani kaya bahkan mampu duduk sejajar dengan pengusaha Cina yang masuk kembali. Investasi pemerintah pada industri agro saat itu menjadi penggerak utama ekonomi lokal sehingga seluruh moda produksi mengiblat padanya. Masuknya industri agro swasta yang masuk kemudian, semakin mengokohkan pengaruh kapitalis industri. Pada masa reformasi, perubahan didorong oleh persaingan antar artikulasi moda produksi dan antar artikulasi dalam satu moda produksi. Persaingan mendorong masing-masing artikulasi merubah manajemen produksi agar semakin banyak menguasai kekuatan produksi. Penguasaan atas kekuatan produksi, menjadi penentu kemampuan reproduksi masing-masing moda produksi. Petani kaya dan pengusaha Cina mengandalkan penguasaan lahan sementara industri agro menggunakan modal uang sepenuhnya. Berdasar atas peta moda produksi dan proses perubahan di atas, terlihat pada masa kolonial moda produksi pertanian tradisional tersub-ordinasi oleh moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam perkebunan kina dan teh. Seluruh hasil dari pertanian tradisional sepenuhnya digunakan untuk kepentingan perkebunan sehingga surplus produksi mengalir ke perkebunan. Moda produksi pertanian tradisional sepenuhnya menompang keberlangsungan moda produksi kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan, moda produksi pertanian tradisional tersubordinasi oleh moda produksi kapitalis pertanian yang diartikulasikan dalam pertanian pengusaha Cina. Ini terjadi karena pengusaha Cina mampu memobilisasi kekuatan produksi lokal untuk mengembangkan usaha taninya. Dengan demikian formasi sosial lokal yang terbangun adalah kapitalis pertanian 154 yang didominasi moda produksi kapitalis pertanian. Setelah Orde Lama, dominasi ini secara perlahan digantikan oleh petani-petani kaya lokal. Sehingga formasi sosial tetap kapitalis pertanian dengan aktor yang berbeda. Pada masa Orde Baru, seluruh moda produksi mengiblat pada investasi pemerintah. Moda produksi yang dominan saat itu adalah moda produksi kapitalis industri yang diartikulasikan dalam industri agro dan wisata. Formasi sosial yang terbangun dengan demikian bercorak kapitalis industri yang diintrodusir oleh pemerintah pada formasi sosial lokal. Setelah krisis, terjadi pergeseran dimana peran pemerintah semakin hilang dan digantikan oleh swasta yang mengembangkan industri agro di tingkat lokal. Moda produksi dominan adalah kapitalis industri yang diartikulasikan pada industri agro dan wisata karena memiliki kekuatan modal dan manajemen. Dengan demikian pada masa reformasi formasi sosial yang terbangun adalah kapitalis industri dengan aktor para pengusaha swasta. Dari hasil penelitian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moda produksi lokal yang diartikulasikan oleh usahatani tradisional dari jaman kolonial hingga reformasi tidak mengalami perubahan orientasi. Keberadaaanya dari masa ke masa selalu dalam posisi terdominasi oleh moda produksi lain. Pada masa kolonial oleh moda produksi kapitalis kolonial, awal kemerdekaan oleh pengusaha Cina, Orde Lama oleh petani kaya dan pengusaha Cina, sementara Orde Baru oleh kapitalis industri investasi pemerintah. Hal itu tidak berubah hingga masa reformasi dimana pertanian tani tanggung dan srabutan sebagai sisa artikulasi moda produksi lokal cenderung hilang, dimana pelakunya perlahan-lahan beralih menjadi buruh tani dan pabrik. Saran Hasil penelitian memperlihatkan jika moda produksi lokal yang menjadi penompang utama struktur ekonomi suatu daerah selalu hancur saat moda produksi baru dimasukan. Moda produksi lokal ternyata tidak mampu mereproduksi dirinya atau paling tidak mengakomodasi moda produksi baru. Akibat yang kemudian timbul adalah keterlemparan pelaku ekonomi lokal sebagai artikulasi dari moda produksi lokal. Berdasarkan atas kenyataan itu dan berdasar temuan penelitian ini maka di sarankan, pertama, dalam menerapkan kebijakan industrialisasi di pedesaan hendaknya dipertimbangkan moda produksi asli yang berkembang dalam masyarakat sehingga dapat disesuaikan atau paling tidak dapat diakomodasi oleh moda produksi lokal. 155 Kedua, jika suatu kebijakan berpotensi merombak penguasaan kekuatan produksi dan hubungan produksi yang ada dalam masyarakat kiranya perlu untuk melihat struktur sosial secara cermat mengingat hanya kelompok elitlah yang selama ini mampu memetik manfaat dari seluruh kebijakan. Hasil penelitian menunjukan jika sejak jaman kolonial hingga saat ini yang mampu memanfaatkan kebijakan dan mengadopsi moda produksi baru hanyalah kelas elit. Kelas bawah cenderung selalu kehilangan kontrol atas kekuatan produksinya dan tidak mampu mempertahankan relasi sosial produksi yang dikembangkanya sehingga terlempar dari orbit ekonomi. Ketiga, berdasar atas kecenderungan kelas elit dan aktor ekonomi baru untuk mengakumulasi kekuatan produksi dan membangun hubungan produksi yang eksploitatif, maka sangat penting untuk menekan kecenderungan itu melalui pembatasan penguasaan kekuatan produksi dan mengatur secara lebih rinci tentang hak dan kewajiban dalam produksi. Dengan demikian tidak terjadi percepatan laju keterlemparan kelas bawah dari orbit ekonomi sehingga diharapkan mereka mampu berkembang. Berdasar atas temuan penelitian maka untuk penelitian berikutnya dapat dilengkapi dengan, pertama, melakukan kajian lebih mendalam pada aspek supra struktur masyarakat yang terbangun (ideologi dan sistem politik) karena perubahan moda-moda produksi di TR dari waktu ke waktu, kedua, Melakukan kajian pada perkembangan masing-masing artikulasi moda produksi (pariwisata, industri agro, juragan, tani tanggung, srabutan) secara spesifik agar lebih terlihat secara detail proses dan penyebab perubahan moda produksi, dan ketiga, melakukan kajian perkembangan ekonomi kawasan untuk dapat dilihat penyebab perubahan dari tingkat mikro hingga meso. DAFTAR PUSTAKA ___________, 2004, Profil Desa Tlungrejo, Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu, Jawa Timur. ___________, 2004, Potensi Kecamatan Bumi Aji, Kota Batu Bulan April 2004, Badan Pusat Statistik Nasional, Jakarta. Babie, E. 2004, The Practies Of Social Research, Wadsworth, Belmonth Beaud, M., 2001, A History of Capitalism 1500-2000, Montly Review Press, New York Boeke, J.H., 1953, Economics and Economiics Policy of Dual Societies as Exsemplified By Indonesia, Institut Of Fasific Relation, New York Booth, A., O’Malley, J., Weidemann, A., 1988, Sejarah Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta Carles L. Halper, 1989, Exploring Social Change, Prentice Hall, Engelwood Cliff, New Jersey Cederroth, S., 11995, Survival And Provit In Rural Java: The Case of an East Javanese Village, Curzon Press Collier, at all, 1974, Agricultural Technology and Institusional Change in Java, Food Research Institut Studies, Vol. 13 N0; 21 Cresswel, J., 1994, Research Design : Qualitatif And Quantitative Approach, Sage Publication. Freidberg, E. S., 2003, Culture, Convention and Colonial Constructs of Rurality in South-north Horticultural Trades, Journal of Rural Studies, Volume 19 (2003) 97-109. Geerzt, C.,1976, Involusi Pertanian “Perubahan Ekologis Pertanian Di Indonesia Terdj., Institut pertanian Bogor, Bogor. Gordon, et al 1985, The Critical Up Land of Eastern Java: An Agroecosystems Analisis, Unibraw-Ford Foundation, USAID, Deptan. Godelier, M., 1978, The Concept of the “Asiatic Mode of Production” and Marxis Models of Social Evolution, dalam Seddon, D., 1978, Relation of Prduction : Marxis Aproach to Economic Anthropology, Frank Cass. Hashim, Wan, 1988, Peasant Under Peripheral Capitalism, Penerbit Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi. Hayami dan Khikuci, 1987, Dilemma Ekonomi Pedesaan; Suatu Pendekatan Ekonomi Terhadap Kelembagaan di Asia Tenggara, YOI, Jakarta Heffner, R., 1999, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, LkiS, Jogjakarta. Houben, V. J.H., 2000, Perkebunan Perkebunan Swasta di Jawa Abad ke-19: Sebuah Kaji Ulang, dalam Lindblad J. Thomas, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru, LP3ES, Jakarta Kano, H., 1990, Pagelaran; Anatomi Sosial Ekonomi Pelapisan Masyarakat Tani Sebuah Desa Di Jawa Timur, UGM Press, Jogjakarta Kartodirdjo, S dan Suryo J., 1991, Sejarah perkebunan di Indonesia ‘Kajian Sosial ekonomi, Aditya media, Jogjakarta. Khan S. Joel, 1974, Economic Integration And The Peasant Economic: The Minangkabau (Indonesia) Blacksmith, University of London , London School of Economic. Kostov P. dan Lingard J., 2002, Subsisten Farming in Transition Economic: Lesson from Bulgaria, Journal of Rural Studies, Volume 18 (2002) 83-94. Maleong, Lexi J., 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Penerbit Remaja Rosda Karya. Marzali, Amri, 1974, Konsep Peasan dan Kajian Masyarakat pedesaan Indonesia, Jurnal FISIP UI, Jakarta. Moedjanto, G., 2002, Konsep Kepemimpinan dan Kekuasaan Jawa Tempo Dulu, Pengatar dalam Antlov, H., dan Chederroth, C.(eds), 2002, Kepemimpinan di Jawa ; Perintah Hakus, Pemerintahan Otoriter, YOI, Jakarta Neil, Van, 2000, Sistem Tanam Paksa di Jawa, LP3ES, Jakarta Nibbering, JW and A. Schrevel, 1982, The Role of Additional Activities in Rural Java: A Chase Study of Two Vilagges in the Malang Regency, Utrecht, Departement of Geography No. 17 University of Utrecht. Peet, R. and Hartwick, E., 1999, Theories of Development, The Guilford Press Pilling, G., 1980, Marx’s Capital, Philosophy and Political Economy, Routledge & Keagan Paul Ray, C., 2002, A Mode of Production for Fragile Rural Economic : the Territorial Accumulation of Form of Capital, Journal of Rural Studies, Volume 18 (2002) 225-231. Rickelfs, M.C., 2002, Yogjakarta di Bawah Mangkubumi 1749-1792 ; Sejarah Pembagian Jawa, Mata Bangsa, Jogjakarta Russel, W. James, 1989, Modes Of Production in World History, London and New York, Routlge. Roxborough, 1986, Teori-teori keterbelakangan, LP3ES, Jakarta Sanderson, 2003, Makro Sosiologi : Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, Rajawali Press, Jakarta Sayogjo, 1982, Modernization Without Development In Rural Java, Journal Of Social Studies, Dacca. Sitorus, M.T.F., 2004, “revolusi coklat” : Social Formation, And Forest Margins In Up Land Sulawesi, Indonesia, dalam Gerold, G., Fremerey, M., dan Guhardja (eds.) Land Use, Nature Conservation And The Stability Of Rainforest Margins In Southeast Asia, Springer Sitorus, M.T.F., 1999, Pembentukan Golongan Pengusaha Local Di Indonesia: Pengusaha Tenun Dalam Masyarakat Batak Toba, Desertasi IPB, Bogor Soemarno, 2000, Potensi Pengembangan Agropolitan di Batu, LPM-Unibraw, Paper tidak dipublikasikan. Soehartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920., Tiara Wacara, Jogjakarta. Stompka, Prior, 1994, The Sociologi Of Social Change, Oxpord: Blackwell Publisher Stavenhagen, R., 1975, Economic Transition in West Africa, Anchor Book, Anchor Press, Doubleday. Stake, R., E., 1995, The Art of Case Study Research, Sage Publication Taylor, G., Jhon, 1979, From Modernization to Mode Of Production; A Critique of the Sociologies of Development and Under Development, MacMilan Wertheim, W.F., 1999, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan SoSial, Yogjakarta, Tiara Wacana White, 2002, Agrarian Debates and Agrarian Research In Java, Past and Present, Dalam 70 Tahun Gunawan Wiradi, Akatiga, Bandung White 1976, Production and Reproduction in Javanese Village, Ph.D Thesis, Columbia University Wiradi, G., 2001, TonggakTtonggak perjalanan Kebijakan Agraria di Indonesia, dalam Tim Lappera, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria : Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lappera, Jogjakarta Wolf. Eric R, 1966, Petani “Suatu Tinjauan Antropologis” Terjd., Yayasan IlmuIlmu Sosial, Jakarta. Wright, Olin, E., 1997, Class Count : Acomparative Studies in Class Analysis , Cambridge University Press. Cambridge Peta Jawa Timur, Kota Batu, dan Desa Tulung Rejo Lampiran II : Nama dan status subyek kasus serta permasalahan yang digali dalam penelitian. Subyek Status Metode No Masalah kasus penggalian data Informasi umum kondisi sosial CPR Kepala desa Wawancara 1 ekonomi SDK Kepala dusun bebas CPR Kepala desa Wawancara 2 Sejarah desa MHR Sekdes 1946-1966 bebas Kemunculan pertanian PNO Petani umur 71 thn Wawancara 3 komersil mendalam Kehidupan buruh boro kerjo PND Boro kerjo umur 26 thn Wawancara 4 muda Mendalam Perkembangan tanaman apel KPN Juragan umur 79 thn Wawancara 5 dan sayur mendalam BSY Janda AURI umur 81 thn Wawancara 6 Perjalanan hidup janda AURI mendalam SDK Kepala dusun Perkembangan ekonomi Wawancara 7 MSN Tani tanggung umur 71 dusun SB. Brantas mendalam tahun Komposisi penduduk dan SDK Kepala dusun Wawancara 8 keberadaan juragan mendalam BAI Srabutan Wawancara 9 Kemunculan usahatani besar mendalam Organisasi kerja pertanian BKR Juragan Wawancara 10 sayur dan apel mendalam MSN Tani tanggung umur 84 Wawancara 11 Profil buruh tani tahun mendalam MSN Tani tanggung umur 84 tahun Wawancara Cara kerja di pertanian dari 12 PRT Bekas tani umur 76 thn mendalam kolonial hingga saat ini SYH Buruh tani umur 61 thn BJO Juragan umur 76 thn Perkembangan kegiatanRNI Peneliti Program Doktor Wawancara 13 kegiatan ekonomi lokal TR (peneliti) ekonomi sumberdaya bebas Keseharian buruh Cabut MHD Buruh panen Wawancara 14 (panen) (hub. Buruh-majikan) mendalam Proses berdirinya kampung HDR Srabutan Wawancara 15 Besta mendalam CPR Kepala desa Kemajuan dan kemunduran LKT Pengusaha apel Wawancara 16 usaha tani mendalam MHR Bekas kepala dusun periode SRP Bekas carik 1966-1984 Pembangunan desa dari msa Wawancara 17 CPR Kepala desa sekarang ke masa mendalam SDK Kepala dusun Sistem kerja di pertanian SWJ Kepala dusun Wawancara 18 dalam satu tahun mendalam Sistem kerja di pabrik sebelum SWJ Kepala dusun Wawancara 19 krisis mendalam SWJ Kepala dusun Wawancara 20 Sistem kerja setelah krisis JMR Buruh pabrik bunga mendalam MHR Sekdes 1946-1966 Wawancara 21 Usahatani awal di TR mendalam ALG Pengusaha Cina (87) Sejarah masuknya pengusaha Wawancara 22 Pengusaha Cina (71) Cina mendalam TSN Lampiran II (Lanjutan) No Masalah 23 Kegiatan-kegiatan ekonomi utama sejk tahun 1970 24 Cara mengorganisir buruh 25 27 28 29 30 Ramai sepinya usaha di luar pertanian Hak dan kewajiban buruhjuragan Mekanisme kontrol buruh dan juragan Kegiatan ekonomi pendukung wisata Kegiatan ekonomi dominan dan sejarah perkembangannya 31 Asal usul juragan dan perjuangannya 32 Kegiatan ekonomi pariwisata 33 Nilai-nilai terkait wisata 34 Kegiatan produksi dominan sejak 1938-sekarang 34 Kekuatan produksi utama 35 Relasi produksi seluruh kegaitan ekonomi 36 Sistem politik lokal dan kekuasaan lokal Subyek kasus SYN Status Pedagang (70Thn) BDO Juragan (46Thn) RBT SAI BDO Pedagang bakso (76Thn) Warung (45Thn) Juragan (46 Thn) BDO SYN KSN PTR Juragan (46 Thn) Pedagang (70Thn) Buruh bebas Pedagang buah (35 Thn) MTS Bekas petani (87 thn) PNM BJO BDO BKR Juragan Juragan Juragan Juragan (45 (68 (46 (56 Thn) Thn) Thn) THN) ADI Karyawan hotel ARI Karyawan Selecta ATM Bekas pejuang (81 Thn) ATN IHN SJD MLH CHP ABI Tani-tanggung (33 Thn) Tani Tanggung (44 Thn) Srabutan (46 Thn) Tani tanggung (66 Thn) Kepala desa Calon Kepala desa 1984 yang gagal Metode penggalian data Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam Wawancara mendalam