Indera Pendengaran I

advertisement
LAPORAN PRAKTIKUM PSIKOLOGI FAAL
Nama
: Wiken Larasati
NPM
: 17512706
Tanggal Pemeriksaan
: 13 Juni 2013
I. Percobaan
Nama Percobaan
Nama Asisten
: 1. Yuli Rahmawati
2. Randra
Paraf Asisten
:
: Indera Pendengaran dan Keseimbangan
: 1.1 Percobaan Rine
1.2 Percobaan Webber (Tempat Sumber Bunyi)
1.3 Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran
Nama Subjek Percobaan : Wiken Larasati
Tempat Percobaan
: Laboratorium Psikologi Faal
a. Tujuan Percobaan
: 1.1 Untuk membuktikan bahwa transmisi melalui
udara lebih baik dari pada tulang.
1.2 Untuk menentukan sumber bunyi.
1.3 Untuk memeriksa ketajaman pendengaran
b. Dasar Teori
: 1.1 Percobaan Rine
a. Garputal kita bunyikan secara pelan lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada
planum mastoid subjek (belakang meatus
akustikus eksternus). Setelah subjek tidak
mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus
subjek. Tes Rinne positif jika subjek masih
dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne
negatif jika subjek tidak dapat mendengarnya
b. Garpu tala kita bunyikan secara pelan lalu
menempatkan tangkainya secara tegak lurus
pada
planum
mastoid
subjek.
Segera
pindahkan garputala didepan meatus akustikus
eksternus. Kita menanyakan kepada subjek
apakah bunyi
garputala didepan meatus
akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang
meatus
skustikus
eksternus
(planum mastoid). Tes rinne positif jika subjek
mendengar
didepan
maetus
akustikus
eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika subjek mendengar didepan meatus
akustikus eksternus lebih lemah atau lebih
keras dibelakang.
1.2 Percobaan Webber ( Tempat Sumber Bunyi)
Telinga adalah organ penginderaan dengan
fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbangan) . Indera pendengaran berperan
penting pada partisipasi seseorang dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting
untuk
perkembangan
pemeliharaan
bicara,
normal
dan
dan
kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain melalui
bicara
tergantung
pada
kemampuan
mendengar.
Dasar
menentukan
suatu
gangguan
pendengaran akibat kebisingan adalah adanya
pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih
antara ambang pendengaran pada pengukuran
sebelumnya dengan ambang pendengaran
setelah adanya pajanan bising (satuan yang
dipakai adalah desibel (dB)). Pegeseran
ambang pendengaran ini dapat berlangsung
sementara namun dapat juga menetap. Efek
bising terhadap pendengaran dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu trauma akustik,
perubahan ambang pendengaran akibat bising
yang berlangsung sementara (noise- induced
temporary threshold shift) dan perubahan
ambang pendengaran akibat bising yang
berlangsung
permanen
(noise-
induced
permanent threshold shift). Pajanan bising
intensitas
tinggi
secara
berulang
dapat
menimbulkan kerusakan sel-sel rambut organ
Corti di telinga dalam. Kerusakan dapat
terlokalisasi di beberapa tempat di cochlea
atau di seluruh sel rambut di cochlea. Pada
trauma akustik, cedera cochlea terjadi akibat
rangsangan fisik berlebihan berupa getaran
yang sangat besar sehingga merusak sel-sel
rambut.
Namun
pada
pajanan
berulang
kerusakan bukan hanya semata-mata akibat
proses fisika semata, namun juga proses
kimiawi berupa rangsang metabolik yang
secara berlebihan merangsang sel-sel tersebut.
Akibat rangsangan ini dapat terjadi disfungsi
sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan
ambang pendengaran sementara atau justru
kerusakan sel-sel rambut yang mengakibatkan
gangguan
ambang
pendengaran
yang
permanen.
1.3 Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran
Frekuensi
suara
adalah
jumlah
tekanan
perdetik,Diukur dalam hertz (Hz). Pitch adalah
persepsi yang mendekati hubungan dengan
frekuensi. Hukumnya adalah semakin tinggi
frekuensi, maka semakin tinggi pitch nya.
c. Alat yang Digunakan : Garputala, pipa karet, arloji.
d. Jalannya Percobaan
: 1.1.a. Aerotymponal
Subjek diminta untuk memegang bagian
bawah garputala, lalu bagian atas garputala
tersebut diketukan ke kursi besi. Setelah di
ketukkan ke besi, letakkan garputala ke arah
belakang telinga (tidak menempel telinga)
sampai
gelombang
atau
getaran
bunyi menghilang.
1.1.b. Craniotymponal
Subjek diminta untuk memegang bagian
bawah garputala, lalu bagian atas garputala
tersebut diketukan ke kursi besi. Setelah di
ketukkan ke besi, arahkan garputala di atas
kepala sampai
gelombang
atau
getaran
bunyi hilang.
1.2 Percobaan Webber (Tempat Sumber Bunyi)
Subjek mengambil pipa karet, lalu ke-2 ujung
pipa karet tersebut diarahkan ke depan
lubang telinga. Lalu rekan subjek menekan
bagian-bagian pada pipa karet (seperti bagian
kanan, kiri, tengah) sebanyak 5 kali. Ketika
rekan subjek menekan bagian-bagian pada
pipa karet tersebut, subjek diminta
untuk menebak dari manakah letak sumber
bunyi berasal. Apakah dari
bagian kanan,
kiri, atau tengah.
1.3 Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran
Subjek menutup telinga kanan, lalu arloji
diarahkan ke depan telinga kiri subjek.
Kemudian arloji dijauhkan dari telingan kiri
subjek sampai
subjek tidak lagi dapat
mendengar suara arloji tersebut. Pada saat
subjek tidak lagi mendengar suara arloji,
subjek mengatakan STOP, lalu suruh seorang
teman untuk mengukur jarak antara telinga
kiri dengan arloji. Hal yang sama juga
dilakukan pada telinga kiri.
e. Hasil Percobaan
: 1.1 Percobaan Rine
Pada
Aerotymponal,ketika
diletakkan di
belakang
garputala
telinga
dipindahkan ke depan lubang
lalu
telinga,
hasilnya terdengar bunyi kecil nyaring.
Begitu juga pada Craniotymponal, hasil yang
terjadi pada Craniotymponal terdengar bunyi
kecil nyaring tapi tidak sebaik Aerotymponal.
lebih bagus mendengar dari Aerotymponal
(udara)
1.2 Percobaan Webber (Tempat Sumber Bunyi)
 Rekan subjek menekan pipa pada bagian
tengah, dan subjek benar menjawab.
 Rekan subjek menekan pipa pada bagian
kanan, dan subjek benar menjawab.
 Rekan subjek menekan pipa pada bagian
kiri,
dan subjek benar menjawab.
 Rekan subjek menekan pipa pada bagian
tengah, dan subjek benar menjawab.
 Rekan subjek menekan pipa pada bagian
kanan, dan subjek benar menjawab.
1.3 Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran
Jarak telinga kanan: 57 cm
Jarak telinga kiri : 40 cm
Hasil Sebenarnya:
2.1 Percobaan Rine
 Aerotymponal : Suara nada garputala yang
sudah tidak terdengar ketika ditempatkan di
belakang,
masih
tetap
terdengar
ketika
garputala ditempatkan di depan lubang telinga.
 Craniotymponal : Suara nada garputala yang
sudah tidak terdengar ketika ditempatkan di
atas kepala, masih tetap terdengar ketika
garputala itu di tempatkan di depan lubang
telinga.
 Lebih
bagus
mendengarkan
melalui
Aerotmponal.
2.2 Percobaan Webber (Tempat Sumber Bunyi)
- kalau masih bisa membedakan kanan dan kiri
maka normal.
- membedakan bagian tengah cukup sulit.
2.3 Pemeriksaan Ketajaman Pendengaran
- sangat dipengaruhi oleh kebisingan
- rata-rata diatas 50 cm
- biasanya telinga kanan lebih jauh dari pada
telinga kiri, ini karena pengaruhnya pada
otak kanan dan otak kiri.
f. Kesimpulan
: 1.1 Telinga adalah organ penginderaan dengan
fungsi ganda dan kompleks (pendengaran
dan keseimbangan) . Indera pendengaran
berperan penting pada partisipasi seseorang
dalam
aktivitas
kehidupan
sehari-hari.
Sangat penting untuk perkembangan normal
dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain melalui
bicara
tergantung
pada
kemampuan
mendengar.
1.2 Kalau masih bisa membedakan bunyi kanan
dan kiri saat percobaan menggunakan pipa
karet masih normal. Untuk membedakan
bunyi pada bagian tengah memang cukup
sulit. Dasar menentukan suatu gangguan
pendengaran akibat kebisingan adalah adanya
pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih
antara ambang pendengaran pada pengukuran
sebelumnya dengan ambang pendengaran
setelah adanya pajanan bising (satuan yang
dipakai adalah desibel (dB)). Pegeseran
ambang pendengaran ini dapat berlangsung
sementara namun dapat juga menetap.
1.3 Jadi ketajam telinga kanan dan kiri itu berbeda
dan sangat di pengaruhi oleh kebisingan
g. Daftar Pustaka
: Yatim, Wildan. 2003. Kamus Biologi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
II. Percobaan
Nama Percobaan
: Indera Pendengaran dan Keseimbangan
: 1.1 Kedudukan Kepala dan Mata Normal
1.2 Kanalis Semisirkularis Horizontal
1.3 Nistagmus
Nama Subjek Percobaan : Wiken Larasati
Tempat Percobaan
: Laboratorium Psikologi Faal
a. Tujuan Percobaan
: 1.1 Untuk memahami bahwa cairan endolimph
dan perilimph yang terdapat pada telinga bila
bergejolak (goyang) akan menyebabkan
keseimbangan seseorang terganggu.
1.2 Untuk memahami bahwa keseimbangan yang
terganggu mudah dikembalikan seperti
sediakala.
1.3 Untuk melihat adanya nistagmus.
b. Dasar Teori
: 1.1 Kedudukan Kepala dan Mata Normal
Keseimbangan tergantung pada continous
visual, labirintin, dan input somatosensorius
(proprioceptif) dan integrasinya dalam batang
otak dan serebelum. Kesulitan berjalan lurus
biasa dialami, hal ini dikarenakan cairan
endolimph dan perilimph terganggu atau
bergejolak
1.2 Kanalis Semisirkularis Horizontal
Terdapat 3 buah kanalis semisirkularis :
superior,
posterior
dan
lateral
yang
membentuk sudut 90° satu sama lain. Masingmasing kanal membentuk 2/3 lingkaran,
berdiameter antara 0,8 – 1,0 mm dan
membesar hampir dua kali lipat pada bagian
ampula. Pada vestibulum terdapat 5 muara
kanalis semisirkularis dimana kanalis superior
dan
posterior
bersatu
membentuk
krus
kommune sebelum memasuki vestibulum.
1.3 Nistagmus
Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat
dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah.
Arah dari gerakan tersebut bisa membantu
dalam menegakkan diagnosa. Nistagmus bisa
dirangsang
penderita
dengan
secara
menggerakkan
tiba-tiba
atau
kepala
dengan
meneteskan air dingin ke dalam telinga.
c. Alat yang Digunakan : Individu (manusia)
d. Jalannya Percobaan
: 1.1. Kedudukan Kepala dan Mata Normal

Praktikan diminta untuk berjalan lurus
dengan mata terbuka ;

Kemudian
praktikan
diminta
untuk
kembali berjalan lurus ;

Lalu praktikan diminta berbalik arah
dengan mata tertutup kemudian kepala
dihentakkan ke sebelah kanan atau kiri ;

Praktikan diminta berjalan lagi dengan
mata tertutup.
1.2 Kanalis Semisirkularis Horizontal

Praktikan diinstruksikan untuk berdiri
tegak ;

Kemudian
praktikan
diminta
untuk
menundukkan kepala dan menutup mata ;
Setelah itu, praktikan diputar ke arah
kanan sebanyak 3 kali ;

Kemudian
praktikan
diminta
untuk
membuka mata dan diarahkan untuk
berjalan ;

Selanjutnya praktikan kembali diminta
menundukkan kepala dan menutup mata
lagi
dan
diputar
kembali
ke
arah
berlawanan (kiri) sebanyak 3 kali ;

Kemudian
praktikan
diminta
kembali
membuka mata dan diarahkan untuk
berjalan lagi ;

Setelah itu, praktikan diminta merasakan
perbedaan antara putaran pertama atau
kedua yang membuatnya lebih pusing.
1.3 Nistagmus

Praktikan diinstruksikan untuk menunduk,
kemudian tangan kanan memegang telinga
dan tangan kiri memegang lutut sebelah
kanan (silang) ;

Kemudian
praktikan
diminta
untuk
menutup mata ;

Setelah itu, praktikan diputar ke arah
kanan sebanyak 3 kali.

Setelah
diputar
praktikan
ditegakkan
kembali dan diminta membuka matanya ;

Selanjutnya praktikan diminta merasakan
apa yang terjadi
e. Hasil Percobaan
: 1.1 Kedudukan Kepala dan Mata Normal

Pada saat berjalan dengan mata terbuka,
praktikan dapat berjalan lurus.

Kemudian saat praktikan diminta kembali
berjalan dengan mata terbuka, masih dapat
berjalan lurus.

Namun saat praktikan diminta berjalan
dengan
mata
tertutup
setelah
menghentakkan kepala ke sebelah kiri
maka praktikan akan berjalan miring ke
sebelah kanan.
1.2 Kanalis Semisirkularis Horizontal

Pada
putaran
yang
pertama,
lebih
mengalami pusing dan kesulitan untuk
berjalan lurus.

Pada putaran yang kedua, lebih terasa
biasa saja dan bisa berjalan lurus.
1.3 Nistagmus

Setelah
melakukan
putaran
dengan
menundukkan kepala dan mata tertutup
kemudian
ditegakkan
kembali
dan
membuka mata, kepala terasa pusing dan
pandangan mata menjadi kabur (kunangkunang)
dan
yang
dilihat
berputar-putar.
Hasil Sebenarnya:
2.1 Kedudukan Kepala dan Mata Normal
menjadi
1. Dalam sikap tubuh biasa praktikan dapat
berjalan lurus atau tidak mengalami
kesulitan.
2. Tidak dapat berjalan lurus (ada kesulitan
dalam berjalan), biasanya jalan ke kiri
miring ke kanan, begitu pula sebaliknya.
2.2 Kanalis Semisirkularis Horizontal

Pada
putaran
yang
pertama,
lebih
mengalami pusing dan kesulitan untuk
berjalan lurus.

Pada putaran yang kedua, lebih terasa
biasa saja dan bisa berjalan lurus.
2.3 Nistagmus
- Biasanya pandangan menjadi kabur atau
berkunang-kunang.
f. Kesimpulan
: 1.1 Keseimbangan adalah kemampuan untuk
mempertahankan
orientasi
tubuh
dan
bagian- bagiannya dalam hubungannyag
dengan ruang internal. Keseimbangan
tergantung
labirintin,
pada
dan
continous
input
visual,
somatosensorius
(proprioceptif) dan integrasinya dalam
batang otak dan serebelum. Kesulitan
berjalan lurus biasa dialami, hal ini
dikarenakan
cairan
endolimph
dan
perilimph terganggu atau bergejolak. Dan
pada saat percobaan kedua tidak terlalu
kesulitan
berjalan,
karena
cairan
endolimph
dan
perilimph-nya
normal
kembali. Jika di putar kedua lebih pusing,
maka cairan endolimp dan perilimph baru
bekerja.
1.2 Apabila cairan endolimph dan perilimph
ternggangu atau bergejolak maka kita akan
kesulitan untuk berjaalan lurus
1.3 Untuk memahami cairan endolimph dan
perilimph yang terdapat pada telinga bila
bergejolak (goyang) akan menyebabkan
keseimbangan seseorang akan terganggu;
memahami bahwa keseimbangan yang
terganggu mudah dikembalikan seperti
sediakala; melihat adanya Nistagmus.
g. Daftar Pustaka
: Towle, Albert. 1989. Modern Biology. USA:
Holt, Rinehartand Winstan, Inc.
Download