Document 496340

advertisement
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai
medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Dr. Jhan Brinsen Purba
Pemimpin Redaksi
Dr. BP. Sitepu, M.A
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Dr. BP. Sitepu, M.A
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si
Dra. Mulyani
Dr. Theresia K. Brahim
Dra. Vitriyani P., M.Pd
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
E-mail : [email protected]
Jurnal Pendidikan Penabur No. 04/ IV /Juli 2005
i
Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur
Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1.
Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku
yang berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam
bentuk bahasa ilmiah populer.
2.
Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah
dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain.
3.
Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan
bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas.
Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Tahoma 10 point/
spasi ganda.
4.
Panjang naskah hasil penelitian + 3000 kata, sedangkan untuk opini,
info, serta resensi buku + 1500 kata.
5.
Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata.
6.
Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, dan
daftar pustaka.
7.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata.
8.
Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan
pada ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan
besar huruf tidak lebih kecil dari 6 point.
8.
Naskah dikirim dalam bentuk disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal
Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5.
Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected]
9.
Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang
pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis.
10. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat
tidak dikembalikan.
11. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi
naskah.
12. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau
kebijakan BPK PENABUR
Jurnal Pendidikan Penabur No. 04/ IV/ Juli 2005
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 04/IV/Juli 2005
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
i
ii-iii
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
BPK PENABUR Jakarta
Keke T. Aritonang, M.Pd
1-16
Penguatan Membaca, Fasilitas Sekolah dan Keterampilan Dasar
Membaca serta Minat Baca Murid
Dr. Vera Ginting, M.A
17-35
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe
36-42
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
Djudjun Djaenudin Supriadi, S.Th
43-52
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
Prof. Dr. Sutjipto
53-58
Mengembangkan Penalaran dalam Pendidikan
Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo
59-66
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Handy Susanto, S.Psi
67-75
Pendayagunaan Media Pembelajaran
Thomas Wibowo Agung Sutjiono
76-84
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
Drs. Tafiardi
85-97
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan
Micro Teaching
Yuli Kwartolo, S.Pd
98-105
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
Dr. Theresia Kristianti
106-112
Memilih Buku Pelajaran
Dr. B.P. Sitepu, M.A
113-126
Isu-Isu Pendidikan Mutakhir
Drs. Hotben Situmorang, M.B.A
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si
127-130
Resensi Buku: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen
Imma Helianti Kusuma, M.Pd
Profil: BPK PENABUR Jakarta Berbenah Menghadapi Persaingan Global
Yuli Kwartolo, S.Pd
Keterangan Mengenai Penulis
131-135
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
136-142
143-145
i
Pengantar Redaksi
enyelenggaraan pendidikan dalam arti yang luas merupakan tanggung
jawab semua pihak, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Upaya
pendidikan akan berdaya dan berhasilguna dengan baik apabila terjadi
keselarasan antar ke tiga unsur itu. Bahkan pada gilirannya apabila
proses pendidikan telah berhasil mendewasakan secara intelektual dan
emosional, peserta didik itu sendiri ikut bertanggung jawab atas pendidikan
terhadap diriya sendiri serta lingkungannya sepanjang hayatnya. Dengan
demikian, peserta didik sejak dini perlu mendapat perhatian, peranan, dan
tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Pendidikan juga dianggap sebagai salah satu sarana yang strategis dan
ampuh dalam mengatasi keterbelakangan peradaban dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan secara
nasional menjadi tanggung jawab pemerintah yang diatur melalui UndangUndang. Di Indonesia penyelenggaraan pendidikan diatur melalui Sistem
Pendidikan Nasional yang terakhir ialah Undang-Undang No 20 Tahun 2003
yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang No 2 Tahun 1989. Salah
satu prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan nasional ialah bersifat
demokratis, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi hak azasi manusia,
nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Umat Kristiani pada umumnya dan gereja pada khususnya mengemban
tugas pendidikan melalui pembelajaran sesuai dengan pesan yang diberikan
oleh Yesus Kristus agar pergi ke seluruh dunia mengajari semua bangsa tanpa
pilih kasih. Pendidikan tanpa pilih kasih ini bermakna pendidikan untuk semua
(education for all) tanpa diskriminasi atau juga yang dewasa ini menjadi
salah satu prinsip dalam pendidikan inklusif. Salah satu tugas Gereja ialah
menjalankan tugas pembelajaran itu dengan ciri berlandaskan kasih serta
menjaga keseimbangan antara kecerdeasan spiritual, intelektual, dan
emosional. Hal ini juga terrlihat pada visi BPK PENABUR: Unggul dalam iman,
ilmu dan pelayanan. Tapi bagaimana proses pendidikan Kristiani dengan visi
seperti itu dilaksanakan secara operasional dan nyata? Berbagai versi pendapat
dapat mengemuka dalam rumusan yang berbeda walaupun pada hakikatnya
masih menjadikan kasih sebagai landasan utama, karena sesungguhnya
P
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
lembaga-lembaga pendidikan kristiani merupakan tangan-tangan gereja untuk
melaksanakan tugasnya sebagai gembala.
Edisi ini menampilkan tulisan Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum PGI,
berkenaan dengan konsep dan aplikasi pendidikan kristiani di tengah-tengah
masyarakat yang majemuk dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu
Profesor Dr. Sutjipto, Rektor Universitas Negeri Jakarta, memberikan
pendapatnya tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan
pendidikan bermuatan multikultrural. Secara konseptual pengertian pendidikan
multikultural ternyata jauh lebih luas dan penerapannya memerlukan sistem
manajemen pendidikan yang memperhatikan nilai-nilai multikultural itu sendiri.
Mudah-mudahan kedua tulisan tersebut dapat menggugah serta memberikan
inspirasi para penyelenggara pendidikan, khususnya para guru, untuk
melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih profesional dengan tetap
menunjukkan kasih dalam proses pembelajaran serta menjaga keseimbangan
antara iman, ilmu, dan pelayanan. Kasih dan empati dapat diperlihatkan tidak
semata-mata dengan kata-kata, tetapi akan lebih bermakna apabila diwujudkan
dalam perbuatan dan keteladanan. Melalui perbuatan yang demikian guru
dapat juga memperkenalkan Jesus Kristus dengan ajaranNya.
Edisi keempat Jurnal Pendidikan Penabur ini terbit dengan mengemukakan
aneka ragam pendapat/opini dari dalam dan luar kalangan BPK PENABUR
dengan tetap mengedepankan dua laporan penelitan yang berkaitan dengan
minat baca siswa serta kinerja guru. Masalah-masalah pendidikan memang
kompleks dan berkembang terus baik disebabkan oleh semakin majunya
tingkat kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, maupun karena
kemajuan dalam ilmu dan teknologi pendidikan itu sendiri. Tuntutan akan
mutu pendidikan yang standar dengan biaya yang ekonomis, serta
demokratisasi di bidang pendidikan masih merupakan isu-isu yang menarik
dibicarakan. Mutu pendidikan sudah barang tentu tidak terlepas dari mutu
kinerja guru, proses belajar dan membelajarkan, sumber belajar seperti buku
pelajaran, serta lingkungan belajar dan membelajarkan. Untuk memperkaya
wacana tentang pendidikan kristiani, dalam edisi ini tersaji resensi buku tentang
pengelolaan sekolah Kristen. Sedangkan bagaimana dan apa yang dilakukan
oleh sekolah-sekolah Kristen menghadapi berbagai tantangan zaman khususnya
dalam meningkatkan mutu, dapat tercermin dalam profil BPK PENABUR Jakarta.
Mudah-mudahan aneka ragam isi Jurnal Pendidikan Edisi ke IV ini dapat
mendorong guru-guru BPK PENABUR untuk lebih kreatif dan berperan serta
dalam memperluas wacana kita semua di bidang pendidikan.
Redaksi
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
iii
Hasil Penelitian
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan
Kinerja Guru SMP Kristen
BPK PENABUR Jakarta
Keke T. Aritonang, M.Pd*)
Abstrak
enelitian ini menjelaskan kompensasi kerja disiplin kerja guru, dalam
hubungannya dengan kinerja guru di SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Penelitian dengan metode survey dan teknik korelasional ini dilakukan
terhadap guru-guru di delapan SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta,
dengan sampel 60 responden yang dipilih secara acak. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima dalam arti bahwa terdapat
hubungan positif antara kedua variable bebas dengan variable terikat baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa kompensasi kerja memberikan sumbangan sebesar 6,
76 % terhadap kinerja guru, disiplin kerja guru memberikan sumbangan sebesar
77,44 %. Sedangkan kompensasi kerja dan disiplin kerja guru secara bersamasama memberikan sumbangan sebesar 77,60 % terhadap kinerja guru. Dengan
demikian sebagai saran untuk meningkatkan kinerja guru yang tinggi perlu
ditingkatkan kompensasi kerja dan disiplin kerjanya.
P
Kata kunci: Guru, disiplin kerja, kompensasi kerja
Abstract
This research discribes teachers’ compensation, the teachers discipline , and
the teacher performance in BPK PENABUR Christian Junior High Schools, Jakarta.
The research is conducted in eight junior high school of BPK PENABUR, Jakarta.
Samples taken are 60 teachers with random sampling technique. The research is analyzed descriptively using the method of survey and correlation
techniques. The research result showed that the research hypothesis was
valid it means that there is positive relationship between free variable and
cloze variable either individually or collectively. From the analysis, it can be
concluded that the contribution of teachers’ compensation towards teachers’
*) Guru SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
1
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
performance is about 6,76 %, the contribution of teachers’ discipline is about
77,44 %, the contribution of both teachers’ compensation and teachers’ discipline towards teachers’ performance is about 77,60%. Therefore, it is suggested that to increase teachers’ performance is necessary to increase both
teachers’ compensation and teachers’ dixcipline).
Pendahuluan
Berbagai aspek bidang pekerjaan baik itu di instansi pemerintah maupun swasta
dapat memberikan kepuasan bagi pegawai apabila ada program kompensasi.
Dengan adanya kompensasi yang diberikan sesuai dengan haknya akan sangat
mempengaruhi kinerja seseorang. Untuk itu hendaknya program kompensasi
ditetapkan berdasarkan prinsip adil dan wajar, sesuai dengan undang-undang
perburuhan, atau sesuai dengan peraturan kerja lembaga masing-masing.
Dengan adanya kompenasasi yang cukup besar maka disiplin karyawan
semakin baik. Mereka akan menyadari serta menaati peraturan-peraturan yang
berlaku.
Menurut Steers & Porter (1991) bahwa tinggi rendahnya kinerja pekerja
berkaitan erat dengan sistem pemberian kompensasi yang diterapkan oleh
lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian kompensasi yang tidak
tepat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang. Ketidaktepatan
pemberian kompensasi disebabkan oleh ; (1) pemberian jenis kompenasasi
yang kurang menarik (2) pemberian penghargaan yang kurang tepat tidak
membuat para pekerja merasa tertarik untuk mendapatkannya. Akibatnya para
pekerja tidak memiliki keinginan meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan
kompensasi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
(1) Apakah terdapat hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru?
(2) Apakah terdapat hubungan antara disiplin kerja dengan kinerja guru?
(3) Apakah terdapat hubungan secara bersama-sama antara kompensasi kerja
dan disiplin kerja di satu pihak dengan kinerja guru di pihak lain?
LandasanTeori
Kompensasi Kerja
Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang
langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas
jasa yang diberikan kepada perusahaan (Hasibuan, 1990:133). Kompensasi
kerja adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa
untuk kerja mereka (Tohardi, 2002:411). Kompensasi kerja merujuk pada semua
2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
bentuk upah atau imbalan yang berlaku bagi dan muncul dari pekerjaan mereka,
dan mempunyai dua komponen yaitu ada pembayaran keuangan langsung
dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi, dan bonus, dan ada pembayaran
tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang
liburan.
Tujuan pemberian kompensasi (balas jasa) adalah (a) ikatan kerja sama;
(b) kepuasan kerja; (c) pengadaan efektif; (d) motivasi; (e) stabilitas karyawan;
(f) disiplin; (g) pengaruh serikat buruh; dan (h) pengaruh pemerintah (Hasibuan,
1997:137).
Selain itu menurut Soekidjo Notoadmodjo ada beberepa keuntungan dengan
diberikannya kompensasi pelengkap,yaitu: (1) meningkatkan semangat kerja
dan kesetiaan atau loyalitas para karyawan terhadap organisasi atau
perusahaan, (2) menurunkan jumlah absensi para karyawan dan adanya
perputaran kerja, (3) mengurangi pengaruh organisasi karyawan terhadap
kegiatan organisasi, dan (4) meminimalkan biaya-biaya kerja lembur yang
berarti mengefektifkan prestasi kerja karyawan (Tohardi, 2002:418). Ada dua
azas penting dalam program pemberian kompensasi (balas jasa) supaya balas
jasa yang akan diberikan merangsang gairah dan kepuasan kerja karyawan
yaitu: (1) azas adil, (2) azas layak dan wajar.
Kompensasi kerja adalah persepsi guru terhadap berbagai bentuk upah
atau imbalan yang diperoleh dari hasil kerja yang digambarkan melalui dua
komponen yaitu: Kompensasi langsung yang meliputi gaji, tunjangan fungsional,
tunjangan hari raya, bonus pengabdian, bonus prestasi, uang transportasi
makan, uang duka dan biaya pemakaman. Kompensasi tidak langsung meliputi
bantuan biaya pengobatan rawat jalan dan rawat inap, dana pensiun,
perumahan, beasiswa, penghargaan, formasi jabatan, dan rekreasi.
Disiplin Kerja
Disiplin adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan
perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Adapun arti kesadaran
adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan
sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Sedangkan arti kesediaan adalah
suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan
peraturan perusahaan baik yang tertulis maupun tidak (Hasibuan ,1997:212).
Menurut Davis disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan
manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organis asi
(Mangkunegara, 2000 : 129).
Disiplin pada hakikatnya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dalam
bentuk tidak melakukan sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
3
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
dengan sesuatu yang telah ditetapkan dan melakukan sesuatu yang mendukung
dan melindungi sesuatu yang telah ditetapkan.
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan disiplin diri, disiplin belajar
dan disiplin kerja. Disiplin kerja merupakan kemampuan seseorang untuk secara
teratur, tekun secara terus-menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan.
Pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisplinan
karyawan suatu organisasi di antaranya ialah : (1) tujuan dan kemampuan,
(2) teladan pimpinan, (3) balas jasa (gaji dan kesejahteraan), (4) keadilan,
(5) waskat (pengawasan melekat), (6) sanksi hukuman, (7) ketegasan, dan
(8) hubungan kemanusiaan (Hasibuan, 1997:213).
Disiplin juga merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia
yang penting dan merupakan kunci terwujudnya tujuan, karena tanpa adanya
disiplin maka sulit mewujudkan tujuan yang maksimal (Sedarmayanti, 221:10).
Melalui disiplin pula timbul keinginan dan kesadaran untuk menaati peraturan
organisasi dan norma sosial. Namun tetap pengawasan terhadap pelaksanaan
disiplin tersebut perlu dilakukan.
Disiplin kerja adalah persepsi guru terhadap sikap pribadi guru dalam hal
ketertiban dan keteraturan diri yang dimiliki oleh guru dalam bekerja di sekolah
tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan dirinya, orang lain, atau
lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas maka disiplin kerja yang perlu
diperhatikan adalah :
(a) Disiplin terhadap tugas kedinasan yang meliputi : mentaati peraturan kerja
BPK PENABUR, menyiapkan kelengkapan mengajar, dan melaksanakan tugastugas pokok.
(b) Disiplin terhadap waktu yang meliputi: menepati waktu tugas,
memanfaatkan waktu dengan baik, dan menyelesaikan tugas tepat waktu.
(c) Disiplin terhadap suasana kerja yang meliputi: memanfaatkan lingkungan
sekolah, menjalin hubungan yang baik, dan menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban.
(d) Disiplin di dalam melayani masyarakat yang meliputi: melayani peserta
didik, melayani orang tua siswa, dan melayani masyarakat sekitar;
(e) Disiplin terhadap sikap dan tingkah laku yang meliputi, memperhatikan
sikap, memperhatikan tingkah laku, dan memperhatikan harga diri.
Kinerja Guru
Dalam bahasa Inggris istilah kinerja adalah performance. Performance
merupakan kata benda. Salah satu entry-nya adalah “thing done” (sesuatu
hasil yang telah dikerjakan). Jadi arti Performance atau kinerja adalah hasil
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing
dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal,
tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Menurut Mangkunegara (2001:67) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tinggi rendahnya
kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian penghargaan yang
diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian
penghargaan yang tidak tepat dapat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja
seseorang.
Berkaitan erat dengan kinerja guru di dalam melaksanakan tugasnya seharihari sehingga dalam melaksanakan tugasnya guru perlu memiliki tiga
kemampuan dasar agar kinerjanya tercapai sebagai berikut:
(1) kemampuan pribadi meliputi hal-hal yang bersifat fisik seperti tampang,
suara, mata atau pandangan, kesehatan, pakaian, pendengaran, dan hal
yang bersifat psikis seperti humor, ramah, intelek, sabar, sopan, rajin,
kreatif, kepercayaan diri, optimis, kritis, obyektif, dan rasional;
(2) kemampuan sosial antara lain bersifat terbuka, disiplin, memiliki dedikasi,
tanggung jawab, suka menolong, bersifat membangun, tertib, bersifat
adil, pemaaf, jujur, demokratis, dan cinta anak didik;
(3) kemampuan profesional sebagaimana dirumuskan oleh P3G yang meliputi
10 kemampuan profesional guru yaitu: menguasai bidang studi dalam
kurikulum sekolah dan menguasai bahan pendalaman/aplikasi bidang
studi, mengelola program belajar mengajar,mengelola kelas,
menggunakan media dan sumber, menguasai landasan-landasan
kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi
siswa untuk kepentingan pendidikan, mengenal fungsi dan program
bimbingan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi
sekolah, memahami prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian
pendidikan guna keperluan mengajar menurut.
Kinerja guru adalah persepsi guru terhadap prestasi kerja guru yang
berkaitan dengan kualitas kerja, tanggung jawab, kejujuran, kerjasama dan
prakarsa.
Kerangka Berpikir
Hubungan Kompensasi Kerja dengan Kinerja Guru SMP
Kompensasi sangat penting bagi karyawan yang bekerja dengan menjual
tenaganya baik fisik maupun pikiran kepada suatu organisasi dan memperoleh
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
5
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
balas jasa sesuai dengan peraturan atau perjanjian yang berlaku dalam
organisasi tersebut.
Besarnya kompensasi telah ditentukan dan diketahui sebelumnya.
Karyawan secara pasti mengetahui besarnya kompensasi yang akan
diterimanya. Kompensasi inilah yang akan dipergunakan seorang yang
berprofesi sebagai guru SMP beserta keluarganya untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya. Besarnya kompensasi ini mencerminkan status, pengakuan,
dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh guru beserta
keluarganya.
Kompensasi yang diberikan kepada guru sangat berpengaruh pada tingkat
kepuasan kerja, motivasi kerja, dan hasil kerja. Apabila kompensasi yang
diberikan dengan mempertimbangkan standar kehidupan normal dan dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan guru maka dengan sendirinya akan
mempengaruhi semangat kerjanya, yang pada gilirannya akan meningkatkan
kualitas setiap pekerjaan yang dilakukan. Hal ini karena tujuan bekerja guru
banyak dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya kebutuhan minimal kehidupan
guru dan keluarganya. Dengan demikian dampaknya adalah meningkatnya
perhatian guru secara penuh terhadap profesi dan pekerjaanya. Jika kompensasi
yang diberikan semakin besar sehingga kepuasan kerjanya semakin baik. Di
sinilah letak pentingnya dalam penelitian ini yaitu kompensasi kerja.
Berdasarkan uraian di atas, patut diduga ada hubungan antara kompensasi
kerja dengan kinerja guru. Artinya semakin tinggi guru mendapatkan
kompensasi dari bekerja, maka semakin tinggi pula kinerjanya. Dengan demikian
terdapat hubungan positif antara kompensasi kerja dengan kinerjanya.
Hubungan Disiplin Kerja dengan Kinerja Guru SMP
Guru yang berdisiplin diartikan sebagai seorang guru yang selalu datang dan
pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik,
mematuhi semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku.
Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang
terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah
kerja, semangat kerja, dan mendukung terwujudnya tujuan organisasi,
karyawan dan masyarakat. Dengan demikian disiplin merupakan hal yang sangat
penting dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi atau perusahaan. Dengan
kata lain ketidakdisplinan individu dapat merusak kinerja organisasi atau
perusahaan.
Disiplin kerja guru merupakan tindakan seseorang untuk mematuhi
peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Tindakan ini bila dilakukan
6
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
secara benar dan terus-menerus akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam
perilaku guru dan akan membantu tercapainya tujuan kerja yang telah
ditentukan.
Berdasarkan uraian di atas patut diduga bahwa terdapat hubungan antara
disiplin kerja dengan kinerja guru. Artinya semakin tinggi disiplin kerja, maka
semakin tinggi kinerjanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan
disiplin kerja dengan kinerja guru adalah positif.
Hubungan Antara Kompensasi Kerja dan Disiplin Kerja Secara
Bersama-sama dengan Kinerja Guru SMP
Berdasarkan gagasan-gagasan di atas jelaslah bahwa kinerja guru ditentukan
oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut secara sendiri-sendiri maupun secara
bersamaan ikut berperan menentukan tercapainya kinerja guru yang maksimal.
Dari literatur tentang kinerja guru diketahui secara umum, kinerja guru
ditentukan oleh faktor internal yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan
diri guru sendiri dan faktor eksternal yaitu faktor yang berhubungan dengan
keadaan yang berada di luar diri guru.
Dari sekian faktor internal yang berkaitan dengan diri guru terdapat dua
faktor dominan yang menurut penulis ikut menentukan kualitas kinerja guru
yaitu kompensasi kerja dan disiplin kerja.
Kinerja guru adalah tingkat keberhasilan guru di dalam melaksanakan tugas
dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, maka dapat diduga
terdapat hubungan positif secara bersama-sama antara kompensasi kerja dan
disiplin kerja dengan kinerja guru. Dengan perkataan lain, makin tinggi
kompensasi kerja dan disiplin kerja makin tinggi pula kinerja guru.
Pengajuan Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut. Maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian tentang hubungan antara kompensasi kerja dan disiplin kerja dengan
kinerja guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja
(X1)dengan kinerja guru (Y) SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara disiplin kerja (X2)
dengankinerja guru (Y) SMP Kristen BPK PENABUR.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja (X1)
dan disiplin kerja (X2) secara bersama-sama dengan kinerja guru (Y)
SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
7
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
Metodologi Penelitian
Tujuan penelitian untuk mengetahui apakah kompensasi kerja dan disiplin kerja
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhubungan dengan kinerja
guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Penelitian ini dilaksanakan di delapan SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Responden penelitian adalah 60 orang guru tetap Yayasan yang diperoleh
dengan teknik sample random sampling.
Penelitian ini menggunakan metode survey dalam bentuk penelitian
korelasional, seperti terlihat pada gambar berikut :
X1
Y
X2
Keterangan :
X1 = Kompensasi kerja
X2 = Disiplin kerja
Y = Kinerja guru
Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrumen yang
mengukur kinerja guru, kompensasi kerja, dan disiplin kerja guru. Kalibrasi
instrumen dilakukan untuk menguji validitas butir dan koefisien reliabilitas.
Validitas butir dihitung dengan menggunakan koefisien korelasi butir dan
reliabilitas dihitung dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Selanjutnya
uji persyaratan analisis yang dilakukan adalah uji normalitas populasi (Uji
Lilliefors) dan uji linearitas. Sedangkan uji hipotesis pertama dilakukan dengan
menggunakan analisis korelasi sederhana, analisis korelasi ganda, analisis
regresi sederhana, analisis regresi ganda, dan analisis korelasi parsial.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hubungan antara Kompensasi Kerja Guru (X1) dengan Kinerja
Guru (Y)
Hipotesis pertama menyatakan terdapat hubungan positif antara kompensasi
kerja guru (X1) dengan kinerja guru (Y). Berdasarkan hasil perhitungan terdapat
hubungan positif antara kompensasi kerja (X1) dengan kinerja guru (Y)
ditunjukkan dengan persamaan regresi ^
Y : 187.46 + 0.44 X1. Pengujian
signifikansi dan linearitas regresi sebagai berikut:
8
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
Tabel 1 :
Hasil uji signifikansi linearitas regresi kine rja guru (Y) atas
kompensasi kerja guru (X1).
Sumber Varian
dk
Jk
RJK
Fhitung
Regresi
1
395.82
395.82
Residual
58
11490.58
198.11
Total
59
11886.4
1.997
F
tabel
0,05
0,01
4.00
7.08
Keterangan:
dk : derajat kebebasan
jk : jumlah kuadarat
RJK : rata-rata jumlah kuadrat
Melalui perhitungan uji signifikansi dan uji linearitas regresi tersebut di
atas, diperoleh kesimpulan bahwa persamaan regresi ^
Y: 187.46 + 0.44 X1
sangat signifikan dan linear. Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa
kenaikan satu skor kompensasi kerja akan memberikan kenaikan sebesar 0.44
terhadap skor kinerja guru.
Sedangkan kuatnya hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru
SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta dengan menggunakan teknik korelasi product
moment dihasilkan seperti pada tabel berikut:
Tabel 2 : Koefisien korelasi dan uji signifikansi koefisien korelasi antara variabel
X1 dengan Y.
N
Dk
60
58
r y1
0.26
R2 y1
0.0676
T
F
hitung
2.12 **
0,05
1.67
table
0,01
2.39
Keterangan:
n
dk
r y1
r2 y1
**
:
:
:
:
:
jumlah sampel
derajat kebebasan
koefisien korelasi X1 dengan Y
koefisien determinasi
sangat signifikan
Dari tabel 2 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara kompensasi kerja guru dengan kinerjanya karena ditunjukkan
oleh besarnya nilai t hitung: 2.12 yang sangat tinggi dibandingkan dengan nilai
f tabel.
Hasil pengujian inipun memperlihatkan adanya hubungan yang berbanding
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
9
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
lurus antara kompensasi kerja dengan kinerja guru, yang berarti semakin baik
dan tinggi kompensasi kerja guru, maka semakin meningkat pula kinerjanya.
Dari koefisien determinasi (r2 y1 ): 0.0676 mempunyai makna bahwa 6.76
% yang terjadi dalam kecenderungan meningkatnya kinerja guru SMP Kristen
Penabur Jakarta dapat dijelaskan oleh positifnya kompensasi kerja melalui
^
persamaan regresi linear sederhana Y
: 187.46 + 0.44 X1
Apabila variabel disiplin kerja guru (X2 ) dikendalikan (konstan) maka melalui
analisis korelasi parsial diperoleh koefisien korelasinya seperti pada tabel
berikut.
Tabel 3: Hasil analisis korelasi parsial dan uji signifikansi antara variabel
dengan Y.
N
60
Dk
57
Koefisien korelasi parsial
r
Y1.2
= -0.11
t
t
hitung
- 0.83 **
X1
table
0,05
0,01
1.67
2.39
Keterangan:
n
: jumlah sampel
dk
: derajat kebebasan
r y1.2 : koefisien korelasi parsial X1 dengan Y dengan mengontrol X2
**
: tidak signifikan
Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa hubungan parsial antara kompensasi
kerja dengan kinerja guru yang dikontrol oleh disiplin kerja guru ternyata tidak
signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai t hitung: -0.83 lebih kecil dari
besarnya nilai t tabel.
Hasil uji hipotesis di atas menunjukkan bahwa hubungan antara kompensasi
kerja guru dengan kinerjanya di semua SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta
dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Dengan demikian peningkatan
kompensasi kerja guru dapat mendorong dan berdampak positif terhadap
kinerjanya.
Hubungan Antara Disiplin Kerja (X2) dengan Kinerja Guru (Y)
Hipotesis kedua menyatakan terdapat hubungan positif antara disiplin kerja
(X2) dengan kinerja guru (Y). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh terdapat
hubungan positif antara disiplin kerja (X2) dengan kinerja guru (Y) ditunjukkan
^
dengan persamaan regresi Y:
47.96 + 1.16 X2.
Pengujian signifikansi dan linearitas persamaan regresi tersebut tercantum
10
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
dalam tabel berikut:
Tabel 4:
Hasil uji signifikansi linearitas regresi kinerja guru (Y) atas disiplin
kerja guru (X2)
Sumber Varian
Dk
Jk
Regresi
1
Residual
58
-7653.34
Total
59
11886.4
RJK
Fhitung
19539.74 19539.74 -148.08
F
0,05
table
0,01
4.00
7.08
-131.95
Keterangan:
dk : derajat kebebasan
jk : jumlah kuadarat
RJK : rata-rata jumlah kuadrat
Melalui perhitungan uji signifikansi koefisien dan uji linearitas regresi tersebut
^
di atas, maka disimpulkan bahwa persamaan regresi Y: 47.96 + 1.16 X2 sangat
signifikan dan linear Yang berarti bahwa kenaikan satu skor disiplin kerja akan
memberikan kenaikan sebesar 1.16 terhadap skor kinerja guru.
Sedangkan kuatnya hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru
SMP Kristen Penabur Jakarta dengan menggunakan teknik korelasi product
moment dihasilkan seperti pada tabel berikut.
Tabel 5:
n
Koefisien korelasi dan uji signifikansi koefisien korelasi antara variabel
X2 dengan Y.
Dk
r y1
r2 y1
T
F
hitung
tabel
0,05
60
58
0.88
0.7744
14.28 **
1.67
0,01
2.39
Keterangan:
n
dk
r y1
r2 y1
**
: jumlah sampel
: derajat kebebasan
: koefisien korelasi X2 dengan Y
: koefisien determinasi
: sangat signifikan
Dari tabel 5 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara kompensasi kerja guru dengan kinerjanya karena ditunjukkan
oleh besarnya nilai t hitung: 14.28 yang sangat tinggi dibandingkan dengan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
11
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
nilai t tabel.
Hasil pengujian inipun memperlihatkan adanya hubungan yang berbanding
lurus antara kompensasi kerja dengan kinerja guru, yang berarti semakin baik
dan tinggi kompensasi kerja guru, maka semakin meningkat pula kinerjanya.
Dari koefisien determinasi (r2 y1 ): 0.7744 mempunyai makna bahwa 77.44
% yang terjadi dalam kecenderungan meningkatnya kinerja guru SLTP Kristen
PENABUR Jakarta dapat dijelaskan oleh positifnya kompensasi kerja melalui
^ 47.96 + 1.16 X
persamaan regresi linear sederhana Y:
2
Apabila variabel disiplin kerja guru (X2 ) dikendalikan (konstan) maka melalui
analisis korelasi parsial diperoleh koefisien korelasinya seperti pada tabel
berikut.
Tabel 6:
N
60
Hasil analisis korelasi parsial dan uji signifikansi antara variabel X 2
dengan Y.
Dk
57
Koefisien korelasi parsial
R Y1.2 = 0.87
t hitung
13.41 **
t tabel
0,05
0,01
1.67
2.39
Keterangan:
n
: jumlah sampel
dk
: derajat kebebasan
r y1.2 : koefisien korelasi parsial X2 dengan Y dengan mengontrol X1
**
: sangat signifikan
Dari tabel 6 dapat disimpulkan bahwa hubungan parsial antara disiplin kerja
dengan kinerja guru yang dikontrol oleh kompensasi kerja guru ternyata sangat
signifikan, hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai t hitung: 13.41 lebih besar
dari besarnya nilai t tabel.
Berdasarkan hasil uji hipotesis di atas, menunjukkan bahwa hubungan antara
disiplin kerja guru dengan kinerjanya di semua SMP Kristen PENABUR Jakarta
dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Dengan demikian meningkatnya
disiplin kerja guru dapat mendorong dan berdampak positif terhadap kinerjanya.
Hubungan Positif antara Kompensasi Kerja (X1) dan Disiplin Kerja
Guru (X2) Secara Bersama-sama dengan Kinerjanya (Y)
Hipotesis ketiga menyatakan terdapat hubungan positif antara kompensasi kerja
(X1), disiplin kerja (X2) secara bersama-sama dengan kinerja guru (Y)
ditunjukkan melalui perhitungan analisis regresi ganda diperoleh persamaan
12
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
^
Y : - 15.7 + 0.17 X1 + 1.71 X2 Uji signifikansi regresi ganda menunjukkan
signifikan.
Sedangkan hubungan antara kompensasi kerja guru (X1) dan disiplin kerja
guru (X2) secara bersama-sama dengan kinerjanya (Y) di delapan SLTP Kristen
PENABUR Jakarta dihasilkan seperti tabel berikut:
Tabel 7:
Hasil uji signifikansi korelasi ganda antara variable X1 dan X2
dengan Y.
N
Dk
R y12
R2 y12
F hitung
F tabel
0,05
0,01
60
58
0.8814
0.776
19.80 **
3.15
4.98
Keterangan :
n
: jumlah sampel
dk
: derajat kebebasan
Ry12 : koefisien korelasi X1 dan X2 dengan Y
R2y12 : koefisien determinasi
**
: sangat signifikan
Dari tabel 7 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang
signifikan antara kompensasi kerja dan disiplin kerja guru secara bersamasama dengan kinerjanya.
Dari koefisien determinasi (R2y12 ) : 0.776 mempunyai makna 77.6 % yang
terjadi dalam kecenderungan meningkatnya kinerja guru SMP Kristen PENABURr
Jakarta dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh positifnya kompensasi
kerja dan disiplin kerja guru melalui persamaan Y^ : - 15.7 + 0.17X1 + 1.71 X2
Hasil uji hipotesis di atas, menunjukkan bahwa hubungan antara kompensasi
kerja dan disiplin kerja guru secara bersama-sama dengan kinerjanya di semua
SMP Kristen PENABUR dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Dengan
demikian peningkatan kompensasi kerja dan pembinaan disiplin kerja guru
secara bersama-sama dapat meningkatkan pula kinerjanya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara
kompensasi kerja dengan kinerjanya di SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Kontribusi efektif variabel kompensasi kerja guru (X1) terhadap kinerjanya (Y)
sebesar 6.76 % dengan koefisien korelasi r: 0.26. Artinya jika hendak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
13
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
meningkatkan kinerja guru harus memperhatikan kompensasi kerja yang secara
nyata memberikan sumbangan yang sangat berarti.
Kedua terdapat hubungan positif yang signifikan antara disiplin kerja guru
dengan kinerjanya di semua SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Kontribusi efektif variabel disiplin kerja guru (X2) terhadap kinerjanya (Y)
sebesar 77.44 % dengan koefisien korelasi r: 0.88. Artinya apabila ingin
meningkatkan kinerja guru harus pula memperhatikan disiplin kerjanya yang
secara nyata memberikan sumbangan yang sangat berarti.
Ketiga terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja
dan disiplin kerja guru secara bersama-sama dengan kinerjanya di semua
SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta.
Kontribusi efektif variabel kompensasi kerja (X1) dan disiplin kerja guru (X2)
secara bersama-sama terhadap kinerjanya (Y) sebesar 77.6 %, dengan koefisien
korelasi ganda R: 0.8814. Artinya apabila ingin meningkatkan kinerja guru
harus pula memperhatikan kedua variabel ini yang secara bersama-sama secara
nyata memberikan sumbangan yang sangat berarti.
Implikasi
Berdasarkan kesimpulan penelitian dapat dikemukakan beberapa implikasi
sebagai berikut:
Untuk mendapatkan kinerja yang tinggi diperlukan pemberian kompensasi
yang tinggi pula. Dalam hal pemberian kompenasi yang dimaksud lembaga
sekolah hendaknya memperhatikan peraturan pemerintah yang berhubungan
dengan penentuan standar gaji minimal, pajak penghasilan, penetapan harga
bahan baku, biaya transportasi/angkutan, inflasi maupun devaluasi agar guru
yang mendapatkan kompensasi dari hasil kerjanya dapat meningkatkan
kinerjanya.
Hal yang penting juga dalam pemberi an kompensas i perlu
mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal guru. Karena kebutuhan
dasar guru harus terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar guru dan
keluarganya, maka guru akan merasa aman. Terpenuhi kebutuhan kebutuhan
dan rasa aman memungkinkan guru dapat bekerja dengan penuh motivasi.
Sehingga guru yang diharapkan yang dituntut oleh masa depan dalam rangka
peningkatan sumberdaya manusia Indonesia akan tercapai.
Selain kompensasi kerja di atas, untuk mendapatkan kinerja guru yang
tinggi diperlukan disiplin kerja guru yang tinggi pula. Bahkan disiplin kerja guru
merupakan prakondisi bagi terciptanya kinerja tinggi para guru. Untuk
mendapatkan guru yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi peranan
pengawasan kooperatif dan pembinaan yang dibangun dengan konsep
14
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
demokratis oleh pimpinan dengan para guru harus tercipta dengan baik. Hal
ini akan berakibat pada peran pimpinan yang harus luwes atau fleksibel serta
kesadaran diri guru yang sepenuhnya dapat menerima aturan-aturan yang
telah disepakati bersama.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
Pertama, pemberian kompensasi harus sesuai dengan peraturan yang
berlaku serta mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal guru
Kedua pemberian kompensasi sesuai dengan asas adil, layak dan wajar,
agar kompensasi yang diterima masing-masing guru sesuai dengan kinerjanya.
Ketiga, perlu dilakukan sistem penilaian akreditasi guru, agar yang
bersangkutan mendapat masukan dari pelaksanaan tugas dan fungsinya
sebagai guru.
Keempat, kepala sekolah sebagai pimpinan harus selalu melakukan
pengawasan dan pembinaan disiplin terhadap guru dengan pendekatan
kooperatif dan demokratis.
Kelima, Pengurus Yayasan BPK PENABUR Jakarta perlu memperhatikan
langkah-langkah kebijakan yang berkaitan dengan kompensasi kerja dan disiplin
kerja guru yang secara nyata mempunyai peranan yang cukup besar terhadap
peningkatan kinerjanya.
Keenam, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan variabelvariabel lain agar dapat terinventaris berbagai variabel yang dapat
mempengaruhi atau mempunyai hubungan dengan kinerja guru.
Daftar Pustaka
BPK Penabur Jakarta. (2000). Peraturan kerja BPK Penabur. Jakarta: BPK Penabur
Brahim, Theresia K. (2000). Skala pengukuran dan instrumen penelitian. Jakarta:
PPS UKI
Dessler, Gary. (19970. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT Prenhalindo
Fuchan, Arief. (1982). Pengantar penelitian dalam pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional
Handoko, T. Hani. (2000). Manajemen personalia dan sumber daya manusia .
Yogyakarta: BPFE
Hasibuan, Malayu S.P. (1997). Manajemen sumber daya manusia. , Jakarta: Gunung
Agung.
Imron, Ali. (1995). Pembinaan guru di Indonesia. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
15
Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2001). Manajemen sumber daya manusia
perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nasution, Sorimuda. (1986). Didaktik asas-asas mengajar. Bandung: Jemmars
Sasmoko. (2000). Metode penelitian. Jakarta: PPs UKI
Sedarmayanti. (2001). Sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Bandung:
C.V Mandar Maju
Sudjana. (1992). Metoda Statistika, edisi kelima. Bandung: Tarsito
Supeno, Hadi. (1995). Potret Guru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Tohardi, Ahmad. (2002). Pemahaman praktis manajemen sumber daya manusia.
Bandung: Mandar Maju
Usman, Moh. Uzer. (1950). Menjadi guru profesional. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
16
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Hasil Penelitian
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Penguatan Membaca,
Fasilitas Lingkungan Sekolah dan
Keterampilan Dasar Membaca
Bahasa Indonesia serta Minat Baca Murid
Dr. Vera Ginting, M.A*)
Abstrak
enelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara
penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah,
dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat
baca secara sendiri-sendiri dan bersama-sama. Penelitian dilakukan
di Jakarta pada tahun 2003. Jumlah sampel sebanyak 245 murid yang diambil
secara acak dari 12 sekolah di empat kecamatan Jakarta Pusat. Data
dikumpulkan dengan metode survai yang dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis korelasi dan regresi sederhana dan ganda. Hasil penelitian
menyimpulkan (1) ada hubungan positif dan sangat signifikan antara
penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca, (2) ada hubungan
positif dan sangat signifikan antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat
baca, (3) ada hubungan positif, tetapi tidak signifikan antara keterampilan
dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca, (4) ada hubungan
antara penguatan (reinforcement) membaca dan fasilitas lingkungan sekolah
secara bersama-sama dengan minat baca.
P
Kata kunci: Penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah,
keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia, dan minat baca.
Abstract
The aim of this study is to analize the relationships between the reinforcement
on reading, the facility of school environment, the reading basic skill of the
Indonesian language and the reading interest of primary school students in
Jakarta. This study was carried out at the primary schools in Central of Jakarta,
2003. The number of sample is 245 students selected by a multistage random
sampling. Data were collected by survey methods and analized using simple
and multiple regression and simple and multiple correlation. The study reveals
that (1) there is a significant positive relationship between the reinforcement
*) Pegawai Pusat Perbukuan Depdiknas
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
17
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
on reading and the reading interest of primary school students, (2) there is
a significant positive relationship between the facility of school environment
and the reading interest of primary school students; (3) there is a nonsignificant
relationship between the basic reading skill of the Indonesian language and
the reading interest of primary school students; and (4) there is a significant
positive relationship between the reinforcement on reading, the facility of
school environment, the reading basic skill of the Indonesian language and
the reading interest of primary school sudents in Jakarta.
Pendahuluan
Memasuki abad ke 21, banyak informasi direkam dan dikomunikasikan melalui
kata tercetak. Salah satu wahana dalam upaya meningkatkan pengetahuan
dalam rangka menguasai informasi dan perkembangan teknologi adalah
kegiatan membaca. Kegiatan membaca bukan saja mengasyikkan, tetapi juga
berarti menelusuri pengalaman pembelajaran melalui bahan bacaan. Hal ini
dikarenakan bacaan merupakan ekspresi dari bahasa manusia sebagai suatu
sistem komunikasi sosial yang mewakili kemajuan kemampuan kognitif
manusia tertinggi (Semiawan, 1999:1).
Manfaat dari kegiatan membaca telah banyak diungkap oleh para pakar
berbagai bidang disiplin ilmu. Walaupun demikian, kegiatan membaca tidak
luput dari pengaruh faktor lain yang membuat seseorang terhambat bahkan
tidak melakukan kegiatan ini.
Dilihat dari kegiatan anak membaca, mereka membutuhkan stimulus yang
membuat mereka terdorong untuk melakukan kegiatan membaca. Belum
banyak orang tua dan guru yang secara sengaja memberikan penghargaan
saat anak melakukan kegiatan yang baik, seperti saat belajar dan membaca
(Kompas, 26 Februari 20: 9).
Walaupun peningkatan bahan-bahan cetak melimpah di negara-negara
maju, hal ini sangat jauh berbeda keadaannya di dunia sedang berkembang
apalagi dunia terbelakang (Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku
Nasional, 1999 : 44).
Mengingat begitu pesatnya informasi yang disajikan dalam bahan cetak,
di samping minat bacanya ditumbuhkan, keterampilan membaca anak perlu
juga ditingkatkan.
Hasil Studi Kemampuan Membaca yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Balitbang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1992 melaporkan
kemampuan membaca anak Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 30
negara yang diteliti (Soekarman dan Wardaya, 1992: 184).
18
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah perlu diidentifikasi
faktor-faktor penyebabnya, mulai dari lingkungan keluarga sampai di
masyarakat.
Mengingat luasnya bidang penelitian minat baca, peneliti membatasi ruang
lingkup masalah ini pada minat baca untuk usia SD dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan minat baca, yaitu penguatan (reinforcement) membaca,
fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa
Indonesia. Penelitian minat baca ini difokuskan pada ketiga masalah di atas
mengingat yang akan diteliti adalah minat baca murid SD yang masih sangat
memerlukan penguatan membaca, penyediaan fasilitas, dan masih perlu
ditingkatkan keterampilan dasar membacanya.
Berdasarkan lingkup masalah di atas, peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut. Pertama, adakah hubungan antara penguatan
(reinforcement) membaca dengan minat baca? Kedua, adakah hubungan
antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat baca? Ketiga, adakah
hubungan antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan
minat baca? Keempat, adakah hubungan antara penguatan (reinforcement)
membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca
bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan minat baca?
Kerangka Teoretis dan Hipotesis Penelitian
Pengertian Minat
Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak berperan
juga dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar seorang
murid. Aspek afektif adalah aspek yang mengidentifikasi dimensi-dimensi
perasaan dari kesadaran emosi, disposisi, dan kehendak yang mempengaruhi
pikiran dan tindakan seseorang (Stiggins, 1994: 310).
Dimensi aspek afektif mencakup tiga hal penting, yaitu (1) berhubungan
dengan perasaan mengenai objek yang berbeda. (2) Perasaan-perasaan
tersebut memiliki arah yang dimulai dari titik netral ke dua kubu yang
berlawanan, titik positif dan titik negatif. (3) Berbagai perasaan memiliki
intensitas yang berbeda, yang dimulai dari kuat ke sedang ke lemah (Stiggins,
1994: 312).
Aiken (1994: 209) mengungkapkan definisi minat sebagai kesukaan
terhadap kegiatan melebihi kegiatan lainnya. Ini berarti minat berhubungan
dengan nilai-nilai yang membuat seseorang mempunyai pilihan dalam hidupnya
(Anastasi dan Urbina, 1982: 386). Selanjutnya, minat merupakan suatu
perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran antara perasaan, harapan,
pendirian, prasangka, rasa takut, atau kecenderungan kecenderungan lain
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
19
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
yang mengarahkan seeorang kepada suatu pilihan tertentu (Mapiarre dalam
Prianto, 2001: 40).
Sama dengan perangkat mental lainnya, minat dapat dilihat dan diukur
dari respon yang dihasilkan (Semiawan, 1986: 120). Minat adalah suatu
keadaan mental yang menghasilkan respons terarahkan kepada suatu situasi
atau objek tertentu yang menyenangkan dan memberi kepuasan kepadanya
(satisfiers). Definisi ini menjelaskan bahwa minat berfungsi sebagai daya
penggerak yang mengarahkan seseorang melakukan kegiatan tertentu yang
spesifik. Motivasi adalah sumber untuk mempertahankan minat terhadap
kegiatan dan menjadikan kegiatan sangat menyenangkan (excitement).
Minat mempunyai karakteristik pokok yaitu melakukan kegiatan yang dipilih
sendiri dan menyenangkan sehingga dapat membentuk suatu kebiasaan dalam
diri seseorang. Minat dan motivasi memiliki hubungan dengan segi kognisi,
namun minat lebih dekat pada perilaku.
Memperhatikan kembali definisi yang disampaikan Semiawan di atas minat
sebagai hasil tindakan yang memberi kepuasan ( satisfiers ). Hal ini
mengandung arti minat tidak hanya memiliki dimensi aspek afektif, tetapi
juga aspek kognitif (Hurlock, 1992: 116). Aspek kognitif didasarkan atas konsep
atau pengetahuan yang dikembangkan anak mengenai bidang yang berkaitan
dengan minat.
Ada 4 metode assessment yang sudah standar yang dapat digunakan
untuk mengukur aspek afektif termasuk minat, yaitu (1) metode pinsil dan
kertas yang menjaring melalui bentuk jawaban yang selektif atau (2) esai,
(3) pengukuran performa, dan (4) komunikasi pribadi dengan murid (Stiggins,
1994: 314).
Dari uraian tentang minat di atas, dapat disimpulkan bahwa minat adalah
tingkat kesenangan yang kuat (excitement) dari seseorang dalam melakukan
suatu kegiatan yang dipilih karena kegiatan tersebut menyenangkan dan
memberi nilai baginya.
Pengertian Membaca
Membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks
yang tertulis (Smith, 1988: 14). Membaca merupakan suatu keterampilan
yang kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan yang lebih kecil
lainnya (Ahuja, 1999: 13). Dengan kata lain, proses membaca adalah proses
ganda, meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses
penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol.
Oleh karena itu, mata memainkan peranan penting (Wassman & Rinsky, 1993:
5). Sebagai proses tanggapan, membaca menunjukkan interpretasi segala
20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca juga meliputi identifikasi simbolsimbol bunyi dan mengumpulkan makna melalui simbol-simbol tersebut (Ahuja,
1999: 12).
Oleh karena itu, membaca dapat disimpulkan sebagai suatu proses yang
melibatkan penglihatan dan tanggapan untuk memahami bahan bacaan yang
bertujuan untuk memperoleh informasi atau mendapatkan kesenangan.
Minat Baca
Berdasarkan uraian di atas, minat baca murid SD didefinisikan sebagai tingkat
kesenangan yang kuat (excitement) dari murid dalam melakukan kegiatan
membaca yang dipilihnya karena kegiatan tersebut menyenangkan dan
memberi nilai kepadanya.
Penguatan (Reinforcement) Membaca
Pengertian Penguatan (Reinforcement)
Salah satu teori yang mempelajari perilaku belajar adalah E.L. Thorndike
dengan teori stimulus respon dan hukum efeknya (Law of Effect) (Slavin,
1997: 154). Hukum ini mengatakan sebuah aktivitas yang diikuti oleh efek
yang menyenangkan cenderung akan diulang lagi dalam situasi yang sama;
sebaliknya, sebuah aktivitas yang diikuti dengan efek yang tidak menyenangkan
cenderung tidak akan diulangi lagi.
Hukum ini dikembangkan lagi oleh Skinner (Berndt, 1997: 24) menjadi
prinsip-prinsip mempelajari perilaku belajar yang secara khusus meneliti
hubungan perilaku seseorang dan efek atau konsekuensi yang dapat
diciptakan oleh pihak luar orang itu.
Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh murid, mulai dari
duduk sampai segala perilakunya dalam aktivitas sekolah seperti melakukan
kegiatan membaca, menulis, maupun berhitung. Skinner berpendapat
bahwa ada dua jenis perilaku, yaitu perilaku tidak terkontrol dan perilaku
terkontrol (Axelrod,1983 : 2).
Perilaku tidak terkontrol disebut dengan respondent atau classical behaviour
menghasilkan gerakan refleks, seperti air liur akan terbit jika melihat makanan
lezat. Sebaliknya, perilaku terkontrol yang disebut dengan operant behaviour
adalah perilaku yang muncul karena adanya peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang dikondisikan sedemikian rupa sebelumnya. Peristiwa atau
kejadian-kejadian itu disebut dengan istilah konsekuensi.
Skinner menjelaskan konsekuensi yang menyenangkan dari luar diri
seseorang setelah orang itu melakukan suatu perbuatan yang membuat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
21
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
perbuatan tersebut diulang kembali disebut dengan istilah penguatan berulang
atau reinforcement (Semiawan,1978 : 3). Sebaliknya konsekuensi yang tidak
menyenangkan dari pihak luar yang membuat seseorang berhenti atau
melemah perilakunya disebut penghukuman atau punishment. Dari dua bentuk
jenis konsekuensi ini, jenis penguatan (reinforcement) dianjurkan lebih dahulu
dicoba untuk memunculkan perilaku yang diinginkan daripada menggunakan
hukuman (Slavin, 1997: 156).
Akhirnya, disimpulkan pengertian dari penguatan (reinforcement) yang
dimaksud di sini adalah efek atau konsekuensi atau ganjaran yang
menyenangkan (positive reinforcement) yang diberikan pihak luar (eksternal)
untuk menguatkan perilaku yang muncul dari seseorang diulang kembali.
Penguatan (Reinforcement) Membaca
Penguatan (reinforcement) membaca adalah efek atau konsekuensi atau
ganjaran yang menyenangkan (positive reinforcement) yang diterima murid
dari pihak luar (eksternal) karena murid melakukan kegiatan membaca. Pihak
eksternal murid di sini meliputi guru kelas, orang tua/wali, dan teman
bermainnya.
Fasilitas Lingkungan Sekolah
Pengertian Fasilitas
Sarana dan prasarana pendidikan sama dengan fasilitas atau benda­benda
pendidikan yang siap pakai dalam proses belajar mengajar (PBM) sehingga
PBM semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Fasilitas atau benda-benda pendidikan dapat ditinjau
dari fungsi, jenis, atau sifatnya (Gunawan, 1996: 42).
Ditinjau dari fungsinya terhadap PBM, sarana pendidikan terdiri atas (1)
sarana yang tidak langsung berfungsi dalam PBM, contoh air, listrik, dan
telepon, (2) sarana yang langsung berfungsi dalam PBM, contohnya buku
pelajaran dan alat praktek.
Ditinjau dari jenis atau bentuknya, fasilitas pendidikan dapat dibedakan
menjadi fasilitas fisik, seperti kendaraan dan fasilitas nonfisik, seperti jasa.
Ditinjau dari sifat barangnya, benda-benda pendidikan dapat dibedakan menjadi
barang bergerak, seperti spidol dan buku pelajaran dan barang tidak bergerak,
seperti bangunan sekolah.
Sarana dan prasarana pendidikan harus direncanakan dan diusahakan
secara baik agar senantiasa siap pakai (ready for use) dalam proses belajar
mengajar (PBM). Kegiatan ini tercakup dalam bidang administrasi sarana
dan prasarana pendidikan (Gunawan, 1996: 116).
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Selanjutnya menurut Purwanto, dalam ruang lingkup administrasi
pendidikan mencakup pengelolaan dalam menggunakan atau memanfaatkan
fasilitas yang tersedia, baik personel, material, maupun spiritual, untuk
mencapai tujuan pendidikan secara efektif (Purwanto, 2002: 8). Dari uraian
di atas, dapat dikatakan fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
atau dimanfaatkan untuk memperlancar proses pencapaian tujuan belajar.
Pengertian Lingkungan Sekolah
Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, Stern mengungkapkan
manusia tumbuh dan berkembang dikarenakan menyatunya pengaruh
lingkungan dengan faktor genetiknya (Semiawan 1999: 127). Menurut para
ahli genetik , faktor genetik adalah segala potensi yang dibawa sejak lahir
yang menjadi modal utama bagi kemampuan dan kemajuan seseorang.
Adapun pengikut faktor lingkungan menyimpulkan lingkungan yang mampu
menghasilkan stimulasi dan nutrisi yang baik menjadi sebab utama dari
perkembangan dan perubahan seseorang yang disebut juga dengan kemajuan
dan perolehan. Sebaliknya, lingkungan yang miskin memudahkan anak
mendapat pengaruh yang negatif (Berndt, 1997: 102). Anastasi dan Urbina
(1988: 14) menyatakan lingkungan sebagai tempat, situasi, dan kondisi saat
anak melakukan tes juga dapat mempengaruhi hasil tes.
Menurut Semiawan lingkungan adalah segala sesuatu di luar diri individu
(eksternal) dan merupakan sumber informasi yang diperolehnya melalui panca
inderanya. Salah satu lingkungan yang terbukti sangat berperan dalam
pembentukan kepribadian murid adalah sekolah (Semiawan, 1999: 127).
Getzel dan Cuba berpendapat bahwa sekolah sebagai suatu sistem sosial
memiliki dua dimensi, yaitu dimensi institusional dan dimensi individual terdiri
dari orang-orang . Kedua dimensi ini berinteraksi dan menunjukkan dirinya
dalam bentuk perilaku sosial atau berpadu dalam tujuan-tujuan persekolahan
(Hamalik, 2003 : 22).
Menurut Soedijarto (2000: 46), sekolah sebagai pusat pembelajaran
yang bermakna dan sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan kemampuan,
nilai, sikap, watak, dan perilaku hanya dapat terjadi dengan kondisi infrastruktur,
tenaga kependidikan, sistem kurikulum, dan lingkungan yang sesuai.
Dalam kaitannya dengan pengembangan minat baca, pendapat lain
menyebutkan sekolah dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan minat
dan kegemaran membaca (Supriyanto, 1996: 1). Berdasarkan pendapat ini
sarana dan prasarana yang mendukung terwujudnya sekolah sebagai pusat
pengembangan minat baca wajib disediakan, seperti perpustakaan, bukubuku sekolah, program atau kegiatan-kegiatan membaca, dan waktu untuk
membaca.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
23
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Pendapat lain dari Semiawan (1999: 22) menyatakan sekolah sebagai
sarana pendidikan berfungsi juga sebagai lembaga untuk menyeleksi dan
memilih manusia yang berbakat, terampil dan mampu, sehingga masyarakat
berkembang ke arah kondisi yang bermanfaat (meritocracy), dan dapat
memenuhi kondisi masyarakat yang dipersiapkan untuk masa depan.
Dari berbagai pendapat dan teori di atas, disimpulkan lingkungan sekolah
adalah suatu tempat dengan iklim yang dikondisikan untuk belajar dan
mempersiapkan murid memenuhi perannya di masa sekarang dan masa
mendatang.
Pengertian Fasilitas Lingkungan Sekolah
Dalam evaluasi pendidikan, komponen fasilitas, media dan perpustakaan, serta
peralatan sekolah merupakan salah satu objek evaluasi. Menurut Worthen
dan Sanders, pengalaman pengguna pertama dengan objek yang akan
dievaluasi menjadi cara terbaik untuk memperoleh informasi yang akurat
tentang objek tersebut (Worthen & Sanders, 1987: 8). Oleh karena itu,
penelitian mengenai fasilitas lingkungan sekolah ini menjaring data dari
penilaian murid mengenai fasilitas lingkungan sekolahnya.
Oleh karena itu, disimpulkan definisi konseptual fasilitas lingkungan sekolah
dalam penelitian ini adalah penilaian murid mengenai sarana berupa
benda maupun non benda yang ada di lingkungan sekolah yang mencakup
ketersediaan, kelengkapan, kecukupan yang sesuai dengan kebutuhan murid,
kualitas pelayanan petugas, sampai aksesibilitas pemanfaatannya untuk
menumbuhkan, membina, dan meningkatkan kegiatan membaca.
Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia
Pengertian Keterampilan Dasar Membaca
Membaca adalah sebuah kemampuan yang diperlukan bagi orang yang mau
mencari informasi dari teks tertulis (Ahuja, 1999: 12). Membaca juga sebagai
salah satu alat untuk belajar (study skills) berbagai ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni. Membaca itu sendiri adalah satu dari empat kemampuan bahasa
pokok, dan merupakan satu bagian atau komponen dari komunikasi tulisan
(Tampubolon, 1987: 5).
Menurut Smith (1988: 24) keterampilan berbicara dan menulis termasuk
aspek produktif, sedangkan keterampilan mendengar dan membaca termasuk
aspek reseptif dari bahasa.
Broughton mengungkapkan dua aspek penting dalam membaca, yaitu:
(1) Keterampilan yang bersifat mekanis ( mechanical skills ) mencakup
pengenalan bentuk huruf sampai pengenalan hubungan/korespondensi
pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis atau “to
bark at print”) dalam kecepatan membaca taraf lambat.
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
(2) Keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang dapat
dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (higher order). Aspek ini
mencakup memahami pengertian sederhana sampai mengevaluasi atau
menilai isi dan bentuk bacaan dalam kecepatan membaca yang fleksibel,
yang mudah disesuaikan dengan keadaan (Tarigan, 1990: 11).
Adapun Chomsky memberikan istilah surface structure untuk mengenal
teks yang terlihat secara kasat mata dan deep structure untuk memahami
teks dengan melibatkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dari
pembaca (Weaver, 1994: 38).
Menurut ahli bahasa lainnya yaitu Tampubolon mengungkapkan bahwa
kemampuan membaca ialah kecepatan membaca (reading speed) dan
pemahaman isi secara keseluruhan (Tampubolon, 1987:7). Bond dan Tinker
merasa “Suatu definisi kecepatan membaca harus diartikan lagi sebagai
kecepatan memahami bahan-bahan tercetak dan tertulis.” Dengan demikian,
mengukur kecepatan membaca berarti mengukur kecepatan pemahaman
terhadap bahan yang dibaca ( Ahuja, 1999: 54).
Dari penjelasan di atas kiranya dapat dilihat bahwa istilah “kecepatan
membaca” sesungguhnya tidak sepenuhnya menggambarkan makna yang
sebenarnya. Oleh karena itu, istilah yang dipergunakan Tampubolon ialah
kemampuan membaca.
Menurut Huthcroft, kemampuan membaca anak ada tiga kategori, yaitu:
(1) Tingkat independen. Pada tingkat ini, anak dapat menguasai sedikitnya
90 % bahan yang dibaca. Tingkat ini digunakan untuk membaca penelitian
dan membaca kesenangan.
(2) Tingkat instruksi. Pada level ini pemahaman mencapai 75%. Tingkat ini
memberi kesempatan kepada guru untuk membangun keterampilan
berpikir dan kemampuan pemahaman anak.
(3) Tingkat frustrasi. Pengenalan kata hanya 90% atau kurang sehingga
mengakibatkan kegagalan memahami walaupun hanya setengah dari
bahan pelajaran.
Pembaca lambat cenderung tidak menyukai membaca sebab bagi mereka
kegiatan membaca memakan banyak waktu (Ahuja, 1999: 27). Oleh karena
itu, mereka sedikit membaca dan konsekuensinya tidak pernah cukup berlatih
untuk meningkatkan kegiatan membaca. Ini selanjutnya menambah masalah
karena mereka juga gagal menambah perbendaharaan kata mereka.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
keterampilan dasar membaca adalah kemampuan-kemampuan pokok yang
mencakup kemampuan mekanik ( surface structure ) dan kemampuan
pemahaman (deep structure) dalam waktu tertentu.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
25
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia
Keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia yang baku untuk sekolah
dasar telah dituangkan dalam kurikulum nasional mata pelajaran Bahasa
Indonesia.
Keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia adalah kemampuankemampuan pokok dalam memahami bahan-bahan bacaan tertulis atau
tercetak bahasa Indonesia yang mencakup kemampuan mekanik (surface
structure) dan kemampuan pemahaman (deep structure) dalam waktu
tertentu.
Karakteristik Murid SD
Piaget membagi perkembangan kognitif anak dan remaja dalam empat tingkat,
yaitu tingkat sensorimotor (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), operasional
kongkret (7-11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas), (Slavin,1997:
34).
Apabila dilihat dari rentang usia, anak SD berarti masuk pada tingkat
operasional kongkret yang dibuat oleh Piaget seperti tersebut di atas.
Menurut para pendidik dan ahli psikologi anak seperti Piaget dan Hurlock,
kelompok usia ini disebut kelompok usia sekolah dasar yang siap memperoleh
dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan
penyesuaian diri pada kehidupan dewasa.
Adapun jenjang SD dikelompokkan pada kelas rendah, yaitu kelas 1-3
dan kelas tinggi, yaitu kelas 4-6. Dalam penelitian ini dipilih murid SD kelas IV
karena dianggap murid kelas IV SD telah dapat membaca dengan lancar dan
dapat menjawab pertanyaan dalam angket.
Kerangka Berpikir
Minat baca adalah bentuk-bentuk perilaku yang terarah guna melakukan
kegiatan membaca yang dilakukan oleh seseorang dalam hal ini adalah murid
tanpa adanya suatu paksaan atau keharusan. Kegiatan membaca ini dilakukan
karena adanya pengaruh faktor internal dan eksternal yang membuat murid
senang melakukannya. Hubungan antara minat baca dan faktor-faktor internal
dan eksternal yang diduga mempunyai kontribusi dalam minat baca dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Hubungan antara
Penguatan (Reinforcement) Membaca dengan
Minat Baca
Minat baca bukanlah bentuk perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi hasil dari
usaha belajar. Sebagai kegiatan yang harus melewati tahap mempelajari
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
(bukan bawaan), dalam kegiatan membaca murid membutuhkan rangsangan
dan penguatan terhadap kegiatan membaca yang dilakukannya.
Pemberian penguatan ini menandakan adanya keberterimaan lingkungan
bahwa apa yang dilakukan murid positif dan mendapat dukungan sehingga
murid terdorong mengulang kembali perilaku positif tersebut.
Oleh karena itu, diduga ada hubungan positif antara penguatan
(reinforcement) membaca dengan minat baca yang dimiliki murid.
Hubungan antara Fasilitas Lingkungan Sekolah dengan Minat Baca
Membaca merupakan bagian dari proses belajar yang membangun
pemahaman dari teks yang tertulis. Ini berarti kegiatan membaca berkaitan
erat dengan bahan-bahan bacaan dan fasilitas lainnya yang menunjang
terlaksananya pemahaman.
Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ada hubungan positif antara fasilitas
lingkungan sekolah dengan minat baca yang dilakukan oleh muridnya.
Hubungan antara Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia
dengan Minat Baca
Menurut Hutchcroft (1981) kemampuan anak membaca yang rendah atau
pada tingkat frustrasi akan membuat masalah dalam pemahaman membaca.
Sebaliknya, anak yang mempunyai kemampuan dasar membaca tinggi
terpancing untuk terus mencari bahan bacaan yang menarik dan menantang
daya nalarnya.
Oleh sebab itu, diduga ada hubungan positif antara keterampilan dasar
membaca bahasa Indonesia dengan minat bacanya.
Hubungan antara Penguatan (Reinforcement) Membaca, Fasilitas
Lingkungan Sekolah, dan Keterampilan Dasar Membaca
Bahasa Indonesia dengan Minat Baca
Minat baca sebagai salah satu kegiatan belajar yang penting banyak berkaitan
dengan faktor lain. Sebagai kegiatan yang melibatkan proses psikis dan fisik,
kegiatan membaca yang dilakukan murid berhubungan dengan penguatan
Membaca dari pihak luar dirinya. Sebagai kegiatan yang menunjang kegiatan
belajar di sekolah, kegiatan membaca berhubungan dengan fasilitas lingkungan
sekolah yang menunjang terlaksananya kegiatan membaca. Sebagai kegiatan
yang berupaya memahami berbagai teks bacaan, kegiatan membaca berkaitan
dengan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, diduga ada hubungan positif antara penguatan
(reinforcemant) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan
dasar membaca bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan minat baca.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
27
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Hipotesis Penelitian
Dari hasil analisis teori di atas, ditarik kesimpulan teoretis yang juga menjadi
hipotesis penelitian sebagai berikut.
1. Terdapat hubungan positif antara penguatan (reinforcement) membaca
dengan minat baca.
2. Terdapat hubungan positif antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat
baca.
3. Terdapat hubungan positif antara keterampilan dasar membaca bahasa
Indonesia dengan minat baca.
4. Terdapat hubungan positif antara penguatan (reinforcement) membaca,
fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa
Indonesia dengan minat baca secara bersama-sama.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Pelaksanaan penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Kotamadya Jakarta Pusat
yang dipilih secara random.
Waktu pelaksanaan penelitian selama bulan Mei dan Juni 2003. Uji coba
instrumen dilaksanakan pada bulan Mei 2003.
Metode penelitian yang dipakai untuk menjelaskan hubungan antara
variabel penelitian adalah metode survai dengan menggunakan instrumen
kuesioner dan tes. Instrumen berbentuk kuesioner telah dikalibrasi, validitas
butir dihitung dengan rumus Product Moment, sedangkan koefisien reliabilitas
dihitung dengan rumus Alpha Cronbach. Instrumen tes dikalibrasi, validitas
butir dihitung dengan rumus Point Biserial, sedangkan koefisien reliabilitas
dihitung dengan rumus KR 20.
Data yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan menggunakan analisis
korelasi sederhana dan jamak serta regresi sederhana dan jamak setelah
terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji normalitas dengan
uji Lilliefors dan uji homogenitas dengan uji Bartlett. Konstelasi permasalahan
penelitian tergambar sebagai berikut:
X1
X2
Y
X3
28
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Keterangan:
X1 : Penguatan membaca
X2 : Fasilitas lingkungan sekolah
X3 : Keterampilan membaca bahasa Indonesia
Y
: Minat baca
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling.
Dari teknik ini, diperoleh 245 responden sebagai sampel dari 12 sekolah dasar
di empat kecamatan di Jakarta Pusat.
Hasil Penelitian
Kesimpulan, Implikasi, dan Saran
Kesimpulan
Setelah melakukan pengujian hipotesis, diperoleh kesimpulan penelitian
sebagai berikut:
Pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguatan
(reinforcement) membaca (X1) dengan minat baca (Y).
Kedua, terdapat hubungan positif yang signifikan antara fasilitas lingkungan
sekolah (X2) dengan minat baca (Y).
Ketiga, terdapat hubungan positif, tetapi tidak signifikan antara
keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia (X3) dengan minat baca (Y).
Menyikapi pengujian hipotesis yang ditolak secara statistik ini, penulis
mengkaji ulang metodologi dan kerangka teori yang telah disusun dan
menemukan beberapa hal yang menjelaskan kemungkinan sebab terhadap
hipotesis yang tidak terbukti ini.
Pertama bahwa keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia
mempunyai unsur waktu yang cukup penting atau diperhitungkan dalam
pelaksanaannya sedangkan minat baca sebaliknya hampir tidak mempersoalkan
waktu dalam membaca, bahkan mendorong murid untuk membaca pada
waktu-waktu luangnya. Di samping itu, minat baca mempunyai unsur perasaan
senang atau hampir senantiasa dalam keadaan tidak mengalami tekanan
eksternal yang mungkin tidak dimiliki dalam setiap tes seperti tes keterampilan
dasar membaca bahasa Indonesia. Oleh karenanya, mungkin sekali
keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia tidak mempunyai hubungan
langsung yang signifikan dengan minat baca.
Kedua, keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia adalah bagian
dari inteligensi berbahasa. Menurut Gardner dalam Berndt, inteligensi adalah
kemampuan menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai
atau berharga dalam sebuah budaya berbahasa. Sebagaimana diakui para
tokoh masyarakat maupun pakar pendidikan bahwa minat baca masyarakat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
29
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Indonesia rendah (Kompas, 6 Agustus 2003) dan ter­bukti juga dalam penelitian
ini bahwa minat baca murid SD di Jakarta Pusat termasuk klasifikasi sedang.
Ini mengindikasikan membaca belum dianggap sebagai hal yang berharga
atau bernilai di dalam budaya Indonesia sehingga tidak mendukung
berkembangnya keterampilan membaca ke arah minat baca.
Ketiga, keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia sebagai bagian
dari kemampuan bawaan pada tingkat sekolah dasar harus mendapat bantuan
dalam penggunaannya untuk mencapai tujuan mereka. Reformasi sekolah
yang diusulkan Gardner dalam Berndt adalah sekolah harus membantu murid
dari cara klasikal kepada bentuk yang lebih individual. Oleh karena itu,
keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia tidak akan berkorelasi dengan
minat baca jika lingkungan, khususnya guru tidak memiliki kemampuan untuk
membantu dalam meningkatkan keterampilan dasar membaca bahasa
Indonesia secara individu sehingga kedua variabel tersebut tidak berhubungan
langsung.
Keempat, minat baca berhubungan dengan pribadi seseorang oleh Hurlock
disebut identik dengan apa yang dibaca (Hurlock, 1983: 114). Oleh karena
itu, murid yang mempunyai keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia
tinggi, tetapi bahan bacaan yang tersedia tidak menyentuh pribadinya, murid
tidak tertarik untuk melakukan kegiatan membaca.
Kelima, minat baca adalah tingkat perasaan senang yang sangat kuat
dalam kegiatan membaca yang membutuhkan stimulus untuk mewujudkannya
menjadi suatu kebiasaan. Murid yand memiliki keterampilan dasar membaca
tinggi, tetapi tidak mendapat stimulus atau tidak dituntut untuk melakukan
kegiatan membaca setiap harinya, minat bacanya tidak akan bertambah tinggi.
Keenam, menurut Bandura (Slavin, 1997: 271), anak dapat belajar atau
berperilaku dengan melihat model (learning through modeling). Murid sekolah
dasar yang terampil membaca lebih mudah minat bacanya meningkat jika di
sekelilingnya banyak contoh melakukan kegiatan membaca. Kalau tidak ada
model membaca yang mau diikuti, murid mengalami kesulitan menjadi pecinta
kegiatan membaca.
Sebagai pembanding yang sangat dekat, dapat diperhatikan kembali
hubungan antara penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca
di atas yang terbukti berkorelasi sangat signifikan. Murid yang mendapat
penguatan (reinforcement) membaca akan meningkat pula minat bacanya.
Walaupun demikian, pendapat ini yang mengandung adanya intervensi variabel
lain antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat
baca perlu diteliti lebih lanjut.
Kesimpulan pengujian hipotesis keempat, terdapat hubungan positif yang
signifikan antara penguatan (reinforcement) membaca (X1) dan fasilitas
lingkungan sekolah (X2) dengan minat baca (Y).
30
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Implikasi
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah langkah-langkah meningkatkan
minat baca dengan jalan meningkatkan membaca dan fasilitas lingkungan
sekolah yang berhubungan dengan kegiatan membaca. Adapun langkahlangkah yang perlu diambil untuk meningkatkan minat baca secara rinci
disampaikan sebagai berikut:
Upaya Meningkatkan Penguatan (Reinforcement) Membaca
Penguatan yang setiap harinya diharapkan dari orang terdekat murid
adalah dari orang tua, guru, dan teman. Untuk itu, implikasi dari variabel ini
terutama kepada ketiga kelompok ini.
Untuk Orang Tua
Orang tua perlu menyadari bahwa minat baca murid sudah ada dan perlu
dipertahankan serta ditingkatkan. Berdasarkan hasil temuan penelitian,
peningkatan minat baca lebih dipengaruhi oleh pihak eksternal murid, seperti
penguatan kegiatan membaca dan pengadaan fasilitas lingkungan sekolah.
Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh, penyediaan fasilitas akan
lebih efektif apabila dibarengi dengan penyampaian penguatan membaca
kepada anak murid dan juga mengusahakan kerja sama dengan sekolah untuk
meningkatkan fasilitas lingkungan sekolah.
Adakalanya penguatan membutuhkan kompensasi material atau
nonmaterial, seperti hadiah berbentuk buku atau pergi mengantar ke pameran.
Untuk itu orang tua harus mengalokasikan dana dan waktu serta perhatian
guna meningkatkan minat baca anaknya melalui bentuk-bentuk penguatan
yang dipilih maupun mengarahkan anaknya untuk bergaul dengan anak yang
senang membaca.
Untuk Guru
Guru perlu menyadari bahwa penguatan membaca lebih besar pengaruhnya
terhadap peningkatan minat baca daripada fasilitas lingkungan sekolah dan
keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia. Guru juga perlu memberi
waktu khusus untuk membaca dan mendiskusikan bahan yang dibaca sehingga
murid terbiasa membaca dan menganggap membaca itu penting.
Di samping itu, guru dan sekolah perlu mempunyai bentuk-bentuk
penguatan yang tetap dan biaya murah sehingga murid merasa senang
mendapatkannya, khususnya dalam kegiatan membaca.
Untuk Teman
Murid adalah teman bagi temannya juga. Oleh karena itu, implikasi ini
ditujukan kepada murid yang juga berstatus teman.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
31
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Murid perlu bermain atau berkelompok dengan teman yang mau berkunjung
ke perpustakaan sekolah maupun lingkungan rumah secara rutin. Hal ini
dikarenakan anak yang tidak suka membaca akan sukar untuk menyampaikan
penguatan membaca kepada temannya.
Upaya Meningkatkan Fasilitas Lingkungan Sekolah
Kelengkapan fasilitas lingkungan sekolah terbukti mempunyai hubungan
yang dapat diperhitungkan dalam peningkatan minat baca murid SD. Walaupun
demikian, sekolah perlu menyadari juga bahwa fasilitas yang lengkap di atas
masih di bawah hubungan antara penguatan membaca dengan minat baca
murid. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh mengandalkan fasilitas lingkungan
sekolah saja tanpa memberi penguatan (reinforcement) membaca kepada
murid SD dalam memanfaatkan fasilitas yang sudah ada. Apabila tidak, akan
membawa pemborosan karena murid tidak terpancing memanfaatkan fasilitas
yang ada.
Mengingat minat baca sudah menjadi isu nasional, implikasi penelitian ini
dapat meluas ke tingkat nasional. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional pun harus lebih menggalakkan program-program dalam rangka
pengadaan bahan-bahan bacaan seperti lomba penulisan naskah bacaan,
pelatihan penulisan buku bacaan, penerjemahan buku-buku bacaan, pembelian
buku bacaan, sampai perlindungan hak cipta pengarang.
Saran
Dari kesimpulan dan implikasi yang telah dirumuskan, berikut ini
disampaikan beberapa saran bagi orang tua, sekolah, dan pemerintah.
Untuk Orang Tua
Dalam meningkatkan minat baca anak, orang tua tidak cukup hanya
memberikan fasilitas yang memadai. Yang lebih penting adalah memberikan
penguatan terhadap perilaku anak yang membaca.
Orang tua yang memberikan penguatan kepada anak berarti terlebih
dahulu memperhatikan perilaku anak membaca. Konsekuensinya, ada waktu
yang cukup untuk bisa melakukan atau memberikan penguatan yang tepat
kepada anak dalam melakukan kegiatan membaca.
Di lingkungan rumah, orang tua bisa membentuk klub membaca yang
pembimbingnya dapat bergantian dari orang tua itu sendiri karena memiliki
kepentingan yang sama dalam hal meningkatkan minat baca dan menciptakan
budaya baca di lingkungan masing-masing. Di sini, anak akan melihat orang
32
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
tua yang juga ikut membaca dan tidak hanya sebagai penyedia fasilitas dan
penguatan saja.
Selanjutnya, orang tua sebagai pendidik yang paling dekat dengan anak harus
mengarahkan anak agar menjalin pertemanan dengan mereka yang senang
sekali membaca.
Untuk Sekolah
Sekolah perlu bekerja sama secara aktif dengan orang tua dalam pengadaan
fasilitas lingkungan sekolah dan dalam tukar pengalaman akan kiat-kiat
meningkatkan minat baca atau ketentuan pemberian penguatan membaca
dari guru dan orang tua murid yang murid atau anaknya sudah tinggi minat
bacanya.
Dalam pengadaan fasilitas sekolah, orang tua dan sekolah harus
mempunyai kesepakatan yang sama untuk menyediakan terlebih dahulu
pengelola fasilitas dan fasilitatornya yang akan berperan sebagai pemberi
penguatan secara khusus kepada kegiatan membaca murid.
Kepala sekolah dan guru perlu membuat ketentuan pemberian penguatan
membaca yang jelas sehingga murid tertarik untuk berperilaku seperti yang
diharapkan. Misalnya, murid yang telah membuat ringkasan dari buku bacaan
diberi nilai tambah. Kepala sekolah dan guru juga perlu memrogramkan
berapa jumlah buku dan jenis apa saja yang harus dibaca dalam satu minggu,
satu bulan, atau satu tahun. Disamping itu, sekolah dapat bekerja sama dengan
penerbit untuk melakukan pameran buku secara rutin di sekolah dan
mengundang “orang sukses” dari masyarakat atau lembaga perbukuan sebagai
narasumber meningkatkan minat baca murid.
Untuk Pemerintah
Dalam memberikan penguatan, guru membutuhkan waktu dan tenaga untuk
memperhatikan secara khusus perilaku membaca murid. Oleh karena itu,
Pemerintah perlu menunjuk dan memberikan insentif khusus kepada guruguru yang secara sengaja memberikan penguatan membaca murid.
Di samping itu, melalui camat, lurah, RW dan RT perlu dihimbau agar
dengan swadaya masyarakat mengadakan perpustakaan lingkungan sekaligus
pengadaan pembimbingnya. Pembimbing harus tersedia dalam pengadaan
fasilitas membaca agar tidak terjadi pemborosan dalam pemanfaatan dan
pemeliharaan.
Agar tidak kalah dengan pengaruh media elektronik terhadap murid,
bentuk-bentuk perlombaan membaca perlu digalakan dari tingkat sekolah
sampai dengan tingkat nasional.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
33
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Daftar Pustaka
Aiken, Lewis R. (1994). Psychologycal testing and assessment. MA: Allyn and
Bacon
Ahuja, G.C. dan Pramila Ahuja. (1999). How to read effectively and efficiently.
New Delhi: Sterling Publishers
Anastasi, Anne & Susana Urbina. (1997). Psychological testing. 7th ed. NJ: PrenticeHall, Inc.
Axelrod, Saul. (1983). Behavior modification for the classroom teacher . USA:
McGraw-Hill, Inc.
Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional. (1992). Penerjemahan
buku. Hasil seminar sehari tentang penerjemahan buku. 20 Agustus 1992.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional. (1999). Pembinaan
perbukuan nasional, dua dasa warsa BPPBN 1978-1999. Jakarta
Badudu, J.S. (1993). Cakrawala bahasa Indonesia I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Berndt, Thomast J. (1997). Child development. Dubuque, USA: Brown & Benchmark
Biro Pusat Statistik. (1993). Statistik Indonesia 1993. Jakarta: CV Nasional
^
Hamalik. (2003). Perencanaan pengajaran berdasarkan pendekatan sistem
. Jakarta:
Bumi AksaraHopkins, Kenneth D. ; Stanley, J. C.; Hopkins, B. R. (1990).
Educational and psychological measurement and evaluation. Massachusetts:
Allyn & Bacon
Hurlock, E. B. (1983). Child development. New Delhi: McGraw-Hill
Hutchroft, Diana M.R. (1981). Making languange work. A Practical Approach to
Literacy for Teachers of 5-to 13-Year-Old Children. London: McGraw-Hill
MAM. ’’Buruk, penanganan anak jalanan,” Kompas, 26 Februari 2003
Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior modification: What It is and how to do it.
NJ: Prentice-Hall
Murwani, R. Santosa. Statistika terapan (Teknik analisis data). Jakarta: UNJ
NAR. ’’Kembangkan pendidikan inklusif dari tingkat taman kanak-kanak,’’ Kompas,
25 Februari 2003
Prayitno, E. (1989). Motivasi belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1985). Minat baca murid sekolah
dasar di Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Purwanto, Ngalim. (2002).Administrasi dan supervisi pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Semiawan, C. (1978). Lingkungan belajar yang mengundang suatu pendekatan
bermakna dalam meningkatkan perkembangan anak retardasi mental. Disertasi.
Jakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Slavin, Robert E. (1997). Educational psychology. Teory and practice. MA: Allyn &
34
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca
Bacon
Soedijarto. (2000). Pendidikan nasional sebagai wahana mencerdaskan kehidupan
bangsa dan membangun peradaban negara-bangsa (Sebuah usaha memahami
makna UUD’45). Jakarta:CINAPS
Soekarman & S.S. Wardaya (Ed.). (1992). Introduction to Asean librarianship.
school libraries. Jakarta: The Asean Committee on Culture and Information
Stiggins, R.J. Merril. (1994). Student centered classroom assesment. New York:
McMiller College Publishing Co.
Sudaryanto. ^(1996). Perpustakaan sekolah sebagai sarana pengembangan minat
dan kegemaran membaca murid. Disajikan pada Lokakarya Pengembangan
Minat Baca dan Kegemaran Membaca Murid Pendidikan Dasar
Sudjana. (1996). Metoda statistika. Bandung: Penerbit Tarsito
Supriyanto. (1996). Makalah sekolah sebagai pusat pengembangan minat dan
kegemaran membaca murid. Disajikan dalam Lokakarya “Pengembangan Minat
Baca dan Kegemaran Membaca Murid Pendidikan Dasar”, diselenggarakan
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Tengah
Tampubolon. D.P. (1987). Kemampuan membaca: Teknik membaca efektif dan
efisien. Bandung: Penerbit Angkasa
Tarigan, H.G. (1990). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung:
Penerbit Angkasa,
Wassman, Rose & Lee Ann Rinsky. (1993). Effective reading in a changing
world. New Jersey: Englewood Cliffs
Wiener, Harvey S. & Bazerman, Charles. (1991). Reading skill handbook. MA:
Houghton Mifflin,
Weaver, Constance. (1994). Reading process and practice. From sociopsycholinguistics to whole languange. USA: Portmouth, N Heinemann
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
35
Opini
Pendidikan
Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
Pendidikan Kristiani:
Konsep dan Aplikasinya
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe*)
Abstrak
onsep pendidikan pada umumnya dan termasuk konsep pendidikan
Kristen perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan
konsep pendidikan itu sendiri, serta tuntutan masyarakat. Bagaimana
pendidikan Kristen dapat berperan aktif dalam masyarakat yang
majemuk tanpa harus mengabaikan nilai-nilai Kristen yang diembannya
menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.
K
Kata kunci : Pendidikan kristiani, Lembaga Pendidikan Kristen, kesaksian
Abstract
Education concept in general, including the Christian education concept, needs
to be redefined in the line of the development of education concept itself and
the need of society. How should Christian educational institutions be able to
perform their tasks within the plural societies as in Indonesia without
compromising their Christian identity and values, are interesting to be discussed
further.
Apa yang Dimaksud dengan Pendidikan Kristiani?
Merumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan kristiani bukanlah hal
sederhana, lebih-lebih pada masa kini. Pada waktu lalu agaknya masih lebih
“mudah”. Saya masih ingat ketika untuk pertama kali saya memasuki Sekolah
Dasar (dahulu: Sekolah Rakyat), saya tidak kesulitan mengingatnya karena
sekolah yang saya masuki adalah sekolah milik gereja. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa pendidikan kristiani adalah pendidikan yang
diselenggarakan oleh gereja, yang di dalamnya prinsip-prinsip kristiani
diterapkan. Hal itu secara sangat jelas terlihat dalam penyampaian matapelajaran. Hampir setiap hari diberikan Pengetahuan Alkitab (dalam istilah
waktu itu: “Hikayat Suci”). Setiap pagi guru menyampaikan pengajaran ini
*) Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
dengan cara yang sangat menarik. Berbagai ceritera-ceritera Alkitab disajikan.
Tidak dapat disangkal, bahwa berkat pengajaran Alkitab seperti itu,
pengetahuan saya terhadap isi Alkitab menjadi kuat. Biasanya sebelum
kegiatan-kegiatan dimulai, diawali dengan kebaktian pagi, dan setelah kegiatan
selesai diakhiri dengan kebaktian penutup.
Sekolah ini, yang memang dibangun oleh Zending (Lembaga Pekabaran
Injil dari Negeri Belanda) mempunyai tujuan tidak hanya mencerdaskan murid (meskipun mata pelajaran yang diberikan sangat terbatas), tetapi juga
untuk menjadikan mereka Kristen. Memang berkat sekolah-sekolah seperti
ini, gereja bertumbuh dan berkembang. Boleh dikatakan hampir semua yang
mengikuti pendidikan ini kemudian menjadi anggota gereja. Konsep yang
melatarbelakangi pendidikan ini, sekolah adalah alat pekabaran Injil.
Di Negeri Belanda ada yang disebut “School met de Bijbel”. Kelihatannya,
dalam derajat tertentu, konsep sekolah macam ini ditiru juga di Indonesia.
Inilah sekolah yang menerapkan secara sengaja prinsip-prinsip Alkitab. Tentu
saja dalam perkembangan kemudian, cara ini mulai digugat. Apakah benar
cara ini masih relevan untuk dipertahankan? Atau, dengan mengingat
perkembangan yang begitu cepat, dan Negeri Belanda berada dalam proses
sekularisasi yang begitu cepat, sebaiknya ditinggalkan saja? Diskusi ini belum
selesai sampai sekarang.
Sekolah Sebagai Alat Pekabaran Injil?
Pertanyaan ini perlu diajukan kembali, bukan saja karena perkembangan
pemikiran yang ada sekarang ini mengenai pekabaran Injil, tetapi juga
mengingat kemajemukan masyarakat, yang di dalamnya sebuah sekolah Kristen
berada. Sejauh yang saya tahu, sekolah-sekolah Katolik misalnya tidak lagi
merumuskan keberadaan sekolah-sekolah mereka untuk mengkatolikkan
seseorang, tetapi untuk menjadikan seseorang itu sebagai manusia. Jadi,
sekolah bertujuan memanusiakan manusia. Agaknya pemahaman seperti ini
telah juga terdapat di dalam pengelolaan sekolah-sekolah Kristen.
Bahwa sekolah Kristen dianggap sebagai alat pekabaran Injil memang
tidak dapat disangkal. Mungkin juga dituntut oleh zamannya, terutama dalam
wilayah-wilayah yang dulunya disebut lapangan pekabaran Injil (zendingsveld).
Secara teologis, terlihat di sini bahwa diakonia disubordinasikan kepada
pemberitaan (kesaksian/ marturia). Dalam perkembangan kemudian,
kelihatannya hal ini sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Apa yang disebut
diakonia tidak perlu lagi ditempatkan di bawah marturia, karena diakonia itu
sendiri adalah pemberitaan. Artinya, tanpa mengatakan sesuatupun, kinerja
dari lembaga-lembaga itu sendiri telah merupakan pemberitaan. Apabila knierja
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
37
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
sebuah lembaga pendidikan Kristen baik, maka ia akan merupakan pemberitaan
baik. Sebaliknya kalau buruk, ia juga merupakan pemberitaan buruk.
Dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang di dalamnya sebagian besar
murid-muridnya bukan beragama Kristen, kemungkinan pemikiran kedua ini
sangat dianjurkan. Beberapa orang alumni dari sekolah-sekolah Kristen (yang
tidak beragama Kristen) memberikan kesaksian bahwa ketertarikan mereka
kepada sekolah-sekolah Kristen adalah karena disiplinnya yang sangat tinggi.
Orang-orang ini tetap menganut agama mereka semula. Mereka tidak beralih
menjadi Kristen. Namun mereka mengaku bahwa mereka sangat menikmati
pendidikan di dalam sekolah-sekolah Kristen yang bukan saja disiplinnya tinggi,
tetapi juga persekutuannya kuat. Malah mereka bisa menceriterakan, bahwa
ketika dalam pendidikan dulu mereka biasanya menyandang peranan-peranan
tertentu dari tokoh-tokoh Alkitab apabila ada perayaan Natal. Mereka bahkan
masih bisa menyanyikan nyanyian-nyanyian kristiani dengan sangat baik.
Dengan ilustrasi ini, saya mau mengatakan bahwa penyelenggaraan
pendidikan yang baik, yang membuat orang cerdas dan berdisiplin tinggi,
serta menguatkan persekutuan sudah merupakan kesaksian yang baik. Semua
proses belajar-mengajarpun seperti itu telah merupakan pekabaran yang
berbuah. Maka mestinya, secara verbalistis pengajaran agama tidak ada,
peniadaan itu tidak perlu menjadi pesoalan serius.
Undang Undang Sisdiknas
Ketika kita ramai-ramai menolak diundangkannya RUU Sisdiknas pada waktu
lalu, pertanyaannya adalah apanya yang ditolak? Pada waktu itu ada sebuah
pasal yang mengatur bahwa setiap anak mesti memperoleh pendidikan agama
dari pendidik (guru) yang seagama dengan si peserta didik. Selain itu,
berkenaan dengan sarana, ada tuntutan untuk membangun sarana-sarana
ibadah di dalam lembaga-lembaga pendidikan Kristen. Banyak orang
berpendapat, bahwa ketentuan seperti ini mencederai keunikan dari sebuah
pendidikan yang tidak diselenggarakan negara. Menurut hemat saya,
keberatan-keberatan seperti itu dapat dipahami. Namun, titik-beratnya
bukanlah di situ. Tititk berat penolakan adalah, bahwa RUU itu cenderung
memperlihatkan campur-tangan negara yang tidak proporsional dalam urusanurusan lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. Dengan seperti
itu, masyarakat cenderung terpasung kaki-tangan untuk melakukan berbagai
eksperimen dalam proses pendidikan. Selain itu, RUU itu sendiri mesti secara
jelas mendorong proses pendidikan, bukan proses beragama. Kalau
perjuangan seperti itu yang dikemukakan, RUU itu akan didukung, bukan saja
oleh orang-orang Kristen, tetapi juga oleh semua orang yang merasa perlu
38
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
menonjolkan peranan masyarakat dalam proses pendidikan. Sayang sekali,
bahwa berbagai unjuk-rasa telah menempatkan Kristen dan Islam dalam posisi
berhadap-hadapan. Di bebarapa tempat lalu ada semacam fatwa untuk tidak
memasukkan anak-anak muslim ke dalam sekolah-sekolah Kristen.
Mamasukkan anak-anak muslim ke dalam sekolah-sekolah Kristen dianggap
haram hukumnya.
Kita memang menyayangkan ketelanjuran-ketelanjuran seperti ini. Kita
berharap, sikap-sikap reaksi berlebihan seperti itu tidak akan terjadi lagi di
masa-masa mendatang. Tentu saja tetap merupakan tugas kita untuk terus
memantau dan menyikapi berbagai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
yang dijabarkan dari UU Sisdiknas tersebut. Agaknya kita masih bisa
berperanan, dalam kerjasama dengan saudara-saudara lain untuk
memperbaiki begitu banyak komponen dalam UU Sisdiknas itu.
Kinerja Sangat Penting
Apabila sebuah sekolah (lembaga pendidikan) Kristen memperbaiki kinerjanya,
maka pasti ia akan dicari. Orang akan berminat memasukinya. Tetapi kalau
kinerja buruk, sudah pasti akan ditinggalkan. Di Nusa Tenggara Timur, pernah
sekolah-sekolah Kristen menduduki tempat utama. Sayang sekali, akhir-akhir
ini peranan itu tidak lagi demikian. Bahkan lepas dari tangan. Di Pulau Alor
misalnya, pernah ada sekolah Kristen yang persentasi kelulusannya 0%. Di
Pulau Sumba, karena demikian buruknya pelayanan, sekolah-sekolah Kristen
dianjurkan untuk dinegerikan saja1. Ini lalu memicu diskusi yang tidak habishabisnya. Di Pulau Timor, keadaannya serupa. Bangunan-bangunan sekolahsekolah Kristenlah yang paling buruk. Kelihatannya gereja lebih mementingkan
membangun gedung-gedung gereja, daripada membangun gedung-gedung
sekolah. Dalam suatu percakapan dengan gereja dan lembaga-lembaga
pendidikan Kristen di Kupang saya pernah mengatakan: “… sibuk saja dengan
membangun monumen-monumen mati, dan melalaikan monumen-monumen
hidup. Akan tiba saatnya, ketika gedung-gedung gereja yang megah dan besar
itu selesai dibangun, lalu kosong melompong, karena kita melalaikan
pembangunan manusianya.”
Tentu saja yang saya maksudkan barulah mengenai keadaan fisik lembagalembaga pendidikan Kristen. Secara lebih mendalam kita mesti berbicara
mengenai isi dan suasana lembaga-lembaga tersebut. Pertanyaan mendasar
adalah, bagaimanakah isi sebuah lembaga pendidikan Kristen? Apakah ia unik
dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya? Dalam garis-garis
besarnya tentu saja tidak terlampau unik, sebab dalam hal kurikulum misalnya,
pasti akan diikuti kurikulum dasar yang ditetapkan negara mesti diterapkan di
mana-mana. Namun demikian, sesuatu yang unik mesti ada. Keunikan itu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
39
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
tidak saja terletak pada adanya matapelajaran agama Kristen (Hikayat Suci),
tetapi pada semua matapelajaran yang di dalamnya nilai-nilai kristiani tidak
diabaikan, bahkan bertolak dari nilai-nilai itu. Dapatkah misalnya, dalam sebuah
pelajaran biologi kita menemukan kebesaran Allah di dalamnya, meskipun
kita tidak harus menyebut nama Allah? Dapatkah dalam pelajaran matematika,
kita menemukan betapa Allah adalah seorang Matematikus Agung, yang
menempatkan alam semesta ini pada tempatnya yang tertentu, walaupun
tidak perlu nama Allah diucapkan? Dalam pelajaran sejarah, dapatkah kita
menemukan peranan Allah sebagai Tuhan sejarah, yang memimpin sejarah
sampai pada tujuannya? Maka bagaimana menyampaikan mata-pelajaran
seperti itu membutuhkan pergumulan yang tidak ringan. Tidak cukup kita hanya
berpegang pada garis-garis besar pelajaran yang telah ditetapkan. Setiap
pengajar harus mampu mengelaborasi pelajarannya dengan sebaik-baiknya
dengan memperdalam berbagai ilmu-ilmu lainnya, walaupun ilmu-ilmu itu
tidak harus seluruhnya diajarkan.
Selain isi mata-mata pelajaran, suasana sekolah sangat menentukan.
Apakah suasana sekolah adalah suasana kristiani? Yang dimasudkan bukan
saja bahwa ada doa, nyanyian puji-pujian dan sebagainya, tetapi terutama
berbagai hal yang berkaitan dengan penampilan etika dan moral. Bagaimana
dengan administrasi sekolah Kristen? Apakah lebih baik dari sekolah-sekolah
lainnya? Kalau di sekolah lain ada kecenderungan untuk menambah
(mengangkat) nilai rapor secara tidak patut, apakah juga dalam sekolahsekolah Kristen hal itu terjadi? Apakah relasi guru dan murid sungguh-sungguh
memperlihatkan relasi pastoral, sehingga yang terjadi adalah percakapanpercakapan pastoral dan bukan sekadar menghukum apabila ada murid yang
melanggar aturan?
Yang tidak kalah pentingnya adalah, apakah biaya pemeliharaan (gaji)
guru-guru cukup memadai, sehingga guru-guru sungguh mampu
berkonsentrasi dengan pekerjaan mereka? Kalau kepada guru-guru dituntut
untuk bekerja sungguh-sungguh, maka gaji mereka juga mesti diperbaiki.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat ditambahkan dengan mudahnya.
Pendeknya, penampilan sebuah sekolah Kristen mesti berbeda, bukan terutama
karena ada pengajaran agama Kristen di dalamnya, atau ada papan nama
berlabel Kristen, tetapi karena seluruh isi dan penampilannya memancarkan
nilai-nilai kristiani.
Tantangan yang Makin Berat
Menghadapi berbagai tantangan-tantangan di dalam masyarakat yang
berubah cepat, J.W.D. Smith, seorang ahli pendidikan di Inggris menegaskan,
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
bahwa pendidikan moral dan pendidikan agama memang perlu, namun tidak
bisa diisolasikan dari pola-pola kehidupan di dalam ruang kelas. Wawasan
yang dewasa, simpati yang mendalam adalah media, melalui hal ini
perkembangan kepribadian dimajukan. Ini semua merupakan media moral
dan agama yang sangat penting khususnya dalam tahun-tahun pertama
pendidikan. Tentu saja Smith berbicara mengenai pendidikan di Inggris, yang
mayoritas (nominal) penduduknya dianggap beragama Kristen, dan dengan
sendirinya pendidikan juga merupakan pendidikan kristiani. Tantangantantangan itu sangat berat sebab Inggris sedang berada dalam proses
sekularisasi, yang dalam banyak hal, langsung atau tidak langsung menafikan
ajaran-ajaran agama.
Bagaimana dengan di negeri kita? Walaupun negeri kita disebut negeri
yang religius, namun tantangannya tidak kalah beratnya. Justru karena disebut
beragama itu, lalu masalah-masalah yang dihadapi menjadi lebih berat. Kita
sebut misalnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan narkoba dan
pornografi yang telah telah menjadi persoalan besar, karena juga telah
memasuki lembaga-lembaga pendidikan. Kita membaca di surat-surat kabar,
bahwa ada oknum kepala sekolah yang melakukan pelecehan seksual terhadap
murid-muridnya. Ada juga murid-murid laki-laki memperkosa murid-murid
perempuan. Ini sangat menggelisahkan sebab yang melakukannya justru
masih di bawah umur. Konon kabarnya mereka terpengaruh oleh VCD porno
yang tersebar di mana-mana.
Bagaimana menanggulangi semua persoalan itu? Dapatkah pengajaran
agama saja yang menyelesaikannya? Menurut saya, tidak memadai. Tidak
cukup dengan memajukan pendidikan agama, lalu masalahnya selesai. Di
belakang dari berbagai persoalan yang kasat-mata, masih banyak faktor-faktor
lain yang ikut mempengaruhi. Ini mesti ditemukan. Bagaimana menerjemahkan
ini dalam pendidikan? Itu berarti, bahwa berbagai ilmu lain mesti dikonsultasi
apabila kita sungguh-sunguh mau menyelesaikan persoalan yang ada di dalam
masyarakat, dan yang secara khusus juga mengenai lembaga-lembaga
pendidikan kita. Selain itu berbagai lembaga lain di luar lembaga pendidikan
mesti diajak untuk ikut menanggulangi. Maka tindakan-tindakan yang diambil
oleh lembaga-lembaga pendidikan kristiani bukanlah sekadar tindakan yang
bersifat moralistis, tetapi yang memperkembangkan pemahaman dan
penghayatan moralitas yang menyeluruh dan dewasa. Sikap moralistis
cenderung sempit dan mengarah ke dalam, ke diri sendiri (self-oriented),
dan kadang-kadang bisa membawa kepada fanatisme buta dan
kecenderungan mencari kambing hitam dengan mempersalahkan pihak lain.
Memperkembangkan kedewasaan moralitas senantiasa berorientasi ke luar,
kepada masyarakat, dan bersifat membangun.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
41
Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya
Kalau lembaga-lembaga pendidikan kristiani benar-benar mau menjadi
teladan di dalam penyelenggaraan pendidikan, sikap dan perilaku yang lebih
dewasa dalam menghadapi berbagai persoalan-pesoalan sosial itu mesti
diperlihatkan.
Daftar Pustaka
J.W.D.Smith. (1969). Religious education in a secular setting. London: SCM
Press
Homrighausen, Dr. E,G dan Enklaar, Dr. I.H. (1996). Pendidikan agama Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia
Cully, Iris V. (1995). Dinamika pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
_______
1
Catatan pribadi penulis berdasarkan kunjungan ke daerah-daerah di Indonesia
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Opini
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
Tinjauan Kritis
Penerapan Pendidikan Kristiani
Djudjun Djaenudin Supriadi, S.Th*)
Abstrak
alam rangka merealisasikan missinya di bidang pendidikan, GKI SW
Jabar mendirikan sekolah Kristen yang bernaung dibawah Yayasan
BPK PENABUR. Untuk menopang keterpanggilan GKI SW Jabar dalam
Bidang Pendidikan ini, BPK PENABUR berupaya merumuskan
keterpanggilan tersebut dalam visi, misi, strategi dan program yang
sepenuhnya dijiwai oleh Nilai-Nilai Kristiani yang dianut GKI SW Jabar.
D
Kata kunci: Peranan gereja dalam pendidikan, pendidikan kristiani, visi dan
misi BPK PENABUR, program satu tahun.
Abstract
To perform its mission in the field of education, GKI SW Jabar established
Christian schools that are managed under a Foundation, named BPK PENABUR.
BPK PENABUR’s roles are reflected in its vission, mission, strategies and
programmes which are based on the Christian values confessed by GKI SW
Jabar.
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan yang bercirikan Kristen, mencari hubungan yang
konseptual dan hakiki antara predikat “Kristen” dengan “pendidikan” telah
menjadi pergumulan yang lama dan cukup mendalam. Pergumulan yang
mendalam itu karena sering dalam praktek pendidikan yang bercirikan kristiani
hanya memperlihatkan “Kristennya” sekedar atau label pengabsahan saja .
Predikat kristen dalam penyelenggara yang bercirikan kristiani sering juga
“kekristenannya” hanya sebagai “ baju” yang menempel pada tubuh, dan
bukan sebagai “jiwa” yang menjiwai atau menghidupi tubuh.
Untuk menguji pernyataan di atas maka dalam tulisan di bawah ini penulis
akan melakukan suatu tinjauan kritis terhadap peyelenggaraan pendidikan
*) Kepala Bidang Kerohanian BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
43
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
yang dilakukan di lingkungan BPK PENABUR. Penulis akan membatasi tinjauan
hanya pada aspek Visi dan Misi BPK PENABUR. Karena visi dan misi ini juga
tidak terlepas dari sejarah gereja tempat BPK PENABUR berada, maka dalam
tulisan ini penulis juga menguraikan keterlibatan gereja serta sikap gereja
terhadap pendidikan. Dari uraian ini penulis mengharapkan adanya konsep
pendidikan kristiani yang dapat terbaca secara jelas.
Gereja dan Keterlibatannya dalam Pendidikan
Sejak abad pertama, ketika gereja mulai ada, gereja telah menaruh perhatian
terhadap pendidikan. Hal ini dikatakan oleh Sherrill dalam bukunya The Rise
of Christian Education. Ia mengatakan bahwa gereja telah terlibat dalam
pendidikan sejak abad pertama. Pendidikan yang dilakukan oleh gereja yaitu
melakukan pengajaran yang identik dengan berkhotbah. Dalam pengajaran
tersebut yang diajarkan adalah tentang Injil.1 Sedangkan menurut dia gereja
terlibat dalam pendidikan di sekolah formal, baru dimulai sekitar tahun 633.2
Apa yang dikatakan Sherrill dikuatkan oleh Robert R Boehlke, ia mengatakan
bahwa Sekolah Katerdral-sekolah formal yang mungkin dimaksudkan- telah
dimulai sejak Konsili Toledo di Spanyol pada tahun 633. Dalam sekolah itu
dipelajari isi Alkitab, hukum gereja. Sarana sekolah tersebut kemudian
dipisahkan dengan fasilitas gereja, sehingga menjadi lembaga khusus
pendidikan.3
Di Indonesia keterlibatan gereja dalam bidang pendidikan telah dimulai
ketika bangsa Portugis tiba di pulau Ternate pada tahun 1518. Hal ini dilakukan
sesuai dengan perintah yang diberikan oleh raja kepada panglima ekspedisi
Portugis. Ia mendirikan sekolah di pantai Ternate sebagai sarana untuk
memberitakan Injil.4
Kebijakan ini terus dilakukan pada jaman V.O.C. Lalu V.O.C. bubar pada
akhir abad 18, dan pemeritahan penjajahan di Indonesia langsung di bawah
Belanda dengan mendirikan pemerintah baru Hindia Belanda. Pemerintah
Hindia Belanda kemudian memperbolehkan badan misi dan zending mendirikan
sekolah-sekolah swasta.5 NZV, salah satu badan misi dan zending, mendirikan
sekolah antara lain di Jawa Barat.6
Gereja Kristen Indonesia (SW) Jabar dan Pendidikan
Keterlibatan GKI (SW) JABAR dalam bidang pendidikan secara lebih serius
dan terencana dimulai tanggal 28 Mei 1948 Sinode GKI (SW) JABAR7 waktu
itu berkedudukan di Bandung, mengambil keputusan untuk membentuk suatu
panitia guna mengambil langkah-langkah konkret dalam melapangkan usahausaha mendirikan sekolah kembali,8 yang sempat terhenti pada masa
44
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942–1945. Usaha tersebut mendapat
sambutan sehingga sekolah-sekolah yang dikelola di bawah GKI berkembang
khususnya di kota Jakarta dan Bandung. Perlu diketahui walaupun sekolah itu
telah dikelola oleh GKI pada periode 1945 – 1949. Secara de vacto tanahtanah tempat sekolah itu berdiri masih milik badan zending NZV dari Belanda.
Sebagai akibat dari Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (1949)
pemerintah Belanda harus mengakhiri pemerintahan dan peranannya dalam
bidang lain di Indonesia. Di antaranya adalah peranan di bidang pengelolaan
sekolah. Khusus untuk sekolah-sekolah yang telah dikelola bersama dengan
GKI (SW) JABAR, maka NZV dan BP Sinode GKI (SW) JABAR (pada waktu itu
bernama BP Sinode THKTKHKH) membentuk Yayasan Pendidikan yang diberi
nama Badan Pendidikan Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee Djawa
Barat disingkat BP THKTKHKH Jabar. Asas Yayasan ini berdasarkan Firman
Tuhan yang termaktub dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
sesuai dengan pengakuan Iman Rasuli. Tujuan pendirian Yayasan ini adalah:
1. Bekerja di lapangan pendidikan Kristen Protestan dalam arti seluas-luasnya,
di daerah pekerjaan Gereja THKTKHKH Jawa Barat.
2. Melakukan pekerjaan tersebut terutama antara bangsa Tionghoa, akan
tetapi bilamana ternyata perlu dan mungkin bangsa lain pun terhisap
dalam tujuannya.
3. Akan mendirikan dan mengurus sekolah-sekolah, kursus-kursus dan
sebagainya.9
Pada tanggal 27 Januari 1967 Yayasan THKTKHKH dengan nomor akte 33
berubah nama menjadi Yayasan Badan Pendidikan Kristen Djawa Barat
(disingkat BPK Djabar) dan berkedudukan di Jakarta.
Dasar dan tujuan dari Yayasan ini tetap sama dengan menghilangkan tujuan
yang bersifat eksklusif yaitu pelayanan pendidikan untuk bangsa Tionghoa
berubah menjadi untuk bangsa Indonesia. Dengan tujuan lebih umum adalah
memberi pelayanan Kristen di bidang pendidikan dan pengajaran dalam arti
yang seluas-luasnya.10
Seiring dengan perkembangan pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh
yayasan ini bukan hanya di propinsi Jabar tetapi juga di DKI dan
Bandarlampung. Nama BPK Djabar dirasakan tidak cocok sehingga diperlukan
perubahan. Perubahan nama terjadi pada persidangan Majelis Sinode ke –
46 GKI (SW) JABAR. Nama BPK Djabar berubah menjadi BPK PENABUR.
Motivasi dan Tujuan Pendirian Sekolah
Jika kita melihat uraian di atas tentang keterlibatan GKI (SW) JABAR dalam
bidang pendidikan (sekolah) maka kita dapat menyimpulkan bahwa pertamatama gereja ini melakukan keterlibatan dalam bidang pendidikan sebagai upaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
45
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah yang terlantar karena kekalahan
pendudukan Jepang di Indonesia tanpa adanya landasan idiil yang jelas. Kita
hanya dapat melihat motivasi gereja ini dalam mendirikan sekolah setelah
berdirinya yayasan yang mengelola sekolah-sekolah yang ada dengan melihat
anggaran dasar yayasan. Misalnya dalam anggaran dasar yayasan disebutkan
sekolah didirikan sebagai tempat Firman Allah diwartakan.
Motivasi dan tujuan pendirian sekolah oleh GKI (SW) JABAR menjadi
lebih jelas ketika kita membaca makalah “Tugas Panggilan Gereja di Bidang
Pendidikan”, yang ditulis oleh Lukito Handoyo dalam lampiran Akta Keputusan
Persidangan Majelis Sinode Ke-42 Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat,
Binawarga, 19–22 November 198411 lampiran 5 “Tugas Panggilan Gereja di
bidang pendidikan”. Dalam lampiran tersebut ia mengatakan :
Kita bisa berpaling kepada salah satu Jemaat GKI yang tertua di Indramayu,
bahwa sekolah merupakan tempat pembibitan, tempat pembinaan, tempat
pelayanan dan kesaksian dan tempat pemberitaan Injil dalam bentuk konkrit
dan praktis…Sekolah Kristen bukan sekedar nama, tapi dimaksud sungguh
untuk menghembuskan nafas Kristiani pada segala tindakan kegiatan
pelayanannya.12
Pada uraian lain dalam makalah itu ia juga mengatakan:
Bagi gereja, sekolah bukan sekedar menambah orang-orang Kristen,
tapimenitik-beratkan pada kesadaran akan tugas panggilannya. Gereja
punya tanggungjawab untuk membangun manusia yang utuh melalui bidang
pendidikan. Bahkan gereja punya tanggungjawab untuk membentuk
manusia yang berkualitas tinggi. Dengan demikian gereja pun secara
langsung berperan serta membina dan membangun bangsa yang tinggi
ilmu dan tinggi moral.13
Dari kedua uraian di atas jelas bahwa jika GKI (SW) JABAR mendirikan
sekolah maka menurut penulis motivasi pendirian sekolah adalah dalam
kerangka merealisasikan tugas panggilan gereja untuk membentuk manusia
yang berkualitas tinggi. Untuk merealisasikan hal itu, persidangan Sinode
kemudian memberikan porsi dengan dibentuknya Sidang Seksi Edukasi yang
diagendakan dalam setiap Persidangan Majelis Sinode GKI (SW) JABAR.14
Visi dan Misi BPK PENABUR, Penerapannya di BPK
PENABUR Jakarta dan Kaitannya dengan Konsep
Pendidikan Kristiani
Telah disinggung di atas berdasarkan makalah yang dibawakan oleh Handoyo
Lukito dengan judul “”Tugas Panggilan Gereja di Bidang Pendidikan”, dalam
Persidangan Majelis Sinode ke-42 GKI Jawa Barat, penulis dapat menyimpulkan
bahwa GKI mendirikan sekolah di bawah pengelolaan Yayasan BPK PENABUR
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
dalam rangka merealisasikan panggilannya secara konkrit dalam dunia tempat
gereja berada. Dengan mendirikan sekolah gereja diharapkan berperan
membentuk manusia yang mempunyai ilmu dan moral yang tinggi.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana hal ini dikonkretkan?
Menurut penulis kita dapat menelusurinya yaitu melalui program-program
yang dilakukan oleh lembaga ini,15 terutama melalui Visi dan Misi dari yayasan
ini. Dalam bab ini penulis pertama-tama akan menguraikan apa yang
dimaksudkan pendidikan kristiani, visi dan misi BPK PENABUR, serta
perealisasiannya di lingkungan BPK PENABUR Jakarta.
Pendidikan Kristiani
Menurut Yudowibowo Poerwowidagdo, Pendidikan Kristen adalah untuk
membantu peserta didik agar dapat mengembangkan iman dan
pengetahuannya tentang Firman Tuhan Allah seperti yang termaktub dalam
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta pengetahuan dan
pengalamannya dalam kehidupan mereka sehari-hari di manapun berada.
Dengan demikian mereka dapat meangaktualisasikan diri sesuai dengan
maksud dan kehendak Tuhan Allah dalam penciptaan. Pendidikan Kristiani
meliputi tiga hal yaitu Alkitab, Gereja dan Dunia. Alkitab yang dimaksudkan
disini ialah Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara utuh
atau integral, dalam arti keduanya harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Gereja adalah persekutuan
orang yang telah dipanggil dan yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai
Juru Selamat dunia, yang merupakan tubuh Kristus yang universal, yaitu
persekutuan orang beriman kepada Yesus Kristus. Dunia dalam pengertian
disini sebagai bahan yang pokok dalam pendidikan kristiani meliputi kehidupan
manusia yang menyangkut ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan
sebagainya.16
Dari uraian ini menurut penulis pendidikan kristiani yang dimaksudkan
seperti di atas hanya dapat dilakukan jika pendidikan tersebut dikembalikan
dalam pangkuan gereja (baca: sinode). Hal ini senada dengan pendapat Robert
R. Boehlke, dalam makalah yang berjudul “Pendidikan Agama Kristen sebagai
Disiplin Ilmiah”, ia mengatakan :
“Gerakan pendidikan agama menghasilkan sumbangan yang tidak terharga
nilainya terhadap pelayanan yang mengembalikan pendidikan ke pangkuan
gereja. Di bawah pengaruhnya, departemen pendidikan didirikan oleh
sinode-sinode, dan jurusan pendidikan agama tidak asing lagi...”
Dari kutipan ini penulis dapat menyimpulkan yang dimaksudkan pendidikan
agama disini adalah pendidikan kristiani. Penulis menyetujui pendapat beliau
karena dalam gerejalah terdapat para ahli (teolog) yang mengerti tentang
pendidikan kristiani.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
47
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
Hanya saja karena pendidikan kristiani yang akan dilakukan adalah
pendidikan kristiani di sekolah-sekolah maka pendidikan kristiani tersebut bukan
hanya berdasarkan Alkitab, tetapi juga memperhatikan dan menggunakan
pendekatan ilmu-ilmu yang lain misalnya sosiologi, psikologi. Lebih jauh lagi
dalam praktiknya, pendidikan kristiani bisa bermacam-macam bentuknya
tergantung kepada visi dan misi sekolah/lembaga itu.
VISI dan MISI BPK PENABUR
Visi dan Misi BPK PENABUR dirumuskan pada tahun 2001 melalui rapat kerja
BPK PENABUR yang dilakukan Hotel Cipaku Indah Bandung,17. Rumusan
lengkap dari Visi dan Misi ini sebagai berikut:
Visi : Menjadi lembaga pendidikan unggul dalam iman, ilmu dan pelayanan
Misi : Mengembangkan potensi peserta didik secara optimal melalui pendidikan
dan pengajaran bermutu berdasarkan nilai-nilai Kristiani.18
Dalam penjelasan secara tertulis BPK PENABUR memahami Visi sebagai menjadi
seperti apa “kita” minimal 3 tahun yang akan datang. Dalam penjelasan yang
lebih terperinci “menjadi lembaga pendidikan Kristen” dimengerti sebagai:
“Adalah supaya ikut serta mencerdaskan bangsa dengan terang, seperti
sebatang lilin yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, tetapi ia memberi
diri menerangi dunia sekitar. Untuk itu seluruh komponen BPK PENABUR
harus berkinerja melayani sesama seperti teladan yang diberikan Yesus
Kristus: “karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan
untuk melayani..”19
Sedangkan Misi merupakan hal yang harus terus menerus dilakukan dalam
rangka mewujudkan misi.20
Lebih jauh penjelasan Misi ini sebagai berikut:
“Adalah upaya yang terus menerus dilakukan secara berkesinambungan untuk
mencapai tingkat keberhasilan tertinggi, dimulai dengan menelusuri bakat
dan minat peserta didik, menggali daya dalam bentuk diskusi, kepustakaan
(literature), maupun penelitian ilmiah (research) dengan penyediaan sarana
prasarana mutakhir sesuai perkembangan teknologi informatika, melalui proses
pengubahan sikap hidup dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan
manusia dengan cara mengajarkan iman, ilmu dan pelayanan dalam dasar
peneladanan budaya kepemimpinan yang melayani bercermin kepada Guru
Agung Yesus Kristus.”21
Untuk mencapai Visi dan Misi tersebut, BPK PENABUR membuat strategi dan
rencana induk. Di kalangan BPK PENABUR sendiri setelah adanya pencanangan
visi dan misi yang baru ini, dibuatlah sasaran yang akan dicapai dalam lima
48
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
tahun yang akan datang (dikenal dengan 5 years obyectives), yaitu meliputi
pencapaian dalam:22
1. Pendidikan dan lingkungan belajar mengajar : Guru.
2. Kurikulum (Sistem Pendidikan).
3. Sarana/prasarana.
4. Manajemen.
5. Citra
Kelima sasaran yang akan dicapai ini kemudian oleh BPK PENABUR Setempat, 23
dijabarkan dalam program-program yang dilakukan.
Seperti telah diuraikan dalam bagian pendahuluan, di bawah ini penulis
hanya akan membicarakan struktur organisasi dan program di lingkungan
BPK PENABUR Jakarta sebagai pengejawantahan Visi dan Misi BPK PENABUR,
5 Years Objectives dan program satu tahun di sekolah-sekolah dan kaitannya
dengan konsep Pendidikan Kristiani.
Struktur Organisasi BPK PENABUR Jakarta
Dalam buku panduan organisasi BPK PENABUR Jakarta mengenai struktur
organisasi dikatakan demikian:
Bentuk struktur organisasi BPK PENABUR Jakarta adalah jamak fungsional
yaitu suatu bentuk gabungan dari organisasi jamak dan fungsional.
Organisasisi seperti ini diartikan sebagai suatu organisasi yang memliki
wewenang di tangan sekelompok orang sebagai satu kesatuan (rapat
pleno) yang wewenang tersebut dilimpahkan kepada satuan-satuan yang
dibawahnya. 24
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam pengambilan keputusan, di
lingkungan BPK PENABUR Jakarta, berlaku keputusan yang istilahnya dikenal
dengan keputusan kolektif. Keputusan kolektif dilakukan oleh apa yang disebut
“pengurus”. Mereka adalah anggota-anggota jemaat di lingkungan GKI (SW)
JABAR dan merupakan utusan-utusan yang direkomendasikan oleh gereja
yang bersangkutan.25 Merekalah yang seacara kolektif membuat keputusan/
kebijakan. Keputusan/kebijakan kemudian dilaksanakan oleh tingkatan
pelaksana yaitu para karyawan, pegawai sekolah (guru dan kepala sekolah).
Pelaksana keputusan/kebijakan sehari-hari dilakukan pengurus harian.
Sedangan pelaksana kegiatan keseharian ditingkat pelaksana dilakukan
dibawah koordinasi Direktur Pelaksana dibantu Pejabat Struktural di bawahnya
(Kepala Divisi, Kepala Bagian dan Kepala Jenjang, Kepala Bidang).26
Program-Program
Pada dasarnya kita memahami bahwa program yang dilakukan adalah
penjabaran Visi dan Misi. Apalagi jika kita menelusuri dokumen yang ada,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
49
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
BPK PENABUR Jakarta menggunakan 5 Years Obyectives yang ditetapkan sebagai
dasar pembuatan program tahunan yang dikenal dengan sebutan Program
Satu Tahun (Prosata). Tetapi ketika penulis mencoba menelusuri dokumen
yang ada, hal itu tidak secara jelas dikatakan demikian. Dalam bagian pengantar
program kerja satu tahun hanya dikatakan bahwa “program tahunan adalah
penjabaran lebih rinci program-program beserta anggarannya pada satuan
kerja baik sekolah dan sekretariat BPK PENABUR Jakarta pada satu tahun ke
depan”. Program ini menjadi acuan kerja bagi setiap pimpinan dan jajarannya
dalam menjalankan tugas pada satu tahun ajaran”.27
Dari kutipan ini penulis menyimpulkan program yang dilakukan tidak secara
jelas merupakan penjabaran dari Visi dan Misi serta 5 Years Objectives. Tetapi
jika lebih meneliti program-program dari bagian dan bidang yang ada jelas bahwa
program tersebut ada keterkaitan antara Visi dan Misi serta 5 Years Objectives.
Sebagai contoh dalam 5 Years Objectives tentang “pendidikan dan
lingkungan belajar mengajar: “Guru” dikatakan bahwa “selambatnya 1 Juli
2007 kebutuhan guru di seluruh sekolah BPK PENABUR terpenuhi 100% sesuai
dengan bidang keahlian, telah memiliki akta mengajar dan berkepribadian
sebagai guru BPK PENABUR.”28 Untuk mencapai hal itu maka pada tahun 2004
ada target program yaitu: “Minimal 25% guru SMP dan SMA BPK PENABUR
mempunyai akta IV dan berkarakter Kristiani”.
Adanya kata “berkepribadian” dan “berkarakter Kristiani” jelas merupakan
dua kata yang secara tidak langsung diambil dari Visi dalam bidang iman dan
pelayanan dan juga penerapan Misi BPK PENABUR dalam penerapan
pendidikan kristiani.
Bagaimana penjabaran “berkepribadian” dan “berkarakter Kristiani” dalam
program-progam di Lingkungan BPK PENABUR Jakarta terlihat?
Dari penelusuran yang ada, penjabaran ini dilakukan melalui program yang
dikelola dan diarahkan melalui tahun tema pelayanan, program Bidang
Kerohanian dan program kerja sekolah-sekolah. Dalam Bidang Kerohanian
misalnya melalui program:
1. Pengembangan Citra BPK PENABUR Jakarta melalui penerapan N2K.
2. Pembinaan Kerohanian para guru PAK untuk membaharui komitmen dan
motivasi bekerja, sebagai guru PAK di lingkungan BPK PENABUR Jakarta.
Sedangkan melalui program kerja di sekolah penelitian dilakukan pada program
kerja tahun 2004-2005. Dari hasil penelitian program kerja di sekolah-sekolah
penjabaran visi dan misi dalam bidang iman dan pelayanan dinyatakan dalam
bentuk program yang mencakup kegiatan yang bersifat ke dalam bentuk
peningkatan iman pribadi, persekutuan seperti: kebaktian, retret dan juga
kegiatan yang bersifat pelayanan keluar dalam bentuk bakti sosial, orang tua
asuh.
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
Pendidikan Kristiani yang Menjawab Tantangan Zaman
Jika kita melihat tulisan di atas, penjabaran Visi dan Misi BPK PENABUR,
struktur organisasi dan program-progam yang dilakukan oleh BPK PENABUR
Jakarta dapat disimpulkan bahwa usaha untuk menyelenggarakan pendidikan
kristiani telah dilakukan. Usaha itu dalam tingkat sinodal dilakukan melalui
keputusan-keputusan yang mendukung dan memberi perhatian kepada dunia
pendidikan. Dalam tingkat penyelenggara pendidikan (yayasan) hal itu dilakukan
baik melalui rumusan visi dan misi, struktur organisasi maupun programprogram yang dilakukan.
Dan menurut penulis selain penjabaran pendidikan kristiani melakui visi
dan misi, guru seperti apa yang diharapkan, perlu dikembangkan konsep
pendidikan kristiani yang lainnya seperti kurkulum yang mendukung pendidikan
kristiani yang diinginkan, gaya pembelajaran yang harus dilakukan, isi dari
pendidikan kristiani yang siap dioperasionalkan. Hal-hal di atas tidak bisa
dilakukan secara parsial tetapi harus secara keseluruhan. Sebagai contoh
yang sangat sederhana jika nilai-nilai kristiani dalam Visi dan Misi BPK PENABUR
menjadi tujuan dan nampak dalam kehidupan BPK PENABUR maka kita harus
menyepakati dan menemukan terlebih dahulu nilai-nilai Kristiani yang
dimaksudkan.29 Untuk lebih mempercepat agar Pendidikan Kristiani terealisasi
maka penulis mengusulkan agar BPK PENABUR menggunakan nilai-nilai Kristiani
yang telah dikembangkan oleh BPK PENABUR Jakarta sebagai acauan dasar.
Nilai-nilai Kristiani ini telah dilengkapi dengan materi ajar untuk siswa dan
guru. Setelah hal ini disepakati maka kita dapat merancang sistem, guru, dan
kurikulum yang mendukung pendidikan kristiani yang dimaksud.
_________
1
2
3
4
5
6
7
Sherrill, Lewis Yoseph. 1960).The rise of christian education . New York: The
Macmillen Company
Ibid., 250
Boehlke, Rober R, Ph.D. (1991). Sejarah perkembangan pikiran dan praktek
Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato sampai I.G. Loyola. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 194
Boehlke, Rober R, Ph.d., Sejarah perkembangan pikiran dan praktek Pendidikan
Agama Kristen –Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di
Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 763.
Ibid., 763 – 764.
Pessy S.M.C. drs, dkk. (1992). BPK PENABUR KPS JAKARTA: Kelahiran,
Perkembangan, Sasaran. Jakarta: BPK PENABUR KPS Jakarta, 3
Pada tahun 1948 Sinode GKI (SW) JABAR masih memakai nama Sinode Tiong
hoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee (THKTKHKH) Jawa Barat. Perubahan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
51
Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani
nama dari Sinode THKTKHKH menjadi GKI Jabar (tanpa SW) terjadi pada
Sidang Sionode di Cirebon 29 September – 2 Oktober 1958.
8
Pessy. Op.Cit. , 3
9
Ibid., 7.
10
Ibid., 9.
11
Handoyo Lukito, “Tugas Panggilan Gereja di Bidang Pendidikan”,
Lampiran 5 Akta Keputusan Persidangan Majelis Sinode Ke-42 Gereja Kristen
Indonesia Jawa Barat, (Binawarga, 19– 22 November 1984), 19
12
Ibid., 20.
13
Ibid, 22
14
Contoh Edukasi mendapat porsi yang penting adalah dalam persidangan Majelis
Sinode ke 42 GKI (SW) JABAR yang dilaksanakan pada tanggal 19– 22 November 1984, bertempat di Binawarga, Cipayung. Dalam persidangan ini
dibahas secara khusus makalah tentang “Tugas Panggilan Gereja di bidang
Pendidikan”.
15
Penelitian program akan dilakukan secara khusus program BPK PENABUR JAKARTA,
dengan memperhatikan program dasar BPK PENABUR
16
Poerwodidagdo, Judowibowo. (2003). Pendidikan Hak Asasi Manusia dalam
Pendidikan Agama Kristen, dalam Ajar Mereka Melakukan . Jakarta: BPK
Gunung Mulia, p. 112 – 113.
17
Kumpulan notula-notula Temu Karya Perumusan Kembali Visi dan Misi BPK
PENABUR.
18
Ibid.
19
Memahami Visi dan Misi BPK PENABUR , sebuah penjelasan .
20
Ibid., 9
21
Ibid., 8
22
Guidelines 5 Years Objectives, BPK PENABUR.
23
Yayasan BPK PENABUR mempunyai cabang-cabang di daerah yang bergerak di
bidang pendidikan, cabang-cabang ini dikenal dengan BPK PENABUR Setempat
dan penamaannya berdasarkan kota pelayanan sebagai contoh BPK PENABUR
Jakarta.
24
BPK PENABUR Jakarta, Panduan Organisasi BPK PENABUR Jakarta, 2003., 3.
25
Ibid 4.
26
Ibid., 4. Struktur Oganisasi dari lembaga ini dapat kita lihat dalam lampiran 2
laporan ini.
27
Program Kerja Satu Tahun, tahun ajaran 2003 -2004.
28
Opcit. 21, Pendidikan dan Lingkungan Mengajar : Guru
29
Kita dapat menggunakan nilai-nilai Kristiani yang telah dilakukan dan dijalankan di
BPK PENABUR Jakarta yaitu : (1) Nilai diri berdasarkan Kristus, (2) Pengendalian
diri dan kedisiplinan, (3) Keberanian, (4) Kejujuran, (5) Kerendahan hati, (6)
Cinta kasih, (7) Kepedulian , (8) Tanggung jawab, (9) Kebaikan hati, (10)
Kebijaksanaan, (11) Keadilan, (12) Damai.
52
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Opini
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
Konsep Pendidikan Formal
dengan Muatan Budaya Multikultural
Prof. Dr. Sutjipto*)
Pengantar
endidikan formal atau lebih dikenal dengan sistem persekolahan,
mempunyai peranan yang amat menentukan perkembangan potensi
manusia secara maksimal, sehingga manusia itu memiliki ketajaman
response terhadap lingkungannya, ketrampilan, intelektual, sehat dan
berkehidupan yang baik, koperatif, mempunyai motivasi yang tinggi untuk
berprestasi, mampu berkompetisi, toleran, dapat menghargai pendapat orang
lain, dan mampu mencapai kebahagiaan hidup. Peranan persekolahan dalam
pembentukan kepribadian manusia ini belum dapat digantikan oleh sistem
yang lain, meskipun pada tahun delapanpuluhan pernah ada pemikiran bahwa
sekolah tidak lagi diperlukan masyarakat (deschoolling society).
P
Kultur
Meskipun perkembangan manusia itu berlangsung secara individual, namun
manusia bukanlah atom yang self-contained (World Commission on Culture
and Development, 1995). Perkembangan yang dicapainya adalah hasil
kerjasama, kompetisi dan bentuk interaksi lainnya dengan manusia lain dan
lingkungannya. Pada saat berinteraksi itu, ia tidak berada dalam ruang yang
kosong, tetapi berada dalam suatu kultur. Kultur sendiri memang sulit
didefinisikan, namun tidak dapat disangkal bahwa ia berfungsi sebagai
katalisator pembentukan kepribadian manusia itu, dan sekaligus menjadi tujuan
kehidupan suatu masyarakat. Barangkali apa yang dijelaskan oleh Schein
(1992) dapat menolong memahami pengertian kultur tersebut. Menurut Schein,
ada beberapa hal yang berhubungan dengan konsep kultur, yaitu:
(a). regularitas prilaku manusia jika ia berinteraksi dengan yang lain, yang
meliputi bahasa yang dipergunakan, kebiasaan dan tradisi, ritual yang
dilakukan;
(b). norma kelompok, yaitu standar dan nilai yang berkembang dalam suatu
*) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
53
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
kelompok;
nilai yang ingin dicapai oleh suatu kelompok dan diketahui umum;
filosofi atau keyakinan yang dianut oleh suatu komunitas;
aturan main, yang harus diikuti oleh anggota komunitas itu;
iklim, yaitu apa yang dirasakan bersama tentang lingkungan dimana
seseorang berada;
(g). ketrampilan yang melekat yang diwariskan kepada generasi muda;
(h). kebiasaan berpkir, model mental dan/atau paradigma linguistik, yang
merupakan kerangka kognitif yang dirasakan sebagai acuan dalam
membangun persepsi, berpikir dan bahasa yang dipakai kelompok;
(i). shared meaning, yaitu munculnya pengertian yang diciptakan oleh
kelompok pada saat mereka berinteraksi satu sama lain, dan
(j). akar metafora (root metaphors) atau integrasi simbol, yaitu ide, perasaan,
dan citra kelompok yang dikembangkan sebagai ciri kelompok itu yang
dapat atau tidak diapresiasi secara sadar, namun melekat dalam berbagai
karya seperti bangunan, layout kantor dan artifak lainnya.
Schein juga mengatakan bahwa sembilan konsep tersebut memang
berkaitan dengan kultur, merefleksikan bagaimana kelompok menanggapi
sesuatu tetapi bukan kultur itu sendiri. Dikatakan kultur, jika ada dua elemen
yaitu:(1) structural stability dalam kelompok, yang tidak hanya di shared, tetapi
merupakan sesuatu yang stabil dan mendalam, dan (2) proses berpolanya
atau terintegrasinya elemen-elemen itu ke dalam paradigma atau gestalt yang
lebih besar yang terbentuk dalam lapisan kejiwaan yang lebih mendalam, di
antara anggota-anggota kelompok itu. Ada pernyataan Schein yang perlu
dikutip, sehubungan dengan kultur terutama dalam kaitannya dengan suatu
proses belajar. Ia mengatakan sebagai berikut:
The most useful way to think about culture is to view it as the accumulated
shared learning of a given group, covering behavioral, emotional, and
cognitive elements of the group members’ total psychological functioning.
For shared learning to occur, there must be a history of shared experience,
which in turn implies some stability of membership in the group. Given
such stability and shared history, the human need for parsimony,
consistency, and meaning will cause the various shared elements to form
into patterns that eventually can be called culture (p.10).
Kutipan itu menunjukkan bahwa kultur adalah suatu proses yang di satu
pihak stabil, tetapi juga di lain pihak selalu berkembang sesuai dengan akuisisi
dari suatu proses shared learning.
Jika digunakan konsep kultur sebagai proses belajar yang menuntut
keterlibatan psikologis yang total dan intensif para pelakunya, maka pendidikan
(c).
(d).
(e).
(f).
54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
multikultural merupakan proses kulturalisasi tentang multikultural. Jika
diperhatikan pula bahwa kultur adalah shared meaning akibat interaksi dengan
lingkungan, pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah proses pembentukan
kultur multikultural. Sejak anak lahir, ia bersosialisasi dengan lingkungannya.
Jika ia menangis, maka orang tuanya mengerti apa artinya tangisan itu. Ia
makin berkembang, dan dalam keluarga itu ia belajar bagaimana berbagi
perasaan dan arti dengan ibu, bapak, saudara, nenek yang kemudian
berkembang ke sanak saudara dan tetangga dan masyarakat yang makin
lama makin luas, sehingga masuk kepada budaya dunia (global culture). Ia
harus secara cerdas mengakomodasi nilai-nilai yang terterpa (exposed)
kepadanya, sehingga terbentuk kulturnya melalui proses internalisasi nilai
itu. Pendidikan formal kemudian ikut memberikan andil dalam proses
pembentukan kultur itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan formal adalah
bagian dari proses pembentukan budaya multikultural. Masalahnya adalah,
apa pelaku pendidikan (shareholders) menyadari tentang masalah ini, dan
secara sengaja dan sistematik membangun suasana sehingga terjadi proses
pendidikan multikultural itu dapat berlangsung, dan lembaga pendidikan tidak
hanya bermuatan tetapi merupakan ajang pendidikan multikultural.
Pendidikan Multikultural
Adalah sangat penting di dalam proses membangun budaya multikultural dalam
sistem persekolahan ini untuk memperhatikan apa yang dikemukakan oleh
Komisi Dunia untuk Kebudayaan dan Pembangunan Unesco (1995):
A multi-cultural country can reap great benefits from its pluralism, but
also runs the risk of cultural conflicts. It is here that government policy is
important. Governments cannot determine a people’s culture; indeed,
they are partly determined by it. But they can influence it for better or
worse and in so doing affect the path of development (p.25)
Mengingat bahwa peranan kebijaksanaan pendidikan sekarang berada di
daerah, maka resiko pendidikan multikultural ini dapat terjadi, apabila menjadi
overdone. Pendidikan multikultural mengakui perbedaan dan mendorong
perbedaan ini tetap ada. Namun pelestarian perbedaan dapat menyempit,
mengeraskan dan membentuk apa yang disebut dengan cult of ethnicity, yang
dapat mengakibatkan bahasa mengalami balkanisasi. Mungkin saja pendapat
ini berlebihan tetapi peringatan yang demikian juga perlu kita pertimbangkan.
Sebenarnya pendidikan multikultural sudah lama ada. Di Amerikan gerakan
pendidikan ini telah dimulai sejak tahun 60-an, karena mereka menyadari
bahwa bangsa Amerika mempunyai unsur dari berbagai sukubangsa di dunia.
Namun demikian debat tentang pendidikan ini juga masih berlangsung sampai
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
55
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
sekarang. Para penentang pendidikan multikultural berargumentasi bahwa
hanya konsep negara bangsa yang netral yang dapat menjamin kebebasan
individual, kesamaan (equality), dan hak persamaan warganegara. Menurut
mereka pendidikan multikultural merupakan pendekatan yang mengganti
universalisme dengan partikularisme yang memunculkan kesukuan dalam
relisme pendidikan kewarganegaraan. Akomodasi multikulturalisme dapat
membawa akibat balkanisasi. (Lihat May, 1999). Para pendukung tentu saja
berargumentasi, bahwa pada realitasnya budaya merupakan hal yang dapat
memperkaya kehidupan, dan pengakuan budaya tersebut merupakan bagian
dari kehidupan demokrasi sehingga perlu dikembangkan sikap toleransi, saling
menghargai dan memahami sehingga terjadi kehidupan damai tanpa konflik.
Komisi dunia untuk Kebudayaan dan Pembangunan, menyebut perlunya
diciptakan global ethics yang didasarkan atas elemen-elemen (1) hak azazi
manusia dan tanggungjawab, (2) demokrasi dan elemen masyarakat madani,
(3) perlindungan terhadap golongan minoritas, (4) komitmen terhadap
pemecahan konflik secara damai, (5) kesamaan dalam dan antara generasi.
Ini merupakan bagian dari komitmen terhadap pluralisme.
Dalam era otonomi daerah, sistem persekolahan mempunyai otonomi
yang lebih besar. Pendidikan yang bermuatan multikultural tidak mungkin dapat
dicapai dengan kurikulum yang mengandalkan kompetensi yang dapat diukur
semata-mata dan didasarkan atas standar nasional yang kaku, lebih-lebih
dengan sistem yang sentralistik. Sekolah harus berfungsi sebagai lembaga
pembudayaan, dalam pengertian menjadi lembaga yang dapat menyediakan
kesempatan dan fasilitas untuk terjadinya proses pembudayaan yang dinamik.
Ini memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift) bagi para guru dan
terutama pengambil kebijaksanaan pendidikan. Pendidikan multikultural
bertujuan memperluas bukan hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda,
tetapi lebih jauh dari itu adalah mengembangkan mutual respect. Pelaksanaan
konsep ini memerlukan dikembangkannya pengalaman kelompok yang
dibangun dengan memeprhatikan pemahaman yang pada gilirannya menjadi
sikap yang relatif stabil dan konsisten. Culture formation, therefore, is always,
by definition, a striving toward patterning and integration (Schein, 1992).
Sudah barang tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan
yang harus menjadi perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan
bahwa belajar bukan hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga
terjadi secara internal pada aras abstrak, misalnya pada keyakinan terhadap
asumsi dasar perilaku itu.
Manajemen berbasis sekolah memberikan kesempatan yang lebih besar
untuk mengakomodasi pendidikan multikultural, dalam perspektif filsafat
nasional. Hal ini dapat dicapai melalui tahap pemberdayaan sekolah dan perlu
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
diberikan waktu untuk belajar, termasuk membuat kesalahan. Karena kultur
menyangkut asumsi yang menjadi dasar nilai, tujuan dan strategi yang
kemudian terlihat dari artifaknya baik fisik maupun perilaku, maka pemahaman
dan internalisasi nilai multikultural itu menjadi amat penting, dan bukan hanya
menyangkut masalah kurikulum. Sebagai wahana pengembangan, kurikulum
memang penting, tetapi perlu diingat bahwa hal itu hanya merupakan sebagian
dari dari upaya menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural.
Orangtua, kepala sekolah, guru, bangunan fisik sekolah, proses belajar
mengajar, perlakuan terhadap murid, kesempatan terlibat dalam kegiatan
kelompok, belajar melakukan perbandingan dari berbagai macam kultur dalam
bentuk shared learning adalah contoh beberapa perangkat untuk menciptakan
pendidikan yang bermuatan multikultural. Pendidikan multikultural berarti juga
pengembangan kreativitas yang merupakan faktor yang sangat penting dalam
pendidikan. Orang tidak akan kreatif dalam situasi yang kaku, dan penuh
komando, tetapi akan berkembang jika mereka merasa aman. Sekolah harus
menjadi tempat yang menyenangkan untuk berinteraksi sebagai bagian dari
group learning untuk membangun kultur. Pembangunan kultur multikultural
inilah yang harus menjadi bagian penting dalam manajemen sekolah.
Penutup
Kultur multikultural memerlukan proses belajar dan sosialisasi yang terusmenerus. Apa yang perlu dikembangkan adalah kultur untuk menjadi proactive
problem solver, mencari kebenaran dengan membuka jawaban terhadap
masalah, memahami bahwa nilai tidak selalu hitam-putih, bahwa kepercayaan
(trust) adalah nilai yang amat penting dalam kehidupan yang beragam, bahwa
informasi untuk mengambil keputusan harus mengalir tanpa hambatan melalui
berbagai macam keterhubungan dalam suatu jaringan kerja.
Dilihat dari manajemen sistem pendidikan, perlu dicatat, bahwa diperlukan
guideline untuk para pengambil kebijaksanaan tentang pelaksanaan
kebijaksanaan pendidikan yang bermuatan multikultural. Namun yang lebih
penting adalah praktek manajeman itu sendiri. Respek terhadap budaya etnik,
terhadap putra daerah lain, terhadap kreativitas guru dan murid,
mengembangkan dialog dalam memecahkan konflik, tidak mengandalkan
orientasi komando dalam manajemen, adalah beberapa contoh bagaimana
manajemen pendidikan seharusnya dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Delors, Jacques. (1998). Learning: The treasure within. Unesco Publishing,
May, Stephen. Critical Multiculturalisme and Cultural Difference: AvoidJurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
57
Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural
ing Essentialism. In Stepen May (Ed.) (1999). Crittical multiculturalism:
Rethingking multicultural and antiracist education. Philadelphia: Palmer
Press
Schein, Edgar H. Organizational culture and leadership. (1992). San Francisco: Jossey-Bass Publishers
Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa
depan dan transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grassindo,
UNDP, Human Development report 2004: Cultural libery in today’s world. New
York: UNDP 2004
World Commision on Culture and Development. Our creative diversity. Unesco,
1995
58
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Opini
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
Mengembangkan Penalaran
dalam Pendidikan
Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo*)
“The goal of education
is to create men who are …
creative, inventive, and discoverers.”
(Piaget 1964:5)
Pengantar
ulisan ini merupakan upaya untuk menyoroti ihwal pengembangan
penalaran dalam pendidikan melalui refleksi dengan mengamati
bagaimana anak belajar bahasa, bagaimana perilaku bertanya pada
anak prasekolah dan anak sekolah, bagaimana bernalar dengan
bertanya, dan bagaimana menumbuhkan suasana bertanya di dalam kelas.
T
Bagaimana Anak Belajar Bahasa
Pernahkah mengamati bagaimana anak (entah anak sendiri, anak tetangga,
atau keponakan) belajar bahasa ibu atau bahasa pertama? Begitu cepatnya
mereka belajar bahasa. Dalam usia sekitar satu tahun mereka sudah
mengeluarkan kata-kata pertamanya. Dalam waktu dua tahun mereka sudah
dapat berkata-kata mendekati atau mirip kaum dewasa di sekitarnya.
Mengapa mereka dapat begitu cepat menguasai bahasa ibunya? Apakah
itu karena ibu-ibu di seluruh dunia begitu rapi menyiapkan “pelajaran bahasa”,
dari pelajaran satu ke pelajaran berikutnya? Apakah itu karena ibu-ibu
menyiapkan bahan ajar secara sistematis? Sesungguhnya tidak ada yang –
secara khusus – ”mengajar” anak berbahasa. Mereka bergumul dan bertualang
sendiri dengan bahasa. Mereka berpusing-pusing sendiri, jatuh bangun sampai
berkali-kali, berbuat kesalahan bermacam-macam sampai menjadi bahan
tertawa kaum dewasa di sekitarnya.
Mereka adalah penjelajah yang kreatif, penelusur seluk-beluk yang serba
baru, penggali temuan-temuan baru. Hampir seluruh waktunya pada masa
*) Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
59
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
prasekolah mereka curahkan semata-mata untuk bergelut dengan bahasa.
Itu mereka lakukan tanpa mengenal lelah, tanpa peduli berapa kesalahan
telah mereka buat. Mereka mencoba terus dan berulang-ulang – tanpa takut
salah - sampai mereka akhirnya dapat berbahasa persis seperti bagaimana
kaum dewasa di sekitarnya bertutur.
Dalam belajar bahasa itu, mereka tidaklah meniru, mereka belajar bahasa
tidak dengan menirukan kaum dewasa di sekitarnya. Mereka memang
mendengarkan dan memperhatikan tetapi – dalam perjalanan untuk sampai
pada kemampuan berbicara – mereka adalah pemelajar yang kreatif. Mereka
bukanlah seperti burung beo yang belajar bahasa manusia. Kalau beo, apa
yang keluar dari mulut sang pengajarnya itulah yang ditirukan persis oleh si
burung beo. Anak manusia lain dengan burung beo. Semua anak di seluruh
dunia tidak belajar bahasa ibunya seperti burung beo belajar bahasa manusia.
Bukti bahwa seorang anak tidak sekadar meniru kaum dewasa dalam
belajar bahasa ialah bahwa – sebelum dapat berkata-kata seperti kaum dewasa
– mereka dalam proses belajar bahasa pasti melalui proses jatuh bangun,
berbuat kesalahan dalam berbahasa. Berbuat salah bukanlah tanda kebodohan.
Berbuat salah adalah bukti bahwa anak melakukan usaha dan kerja keras di
dalam proses belajar. Burung beo tidak mengalami berbuat kesalahan dalam
belajar bahasa manusia. Kalau kita ajari mengucapkan kalimat, dengan kita
coba ucapkan berkali-kali di depannya, pada akhirnya, setelah berkali-kali
mendengarkan, si burung beo – tanpa melalui proses berbuat kesalahan –
akan dapat persis menirukan kalimat yang kita latihkan secara berkali-kali itu.
Akan tetapi, tidak ada anak di seluruh dunia yang tidak mengalami berbuat
kesalahan di dalam proses belajar bahasa. Kesalahan bukan tanda kebodohan.
Kesalahan adalah tanda atau bukti bahwa anak bertindak kreatif. Mereka
berkarya, mereka menciptakan dalam proses perjalanan yang panjang. Mereka
bukan makhluk peniru. Mereka bukan robot. Mereka adalah makhluk kreatif.
Berikut ini sekadar ilustrasi dari apa yang dipaparkan di atas, bagaimana
anak sesungguhnya tidak meniru dalam proses belajar bahasa; anak belajar
bahasa tidak seperti burung beo. Dialog ini diambil dari hasil penelitian McNeill
1966 (sebagaimana dikutip oleh Bernstein dan Tiegerman).1
Child:
Nobody don’t like me.
Mother: No, say, “Nobody likes me.”
Child:
Nobody don’t like me.
Mother: No, say, “Nobody likes me.”
Child:
Nobody don’t like me.
[Sesudah mengulang dialog ini sampai tujuh kali, dan tidak berhasil juga
membuat anaknya berkalimat dengan benar, akhirnya sang ibu berkata:]
60
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
Mother: No! Now listen carefully! Say, “Nobody … likes …me!”
Child:
Oh! Nobody don’t likes me.
Sebagaimana terlihat dari dialog antara anak dan ibu di atas, anak tidak
dapat dipaksa untuk meniru. Proses belajar bahasa adalah proses kreatif.
Anak akan mencari jalan sendiri untuk sampai ke taraf penguasaan bahasa
yang – pada akhirnya – sama dengan kaum dewasa di sekitarnya.
Bukti lain bahwa anak adalah pemelajar kreatif, bahwa anak tidak sekadar
meniru dapat dilihat dari keponakan penulis, usia dua tahun, ketika diajar
menghitung di atas bilangan dua puluh. Ia bisa mengatakan “dua puluh satu”,
“dua puluh dua”, dst, tetapi ketika sudah melewati hitungan “dua puluh
sembilan”, ia melanjutkannya dengan “dua puluh sepuluh”. Meskipun diminta
menirukan “tiga puluh” sebagai ganti “dua puluh sepuluh” anak itu bersiteguh
tetap pada “caranya sendiri”.
Apa yang dilakukannya merupakan hasil “penalaran” pada tahap usianya
itu. Akan tiba saatnya, dalam perkembangan tahap penalarannya, ia akan seperti kaum dewasa – mengucapkan angka “tiga puluh”. Inilah perbedaan
mendasar dengan si burung beo. Burung beo, karena hanya mengandalkan
diri pada kemampuan meniru, hanyalah dapat mengucapkan kalimat-kalimat
yang dilatihkan itu saja. Jumlah kalimat yang dapat diucapkannyapun sangat
terbatas, yaitu hanya pada yang pernah diajarkan kepadanya. Beo tidak akan
dapat menghasilkan kalimat selain yang dilatihkan dan yang ditirukannya itu.
Lain halnya dengan anak manusia. Karena tidak mengandalkan pada
kemampuan meniru, tetapi pada daya kreatifnya, seorang anak akan mampu
membuat kalimat bahkan kalimat yang belum pernah diucapkan oleh kaum
dewasa. Oleh karena itu, kita paling suka mendengarkan rangkaian kata-kata
yang diucapkan oleh anak-anak pada usia prasekolah. Banyak kalimatnya yang
aneh-aneh tetapi lucu sehingga menjadi hiburan yang tiada habisnya bagi
kaum dewasa.
Jadi, dalam proses belajar bahasa secara terus-menerus anak berkreasi
menciptakan kalimat-kalimat baru, entah itu hasilnya dapat diterima dan
dianggap aneh serta mengundang tawa, jika dibandingkan dengan “bahasa
kaum dewasa”. Atau, oleh kaum dewasa kalimatnya tidak dapat diterima dan
dikatakan sebagai kalimat yang salah, seperti kalimat “Nobody likes me.”
pada dialog di atas.
Anak pada usia seperti yang terdapat pada dialog di atas memang belum
saatnya untuk mampu mengatakan “Nobody likes me.” Betapa pun keras usaha
kaum dewasa untuk mengarahkan, bahkan untuk memaksanya sekalipun, anak
tidak akan dapat sampai ke taraf itu. Akan tiba saatnya, saat kematangan
anak (dalam belajar bahasa) dalam jenjang usia berikutnya untuk akhirnya
dapat dengan sendirinya, secara benar, dapat mengatakan “Nobody likes me.”
Proses yang sama akan dilalui oleh anak, menangani sendiri kesalahanJurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
61
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
kesalahan lain dalam proses belajar bahasa. Akhirnya, pada usia sekitar lima
tahun, anak akan sampai pada penguasaan bahasa – ragam lisan – yang
setara dengan tingkat dewasa. Pada saat itulah saatnya anak siap untuk masuk
sekolah, tempat anak mengalami proses belajar bahasa berikutnyayaitu:
belajar ragam tulis.
Bagaimana Perilaku Bertanya pada Anak Prasekolah
dan Anak Sekolah
Yang juga menonjol pada anak usia prasekolah ialah kesukaannya untuk terus
bertanya. Begitu anak mulai dapat merangkai kata-kata menjadi kalimat dan
dapat menghasilkan kalimat tanya, maka anak akan tak henti-hentinya dan
tak bosan-bosannya bertanya. Mereka suka mengajukan pertanyaan karena
dorongan rasa ingin tahu mereka. Tidak hanya satu atau dua pertanyaan
yang terlontar. Pertanyaan mereka mengalir beruntun tiada habis-habisnya.
Tidak jarang kaum dewasa merasa kewalahan menghadapi bertubi-tubinya
rentetan pertanyaan anak.
Anak-anak secara alami adalah jago bertanya. Mereka suka bertanya.
Dengan begitu saja dan dengan sendirinya, tanpa diminta, mereka mengajukan
pertanyaan. Kalau sudah mulai bertanya, sukar mereka dihentikan sebelum
mereka berhasil memperoleh jawaban yang mereka inginkan. Mereka
memburu dan mengejar jawaban dari kaum dewasa, yang mereka anggap
menguasai.
Akan tetapi, bagaimana dengan anak-anak sekolah? Banyak di antara
mereka yang tidak lagi fasih bertanya. Mereka pun tidak lagi suka bertanya.
Dari anak yang semula tak henti-hentinya bertanya, setelah mengenyam
pendidikan di sekolah, mereka jadi berhenti bertanya. Mereka kehilangan
kemampuan alaminya sebagai penanya yang aktif.
Apa gerangan yang menjadi penyebabnya? Mengapa mereka yang sebelum
bersekolah adalah jago bertanya, setelah mengenyam pendidikan sekolah,
justru hilang keterampilan mereka bertanya. Apakah sekolah merupakan tempat
yang tidak mengembangkan keterampilan bertanya, bahkan tempat yang
memasung keterampilan itu?
Kita lihat saja kegiatan apa yang lazim dilakukan oleh guru, misalnya,
pada pelajaran membaca. Setelah siswa selesai membaca sebuah teks bacaan,
apa kegiatan berikutnya? Guru memeriksa sampai di mana siswa memahami
isi teks bacaan. Dengan cara apa? Rentetan pertanyaan disodorkan oleh guru.
Guru bertanya, siswa menjawab.
Pada pelajaran membaca, kegiatan untuk menguji pemahaman siswa
akan isi sebuah teks, mengapa hanya dilakukan melalui pertanyaan, oleh guru?
Mengajukan pertanyaan juga dapat dipakai sebagai alat uji untuk mengetahui
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
sampai di mana pemahaman siswa terhadap isi teks bacaan. Guru dapat
menguji pemahaam siswa dengan mengajukan pertanyaan tentang isi teks
bacaan. Dari pertanyaan yang diajukan siswa tersirat seberapa jauh atau
dalam siswa memahami isi teks. Tanpa memahami isi teks, sulit kiranya bagi
siswa untuk mengajukan pertanyaan.
Tidak hanya dalam kegiatan membaca saja hal seperti ini terjadi. Di dalam
kelas, juga untuk mata pelajaran yang lain, siapa yang paling banyak
melakukan kegiatan bertanya? Guru, bukan siswa. Alhasil, guru makin diasah
untuk menjadi jago bertanya, dengan konsekuensi siswa tertutup peluangnya
untuk bertanya. Kesempatan yang diberikan kepada siswa adalah menjawab
pertanyaan. Maka tidak mengherankan apabila keterampilan siswa dalam
bertanya menjadi tumpul dari waktu ke waktu, dalam perjalanan belajar di
sekolah.
Padahal, dengan bertanyalah penalaran dapat berkembang, sebagaimana
yang dikatakan oleh Albert Einstein, “Yang penting adalah janganlah sampai
berhenti bertanya”. Dengan bertanya, siswa mengejar perolehan pengetahuan
baru.
Maka sangatlah memprihatinkan bagi dunia pendidikan apabila sampai
terjadi bahwa ada guru yang menjadi penyebab siswa berhenti bertanya,
penyebab siswa tidak berani bertanya. Bagaimanakah guru yang seperti itu?
Dia adalah guru yang merasa terusik, yang tidak menerima atau menyambut
baik pertanyaan siswa (karena dianggap mengganggu proses guru menjelaskan
sesuatu), guru yang menganggap pertanyaan siswa sebagai sesuatu yang
menghambat proses belajar-mengajar, guru yang memperlakukan siswa yang
banyak bertanya sebagai si tukang bikin ribut.
Bagaimana Bernalar dengan Bertanya
Siswa bukanlah ember kosong yang menunggu untuk dituangi dengan curahan
pengetahuan dari guru. Proses pendidikan perlu membebaskan dari pandangan
seperti ini. Perlu dibuang jauh-jauh pandangan bahwa “mengajar” adalah
kegiatan proses mengalihkan pengetahuan dari guru ke pada siswa. Siswa
bukanlah peserta belajar yang pasif. Siswa masuk ke dalam kegiatan belajar
dengan pengetahuan, gagasan, dan pemahaman yang sudah terbentuk di
dalam dirinya. Pengetahuan lama ini merupakan fondasi bagi pengetahuan
baru yang akan mereka ciptakan.
Siswa membangun pengetahuan baru bagi dirinya. Peranan guru adalah
membimbing, memandu, menyarankan, dan memberikan keleluasaan bagi
siswa untuk bereksperimen, mengajukan pertanyaan, mencoba-coba sendiri
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
63
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
hal-hal yang belum dapat mereka pecahkan. Apabila mereka berhadapan
dengan informasi baru, ada tiga hal yang dapat terjadi.2 Pertama, informasi
baru itu, apabila cocok atau sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, akan
ditanamkan di dalam perbendaharaan pengetahuan mereka. Kedua, apabila
informasi baru itu tidak cocok atau sesuai dengan pengetahuan sebelumnya,
mereka dapat melakukan dua pilihan: mengubah pemahaman mereka akan
pengetahuan lama agar sesuai dengan informasi baru. Atau, informasi baru
itu ditolak, tidak diserap, dibiarkan mengambang, menunggu sampai ada
informasi baru lain lagi di masa mendatang untuk dibandingkan lagi dengan
pengetahuan yang sudah terbangun di dalam dirinya.
Siswa adalah peserta yang aktif dalam proses belajar-mengajar. Siswa
aktif dalam men - ”dialog” - kan pengetahuan yang telah ia dibangunnya dan
informasi baru yang dihadapi. Akan tetapi, mereka perlu juga diajak aktif
untuk berinteraksi dengan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas.
Pendidikan adalah sebuah dialog antara siswa dan guru. Bukan monolog.3
Seandainya itu berupa monolog, apa lalu peranan guru? Kalau begitu, cukup
bagi siswa membeli buku teks saja, lalu membaca serta belajar sendiri. Siswa
datang ke kelas, berhadapan dengan guru supaya terjadi komunikasi dua
arah.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh siswa di depan kelas, bagi guru, akan
merupakan dua masukan yang berharga. Pertama, pertanyaan mencerminkan
bahwa siswa memahami apa yang diutarakan oleh guru. Kedua, pertanyaan
memperlihatkan bahwa siswa menggunakan daya nalar mereka. Mereka
bertanya karena mereka memikirkan apa yang diuraikan oleh guru. Proses
memahami dan berpikir ini akan ditumbuhkan dalam dialog, dalam tanya jawab
antara siswa dan guru. Tambahan pula, pertanyaan dari siswa dapat juga
memberikan sumbangan bagi guru untuk mengetahui apakah ihwal yang sudah
dicoba dijelaskan atau diuraikan itu benar-benar dapat ditangkap oleh siswa.
Atau, masih diperlukan uraian yang lebih panjang atau tambahan contoh lain
untuk memperjelas.
Bagaimana Menumbuhkan Suasana Bertanya
di Dalam Kelas4
Siswa tidak akan terpancing atau tergerak untuk bertanya apabila guru di
depan kelas hanya menyuarakan, “Ada pertanyaaan?” Pertanyaan guru ini
lazimnya akan dijawab dengan sikap diam siswa.
Guru perlu menumbuhkan suasana yang dapat menimbulkan pertanyaan
di kelas. Teknik terpenting yang harus diterapkan oleh guru, agar tumbuh
suasana bertanya di kelas, ialah cara guru menjawab pertanyaan sedemikian
rupa sehingga dapat ditangkap oleh siswa bahwa jawaban guru terdengar
enak di telinga. Jika sampai terjadi ada pertanyaan sama yang sampai diajukan
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
tiga kali oleh tiga siswa yang berbeda pun, guru harus tetap memberikan
jawaban yang keempat kalinya dengan nada suara yang sama semangatnya
dan enak kedengarannya dengan jawaban (sama) yang telah ia sampaikan
sebelumnya. Setiap kali itu pula guru, seraya menguraikan jawaban yang
isinya sama, dapat menambahkan contoh baru yang lain.
Bisa jadi siswa yang mengulang pertanyaan sama yang telah diajukan
temannya itu memang pikirannya sedang melayang, atau ia barangkali sedang
sibuk mencatat sehingga tidak mendengar pertanyaan temannya. Akan tetapi,
pada umumnya – dan ini yang sering tidak disadari oleh banyak guru – kalau
siswa sampai menanyakan lagi sesuatu yang sudah ditanyakan oleh temannya
sebelumnya, itu karena mereka tidak dapat memahami apa yang telah
dijelaskan oleh guru.
Hambatan negatif bagi siswa untuk bertanya adalah keengganan mereka
karena khawatir dianggap bodoh bila mengajukan pertanyaan. Mereka
cenderung merasa bodoh dengan bertanya. Mereka akan tambah merasa
bodoh lagi apabila guru dalam menjawab pertanyaan membuat si penanya
tampak bodoh di depan teman-temannya. Tak seorang pun yang mau
mengakui bahwa dirinya tidak tahu dan ini hal yang manusiawi. Kalau sampai
guru memberikan kesan bahwa ia merendahkan si penanya, atau membuat
mereka merasa bodoh, atau menyiratkan bahwa bertanya hanyalah
membuang-buang waktu saja, siswa tidak akan tergerak untuk bertanya.
Akibatnya, kelas akan berkembang menjadi suatu monolog, bukan dialog.
Berikut ini beberapa di antara cara yang disarankan oleh Marshall Brain
untuk menumbuhkan siswa bertanya.5
a. Tunjukkan pada siswa yang sedang bertanya bahwa pertanyaan yang
diajukan itu merupakan sumbangan yang berharga bagi proses belajarmengajar yang sedang berlangsung, misalnya, dengan mengatakan
“Pertanyaan yang bagus!”
b. Berikan sela waktu di tengah-tengah guru mengajar, saat hening karena
guru sedang tidak mengatakan apa-apa di kelas, misalnya, dengan
membuka-buka buku catatan atau menjatuhkan pensil atau menghapus
papan tulis, sehingga pada waktu sela itu siswa dapat melontarkan
pertanyaan.
c. Jangan sampai menghina, sekalipun itu berupa sindiran yang sangat halus,
pada waktu guru mengucapkan jawaban.
d. Mintalah siswa untuk menuliskan satu hal (saja) yang tidak mereka pahami
selama di kelas, lalu ini dijadikan bahan ajar yang pertama-tama dibahas
pada pertemuan berikutnya. Ini akan menyadarkan siswa bahwa setiap
siswa memiliki pertanyaan dan secara bertahap mereka akan tergerak
untuk mengajukan pertanyaan secara lisan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
65
Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan
e. Sodorkan sebuah masalah, tuliskan di papan tulis, lalu minta siswa untuk
memikirkan pemecahannya, dengan menuliskan itu di dalam catatan
mereka. Kalau guru suka memberikan contoh-contoh pemecahan kepada
siswa, mereka tidak beroleh kesempatan untuk mencoba sendiri
memecahkan persoalan. Kalau mereka mencoba sendiri dan sampai pada
jalan buntu dalam memecahkan persoalan, mereka akan terdorong untuk
mengajukan pertanyaan.
Penutup
Bertanya, yang dengan mudah dan begitu saja dapat dilakukan oleh anakanak sebelum masuk ke sekolah, bagi kebanyakan di antara siswa di bangku
sekolah, termasuk yang sudah duduk di perguruan tinggi, merupakan sesuatu
yang sulit untuk dilakukan. Orang yang bertanya lazimnya dianggap orang
yang tidak tahu, bahkan orang yang bodoh; padahal, hanya orang yang
memahami persoalannya dan orang yang berpikir yang dapat mengajukan
pertanyaaan.
Bertanya merupakan keterampilan dasar bagi seseorang yang menuntut
ilmu. Karena ada orang-orang yang tidak henti-hentinya bertanya, maka kita
memiliki orang sekaliber Einstein atau Archimedes. Tantangan bagi pendidikan
adalah menciptakan suasana yang dapat menumbuhkan semangat bertanya
di dalam kelas sehingga kelas menjadi kegiatan yang bukan monolog,
melainkan dialog, ajang komunikasi dua arah. Melalui tanya-jawab terjadilah
olah pikir dan berkembanglah penalaran siswa yang terlibat di dalam kegiatan
itu.
_________
1
2
3
4
5
Deena K. Bernstein dan Ellenmoris Tiegerman. (1985). Language and communication disorders in Children. (Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company, 1985), hlm. 76.
Ini pandangan konstruktivisme di dalam pendidikan.
Marshall Brain (1998) “Emphasis on teaching: The importance of questions .”
http://www.bygpub.com/eot/eot2.htm
Ibid.
Ibid.
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Opini
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Penerapan Multiple Intelligences
dalam Sistem Pembelajaran
Handy Susanto, S.Psi*)
Abstrak
ola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika
dan bahasa dalam proses pembelajaran di kelas sudah waktunya
diubah dengan kecerdasan majemuk yang pada dasarnya adalah
sinergi dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan
kecerdasan spiritual (SQ). Diharapkan penerapan konsep kecerdasan majemuk
dalam pembelajaran akan meningkatkan kemampuan siswa belajar.
P
Kata kunci: Kecerdasan, pembelajaran, siswa
Abstract
The traditional concept which focus only to the logical ability and language
ability in learning process, need to be changed with the multiple intelegences.
Infact, the muliple intelegences itselfs is the development or the sinergizer of
the Intelectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), and Spiritual Quotient
(SQ). It is hoped that the application of the Multiple Intelegences in the learning
process will improve the student’s ability in learning.
Pendahuluan
Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun
orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar
dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat
akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun mencanangkan program
wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba
mengakomodasi kebutuhan siswa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
bukan hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta yang
mulai melirik dunia pendidikan dalam mengembangkan usahanya. Sarana
untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih
dirasakan sangat kurang dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan
*) Guru Bimbingan dan Konseling SMP BPK PENABUR Tasikmalaya
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
67
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
pendidikan. Hal ini terlihat dengan semakin menjamurnya sekolah-sekolah
swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi.
Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas
adalah masih banyaknya sekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di
dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada
kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan
yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak,
bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak
didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian
sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang
semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi.
Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut, di
atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musical, visual-spatial,
interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Kompas, 6 Agustus 2003). Jenisjenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan
jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada
tahun 1983.
Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orangorang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan
bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orangorang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti
artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs,
dan lain-lain.
Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta
(gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak
yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled”
atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola
pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak
sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi
delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran
bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas
karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan
bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik
untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya
dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan
yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan
masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang
lain.
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika
(matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri
setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian
yang dilakukan oleh Yayasan Insan Kancil (Kompas, 13 Oktober 2003),
pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah
Dasar. Sekitar 99 persen, Taman Kanak-Kanak mengajarkan membaca,
menulis, dan berhitung. Artinya, pendidikan Taman Kanak-Kanak telah
menekankan pada kecerdasan akademik, tanpa menyeimbanginya dengan
kecerdasan lain. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan
oleh guru-guru masih tetap mementingkan akan kemampuan logika
(matematika) dan bahasa.
Menurut Moleong, dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK), guru dan orang tua hendaknya bersinergi dalam mengembangkan
berbagai jenis kecerdasan, terutama terhadap anak usia dini. Hal ini
dimaksudkan agar siswa tidak gagap dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Anak-anak usia 0 – 8 tahun harus diperkenalkan dengan
kecerdasan jamak (Multiple Intelligences). Guru hendaknya tidak terjebak
pada kecerdasan logika semata.
Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada
dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu
dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal
memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003).
Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap
insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah
pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika
(matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerja
sama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis
kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di
lingkungan lembaga pendidikan?
Tinjauan Pustaka
Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar
kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam
pola pikirnya yang unik.
Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983)
yaitu:
Linguistic Intelligence (Word Smart)
Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau
membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
69
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan
berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya.
Logical – Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan logical–mathematical yang tinggi
memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering
bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut
penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka
mengklasifikasikan benda dan senang berhitung.
Visual – Spatial Intelligence (Picture Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir
secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery),
sehingga cenderung imaginatif dan kreatif.
Bodily – Kinesthetic Intelligence (Body Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang
bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan,
keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka
mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya.
Musical Intelligence (Music Smart)
Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan
mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi
lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan
beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata
musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam
sebuah komposisi musik.
Interpersonal Intelligence (People Smart)
Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang
baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu
mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga
mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain,
serta mampu bekerja sama denganm orang lain.
Intra personal Intelligence (Self Smart)
Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan
perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan
mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang
dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial.
Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan.
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Naturalist Intelligence (Nature Smart)
Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan
yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat
dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan
fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang,
pertumbuhan tanaman, dan tata surya.
E xistence Intelligence
Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap
mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti
kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang
dihadapinya.
Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999.
Saran Aplikasi
Pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan pada kemampuan logika
(matematika) dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk ceramah mungkin
membosankan siswa. Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara
yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar
yang lebih efektif.
Cara-cara penyampaian materi pelajaran yang dapat digunakan oleh guru
sebagai berikut:
- Kata-kata (Linguistic Intelligence)
- Angka atau logika (Logical -Mathematical Intelligence)
- Gambar (Visual -Spatial Intelligence)
- Musik (Musical Intelligence)
- Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence)
- Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence)
- Refleksi diri (Intrapersonal Intelligence)
- Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence)
- Peristiwa (Existence Intelligence)
Sebagai contoh, jika Anda mengajarkan ekonomi tentang Hukum permintaan
pasar (Law of Supply and Demand ), maka siswa diharapkan membaca materi
yang akan disampaikan (Linguistic), mempelajari formula matematika untuk
mengetahui perhitungan tentang banyaknya permintaan atau supply (LogicalMathematical), membuat grafik yang mengilustrasikan hukum permintaan
tersebut (Visual – Spatial), mengamati / mengobservasi secara langsung di
pasar (Naturalist), mengamati sistem perdagangan yang dilakukan oleh orangorang pada umumnya (Interpersonal).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
71
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
Pengajaran satu materi tidak perlu harus menggunakan ke sembilan
kecerdasan secara serentak. Pilihlah kecerdasan yang sesuai dengan konteks
pembelajaran itu sendiri.
Sebenarnya dalam melaksanakan proses belajar yang menggunakan
kerangka Multiple Intelligences tidaklah sesulit yang dibayangkan. Yang
dibutuhkan hanyalah kreativitas dan kepekaan guru. Artinya setiap guru harus
bisa berpikir secara terbuka yaitu keluar dari paradigma pengajaran tradisional,
mau menerima perubahan, serta harus memiliki kepekaan untuk melihat setiap
hal yang bisa digunakan di lingkungan sekitar dalam menunjang proses belajar.
Laboratorium hidup yang terbesar adalah dunia ini. Untuk mengembangkan
proses pengajaran dengan menggunakan Multiple Intelligences, sarana dan
prasarana yang dibutuhkan sebenarnya telah tersedia di lingkungan sekitar.
Artinya bahwa pendidikan tidaklah harus di dalam kelas. Tidak harus
menggunakan peralatan yang canggih. Siswa bisa diajak keluar kelas untuk
mengamati setiap fenomena yang terjadi di dunia nyata. Siswa tidak hanya
dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa teori
yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan
dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam.
Vernon A. Magnesen (1983), (DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie,
Sarah Singer, 2000) menjelaskan bahwa kita belajar 10% dari apa yang kita
baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari
apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa
yang kita katakan dan lakukan. Artinya seseorang bisa menyerap informasi
paling banyak pada saat dia melakukan atau mempraktekkan materi yang
diterimanya.
Kadang-kadang kita berpikir bahwa untuk menerapkan berbagai metode
pengajaran yang berkembang akhir-akhir ini diperlukan suatu peralatan yang
canggih untuk menunjang proses belajar. Padahal yang sebenarnya tidaklah
demikian. Di dalam menerapkan Multiple Intelligences di dalam proses
pengajaran dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya dengan
menggunakan musik untuk mengembangkan Musical Intelligence, belajar
kelompok untuk mengembangkan Interpersonal Intelligence, aktivitas seni untuk
mengembangkan Visual-Soatial Intelligence, role play untuk mengembangkan
Bodily-Kinesthetic Intelligence, perjalanan ke lapangan (Field Trips) untuk
mengembangkan nature Intelligence, menggunakan Multimedia, refleksi diri
untuk megembangkan Intra personal Intelligence, dan lain-lain.
Keluar dari pola kebiasaan mengajar yang lama yaitu pengajaran yang
hanya menekankan pada metoda ceramah sangatlah sulit, karena manusia
cenderung tidak mau keluar dari zona nyaman sebagaimana yang diungkapkan
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
oleh DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000 di dalam
bukunya yang berjudul Quantum Teaching. Manusia cenderung akan tetap
mempertahankan kebiasaannya dan tidak mau mengambil risiko, karena untuk
berubah berarti mereka dihadapkan pada resiko dari perubahan itu sendiri
yang seringkali ‘menakutkan’.
Penerapan multiple Intelligences di dalam proses belajar mengajar tidak
harus menunggu perintah dari atasan. Guru yang mencoba menerapkan Multiple
Intelligences, berinisiatif untuk mencoba keluar dari zona nyaman agar
pengajaran dapat dilakukan seefektif mungkin dan sesuai dengan kebutuhan
siswa. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa guru adalah orang yang langsung
terlibat di lapangan yang mengetahui secara jelas kebutuhan dan keunikan
dari setiap siswa.
Kenyataan, saat ini adalah kurangnya guru-guru yang memiliki inisiatif
untuk mencoba keluar dari pola pengajaran tradisional, meskipun dari pihak
atasan menfasilitasi dan mengadakan pembinaan bagi setiap guru agar dapat
mengembangkan diri agar dapat menyampaikan materi pelajaran seefektif
mungkin.
Upaya menerapkan Mulitiple Intelligences bukan hanya tanggung jawab
guru dan kepala sekolah saja, tetapi pihak orang tua pun perlu dilibatkan. Kita
harus bersinergi dengan pihak orang tua. Orang tua pun memiliki andil dalam
menentukan cara belajar anaknya. Masih banyak orang tua yang memiliki
pola pikir tradisional dalam memandang kemampuan yang harus dicapai oleh
anaknya. Mereka masih memandang anaknya bodoh, jika anaknya tidak pandai
dalam matematika atau bahasa. Pola pikir orang tua seperti itu harus diubah.
Pihak sekolah hendaknya mengadakan seminar bagi orang tua. Seminar itu
menjelaskan bahwa kecerdasan anak bukan hanya dipandang dari kemampuan
matematika dan bahasa, melainkan masih banyak kemampuan lainnya yang
dapat dikembangkan sesuai dengan keunikan anak. Jika pandangan baru ini
diberikan kepada orang tua, diharapkan setiap orang tua dapat mendukung
pihak sekolah untuk mengembangkan Multiple Intelligences. Salah satu bentuk
peran serta orang tua dalam pengembangan Multiple Intelligences adalah
dengan tidak memaksakan anak untuk hanya menguasai kemampuan
matematika dan bahasa, tetapi mereka pun dapat membimbing dan
mengarahkan anaknya sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Selain mengadakan seminar, kerja sama pihak sekolah dengan orang tua
dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran Wali Kelas dan guru Bimbingan
Konseling dengan cara melakukan pertemuan berkala dengan pihak orang
tua. Kerja sama ini dilaksanakan dalam upaya untuk memantau setiap
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
73
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
perkembangan anak dan mengamati keunikan setiap anak, sehingga
pendidikan bisa diberikan sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya masingmasing.
Manfaat Penerapan Multiple Intelligences
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple
Intelligence di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan.
1. Kita dapat menggunakan kerangka Multiple Intelligences dalam
melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa dilakukan
seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat
suatu pertunjukan. Dapat menjadi ‘pintu masuk’ yang vital ke dalam
proses belajar. Bahkan siswa yang penampilannya kurang baik pada saat
proses belajar menggunakan pola tradisional (menekankan bahasa dan
logika), jika aktivitas ini dilakukan akan memunculkan semangat mereka
untuk belajar.
2. Dengan menggunakan Multiple Intelligences . Anda menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat,
dan talentanya.
3. Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat di dalam
mendukung proses belajar mengajar. Hal ini bisa terjadi karena setiap
aktivitas siswa di dalam proses belajar akan melibatkan anggota
masyarakat.
4. Siswa akan mampu menunjukkan dan ‘berbagi’ tentang kelebihan yang
dimilikinya. Membangun kelebihan yang dimiliki akan memberikan suatu
motivasi untuk menjadikan siswa sebagai seorang ‘spesialis’.
5. Pada saat Anda ‘mengajar untuk memahami’ , siswa akan mendapatkan
pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk
mencari solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Kesimpulan
Setiap siswa memiliki keunikannya masing-masing. Mereka memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Pandangan
yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang dapat dilihat berdasarkan
hasil tes IQ sudah tidak relevan lagi karena tes IQ hanya membatasi pada
kecerdasan logika (matematika) dan bahasa. Saat ini masih banyak sekolah
yang terjebak dengan pandangan tradisional tersebut. Masih banyak guru
yang hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa.
Teori Multiple Intelligences, mencoba untuk mengubah pandangan bahwa
kecerdasan seseorang hanya terdiri dari kemampuan Logika (matematika)
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran
dan bahasa. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat
sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan
antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari
kecerdasan tersebut.
Teori Multiple Intelligences mampu menjembatani proses pengajaran yang
membosankan menjadi suatu pengalaman belajar yang menyenangkan dan
Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan pada
kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam
kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki
kesan yang mendalam. Selain itu proses pendidikan dapat mengakomodir
setiap kebutuhan siswa dan sesuai dengan keunikannya masing-masing.
Jika sekolah ingin menerapkan Multiple Intelligences di dalam sistem
pendidikannya, maka dibutuhkan inisiatif dari setiap guru untuk mencoba
memulai dan bersedia untuk keluar dari ‘zona nyaman’nya masing-masing.
Guru dan orang tua harus bersinergi agar memiliki pandangan yang sama di
dalam memberikan pendidikan bagi anak sesuai dengan kebutuhan dan
keunikannya masing-masing. Kesamaan pandangan dapat diciptakan melalui
pertemuan berkala antara Wali Kelas dan Guru Bimbingan Konseling dengan
orang tua.
Daftar Pustaka
DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer. (2000). Quantum teach-
ing. Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung:
PT. Mizan Pustaka
Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan Majemuk). Batam:
Interaksara
http://www.cookps.act.edu.au/mi.htm
http://www.kompas.com/Kecerdasan intelektual tak cuma logika dan bahasa/
6 Agustus 2003
http://www.kompas.com/Sambut kurikulum 2004 dengan kecerdasan jamak/
13 Oktober 2003
http://www.thomasarmstrong.com/multiple_intelligences.htm
http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/mi/index_sub7.html
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
75
Opini
Pendayagunaan
Media Pembelajaran
Pendayagunaan Media Pembelajaran
Thomas Wibowo Agung Sutjiono*)
Abstrak
ekurang-kurangnya ada tujuh alasan mengapa sampai saat ini masih
ada sejumlah guru yang enggan menggunakan media pembelajaran.
Ketujuh alasan tersebut adalah: pertama menggunakan media itu
repot, kedua media itu canggih dan mahal, ketiga guru tidak terampil
menggunakan media , keempat media itu hiburan sedangkan belajar itu serius,
kelima tidak tersedia di sekolah, keenam kebiasaan menikmati ceramah/bicara,
ketujuh kurangnya penghargaan dari atasan. Untuk mengatasi semua alasan
tersebut hanya satu hal yang diperlukan, yaitu perubahan sikap guru.
S
Kata kunci: Media pembelajaran, guru, sikap
Abstract
There are at least seven reasons explaining why some teachers do not want
to use media, in their teaching. According to them media learning are : 1)
difficult to be used, 2) sophisticated and expensive, 3) lack of skill ,4) media is
entertainment while study is serious, 5) not available at school, 6) usage/
habits to enjoy lecture or speech, 7) not enough appreciation enough from
the superior. One thing that needs to be done to handle this problem is
changing the theacher’s attitude .
Guru dan Media
Perubahan global dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi, terutama
yang berhubungan dengan sistem pendidikan di sekolah menuntut adanya
perubahan sikap guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
Sejak zaman dahulu ada anggapan yang salah kaprah, yaitu bahwa guru
adalah orang yang paling tahu. Pendapat itu terus berkembang menjadi guru
lebih dulu tahu atau pengetahuan guru hanya beda semalam dibandingkan
dengan murid. Namun sekarang bukan saja pengetahuan guru sama dengan
*) Kepala SMP BPK PENABUR Tasikmalaya
76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendayagunaan Media Pembelajaran
murid, bahkan murid dapat lebih dulu tahu daripada gurunya. Ini semua dapat
terjadi akibat perkembangan media informasi yang begitu cepat di sekitar
lingkungan kita. Pada saat ini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar.
Banyak contoh, murid dapat lebih dulu mendapat informasi dengan cara
mengakses informasi dari media massa seperti : surat kabar, televisi, hand
phone (sms/mms), bahkan internet. Sedangkan seringkali guru dengan alasan
klasik “masalah ekonomi”, mereka tidak dapat mengakses informasi dengan
cepat. Bagaimana guru menyikapi perkembangan ini? Setidaknya ada tiga
kelompok guru dalam menyikapi hal ini, seperti tidak peduli, menunggu
petunjuk, atau cepat menyesuaikan diri.
Kelompok pertama yaitu guru yang tidak peduli. Seorang guru yang
mempunyai rasa percaya diri berlebihan (over confidence) barangkali akan
berpegang kepada anggapan bahwa sampai kapanpun posisi guru tidak akan
tergantikan. Dalam setiap proses pembelajaran tetap diperlukan sentuhan
manusiawi dari seorang guru. Guru dalam kelompok ini menggambarkan murid
sebagai seseorang yang bersifat tergantung. Pengalaman yang dimiliki murid
tidak besar nilainya. Pengalaman yang sangat besar manfaatnya adalah
pengalaman yang diperoleh dari gurunya. Murid tetap memerlukan sentuhan
psikologis dari seorang guru. Guru dalam mengajar tidak hanya mengutamakan
mata pelajaran akan tetapi harus juga memperhatikan murid itu sendiri
sebagai manusia yang harus dikembangkan pribadinya. Harus dipelihara
keseimbangan antara perkembangan intelektual dan perkembangan psikologis.
Teknologi tidak dapat menggantikan manusia. Teknologi secanggih
komputer Pentium 4, DVD, internet atau apapun, tidak dapat menggantikan
manusia. Bagaimanapun teknologi berkembang secara pesat, guru tetap
sebagai yang “harus digugu dan ditiru”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
media tidak dapat menggantikan posisi guru, namun sikap tidak peduli terhadap
perkembangan pengetahuan dan teknologi, bukanlah sikap yang tepat.
Walaupun bagaimana, lingkungan kita terus berkembang, tuntutan masyarakat
terhadap kualitas guru semakin meningkat. Guru harus peduli.
Kelompok kedua adalah yang menunggu petunjuk. Kelompok inilah yang
paling banyak ditemukan di sekolah. Mungkin ini akibat dari kebijakan sistem
pendidikan selama ini. Guru dalam sistem pendidikan nasional dianggap
sebagai “tukang” melaksanakan kurikulum yang demikian rinci dan kaku.
Kurikulum sangat lengkap dengan berbagai petunjuk teknis pelaksanaannya,
sehingga guru tinggal melaksanakan tanpa boleh menyimpang dari pedoman
baku yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya, kurikulum dilengkapi
dengan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), yang kemudian oleh
Tim Guru Mata Pelajaran atau MGMP dijabarkan dalam Program Tahunan,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
77
Pendayagunaan Media Pembelajaran
Program Semester, AMP, Satuan Pelajaran, Rencana Pelajaran atau Skenario
Pelajaran, dan sebagainya, yang semuanya dibuat secara rinci, tanpa peduli
kondisi sekolah yang berbeda-beda.
Kelompok ketiga guru yang cepat menyesuaikan diri. Sejalan dengan
perubahan kurikulum, otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah
atau berbasis kompetensi, bukan lagi saatnya bagi guru untuk selalu menunggu
petunjuk. Guru adalah tenaga profesional, bukan amatir. Dengan berdasar
pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran setiap guru
dituntut untuk dapat mengembangkan bahan ajar bagi murid dalam suatu
proses pelaksanaan pembelajaran yang berkesinambungan. Guru dituntut untuk
mengembangkan kemampuan dan kompetensi murid, bukan sekedar
pengetahuan tetapi murid-murid hendaknya mampu berpikir (kognitif), mampu
menentukan sikap (affektif) dan mampu bertindak (psikomotor), sehingga
nantinya menjadi manusia yang bermartabat. Oleh karena itu saran yang
tepat untuk guru adalah cepat-cepatlah menyesuaikan diri. Guru perlu segera
mereposisi perannya saat ini, guru tidak lagi menjadi orang yang paling tahu
di kelas, namun guru harus mampu menjadi fasilitator dalam belajar. Ada
banyak sumber belajar yang tersedia di lingkungan kita, apakah sumber belajar
yang dirancang untuk belajar ataukah yang tidak dirancang namun dapat
dimanfaatkan untuk belajar. Guru yang baik akan merasa senang kalau
muridnya lebih pandai dari dirinya.
Mengapa Media Pembelajaran itu Perlu?
Pernahkah guru menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu materi
pelajaran kepada murid? Misalnya : guru ingin menjelaskan tentang seekor
binatang padang pasir yang disebut unta kepada murid TK atau SD di kelas
awal. Contoh lain guru ingin menjelaskan tentang kereta api kepada murid
di daerah yang tidak ada kereta api, guru akan menjelaskan tentang pasar
terapung, guru akan menjelaskan tentang bahayanya narkoba dan zat adiktif.
Berikut ini beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan oleh guru.
Cara pertama, guru bercerita tentang unta, kereta api, pasar terapung
atau narkoba dan zat adiktif. Guru dapat bercerita mungkin karena pengalaman,
membaca buku, cerita orang lain atau pernah melihat objek-objek itu. Apabila
murid-murid di sekolah tersebut sama sekali belum tahu, belum pernah melihat
objek-objek tersebut di televisi atau melihat gambarnya di buku, maka betapa
sulitnya guru menjelaskan hanya dengan kata-kata tentang objek tersebut.
Kalau gurunya seorang yang ahli berceritera, tentu cerita guru itu akan sangat
menarik bagi murid-muridnya. Namun tidak semua orang diberikan karunia
kepandaian bercerita. Penjelasan dengan kata-kata mungkin akan
78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendayagunaan Media Pembelajaran
menghabiskan waktu yang lama. Pemahaman murid berbeda sesuai dengan
pengetahuan mereka sebelumnya, bahkan mungkin akan menimbulkan
kesalahan persepsi.
Cara kedua, guru membawa murid studi wisata melihat obyek-obyek itu.
Guru membawa murid ke stasiun kereta, ke RSKO, atau menugasi muridnya
melakukan pengamatan dan wawancara. Cara ini lebih efektif dibandingkan
dengan cara lainnya. Namun masalahnya berapa biaya yang harus ditanggung,
dan berapa lama waktu yang diperlukan. Cara ini efektif walaupun tidak
efisien. Tidak mungkin semua murid dapat mengalami karena berbagai
keterbatasan misalnya jarak, tempat dan biaya.
Cara ketiga, guru membawa gambar, lukisan, foto, slide, film, video-vcd,
tentang objek-objek tersebut. Cara ini akan membantu guru dalam memberikan
penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu, penjelasan gurupun akan lebih mudah dimengerti oleh murid, menarik, membangkitkan motivasi
belajar, menghilangkan kesalahanpemahaman, serta informasi yang
disampaikan menjadi konsisten.
Ketiga cara di atas dapat kita sebutkan, cara pertama sebagai informasi
verbal, cara kedua belajar pengalaman nyata, sedangkan cara ketiga informasi
melalui media. Di antara ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah cara yang
paling tepat dan bijaksana dilakukan oleh guru. Media belajar itu diperlukan
oleh guru agar pembelajaran berjalan efektif dan efisien.
Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan, penggunaan media/bahan/
sarana belajar seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang
membutuhkan media belajar seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat
oleh guru dan “audio-visual”.
Gambar: Kerucut Pengalaman Edgar Dale
Simbol
verbal
Simbol visual
Bagan, Diagram, Grafik, dan sejenisnya
Rekaman Radio
Foto, ilustrasi, slide, dan sejenisnya
FILM
Film, tuntutan diskusi
Televisi
Pameran
Darmawisata
Demonstrasi
Pengalaman yang didramatisasi
Video, Tape, tuntutan
Poster, Display, papan
bulletin
Tuntutan observasi
Alat-alat, bahan mentah, papan tulis
Wayang, skrip, drama
Pengalaman yang logis
Model, objek, specimen
Pengalaman yang bertujuan
Manual tuntutan
Sumber : Arif (1994 : hal. 79)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
79
Pendayagunaan Media Pembelajaran
Mengapa Guru Tidak Menggunakan Media Pembelajaran?
Masalah yang sering ditemui di lapangan/di sekolah, mengapa sampai
saat ini masih ada guru yang enggan menggunakan media dalam mengajar?
Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan diskusi dalam berbagai
kesempatan dengan para guru, terdapat sekurang-kurangnya tujuh alasan
guru tidak menggunakan media pembelajaran, yaitu :
Pertama, menggunakan media itu repot.
Mengajar dengan menggunakan media perlu persiapan. Apalagi kalau media
itu semacam OHP, audio visual, vcd, slide projector atau internet. Perlu listrik
lagi. Guru sudah sangat repot dengan menulis persiapan mengajar, jadwal
pelajaran yang padat, jumlah kelas paralel yang sedikit, masalah keluarga di
rumah dan lain-lain. Mana sempat memikirkan media pembelajaran.
Demikianlah beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh para guru.
Padahal kalau guru mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media
pembelajaran akan lebih efektif, maka tidak ada alasan repot. Pikirkanlah
bahwa sedikit repot, tetapi akan mendapatkan hasil optimal. Media
pembelajaran juga relatif awet, artinya sekali menyiapkan bahan
pembelajaran, dapat dipakai beberapa kali penyajian. Selanjutnya tidak repot
lagi.
Kedua, media itu canggih dan mahal.
Tidak selalu media itu harus canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah
media pembelajaran bukan terletak pada kecanggihannya (apalagi harganya
yang mahal) namun pada efektifitas dan efisiensi dalam membantu proses
pembelajaran. Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan oleh guru
dengan harga murah. Kalaupun dibutuhkan media canggih semacam audiovisual atau multi media, maka “cost-nya” akan menjadi murah apabila dapat
digunakan oleh banyak murid dan beberapa guru.
Ketiga, tidak bisa.
Demam teknologi ternyata menyerang sebagian dari guru-guru kita. Ada
beberapa guru yang “takut” dengan peralatan elektronik, takut kena setrum,
takut korsleting, takut salah pijit, dan sebagainya.
Alasan ini menjadi lebih parah ditambah dengan takut rusak. Akibatnya media
OHP, audio-visual atau slide projector yang telah dimiliki, sejak awal beli baru
tetap tersimpan rapi di ruang kepala sekolah. Sebenarnya, dengan sedikit
latihan dan mengubah sikap bahwa media mudah dan menyenangkan, maka
segala sesuatunya akan berubah.
Keempat, media itu hiburan (membuat murid main-main, tidak serius),
sedangkan belajar itu serius. Alasan ini sudah jarang ditemui di sekolah,
namun tetap ada. Menurut pendapat orang-orang terdahulu belajar itu harus
dengan serius. Belajar itu harus mengerutkan dahi. Media pembelajaran itu
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendayagunaan Media Pembelajaran
identik dengan dengan hiburan. Hiburan adalah hal yang berbeda dengan
belajar. Tidak mungkin belajar sambil santai. Ini memang pendapat orangorang zaman dahulu. Paradigma belajar kini sudah berubah. Kalau bisa belajar
dengan menyenangkan, mengapa harus dengan menderita?. Kalau dapat
dilakukan dengan mudah, mengapa harus dipersulit?
Kelima, tidak tersedia.
Tidak tersedia media pembelajaran di sekolah, mungkin ini adalah alasan
yang masuk akal. Tetapi seorang guru tidak boleh menyerah begitu saja. Ia
adalah seorang profesional yang harus kreatif, inovatif dan banyak inisiatif.
Media pembelajaran tidak harus selalu canggih, namun dapat juga
dikembangkan sendiri oleh guru. Dalam hal ini pimpinan sekolah hendaklah
cepat tanggap. Jangan sampai suasana kelas itu menjadi gersang, di kelas
hanya ada papan tulis dan kapur.
Keenam, kebiasaan menikmati ceramah/bicara.
Metode mengajar dengan ceramah adalah hal yang enak. Berbicara itu
memang nikmat. Inilah kebiasaan yang sulit di rubah. Seorang guru cenderung
mengulang cara guru-gurunya yang terdahulu. Mengajar dengan
mengandalkan verbal lebih mudah, tidak memerlukan persiapan mengajar
yang banyak, jadi lebih enak untuk guru, tetapi tidak enak untuk murid. Hal
yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran adalah kepentingan murid
yang belajar, bukan kepuasan guru semata.
Ketujuh, kurangnya penghargaan dari atasan.
Kurangnya penghargaan dari atasan, mungkin adalah alasan yang masuk akal.
Sering terjadi bahwa guru yang mengajar dengan media pembelajaran yang
dipersiapkan secara baik, kurang mendapatkan penghargaan dari pimpinan
sekolah/pimpinan yayasan. Tidak adanya reward bagi guru sering menjadikan
guru menjadi “malas”. Selama ini tidak ada perbedaan perlakuan bagi guru
yang menggunakan media pembelajaran dengan guru yang mengajar dengan
tidak menggunakan media (metode ceramah/bicara saja). Sebetulnya bentuk
penghargaan tidak harus dalam bentuk materi, tetapi dapat dengan bentuk
pujian atau bentuk lainnya.
Apa Pertimbangan dalam Memilih Media Pembelajaran?
Sejak tahun 1930 berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui
kebermanfaatan penggunaan media untuk keperluan pembelajaran. Penelitian
ini diawali dengan evaluasi media untuk melihat apakah suatu media dapat
dipergunakan untuk pembelajaran.
Penelitian ini berasumsi bahwa media sebagai stimulus dapat mengubah
perilaku. Akan tetapi hasil penelitian itu dianggap kurang dapat diandalkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
81
Pendayagunaan Media Pembelajaran
karena hasilnya menunjukkan bahwa semua media dapat dipergunakan untuk
pembelajaran.
Oleh karena itu penelitian-penelitian berikutnya beralih ke penelitian
perbandingan media untuk pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah suatu media lebih baik daripada media lain. Misalnya,
apakah gambar diam lebih baik daripada gambar hidup (film) atau apakah
media audio lebih baik dari pada media visual. Hasil penelitian-penelitian itu
ternyata tidak konsisten dan sulit dapat dipercaya. Kemudian penelitian beralih
lagi ke media itu sendiri untuk mengetahui keunggulan suatu media dalam
menyampaikan bahan pembelajaran. Hasil penelitian terakhir ini juga
tampaknya kurang memuaskan.
Dari berbagai jenis penelitian terdahulu yang telah diuraikan di atas,
diketahui bahwa pada hakikatnya bukan media itu sendiri yang menentukan
hasil belajar. Ternyata keberhasilan menggunakan media dalam proses
pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan,
(2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan
demikian dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga
faktor tersebut. Tidak berarti bahwa semakin canggih media yang digunakan
akan semakin tinggi hasil belajar atau sebaliknya. Untuk tujuan pembelajaran
tertentu dapat saja penggunaan papan tulis lebih efektif dan lebih efesien
daripada penggunaan LCD, apabila bahan ajarnya dikemas dengan tepat serta
disajikan kepada siswa yang tepat pula.
Sungguhpun demikian, secara operasional ada sejumlah pertimbangan dalam
memilih media pembelajaran yang tepat, antara lain :
Access
Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam memilih media.
Apakah media yang diperlukan itu tersedia, mudah dan dapat dimanfaatkan
oleh murid? Misalnya, kita ingin menggunakan media internet, perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah ada saluran untuk koneksi ke internet,
adakah jaringan teleponnya? Akses juga menyangkut aspek kebijakan, misalnya
apakah murid diizinkan untuk menggunakan komputer yang terhubung ke
internet? Jangan hanya kepala sekolah saja yang boleh menggunakan internet,
tetapi juga guru/karyawan dan murid. Bahkan murid lebih penting untuk
memperoleh akses.
Cost
Biaya juga harus menjadi bahan pertimbangan. Banyak jenis media yang dapat
menjadi pilihan kita. Media pembelajaran yang canggih biasanya mahal.
Namun biaya itu harus kita hitung dengan aspek manfaat. Sebab semakin
82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Pendayagunaan Media Pembelajaran
banyak yang menggunakan, maka unit cost dari sebuah media akan semakin
menurun.
Technology
Mungkin saja kita tertarik kepada satu media tertentu. Tetapi kita perlu
memperhatikan apakah teknisinya tersedia dan mudah menggunakannya?
Katakanlah kita ingin menggunakan media audio visual untuk di kelas, perlu
kita pertimbangkan, apakah ada aliran listriknya, apakah voltase listriknya
cukup dan sesuai, bagaimana cara mengoperasikannya?
Interactivity
Media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau
interaktivitas. Semua kegiatan pembelajaran yang akan dikembangkan oleh
guru tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran
tersebut.
Organization
Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi. Misalnya apakah
pimpinan sekolah atau pimpinan yayasan mendukung? Bagaimana
pengorganisasiannya? Apakah di sekolah tersedia sarana yang disebut pusat
sumber belajar?
Novelty
Kebaruan dari media yang akan dipilih juga harus menjadi pertimbangan.
Sebab media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik bagi
murid.
Dari beberapa pertimbangan di atas, yang terpenting adalah adanya
perubahan sikap guru agar mau memanfaatkan dan mengembangkan media
pembelajaran yang “mudah dan murah”, dengan memanfaatkan sumberdaya
yang ada di lingkungan sekitarnya serta memunculkan ide dan kreativitas
yang dimilikinya.
Penutup
Tidak diragukan lagi bahwa semua guru sepakat bahwa media itu perlu
dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum
menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam
memilih media, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi
masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media
yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia dapat mengembangkannya
secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
83
Pendayagunaan Media Pembelajaran
Daftar Pustaka
Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. (1999). Quantum learning, membiasakan
belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: KAIFA
De Porter, Bobbi; Mark Reardon & Sarah Singer-Nourie. (2002). Quantum teaching, mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung:
KAIFA
Kemp, Jerrold E. (1994). Designing effective instruction. New York: MacMillan
Publisher
Sadiman, Arief. (1990). Media pendidikan, pengertian pengembangan dan
pemanfaatan. Jakarta: Rajawali
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Opini
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Melalui E-Learning
Drs. Tafiardi*)
Abstrak
ejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi terutama teknologi
informasi, pemanfaatan internet dalam bidang pendidikan terus
berkembang. Pemanfaatan internet ini tidak hanya untuk pendidikan
jarak jauh, akan tetapi juga dikembangkan dalam sistem pendidikan
konvensional. E-learning adalah suatu model pembelajaran yang dibuat dalam
format digital melalui perangkat elektronik. Tujuan digunakannya e-learning
dalam sistem pembelajaran adalah untuk memperluas akses pendidikan ke
masyarakat luas.
S
Kata kunci: Internet, mutu pendidikan, teknologi informasi, world wide web ,
e-learning
Abstract
In line with the development of technologiy and science especially in information
technology, the usage of internet in education is increasing intensively. The
internet is used not only for the long distance learning system but it is also for
the conventional education system. One of the facilities availeble in the internet
is e-learning. E-Learning is a learning model made in digital format through
electronical instrument namely internet. The intent of using e-Learning in
education system is to expand the acces of the educational process to the
larger community.
Pendahuluan
Ilmu dan teknologi terutama teknologi informasi berkembang sangat pesat
yang berdampak pada pelbagai perubahan sosial budaya. Contohnya ecommerce merupakan salah satu perubahan radikal dalam aspek ekonomi
masyarakat modern saat ini. Di sektor pemerintahan ada e-government dan
di sektor pendidikan sudah berkembang apa yang disebut e-learning.
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
85
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
Di Indonesia pemanfaatan teknologi internet dimulai sekitar tahun 1995
ketika IndoInternet membuka jasa layanan internet dan tahun 1997-an mulai
berkembang pesat. Namun kini pemanfaatan teknologi ini masih didominasi
oleh lembaga seperti perbankan, perdagangan, media massa, atau kalangan
industri. Bila dilihat potensinya, dalam waktu mendatang mungkin saja lembaga
pendidikan akan mendominasinya. Pemanfatan teknologi internet untuk
pendidikan di Indonesia secara resmi dimulai sejak dibentuknya telematika
tahun 1996.
Seiring perkembangan zaman, pemanfaatan internet untuk pendidikan di
Indonesia khususnya di perguruan tinggi terus berkembang yang dipelopori
oleh Institut Teknologi Bandung. Pemanfaatan internet untuk pendidikan ini
tidak hanya untuk pendidikan jarak jauh, akan tetapi juga dikembangkan dalam
sistem pendidikan konvensional. Kini sudah banyak lembaga pendidikan
terutama perguruan tinggi yang sudah mulai merintis dan mengembangkan
model pembelajaran berbasis internet dalam mendukung sistem pendidikan
konvensional. Internet sebagai media baru belum memasyarakat. Demikian
pula orang-orang yang terlibat dalam lembaga pendidikan belum terbiasa
menggunakan internet.
Penyelenggaraan pendidikan nasional yang bersifat konvensional,
mengalami banyak kendala ketika dituntut untuk memberikan pelayanannya
bagi masyarakat luas yang tersebar di seluruh Nusantara. Kendala tersebut
antara lain keterbatasan finansial, jauhnya lokasi, dan keterbatasan jumlah
institusi. Saat ini telah berkembang teknologi informasi yang dapat dimanfaatan
untuk mengatasi kendala tersebut. Sudah saatnya teknologi informasi
dimanfaatkan secara optimal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Terlebih di masa depan pendidikan akan mengahadapi persaingan global yang
sangat ketat. Agar dapat memenangkan ataupun dapat ikut bermain dalam
dinamika global membutuhkan prasyarat kekuatan kepercayaan diri dan
kemandirian.
Oleh karena itu artikel ini akan membahas tentang kemungkinan
pengembangan mutu pendidikan melalui e-learning.
Pengertian
Electronic learning kini semakin dikenal sebagai salah satu cara untuk mengatasi
masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara yang
sedang berkembang. Banyak orang menggunakan istilah yang berbeda-beda
dengan e-learning, namun pada prinsipnya e-learning adalah pembelajaran
yang menggunakan jasa elektronika sebagai alat bantunya. E-learning memang
merupakan suatu teknologi pembelajaran yang yang relatif baru di Indonesia.
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
Untuk menyederhanakan istilah, maka electronic learning disingkat menjadi
e-learning. Kata ini terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan
dari ‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning
berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat
elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya e-learning menggunakan jasa audio,
video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan kata
lain e-learning adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa
teknologi seperti telepon, audio, vidiotape, transmisi satelite atau komputer.
Banyak hal yang mendorong mengapa e-learning menjadi salah satu pilihan
untuk peningkatan mutu pendidikan, antara lain pesatnya fasilitas teknologi
informasi, dan perkembangan pengguna internet di dunia saat ini berkembang
dengan cepat. Penggunaan internet menjadi suatu kebutuhan dalam
mendukung pekerjaan atau tugas sehari-hari. Apalagi dengan tersedianya
fasilitas jaringan (Internet infrastructure) dan koneksi internet (Internet
Connections). Serta tersedianya piranti lunak pembelajaran (management
course tools). Juga orang yang terampil mengoperasikan atau menggunakan
internet semakin meningkat jumlahnya (Soekartawi, 2002).
Internet Sebagai Media Pendidikan
Internet adalah jaringan komputer. Tetapi jaringan komputer belum tentu
internet. Jaringan sekelompok komputer yang sifatnya terbatas disebut sebagai
jaringan lokal (Local Area Network). Internet merupakan jaringan yang terdiri
atas ribuan bahkan jutaan komputer, termasuk di dalamnya jaringan lokal,
yang terhubungkan melalui saluran (satelit, telepon, kabel) dan jangkauanya
mencakup seluruh dunia (Kamarga, 2002). Jaringan ini bukan merupakan
suatu organisasi atau institusi, sifatnya bebas, karena itu tidak ada pihak
yang mengatur dan memilikinya.
Internet lahir pada masa perang dingin sekitar tahun 1969. Digunakan
pertama kali untuk keperluan militer (Ahmad Bustami, 1999). Jaringan ini
menghubungkan antarkomputer di daerah-daerah vital dalam rangka
mengatasi masalah jika terjadi serangan nuklir. Jaringan komputer
berkembang sangat pesat dan dipecah menjadi dua bagian Milnet dan Arpanet.
Milnet digunakan khusus untuk keperluan militer, sedangkan Arpanet digunakan
untuk keperluan nonmiliter terutama perguruan tinggi. Gabungan kedua
jaringan ini pada akhirnya dikenal dengan nama Darpa Internet, yang
kemudian disederhanakan menjadi internet.
Penemuan internet dianggap sebagai penemuan yang cukup besar, yang
mengubah dunia dari bersifat lokal atau regional menjadi global. Sumbersumber informasi dunia dapat diakses oleh siapa pun dan di mana pun melalui
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
87
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
jaringan internet. Melalui internet faktor jarak dan waktu sudah tidak menjadi
masalah. Dunia seolah-olah menjadi kecil, dan komunikasi menjadi mudah.
Dalam hal ini Onno W. Purbo (2001) melukiskan bahwa internet juga telah
mengubah metode komunikasi massa dan penyebaran data atau informasi
secara fleksibel dan mengintegrasikan seluruh bentuk media massa
konvensional seperti media cetak dan audio visual.
Internet memiliki banyak fasilitas yang telah digunakan dalam berbagai
bidang, seperti militer, media massa, bisnis, dan juga untuk pendidikan.
Fasilitas tersebut antara lain: e-mail, Telnet, Internet Relay Chat, Newsgroup,
Mailing List (Milis), File Transfer Protocol (FTP), atau World Wide Web (WWW).
Di antara banyak fasilitas tersebut menurut Onno W. Purbo (1997), “ada lima
aplikasi standar internet yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan,
yaitu e-mail, Mailing List (milis), News group, File Transfer Protocol (FTC),
dan World Wide Web (WWW)”.
Electronic mail (e-mail), mulai diperkenalkan tahun 1971 ( http://
www.livinginternet.com). Fasilitas ini sering disebut sebagai surat elektronik,
merupakan fasilitas yang paling sederhana dan mudah digunakan. Dalam survei
yang dilakukan sebuah lembaga riset Amerika Serikat (Graphics, Visualization
and Usability Center) diketahui bahwa 84% responden memilih e-mail sebagai
aplikasi terpenting internet, lebih penting daripada web. (http://
www.gvu.gatech..edu/user_surveis/).
Mailing List mulai diperkenalkan setelah e-mail yaitu sejak tahun 1972
(http://www.livinginternet.com). Ini merupakan salah satu fasilitas yang dapat
digunakan untuk membuat kelompok diskusi atau penyebaran informasi. Cara
kerja mailing list adalah pemilik e-mail dapat bergabung dalam sebuah
kelompok diskusi, atau bertukar informasi yang tidak dapat diintervensi oleh
orang di luar kelompoknya. Komunikasi melalui fasilitas ini sama seperti e-mail
bersifat tidak langsung (asynchronous). News group adalah fasilitas internet yang
dapat dilakukan untuk komunikasi antar dua orang atau lebih secara serentak
(waktu bersamaan) atau bersifat langsung (synchronous). Bentuk pertemuan ini
sering disebut sebagai konferensi, dengan fasilitas video conferencing, atau teks
saja, atau bisa audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC).
Melalui fasilitas File Transfer Protocol (FTC) ini orang dapat menstransfer
data/file dari satu komputer ke internet (up-load) sehingga bisa diakses oleh
pengguna internet di seluruh pelosok dunia. Di samping itu fasilitas ini dapat
mengambil arsip/file dari situs internet ke dalam komputer pengguna (download). World Wide Web atau sering disebut Web mulai diperkenalkan tahun
1990-an (http://www.livinginternet.com). Fasilitas ini merupakan kumpulan
dokumentasi terbesar yang tersimpan dalam berbagai server yang terhubung
menjadi suatu jaringan (internet). Dokumen ini dikembangkan dalam format
88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
hypertext 2), dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML).
Melalui format ini dimungkinkan terjadinya link dari satu dokumen ke dokumen/
bagian lain. Selain itu fasilitas ini bersifat multimedia, yang terdiri dari kombinasi
unsur teks, foto, grafika, audio, animasi, dan juga video.
Teknologi internet pada hakikatnya merupakan perkembangan dari
teknologi komunikasi generasi sebelumnya. Media seperti radio, televisi, video,
multi media, dan media lainnya telah digunakan dan dapat membantu
meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi media internet yang memiliki sifat
interaktif, bisa sebagai media massa dan interpersonal, gudangnya sumber
informasi dari berbagai penjuru dunia, sangat dimungkinkan menjadi media
pendidikan lebih unggul dari generasi sebelumnya. Dengan fasilitas yang
dimilikinya. Menurut Onno W. Purbo (1998) paling tidak ada tiga hal dampak
positif penggunaan internet dalam pendidikan yaitu:
a. Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah di mana pun
di seluruh dunia tanpa batas institusi atau batas negara.
b. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang
diminatinya.
c. Kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia
tanpa bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa belajar.
Di samping itu kini hadir perpustakan internet yang lebih dinamis dan
bisa digunakan di seluruh jagat raya.
Menurutnya, manfaat internet bagi pendidikan adalah dapat menjadi akses
kepada sumber informasi, akses kepada nara sumber, dan sebagai media
kerjasama. Akses kepada sumber informasi yaitu sebagai perpustakaan online, sumber literatur, akses hasil-hasil penelitian, dan akses kepada materi
kuliah. Akses kepada nara sumber bisa dilakukan komunikasi tanpa harus
bertemu secara phisik. Sedangkan sebagai media kerjasama internet bisa
menjadi media untuk melakukan penelitian bersama atau membuat semacam
makalah bersama.
Mengingat topografi dan demografi penduduk Indonesia yang kurang
menguntungkan, maka kita sudah saatnya memikirkan sistem pendidikan yang
dapat dijangkau oleh penduduk paling terpencil dan paling minim sumber
dayanya. Dilihat dari upaya penerapan teknologi tersebut, sungguh banyak
potensi yang dapat dijadikan modal dasar penerapan teknologi informasi dalam
pendidikan masyarakat.
Ada beberapa alasan yang dapat diangkat, bahwa teknologi informasi dapat
diterapkan dalam media pendidikan, di antaranya:
Pertama, banyak sekolah yang memiliki komputer sendiri sehingga
dimungkinkan untuk dikembangkan paket belajar Personal-Interaktif yang
materi ajarnya dikemas dalam suatu software. Peserta dapat belajar dengan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
89
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
cara menjalankan program komputer atau perangkat lunak tersebut di komputer
secara mandiri dan di lokasi masing-masing. Melalui paket program belajar
ini peserta ajar dapat melakukan simulasi atau juga umpan balik tentang
kemajuan belajarnya.
Kedua, Negara Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang tersebar dalam
wilayah yang sangat luas, serta dihuni lebih dari 200 juta penduduk dengan
distribusi secara tidak homogen. Kondisi ini memang disadari memiliki kendala
ketika akan diterapkan sistem pendidikan konvensional (tatap muka). Maka
teknologi informasi yang mungkin diterapkan untuk kondisi tersebut adalah
melalui jaringan internet. Melalui media ini proses belajar dapat dijalankan
secara on line atau di-down-load untuk keperluan off line. Peserta didik dapat
mengakses sistem kapan saja dan sesering mungkin (time independence),
tidak terbatas pada jam belajar dan tidak tergantung pada tempat (place
independence). Fungsi lain yang dapat digunakan untuk proses belajar tersebut
melalui e-mail atau grup diskusi, yang dapat berinteraksi dan mengirimkan
naskah secara electronic. Pada perguruan tinggi, pemanfaatan teknologi
informasi telah dibangun dalam suatu sistem yang disebut e-University
(electronic university). Pengembangan e-University ini bertujuan mendukung
penyelenggaraan pendidikan sehingga dapat menyediakan layanan informasi
yang lebih baik kepada komunitasnya baik di dalam (internal) maupun diluar
(eksternal) perguruan tinggi tersebut.
Ketiga, untuk kesamaan mutu dalam memperolah materi, dikembangkan
paket belajar terdistribusi yaitu materi belajar ditempatkan/disimpan di sebuah
server yang tersambung ke internet sehingga dapat diambil oleh peserta ajar
baik memakai Web-Browser ataupun File Transport Protocol (aplikasi
pengiriman file).
Internet sebagai media pendidikan memiliki keunggulan, dan kelemahan.
Budi Rahardjo menyatakan bahwa infrastruktur internet masih terbatas dan
mahal. Keterbatasan dana, dan budaya baca kita masih lemah. Di sinilah
tantangan bagaimana mengembangkan model pembelajaran melalui internet.
Metode Pembelajaran
Pada dasarnya cara penyampaian atau cara pemberian (delivery system) dari
e-learning, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: komunikasi satu arah dan
komunikasi dua arah.
Komunikasi atau interaksi antara guru dan murid memang sebaiknya melalui
sistem dua arah. Dalam e-learning, sistem dua arah ini juga bisa diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu:
a. Dilaksanakan melalui cara langsung artinya pada saat instruktur
memberikan pelajaran, murid dapat langsung mendengarkan.
90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
b. Dilaksanakan melalui cara tidak langsung misalnya pesan dari instruktur
direkam dahulu sebelum digunakan.
Karakteristik e-learning ini antara lain adalah:
a. Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa dan
sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan
relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal yang bersifat protokoler.
b. Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan computer
networks)
c. Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials)
disimpan di komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan
saja dan di mana saja bila yang bersangkutan memerlukannya
d. Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar
dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat
setiap saat di komputer.
Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik
pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan
mempengaruhi tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar
mengajar didominasi oleh peran guru, karena itu disebut the era of teacher.
Kini, proses belajar dan mengajar, banyak didominasi oleh peran guru dan
buku (the era of teacher and book) dan pada masa mendatang proses belajar
dan mengajar akan didominasi oleh peran guru, buku dan teknologi (the era
of teacher, book and technology). Dalam era global seperti sekarang ini, setuju
atau tidak, mau atau tidak mau, kita harus berhubungan dengan teknologi
khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut
telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, kita sebaiknya
tidak ‘gagap’ teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa siapa
yang terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh
kesempatan untuk maju.
Informasi sudah merupakan ‘komoditi’ sebagai layaknya barang ekonomi
yang lain. Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern
sekarang ini. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat sekarang menuju
pada era masyarakat informasi (information age) atau masyarakat ilmu
pengetahuan (knowledge society). Oleh karena itu tidak mengherankan kalau
ada perguruan tinggi yang menawarkan jurusan informasi atau teknologi
informasi, maka perguruan tinggi tersebut berkembang menjadi pesat.
Perkembangan pengguna internet di dunia ini berkembang sangat cepat
karena beberapa hal, antara lain:
(a). Menggunakan internet adalah suatu kebutuhan untuk mendukung
pekerjaan atau tugas sehari-hari
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
91
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
(b). Tersedianya fasilitas jaringan (Internet infrastructure) and koneksi internet
(Internet Connections)
(c). Semakin tersedianya piranti lunak pembelajaran (management course
tools)
(d). Keterampilan jumlah orang yang mengoperasikan atau menggunakan
internet
(e). Kebijakan yang mendukung pelaksanaan program yang menggunakan
internet tersebut (Soekartawi, 2002).
Pemanfaatan internet di Indonesia pada tahap ‘baru mulai’. Sebenarnya
pemanfatan internet untuk e-learning di Indonesia bisa ditingkatkan kalau
fasilitas yang mendukungnya memadai, baik fasilitas yang berupa infrastruktur
maupun fasilitas yang bersifat kebijakan. Hal ini bukan saja didukung oleh
data seperti yang disajikan di atas, namun juga semakin banyaknya warungwarung internet (Internet Kios) yang muncul di pelosok Indonesia.
Pengguna internet bukan saja dari kalangan pelajar dan mahasiswa, namun
juga dari kalangan masyarakat yang lain. Hal ini bisa dipakai sebagai indikasi
bahwa internet memang diperlukan untuk membantu kelancaranan pekerjaan
atau tugas-tugas pengguna internet.
Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan materi
pelajaran secara on-line saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi
pelajaran didesain seolah peserta didik belajar di hadapan pengajar melalui
layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan internet. Untuk dapat
menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati, Onno W. Purbo (2002)
mensyaratkan tiga hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu
“sederhana, personal, dan cepat”. Sistem yang sederhana akan memudahkan
peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada , dengan
kemudahan pada panel yang disediakan, akan mengurangi pengenalan sistem
e-learning itu sendiri, sehingga waktu belajar peserta dapat diefisienkan untuk
proses belajar itu sendiri dan bukan pada belajar menggunakan sistem elearning-nya.
Syarat personal berarti pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti
layaknya seorang guru yang berkomunikasi dengan murid di depan kelas.
Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik
diperhatikan kemajuannya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapinya.
Hal ini akan membuat peserta didik betah berlama-lama di depan layar
komputernya.
Kemudian layanan ini ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat
terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik lainnya. Dengan demikian
perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau
92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
pengelola. Untuk meningkatkan daya tarik belajar, Onno W. Purbo
menambahkan perlunya menggunakan teori games. Teori ini dikemukakan
setelah diadakan sebuah pengamatan terhadap perilaku para penggemar
games komputer yang berkembang sangat pesat. Bermain games komputer
sangatlah mengasyikan. Para pemain akan dibuat hanyut dengan karakter
yang dimainkannya lewat komputer tersebut. Bahkan mampu duduk berjamjam dan memainkan permainan tersebut dengan senang hati. Fenomena ini
sangat menarik dalam mendesain e-learning. Dengan membuat sistem elearning yang mampu menghanyutkan peserta didik untuk mengikuti setiap
langkah belajar di dalamnya seperti layaknya ketika bermain sebuah games.
Penerapan teori games dalam merancang materi e-learning perlu
dipertimbangkan karena pada dasarnya setiap manusia menyukai permainan.
Secara ringkas, e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik
belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sistem digital
melalui internet. Karena itu e-leraning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang
biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional. Misalnya dimulai
dari perumusan tujuan yang operasional dan dapat diukur, ada apersepsi
atau pre tes, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif,
uraian materi yang jelas, contoh-contoh konkrit, problem solving, tanya jawab,
diskusi, post test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena
itu merancang e-learning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar,
ahli materi, ahli komunikasi, programmer, seniman, dan lain-lain.
Faktor-Faktor dalam Pemanfaatan E-Learning
Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran
(Hartanto dan Purbo, 2002) antara lain:
a. Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu hal yang
perlu dipertimbangkan adalah apakah memang memerlukan e-learning.
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab
berdasarkan atas saran orang lain. Setiap lembaga menentukan teknologi
pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan
analisis kebutuhan atau need analysis yang mencakup studi kelayakan
baik secara teknis, ekonomis, maupun social.
b. Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik, satuan
kredit, bahan ajar/kurikulum.
c. Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan
mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut
mengevaluasi.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
93
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering dihadapi yaitu:
a. Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan
jaringan internet, listrik, telepon dan infrastruktur yang lain.
b. Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana mengusahakan
piranti lunak yang tidak mahal.
c. Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada.
d. Masalah skill and knowledge.
Oleh karena itu perlu diciptakan bagaimana semuanya mempunyai sikap
yang positif terhadap media internet dan perangkatnya sehingga penggunaan
teknologi baru bisa mempercepat pembangunan.
Kelebihan dan Kekurangan E-Learning
Menyadari bahwa di internet dapat ditemukan berbagai informasi dan informasi
itu dapat diakses secara lebih mudah, kapan saja dan di mana saja, maka
pemanfaatan internet menjadi suatu kebutuhan. Bukan itu saja, pengguna
internet bisa berkomunikasi dengan pihak lain dengan cara yang sangat mudah
melalui teknik e-moderating yang tersedia di internet. Contoh SMART School
di Malaysia.
Ada empat hal yang perlu disiapkan sebelum pemanfaatan internet untuk
e-learning yaitu:
a. Melakukan penyesuaian kurikulum. Kurikulum sifatnya holistik.
Pengetahuan, keterampilan dan nilai (values) diintegrasikan dengan
kebutuhan di era informasi ini. Kurikulumnya bersifat competency based
curriculum.
b. Melakukan variasi cara mengajar untuk mencapai dasar kompetensi yang
ingin dicapai dengan bantuan komputer.
c. Melakukan penilaian dengan memanfaatkan teknologi yang ada
(menggunakan komputer, online assessment system)
d. Menyediakan material pembelajaran seperti buku, komputer, multimedia,
studio, dll yang memadai. Materi pembelajaran yang disimpan di komputer
dapat diakses dengan mudah baik oleh guru maupun siswa.
Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia
di literatur, memberikan penjelasan tentang manfaat penggunaan internet,
khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Soekartawi, 2002), antara
lain dapat disebutkan sbb:
a. Ters edianya fasi litas e-moderating. Guru dan s iswa dapat
berkomunikasisecara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau
kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak,
tempat dan waktu.
b. Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar
94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa
saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari.
c. Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana
saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.
d. Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan bahan yang
dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah.
e. Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang
dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah
ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
f. Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif
g. Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan
tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi
mereka yang bertugas di kapal, di luar negeri, dsb-nya.
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau elearning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan antara lain:
a. Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu
sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values
dalam proses belajar dan mengajar.
b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan
sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis
c. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan bukan
pendidikan.
d. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran
konvensional, kini juga dituntut menguasai teknik pembelajaran yang
menggunakan internet.
e. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung gagal
f. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan
dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer).
g. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan bidang
internet dan kurangnya penguasaan bahasa komputer.
Kini pemerintah telah berupaya untuk memanfaatkan dan memaksimalkan
tersedianya informasi teknologi dengan membentuk Kantor Menteri Negara
Informasi dan Teknologi. Di tiap departemen bahkan ada unit yang menangani
teknologi informasi. Di Depdiknas misalnya ada Pustekkom atau Pusat Teknologi
Komunikasi dan Informasi untuk Pendidikan; di tiap Universitas ada Pusat
Komputer, dan masih banyak contoh lain. Sayangnya cyberlaws di Indonesia
yang juga pernah dibahas dan disiapkan, belum juga selesai hingga kini.
E-learning kini banyak digunakan oleh para penyelenggara pendidikan terbuka
dan jarak jauh. Kalau dahulu hanya Universitas Terbuka yang diijinkan
menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, maka kini dengan terbitnya Surat
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.107/U/2001 (2 Juli 2001) tentang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
95
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
‘Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh’, maka perguruan
tinggi tertentu yang mempunyai kapasitas menyelenggarakan pendidikan
terbuka dan jarak jauh menggunakan e-learning, juga telah diijinkan
menyelenggarakannya.
Lembaga-lembaga pendidikan non-formal seperti kursus-kursus, juga telah
memafaatkan keunggulan e-learning ini untuk program-programnya. Begitu
pula halnya dengan Undang-Undang Pendidikan yang baru nanti, yang segera
akan disahkan oleh DPR, juga akan mengatur penyelenggaraan pendidikan
terbuka dan jarak jauh di Indonesia dengan menggunakan teknologi e-learning.
Bahan Ajar Melalui E-learning
Melalui pemanfaatkan teknologi informasi, diharapkan materi ajar dapat
diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Akses terhadap materi ajar sebenarnya
dapat diatur bila dikehendaki karena tersedia fasilitas pengaman. Hanya orang
yang telah mendaftar saja yang bisa mengakses materi ajar tersebut. Karena
mahalnya pembuatan bahan ajar maka negara sebagai penanggung jawab
mencerdaskan kehidupan bangsa perlu menyiapkan bahan tersebut sehingga
dapat dipakai di seluruh Indonesia.
Persoalan mendasar berkenaan dengan model ajar ini, adalah keterbatasan
pihak sekolah untuk menyediakan komputer termasuk internet dalam proses
pengajaran. Oleh karena itu perlu ada aksi untuk menyiapkan institusi
pendidikan (ready for learning), yaitu dengan cara melibatkan para guru dan
departemen terkait, misalnya depdiknas, dan departemen ristek yang ada di
wilayah masing-masing. Mereka ini harus menyiapkan termasuk mengetahui
materi ajar yang tersedia dan cara akses atau mendapatkannya. Mereka
bertanggungjawab membantu institus i pendidi kan termas uk
mengkomunikasikan materi ajar yang tidak dipahami sehingga dapat
mempelajarinya dalam waktu tertentu.
Saat ini telah banyak sekali sumber belajar yang berbasis komputer bahkan
berbasis multmedia (buatan dalam dan luar negeri) baik yang berfungsi sebagai
materi pokok, maupun sebagai materi pengayaan. Namun penelitian tentang
dampak dari penggunaan sumber belajar tersebut belum banyak dilakukan,
terutama dalam hal kemungkinan adanya miskonsepsi yang ditimbulkan oleh
sumber belajar itu. Oleh karena itu, studi tentang pengembangan, uji coba
dan standardisasi perangkat lunak komputer kependidikan harus segera
dilakukan oleh departemen atau pihak yang berkepentingan dan kita semua.
Kesimpulan
Kebijakan institusi pendidikan dalam memanfaatkan teknologi internet
menuju e-learning perlu kajian dan rancangan mendalam. E-learning bukan
semata-mata hanya memindahkan semua pembelajaran pada internet. Hakikat
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning
e-learning adalah proses pembelajaran yang dituangkan melalui teknologi
internet. Di samping itu prinsip sederhana, personal, dan cepat perlu
dipertimbangkan. Untuk menambah daya tarik dapat pula menggunakan teori
games Oleh karena itu prinsip dan komunikasi pembelajaran perlu didesain
seperti layaknya pembelajaran konvensional. Di sini perlunya pengembangan
model e-learning yang tepat sesuai dengan kebutuhan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa media pembelajaran secanggih
apapun tidak akan bisa menggantikan sepenuhnya peran guru/dosen.
Penanaman nila-nilai dan sentuhan kepribadian sulit dilakukan. Di sini tantangan
bagi para pengambil kebijakan dan perancang e-learning. Oleh karena itu
penulis sependapat bahwa dalam sistem pendidikan konvensional, fungsi elearning adalah untuk memperkaya wawasan dan pemahaman peserta didik,
serta proses pembiasaan agar melek sumber belajar khususnya teknologi
internet.
Daftar Pustaka
Anwas, Oos M. (2000). Internet: Peluang dan tantangan pendidikan nasional.
Jakarta: Jurnal Teknodik Depdiknas
Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002). Teknologi e-learning berbasis php dan
mysql. Jakarta: Elex Media Komputindo
Kamarga, Hanny. (2002). Belajar sejarah melalui e-learning; Alternatif
mengakses sumber informasi kesejarahan. Jakarta: Inti Media
Purbo, Onno W. (2001). Masyarakat pengguna internet di Indonesia. Available, http://www.geocities.com/inrecent/project.html. (4 November
2002).
Rahardjo, Budi. (2001). Pergolakan informasi di Indonesia akan sia-sia?. Artikel
Majalah Tempo. Jakarta: November 2001
Suwarno dan Alvin Y. (2000). Perubahan sosial dan pembangunan. Jakarta:
LP3ES
Soekartawi (2002) . Prospek pembelajaran melalui internet. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional ‘Teknologi Kependidikan’ yang
diselenggarakan oleh UT-Pustekkom dan IPTPI, Jakarta, 18-19 Juli 2002
Tung, Khoe Yao. (2000). Pendidikan dan riset di internet. Jakarta: Dinastindo
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
97
Opini
Menyiapkan
Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
Menyiapkan Guru yang Berkualitas
dengan Pendekatan Micro Teaching
Yuli Kwartolo, S.Pd*)
Abstrak
ntuk mempersiapkan diri menjadi guru berkualitas dibutuhkan paling
sedikit 10 kompetensi profesional yang kemudian dapat dirangkum
menjadi dua kompetensi utama yaitu penguasaan bahan pelajaran
dan dapat mengajarkan bahan tersebut secara jelas dan menarik.
Untuk membantu menerapkan kompetensi profesional itu di kelas, penulis
mengusulkan penggunaan pendekatan micro teaching.
U
Kata kunci : Guru, mutu, mengajar, penguasaan bahan ajar
Abstract
There are at least ten profesional competencies which have to be mastered if
a teacher wants to be a qualified teacher. The ten profesional competencies
then can be categorized to become two competencies namely: The ability to
master the subject matter well and the ability to present that subject matter
clearly and interestingly. To support the application of the profesioanl
competencies, the writter proposes a Micro Teaching Approach.
Pendahuluan
Kualitas guru sampai saat ini tetap menjadi persoalan yang penting (crucial ).
Menjadi persoalan yang crucial oleh karena pada kenyataannya keberadaan
guru di berbagai jenjang, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah
Atas oleh sebagian kalangan dinilai jauh dari performa yang distandarkan.
Seorang Yohanes Surya (pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia atau TOFI
yang juga Guru Besar Universitas Pelita Harapan) pun melihatnya begitu.
Demikian juga dengan pendapat Dodi Nandika (Kepala Balitbang Depdiknas),
kualitas guru menjadi persoalan yang serius di negeri ini.
Penilaian kedua tokoh itu tidaklah berlebihan. Hal itu didasarkan pada
hasil tes Trend in International Mathematics and Science Study (TIMMSS)
*) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta
98
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
2003. Hasil tes itu menempatkan siswa Indonesia di peringkat 34 penguasaan
matematika dan peringkat 36 penguasaan sains dari 48 negara yang disurvei.
Peringkat itu jauh tertinggal dari negara tetangga, Singapura dan Malaysia.
Singapura berada di peringkat pertama, baik matematika maupun sains,
Malaysia peringkat 10 bidang matematika dan peringkat 20 bidang Sains
(Republika, 24 Desember 2004).
Rendahnya kemampuan anak didik pada mata pelajaran matematika dan
sains memang tidak terlepas dari kemampaun/kualitas guru dalam mengajar
siswanya, dan minimnya ketersediaaan sumber-sumber belajar. Keadaan yang
demikian itu sudah barang tentu sangat mempengaruhi proses pembelajaran.
Akibat lebih jauh, lulusan dari berbagai jenjang pendidikan tidak memenuhi
harapan. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah, misalnya dengan
penataran, pembekalan, seminar, diskusi, sampai penelitian yang intinya
bertujuan meningkatkan kualitas guru.
Dalam lingkup yang lebih sempit, BPK PENABUR juga menghadapi persoalan
yang klasik tersebut, yaitu ada sebagian guru kompetensi mengajarnya belum
memenuhi tuntutan yang semestinya. Menguasai materi yang diajarkan saja
tidaklah cukup. Ia harus dapat menyampaikan materi pelajaran tersebut dengan
baik. Makna “dengan baik” di sini sudah inheren di dalamnya, bicara jelas;
pemilihan metode yang tepat; penggunaan pendekatan pembelajaran yang
sesuai; penggunaan media pembelajaran yang efektif; sampai pada
penampilan fisiknya (gerak-gerik di kelas, mimik muka, ekspresi, dan
sebagainya).
Melalui artikel ini penulis ingin menyampaikan gagasan-gagasan yang
mungkin dapat berguna untuk meningkatkan kualitas guru di lingkup BPK
PENABUR. Seperti judul artikel, “Menyiapkan Guru Yang Berkualitas
dengan Pendekatan Micro Teaching”, maka pembahasannya difokuskan
pada beberapa pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana mempersiapkan diri
menjadi guru? Bagaimana kriteria guru yang berkualitas? Bagaimana konsepsi
micro teaching? Prasyarat apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan micro
teaching? Bagaimana aplikasi micro teaching? Adakah manfaat micro teaching
secara lebih luas? Seperti apa contoh rencana pelajaran micro teaching?
Persiapan Diri Menjadi Guru
Secara akademik jika seseorang ingin menjadi guru ia harus menempuh
pendidikan keguruan. Guru TK dan SD masuk ke PGSD, guru SMP dan sekolah
lanjutan atas masuk FKIP atau IKIP (sudah melebur di dalam universitas).
Akan tetapi mereka yang lulusan universitas dengan disipilin ilmu murni,
misalnya kimia, dapat menjadi guru dengan syarat sudah menempuh program
Akta IV.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
99
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
Namun demikian persiapan menjadi guru tidak semata-mata melalui jalur
pendidikan formal. Faktor internal yang ada di dalam diri seseorang juga
mempengaruhi kesuksesan orang menjadi guru. Kesuksesan bukan dalam
arti kaya secara duniawi, melainkan kesuksesan karena ia benar-benar menjadi
seorang guru yang berkualitas (profesional) ditinjau dari berbagai aspek. Jika
faktor internal seperti motivasi dan bakat sangat berpengaruh terhadap
kesuksesan seseorang menjadi guru, maka tesis yang dikemukan oleh James
Phopam dalam bukunya “Bagaimana Mengajar Secara Sistematis”, bahwa
guru itu dilahirkan bukan dibentuk seolah menjadi pembenaran. Lebih lanjut
dikemukakan, tidak setiap guru membutuhkan pertolongan. Beberapa orang
memang benar-benar dilahirkan sebagai guru. Termasuk di dalam golongan
ini adalah, orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana caranya
mengajar. Meskipun demikian orang-orang semacam itu tidak banyak
memerlukan pertolongan dalam memperbaiki pengajaran. Mereka sungguhsungguh boleh dikatakan sebagai guru-guru yang berbakat; tidak diragukan
lagi mereka itu mampu memberi inspirasi.
Dalam konteks ini dapat dianalogikan, meskipun seseorang sudah
menempuh pendidikan keguruan baik itu program diploma atau S1, namun
setelah terjun di dalam kelas tidak menunjukkan performance yang cukup
memadai. Secara materi ia mampu menguasai, namun tidak cukup terampil
untuk menyampaikan materi dengan jelas, menarik sehingga mudah
dimengerti oleh siswa.
Kriteria Guru yang Berkualitas
Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman (1992) mempunyai tugas pokok
yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu seorang guru harus
memiliki kompetensi. Dalam profesi keguruan kita mengenal istilah kompetensi.
Kompetensi itulah yang digunakan untuk menilai apakah seorang guru
berkualitas atau tidak. Ada tiga kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu:
(1) kompetensi personal, (2) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi profesional.
Kompetensi personal lebih menunjukkan pada kematangan pribadi. Di
sini aspek mental dan emosional harus benar-benar terjaga. Kompetensi sosial
lebih menunjukkan pada kemampuan guru untuk berelasi, berinteraksi. Guru
memperlihatkan keluwesan dalam pergaulan dengan siswa, kepala sekolah,
dan juga teman sejawat di tempat ia mengajar. Guru bisa menciptakan
persahabatan yang baik. Keberadaannya memberi manfaat yang positif.
Sedangkan kompetensi profesional lebih menunjukkan pada kemampuan yang
dimiliki guru sebagai pengajar yang baik.
Raka Joni (1979) berdasarkan Komisi Kurikulum Bersama P3G menetapkan
dan merumuskan bahwa kompetensi profesional guru di Indonesia terdiri
atas 10 kompetensi, yakni: (1) menguasai bahan pelajaran; (2) mengelola
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
program pembelajaran; (3) mengelola kelas; (4) menggunakan media dan
sumber belajar; (5) menguasai landasan pendidikan; (6) mengelola interaksi
belajar mengajar; (7) menilai prestasi belajar; (8) mengenal fungsi dan
layanan bimbingan dan penyuluhan; (9) mengenal dan menyelenggarakan
administrasi sekolah; dan (10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian
guna keperluan pengajaran.
Dari kesepuluh kompetensi profesional itu menurut hemat penulis dapat
dirangkum menjadi dua kompetensi yang paling utama, yaitu menguasai bahan
pelajaran dan dapat mengajarkannya dengan jelas dan menarik. Kedua
kompetensi inilah dalam kondisi objektif belum terpenuhi. Mungkin kita pernah
mendengar komentar, “Si guru A itu hebat benar penguasaan materinya tetapi
tidak bisa mengajar”, atau sebaliknya, “Si guru B itu pandai mengajar tetapi
minim penguasaan materi”.
Konsepsi Micro Teaching
Harus diakui bahwa tidak banyak referensi atau buku-buku yang membahas
secara khusus tentang konsepsi micro teaching. Tetapi secara singkat dapat
diungkapkan di sini, micro teaching merupakan latihan mengajar yang
diorganisasi di mana ada yang berperan sebagai guru dan lainnya sebagai
siswa dalam kelas. Setiap pelaksanaan mengajar direkam supaya dapat dilihat
kembali dan dievaluasi cara mengajarnya. Micro teaching dilakukan di dalam
sebuah ruangan yang dilengkapi dengan berbagai alat/barang yang diperlukan.
Sejauh pengetahuan dan pengalaman penulis, ruangan tersebut dapat didesain
seperti gambar sebagai berikut:
1
2
3
7
4
8
5
5
5
5
Keterangan gambar:
1) speaker ; 2) white board; 3)
meja dan kursi guru; 4) area
m engajar; 5) m eja dan kursi
audience; 6) kamera video; 7) TV
moni tor dan perangkat untuk
playback; 8) pintu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
101
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
Prinsip pelaksanaan micro teaching dapat dijelaskan sebagai berikut: guru/
calon guru mengajar di area mengajar. Selama proses itu segala aktivitas
guru/calon guru direkam oleh kamera video. Pastikan bahwa gambar dan
guru dapat terekam dengan jelas. Pihak pengamat, dalam hal ini kepala sekolah,
bagian SDM, guru senior yang ditunjuk dapat memperhatikan penampilan
guru/calon guru dengan menempatkan diri di kursi dan meja yang telah
tersedia. Sekali-sekali pengamat dapat bertanya, berdiskusi dengan guru/
calon guru supaya proses mengajar lebih hidup. Speaker dapat ditambahkan
sepanjang memang dibutuhkan agar suara guru terdengar lebih keras.
Setelah selesai, hasil rekaman dapat di diputar kembali (playback) dengan
memanfaatkan tv monitor (7). Pada sesi ini calon guru/calon guru dapat melihat
kembali penampilannya selama mengajar. Sedangkan pengamat memberi
penilaian, menyampaikan kelebihan dan kekurangannya. Di sinilah menjadi
titik penting untuk melihat, mengevaluasi, memberi pendapat terhadap
kelebihan dan kekurangan guru/calon.
Dengan demikian micro teaching dapat dijadikan sebuah pendekatan baru
yang inovatif dan aplikatif untuk mempersiapkan performance guru agar lebih
kapabel.
Prasyarat yang Dibutuhkan untuk Melaksanakan
Micro Teaching
Prasyarat utama yang dibutuhkan agar micro teaching dapat berjalan adalah,
tersedianya sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan kamera video,
recorder, mic, penerangan yang cukup. Ukuran ruangan tidak ada standar
yang baku. Ukuran ruangan bisa antara 8 m x 6 m, atau 8 m x 7 m.
Selanjutnya tersedianya sejumlah sarana lainnya layaknya sebuah ruang
kelas. Ada white board, meja dan kursi, OHP kalau memang diperlukan. Dari
sisi SDM, memerlukan seorang teknisi atau operator dan sekaligus bertindak
sebagai kameraman. Penguasaan teknis rekaman video/audio menjadi
prasyarat mutlak. Karena sekarang era komputer, dan hasil rekaman selalu
dalam bentuk VCD, maka teknisi itu juga harus terampil memadukan antara
kamera video dan komputer agar menjadi sebuah sistem yang berdaya guna.
Jika setiap sekolah atau yayasan pedidikan memiliki pendekatan model
micro teaching dan efektif dalam pelaksanaannya, maka institusi tersebut
sudah satu langkah di depan dibandingkan lembaga pendidikan lainnya yang
belum punya. Keberadaan dan operasionalnya dapat dikelola oleh unit, bidang,
atau pusat sumber belajar.
Aplikasi Micro Teaching
Di atas penulis sudah mengemukakan garis besar aplikasi micro teaching.
Untuk mempertegas kembali penulis akan menyampaikan secara lebih rinci.
102
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
Aplikasi micro teaching dapat berangkat dari sebuah recruitment caloncalon guru. Umpama seorang calon guru sudah lulus tes awal, wawancara,
dan psiko test. Tetapi ketiga tahapan itu masih mengandalkan hasil tertulis.
Menurut hemat penulis itu belumlah cukup. Calon guru harus juga lulus tes
mengajar. Calon guru diminta mengajar di ruang micro teaching. Ia harus
benar-benar berperan sebagai guru yang memang sedang mengajar di dalam
kelas. Kalau perlu guru diminta untuk membuat kerangka pengajaran. Di sinilah
kemampuan mengajar calon guru dipertaruhkan.
Aplikasi lainnya dapat juga berangkat dari keprihatinan atas kemampuan
mengajar guru. Ini berarti semacam in job training. Guru-guru, baik yang
senior maupun yunior perlu penyegaran/peningkatan keterampilan
mengajarnya. Mereka dapat menilai sendiri apakah kemampuan mengajarnya
yang selama ini mereka “pertotonkan” di depan kelas sudah cukup memadai
atau belum. Ini juga memberi pernyataan yang tajam agar para guru tidak
mengklaim bahwa penampilan mengajarnya sudah yang terbaik.
Garis Besar Pelaksanaan Micro Teaching
Sebelum melaksanakan micro teaching ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Berdasarkan sumber yang ada (http://www.ussoccer.com/)
disebut dengan istilah Micro Teaching Lesson Plan. Dalam rencana ini
disebutkan kesiapan-kesiapan seputar: (1) Peralatan dan bahan. Termasuk
di dalamnya transparansi dan OHP, laptop dengan LCD proyektor, layar, spidol,
flip chart; (2) Rencana pelajaran. Anda harus lebih fokus untuk persiapan
ini. Termasuk di dalamnya perumusan tujuan pelajaran, pengaturan proses
pelajaran, partisipasi yang diharapkan, alat bantu/media, dan penutupan micro
teaching; (3) Presentasi. Anda dapat meminta pertolongan orang lain untuk
mengatur kelas. Tersedia waktu 10 menit untuk presentasi. Jika ternyata
melebih waktu yang tersedia, Anda tetap diizinkan menyelesaikan pelajaran
Anda; (4) Orientasi. Tahapan ini fokus pada evaluasi yang dilakukan setelah
presentasi. Anda dapat mengevaluasi keterampilan Anda, yang meliputi:
penampilan, cara/metode, keantusiasan, kontak mata dengan siswa,
penggunaan visual, partisipasi aktif kelas, hal-hal yang tidak diharapkan tetapi
terjadi (lampu OHP padam, interupsi, dll), modulasi suara, intonasi yang bagus
tidak datar.
Secara tegas dapat disebutkan di sini, aspek-aspek yang perlu dievaluasi
dalam pelaksanaan micro teaching adalah presentasi (volume dan kejelasan
suara, kecepatan dan kejelasan ucapan, kontak mata ke kelas, semangat dan
keantusiasan); the chalkboard (besar kecil tulisan dan kejelasan tulisan,
pengorganisasian materi, penggunaan media pembelajaran, pengaturan
waktu, posisi badan; isi (penguasaan materi, perencanaan topik, kesesuaian
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
103
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
penjelasan dengan hal-hal yang telah dirumuskan secara detil, ketergantungan
dengan catatan-catatan); dan interaksi kelas (respon terhadap pertanyaan,
reaksi terhadap pertanyaan).
Manfaat Micro Teaching Secara Lebih Luas
Penerapan micro teaching tidak hanya terbatas pada tujuan mencari calon
guru yang dapat mengajar dengan baik dan upaya mendorong (encourage)
terhadap guru-guru untuk selalu meningkatkan performance-nya. Tetapi masih
dapat digunakan dengan tujuan-tujuan lain.
Pendekatan micro teaching dapat dimanfaatkan untuk mencari seorang
guru menjadi model dalam mengajar. Guru yang dijadikan model memang
sudah diakui keandalannya dalam mengajar. Namun demikian tidak harus
semua bidang studi ada seorang model guru. Tentukan bidang studi yang
dianggap harus ada guru model. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk
mengajar tanpa kehadiran guru. Misalnya guru mengajar bidang studi x dengan
pokok bahasan y, proses mengajarnya direkam. Jika suatu saat guru itu
berhalangan, guru pengganti atau guru piket dapat memutar ulang rekaman
itu. Siswa tinggal melihat dan mendengarkan. Materi pengajaran yang
disampaikan dengan metode eksperimen, demonstrasi atau ceramah sangat
cocok.
Masih banyak manfaat lain dari kehadiran micro teaching, tergantung
daya kreatif dari orang-orang atau unit yang mendapat tugas untuk
mengelolanya.
Penutup
Pendekatan micro teaching ditujukan untuk pembentukan profesionalitas guru.
Sasaran yang hendak dicapai adalah, guru/calon guru supaya memiliki
seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap serta tingkah laku yang
diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya dalam
tugas dan perannya di sekolah. Dengan pendekatan micro teaching guru/
calon guru berlatih mengajar secara terbatas (isolated skill development),
namun tetap mengajar yang sesungguhnya secara diawasi (supervised
teaching), sebelum mengajar yang sesungguhnya secara penuh (fullresponsibility teaching).
Pendekatan micro teaching memberi kesempatan seluas-luasnya bagi
guru/calon guru untuk mengeksplorasi semua kelebihannya, memberi
kesempatan untuk mengukur kemampuannya. Mereka dapat mengevaluasi
diri dan mengetahi, sejauh mana kemampuan dan penampilannya.
104
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching
Daftar Pustaka
Gordon, Thomas. (1990). Guru yang efektif. Penerjemah: Mudjito. Jakarta:
Rajawali
Phopam, James dalam Sinurat. (1981). Bagaimana mengajar dengan sistematis.
Yogyakarta: Kanisius
Harian Republika, 24 Desember 2004.
http://filebox.vt.edu/users/cecraig/portweb/islamunit/microref.htm
http://www.uns.ac.id/resources/ppl/
http://www.ussoccer.com/
Soetjipto (1994). Profesi keguruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
www.pustekkom.go.id/teknodik/t10/10-6.htm - 50k
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
105
Opini
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu
Cara Deming
Dr. Theresia Kristianty *)
Abstrak
mpat belas butir pemikiran tentang peningkatan mutu suatu organisasi
yang diusulkan Deming diharapkan dapat diterapkan dalam upaya
peningkatan mutu manajemen pendidikan di Indonesia. Dari keempat
belas butir pemikiran Deming tersebut, unsur kepemimpinan
merupakan unsur utama.
E
Kata kunci: Peningkatan mutu pendidikan, kepemimpinan, kepala sekolah,
murid
Abstract
Fourteen points of Deming’s thought about increasing the quality of the
educational menagement are epected to be implemented in improving
educational management quality in Indonesia. It is said that the essence of
thing about the Deming’s concept is leadership.
Pendahuluan
Dalam bidang pendidikan kehadiran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah
memberikan angin segar yang menjanjikan, karena pada tataran teoritis, MBS
memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melahirkan berbagai kebijakan
dan keputusan perbaikan menyangkut kepentingan kemajuan sekolah itu sendiri.
Namun setelah ditelusuri, ternyata sekolah belum mampu menempatkan
diri sebagai organisasi sosial modern yang berorientasi peningkatan mutu,
sehingga pelaksanaan dan pengembangan program terasa tergesa-gesa dan
berimplikasi pada kesenjangan pemahaman tentang manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah antara lembaga sekolah dan policy departement
(inovator).
Sebagai contoh, kepala sekolah sebagai pemimpin ternyata belum mampu
memahami dan apalagi mentransfer konsep Manajemen Berbasis Sekolah
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
106
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
kepada guru-guru dan karyawan lainnya. Pemahaman dan pelaksanaannya
hanya dilakukan sebatas program yang diajukan dalam proposal. Padahal peran
kepemimpinan sangat menentukan maju mundurnya suatu organisasi dalam
mencapai manajemen kualitas. Oleh karena itu, melalui tulisan ini disajikan
beberapa pokok pikiran tentang peningkatan mutu pendidikan cara Deming.
Konsep Deming ini memang bukan barang baru, namun masih memiliki
greget untuk didiskusikan, terutama pada saat masyarakat Indonesia sedang
mempertanyakan mengapa mutu pendidikan di Indonesia cenderung menurun?
Pembahasan
Pandangan Terhadap Mutu
Apakah yang disebut mutu? Jawaban yang diberikan atas pertanyaan ini bisa
berbeda-beda, tidak ada dua orang secara tepat dapat mendefinisikan mutu
secara tepat. John Stewart, konsultan di McKinsey mengatakan, “Tidak ada
definisi tunggal mengenai mutu. Berikut ini dituliskan beberapa kutipan tentang
mutu.
Mutu adalah perasaan menghargai bahwa sesuatu lebih baik daripada
yang lain. Perasaan itu berubah sepanjang waktu dan berubah dari generasi
ke generasi, serta bervariasi dengan aspek aktivitas manusia.” Definisi lain,
“mutu” seperti yang biasa digunakan dalam manajemen berarti lebih dari ratarata dengan harga yang wajar. Mutu juga berarti memfokuskan pada
kemampuan menghasilkan produk dan jasa yang semakin baik dengan harga
yang semakin bersaing. Mutu juga berarti melakukan hal-hal yang tepat dalam
organisasi pada langkah pertama, bukannya membuat dan memperbaiki
kesalahan. Dengan memfokuskan hal-hal yang tepat pada kesempatan pertama,
organisasi menghindari biaya tinggi yang berkaitan dengan pengerjaan ulang.
Implemetasi Konsep Peningkatan Mutu Cara Deming
dalam Pendidikan di Indonesia
Deming (1986) menyatakan bahwa implementasi konsep mutu dalam sebuah
organisasi memerlukan perubahan dalam filosofi yang ada di sekitar
manajemen. Deming mengusulkan empat belas butir pemikiran yang dapat
dipergunakan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas suatu organisasi
juga dalam bidang pendidikan. Keempat belas butir pemikiran tersebut adalah:
Ciptakan Tujuan yang Mantap Demi Perbaikan Produk dan Jasa
Sekolah memerlukan adanya tujuan akhir yang mampu mengarahkan siswa
menghadapi masa depan secara mantap. Jangan membuat siswa sekedar
memiliki nilai bagus tetapi juga harus mampu membuat siswa memiliki kemauan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
107
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
belajar seumur hidup.
Adopsi Filosofi Baru
Siswa berhak mendapatkan pembelajaran yang berkualitas. Dengan kata lain,
mereka tidak lagi sebagai siswa yang pasif dan rela diperlakukan seburuk
apapun tanpa dapat berkomentar.
Hentikan Ketergantungan pada Inspeksi Masal
Dalam bidang pendidikan, evaluasi yang dilakukan jangan hanya pada saat
ulangan umum ataupun ujian akhir, tetapi dilakukan setiap saat selama proses
belajar mengajar berlangsung.
Selain itu, dalam menetapkan standar uji, maka perlu diperhatikan teoriteori kepemimpinan yang berkembang dalam Total Quality Management dan
lainnya, seperti teori sifat, teori lingkungan, teori perilaku, teori humanistik,
dan teori kontigensi.
Sejalan dengan masalah evaluasi, masalah rekrutmen dalam menentukan
pimpinan kependidikan, beberapa prosedur “Fit and proper test” bisa dilakukan
dalam pengambilan keputusan :
(a) Melakukan “hearing” didepan tim, yaitu menyampaikan program, visi dan
misi apabila terpilih menjadi pimpinan nantinya.
(b) Menjawab pertanyaan lisan dan tertulis yang telah didesain sedemikian
rupa. Adapun pertanyaan yang diajukan dapat menyangkut integritas,
moralitas, profesionalisme, intelektualitas, keahlian.
(c) Keharusan mengumumkan harta kekayaan dari para calon Kepala Sekolah
sebelum yang bersangkutan menduduki jabatan yang dipercayakan
kepadanya. Kebohongan atas kekayaan ini dapat mengakibatkan
pemecatan (impeachmant).
(d) Harus memahami sistem manajemen yang efektif dan efisien terhadap
lembaga yang akan dipimpinnya. Termasuk dalam rekruitment karyawan,
kesejahteraan, peningkatan kualitas hasil dan kinerja.
(e) Mengemukakan masalah pribadi, seperti apakah calon itu pernah bercerai.
Masalah anak bagaimana. Mengapa sampai terjadi perceraian. Kemudian
menyangkut masalah kebebasan dari tekanan, intimidasi, teror atau
ancaman.
(f) Tim seleksi melakukan investigasi dan melacak semua kebenaran
informasi yang disampaikan lisan maupun tertulis. Apabila calon-calon
tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara memuaskan, atau
setelah melakukan investigasi ternyata terdapat kebohongan-kebohongan,
tentu saja yang bersangkutan tidak dapat terpilih sebagai pimpinan.
108
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
Akhiri Kebiasaan Melakukan Hubungan Bisnis
Hanya Berdasarkan Biaya
Dalam bidang pendidikan pernyataan di atas terutama dikaitkan dengan biaya
pendidikan yang ada hubungannya dengan perbandingan junlah guru dan murid
pada satu ruangan/kelas. Kelas besar memang akan membuat sekolah tersebut
melakukan penghematan biaya, tetapi mutu yang dihasilkan tidak terjamin
dan bukan tidak mungkin terjadi peningkatan biaya di bagian lain pada sistem
tersebut.
Perbaiki Sistem Produksi dan Jasa Secara Konstan
dan Terus Menerus
Dalam bidang pendidikan seorang guru harus berpikir secara strategik
agar siswa dapat menjalani proses belajar mengajar secara baik, sehingga
memperoleh nilai yang baik pula. Guru jangan hanya berpikir bagaimana siswa
mendapatkan nilai yang baik.
Lembagakan Metode Pelatihan yang Modern di Tempat Kerja
Hal ini perlu dilakukan agar terdapat kesamaan dasar pengetahuan bagi semua
anggota staf dalam suatu lembaga pendidikan. Setelah itu barulah guru dan
administrator mengembangkan keahlian sesuai yang diperlukan bagi
peningkatan profesionalitas.
Lembagakan Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) berbeda dengan pemimpin (leader). Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok
dengan maksud mencapai suatu tujuan yang dinginkan bersama. Sedangkan
pemimpin adalah seseorang atau sekelompok orang seperti kepala, komandan,
ketua dan sebagainya. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan itu adalah suatu proses mempengaruhi kegiatan seseorang
atau kelompok dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Artinya
terjadi proses interaksi antara pemimpin, yang dipimpin, dan situasi. Sehingga
secara sederhana proses kepemimpinan dapat dirumuskan melalui formula
berikut:
L = F (l, f, s)
Keterangan :
L = Leadership (kepemimpinan)
F = Function (fungsi)
l = Leaders (pemimpin)
f = Follower (pengikut/yang dipimpin)
s = Situation (situasi)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
109
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
Dengan demikian, kepemimpinan itu seyogianya melekat pada diri
pemimpin dalam wujud kepribadian (personality), kemampuan (ability), dan
kesanggupan (capability), guna mewujudkan kepemimpinan bermutu atau Total
Quality Management (TQM).
Dikatakan bahwa, pemimpin yang efektif menurut konsep TQM adalah
pemimpin yang sensitif atau peka terhadap adanya perubahan dan pemimpin
yang melakukan pekerjaannya secara terfokus.
Dalam konsep TQM, memimpin berarti menentukan hal-hal yang tepat
untuk dikerjakan, menciptakan dinamika organisasi yang dikehendaki agar
semua orang memberikan komitmen, bekerja dengan semangat dan antusias
untuk mewujudkan hal-hal yang telah ditetapkan. Memimpin berarti juga dapat
mengkomunikasikan visi dan prinsip organisasi kepada bawahan. Kegiatan
memimpin termasuk kegiatan menciptakan budaya atau kultur positif dan iklim
yang harmonis dalam lingkungan lembaga atau organisasi, serta menciptakan
tanggung-jawab dan pemberian wewenang dalam pencapaian tujuan bersama.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, terdapat hubungan positif antara
tanggungjawab, wewenang dan kemampuan pemimpin dengan derajat atau
tingkat pemberdayaan karyawan dalam suatu lembaga.
Secara umum, pada dasarnya terdapat delapan kunci tugas pimpinan untuk
melaksanakan komitmen perbaikan kualitas terus menerus, yaitu:
(a) Menetapkan suatu dewan kualitas.
(b) Menetapkan kebijaksanaan kualitas.
(c) Menetapkan dan menyebarluaskan sasaran kualitas.
(d) Memberikan dan menyiapkan sumber-sumber daya.
(e) Memberikan dan menyiapkan pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada pemecahan masalah kualitas.
(f) Menetapkan tim perbaikan kualitas yang bertanggungjawab pada
manajemen puncak untuk menyelesaikan masalah-masalah kualitas
kronis.
(g) Merangsang perbaikan kualitas terus menerus.
(h) Memberikan pengakuan dan penghargaan atas prestasi dalam perbaikan
kualitas terus-menerus (Vincent Gaspersz, 1997: 203-204).
Sementara itu, bagi kalangan follower/pengikut/bawahan seperti guru,
karyawan dan lain-lain, perlu memperhatikan ketentuan berikut : (1) Mendukung
program-program pimpinan yang baik dan benar. (2) Memiliki kebutuhan
berprestasi. (3) Klarifikasi kemampuan, wewenang dan peran. (4) Memiliki
organisasi kerja. (5) Kemampuan bekerja sama. (6) Kecukupan sumber daya
(kuantitas). (7) Memiliki koordinasi eksternal.
Ditambahkan bahwa, untuk melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinan,
maka kepala sekolah perlu memperhatikan dan mengontrol Variabel situasi,
110
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
yaitu seperangkat keadaan atau kondisi yang harus dikelola dan diciptakan
secara kondusif. Situasi ini antara lain : (1) kekuatan posisi, (2) keadaan
bawahan, (3) tugas dan kemampuan menggunakan teknologi, (4) struktur
organisasi, (5) keadaan lingkungan lembaga ( fisik dan non-fisik ), (6)
ketergantungan eksternal, (7) kekuatan sosial politik, (8) rasa aman dan
demokratis. Keseluruhan proses interaksi kepemimpinan antara pemimpin,
yang dipimpin dan situasi, ditujukan untuk mencapai variabel hasil akhir
yaitu : (1) Kepuasan pelanggan. (2) Loyalitas pelanggan. (3) Profitabilitas. dan
(4) kepuasan seluruh personil lembaga dan stakeholders.
Hilangkan Rasa Takut
Perlu disadari bahwa rasa takut menghambat karyawan untuk mampu
mengajukan pertanyaan, melaporkan masalah, atau menyatakan ide padahal
itu semua perlu dilakukan untuk menghasilkan kinerja yang maksimum. Oleh
karena itu para pelaku pendidikan hendaknya jangan menerapkan sistem
imbalan dan hukuman kepada siswa karena akan menghambat berkembangnya
motivasi internal dari siswa masing-masing.
Pecahkan Hambatan di antara Area Staf
Hambatan antardepartemen fungsional berakibat menurunkan produktivitas.
Hambatan ini dapat diatasi dengan mengembangkan kerjasama kelompok.
Oleh karena itu para anggota staf harus bekerjasama dan memprioritaskan
diri pada peningkatan kualitas.
Hilangkan Slogan, Nasihat, dan Target untuk Tenaga Kerja
Perbaikan secara berkesinambungan sebagai sasaran umum harus
menggantikan simbol-simbol kerja.
Hilangkan Kuota Numerik
Kuota cenderung mendorong orang untuk memfokuskan pada jumlah sering
kali dengan mengorbankan mutu. Terlalu banyak menggunakan slogan dan
terlalu berpatokan pada target dapat menimbulkan salah arah untuk
pengembangan sistem yang baik. Tidak jarang patokan terget akan lebih terfokus
pada guru dan siswa daripada sistem secara keseluruhan.
Hilangkan Hambatan Terhadap Kebanggaan Diri
atas Keberhasilan Kerja
Kebanggaan diri atas hasil kerja yang dicapai perlu dimiliki oleh guru dan
siswa. Adanya kebanggaan dalam diri membuat guru dan siswa
bertanggungjawab atas tugas dan kewajiban yang disandangnya sehingga
mereka dapat menjaga mutu.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005
111
Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming
Lembagakan Program Pendidikan dan Pelatihan yang Kokoh.
Hal ini berlaku bagi para pelaku pendidikan karena memiliki dampak langsung
terhadap kualitas belajar siswa.
Lakukan Tindakan Nyata/Contoh Nyata
Manajer harus menjadi”lead manager” bukan “boss manager”. Seorang “lead
manager” akan berusaha mengkomunikasikan pandangannya selalu berusaha
mengembangkan kerjasama, meluangkan waktu dan tenaga untuk sistem
sehingga dengan adanya contoh nyata, pekerja menyadari cara untuk
melakukan pekerjaan yang berkualitas.
Penutup
Semoga konsep Deming yang diuraikan di muka dapat memberikan masukan
kepada para pelaku pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Creech, Bill. (1996) Lima pilar manajemen mutu terpadu (TQM). Jakarta: Binarupa
Aksara.
Gaspersz, Vincent. (1997) Manajemen kualitas: penerapan konsep-konsep kualitas
dalam manajemen bisnis total. Jakarta : PT. Gramedia.
Gaspersz, Vincent. (2001). “Penerapan TQME pada Perguruan Tinggi di Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan dan kebudayaan. Jakarta: Balitbang Diknas. Edisi
Mei 2001, tahun ke-7, No. 029.
Goestc, D.L. and S. Davis (1994). Introduction to total quality: quality, productivity, competitiveness. Englewood, Cliffs,N.J: Prentice Hall International, Inc.
Masassya, Elvyn.G. (2000). Sekali lagi tentang “fit and proper test”. Harian Suara
Pembaharuan. Edisi: Selasa, 4 Juli 2000.
Sallis, Edward. (1994). Total quality management in education. London: Kogan
Page Limited.
Suardi, Rudi (2001) Sistem manajemen mutu ISO 9000:2000 penerapannya untuk
mencapai TQM. Jakarta: PPM.
Sudjana, H.D. (1993). Manajemen PLS. Bandung : UNINUS Press.
Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (1995). Total quality management (TQM).
Yokyakarta: Andi Offset.
Wilkinson, Adrian, et.al. (1998) Managing with total quality management : Theory
and practice. London : Macmillan Press Ltd.
Winarta, Frans Hendra. (2000). Fit and proper test yang ideal. Harian Suara
Pembaharuan. Edisi Jum’at, 14 Juli 2001.
112
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005
Opini
Memilih Buku Pelajaran
Memilih Buku Pelajaran
Dr. B.P. Sitepu, M.A*)
Abstrak
ejak pembangunan jangka panjang pertama (1970–1995) dan sampai
sekarang ini, Pemerintah menyediakan buku pelajaran untuk semua
sekolah. Berbagai kebijakan dan sistem penyediaan buku pelajaran
telah ditempuh serta banyak dana sudah dihabiskan baik bersumber
dari dalam negeri maupun dari berbagai bentuk pinjaman dari luar negeri.
Akan tetapi buku pelajaran sampai sekarang ini tidak sepi dari masalah dan
kritikan apalagi menjelang dan mengawali tahun pelajaran baru. Dalam
kenyataannya masyarakat masih dibebani penyediaan buku pelajaran baik di
sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Sekolah juga sering memilih dan
membeli buku pelajaran dari penerbit yang menawarkan buku pelajaran ke
sekolah. Tulisan ini membahas kebijakan penyediaan buku pelajaran itu dan
menawarkan kepada sekolah cara mencermati dan memilih buku pelajaran
sehingga sedapat mungkin memenuhi tuntutan kurikulum serta dapat
meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Sekolah dianggap perlu
mengetahui cara memilih buku pelajaran yang bermutu karena selaras dengan
perkembangan penerbitan buku di Indonesia dewasa ini alternatif pilihan buku
pelajaran semakin banyak.
S
Kata kunci : buku pelajaran, bahan ajar, metode pembelajaran, bahasa,
ilustrasi, grafika
Abstract
In the first long term development (1970 – 1995), the Indonesian Government
tried to provide all schools with free textbooks. A number of regulations in
textbook provision have been implemented and the Government has spent a
big amount of budget from local and foreign sources. However, the facts
show that there are still many problems and critiques in the textbook provision.
The issues become more serious particularly at the beginning of new academic
*) Dosen Universitas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
113
Memilih Buku Pelajaran
years when the parents have to pay textbooks for their children. The parents
also complain that the schools change the textbooks every academic year
without reasonable reasons this happens in government and private schools,
while the Government declares his free textbook policy. This article discusses
the government textbook policy and offers the schools some considerations in
selecting appropriate textbooks for instructional purposes. As the number of
textbooks available is growing fast and the schools have to make choices, the
schools should know properly how to assess and to select the text books.
Pendahuluan
Untuk meningkatkan kecerdasan bangsa secara menyeluruh dan merata
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
pendidikan dalam arti luas memegang peranan penting. Pendidikan fomal
diselenggarakan melalui suatu sistem yang diatur oleh Pemerintah sehingga
setiap warga negara Indonesia tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun
memperoleh pendidikan seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan intelektual
dan fisiknya.
Sunguhpun penyelenggaraan pendidikan secara umum menjadi tanggung
jawab Pemerintah, orangtua dan masyarakat, akan tetapi secara konstitusional
Pemerintah bertanggung jawab atas penyelengaraan pendidikan nasional.
Oleh karena itu Pemerintah berupaya menyediakan tenaga, dana, gedung
serta sarana fisik lainnya sehingga setap warga negara Indonesia dapat
memperoleh pendidikan sebagaimana dikehendaki dalam Pasal 31, ayat 1,
UUD 1945. Di samping itu Pemerintah juga bertanggung jawab atas mutu
pendidikan nasional sehingga sumber daya yang dihasilkan melalui sistem
pendidikan nasional dapat membangun dirinya sendiri serta lingkungannya
menuju kehidupan yang cerdas dan berkualitas secara jasmani dan rohani.
Buku pelajaran merupakan salah satu sumber belajar dan membelajarkan
yang memberikan andil yang cukup besar dalam upaya memperluas
kesempatan memperoleh pendidikan dan sekali gus juga meningkatkan mutu
proses dan hasil pembelajaran. Kebutuhan akan buku pelajaran semakin terasa
dikala jumlah dan mutu guru yang tersedia belum memadai. Di tempat-tempat
tertentu masih banyak guru yang mengandalkan buku pelajaran sebagai satusatunya sumber belajar dan pembelajaran. Guru mempersiapkan,
melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran dengan mengacu sepenuhnya
pada isi buku pelajaran. Siswa juga menggunakan buku pelajaran di sekolah
dan di rumah sebaga sumber belajar utama. Di banyak negara, khususnya
yang masih memiliki keterbatasan sarana dan kemudahan teknologi informasi
dan teknologi komunikasi maju, masih mengandalkan buku pelajaran sebagai
sumber belajar dan membelajarkan di sekolah. Masalah yang dihadapi ialah
114
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Memilih Buku Pelajaran
bagaimana caranya menghadirkan buku pelajaran yang bermutu di setiap
sekolah secara tepat waktu serta tepat jumlah?
Indonesia sendiri sejak tahun 1970 menyediakan buku pelajaran untuk
sekolah dasar dan lanjutan dengan target satu buku untuk setiap siswa. Di
samping itu disediakan pula secara bertahap buku-buku perpustakaan untuk
setiap sekolah negeri dan swasta. Kebijakan penyediaan buku pelajaran yang
lebih dikenal dengan “buku paket” itu diteruskan oleh Pemerintah setiap kali
terjadi perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1968, 1975 atau 1976,
1984, 1994, sampai 2004. Akan tetapi sejauh manakah keberhasilan proyek
buku pelajaran ini memberikan kontribusi dalam pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan bagi setiap anak usia sekolah serta dalam
meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dan membelajarkan? Berbagai
penelitian telah dilakukan dan nampaknya proyek yang menelan biaya besar
ini belum dapat memuaskan guru, siswa, dan orang tua. Masih sering terdengar
keluhan tentang buku pelajaran dari berbagai pihak, yang sudah barang tentu
tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Kebijakan
Pada awal tahun tujuhpuluhan ketika Pemerintah secara sistematis dan sistemik
hendak mengatasi masalah-masalah pendidikan secara nasional, penyediaan
buku pelajaran merupakan salah satu prioritas yang mendesak dilakukan di
samping pengadaan guru dan gedung sekolah. Akan tetapi buku pelajaran itu
tidak dapat serta merta disediakan pada saat dibutuhkan karena mutu buku
pelajaran yang beredar pada waktu itu tidak dapat memenuhi tuntutan minimal
kurikulum yang berlaku. Isi dan metode pembelajaran di dalam buku tidak
mengikuti perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan
untuk keperluan koleksi perpustakaan sekolah sajapun, tidak sampai separuh
atau hanya sekitar 49% dari buku yang dinilai itu dianggap layak dijadikan
koleksi perpustakaan sekolah. Tidak ada satupun dari antara buku yang dinilai
itu memenuhi syarat dijadikan buku pelajaran untuk salah satu mata pelajaran
di Pendidikan Dasar atau Pendidikan Menengah. Perlu dicatat bahwa jumlah
penerbit serta mutu buku yang dihasilkan dalam kurun waktu itu masih jauh
tertinggal dibandingkan dengan lima tahun belakangan ini.
Dilihat dari pemakaiannya di kelas, buku sekolah dapat dibedakan menjadi
buku pelajaran pokok dan buku pelengkap. Buku pelajaran pokok adalah buku
yang disusun mengacu pada kurikulum dan dipergunakan oleh siswa dan guru
sebagai sumber utama dalam proses belajar dan membelajarkan. Sedangkan
buku pelengkap adalah semua buku bacaan lain yang dapat dipergunakan
untuk memperkaya kemampuan dan pengalaman belajar siswa. Dalam tulisan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
115
Memilih Buku Pelajaran
ini pembahasan dibatasi pada buku pelajaran (pokok) yang kedudukannya
sangat strategis dalam proses belajar dan membelajarkan.
Memperhatikan kurangnya jumlah buku pelajaran yang bermutu di satu
pihak dan kebutuhan akan buku pelajaran di pihak lain, maka mulai
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, Pemerintah menetapkan kebijakan
penyediaan buku pelajaran yang intinya dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1: Penyediaan Buku Pelajaran Pokok Pendidikan Dasar dan
Menengah Tahun 1970 sampai Tahun 1997
Kegiatan
1. Menyusun/mempersiapkan naskah
2. Menilai naskah
3. Menerbitkan naskah
4. Mencetak naskah menjadi buku
5. Mengirim buku ke sekolah
6. Menggunakan buku
7. Mengawasi semua kegiatan
8. Menyediakan dana untuk semua kegiatan
Pemerintah Swasta Sekolah
V
V
V
V
V
V
V
V
Naskah buku pelajaran ditulis dan dinilai oleh guru atau ahli bidang studi
atas penunjukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini lembaga/instansi di
lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Setelah
melalui proses uji coba, revisi, dan penyuntingan, naskah dicetak oleh
percetakan swasta (dan milik negara) sehingga menjadi buku dengan hak
penerbitan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang sekarang ini
disebut Depatemen Pendidikan Nasional. Penyaluran buku dari percetakan ke
sekolah dilakukan oleh ekpeditur swasta dengan alokasi dan lokasi
pendistribusaian ditetapkan oleh Pemerintah. Penyusunan dan penilaian
naskah, pencetakan dan penerbitan naskah dikelola secara terpusat sehingga
sangat bersifat sentralistik.
Dilihat dari pelaksana kedelapan kegiatan pokok penyediaan buku
pelajaran, Pemerintah mendominasi kegiatan, dan pihak swasta berperan
terbatas pada jasa pencetakan dan pengiriman buku. Sementara itu pihak
sekolah berperan hanya sebagai pemakai atau konsumen buku pelajaran itu.
Semua kegiatan dalam penyediaan buku pelajaran itu sampai tiba di sekolah
sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah. Buku yang disediakan itu menjadi milik
sekolah (negeri dan swasta) dan dipinjamkan kepada siswa secara cumacuma.
Kebijakan ini berlaku untuk penyediaan buku pelajaran Kurikulum 1968,
1975 atau 1976, 1984, dan 1994 atau sampai tahun 1995. Dalam
pelaksanaannya kebijakan tersebut dihadapi berbagai masalah yang antara
lain adalah sebagai berikut:
116
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Memilih Buku Pelajaran
1. Buku pelajaran yang disediakan Pemerintah tidak pernah tersedia di
sekolah tepat pada waktu kurikulum mulai diberlakukan. Penyusunan dan
penerbitan naskah sampai pengirimannya ke sekolah memerlukan waktu
antara 3 sampai 4 tahun. Dengan demikian sekolah terpaksa mencari
buku pelajaran lain untuk mengisi kekosongan buku pelajaran.
Pemberlakuan Kurikulum 1994 secara bertahap untuk memberikan waktu
untuk menyediakan sarana pendidikan yang diperlukan termasuk buku
pelajaran nampaknya tidak banyak memecahkan masalah.
2. Oleh karena berbagai kendala, Pemerintah menyediakan buku pelajaran
secara bertahap dilihat dari jumlah dan mata pelajaran; Pemerintah tidak
menyediakan buku pelajaran sekaligus untuk semua mata pelajaran dan
sekaligus untuk semua siswa. Sekolah memilih buku pelajaran lain untuk
mata pelajaran yang bukunya belum disediakan Pemerintah.
3. Alokasi buku untuk sekolah jarang sesuai benar dengan kebutuhan nyata
berdasarkan jumlah siswa; di sekolah tertentu terdapat kekurangan buku
sementara di sekolah lain terdapat kelebihan buku.
4. Sungguhpun disusun oleh para ahli dan telah melalui proses uji coba dan
penyempurnaan, buku pelajaran yang disediakan Pemerintah tidak luput
dari kelemahan dalam materi, bahasa, dan metodologi pembelajaran.
5. Hal-hal seperti yang disebutkan pada butir 1 sampai 4 merupakan alasan
bagi sekolah-sekolah tertentu untuk tidak/kurang menggunakan buku
pelajaran yang disediakan Pemerintah dan memilih serta menggunakan
buku lain sebagai buku pelajaran pokok. Pengadaan buku lain itu
dibebankan kepada orangtua siswa dan tidak jarang terjadi setiap ganti
tahun pelajaran, sekolah mengganti buku pelajaran.
6. Penerbit menganggap kebijakan Pemerintah menerbitkan sendiri buku
pelajaran merupakan praktek monopoli yang tidak kondusif dalam
mengembangkan industri buku di Indonesia. Bagi kebanyakan penerbit,
lembaga pendidikan atau siswa merupakan pasar yang potensial dan
dengan kebijakan yang ada mempersempit pasar mereka dan
menghambat perkembangan penerbit.
Dalam dekade tahun sembilan puluhan terjadi kemajuan pesat dalam
usaha penerbitan di Indonesia dilihat dari jumlah maupun mutu buku yang
diterbitkan. Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan kebijakan
pengadaan buku pelajaran yang diterapkan dalam tahun 1970 – 1995 serta
melihat kemajuan penerbitan di Indonesia, maka Pemerintah nampaknya
merasa perlu menyempurnakan kebijakan itu secara bertahap. Perubahan
kebijakan diawali dengan sasaran buku pelajaran SLTP/MTs dengan
menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia. Melalui Proyek ini dicobakan
kebijakan baru yang kemudian dikembangkan juga untuk buku pelajaran di
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
117
Memilih Buku Pelajaran
SD/MI dan SMA/MA. Dakam kebijakan ini terlihat peranan Pemerintah dikurangi
dan peranan swasta ditingkatkan. Penyediaan buku pelajaran dilakukan melalui
pembelian dari penerbit dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan
Pemerintah. Dalam tabel berikut ini terlihat inti kebijakan yang dimaksud.
Tabel 2: Penyediaan Buku Pelajaran Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah
Thn 1997 sampai sekarang
Kegiatan
Menyusun/mempersiapkan naskah
Menerbitkan naskah menjadi buku
Menilai buku
Memasarkan buku
Memilih buku
Membeli buku
Mengirim buku ke sekolah
Menggunakan buku
Mengawasi ketersediaan dan
pemanfaatan buku di sekolah
10.Menyediakan dana untuk semua kegiatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pemerintah Swasta Sekolah
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Kebijakan yang dilaksanakan secara bertahap dan dimulai dari SLTP sejak
tahun 1997menunjukkan:
1. Peranan Pemerintah dalam penyediaan buku pelajaran semakin dikurangi
dan bergeser ke swasta dan sekolah. Nampaknya kebijakan ini sejalan
dengan swastanisasi, desentralisasi dan otonomi serta managemen
berbasis sekolah, yang belakangan ini dikembangkan Pemerintah.
2. Pemerintah menempatkan diri sebagai pengawas mutu pelajaran melalui
penilaian dan penetapan buku pelajaran yang memenuhi syarat, dan
pengawasan dalam pemanfaatannya di sekolah, serta penyediaan dana
pembelian buku pelajaran. Dana tersebut dapat bersumber dari pusat
(APBN) dan daerah (APBD).
3. Swasta, dalam hal ini Penerbit, menyediakan naskah, sampai
penerbitannya menjadi buku pelajaran dan mengajukannya kepada
Pemerintah untuk dinilai. Sistem penilaian yang dianut memungkinkan
beberapa judul buku dari penerbit yang berbeda memenuhi syarat untuk
disyahkan sebagai buku pelajaran dalam mata pelajaran yang sama dan
kelas yang sama. Penerbit diberikan kebebasan mempromosikan bukunya
sesuai dengan tata niaga buku serta bertanggung jawab atas pengiriman
buku itu sampai ke sekolah sesuai dengan jumlah dan waktu yang
ditetapkan sekolah sebagai pembeli.
4. Sekolah semakin berperan dalam penyediaan buku pelajaran yang dipakai
sekolahnya. Sekolah memilih buku pelajaran untuk sekolahnya
berdasarkan pertimbangan jumlah dana yang tersedia serta kesesuaian
118
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Memilih Buku Pelajaran
isi buku dengan karakteristik siswa dan lingkungan setempat. Sungguhpun
beberapa buku sejenis dinyatakan memenuhi syarat untuk dipilih namun
masing-masing buku itu masih memiliki ciri yang berbeda dalam penyajian,
ilustrasi, dan warna. Kewenangan memilih dan membeli buku pelajaran
diperoleh oleh sekolah untuk pengadaan buku pelajaran yang dananya
dialokasikan ke sekolah. Apabila dananya bersumber dari APBD,
pengadaan buku pelajaran dapat dikoordinasikan oleh Dinas Pendidikan
setempat.
Penyempurnaan kebijakan dalam buku pelajaran ini diharapkan dapat
memecahkan berbagai masalah sebelumnya. Dengan kebijakan ini diharapkan:
1. buku pelajaran yang dipakai di sekolah semakin bermutu karena melalui
proses penilaian yang objektif dan menyeluruh (materi, penyajian dan
teknik pembelajaran, keterbacaan dan grafika);
2. pembelian buku pelajaran dari penerbit swasta dapat mendorong
pertumbuhan dan perkembangan penerbitan buku pelajaran pada
kususnya dan industri buku di Indonesia pada umumnya;
3. keterlibatan sekolah dalam pengadaan buku pelajaran memotivasi sekolah
menggunakan buku pelajaran lebih efektif dalam upaya meningkatkan
mutu proses dan hasil belajar;
4. buku pelajaran tersedia di sekolah pada saat diperlukan dalam jumlah
yang sesuai dengan kebutuhan dan
5. Pihak swasta/masyarakat dan sekolah juga diikutsertakan dalam
pengawasan ketersediaan dan pemanfaatan buku pelajaran serta ikut
mengusahakan dan untuk pengadaan buku pelajaran itu.
Seperti dikemukakan sebelumnya, Pemerintah menilai dan mengesahkan
buku pelajaran secara bertahap. Untuk keperluan pelaksanaan Kurikulum 2004,
Pemerintah baru menyelesaikan penilaian dan pengesahan buku pelajaran
untuk Sekolah Dasar. Padahal Kurikulum itu mulai dilaksanakan dalam tahun
ajaran 2004/2005 secara bertahap. Sementara itu di pasar telah beredar banyak
buku pelajaran SD, SMP dan SMA dengan label “Sesuai dengan Kurikulum
2004”. Dengan demikian sekolah kemungkinan menghadapi tiga alternatif
berikut:
1. Sekolah memilih buku pelajaran sepenuhnya dari daftar buku pelajaran
yang telah disahkan Departemen Pendidikan Nasional (apabila daftar itu
telah ada).
2. Sekolah memilih buku pelajaran yang beredar di pasar tapi belum dinilai
dan disahkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
3. Sekolah memilih buku pelajaran dari daftar buku pelajaran yang telah
disahkan Depdiknas dan dari yang beredar di pasar bagi mata pelajaran
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
119
Memilih Buku Pelajaran
yang buku pelajarannya belum dinilai dan disahkan Depdiknas.
Mengingat keterlambatan tersedianya daftar buku pelajaran yang disahkan
Depdiknas maka sekolah akan banyak memilih alternatif ke 2 dan 3. Hal ini
mulai terlihat dalam menyambut tahun ajaran baru 2005 ini sudah terdengar
pembebanan pengadaan buku pelajaran SD, SMP, dan SMA kepada orangtua
di berbagai sekolah. Seperti tahun-tahun sebelumnya mulai terdengar keluhan
klasik orang tua atas harga buku pelajaran yang harus dibayarkan ke sekolah
lebih mahal dari harga buku di toko buku serta buku tahun sebelumnya tidak
dapat lagi dipakai pada tahun pelajaran sekarang. Keadaan ini terjadi di sekolah
negeri dan di sekolah swasta. (Kompas dan Jakarta Post, 9 Juli 2005).
Pemerintah nampaknya masih tetap berkeinginan meringankan beban
masyarakat dalam penyediaan buku pelajaran. Berbagai upaya telah ditempuh
agar siswa dan guru dapat memperoleh buku pelajaran tepat waktu dan biaya
pengadaan buku pelajaran tidak dibebankan kepada orangtua siswa. Akan
tetapi dalam kenyataannya karena berbagai kendala nampaknya upaya itu
belum sepenuhnya berhasil baik di pendidikan dasar (SD dan SLTP yang menjadi
sasaran program wajib belajar) mapun di pendidikan menengah (SMA dan
SMK).
Depdiknas menerbitkan daftar buku pelajaran sekolah yang telah disahkan
dan sekolah diwajibkan memilih buku pelajaran dari daftar itu. Dalam
menghadapi Kurikulum 2004 daftar itu belum tersedia yang berarti sekolah
harus memilih buku lain. Dengan demikian sekolah perlu mengetahui teknik
memilih buku pelajaran yang sesuai untuk keperluan belajar dan
membelajarkan. Dalam menilai dan memilih buku pelajaran, aspek yang perlu
diperhatikan ialah (a) isi/materi, (b) metodologi, (c) bahasa, (d) ilustrasi, dan
(e) grafika buku.
Materi Buku Pelajaran
Yang perlu diperhatikan dalam menilai materi buku pelajaran ialah:
1. Kesesuaian dengan kurikulum
2. Kebenaran konsep
3. Urutan konsep
4. Contoh
5. Bahan evaluasi
Kesesuaian dengan kurikulum
Kurikulum merupakan acuan utama dalam pengembangan buku pelajaran.
Dalam kurikulum disebutkan tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensikompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa sesudah mengalami proses
pembelajaran. Dengan demikian materi buku pelajaran merupakan hasil
120
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Memilih Buku Pelajaran
analisis dan uraian lebih lanjut dari kompetensi dan merupakan kumpulan
pengetahuan yang perlu diketahui siswa untuk dapat memperoleh kompetensi
yang ditetapkan. Dengan demikian penilaian materi buku pelajaran dilihat
dari kurikulum mengacu pada hal-hal berikut:
1) Apakah materi buku pelajaran telah mencakup semua kompetensi dasar
dan indikator yang ditetapkan dalam kurikulum?
2) Apakah keluasan materi buku pelajaran telah sesuai untuk mencapai
masing-masing indikator kompetensi?
3) Apakah kedalaman materi buku pelajaran telah mendukung pencapaian
masing-masing indikator kompetensi?
4) Apakah semua pokok bahasan dan sub-pokok bahasan telah disusun
secara terpadu untuk mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan di
dalam kurikulum?
5) Apakah isi pokok bahasan untuk masing-masing indikator kompetensi
telah disajikan secara seimbang?
6) Apakah materi buku pelajaran dapat dipelajari sesuai dengan alokasi
waktu yang tersedia?
Kebenaran Konsep
Materi buku pelajaran terdiri atas konsep-konsep dalam bidang ilmu tertentu
yang disusun secara sistematis sehingga menjadi teori-teori yang membentuk
pengetahuan untuk memperoleh kompetensi yang diinginkan. Oleh karena itu
konsep-konsep tersebut harus benar, valid atau relevan dilihat dari disiplin
ilmunya. Hal-hal yang perlu dinilai berkaitan dengan kebenaran konsep ialah
seperti berikut:
1) Apakah sesuai dengan cakupan ( ontology ) disiplin ilmu yang
bersangkutan?
2) Apakah lengkap untuk mencapai kompetensi yang dikehendaki?
3) Apakah kebenaran konsep dapat dipertanggungjawabkan dari ilmu yang
bersangkutan?
4) Apakah konsep-konsep yang disampaikan masih relevan dengan keadaan
sekarang?
Urutan Konsep
Susunan dan hubungan konsep berbeda pada masing-masing ilmu. Untuk
memudahkan memahami suatu ilmu secara utuh perlu memahami struktur
dan hubungan konsep-konsep itu. Aspek-aspek tentang struktur ilmu itu perlu
dinilai dari hal-hal berikut:
1) Apakah konsep-konsep yang disampaikan disusun berdasarkan hubungan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
121
Memilih Buku Pelajaran
2)
3)
4)
struktur konsep dalam ilmu tersebut?
Apakah diawali dengan konsep yang menjadi dasar untuk memahami
konsep berikutnya?
Apakah konsep-konsep disusun secara sisematis?
Apakah susunan urutan tersebut memudahkan siswa memahami konsepkonsep itu secara keseluruhan?
Contoh-Contoh
Untuk memudahkan memahami konsep atau teori, apalagi yang bersifat sangat
abstrak, perlu diberikan contoh. Contoh yang kurang atau tidak tepat dapat
pula membingungkan siswa. Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menilai contoh-contoh yang dipergunakan menjelaskan
konsep yaitu sebagai berikut:
1) Apakah relevan dengan konsep yang hendak dijelaskan?
2) Apakah memperjelas konsep yang hendak dijelaskan?
3) Apakah konkrit atau nyata?
4) Apakah mudah dimengerti oleh siswa?
5) Apakah menarik bagi siswa?
6) Apakah memotivasi siswa untuk mempelajari konsep berikutnya?
Bahan Evaluasi
Bahan evaluasi dalam ahan ajar biasanya dasajikan dalam bentuk soal-soal,
latihan , tugas, atau melakukan eksperimen/percobaan. Bahan evaluasi dalam
buku pelajaran berfungsi tidak hanya semata-mata untuk mengetahui hasil
belajar, akan tetapi kegiatan evaluasi itu merupakan bagian kegiatan
pembelajaran. Oleh karena itu bahan evaluasi perlu dilihat dari hal-hal berikut:
1) Apakah mengacu pada tujuan pembelajaran/kompetensi yang hendak
dicapai?
2) Apakah mengacu pada konsop-konsep yang dipelajari sebelumnya?
3) Apakah memperhatikan bidang-bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik?
4) Apakah evaluasi memperhatikan tingkat kesulitan ?
5) Apakah mudah dimengerti?
6) Apakah dengan mengerjakan soal-soal, latihan, tugas, atau eksperimen
tersebut terjadi proses belajar pada diri siswa?
7) Apakah hasil evaluasi tersebut dapat dipergunakan sebagai indikator hasil
belajar?
8) Apakah memotivasi siswa untuk mempelajari hal-hal yang belum dikuasai
dan hal-hal yang baru?
122
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Memilih Buku Pelajaran
Metode Pembelajaran
Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, proses pembelajaran perlu dirancang
dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Metode pembelajaran
disesuaikan dengan kompetensi yang menjadi tujuan, jenis dan sifat materi
buku pelajaran, kondisi belajar/pembelajaran, serta karakterisitik siswa.
Berkaitan dengan metode pembelajaran, hal-hal yang perlu diperhatikan ialah:
a. Apakah sesuai untuk mencapai masing-masing kompetensi yang
dikehendaki?
b. Apakah sesuai untuk kondisi siswa?
c.
Apakah memperhatikan kondisi lingkungan belajar?
d. Apakah menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi?
e. Apakah materi buku pelajaran disajikan secara runtut?
f.
Apakah meningkatkan motivasi belajar siswa?
Bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan materi buku pelajaran
dari pengembang buku pelajaran kepada siswa. Sebagai alat komunikasi,
bahasa ikut menentukan keberhasilan komunikasi atau penyampaian pesan
tersebut. Bahasa yang tepat dapat memudahkan pemahaman dan menimbulkan
atau meningkatkan motivasi belajar. Dengan demikian penilaian diarahkan
pada hal-hal berikut:
a. Apakah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar?
b. Apakah struktur kalimat sesuai dengan kemampuan penalaran siswa?
c.
Apakah pilihan kata sesuai dengan pemahaman siswa?
d. Apakah disajikan secara lugas (tidak berbelit-belit)?
e. Apakah bahasa yang digunakan menarik bagi siswa?
f.
Apakah tingkat keterbacaan bahasa sesuai dengan kemampuan membaca
siswa?
g. Apakah sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa?
Ilustrasi
Ilustrasi berfungsi untuk menjelaskan konsep sehingga lebih sederhana, jelas
dan mudah dipahami. Ilustrasi dapat berbentuk foto, gambar, sketsa, bagan,
grafik, peta, dan tabel. Fungsi lain dari ilustrasi ialah dekoratif. Dalam menilai
ilustrasi yang perlu diperhatikan ialah:
a. Apakah ilustrasi relevan?
b. Apakah bentuknya proporsional?
c. Apakah bentuknya akurat?
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
123
Memilih Buku Pelajaran
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Apakah warnanya sesuai?
Apakah menarik?
Apakah mampu mengungkapkan konsep/objek?
Apakah menyederhanakan konsep/objek?
Apakah menjelaskan konsep/objek?
Apakah memudahkan pemahaman siswa?
Produksi/Grafika
Aspek grafika mempengaruhi minat, motivasi, dan hasil belajar. Aspek ini
mencakup:
1. desain/tata letak
2. tipografi
3. kertas, dan
4. produksi
Desain/Tata Letak.
Desain/tata letak termasuk desain kulit dan desain isi dengan cakupan
konsistensi, keharmonisan, daya tarik. Hal-hal yang perlu dinilai seperti berikut:
1) Apakah ukuran buku sesuai untuk siswa?
2) Apakah desain kulit mewakili isi/bidang studi/disiplin ilmu?
3) Apakah ilustrasi kulit buku menarik?
4) Apakah komposisi judul, nama pengarang, dan penerbit pada kulit serasi?
5) Apakah warna menarik untuk siswa?
6) Apakah tata letak isi konsisten dengan pola?
7) Apakah ukuran margin efisien?
8) Apakah anatomi buku/bagian buku lengkap?
9) Apakah perbedaan paragrafh jelas?
10) Apakah teks dan ilustrasi berdekatan?
Tipografi
Tipografi mempengaruhi kemudahan membaca dan mencakup ukuran dan
bentuk huruf, variasi huruf, panjang baris, spasi, dan jarak antara huruf.
Hal-hal yang perlu dinilai sebagai berikut:
1) Apakah ukuran huruf sesuai dengan tingkat kelas?
2) Apakah jenis huruf sesuai dengan tingkat kelas?
3) Apakah variasi ukuran dan jenis huruf membantu pemahaman?
4) Apakah unsur tipografi pada halaman isi mempunyai hirarki yang jelas?
5) Apakah panjang baris tidak melelahkan membaca?
6) Apakah spasi baris normal?
124
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Memilih Buku Pelajaran
Kertas
Di samping mempengaruhi daya tahan buku, jenis dan mutu kertas juga
mempengaruhi minat dan motivasi membaca. Berkaitan dengan kertas kulit
dan kertas isi buku, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1) Apakah jenis kertas untuk kulit bebas serat kayu?
2) Apakah jenis kertas isi sesuai untuk mata pelajaran?
3) Apakah kertas kulit cukup kuat?
4) Apakah kertas isi tidak mudah sobek?
5) Apakah kertas isi mengunakan mutu kertas yang sama?
6) Apakah warna kertas isi tidak silau?
Produksi
Produksi buku pelajaran adalah hasil pencetakan naskah yang telah disusun
oleh pengembang/penulis buku pelajaran. Produksi mencakup mutu cetakan,
penjilidan, dan pemotongan. Aspek ini mempengaruhi kemudahan dan
kenyamanan menggunakan buku itu. Hal-hal yang perlu diperhatikan ialah
seperti berikut:
1) Apakah hasil cetakan tajam?
2) Apakah bersih?
3) Apakah huruf atau gambar tidak berbayang?
4) Apakah tidak tembus ke halaman berikutnya?
5) Apakah registered antar halaman?
6) Apakah hasil cetakan berwarna sesuai dengan aslinya?
7) Apakah penjilidan kuat/tidak mudah lepas?
8) Apakah pemotongan simetris dan rapi?
Penutup
Seperti diuraikan sebelumnya buku pelajaran dinilai dari aspek materi, metode
pembelajaran, bahasa, ilustrasi dan grafika. Untuk dapat melakukan penilaian
dan pemilihan secara objektif, diperlukan keahlian di masing-masing aspek
tersebut. Dalam pelaksanaannya, penilaian dan pemilihan buku pelajaran di
sekolah dikerjakan oleh tim yang anggotanya melibatkan guru bidang studi
dan wakil dari komite sekolah. Buku pelajaran mengandung bahan ajar yang
seharusnya disusun secara tepat dan benar dilihat dari disiplin ilmu, metode
belajar dan pembelajaran, bahasa, ilustrasi dan grafikanya. Faktor harga
memang penting dan ikut menentukan, tetapi hendaknya tidak mendahului
kepentingan belajar dan membelajarkan. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa buku pelajaran yang baik memberikan kontribusi yang cukup berarti
dalam meningkatkan mutu proses dan hasil belajar.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005
125
Memilih Buku Pelajaran
Apabila kebijakan Pemerintah di bidang buku pelajaran telah berjalan
dengan baik, sekolah tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah buku
pelajaran. Apalagi kalau buku pelajaran dapat dipakai paling singkat lima
tahun baik dilihat dari isi maupun fisiknya, maka tidak perlu lagi setiap tahun
pelajaran baru, harus ganti buku pelajaran pula. Namun hendaknya
digarisbawahi bahwa sebaik atau seburuk apapun mutu buku pelajaran,
peranan guru masih tetap lebih utama. Buku yang bermutu apabila dipakai
oleh guru yang tidak bermutu dalam proses pembelajaran akan menghadirkan
proses dan hasil pembelajaran yang tidak bermutu. Buku yang kurang/tidak
bermutu apabila dipergunakan oleh guru yang bermutu akan dapat
menghasilkan proses dan hasil pembelajaran yang bermutu. Buku yang
bermutu apabila dipergunakan oleh guru yang bermutu pula akan menciptakan
suasana, proses, dan hasil pembelajaran yang jauh lebih bermutu.
Daftar Pustaka
Althbach, P.G. & Teferra, D. (Eds). (1998). Publishing and development: A
book of readings. Chestnut Hill: Bellagio Publishing Network
Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional. ( 1999). Pembinaan
perbukuan nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Chatry-Komarek, M. (1996). Tailor-made textbooks. Oxford: CODE Europe
Jakarta Post. 9 Juli 2005. Your leters: Supplies of textbooks
Kompas. 9 Juli 2005. Buku ajar masih beratkan orang tua
Pusat Perbukuan. (1994). Pedoman Pusat Perbukuan. Jakarta: Pusat Perbukuan.
Pusat Perbuukuan, (1997). Mekanisme penyediaan buku pelajaran pokok SMP
dan sekolah sederajat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sitepu, B.P. (2002). Otonomi penyediaan buku pelajaran dalam Analisis CSIS.
Tahun XXIX/2000. No 3. Jakarta: CSIS
Supriadi, D. (2000). Anatomi buku sekolah di Indonesia. Yogyakarta: AdiCita
Suryadi, K., et al (2000). Pedoman penulisan dan penilaian naskah buku. Jakarta:
Pusat Perbukuan
126
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Isu Mutakhir
Isu-Isu Pendidikan Mutakhir
Drs. Hotben Situmorang, M.BA*)
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si**)
Pendahuluan
engakhiri tahun pelajaran serta menyambut tahun pelajaran baru,
terdapat dua isu yang sering mengemuka. Pertama isu tentang sistem
penilaian dikaitkan dengan masalah mutu pendidikan serta sistem
penerimaan siswa/mahasiswa baru dikaitkan dengan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan atau demokratisasi pendidikan. Kedua
isu ini (kualitas dan kuantitas) saling terkait dan erat kaitannya dengan dana
pendidikan yang tersedia. Untuk mewujudkan proses pembelajaran agar
menghasilkan sumber daya yang bermutu memerlukan dana yang besar,
terutama pengadaan alat-alat dan tenaga kependidikan. Sementara untuk
memperbanyak daya tampung, diperlukan dana yang banyak membangun
gedung atau ruang-ruang kelas baru. Oleh karena itu dana untuk pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan serta sistem penilaian hasil belajar masih
merupakan isu yang perlu dikaji lebih lanjut.
M
Pembiayaan Pendidikan
Dimulai pada tahun sembilan puluhan kelompok konglomerat seperti halnya
Group LIPPO, GLOBAL JAYA dan lain-lain memasuki dunia pendidikan dan
menjadikannya “noble industry”. Jika pada umumnya dunia pendidikan dibangun
dari usaha dan semangat disertai modal yang terbatas, maka kelompok
konglomerat hadir dengan membangun sudut pandang yang berbeda
berorientasi pada profit dengan modal investasi besar, kemampuan pemasaran
serta professionalisme.
Pengelola pendidikan menawarkan berbagai daya tarik pada orang tua
calon siswa sebagai customer. Di antara konsep pendidikan “menarik” yang
merupakan bumbu penyelenggaraan pendidikan tersebut, antara lain:
- Multiple Intelligence
- Flash Card Glen Doman
- Brain Based Learning
- Neuro Learning Process
*)
**)
Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (2) BPK PENABUR Jakarta
Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (1) BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
127
Isu-Isu Pendidikan Mutakhir
- Quantum Learning
- Brain Gym
- The Golden Age Period
- Mozart Effect
- Early Intervention & Early Child Education
Pergeseran ini terjadi seiring dengan perilaku masyarakat dalam
memandang pendidikan. Pendidikan yang sebelumnya merupakan kebutuhan
sekunder telah dipandang sebagai kebutuhan utama. Dalam hal memenuhi
kebutuhan utamanya ini, masyarakat memilih sesuai dengan kemampuan yang
sangat terkait dengan ekonomi untuk memperoleh kualitas layanan yang
setinggi-tingginya. Hal ini menciptakan kultur elitisme di kalangan sekolahsekolah “noble industry” tersebut. Padahal masyarakat banyak, mahalnya biaya
pendidikan seringkali masih merupakan problem yang tak terpecahkan.
Ki ta juga maklum atas ketidakmampuan pemerintah dal am
penyelenggaraan pendidikan untuk semua warga negara. Akan tetapi realitas
itu janganlah dijadikan apologi pemerintah lepas tanggung jawab dan
menyerahkan kepada swasta. Bagaimanapun tanggung jawab pendidikan tetap
ada di pundak pemerintah. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan,
setiap warga negara berhak mengikuti pendidikan. Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD
45 juga menggariskan, negara harus mengalokasikan 20 persen APBN untuk
anggaran pendidikan nasional. (Tajuk Rencana Pikiran Rakyat, 4 Mei 2005).
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pasal 46
mengamanatkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kabupaten
Jembrana, dalam 4 tahun terakhir telah mensubsidi Rp. 14,7 M (hampir 3,7 M
per tahun) untuk menggratiskan semua sekolah negeri. Kabupaten-kabupaten
lain akan segera menyusul, di antaranya Balikpapan. Namun hingga saat ini
belum diperoleh informasi kebijakan untuk sekolah swasta. Masih banyak
sekolah swasta yang mengalami kesulitan biaya dan terancam tutup, padahal
sekolah swasta masih dibutuhkan.
Baiklah kita belajar dari pengalaman negara Irlandia yang telah lama
memberlakukan sekolah gratis pada tingkat sekolah lanjutan pada akhir 1960an (Thomas Friedman. 2005. Ireland: The end of the rainbow. New York
Times). Usaha pemerintah tersebut telah membuahkan keberhasilan
pendidikan anak dari para buruh mencapai sekolah lanjutan atas dan tidak
sedikit yang mencapai gelar pendidikan teknik. Pada tahun 1973 saat Irlandia
bergabung dengan Uni Eropa, mereka telah menghasilkan banyak tenaga kerja
terdidik. Pada tahun 1990, dengan jumlah angkatan kerja sebesar 1,1 juta
jiwa, tidak ada pengangguran di Irlandia. Wakil Perdana Menteri, Mary Harney,
128
Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
Isu-Isu Pendidikan Mutakhir
menyatakan bahwa hal tersebut bukan keajaiban akan tetapi adalah
pengambilan kebijakan yang tepat dalam menyambut globalisasi.
Kelulusan Ujian Nasional SMA
Di samping usaha reformasi pendidikan yang sedang berlangsung adalah hasil
Ujian Nasional tahun 2005 yang mengejutkan. Dengan nilai minimal kelulusan
4,26, ternyata sebanyak 800.000 siswa dinyatakan tidak lulus. Bahkan di 13
sekolah di Propinsi DIY 100% siswanya tidak lulus. Walaupun banyak kritikan
dilontarkan terhadap Ujian Nasional tersebut, antara lain kualitas soal yang
tidak standar, konversi nilai yang tidak transparan, dan sebagainya. Hasil ini
mungkin merupakan gambaran yang sebenarnya mengenai seberapa
parahnya kualitas pendidikan nasional Indonesia.
Data statistic dari UNDP menunjukkan bahwa Human Development Index
Indonesia menduduki rangking 111, satu nomor lebih baik dari Vietnam.
Laporan UNDP tersebut menampilkan negara tetangga Singapore pada urutan
25, Malaysia 59 dan Philipines 83.
Sistem Kenaikan Kelas
Pada tahun 2004 pemerintah mensosialisasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) menyusul program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah
diluncurkan terlebih dahulu. Dengan dasar MBS pelaksanaan KBK menjadi
pilihan bagi sekolah dan disesuaikan dengan kesiapan masing-masing sekolah.
Peluang melaksanakan kurikulum yang berbeda mendorong sekolah berinovasi
dengan dengan berbagai sistem pembelajaran. Beberapa sekolah yang
menyatakan diri berwawasan Internasional memberlakukan Victorian
Curriculum, Cambridge, atau IB system. Sekolah yang lain meluncurkan
program akselerasi dengan kurikulum nasional.
Berbagai inovasi tersebut tetap belum menyentuh permasalahan sistem
kenaikan kelas. Berbeda dengan di Indonesia, dalam pendidikan dasar 9 tahun
di Jepang tidak ada ujian masuk, ujian kenaikan kelas, dan ujian kelulusan;
secara otomatis semua murid naik kelas dan lulus. Untuk masuk sekolah di
atas pendidikan dasar (yaitu mulai sekolah lanjutan tingkat atas), murid harus
lulus ujian masuk. (Abas Gozali, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.027November 2000).
SMA Umum di Jepang pada dasarnya dibagi dalam 3 tingkat seperti di
Indonesia, dengan struktur program yang sama untuk semua siswa. Sejak
tahun 1988, diperkenalkan Sistem Kredit Semester untuk mengakomodasi
perbedaan individual dan minat siswa. Dalam 10 tahun telah ada 170 sekolah
(negeri dan swasta) yang menerapkan sistem tersebut. Pada sistem ini siswa
Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
129
Isu-Isu Pendidikan Mutakhir
dapat memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan jadwal sesuai
kepentingannya. Tampaknya hal ini menjadi pilihan siswa, bahkan siswa yang
telah dropout dapat mengikuti pendidikan kembali. (Gradeless High Schools:
Schools Diversifying Under the Credit System. Kementerian Pendidikan Swedia
saat ini juga sedang mempersiapkan reformasi sistem pendidikan nasionalnya
yang mengarah pada SKS. (Important reforms for higher education).
Sumber
http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?Id=69164
http://web-japan.org/trends98/honbun/ntj980515.html 13 Juli 2005
http://www.sweden.gov.se 3 Juli 2005
130
Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004
Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen
Resensi Buku
Judul
:
Pengarang
Penerjemah
Penerbit
:
:
:
Cetakan
:
Tebal/Ukuran :
Oleh
:
Bagaimana Memulai dan
Mengembangkan Sekolah Kristen
James W Braley, LL.D
Agustien, S.S.
Association of Christian Schools
International
1, 2004
140 halaman / 21 x 27 cm
Imma Helianti Kusuma*)
Pedoman Praktis Membangun Sekolah Kristen
anajemen Berbasis Sekolah memberikan peluang yang besar bagi
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut berpartisipasi dalam
peningkatan mutu pendidikan. Kesempatan ini tentunya perlu
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bentuk partisipasi itu dapat dilakukan
dengan mendirikan sekolah baru atau mengembangkan sekolah yang sudah ada.
Tetapi bagi orang awam yang belum mengenal dunia persekolahan akan bertanya,
“Bagaimana memulai mendirikan sekolah baru?” atau “Bagaimana mengembangkan
sekolah yang sudah ada?” Apalagi masih diberi embel-embel Kristen.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat Anda temukan dalam
buku yang berjudul “Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen”
karangan James W. Braley. Sejauh penulis ketahui memang belum banyak referensi
atau buku-buku yang secara khusus memberi informasi praktis cara memulai dan
mengembangkan sekolah Kristen. Ada satu buku yang telah beredar di masyarakat
sejak tahun 1993 yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Sekolah Kristen”.
Buku yang ditulis oleh Nathanael Daldjoeni dkk, terbitan Pusat Pengembangan
Pendidikan Kristen MPPK Salatiga dapat juga menjadi acuan. Di dalamnya mengupas
tentang hakikat dan implikasi sekolah Kristen, kelembagaan dan pengelolaan
sekolah Kristen, sekolah Kristen dan administrasi pendidikannya, tenaga pendidikan
sekolah Kristen dan persyaratannya, guru dan tugasnya sebagai pembimbing,
alat pendidikan dan pengajarannya. Tetapi penyajiannya cenderung teoritis, kurang
mendarat pada sasaran. Berbeda dengan buku karangan James W Braley yang
dapat menjadi “panduan praktis” dalam mengambil keputusan untuk mendirikan,
merencanakan dan mengembangkan sekolah Kristen.
Dalam mengelola sekolah Kristen ada beberapa prinsip yang membedakan
dengan sekolah lain. Prinsip-prinsip kekristenan mewarnai setiap kegiatan yang
ada. Prinsip tersebut menekankan: (1) Kristus merupakan tokoh pusat,
menerapkan pengajaran Alkitabiah seperti “lebih diberkati” untuk memberi daripada
menerima. Oleh karena itu kegiatan yang ada menekankan kepada melayani. (2)
Allah memberikan tanggung jawab kepada orang tua untuk mendidik anaknya.
Karena itu kegiatan yang ada harus didesain sedemikian rupa agar orang tua
M
*) Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (3) BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
131
Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen
terlibat dalam proses pendidikan itu. (3) Sekolah membantu menemukan dan
mengembangkan bakat, mengenali dan menghargai kelebihan setiap individu.
Memberikan penghargaan ketika siswa menggunakan dan mengembangkan bakat
mereka. Menurut hemat penulis prinsip ini sebenarnya dapat merupakan tantangan
bagi pengelola dan pengembang sekolah Kristen untuk memikirkan bagaimana
mengaplikasikannya dalam setiap perancangan program sekolah.
Sekolah Kristen ada sebagai panggilan untuk melayani Allah dan sesama.
Sekolah Kristen memiliki misi pendidikan bagi generasi muda dengan mendasarkan
pada prespektif Kristen yang berasal dari nilai-nilai Alkitabiah yang diakui oleh
gereja dan keluarga Kristen. “Sekolah” mengajarkan seluruh segi kehidupan dan
kebenaran yang berpusat pada Tuhan Yesus yang ada di dalam Alkitab. Dengan
mendirikan sekolah Kristen berarti Allah memberikan sebuah tantangan dan
kesempatan untuk memberitakan Kristus kepada orang tua dan anak-anak. Dalam
hal ini berarti sekolah Kristen menjadi kitab terbuka yang dapat dibaca oleh setiap
orang yan g m eman dan gnya, s eko lah Kristen menjadi panu tan dalam
lingkungannya.
Ditegaskan dalam buku ini bahwa langkah awal yang harus ditempuh untuk
mendirikan sekolah Kristen adalah (1) Ide tentang sekolah Kristen harus
dimatangkan di dalam doa. Doalah yang harus menuntun keseluruhan kegiatan
karena doa membawa berkat Allah. (2) Membentuk sebuah panitia studi untuk
melakukan penelitian tentang kemungkinan memulai sebuah sekolah. Siapa saja
yang menjadi anggota panitia ini? Perencanaan apa saja yang harus dibuat? Kemana
saja hubungan harus dijalin? Bahkan sampai pada survei biaya untuk memperkirakan
pendapatan. (3) Presentasikan ide sekolah Kristen kepada majelis atau dewan
gereja, anggota gereja atau pendukung pendanaan sekolah untuk mendapat
persetujuan. (4) Rekruitmen pimpinan sekolah dan guru (5) Analisis untuk fasilitas
sekolah. (6) Mulai promosikan sekolah. (7) Kebijakan finansial (hal. 1-5).
Sebelum memulai sebuah proyek, akan lebih bijaksana bila didahului dengan
penelitian. Buku ini juga membahas tentang data-data yang diperlukan untuk
kemungkinan memulai sebuah sekolah Kristen pada suatu daerah sebagai bahan
penelitian, bahkan dilengkapi dengan formulir survei. Setelah mengadakan
penelitian maka dilanjutkan dengan perencanaan ekstensif. Dalam materi ini
disediakan checklist perencanaan tentang informasi utama, sasaran dan daftar
periksa untuk mengembangkan sekolah Kristen. Bagian ini akan lebih terarah
apabila dilengkapi dengan bagaimana memproses dan menganalisis data survei
sehingga dapat dimanfaatkan untuk penentuan sebuah keputusan yang tepat.
Filosofi merupakan dasar atau pondasi utama dari semua yang dilakukan sekolah
yang di dalamnya menyangkut seluruh proses belajar dan aktifitas lain. Oleh karena
itu filosofi penting untuk dikembangkan dan dinyatakan secara sederhana. Selain
filosofi, dalam mengembangkan perencanaan sekolah perlu dipikirkan juga tentang:
(1) pernyataan iman yang merupakan kepercayaan sekolah dengan fokus
pertanyaan untuk apa diajarkan, apa yang melatarbelakangi rohaninya. (2)
menentukan tujuan dan lingkup sekolah, mengatur struktur sekolah. (3) sekolah
harus mempunyai misi yang jelas; dan (4) mengetahui kriteria dalam proses
akreditasi karena sangat membantu dalam mengembangkan suatu sekolah. Dalam
132
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen
buku ini diuraikan untuk setiap bagian tersebut serta dilengkapi dengan contoh
(hal. 8-14)
Ada beberapa hal yang perlu digum uli untuk membantu panitia
pengembangan sekolah “Kristen” yang merupakan ciri khusus kekristenan itu
sendiri, misalnya bagaimana guru Kristen menerapkan konsep kristiani? Bagaimana
kita memuliakan Tuhan dan mengajar murid dengan konsep yang tepat mengenai
diri sendiri? Bagaimana kita menerapkan kebenaran Alkitabiah mengenai kejatuhan
manusia? Bagaimana metode mengajar yang baik memberi konsep yang benar
tentang Allah? Siapakah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak? Bagaimana
kita mengetahui apakah sekolah berhasil melayani masyarakat atau gagal?
Pertanyaan di atas dijabarkan dengan jelas sampai pada bagaimana membuat dan
mendapatkan dokumen, mengetahui tujuan dari setiap acuan dan proses
memanfaatkan untuk lebih memudahkan dalam penerapan di lapangan, semuanya
dipandu dengan berbagai pertanyaan (hal. 15-18).
Adalah penting untuk menyusun struktur organisasi sekolah dengan baik.
Oleh karena itu struktur organisasi perlu dipersiapkan dengan disertai job description
dan tanggung jawab serta bagian apa saja yang perlu ada untuk mengembangkan
sekolah. Struktur organisasi terbagi atas 2 bagian yaitu pengambil kebijakan dan
panitia kerja. Pengambil kebijakan adalah dewan pengurus, sedangkan panitia
kerja adalah bagian operasional sekolah. Buku ini menampilkan checklist tentang
apa yang harus dilakukan dalam pembuatan struktur organisasi, contoh bagan
organisasi sekolah Kristen berdasarkan lembaga yang mendanai (mensponsori),
dan bagaimana pengorganisasiannya. Dijelaskan juga tentang tugas, tanggung
jawab, fungsi, wewenang, kode etik, dan hubungan satu bagian dengan yang
lainnya misalnya kepala sekolah dan dewan pengurus. Tidak terkecuali tugas dan
tanggung jawab pengurus diuraikan secara jelas, juga disediakan checklist tentang
apa saja yang harus dilakukan oleh dewan pengurus untuk hal yang bersifat
umum, hal berkenaan dengan legal, guru dan staf, keuangan, penerimaan murid,
struktur organisasi dewan pengurus. Selain itu juga diuraikan tentang penetapan
pedoman kebijakan yang merupakan sebuah dasar untuk efisiensi dan konsistensi.
Sebagai bagian dari kebijakan sekolah, prinsip-prinsip disiplin perlu dirumuskan
dengan jelas dan dipahami. Karena bercirikan Kristen maka dalam buku ini dikupas
tentang bagaimana menetapkan disiplin positif yang sesuai dengan kitab suci
dan tetap mengajarkan nilai-nilai Alkitab (hal. 30-43). Jika dalam pembahasan
awal “bercirikan kekristenan” yang membedakan pengembangan sekolah yang
lain maka dalam kupasan ini akan lebih jelas bedanya apabila disajikan juga tentang
tugas-tugas setiap jabatan yang mencerminkan ciri kekristenan tersebut sehingga
prinsip yang selayaknya dipegang akan teraplikasi dalam setiap tugas yang
dibebankan. Uraian tugas dan wewenang untuk pengurus perlu disosialisaikan
kepada setiap pengurus agar tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaan.
Seleksi terhadap staf pengajar dan karyawan lainnya merupakan salah satu
tugas yang sangat penting dari dewan pengurus dan Kepala Sekolah. Pada hal.
45-71 diuraikan bagaimana merekrut dan mempekerjakan seorang Kepala Sekolah.
Selain dilengkapi dengan hal-hal yang harus dicapai oleh seorang Kepala Sekolah,
juga beberapa contoh formulir misalnya aplikasi awal mengajar guru, kuesioner
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
133
Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen
tindak lanjut pribadi guru, rekomendasi profesional, tambahan dalam kontrak,
surat penunjukkan, kontrak/uraian jabatan dan uraian tugas guru, penyusunan
pedoman staf. Dalam pengembangan guru agar mampu bertahan pada zamannya
maka pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan tuntutan dan kondisi perlu
dirancang agar seorang guru Kristen secara berkelanjutan terus mencari
kesempatan untuk bertumbuh dan belajar. Evaluasi guru merupakan suatu
feedback yang dapat dipergunakan untuk pengembangan diri maupun
pengembangan sekolah juga diuraikan dengan jelas dan dilengkapi contoh formulir
evaluasi guru.
Dalam buku kepemimpinan kepala sekolah karangan Wahjosumidjo diuraikan
bahwa kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberikan
tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar
mengajar. Tugas memimpin mengandung arti kemampuan menggerakkan segala
sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga didayagunakan secara maksimal
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktik organisasi kata
memimpin, mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing,
melindungi, membina, memberi teladan, memberi dorongan, memberi bantuan
dan sebagainya. Hal ini memberikan indikasi betapa luasnya tugas dan peranan
kepala sekolah sebagai seorang pemimpin suatu organisasi. Oleh karena itu
sebaiknya dalam buku James W. Braley seyogianya diuraikan secara jelas untuk
setiap perannya, misalnya kepala sekolah sebagai pejabat formal, sebagai manajer,
sebagai pemimpin, sebagai pendidik, sebagai staf dsbnya.
Fasilitas sebagai sarana pendukung kelancaran program sekolah, perlu didesain.
Fasilitas pokok apa saja yang sebaiknya ada untuk suatu sekolah, bagaimana
pengaturan yang baik agar berfungsi sesuai yang diharapkan di kupas pada hal.
72- 81. Fasilitas banyak sekali macamnya. Setiap jenjang pendidikan akan berbeda
satu dengan lainnya sesuai dengan program yang sedang dikembangkan oleh
sekolah tersebut. Fasilitas akan berfungsi mendukung atau mensuport program
ketika diefektifkannya fasilitas tersebut dalam pelaksanaan sebuah program.
Seorang perancang atau pengembang pendidikan perlu mengetahui fungsi setiap
fasilitas sehingga mampu mendayagunakannya, selain itu perlu mengetahui tentang
letak, ukuran, disain interior, pengelolaan, perawatan dari setiap jenis fasilitas.
Kurikulum sebagai bagian pokok dari penyelenggaraan suatu sekolah, menjadi
sorotan dalam buku ini. Kurikulum tidak akan terlepas dari buku teks, buku latihan
dan materi lainnya perlu diseleksi dengan cermat oleh guru sehingga dapat diadaptasi
dan ditambah bila diperlukan guna memasukkan pandangan Alkitab. Guru harus
menyeleksi materi tersebut sampai pada penggunaannya. Di dalam buku ini juga
diinformasikan penerbit-penerbit yang memproduksi materi-materi untuk sekolah
Kristen. Dibahas juga bagaimana merancang kurikulum untuk sekolah Kristen,
dilengkapi dengan checklist langkah merancang kurikulum sekolah dan contoh
menyusun kurikulum (hal. 82-92). Dalam bagian ini akan lebih berbeda bila
mengupas contoh-contoh kurikulum yang bermuatan atau bercirikan kekristenan
sehingga terlihat jelas bedanya dengan sekolah lain.
Sekolah membutuhkan banyak formulir dan materi cetak lainnya. Formulir
yang harus tersedia di suatu sekolah tersebut antara lain formulir pendaftaran,
134
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen
slip pembayaran, tes masuk, formulir aplikasi guru dan referensi, formulir evaluasi
diri guru, formulir evaluasi dari kepala sekolah untuk guru, kertas surat, brosur
sekolah dsb. Bagaimana seharusnya bentuk dan isi formulir tersebut & bagaimana
pembuatannya di jelaskan pada hal. 95- 97. Contoh formulir aplikasi siswa,
pernyataan kerjasama antara ayah dan ibu tidak lupa di munculkan.
Komunikasi yang baik antara pihak sekolah dengan orang tua akan mendukung
terlaksananya proses belajar mengajar yang baik. Hal. 98-99 menggambarkan
bagaimana menciptakan komunikasi yang baik dan apa saja yang seharusnya
sekolah s iapkan agar o rang tu a m engetah ui dan mam pu menduku ng
penyelenggaraaan kegiatan sekolah. Sebagai sekolah Kristen tentunya mempunyai
warna kristiani dalam menjalin komunikasi dengan orang tua. Oleh karena itu
perlu di desain kegiatan-kegiatan seperti apa yang dapat digarap oleh sekolah
dalam menjalin hubungan dengan orangtua, sehingga mampu memberikan suatu
pelayanan yang berbeda tehadap orang tua di bandingkan dengan sekolah lain.
Dalam operasional sekolah, keuangan merupakan unsur yang penting.
Bagaimana merencanakan hal-hal yang dibutuhkan, mengajukan anggaran, dan
fungsi pengawasan yang cermat merupakan unsur penting dalam keuangan.
Perlu dipahami juga bahwa setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda,
sekolah dikelola dengan tujuan yang berbeda, dan proses penyusunan anggaran
akan mencerminkan tujuan tsb. Apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam
menyusun anggaran sekolah dapat dipelajari di hal 100-108. Bagian lain yang
merupakan pendukung dari penyelenggaraan sekolah seperti transportasi,
kesehatan, mengiklankan sekolah dibahas di hal. 109-116.
Keunggulan dari buku ini terletak pada pencantuman pertimbanganpertimbangan Alkitabiah untuk memulai dan mengembangkan sekolah Kristen
dengan pembahasan serta dilengkapi format-format yang dapat langsung
digunakan, contoh-contoh praktis yang dapat diterapkan, kolom checklist tentang
pokok utama yang harus dilakukan pada setiap bagian. Selain itu juga dilengkapi
dengan menempatkan Kristus pada porsi yang sebenarnya pada sistem
persekolahan.
Karena buku ini adalah hasil terjemahan, maka sidang pembaca memerlukan
waktu yang banyak untuk membaca agar benar-benar paham. Inilah kelemahan
mencolok dari buku ini. Selain itu pembahasannya kurang sistematis misalnya
bagian filosofi dan perencanaan yang harus dilakukan,. Pada bab-bab tertentu
misalnya masalah fasilitas tidak di bahas secara tuntas dan tidak terarah. Namun
penulis berpendapat sebagai sebuah buku yang menginformasikan berbagai
langkah yang harus diambil untuk memulai dan mengembangkan sekolah Kristen,
buku karangan James W Braley layak dibaca. Secara khusus penulis menyarankan
kepada para pengelola pendidikan Kristen, Dewan Pengurus yayasan Kristen,
pengembang pendidikan Kristen, Kepala Sekolah, Guru untuk mencerna isi buku
terbitan Association of Christian Schools International.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
135
Profil
BPK
PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah
Menghadapi Persaingan Global
Yuli Kwartolo, S.Pd*)
Sejarah Singkat
alam sejarah pertumbuhannya sebelum memakai nama BPK PENABUR
Jakarta, dikenal beberapa istilah. Dalam akta pendiriannya pada tahun
1950 disebut dengan istilah “Komisi Sekolah” Badan Pendidikan
THKTKHKH Djawa Barat. Kemudian berganti dengan istilah Komisi Jakarta,
selanjutnya berganti nama dengan istilah Komisi Pembantu Setempat (KPS)
Jakarta dan saat ini bernama BPK PENABUR Jakarta.
Sejalan dengan perkembanganya, BPK PENABUR Jakarta semakin lama
semakin mapan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ini dapat dilihat
dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana, seperti dibangunnya
gedung-gedung sekolah. Salah satunya adalah Gedung SMAK 1 BPK PENABUR
di Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Jakarta Barat.
Sekolah yang dikelolanya terus bertambah dari jenjang TK sampai dengan
SLTA. Sampai tahun pelajaran 2004/2005, jumlah sekolah yang dikelola BPK
PENABUR Jakarta berjumlah 47 sekolah. Dengan rincian TK ada 14 sekolah,
SD ada 13 sekolah, SMP ada 10 sekolah, SMA ada 7 sekolah, dan Kejuruan
ada 3 sekolah (SMEA, STM, dan SMF). Jumlah siswa mencapai 20 ribu lebih.
Untuk mengikuti tuntutan zaman, BPK PENABUR Jakarta telah melakukan
banyak terobosan.
D
Pembelajaran Unggul
Pembelajaran unggul (bukan sekolah unggul) adalah terobosan yang dilakukan
oleh BPK PENABUR Jakarta, khususnya jenjang Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar untuk menciptakan sebuah proses pendidikan yang asyik, menyenangkan,
tapi berbobot. Pembelajaran unggul dicirikan dengan beberapa hal: 1)
mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan siswa, 2) terpadu, 3) metode
pembelajaran bervariasi, modern–mengarah kepada pendekatan belajar aktif,
4) pemanfaatan berbagai sumber belajar (buku, nara sumber, objek langsung,
*) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta
136
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
media pembelajaran), dan 5) pengoptimalan kecerdasan jamak (multiple
intelegences) siswa.
Pembelajaran unggul menempatkan sumber belajar terpadu dalam proses
pembelajaran, dengan kata lain kehadiran teknologi selalu ada di setiap proses
pembelajaran. Sumber belajar yang dimaksud dapat berupa benda nyata,
model, perangkat lunak program pembelajaran, orang (nara sumber),
lingkungan belajar (mendekati objek nyata), dan metode/pendekatan
pembelajaran yang mengarah pada kreativitas siswa.
Kegiatan pembelajaran dengan menghadirkan penjual jamu (mbok jamu),
dalang, English native speaker (penutur asli untuk bahasa Inggris) ke sekolah,
berkunjung ke kantor pemadam kebakaran dan bandara udara, mengunjungi
kebun pertanian organik merupakan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
sekolah untuk merealisasikan program “pembelajaran unggul” pada jenjang
Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Pemanfaatan multimedia dalam
pembelajaran, seperti OHP, komputer, dan televisi juga langkah yang selalu
dilakukan. Pemanfaatan komputer dalam proses pembelajaran yang dimaksud
adalah mengenalkan huruf, angka, warna, konsep waktu, menggambar bebas
dil anjutkan mengarang cerita ses uai dengan gambar tersebut,
mengelompokkan benda-benda yang mempunyai bentuk, ukuran, ciri-ciri
tertentu diimplementasikan secara luas di Taman Kanak-Kanak. Kegiatan yang
sama juga dilakukan pada jenjang Sekolah Dasar dengan kajian materi yang
lebih mendalam.
Pengantar Bahasa Inggris
Proses pembelajaran, khususnya mata pelajaran matematika di sekolahsekolah dasar yang menerapkan pembelajaran unggul, menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar. Di jenjang SMP pun demikian. Beberapa
sekolah jenjang SMP proses pembelajaran matematika dan fisika
menggunakan bahasa Inggris. Ada program English Day di beberapa sekolah.
Program Akselerasi (Percepatan Belajar)
Mengikuti perkembangan tren pendidikan dan tuntutan masyarakat khususnya
dalam layanan pendidikan bagi anak-anak cerdas secara intelektual, BPK
PENABUR Jakarta telah menyelenggarakan program akselerasi.
Penyelenggaraan program akselerasi didasari atas rekomendasi pihak
pemerintah yang menilai bahwa BPK PENABUR Jakarta mampu
melaksanakannya. Berbagai petunjuk teknis dan pelatihan yang direkomendasi
pemerintah diikuti untuk mematangkan persiapan. Akhirnya, tahun pelajaran
2002/2003 program akselerasi mulai mewarnai proses pendidikan di BPK
PENABUR JAKARTA. Dengan demikian program askselerasi sudah berjalan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
137
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
selama 3 tahun pelajaran dan telah berhasil meluluskan angkatan pertama
dan kedua.
Saat ini program akselerasi baru dilaksanakan pada satu sekolah di setiap
jenjangnya. Jenjang sekolah dasar dilaksanakan di SD Kristen 10 yang berlokasi
di Jln. Muara Karang Jakarta Utara, jenjang menengah pertama dilaksanakan
di SMP Kristen 4 yang berlokasi di Jln. Hibrida Raya Blok QA3 Kelapa Gading
Jakarta Utara, dan jenjang menengah atas di SMA Kristen 1 yang berlokasi di
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Jakarta Barat. Lama pendidikan program
akselerasi lebih pendek dari kelas reguler. Jenjang SD dimulai dari kelas 3
s.d. kelas 6 ditempuh dalam waktu 3 tahun, jenjang SMPdalam 2 tahun, dan
jenjang SMA juga dalam 2 tahun.
Pelaksanaan pembelajaran di semua jenjang dengan sistem guru
berpasangan (team teaching). Siswa program akselerasi mendapatkan fasilitas
khusus seperti, ruang belajar ber-AC dengan dengan sistem pengaturan suhu
yang baik, multi media dan perpustakaan yang nyaman dilengkapi dengan
internet. Untuk keefektifan proses pembelajaran jumlah siswa dibatasi
maksimal 20 orang. Di tengah-tengah rutinitas mengikuti pelajaran, kegiatan
outbound, pengembangan kepribadian, dan kepemimpinan diadakan bagi siswa
akselerasi.
Materi yang diajarkan adalah Kurikulum Plus BPK PENABUR Jakarta yang
merupakan Kurikulum Nasional yang diperkaya. Tidak semua materi diajarkan,
namun dipilih materi-materi yang esensial.
TK Bilingual
Supaya tetap eksis dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan
yang lebih dulu membuka sekolah-sekolah berlabelkan “bilingual”, mulai tahun
pelajaran 2005/2006 yayasan pendidikan Kristen ini juga menyelenggarakan
sekolah “bilingual”. Pendekatan pembelajarannya bersifat inklusif. Untuk
sementara ini sekolah “bilingual” akan dilaksanakan di TK Kristen 6 di Kompleks
Sekolah Kelapa Gading dan TK Kristen 11 di Kompleks Sekolah Sunrise Garden.
Ke depan diharapkan di setiap jenjang SD, SMP, dan SMTA mampu
melaksanakan sekolah “bilingual”.
Program Spesialisasi
Agar lulusan memiliki bobot kualitas yang dapat diandalkan, beberapa SMAK
di lingkungan BPK PENABUR Jakarta melaksanakan program yang diberi nama
program spesialisasi. Masing-masing sekolah berbeda. SMAK 1 melaksanakan
Program Spesialisasi ‘Sains’; SMAK 2 ‘English for Business’; SMAK 4 ‘Penelitian
Sosial’; SMAK 5 ‘Leadership; SMAK 7 ‘Information Technology’ (IT).
138
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
Sekolah Lima Hari
Sekolah 5 hari di BPK PENABUR Jakarta telah dijalankan sejak tahun pelajaran
2002/2003. Beberapa pemikiran yang mendasari pelaksanaan sekolah 5 hari
yaitu: (1) siswa, guru dan karyawan mendapat peluang yang cukup untuk
bersosialisasi dengan keluarga dan lingkungannya; (2) siswa, guru dan
karyawan lebih termotivasi melakukan tugas di sekolah sebagai suatu kegiatan
yang menyenangkan; (3) meningkatkan efisiensi dan efekfivitas dalam belajar
dan bekerja; (4) orang tua siswa mempunyai kesempatan yang besar
melakukan pendampingan terhadap anaknya; (5) ada waktu luang yang lebih
untuk melaksanakan kegiatan kerohanian, sosial, menyalurkan hobi, atau
kegiatan pribadi lainnya tanpa mengganggu tugas kantor; (6) mengurangi
kejenuhan atau kelelahan fisik karena kondisi lalu lintas yang macet tiap hari;
(7) mengurangi kemacetan di sekitar kompleks sekolah akibat keluar masuk
kendaraan orangtua siswa; dan (8) sebagai upaya penghematan biaya air
PAM, listrik, dan telepon.
Sebagai sebuah terobosan yang dapat dikatakan “maju” bahkan tidak
lazim (tidak semua sekolah di Jakarta menerapkan 5 hari belajar), pada
awalnya hal ini dilakukan sekedar uji coba saja. Namun ternyata sekolah 5
hari menjadi suatu kebutuhan, mengingat situasi dan kondisi metropolitan
dan sekitarnya yang sangat dinamis.
Setelah berjalan satu tahun, program sekolah 5 hari (PS5H) telah dilakukan
evaluasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat
(LEMLITABMAS) UKRIDA. Hasil evalusi itu telah dimuat pada Jurnal PENDIDIKAN
PENABUR No. 03/III/Desember 2004. Laporan di jurnal itu berjudul “Program
Sekolah Lima hari, Evaluasi Formatif” yang ditulis oleh B.P. Sitepu.
Berdasarkan temuan fakta-fakta di lapangan, pokok-pokok pikiran itu yakni:
(1) Pelaksanaan PS5H cenderung hanya memindahkan lokasi waktu belajar.
Beban belajar hari Sabtu didistribusikan ke hari Senin s.d. Jumat.
(2) Dampak pelaksanaan PS5H bagi siswa ialah beban pekerjaan rumah dan
frekuensi ulangan harian yang semakin berat, dan menurunnya
konsentrasi siswa pada jam-jam terakhir pelajaran. Siswa merasa
tertekan dan menimbulkan kecemasan apabila mereka dijejali pekerjaan
rumah serta ulangan-ulangan harian sebagai kompensasi hari Sabtu.
(3) Sebagian besar guru menyatakan tidak melakukan perubahan dalam
metode pembelajaran setelah melaksanakan PS5H. Padahal dengan
berubahnya jam belajar, metode pembelajaran harusnya juga disesuaikan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah memotivasi guru-guru mengikuti
berbagai pelatihan yang dilaksanakan pada hari Sabtu.
(4) Sistem manajemen sekolah BPK PENABUR Jakarta, khususnya dalam
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
139
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
pembiayaan dan pengadaan perlengkapan keperluan sekolah sangat
sentralistik. Kenyataan ini berdampak pada lamanya waktu pemesanan
dan perbaikan perlengkapan dan fasilitas pembelajaran, mengurangi
fleksibilitas, dan pada akhirnya pada surutnya kreativitas sekolah dan
guru.
(5) Sebagian besar siswa (SMP, SMA dan SMK) dan orang tua menganggap
belum merasakan adanya peningkatan mutu pendidikan sekolah.
Bagi BPK PENABUR Jakarta pokok-pokok pikiran laporan di atas merupakan
masukan. BPK PENABUR Jakarta telah menindaklanjuti apa yang harus dilakukan
berdasarkan hasil evaluasi itu.
1. Hasil temuan bahwa pelaksanaan PS5H cenderung hanya memindahkan
lokasi waktu belajar, yang berakibat beban pekerjaan rumah siswa dan
frekuensi ulangan harian yang semakin berat, dan menurunnya
konsentrasi siswa pada jam-jam terakhir pelajaran. Untuk mengatasi
kecenderungan itu BPK PENABUR Jakarta sudah melakukan apa yang
dinamakan dengan mengubah struktur kurikulum yang disesuaikan dengan
waktu sekolah lima hari. Kemudian juga melakukan bedah kurikulum. Inti
dari kedua langkah ini adalah menentukan konsep-konsep esensial dari
suatu pokok bahasan. Konsep-konsep yang sekiranya tidak perlu atau
malah menambah beban dibuang.
2. Hasil temuan yang menyatakan bahwa sebagian besar guru tidak
melakukan perubahan dalam metode pembelajaran setelah melaksanakan
PS5H. BPK PENABUR Jakarta melalui bidang Pendidikan dan Latihan
(DIKLAT) telah mengadakan pelatihan-pelatihan dengan berbagai materi
pelatihan. Tujuan pelatihan adalah berupaya meningkatkan performance
guru agar terus meningkat kualitasnya. Termasuk di dalamnya yang dibidik
adalah, guru menemukan berbagai metode atau pendekatan
pembelajaran yang variatif agar proses pembelajaran lebih efektif.
Berbagai fasilitator yang berkualitas baik secara teoritis maupun praktis
diundang untuk memberi pelatihan. Mengefektifkan supervisi guru, rapat
guru, Kelompok Kerja Guru (KKG), dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP) adalah beberapa langkah lain yang ditempuh.
3. Hasil temuan menyatakan bahwa sistem manajemen sekolah BPK
PENABUR Jakarta sangat sentralistik, sehingga mengakibatkan
pembiayaan dan pengadaan perlengkapan keperluan sekolah sangat
lambat. Pada aras operasional; khususnya Bagian Umum dan Sarana
Prasarana (SARPRAS) telah dibagi menjadi empat area pekerjaan yang
masing-masing area di kepalai oleh Kepala Bidang Area. Keempat area
itu adalah : (1) Area Timur dengan pelayanan kerja meliputi Kompleks
Sekolah Kelapa Gading, Cawang, Cipinang Baru, Cikarang, dan TMII; (2)
140
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
4.
Area Barat dengan pelayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Tanjung
Duren, Sunrise Garden, dan Muara Karang; (3) Area Tengah dengan
pelayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Gunung Sahari, Pembangunan,
Pintu Air, Pintu Besi, dan Diponegoro; (4) Area Tangerang dengan
palayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Gading Serpong, Kota
Modern, dan Bintaro.
Dengan konsep kerja seperti itu diharapkan segala hambatan di lapangan
berkaitan dengan perbaikan atau pengadaan barang yang diperlukan dalam
proses pembelajaran dapat dieliminasi sekecil mungkin. Ditambah lagi
dengan kewenangan kepala sekolah menggunakan kas kecil untuk
keperluan yang mendesak.
Sebagian besar siswa (SMP, SMA, SMK) dan orang tua menganggap
belum terasakan adanya peningkatan mutu pendidikan sekolah. Atas
temuan ini memang sejak awal dasar pemikiran konsep PS5H tidak
diperuntukkan sebagai jembatan untuk meningkatan mutu pendidikan.
Poin ini sudah jauh bergeser. Namun demikian hendaknya tidak diartikan
BPK PENABUR Jakarta tidak melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di semua jenjang. Malah sebaliknya, semua komponen yang
ada di yayasan pendidikan Kristen ini mempunyai komitmen untuk terusmenerus meningkatkan kualitas pendidikan.
Pengembangan Multiple Intelligences
Kualitas pendidikan yang dimaksud di sini tidak hanya terfokus pada peningkatan
potensi intelektual atau akademiknya saja, melainkan semua potensi anak
didik dikembangkan secara optimal. BPK PENABUR Jakarta dengan programprogramnya memberi porsi yang seimbang terhadap peningkatan potensipotensi siswa di luar kemampuan intelektualnya. Langkah ini sebagai jawaban
atas apa yang dikemukan oleh Howard Gardner dengan istilah multiple
intelligences-nya (kecerdasan jamak). Berdasarkan dokumentasi yang ada,
BPK PENABUR Jakarta memberi nama Program-Program Unggulan Sekolah.
Sasaran umum yang hendak dicapai adalah, mendidik siswa menjadi warga
masyarakat yang takut akan Tuhan, memanfaakan potensinya secara optimal
(mandiri dan andal), dan peduli serta bertindak dengan kasih.
Strategi penyelenggaraan pendidikan menekankan pada: (1) penanaman
dan pengembangan nilai-nilai Kristiani; (2) pengembangan kepribadian siswa
(kepemimpinan, kerjasama, dan sikap sosial); (3) pengembangan intelektual
dan emosional yang seimbang; (4) pemanfaatan dan penguasaan teknologi
untuk merangsang daya cipta kreatif; (5) pengembangan kemampuan
berkomunikasi lisan dan tertulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris; (6)
pembinaan bakat siswa dalam bidang seni dan olahraga. Secara konkret
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
141
BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global
program-program sekolah yang menekankan pada pengembangan aspek non
intelektual yaitu: (1) pembinaan dan pengembangan seni (drumband, tarian,
lukis, paduan suara, kolintang, ensambel, angklung); (2) pembinaan
kepribadian siswa dalam bentuk pembiasaan perilaku yang positif, retret,
pelajaran bina pribadi, saat teduh setiap hari, Palang Merah Remaja dan
Adikarsa Nugraha Cestita, kebaktian bersama setiap bulan dan pelayanan di
gereja dan luar sekolah serta aksi-aksi sosial; (3) pembinaan dan
pengembangan olahraga (catur, renang, atletik, sepakbola, basket),
kepemimpinan, pramuka.
Seperti judul artikel di atas, dan didasari atas tuntutan keadaan untuk
bergerak cepat memanfaatkan peluang dan menjauhkan ancaman, BPK
PENABUR Jakarta terus berbenah dengan terobosan-terobosan baru yang
antisipatif terhadap perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan majemuk). Batam:
Interaksara
http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/p4/unggul.htm
Koespradono, Gantyo dkk (2000). “BPK PENABUR Lima puluh Tahun mengabdi
dan melayani”, Badan Pendidikan Kristen PENABUR, Jakarta.
Kwartolo, Yuli. “Peran teknologi pembelajaran dalam implementasi dan
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (Sebuah implementasi
di Sekolah BPK PENABUR Jakarta”, makalah pada Seminar Nasional
Teknologi Pembelajaran di Jogjakarta, 21 – 23 Agustus 2003.
Situmorang, Hotben dkk. “Program akselerasi (percepatan belajar pada jenjang
SD, SMP, dan SMA di BPK PENABUR Jakarta; Sebuah kajian”. Pusat
Pengembangan dan Pengkajian (P4) BPK PENABUR Jakarta, 2005.
142
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005
Keterangan Mengenai Penulis
Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, lahir 30 Maret 1945. Menyelesaikan Program S3 pada Pracer Universiteit Amsterdam tahun 1987. Sebelumnya pernah
menjadi Rektor Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (1990-1998). Banyak
menulis artikel yang dimuat di media massa dan juga menulis buku. Saat ini
sebagai Ketua Umum Persekutuan gereja-gereja di Indonesia
Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo, lahir di Yogyakarta 19 April 1951.
Meraih gelar doktor linguistik di Universitas Indonesia 1982, dengan disertasi
Deiksis dalam Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1984). Saat ini sebagai guru
besar linguistik pada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Jakarta), Kepala
Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya Jakarta, Direktur Eksekutif
Penerbit Universitas Atma Jaya, guru besar luar biasa pada Program
Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, editor
Seri NUSA (Linguistik Studies in Indonesian and Languages in Indonesia),
Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (1994–1997, 1997–1999), salah seorang
penyusun buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi pertama (1988).
Menjadi peneliti pascadoktor pada Institute for Advanced Study, Princeton
(1983–1984), di University of Melbourne (1989) atas undangan “The Australian
Vice Chancellors’ Committee”, dan di Max Planck Institute, Leipzig (2000).
Memperoleh penghargaan sebagai “Orang Muda Berkarya di Bidang Akademik”
dari pemerintah Republik Indonesia 28 Oktober 1988. Berkat bukunya
Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Kanisius, 1990)
, diundang sebagai salah seorang anggota tim pengembang Kurikulum 1994
dan 2004 mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Dr. B. P. Sitepu, M.A., lahir di Berastepu, Sumatra Utara, 28 Juni 1948,
menyelesaikan pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1975), Jurusan Pengajaran
Bahasa Inggris, S2 bidang Perencanaan Pendidikan di Macquarie University,
Sydney, Australia, (1979) dan S3 di bidang Teknologi Pendidikan di IKIP Negeri
Jakarta (1994). Sebelum menjadi tenaga pengajar tetap di Universitas Negeri
Jakarta dengan jabatan Lektor Kepala (2001), memperoleh pengalaman sebagai
guru di SD, SLTP, dan SLTA Swasta (1968–1976), pegawai negeri sipil di
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah berubah menjadi
Departemen Pendidikan Nasional, (1976-2001), dan sebagai dosen luar biasa
di IKIP Negeri serta beberapa perguruan tinggi swasta (1995-2001). Di samping
mengikuti berbagai penataran, seminar, dan lokakarya di dalam dan luar negeri,
juga menulis buku dan artikel di berbagai media cetak.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si., lahir di Semarang 28 Desember 1970,
menyelesaikan program S2 dari IPB-Bogor tahun 2000. Menjabat sebagai Kepala
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
143
Keterangan Mengenai Penulis
Bidang Kurikulum dari tahun 2000-2004. Terlibat berbagai proyek
pengembangan kurikulum dan diversifikasi sekolah serta berkecimpung dalam
pengembangan KIR. Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan
Pendidikan BPK PENABUR Jakarta.
Djudjun Djaenuddin Supriadi, S.Th, lahir di Bandung 29 Desember 1961.
Lulus dari STT Duta Wacana tahun 1987 dan saat ini sedang menyelesaikan S2
Program M.Min pada STT Jakarta. Menulis beberapa Modul Pengajaran PAK
dan pernah sebagai Dosen tidak tetap di UNTAR dan UKRIDA. Sejak 1998sekarang sebagai Kepala Bidang Kerohanian BPK PENABUR Jakarta.
Handy Susanto, S.Psi., lahir di Tasikmalaya 11 Februari 1981. Lulusan S1
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, tahun 2003. Tahun pelajaran
2003/2004 sebagai staff BK di SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. Tahun 2003 –
2004 sebagai assisten dosen mata kuliah psidiagnostik di Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha. Saat ini sebagai staff BK di SMPK BPK PENABUR
Tasikmalaya.
Drs. Hotben Situmorang, M.B.A., lahir di Toba Sumatera Utara, 23 April
1961. Menyelesaikan S1 di IKIP Jakarta jurusan Pendidikan Fisika (1985). Sambil
menyelesaikan S1, guru di SMA Neg. 50 (1982), SMA Neg.31 (1983-1997) dan
ikut mendirikan SMA PGRI 10. Guru dan pejabat Kepala Sekolah Indonesia di
Davao Philippines (1987-1994) sekaligus menyelesaikan S2 bidang Business
Management di Ateneo de Davao Philippines (1994). Mengikuti Program Mission Studies di Overseas Ministries Study Centre, Connecticut USA (1994/1995).
Menjadi konsultan Yakoma PGI dan dosen di UKI (1996). Bekerja di BPK PENABUR
sebagai Kepala Bidang Pengembangan (1997). Care dan taker Kepala SMK 2
BPK PENABUR ( 1996-2004). Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan
Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta.
Imma Helianti Kusuma, M.Pd., lahir di Salatiga 19 Desember 1967.
Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Program Studi
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan tahun 1990. Menyelesaikan S2, Magister
Pendidikan dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) tahun 2003. Sebagai staf
Media Pendidikan BPK PENABUR (1991-1995), Kepala Unit Laboratorium dan
Keterampilan Pendidikan (1995-1999), di Bidang Kurikulum (1999-2003), Kepala
Bidang Evaluasi Akademis (2003-2004) dan saat ini sebagai Kepala Pengkajian
dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta dan juga sebagai dosen
di Universitas Kristen Indonesia Jakarta.
Keke Taruli Aritonang, M.Pd., lahir di Jakarta 27 April 1969. Menyelesaikan
S1 di FKIP Universitas Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996).
Mengikuti program S2 di Universitas Kristen Jakarta dan mendapat gelar
144
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
Magister Pendidikan (2004). Bekerja di BPK PENABUR sejak tahun1998 dan
saat ini mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia di SLTP Kristen 1 BPK PENABUR
Jakarta.
Prof. Dr. Sutjipto, lahir di Trenggalek, 17 Juni 1945. Menyelesaikan S3 (Doctor of Education), pada University of Northern Colorado USA tahun 1991. Sejak
1997 sampai saat ini sebagai Rektor Universitas Negeri Jakarta dan tetap aktif
sebagai guru besar bidang manajemen pendidikan. Sering diundang sebagai
pembicara di berbagai seminar tingkat nasional dan internasional, menulis
buku, makalah dan jurnal. Ketua I Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia tahun
1999-sekarang, Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Wilayah Barat tahun
2002-sekarang. Ketua Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia
1989-sekarang
Drs. Tafiardi, lahir di Bukit Tinggi 14 Agustus 1964. Menyelesaikan S1 dari
IKIP Jakarta, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Saat ini sebagai
dosen di Universitas Negeri Jakarta.
Thomas Wibowo Agung Sutjiono, lahir di Tuban 1962. Program S1 dari
IKIP Bandung, Fakultas Pendidikan dan Kejuruan jurusan studi Pendidikan Teknik
Bangunan. S2 diselesaikan di Universita Siliwangi Tasikmalaya, program Stdi
Pendidkan Kependudukan Lingkungan Hidup (2004). Bekerja sebagai guru SMA
BPK PENABUR Tasikmalaya sejak tahun 1992. Tahun 1998 sampai sekarang
bertugas sebagai kepala SMP BPK PENABUR Tasikmalaya.
Yuli Kwartolo, S.Pd., alumni Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
jurusan Teknologi Pendidikan (1991). Semasa kuliah aktif menulis di “Gita
Kampus”, koran kampus UKSW Salatiga, pernah menjadi guru di sekolah
swasta Semarang, sebagai reporter Harian Kartika (Koran Lokal Semarang).
Banyak menulis artikel pendidikan dan juga menyusun buku pelajaran IPS kelas
I-IV SD. Saat ini sebagai staf di Pusat Pengkajian dan Pengembangan BPK
PENABUR Jakarta dan menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD
Dr. Vera Ginting, M.A., lahir di Medan 1965. Lulus dari Fakultas Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial-IKIP Jakarta tahun 1989. Tahun 1995 melanjutkan
pendidikan di Macquarie University, Sydney yang disponsori oleh Ausai, dan
gelar MA in Education diperoleh tahun 1997. Saat ini bekerja di Pusat Perbukuan
Depdiknas di Subbidang Pengembangan Naskah, Bidang Pengembangan Naskah
dan Pengendalian Mutu Buku.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005
145
Download