1 BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN A

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes melitus termasuk salah satu penyakit degeneratif yang memerlukan
penanganan seksama (PERKENI, 2011). Hal ini disebabkan diabetes melitus
merupakan salah satu penyakit yang mempunyai prevalensi tinggi. Di dunia,
diperkirakan sebanyak 347 juta orang mengidap penyakit diabetes melitus (WHO,
2013). Pada tahun 2004 diduga 3,4 juta orang meninggal sebagai konsekuensi dari
tingginya kadar gula darah puasa. Jumlah kematian yang sama juga diperkirakan
pada tahun 2010. Di Amerika Serikat sebanyak 25,8 juta penduduk menderita
diabetes melitus dan dari jumlah tersebut, 18,8 juta pasien telah terdiagnosis,
sementara sisanya yaitu sejumlah 7 juta pasien belum menyadari bahwa dirinya
menderita diabetes melitus (ADA, 2012). World Health Organization (WHO)
memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 serta paling banyak terjadi pada masyarakat
urban dengan gaya hidup yang tidak sehat. Diabetes melitus juga berpotensi
menjadi penyakit nomor 7 yang membunuh manusia pada tahun 2030 (WHO,
2013).
Indonesia berada di peringkat keempat jumlah penyandang diabetes melitus
di dunia setelah Amerika Serikat, India dan Cina (Hans, 2008). Di Indonesia
sendiri, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terbaru tahun
2013, menyatakan bahwa prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi
1
2
terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta (2,6%), Beberapa hal yang dihubungkan
dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas
fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri sebagai tempat penelitian terdapat
fakta lain bahwa diabetes melitus menjadi 10 besar penyakit yang paling banyak
diderita oleh penduduk dan menjadi penyebab kematian nomor 6 di rumah sakit
dengan 214 kematian pada 2011 (Dinkes DIY, 2012).
Penelitian yang dilakukan di berbagai rumah sakit umum di Jawa, ditemukan
bahwa angka komplikasi tertinggi adalah penurunan kemampuan seksual 50%, lalu
diikuti komplikasi saraf atau ulkus/gangren 30,6%, retinopati diabetik 29,3%,
katarak 16,3%, tuberkulosis (TBC) paru-paru 15,3%, hipertensi 12,8% dan
penyakit jantung koroner 10% (Selamihardja, 2005).
Kurang lebih 15% penderita DM akan mengalami ulkus selama perjalanan
penyakitnya (Frykberg dkk., 2000) dan 3-4% nya terkena infeksi berat. Sebesar
85% penderita ulkus diabetik akan diamputasi dan 36% dari pasien amputasi
tersebut, 2 tahun setelahnya akan meninggal dunia (Pinzur, 2004). Infeksi yang
terjadi menjadi alasan utama bagi pasien DM dengan komplikasi ulkus/gangren
untuk menjalani perawatan dan pengobatan di rumah sakit. Infeksi terjadi karena
luka terbuka pada kaki memudahkan bakteri masuk, tumbuh dan menyebar.
Kondisi ini mengesalkan bagi pasien karena membutuhkan perawatan lama dan
biaya tinggi, serta menimbulkan perasaan khawatir bagi pasien apabila harus
menjalani amputasi.
Perawatan ulkus dapat dilakukan dengan mengurangi tekanan pada kulit,
3
misalnya dengan menggunakan sepatu longgar, pembalutan dan perawatan luka.
Pembedahan dan antibiotika penting untuk pengobatan ulkus terinfeksi. Antibiotika
merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan. Menurut Lim (cit.
Juwono dan Prayitno, 2003), biaya antibiotika dapat mencapai separuh dari
anggaran obat di rumah sakit. Pengunaan antibiotika yang tepat penting untuk
mengatasi infeksi dan mencegah amputasi (Shea, 1999). Namun penggunaan
antibiotika yang tidak tepat dapat menyebabkan kekebalan mikroba, efek obat yang
tidak dikehendaki dan tentu saja biaya yang ditanggung pasien menjadi
membengkak.
Penggunaan antibiotika pada pasien ulkus diabetik perlu mendapatkan
perhatian dan penanganan yang tepat. Penanganan medik dan pola terapi untuk
pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus diabetik di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta yang merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar di
Yogyakarta dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam peningkatan mutu
pelayanan medik dan pemilihan antibiotika yang tepat sehingga dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pola demografi pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus
diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode
Januari-Desember 2012?
2.
Bagaimana pola penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus dengan
komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda
4
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?
3.
Bagaimana ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus
dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?
4.
Bagaimana respon terapi penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus
dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui pola demografi pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus
diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode
Januari-Desember 2012.
2.
Mengetahui pola penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus dengan
komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.
3.
Mengetahui ketepatan penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus
dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.
4.
Mengetahui respon terapi penggunaan antibiotika pada pasien diabetes melitus
dengan komplikasi ulkus diabetik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.
5
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini penting dilakukan karena :
1.
Dapat menjadi sumber informasi tentang penggunaan antibiotika pada pasien
diabetes melitus dengan komplikasi ulkus diabetik.
2.
Dapat sebagai masukan atau acuan bagi rumah sakit dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan pengobatan.
3.
Menjadi bahan evaluasi terhadap terapi yang tepat terhadap obat antibiotika di
rumah sakit.
4.
Untuk peneliti, dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman.
E. Tinjauan Pustaka
1.
Diabetes Melitus
a. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolik yang ditandai dengan
terjadinya hiperglikemia dan ketidaknormalan dari metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein (Triplitt dkk., 2008). Hal ini terjadi disebabkan karena berkurangnya
sekresi insulin, berkurangnya sensitivitas insulin maupun keduanya. Dalam jangka
waktu yang lama, ketidaknormalan fungsi metabolisme ini dapat menimbulkan
berbagai komplikasi seperti retinopati, nefropati dan neuropati (Koda Kimble dkk.,
2008).
6
b. Klasifikasi Diabetes Melitus
1). Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes Melitus tipe 1 ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit
populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi
penderita diabetes. Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β
pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun (Triplitt dkk.,
2008). Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe
sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, selsel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel σ memproduksi hormon
somastatin. Serangan autoimun yang terjadi karena adanya infeksi virus
yang menimbulkan reaksi autoimun berlebihan, sehingga sel imun tubuh
tidak hanya membunuh virus, tetapi merusak sel-sel β pankreas.
Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas
langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin
inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM
tipe 1. Bila insulin tidak dapat diproduksi, maka sel tidak dapat menyerap
glukosa dari darah sehingga kadar gula meningkat (Tjay dan Rahardja,
2002).
2). Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi
pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja.
Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak
7
mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resistensi
insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat
juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin diakibatkan sel β
pankreas yang menyusut secara progresif. Sel β pankreas umumnya masih
aktif hanya sekresi insulinnya berkurang. Penyusutan sel β pankreas dan
resistensi inulin mengakibatkan kadar gula darah meningkat (Tjay dan
Rahardja, 2002). Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Pasien DM tipe
2 sering mengalami komplikasi seperti hipertensi, hiperlipidemia dan
infeksi (Triplitt dkk., 2008).
3). Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes melitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul
selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara.
DM gestasional ini terjadi pada 7% dari seluruh kehamilan. Terapi pada
DM tipe ini bertujuan menurunkan kecacatan dan mortalitas pada ibu dan
janinnya (Triplitt dkk., 2008).
4). Diabetes Melitus Tipe Lain
Dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel β, kelainan genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat
kimia, infeksi, sebab imunologi dan sindrom genetika lain yang
berkaitan dengan diabetes melitus (Katzung dkk., 2002).
8
c. Patofisiologi Diabetes Melitus
Terdapat dua masalah utama pada DM yaitu resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan
meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk
kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa (Corwin, 2001). Mekanisme
inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin
dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika selsel β tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi DM tipe 2 (Corwin, 2001).
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Melitus (Corwin, 2001)
9
d. Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas
DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya. Penurunan tingkat pertumbuhan dan kerentanan
terhadap infeksi juga dapat terjadi pada hiperglikemia kronik (ADA, 2009).
Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
> 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL juga dapat digunakan sebagai patokan
diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut
dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang
abnormal tinggi (≥ 200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang
abnormal tinggi (≥ 126 mg/dL), atau dari hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
didapatkan kadar glukosa darah puasa plasma 2 jam paska pembebanan 75 gram
glukosa ≥ 200 mg/dL (ADA, 2009 ; Triplitt dkk., 2008). Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) lebih sensitif dan spesifik daripada pemeriksaan gula darah puasa
(ADA, 2009). Sementara HbA1c merupakan gold standar untuk monitoring kadar
gula darah pada jangka waktu yang panjang (Triplitt dkk., 2008). HbA1c dapat
digunakan untuk diagnosis DM menurut ADA (2012) yaitu bila nilai HbA1c >
6,5.
10
e. Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
1). Komplikasi akut
Komplikasi akut dari diabetes melitus adalah terjadinya kondisi
hipoglikemia dan hiperglikemia. Hipoglikemia adalah kadar glukosa
darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum
hipoglikemia adalah lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebardebar, pusing, pandangan menjadi gelap, gelisah serta bisa koma.
Apabila tidak segera ditolong akan terjadi kerusakan otak dan akhirnya
kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel
otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan
dapat mengalami kerusakan (PERKENI, 2011). Hipoglikemia lebih
sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per
minggu, survei yang dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian
pada penderita DM tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia.
Komplikasi
akut
yang
lain
adalah
terjadinya
hiperglikemia.
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tibatiba. Gejala hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia,
kelelahan yang parah dan pandangan kabur. Hiperglikemia yang
berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang
berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non
Ketotik (KHNK) dan kemolaktoasidosis. Ketoasidosis diabetik diartikan
tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya mendadak. Akibatnya
11
metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel
lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam
urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah
menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan mengalami
koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat, hipertensi dan
syok. Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan
lemak, sehingga penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat
dan dalam, sedangkan kemolaktoasidosis diartikan sebagai suatu
keadaan tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi karbohidrat.
Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat (hiperlaktatemia)
dan akhirnya menimbulkan koma (Triplitt dkk., 2008).
2). Komplikasi kronis
Kondisi diabetes melitus yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
komplikasi kronis yang berakibat pada kerusakan dari pembuluh darah.
Komplikasi kronis dapat dibagi menjadi komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang
pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada
sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif dan stroke. Pencegahan komplikasi makrovaskuler
sangat penting dilakukan, maka penderita harus dengan sadar mengatur
gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi
seimbang, olahraga teratur, tidak merokok dan mengurangi stress.
(Triplitt dkk., 2008). Sementara itu komplikasi mikrovaskuler terutama
12
terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan
pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan
dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan penyumbatan
pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati dan amputasi (Triplitt dkk., 2008).
f. Penatalaksaan Diabetes Melitus
1). Terapi tanpa obat
Untuk pengobatan diabetes melitus dapat didukung dengan terapi tanpa
obat, antara lain dengan pengaturan diet atau pola makan dan olahraga.
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi seimbang terkait dengan
karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan
pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan fisik yang
pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat
badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus
glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%
berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap
kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan
tambahan waktu harapan hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian di luar negeri bahwa diet tinggi karbohidrat bentuk kompleks
(bukan disakarida atau monosakarida) dan dalam dosis terbagi dapat
13
meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di jaringan
perifer dan memperbaiki kepekaan sel β di pankreas. Salah satu alternatif
terapi tanpa obat adalah dengan berolah raga secara teratur akan
menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang
disarankan adalah yang bersifat Continuous, Rhymical, Interval,
Progressive, Endurance Training dan disesuaikan dengan kemampuan
serta kondisi penderita dapat memperbaiki metabolisme glukosa, asam
lemak, ketone bodies dan merangsang sintesis glikogen (PERKENI,
2011).
2). T erapi obat
Apabila
penatalaksanaan
terapi
tanpa
obat
belum
berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat
dapat dilakukan dengan antidiabetika oral, terapi insulin atau kombinasi
keduanya (Triplitt dkk., 2008). Insulin merupakan protein kecil dengan
berat molekul 5808 pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino
yang tersusun dalam dua rantai yang dihubungkan dengan jembatan
disulfid, terdapat perbedaan asam amino kedua rantai tersebut (Katzung
dkk., 2002). Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau
pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain
bisa sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara,
misalnya selama kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang
memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan. Insulin
14
merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat
maupun metabolisme protein dan lemak. Fungsi insulin antara lain
menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel–sel sebagian besar
jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan
pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian
glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.
Alternatif lain untuk pengobatan adalah obat antidiabetika oral. Ada
berbagai macam jenis obat antidiabetika oral yang berdasarkan cara
kerjanya dibagi menjadi 3 golongan yaitu : pemicu sekresi insulin
(sulfonilurea dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin
(biguanid dan thiazolidindion), penghambat absorpsi glukosa (αglucosidase inhibitor). Pemberian obat antidiabetika oral ini sebagai
terapi awal bagi pasien yang baru menderita diabetes melitus dan
digunakan pada pasien dengan diabetes melitus tipe II.
Tabel I. Perbandingan Antidiabetika Oral (PERKENI, 2011)
Cara Kerja
Reduksi
Nama Obat
Keuntungan Kerugian
Utama
HbA1c
Sulfonilurea
Glinid
Metformin
Meningkatkan
sekresi insulin
Meningkatkan
sekresi insulin
Menekan
produksi
glukosa hati &
menambah
sensitivitas
terhadap insulin
Sangat
efektif
Meningkatkan berat
badan, hipoglikemia
(glibenklamid dan
klorpropamid)
0,5-1,5%
Sangat
efektif
Meningkatkan berat
badan, pemberian
3x/hari, harganya
mahal dan
hipoglikemia
1,0-2,0%
Tidak ada
kaitan
dengan berat
badan
Efek samping
gastrointestinal,
kontraindikasi pada
insufisiensi renal
1,0-2,0%
15
Tabel I. Lanjutan Perbandingan Antidiabetika Oral (PERKENI, 2011)
Penghambat
glukosidase- alfa
Menghambat
absorpsi
glukosa
Tiazolidindion
Menambah
sensitivitas
terhadap insulin
DPP-4 Inhibitor
Meningkatkan
sekresi insulin,
menghambat
sekresi
glucagon
0,5-0,8%
0,5-1,4 %
0,5-0,8%
Tidak ada
kaitan
dengan berat
badan
Memperbaiki
profil lipid
dengan
sangat efektif
Tidak ada
kaitan
dengan berat
badan
Sering menimbulkan
efek gastrointestinal,
3x/hari dan mahal
Retensi cairan, CHF,
fraktur, berpotensi
menimbulkan infark
miokard, dan mahal
Penggunaan jangka
panjang tidak
disarankan, mahal
(PERKENI , 2011)
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter
yang
dapat
digunakan
untuk
menilai
penatalaksanaan DM dan dapat dilihat pada tabel II.
Tabel II. Target Penatalaksanaan DM (ADA, 2009)
Kadar Ideal yang
Parameter
Diharapkan
Kadar glukosa darah puasa
80-120 mg /dl
Kadar glukosa plasma puasa
90-130 mg/dl
Kadar glukosa darah saat tidur
100-140 mg/dl
Kadar insulin
110-150 mg/dl
Kadar HbA1c
< 7%
Kadar kolesterol HDL
>55 mg/dl (wanita)
> 45 mg/dl (pria)
Kadar trigliserida
<200 mg/dl
keberhasilan
16
2.
Ulkus Diabetik
a. Definisi Ulkus Diabetik
Ulkus Diabetik adalah adanya tukak, borok atau kerusakan jaringan yang
berhubungan dengan kelainan saraf dan pembuluh darah yang diakibatkan karena
diabetes melitus pada tungkai bawah alat gerak pasien diabetes melitus. Masalah
yang timbul ini diakibatkan oleh gangguan atau kerusakan saraf, gangguan atau
kerusakan pada pembuluh darah, dan infeksi. Infeksi terjadi karena bakteri mudah
masuk melalui luka pada kaki kemudian tumbuh, menyebar dan dapat
menyebabkan infeksi.
Semakin lama luka ulkus terbuka dan tidak dirawat semakin besar pula
risikonya untuk terkena infeksi bakteri (Kalla, 2006). Bakteri patogen yang tumbuh
subur terutama adalah bakteri anaerob karena organ yang terinfeksi kekurangan
pasokan oksigen akibat berkurangnya aliran darah. Bakteri anaerob berperan besar
untuk menimbulkan infeksi dan gangren karena bekerja sinergis dalam
pembentukan gas kemudian menjadi gas gangren (Misnadiarly, 2001).
b. Epidemiologi Ulkus Diabetik
Kurang lebih 15% penderita DM akan mengalami ulkus pada kaki. Kejadian
ulkus diabetik dari berbagai populasi berkisar 2-10%. Neuropati, kelainan bentuk
kaki, tekanan pada kaki yang terlalu tinggi, rendahnya kontrol glukosa darah, lama
menderita DM merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya ulkus diabetik
(Frykberg dkk., 2006). Penanganan ulkus dapat dilakukan secara rawat jalan,
namun jika timbul infeksi menjadi alasan utama untuk menjalani rawat inap di
17
rumah sakit karena pengobatannya akan lebih terkontrol daripada rawat jalan.
c. Patofisiologi Ulkus Diabetik
Ulkus diabetik merupakan salah satu penyakit komplikasi dari diabetes
melitus. Secara garis besar penyebab dari terjadinya ulkus diabetik diperantarai oleh
3 hal, yaitu terjadinya neuropati perifer, gangguan pembuluh darah dan adanya
infeksi. Ketiga hal tersebut secara tunggal maupun gabungan dari antara ketiganya
berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit ulkus diabetik.
Gambar 2. Patofisiologi Ulkus Diabetik (Frykberg dkk.,2006)
1). Neuropati perifer
Neuropati sensorik perifer, di mana seseorang tidak dapat merasakan
luka merupakan faktor utama penyebab ulkus diabetik. Kurang lebih 45-
18
60% dari semua penderita ulkus diabetik disebabkan oleh neuropati, di
mana 45% nya merupakan gabungan dari neuropati dan iskemik. Bentuk
lain dari neuropati juga berperan dalam terjadinya ulserasi kaki.
Neuropati perifer dibagi menjadi 3 bagian, yaitu neuropati motorik yaitu
tekanan tinggi pada kaki ulkus yang mengakibatkan kelainan bentuk
kaki, neuropati sensorik yaitu hilangnya sensasi pada kaki, dan yang
terakhir adalah neuropati autonomi yaitu berkurangnya sekresi kelenjar
keringat yang mengakibatkan kaki kering, pecah-pecah dan membelah
sehingga membuka pintu masuk bagi bakteri (Frykberg dkk., 2006).
2). Gangguan pembuluh darah
Gangguan pembuluh darah perifer (Peripheral Vascular Disease atau
PVD) jarang menjadi faktor penyebab ulkus secara langsung. Walaupun
demikian, penderita ulkus diabetik akan membutuhkan waktu yang lama
untuk sembuh dan resiko untuk diamputasi meningkat karena insufisiensi
arterial. Gangguan pembuluh darah perifer dibagi menjadi 2 yaitu
gangguan makrovaskuler dan mikrovaskuler, keduanya menyebabkan
usaha untuk menyembuhkan infeksi akan terhambat karena kurangnya
oksigenasi dan kesulitan penghantaran antibiotika ke bagian yang
terinfeksi. Oleh karena itu penting diberikan penatalaksanaan iskemik
pada kaki (Frykberg dkk., 2006).
3). Infeksi
Berkurangnya aliran darah akan menghambat penyembuhan luka
19
sehingga dapat menyebabkan infeksi (Frykberg dkk., 2006). Peningkatan
gula darah juga menghambat kerja leukosit sehingga penyembuhan
infeksi menjadi lebih lama. Luka dapat berkembang menjadi ulkus,
gangren
bahkan
menjalar
sampai
terjadi
osteomyelitis.
Jika
penanganannya tidak tepat dan cepat, meningkatkan risiko penderita
untuk mengalami amputasi (Slater, 2001; Tambunan dan Gultom, 2009).
d. Faktor Risiko Ulkus Diabetik
Faktor risiko yang umumnya menjadi penyebab ulkus diabetik antara lain
adalah pasien telah menderita diabetes lebih dari 10 tahun, adanya riwayat
amputasi, adanya riwayat ulkus kaki, neuropati perifer, penyakit pembuluh darah
perifer, nefropati diabetik, dialisis, perubahan pada struktur kaki serta adanya
aktivitas merokok atau menggunakan nikotin (Frykberg dkk., 2006). Kontrol gula
darah yang buruk (nilai HbA1c > 9) juga berperan memperburuk ulkus diabetik,
sehingga penting untuk menurunkan nilai HbA1c kurang dari 7 (Sherman, 2010).
Neuropati perifer merupakan komplikasi mikrovaskuler utama, bersama tekanan
berlebihan terkait dengan trauma atau kelainan pada kaki dapat berperan penting
dalam perkembangan ulkus diabetik (Sherman, 2010).
e. Bakteri Isolasi Pada Ulkus Diabetik
Bakteri yang umumnya berkembang dan menginfeksi pasien ulkus diabetik
antara lain bakteri aerob Gram positif terbentuk kokus yaitu Staphylococcus aureus
maupun β-hemolitik streptococcus. Pada luka yang kronis bisa berkembang koloni
20
bakteri yang kompleks meliputi enterococci, enterobacteriaceae, anaerob obligat,
bahkan Pseudomonas aeruginosa dan terkadang Gram negatif aerob yang lain
(Lipsky, 2004).
Namun dewasa ini berdasarkan penelitian Turhan dan Mutluoglu (2013)
seperti yang terlihat pada tabel III, dinyatakan bahwa terjadi pula kenaikan insidensi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pseudomonas aeruginosa
menjadi bakteri penyebab infeksi terbesar dalam penelitian tersebut.
Tabel III. Bakteri Isolasi pada Infeksi Kaki Diabetik (Turhan dan Mutuoglu, 2013)
Persentase
Kelompok
Nama Bakteri
Jumlah
(%)
Gram Positif
Gram Negatif
Staphylococus aureus (MS)
29
9,29
Staphylococus aureus (MR)
23
7,37
Enterococcus spp
36
11,54
Staphylococcus (coagulase negatif)
16
5,13
Micrococcus spp
9
2,88
Streptococcus spp
8
2,56
Pseudomonas spp
93
29,81
Enterobacter spp
22
7,05
Escherichia coli
22
7,05
Klebsiella spp
12
3,85
Proteus spp
15
4,81
Acinobacter spp
8
2,56
Gram negatif lain
19
6,09
f. Penatalaksanaan Ulkus Diabetik
Outcome atau dampak terapi yang diharapkan adalah sembuh. Semakin
cepat sembuh memperkecil kemungkinan terjadinya infeksi. Ulkus pada pasien
diabetes harus dirawat. Tujuan perawatan ulkus diabetik yaitu mengurangi risiko
infeksi dan amputasi, memperbaiki fungsi dan kualitas hidup pasien serta
mengurangi biaya perawatan kesehatan.
Sasaran terapi ulkus diabetik adalah kuman penyebab infeksi. Infeksi
21
biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, bakteri Gram negatif aerob
seperti Enterobacter sp., Escherichia coli, Klebsiella sp., Proteus mirabilis,
Pseudomonas aeruginosa dan bakteri anaerob seperti Peptostreptococcus (Koda
Kimble dkk., 2008). Kuman penginfeksi dan antibiotika yang sensitif terhadap
kuman penginfeksi tersebut dapat diketahui dengan kultur dan sensitivitas tes.
Faktor-faktor penting perawatan ulkus diabetik adalah mencegah infeksi,
menghindari tekanan pada ulkus, membersihkan jaringan dan kulit mati atau
debridemen, melakukan pengobatan atau pembalutan luka dan mengatur kadar
glukosa darah agar tidak terlalu tinggi. Perawatan dan pembalutan luka juga penting
untuk mencegah infeksi. Jenis-jenis perawatan dan pembalutan tergantung tingkat
keparahan ulkus. Sebagian besar ulkus keadaannya semakin baik dengan
pengurangan tekanan dan pembalutan luka (Kalla, 2006).
Strategi terapi pada ulkus diabetik meliputi :
1). Pengurangan Tekanan Pada Ulkus (Off-Loading)
Pengurangan tekanan pada ulkus merupakan faktor penting pada
penyembuhan luka ulkus (Frykberg dkk., 2006). Dengan dilakukannya
off-loading pada pasien merupakan salah satu usaha mencegah tekanan
mekanik akibat stress pada ulkus (Slater, 2001). Saat terjadi ulkus, pasien
dianjurkan untuk tidak menggunakan kaki yang mengalami ulkus
sebagai penumpu berat tubuh, baik ketika berjalan maupun melakukan
aktivitas sehari-hari.
Terapi nonfarmakologis untuk mengurangi tekanan pada kaki yang
mengalami ulkus seperti dilakukan pemeriksaan kondisi telapak kaki
22
dengan mencari perubahan apapun dan atau kerusakan kulit seperti
merah, bengkak, keretakan kulit, luka-luka, perdarahan, gatal atau mati
rasa. Perubahan apapun di telapak kaki menjadi tahap awal yang
kemungkinan besar dapat menjadi berat. Menjaga telapak kaki selalu
bersih dengan mencuci kaki dengan sabun dan air hangat setiap hari
untuk menjaga kebersihan telapak kaki. Sepertiga dari seluruh penderita
DM menderita kekeringan kulit pada telapak kaki. Perlu diberikan
pelembab setiap hari pada telapak kaki untuk mencegah kekeringan dan
pecah-pecah kulit karena kerusakan kulit dapat menjadi masalah serius.
(Kalla, 2006). Selalu mengenakan pakaian longgar hindari seperti
menggunakan kaos kaki yang terlalu kencang atau pakaian yang dapat
membatasi aliran darah menuju telapak kaki. Sebaiknya menghindari
memotong sendiri kalus-kalus pada telapak kaki tanpa pertolongan
petugas kesehatan karena dapat memicu infeksi. Terjadinya infeksi harus
dihindari pada pasien DM karena dapat mengakibatkan komplikasi yang
semakin berat (Kalla, 2006). Memelihara berat badan yang sesuai agar
tekanan pada kaki berkurang, serta menjaga kondisi telapak kaki.
Sebelum menggunakan sepatu, periksa dan pastikan tidak ada kerikil atau
permukaan kasar di dalam sepatu. Pastikan kaos kaki yang akan
digunakan tidak ada lipatan kasar atau daerah yang ditambal. Segala
sesuatunya harus benar-benar pas dan nyaman (Kalla, 2006).
2). Debridemen
Debridemen merupakan tahap awal evaluasi ulkus. Debridemen
23
menghilangkan semua jaringan nekrosis yang ada di sekeliling ulkus
sampai dinyatakan sehat dan tidak terjadi perdarahan lagi di tepi luka.
Sesudah debridemen sebaiknya ulkus diperiksa untuk menentukan
keterlibatan struktur-struktur mendasar seperti tendon, tulang atau tulang
sendi. Keterlibatan struktur-struktur mendasar, ada tidaknya iskemia dan
infeksi harus ditentukan sebelum dilakukan penggolongan kondisi klinis
pasien yang tepat untuk membuat rencana perawatan yang akan
dilaksanakan (Armstrong dan Lavery, 1998). Tanpa memperhatikan
perawatan, terdapat beberapa ulkus yang tidak dapat sembuh. Ulkus
diabetik seringkali lambat sembuh. Salah satu penyebabnya adalah
protein-protein
yang
menyembuhkan
luka
atau
faktor-faktor
pertumbuhan rusak. Faktor-faktor pertumbuhan ini adalah proteinprotein yang memegang peranan penting dalam proses penyembuhan
luka. Tidak berfungsinya faktor-faktor pertumbuhan menyebabkan ulkus
tidak dapat sembuh (Kalla, 2006).
3). Antibiotika Ulkus Diabetik
Penggunaan terapi antibiotika dilihat dari munculnya gejala infeksi pada
pasien. Antibiotika merupakan senyawa kimia khas yang dihasilkan oleh
suatu organisme yang hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur
analognya yang dibuat secara sintetik dan dalam kadar rendah mampu
menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih
mikroorganisme (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
24
Tabel IV. Pembagian Tingkat Keparahan Ulkus DM Secara Klinis (Lipsky dkk., 2012)
Tingkat Keparahan Ulkus
Keterangan
Tidak terinfeksi
Tidak ada tanda-tanda peradangan.
Terjadi minimal 2 tanda infeksi seperti : Terjadi nanah, kemerahan,
Ringan
sakit, nyeri, dan panas atau hangat.
Terjadi nyeri di kulit dan jaringan subkutan, terjadi kemerahan 0,5-2
cm. Tidak termasuk nyeri karena respon inflamasi seperti benturan,
asam urat, nyeri tulang dan saraf
Terjadi lokal infeksi seperti diatas. Terjadi nyeri dan peradangan > 2
Sedang
cm, nyeri terletak lebih dalam dari subkutan.
Tidak terjadi nyeri secara sistemik.
Terjadi tanda infeksi seperti yang telah disebutkan, mulai muncul
tanda sepsis. Terjadi demam > 38oC atau suhu menurun hingga <
36oC. Terjadi takikardi > 90 x/menit. Kecepatan pernapasan
Berat
meningkat 20 x/menit, tekanan parsial CO2 < 32 mmHg
Sel darah putih < 4000 atau > 12000 sel/microliter
dengan > 10% merupakan sel yang belum matang
Terapi
farmakologis
dilakukan
dengan
pemberian
antibiotika.
Antibiotika dan pembedahan penting untuk ulkus terinfeksi. Perawatan
pasien rawat jalan dilakukan dengan merawat dan membersihkan luka,
kultur kuman dan pemberian antibiotika oral kemudian dievaluasi dalam
tiga sampai lima hari. Perawatan pasien rawat inap dilakukan dengan
pembedahan, kultur darah dan luka selanjutnya pemberian antibiotika
empiris sebagai permulaan (Lipsky dkk., 2012). Pengobatan ulkus
dimulai dengan mengenal dan menghilangkan penyebab (Kalla, 2006).
Pemberian antibiotika untuk penanganan infeksi agar lebih tepat dan
efisien sebaiknya berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi yang
lengkap dan ditunjang dengan suatu penelitian terkait dengan obat–
obatan vaskular (Misnadiarly, 2001).
25
Tabel V. Standar Terapi Antibiotika Empiris Pada Pasien Ulkus Diabetik (Lipsky, 2004)
No.
Kondisi Klinis
Pilihan Antibiotika Empirik
Oral: doksisiklin / klindamisin /sefaleksin /
1.
Ringan
2.
Sedang
trimetoprim–sulfametoksasol (TMP–SMX) /
amoksisilin/
amoksisilin–asam klavulanat / levofloksasin
Oral atau parenteral: TMP–SMX / ampisilin–
sulbaktam / levofloksasin
Parenteral: sefoksitin / seftriakson / sefuroksim /
sefuroksim + metronidazol / tikarsilin / tikarsilin–asam
klavulanat /
piperasilin / piperasilin–tazobactam
Parenteral: piperasilin–tazobactam /
3.
Berat
levofloksasin + klindamisin / siprofloksasin +
klindamisin / imipenem /
vankomisin / seftazidim / vankomisin + metronidazol /
seftazidim + metronidazole
Antibiotika empiris biasanya diberikan sebagai permulaan terapi sambil
menunggu hasil kultur dan sensitivitas tes. Terapi empiris juga diberikan
apabila kultur dan sensitivitas tes tidak dilakukan. Penggolongan tingkat
keparahan ulkus diabetik secara klinis berdasarkan diagnosis and
treatment of diabetic foot infections disajikan dalam tabel V. Terapi
empirik berdasarkan kondisi klinis dan hasil laboratorium pasien yaitu
leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil nilainya melebihi normal. Terapi
absolut diberikan berdasarkan kultur dan sensitivitas tes. Untuk infeksi
yang parah, direkomendasikan untuk memulai terapi dengan antibiotika
spektrum luas sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas terhadap
antibiotika keluar.
26
Tabel VI. Pemilihan Antibiotika Berdasarkan Bakteri Penginfeksi (Lipsky dkk., 2012)
Tingkat
Kemungkinan
Keparahan
Antibiotika
Dosis
Bakteri
Infeksi
Ringan (oral)
Methicilinresistant
Staphylococcus
aureus (MSSA)
Streptococcus spp
Methicilinresistant S.aureus
(MRSA)
Dicloxacillin
500 mg PO tiap 6 jam
Klindamisin**
300-450 mg PO tiap 6-8 jam
Sefaleksin**
500 mg tiap PO 6 jam
Levofloksasin**
750 mg PO per hari
Amoksisilin-klavulanat**
875/125 mg PO tiap 12 jam
Doksisiklin
Trimethoprim/Sulfametoksazol
Sedang (Oral
atau Parenteral)
atau Parah
(Parenteral
MSSA ;
Streptococcus spp
100 mg PO 2x1 hari
1-2 tablet (160/800 mg) tiap
12 jam
Sefoksitin**
2 gram IV tiap 6-8 jam
Enterobacteriae ;
Obligat anaerob
Seftriakson
3 gram IV tiap 6 jam
Moksifloksasin**
400 mg/hari IV/PO
Ertapenem**
1 g/hari IV
100 mg IV lalu 50 mg IV tiap
12 jam
400 mg IV (500-750 mg PO)
q 12 h + 600 mg IV tiap 8
jam
750 mg/hari IV/PO + 600 mg
IV tiap 8 jam
Tigesiklin**
Siprofloksasin ** dengan
Klindamisin**
Levofloksasin** dengan
Klindamisin**
Imipenem-Cilastatin**
MRSA
Pseudomonas
aeruginosa
MRSA ;
Enterobacteriacae
;
Pseudomonas
dan obligat
anaerob
1-2 gram IV per hari
Ampisilin-Sulbactam**
500 mg IV tiap 6 jam
Meropenem
1 g IV tiap 8 jam
Linezolid**
600 mg IV/PO tiap 12 jam
Daptomisin**
4-6 mg/kg/hari IV
Vankomisin**
15-20 mg/kg IV tiap 8-12
jam
Piperasilin-tazobactam**
4,5 g IV tiap 6 jam
Aztreonam
2 gram IV tiap 6-8 jam
Sefepim
2 gram IV tiap 12 jam
Seftasidim
2 gram IV tiap 8-12 jam
Imipenem-Cilastatin**
Meropenem
500 mg IV tiap 6 jam
1 g IV tiap 8 jam
Daptomisin, Linezolid,
Vankomisin +
Antipseudomonas BetaLaktam ±
27
Tabel VI. Lanjutan Pemilihan Antibiotika Empiris Berdasarkan Bakteri Penyebab Infeksi (Lipsky
dkk., 2012)
Metronidazol 500 mg IV/PO
tiap 8 jam
Agen antibiotika yang dicetak tebal merupakan agen yang sering digunakan untuk perbandingan
pada penelitian. Agen yang disetujui FDA untuk infeksi kaki diabetik ditunjukkan dengan huruf
dicetak miring
* Antibiotika yang disetujui untuk infeksi kulit berdasarkan studi yang mengecualikan pasien
dengan infeksi kaki diabetes (misalnya ceftarolin, televancin) tidak disertakan
** Antibiotika yang memperlihatkan keefektifan pada uji klinis termasuk pasien dengan kaki
diabetes
*** Daptomisin atau Linezolid dapat dijadikan pengganti Vankomisin
Penggunaan antibiotika harus diteruskan sampai infeksi benarbenar teratasi. Durasi antibiotika pada ulkus kaki diabetik meliputi,
untuk infeksi ringan, durasi pemberian 1-2 minggu dan untuk infeksi
sedang sampai berat, durasi pemberian biasanya 2-4 minggu sudah
mencukupi tergantung pada jaringan yang terlibat dan debridemen yang
adekuat (Lipsky dkk., 2012).
F. Keterangan Empiris
Pentingnya melakukan evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien diabetes
melitus dengan komplikasi ulkus diabetik untuk membantu pasien mendapat tujuan
terapi sehingga dapat mewujudkan hasil terapi terbaik dari pengobatan yang
dilakukan.
Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran demografi
pasien, pola penggunaan antibiotika, ketepatan penggunan antibiotika dan respon
terapi penggunaan antibiotika pada pasien ulkus diabetik di instalasi rawat inap
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.
Download