7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Timbal (Pb) Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamakan timbal dan disimbolkan dengan Pb. Mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan berat atom (BA) 207.2 serta memliki titik cair 327.50C, dan titik didih 17440C (Palar, 2008). Logam timbal Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya dan secara alamiah terdapat pada batu-batuan serta lapisan kerak bumi. Dalam pertambangan, logam ini berbentuk sulfida logam (PbS) yang sering disebut galena (Darmono, 1995). Logam berat timbal (Pb) merupakan salah satu unsur pencemar perairan yang bersifat toksik dan harus terus diwaspadai keberadaaannya. Penyebab utama logam berat menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Pagoray, 2001). Timbal banyak digunakan dalam industri misalnya sebagai zat tambahan bahan bakar, pertambangan, peleburan logam, pigmen timbal dalam cat, kabel, gelas, baterai yang merupakan penyebab utama peningkatan kadar Pb di lingkungan (Lu, 1995). Timbal merupakan mineral yang tergolong mikroelemen, merupakan logam berat dan berpotensi menjadi bahan toksik. Jika terakumulatif dalam tubuh, maka berpotensi menjadi bahan toksik pada mahluk hidup. 8 Timbal dapat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup melalui saluran pencernaan (gastrointestinal), saluran pernafasan (inhalasi), dan penetrasi melalui kulit (Wardhayani, 2006). Timbal yang masuk ke dalam tubuh akan bersifat toksik. Organ-organ tubuh yang menjadi sasaran dari keracunan timbal adalah sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung (WHO, 1977). Timbal menurut Underwood dan Suttle (1999), bisa dianggap sebagai racun yang bersifat akumulatif dan akumulasinya tergantung levelnya. Batas ambang untuk ternak unggas dalam pakannya, yaitu : batas ambang normal 1-10 ppm, batas ambang tinggi sebesar 20-200 ppm. Hal itu menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada ternak jika terdapat pada jumlah di atas batas ambang. Disisi lain, Piliang (2000) menyatakan Pb yang disuplementasikan sebanyak 10 ppm diberikan pada unggas dalam waktu panjang tidak memberikan pengaruh buruk, sedangkan pemberian sebanyak 100 ppm akan meningkatkan kerja kadar Pb dalam jaringan. Di dalam tubuh hewan, logam timbal diabsorpsi oleh darah yang kemudian akan berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam detoksikasi oleh organ hati dan diekskresikan oleh organ ginjal (Darmono, 2001). Rata-rata 10 – 30% Pb yang terinhalasi diabsorbsi melalui paru-paru, dan sekitar 5-10% dari yang tertelan diabsorbsi melalui saluran cerna (Palar, 1994). Sebanyak 30-40% Pb yang di absorbsi melalui seluran pernapasan akan masuk ke aliran darah. Masuknya Pb ke aliran darah tergantung pada ukuran partikel daya larut, volume pernafasan dan variasi faal antar individu (Palar, 1994). 9 Ekskresi timbal oleh tubuh sangat rendah. Ekskresi timbal melalui urin sebanyak 75-80 %, sehingga efek timbal akan dapat berakibat toksik terhadap ginjal (HPA, 2012). Pendapat lain mengatakan ekskresi Pb membutuhkan waktu yang relatif lama. Telah dilaporkan bahwa waktu paruh Pb di eritrosit, ginjal, hati, dan tubulus lebih dari 30 hari. Ekskresi terutama pada sistem urinaria (76%), gastrointestinal (16%) sedangkan melalui rambut, kuku dan kelenjar sangat kecil (8%) (Klaassen dkk., 1986). Ekskresi Pb melalui saluran cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi empedu. Sedangkan proses eksresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasi glomerulus. Kadar Pb dalam urine merupakan cerminan pajanan baru sehingga pemeriksaan Pb urine dipakai untuk pajanan okupasional (Goldstein dan Kipen, 1994). Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat. Timah hitam waktu paruh didalam darah kurang lebih 25 hari, pada jaringan lunak 40 hari sedangkan pada tulang 25 tahun. Ekskresi yang lambat ini menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada pajanan okupasional maupun non okupasional (Nordberg, 1998). 2.2 Besi (Fe) Zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral mikro yang esensial bagi tubuh, zat ini terutama diperlukan dalam hematopoiesis (pembentukan darah) yaitu dalam sintesa haemoglobin (Moehji, 1992). Mineral mikro ialah mineral yang diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi sangat kecil, yaitu Fe, Mo, Cu, Zn, Mn, Co, I, dan Se (McDonald dkk. 1988; Spears 1999). 10 Pada hewan, manusia, dan tanaman, Fe termasuk logam esensial yang bersifat kurang stabil, dan secara perlahan berubah menjadi ferro (Fe II) atau ferri (Fe III). Kandungan Fe dalam tubuh hewan bervariasi, bergantung pada status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies (Dhur dkk. 1989; Graham 1991; Beard dkk. 1996). Besi dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), dari penyimpanan di dalam tubuh, dan hasil penyerapan pada saluran pencernaan (Darmono 1995; King 2006). Dari ketiga sumber tersebut, Fe hasil hemolisis merupakan sumber utama. Bentukbentuk senyawa yang ada ialah senyawa heme (hemoglobin, mioglobin, enzim heme) dan poliporfirin (tranfirin, ferritin, dan hemosiderin). Sebagian besar Fe disimpan dalam hati, limpa, dan sumsum tulang (Brock dan MainouFowler 1986; Desousa 1989; Brown dkk., 2004). Zat besi (Fe) dalam tubuh berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, antara lain dalam memproduksi sel darah merah. Sel ini sangat diperlukan untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Zat besi berperan sebagai pembawa oksigen, bukan saja oksigen pernapasan menuju jaringan, tetapi juga dalam jaringan atau dalam sel (Brock dan MainouFowler 1986; King 2006). Zat besi bukan hanya diperlukan dalam pembentukan darah, tetapi juga sebagai bagian dari beberapa enzim hemoprotein (Dhur dkk., 1989). Enzim ini memegang peran penting dalam proses oksidasi-reduksi dalam sel. Unsur besi merupakan komponen utama dari hemoglobin, sehingga kekurangan besi dalam pakan akan mempengaruhi pembentukan hemoglobin. Sel darah merah muda (korpuskula) mengandung hemoglobin yang diproduksi dalam sumsum tulang untuk mengganti sel darah merah yang rusak. Dari sel darah merah yang rusak ini besi dibebaskan dan digunakan lagi dalam pembentukan sel 11 darah merah muda (Cook dkk. 1992; Puls 1994; Inoue dkk. 2002; Brown dkk. 2004). Besi dalam tubuh unggas terdapat dalam bentuk berikatan dengan protein diantaranya dalam bentuk senyawa heme (hemoglobin dan mioglobin), enzimenzim hemo (mitokhondria dan mikrosoma, sitokroma, katalase, peroksidase, santhi oksidase, aldhide oksidase, dan suksinat dehidrogenase), dan senyawasenyawa non heme (tranferin, ferritin, dan enzim flavin). Defisiensi besi pada unggas dapat menyebabkan anemia, pertumbuhan, dan efisiensi pakan rendah. Kebutuhan besi untuk unggas dalam pakan berkisar antara 30 – 170 mg/kg bahan pangan (Abun, 2008). Kekurangan zat besi dapat disebabkan oleh gangguan penyerapan besi dalam saluran pencernaan. Bila cadangan besi tidak mencukupi dan berlangsung terus-menerus maka pembentukan sel darah merah berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh (Cook dkk., 1992). 2.3 Darah Darah merupakan komponen penting yang berperan dalam proses-proses fisiologis dalam tubuh yang mengalir melalui pembuluh darah dan sistem kardiovaskular. Darah unggas terdiri atas plasma darah dan sel darah. Plasma darah terdiri atas protein (albumin, globulin, dan fibrinogen), lemak darah bentuk kolesterol, 15 fosfolipid, lemak netral, asam lemak, dan mineral anorganik terutama kalsium, potassium, dan iodium. Sel darah terdiri atas sel darah merah, trombosit, dan leukosit (heterofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit (Yuwanta, 2004). 12 Fungsi darah dalam tubuh adalah sebagai berikut: membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, membawa O2 dari paru-paru ke jantung, membawa CO2 dari jaringan ke paru-paru, membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk dieksresikan, penggumpalan atau pembekuan darah, dan mempertahankan pH dalam tubuh (Frandson, 1993). Darah mentransportasikan substrat metabolik yang dibutuhkan oleh seluruh sel di tubuh, termasuk oksigen, glukosa, asam amino, asam lemak dan beberapa lipid. Darah juga membawa keluar beberapa produk metabolit yang dikeluarkan oleh setiap sel seperti karbondioksida, asam laktat, buangan bernitrogen dari metabolisme protein dan panas (Cunningham, 2002). 2.4 Tulang Tulang mengandung sel-sel hidup dan matrik intraseluler yang diliputi garam mineral (Frandson, 1993). Unsur penyusun tulang adalah kalsium fosfat (93%) bahan mineral dan sisanya sebagaian besar terdiri dari kalsium karbonat (2%) dan magnesium fosfat (5%) (Suprijatna dkk., 2005). Fungsi tulang sebagai berikut : 1. Tempat pertautan otot-otot sehingga membentuk tubuh 2. Melindungi organ dalam seperti alat pencernaan, jantung, hati dan alat produksi 3. Tempat sumsum untuk membentuk sel darah merah dan sel darah putih 4. Untuk bernapas, yaitu meringankan tubuh saat terbang (Yuwanta, 2004). Tulang unggas termasuk kompak, ringan, dan sangat kuat. Tengkorak unggas kecil dengan hubungan antar tulang yang kuat, berhubungan dengan atlas yaitu tulang pertama columna vertebrae (susunan luas tulang belakang). Tulang 13 leher dan ekor mudah digerakan, pembentuk badan hanya mampu memberikan satu gerakan karena berfusi dengan tulang sayap (Yuwanta, 2004). Tulang-tulang hampir semua jenis unggas adalah bersifat pneumatik (berongga). Rongga ini berhubungan dengan sistem pernafasan yang memungkinkan seekor burung dengan satu sayap yang patah untuk bernafas melalui sayap. Hal ini merupakan suatu fenomena yang telah diperhatikan sejak lama pada burung-burung yang luka oleh para pemburu. Dua belas persen struktur tulang pada ayam adalah tipe tulang meduler yang unik. Ini merupakan suatu jaringan tulang yang kecil sekali yang mengikat struktur berongga bersama-sama dengan sumsum tulang dan bagi unggas liar berguna sebagai suatu substansi untuk pembentukan telur bila kadar kalsium dalam pakannya rendah (Blakely dan Bade, 1991). Sumsum tulang terdapat dalam tulang kering, tulang paha, tulang pinggul, tulang dada, tulang iga, tulang hasta, tulang belikat dan kuku. Anak ayam sewaktu tumbuh dewasa, yakni sekitar 10 hari menjelang pembentukan telur yang pertama, mulai menampung tulang sumsum. Pada ayam liar, tulang-tulang ini menghasilkan kalsium yang cukup untuk membentuk kerabang bila kadar kalsium yang dimakan selama bertelur rendah (Akoso, 1993). 2.5 Kitosan Kitosan adalah poly-D-glukosamine (tersusun lebih dari 5000 unit glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton, merupakan serat yang bisa dimakan kedua setelah selulosa (Simunek dkk., 2006). Kitosan merupakan polielektrolit kationik dan polimer berantai panjang, mempunyai berat molekul besar dan reaktif karena adanya gugus amina dan 14 hidroksil yang bertindak sebagai donor elektron. Karena sifat-sifat itu, kitosan bisa berinteraksi dengan partikel-partikel koloid yang terdapat di dalam air limbah melalui proses jembatan antar partikel flok atau koagulasi (Chung dkk., 1996; Prashanth dan Tharanathan, 2007). Pendapat lain menyatakan kitosan merupakan polimer kationik yang bersifat nontoksik, dapat mengalami biodegradasi dan biokompatibel. Metode adsorpsi umumnya didasarkan pada interaksi logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui interaksi pembentukan kompleks (Griffon dkk., 2006). Kitosan adalah biosorben bahan pencemar yang efektif karena derajat deasetilasi yang tinggi dan memiliki gugus amino bebas yang dikandungnya, sehingga bersifat polikationik yang mempunyai kemampuan untuk mengikat logam, protein dan zat warna (Zakaria dkk., 2002). Kitosan juga mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikat ion logam dan kemungkinan pengambilan kembali relative mudah terhadap ion yang terikat terhadap kitosan dengan menggunakan pelarut tertentu sehingga bisa digunakan secara berulang-ulang (Rakhmawati, 2007). Sifat kitosan sebagai polimer alami mempunyai sifat menghambat absorbsi lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh, atau pencegahan penyakit lainnya. Kitosan mampu menurunkan tingkat kolesterol dalam serum dengan efektif dan tanpa menimbulkan efek samping (Rismana, 2001). Kitosan mampu mengkompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Pb, Hg, Zn, dan Pd (Sugita dkk., 2009). Kitosan hasil dari deasetilasi kitin, larut dalam asam encer seperti asam asetat dan asam formiat. Sifat fisik yang khas dari kitosan yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya (Kaban, 2007). 15 Kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai bentuk, antara lain bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran. Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat. Besarnya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses isolasi. Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya. Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik (Sugita, 2009). Kitosan bersifat polikatonik yang dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar. Kitosan yang mempunyai gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa (Inoue dkk., 1994 ). Kitin dan kitosan merupakan bahan alam, oleh karena itu keduanya lebih bersifat biokompatibel dan biodegradabel dibanding dengan polimer sintetik. Kitin dan kitosan serta senyawa turunannya telah banyak diaplikasikan dalam berbagai industri. Nilai total perdagangan bahan-bahan tersebut pada tahun 2002 mencapai 112 trilyun rupiah (Toharisman, 2007). Membran kitosan memiliki sifat yang hidrofilik dan selektif terhadap air sehingga air dapat mudah berdifusi, sementara sisanya masih memiliki sifat yang hidrofobik atau tidak dapat berinteraksi dengan air karena masih terdapat gugus asetil yang tersisa dan tidak dapat terkonversi menjadi gugus amina (Ridwan dkk., 2011). Pendapat lain menyatakan bahwa keberadaan gugus hidroksil dan amino sepanjang rantai polimer mengakibatkan kitosan sangat 4 efektif mengadsorpsi kation ion logam berat maupun kation dari zat-zat organik (protein dan lemak). Interaksi kation logam dengan kitosan terjadi melalui pembentukan kelat koordinasi oleh atom N gugus amino dan O gugus hidroksil (Tao-Lee dkk., 2001). 16 2.6 Puyuh Puyuh (Coturnix-coturnix japonica) merupakan salah satu sumber diversifikasi produk daging dan telur. Dengan ukuran tubuh yang kecil, puyuh memiliki keunikan, yaitu pertumbuhan yang cepat, dewasa kelamin lebih awal, produksi telur yang relatif tinggi, interval generasi dalam waktu singkat, dan periode inkubasi relatif cepat. Susilorini (2007) menyampaikan, beberapa tahun terakhir puyuh juga dimanfaatkan sebagai hewan coba dalam berbagai penelitian karena tahan terhadap stres, tahan pada berbagai penyakit, dan memiliki daya kesembuhan relatif tinggi. Klasifikasi burung puyuh sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves (Bangsa Burung) Ordo : Galiformes Sub Ordo : Phasionaidae Family : Phasianidae Sub Family : Phasianidae Genus : Coturnix Spesies : Coturnix-coturnix japonica (Redaksi Agromedia, 2002). Ciri-ciri burung puyuh (Coturnix-coturnix japonica) adalah bentuk badannya relatif lebih besar dari jenis burung- burung puyuh lainya. Panjang badannya 19 cm, badannya bulat, ekor pendek, dan kuat, jari kaki empat buah, warna bulu coklat kehitaman, alis betina agak putih sedang panggul dan dada bergaris (Nugroho dan Manyun, 1986). 17 Puyuh termasuk unggas yang mempunyai keunggulan sebagai hewan ternak. Nugroho dan Manyun (1986) menyatakan bahwa beberapa keunggulan puyuh diantaranya ialah : (1) pada usia 42 hari puyuh betina sudah dapat menghasilkan telur, (2) dalam satu tahun puyuh dapat menghasilkan 250 hingga 300 butir telur dengan berat rata-rata 10 gram/butir, (3) penelitian puyuh tidak memerlukan lahan yang luas, (4) bersifat lebih adaptif pada berbagai kondisi lingkungan seperti penyakit dan suhu, (5) telur dan daging puyuh memiliki nilai gizi yang tinggi, (6) bersifat lebih toleran pada pakan dengan serat kasar tinggi dibandingkan dengan ayam ras.