Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi dan penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Dr. Jhan Brinsen Purba Pemimpin Redaksi Dr. BP. Sitepu, M.A Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Dr. BP. Sitepu, M.A Ir. Budyanto Lestyana, M.Si Dra. Mulyani Dr. Theresia K. Brahim Dra. Vitriyani P., M.Pd Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 E-mail : [email protected] Jurnal Pendidikan Penabur No. 04/ IV /Juli 2005 i Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk bahasa ilmiah populer. 2. Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain. 3. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas. Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Tahoma 10 point/ spasi ganda. 4. Panjang naskah hasil penelitian + 3000 kata, sedangkan untuk opini, info, serta resensi buku + 1500 kata. 5. Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata. 6. Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, dan daftar pustaka. 7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata. 8. Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar huruf tidak lebih kecil dari 6 point. 8. Naskah dikirim dalam bentuk disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected] 9. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis. 10. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan. 11. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi naskah. 12. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau kebijakan BPK PENABUR Jurnal Pendidikan Penabur No. 04/ IV/ Juli 2005 Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 04/IV/Juli 2005 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi Pengantar Redaksi i ii-iii Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP BPK PENABUR Jakarta Keke T. Aritonang, M.Pd 1-16 Penguatan Membaca, Fasilitas Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca serta Minat Baca Murid Dr. Vera Ginting, M.A 17-35 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe 36-42 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani Djudjun Djaenudin Supriadi, S.Th 43-52 Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural Prof. Dr. Sutjipto 53-58 Mengembangkan Penalaran dalam Pendidikan Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo 59-66 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran Handy Susanto, S.Psi 67-75 Pendayagunaan Media Pembelajaran Thomas Wibowo Agung Sutjiono 76-84 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning Drs. Tafiardi 85-97 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Yuli Kwartolo, S.Pd 98-105 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming Dr. Theresia Kristianti 106-112 Memilih Buku Pelajaran Dr. B.P. Sitepu, M.A 113-126 Isu-Isu Pendidikan Mutakhir Drs. Hotben Situmorang, M.B.A Ir. Budyanto Lestyana, M.Si 127-130 Resensi Buku: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen Imma Helianti Kusuma, M.Pd Profil: BPK PENABUR Jakarta Berbenah Menghadapi Persaingan Global Yuli Kwartolo, S.Pd Keterangan Mengenai Penulis 131-135 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 136-142 143-145 i Pengantar Redaksi enyelenggaraan pendidikan dalam arti yang luas merupakan tanggung jawab semua pihak, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Upaya pendidikan akan berdaya dan berhasilguna dengan baik apabila terjadi keselarasan antar ke tiga unsur itu. Bahkan pada gilirannya apabila proses pendidikan telah berhasil mendewasakan secara intelektual dan emosional, peserta didik itu sendiri ikut bertanggung jawab atas pendidikan terhadap diriya sendiri serta lingkungannya sepanjang hayatnya. Dengan demikian, peserta didik sejak dini perlu mendapat perhatian, peranan, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut. Pendidikan juga dianggap sebagai salah satu sarana yang strategis dan ampuh dalam mengatasi keterbelakangan peradaban dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan secara nasional menjadi tanggung jawab pemerintah yang diatur melalui UndangUndang. Di Indonesia penyelenggaraan pendidikan diatur melalui Sistem Pendidikan Nasional yang terakhir ialah Undang-Undang No 20 Tahun 2003 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang No 2 Tahun 1989. Salah satu prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan nasional ialah bersifat demokratis, tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Umat Kristiani pada umumnya dan gereja pada khususnya mengemban tugas pendidikan melalui pembelajaran sesuai dengan pesan yang diberikan oleh Yesus Kristus agar pergi ke seluruh dunia mengajari semua bangsa tanpa pilih kasih. Pendidikan tanpa pilih kasih ini bermakna pendidikan untuk semua (education for all) tanpa diskriminasi atau juga yang dewasa ini menjadi salah satu prinsip dalam pendidikan inklusif. Salah satu tugas Gereja ialah menjalankan tugas pembelajaran itu dengan ciri berlandaskan kasih serta menjaga keseimbangan antara kecerdeasan spiritual, intelektual, dan emosional. Hal ini juga terrlihat pada visi BPK PENABUR: Unggul dalam iman, ilmu dan pelayanan. Tapi bagaimana proses pendidikan Kristiani dengan visi seperti itu dilaksanakan secara operasional dan nyata? Berbagai versi pendapat dapat mengemuka dalam rumusan yang berbeda walaupun pada hakikatnya masih menjadikan kasih sebagai landasan utama, karena sesungguhnya P ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 lembaga-lembaga pendidikan kristiani merupakan tangan-tangan gereja untuk melaksanakan tugasnya sebagai gembala. Edisi ini menampilkan tulisan Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum PGI, berkenaan dengan konsep dan aplikasi pendidikan kristiani di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu Profesor Dr. Sutjipto, Rektor Universitas Negeri Jakarta, memberikan pendapatnya tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan bermuatan multikultrural. Secara konseptual pengertian pendidikan multikultural ternyata jauh lebih luas dan penerapannya memerlukan sistem manajemen pendidikan yang memperhatikan nilai-nilai multikultural itu sendiri. Mudah-mudahan kedua tulisan tersebut dapat menggugah serta memberikan inspirasi para penyelenggara pendidikan, khususnya para guru, untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih profesional dengan tetap menunjukkan kasih dalam proses pembelajaran serta menjaga keseimbangan antara iman, ilmu, dan pelayanan. Kasih dan empati dapat diperlihatkan tidak semata-mata dengan kata-kata, tetapi akan lebih bermakna apabila diwujudkan dalam perbuatan dan keteladanan. Melalui perbuatan yang demikian guru dapat juga memperkenalkan Jesus Kristus dengan ajaranNya. Edisi keempat Jurnal Pendidikan Penabur ini terbit dengan mengemukakan aneka ragam pendapat/opini dari dalam dan luar kalangan BPK PENABUR dengan tetap mengedepankan dua laporan penelitan yang berkaitan dengan minat baca siswa serta kinerja guru. Masalah-masalah pendidikan memang kompleks dan berkembang terus baik disebabkan oleh semakin majunya tingkat kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat, maupun karena kemajuan dalam ilmu dan teknologi pendidikan itu sendiri. Tuntutan akan mutu pendidikan yang standar dengan biaya yang ekonomis, serta demokratisasi di bidang pendidikan masih merupakan isu-isu yang menarik dibicarakan. Mutu pendidikan sudah barang tentu tidak terlepas dari mutu kinerja guru, proses belajar dan membelajarkan, sumber belajar seperti buku pelajaran, serta lingkungan belajar dan membelajarkan. Untuk memperkaya wacana tentang pendidikan kristiani, dalam edisi ini tersaji resensi buku tentang pengelolaan sekolah Kristen. Sedangkan bagaimana dan apa yang dilakukan oleh sekolah-sekolah Kristen menghadapi berbagai tantangan zaman khususnya dalam meningkatkan mutu, dapat tercermin dalam profil BPK PENABUR Jakarta. Mudah-mudahan aneka ragam isi Jurnal Pendidikan Edisi ke IV ini dapat mendorong guru-guru BPK PENABUR untuk lebih kreatif dan berperan serta dalam memperluas wacana kita semua di bidang pendidikan. Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 iii Hasil Penelitian Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta Keke T. Aritonang, M.Pd*) Abstrak enelitian ini menjelaskan kompensasi kerja disiplin kerja guru, dalam hubungannya dengan kinerja guru di SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Penelitian dengan metode survey dan teknik korelasional ini dilakukan terhadap guru-guru di delapan SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta, dengan sampel 60 responden yang dipilih secara acak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima dalam arti bahwa terdapat hubungan positif antara kedua variable bebas dengan variable terikat baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kompensasi kerja memberikan sumbangan sebesar 6, 76 % terhadap kinerja guru, disiplin kerja guru memberikan sumbangan sebesar 77,44 %. Sedangkan kompensasi kerja dan disiplin kerja guru secara bersamasama memberikan sumbangan sebesar 77,60 % terhadap kinerja guru. Dengan demikian sebagai saran untuk meningkatkan kinerja guru yang tinggi perlu ditingkatkan kompensasi kerja dan disiplin kerjanya. P Kata kunci: Guru, disiplin kerja, kompensasi kerja Abstract This research discribes teachers’ compensation, the teachers discipline , and the teacher performance in BPK PENABUR Christian Junior High Schools, Jakarta. The research is conducted in eight junior high school of BPK PENABUR, Jakarta. Samples taken are 60 teachers with random sampling technique. The research is analyzed descriptively using the method of survey and correlation techniques. The research result showed that the research hypothesis was valid it means that there is positive relationship between free variable and cloze variable either individually or collectively. From the analysis, it can be concluded that the contribution of teachers’ compensation towards teachers’ *) Guru SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 1 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP performance is about 6,76 %, the contribution of teachers’ discipline is about 77,44 %, the contribution of both teachers’ compensation and teachers’ discipline towards teachers’ performance is about 77,60%. Therefore, it is suggested that to increase teachers’ performance is necessary to increase both teachers’ compensation and teachers’ dixcipline). Pendahuluan Berbagai aspek bidang pekerjaan baik itu di instansi pemerintah maupun swasta dapat memberikan kepuasan bagi pegawai apabila ada program kompensasi. Dengan adanya kompensasi yang diberikan sesuai dengan haknya akan sangat mempengaruhi kinerja seseorang. Untuk itu hendaknya program kompensasi ditetapkan berdasarkan prinsip adil dan wajar, sesuai dengan undang-undang perburuhan, atau sesuai dengan peraturan kerja lembaga masing-masing. Dengan adanya kompenasasi yang cukup besar maka disiplin karyawan semakin baik. Mereka akan menyadari serta menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Menurut Steers & Porter (1991) bahwa tinggi rendahnya kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian kompensasi yang diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian kompensasi yang tidak tepat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang. Ketidaktepatan pemberian kompensasi disebabkan oleh ; (1) pemberian jenis kompenasasi yang kurang menarik (2) pemberian penghargaan yang kurang tepat tidak membuat para pekerja merasa tertarik untuk mendapatkannya. Akibatnya para pekerja tidak memiliki keinginan meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan kompensasi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Apakah terdapat hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru? (2) Apakah terdapat hubungan antara disiplin kerja dengan kinerja guru? (3) Apakah terdapat hubungan secara bersama-sama antara kompensasi kerja dan disiplin kerja di satu pihak dengan kinerja guru di pihak lain? LandasanTeori Kompensasi Kerja Kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan (Hasibuan, 1990:133). Kompensasi kerja adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Tohardi, 2002:411). Kompensasi kerja merujuk pada semua 2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP bentuk upah atau imbalan yang berlaku bagi dan muncul dari pekerjaan mereka, dan mempunyai dua komponen yaitu ada pembayaran keuangan langsung dalam bentuk upah, gaji, insentif, komisi, dan bonus, dan ada pembayaran tidak langsung dalam bentuk tunjangan keuangan seperti asuransi dan uang liburan. Tujuan pemberian kompensasi (balas jasa) adalah (a) ikatan kerja sama; (b) kepuasan kerja; (c) pengadaan efektif; (d) motivasi; (e) stabilitas karyawan; (f) disiplin; (g) pengaruh serikat buruh; dan (h) pengaruh pemerintah (Hasibuan, 1997:137). Selain itu menurut Soekidjo Notoadmodjo ada beberepa keuntungan dengan diberikannya kompensasi pelengkap,yaitu: (1) meningkatkan semangat kerja dan kesetiaan atau loyalitas para karyawan terhadap organisasi atau perusahaan, (2) menurunkan jumlah absensi para karyawan dan adanya perputaran kerja, (3) mengurangi pengaruh organisasi karyawan terhadap kegiatan organisasi, dan (4) meminimalkan biaya-biaya kerja lembur yang berarti mengefektifkan prestasi kerja karyawan (Tohardi, 2002:418). Ada dua azas penting dalam program pemberian kompensasi (balas jasa) supaya balas jasa yang akan diberikan merangsang gairah dan kepuasan kerja karyawan yaitu: (1) azas adil, (2) azas layak dan wajar. Kompensasi kerja adalah persepsi guru terhadap berbagai bentuk upah atau imbalan yang diperoleh dari hasil kerja yang digambarkan melalui dua komponen yaitu: Kompensasi langsung yang meliputi gaji, tunjangan fungsional, tunjangan hari raya, bonus pengabdian, bonus prestasi, uang transportasi makan, uang duka dan biaya pemakaman. Kompensasi tidak langsung meliputi bantuan biaya pengobatan rawat jalan dan rawat inap, dana pensiun, perumahan, beasiswa, penghargaan, formasi jabatan, dan rekreasi. Disiplin Kerja Disiplin adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Adapun arti kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Sedangkan arti kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik yang tertulis maupun tidak (Hasibuan ,1997:212). Menurut Davis disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organis asi (Mangkunegara, 2000 : 129). Disiplin pada hakikatnya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dalam bentuk tidak melakukan sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 3 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP dengan sesuatu yang telah ditetapkan dan melakukan sesuatu yang mendukung dan melindungi sesuatu yang telah ditetapkan. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal dengan disiplin diri, disiplin belajar dan disiplin kerja. Disiplin kerja merupakan kemampuan seseorang untuk secara teratur, tekun secara terus-menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisplinan karyawan suatu organisasi di antaranya ialah : (1) tujuan dan kemampuan, (2) teladan pimpinan, (3) balas jasa (gaji dan kesejahteraan), (4) keadilan, (5) waskat (pengawasan melekat), (6) sanksi hukuman, (7) ketegasan, dan (8) hubungan kemanusiaan (Hasibuan, 1997:213). Disiplin juga merupakan salah satu fungsi manajemen sumber daya manusia yang penting dan merupakan kunci terwujudnya tujuan, karena tanpa adanya disiplin maka sulit mewujudkan tujuan yang maksimal (Sedarmayanti, 221:10). Melalui disiplin pula timbul keinginan dan kesadaran untuk menaati peraturan organisasi dan norma sosial. Namun tetap pengawasan terhadap pelaksanaan disiplin tersebut perlu dilakukan. Disiplin kerja adalah persepsi guru terhadap sikap pribadi guru dalam hal ketertiban dan keteraturan diri yang dimiliki oleh guru dalam bekerja di sekolah tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan dirinya, orang lain, atau lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas maka disiplin kerja yang perlu diperhatikan adalah : (a) Disiplin terhadap tugas kedinasan yang meliputi : mentaati peraturan kerja BPK PENABUR, menyiapkan kelengkapan mengajar, dan melaksanakan tugastugas pokok. (b) Disiplin terhadap waktu yang meliputi: menepati waktu tugas, memanfaatkan waktu dengan baik, dan menyelesaikan tugas tepat waktu. (c) Disiplin terhadap suasana kerja yang meliputi: memanfaatkan lingkungan sekolah, menjalin hubungan yang baik, dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. (d) Disiplin di dalam melayani masyarakat yang meliputi: melayani peserta didik, melayani orang tua siswa, dan melayani masyarakat sekitar; (e) Disiplin terhadap sikap dan tingkah laku yang meliputi, memperhatikan sikap, memperhatikan tingkah laku, dan memperhatikan harga diri. Kinerja Guru Dalam bahasa Inggris istilah kinerja adalah performance. Performance merupakan kata benda. Salah satu entry-nya adalah “thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan). Jadi arti Performance atau kinerja adalah hasil 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Menurut Mangkunegara (2001:67) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Tinggi rendahnya kinerja pekerja berkaitan erat dengan sistem pemberian penghargaan yang diterapkan oleh lembaga/organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian penghargaan yang tidak tepat dapat berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang. Berkaitan erat dengan kinerja guru di dalam melaksanakan tugasnya seharihari sehingga dalam melaksanakan tugasnya guru perlu memiliki tiga kemampuan dasar agar kinerjanya tercapai sebagai berikut: (1) kemampuan pribadi meliputi hal-hal yang bersifat fisik seperti tampang, suara, mata atau pandangan, kesehatan, pakaian, pendengaran, dan hal yang bersifat psikis seperti humor, ramah, intelek, sabar, sopan, rajin, kreatif, kepercayaan diri, optimis, kritis, obyektif, dan rasional; (2) kemampuan sosial antara lain bersifat terbuka, disiplin, memiliki dedikasi, tanggung jawab, suka menolong, bersifat membangun, tertib, bersifat adil, pemaaf, jujur, demokratis, dan cinta anak didik; (3) kemampuan profesional sebagaimana dirumuskan oleh P3G yang meliputi 10 kemampuan profesional guru yaitu: menguasai bidang studi dalam kurikulum sekolah dan menguasai bahan pendalaman/aplikasi bidang studi, mengelola program belajar mengajar,mengelola kelas, menggunakan media dan sumber, menguasai landasan-landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi siswa untuk kepentingan pendidikan, mengenal fungsi dan program bimbingan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, memahami prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan mengajar menurut. Kinerja guru adalah persepsi guru terhadap prestasi kerja guru yang berkaitan dengan kualitas kerja, tanggung jawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa. Kerangka Berpikir Hubungan Kompensasi Kerja dengan Kinerja Guru SMP Kompensasi sangat penting bagi karyawan yang bekerja dengan menjual tenaganya baik fisik maupun pikiran kepada suatu organisasi dan memperoleh Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 5 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP balas jasa sesuai dengan peraturan atau perjanjian yang berlaku dalam organisasi tersebut. Besarnya kompensasi telah ditentukan dan diketahui sebelumnya. Karyawan secara pasti mengetahui besarnya kompensasi yang akan diterimanya. Kompensasi inilah yang akan dipergunakan seorang yang berprofesi sebagai guru SMP beserta keluarganya untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya. Besarnya kompensasi ini mencerminkan status, pengakuan, dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh guru beserta keluarganya. Kompensasi yang diberikan kepada guru sangat berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja, motivasi kerja, dan hasil kerja. Apabila kompensasi yang diberikan dengan mempertimbangkan standar kehidupan normal dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan guru maka dengan sendirinya akan mempengaruhi semangat kerjanya, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas setiap pekerjaan yang dilakukan. Hal ini karena tujuan bekerja guru banyak dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya kebutuhan minimal kehidupan guru dan keluarganya. Dengan demikian dampaknya adalah meningkatnya perhatian guru secara penuh terhadap profesi dan pekerjaanya. Jika kompensasi yang diberikan semakin besar sehingga kepuasan kerjanya semakin baik. Di sinilah letak pentingnya dalam penelitian ini yaitu kompensasi kerja. Berdasarkan uraian di atas, patut diduga ada hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru. Artinya semakin tinggi guru mendapatkan kompensasi dari bekerja, maka semakin tinggi pula kinerjanya. Dengan demikian terdapat hubungan positif antara kompensasi kerja dengan kinerjanya. Hubungan Disiplin Kerja dengan Kinerja Guru SMP Guru yang berdisiplin diartikan sebagai seorang guru yang selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin yang baik mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini mendorong gairah kerja, semangat kerja, dan mendukung terwujudnya tujuan organisasi, karyawan dan masyarakat. Dengan demikian disiplin merupakan hal yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi atau perusahaan. Dengan kata lain ketidakdisplinan individu dapat merusak kinerja organisasi atau perusahaan. Disiplin kerja guru merupakan tindakan seseorang untuk mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Tindakan ini bila dilakukan 6 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP secara benar dan terus-menerus akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam perilaku guru dan akan membantu tercapainya tujuan kerja yang telah ditentukan. Berdasarkan uraian di atas patut diduga bahwa terdapat hubungan antara disiplin kerja dengan kinerja guru. Artinya semakin tinggi disiplin kerja, maka semakin tinggi kinerjanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan disiplin kerja dengan kinerja guru adalah positif. Hubungan Antara Kompensasi Kerja dan Disiplin Kerja Secara Bersama-sama dengan Kinerja Guru SMP Berdasarkan gagasan-gagasan di atas jelaslah bahwa kinerja guru ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan ikut berperan menentukan tercapainya kinerja guru yang maksimal. Dari literatur tentang kinerja guru diketahui secara umum, kinerja guru ditentukan oleh faktor internal yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan diri guru sendiri dan faktor eksternal yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan yang berada di luar diri guru. Dari sekian faktor internal yang berkaitan dengan diri guru terdapat dua faktor dominan yang menurut penulis ikut menentukan kualitas kinerja guru yaitu kompensasi kerja dan disiplin kerja. Kinerja guru adalah tingkat keberhasilan guru di dalam melaksanakan tugas dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, maka dapat diduga terdapat hubungan positif secara bersama-sama antara kompensasi kerja dan disiplin kerja dengan kinerja guru. Dengan perkataan lain, makin tinggi kompensasi kerja dan disiplin kerja makin tinggi pula kinerja guru. Pengajuan Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir tersebut. Maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tentang hubungan antara kompensasi kerja dan disiplin kerja dengan kinerja guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja (X1)dengan kinerja guru (Y) SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. 2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara disiplin kerja (X2) dengankinerja guru (Y) SMP Kristen BPK PENABUR. 3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja (X1) dan disiplin kerja (X2) secara bersama-sama dengan kinerja guru (Y) SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 7 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP Metodologi Penelitian Tujuan penelitian untuk mengetahui apakah kompensasi kerja dan disiplin kerja secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhubungan dengan kinerja guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan di delapan SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Responden penelitian adalah 60 orang guru tetap Yayasan yang diperoleh dengan teknik sample random sampling. Penelitian ini menggunakan metode survey dalam bentuk penelitian korelasional, seperti terlihat pada gambar berikut : X1 Y X2 Keterangan : X1 = Kompensasi kerja X2 = Disiplin kerja Y = Kinerja guru Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrumen yang mengukur kinerja guru, kompensasi kerja, dan disiplin kerja guru. Kalibrasi instrumen dilakukan untuk menguji validitas butir dan koefisien reliabilitas. Validitas butir dihitung dengan menggunakan koefisien korelasi butir dan reliabilitas dihitung dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Selanjutnya uji persyaratan analisis yang dilakukan adalah uji normalitas populasi (Uji Lilliefors) dan uji linearitas. Sedangkan uji hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi sederhana, analisis korelasi ganda, analisis regresi sederhana, analisis regresi ganda, dan analisis korelasi parsial. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hubungan antara Kompensasi Kerja Guru (X1) dengan Kinerja Guru (Y) Hipotesis pertama menyatakan terdapat hubungan positif antara kompensasi kerja guru (X1) dengan kinerja guru (Y). Berdasarkan hasil perhitungan terdapat hubungan positif antara kompensasi kerja (X1) dengan kinerja guru (Y) ditunjukkan dengan persamaan regresi ^ Y : 187.46 + 0.44 X1. Pengujian signifikansi dan linearitas regresi sebagai berikut: 8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP Tabel 1 : Hasil uji signifikansi linearitas regresi kine rja guru (Y) atas kompensasi kerja guru (X1). Sumber Varian dk Jk RJK Fhitung Regresi 1 395.82 395.82 Residual 58 11490.58 198.11 Total 59 11886.4 1.997 F tabel 0,05 0,01 4.00 7.08 Keterangan: dk : derajat kebebasan jk : jumlah kuadarat RJK : rata-rata jumlah kuadrat Melalui perhitungan uji signifikansi dan uji linearitas regresi tersebut di atas, diperoleh kesimpulan bahwa persamaan regresi ^ Y: 187.46 + 0.44 X1 sangat signifikan dan linear. Persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa kenaikan satu skor kompensasi kerja akan memberikan kenaikan sebesar 0.44 terhadap skor kinerja guru. Sedangkan kuatnya hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta dengan menggunakan teknik korelasi product moment dihasilkan seperti pada tabel berikut: Tabel 2 : Koefisien korelasi dan uji signifikansi koefisien korelasi antara variabel X1 dengan Y. N Dk 60 58 r y1 0.26 R2 y1 0.0676 T F hitung 2.12 ** 0,05 1.67 table 0,01 2.39 Keterangan: n dk r y1 r2 y1 ** : : : : : jumlah sampel derajat kebebasan koefisien korelasi X1 dengan Y koefisien determinasi sangat signifikan Dari tabel 2 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja guru dengan kinerjanya karena ditunjukkan oleh besarnya nilai t hitung: 2.12 yang sangat tinggi dibandingkan dengan nilai f tabel. Hasil pengujian inipun memperlihatkan adanya hubungan yang berbanding Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 9 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP lurus antara kompensasi kerja dengan kinerja guru, yang berarti semakin baik dan tinggi kompensasi kerja guru, maka semakin meningkat pula kinerjanya. Dari koefisien determinasi (r2 y1 ): 0.0676 mempunyai makna bahwa 6.76 % yang terjadi dalam kecenderungan meningkatnya kinerja guru SMP Kristen Penabur Jakarta dapat dijelaskan oleh positifnya kompensasi kerja melalui ^ persamaan regresi linear sederhana Y : 187.46 + 0.44 X1 Apabila variabel disiplin kerja guru (X2 ) dikendalikan (konstan) maka melalui analisis korelasi parsial diperoleh koefisien korelasinya seperti pada tabel berikut. Tabel 3: Hasil analisis korelasi parsial dan uji signifikansi antara variabel dengan Y. N 60 Dk 57 Koefisien korelasi parsial r Y1.2 = -0.11 t t hitung - 0.83 ** X1 table 0,05 0,01 1.67 2.39 Keterangan: n : jumlah sampel dk : derajat kebebasan r y1.2 : koefisien korelasi parsial X1 dengan Y dengan mengontrol X2 ** : tidak signifikan Dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa hubungan parsial antara kompensasi kerja dengan kinerja guru yang dikontrol oleh disiplin kerja guru ternyata tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai t hitung: -0.83 lebih kecil dari besarnya nilai t tabel. Hasil uji hipotesis di atas menunjukkan bahwa hubungan antara kompensasi kerja guru dengan kinerjanya di semua SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Dengan demikian peningkatan kompensasi kerja guru dapat mendorong dan berdampak positif terhadap kinerjanya. Hubungan Antara Disiplin Kerja (X2) dengan Kinerja Guru (Y) Hipotesis kedua menyatakan terdapat hubungan positif antara disiplin kerja (X2) dengan kinerja guru (Y). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh terdapat hubungan positif antara disiplin kerja (X2) dengan kinerja guru (Y) ditunjukkan ^ dengan persamaan regresi Y: 47.96 + 1.16 X2. Pengujian signifikansi dan linearitas persamaan regresi tersebut tercantum 10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP dalam tabel berikut: Tabel 4: Hasil uji signifikansi linearitas regresi kinerja guru (Y) atas disiplin kerja guru (X2) Sumber Varian Dk Jk Regresi 1 Residual 58 -7653.34 Total 59 11886.4 RJK Fhitung 19539.74 19539.74 -148.08 F 0,05 table 0,01 4.00 7.08 -131.95 Keterangan: dk : derajat kebebasan jk : jumlah kuadarat RJK : rata-rata jumlah kuadrat Melalui perhitungan uji signifikansi koefisien dan uji linearitas regresi tersebut ^ di atas, maka disimpulkan bahwa persamaan regresi Y: 47.96 + 1.16 X2 sangat signifikan dan linear Yang berarti bahwa kenaikan satu skor disiplin kerja akan memberikan kenaikan sebesar 1.16 terhadap skor kinerja guru. Sedangkan kuatnya hubungan antara kompensasi kerja dengan kinerja guru SMP Kristen Penabur Jakarta dengan menggunakan teknik korelasi product moment dihasilkan seperti pada tabel berikut. Tabel 5: n Koefisien korelasi dan uji signifikansi koefisien korelasi antara variabel X2 dengan Y. Dk r y1 r2 y1 T F hitung tabel 0,05 60 58 0.88 0.7744 14.28 ** 1.67 0,01 2.39 Keterangan: n dk r y1 r2 y1 ** : jumlah sampel : derajat kebebasan : koefisien korelasi X2 dengan Y : koefisien determinasi : sangat signifikan Dari tabel 5 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja guru dengan kinerjanya karena ditunjukkan oleh besarnya nilai t hitung: 14.28 yang sangat tinggi dibandingkan dengan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 11 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP nilai t tabel. Hasil pengujian inipun memperlihatkan adanya hubungan yang berbanding lurus antara kompensasi kerja dengan kinerja guru, yang berarti semakin baik dan tinggi kompensasi kerja guru, maka semakin meningkat pula kinerjanya. Dari koefisien determinasi (r2 y1 ): 0.7744 mempunyai makna bahwa 77.44 % yang terjadi dalam kecenderungan meningkatnya kinerja guru SLTP Kristen PENABUR Jakarta dapat dijelaskan oleh positifnya kompensasi kerja melalui ^ 47.96 + 1.16 X persamaan regresi linear sederhana Y: 2 Apabila variabel disiplin kerja guru (X2 ) dikendalikan (konstan) maka melalui analisis korelasi parsial diperoleh koefisien korelasinya seperti pada tabel berikut. Tabel 6: N 60 Hasil analisis korelasi parsial dan uji signifikansi antara variabel X 2 dengan Y. Dk 57 Koefisien korelasi parsial R Y1.2 = 0.87 t hitung 13.41 ** t tabel 0,05 0,01 1.67 2.39 Keterangan: n : jumlah sampel dk : derajat kebebasan r y1.2 : koefisien korelasi parsial X2 dengan Y dengan mengontrol X1 ** : sangat signifikan Dari tabel 6 dapat disimpulkan bahwa hubungan parsial antara disiplin kerja dengan kinerja guru yang dikontrol oleh kompensasi kerja guru ternyata sangat signifikan, hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai t hitung: 13.41 lebih besar dari besarnya nilai t tabel. Berdasarkan hasil uji hipotesis di atas, menunjukkan bahwa hubungan antara disiplin kerja guru dengan kinerjanya di semua SMP Kristen PENABUR Jakarta dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Dengan demikian meningkatnya disiplin kerja guru dapat mendorong dan berdampak positif terhadap kinerjanya. Hubungan Positif antara Kompensasi Kerja (X1) dan Disiplin Kerja Guru (X2) Secara Bersama-sama dengan Kinerjanya (Y) Hipotesis ketiga menyatakan terdapat hubungan positif antara kompensasi kerja (X1), disiplin kerja (X2) secara bersama-sama dengan kinerja guru (Y) ditunjukkan melalui perhitungan analisis regresi ganda diperoleh persamaan 12 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP ^ Y : - 15.7 + 0.17 X1 + 1.71 X2 Uji signifikansi regresi ganda menunjukkan signifikan. Sedangkan hubungan antara kompensasi kerja guru (X1) dan disiplin kerja guru (X2) secara bersama-sama dengan kinerjanya (Y) di delapan SLTP Kristen PENABUR Jakarta dihasilkan seperti tabel berikut: Tabel 7: Hasil uji signifikansi korelasi ganda antara variable X1 dan X2 dengan Y. N Dk R y12 R2 y12 F hitung F tabel 0,05 0,01 60 58 0.8814 0.776 19.80 ** 3.15 4.98 Keterangan : n : jumlah sampel dk : derajat kebebasan Ry12 : koefisien korelasi X1 dan X2 dengan Y R2y12 : koefisien determinasi ** : sangat signifikan Dari tabel 7 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja dan disiplin kerja guru secara bersamasama dengan kinerjanya. Dari koefisien determinasi (R2y12 ) : 0.776 mempunyai makna 77.6 % yang terjadi dalam kecenderungan meningkatnya kinerja guru SMP Kristen PENABURr Jakarta dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh positifnya kompensasi kerja dan disiplin kerja guru melalui persamaan Y^ : - 15.7 + 0.17X1 + 1.71 X2 Hasil uji hipotesis di atas, menunjukkan bahwa hubungan antara kompensasi kerja dan disiplin kerja guru secara bersama-sama dengan kinerjanya di semua SMP Kristen PENABUR dapat dibuktikan berdasarkan hasil penelitian. Dengan demikian peningkatan kompensasi kerja dan pembinaan disiplin kerja guru secara bersama-sama dapat meningkatkan pula kinerjanya. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kompensasi kerja dengan kinerjanya di SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Kontribusi efektif variabel kompensasi kerja guru (X1) terhadap kinerjanya (Y) sebesar 6.76 % dengan koefisien korelasi r: 0.26. Artinya jika hendak Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 13 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP meningkatkan kinerja guru harus memperhatikan kompensasi kerja yang secara nyata memberikan sumbangan yang sangat berarti. Kedua terdapat hubungan positif yang signifikan antara disiplin kerja guru dengan kinerjanya di semua SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Kontribusi efektif variabel disiplin kerja guru (X2) terhadap kinerjanya (Y) sebesar 77.44 % dengan koefisien korelasi r: 0.88. Artinya apabila ingin meningkatkan kinerja guru harus pula memperhatikan disiplin kerjanya yang secara nyata memberikan sumbangan yang sangat berarti. Ketiga terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompensasi kerja dan disiplin kerja guru secara bersama-sama dengan kinerjanya di semua SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta. Kontribusi efektif variabel kompensasi kerja (X1) dan disiplin kerja guru (X2) secara bersama-sama terhadap kinerjanya (Y) sebesar 77.6 %, dengan koefisien korelasi ganda R: 0.8814. Artinya apabila ingin meningkatkan kinerja guru harus pula memperhatikan kedua variabel ini yang secara bersama-sama secara nyata memberikan sumbangan yang sangat berarti. Implikasi Berdasarkan kesimpulan penelitian dapat dikemukakan beberapa implikasi sebagai berikut: Untuk mendapatkan kinerja yang tinggi diperlukan pemberian kompensasi yang tinggi pula. Dalam hal pemberian kompenasi yang dimaksud lembaga sekolah hendaknya memperhatikan peraturan pemerintah yang berhubungan dengan penentuan standar gaji minimal, pajak penghasilan, penetapan harga bahan baku, biaya transportasi/angkutan, inflasi maupun devaluasi agar guru yang mendapatkan kompensasi dari hasil kerjanya dapat meningkatkan kinerjanya. Hal yang penting juga dalam pemberi an kompensas i perlu mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal guru. Karena kebutuhan dasar guru harus terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar guru dan keluarganya, maka guru akan merasa aman. Terpenuhi kebutuhan kebutuhan dan rasa aman memungkinkan guru dapat bekerja dengan penuh motivasi. Sehingga guru yang diharapkan yang dituntut oleh masa depan dalam rangka peningkatan sumberdaya manusia Indonesia akan tercapai. Selain kompensasi kerja di atas, untuk mendapatkan kinerja guru yang tinggi diperlukan disiplin kerja guru yang tinggi pula. Bahkan disiplin kerja guru merupakan prakondisi bagi terciptanya kinerja tinggi para guru. Untuk mendapatkan guru yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi peranan pengawasan kooperatif dan pembinaan yang dibangun dengan konsep 14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP demokratis oleh pimpinan dengan para guru harus tercipta dengan baik. Hal ini akan berakibat pada peran pimpinan yang harus luwes atau fleksibel serta kesadaran diri guru yang sepenuhnya dapat menerima aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: Pertama, pemberian kompensasi harus sesuai dengan peraturan yang berlaku serta mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal guru Kedua pemberian kompensasi sesuai dengan asas adil, layak dan wajar, agar kompensasi yang diterima masing-masing guru sesuai dengan kinerjanya. Ketiga, perlu dilakukan sistem penilaian akreditasi guru, agar yang bersangkutan mendapat masukan dari pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai guru. Keempat, kepala sekolah sebagai pimpinan harus selalu melakukan pengawasan dan pembinaan disiplin terhadap guru dengan pendekatan kooperatif dan demokratis. Kelima, Pengurus Yayasan BPK PENABUR Jakarta perlu memperhatikan langkah-langkah kebijakan yang berkaitan dengan kompensasi kerja dan disiplin kerja guru yang secara nyata mempunyai peranan yang cukup besar terhadap peningkatan kinerjanya. Keenam, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan variabelvariabel lain agar dapat terinventaris berbagai variabel yang dapat mempengaruhi atau mempunyai hubungan dengan kinerja guru. Daftar Pustaka BPK Penabur Jakarta. (2000). Peraturan kerja BPK Penabur. Jakarta: BPK Penabur Brahim, Theresia K. (2000). Skala pengukuran dan instrumen penelitian. Jakarta: PPS UKI Dessler, Gary. (19970. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT Prenhalindo Fuchan, Arief. (1982). Pengantar penelitian dalam pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional Handoko, T. Hani. (2000). Manajemen personalia dan sumber daya manusia . Yogyakarta: BPFE Hasibuan, Malayu S.P. (1997). Manajemen sumber daya manusia. , Jakarta: Gunung Agung. Imron, Ali. (1995). Pembinaan guru di Indonesia. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 15 Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2001). Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nasution, Sorimuda. (1986). Didaktik asas-asas mengajar. Bandung: Jemmars Sasmoko. (2000). Metode penelitian. Jakarta: PPs UKI Sedarmayanti. (2001). Sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Bandung: C.V Mandar Maju Sudjana. (1992). Metoda Statistika, edisi kelima. Bandung: Tarsito Supeno, Hadi. (1995). Potret Guru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Tohardi, Ahmad. (2002). Pemahaman praktis manajemen sumber daya manusia. Bandung: Mandar Maju Usman, Moh. Uzer. (1950). Menjadi guru profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 16 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Hasil Penelitian Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia serta Minat Baca Murid Dr. Vera Ginting, M.A*) Abstrak enelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca secara sendiri-sendiri dan bersama-sama. Penelitian dilakukan di Jakarta pada tahun 2003. Jumlah sampel sebanyak 245 murid yang diambil secara acak dari 12 sekolah di empat kecamatan Jakarta Pusat. Data dikumpulkan dengan metode survai yang dianalisis dengan menggunakan teknik analisis korelasi dan regresi sederhana dan ganda. Hasil penelitian menyimpulkan (1) ada hubungan positif dan sangat signifikan antara penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca, (2) ada hubungan positif dan sangat signifikan antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat baca, (3) ada hubungan positif, tetapi tidak signifikan antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca, (4) ada hubungan antara penguatan (reinforcement) membaca dan fasilitas lingkungan sekolah secara bersama-sama dengan minat baca. P Kata kunci: Penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia, dan minat baca. Abstract The aim of this study is to analize the relationships between the reinforcement on reading, the facility of school environment, the reading basic skill of the Indonesian language and the reading interest of primary school students in Jakarta. This study was carried out at the primary schools in Central of Jakarta, 2003. The number of sample is 245 students selected by a multistage random sampling. Data were collected by survey methods and analized using simple and multiple regression and simple and multiple correlation. The study reveals that (1) there is a significant positive relationship between the reinforcement *) Pegawai Pusat Perbukuan Depdiknas Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 17 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca on reading and the reading interest of primary school students, (2) there is a significant positive relationship between the facility of school environment and the reading interest of primary school students; (3) there is a nonsignificant relationship between the basic reading skill of the Indonesian language and the reading interest of primary school students; and (4) there is a significant positive relationship between the reinforcement on reading, the facility of school environment, the reading basic skill of the Indonesian language and the reading interest of primary school sudents in Jakarta. Pendahuluan Memasuki abad ke 21, banyak informasi direkam dan dikomunikasikan melalui kata tercetak. Salah satu wahana dalam upaya meningkatkan pengetahuan dalam rangka menguasai informasi dan perkembangan teknologi adalah kegiatan membaca. Kegiatan membaca bukan saja mengasyikkan, tetapi juga berarti menelusuri pengalaman pembelajaran melalui bahan bacaan. Hal ini dikarenakan bacaan merupakan ekspresi dari bahasa manusia sebagai suatu sistem komunikasi sosial yang mewakili kemajuan kemampuan kognitif manusia tertinggi (Semiawan, 1999:1). Manfaat dari kegiatan membaca telah banyak diungkap oleh para pakar berbagai bidang disiplin ilmu. Walaupun demikian, kegiatan membaca tidak luput dari pengaruh faktor lain yang membuat seseorang terhambat bahkan tidak melakukan kegiatan ini. Dilihat dari kegiatan anak membaca, mereka membutuhkan stimulus yang membuat mereka terdorong untuk melakukan kegiatan membaca. Belum banyak orang tua dan guru yang secara sengaja memberikan penghargaan saat anak melakukan kegiatan yang baik, seperti saat belajar dan membaca (Kompas, 26 Februari 20: 9). Walaupun peningkatan bahan-bahan cetak melimpah di negara-negara maju, hal ini sangat jauh berbeda keadaannya di dunia sedang berkembang apalagi dunia terbelakang (Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional, 1999 : 44). Mengingat begitu pesatnya informasi yang disajikan dalam bahan cetak, di samping minat bacanya ditumbuhkan, keterampilan membaca anak perlu juga ditingkatkan. Hasil Studi Kemampuan Membaca yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Balitbang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1992 melaporkan kemampuan membaca anak Indonesia menduduki peringkat ke 29 dari 30 negara yang diteliti (Soekarman dan Wardaya, 1992: 184). 18 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah perlu diidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, mulai dari lingkungan keluarga sampai di masyarakat. Mengingat luasnya bidang penelitian minat baca, peneliti membatasi ruang lingkup masalah ini pada minat baca untuk usia SD dan faktor-faktor yang berhubungan dengan minat baca, yaitu penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia. Penelitian minat baca ini difokuskan pada ketiga masalah di atas mengingat yang akan diteliti adalah minat baca murid SD yang masih sangat memerlukan penguatan membaca, penyediaan fasilitas, dan masih perlu ditingkatkan keterampilan dasar membacanya. Berdasarkan lingkup masalah di atas, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut. Pertama, adakah hubungan antara penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca? Kedua, adakah hubungan antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat baca? Ketiga, adakah hubungan antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca? Keempat, adakah hubungan antara penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan minat baca? Kerangka Teoretis dan Hipotesis Penelitian Pengertian Minat Minat merupakan salah satu dimensi dari aspek afektif yang banyak berperan juga dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam kehidupan belajar seorang murid. Aspek afektif adalah aspek yang mengidentifikasi dimensi-dimensi perasaan dari kesadaran emosi, disposisi, dan kehendak yang mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang (Stiggins, 1994: 310). Dimensi aspek afektif mencakup tiga hal penting, yaitu (1) berhubungan dengan perasaan mengenai objek yang berbeda. (2) Perasaan-perasaan tersebut memiliki arah yang dimulai dari titik netral ke dua kubu yang berlawanan, titik positif dan titik negatif. (3) Berbagai perasaan memiliki intensitas yang berbeda, yang dimulai dari kuat ke sedang ke lemah (Stiggins, 1994: 312). Aiken (1994: 209) mengungkapkan definisi minat sebagai kesukaan terhadap kegiatan melebihi kegiatan lainnya. Ini berarti minat berhubungan dengan nilai-nilai yang membuat seseorang mempunyai pilihan dalam hidupnya (Anastasi dan Urbina, 1982: 386). Selanjutnya, minat merupakan suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran antara perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut, atau kecenderungan kecenderungan lain Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 19 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca yang mengarahkan seeorang kepada suatu pilihan tertentu (Mapiarre dalam Prianto, 2001: 40). Sama dengan perangkat mental lainnya, minat dapat dilihat dan diukur dari respon yang dihasilkan (Semiawan, 1986: 120). Minat adalah suatu keadaan mental yang menghasilkan respons terarahkan kepada suatu situasi atau objek tertentu yang menyenangkan dan memberi kepuasan kepadanya (satisfiers). Definisi ini menjelaskan bahwa minat berfungsi sebagai daya penggerak yang mengarahkan seseorang melakukan kegiatan tertentu yang spesifik. Motivasi adalah sumber untuk mempertahankan minat terhadap kegiatan dan menjadikan kegiatan sangat menyenangkan (excitement). Minat mempunyai karakteristik pokok yaitu melakukan kegiatan yang dipilih sendiri dan menyenangkan sehingga dapat membentuk suatu kebiasaan dalam diri seseorang. Minat dan motivasi memiliki hubungan dengan segi kognisi, namun minat lebih dekat pada perilaku. Memperhatikan kembali definisi yang disampaikan Semiawan di atas minat sebagai hasil tindakan yang memberi kepuasan ( satisfiers ). Hal ini mengandung arti minat tidak hanya memiliki dimensi aspek afektif, tetapi juga aspek kognitif (Hurlock, 1992: 116). Aspek kognitif didasarkan atas konsep atau pengetahuan yang dikembangkan anak mengenai bidang yang berkaitan dengan minat. Ada 4 metode assessment yang sudah standar yang dapat digunakan untuk mengukur aspek afektif termasuk minat, yaitu (1) metode pinsil dan kertas yang menjaring melalui bentuk jawaban yang selektif atau (2) esai, (3) pengukuran performa, dan (4) komunikasi pribadi dengan murid (Stiggins, 1994: 314). Dari uraian tentang minat di atas, dapat disimpulkan bahwa minat adalah tingkat kesenangan yang kuat (excitement) dari seseorang dalam melakukan suatu kegiatan yang dipilih karena kegiatan tersebut menyenangkan dan memberi nilai baginya. Pengertian Membaca Membaca merupakan suatu proses membangun pemahaman dari teks yang tertulis (Smith, 1988: 14). Membaca merupakan suatu keterampilan yang kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan yang lebih kecil lainnya (Ahuja, 1999: 13). Dengan kata lain, proses membaca adalah proses ganda, meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat simbol-simbol. Oleh karena itu, mata memainkan peranan penting (Wassman & Rinsky, 1993: 5). Sebagai proses tanggapan, membaca menunjukkan interpretasi segala 20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca juga meliputi identifikasi simbolsimbol bunyi dan mengumpulkan makna melalui simbol-simbol tersebut (Ahuja, 1999: 12). Oleh karena itu, membaca dapat disimpulkan sebagai suatu proses yang melibatkan penglihatan dan tanggapan untuk memahami bahan bacaan yang bertujuan untuk memperoleh informasi atau mendapatkan kesenangan. Minat Baca Berdasarkan uraian di atas, minat baca murid SD didefinisikan sebagai tingkat kesenangan yang kuat (excitement) dari murid dalam melakukan kegiatan membaca yang dipilihnya karena kegiatan tersebut menyenangkan dan memberi nilai kepadanya. Penguatan (Reinforcement) Membaca Pengertian Penguatan (Reinforcement) Salah satu teori yang mempelajari perilaku belajar adalah E.L. Thorndike dengan teori stimulus respon dan hukum efeknya (Law of Effect) (Slavin, 1997: 154). Hukum ini mengatakan sebuah aktivitas yang diikuti oleh efek yang menyenangkan cenderung akan diulang lagi dalam situasi yang sama; sebaliknya, sebuah aktivitas yang diikuti dengan efek yang tidak menyenangkan cenderung tidak akan diulangi lagi. Hukum ini dikembangkan lagi oleh Skinner (Berndt, 1997: 24) menjadi prinsip-prinsip mempelajari perilaku belajar yang secara khusus meneliti hubungan perilaku seseorang dan efek atau konsekuensi yang dapat diciptakan oleh pihak luar orang itu. Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh murid, mulai dari duduk sampai segala perilakunya dalam aktivitas sekolah seperti melakukan kegiatan membaca, menulis, maupun berhitung. Skinner berpendapat bahwa ada dua jenis perilaku, yaitu perilaku tidak terkontrol dan perilaku terkontrol (Axelrod,1983 : 2). Perilaku tidak terkontrol disebut dengan respondent atau classical behaviour menghasilkan gerakan refleks, seperti air liur akan terbit jika melihat makanan lezat. Sebaliknya, perilaku terkontrol yang disebut dengan operant behaviour adalah perilaku yang muncul karena adanya peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang dikondisikan sedemikian rupa sebelumnya. Peristiwa atau kejadian-kejadian itu disebut dengan istilah konsekuensi. Skinner menjelaskan konsekuensi yang menyenangkan dari luar diri seseorang setelah orang itu melakukan suatu perbuatan yang membuat Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 21 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca perbuatan tersebut diulang kembali disebut dengan istilah penguatan berulang atau reinforcement (Semiawan,1978 : 3). Sebaliknya konsekuensi yang tidak menyenangkan dari pihak luar yang membuat seseorang berhenti atau melemah perilakunya disebut penghukuman atau punishment. Dari dua bentuk jenis konsekuensi ini, jenis penguatan (reinforcement) dianjurkan lebih dahulu dicoba untuk memunculkan perilaku yang diinginkan daripada menggunakan hukuman (Slavin, 1997: 156). Akhirnya, disimpulkan pengertian dari penguatan (reinforcement) yang dimaksud di sini adalah efek atau konsekuensi atau ganjaran yang menyenangkan (positive reinforcement) yang diberikan pihak luar (eksternal) untuk menguatkan perilaku yang muncul dari seseorang diulang kembali. Penguatan (Reinforcement) Membaca Penguatan (reinforcement) membaca adalah efek atau konsekuensi atau ganjaran yang menyenangkan (positive reinforcement) yang diterima murid dari pihak luar (eksternal) karena murid melakukan kegiatan membaca. Pihak eksternal murid di sini meliputi guru kelas, orang tua/wali, dan teman bermainnya. Fasilitas Lingkungan Sekolah Pengertian Fasilitas Sarana dan prasarana pendidikan sama dengan fasilitas atau benda­benda pendidikan yang siap pakai dalam proses belajar mengajar (PBM) sehingga PBM semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Fasilitas atau benda-benda pendidikan dapat ditinjau dari fungsi, jenis, atau sifatnya (Gunawan, 1996: 42). Ditinjau dari fungsinya terhadap PBM, sarana pendidikan terdiri atas (1) sarana yang tidak langsung berfungsi dalam PBM, contoh air, listrik, dan telepon, (2) sarana yang langsung berfungsi dalam PBM, contohnya buku pelajaran dan alat praktek. Ditinjau dari jenis atau bentuknya, fasilitas pendidikan dapat dibedakan menjadi fasilitas fisik, seperti kendaraan dan fasilitas nonfisik, seperti jasa. Ditinjau dari sifat barangnya, benda-benda pendidikan dapat dibedakan menjadi barang bergerak, seperti spidol dan buku pelajaran dan barang tidak bergerak, seperti bangunan sekolah. Sarana dan prasarana pendidikan harus direncanakan dan diusahakan secara baik agar senantiasa siap pakai (ready for use) dalam proses belajar mengajar (PBM). Kegiatan ini tercakup dalam bidang administrasi sarana dan prasarana pendidikan (Gunawan, 1996: 116). 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Selanjutnya menurut Purwanto, dalam ruang lingkup administrasi pendidikan mencakup pengelolaan dalam menggunakan atau memanfaatkan fasilitas yang tersedia, baik personel, material, maupun spiritual, untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif (Purwanto, 2002: 8). Dari uraian di atas, dapat dikatakan fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk memperlancar proses pencapaian tujuan belajar. Pengertian Lingkungan Sekolah Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, Stern mengungkapkan manusia tumbuh dan berkembang dikarenakan menyatunya pengaruh lingkungan dengan faktor genetiknya (Semiawan 1999: 127). Menurut para ahli genetik , faktor genetik adalah segala potensi yang dibawa sejak lahir yang menjadi modal utama bagi kemampuan dan kemajuan seseorang. Adapun pengikut faktor lingkungan menyimpulkan lingkungan yang mampu menghasilkan stimulasi dan nutrisi yang baik menjadi sebab utama dari perkembangan dan perubahan seseorang yang disebut juga dengan kemajuan dan perolehan. Sebaliknya, lingkungan yang miskin memudahkan anak mendapat pengaruh yang negatif (Berndt, 1997: 102). Anastasi dan Urbina (1988: 14) menyatakan lingkungan sebagai tempat, situasi, dan kondisi saat anak melakukan tes juga dapat mempengaruhi hasil tes. Menurut Semiawan lingkungan adalah segala sesuatu di luar diri individu (eksternal) dan merupakan sumber informasi yang diperolehnya melalui panca inderanya. Salah satu lingkungan yang terbukti sangat berperan dalam pembentukan kepribadian murid adalah sekolah (Semiawan, 1999: 127). Getzel dan Cuba berpendapat bahwa sekolah sebagai suatu sistem sosial memiliki dua dimensi, yaitu dimensi institusional dan dimensi individual terdiri dari orang-orang . Kedua dimensi ini berinteraksi dan menunjukkan dirinya dalam bentuk perilaku sosial atau berpadu dalam tujuan-tujuan persekolahan (Hamalik, 2003 : 22). Menurut Soedijarto (2000: 46), sekolah sebagai pusat pembelajaran yang bermakna dan sebagai proses sosialisasi dan pembudayaan kemampuan, nilai, sikap, watak, dan perilaku hanya dapat terjadi dengan kondisi infrastruktur, tenaga kependidikan, sistem kurikulum, dan lingkungan yang sesuai. Dalam kaitannya dengan pengembangan minat baca, pendapat lain menyebutkan sekolah dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan minat dan kegemaran membaca (Supriyanto, 1996: 1). Berdasarkan pendapat ini sarana dan prasarana yang mendukung terwujudnya sekolah sebagai pusat pengembangan minat baca wajib disediakan, seperti perpustakaan, bukubuku sekolah, program atau kegiatan-kegiatan membaca, dan waktu untuk membaca. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 23 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Pendapat lain dari Semiawan (1999: 22) menyatakan sekolah sebagai sarana pendidikan berfungsi juga sebagai lembaga untuk menyeleksi dan memilih manusia yang berbakat, terampil dan mampu, sehingga masyarakat berkembang ke arah kondisi yang bermanfaat (meritocracy), dan dapat memenuhi kondisi masyarakat yang dipersiapkan untuk masa depan. Dari berbagai pendapat dan teori di atas, disimpulkan lingkungan sekolah adalah suatu tempat dengan iklim yang dikondisikan untuk belajar dan mempersiapkan murid memenuhi perannya di masa sekarang dan masa mendatang. Pengertian Fasilitas Lingkungan Sekolah Dalam evaluasi pendidikan, komponen fasilitas, media dan perpustakaan, serta peralatan sekolah merupakan salah satu objek evaluasi. Menurut Worthen dan Sanders, pengalaman pengguna pertama dengan objek yang akan dievaluasi menjadi cara terbaik untuk memperoleh informasi yang akurat tentang objek tersebut (Worthen & Sanders, 1987: 8). Oleh karena itu, penelitian mengenai fasilitas lingkungan sekolah ini menjaring data dari penilaian murid mengenai fasilitas lingkungan sekolahnya. Oleh karena itu, disimpulkan definisi konseptual fasilitas lingkungan sekolah dalam penelitian ini adalah penilaian murid mengenai sarana berupa benda maupun non benda yang ada di lingkungan sekolah yang mencakup ketersediaan, kelengkapan, kecukupan yang sesuai dengan kebutuhan murid, kualitas pelayanan petugas, sampai aksesibilitas pemanfaatannya untuk menumbuhkan, membina, dan meningkatkan kegiatan membaca. Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia Pengertian Keterampilan Dasar Membaca Membaca adalah sebuah kemampuan yang diperlukan bagi orang yang mau mencari informasi dari teks tertulis (Ahuja, 1999: 12). Membaca juga sebagai salah satu alat untuk belajar (study skills) berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Membaca itu sendiri adalah satu dari empat kemampuan bahasa pokok, dan merupakan satu bagian atau komponen dari komunikasi tulisan (Tampubolon, 1987: 5). Menurut Smith (1988: 24) keterampilan berbicara dan menulis termasuk aspek produktif, sedangkan keterampilan mendengar dan membaca termasuk aspek reseptif dari bahasa. Broughton mengungkapkan dua aspek penting dalam membaca, yaitu: (1) Keterampilan yang bersifat mekanis ( mechanical skills ) mencakup pengenalan bentuk huruf sampai pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis atau “to bark at print”) dalam kecepatan membaca taraf lambat. 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca (2) Keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (higher order). Aspek ini mencakup memahami pengertian sederhana sampai mengevaluasi atau menilai isi dan bentuk bacaan dalam kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan (Tarigan, 1990: 11). Adapun Chomsky memberikan istilah surface structure untuk mengenal teks yang terlihat secara kasat mata dan deep structure untuk memahami teks dengan melibatkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dari pembaca (Weaver, 1994: 38). Menurut ahli bahasa lainnya yaitu Tampubolon mengungkapkan bahwa kemampuan membaca ialah kecepatan membaca (reading speed) dan pemahaman isi secara keseluruhan (Tampubolon, 1987:7). Bond dan Tinker merasa “Suatu definisi kecepatan membaca harus diartikan lagi sebagai kecepatan memahami bahan-bahan tercetak dan tertulis.” Dengan demikian, mengukur kecepatan membaca berarti mengukur kecepatan pemahaman terhadap bahan yang dibaca ( Ahuja, 1999: 54). Dari penjelasan di atas kiranya dapat dilihat bahwa istilah “kecepatan membaca” sesungguhnya tidak sepenuhnya menggambarkan makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, istilah yang dipergunakan Tampubolon ialah kemampuan membaca. Menurut Huthcroft, kemampuan membaca anak ada tiga kategori, yaitu: (1) Tingkat independen. Pada tingkat ini, anak dapat menguasai sedikitnya 90 % bahan yang dibaca. Tingkat ini digunakan untuk membaca penelitian dan membaca kesenangan. (2) Tingkat instruksi. Pada level ini pemahaman mencapai 75%. Tingkat ini memberi kesempatan kepada guru untuk membangun keterampilan berpikir dan kemampuan pemahaman anak. (3) Tingkat frustrasi. Pengenalan kata hanya 90% atau kurang sehingga mengakibatkan kegagalan memahami walaupun hanya setengah dari bahan pelajaran. Pembaca lambat cenderung tidak menyukai membaca sebab bagi mereka kegiatan membaca memakan banyak waktu (Ahuja, 1999: 27). Oleh karena itu, mereka sedikit membaca dan konsekuensinya tidak pernah cukup berlatih untuk meningkatkan kegiatan membaca. Ini selanjutnya menambah masalah karena mereka juga gagal menambah perbendaharaan kata mereka. Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan keterampilan dasar membaca adalah kemampuan-kemampuan pokok yang mencakup kemampuan mekanik ( surface structure ) dan kemampuan pemahaman (deep structure) dalam waktu tertentu. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 25 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia Keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia yang baku untuk sekolah dasar telah dituangkan dalam kurikulum nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia. Keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia adalah kemampuankemampuan pokok dalam memahami bahan-bahan bacaan tertulis atau tercetak bahasa Indonesia yang mencakup kemampuan mekanik (surface structure) dan kemampuan pemahaman (deep structure) dalam waktu tertentu. Karakteristik Murid SD Piaget membagi perkembangan kognitif anak dan remaja dalam empat tingkat, yaitu tingkat sensorimotor (0-2 tahun), praoperasional (2-7 tahun), operasional kongkret (7-11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas), (Slavin,1997: 34). Apabila dilihat dari rentang usia, anak SD berarti masuk pada tingkat operasional kongkret yang dibuat oleh Piaget seperti tersebut di atas. Menurut para pendidik dan ahli psikologi anak seperti Piaget dan Hurlock, kelompok usia ini disebut kelompok usia sekolah dasar yang siap memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa. Adapun jenjang SD dikelompokkan pada kelas rendah, yaitu kelas 1-3 dan kelas tinggi, yaitu kelas 4-6. Dalam penelitian ini dipilih murid SD kelas IV karena dianggap murid kelas IV SD telah dapat membaca dengan lancar dan dapat menjawab pertanyaan dalam angket. Kerangka Berpikir Minat baca adalah bentuk-bentuk perilaku yang terarah guna melakukan kegiatan membaca yang dilakukan oleh seseorang dalam hal ini adalah murid tanpa adanya suatu paksaan atau keharusan. Kegiatan membaca ini dilakukan karena adanya pengaruh faktor internal dan eksternal yang membuat murid senang melakukannya. Hubungan antara minat baca dan faktor-faktor internal dan eksternal yang diduga mempunyai kontribusi dalam minat baca dapat dijelaskan sebagai berikut: Hubungan antara Penguatan (Reinforcement) Membaca dengan Minat Baca Minat baca bukanlah bentuk perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi hasil dari usaha belajar. Sebagai kegiatan yang harus melewati tahap mempelajari 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca (bukan bawaan), dalam kegiatan membaca murid membutuhkan rangsangan dan penguatan terhadap kegiatan membaca yang dilakukannya. Pemberian penguatan ini menandakan adanya keberterimaan lingkungan bahwa apa yang dilakukan murid positif dan mendapat dukungan sehingga murid terdorong mengulang kembali perilaku positif tersebut. Oleh karena itu, diduga ada hubungan positif antara penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca yang dimiliki murid. Hubungan antara Fasilitas Lingkungan Sekolah dengan Minat Baca Membaca merupakan bagian dari proses belajar yang membangun pemahaman dari teks yang tertulis. Ini berarti kegiatan membaca berkaitan erat dengan bahan-bahan bacaan dan fasilitas lainnya yang menunjang terlaksananya pemahaman. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ada hubungan positif antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat baca yang dilakukan oleh muridnya. Hubungan antara Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia dengan Minat Baca Menurut Hutchcroft (1981) kemampuan anak membaca yang rendah atau pada tingkat frustrasi akan membuat masalah dalam pemahaman membaca. Sebaliknya, anak yang mempunyai kemampuan dasar membaca tinggi terpancing untuk terus mencari bahan bacaan yang menarik dan menantang daya nalarnya. Oleh sebab itu, diduga ada hubungan positif antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat bacanya. Hubungan antara Penguatan (Reinforcement) Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah, dan Keterampilan Dasar Membaca Bahasa Indonesia dengan Minat Baca Minat baca sebagai salah satu kegiatan belajar yang penting banyak berkaitan dengan faktor lain. Sebagai kegiatan yang melibatkan proses psikis dan fisik, kegiatan membaca yang dilakukan murid berhubungan dengan penguatan Membaca dari pihak luar dirinya. Sebagai kegiatan yang menunjang kegiatan belajar di sekolah, kegiatan membaca berhubungan dengan fasilitas lingkungan sekolah yang menunjang terlaksananya kegiatan membaca. Sebagai kegiatan yang berupaya memahami berbagai teks bacaan, kegiatan membaca berkaitan dengan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia. Oleh karena itu, diduga ada hubungan positif antara penguatan (reinforcemant) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia secara bersama-sama dengan minat baca. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 27 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Hipotesis Penelitian Dari hasil analisis teori di atas, ditarik kesimpulan teoretis yang juga menjadi hipotesis penelitian sebagai berikut. 1. Terdapat hubungan positif antara penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca. 2. Terdapat hubungan positif antara fasilitas lingkungan sekolah dengan minat baca. 3. Terdapat hubungan positif antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca. 4. Terdapat hubungan positif antara penguatan (reinforcement) membaca, fasilitas lingkungan sekolah, dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca secara bersama-sama. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Kotamadya Jakarta Pusat yang dipilih secara random. Waktu pelaksanaan penelitian selama bulan Mei dan Juni 2003. Uji coba instrumen dilaksanakan pada bulan Mei 2003. Metode penelitian yang dipakai untuk menjelaskan hubungan antara variabel penelitian adalah metode survai dengan menggunakan instrumen kuesioner dan tes. Instrumen berbentuk kuesioner telah dikalibrasi, validitas butir dihitung dengan rumus Product Moment, sedangkan koefisien reliabilitas dihitung dengan rumus Alpha Cronbach. Instrumen tes dikalibrasi, validitas butir dihitung dengan rumus Point Biserial, sedangkan koefisien reliabilitas dihitung dengan rumus KR 20. Data yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi sederhana dan jamak serta regresi sederhana dan jamak setelah terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu uji normalitas dengan uji Lilliefors dan uji homogenitas dengan uji Bartlett. Konstelasi permasalahan penelitian tergambar sebagai berikut: X1 X2 Y X3 28 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Keterangan: X1 : Penguatan membaca X2 : Fasilitas lingkungan sekolah X3 : Keterampilan membaca bahasa Indonesia Y : Minat baca Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan multistage random sampling. Dari teknik ini, diperoleh 245 responden sebagai sampel dari 12 sekolah dasar di empat kecamatan di Jakarta Pusat. Hasil Penelitian Kesimpulan, Implikasi, dan Saran Kesimpulan Setelah melakukan pengujian hipotesis, diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut: Pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguatan (reinforcement) membaca (X1) dengan minat baca (Y). Kedua, terdapat hubungan positif yang signifikan antara fasilitas lingkungan sekolah (X2) dengan minat baca (Y). Ketiga, terdapat hubungan positif, tetapi tidak signifikan antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia (X3) dengan minat baca (Y). Menyikapi pengujian hipotesis yang ditolak secara statistik ini, penulis mengkaji ulang metodologi dan kerangka teori yang telah disusun dan menemukan beberapa hal yang menjelaskan kemungkinan sebab terhadap hipotesis yang tidak terbukti ini. Pertama bahwa keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia mempunyai unsur waktu yang cukup penting atau diperhitungkan dalam pelaksanaannya sedangkan minat baca sebaliknya hampir tidak mempersoalkan waktu dalam membaca, bahkan mendorong murid untuk membaca pada waktu-waktu luangnya. Di samping itu, minat baca mempunyai unsur perasaan senang atau hampir senantiasa dalam keadaan tidak mengalami tekanan eksternal yang mungkin tidak dimiliki dalam setiap tes seperti tes keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia. Oleh karenanya, mungkin sekali keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia tidak mempunyai hubungan langsung yang signifikan dengan minat baca. Kedua, keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia adalah bagian dari inteligensi berbahasa. Menurut Gardner dalam Berndt, inteligensi adalah kemampuan menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai atau berharga dalam sebuah budaya berbahasa. Sebagaimana diakui para tokoh masyarakat maupun pakar pendidikan bahwa minat baca masyarakat Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 29 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Indonesia rendah (Kompas, 6 Agustus 2003) dan ter­bukti juga dalam penelitian ini bahwa minat baca murid SD di Jakarta Pusat termasuk klasifikasi sedang. Ini mengindikasikan membaca belum dianggap sebagai hal yang berharga atau bernilai di dalam budaya Indonesia sehingga tidak mendukung berkembangnya keterampilan membaca ke arah minat baca. Ketiga, keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia sebagai bagian dari kemampuan bawaan pada tingkat sekolah dasar harus mendapat bantuan dalam penggunaannya untuk mencapai tujuan mereka. Reformasi sekolah yang diusulkan Gardner dalam Berndt adalah sekolah harus membantu murid dari cara klasikal kepada bentuk yang lebih individual. Oleh karena itu, keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia tidak akan berkorelasi dengan minat baca jika lingkungan, khususnya guru tidak memiliki kemampuan untuk membantu dalam meningkatkan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia secara individu sehingga kedua variabel tersebut tidak berhubungan langsung. Keempat, minat baca berhubungan dengan pribadi seseorang oleh Hurlock disebut identik dengan apa yang dibaca (Hurlock, 1983: 114). Oleh karena itu, murid yang mempunyai keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia tinggi, tetapi bahan bacaan yang tersedia tidak menyentuh pribadinya, murid tidak tertarik untuk melakukan kegiatan membaca. Kelima, minat baca adalah tingkat perasaan senang yang sangat kuat dalam kegiatan membaca yang membutuhkan stimulus untuk mewujudkannya menjadi suatu kebiasaan. Murid yand memiliki keterampilan dasar membaca tinggi, tetapi tidak mendapat stimulus atau tidak dituntut untuk melakukan kegiatan membaca setiap harinya, minat bacanya tidak akan bertambah tinggi. Keenam, menurut Bandura (Slavin, 1997: 271), anak dapat belajar atau berperilaku dengan melihat model (learning through modeling). Murid sekolah dasar yang terampil membaca lebih mudah minat bacanya meningkat jika di sekelilingnya banyak contoh melakukan kegiatan membaca. Kalau tidak ada model membaca yang mau diikuti, murid mengalami kesulitan menjadi pecinta kegiatan membaca. Sebagai pembanding yang sangat dekat, dapat diperhatikan kembali hubungan antara penguatan (reinforcement) membaca dengan minat baca di atas yang terbukti berkorelasi sangat signifikan. Murid yang mendapat penguatan (reinforcement) membaca akan meningkat pula minat bacanya. Walaupun demikian, pendapat ini yang mengandung adanya intervensi variabel lain antara keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia dengan minat baca perlu diteliti lebih lanjut. Kesimpulan pengujian hipotesis keempat, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penguatan (reinforcement) membaca (X1) dan fasilitas lingkungan sekolah (X2) dengan minat baca (Y). 30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Implikasi Implikasi dari hasil penelitian ini adalah langkah-langkah meningkatkan minat baca dengan jalan meningkatkan membaca dan fasilitas lingkungan sekolah yang berhubungan dengan kegiatan membaca. Adapun langkahlangkah yang perlu diambil untuk meningkatkan minat baca secara rinci disampaikan sebagai berikut: Upaya Meningkatkan Penguatan (Reinforcement) Membaca Penguatan yang setiap harinya diharapkan dari orang terdekat murid adalah dari orang tua, guru, dan teman. Untuk itu, implikasi dari variabel ini terutama kepada ketiga kelompok ini. Untuk Orang Tua Orang tua perlu menyadari bahwa minat baca murid sudah ada dan perlu dipertahankan serta ditingkatkan. Berdasarkan hasil temuan penelitian, peningkatan minat baca lebih dipengaruhi oleh pihak eksternal murid, seperti penguatan kegiatan membaca dan pengadaan fasilitas lingkungan sekolah. Berdasarkan persamaan regresi yang diperoleh, penyediaan fasilitas akan lebih efektif apabila dibarengi dengan penyampaian penguatan membaca kepada anak murid dan juga mengusahakan kerja sama dengan sekolah untuk meningkatkan fasilitas lingkungan sekolah. Adakalanya penguatan membutuhkan kompensasi material atau nonmaterial, seperti hadiah berbentuk buku atau pergi mengantar ke pameran. Untuk itu orang tua harus mengalokasikan dana dan waktu serta perhatian guna meningkatkan minat baca anaknya melalui bentuk-bentuk penguatan yang dipilih maupun mengarahkan anaknya untuk bergaul dengan anak yang senang membaca. Untuk Guru Guru perlu menyadari bahwa penguatan membaca lebih besar pengaruhnya terhadap peningkatan minat baca daripada fasilitas lingkungan sekolah dan keterampilan dasar membaca bahasa Indonesia. Guru juga perlu memberi waktu khusus untuk membaca dan mendiskusikan bahan yang dibaca sehingga murid terbiasa membaca dan menganggap membaca itu penting. Di samping itu, guru dan sekolah perlu mempunyai bentuk-bentuk penguatan yang tetap dan biaya murah sehingga murid merasa senang mendapatkannya, khususnya dalam kegiatan membaca. Untuk Teman Murid adalah teman bagi temannya juga. Oleh karena itu, implikasi ini ditujukan kepada murid yang juga berstatus teman. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 31 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Murid perlu bermain atau berkelompok dengan teman yang mau berkunjung ke perpustakaan sekolah maupun lingkungan rumah secara rutin. Hal ini dikarenakan anak yang tidak suka membaca akan sukar untuk menyampaikan penguatan membaca kepada temannya. Upaya Meningkatkan Fasilitas Lingkungan Sekolah Kelengkapan fasilitas lingkungan sekolah terbukti mempunyai hubungan yang dapat diperhitungkan dalam peningkatan minat baca murid SD. Walaupun demikian, sekolah perlu menyadari juga bahwa fasilitas yang lengkap di atas masih di bawah hubungan antara penguatan membaca dengan minat baca murid. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh mengandalkan fasilitas lingkungan sekolah saja tanpa memberi penguatan (reinforcement) membaca kepada murid SD dalam memanfaatkan fasilitas yang sudah ada. Apabila tidak, akan membawa pemborosan karena murid tidak terpancing memanfaatkan fasilitas yang ada. Mengingat minat baca sudah menjadi isu nasional, implikasi penelitian ini dapat meluas ke tingkat nasional. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional pun harus lebih menggalakkan program-program dalam rangka pengadaan bahan-bahan bacaan seperti lomba penulisan naskah bacaan, pelatihan penulisan buku bacaan, penerjemahan buku-buku bacaan, pembelian buku bacaan, sampai perlindungan hak cipta pengarang. Saran Dari kesimpulan dan implikasi yang telah dirumuskan, berikut ini disampaikan beberapa saran bagi orang tua, sekolah, dan pemerintah. Untuk Orang Tua Dalam meningkatkan minat baca anak, orang tua tidak cukup hanya memberikan fasilitas yang memadai. Yang lebih penting adalah memberikan penguatan terhadap perilaku anak yang membaca. Orang tua yang memberikan penguatan kepada anak berarti terlebih dahulu memperhatikan perilaku anak membaca. Konsekuensinya, ada waktu yang cukup untuk bisa melakukan atau memberikan penguatan yang tepat kepada anak dalam melakukan kegiatan membaca. Di lingkungan rumah, orang tua bisa membentuk klub membaca yang pembimbingnya dapat bergantian dari orang tua itu sendiri karena memiliki kepentingan yang sama dalam hal meningkatkan minat baca dan menciptakan budaya baca di lingkungan masing-masing. Di sini, anak akan melihat orang 32 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca tua yang juga ikut membaca dan tidak hanya sebagai penyedia fasilitas dan penguatan saja. Selanjutnya, orang tua sebagai pendidik yang paling dekat dengan anak harus mengarahkan anak agar menjalin pertemanan dengan mereka yang senang sekali membaca. Untuk Sekolah Sekolah perlu bekerja sama secara aktif dengan orang tua dalam pengadaan fasilitas lingkungan sekolah dan dalam tukar pengalaman akan kiat-kiat meningkatkan minat baca atau ketentuan pemberian penguatan membaca dari guru dan orang tua murid yang murid atau anaknya sudah tinggi minat bacanya. Dalam pengadaan fasilitas sekolah, orang tua dan sekolah harus mempunyai kesepakatan yang sama untuk menyediakan terlebih dahulu pengelola fasilitas dan fasilitatornya yang akan berperan sebagai pemberi penguatan secara khusus kepada kegiatan membaca murid. Kepala sekolah dan guru perlu membuat ketentuan pemberian penguatan membaca yang jelas sehingga murid tertarik untuk berperilaku seperti yang diharapkan. Misalnya, murid yang telah membuat ringkasan dari buku bacaan diberi nilai tambah. Kepala sekolah dan guru juga perlu memrogramkan berapa jumlah buku dan jenis apa saja yang harus dibaca dalam satu minggu, satu bulan, atau satu tahun. Disamping itu, sekolah dapat bekerja sama dengan penerbit untuk melakukan pameran buku secara rutin di sekolah dan mengundang “orang sukses” dari masyarakat atau lembaga perbukuan sebagai narasumber meningkatkan minat baca murid. Untuk Pemerintah Dalam memberikan penguatan, guru membutuhkan waktu dan tenaga untuk memperhatikan secara khusus perilaku membaca murid. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menunjuk dan memberikan insentif khusus kepada guruguru yang secara sengaja memberikan penguatan membaca murid. Di samping itu, melalui camat, lurah, RW dan RT perlu dihimbau agar dengan swadaya masyarakat mengadakan perpustakaan lingkungan sekaligus pengadaan pembimbingnya. Pembimbing harus tersedia dalam pengadaan fasilitas membaca agar tidak terjadi pemborosan dalam pemanfaatan dan pemeliharaan. Agar tidak kalah dengan pengaruh media elektronik terhadap murid, bentuk-bentuk perlombaan membaca perlu digalakan dari tingkat sekolah sampai dengan tingkat nasional. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 33 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Daftar Pustaka Aiken, Lewis R. (1994). Psychologycal testing and assessment. MA: Allyn and Bacon Ahuja, G.C. dan Pramila Ahuja. (1999). How to read effectively and efficiently. New Delhi: Sterling Publishers Anastasi, Anne & Susana Urbina. (1997). Psychological testing. 7th ed. NJ: PrenticeHall, Inc. Axelrod, Saul. (1983). Behavior modification for the classroom teacher . USA: McGraw-Hill, Inc. Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional. (1992). Penerjemahan buku. Hasil seminar sehari tentang penerjemahan buku. 20 Agustus 1992. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional. (1999). Pembinaan perbukuan nasional, dua dasa warsa BPPBN 1978-1999. Jakarta Badudu, J.S. (1993). Cakrawala bahasa Indonesia I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Berndt, Thomast J. (1997). Child development. Dubuque, USA: Brown & Benchmark Biro Pusat Statistik. (1993). Statistik Indonesia 1993. Jakarta: CV Nasional ^ Hamalik. (2003). Perencanaan pengajaran berdasarkan pendekatan sistem . Jakarta: Bumi AksaraHopkins, Kenneth D. ; Stanley, J. C.; Hopkins, B. R. (1990). Educational and psychological measurement and evaluation. Massachusetts: Allyn & Bacon Hurlock, E. B. (1983). Child development. New Delhi: McGraw-Hill Hutchroft, Diana M.R. (1981). Making languange work. A Practical Approach to Literacy for Teachers of 5-to 13-Year-Old Children. London: McGraw-Hill MAM. ’’Buruk, penanganan anak jalanan,” Kompas, 26 Februari 2003 Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior modification: What It is and how to do it. NJ: Prentice-Hall Murwani, R. Santosa. Statistika terapan (Teknik analisis data). Jakarta: UNJ NAR. ’’Kembangkan pendidikan inklusif dari tingkat taman kanak-kanak,’’ Kompas, 25 Februari 2003 Prayitno, E. (1989). Motivasi belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1985). Minat baca murid sekolah dasar di Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Purwanto, Ngalim. (2002).Administrasi dan supervisi pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Semiawan, C. (1978). Lingkungan belajar yang mengundang suatu pendekatan bermakna dalam meningkatkan perkembangan anak retardasi mental. Disertasi. Jakarta: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Slavin, Robert E. (1997). Educational psychology. Teory and practice. MA: Allyn & 34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Penguatan Membaca, Fasilitas Lingkungan Sekolah dan Keterampilan Dasar Membaca Bacon Soedijarto. (2000). Pendidikan nasional sebagai wahana mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban negara-bangsa (Sebuah usaha memahami makna UUD’45). Jakarta:CINAPS Soekarman & S.S. Wardaya (Ed.). (1992). Introduction to Asean librarianship. school libraries. Jakarta: The Asean Committee on Culture and Information Stiggins, R.J. Merril. (1994). Student centered classroom assesment. New York: McMiller College Publishing Co. Sudaryanto. ^(1996). Perpustakaan sekolah sebagai sarana pengembangan minat dan kegemaran membaca murid. Disajikan pada Lokakarya Pengembangan Minat Baca dan Kegemaran Membaca Murid Pendidikan Dasar Sudjana. (1996). Metoda statistika. Bandung: Penerbit Tarsito Supriyanto. (1996). Makalah sekolah sebagai pusat pengembangan minat dan kegemaran membaca murid. Disajikan dalam Lokakarya “Pengembangan Minat Baca dan Kegemaran Membaca Murid Pendidikan Dasar”, diselenggarakan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Tampubolon. D.P. (1987). Kemampuan membaca: Teknik membaca efektif dan efisien. Bandung: Penerbit Angkasa Tarigan, H.G. (1990). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa, Wassman, Rose & Lee Ann Rinsky. (1993). Effective reading in a changing world. New Jersey: Englewood Cliffs Wiener, Harvey S. & Bazerman, Charles. (1991). Reading skill handbook. MA: Houghton Mifflin, Weaver, Constance. (1994). Reading process and practice. From sociopsycholinguistics to whole languange. USA: Portmouth, N Heinemann Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 35 Opini Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe*) Abstrak onsep pendidikan pada umumnya dan termasuk konsep pendidikan Kristen perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan konsep pendidikan itu sendiri, serta tuntutan masyarakat. Bagaimana pendidikan Kristen dapat berperan aktif dalam masyarakat yang majemuk tanpa harus mengabaikan nilai-nilai Kristen yang diembannya menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. K Kata kunci : Pendidikan kristiani, Lembaga Pendidikan Kristen, kesaksian Abstract Education concept in general, including the Christian education concept, needs to be redefined in the line of the development of education concept itself and the need of society. How should Christian educational institutions be able to perform their tasks within the plural societies as in Indonesia without compromising their Christian identity and values, are interesting to be discussed further. Apa yang Dimaksud dengan Pendidikan Kristiani? Merumuskan apa yang dimaksud dengan pendidikan kristiani bukanlah hal sederhana, lebih-lebih pada masa kini. Pada waktu lalu agaknya masih lebih “mudah”. Saya masih ingat ketika untuk pertama kali saya memasuki Sekolah Dasar (dahulu: Sekolah Rakyat), saya tidak kesulitan mengingatnya karena sekolah yang saya masuki adalah sekolah milik gereja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan kristiani adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh gereja, yang di dalamnya prinsip-prinsip kristiani diterapkan. Hal itu secara sangat jelas terlihat dalam penyampaian matapelajaran. Hampir setiap hari diberikan Pengetahuan Alkitab (dalam istilah waktu itu: “Hikayat Suci”). Setiap pagi guru menyampaikan pengajaran ini *) Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya dengan cara yang sangat menarik. Berbagai ceritera-ceritera Alkitab disajikan. Tidak dapat disangkal, bahwa berkat pengajaran Alkitab seperti itu, pengetahuan saya terhadap isi Alkitab menjadi kuat. Biasanya sebelum kegiatan-kegiatan dimulai, diawali dengan kebaktian pagi, dan setelah kegiatan selesai diakhiri dengan kebaktian penutup. Sekolah ini, yang memang dibangun oleh Zending (Lembaga Pekabaran Injil dari Negeri Belanda) mempunyai tujuan tidak hanya mencerdaskan murid (meskipun mata pelajaran yang diberikan sangat terbatas), tetapi juga untuk menjadikan mereka Kristen. Memang berkat sekolah-sekolah seperti ini, gereja bertumbuh dan berkembang. Boleh dikatakan hampir semua yang mengikuti pendidikan ini kemudian menjadi anggota gereja. Konsep yang melatarbelakangi pendidikan ini, sekolah adalah alat pekabaran Injil. Di Negeri Belanda ada yang disebut “School met de Bijbel”. Kelihatannya, dalam derajat tertentu, konsep sekolah macam ini ditiru juga di Indonesia. Inilah sekolah yang menerapkan secara sengaja prinsip-prinsip Alkitab. Tentu saja dalam perkembangan kemudian, cara ini mulai digugat. Apakah benar cara ini masih relevan untuk dipertahankan? Atau, dengan mengingat perkembangan yang begitu cepat, dan Negeri Belanda berada dalam proses sekularisasi yang begitu cepat, sebaiknya ditinggalkan saja? Diskusi ini belum selesai sampai sekarang. Sekolah Sebagai Alat Pekabaran Injil? Pertanyaan ini perlu diajukan kembali, bukan saja karena perkembangan pemikiran yang ada sekarang ini mengenai pekabaran Injil, tetapi juga mengingat kemajemukan masyarakat, yang di dalamnya sebuah sekolah Kristen berada. Sejauh yang saya tahu, sekolah-sekolah Katolik misalnya tidak lagi merumuskan keberadaan sekolah-sekolah mereka untuk mengkatolikkan seseorang, tetapi untuk menjadikan seseorang itu sebagai manusia. Jadi, sekolah bertujuan memanusiakan manusia. Agaknya pemahaman seperti ini telah juga terdapat di dalam pengelolaan sekolah-sekolah Kristen. Bahwa sekolah Kristen dianggap sebagai alat pekabaran Injil memang tidak dapat disangkal. Mungkin juga dituntut oleh zamannya, terutama dalam wilayah-wilayah yang dulunya disebut lapangan pekabaran Injil (zendingsveld). Secara teologis, terlihat di sini bahwa diakonia disubordinasikan kepada pemberitaan (kesaksian/ marturia). Dalam perkembangan kemudian, kelihatannya hal ini sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Apa yang disebut diakonia tidak perlu lagi ditempatkan di bawah marturia, karena diakonia itu sendiri adalah pemberitaan. Artinya, tanpa mengatakan sesuatupun, kinerja dari lembaga-lembaga itu sendiri telah merupakan pemberitaan. Apabila knierja Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 37 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya sebuah lembaga pendidikan Kristen baik, maka ia akan merupakan pemberitaan baik. Sebaliknya kalau buruk, ia juga merupakan pemberitaan buruk. Dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang di dalamnya sebagian besar murid-muridnya bukan beragama Kristen, kemungkinan pemikiran kedua ini sangat dianjurkan. Beberapa orang alumni dari sekolah-sekolah Kristen (yang tidak beragama Kristen) memberikan kesaksian bahwa ketertarikan mereka kepada sekolah-sekolah Kristen adalah karena disiplinnya yang sangat tinggi. Orang-orang ini tetap menganut agama mereka semula. Mereka tidak beralih menjadi Kristen. Namun mereka mengaku bahwa mereka sangat menikmati pendidikan di dalam sekolah-sekolah Kristen yang bukan saja disiplinnya tinggi, tetapi juga persekutuannya kuat. Malah mereka bisa menceriterakan, bahwa ketika dalam pendidikan dulu mereka biasanya menyandang peranan-peranan tertentu dari tokoh-tokoh Alkitab apabila ada perayaan Natal. Mereka bahkan masih bisa menyanyikan nyanyian-nyanyian kristiani dengan sangat baik. Dengan ilustrasi ini, saya mau mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan yang baik, yang membuat orang cerdas dan berdisiplin tinggi, serta menguatkan persekutuan sudah merupakan kesaksian yang baik. Semua proses belajar-mengajarpun seperti itu telah merupakan pekabaran yang berbuah. Maka mestinya, secara verbalistis pengajaran agama tidak ada, peniadaan itu tidak perlu menjadi pesoalan serius. Undang Undang Sisdiknas Ketika kita ramai-ramai menolak diundangkannya RUU Sisdiknas pada waktu lalu, pertanyaannya adalah apanya yang ditolak? Pada waktu itu ada sebuah pasal yang mengatur bahwa setiap anak mesti memperoleh pendidikan agama dari pendidik (guru) yang seagama dengan si peserta didik. Selain itu, berkenaan dengan sarana, ada tuntutan untuk membangun sarana-sarana ibadah di dalam lembaga-lembaga pendidikan Kristen. Banyak orang berpendapat, bahwa ketentuan seperti ini mencederai keunikan dari sebuah pendidikan yang tidak diselenggarakan negara. Menurut hemat saya, keberatan-keberatan seperti itu dapat dipahami. Namun, titik-beratnya bukanlah di situ. Tititk berat penolakan adalah, bahwa RUU itu cenderung memperlihatkan campur-tangan negara yang tidak proporsional dalam urusanurusan lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat. Dengan seperti itu, masyarakat cenderung terpasung kaki-tangan untuk melakukan berbagai eksperimen dalam proses pendidikan. Selain itu, RUU itu sendiri mesti secara jelas mendorong proses pendidikan, bukan proses beragama. Kalau perjuangan seperti itu yang dikemukakan, RUU itu akan didukung, bukan saja oleh orang-orang Kristen, tetapi juga oleh semua orang yang merasa perlu 38 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya menonjolkan peranan masyarakat dalam proses pendidikan. Sayang sekali, bahwa berbagai unjuk-rasa telah menempatkan Kristen dan Islam dalam posisi berhadap-hadapan. Di bebarapa tempat lalu ada semacam fatwa untuk tidak memasukkan anak-anak muslim ke dalam sekolah-sekolah Kristen. Mamasukkan anak-anak muslim ke dalam sekolah-sekolah Kristen dianggap haram hukumnya. Kita memang menyayangkan ketelanjuran-ketelanjuran seperti ini. Kita berharap, sikap-sikap reaksi berlebihan seperti itu tidak akan terjadi lagi di masa-masa mendatang. Tentu saja tetap merupakan tugas kita untuk terus memantau dan menyikapi berbagai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dijabarkan dari UU Sisdiknas tersebut. Agaknya kita masih bisa berperanan, dalam kerjasama dengan saudara-saudara lain untuk memperbaiki begitu banyak komponen dalam UU Sisdiknas itu. Kinerja Sangat Penting Apabila sebuah sekolah (lembaga pendidikan) Kristen memperbaiki kinerjanya, maka pasti ia akan dicari. Orang akan berminat memasukinya. Tetapi kalau kinerja buruk, sudah pasti akan ditinggalkan. Di Nusa Tenggara Timur, pernah sekolah-sekolah Kristen menduduki tempat utama. Sayang sekali, akhir-akhir ini peranan itu tidak lagi demikian. Bahkan lepas dari tangan. Di Pulau Alor misalnya, pernah ada sekolah Kristen yang persentasi kelulusannya 0%. Di Pulau Sumba, karena demikian buruknya pelayanan, sekolah-sekolah Kristen dianjurkan untuk dinegerikan saja1. Ini lalu memicu diskusi yang tidak habishabisnya. Di Pulau Timor, keadaannya serupa. Bangunan-bangunan sekolahsekolah Kristenlah yang paling buruk. Kelihatannya gereja lebih mementingkan membangun gedung-gedung gereja, daripada membangun gedung-gedung sekolah. Dalam suatu percakapan dengan gereja dan lembaga-lembaga pendidikan Kristen di Kupang saya pernah mengatakan: “… sibuk saja dengan membangun monumen-monumen mati, dan melalaikan monumen-monumen hidup. Akan tiba saatnya, ketika gedung-gedung gereja yang megah dan besar itu selesai dibangun, lalu kosong melompong, karena kita melalaikan pembangunan manusianya.” Tentu saja yang saya maksudkan barulah mengenai keadaan fisik lembagalembaga pendidikan Kristen. Secara lebih mendalam kita mesti berbicara mengenai isi dan suasana lembaga-lembaga tersebut. Pertanyaan mendasar adalah, bagaimanakah isi sebuah lembaga pendidikan Kristen? Apakah ia unik dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya? Dalam garis-garis besarnya tentu saja tidak terlampau unik, sebab dalam hal kurikulum misalnya, pasti akan diikuti kurikulum dasar yang ditetapkan negara mesti diterapkan di mana-mana. Namun demikian, sesuatu yang unik mesti ada. Keunikan itu Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 39 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya tidak saja terletak pada adanya matapelajaran agama Kristen (Hikayat Suci), tetapi pada semua matapelajaran yang di dalamnya nilai-nilai kristiani tidak diabaikan, bahkan bertolak dari nilai-nilai itu. Dapatkah misalnya, dalam sebuah pelajaran biologi kita menemukan kebesaran Allah di dalamnya, meskipun kita tidak harus menyebut nama Allah? Dapatkah dalam pelajaran matematika, kita menemukan betapa Allah adalah seorang Matematikus Agung, yang menempatkan alam semesta ini pada tempatnya yang tertentu, walaupun tidak perlu nama Allah diucapkan? Dalam pelajaran sejarah, dapatkah kita menemukan peranan Allah sebagai Tuhan sejarah, yang memimpin sejarah sampai pada tujuannya? Maka bagaimana menyampaikan mata-pelajaran seperti itu membutuhkan pergumulan yang tidak ringan. Tidak cukup kita hanya berpegang pada garis-garis besar pelajaran yang telah ditetapkan. Setiap pengajar harus mampu mengelaborasi pelajarannya dengan sebaik-baiknya dengan memperdalam berbagai ilmu-ilmu lainnya, walaupun ilmu-ilmu itu tidak harus seluruhnya diajarkan. Selain isi mata-mata pelajaran, suasana sekolah sangat menentukan. Apakah suasana sekolah adalah suasana kristiani? Yang dimasudkan bukan saja bahwa ada doa, nyanyian puji-pujian dan sebagainya, tetapi terutama berbagai hal yang berkaitan dengan penampilan etika dan moral. Bagaimana dengan administrasi sekolah Kristen? Apakah lebih baik dari sekolah-sekolah lainnya? Kalau di sekolah lain ada kecenderungan untuk menambah (mengangkat) nilai rapor secara tidak patut, apakah juga dalam sekolahsekolah Kristen hal itu terjadi? Apakah relasi guru dan murid sungguh-sungguh memperlihatkan relasi pastoral, sehingga yang terjadi adalah percakapanpercakapan pastoral dan bukan sekadar menghukum apabila ada murid yang melanggar aturan? Yang tidak kalah pentingnya adalah, apakah biaya pemeliharaan (gaji) guru-guru cukup memadai, sehingga guru-guru sungguh mampu berkonsentrasi dengan pekerjaan mereka? Kalau kepada guru-guru dituntut untuk bekerja sungguh-sungguh, maka gaji mereka juga mesti diperbaiki. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat ditambahkan dengan mudahnya. Pendeknya, penampilan sebuah sekolah Kristen mesti berbeda, bukan terutama karena ada pengajaran agama Kristen di dalamnya, atau ada papan nama berlabel Kristen, tetapi karena seluruh isi dan penampilannya memancarkan nilai-nilai kristiani. Tantangan yang Makin Berat Menghadapi berbagai tantangan-tantangan di dalam masyarakat yang berubah cepat, J.W.D. Smith, seorang ahli pendidikan di Inggris menegaskan, 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya bahwa pendidikan moral dan pendidikan agama memang perlu, namun tidak bisa diisolasikan dari pola-pola kehidupan di dalam ruang kelas. Wawasan yang dewasa, simpati yang mendalam adalah media, melalui hal ini perkembangan kepribadian dimajukan. Ini semua merupakan media moral dan agama yang sangat penting khususnya dalam tahun-tahun pertama pendidikan. Tentu saja Smith berbicara mengenai pendidikan di Inggris, yang mayoritas (nominal) penduduknya dianggap beragama Kristen, dan dengan sendirinya pendidikan juga merupakan pendidikan kristiani. Tantangantantangan itu sangat berat sebab Inggris sedang berada dalam proses sekularisasi, yang dalam banyak hal, langsung atau tidak langsung menafikan ajaran-ajaran agama. Bagaimana dengan di negeri kita? Walaupun negeri kita disebut negeri yang religius, namun tantangannya tidak kalah beratnya. Justru karena disebut beragama itu, lalu masalah-masalah yang dihadapi menjadi lebih berat. Kita sebut misalnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan narkoba dan pornografi yang telah telah menjadi persoalan besar, karena juga telah memasuki lembaga-lembaga pendidikan. Kita membaca di surat-surat kabar, bahwa ada oknum kepala sekolah yang melakukan pelecehan seksual terhadap murid-muridnya. Ada juga murid-murid laki-laki memperkosa murid-murid perempuan. Ini sangat menggelisahkan sebab yang melakukannya justru masih di bawah umur. Konon kabarnya mereka terpengaruh oleh VCD porno yang tersebar di mana-mana. Bagaimana menanggulangi semua persoalan itu? Dapatkah pengajaran agama saja yang menyelesaikannya? Menurut saya, tidak memadai. Tidak cukup dengan memajukan pendidikan agama, lalu masalahnya selesai. Di belakang dari berbagai persoalan yang kasat-mata, masih banyak faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi. Ini mesti ditemukan. Bagaimana menerjemahkan ini dalam pendidikan? Itu berarti, bahwa berbagai ilmu lain mesti dikonsultasi apabila kita sungguh-sunguh mau menyelesaikan persoalan yang ada di dalam masyarakat, dan yang secara khusus juga mengenai lembaga-lembaga pendidikan kita. Selain itu berbagai lembaga lain di luar lembaga pendidikan mesti diajak untuk ikut menanggulangi. Maka tindakan-tindakan yang diambil oleh lembaga-lembaga pendidikan kristiani bukanlah sekadar tindakan yang bersifat moralistis, tetapi yang memperkembangkan pemahaman dan penghayatan moralitas yang menyeluruh dan dewasa. Sikap moralistis cenderung sempit dan mengarah ke dalam, ke diri sendiri (self-oriented), dan kadang-kadang bisa membawa kepada fanatisme buta dan kecenderungan mencari kambing hitam dengan mempersalahkan pihak lain. Memperkembangkan kedewasaan moralitas senantiasa berorientasi ke luar, kepada masyarakat, dan bersifat membangun. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 41 Pendidikan Kristiani: Konsep dan Aplikasinya Kalau lembaga-lembaga pendidikan kristiani benar-benar mau menjadi teladan di dalam penyelenggaraan pendidikan, sikap dan perilaku yang lebih dewasa dalam menghadapi berbagai persoalan-pesoalan sosial itu mesti diperlihatkan. Daftar Pustaka J.W.D.Smith. (1969). Religious education in a secular setting. London: SCM Press Homrighausen, Dr. E,G dan Enklaar, Dr. I.H. (1996). Pendidikan agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia Cully, Iris V. (1995). Dinamika pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional _______ 1 Catatan pribadi penulis berdasarkan kunjungan ke daerah-daerah di Indonesia 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Opini Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani Djudjun Djaenudin Supriadi, S.Th*) Abstrak alam rangka merealisasikan missinya di bidang pendidikan, GKI SW Jabar mendirikan sekolah Kristen yang bernaung dibawah Yayasan BPK PENABUR. Untuk menopang keterpanggilan GKI SW Jabar dalam Bidang Pendidikan ini, BPK PENABUR berupaya merumuskan keterpanggilan tersebut dalam visi, misi, strategi dan program yang sepenuhnya dijiwai oleh Nilai-Nilai Kristiani yang dianut GKI SW Jabar. D Kata kunci: Peranan gereja dalam pendidikan, pendidikan kristiani, visi dan misi BPK PENABUR, program satu tahun. Abstract To perform its mission in the field of education, GKI SW Jabar established Christian schools that are managed under a Foundation, named BPK PENABUR. BPK PENABUR’s roles are reflected in its vission, mission, strategies and programmes which are based on the Christian values confessed by GKI SW Jabar. Pendahuluan Dalam dunia pendidikan yang bercirikan Kristen, mencari hubungan yang konseptual dan hakiki antara predikat “Kristen” dengan “pendidikan” telah menjadi pergumulan yang lama dan cukup mendalam. Pergumulan yang mendalam itu karena sering dalam praktek pendidikan yang bercirikan kristiani hanya memperlihatkan “Kristennya” sekedar atau label pengabsahan saja . Predikat kristen dalam penyelenggara yang bercirikan kristiani sering juga “kekristenannya” hanya sebagai “ baju” yang menempel pada tubuh, dan bukan sebagai “jiwa” yang menjiwai atau menghidupi tubuh. Untuk menguji pernyataan di atas maka dalam tulisan di bawah ini penulis akan melakukan suatu tinjauan kritis terhadap peyelenggaraan pendidikan *) Kepala Bidang Kerohanian BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 43 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani yang dilakukan di lingkungan BPK PENABUR. Penulis akan membatasi tinjauan hanya pada aspek Visi dan Misi BPK PENABUR. Karena visi dan misi ini juga tidak terlepas dari sejarah gereja tempat BPK PENABUR berada, maka dalam tulisan ini penulis juga menguraikan keterlibatan gereja serta sikap gereja terhadap pendidikan. Dari uraian ini penulis mengharapkan adanya konsep pendidikan kristiani yang dapat terbaca secara jelas. Gereja dan Keterlibatannya dalam Pendidikan Sejak abad pertama, ketika gereja mulai ada, gereja telah menaruh perhatian terhadap pendidikan. Hal ini dikatakan oleh Sherrill dalam bukunya The Rise of Christian Education. Ia mengatakan bahwa gereja telah terlibat dalam pendidikan sejak abad pertama. Pendidikan yang dilakukan oleh gereja yaitu melakukan pengajaran yang identik dengan berkhotbah. Dalam pengajaran tersebut yang diajarkan adalah tentang Injil.1 Sedangkan menurut dia gereja terlibat dalam pendidikan di sekolah formal, baru dimulai sekitar tahun 633.2 Apa yang dikatakan Sherrill dikuatkan oleh Robert R Boehlke, ia mengatakan bahwa Sekolah Katerdral-sekolah formal yang mungkin dimaksudkan- telah dimulai sejak Konsili Toledo di Spanyol pada tahun 633. Dalam sekolah itu dipelajari isi Alkitab, hukum gereja. Sarana sekolah tersebut kemudian dipisahkan dengan fasilitas gereja, sehingga menjadi lembaga khusus pendidikan.3 Di Indonesia keterlibatan gereja dalam bidang pendidikan telah dimulai ketika bangsa Portugis tiba di pulau Ternate pada tahun 1518. Hal ini dilakukan sesuai dengan perintah yang diberikan oleh raja kepada panglima ekspedisi Portugis. Ia mendirikan sekolah di pantai Ternate sebagai sarana untuk memberitakan Injil.4 Kebijakan ini terus dilakukan pada jaman V.O.C. Lalu V.O.C. bubar pada akhir abad 18, dan pemeritahan penjajahan di Indonesia langsung di bawah Belanda dengan mendirikan pemerintah baru Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memperbolehkan badan misi dan zending mendirikan sekolah-sekolah swasta.5 NZV, salah satu badan misi dan zending, mendirikan sekolah antara lain di Jawa Barat.6 Gereja Kristen Indonesia (SW) Jabar dan Pendidikan Keterlibatan GKI (SW) JABAR dalam bidang pendidikan secara lebih serius dan terencana dimulai tanggal 28 Mei 1948 Sinode GKI (SW) JABAR7 waktu itu berkedudukan di Bandung, mengambil keputusan untuk membentuk suatu panitia guna mengambil langkah-langkah konkret dalam melapangkan usahausaha mendirikan sekolah kembali,8 yang sempat terhenti pada masa 44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942–1945. Usaha tersebut mendapat sambutan sehingga sekolah-sekolah yang dikelola di bawah GKI berkembang khususnya di kota Jakarta dan Bandung. Perlu diketahui walaupun sekolah itu telah dikelola oleh GKI pada periode 1945 – 1949. Secara de vacto tanahtanah tempat sekolah itu berdiri masih milik badan zending NZV dari Belanda. Sebagai akibat dari Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (1949) pemerintah Belanda harus mengakhiri pemerintahan dan peranannya dalam bidang lain di Indonesia. Di antaranya adalah peranan di bidang pengelolaan sekolah. Khusus untuk sekolah-sekolah yang telah dikelola bersama dengan GKI (SW) JABAR, maka NZV dan BP Sinode GKI (SW) JABAR (pada waktu itu bernama BP Sinode THKTKHKH) membentuk Yayasan Pendidikan yang diberi nama Badan Pendidikan Tionghoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee Djawa Barat disingkat BP THKTKHKH Jabar. Asas Yayasan ini berdasarkan Firman Tuhan yang termaktub dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sesuai dengan pengakuan Iman Rasuli. Tujuan pendirian Yayasan ini adalah: 1. Bekerja di lapangan pendidikan Kristen Protestan dalam arti seluas-luasnya, di daerah pekerjaan Gereja THKTKHKH Jawa Barat. 2. Melakukan pekerjaan tersebut terutama antara bangsa Tionghoa, akan tetapi bilamana ternyata perlu dan mungkin bangsa lain pun terhisap dalam tujuannya. 3. Akan mendirikan dan mengurus sekolah-sekolah, kursus-kursus dan sebagainya.9 Pada tanggal 27 Januari 1967 Yayasan THKTKHKH dengan nomor akte 33 berubah nama menjadi Yayasan Badan Pendidikan Kristen Djawa Barat (disingkat BPK Djabar) dan berkedudukan di Jakarta. Dasar dan tujuan dari Yayasan ini tetap sama dengan menghilangkan tujuan yang bersifat eksklusif yaitu pelayanan pendidikan untuk bangsa Tionghoa berubah menjadi untuk bangsa Indonesia. Dengan tujuan lebih umum adalah memberi pelayanan Kristen di bidang pendidikan dan pengajaran dalam arti yang seluas-luasnya.10 Seiring dengan perkembangan pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh yayasan ini bukan hanya di propinsi Jabar tetapi juga di DKI dan Bandarlampung. Nama BPK Djabar dirasakan tidak cocok sehingga diperlukan perubahan. Perubahan nama terjadi pada persidangan Majelis Sinode ke – 46 GKI (SW) JABAR. Nama BPK Djabar berubah menjadi BPK PENABUR. Motivasi dan Tujuan Pendirian Sekolah Jika kita melihat uraian di atas tentang keterlibatan GKI (SW) JABAR dalam bidang pendidikan (sekolah) maka kita dapat menyimpulkan bahwa pertamatama gereja ini melakukan keterlibatan dalam bidang pendidikan sebagai upaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 45 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah yang terlantar karena kekalahan pendudukan Jepang di Indonesia tanpa adanya landasan idiil yang jelas. Kita hanya dapat melihat motivasi gereja ini dalam mendirikan sekolah setelah berdirinya yayasan yang mengelola sekolah-sekolah yang ada dengan melihat anggaran dasar yayasan. Misalnya dalam anggaran dasar yayasan disebutkan sekolah didirikan sebagai tempat Firman Allah diwartakan. Motivasi dan tujuan pendirian sekolah oleh GKI (SW) JABAR menjadi lebih jelas ketika kita membaca makalah “Tugas Panggilan Gereja di Bidang Pendidikan”, yang ditulis oleh Lukito Handoyo dalam lampiran Akta Keputusan Persidangan Majelis Sinode Ke-42 Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Binawarga, 19–22 November 198411 lampiran 5 “Tugas Panggilan Gereja di bidang pendidikan”. Dalam lampiran tersebut ia mengatakan : Kita bisa berpaling kepada salah satu Jemaat GKI yang tertua di Indramayu, bahwa sekolah merupakan tempat pembibitan, tempat pembinaan, tempat pelayanan dan kesaksian dan tempat pemberitaan Injil dalam bentuk konkrit dan praktis…Sekolah Kristen bukan sekedar nama, tapi dimaksud sungguh untuk menghembuskan nafas Kristiani pada segala tindakan kegiatan pelayanannya.12 Pada uraian lain dalam makalah itu ia juga mengatakan: Bagi gereja, sekolah bukan sekedar menambah orang-orang Kristen, tapimenitik-beratkan pada kesadaran akan tugas panggilannya. Gereja punya tanggungjawab untuk membangun manusia yang utuh melalui bidang pendidikan. Bahkan gereja punya tanggungjawab untuk membentuk manusia yang berkualitas tinggi. Dengan demikian gereja pun secara langsung berperan serta membina dan membangun bangsa yang tinggi ilmu dan tinggi moral.13 Dari kedua uraian di atas jelas bahwa jika GKI (SW) JABAR mendirikan sekolah maka menurut penulis motivasi pendirian sekolah adalah dalam kerangka merealisasikan tugas panggilan gereja untuk membentuk manusia yang berkualitas tinggi. Untuk merealisasikan hal itu, persidangan Sinode kemudian memberikan porsi dengan dibentuknya Sidang Seksi Edukasi yang diagendakan dalam setiap Persidangan Majelis Sinode GKI (SW) JABAR.14 Visi dan Misi BPK PENABUR, Penerapannya di BPK PENABUR Jakarta dan Kaitannya dengan Konsep Pendidikan Kristiani Telah disinggung di atas berdasarkan makalah yang dibawakan oleh Handoyo Lukito dengan judul “”Tugas Panggilan Gereja di Bidang Pendidikan”, dalam Persidangan Majelis Sinode ke-42 GKI Jawa Barat, penulis dapat menyimpulkan bahwa GKI mendirikan sekolah di bawah pengelolaan Yayasan BPK PENABUR 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani dalam rangka merealisasikan panggilannya secara konkrit dalam dunia tempat gereja berada. Dengan mendirikan sekolah gereja diharapkan berperan membentuk manusia yang mempunyai ilmu dan moral yang tinggi. Yang menjadi pertanyaan bagaimana hal ini dikonkretkan? Menurut penulis kita dapat menelusurinya yaitu melalui program-program yang dilakukan oleh lembaga ini,15 terutama melalui Visi dan Misi dari yayasan ini. Dalam bab ini penulis pertama-tama akan menguraikan apa yang dimaksudkan pendidikan kristiani, visi dan misi BPK PENABUR, serta perealisasiannya di lingkungan BPK PENABUR Jakarta. Pendidikan Kristiani Menurut Yudowibowo Poerwowidagdo, Pendidikan Kristen adalah untuk membantu peserta didik agar dapat mengembangkan iman dan pengetahuannya tentang Firman Tuhan Allah seperti yang termaktub dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, serta pengetahuan dan pengalamannya dalam kehidupan mereka sehari-hari di manapun berada. Dengan demikian mereka dapat meangaktualisasikan diri sesuai dengan maksud dan kehendak Tuhan Allah dalam penciptaan. Pendidikan Kristiani meliputi tiga hal yaitu Alkitab, Gereja dan Dunia. Alkitab yang dimaksudkan disini ialah Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara utuh atau integral, dalam arti keduanya harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Gereja adalah persekutuan orang yang telah dipanggil dan yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juru Selamat dunia, yang merupakan tubuh Kristus yang universal, yaitu persekutuan orang beriman kepada Yesus Kristus. Dunia dalam pengertian disini sebagai bahan yang pokok dalam pendidikan kristiani meliputi kehidupan manusia yang menyangkut ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan sebagainya.16 Dari uraian ini menurut penulis pendidikan kristiani yang dimaksudkan seperti di atas hanya dapat dilakukan jika pendidikan tersebut dikembalikan dalam pangkuan gereja (baca: sinode). Hal ini senada dengan pendapat Robert R. Boehlke, dalam makalah yang berjudul “Pendidikan Agama Kristen sebagai Disiplin Ilmiah”, ia mengatakan : “Gerakan pendidikan agama menghasilkan sumbangan yang tidak terharga nilainya terhadap pelayanan yang mengembalikan pendidikan ke pangkuan gereja. Di bawah pengaruhnya, departemen pendidikan didirikan oleh sinode-sinode, dan jurusan pendidikan agama tidak asing lagi...” Dari kutipan ini penulis dapat menyimpulkan yang dimaksudkan pendidikan agama disini adalah pendidikan kristiani. Penulis menyetujui pendapat beliau karena dalam gerejalah terdapat para ahli (teolog) yang mengerti tentang pendidikan kristiani. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 47 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani Hanya saja karena pendidikan kristiani yang akan dilakukan adalah pendidikan kristiani di sekolah-sekolah maka pendidikan kristiani tersebut bukan hanya berdasarkan Alkitab, tetapi juga memperhatikan dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu yang lain misalnya sosiologi, psikologi. Lebih jauh lagi dalam praktiknya, pendidikan kristiani bisa bermacam-macam bentuknya tergantung kepada visi dan misi sekolah/lembaga itu. VISI dan MISI BPK PENABUR Visi dan Misi BPK PENABUR dirumuskan pada tahun 2001 melalui rapat kerja BPK PENABUR yang dilakukan Hotel Cipaku Indah Bandung,17. Rumusan lengkap dari Visi dan Misi ini sebagai berikut: Visi : Menjadi lembaga pendidikan unggul dalam iman, ilmu dan pelayanan Misi : Mengembangkan potensi peserta didik secara optimal melalui pendidikan dan pengajaran bermutu berdasarkan nilai-nilai Kristiani.18 Dalam penjelasan secara tertulis BPK PENABUR memahami Visi sebagai menjadi seperti apa “kita” minimal 3 tahun yang akan datang. Dalam penjelasan yang lebih terperinci “menjadi lembaga pendidikan Kristen” dimengerti sebagai: “Adalah supaya ikut serta mencerdaskan bangsa dengan terang, seperti sebatang lilin yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, tetapi ia memberi diri menerangi dunia sekitar. Untuk itu seluruh komponen BPK PENABUR harus berkinerja melayani sesama seperti teladan yang diberikan Yesus Kristus: “karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani..”19 Sedangkan Misi merupakan hal yang harus terus menerus dilakukan dalam rangka mewujudkan misi.20 Lebih jauh penjelasan Misi ini sebagai berikut: “Adalah upaya yang terus menerus dilakukan secara berkesinambungan untuk mencapai tingkat keberhasilan tertinggi, dimulai dengan menelusuri bakat dan minat peserta didik, menggali daya dalam bentuk diskusi, kepustakaan (literature), maupun penelitian ilmiah (research) dengan penyediaan sarana prasarana mutakhir sesuai perkembangan teknologi informatika, melalui proses pengubahan sikap hidup dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan manusia dengan cara mengajarkan iman, ilmu dan pelayanan dalam dasar peneladanan budaya kepemimpinan yang melayani bercermin kepada Guru Agung Yesus Kristus.”21 Untuk mencapai Visi dan Misi tersebut, BPK PENABUR membuat strategi dan rencana induk. Di kalangan BPK PENABUR sendiri setelah adanya pencanangan visi dan misi yang baru ini, dibuatlah sasaran yang akan dicapai dalam lima 48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani tahun yang akan datang (dikenal dengan 5 years obyectives), yaitu meliputi pencapaian dalam:22 1. Pendidikan dan lingkungan belajar mengajar : Guru. 2. Kurikulum (Sistem Pendidikan). 3. Sarana/prasarana. 4. Manajemen. 5. Citra Kelima sasaran yang akan dicapai ini kemudian oleh BPK PENABUR Setempat, 23 dijabarkan dalam program-program yang dilakukan. Seperti telah diuraikan dalam bagian pendahuluan, di bawah ini penulis hanya akan membicarakan struktur organisasi dan program di lingkungan BPK PENABUR Jakarta sebagai pengejawantahan Visi dan Misi BPK PENABUR, 5 Years Objectives dan program satu tahun di sekolah-sekolah dan kaitannya dengan konsep Pendidikan Kristiani. Struktur Organisasi BPK PENABUR Jakarta Dalam buku panduan organisasi BPK PENABUR Jakarta mengenai struktur organisasi dikatakan demikian: Bentuk struktur organisasi BPK PENABUR Jakarta adalah jamak fungsional yaitu suatu bentuk gabungan dari organisasi jamak dan fungsional. Organisasisi seperti ini diartikan sebagai suatu organisasi yang memliki wewenang di tangan sekelompok orang sebagai satu kesatuan (rapat pleno) yang wewenang tersebut dilimpahkan kepada satuan-satuan yang dibawahnya. 24 Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa dalam pengambilan keputusan, di lingkungan BPK PENABUR Jakarta, berlaku keputusan yang istilahnya dikenal dengan keputusan kolektif. Keputusan kolektif dilakukan oleh apa yang disebut “pengurus”. Mereka adalah anggota-anggota jemaat di lingkungan GKI (SW) JABAR dan merupakan utusan-utusan yang direkomendasikan oleh gereja yang bersangkutan.25 Merekalah yang seacara kolektif membuat keputusan/ kebijakan. Keputusan/kebijakan kemudian dilaksanakan oleh tingkatan pelaksana yaitu para karyawan, pegawai sekolah (guru dan kepala sekolah). Pelaksana keputusan/kebijakan sehari-hari dilakukan pengurus harian. Sedangan pelaksana kegiatan keseharian ditingkat pelaksana dilakukan dibawah koordinasi Direktur Pelaksana dibantu Pejabat Struktural di bawahnya (Kepala Divisi, Kepala Bagian dan Kepala Jenjang, Kepala Bidang).26 Program-Program Pada dasarnya kita memahami bahwa program yang dilakukan adalah penjabaran Visi dan Misi. Apalagi jika kita menelusuri dokumen yang ada, Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 49 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani BPK PENABUR Jakarta menggunakan 5 Years Obyectives yang ditetapkan sebagai dasar pembuatan program tahunan yang dikenal dengan sebutan Program Satu Tahun (Prosata). Tetapi ketika penulis mencoba menelusuri dokumen yang ada, hal itu tidak secara jelas dikatakan demikian. Dalam bagian pengantar program kerja satu tahun hanya dikatakan bahwa “program tahunan adalah penjabaran lebih rinci program-program beserta anggarannya pada satuan kerja baik sekolah dan sekretariat BPK PENABUR Jakarta pada satu tahun ke depan”. Program ini menjadi acuan kerja bagi setiap pimpinan dan jajarannya dalam menjalankan tugas pada satu tahun ajaran”.27 Dari kutipan ini penulis menyimpulkan program yang dilakukan tidak secara jelas merupakan penjabaran dari Visi dan Misi serta 5 Years Objectives. Tetapi jika lebih meneliti program-program dari bagian dan bidang yang ada jelas bahwa program tersebut ada keterkaitan antara Visi dan Misi serta 5 Years Objectives. Sebagai contoh dalam 5 Years Objectives tentang “pendidikan dan lingkungan belajar mengajar: “Guru” dikatakan bahwa “selambatnya 1 Juli 2007 kebutuhan guru di seluruh sekolah BPK PENABUR terpenuhi 100% sesuai dengan bidang keahlian, telah memiliki akta mengajar dan berkepribadian sebagai guru BPK PENABUR.”28 Untuk mencapai hal itu maka pada tahun 2004 ada target program yaitu: “Minimal 25% guru SMP dan SMA BPK PENABUR mempunyai akta IV dan berkarakter Kristiani”. Adanya kata “berkepribadian” dan “berkarakter Kristiani” jelas merupakan dua kata yang secara tidak langsung diambil dari Visi dalam bidang iman dan pelayanan dan juga penerapan Misi BPK PENABUR dalam penerapan pendidikan kristiani. Bagaimana penjabaran “berkepribadian” dan “berkarakter Kristiani” dalam program-progam di Lingkungan BPK PENABUR Jakarta terlihat? Dari penelusuran yang ada, penjabaran ini dilakukan melalui program yang dikelola dan diarahkan melalui tahun tema pelayanan, program Bidang Kerohanian dan program kerja sekolah-sekolah. Dalam Bidang Kerohanian misalnya melalui program: 1. Pengembangan Citra BPK PENABUR Jakarta melalui penerapan N2K. 2. Pembinaan Kerohanian para guru PAK untuk membaharui komitmen dan motivasi bekerja, sebagai guru PAK di lingkungan BPK PENABUR Jakarta. Sedangkan melalui program kerja di sekolah penelitian dilakukan pada program kerja tahun 2004-2005. Dari hasil penelitian program kerja di sekolah-sekolah penjabaran visi dan misi dalam bidang iman dan pelayanan dinyatakan dalam bentuk program yang mencakup kegiatan yang bersifat ke dalam bentuk peningkatan iman pribadi, persekutuan seperti: kebaktian, retret dan juga kegiatan yang bersifat pelayanan keluar dalam bentuk bakti sosial, orang tua asuh. 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani Pendidikan Kristiani yang Menjawab Tantangan Zaman Jika kita melihat tulisan di atas, penjabaran Visi dan Misi BPK PENABUR, struktur organisasi dan program-progam yang dilakukan oleh BPK PENABUR Jakarta dapat disimpulkan bahwa usaha untuk menyelenggarakan pendidikan kristiani telah dilakukan. Usaha itu dalam tingkat sinodal dilakukan melalui keputusan-keputusan yang mendukung dan memberi perhatian kepada dunia pendidikan. Dalam tingkat penyelenggara pendidikan (yayasan) hal itu dilakukan baik melalui rumusan visi dan misi, struktur organisasi maupun programprogram yang dilakukan. Dan menurut penulis selain penjabaran pendidikan kristiani melakui visi dan misi, guru seperti apa yang diharapkan, perlu dikembangkan konsep pendidikan kristiani yang lainnya seperti kurkulum yang mendukung pendidikan kristiani yang diinginkan, gaya pembelajaran yang harus dilakukan, isi dari pendidikan kristiani yang siap dioperasionalkan. Hal-hal di atas tidak bisa dilakukan secara parsial tetapi harus secara keseluruhan. Sebagai contoh yang sangat sederhana jika nilai-nilai kristiani dalam Visi dan Misi BPK PENABUR menjadi tujuan dan nampak dalam kehidupan BPK PENABUR maka kita harus menyepakati dan menemukan terlebih dahulu nilai-nilai Kristiani yang dimaksudkan.29 Untuk lebih mempercepat agar Pendidikan Kristiani terealisasi maka penulis mengusulkan agar BPK PENABUR menggunakan nilai-nilai Kristiani yang telah dikembangkan oleh BPK PENABUR Jakarta sebagai acauan dasar. Nilai-nilai Kristiani ini telah dilengkapi dengan materi ajar untuk siswa dan guru. Setelah hal ini disepakati maka kita dapat merancang sistem, guru, dan kurikulum yang mendukung pendidikan kristiani yang dimaksud. _________ 1 2 3 4 5 6 7 Sherrill, Lewis Yoseph. 1960).The rise of christian education . New York: The Macmillen Company Ibid., 250 Boehlke, Rober R, Ph.D. (1991). Sejarah perkembangan pikiran dan praktek Pendidikan Agama Kristen-Dari Plato sampai I.G. Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 194 Boehlke, Rober R, Ph.d., Sejarah perkembangan pikiran dan praktek Pendidikan Agama Kristen –Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 763. Ibid., 763 – 764. Pessy S.M.C. drs, dkk. (1992). BPK PENABUR KPS JAKARTA: Kelahiran, Perkembangan, Sasaran. Jakarta: BPK PENABUR KPS Jakarta, 3 Pada tahun 1948 Sinode GKI (SW) JABAR masih memakai nama Sinode Tiong hoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee (THKTKHKH) Jawa Barat. Perubahan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 51 Tinjauan Kritis Penerapan Pendidikan Kristiani nama dari Sinode THKTKHKH menjadi GKI Jabar (tanpa SW) terjadi pada Sidang Sionode di Cirebon 29 September – 2 Oktober 1958. 8 Pessy. Op.Cit. , 3 9 Ibid., 7. 10 Ibid., 9. 11 Handoyo Lukito, “Tugas Panggilan Gereja di Bidang Pendidikan”, Lampiran 5 Akta Keputusan Persidangan Majelis Sinode Ke-42 Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, (Binawarga, 19– 22 November 1984), 19 12 Ibid., 20. 13 Ibid, 22 14 Contoh Edukasi mendapat porsi yang penting adalah dalam persidangan Majelis Sinode ke 42 GKI (SW) JABAR yang dilaksanakan pada tanggal 19– 22 November 1984, bertempat di Binawarga, Cipayung. Dalam persidangan ini dibahas secara khusus makalah tentang “Tugas Panggilan Gereja di bidang Pendidikan”. 15 Penelitian program akan dilakukan secara khusus program BPK PENABUR JAKARTA, dengan memperhatikan program dasar BPK PENABUR 16 Poerwodidagdo, Judowibowo. (2003). Pendidikan Hak Asasi Manusia dalam Pendidikan Agama Kristen, dalam Ajar Mereka Melakukan . Jakarta: BPK Gunung Mulia, p. 112 – 113. 17 Kumpulan notula-notula Temu Karya Perumusan Kembali Visi dan Misi BPK PENABUR. 18 Ibid. 19 Memahami Visi dan Misi BPK PENABUR , sebuah penjelasan . 20 Ibid., 9 21 Ibid., 8 22 Guidelines 5 Years Objectives, BPK PENABUR. 23 Yayasan BPK PENABUR mempunyai cabang-cabang di daerah yang bergerak di bidang pendidikan, cabang-cabang ini dikenal dengan BPK PENABUR Setempat dan penamaannya berdasarkan kota pelayanan sebagai contoh BPK PENABUR Jakarta. 24 BPK PENABUR Jakarta, Panduan Organisasi BPK PENABUR Jakarta, 2003., 3. 25 Ibid 4. 26 Ibid., 4. Struktur Oganisasi dari lembaga ini dapat kita lihat dalam lampiran 2 laporan ini. 27 Program Kerja Satu Tahun, tahun ajaran 2003 -2004. 28 Opcit. 21, Pendidikan dan Lingkungan Mengajar : Guru 29 Kita dapat menggunakan nilai-nilai Kristiani yang telah dilakukan dan dijalankan di BPK PENABUR Jakarta yaitu : (1) Nilai diri berdasarkan Kristus, (2) Pengendalian diri dan kedisiplinan, (3) Keberanian, (4) Kejujuran, (5) Kerendahan hati, (6) Cinta kasih, (7) Kepedulian , (8) Tanggung jawab, (9) Kebaikan hati, (10) Kebijaksanaan, (11) Keadilan, (12) Damai. 52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Opini Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural Prof. Dr. Sutjipto*) Pengantar endidikan formal atau lebih dikenal dengan sistem persekolahan, mempunyai peranan yang amat menentukan perkembangan potensi manusia secara maksimal, sehingga manusia itu memiliki ketajaman response terhadap lingkungannya, ketrampilan, intelektual, sehat dan berkehidupan yang baik, koperatif, mempunyai motivasi yang tinggi untuk berprestasi, mampu berkompetisi, toleran, dapat menghargai pendapat orang lain, dan mampu mencapai kebahagiaan hidup. Peranan persekolahan dalam pembentukan kepribadian manusia ini belum dapat digantikan oleh sistem yang lain, meskipun pada tahun delapanpuluhan pernah ada pemikiran bahwa sekolah tidak lagi diperlukan masyarakat (deschoolling society). P Kultur Meskipun perkembangan manusia itu berlangsung secara individual, namun manusia bukanlah atom yang self-contained (World Commission on Culture and Development, 1995). Perkembangan yang dicapainya adalah hasil kerjasama, kompetisi dan bentuk interaksi lainnya dengan manusia lain dan lingkungannya. Pada saat berinteraksi itu, ia tidak berada dalam ruang yang kosong, tetapi berada dalam suatu kultur. Kultur sendiri memang sulit didefinisikan, namun tidak dapat disangkal bahwa ia berfungsi sebagai katalisator pembentukan kepribadian manusia itu, dan sekaligus menjadi tujuan kehidupan suatu masyarakat. Barangkali apa yang dijelaskan oleh Schein (1992) dapat menolong memahami pengertian kultur tersebut. Menurut Schein, ada beberapa hal yang berhubungan dengan konsep kultur, yaitu: (a). regularitas prilaku manusia jika ia berinteraksi dengan yang lain, yang meliputi bahasa yang dipergunakan, kebiasaan dan tradisi, ritual yang dilakukan; (b). norma kelompok, yaitu standar dan nilai yang berkembang dalam suatu *) Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 53 Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural kelompok; nilai yang ingin dicapai oleh suatu kelompok dan diketahui umum; filosofi atau keyakinan yang dianut oleh suatu komunitas; aturan main, yang harus diikuti oleh anggota komunitas itu; iklim, yaitu apa yang dirasakan bersama tentang lingkungan dimana seseorang berada; (g). ketrampilan yang melekat yang diwariskan kepada generasi muda; (h). kebiasaan berpkir, model mental dan/atau paradigma linguistik, yang merupakan kerangka kognitif yang dirasakan sebagai acuan dalam membangun persepsi, berpikir dan bahasa yang dipakai kelompok; (i). shared meaning, yaitu munculnya pengertian yang diciptakan oleh kelompok pada saat mereka berinteraksi satu sama lain, dan (j). akar metafora (root metaphors) atau integrasi simbol, yaitu ide, perasaan, dan citra kelompok yang dikembangkan sebagai ciri kelompok itu yang dapat atau tidak diapresiasi secara sadar, namun melekat dalam berbagai karya seperti bangunan, layout kantor dan artifak lainnya. Schein juga mengatakan bahwa sembilan konsep tersebut memang berkaitan dengan kultur, merefleksikan bagaimana kelompok menanggapi sesuatu tetapi bukan kultur itu sendiri. Dikatakan kultur, jika ada dua elemen yaitu:(1) structural stability dalam kelompok, yang tidak hanya di shared, tetapi merupakan sesuatu yang stabil dan mendalam, dan (2) proses berpolanya atau terintegrasinya elemen-elemen itu ke dalam paradigma atau gestalt yang lebih besar yang terbentuk dalam lapisan kejiwaan yang lebih mendalam, di antara anggota-anggota kelompok itu. Ada pernyataan Schein yang perlu dikutip, sehubungan dengan kultur terutama dalam kaitannya dengan suatu proses belajar. Ia mengatakan sebagai berikut: The most useful way to think about culture is to view it as the accumulated shared learning of a given group, covering behavioral, emotional, and cognitive elements of the group members’ total psychological functioning. For shared learning to occur, there must be a history of shared experience, which in turn implies some stability of membership in the group. Given such stability and shared history, the human need for parsimony, consistency, and meaning will cause the various shared elements to form into patterns that eventually can be called culture (p.10). Kutipan itu menunjukkan bahwa kultur adalah suatu proses yang di satu pihak stabil, tetapi juga di lain pihak selalu berkembang sesuai dengan akuisisi dari suatu proses shared learning. Jika digunakan konsep kultur sebagai proses belajar yang menuntut keterlibatan psikologis yang total dan intensif para pelakunya, maka pendidikan (c). (d). (e). (f). 54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural multikultural merupakan proses kulturalisasi tentang multikultural. Jika diperhatikan pula bahwa kultur adalah shared meaning akibat interaksi dengan lingkungan, pendidikan itu sendiri sebenarnya adalah proses pembentukan kultur multikultural. Sejak anak lahir, ia bersosialisasi dengan lingkungannya. Jika ia menangis, maka orang tuanya mengerti apa artinya tangisan itu. Ia makin berkembang, dan dalam keluarga itu ia belajar bagaimana berbagi perasaan dan arti dengan ibu, bapak, saudara, nenek yang kemudian berkembang ke sanak saudara dan tetangga dan masyarakat yang makin lama makin luas, sehingga masuk kepada budaya dunia (global culture). Ia harus secara cerdas mengakomodasi nilai-nilai yang terterpa (exposed) kepadanya, sehingga terbentuk kulturnya melalui proses internalisasi nilai itu. Pendidikan formal kemudian ikut memberikan andil dalam proses pembentukan kultur itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan formal adalah bagian dari proses pembentukan budaya multikultural. Masalahnya adalah, apa pelaku pendidikan (shareholders) menyadari tentang masalah ini, dan secara sengaja dan sistematik membangun suasana sehingga terjadi proses pendidikan multikultural itu dapat berlangsung, dan lembaga pendidikan tidak hanya bermuatan tetapi merupakan ajang pendidikan multikultural. Pendidikan Multikultural Adalah sangat penting di dalam proses membangun budaya multikultural dalam sistem persekolahan ini untuk memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Komisi Dunia untuk Kebudayaan dan Pembangunan Unesco (1995): A multi-cultural country can reap great benefits from its pluralism, but also runs the risk of cultural conflicts. It is here that government policy is important. Governments cannot determine a people’s culture; indeed, they are partly determined by it. But they can influence it for better or worse and in so doing affect the path of development (p.25) Mengingat bahwa peranan kebijaksanaan pendidikan sekarang berada di daerah, maka resiko pendidikan multikultural ini dapat terjadi, apabila menjadi overdone. Pendidikan multikultural mengakui perbedaan dan mendorong perbedaan ini tetap ada. Namun pelestarian perbedaan dapat menyempit, mengeraskan dan membentuk apa yang disebut dengan cult of ethnicity, yang dapat mengakibatkan bahasa mengalami balkanisasi. Mungkin saja pendapat ini berlebihan tetapi peringatan yang demikian juga perlu kita pertimbangkan. Sebenarnya pendidikan multikultural sudah lama ada. Di Amerikan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak tahun 60-an, karena mereka menyadari bahwa bangsa Amerika mempunyai unsur dari berbagai sukubangsa di dunia. Namun demikian debat tentang pendidikan ini juga masih berlangsung sampai Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 55 Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural sekarang. Para penentang pendidikan multikultural berargumentasi bahwa hanya konsep negara bangsa yang netral yang dapat menjamin kebebasan individual, kesamaan (equality), dan hak persamaan warganegara. Menurut mereka pendidikan multikultural merupakan pendekatan yang mengganti universalisme dengan partikularisme yang memunculkan kesukuan dalam relisme pendidikan kewarganegaraan. Akomodasi multikulturalisme dapat membawa akibat balkanisasi. (Lihat May, 1999). Para pendukung tentu saja berargumentasi, bahwa pada realitasnya budaya merupakan hal yang dapat memperkaya kehidupan, dan pengakuan budaya tersebut merupakan bagian dari kehidupan demokrasi sehingga perlu dikembangkan sikap toleransi, saling menghargai dan memahami sehingga terjadi kehidupan damai tanpa konflik. Komisi dunia untuk Kebudayaan dan Pembangunan, menyebut perlunya diciptakan global ethics yang didasarkan atas elemen-elemen (1) hak azazi manusia dan tanggungjawab, (2) demokrasi dan elemen masyarakat madani, (3) perlindungan terhadap golongan minoritas, (4) komitmen terhadap pemecahan konflik secara damai, (5) kesamaan dalam dan antara generasi. Ini merupakan bagian dari komitmen terhadap pluralisme. Dalam era otonomi daerah, sistem persekolahan mempunyai otonomi yang lebih besar. Pendidikan yang bermuatan multikultural tidak mungkin dapat dicapai dengan kurikulum yang mengandalkan kompetensi yang dapat diukur semata-mata dan didasarkan atas standar nasional yang kaku, lebih-lebih dengan sistem yang sentralistik. Sekolah harus berfungsi sebagai lembaga pembudayaan, dalam pengertian menjadi lembaga yang dapat menyediakan kesempatan dan fasilitas untuk terjadinya proses pembudayaan yang dinamik. Ini memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift) bagi para guru dan terutama pengambil kebijaksanaan pendidikan. Pendidikan multikultural bertujuan memperluas bukan hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh dari itu adalah mengembangkan mutual respect. Pelaksanaan konsep ini memerlukan dikembangkannya pengalaman kelompok yang dibangun dengan memeprhatikan pemahaman yang pada gilirannya menjadi sikap yang relatif stabil dan konsisten. Culture formation, therefore, is always, by definition, a striving toward patterning and integration (Schein, 1992). Sudah barang tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan yang harus menjadi perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa belajar bukan hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga terjadi secara internal pada aras abstrak, misalnya pada keyakinan terhadap asumsi dasar perilaku itu. Manajemen berbasis sekolah memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mengakomodasi pendidikan multikultural, dalam perspektif filsafat nasional. Hal ini dapat dicapai melalui tahap pemberdayaan sekolah dan perlu 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural diberikan waktu untuk belajar, termasuk membuat kesalahan. Karena kultur menyangkut asumsi yang menjadi dasar nilai, tujuan dan strategi yang kemudian terlihat dari artifaknya baik fisik maupun perilaku, maka pemahaman dan internalisasi nilai multikultural itu menjadi amat penting, dan bukan hanya menyangkut masalah kurikulum. Sebagai wahana pengembangan, kurikulum memang penting, tetapi perlu diingat bahwa hal itu hanya merupakan sebagian dari dari upaya menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural. Orangtua, kepala sekolah, guru, bangunan fisik sekolah, proses belajar mengajar, perlakuan terhadap murid, kesempatan terlibat dalam kegiatan kelompok, belajar melakukan perbandingan dari berbagai macam kultur dalam bentuk shared learning adalah contoh beberapa perangkat untuk menciptakan pendidikan yang bermuatan multikultural. Pendidikan multikultural berarti juga pengembangan kreativitas yang merupakan faktor yang sangat penting dalam pendidikan. Orang tidak akan kreatif dalam situasi yang kaku, dan penuh komando, tetapi akan berkembang jika mereka merasa aman. Sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk berinteraksi sebagai bagian dari group learning untuk membangun kultur. Pembangunan kultur multikultural inilah yang harus menjadi bagian penting dalam manajemen sekolah. Penutup Kultur multikultural memerlukan proses belajar dan sosialisasi yang terusmenerus. Apa yang perlu dikembangkan adalah kultur untuk menjadi proactive problem solver, mencari kebenaran dengan membuka jawaban terhadap masalah, memahami bahwa nilai tidak selalu hitam-putih, bahwa kepercayaan (trust) adalah nilai yang amat penting dalam kehidupan yang beragam, bahwa informasi untuk mengambil keputusan harus mengalir tanpa hambatan melalui berbagai macam keterhubungan dalam suatu jaringan kerja. Dilihat dari manajemen sistem pendidikan, perlu dicatat, bahwa diperlukan guideline untuk para pengambil kebijaksanaan tentang pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan yang bermuatan multikultural. Namun yang lebih penting adalah praktek manajeman itu sendiri. Respek terhadap budaya etnik, terhadap putra daerah lain, terhadap kreativitas guru dan murid, mengembangkan dialog dalam memecahkan konflik, tidak mengandalkan orientasi komando dalam manajemen, adalah beberapa contoh bagaimana manajemen pendidikan seharusnya dilaksanakan. Daftar Pustaka Delors, Jacques. (1998). Learning: The treasure within. Unesco Publishing, May, Stephen. Critical Multiculturalisme and Cultural Difference: AvoidJurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 57 Konsep Pendidikan Formal dengan Muatan Budaya Multikultural ing Essentialism. In Stepen May (Ed.) (1999). Crittical multiculturalism: Rethingking multicultural and antiracist education. Philadelphia: Palmer Press Schein, Edgar H. Organizational culture and leadership. (1992). San Francisco: Jossey-Bass Publishers Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan global masa depan dan transformasi pendidikan nasional. Jakarta: Grassindo, UNDP, Human Development report 2004: Cultural libery in today’s world. New York: UNDP 2004 World Commision on Culture and Development. Our creative diversity. Unesco, 1995 58 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Opini Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan Mengembangkan Penalaran dalam Pendidikan Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo*) “The goal of education is to create men who are … creative, inventive, and discoverers.” (Piaget 1964:5) Pengantar ulisan ini merupakan upaya untuk menyoroti ihwal pengembangan penalaran dalam pendidikan melalui refleksi dengan mengamati bagaimana anak belajar bahasa, bagaimana perilaku bertanya pada anak prasekolah dan anak sekolah, bagaimana bernalar dengan bertanya, dan bagaimana menumbuhkan suasana bertanya di dalam kelas. T Bagaimana Anak Belajar Bahasa Pernahkah mengamati bagaimana anak (entah anak sendiri, anak tetangga, atau keponakan) belajar bahasa ibu atau bahasa pertama? Begitu cepatnya mereka belajar bahasa. Dalam usia sekitar satu tahun mereka sudah mengeluarkan kata-kata pertamanya. Dalam waktu dua tahun mereka sudah dapat berkata-kata mendekati atau mirip kaum dewasa di sekitarnya. Mengapa mereka dapat begitu cepat menguasai bahasa ibunya? Apakah itu karena ibu-ibu di seluruh dunia begitu rapi menyiapkan “pelajaran bahasa”, dari pelajaran satu ke pelajaran berikutnya? Apakah itu karena ibu-ibu menyiapkan bahan ajar secara sistematis? Sesungguhnya tidak ada yang – secara khusus – ”mengajar” anak berbahasa. Mereka bergumul dan bertualang sendiri dengan bahasa. Mereka berpusing-pusing sendiri, jatuh bangun sampai berkali-kali, berbuat kesalahan bermacam-macam sampai menjadi bahan tertawa kaum dewasa di sekitarnya. Mereka adalah penjelajah yang kreatif, penelusur seluk-beluk yang serba baru, penggali temuan-temuan baru. Hampir seluruh waktunya pada masa *) Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 59 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan prasekolah mereka curahkan semata-mata untuk bergelut dengan bahasa. Itu mereka lakukan tanpa mengenal lelah, tanpa peduli berapa kesalahan telah mereka buat. Mereka mencoba terus dan berulang-ulang – tanpa takut salah - sampai mereka akhirnya dapat berbahasa persis seperti bagaimana kaum dewasa di sekitarnya bertutur. Dalam belajar bahasa itu, mereka tidaklah meniru, mereka belajar bahasa tidak dengan menirukan kaum dewasa di sekitarnya. Mereka memang mendengarkan dan memperhatikan tetapi – dalam perjalanan untuk sampai pada kemampuan berbicara – mereka adalah pemelajar yang kreatif. Mereka bukanlah seperti burung beo yang belajar bahasa manusia. Kalau beo, apa yang keluar dari mulut sang pengajarnya itulah yang ditirukan persis oleh si burung beo. Anak manusia lain dengan burung beo. Semua anak di seluruh dunia tidak belajar bahasa ibunya seperti burung beo belajar bahasa manusia. Bukti bahwa seorang anak tidak sekadar meniru kaum dewasa dalam belajar bahasa ialah bahwa – sebelum dapat berkata-kata seperti kaum dewasa – mereka dalam proses belajar bahasa pasti melalui proses jatuh bangun, berbuat kesalahan dalam berbahasa. Berbuat salah bukanlah tanda kebodohan. Berbuat salah adalah bukti bahwa anak melakukan usaha dan kerja keras di dalam proses belajar. Burung beo tidak mengalami berbuat kesalahan dalam belajar bahasa manusia. Kalau kita ajari mengucapkan kalimat, dengan kita coba ucapkan berkali-kali di depannya, pada akhirnya, setelah berkali-kali mendengarkan, si burung beo – tanpa melalui proses berbuat kesalahan – akan dapat persis menirukan kalimat yang kita latihkan secara berkali-kali itu. Akan tetapi, tidak ada anak di seluruh dunia yang tidak mengalami berbuat kesalahan di dalam proses belajar bahasa. Kesalahan bukan tanda kebodohan. Kesalahan adalah tanda atau bukti bahwa anak bertindak kreatif. Mereka berkarya, mereka menciptakan dalam proses perjalanan yang panjang. Mereka bukan makhluk peniru. Mereka bukan robot. Mereka adalah makhluk kreatif. Berikut ini sekadar ilustrasi dari apa yang dipaparkan di atas, bagaimana anak sesungguhnya tidak meniru dalam proses belajar bahasa; anak belajar bahasa tidak seperti burung beo. Dialog ini diambil dari hasil penelitian McNeill 1966 (sebagaimana dikutip oleh Bernstein dan Tiegerman).1 Child: Nobody don’t like me. Mother: No, say, “Nobody likes me.” Child: Nobody don’t like me. Mother: No, say, “Nobody likes me.” Child: Nobody don’t like me. [Sesudah mengulang dialog ini sampai tujuh kali, dan tidak berhasil juga membuat anaknya berkalimat dengan benar, akhirnya sang ibu berkata:] 60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan Mother: No! Now listen carefully! Say, “Nobody … likes …me!” Child: Oh! Nobody don’t likes me. Sebagaimana terlihat dari dialog antara anak dan ibu di atas, anak tidak dapat dipaksa untuk meniru. Proses belajar bahasa adalah proses kreatif. Anak akan mencari jalan sendiri untuk sampai ke taraf penguasaan bahasa yang – pada akhirnya – sama dengan kaum dewasa di sekitarnya. Bukti lain bahwa anak adalah pemelajar kreatif, bahwa anak tidak sekadar meniru dapat dilihat dari keponakan penulis, usia dua tahun, ketika diajar menghitung di atas bilangan dua puluh. Ia bisa mengatakan “dua puluh satu”, “dua puluh dua”, dst, tetapi ketika sudah melewati hitungan “dua puluh sembilan”, ia melanjutkannya dengan “dua puluh sepuluh”. Meskipun diminta menirukan “tiga puluh” sebagai ganti “dua puluh sepuluh” anak itu bersiteguh tetap pada “caranya sendiri”. Apa yang dilakukannya merupakan hasil “penalaran” pada tahap usianya itu. Akan tiba saatnya, dalam perkembangan tahap penalarannya, ia akan seperti kaum dewasa – mengucapkan angka “tiga puluh”. Inilah perbedaan mendasar dengan si burung beo. Burung beo, karena hanya mengandalkan diri pada kemampuan meniru, hanyalah dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang dilatihkan itu saja. Jumlah kalimat yang dapat diucapkannyapun sangat terbatas, yaitu hanya pada yang pernah diajarkan kepadanya. Beo tidak akan dapat menghasilkan kalimat selain yang dilatihkan dan yang ditirukannya itu. Lain halnya dengan anak manusia. Karena tidak mengandalkan pada kemampuan meniru, tetapi pada daya kreatifnya, seorang anak akan mampu membuat kalimat bahkan kalimat yang belum pernah diucapkan oleh kaum dewasa. Oleh karena itu, kita paling suka mendengarkan rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh anak-anak pada usia prasekolah. Banyak kalimatnya yang aneh-aneh tetapi lucu sehingga menjadi hiburan yang tiada habisnya bagi kaum dewasa. Jadi, dalam proses belajar bahasa secara terus-menerus anak berkreasi menciptakan kalimat-kalimat baru, entah itu hasilnya dapat diterima dan dianggap aneh serta mengundang tawa, jika dibandingkan dengan “bahasa kaum dewasa”. Atau, oleh kaum dewasa kalimatnya tidak dapat diterima dan dikatakan sebagai kalimat yang salah, seperti kalimat “Nobody likes me.” pada dialog di atas. Anak pada usia seperti yang terdapat pada dialog di atas memang belum saatnya untuk mampu mengatakan “Nobody likes me.” Betapa pun keras usaha kaum dewasa untuk mengarahkan, bahkan untuk memaksanya sekalipun, anak tidak akan dapat sampai ke taraf itu. Akan tiba saatnya, saat kematangan anak (dalam belajar bahasa) dalam jenjang usia berikutnya untuk akhirnya dapat dengan sendirinya, secara benar, dapat mengatakan “Nobody likes me.” Proses yang sama akan dilalui oleh anak, menangani sendiri kesalahanJurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 61 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan kesalahan lain dalam proses belajar bahasa. Akhirnya, pada usia sekitar lima tahun, anak akan sampai pada penguasaan bahasa – ragam lisan – yang setara dengan tingkat dewasa. Pada saat itulah saatnya anak siap untuk masuk sekolah, tempat anak mengalami proses belajar bahasa berikutnyayaitu: belajar ragam tulis. Bagaimana Perilaku Bertanya pada Anak Prasekolah dan Anak Sekolah Yang juga menonjol pada anak usia prasekolah ialah kesukaannya untuk terus bertanya. Begitu anak mulai dapat merangkai kata-kata menjadi kalimat dan dapat menghasilkan kalimat tanya, maka anak akan tak henti-hentinya dan tak bosan-bosannya bertanya. Mereka suka mengajukan pertanyaan karena dorongan rasa ingin tahu mereka. Tidak hanya satu atau dua pertanyaan yang terlontar. Pertanyaan mereka mengalir beruntun tiada habis-habisnya. Tidak jarang kaum dewasa merasa kewalahan menghadapi bertubi-tubinya rentetan pertanyaan anak. Anak-anak secara alami adalah jago bertanya. Mereka suka bertanya. Dengan begitu saja dan dengan sendirinya, tanpa diminta, mereka mengajukan pertanyaan. Kalau sudah mulai bertanya, sukar mereka dihentikan sebelum mereka berhasil memperoleh jawaban yang mereka inginkan. Mereka memburu dan mengejar jawaban dari kaum dewasa, yang mereka anggap menguasai. Akan tetapi, bagaimana dengan anak-anak sekolah? Banyak di antara mereka yang tidak lagi fasih bertanya. Mereka pun tidak lagi suka bertanya. Dari anak yang semula tak henti-hentinya bertanya, setelah mengenyam pendidikan di sekolah, mereka jadi berhenti bertanya. Mereka kehilangan kemampuan alaminya sebagai penanya yang aktif. Apa gerangan yang menjadi penyebabnya? Mengapa mereka yang sebelum bersekolah adalah jago bertanya, setelah mengenyam pendidikan sekolah, justru hilang keterampilan mereka bertanya. Apakah sekolah merupakan tempat yang tidak mengembangkan keterampilan bertanya, bahkan tempat yang memasung keterampilan itu? Kita lihat saja kegiatan apa yang lazim dilakukan oleh guru, misalnya, pada pelajaran membaca. Setelah siswa selesai membaca sebuah teks bacaan, apa kegiatan berikutnya? Guru memeriksa sampai di mana siswa memahami isi teks bacaan. Dengan cara apa? Rentetan pertanyaan disodorkan oleh guru. Guru bertanya, siswa menjawab. Pada pelajaran membaca, kegiatan untuk menguji pemahaman siswa akan isi sebuah teks, mengapa hanya dilakukan melalui pertanyaan, oleh guru? Mengajukan pertanyaan juga dapat dipakai sebagai alat uji untuk mengetahui 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan sampai di mana pemahaman siswa terhadap isi teks bacaan. Guru dapat menguji pemahaam siswa dengan mengajukan pertanyaan tentang isi teks bacaan. Dari pertanyaan yang diajukan siswa tersirat seberapa jauh atau dalam siswa memahami isi teks. Tanpa memahami isi teks, sulit kiranya bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan. Tidak hanya dalam kegiatan membaca saja hal seperti ini terjadi. Di dalam kelas, juga untuk mata pelajaran yang lain, siapa yang paling banyak melakukan kegiatan bertanya? Guru, bukan siswa. Alhasil, guru makin diasah untuk menjadi jago bertanya, dengan konsekuensi siswa tertutup peluangnya untuk bertanya. Kesempatan yang diberikan kepada siswa adalah menjawab pertanyaan. Maka tidak mengherankan apabila keterampilan siswa dalam bertanya menjadi tumpul dari waktu ke waktu, dalam perjalanan belajar di sekolah. Padahal, dengan bertanyalah penalaran dapat berkembang, sebagaimana yang dikatakan oleh Albert Einstein, “Yang penting adalah janganlah sampai berhenti bertanya”. Dengan bertanya, siswa mengejar perolehan pengetahuan baru. Maka sangatlah memprihatinkan bagi dunia pendidikan apabila sampai terjadi bahwa ada guru yang menjadi penyebab siswa berhenti bertanya, penyebab siswa tidak berani bertanya. Bagaimanakah guru yang seperti itu? Dia adalah guru yang merasa terusik, yang tidak menerima atau menyambut baik pertanyaan siswa (karena dianggap mengganggu proses guru menjelaskan sesuatu), guru yang menganggap pertanyaan siswa sebagai sesuatu yang menghambat proses belajar-mengajar, guru yang memperlakukan siswa yang banyak bertanya sebagai si tukang bikin ribut. Bagaimana Bernalar dengan Bertanya Siswa bukanlah ember kosong yang menunggu untuk dituangi dengan curahan pengetahuan dari guru. Proses pendidikan perlu membebaskan dari pandangan seperti ini. Perlu dibuang jauh-jauh pandangan bahwa “mengajar” adalah kegiatan proses mengalihkan pengetahuan dari guru ke pada siswa. Siswa bukanlah peserta belajar yang pasif. Siswa masuk ke dalam kegiatan belajar dengan pengetahuan, gagasan, dan pemahaman yang sudah terbentuk di dalam dirinya. Pengetahuan lama ini merupakan fondasi bagi pengetahuan baru yang akan mereka ciptakan. Siswa membangun pengetahuan baru bagi dirinya. Peranan guru adalah membimbing, memandu, menyarankan, dan memberikan keleluasaan bagi siswa untuk bereksperimen, mengajukan pertanyaan, mencoba-coba sendiri Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 63 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan hal-hal yang belum dapat mereka pecahkan. Apabila mereka berhadapan dengan informasi baru, ada tiga hal yang dapat terjadi.2 Pertama, informasi baru itu, apabila cocok atau sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, akan ditanamkan di dalam perbendaharaan pengetahuan mereka. Kedua, apabila informasi baru itu tidak cocok atau sesuai dengan pengetahuan sebelumnya, mereka dapat melakukan dua pilihan: mengubah pemahaman mereka akan pengetahuan lama agar sesuai dengan informasi baru. Atau, informasi baru itu ditolak, tidak diserap, dibiarkan mengambang, menunggu sampai ada informasi baru lain lagi di masa mendatang untuk dibandingkan lagi dengan pengetahuan yang sudah terbangun di dalam dirinya. Siswa adalah peserta yang aktif dalam proses belajar-mengajar. Siswa aktif dalam men - ”dialog” - kan pengetahuan yang telah ia dibangunnya dan informasi baru yang dihadapi. Akan tetapi, mereka perlu juga diajak aktif untuk berinteraksi dengan guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Pendidikan adalah sebuah dialog antara siswa dan guru. Bukan monolog.3 Seandainya itu berupa monolog, apa lalu peranan guru? Kalau begitu, cukup bagi siswa membeli buku teks saja, lalu membaca serta belajar sendiri. Siswa datang ke kelas, berhadapan dengan guru supaya terjadi komunikasi dua arah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh siswa di depan kelas, bagi guru, akan merupakan dua masukan yang berharga. Pertama, pertanyaan mencerminkan bahwa siswa memahami apa yang diutarakan oleh guru. Kedua, pertanyaan memperlihatkan bahwa siswa menggunakan daya nalar mereka. Mereka bertanya karena mereka memikirkan apa yang diuraikan oleh guru. Proses memahami dan berpikir ini akan ditumbuhkan dalam dialog, dalam tanya jawab antara siswa dan guru. Tambahan pula, pertanyaan dari siswa dapat juga memberikan sumbangan bagi guru untuk mengetahui apakah ihwal yang sudah dicoba dijelaskan atau diuraikan itu benar-benar dapat ditangkap oleh siswa. Atau, masih diperlukan uraian yang lebih panjang atau tambahan contoh lain untuk memperjelas. Bagaimana Menumbuhkan Suasana Bertanya di Dalam Kelas4 Siswa tidak akan terpancing atau tergerak untuk bertanya apabila guru di depan kelas hanya menyuarakan, “Ada pertanyaaan?” Pertanyaan guru ini lazimnya akan dijawab dengan sikap diam siswa. Guru perlu menumbuhkan suasana yang dapat menimbulkan pertanyaan di kelas. Teknik terpenting yang harus diterapkan oleh guru, agar tumbuh suasana bertanya di kelas, ialah cara guru menjawab pertanyaan sedemikian rupa sehingga dapat ditangkap oleh siswa bahwa jawaban guru terdengar enak di telinga. Jika sampai terjadi ada pertanyaan sama yang sampai diajukan 64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan tiga kali oleh tiga siswa yang berbeda pun, guru harus tetap memberikan jawaban yang keempat kalinya dengan nada suara yang sama semangatnya dan enak kedengarannya dengan jawaban (sama) yang telah ia sampaikan sebelumnya. Setiap kali itu pula guru, seraya menguraikan jawaban yang isinya sama, dapat menambahkan contoh baru yang lain. Bisa jadi siswa yang mengulang pertanyaan sama yang telah diajukan temannya itu memang pikirannya sedang melayang, atau ia barangkali sedang sibuk mencatat sehingga tidak mendengar pertanyaan temannya. Akan tetapi, pada umumnya – dan ini yang sering tidak disadari oleh banyak guru – kalau siswa sampai menanyakan lagi sesuatu yang sudah ditanyakan oleh temannya sebelumnya, itu karena mereka tidak dapat memahami apa yang telah dijelaskan oleh guru. Hambatan negatif bagi siswa untuk bertanya adalah keengganan mereka karena khawatir dianggap bodoh bila mengajukan pertanyaan. Mereka cenderung merasa bodoh dengan bertanya. Mereka akan tambah merasa bodoh lagi apabila guru dalam menjawab pertanyaan membuat si penanya tampak bodoh di depan teman-temannya. Tak seorang pun yang mau mengakui bahwa dirinya tidak tahu dan ini hal yang manusiawi. Kalau sampai guru memberikan kesan bahwa ia merendahkan si penanya, atau membuat mereka merasa bodoh, atau menyiratkan bahwa bertanya hanyalah membuang-buang waktu saja, siswa tidak akan tergerak untuk bertanya. Akibatnya, kelas akan berkembang menjadi suatu monolog, bukan dialog. Berikut ini beberapa di antara cara yang disarankan oleh Marshall Brain untuk menumbuhkan siswa bertanya.5 a. Tunjukkan pada siswa yang sedang bertanya bahwa pertanyaan yang diajukan itu merupakan sumbangan yang berharga bagi proses belajarmengajar yang sedang berlangsung, misalnya, dengan mengatakan “Pertanyaan yang bagus!” b. Berikan sela waktu di tengah-tengah guru mengajar, saat hening karena guru sedang tidak mengatakan apa-apa di kelas, misalnya, dengan membuka-buka buku catatan atau menjatuhkan pensil atau menghapus papan tulis, sehingga pada waktu sela itu siswa dapat melontarkan pertanyaan. c. Jangan sampai menghina, sekalipun itu berupa sindiran yang sangat halus, pada waktu guru mengucapkan jawaban. d. Mintalah siswa untuk menuliskan satu hal (saja) yang tidak mereka pahami selama di kelas, lalu ini dijadikan bahan ajar yang pertama-tama dibahas pada pertemuan berikutnya. Ini akan menyadarkan siswa bahwa setiap siswa memiliki pertanyaan dan secara bertahap mereka akan tergerak untuk mengajukan pertanyaan secara lisan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 65 Mengembangkan Penalaran Dalam Pendidikan e. Sodorkan sebuah masalah, tuliskan di papan tulis, lalu minta siswa untuk memikirkan pemecahannya, dengan menuliskan itu di dalam catatan mereka. Kalau guru suka memberikan contoh-contoh pemecahan kepada siswa, mereka tidak beroleh kesempatan untuk mencoba sendiri memecahkan persoalan. Kalau mereka mencoba sendiri dan sampai pada jalan buntu dalam memecahkan persoalan, mereka akan terdorong untuk mengajukan pertanyaan. Penutup Bertanya, yang dengan mudah dan begitu saja dapat dilakukan oleh anakanak sebelum masuk ke sekolah, bagi kebanyakan di antara siswa di bangku sekolah, termasuk yang sudah duduk di perguruan tinggi, merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Orang yang bertanya lazimnya dianggap orang yang tidak tahu, bahkan orang yang bodoh; padahal, hanya orang yang memahami persoalannya dan orang yang berpikir yang dapat mengajukan pertanyaaan. Bertanya merupakan keterampilan dasar bagi seseorang yang menuntut ilmu. Karena ada orang-orang yang tidak henti-hentinya bertanya, maka kita memiliki orang sekaliber Einstein atau Archimedes. Tantangan bagi pendidikan adalah menciptakan suasana yang dapat menumbuhkan semangat bertanya di dalam kelas sehingga kelas menjadi kegiatan yang bukan monolog, melainkan dialog, ajang komunikasi dua arah. Melalui tanya-jawab terjadilah olah pikir dan berkembanglah penalaran siswa yang terlibat di dalam kegiatan itu. _________ 1 2 3 4 5 Deena K. Bernstein dan Ellenmoris Tiegerman. (1985). Language and communication disorders in Children. (Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company, 1985), hlm. 76. Ini pandangan konstruktivisme di dalam pendidikan. Marshall Brain (1998) “Emphasis on teaching: The importance of questions .” http://www.bygpub.com/eot/eot2.htm Ibid. Ibid. 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Opini Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran Penerapan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran Handy Susanto, S.Psi*) Abstrak ola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika dan bahasa dalam proses pembelajaran di kelas sudah waktunya diubah dengan kecerdasan majemuk yang pada dasarnya adalah sinergi dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Diharapkan penerapan konsep kecerdasan majemuk dalam pembelajaran akan meningkatkan kemampuan siswa belajar. P Kata kunci: Kecerdasan, pembelajaran, siswa Abstract The traditional concept which focus only to the logical ability and language ability in learning process, need to be changed with the multiple intelegences. Infact, the muliple intelegences itselfs is the development or the sinergizer of the Intelectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), and Spiritual Quotient (SQ). It is hoped that the application of the Multiple Intelegences in the learning process will improve the student’s ability in learning. Pendahuluan Pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk diperoleh anak-anak ataupun orang dewasa. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya. Mengingat akan pentingnya pendidikan, maka pemerintah pun mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, melakukan perubahan kurikulum untuk mencoba mengakomodasi kebutuhan siswa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bukan hanya dirasakan oleh pemerintah, tetapi juga kalangan swasta yang mulai melirik dunia pendidikan dalam mengembangkan usahanya. Sarana untuk memperoleh pendidikan yang disediakan oleh pemerintah masih dirasakan sangat kurang dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan *) Guru Bimbingan dan Konseling SMP BPK PENABUR Tasikmalaya Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 67 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran pendidikan. Hal ini terlihat dengan semakin menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang dimulai dari Taman Kanak-Kanak sampai perguruan tinggi. Kendala bagi dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas adalah masih banyaknya sekolah yang mempunyai pola pikir tradisional di dalam menjalankan proses belajarnya yaitu sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kenyataan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Seto Mulyadi (2003), seorang praktisi pendidikan anak, bahwa suatu kekeliruan yang besar jika setiap kenaikan kelas, prestasi anak didik hanya diukur dari kemampuan matematika dan bahasa. Dengan demikian sistem pendidikan nasional yang mengukur tingkat kecerdasan anak didik yang semata-mata hanya menekankan kemampuan logika dan bahasa perlu direvisi. Kecerdasan intelektual tidak hanya mencakup dua parameter tersebut, di atas tetapi juga harus dilihat dari aspek kinetis, musical, visual-spatial, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis (Kompas, 6 Agustus 2003). Jenisjenis kecerdasan intelektual tersebut dikenal dengan sebutan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983. Gardner mengatakan bahwa kita cenderung hanya menghargai orangorang yang memang ahli di dalam kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Kita harus memberikan perhatian yang seimbang terhadap orangorang yang memiliki talenta (gift) di dalam kecerdasan yang lainnya seperti artis, arsitek, musikus, ahli alam, designer, penari, terapis, entrepreneurs, dan lain-lain. Sangat disayangkan bahwa saat ini banyak anak-anak yang memiliki talenta (gift), tidak mendapatkan reinforcement di sekolahnya. Banyak sekali anak yang pada kenyataannya dianggap sebagai anak yang “Learning Disabled” atau ADD (Attention Deficit Disorder), atau Underachiever, pada saat pola pemikiran mereka yang unik tidak dapat diakomodasi oleh sekolah. Pihak sekolah hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi delapan kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran Pola pemikiran tradisional yang menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa memang sudah mengakar dengan kuat pada diri setiap guru di dalam menjalankan proses belajar. Bahkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Insan Kancil (Kompas, 13 Oktober 2003), pendidikan Taman Kanak-Kanak saat ini cenderung mengambil porsi Sekolah Dasar. Sekitar 99 persen, Taman Kanak-Kanak mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Artinya, pendidikan Taman Kanak-Kanak telah menekankan pada kecerdasan akademik, tanpa menyeimbanginya dengan kecerdasan lain. Hal ini berarti pula bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh guru-guru masih tetap mementingkan akan kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Menurut Moleong, dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), guru dan orang tua hendaknya bersinergi dalam mengembangkan berbagai jenis kecerdasan, terutama terhadap anak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak gagap dalam melaksanakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Anak-anak usia 0 – 8 tahun harus diperkenalkan dengan kecerdasan jamak (Multiple Intelligences). Guru hendaknya tidak terjebak pada kecerdasan logika semata. Multiple Intelligences yang mencakup delapan kecerdasan itu pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ). Semua jenis kecerdasan perlu dirangsang pada diri anak sejak usia dini, mulai dari saat lahir hingga awal memasuki sekolah (7 – 8 tahun). (Kompas, 13 Oktober 2003). Yang menjadi pertanyaan terbesar, mampukah dan bersediakah setiap insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mencoba untuk mengubah pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan kemampuan logika (matematika) dan bahasa? Bersediakah segenap tenaga kependidikan bekerja sama dengan orang tua bersinergi untuk mengembangkan berbagai jenis kecerdasan pada anak didik di dalam proses belajar yang dilaksanakan di lingkungan lembaga pendidikan? Tinjauan Pustaka Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik. Ada beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) yaitu: Linguistic Intelligence (Word Smart) Pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 69 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya. Logical – Mathematical Intelligence (Number / Reasoning Smart) Anak-anak dengan kecerdasan logical–mathematical yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Visual – Spatial Intelligence (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. Bodily – Kinesthetic Intelligence (Body Smart) Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Musical Intelligence (Music Smart) Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik. Interpersonal Intelligence (People Smart) Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama denganm orang lain. Intra personal Intelligence (Self Smart) Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran Naturalist Intelligence (Nature Smart) Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. E xistence Intelligence Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya. Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999. Saran Aplikasi Pola pengajaran tradisional yang hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa yang disampaikan dalam bentuk ceramah mungkin membosankan siswa. Teori Multiple Intelligences menyarankan beberapa cara yang memungkinkan materi pelajaran dapat disampaikan dalam proses belajar yang lebih efektif. Cara-cara penyampaian materi pelajaran yang dapat digunakan oleh guru sebagai berikut: - Kata-kata (Linguistic Intelligence) - Angka atau logika (Logical -Mathematical Intelligence) - Gambar (Visual -Spatial Intelligence) - Musik (Musical Intelligence) - Pengalaman fisik (Bodily-Kinesthetic Intelligence) - Pengalaman sosial (Interpersonal Intelligence) - Refleksi diri (Intrapersonal Intelligence) - Pengalaman di lapangan (Naturalist Intelligence) - Peristiwa (Existence Intelligence) Sebagai contoh, jika Anda mengajarkan ekonomi tentang Hukum permintaan pasar (Law of Supply and Demand ), maka siswa diharapkan membaca materi yang akan disampaikan (Linguistic), mempelajari formula matematika untuk mengetahui perhitungan tentang banyaknya permintaan atau supply (LogicalMathematical), membuat grafik yang mengilustrasikan hukum permintaan tersebut (Visual – Spatial), mengamati / mengobservasi secara langsung di pasar (Naturalist), mengamati sistem perdagangan yang dilakukan oleh orangorang pada umumnya (Interpersonal). Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 71 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran Pengajaran satu materi tidak perlu harus menggunakan ke sembilan kecerdasan secara serentak. Pilihlah kecerdasan yang sesuai dengan konteks pembelajaran itu sendiri. Sebenarnya dalam melaksanakan proses belajar yang menggunakan kerangka Multiple Intelligences tidaklah sesulit yang dibayangkan. Yang dibutuhkan hanyalah kreativitas dan kepekaan guru. Artinya setiap guru harus bisa berpikir secara terbuka yaitu keluar dari paradigma pengajaran tradisional, mau menerima perubahan, serta harus memiliki kepekaan untuk melihat setiap hal yang bisa digunakan di lingkungan sekitar dalam menunjang proses belajar. Laboratorium hidup yang terbesar adalah dunia ini. Untuk mengembangkan proses pengajaran dengan menggunakan Multiple Intelligences, sarana dan prasarana yang dibutuhkan sebenarnya telah tersedia di lingkungan sekitar. Artinya bahwa pendidikan tidaklah harus di dalam kelas. Tidak harus menggunakan peralatan yang canggih. Siswa bisa diajak keluar kelas untuk mengamati setiap fenomena yang terjadi di dunia nyata. Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam. Vernon A. Magnesen (1983), (DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000) menjelaskan bahwa kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Artinya seseorang bisa menyerap informasi paling banyak pada saat dia melakukan atau mempraktekkan materi yang diterimanya. Kadang-kadang kita berpikir bahwa untuk menerapkan berbagai metode pengajaran yang berkembang akhir-akhir ini diperlukan suatu peralatan yang canggih untuk menunjang proses belajar. Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Di dalam menerapkan Multiple Intelligences di dalam proses pengajaran dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya dengan menggunakan musik untuk mengembangkan Musical Intelligence, belajar kelompok untuk mengembangkan Interpersonal Intelligence, aktivitas seni untuk mengembangkan Visual-Soatial Intelligence, role play untuk mengembangkan Bodily-Kinesthetic Intelligence, perjalanan ke lapangan (Field Trips) untuk mengembangkan nature Intelligence, menggunakan Multimedia, refleksi diri untuk megembangkan Intra personal Intelligence, dan lain-lain. Keluar dari pola kebiasaan mengajar yang lama yaitu pengajaran yang hanya menekankan pada metoda ceramah sangatlah sulit, karena manusia cenderung tidak mau keluar dari zona nyaman sebagaimana yang diungkapkan 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran oleh DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000 di dalam bukunya yang berjudul Quantum Teaching. Manusia cenderung akan tetap mempertahankan kebiasaannya dan tidak mau mengambil risiko, karena untuk berubah berarti mereka dihadapkan pada resiko dari perubahan itu sendiri yang seringkali ‘menakutkan’. Penerapan multiple Intelligences di dalam proses belajar mengajar tidak harus menunggu perintah dari atasan. Guru yang mencoba menerapkan Multiple Intelligences, berinisiatif untuk mencoba keluar dari zona nyaman agar pengajaran dapat dilakukan seefektif mungkin dan sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa guru adalah orang yang langsung terlibat di lapangan yang mengetahui secara jelas kebutuhan dan keunikan dari setiap siswa. Kenyataan, saat ini adalah kurangnya guru-guru yang memiliki inisiatif untuk mencoba keluar dari pola pengajaran tradisional, meskipun dari pihak atasan menfasilitasi dan mengadakan pembinaan bagi setiap guru agar dapat mengembangkan diri agar dapat menyampaikan materi pelajaran seefektif mungkin. Upaya menerapkan Mulitiple Intelligences bukan hanya tanggung jawab guru dan kepala sekolah saja, tetapi pihak orang tua pun perlu dilibatkan. Kita harus bersinergi dengan pihak orang tua. Orang tua pun memiliki andil dalam menentukan cara belajar anaknya. Masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir tradisional dalam memandang kemampuan yang harus dicapai oleh anaknya. Mereka masih memandang anaknya bodoh, jika anaknya tidak pandai dalam matematika atau bahasa. Pola pikir orang tua seperti itu harus diubah. Pihak sekolah hendaknya mengadakan seminar bagi orang tua. Seminar itu menjelaskan bahwa kecerdasan anak bukan hanya dipandang dari kemampuan matematika dan bahasa, melainkan masih banyak kemampuan lainnya yang dapat dikembangkan sesuai dengan keunikan anak. Jika pandangan baru ini diberikan kepada orang tua, diharapkan setiap orang tua dapat mendukung pihak sekolah untuk mengembangkan Multiple Intelligences. Salah satu bentuk peran serta orang tua dalam pengembangan Multiple Intelligences adalah dengan tidak memaksakan anak untuk hanya menguasai kemampuan matematika dan bahasa, tetapi mereka pun dapat membimbing dan mengarahkan anaknya sesuai dengan keunikannya masing-masing. Selain mengadakan seminar, kerja sama pihak sekolah dengan orang tua dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran Wali Kelas dan guru Bimbingan Konseling dengan cara melakukan pertemuan berkala dengan pihak orang tua. Kerja sama ini dilaksanakan dalam upaya untuk memantau setiap Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 73 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran perkembangan anak dan mengamati keunikan setiap anak, sehingga pendidikan bisa diberikan sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya masingmasing. Manfaat Penerapan Multiple Intelligences Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple Intelligence di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. 1. Kita dapat menggunakan kerangka Multiple Intelligences dalam melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa dilakukan seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat suatu pertunjukan. Dapat menjadi ‘pintu masuk’ yang vital ke dalam proses belajar. Bahkan siswa yang penampilannya kurang baik pada saat proses belajar menggunakan pola tradisional (menekankan bahasa dan logika), jika aktivitas ini dilakukan akan memunculkan semangat mereka untuk belajar. 2. Dengan menggunakan Multiple Intelligences . Anda menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat, dan talentanya. 3. Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat di dalam mendukung proses belajar mengajar. Hal ini bisa terjadi karena setiap aktivitas siswa di dalam proses belajar akan melibatkan anggota masyarakat. 4. Siswa akan mampu menunjukkan dan ‘berbagi’ tentang kelebihan yang dimilikinya. Membangun kelebihan yang dimiliki akan memberikan suatu motivasi untuk menjadikan siswa sebagai seorang ‘spesialis’. 5. Pada saat Anda ‘mengajar untuk memahami’ , siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk mencari solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya. Kesimpulan Setiap siswa memiliki keunikannya masing-masing. Mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Pandangan yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang dapat dilihat berdasarkan hasil tes IQ sudah tidak relevan lagi karena tes IQ hanya membatasi pada kecerdasan logika (matematika) dan bahasa. Saat ini masih banyak sekolah yang terjebak dengan pandangan tradisional tersebut. Masih banyak guru yang hanya menekankan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Teori Multiple Intelligences, mencoba untuk mengubah pandangan bahwa kecerdasan seseorang hanya terdiri dari kemampuan Logika (matematika) 74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menerapkan Multiple Intelligences dalam Sistem Pembelajaran dan bahasa. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari kecerdasan tersebut. Teori Multiple Intelligences mampu menjembatani proses pengajaran yang membosankan menjadi suatu pengalaman belajar yang menyenangkan dan Siswa tidak hanya dijejali oleh teori semata. Mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa teori yang mereka terima memang dapat ditemui di dalam kehidupan nyata dan dapat mereka alami sendiri sehingga mereka memiliki kesan yang mendalam. Selain itu proses pendidikan dapat mengakomodir setiap kebutuhan siswa dan sesuai dengan keunikannya masing-masing. Jika sekolah ingin menerapkan Multiple Intelligences di dalam sistem pendidikannya, maka dibutuhkan inisiatif dari setiap guru untuk mencoba memulai dan bersedia untuk keluar dari ‘zona nyaman’nya masing-masing. Guru dan orang tua harus bersinergi agar memiliki pandangan yang sama di dalam memberikan pendidikan bagi anak sesuai dengan kebutuhan dan keunikannya masing-masing. Kesamaan pandangan dapat diciptakan melalui pertemuan berkala antara Wali Kelas dan Guru Bimbingan Konseling dengan orang tua. Daftar Pustaka DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer. (2000). Quantum teach- ing. Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: PT. Mizan Pustaka Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan Majemuk). Batam: Interaksara http://www.cookps.act.edu.au/mi.htm http://www.kompas.com/Kecerdasan intelektual tak cuma logika dan bahasa/ 6 Agustus 2003 http://www.kompas.com/Sambut kurikulum 2004 dengan kecerdasan jamak/ 13 Oktober 2003 http://www.thomasarmstrong.com/multiple_intelligences.htm http://www.thirteen.org/edonline/concept2class/mi/index_sub7.html Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 75 Opini Pendayagunaan Media Pembelajaran Pendayagunaan Media Pembelajaran Thomas Wibowo Agung Sutjiono*) Abstrak ekurang-kurangnya ada tujuh alasan mengapa sampai saat ini masih ada sejumlah guru yang enggan menggunakan media pembelajaran. Ketujuh alasan tersebut adalah: pertama menggunakan media itu repot, kedua media itu canggih dan mahal, ketiga guru tidak terampil menggunakan media , keempat media itu hiburan sedangkan belajar itu serius, kelima tidak tersedia di sekolah, keenam kebiasaan menikmati ceramah/bicara, ketujuh kurangnya penghargaan dari atasan. Untuk mengatasi semua alasan tersebut hanya satu hal yang diperlukan, yaitu perubahan sikap guru. S Kata kunci: Media pembelajaran, guru, sikap Abstract There are at least seven reasons explaining why some teachers do not want to use media, in their teaching. According to them media learning are : 1) difficult to be used, 2) sophisticated and expensive, 3) lack of skill ,4) media is entertainment while study is serious, 5) not available at school, 6) usage/ habits to enjoy lecture or speech, 7) not enough appreciation enough from the superior. One thing that needs to be done to handle this problem is changing the theacher’s attitude . Guru dan Media Perubahan global dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi, terutama yang berhubungan dengan sistem pendidikan di sekolah menuntut adanya perubahan sikap guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Sejak zaman dahulu ada anggapan yang salah kaprah, yaitu bahwa guru adalah orang yang paling tahu. Pendapat itu terus berkembang menjadi guru lebih dulu tahu atau pengetahuan guru hanya beda semalam dibandingkan dengan murid. Namun sekarang bukan saja pengetahuan guru sama dengan *) Kepala SMP BPK PENABUR Tasikmalaya 76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendayagunaan Media Pembelajaran murid, bahkan murid dapat lebih dulu tahu daripada gurunya. Ini semua dapat terjadi akibat perkembangan media informasi yang begitu cepat di sekitar lingkungan kita. Pada saat ini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Banyak contoh, murid dapat lebih dulu mendapat informasi dengan cara mengakses informasi dari media massa seperti : surat kabar, televisi, hand phone (sms/mms), bahkan internet. Sedangkan seringkali guru dengan alasan klasik “masalah ekonomi”, mereka tidak dapat mengakses informasi dengan cepat. Bagaimana guru menyikapi perkembangan ini? Setidaknya ada tiga kelompok guru dalam menyikapi hal ini, seperti tidak peduli, menunggu petunjuk, atau cepat menyesuaikan diri. Kelompok pertama yaitu guru yang tidak peduli. Seorang guru yang mempunyai rasa percaya diri berlebihan (over confidence) barangkali akan berpegang kepada anggapan bahwa sampai kapanpun posisi guru tidak akan tergantikan. Dalam setiap proses pembelajaran tetap diperlukan sentuhan manusiawi dari seorang guru. Guru dalam kelompok ini menggambarkan murid sebagai seseorang yang bersifat tergantung. Pengalaman yang dimiliki murid tidak besar nilainya. Pengalaman yang sangat besar manfaatnya adalah pengalaman yang diperoleh dari gurunya. Murid tetap memerlukan sentuhan psikologis dari seorang guru. Guru dalam mengajar tidak hanya mengutamakan mata pelajaran akan tetapi harus juga memperhatikan murid itu sendiri sebagai manusia yang harus dikembangkan pribadinya. Harus dipelihara keseimbangan antara perkembangan intelektual dan perkembangan psikologis. Teknologi tidak dapat menggantikan manusia. Teknologi secanggih komputer Pentium 4, DVD, internet atau apapun, tidak dapat menggantikan manusia. Bagaimanapun teknologi berkembang secara pesat, guru tetap sebagai yang “harus digugu dan ditiru”. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa media tidak dapat menggantikan posisi guru, namun sikap tidak peduli terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi, bukanlah sikap yang tepat. Walaupun bagaimana, lingkungan kita terus berkembang, tuntutan masyarakat terhadap kualitas guru semakin meningkat. Guru harus peduli. Kelompok kedua adalah yang menunggu petunjuk. Kelompok inilah yang paling banyak ditemukan di sekolah. Mungkin ini akibat dari kebijakan sistem pendidikan selama ini. Guru dalam sistem pendidikan nasional dianggap sebagai “tukang” melaksanakan kurikulum yang demikian rinci dan kaku. Kurikulum sangat lengkap dengan berbagai petunjuk teknis pelaksanaannya, sehingga guru tinggal melaksanakan tanpa boleh menyimpang dari pedoman baku yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya, kurikulum dilengkapi dengan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), yang kemudian oleh Tim Guru Mata Pelajaran atau MGMP dijabarkan dalam Program Tahunan, Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 77 Pendayagunaan Media Pembelajaran Program Semester, AMP, Satuan Pelajaran, Rencana Pelajaran atau Skenario Pelajaran, dan sebagainya, yang semuanya dibuat secara rinci, tanpa peduli kondisi sekolah yang berbeda-beda. Kelompok ketiga guru yang cepat menyesuaikan diri. Sejalan dengan perubahan kurikulum, otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah atau berbasis kompetensi, bukan lagi saatnya bagi guru untuk selalu menunggu petunjuk. Guru adalah tenaga profesional, bukan amatir. Dengan berdasar pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran setiap guru dituntut untuk dapat mengembangkan bahan ajar bagi murid dalam suatu proses pelaksanaan pembelajaran yang berkesinambungan. Guru dituntut untuk mengembangkan kemampuan dan kompetensi murid, bukan sekedar pengetahuan tetapi murid-murid hendaknya mampu berpikir (kognitif), mampu menentukan sikap (affektif) dan mampu bertindak (psikomotor), sehingga nantinya menjadi manusia yang bermartabat. Oleh karena itu saran yang tepat untuk guru adalah cepat-cepatlah menyesuaikan diri. Guru perlu segera mereposisi perannya saat ini, guru tidak lagi menjadi orang yang paling tahu di kelas, namun guru harus mampu menjadi fasilitator dalam belajar. Ada banyak sumber belajar yang tersedia di lingkungan kita, apakah sumber belajar yang dirancang untuk belajar ataukah yang tidak dirancang namun dapat dimanfaatkan untuk belajar. Guru yang baik akan merasa senang kalau muridnya lebih pandai dari dirinya. Mengapa Media Pembelajaran itu Perlu? Pernahkah guru menghadapi kesulitan dalam menjelaskan suatu materi pelajaran kepada murid? Misalnya : guru ingin menjelaskan tentang seekor binatang padang pasir yang disebut unta kepada murid TK atau SD di kelas awal. Contoh lain guru ingin menjelaskan tentang kereta api kepada murid di daerah yang tidak ada kereta api, guru akan menjelaskan tentang pasar terapung, guru akan menjelaskan tentang bahayanya narkoba dan zat adiktif. Berikut ini beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan oleh guru. Cara pertama, guru bercerita tentang unta, kereta api, pasar terapung atau narkoba dan zat adiktif. Guru dapat bercerita mungkin karena pengalaman, membaca buku, cerita orang lain atau pernah melihat objek-objek itu. Apabila murid-murid di sekolah tersebut sama sekali belum tahu, belum pernah melihat objek-objek tersebut di televisi atau melihat gambarnya di buku, maka betapa sulitnya guru menjelaskan hanya dengan kata-kata tentang objek tersebut. Kalau gurunya seorang yang ahli berceritera, tentu cerita guru itu akan sangat menarik bagi murid-muridnya. Namun tidak semua orang diberikan karunia kepandaian bercerita. Penjelasan dengan kata-kata mungkin akan 78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendayagunaan Media Pembelajaran menghabiskan waktu yang lama. Pemahaman murid berbeda sesuai dengan pengetahuan mereka sebelumnya, bahkan mungkin akan menimbulkan kesalahan persepsi. Cara kedua, guru membawa murid studi wisata melihat obyek-obyek itu. Guru membawa murid ke stasiun kereta, ke RSKO, atau menugasi muridnya melakukan pengamatan dan wawancara. Cara ini lebih efektif dibandingkan dengan cara lainnya. Namun masalahnya berapa biaya yang harus ditanggung, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Cara ini efektif walaupun tidak efisien. Tidak mungkin semua murid dapat mengalami karena berbagai keterbatasan misalnya jarak, tempat dan biaya. Cara ketiga, guru membawa gambar, lukisan, foto, slide, film, video-vcd, tentang objek-objek tersebut. Cara ini akan membantu guru dalam memberikan penjelasan. Selain menghemat kata-kata, menghemat waktu, penjelasan gurupun akan lebih mudah dimengerti oleh murid, menarik, membangkitkan motivasi belajar, menghilangkan kesalahanpemahaman, serta informasi yang disampaikan menjadi konsisten. Ketiga cara di atas dapat kita sebutkan, cara pertama sebagai informasi verbal, cara kedua belajar pengalaman nyata, sedangkan cara ketiga informasi melalui media. Di antara ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah cara yang paling tepat dan bijaksana dilakukan oleh guru. Media belajar itu diperlukan oleh guru agar pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Menurut Edgar Dale, dalam dunia pendidikan, penggunaan media/bahan/ sarana belajar seringkali menggunakan prinsip Kerucut Pengalaman, yang membutuhkan media belajar seperti buku teks, bahan belajar yang dibuat oleh guru dan “audio-visual”. Gambar: Kerucut Pengalaman Edgar Dale Simbol verbal Simbol visual Bagan, Diagram, Grafik, dan sejenisnya Rekaman Radio Foto, ilustrasi, slide, dan sejenisnya FILM Film, tuntutan diskusi Televisi Pameran Darmawisata Demonstrasi Pengalaman yang didramatisasi Video, Tape, tuntutan Poster, Display, papan bulletin Tuntutan observasi Alat-alat, bahan mentah, papan tulis Wayang, skrip, drama Pengalaman yang logis Model, objek, specimen Pengalaman yang bertujuan Manual tuntutan Sumber : Arif (1994 : hal. 79) Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 79 Pendayagunaan Media Pembelajaran Mengapa Guru Tidak Menggunakan Media Pembelajaran? Masalah yang sering ditemui di lapangan/di sekolah, mengapa sampai saat ini masih ada guru yang enggan menggunakan media dalam mengajar? Berdasarkan pengalaman, pengamatan dan diskusi dalam berbagai kesempatan dengan para guru, terdapat sekurang-kurangnya tujuh alasan guru tidak menggunakan media pembelajaran, yaitu : Pertama, menggunakan media itu repot. Mengajar dengan menggunakan media perlu persiapan. Apalagi kalau media itu semacam OHP, audio visual, vcd, slide projector atau internet. Perlu listrik lagi. Guru sudah sangat repot dengan menulis persiapan mengajar, jadwal pelajaran yang padat, jumlah kelas paralel yang sedikit, masalah keluarga di rumah dan lain-lain. Mana sempat memikirkan media pembelajaran. Demikianlah beberapa alasan yang sering dikemukakan oleh para guru. Padahal kalau guru mau berpikir dari aspek lain, bahwa dengan media pembelajaran akan lebih efektif, maka tidak ada alasan repot. Pikirkanlah bahwa sedikit repot, tetapi akan mendapatkan hasil optimal. Media pembelajaran juga relatif awet, artinya sekali menyiapkan bahan pembelajaran, dapat dipakai beberapa kali penyajian. Selanjutnya tidak repot lagi. Kedua, media itu canggih dan mahal. Tidak selalu media itu harus canggih dan mahal. Nilai penting dari sebuah media pembelajaran bukan terletak pada kecanggihannya (apalagi harganya yang mahal) namun pada efektifitas dan efisiensi dalam membantu proses pembelajaran. Banyak media sederhana yang dapat dikembangkan oleh guru dengan harga murah. Kalaupun dibutuhkan media canggih semacam audiovisual atau multi media, maka “cost-nya” akan menjadi murah apabila dapat digunakan oleh banyak murid dan beberapa guru. Ketiga, tidak bisa. Demam teknologi ternyata menyerang sebagian dari guru-guru kita. Ada beberapa guru yang “takut” dengan peralatan elektronik, takut kena setrum, takut korsleting, takut salah pijit, dan sebagainya. Alasan ini menjadi lebih parah ditambah dengan takut rusak. Akibatnya media OHP, audio-visual atau slide projector yang telah dimiliki, sejak awal beli baru tetap tersimpan rapi di ruang kepala sekolah. Sebenarnya, dengan sedikit latihan dan mengubah sikap bahwa media mudah dan menyenangkan, maka segala sesuatunya akan berubah. Keempat, media itu hiburan (membuat murid main-main, tidak serius), sedangkan belajar itu serius. Alasan ini sudah jarang ditemui di sekolah, namun tetap ada. Menurut pendapat orang-orang terdahulu belajar itu harus dengan serius. Belajar itu harus mengerutkan dahi. Media pembelajaran itu 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendayagunaan Media Pembelajaran identik dengan dengan hiburan. Hiburan adalah hal yang berbeda dengan belajar. Tidak mungkin belajar sambil santai. Ini memang pendapat orangorang zaman dahulu. Paradigma belajar kini sudah berubah. Kalau bisa belajar dengan menyenangkan, mengapa harus dengan menderita?. Kalau dapat dilakukan dengan mudah, mengapa harus dipersulit? Kelima, tidak tersedia. Tidak tersedia media pembelajaran di sekolah, mungkin ini adalah alasan yang masuk akal. Tetapi seorang guru tidak boleh menyerah begitu saja. Ia adalah seorang profesional yang harus kreatif, inovatif dan banyak inisiatif. Media pembelajaran tidak harus selalu canggih, namun dapat juga dikembangkan sendiri oleh guru. Dalam hal ini pimpinan sekolah hendaklah cepat tanggap. Jangan sampai suasana kelas itu menjadi gersang, di kelas hanya ada papan tulis dan kapur. Keenam, kebiasaan menikmati ceramah/bicara. Metode mengajar dengan ceramah adalah hal yang enak. Berbicara itu memang nikmat. Inilah kebiasaan yang sulit di rubah. Seorang guru cenderung mengulang cara guru-gurunya yang terdahulu. Mengajar dengan mengandalkan verbal lebih mudah, tidak memerlukan persiapan mengajar yang banyak, jadi lebih enak untuk guru, tetapi tidak enak untuk murid. Hal yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran adalah kepentingan murid yang belajar, bukan kepuasan guru semata. Ketujuh, kurangnya penghargaan dari atasan. Kurangnya penghargaan dari atasan, mungkin adalah alasan yang masuk akal. Sering terjadi bahwa guru yang mengajar dengan media pembelajaran yang dipersiapkan secara baik, kurang mendapatkan penghargaan dari pimpinan sekolah/pimpinan yayasan. Tidak adanya reward bagi guru sering menjadikan guru menjadi “malas”. Selama ini tidak ada perbedaan perlakuan bagi guru yang menggunakan media pembelajaran dengan guru yang mengajar dengan tidak menggunakan media (metode ceramah/bicara saja). Sebetulnya bentuk penghargaan tidak harus dalam bentuk materi, tetapi dapat dengan bentuk pujian atau bentuk lainnya. Apa Pertimbangan dalam Memilih Media Pembelajaran? Sejak tahun 1930 berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kebermanfaatan penggunaan media untuk keperluan pembelajaran. Penelitian ini diawali dengan evaluasi media untuk melihat apakah suatu media dapat dipergunakan untuk pembelajaran. Penelitian ini berasumsi bahwa media sebagai stimulus dapat mengubah perilaku. Akan tetapi hasil penelitian itu dianggap kurang dapat diandalkan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 81 Pendayagunaan Media Pembelajaran karena hasilnya menunjukkan bahwa semua media dapat dipergunakan untuk pembelajaran. Oleh karena itu penelitian-penelitian berikutnya beralih ke penelitian perbandingan media untuk pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu media lebih baik daripada media lain. Misalnya, apakah gambar diam lebih baik daripada gambar hidup (film) atau apakah media audio lebih baik dari pada media visual. Hasil penelitian-penelitian itu ternyata tidak konsisten dan sulit dapat dipercaya. Kemudian penelitian beralih lagi ke media itu sendiri untuk mengetahui keunggulan suatu media dalam menyampaikan bahan pembelajaran. Hasil penelitian terakhir ini juga tampaknya kurang memuaskan. Dari berbagai jenis penelitian terdahulu yang telah diuraikan di atas, diketahui bahwa pada hakikatnya bukan media itu sendiri yang menentukan hasil belajar. Ternyata keberhasilan menggunakan media dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut. Tidak berarti bahwa semakin canggih media yang digunakan akan semakin tinggi hasil belajar atau sebaliknya. Untuk tujuan pembelajaran tertentu dapat saja penggunaan papan tulis lebih efektif dan lebih efesien daripada penggunaan LCD, apabila bahan ajarnya dikemas dengan tepat serta disajikan kepada siswa yang tepat pula. Sungguhpun demikian, secara operasional ada sejumlah pertimbangan dalam memilih media pembelajaran yang tepat, antara lain : Access Kemudahan akses menjadi pertimbangan pertama dalam memilih media. Apakah media yang diperlukan itu tersedia, mudah dan dapat dimanfaatkan oleh murid? Misalnya, kita ingin menggunakan media internet, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu, apakah ada saluran untuk koneksi ke internet, adakah jaringan teleponnya? Akses juga menyangkut aspek kebijakan, misalnya apakah murid diizinkan untuk menggunakan komputer yang terhubung ke internet? Jangan hanya kepala sekolah saja yang boleh menggunakan internet, tetapi juga guru/karyawan dan murid. Bahkan murid lebih penting untuk memperoleh akses. Cost Biaya juga harus menjadi bahan pertimbangan. Banyak jenis media yang dapat menjadi pilihan kita. Media pembelajaran yang canggih biasanya mahal. Namun biaya itu harus kita hitung dengan aspek manfaat. Sebab semakin 82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Pendayagunaan Media Pembelajaran banyak yang menggunakan, maka unit cost dari sebuah media akan semakin menurun. Technology Mungkin saja kita tertarik kepada satu media tertentu. Tetapi kita perlu memperhatikan apakah teknisinya tersedia dan mudah menggunakannya? Katakanlah kita ingin menggunakan media audio visual untuk di kelas, perlu kita pertimbangkan, apakah ada aliran listriknya, apakah voltase listriknya cukup dan sesuai, bagaimana cara mengoperasikannya? Interactivity Media yang baik adalah yang dapat memunculkan komunikasi dua arah atau interaktivitas. Semua kegiatan pembelajaran yang akan dikembangkan oleh guru tentu saja memerlukan media yang sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut. Organization Pertimbangan yang juga penting adalah dukungan organisasi. Misalnya apakah pimpinan sekolah atau pimpinan yayasan mendukung? Bagaimana pengorganisasiannya? Apakah di sekolah tersedia sarana yang disebut pusat sumber belajar? Novelty Kebaruan dari media yang akan dipilih juga harus menjadi pertimbangan. Sebab media yang lebih baru biasanya lebih baik dan lebih menarik bagi murid. Dari beberapa pertimbangan di atas, yang terpenting adalah adanya perubahan sikap guru agar mau memanfaatkan dan mengembangkan media pembelajaran yang “mudah dan murah”, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungan sekitarnya serta memunculkan ide dan kreativitas yang dimilikinya. Penutup Tidak diragukan lagi bahwa semua guru sepakat bahwa media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam memilih media, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 83 Pendayagunaan Media Pembelajaran Daftar Pustaka Arif, Zainuddin. (1994). Andragogi. Bandung: Angkasa DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. (1999). Quantum learning, membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan. Bandung: KAIFA De Porter, Bobbi; Mark Reardon & Sarah Singer-Nourie. (2002). Quantum teaching, mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: KAIFA Kemp, Jerrold E. (1994). Designing effective instruction. New York: MacMillan Publisher Sadiman, Arief. (1990). Media pendidikan, pengertian pengembangan dan pemanfaatan. Jakarta: Rajawali 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Opini Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning Drs. Tafiardi*) Abstrak ejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi terutama teknologi informasi, pemanfaatan internet dalam bidang pendidikan terus berkembang. Pemanfaatan internet ini tidak hanya untuk pendidikan jarak jauh, akan tetapi juga dikembangkan dalam sistem pendidikan konvensional. E-learning adalah suatu model pembelajaran yang dibuat dalam format digital melalui perangkat elektronik. Tujuan digunakannya e-learning dalam sistem pembelajaran adalah untuk memperluas akses pendidikan ke masyarakat luas. S Kata kunci: Internet, mutu pendidikan, teknologi informasi, world wide web , e-learning Abstract In line with the development of technologiy and science especially in information technology, the usage of internet in education is increasing intensively. The internet is used not only for the long distance learning system but it is also for the conventional education system. One of the facilities availeble in the internet is e-learning. E-Learning is a learning model made in digital format through electronical instrument namely internet. The intent of using e-Learning in education system is to expand the acces of the educational process to the larger community. Pendahuluan Ilmu dan teknologi terutama teknologi informasi berkembang sangat pesat yang berdampak pada pelbagai perubahan sosial budaya. Contohnya ecommerce merupakan salah satu perubahan radikal dalam aspek ekonomi masyarakat modern saat ini. Di sektor pemerintahan ada e-government dan di sektor pendidikan sudah berkembang apa yang disebut e-learning. *) Dosen Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 85 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning Di Indonesia pemanfaatan teknologi internet dimulai sekitar tahun 1995 ketika IndoInternet membuka jasa layanan internet dan tahun 1997-an mulai berkembang pesat. Namun kini pemanfaatan teknologi ini masih didominasi oleh lembaga seperti perbankan, perdagangan, media massa, atau kalangan industri. Bila dilihat potensinya, dalam waktu mendatang mungkin saja lembaga pendidikan akan mendominasinya. Pemanfatan teknologi internet untuk pendidikan di Indonesia secara resmi dimulai sejak dibentuknya telematika tahun 1996. Seiring perkembangan zaman, pemanfaatan internet untuk pendidikan di Indonesia khususnya di perguruan tinggi terus berkembang yang dipelopori oleh Institut Teknologi Bandung. Pemanfaatan internet untuk pendidikan ini tidak hanya untuk pendidikan jarak jauh, akan tetapi juga dikembangkan dalam sistem pendidikan konvensional. Kini sudah banyak lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi yang sudah mulai merintis dan mengembangkan model pembelajaran berbasis internet dalam mendukung sistem pendidikan konvensional. Internet sebagai media baru belum memasyarakat. Demikian pula orang-orang yang terlibat dalam lembaga pendidikan belum terbiasa menggunakan internet. Penyelenggaraan pendidikan nasional yang bersifat konvensional, mengalami banyak kendala ketika dituntut untuk memberikan pelayanannya bagi masyarakat luas yang tersebar di seluruh Nusantara. Kendala tersebut antara lain keterbatasan finansial, jauhnya lokasi, dan keterbatasan jumlah institusi. Saat ini telah berkembang teknologi informasi yang dapat dimanfaatan untuk mengatasi kendala tersebut. Sudah saatnya teknologi informasi dimanfaatkan secara optimal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Terlebih di masa depan pendidikan akan mengahadapi persaingan global yang sangat ketat. Agar dapat memenangkan ataupun dapat ikut bermain dalam dinamika global membutuhkan prasyarat kekuatan kepercayaan diri dan kemandirian. Oleh karena itu artikel ini akan membahas tentang kemungkinan pengembangan mutu pendidikan melalui e-learning. Pengertian Electronic learning kini semakin dikenal sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah pendidikan, baik di negara-negara maju maupun di negara yang sedang berkembang. Banyak orang menggunakan istilah yang berbeda-beda dengan e-learning, namun pada prinsipnya e-learning adalah pembelajaran yang menggunakan jasa elektronika sebagai alat bantunya. E-learning memang merupakan suatu teknologi pembelajaran yang yang relatif baru di Indonesia. 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning Untuk menyederhanakan istilah, maka electronic learning disingkat menjadi e-learning. Kata ini terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam pelaksanaannya e-learning menggunakan jasa audio, video atau perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan kata lain e-learning adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, vidiotape, transmisi satelite atau komputer. Banyak hal yang mendorong mengapa e-learning menjadi salah satu pilihan untuk peningkatan mutu pendidikan, antara lain pesatnya fasilitas teknologi informasi, dan perkembangan pengguna internet di dunia saat ini berkembang dengan cepat. Penggunaan internet menjadi suatu kebutuhan dalam mendukung pekerjaan atau tugas sehari-hari. Apalagi dengan tersedianya fasilitas jaringan (Internet infrastructure) dan koneksi internet (Internet Connections). Serta tersedianya piranti lunak pembelajaran (management course tools). Juga orang yang terampil mengoperasikan atau menggunakan internet semakin meningkat jumlahnya (Soekartawi, 2002). Internet Sebagai Media Pendidikan Internet adalah jaringan komputer. Tetapi jaringan komputer belum tentu internet. Jaringan sekelompok komputer yang sifatnya terbatas disebut sebagai jaringan lokal (Local Area Network). Internet merupakan jaringan yang terdiri atas ribuan bahkan jutaan komputer, termasuk di dalamnya jaringan lokal, yang terhubungkan melalui saluran (satelit, telepon, kabel) dan jangkauanya mencakup seluruh dunia (Kamarga, 2002). Jaringan ini bukan merupakan suatu organisasi atau institusi, sifatnya bebas, karena itu tidak ada pihak yang mengatur dan memilikinya. Internet lahir pada masa perang dingin sekitar tahun 1969. Digunakan pertama kali untuk keperluan militer (Ahmad Bustami, 1999). Jaringan ini menghubungkan antarkomputer di daerah-daerah vital dalam rangka mengatasi masalah jika terjadi serangan nuklir. Jaringan komputer berkembang sangat pesat dan dipecah menjadi dua bagian Milnet dan Arpanet. Milnet digunakan khusus untuk keperluan militer, sedangkan Arpanet digunakan untuk keperluan nonmiliter terutama perguruan tinggi. Gabungan kedua jaringan ini pada akhirnya dikenal dengan nama Darpa Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi internet. Penemuan internet dianggap sebagai penemuan yang cukup besar, yang mengubah dunia dari bersifat lokal atau regional menjadi global. Sumbersumber informasi dunia dapat diakses oleh siapa pun dan di mana pun melalui Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 87 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning jaringan internet. Melalui internet faktor jarak dan waktu sudah tidak menjadi masalah. Dunia seolah-olah menjadi kecil, dan komunikasi menjadi mudah. Dalam hal ini Onno W. Purbo (2001) melukiskan bahwa internet juga telah mengubah metode komunikasi massa dan penyebaran data atau informasi secara fleksibel dan mengintegrasikan seluruh bentuk media massa konvensional seperti media cetak dan audio visual. Internet memiliki banyak fasilitas yang telah digunakan dalam berbagai bidang, seperti militer, media massa, bisnis, dan juga untuk pendidikan. Fasilitas tersebut antara lain: e-mail, Telnet, Internet Relay Chat, Newsgroup, Mailing List (Milis), File Transfer Protocol (FTP), atau World Wide Web (WWW). Di antara banyak fasilitas tersebut menurut Onno W. Purbo (1997), “ada lima aplikasi standar internet yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, yaitu e-mail, Mailing List (milis), News group, File Transfer Protocol (FTC), dan World Wide Web (WWW)”. Electronic mail (e-mail), mulai diperkenalkan tahun 1971 ( http:// www.livinginternet.com). Fasilitas ini sering disebut sebagai surat elektronik, merupakan fasilitas yang paling sederhana dan mudah digunakan. Dalam survei yang dilakukan sebuah lembaga riset Amerika Serikat (Graphics, Visualization and Usability Center) diketahui bahwa 84% responden memilih e-mail sebagai aplikasi terpenting internet, lebih penting daripada web. (http:// www.gvu.gatech..edu/user_surveis/). Mailing List mulai diperkenalkan setelah e-mail yaitu sejak tahun 1972 (http://www.livinginternet.com). Ini merupakan salah satu fasilitas yang dapat digunakan untuk membuat kelompok diskusi atau penyebaran informasi. Cara kerja mailing list adalah pemilik e-mail dapat bergabung dalam sebuah kelompok diskusi, atau bertukar informasi yang tidak dapat diintervensi oleh orang di luar kelompoknya. Komunikasi melalui fasilitas ini sama seperti e-mail bersifat tidak langsung (asynchronous). News group adalah fasilitas internet yang dapat dilakukan untuk komunikasi antar dua orang atau lebih secara serentak (waktu bersamaan) atau bersifat langsung (synchronous). Bentuk pertemuan ini sering disebut sebagai konferensi, dengan fasilitas video conferencing, atau teks saja, atau bisa audio dengan menggunakan fasilitas chat (IRC). Melalui fasilitas File Transfer Protocol (FTC) ini orang dapat menstransfer data/file dari satu komputer ke internet (up-load) sehingga bisa diakses oleh pengguna internet di seluruh pelosok dunia. Di samping itu fasilitas ini dapat mengambil arsip/file dari situs internet ke dalam komputer pengguna (download). World Wide Web atau sering disebut Web mulai diperkenalkan tahun 1990-an (http://www.livinginternet.com). Fasilitas ini merupakan kumpulan dokumentasi terbesar yang tersimpan dalam berbagai server yang terhubung menjadi suatu jaringan (internet). Dokumen ini dikembangkan dalam format 88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning hypertext 2), dengan menggunakan Hypertext Markup Language (HTML). Melalui format ini dimungkinkan terjadinya link dari satu dokumen ke dokumen/ bagian lain. Selain itu fasilitas ini bersifat multimedia, yang terdiri dari kombinasi unsur teks, foto, grafika, audio, animasi, dan juga video. Teknologi internet pada hakikatnya merupakan perkembangan dari teknologi komunikasi generasi sebelumnya. Media seperti radio, televisi, video, multi media, dan media lainnya telah digunakan dan dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan. Apalagi media internet yang memiliki sifat interaktif, bisa sebagai media massa dan interpersonal, gudangnya sumber informasi dari berbagai penjuru dunia, sangat dimungkinkan menjadi media pendidikan lebih unggul dari generasi sebelumnya. Dengan fasilitas yang dimilikinya. Menurut Onno W. Purbo (1998) paling tidak ada tiga hal dampak positif penggunaan internet dalam pendidikan yaitu: a. Peserta didik dapat dengan mudah mengambil mata kuliah di mana pun di seluruh dunia tanpa batas institusi atau batas negara. b. Peserta didik dapat dengan mudah berguru pada para ahli di bidang yang diminatinya. c. Kuliah/belajar dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa bergantung pada universitas/sekolah tempat si mahasiswa belajar. Di samping itu kini hadir perpustakan internet yang lebih dinamis dan bisa digunakan di seluruh jagat raya. Menurutnya, manfaat internet bagi pendidikan adalah dapat menjadi akses kepada sumber informasi, akses kepada nara sumber, dan sebagai media kerjasama. Akses kepada sumber informasi yaitu sebagai perpustakaan online, sumber literatur, akses hasil-hasil penelitian, dan akses kepada materi kuliah. Akses kepada nara sumber bisa dilakukan komunikasi tanpa harus bertemu secara phisik. Sedangkan sebagai media kerjasama internet bisa menjadi media untuk melakukan penelitian bersama atau membuat semacam makalah bersama. Mengingat topografi dan demografi penduduk Indonesia yang kurang menguntungkan, maka kita sudah saatnya memikirkan sistem pendidikan yang dapat dijangkau oleh penduduk paling terpencil dan paling minim sumber dayanya. Dilihat dari upaya penerapan teknologi tersebut, sungguh banyak potensi yang dapat dijadikan modal dasar penerapan teknologi informasi dalam pendidikan masyarakat. Ada beberapa alasan yang dapat diangkat, bahwa teknologi informasi dapat diterapkan dalam media pendidikan, di antaranya: Pertama, banyak sekolah yang memiliki komputer sendiri sehingga dimungkinkan untuk dikembangkan paket belajar Personal-Interaktif yang materi ajarnya dikemas dalam suatu software. Peserta dapat belajar dengan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 89 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning cara menjalankan program komputer atau perangkat lunak tersebut di komputer secara mandiri dan di lokasi masing-masing. Melalui paket program belajar ini peserta ajar dapat melakukan simulasi atau juga umpan balik tentang kemajuan belajarnya. Kedua, Negara Indonesia terdiri atas ribuan pulau yang tersebar dalam wilayah yang sangat luas, serta dihuni lebih dari 200 juta penduduk dengan distribusi secara tidak homogen. Kondisi ini memang disadari memiliki kendala ketika akan diterapkan sistem pendidikan konvensional (tatap muka). Maka teknologi informasi yang mungkin diterapkan untuk kondisi tersebut adalah melalui jaringan internet. Melalui media ini proses belajar dapat dijalankan secara on line atau di-down-load untuk keperluan off line. Peserta didik dapat mengakses sistem kapan saja dan sesering mungkin (time independence), tidak terbatas pada jam belajar dan tidak tergantung pada tempat (place independence). Fungsi lain yang dapat digunakan untuk proses belajar tersebut melalui e-mail atau grup diskusi, yang dapat berinteraksi dan mengirimkan naskah secara electronic. Pada perguruan tinggi, pemanfaatan teknologi informasi telah dibangun dalam suatu sistem yang disebut e-University (electronic university). Pengembangan e-University ini bertujuan mendukung penyelenggaraan pendidikan sehingga dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya baik di dalam (internal) maupun diluar (eksternal) perguruan tinggi tersebut. Ketiga, untuk kesamaan mutu dalam memperolah materi, dikembangkan paket belajar terdistribusi yaitu materi belajar ditempatkan/disimpan di sebuah server yang tersambung ke internet sehingga dapat diambil oleh peserta ajar baik memakai Web-Browser ataupun File Transport Protocol (aplikasi pengiriman file). Internet sebagai media pendidikan memiliki keunggulan, dan kelemahan. Budi Rahardjo menyatakan bahwa infrastruktur internet masih terbatas dan mahal. Keterbatasan dana, dan budaya baca kita masih lemah. Di sinilah tantangan bagaimana mengembangkan model pembelajaran melalui internet. Metode Pembelajaran Pada dasarnya cara penyampaian atau cara pemberian (delivery system) dari e-learning, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi atau interaksi antara guru dan murid memang sebaiknya melalui sistem dua arah. Dalam e-learning, sistem dua arah ini juga bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a. Dilaksanakan melalui cara langsung artinya pada saat instruktur memberikan pelajaran, murid dapat langsung mendengarkan. 90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning b. Dilaksanakan melalui cara tidak langsung misalnya pesan dari instruktur direkam dahulu sebelum digunakan. Karakteristik e-learning ini antara lain adalah: a. Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal yang bersifat protokoler. b. Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan computer networks) c. Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehingga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila yang bersangkutan memerlukannya d. Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer. Pemanfaatan e-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan mempengaruhi tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar mengajar didominasi oleh peran guru, karena itu disebut the era of teacher. Kini, proses belajar dan mengajar, banyak didominasi oleh peran guru dan buku (the era of teacher and book) dan pada masa mendatang proses belajar dan mengajar akan didominasi oleh peran guru, buku dan teknologi (the era of teacher, book and technology). Dalam era global seperti sekarang ini, setuju atau tidak, mau atau tidak mau, kita harus berhubungan dengan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini disebabkan karena teknologi tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, kita sebaiknya tidak ‘gagap’ teknologi. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa siapa yang terlambat menguasai informasi, maka terlambat pulalah memperoleh kesempatan untuk maju. Informasi sudah merupakan ‘komoditi’ sebagai layaknya barang ekonomi yang lain. Peran informasi menjadi kian besar dan nyata dalam dunia modern sekarang ini. Hal ini bisa dimengerti karena masyarakat sekarang menuju pada era masyarakat informasi (information age) atau masyarakat ilmu pengetahuan (knowledge society). Oleh karena itu tidak mengherankan kalau ada perguruan tinggi yang menawarkan jurusan informasi atau teknologi informasi, maka perguruan tinggi tersebut berkembang menjadi pesat. Perkembangan pengguna internet di dunia ini berkembang sangat cepat karena beberapa hal, antara lain: (a). Menggunakan internet adalah suatu kebutuhan untuk mendukung pekerjaan atau tugas sehari-hari Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 91 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning (b). Tersedianya fasilitas jaringan (Internet infrastructure) and koneksi internet (Internet Connections) (c). Semakin tersedianya piranti lunak pembelajaran (management course tools) (d). Keterampilan jumlah orang yang mengoperasikan atau menggunakan internet (e). Kebijakan yang mendukung pelaksanaan program yang menggunakan internet tersebut (Soekartawi, 2002). Pemanfaatan internet di Indonesia pada tahap ‘baru mulai’. Sebenarnya pemanfatan internet untuk e-learning di Indonesia bisa ditingkatkan kalau fasilitas yang mendukungnya memadai, baik fasilitas yang berupa infrastruktur maupun fasilitas yang bersifat kebijakan. Hal ini bukan saja didukung oleh data seperti yang disajikan di atas, namun juga semakin banyaknya warungwarung internet (Internet Kios) yang muncul di pelosok Indonesia. Pengguna internet bukan saja dari kalangan pelajar dan mahasiswa, namun juga dari kalangan masyarakat yang lain. Hal ini bisa dipakai sebagai indikasi bahwa internet memang diperlukan untuk membantu kelancaranan pekerjaan atau tugas-tugas pengguna internet. Pengembangan e-learning tidak semata-mata hanya menyajikan materi pelajaran secara on-line saja, namun harus komunikatif dan menarik. Materi pelajaran didesain seolah peserta didik belajar di hadapan pengajar melalui layar komputer yang dihubungkan melalui jaringan internet. Untuk dapat menghasilkan e-learning yang menarik dan diminati, Onno W. Purbo (2002) mensyaratkan tiga hal yang wajib dipenuhi dalam merancang e-learning, yaitu “sederhana, personal, dan cepat”. Sistem yang sederhana akan memudahkan peserta didik dalam memanfaatkan teknologi dan menu yang ada , dengan kemudahan pada panel yang disediakan, akan mengurangi pengenalan sistem e-learning itu sendiri, sehingga waktu belajar peserta dapat diefisienkan untuk proses belajar itu sendiri dan bukan pada belajar menggunakan sistem elearning-nya. Syarat personal berarti pengajar dapat berinteraksi dengan baik seperti layaknya seorang guru yang berkomunikasi dengan murid di depan kelas. Dengan pendekatan dan interaksi yang lebih personal, peserta didik diperhatikan kemajuannya, serta dibantu segala persoalan yang dihadapinya. Hal ini akan membuat peserta didik betah berlama-lama di depan layar komputernya. Kemudian layanan ini ditunjang dengan kecepatan, respon yang cepat terhadap keluhan dan kebutuhan peserta didik lainnya. Dengan demikian perbaikan pembelajaran dapat dilakukan secepat mungkin oleh pengajar atau 92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning pengelola. Untuk meningkatkan daya tarik belajar, Onno W. Purbo menambahkan perlunya menggunakan teori games. Teori ini dikemukakan setelah diadakan sebuah pengamatan terhadap perilaku para penggemar games komputer yang berkembang sangat pesat. Bermain games komputer sangatlah mengasyikan. Para pemain akan dibuat hanyut dengan karakter yang dimainkannya lewat komputer tersebut. Bahkan mampu duduk berjamjam dan memainkan permainan tersebut dengan senang hati. Fenomena ini sangat menarik dalam mendesain e-learning. Dengan membuat sistem elearning yang mampu menghanyutkan peserta didik untuk mengikuti setiap langkah belajar di dalamnya seperti layaknya ketika bermain sebuah games. Penerapan teori games dalam merancang materi e-learning perlu dipertimbangkan karena pada dasarnya setiap manusia menyukai permainan. Secara ringkas, e-learning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam sistem digital melalui internet. Karena itu e-leraning perlu mengadaptasi unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem pembelajaran konvensional. Misalnya dimulai dari perumusan tujuan yang operasional dan dapat diukur, ada apersepsi atau pre tes, membangkitkan motivasi, menggunakan bahasa yang komunikatif, uraian materi yang jelas, contoh-contoh konkrit, problem solving, tanya jawab, diskusi, post test, sampai penugasan dan kegiatan tindak lanjutnya. Oleh karena itu merancang e-learning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar, ahli materi, ahli komunikasi, programmer, seniman, dan lain-lain. Faktor-Faktor dalam Pemanfaatan E-Learning Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo, 2002) antara lain: a. Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah memang memerlukan e-learning. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas saran orang lain. Setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis kebutuhan atau need analysis yang mencakup studi kelayakan baik secara teknis, ekonomis, maupun social. b. Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik, satuan kredit, bahan ajar/kurikulum. c. Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut mengevaluasi. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 93 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering dihadapi yaitu: a. Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan internet, listrik, telepon dan infrastruktur yang lain. b. Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana mengusahakan piranti lunak yang tidak mahal. c. Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada. d. Masalah skill and knowledge. Oleh karena itu perlu diciptakan bagaimana semuanya mempunyai sikap yang positif terhadap media internet dan perangkatnya sehingga penggunaan teknologi baru bisa mempercepat pembangunan. Kelebihan dan Kekurangan E-Learning Menyadari bahwa di internet dapat ditemukan berbagai informasi dan informasi itu dapat diakses secara lebih mudah, kapan saja dan di mana saja, maka pemanfaatan internet menjadi suatu kebutuhan. Bukan itu saja, pengguna internet bisa berkomunikasi dengan pihak lain dengan cara yang sangat mudah melalui teknik e-moderating yang tersedia di internet. Contoh SMART School di Malaysia. Ada empat hal yang perlu disiapkan sebelum pemanfaatan internet untuk e-learning yaitu: a. Melakukan penyesuaian kurikulum. Kurikulum sifatnya holistik. Pengetahuan, keterampilan dan nilai (values) diintegrasikan dengan kebutuhan di era informasi ini. Kurikulumnya bersifat competency based curriculum. b. Melakukan variasi cara mengajar untuk mencapai dasar kompetensi yang ingin dicapai dengan bantuan komputer. c. Melakukan penilaian dengan memanfaatkan teknologi yang ada (menggunakan komputer, online assessment system) d. Menyediakan material pembelajaran seperti buku, komputer, multimedia, studio, dll yang memadai. Materi pembelajaran yang disimpan di komputer dapat diakses dengan mudah baik oleh guru maupun siswa. Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi yang tersedia di literatur, memberikan penjelasan tentang manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Soekartawi, 2002), antara lain dapat disebutkan sbb: a. Ters edianya fasi litas e-moderating. Guru dan s iswa dapat berkomunikasisecara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu. b. Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar 94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari. c. Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer. d. Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah. e. Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. f. Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif g. Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di luar negeri, dsb-nya. Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau elearning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan antara lain: a. Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar. b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis c. Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan bukan pendidikan. d. Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut menguasai teknik pembelajaran yang menggunakan internet. e. Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung gagal f. Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun komputer). g. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan bidang internet dan kurangnya penguasaan bahasa komputer. Kini pemerintah telah berupaya untuk memanfaatkan dan memaksimalkan tersedianya informasi teknologi dengan membentuk Kantor Menteri Negara Informasi dan Teknologi. Di tiap departemen bahkan ada unit yang menangani teknologi informasi. Di Depdiknas misalnya ada Pustekkom atau Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi untuk Pendidikan; di tiap Universitas ada Pusat Komputer, dan masih banyak contoh lain. Sayangnya cyberlaws di Indonesia yang juga pernah dibahas dan disiapkan, belum juga selesai hingga kini. E-learning kini banyak digunakan oleh para penyelenggara pendidikan terbuka dan jarak jauh. Kalau dahulu hanya Universitas Terbuka yang diijinkan menyelenggarakan pendidikan jarak jauh, maka kini dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.107/U/2001 (2 Juli 2001) tentang Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 95 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning ‘Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh’, maka perguruan tinggi tertentu yang mempunyai kapasitas menyelenggarakan pendidikan terbuka dan jarak jauh menggunakan e-learning, juga telah diijinkan menyelenggarakannya. Lembaga-lembaga pendidikan non-formal seperti kursus-kursus, juga telah memafaatkan keunggulan e-learning ini untuk program-programnya. Begitu pula halnya dengan Undang-Undang Pendidikan yang baru nanti, yang segera akan disahkan oleh DPR, juga akan mengatur penyelenggaraan pendidikan terbuka dan jarak jauh di Indonesia dengan menggunakan teknologi e-learning. Bahan Ajar Melalui E-learning Melalui pemanfaatkan teknologi informasi, diharapkan materi ajar dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Akses terhadap materi ajar sebenarnya dapat diatur bila dikehendaki karena tersedia fasilitas pengaman. Hanya orang yang telah mendaftar saja yang bisa mengakses materi ajar tersebut. Karena mahalnya pembuatan bahan ajar maka negara sebagai penanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa perlu menyiapkan bahan tersebut sehingga dapat dipakai di seluruh Indonesia. Persoalan mendasar berkenaan dengan model ajar ini, adalah keterbatasan pihak sekolah untuk menyediakan komputer termasuk internet dalam proses pengajaran. Oleh karena itu perlu ada aksi untuk menyiapkan institusi pendidikan (ready for learning), yaitu dengan cara melibatkan para guru dan departemen terkait, misalnya depdiknas, dan departemen ristek yang ada di wilayah masing-masing. Mereka ini harus menyiapkan termasuk mengetahui materi ajar yang tersedia dan cara akses atau mendapatkannya. Mereka bertanggungjawab membantu institus i pendidi kan termas uk mengkomunikasikan materi ajar yang tidak dipahami sehingga dapat mempelajarinya dalam waktu tertentu. Saat ini telah banyak sekali sumber belajar yang berbasis komputer bahkan berbasis multmedia (buatan dalam dan luar negeri) baik yang berfungsi sebagai materi pokok, maupun sebagai materi pengayaan. Namun penelitian tentang dampak dari penggunaan sumber belajar tersebut belum banyak dilakukan, terutama dalam hal kemungkinan adanya miskonsepsi yang ditimbulkan oleh sumber belajar itu. Oleh karena itu, studi tentang pengembangan, uji coba dan standardisasi perangkat lunak komputer kependidikan harus segera dilakukan oleh departemen atau pihak yang berkepentingan dan kita semua. Kesimpulan Kebijakan institusi pendidikan dalam memanfaatkan teknologi internet menuju e-learning perlu kajian dan rancangan mendalam. E-learning bukan semata-mata hanya memindahkan semua pembelajaran pada internet. Hakikat 96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui E-Learning e-learning adalah proses pembelajaran yang dituangkan melalui teknologi internet. Di samping itu prinsip sederhana, personal, dan cepat perlu dipertimbangkan. Untuk menambah daya tarik dapat pula menggunakan teori games Oleh karena itu prinsip dan komunikasi pembelajaran perlu didesain seperti layaknya pembelajaran konvensional. Di sini perlunya pengembangan model e-learning yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa media pembelajaran secanggih apapun tidak akan bisa menggantikan sepenuhnya peran guru/dosen. Penanaman nila-nilai dan sentuhan kepribadian sulit dilakukan. Di sini tantangan bagi para pengambil kebijakan dan perancang e-learning. Oleh karena itu penulis sependapat bahwa dalam sistem pendidikan konvensional, fungsi elearning adalah untuk memperkaya wawasan dan pemahaman peserta didik, serta proses pembiasaan agar melek sumber belajar khususnya teknologi internet. Daftar Pustaka Anwas, Oos M. (2000). Internet: Peluang dan tantangan pendidikan nasional. Jakarta: Jurnal Teknodik Depdiknas Hartanto, A.A. dan Purbo, O.W. (2002). Teknologi e-learning berbasis php dan mysql. Jakarta: Elex Media Komputindo Kamarga, Hanny. (2002). Belajar sejarah melalui e-learning; Alternatif mengakses sumber informasi kesejarahan. Jakarta: Inti Media Purbo, Onno W. (2001). Masyarakat pengguna internet di Indonesia. Available, http://www.geocities.com/inrecent/project.html. (4 November 2002). Rahardjo, Budi. (2001). Pergolakan informasi di Indonesia akan sia-sia?. Artikel Majalah Tempo. Jakarta: November 2001 Suwarno dan Alvin Y. (2000). Perubahan sosial dan pembangunan. Jakarta: LP3ES Soekartawi (2002) . Prospek pembelajaran melalui internet. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional ‘Teknologi Kependidikan’ yang diselenggarakan oleh UT-Pustekkom dan IPTPI, Jakarta, 18-19 Juli 2002 Tung, Khoe Yao. (2000). Pendidikan dan riset di internet. Jakarta: Dinastindo Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 97 Opini Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Yuli Kwartolo, S.Pd*) Abstrak ntuk mempersiapkan diri menjadi guru berkualitas dibutuhkan paling sedikit 10 kompetensi profesional yang kemudian dapat dirangkum menjadi dua kompetensi utama yaitu penguasaan bahan pelajaran dan dapat mengajarkan bahan tersebut secara jelas dan menarik. Untuk membantu menerapkan kompetensi profesional itu di kelas, penulis mengusulkan penggunaan pendekatan micro teaching. U Kata kunci : Guru, mutu, mengajar, penguasaan bahan ajar Abstract There are at least ten profesional competencies which have to be mastered if a teacher wants to be a qualified teacher. The ten profesional competencies then can be categorized to become two competencies namely: The ability to master the subject matter well and the ability to present that subject matter clearly and interestingly. To support the application of the profesioanl competencies, the writter proposes a Micro Teaching Approach. Pendahuluan Kualitas guru sampai saat ini tetap menjadi persoalan yang penting (crucial ). Menjadi persoalan yang crucial oleh karena pada kenyataannya keberadaan guru di berbagai jenjang, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas oleh sebagian kalangan dinilai jauh dari performa yang distandarkan. Seorang Yohanes Surya (pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia atau TOFI yang juga Guru Besar Universitas Pelita Harapan) pun melihatnya begitu. Demikian juga dengan pendapat Dodi Nandika (Kepala Balitbang Depdiknas), kualitas guru menjadi persoalan yang serius di negeri ini. Penilaian kedua tokoh itu tidaklah berlebihan. Hal itu didasarkan pada hasil tes Trend in International Mathematics and Science Study (TIMMSS) *) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta 98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching 2003. Hasil tes itu menempatkan siswa Indonesia di peringkat 34 penguasaan matematika dan peringkat 36 penguasaan sains dari 48 negara yang disurvei. Peringkat itu jauh tertinggal dari negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Singapura berada di peringkat pertama, baik matematika maupun sains, Malaysia peringkat 10 bidang matematika dan peringkat 20 bidang Sains (Republika, 24 Desember 2004). Rendahnya kemampuan anak didik pada mata pelajaran matematika dan sains memang tidak terlepas dari kemampaun/kualitas guru dalam mengajar siswanya, dan minimnya ketersediaaan sumber-sumber belajar. Keadaan yang demikian itu sudah barang tentu sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Akibat lebih jauh, lulusan dari berbagai jenjang pendidikan tidak memenuhi harapan. Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah, misalnya dengan penataran, pembekalan, seminar, diskusi, sampai penelitian yang intinya bertujuan meningkatkan kualitas guru. Dalam lingkup yang lebih sempit, BPK PENABUR juga menghadapi persoalan yang klasik tersebut, yaitu ada sebagian guru kompetensi mengajarnya belum memenuhi tuntutan yang semestinya. Menguasai materi yang diajarkan saja tidaklah cukup. Ia harus dapat menyampaikan materi pelajaran tersebut dengan baik. Makna “dengan baik” di sini sudah inheren di dalamnya, bicara jelas; pemilihan metode yang tepat; penggunaan pendekatan pembelajaran yang sesuai; penggunaan media pembelajaran yang efektif; sampai pada penampilan fisiknya (gerak-gerik di kelas, mimik muka, ekspresi, dan sebagainya). Melalui artikel ini penulis ingin menyampaikan gagasan-gagasan yang mungkin dapat berguna untuk meningkatkan kualitas guru di lingkup BPK PENABUR. Seperti judul artikel, “Menyiapkan Guru Yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching”, maka pembahasannya difokuskan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana mempersiapkan diri menjadi guru? Bagaimana kriteria guru yang berkualitas? Bagaimana konsepsi micro teaching? Prasyarat apa yang dibutuhkan untuk melaksanakan micro teaching? Bagaimana aplikasi micro teaching? Adakah manfaat micro teaching secara lebih luas? Seperti apa contoh rencana pelajaran micro teaching? Persiapan Diri Menjadi Guru Secara akademik jika seseorang ingin menjadi guru ia harus menempuh pendidikan keguruan. Guru TK dan SD masuk ke PGSD, guru SMP dan sekolah lanjutan atas masuk FKIP atau IKIP (sudah melebur di dalam universitas). Akan tetapi mereka yang lulusan universitas dengan disipilin ilmu murni, misalnya kimia, dapat menjadi guru dengan syarat sudah menempuh program Akta IV. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 99 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Namun demikian persiapan menjadi guru tidak semata-mata melalui jalur pendidikan formal. Faktor internal yang ada di dalam diri seseorang juga mempengaruhi kesuksesan orang menjadi guru. Kesuksesan bukan dalam arti kaya secara duniawi, melainkan kesuksesan karena ia benar-benar menjadi seorang guru yang berkualitas (profesional) ditinjau dari berbagai aspek. Jika faktor internal seperti motivasi dan bakat sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang menjadi guru, maka tesis yang dikemukan oleh James Phopam dalam bukunya “Bagaimana Mengajar Secara Sistematis”, bahwa guru itu dilahirkan bukan dibentuk seolah menjadi pembenaran. Lebih lanjut dikemukakan, tidak setiap guru membutuhkan pertolongan. Beberapa orang memang benar-benar dilahirkan sebagai guru. Termasuk di dalam golongan ini adalah, orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana caranya mengajar. Meskipun demikian orang-orang semacam itu tidak banyak memerlukan pertolongan dalam memperbaiki pengajaran. Mereka sungguhsungguh boleh dikatakan sebagai guru-guru yang berbakat; tidak diragukan lagi mereka itu mampu memberi inspirasi. Dalam konteks ini dapat dianalogikan, meskipun seseorang sudah menempuh pendidikan keguruan baik itu program diploma atau S1, namun setelah terjun di dalam kelas tidak menunjukkan performance yang cukup memadai. Secara materi ia mampu menguasai, namun tidak cukup terampil untuk menyampaikan materi dengan jelas, menarik sehingga mudah dimengerti oleh siswa. Kriteria Guru yang Berkualitas Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman (1992) mempunyai tugas pokok yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki kompetensi. Dalam profesi keguruan kita mengenal istilah kompetensi. Kompetensi itulah yang digunakan untuk menilai apakah seorang guru berkualitas atau tidak. Ada tiga kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu: (1) kompetensi personal, (2) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi profesional. Kompetensi personal lebih menunjukkan pada kematangan pribadi. Di sini aspek mental dan emosional harus benar-benar terjaga. Kompetensi sosial lebih menunjukkan pada kemampuan guru untuk berelasi, berinteraksi. Guru memperlihatkan keluwesan dalam pergaulan dengan siswa, kepala sekolah, dan juga teman sejawat di tempat ia mengajar. Guru bisa menciptakan persahabatan yang baik. Keberadaannya memberi manfaat yang positif. Sedangkan kompetensi profesional lebih menunjukkan pada kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik. Raka Joni (1979) berdasarkan Komisi Kurikulum Bersama P3G menetapkan dan merumuskan bahwa kompetensi profesional guru di Indonesia terdiri atas 10 kompetensi, yakni: (1) menguasai bahan pelajaran; (2) mengelola 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching program pembelajaran; (3) mengelola kelas; (4) menggunakan media dan sumber belajar; (5) menguasai landasan pendidikan; (6) mengelola interaksi belajar mengajar; (7) menilai prestasi belajar; (8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan dan penyuluhan; (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran. Dari kesepuluh kompetensi profesional itu menurut hemat penulis dapat dirangkum menjadi dua kompetensi yang paling utama, yaitu menguasai bahan pelajaran dan dapat mengajarkannya dengan jelas dan menarik. Kedua kompetensi inilah dalam kondisi objektif belum terpenuhi. Mungkin kita pernah mendengar komentar, “Si guru A itu hebat benar penguasaan materinya tetapi tidak bisa mengajar”, atau sebaliknya, “Si guru B itu pandai mengajar tetapi minim penguasaan materi”. Konsepsi Micro Teaching Harus diakui bahwa tidak banyak referensi atau buku-buku yang membahas secara khusus tentang konsepsi micro teaching. Tetapi secara singkat dapat diungkapkan di sini, micro teaching merupakan latihan mengajar yang diorganisasi di mana ada yang berperan sebagai guru dan lainnya sebagai siswa dalam kelas. Setiap pelaksanaan mengajar direkam supaya dapat dilihat kembali dan dievaluasi cara mengajarnya. Micro teaching dilakukan di dalam sebuah ruangan yang dilengkapi dengan berbagai alat/barang yang diperlukan. Sejauh pengetahuan dan pengalaman penulis, ruangan tersebut dapat didesain seperti gambar sebagai berikut: 1 2 3 7 4 8 5 5 5 5 Keterangan gambar: 1) speaker ; 2) white board; 3) meja dan kursi guru; 4) area m engajar; 5) m eja dan kursi audience; 6) kamera video; 7) TV moni tor dan perangkat untuk playback; 8) pintu Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 101 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Prinsip pelaksanaan micro teaching dapat dijelaskan sebagai berikut: guru/ calon guru mengajar di area mengajar. Selama proses itu segala aktivitas guru/calon guru direkam oleh kamera video. Pastikan bahwa gambar dan guru dapat terekam dengan jelas. Pihak pengamat, dalam hal ini kepala sekolah, bagian SDM, guru senior yang ditunjuk dapat memperhatikan penampilan guru/calon guru dengan menempatkan diri di kursi dan meja yang telah tersedia. Sekali-sekali pengamat dapat bertanya, berdiskusi dengan guru/ calon guru supaya proses mengajar lebih hidup. Speaker dapat ditambahkan sepanjang memang dibutuhkan agar suara guru terdengar lebih keras. Setelah selesai, hasil rekaman dapat di diputar kembali (playback) dengan memanfaatkan tv monitor (7). Pada sesi ini calon guru/calon guru dapat melihat kembali penampilannya selama mengajar. Sedangkan pengamat memberi penilaian, menyampaikan kelebihan dan kekurangannya. Di sinilah menjadi titik penting untuk melihat, mengevaluasi, memberi pendapat terhadap kelebihan dan kekurangan guru/calon. Dengan demikian micro teaching dapat dijadikan sebuah pendekatan baru yang inovatif dan aplikatif untuk mempersiapkan performance guru agar lebih kapabel. Prasyarat yang Dibutuhkan untuk Melaksanakan Micro Teaching Prasyarat utama yang dibutuhkan agar micro teaching dapat berjalan adalah, tersedianya sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan kamera video, recorder, mic, penerangan yang cukup. Ukuran ruangan tidak ada standar yang baku. Ukuran ruangan bisa antara 8 m x 6 m, atau 8 m x 7 m. Selanjutnya tersedianya sejumlah sarana lainnya layaknya sebuah ruang kelas. Ada white board, meja dan kursi, OHP kalau memang diperlukan. Dari sisi SDM, memerlukan seorang teknisi atau operator dan sekaligus bertindak sebagai kameraman. Penguasaan teknis rekaman video/audio menjadi prasyarat mutlak. Karena sekarang era komputer, dan hasil rekaman selalu dalam bentuk VCD, maka teknisi itu juga harus terampil memadukan antara kamera video dan komputer agar menjadi sebuah sistem yang berdaya guna. Jika setiap sekolah atau yayasan pedidikan memiliki pendekatan model micro teaching dan efektif dalam pelaksanaannya, maka institusi tersebut sudah satu langkah di depan dibandingkan lembaga pendidikan lainnya yang belum punya. Keberadaan dan operasionalnya dapat dikelola oleh unit, bidang, atau pusat sumber belajar. Aplikasi Micro Teaching Di atas penulis sudah mengemukakan garis besar aplikasi micro teaching. Untuk mempertegas kembali penulis akan menyampaikan secara lebih rinci. 102 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Aplikasi micro teaching dapat berangkat dari sebuah recruitment caloncalon guru. Umpama seorang calon guru sudah lulus tes awal, wawancara, dan psiko test. Tetapi ketiga tahapan itu masih mengandalkan hasil tertulis. Menurut hemat penulis itu belumlah cukup. Calon guru harus juga lulus tes mengajar. Calon guru diminta mengajar di ruang micro teaching. Ia harus benar-benar berperan sebagai guru yang memang sedang mengajar di dalam kelas. Kalau perlu guru diminta untuk membuat kerangka pengajaran. Di sinilah kemampuan mengajar calon guru dipertaruhkan. Aplikasi lainnya dapat juga berangkat dari keprihatinan atas kemampuan mengajar guru. Ini berarti semacam in job training. Guru-guru, baik yang senior maupun yunior perlu penyegaran/peningkatan keterampilan mengajarnya. Mereka dapat menilai sendiri apakah kemampuan mengajarnya yang selama ini mereka “pertotonkan” di depan kelas sudah cukup memadai atau belum. Ini juga memberi pernyataan yang tajam agar para guru tidak mengklaim bahwa penampilan mengajarnya sudah yang terbaik. Garis Besar Pelaksanaan Micro Teaching Sebelum melaksanakan micro teaching ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Berdasarkan sumber yang ada (http://www.ussoccer.com/) disebut dengan istilah Micro Teaching Lesson Plan. Dalam rencana ini disebutkan kesiapan-kesiapan seputar: (1) Peralatan dan bahan. Termasuk di dalamnya transparansi dan OHP, laptop dengan LCD proyektor, layar, spidol, flip chart; (2) Rencana pelajaran. Anda harus lebih fokus untuk persiapan ini. Termasuk di dalamnya perumusan tujuan pelajaran, pengaturan proses pelajaran, partisipasi yang diharapkan, alat bantu/media, dan penutupan micro teaching; (3) Presentasi. Anda dapat meminta pertolongan orang lain untuk mengatur kelas. Tersedia waktu 10 menit untuk presentasi. Jika ternyata melebih waktu yang tersedia, Anda tetap diizinkan menyelesaikan pelajaran Anda; (4) Orientasi. Tahapan ini fokus pada evaluasi yang dilakukan setelah presentasi. Anda dapat mengevaluasi keterampilan Anda, yang meliputi: penampilan, cara/metode, keantusiasan, kontak mata dengan siswa, penggunaan visual, partisipasi aktif kelas, hal-hal yang tidak diharapkan tetapi terjadi (lampu OHP padam, interupsi, dll), modulasi suara, intonasi yang bagus tidak datar. Secara tegas dapat disebutkan di sini, aspek-aspek yang perlu dievaluasi dalam pelaksanaan micro teaching adalah presentasi (volume dan kejelasan suara, kecepatan dan kejelasan ucapan, kontak mata ke kelas, semangat dan keantusiasan); the chalkboard (besar kecil tulisan dan kejelasan tulisan, pengorganisasian materi, penggunaan media pembelajaran, pengaturan waktu, posisi badan; isi (penguasaan materi, perencanaan topik, kesesuaian Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 103 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching penjelasan dengan hal-hal yang telah dirumuskan secara detil, ketergantungan dengan catatan-catatan); dan interaksi kelas (respon terhadap pertanyaan, reaksi terhadap pertanyaan). Manfaat Micro Teaching Secara Lebih Luas Penerapan micro teaching tidak hanya terbatas pada tujuan mencari calon guru yang dapat mengajar dengan baik dan upaya mendorong (encourage) terhadap guru-guru untuk selalu meningkatkan performance-nya. Tetapi masih dapat digunakan dengan tujuan-tujuan lain. Pendekatan micro teaching dapat dimanfaatkan untuk mencari seorang guru menjadi model dalam mengajar. Guru yang dijadikan model memang sudah diakui keandalannya dalam mengajar. Namun demikian tidak harus semua bidang studi ada seorang model guru. Tentukan bidang studi yang dianggap harus ada guru model. Pendekatan ini juga dapat digunakan untuk mengajar tanpa kehadiran guru. Misalnya guru mengajar bidang studi x dengan pokok bahasan y, proses mengajarnya direkam. Jika suatu saat guru itu berhalangan, guru pengganti atau guru piket dapat memutar ulang rekaman itu. Siswa tinggal melihat dan mendengarkan. Materi pengajaran yang disampaikan dengan metode eksperimen, demonstrasi atau ceramah sangat cocok. Masih banyak manfaat lain dari kehadiran micro teaching, tergantung daya kreatif dari orang-orang atau unit yang mendapat tugas untuk mengelolanya. Penutup Pendekatan micro teaching ditujukan untuk pembentukan profesionalitas guru. Sasaran yang hendak dicapai adalah, guru/calon guru supaya memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap serta tingkah laku yang diperlukan bagi profesinya serta cakap dan tepat menggunakannya dalam tugas dan perannya di sekolah. Dengan pendekatan micro teaching guru/ calon guru berlatih mengajar secara terbatas (isolated skill development), namun tetap mengajar yang sesungguhnya secara diawasi (supervised teaching), sebelum mengajar yang sesungguhnya secara penuh (fullresponsibility teaching). Pendekatan micro teaching memberi kesempatan seluas-luasnya bagi guru/calon guru untuk mengeksplorasi semua kelebihannya, memberi kesempatan untuk mengukur kemampuannya. Mereka dapat mengevaluasi diri dan mengetahi, sejauh mana kemampuan dan penampilannya. 104 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Menyiapkan Guru yang Berkualitas dengan Pendekatan Micro Teaching Daftar Pustaka Gordon, Thomas. (1990). Guru yang efektif. Penerjemah: Mudjito. Jakarta: Rajawali Phopam, James dalam Sinurat. (1981). Bagaimana mengajar dengan sistematis. Yogyakarta: Kanisius Harian Republika, 24 Desember 2004. http://filebox.vt.edu/users/cecraig/portweb/islamunit/microref.htm http://www.uns.ac.id/resources/ppl/ http://www.ussoccer.com/ Soetjipto (1994). Profesi keguruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan www.pustekkom.go.id/teknodik/t10/10-6.htm - 50k Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 105 Opini Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming Dr. Theresia Kristianty *) Abstrak mpat belas butir pemikiran tentang peningkatan mutu suatu organisasi yang diusulkan Deming diharapkan dapat diterapkan dalam upaya peningkatan mutu manajemen pendidikan di Indonesia. Dari keempat belas butir pemikiran Deming tersebut, unsur kepemimpinan merupakan unsur utama. E Kata kunci: Peningkatan mutu pendidikan, kepemimpinan, kepala sekolah, murid Abstract Fourteen points of Deming’s thought about increasing the quality of the educational menagement are epected to be implemented in improving educational management quality in Indonesia. It is said that the essence of thing about the Deming’s concept is leadership. Pendahuluan Dalam bidang pendidikan kehadiran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah memberikan angin segar yang menjanjikan, karena pada tataran teoritis, MBS memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melahirkan berbagai kebijakan dan keputusan perbaikan menyangkut kepentingan kemajuan sekolah itu sendiri. Namun setelah ditelusuri, ternyata sekolah belum mampu menempatkan diri sebagai organisasi sosial modern yang berorientasi peningkatan mutu, sehingga pelaksanaan dan pengembangan program terasa tergesa-gesa dan berimplikasi pada kesenjangan pemahaman tentang manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah antara lembaga sekolah dan policy departement (inovator). Sebagai contoh, kepala sekolah sebagai pemimpin ternyata belum mampu memahami dan apalagi mentransfer konsep Manajemen Berbasis Sekolah *) Dosen Universitas Negeri Jakarta 106 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming kepada guru-guru dan karyawan lainnya. Pemahaman dan pelaksanaannya hanya dilakukan sebatas program yang diajukan dalam proposal. Padahal peran kepemimpinan sangat menentukan maju mundurnya suatu organisasi dalam mencapai manajemen kualitas. Oleh karena itu, melalui tulisan ini disajikan beberapa pokok pikiran tentang peningkatan mutu pendidikan cara Deming. Konsep Deming ini memang bukan barang baru, namun masih memiliki greget untuk didiskusikan, terutama pada saat masyarakat Indonesia sedang mempertanyakan mengapa mutu pendidikan di Indonesia cenderung menurun? Pembahasan Pandangan Terhadap Mutu Apakah yang disebut mutu? Jawaban yang diberikan atas pertanyaan ini bisa berbeda-beda, tidak ada dua orang secara tepat dapat mendefinisikan mutu secara tepat. John Stewart, konsultan di McKinsey mengatakan, “Tidak ada definisi tunggal mengenai mutu. Berikut ini dituliskan beberapa kutipan tentang mutu. Mutu adalah perasaan menghargai bahwa sesuatu lebih baik daripada yang lain. Perasaan itu berubah sepanjang waktu dan berubah dari generasi ke generasi, serta bervariasi dengan aspek aktivitas manusia.” Definisi lain, “mutu” seperti yang biasa digunakan dalam manajemen berarti lebih dari ratarata dengan harga yang wajar. Mutu juga berarti memfokuskan pada kemampuan menghasilkan produk dan jasa yang semakin baik dengan harga yang semakin bersaing. Mutu juga berarti melakukan hal-hal yang tepat dalam organisasi pada langkah pertama, bukannya membuat dan memperbaiki kesalahan. Dengan memfokuskan hal-hal yang tepat pada kesempatan pertama, organisasi menghindari biaya tinggi yang berkaitan dengan pengerjaan ulang. Implemetasi Konsep Peningkatan Mutu Cara Deming dalam Pendidikan di Indonesia Deming (1986) menyatakan bahwa implementasi konsep mutu dalam sebuah organisasi memerlukan perubahan dalam filosofi yang ada di sekitar manajemen. Deming mengusulkan empat belas butir pemikiran yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas suatu organisasi juga dalam bidang pendidikan. Keempat belas butir pemikiran tersebut adalah: Ciptakan Tujuan yang Mantap Demi Perbaikan Produk dan Jasa Sekolah memerlukan adanya tujuan akhir yang mampu mengarahkan siswa menghadapi masa depan secara mantap. Jangan membuat siswa sekedar memiliki nilai bagus tetapi juga harus mampu membuat siswa memiliki kemauan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 107 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming belajar seumur hidup. Adopsi Filosofi Baru Siswa berhak mendapatkan pembelajaran yang berkualitas. Dengan kata lain, mereka tidak lagi sebagai siswa yang pasif dan rela diperlakukan seburuk apapun tanpa dapat berkomentar. Hentikan Ketergantungan pada Inspeksi Masal Dalam bidang pendidikan, evaluasi yang dilakukan jangan hanya pada saat ulangan umum ataupun ujian akhir, tetapi dilakukan setiap saat selama proses belajar mengajar berlangsung. Selain itu, dalam menetapkan standar uji, maka perlu diperhatikan teoriteori kepemimpinan yang berkembang dalam Total Quality Management dan lainnya, seperti teori sifat, teori lingkungan, teori perilaku, teori humanistik, dan teori kontigensi. Sejalan dengan masalah evaluasi, masalah rekrutmen dalam menentukan pimpinan kependidikan, beberapa prosedur “Fit and proper test” bisa dilakukan dalam pengambilan keputusan : (a) Melakukan “hearing” didepan tim, yaitu menyampaikan program, visi dan misi apabila terpilih menjadi pimpinan nantinya. (b) Menjawab pertanyaan lisan dan tertulis yang telah didesain sedemikian rupa. Adapun pertanyaan yang diajukan dapat menyangkut integritas, moralitas, profesionalisme, intelektualitas, keahlian. (c) Keharusan mengumumkan harta kekayaan dari para calon Kepala Sekolah sebelum yang bersangkutan menduduki jabatan yang dipercayakan kepadanya. Kebohongan atas kekayaan ini dapat mengakibatkan pemecatan (impeachmant). (d) Harus memahami sistem manajemen yang efektif dan efisien terhadap lembaga yang akan dipimpinnya. Termasuk dalam rekruitment karyawan, kesejahteraan, peningkatan kualitas hasil dan kinerja. (e) Mengemukakan masalah pribadi, seperti apakah calon itu pernah bercerai. Masalah anak bagaimana. Mengapa sampai terjadi perceraian. Kemudian menyangkut masalah kebebasan dari tekanan, intimidasi, teror atau ancaman. (f) Tim seleksi melakukan investigasi dan melacak semua kebenaran informasi yang disampaikan lisan maupun tertulis. Apabila calon-calon tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara memuaskan, atau setelah melakukan investigasi ternyata terdapat kebohongan-kebohongan, tentu saja yang bersangkutan tidak dapat terpilih sebagai pimpinan. 108 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming Akhiri Kebiasaan Melakukan Hubungan Bisnis Hanya Berdasarkan Biaya Dalam bidang pendidikan pernyataan di atas terutama dikaitkan dengan biaya pendidikan yang ada hubungannya dengan perbandingan junlah guru dan murid pada satu ruangan/kelas. Kelas besar memang akan membuat sekolah tersebut melakukan penghematan biaya, tetapi mutu yang dihasilkan tidak terjamin dan bukan tidak mungkin terjadi peningkatan biaya di bagian lain pada sistem tersebut. Perbaiki Sistem Produksi dan Jasa Secara Konstan dan Terus Menerus Dalam bidang pendidikan seorang guru harus berpikir secara strategik agar siswa dapat menjalani proses belajar mengajar secara baik, sehingga memperoleh nilai yang baik pula. Guru jangan hanya berpikir bagaimana siswa mendapatkan nilai yang baik. Lembagakan Metode Pelatihan yang Modern di Tempat Kerja Hal ini perlu dilakukan agar terdapat kesamaan dasar pengetahuan bagi semua anggota staf dalam suatu lembaga pendidikan. Setelah itu barulah guru dan administrator mengembangkan keahlian sesuai yang diperlukan bagi peningkatan profesionalitas. Lembagakan Kepemimpinan Kepemimpinan (leadership) berbeda dengan pemimpin (leader). Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok dengan maksud mencapai suatu tujuan yang dinginkan bersama. Sedangkan pemimpin adalah seseorang atau sekelompok orang seperti kepala, komandan, ketua dan sebagainya. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu adalah suatu proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Artinya terjadi proses interaksi antara pemimpin, yang dipimpin, dan situasi. Sehingga secara sederhana proses kepemimpinan dapat dirumuskan melalui formula berikut: L = F (l, f, s) Keterangan : L = Leadership (kepemimpinan) F = Function (fungsi) l = Leaders (pemimpin) f = Follower (pengikut/yang dipimpin) s = Situation (situasi) Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 109 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming Dengan demikian, kepemimpinan itu seyogianya melekat pada diri pemimpin dalam wujud kepribadian (personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability), guna mewujudkan kepemimpinan bermutu atau Total Quality Management (TQM). Dikatakan bahwa, pemimpin yang efektif menurut konsep TQM adalah pemimpin yang sensitif atau peka terhadap adanya perubahan dan pemimpin yang melakukan pekerjaannya secara terfokus. Dalam konsep TQM, memimpin berarti menentukan hal-hal yang tepat untuk dikerjakan, menciptakan dinamika organisasi yang dikehendaki agar semua orang memberikan komitmen, bekerja dengan semangat dan antusias untuk mewujudkan hal-hal yang telah ditetapkan. Memimpin berarti juga dapat mengkomunikasikan visi dan prinsip organisasi kepada bawahan. Kegiatan memimpin termasuk kegiatan menciptakan budaya atau kultur positif dan iklim yang harmonis dalam lingkungan lembaga atau organisasi, serta menciptakan tanggung-jawab dan pemberian wewenang dalam pencapaian tujuan bersama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, terdapat hubungan positif antara tanggungjawab, wewenang dan kemampuan pemimpin dengan derajat atau tingkat pemberdayaan karyawan dalam suatu lembaga. Secara umum, pada dasarnya terdapat delapan kunci tugas pimpinan untuk melaksanakan komitmen perbaikan kualitas terus menerus, yaitu: (a) Menetapkan suatu dewan kualitas. (b) Menetapkan kebijaksanaan kualitas. (c) Menetapkan dan menyebarluaskan sasaran kualitas. (d) Memberikan dan menyiapkan sumber-sumber daya. (e) Memberikan dan menyiapkan pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada pemecahan masalah kualitas. (f) Menetapkan tim perbaikan kualitas yang bertanggungjawab pada manajemen puncak untuk menyelesaikan masalah-masalah kualitas kronis. (g) Merangsang perbaikan kualitas terus menerus. (h) Memberikan pengakuan dan penghargaan atas prestasi dalam perbaikan kualitas terus-menerus (Vincent Gaspersz, 1997: 203-204). Sementara itu, bagi kalangan follower/pengikut/bawahan seperti guru, karyawan dan lain-lain, perlu memperhatikan ketentuan berikut : (1) Mendukung program-program pimpinan yang baik dan benar. (2) Memiliki kebutuhan berprestasi. (3) Klarifikasi kemampuan, wewenang dan peran. (4) Memiliki organisasi kerja. (5) Kemampuan bekerja sama. (6) Kecukupan sumber daya (kuantitas). (7) Memiliki koordinasi eksternal. Ditambahkan bahwa, untuk melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinan, maka kepala sekolah perlu memperhatikan dan mengontrol Variabel situasi, 110 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming yaitu seperangkat keadaan atau kondisi yang harus dikelola dan diciptakan secara kondusif. Situasi ini antara lain : (1) kekuatan posisi, (2) keadaan bawahan, (3) tugas dan kemampuan menggunakan teknologi, (4) struktur organisasi, (5) keadaan lingkungan lembaga ( fisik dan non-fisik ), (6) ketergantungan eksternal, (7) kekuatan sosial politik, (8) rasa aman dan demokratis. Keseluruhan proses interaksi kepemimpinan antara pemimpin, yang dipimpin dan situasi, ditujukan untuk mencapai variabel hasil akhir yaitu : (1) Kepuasan pelanggan. (2) Loyalitas pelanggan. (3) Profitabilitas. dan (4) kepuasan seluruh personil lembaga dan stakeholders. Hilangkan Rasa Takut Perlu disadari bahwa rasa takut menghambat karyawan untuk mampu mengajukan pertanyaan, melaporkan masalah, atau menyatakan ide padahal itu semua perlu dilakukan untuk menghasilkan kinerja yang maksimum. Oleh karena itu para pelaku pendidikan hendaknya jangan menerapkan sistem imbalan dan hukuman kepada siswa karena akan menghambat berkembangnya motivasi internal dari siswa masing-masing. Pecahkan Hambatan di antara Area Staf Hambatan antardepartemen fungsional berakibat menurunkan produktivitas. Hambatan ini dapat diatasi dengan mengembangkan kerjasama kelompok. Oleh karena itu para anggota staf harus bekerjasama dan memprioritaskan diri pada peningkatan kualitas. Hilangkan Slogan, Nasihat, dan Target untuk Tenaga Kerja Perbaikan secara berkesinambungan sebagai sasaran umum harus menggantikan simbol-simbol kerja. Hilangkan Kuota Numerik Kuota cenderung mendorong orang untuk memfokuskan pada jumlah sering kali dengan mengorbankan mutu. Terlalu banyak menggunakan slogan dan terlalu berpatokan pada target dapat menimbulkan salah arah untuk pengembangan sistem yang baik. Tidak jarang patokan terget akan lebih terfokus pada guru dan siswa daripada sistem secara keseluruhan. Hilangkan Hambatan Terhadap Kebanggaan Diri atas Keberhasilan Kerja Kebanggaan diri atas hasil kerja yang dicapai perlu dimiliki oleh guru dan siswa. Adanya kebanggaan dalam diri membuat guru dan siswa bertanggungjawab atas tugas dan kewajiban yang disandangnya sehingga mereka dapat menjaga mutu. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV / Juli 2005 111 Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu Cara Deming Lembagakan Program Pendidikan dan Pelatihan yang Kokoh. Hal ini berlaku bagi para pelaku pendidikan karena memiliki dampak langsung terhadap kualitas belajar siswa. Lakukan Tindakan Nyata/Contoh Nyata Manajer harus menjadi”lead manager” bukan “boss manager”. Seorang “lead manager” akan berusaha mengkomunikasikan pandangannya selalu berusaha mengembangkan kerjasama, meluangkan waktu dan tenaga untuk sistem sehingga dengan adanya contoh nyata, pekerja menyadari cara untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas. Penutup Semoga konsep Deming yang diuraikan di muka dapat memberikan masukan kepada para pelaku pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Daftar Pustaka Creech, Bill. (1996) Lima pilar manajemen mutu terpadu (TQM). Jakarta: Binarupa Aksara. Gaspersz, Vincent. (1997) Manajemen kualitas: penerapan konsep-konsep kualitas dalam manajemen bisnis total. Jakarta : PT. Gramedia. Gaspersz, Vincent. (2001). “Penerapan TQME pada Perguruan Tinggi di Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan dan kebudayaan. Jakarta: Balitbang Diknas. Edisi Mei 2001, tahun ke-7, No. 029. Goestc, D.L. and S. Davis (1994). Introduction to total quality: quality, productivity, competitiveness. Englewood, Cliffs,N.J: Prentice Hall International, Inc. Masassya, Elvyn.G. (2000). Sekali lagi tentang “fit and proper test”. Harian Suara Pembaharuan. Edisi: Selasa, 4 Juli 2000. Sallis, Edward. (1994). Total quality management in education. London: Kogan Page Limited. Suardi, Rudi (2001) Sistem manajemen mutu ISO 9000:2000 penerapannya untuk mencapai TQM. Jakarta: PPM. Sudjana, H.D. (1993). Manajemen PLS. Bandung : UNINUS Press. Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (1995). Total quality management (TQM). Yokyakarta: Andi Offset. Wilkinson, Adrian, et.al. (1998) Managing with total quality management : Theory and practice. London : Macmillan Press Ltd. Winarta, Frans Hendra. (2000). Fit and proper test yang ideal. Harian Suara Pembaharuan. Edisi Jum’at, 14 Juli 2001. 112 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV /Juli 2005 Opini Memilih Buku Pelajaran Memilih Buku Pelajaran Dr. B.P. Sitepu, M.A*) Abstrak ejak pembangunan jangka panjang pertama (1970–1995) dan sampai sekarang ini, Pemerintah menyediakan buku pelajaran untuk semua sekolah. Berbagai kebijakan dan sistem penyediaan buku pelajaran telah ditempuh serta banyak dana sudah dihabiskan baik bersumber dari dalam negeri maupun dari berbagai bentuk pinjaman dari luar negeri. Akan tetapi buku pelajaran sampai sekarang ini tidak sepi dari masalah dan kritikan apalagi menjelang dan mengawali tahun pelajaran baru. Dalam kenyataannya masyarakat masih dibebani penyediaan buku pelajaran baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta. Sekolah juga sering memilih dan membeli buku pelajaran dari penerbit yang menawarkan buku pelajaran ke sekolah. Tulisan ini membahas kebijakan penyediaan buku pelajaran itu dan menawarkan kepada sekolah cara mencermati dan memilih buku pelajaran sehingga sedapat mungkin memenuhi tuntutan kurikulum serta dapat meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Sekolah dianggap perlu mengetahui cara memilih buku pelajaran yang bermutu karena selaras dengan perkembangan penerbitan buku di Indonesia dewasa ini alternatif pilihan buku pelajaran semakin banyak. S Kata kunci : buku pelajaran, bahan ajar, metode pembelajaran, bahasa, ilustrasi, grafika Abstract In the first long term development (1970 – 1995), the Indonesian Government tried to provide all schools with free textbooks. A number of regulations in textbook provision have been implemented and the Government has spent a big amount of budget from local and foreign sources. However, the facts show that there are still many problems and critiques in the textbook provision. The issues become more serious particularly at the beginning of new academic *) Dosen Universitas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 113 Memilih Buku Pelajaran years when the parents have to pay textbooks for their children. The parents also complain that the schools change the textbooks every academic year without reasonable reasons this happens in government and private schools, while the Government declares his free textbook policy. This article discusses the government textbook policy and offers the schools some considerations in selecting appropriate textbooks for instructional purposes. As the number of textbooks available is growing fast and the schools have to make choices, the schools should know properly how to assess and to select the text books. Pendahuluan Untuk meningkatkan kecerdasan bangsa secara menyeluruh dan merata sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan dalam arti luas memegang peranan penting. Pendidikan fomal diselenggarakan melalui suatu sistem yang diatur oleh Pemerintah sehingga setiap warga negara Indonesia tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun memperoleh pendidikan seluas-luasnya sesuai dengan kemampuan intelektual dan fisiknya. Sunguhpun penyelenggaraan pendidikan secara umum menjadi tanggung jawab Pemerintah, orangtua dan masyarakat, akan tetapi secara konstitusional Pemerintah bertanggung jawab atas penyelengaraan pendidikan nasional. Oleh karena itu Pemerintah berupaya menyediakan tenaga, dana, gedung serta sarana fisik lainnya sehingga setap warga negara Indonesia dapat memperoleh pendidikan sebagaimana dikehendaki dalam Pasal 31, ayat 1, UUD 1945. Di samping itu Pemerintah juga bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional sehingga sumber daya yang dihasilkan melalui sistem pendidikan nasional dapat membangun dirinya sendiri serta lingkungannya menuju kehidupan yang cerdas dan berkualitas secara jasmani dan rohani. Buku pelajaran merupakan salah satu sumber belajar dan membelajarkan yang memberikan andil yang cukup besar dalam upaya memperluas kesempatan memperoleh pendidikan dan sekali gus juga meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Kebutuhan akan buku pelajaran semakin terasa dikala jumlah dan mutu guru yang tersedia belum memadai. Di tempat-tempat tertentu masih banyak guru yang mengandalkan buku pelajaran sebagai satusatunya sumber belajar dan pembelajaran. Guru mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran dengan mengacu sepenuhnya pada isi buku pelajaran. Siswa juga menggunakan buku pelajaran di sekolah dan di rumah sebaga sumber belajar utama. Di banyak negara, khususnya yang masih memiliki keterbatasan sarana dan kemudahan teknologi informasi dan teknologi komunikasi maju, masih mengandalkan buku pelajaran sebagai sumber belajar dan membelajarkan di sekolah. Masalah yang dihadapi ialah 114 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Memilih Buku Pelajaran bagaimana caranya menghadirkan buku pelajaran yang bermutu di setiap sekolah secara tepat waktu serta tepat jumlah? Indonesia sendiri sejak tahun 1970 menyediakan buku pelajaran untuk sekolah dasar dan lanjutan dengan target satu buku untuk setiap siswa. Di samping itu disediakan pula secara bertahap buku-buku perpustakaan untuk setiap sekolah negeri dan swasta. Kebijakan penyediaan buku pelajaran yang lebih dikenal dengan “buku paket” itu diteruskan oleh Pemerintah setiap kali terjadi perubahan kurikulum, mulai dari Kurikulum 1968, 1975 atau 1976, 1984, 1994, sampai 2004. Akan tetapi sejauh manakah keberhasilan proyek buku pelajaran ini memberikan kontribusi dalam pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi setiap anak usia sekolah serta dalam meningkatkan mutu proses dan hasil belajar dan membelajarkan? Berbagai penelitian telah dilakukan dan nampaknya proyek yang menelan biaya besar ini belum dapat memuaskan guru, siswa, dan orang tua. Masih sering terdengar keluhan tentang buku pelajaran dari berbagai pihak, yang sudah barang tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kebijakan Pada awal tahun tujuhpuluhan ketika Pemerintah secara sistematis dan sistemik hendak mengatasi masalah-masalah pendidikan secara nasional, penyediaan buku pelajaran merupakan salah satu prioritas yang mendesak dilakukan di samping pengadaan guru dan gedung sekolah. Akan tetapi buku pelajaran itu tidak dapat serta merta disediakan pada saat dibutuhkan karena mutu buku pelajaran yang beredar pada waktu itu tidak dapat memenuhi tuntutan minimal kurikulum yang berlaku. Isi dan metode pembelajaran di dalam buku tidak mengikuti perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan untuk keperluan koleksi perpustakaan sekolah sajapun, tidak sampai separuh atau hanya sekitar 49% dari buku yang dinilai itu dianggap layak dijadikan koleksi perpustakaan sekolah. Tidak ada satupun dari antara buku yang dinilai itu memenuhi syarat dijadikan buku pelajaran untuk salah satu mata pelajaran di Pendidikan Dasar atau Pendidikan Menengah. Perlu dicatat bahwa jumlah penerbit serta mutu buku yang dihasilkan dalam kurun waktu itu masih jauh tertinggal dibandingkan dengan lima tahun belakangan ini. Dilihat dari pemakaiannya di kelas, buku sekolah dapat dibedakan menjadi buku pelajaran pokok dan buku pelengkap. Buku pelajaran pokok adalah buku yang disusun mengacu pada kurikulum dan dipergunakan oleh siswa dan guru sebagai sumber utama dalam proses belajar dan membelajarkan. Sedangkan buku pelengkap adalah semua buku bacaan lain yang dapat dipergunakan untuk memperkaya kemampuan dan pengalaman belajar siswa. Dalam tulisan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 115 Memilih Buku Pelajaran ini pembahasan dibatasi pada buku pelajaran (pokok) yang kedudukannya sangat strategis dalam proses belajar dan membelajarkan. Memperhatikan kurangnya jumlah buku pelajaran yang bermutu di satu pihak dan kebutuhan akan buku pelajaran di pihak lain, maka mulai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, Pemerintah menetapkan kebijakan penyediaan buku pelajaran yang intinya dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 1: Penyediaan Buku Pelajaran Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 1970 sampai Tahun 1997 Kegiatan 1. Menyusun/mempersiapkan naskah 2. Menilai naskah 3. Menerbitkan naskah 4. Mencetak naskah menjadi buku 5. Mengirim buku ke sekolah 6. Menggunakan buku 7. Mengawasi semua kegiatan 8. Menyediakan dana untuk semua kegiatan Pemerintah Swasta Sekolah V V V V V V V V Naskah buku pelajaran ditulis dan dinilai oleh guru atau ahli bidang studi atas penunjukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini lembaga/instansi di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Setelah melalui proses uji coba, revisi, dan penyuntingan, naskah dicetak oleh percetakan swasta (dan milik negara) sehingga menjadi buku dengan hak penerbitan pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang sekarang ini disebut Depatemen Pendidikan Nasional. Penyaluran buku dari percetakan ke sekolah dilakukan oleh ekpeditur swasta dengan alokasi dan lokasi pendistribusaian ditetapkan oleh Pemerintah. Penyusunan dan penilaian naskah, pencetakan dan penerbitan naskah dikelola secara terpusat sehingga sangat bersifat sentralistik. Dilihat dari pelaksana kedelapan kegiatan pokok penyediaan buku pelajaran, Pemerintah mendominasi kegiatan, dan pihak swasta berperan terbatas pada jasa pencetakan dan pengiriman buku. Sementara itu pihak sekolah berperan hanya sebagai pemakai atau konsumen buku pelajaran itu. Semua kegiatan dalam penyediaan buku pelajaran itu sampai tiba di sekolah sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah. Buku yang disediakan itu menjadi milik sekolah (negeri dan swasta) dan dipinjamkan kepada siswa secara cumacuma. Kebijakan ini berlaku untuk penyediaan buku pelajaran Kurikulum 1968, 1975 atau 1976, 1984, dan 1994 atau sampai tahun 1995. Dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut dihadapi berbagai masalah yang antara lain adalah sebagai berikut: 116 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Memilih Buku Pelajaran 1. Buku pelajaran yang disediakan Pemerintah tidak pernah tersedia di sekolah tepat pada waktu kurikulum mulai diberlakukan. Penyusunan dan penerbitan naskah sampai pengirimannya ke sekolah memerlukan waktu antara 3 sampai 4 tahun. Dengan demikian sekolah terpaksa mencari buku pelajaran lain untuk mengisi kekosongan buku pelajaran. Pemberlakuan Kurikulum 1994 secara bertahap untuk memberikan waktu untuk menyediakan sarana pendidikan yang diperlukan termasuk buku pelajaran nampaknya tidak banyak memecahkan masalah. 2. Oleh karena berbagai kendala, Pemerintah menyediakan buku pelajaran secara bertahap dilihat dari jumlah dan mata pelajaran; Pemerintah tidak menyediakan buku pelajaran sekaligus untuk semua mata pelajaran dan sekaligus untuk semua siswa. Sekolah memilih buku pelajaran lain untuk mata pelajaran yang bukunya belum disediakan Pemerintah. 3. Alokasi buku untuk sekolah jarang sesuai benar dengan kebutuhan nyata berdasarkan jumlah siswa; di sekolah tertentu terdapat kekurangan buku sementara di sekolah lain terdapat kelebihan buku. 4. Sungguhpun disusun oleh para ahli dan telah melalui proses uji coba dan penyempurnaan, buku pelajaran yang disediakan Pemerintah tidak luput dari kelemahan dalam materi, bahasa, dan metodologi pembelajaran. 5. Hal-hal seperti yang disebutkan pada butir 1 sampai 4 merupakan alasan bagi sekolah-sekolah tertentu untuk tidak/kurang menggunakan buku pelajaran yang disediakan Pemerintah dan memilih serta menggunakan buku lain sebagai buku pelajaran pokok. Pengadaan buku lain itu dibebankan kepada orangtua siswa dan tidak jarang terjadi setiap ganti tahun pelajaran, sekolah mengganti buku pelajaran. 6. Penerbit menganggap kebijakan Pemerintah menerbitkan sendiri buku pelajaran merupakan praktek monopoli yang tidak kondusif dalam mengembangkan industri buku di Indonesia. Bagi kebanyakan penerbit, lembaga pendidikan atau siswa merupakan pasar yang potensial dan dengan kebijakan yang ada mempersempit pasar mereka dan menghambat perkembangan penerbit. Dalam dekade tahun sembilan puluhan terjadi kemajuan pesat dalam usaha penerbitan di Indonesia dilihat dari jumlah maupun mutu buku yang diterbitkan. Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan kebijakan pengadaan buku pelajaran yang diterapkan dalam tahun 1970 – 1995 serta melihat kemajuan penerbitan di Indonesia, maka Pemerintah nampaknya merasa perlu menyempurnakan kebijakan itu secara bertahap. Perubahan kebijakan diawali dengan sasaran buku pelajaran SLTP/MTs dengan menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia. Melalui Proyek ini dicobakan kebijakan baru yang kemudian dikembangkan juga untuk buku pelajaran di Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 117 Memilih Buku Pelajaran SD/MI dan SMA/MA. Dakam kebijakan ini terlihat peranan Pemerintah dikurangi dan peranan swasta ditingkatkan. Penyediaan buku pelajaran dilakukan melalui pembelian dari penerbit dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah. Dalam tabel berikut ini terlihat inti kebijakan yang dimaksud. Tabel 2: Penyediaan Buku Pelajaran Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah Thn 1997 sampai sekarang Kegiatan Menyusun/mempersiapkan naskah Menerbitkan naskah menjadi buku Menilai buku Memasarkan buku Memilih buku Membeli buku Mengirim buku ke sekolah Menggunakan buku Mengawasi ketersediaan dan pemanfaatan buku di sekolah 10.Menyediakan dana untuk semua kegiatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pemerintah Swasta Sekolah V V V V V V V V V V V V V Kebijakan yang dilaksanakan secara bertahap dan dimulai dari SLTP sejak tahun 1997menunjukkan: 1. Peranan Pemerintah dalam penyediaan buku pelajaran semakin dikurangi dan bergeser ke swasta dan sekolah. Nampaknya kebijakan ini sejalan dengan swastanisasi, desentralisasi dan otonomi serta managemen berbasis sekolah, yang belakangan ini dikembangkan Pemerintah. 2. Pemerintah menempatkan diri sebagai pengawas mutu pelajaran melalui penilaian dan penetapan buku pelajaran yang memenuhi syarat, dan pengawasan dalam pemanfaatannya di sekolah, serta penyediaan dana pembelian buku pelajaran. Dana tersebut dapat bersumber dari pusat (APBN) dan daerah (APBD). 3. Swasta, dalam hal ini Penerbit, menyediakan naskah, sampai penerbitannya menjadi buku pelajaran dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dinilai. Sistem penilaian yang dianut memungkinkan beberapa judul buku dari penerbit yang berbeda memenuhi syarat untuk disyahkan sebagai buku pelajaran dalam mata pelajaran yang sama dan kelas yang sama. Penerbit diberikan kebebasan mempromosikan bukunya sesuai dengan tata niaga buku serta bertanggung jawab atas pengiriman buku itu sampai ke sekolah sesuai dengan jumlah dan waktu yang ditetapkan sekolah sebagai pembeli. 4. Sekolah semakin berperan dalam penyediaan buku pelajaran yang dipakai sekolahnya. Sekolah memilih buku pelajaran untuk sekolahnya berdasarkan pertimbangan jumlah dana yang tersedia serta kesesuaian 118 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Memilih Buku Pelajaran isi buku dengan karakteristik siswa dan lingkungan setempat. Sungguhpun beberapa buku sejenis dinyatakan memenuhi syarat untuk dipilih namun masing-masing buku itu masih memiliki ciri yang berbeda dalam penyajian, ilustrasi, dan warna. Kewenangan memilih dan membeli buku pelajaran diperoleh oleh sekolah untuk pengadaan buku pelajaran yang dananya dialokasikan ke sekolah. Apabila dananya bersumber dari APBD, pengadaan buku pelajaran dapat dikoordinasikan oleh Dinas Pendidikan setempat. Penyempurnaan kebijakan dalam buku pelajaran ini diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah sebelumnya. Dengan kebijakan ini diharapkan: 1. buku pelajaran yang dipakai di sekolah semakin bermutu karena melalui proses penilaian yang objektif dan menyeluruh (materi, penyajian dan teknik pembelajaran, keterbacaan dan grafika); 2. pembelian buku pelajaran dari penerbit swasta dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan penerbitan buku pelajaran pada kususnya dan industri buku di Indonesia pada umumnya; 3. keterlibatan sekolah dalam pengadaan buku pelajaran memotivasi sekolah menggunakan buku pelajaran lebih efektif dalam upaya meningkatkan mutu proses dan hasil belajar; 4. buku pelajaran tersedia di sekolah pada saat diperlukan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan 5. Pihak swasta/masyarakat dan sekolah juga diikutsertakan dalam pengawasan ketersediaan dan pemanfaatan buku pelajaran serta ikut mengusahakan dan untuk pengadaan buku pelajaran itu. Seperti dikemukakan sebelumnya, Pemerintah menilai dan mengesahkan buku pelajaran secara bertahap. Untuk keperluan pelaksanaan Kurikulum 2004, Pemerintah baru menyelesaikan penilaian dan pengesahan buku pelajaran untuk Sekolah Dasar. Padahal Kurikulum itu mulai dilaksanakan dalam tahun ajaran 2004/2005 secara bertahap. Sementara itu di pasar telah beredar banyak buku pelajaran SD, SMP dan SMA dengan label “Sesuai dengan Kurikulum 2004”. Dengan demikian sekolah kemungkinan menghadapi tiga alternatif berikut: 1. Sekolah memilih buku pelajaran sepenuhnya dari daftar buku pelajaran yang telah disahkan Departemen Pendidikan Nasional (apabila daftar itu telah ada). 2. Sekolah memilih buku pelajaran yang beredar di pasar tapi belum dinilai dan disahkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. 3. Sekolah memilih buku pelajaran dari daftar buku pelajaran yang telah disahkan Depdiknas dan dari yang beredar di pasar bagi mata pelajaran Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 119 Memilih Buku Pelajaran yang buku pelajarannya belum dinilai dan disahkan Depdiknas. Mengingat keterlambatan tersedianya daftar buku pelajaran yang disahkan Depdiknas maka sekolah akan banyak memilih alternatif ke 2 dan 3. Hal ini mulai terlihat dalam menyambut tahun ajaran baru 2005 ini sudah terdengar pembebanan pengadaan buku pelajaran SD, SMP, dan SMA kepada orangtua di berbagai sekolah. Seperti tahun-tahun sebelumnya mulai terdengar keluhan klasik orang tua atas harga buku pelajaran yang harus dibayarkan ke sekolah lebih mahal dari harga buku di toko buku serta buku tahun sebelumnya tidak dapat lagi dipakai pada tahun pelajaran sekarang. Keadaan ini terjadi di sekolah negeri dan di sekolah swasta. (Kompas dan Jakarta Post, 9 Juli 2005). Pemerintah nampaknya masih tetap berkeinginan meringankan beban masyarakat dalam penyediaan buku pelajaran. Berbagai upaya telah ditempuh agar siswa dan guru dapat memperoleh buku pelajaran tepat waktu dan biaya pengadaan buku pelajaran tidak dibebankan kepada orangtua siswa. Akan tetapi dalam kenyataannya karena berbagai kendala nampaknya upaya itu belum sepenuhnya berhasil baik di pendidikan dasar (SD dan SLTP yang menjadi sasaran program wajib belajar) mapun di pendidikan menengah (SMA dan SMK). Depdiknas menerbitkan daftar buku pelajaran sekolah yang telah disahkan dan sekolah diwajibkan memilih buku pelajaran dari daftar itu. Dalam menghadapi Kurikulum 2004 daftar itu belum tersedia yang berarti sekolah harus memilih buku lain. Dengan demikian sekolah perlu mengetahui teknik memilih buku pelajaran yang sesuai untuk keperluan belajar dan membelajarkan. Dalam menilai dan memilih buku pelajaran, aspek yang perlu diperhatikan ialah (a) isi/materi, (b) metodologi, (c) bahasa, (d) ilustrasi, dan (e) grafika buku. Materi Buku Pelajaran Yang perlu diperhatikan dalam menilai materi buku pelajaran ialah: 1. Kesesuaian dengan kurikulum 2. Kebenaran konsep 3. Urutan konsep 4. Contoh 5. Bahan evaluasi Kesesuaian dengan kurikulum Kurikulum merupakan acuan utama dalam pengembangan buku pelajaran. Dalam kurikulum disebutkan tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensikompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa sesudah mengalami proses pembelajaran. Dengan demikian materi buku pelajaran merupakan hasil 120 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Memilih Buku Pelajaran analisis dan uraian lebih lanjut dari kompetensi dan merupakan kumpulan pengetahuan yang perlu diketahui siswa untuk dapat memperoleh kompetensi yang ditetapkan. Dengan demikian penilaian materi buku pelajaran dilihat dari kurikulum mengacu pada hal-hal berikut: 1) Apakah materi buku pelajaran telah mencakup semua kompetensi dasar dan indikator yang ditetapkan dalam kurikulum? 2) Apakah keluasan materi buku pelajaran telah sesuai untuk mencapai masing-masing indikator kompetensi? 3) Apakah kedalaman materi buku pelajaran telah mendukung pencapaian masing-masing indikator kompetensi? 4) Apakah semua pokok bahasan dan sub-pokok bahasan telah disusun secara terpadu untuk mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan di dalam kurikulum? 5) Apakah isi pokok bahasan untuk masing-masing indikator kompetensi telah disajikan secara seimbang? 6) Apakah materi buku pelajaran dapat dipelajari sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia? Kebenaran Konsep Materi buku pelajaran terdiri atas konsep-konsep dalam bidang ilmu tertentu yang disusun secara sistematis sehingga menjadi teori-teori yang membentuk pengetahuan untuk memperoleh kompetensi yang diinginkan. Oleh karena itu konsep-konsep tersebut harus benar, valid atau relevan dilihat dari disiplin ilmunya. Hal-hal yang perlu dinilai berkaitan dengan kebenaran konsep ialah seperti berikut: 1) Apakah sesuai dengan cakupan ( ontology ) disiplin ilmu yang bersangkutan? 2) Apakah lengkap untuk mencapai kompetensi yang dikehendaki? 3) Apakah kebenaran konsep dapat dipertanggungjawabkan dari ilmu yang bersangkutan? 4) Apakah konsep-konsep yang disampaikan masih relevan dengan keadaan sekarang? Urutan Konsep Susunan dan hubungan konsep berbeda pada masing-masing ilmu. Untuk memudahkan memahami suatu ilmu secara utuh perlu memahami struktur dan hubungan konsep-konsep itu. Aspek-aspek tentang struktur ilmu itu perlu dinilai dari hal-hal berikut: 1) Apakah konsep-konsep yang disampaikan disusun berdasarkan hubungan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 121 Memilih Buku Pelajaran 2) 3) 4) struktur konsep dalam ilmu tersebut? Apakah diawali dengan konsep yang menjadi dasar untuk memahami konsep berikutnya? Apakah konsep-konsep disusun secara sisematis? Apakah susunan urutan tersebut memudahkan siswa memahami konsepkonsep itu secara keseluruhan? Contoh-Contoh Untuk memudahkan memahami konsep atau teori, apalagi yang bersifat sangat abstrak, perlu diberikan contoh. Contoh yang kurang atau tidak tepat dapat pula membingungkan siswa. Dengan demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai contoh-contoh yang dipergunakan menjelaskan konsep yaitu sebagai berikut: 1) Apakah relevan dengan konsep yang hendak dijelaskan? 2) Apakah memperjelas konsep yang hendak dijelaskan? 3) Apakah konkrit atau nyata? 4) Apakah mudah dimengerti oleh siswa? 5) Apakah menarik bagi siswa? 6) Apakah memotivasi siswa untuk mempelajari konsep berikutnya? Bahan Evaluasi Bahan evaluasi dalam ahan ajar biasanya dasajikan dalam bentuk soal-soal, latihan , tugas, atau melakukan eksperimen/percobaan. Bahan evaluasi dalam buku pelajaran berfungsi tidak hanya semata-mata untuk mengetahui hasil belajar, akan tetapi kegiatan evaluasi itu merupakan bagian kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu bahan evaluasi perlu dilihat dari hal-hal berikut: 1) Apakah mengacu pada tujuan pembelajaran/kompetensi yang hendak dicapai? 2) Apakah mengacu pada konsop-konsep yang dipelajari sebelumnya? 3) Apakah memperhatikan bidang-bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik? 4) Apakah evaluasi memperhatikan tingkat kesulitan ? 5) Apakah mudah dimengerti? 6) Apakah dengan mengerjakan soal-soal, latihan, tugas, atau eksperimen tersebut terjadi proses belajar pada diri siswa? 7) Apakah hasil evaluasi tersebut dapat dipergunakan sebagai indikator hasil belajar? 8) Apakah memotivasi siswa untuk mempelajari hal-hal yang belum dikuasai dan hal-hal yang baru? 122 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Memilih Buku Pelajaran Metode Pembelajaran Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, proses pembelajaran perlu dirancang dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Metode pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi yang menjadi tujuan, jenis dan sifat materi buku pelajaran, kondisi belajar/pembelajaran, serta karakterisitik siswa. Berkaitan dengan metode pembelajaran, hal-hal yang perlu diperhatikan ialah: a. Apakah sesuai untuk mencapai masing-masing kompetensi yang dikehendaki? b. Apakah sesuai untuk kondisi siswa? c. Apakah memperhatikan kondisi lingkungan belajar? d. Apakah menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi? e. Apakah materi buku pelajaran disajikan secara runtut? f. Apakah meningkatkan motivasi belajar siswa? Bahasa Bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan materi buku pelajaran dari pengembang buku pelajaran kepada siswa. Sebagai alat komunikasi, bahasa ikut menentukan keberhasilan komunikasi atau penyampaian pesan tersebut. Bahasa yang tepat dapat memudahkan pemahaman dan menimbulkan atau meningkatkan motivasi belajar. Dengan demikian penilaian diarahkan pada hal-hal berikut: a. Apakah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar? b. Apakah struktur kalimat sesuai dengan kemampuan penalaran siswa? c. Apakah pilihan kata sesuai dengan pemahaman siswa? d. Apakah disajikan secara lugas (tidak berbelit-belit)? e. Apakah bahasa yang digunakan menarik bagi siswa? f. Apakah tingkat keterbacaan bahasa sesuai dengan kemampuan membaca siswa? g. Apakah sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir siswa? Ilustrasi Ilustrasi berfungsi untuk menjelaskan konsep sehingga lebih sederhana, jelas dan mudah dipahami. Ilustrasi dapat berbentuk foto, gambar, sketsa, bagan, grafik, peta, dan tabel. Fungsi lain dari ilustrasi ialah dekoratif. Dalam menilai ilustrasi yang perlu diperhatikan ialah: a. Apakah ilustrasi relevan? b. Apakah bentuknya proporsional? c. Apakah bentuknya akurat? Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 123 Memilih Buku Pelajaran d. e. f. g. h. i. Apakah warnanya sesuai? Apakah menarik? Apakah mampu mengungkapkan konsep/objek? Apakah menyederhanakan konsep/objek? Apakah menjelaskan konsep/objek? Apakah memudahkan pemahaman siswa? Produksi/Grafika Aspek grafika mempengaruhi minat, motivasi, dan hasil belajar. Aspek ini mencakup: 1. desain/tata letak 2. tipografi 3. kertas, dan 4. produksi Desain/Tata Letak. Desain/tata letak termasuk desain kulit dan desain isi dengan cakupan konsistensi, keharmonisan, daya tarik. Hal-hal yang perlu dinilai seperti berikut: 1) Apakah ukuran buku sesuai untuk siswa? 2) Apakah desain kulit mewakili isi/bidang studi/disiplin ilmu? 3) Apakah ilustrasi kulit buku menarik? 4) Apakah komposisi judul, nama pengarang, dan penerbit pada kulit serasi? 5) Apakah warna menarik untuk siswa? 6) Apakah tata letak isi konsisten dengan pola? 7) Apakah ukuran margin efisien? 8) Apakah anatomi buku/bagian buku lengkap? 9) Apakah perbedaan paragrafh jelas? 10) Apakah teks dan ilustrasi berdekatan? Tipografi Tipografi mempengaruhi kemudahan membaca dan mencakup ukuran dan bentuk huruf, variasi huruf, panjang baris, spasi, dan jarak antara huruf. Hal-hal yang perlu dinilai sebagai berikut: 1) Apakah ukuran huruf sesuai dengan tingkat kelas? 2) Apakah jenis huruf sesuai dengan tingkat kelas? 3) Apakah variasi ukuran dan jenis huruf membantu pemahaman? 4) Apakah unsur tipografi pada halaman isi mempunyai hirarki yang jelas? 5) Apakah panjang baris tidak melelahkan membaca? 6) Apakah spasi baris normal? 124 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Memilih Buku Pelajaran Kertas Di samping mempengaruhi daya tahan buku, jenis dan mutu kertas juga mempengaruhi minat dan motivasi membaca. Berkaitan dengan kertas kulit dan kertas isi buku, perlu diperhatikan hal-hal berikut: 1) Apakah jenis kertas untuk kulit bebas serat kayu? 2) Apakah jenis kertas isi sesuai untuk mata pelajaran? 3) Apakah kertas kulit cukup kuat? 4) Apakah kertas isi tidak mudah sobek? 5) Apakah kertas isi mengunakan mutu kertas yang sama? 6) Apakah warna kertas isi tidak silau? Produksi Produksi buku pelajaran adalah hasil pencetakan naskah yang telah disusun oleh pengembang/penulis buku pelajaran. Produksi mencakup mutu cetakan, penjilidan, dan pemotongan. Aspek ini mempengaruhi kemudahan dan kenyamanan menggunakan buku itu. Hal-hal yang perlu diperhatikan ialah seperti berikut: 1) Apakah hasil cetakan tajam? 2) Apakah bersih? 3) Apakah huruf atau gambar tidak berbayang? 4) Apakah tidak tembus ke halaman berikutnya? 5) Apakah registered antar halaman? 6) Apakah hasil cetakan berwarna sesuai dengan aslinya? 7) Apakah penjilidan kuat/tidak mudah lepas? 8) Apakah pemotongan simetris dan rapi? Penutup Seperti diuraikan sebelumnya buku pelajaran dinilai dari aspek materi, metode pembelajaran, bahasa, ilustrasi dan grafika. Untuk dapat melakukan penilaian dan pemilihan secara objektif, diperlukan keahlian di masing-masing aspek tersebut. Dalam pelaksanaannya, penilaian dan pemilihan buku pelajaran di sekolah dikerjakan oleh tim yang anggotanya melibatkan guru bidang studi dan wakil dari komite sekolah. Buku pelajaran mengandung bahan ajar yang seharusnya disusun secara tepat dan benar dilihat dari disiplin ilmu, metode belajar dan pembelajaran, bahasa, ilustrasi dan grafikanya. Faktor harga memang penting dan ikut menentukan, tetapi hendaknya tidak mendahului kepentingan belajar dan membelajarkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa buku pelajaran yang baik memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam meningkatkan mutu proses dan hasil belajar. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005 125 Memilih Buku Pelajaran Apabila kebijakan Pemerintah di bidang buku pelajaran telah berjalan dengan baik, sekolah tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah buku pelajaran. Apalagi kalau buku pelajaran dapat dipakai paling singkat lima tahun baik dilihat dari isi maupun fisiknya, maka tidak perlu lagi setiap tahun pelajaran baru, harus ganti buku pelajaran pula. Namun hendaknya digarisbawahi bahwa sebaik atau seburuk apapun mutu buku pelajaran, peranan guru masih tetap lebih utama. Buku yang bermutu apabila dipakai oleh guru yang tidak bermutu dalam proses pembelajaran akan menghadirkan proses dan hasil pembelajaran yang tidak bermutu. Buku yang kurang/tidak bermutu apabila dipergunakan oleh guru yang bermutu akan dapat menghasilkan proses dan hasil pembelajaran yang bermutu. Buku yang bermutu apabila dipergunakan oleh guru yang bermutu pula akan menciptakan suasana, proses, dan hasil pembelajaran yang jauh lebih bermutu. Daftar Pustaka Althbach, P.G. & Teferra, D. (Eds). (1998). Publishing and development: A book of readings. Chestnut Hill: Bellagio Publishing Network Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional. ( 1999). Pembinaan perbukuan nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chatry-Komarek, M. (1996). Tailor-made textbooks. Oxford: CODE Europe Jakarta Post. 9 Juli 2005. Your leters: Supplies of textbooks Kompas. 9 Juli 2005. Buku ajar masih beratkan orang tua Pusat Perbukuan. (1994). Pedoman Pusat Perbukuan. Jakarta: Pusat Perbukuan. Pusat Perbuukuan, (1997). Mekanisme penyediaan buku pelajaran pokok SMP dan sekolah sederajat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sitepu, B.P. (2002). Otonomi penyediaan buku pelajaran dalam Analisis CSIS. Tahun XXIX/2000. No 3. Jakarta: CSIS Supriadi, D. (2000). Anatomi buku sekolah di Indonesia. Yogyakarta: AdiCita Suryadi, K., et al (2000). Pedoman penulisan dan penilaian naskah buku. Jakarta: Pusat Perbukuan 126 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Isu Mutakhir Isu-Isu Pendidikan Mutakhir Drs. Hotben Situmorang, M.BA*) Ir. Budyanto Lestyana, M.Si**) Pendahuluan engakhiri tahun pelajaran serta menyambut tahun pelajaran baru, terdapat dua isu yang sering mengemuka. Pertama isu tentang sistem penilaian dikaitkan dengan masalah mutu pendidikan serta sistem penerimaan siswa/mahasiswa baru dikaitkan dengan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan atau demokratisasi pendidikan. Kedua isu ini (kualitas dan kuantitas) saling terkait dan erat kaitannya dengan dana pendidikan yang tersedia. Untuk mewujudkan proses pembelajaran agar menghasilkan sumber daya yang bermutu memerlukan dana yang besar, terutama pengadaan alat-alat dan tenaga kependidikan. Sementara untuk memperbanyak daya tampung, diperlukan dana yang banyak membangun gedung atau ruang-ruang kelas baru. Oleh karena itu dana untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan serta sistem penilaian hasil belajar masih merupakan isu yang perlu dikaji lebih lanjut. M Pembiayaan Pendidikan Dimulai pada tahun sembilan puluhan kelompok konglomerat seperti halnya Group LIPPO, GLOBAL JAYA dan lain-lain memasuki dunia pendidikan dan menjadikannya “noble industry”. Jika pada umumnya dunia pendidikan dibangun dari usaha dan semangat disertai modal yang terbatas, maka kelompok konglomerat hadir dengan membangun sudut pandang yang berbeda berorientasi pada profit dengan modal investasi besar, kemampuan pemasaran serta professionalisme. Pengelola pendidikan menawarkan berbagai daya tarik pada orang tua calon siswa sebagai customer. Di antara konsep pendidikan “menarik” yang merupakan bumbu penyelenggaraan pendidikan tersebut, antara lain: - Multiple Intelligence - Flash Card Glen Doman - Brain Based Learning - Neuro Learning Process *) **) Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (2) BPK PENABUR Jakarta Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (1) BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004 127 Isu-Isu Pendidikan Mutakhir - Quantum Learning - Brain Gym - The Golden Age Period - Mozart Effect - Early Intervention & Early Child Education Pergeseran ini terjadi seiring dengan perilaku masyarakat dalam memandang pendidikan. Pendidikan yang sebelumnya merupakan kebutuhan sekunder telah dipandang sebagai kebutuhan utama. Dalam hal memenuhi kebutuhan utamanya ini, masyarakat memilih sesuai dengan kemampuan yang sangat terkait dengan ekonomi untuk memperoleh kualitas layanan yang setinggi-tingginya. Hal ini menciptakan kultur elitisme di kalangan sekolahsekolah “noble industry” tersebut. Padahal masyarakat banyak, mahalnya biaya pendidikan seringkali masih merupakan problem yang tak terpecahkan. Ki ta juga maklum atas ketidakmampuan pemerintah dal am penyelenggaraan pendidikan untuk semua warga negara. Akan tetapi realitas itu janganlah dijadikan apologi pemerintah lepas tanggung jawab dan menyerahkan kepada swasta. Bagaimanapun tanggung jawab pendidikan tetap ada di pundak pemerintah. Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, setiap warga negara berhak mengikuti pendidikan. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. UUD 45 juga menggariskan, negara harus mengalokasikan 20 persen APBN untuk anggaran pendidikan nasional. (Tajuk Rencana Pikiran Rakyat, 4 Mei 2005). Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pasal 46 mengamanatkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kabupaten Jembrana, dalam 4 tahun terakhir telah mensubsidi Rp. 14,7 M (hampir 3,7 M per tahun) untuk menggratiskan semua sekolah negeri. Kabupaten-kabupaten lain akan segera menyusul, di antaranya Balikpapan. Namun hingga saat ini belum diperoleh informasi kebijakan untuk sekolah swasta. Masih banyak sekolah swasta yang mengalami kesulitan biaya dan terancam tutup, padahal sekolah swasta masih dibutuhkan. Baiklah kita belajar dari pengalaman negara Irlandia yang telah lama memberlakukan sekolah gratis pada tingkat sekolah lanjutan pada akhir 1960an (Thomas Friedman. 2005. Ireland: The end of the rainbow. New York Times). Usaha pemerintah tersebut telah membuahkan keberhasilan pendidikan anak dari para buruh mencapai sekolah lanjutan atas dan tidak sedikit yang mencapai gelar pendidikan teknik. Pada tahun 1973 saat Irlandia bergabung dengan Uni Eropa, mereka telah menghasilkan banyak tenaga kerja terdidik. Pada tahun 1990, dengan jumlah angkatan kerja sebesar 1,1 juta jiwa, tidak ada pengangguran di Irlandia. Wakil Perdana Menteri, Mary Harney, 128 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004 Isu-Isu Pendidikan Mutakhir menyatakan bahwa hal tersebut bukan keajaiban akan tetapi adalah pengambilan kebijakan yang tepat dalam menyambut globalisasi. Kelulusan Ujian Nasional SMA Di samping usaha reformasi pendidikan yang sedang berlangsung adalah hasil Ujian Nasional tahun 2005 yang mengejutkan. Dengan nilai minimal kelulusan 4,26, ternyata sebanyak 800.000 siswa dinyatakan tidak lulus. Bahkan di 13 sekolah di Propinsi DIY 100% siswanya tidak lulus. Walaupun banyak kritikan dilontarkan terhadap Ujian Nasional tersebut, antara lain kualitas soal yang tidak standar, konversi nilai yang tidak transparan, dan sebagainya. Hasil ini mungkin merupakan gambaran yang sebenarnya mengenai seberapa parahnya kualitas pendidikan nasional Indonesia. Data statistic dari UNDP menunjukkan bahwa Human Development Index Indonesia menduduki rangking 111, satu nomor lebih baik dari Vietnam. Laporan UNDP tersebut menampilkan negara tetangga Singapore pada urutan 25, Malaysia 59 dan Philipines 83. Sistem Kenaikan Kelas Pada tahun 2004 pemerintah mensosialisasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menyusul program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah diluncurkan terlebih dahulu. Dengan dasar MBS pelaksanaan KBK menjadi pilihan bagi sekolah dan disesuaikan dengan kesiapan masing-masing sekolah. Peluang melaksanakan kurikulum yang berbeda mendorong sekolah berinovasi dengan dengan berbagai sistem pembelajaran. Beberapa sekolah yang menyatakan diri berwawasan Internasional memberlakukan Victorian Curriculum, Cambridge, atau IB system. Sekolah yang lain meluncurkan program akselerasi dengan kurikulum nasional. Berbagai inovasi tersebut tetap belum menyentuh permasalahan sistem kenaikan kelas. Berbeda dengan di Indonesia, dalam pendidikan dasar 9 tahun di Jepang tidak ada ujian masuk, ujian kenaikan kelas, dan ujian kelulusan; secara otomatis semua murid naik kelas dan lulus. Untuk masuk sekolah di atas pendidikan dasar (yaitu mulai sekolah lanjutan tingkat atas), murid harus lulus ujian masuk. (Abas Gozali, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.027November 2000). SMA Umum di Jepang pada dasarnya dibagi dalam 3 tingkat seperti di Indonesia, dengan struktur program yang sama untuk semua siswa. Sejak tahun 1988, diperkenalkan Sistem Kredit Semester untuk mengakomodasi perbedaan individual dan minat siswa. Dalam 10 tahun telah ada 170 sekolah (negeri dan swasta) yang menerapkan sistem tersebut. Pada sistem ini siswa Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004 129 Isu-Isu Pendidikan Mutakhir dapat memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan jadwal sesuai kepentingannya. Tampaknya hal ini menjadi pilihan siswa, bahkan siswa yang telah dropout dapat mengikuti pendidikan kembali. (Gradeless High Schools: Schools Diversifying Under the Credit System. Kementerian Pendidikan Swedia saat ini juga sedang mempersiapkan reformasi sistem pendidikan nasionalnya yang mengarah pada SKS. (Important reforms for higher education). Sumber http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?Id=69164 http://web-japan.org/trends98/honbun/ntj980515.html 13 Juli 2005 http://www.sweden.gov.se 3 Juli 2005 130 Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004 Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen Resensi Buku Judul : Pengarang Penerjemah Penerbit : : : Cetakan : Tebal/Ukuran : Oleh : Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen James W Braley, LL.D Agustien, S.S. Association of Christian Schools International 1, 2004 140 halaman / 21 x 27 cm Imma Helianti Kusuma*) Pedoman Praktis Membangun Sekolah Kristen anajemen Berbasis Sekolah memberikan peluang yang besar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk ikut berpartisipasi dalam peningkatan mutu pendidikan. Kesempatan ini tentunya perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bentuk partisipasi itu dapat dilakukan dengan mendirikan sekolah baru atau mengembangkan sekolah yang sudah ada. Tetapi bagi orang awam yang belum mengenal dunia persekolahan akan bertanya, “Bagaimana memulai mendirikan sekolah baru?” atau “Bagaimana mengembangkan sekolah yang sudah ada?” Apalagi masih diberi embel-embel Kristen. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat Anda temukan dalam buku yang berjudul “Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen” karangan James W. Braley. Sejauh penulis ketahui memang belum banyak referensi atau buku-buku yang secara khusus memberi informasi praktis cara memulai dan mengembangkan sekolah Kristen. Ada satu buku yang telah beredar di masyarakat sejak tahun 1993 yang berjudul “Pedoman Penyelenggaraan Sekolah Kristen”. Buku yang ditulis oleh Nathanael Daldjoeni dkk, terbitan Pusat Pengembangan Pendidikan Kristen MPPK Salatiga dapat juga menjadi acuan. Di dalamnya mengupas tentang hakikat dan implikasi sekolah Kristen, kelembagaan dan pengelolaan sekolah Kristen, sekolah Kristen dan administrasi pendidikannya, tenaga pendidikan sekolah Kristen dan persyaratannya, guru dan tugasnya sebagai pembimbing, alat pendidikan dan pengajarannya. Tetapi penyajiannya cenderung teoritis, kurang mendarat pada sasaran. Berbeda dengan buku karangan James W Braley yang dapat menjadi “panduan praktis” dalam mengambil keputusan untuk mendirikan, merencanakan dan mengembangkan sekolah Kristen. Dalam mengelola sekolah Kristen ada beberapa prinsip yang membedakan dengan sekolah lain. Prinsip-prinsip kekristenan mewarnai setiap kegiatan yang ada. Prinsip tersebut menekankan: (1) Kristus merupakan tokoh pusat, menerapkan pengajaran Alkitabiah seperti “lebih diberkati” untuk memberi daripada menerima. Oleh karena itu kegiatan yang ada menekankan kepada melayani. (2) Allah memberikan tanggung jawab kepada orang tua untuk mendidik anaknya. Karena itu kegiatan yang ada harus didesain sedemikian rupa agar orang tua M *) Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (3) BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 131 Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen terlibat dalam proses pendidikan itu. (3) Sekolah membantu menemukan dan mengembangkan bakat, mengenali dan menghargai kelebihan setiap individu. Memberikan penghargaan ketika siswa menggunakan dan mengembangkan bakat mereka. Menurut hemat penulis prinsip ini sebenarnya dapat merupakan tantangan bagi pengelola dan pengembang sekolah Kristen untuk memikirkan bagaimana mengaplikasikannya dalam setiap perancangan program sekolah. Sekolah Kristen ada sebagai panggilan untuk melayani Allah dan sesama. Sekolah Kristen memiliki misi pendidikan bagi generasi muda dengan mendasarkan pada prespektif Kristen yang berasal dari nilai-nilai Alkitabiah yang diakui oleh gereja dan keluarga Kristen. “Sekolah” mengajarkan seluruh segi kehidupan dan kebenaran yang berpusat pada Tuhan Yesus yang ada di dalam Alkitab. Dengan mendirikan sekolah Kristen berarti Allah memberikan sebuah tantangan dan kesempatan untuk memberitakan Kristus kepada orang tua dan anak-anak. Dalam hal ini berarti sekolah Kristen menjadi kitab terbuka yang dapat dibaca oleh setiap orang yan g m eman dan gnya, s eko lah Kristen menjadi panu tan dalam lingkungannya. Ditegaskan dalam buku ini bahwa langkah awal yang harus ditempuh untuk mendirikan sekolah Kristen adalah (1) Ide tentang sekolah Kristen harus dimatangkan di dalam doa. Doalah yang harus menuntun keseluruhan kegiatan karena doa membawa berkat Allah. (2) Membentuk sebuah panitia studi untuk melakukan penelitian tentang kemungkinan memulai sebuah sekolah. Siapa saja yang menjadi anggota panitia ini? Perencanaan apa saja yang harus dibuat? Kemana saja hubungan harus dijalin? Bahkan sampai pada survei biaya untuk memperkirakan pendapatan. (3) Presentasikan ide sekolah Kristen kepada majelis atau dewan gereja, anggota gereja atau pendukung pendanaan sekolah untuk mendapat persetujuan. (4) Rekruitmen pimpinan sekolah dan guru (5) Analisis untuk fasilitas sekolah. (6) Mulai promosikan sekolah. (7) Kebijakan finansial (hal. 1-5). Sebelum memulai sebuah proyek, akan lebih bijaksana bila didahului dengan penelitian. Buku ini juga membahas tentang data-data yang diperlukan untuk kemungkinan memulai sebuah sekolah Kristen pada suatu daerah sebagai bahan penelitian, bahkan dilengkapi dengan formulir survei. Setelah mengadakan penelitian maka dilanjutkan dengan perencanaan ekstensif. Dalam materi ini disediakan checklist perencanaan tentang informasi utama, sasaran dan daftar periksa untuk mengembangkan sekolah Kristen. Bagian ini akan lebih terarah apabila dilengkapi dengan bagaimana memproses dan menganalisis data survei sehingga dapat dimanfaatkan untuk penentuan sebuah keputusan yang tepat. Filosofi merupakan dasar atau pondasi utama dari semua yang dilakukan sekolah yang di dalamnya menyangkut seluruh proses belajar dan aktifitas lain. Oleh karena itu filosofi penting untuk dikembangkan dan dinyatakan secara sederhana. Selain filosofi, dalam mengembangkan perencanaan sekolah perlu dipikirkan juga tentang: (1) pernyataan iman yang merupakan kepercayaan sekolah dengan fokus pertanyaan untuk apa diajarkan, apa yang melatarbelakangi rohaninya. (2) menentukan tujuan dan lingkup sekolah, mengatur struktur sekolah. (3) sekolah harus mempunyai misi yang jelas; dan (4) mengetahui kriteria dalam proses akreditasi karena sangat membantu dalam mengembangkan suatu sekolah. Dalam 132 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen buku ini diuraikan untuk setiap bagian tersebut serta dilengkapi dengan contoh (hal. 8-14) Ada beberapa hal yang perlu digum uli untuk membantu panitia pengembangan sekolah “Kristen” yang merupakan ciri khusus kekristenan itu sendiri, misalnya bagaimana guru Kristen menerapkan konsep kristiani? Bagaimana kita memuliakan Tuhan dan mengajar murid dengan konsep yang tepat mengenai diri sendiri? Bagaimana kita menerapkan kebenaran Alkitabiah mengenai kejatuhan manusia? Bagaimana metode mengajar yang baik memberi konsep yang benar tentang Allah? Siapakah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak? Bagaimana kita mengetahui apakah sekolah berhasil melayani masyarakat atau gagal? Pertanyaan di atas dijabarkan dengan jelas sampai pada bagaimana membuat dan mendapatkan dokumen, mengetahui tujuan dari setiap acuan dan proses memanfaatkan untuk lebih memudahkan dalam penerapan di lapangan, semuanya dipandu dengan berbagai pertanyaan (hal. 15-18). Adalah penting untuk menyusun struktur organisasi sekolah dengan baik. Oleh karena itu struktur organisasi perlu dipersiapkan dengan disertai job description dan tanggung jawab serta bagian apa saja yang perlu ada untuk mengembangkan sekolah. Struktur organisasi terbagi atas 2 bagian yaitu pengambil kebijakan dan panitia kerja. Pengambil kebijakan adalah dewan pengurus, sedangkan panitia kerja adalah bagian operasional sekolah. Buku ini menampilkan checklist tentang apa yang harus dilakukan dalam pembuatan struktur organisasi, contoh bagan organisasi sekolah Kristen berdasarkan lembaga yang mendanai (mensponsori), dan bagaimana pengorganisasiannya. Dijelaskan juga tentang tugas, tanggung jawab, fungsi, wewenang, kode etik, dan hubungan satu bagian dengan yang lainnya misalnya kepala sekolah dan dewan pengurus. Tidak terkecuali tugas dan tanggung jawab pengurus diuraikan secara jelas, juga disediakan checklist tentang apa saja yang harus dilakukan oleh dewan pengurus untuk hal yang bersifat umum, hal berkenaan dengan legal, guru dan staf, keuangan, penerimaan murid, struktur organisasi dewan pengurus. Selain itu juga diuraikan tentang penetapan pedoman kebijakan yang merupakan sebuah dasar untuk efisiensi dan konsistensi. Sebagai bagian dari kebijakan sekolah, prinsip-prinsip disiplin perlu dirumuskan dengan jelas dan dipahami. Karena bercirikan Kristen maka dalam buku ini dikupas tentang bagaimana menetapkan disiplin positif yang sesuai dengan kitab suci dan tetap mengajarkan nilai-nilai Alkitab (hal. 30-43). Jika dalam pembahasan awal “bercirikan kekristenan” yang membedakan pengembangan sekolah yang lain maka dalam kupasan ini akan lebih jelas bedanya apabila disajikan juga tentang tugas-tugas setiap jabatan yang mencerminkan ciri kekristenan tersebut sehingga prinsip yang selayaknya dipegang akan teraplikasi dalam setiap tugas yang dibebankan. Uraian tugas dan wewenang untuk pengurus perlu disosialisaikan kepada setiap pengurus agar tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaan. Seleksi terhadap staf pengajar dan karyawan lainnya merupakan salah satu tugas yang sangat penting dari dewan pengurus dan Kepala Sekolah. Pada hal. 45-71 diuraikan bagaimana merekrut dan mempekerjakan seorang Kepala Sekolah. Selain dilengkapi dengan hal-hal yang harus dicapai oleh seorang Kepala Sekolah, juga beberapa contoh formulir misalnya aplikasi awal mengajar guru, kuesioner Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 133 Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen tindak lanjut pribadi guru, rekomendasi profesional, tambahan dalam kontrak, surat penunjukkan, kontrak/uraian jabatan dan uraian tugas guru, penyusunan pedoman staf. Dalam pengembangan guru agar mampu bertahan pada zamannya maka pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan tuntutan dan kondisi perlu dirancang agar seorang guru Kristen secara berkelanjutan terus mencari kesempatan untuk bertumbuh dan belajar. Evaluasi guru merupakan suatu feedback yang dapat dipergunakan untuk pengembangan diri maupun pengembangan sekolah juga diuraikan dengan jelas dan dilengkapi contoh formulir evaluasi guru. Dalam buku kepemimpinan kepala sekolah karangan Wahjosumidjo diuraikan bahwa kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional guru yang diberikan tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar. Tugas memimpin mengandung arti kemampuan menggerakkan segala sumber yang ada pada suatu sekolah sehingga didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktik organisasi kata memimpin, mengandung konotasi menggerakkan, mengarahkan, membimbing, melindungi, membina, memberi teladan, memberi dorongan, memberi bantuan dan sebagainya. Hal ini memberikan indikasi betapa luasnya tugas dan peranan kepala sekolah sebagai seorang pemimpin suatu organisasi. Oleh karena itu sebaiknya dalam buku James W. Braley seyogianya diuraikan secara jelas untuk setiap perannya, misalnya kepala sekolah sebagai pejabat formal, sebagai manajer, sebagai pemimpin, sebagai pendidik, sebagai staf dsbnya. Fasilitas sebagai sarana pendukung kelancaran program sekolah, perlu didesain. Fasilitas pokok apa saja yang sebaiknya ada untuk suatu sekolah, bagaimana pengaturan yang baik agar berfungsi sesuai yang diharapkan di kupas pada hal. 72- 81. Fasilitas banyak sekali macamnya. Setiap jenjang pendidikan akan berbeda satu dengan lainnya sesuai dengan program yang sedang dikembangkan oleh sekolah tersebut. Fasilitas akan berfungsi mendukung atau mensuport program ketika diefektifkannya fasilitas tersebut dalam pelaksanaan sebuah program. Seorang perancang atau pengembang pendidikan perlu mengetahui fungsi setiap fasilitas sehingga mampu mendayagunakannya, selain itu perlu mengetahui tentang letak, ukuran, disain interior, pengelolaan, perawatan dari setiap jenis fasilitas. Kurikulum sebagai bagian pokok dari penyelenggaraan suatu sekolah, menjadi sorotan dalam buku ini. Kurikulum tidak akan terlepas dari buku teks, buku latihan dan materi lainnya perlu diseleksi dengan cermat oleh guru sehingga dapat diadaptasi dan ditambah bila diperlukan guna memasukkan pandangan Alkitab. Guru harus menyeleksi materi tersebut sampai pada penggunaannya. Di dalam buku ini juga diinformasikan penerbit-penerbit yang memproduksi materi-materi untuk sekolah Kristen. Dibahas juga bagaimana merancang kurikulum untuk sekolah Kristen, dilengkapi dengan checklist langkah merancang kurikulum sekolah dan contoh menyusun kurikulum (hal. 82-92). Dalam bagian ini akan lebih berbeda bila mengupas contoh-contoh kurikulum yang bermuatan atau bercirikan kekristenan sehingga terlihat jelas bedanya dengan sekolah lain. Sekolah membutuhkan banyak formulir dan materi cetak lainnya. Formulir yang harus tersedia di suatu sekolah tersebut antara lain formulir pendaftaran, 134 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Resensi: Bagaimana Memulai dan Mengembangkan Sekolah Kristen slip pembayaran, tes masuk, formulir aplikasi guru dan referensi, formulir evaluasi diri guru, formulir evaluasi dari kepala sekolah untuk guru, kertas surat, brosur sekolah dsb. Bagaimana seharusnya bentuk dan isi formulir tersebut & bagaimana pembuatannya di jelaskan pada hal. 95- 97. Contoh formulir aplikasi siswa, pernyataan kerjasama antara ayah dan ibu tidak lupa di munculkan. Komunikasi yang baik antara pihak sekolah dengan orang tua akan mendukung terlaksananya proses belajar mengajar yang baik. Hal. 98-99 menggambarkan bagaimana menciptakan komunikasi yang baik dan apa saja yang seharusnya sekolah s iapkan agar o rang tu a m engetah ui dan mam pu menduku ng penyelenggaraaan kegiatan sekolah. Sebagai sekolah Kristen tentunya mempunyai warna kristiani dalam menjalin komunikasi dengan orang tua. Oleh karena itu perlu di desain kegiatan-kegiatan seperti apa yang dapat digarap oleh sekolah dalam menjalin hubungan dengan orangtua, sehingga mampu memberikan suatu pelayanan yang berbeda tehadap orang tua di bandingkan dengan sekolah lain. Dalam operasional sekolah, keuangan merupakan unsur yang penting. Bagaimana merencanakan hal-hal yang dibutuhkan, mengajukan anggaran, dan fungsi pengawasan yang cermat merupakan unsur penting dalam keuangan. Perlu dipahami juga bahwa setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda, sekolah dikelola dengan tujuan yang berbeda, dan proses penyusunan anggaran akan mencerminkan tujuan tsb. Apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun anggaran sekolah dapat dipelajari di hal 100-108. Bagian lain yang merupakan pendukung dari penyelenggaraan sekolah seperti transportasi, kesehatan, mengiklankan sekolah dibahas di hal. 109-116. Keunggulan dari buku ini terletak pada pencantuman pertimbanganpertimbangan Alkitabiah untuk memulai dan mengembangkan sekolah Kristen dengan pembahasan serta dilengkapi format-format yang dapat langsung digunakan, contoh-contoh praktis yang dapat diterapkan, kolom checklist tentang pokok utama yang harus dilakukan pada setiap bagian. Selain itu juga dilengkapi dengan menempatkan Kristus pada porsi yang sebenarnya pada sistem persekolahan. Karena buku ini adalah hasil terjemahan, maka sidang pembaca memerlukan waktu yang banyak untuk membaca agar benar-benar paham. Inilah kelemahan mencolok dari buku ini. Selain itu pembahasannya kurang sistematis misalnya bagian filosofi dan perencanaan yang harus dilakukan,. Pada bab-bab tertentu misalnya masalah fasilitas tidak di bahas secara tuntas dan tidak terarah. Namun penulis berpendapat sebagai sebuah buku yang menginformasikan berbagai langkah yang harus diambil untuk memulai dan mengembangkan sekolah Kristen, buku karangan James W Braley layak dibaca. Secara khusus penulis menyarankan kepada para pengelola pendidikan Kristen, Dewan Pengurus yayasan Kristen, pengembang pendidikan Kristen, Kepala Sekolah, Guru untuk mencerna isi buku terbitan Association of Christian Schools International. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 135 Profil BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global Yuli Kwartolo, S.Pd*) Sejarah Singkat alam sejarah pertumbuhannya sebelum memakai nama BPK PENABUR Jakarta, dikenal beberapa istilah. Dalam akta pendiriannya pada tahun 1950 disebut dengan istilah “Komisi Sekolah” Badan Pendidikan THKTKHKH Djawa Barat. Kemudian berganti dengan istilah Komisi Jakarta, selanjutnya berganti nama dengan istilah Komisi Pembantu Setempat (KPS) Jakarta dan saat ini bernama BPK PENABUR Jakarta. Sejalan dengan perkembanganya, BPK PENABUR Jakarta semakin lama semakin mapan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Ini dapat dilihat dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana, seperti dibangunnya gedung-gedung sekolah. Salah satunya adalah Gedung SMAK 1 BPK PENABUR di Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Jakarta Barat. Sekolah yang dikelolanya terus bertambah dari jenjang TK sampai dengan SLTA. Sampai tahun pelajaran 2004/2005, jumlah sekolah yang dikelola BPK PENABUR Jakarta berjumlah 47 sekolah. Dengan rincian TK ada 14 sekolah, SD ada 13 sekolah, SMP ada 10 sekolah, SMA ada 7 sekolah, dan Kejuruan ada 3 sekolah (SMEA, STM, dan SMF). Jumlah siswa mencapai 20 ribu lebih. Untuk mengikuti tuntutan zaman, BPK PENABUR Jakarta telah melakukan banyak terobosan. D Pembelajaran Unggul Pembelajaran unggul (bukan sekolah unggul) adalah terobosan yang dilakukan oleh BPK PENABUR Jakarta, khususnya jenjang Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar untuk menciptakan sebuah proses pendidikan yang asyik, menyenangkan, tapi berbobot. Pembelajaran unggul dicirikan dengan beberapa hal: 1) mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan siswa, 2) terpadu, 3) metode pembelajaran bervariasi, modern–mengarah kepada pendekatan belajar aktif, 4) pemanfaatan berbagai sumber belajar (buku, nara sumber, objek langsung, *) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta 136 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global media pembelajaran), dan 5) pengoptimalan kecerdasan jamak (multiple intelegences) siswa. Pembelajaran unggul menempatkan sumber belajar terpadu dalam proses pembelajaran, dengan kata lain kehadiran teknologi selalu ada di setiap proses pembelajaran. Sumber belajar yang dimaksud dapat berupa benda nyata, model, perangkat lunak program pembelajaran, orang (nara sumber), lingkungan belajar (mendekati objek nyata), dan metode/pendekatan pembelajaran yang mengarah pada kreativitas siswa. Kegiatan pembelajaran dengan menghadirkan penjual jamu (mbok jamu), dalang, English native speaker (penutur asli untuk bahasa Inggris) ke sekolah, berkunjung ke kantor pemadam kebakaran dan bandara udara, mengunjungi kebun pertanian organik merupakan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan sekolah untuk merealisasikan program “pembelajaran unggul” pada jenjang Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar. Pemanfaatan multimedia dalam pembelajaran, seperti OHP, komputer, dan televisi juga langkah yang selalu dilakukan. Pemanfaatan komputer dalam proses pembelajaran yang dimaksud adalah mengenalkan huruf, angka, warna, konsep waktu, menggambar bebas dil anjutkan mengarang cerita ses uai dengan gambar tersebut, mengelompokkan benda-benda yang mempunyai bentuk, ukuran, ciri-ciri tertentu diimplementasikan secara luas di Taman Kanak-Kanak. Kegiatan yang sama juga dilakukan pada jenjang Sekolah Dasar dengan kajian materi yang lebih mendalam. Pengantar Bahasa Inggris Proses pembelajaran, khususnya mata pelajaran matematika di sekolahsekolah dasar yang menerapkan pembelajaran unggul, menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Di jenjang SMP pun demikian. Beberapa sekolah jenjang SMP proses pembelajaran matematika dan fisika menggunakan bahasa Inggris. Ada program English Day di beberapa sekolah. Program Akselerasi (Percepatan Belajar) Mengikuti perkembangan tren pendidikan dan tuntutan masyarakat khususnya dalam layanan pendidikan bagi anak-anak cerdas secara intelektual, BPK PENABUR Jakarta telah menyelenggarakan program akselerasi. Penyelenggaraan program akselerasi didasari atas rekomendasi pihak pemerintah yang menilai bahwa BPK PENABUR Jakarta mampu melaksanakannya. Berbagai petunjuk teknis dan pelatihan yang direkomendasi pemerintah diikuti untuk mematangkan persiapan. Akhirnya, tahun pelajaran 2002/2003 program akselerasi mulai mewarnai proses pendidikan di BPK PENABUR JAKARTA. Dengan demikian program askselerasi sudah berjalan Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 137 BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global selama 3 tahun pelajaran dan telah berhasil meluluskan angkatan pertama dan kedua. Saat ini program akselerasi baru dilaksanakan pada satu sekolah di setiap jenjangnya. Jenjang sekolah dasar dilaksanakan di SD Kristen 10 yang berlokasi di Jln. Muara Karang Jakarta Utara, jenjang menengah pertama dilaksanakan di SMP Kristen 4 yang berlokasi di Jln. Hibrida Raya Blok QA3 Kelapa Gading Jakarta Utara, dan jenjang menengah atas di SMA Kristen 1 yang berlokasi di Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Jakarta Barat. Lama pendidikan program akselerasi lebih pendek dari kelas reguler. Jenjang SD dimulai dari kelas 3 s.d. kelas 6 ditempuh dalam waktu 3 tahun, jenjang SMPdalam 2 tahun, dan jenjang SMA juga dalam 2 tahun. Pelaksanaan pembelajaran di semua jenjang dengan sistem guru berpasangan (team teaching). Siswa program akselerasi mendapatkan fasilitas khusus seperti, ruang belajar ber-AC dengan dengan sistem pengaturan suhu yang baik, multi media dan perpustakaan yang nyaman dilengkapi dengan internet. Untuk keefektifan proses pembelajaran jumlah siswa dibatasi maksimal 20 orang. Di tengah-tengah rutinitas mengikuti pelajaran, kegiatan outbound, pengembangan kepribadian, dan kepemimpinan diadakan bagi siswa akselerasi. Materi yang diajarkan adalah Kurikulum Plus BPK PENABUR Jakarta yang merupakan Kurikulum Nasional yang diperkaya. Tidak semua materi diajarkan, namun dipilih materi-materi yang esensial. TK Bilingual Supaya tetap eksis dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lebih dulu membuka sekolah-sekolah berlabelkan “bilingual”, mulai tahun pelajaran 2005/2006 yayasan pendidikan Kristen ini juga menyelenggarakan sekolah “bilingual”. Pendekatan pembelajarannya bersifat inklusif. Untuk sementara ini sekolah “bilingual” akan dilaksanakan di TK Kristen 6 di Kompleks Sekolah Kelapa Gading dan TK Kristen 11 di Kompleks Sekolah Sunrise Garden. Ke depan diharapkan di setiap jenjang SD, SMP, dan SMTA mampu melaksanakan sekolah “bilingual”. Program Spesialisasi Agar lulusan memiliki bobot kualitas yang dapat diandalkan, beberapa SMAK di lingkungan BPK PENABUR Jakarta melaksanakan program yang diberi nama program spesialisasi. Masing-masing sekolah berbeda. SMAK 1 melaksanakan Program Spesialisasi ‘Sains’; SMAK 2 ‘English for Business’; SMAK 4 ‘Penelitian Sosial’; SMAK 5 ‘Leadership; SMAK 7 ‘Information Technology’ (IT). 138 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global Sekolah Lima Hari Sekolah 5 hari di BPK PENABUR Jakarta telah dijalankan sejak tahun pelajaran 2002/2003. Beberapa pemikiran yang mendasari pelaksanaan sekolah 5 hari yaitu: (1) siswa, guru dan karyawan mendapat peluang yang cukup untuk bersosialisasi dengan keluarga dan lingkungannya; (2) siswa, guru dan karyawan lebih termotivasi melakukan tugas di sekolah sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan; (3) meningkatkan efisiensi dan efekfivitas dalam belajar dan bekerja; (4) orang tua siswa mempunyai kesempatan yang besar melakukan pendampingan terhadap anaknya; (5) ada waktu luang yang lebih untuk melaksanakan kegiatan kerohanian, sosial, menyalurkan hobi, atau kegiatan pribadi lainnya tanpa mengganggu tugas kantor; (6) mengurangi kejenuhan atau kelelahan fisik karena kondisi lalu lintas yang macet tiap hari; (7) mengurangi kemacetan di sekitar kompleks sekolah akibat keluar masuk kendaraan orangtua siswa; dan (8) sebagai upaya penghematan biaya air PAM, listrik, dan telepon. Sebagai sebuah terobosan yang dapat dikatakan “maju” bahkan tidak lazim (tidak semua sekolah di Jakarta menerapkan 5 hari belajar), pada awalnya hal ini dilakukan sekedar uji coba saja. Namun ternyata sekolah 5 hari menjadi suatu kebutuhan, mengingat situasi dan kondisi metropolitan dan sekitarnya yang sangat dinamis. Setelah berjalan satu tahun, program sekolah 5 hari (PS5H) telah dilakukan evaluasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LEMLITABMAS) UKRIDA. Hasil evalusi itu telah dimuat pada Jurnal PENDIDIKAN PENABUR No. 03/III/Desember 2004. Laporan di jurnal itu berjudul “Program Sekolah Lima hari, Evaluasi Formatif” yang ditulis oleh B.P. Sitepu. Berdasarkan temuan fakta-fakta di lapangan, pokok-pokok pikiran itu yakni: (1) Pelaksanaan PS5H cenderung hanya memindahkan lokasi waktu belajar. Beban belajar hari Sabtu didistribusikan ke hari Senin s.d. Jumat. (2) Dampak pelaksanaan PS5H bagi siswa ialah beban pekerjaan rumah dan frekuensi ulangan harian yang semakin berat, dan menurunnya konsentrasi siswa pada jam-jam terakhir pelajaran. Siswa merasa tertekan dan menimbulkan kecemasan apabila mereka dijejali pekerjaan rumah serta ulangan-ulangan harian sebagai kompensasi hari Sabtu. (3) Sebagian besar guru menyatakan tidak melakukan perubahan dalam metode pembelajaran setelah melaksanakan PS5H. Padahal dengan berubahnya jam belajar, metode pembelajaran harusnya juga disesuaikan. Upaya yang dapat dilakukan adalah memotivasi guru-guru mengikuti berbagai pelatihan yang dilaksanakan pada hari Sabtu. (4) Sistem manajemen sekolah BPK PENABUR Jakarta, khususnya dalam Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 139 BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global pembiayaan dan pengadaan perlengkapan keperluan sekolah sangat sentralistik. Kenyataan ini berdampak pada lamanya waktu pemesanan dan perbaikan perlengkapan dan fasilitas pembelajaran, mengurangi fleksibilitas, dan pada akhirnya pada surutnya kreativitas sekolah dan guru. (5) Sebagian besar siswa (SMP, SMA dan SMK) dan orang tua menganggap belum merasakan adanya peningkatan mutu pendidikan sekolah. Bagi BPK PENABUR Jakarta pokok-pokok pikiran laporan di atas merupakan masukan. BPK PENABUR Jakarta telah menindaklanjuti apa yang harus dilakukan berdasarkan hasil evaluasi itu. 1. Hasil temuan bahwa pelaksanaan PS5H cenderung hanya memindahkan lokasi waktu belajar, yang berakibat beban pekerjaan rumah siswa dan frekuensi ulangan harian yang semakin berat, dan menurunnya konsentrasi siswa pada jam-jam terakhir pelajaran. Untuk mengatasi kecenderungan itu BPK PENABUR Jakarta sudah melakukan apa yang dinamakan dengan mengubah struktur kurikulum yang disesuaikan dengan waktu sekolah lima hari. Kemudian juga melakukan bedah kurikulum. Inti dari kedua langkah ini adalah menentukan konsep-konsep esensial dari suatu pokok bahasan. Konsep-konsep yang sekiranya tidak perlu atau malah menambah beban dibuang. 2. Hasil temuan yang menyatakan bahwa sebagian besar guru tidak melakukan perubahan dalam metode pembelajaran setelah melaksanakan PS5H. BPK PENABUR Jakarta melalui bidang Pendidikan dan Latihan (DIKLAT) telah mengadakan pelatihan-pelatihan dengan berbagai materi pelatihan. Tujuan pelatihan adalah berupaya meningkatkan performance guru agar terus meningkat kualitasnya. Termasuk di dalamnya yang dibidik adalah, guru menemukan berbagai metode atau pendekatan pembelajaran yang variatif agar proses pembelajaran lebih efektif. Berbagai fasilitator yang berkualitas baik secara teoritis maupun praktis diundang untuk memberi pelatihan. Mengefektifkan supervisi guru, rapat guru, Kelompok Kerja Guru (KKG), dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) adalah beberapa langkah lain yang ditempuh. 3. Hasil temuan menyatakan bahwa sistem manajemen sekolah BPK PENABUR Jakarta sangat sentralistik, sehingga mengakibatkan pembiayaan dan pengadaan perlengkapan keperluan sekolah sangat lambat. Pada aras operasional; khususnya Bagian Umum dan Sarana Prasarana (SARPRAS) telah dibagi menjadi empat area pekerjaan yang masing-masing area di kepalai oleh Kepala Bidang Area. Keempat area itu adalah : (1) Area Timur dengan pelayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Kelapa Gading, Cawang, Cipinang Baru, Cikarang, dan TMII; (2) 140 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global 4. Area Barat dengan pelayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Tanjung Duren, Sunrise Garden, dan Muara Karang; (3) Area Tengah dengan pelayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Gunung Sahari, Pembangunan, Pintu Air, Pintu Besi, dan Diponegoro; (4) Area Tangerang dengan palayanan kerja meliputi Kompleks Sekolah Gading Serpong, Kota Modern, dan Bintaro. Dengan konsep kerja seperti itu diharapkan segala hambatan di lapangan berkaitan dengan perbaikan atau pengadaan barang yang diperlukan dalam proses pembelajaran dapat dieliminasi sekecil mungkin. Ditambah lagi dengan kewenangan kepala sekolah menggunakan kas kecil untuk keperluan yang mendesak. Sebagian besar siswa (SMP, SMA, SMK) dan orang tua menganggap belum terasakan adanya peningkatan mutu pendidikan sekolah. Atas temuan ini memang sejak awal dasar pemikiran konsep PS5H tidak diperuntukkan sebagai jembatan untuk meningkatan mutu pendidikan. Poin ini sudah jauh bergeser. Namun demikian hendaknya tidak diartikan BPK PENABUR Jakarta tidak melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di semua jenjang. Malah sebaliknya, semua komponen yang ada di yayasan pendidikan Kristen ini mempunyai komitmen untuk terusmenerus meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan Multiple Intelligences Kualitas pendidikan yang dimaksud di sini tidak hanya terfokus pada peningkatan potensi intelektual atau akademiknya saja, melainkan semua potensi anak didik dikembangkan secara optimal. BPK PENABUR Jakarta dengan programprogramnya memberi porsi yang seimbang terhadap peningkatan potensipotensi siswa di luar kemampuan intelektualnya. Langkah ini sebagai jawaban atas apa yang dikemukan oleh Howard Gardner dengan istilah multiple intelligences-nya (kecerdasan jamak). Berdasarkan dokumentasi yang ada, BPK PENABUR Jakarta memberi nama Program-Program Unggulan Sekolah. Sasaran umum yang hendak dicapai adalah, mendidik siswa menjadi warga masyarakat yang takut akan Tuhan, memanfaakan potensinya secara optimal (mandiri dan andal), dan peduli serta bertindak dengan kasih. Strategi penyelenggaraan pendidikan menekankan pada: (1) penanaman dan pengembangan nilai-nilai Kristiani; (2) pengembangan kepribadian siswa (kepemimpinan, kerjasama, dan sikap sosial); (3) pengembangan intelektual dan emosional yang seimbang; (4) pemanfaatan dan penguasaan teknologi untuk merangsang daya cipta kreatif; (5) pengembangan kemampuan berkomunikasi lisan dan tertulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris; (6) pembinaan bakat siswa dalam bidang seni dan olahraga. Secara konkret Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 141 BPK PENABUR JAKARTA Berbenah Menghadapi Persaingan Global program-program sekolah yang menekankan pada pengembangan aspek non intelektual yaitu: (1) pembinaan dan pengembangan seni (drumband, tarian, lukis, paduan suara, kolintang, ensambel, angklung); (2) pembinaan kepribadian siswa dalam bentuk pembiasaan perilaku yang positif, retret, pelajaran bina pribadi, saat teduh setiap hari, Palang Merah Remaja dan Adikarsa Nugraha Cestita, kebaktian bersama setiap bulan dan pelayanan di gereja dan luar sekolah serta aksi-aksi sosial; (3) pembinaan dan pengembangan olahraga (catur, renang, atletik, sepakbola, basket), kepemimpinan, pramuka. Seperti judul artikel di atas, dan didasari atas tuntutan keadaan untuk bergerak cepat memanfaatkan peluang dan menjauhkan ancaman, BPK PENABUR Jakarta terus berbenah dengan terobosan-terobosan baru yang antisipatif terhadap perkembangan zaman. Daftar Pustaka Gardner, Howard. (2003). Multiple intelligences (Kecerdasan majemuk). Batam: Interaksara http://www1.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/p4/unggul.htm Koespradono, Gantyo dkk (2000). “BPK PENABUR Lima puluh Tahun mengabdi dan melayani”, Badan Pendidikan Kristen PENABUR, Jakarta. Kwartolo, Yuli. “Peran teknologi pembelajaran dalam implementasi dan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (Sebuah implementasi di Sekolah BPK PENABUR Jakarta”, makalah pada Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Jogjakarta, 21 – 23 Agustus 2003. Situmorang, Hotben dkk. “Program akselerasi (percepatan belajar pada jenjang SD, SMP, dan SMA di BPK PENABUR Jakarta; Sebuah kajian”. Pusat Pengembangan dan Pengkajian (P4) BPK PENABUR Jakarta, 2005. 142 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV/ Juli 2005 Keterangan Mengenai Penulis Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, lahir 30 Maret 1945. Menyelesaikan Program S3 pada Pracer Universiteit Amsterdam tahun 1987. Sebelumnya pernah menjadi Rektor Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (1990-1998). Banyak menulis artikel yang dimuat di media massa dan juga menulis buku. Saat ini sebagai Ketua Umum Persekutuan gereja-gereja di Indonesia Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo, lahir di Yogyakarta 19 April 1951. Meraih gelar doktor linguistik di Universitas Indonesia 1982, dengan disertasi Deiksis dalam Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1984). Saat ini sebagai guru besar linguistik pada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Jakarta), Kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya Jakarta, Direktur Eksekutif Penerbit Universitas Atma Jaya, guru besar luar biasa pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, editor Seri NUSA (Linguistik Studies in Indonesian and Languages in Indonesia), Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia (1994–1997, 1997–1999), salah seorang penyusun buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia edisi pertama (1988). Menjadi peneliti pascadoktor pada Institute for Advanced Study, Princeton (1983–1984), di University of Melbourne (1989) atas undangan “The Australian Vice Chancellors’ Committee”, dan di Max Planck Institute, Leipzig (2000). Memperoleh penghargaan sebagai “Orang Muda Berkarya di Bidang Akademik” dari pemerintah Republik Indonesia 28 Oktober 1988. Berkat bukunya Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 (Kanisius, 1990) , diundang sebagai salah seorang anggota tim pengembang Kurikulum 1994 dan 2004 mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dr. B. P. Sitepu, M.A., lahir di Berastepu, Sumatra Utara, 28 Juni 1948, menyelesaikan pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1975), Jurusan Pengajaran Bahasa Inggris, S2 bidang Perencanaan Pendidikan di Macquarie University, Sydney, Australia, (1979) dan S3 di bidang Teknologi Pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1994). Sebelum menjadi tenaga pengajar tetap di Universitas Negeri Jakarta dengan jabatan Lektor Kepala (2001), memperoleh pengalaman sebagai guru di SD, SLTP, dan SLTA Swasta (1968–1976), pegawai negeri sipil di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional, (1976-2001), dan sebagai dosen luar biasa di IKIP Negeri serta beberapa perguruan tinggi swasta (1995-2001). Di samping mengikuti berbagai penataran, seminar, dan lokakarya di dalam dan luar negeri, juga menulis buku dan artikel di berbagai media cetak. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si., lahir di Semarang 28 Desember 1970, menyelesaikan program S2 dari IPB-Bogor tahun 2000. Menjabat sebagai Kepala Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 143 Keterangan Mengenai Penulis Bidang Kurikulum dari tahun 2000-2004. Terlibat berbagai proyek pengembangan kurikulum dan diversifikasi sekolah serta berkecimpung dalam pengembangan KIR. Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta. Djudjun Djaenuddin Supriadi, S.Th, lahir di Bandung 29 Desember 1961. Lulus dari STT Duta Wacana tahun 1987 dan saat ini sedang menyelesaikan S2 Program M.Min pada STT Jakarta. Menulis beberapa Modul Pengajaran PAK dan pernah sebagai Dosen tidak tetap di UNTAR dan UKRIDA. Sejak 1998sekarang sebagai Kepala Bidang Kerohanian BPK PENABUR Jakarta. Handy Susanto, S.Psi., lahir di Tasikmalaya 11 Februari 1981. Lulusan S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, tahun 2003. Tahun pelajaran 2003/2004 sebagai staff BK di SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. Tahun 2003 – 2004 sebagai assisten dosen mata kuliah psidiagnostik di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Saat ini sebagai staff BK di SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya. Drs. Hotben Situmorang, M.B.A., lahir di Toba Sumatera Utara, 23 April 1961. Menyelesaikan S1 di IKIP Jakarta jurusan Pendidikan Fisika (1985). Sambil menyelesaikan S1, guru di SMA Neg. 50 (1982), SMA Neg.31 (1983-1997) dan ikut mendirikan SMA PGRI 10. Guru dan pejabat Kepala Sekolah Indonesia di Davao Philippines (1987-1994) sekaligus menyelesaikan S2 bidang Business Management di Ateneo de Davao Philippines (1994). Mengikuti Program Mission Studies di Overseas Ministries Study Centre, Connecticut USA (1994/1995). Menjadi konsultan Yakoma PGI dan dosen di UKI (1996). Bekerja di BPK PENABUR sebagai Kepala Bidang Pengembangan (1997). Care dan taker Kepala SMK 2 BPK PENABUR ( 1996-2004). Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta. Imma Helianti Kusuma, M.Pd., lahir di Salatiga 19 Desember 1967. Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Program Studi Kurikulum dan Teknologi Pendidikan tahun 1990. Menyelesaikan S2, Magister Pendidikan dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) tahun 2003. Sebagai staf Media Pendidikan BPK PENABUR (1991-1995), Kepala Unit Laboratorium dan Keterampilan Pendidikan (1995-1999), di Bidang Kurikulum (1999-2003), Kepala Bidang Evaluasi Akademis (2003-2004) dan saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta dan juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia Jakarta. Keke Taruli Aritonang, M.Pd., lahir di Jakarta 27 April 1969. Menyelesaikan S1 di FKIP Universitas Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996). Mengikuti program S2 di Universitas Kristen Jakarta dan mendapat gelar 144 Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 Magister Pendidikan (2004). Bekerja di BPK PENABUR sejak tahun1998 dan saat ini mengajar sebagai guru Bahasa Indonesia di SLTP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta. Prof. Dr. Sutjipto, lahir di Trenggalek, 17 Juni 1945. Menyelesaikan S3 (Doctor of Education), pada University of Northern Colorado USA tahun 1991. Sejak 1997 sampai saat ini sebagai Rektor Universitas Negeri Jakarta dan tetap aktif sebagai guru besar bidang manajemen pendidikan. Sering diundang sebagai pembicara di berbagai seminar tingkat nasional dan internasional, menulis buku, makalah dan jurnal. Ketua I Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia tahun 1999-sekarang, Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Wilayah Barat tahun 2002-sekarang. Ketua Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia 1989-sekarang Drs. Tafiardi, lahir di Bukit Tinggi 14 Agustus 1964. Menyelesaikan S1 dari IKIP Jakarta, Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Saat ini sebagai dosen di Universitas Negeri Jakarta. Thomas Wibowo Agung Sutjiono, lahir di Tuban 1962. Program S1 dari IKIP Bandung, Fakultas Pendidikan dan Kejuruan jurusan studi Pendidikan Teknik Bangunan. S2 diselesaikan di Universita Siliwangi Tasikmalaya, program Stdi Pendidkan Kependudukan Lingkungan Hidup (2004). Bekerja sebagai guru SMA BPK PENABUR Tasikmalaya sejak tahun 1992. Tahun 1998 sampai sekarang bertugas sebagai kepala SMP BPK PENABUR Tasikmalaya. Yuli Kwartolo, S.Pd., alumni Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga jurusan Teknologi Pendidikan (1991). Semasa kuliah aktif menulis di “Gita Kampus”, koran kampus UKSW Salatiga, pernah menjadi guru di sekolah swasta Semarang, sebagai reporter Harian Kartika (Koran Lokal Semarang). Banyak menulis artikel pendidikan dan juga menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD. Saat ini sebagai staf di Pusat Pengkajian dan Pengembangan BPK PENABUR Jakarta dan menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD Dr. Vera Ginting, M.A., lahir di Medan 1965. Lulus dari Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial-IKIP Jakarta tahun 1989. Tahun 1995 melanjutkan pendidikan di Macquarie University, Sydney yang disponsori oleh Ausai, dan gelar MA in Education diperoleh tahun 1997. Saat ini bekerja di Pusat Perbukuan Depdiknas di Subbidang Pengembangan Naskah, Bidang Pengembangan Naskah dan Pengendalian Mutu Buku. Jurnal Pendidikan Penabur - No.04 / Th.IV / Juli 2005 145