II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Plumbum 2.1.1. Definisi Plumbum

advertisement
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Plumbum
2.1.1. Definisi Plumbum
Plumbum adalah nama ilmiah dari logam plumbum (atau dalam kehidupan
sehari-hari lebih dikenal dengan nama timah hitam). Logam ini termasuk ke
dalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia
dan disimbolkan dengan Pb. Plumbum mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan
berat atom (BA) 207,2 (Palar, 2008). Plumbum memiliki berat jenis 11,34, titik
leleh 327,5oC dan titik didih 1740 oC (ATSDR,2007).
Plumbum merupakan bahan kimia yang termasuk kelompok logam berat.
Menurut Palar (2008) logam berat merupakan bahan kimia golongan logam yang
sama sekali tidak dibutuhkan oleh tubuh dan jika masuk ke dalam tubuh
organisme hidup dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan efek negatif
terhadap fungsi fisiologis tubuh.
Plumbum banyak digunakan dalam pembuatan lempengan baterai dan aki,
selain itu logam Pb digunakan sebagai bahan peledak, pateri, pembungkus kabel,
pigmen, cat anti karat dan pelapis logam (Hutagalung dan Razak, 1981).
2.1.2. Cara Masuk Plumbum ke dalam Tubuh
Plumbum dapat masuk ke dalam tubuh ternak dengan berbagai cara.
Plumbum dapat diserap oleh kulit, terhirup ketika bernafas, terkontaminasi
melalui pakan dan minuman. Senyawa tetrametil-Pb dan tetraetil-Pb dapat diserap
oleh kulit. Hal ini disebabkan karena kedua senyawa tersebut dapat larut dalam
10
minyak dan lemak. Dalam lapisan udara, tetraetil-Pb terurai dengan cepat karena
adanya sinar matahari. Tetraetil-Pb akan terurai membentuk trietil-Pb, dietil-Pb
dan monoetil-Pb. Semua senyawa uraian dari tetraetil-Pb tersebut memiliki bau
yang khas seperti bau bawang putih, sulit larut dalam minyak, tetapi semua
turunan ini dapat larut dengan baik dalam air. Senyawa-senyawa Pb dalam
keadaan kering dapat terdispersi dalam udara sehingga dapat terhirup ketika
bernafas dan sebagian akan menumpuk di kulit.
Dalam air minum juga dapat ditemukan senyawa Pb bila air tersebut
disimpan dan dialirkan melalui pipa yang merupakan alloy dari logam Pb.
Minuman keras juga ditemukan mengandung logam Pb jika tutup dari minuman
tersebut terbuat dari alloy logam Pb yang menjadi kontaminasi minuman. Selain
kontaminasi minuman, juga dapat ditemukan kontaminasi Pb pada makanan
olahan atau makanan kaleng. Makanan yang telah diasamkan dapat melarutkan Pb
dari wadah atau alat-alat pengolahannya (Palar, 2008).
2.1.3. Keracuan Plumbum
Keracunan yang ditimbulkan oleh persenyawaan logam Pb dapat terjadi
karena masuknya persenyawaan logam tersebut ke dalam tubuh. Proses masuknya
Pb ke dalam tubuh dapat melalui beberapa jalur, yaitu melalui makanan dan
minuman, udara dan perembesan atau penetrasi melalui kulit. Senyawa Pb organik
relatif lebih mudah diserap tubuh melalui selaput lender atau lapisan kulit bila
dibandingkan dengan senyawa Pb anorganik. Hanya 5-10% dari jumlah Pb yang
masuk melalui makanan dan atau sebesar 30% dari jumlah Pb yang terhirup yang
akan diserap oleh tubuh. Dari jumlah tersebut, hanya 15% yang akan mengendap
pada jaringan tubuh dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme
11
seperti urine dan feces, kebanyakan eksresi terjadi melalui cairan empedu ke
dalam intestinum dan ginjal melaui air susu, keringat dan rambut (Darmono,
1995). Pb dalam bentuk larutan diabsorsi sekitar 1-10% melalui dinding saluran
pencernaan. Sistem darah porta hepatis (dalam hati) membawa Pb tersebut dan
dideposisi dan sebagian lagi di dibawa darah dan didistribusikan kedalam jaringan
(Darmono, 1995).
Senyawa Pb umumnya masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernafasan dan
atau penetrasi melalui kulit. Penyerapan lewat kulit ini dapat terjadi karena
senyawa ini dapat larut dalam minyak dan lemak. Meskipun jumlah Pb yang
diserap tubuh hanya sedikit, logam ini ternyata mampu menjadi sangat berbahaya.
Hal ini disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan efek racun terhadap
banyak fungsi organ tubuh (Palar, 2008).
Sebagian besar dari Pb yang terhirup pada saat bernafas akan masuk ke
dalam pembuluh darah paru-paru. Pb yang masuk ke dalam paru-paru akan
berdifusi dan berikatan dalam darah untuk kemudian diedarkan ke seluruh
jaringan dan organ tubuh. Lebih dari 90% logam Pb yang terserap oleh darah
berikatan dengan sel darah merah (eritrosit). Pb jika sudah terserap ke dalam
tubuh maka tidak dapat dihancurkan, bersifat toksik dan mengganggu kehidupan
mikroorganisme. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang
kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Pb dapat juga
sebagai penyebab alergi, karsinogen bagi manusia dan dalam konsentrasi
yang tinggi akan menyebabkan kematian (Putra dan Putra, 2005).
Menurut Darmono (2001) mekanisme tosisitas Pb berbeda pada setiap
organ yang dipengaruhinya yaitu sebagai berikut :
12
a. Sistem hemopoiteik : Pb menghambat sistem pembentukan hemoglobin
sehingga menyebabkan anemia.
b. Sistem saraf pusat dan tepi : dapat menyebabkan gangguan ensefalopatin
dan gejala ganguan saraf perifer.
c. Sistem ginjal : dapat menyebabkan aminoasiduria, fosfaturia, glukosuria,
nefropati, fibrosis, dan antrofi glomelular.
d. Sistem gastro-intestinal : menyebabkan kolik dan konstipasi.
e. Sistem kardiovaskuler : menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
pembuluh darah.
f. Sistem reproduksi : dapat menyebakan kematian janin waktu melahirkan
pada wanita serta hipospermi dan teratospermi pada pria.
g. Sistem endokrin : mengakibatkan ganguan fungsi tiroid dan fungsi
adrenal.
2.2.
Hati
Hati merupakan organ terbesar di dalam tubuh. Hati memiliki beberapa
fungsi diantaranya pertukaran zat dari protein, lemak, sekresi empedu,
detoksifikasi senyawa-senyawa yang beracun dan ekskresi senyawa-senyawa
metabolit yang tidak berguna lagi bagi tubuh (Amrullah, 2004). Hati menerima
aliran darah yang mengandung zat makanan dari arteri hepatik yaitu suatu cabang
arteri celiac yang masuk ke dalam porta hati. Aliran darah yang masuk ke dalam
hati kemungkinan membawa zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi dan produk
bakteri serta logam yang dapat merusak hati (Arief , 2000). Menurut Guyton &
Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
13
a. Metabolisme karbohidrat : Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat
adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa
dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak
senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.
b. Metabolisme lemak : Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme
lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi
fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid
dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
c.
Metabolisme protein : Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah
deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia
dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam
asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino
d. Metabolisme vitamin : Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan
tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam
bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi
darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan
obat-obatan, hormone dan zat lain.
Beberapa fungsi hati lainnya yaitu : detoktifikasi, fagositosit imunitas dan
sel kapiler, dan hemodinamik (Ganong, 2008). Menurut Lu (1995) hati adalah
organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di dalam tubuh. Sebagian
besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointentinal, dan setelah
diserap toksikal dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak
tempat pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotic dalam hati juga
tinggi (terutama sitokrom P-450) yang membuat sebagian besar toksikan menjadi
mudah di ekskresikan (Harlia dkk., 2001).
14
2.3.
Darah
Darah adalah jaringan hidup yang bersirkulasi mengelilingi seluruh tubuh
dengan perantara jaringan arteri, vena dan kapilaris, yang membawa nutrisi,
oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah
terdiri atas plasma darah, globulus lemak, substansi kimia (karbohidrat, protein
dan hormon), dan gas (oksigen, nitrogen dan karbon dioksida). Sedangkan plasma
darah terdiri atas eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan
trombosit (platelet) (Watson, 2002). Volume darah secara keseluran adalah satu
per dua belas berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalah plasma
darah, sedang 45% sisanya terdiri dari sel darah (Pearce, 2006).
Darah secara makroskopis berbentuk cair, sebenarnya darah berbentuk cair
dan padat, yang apabila di periksa di bawah mikroskopis tampak banyak benda
bundar kecil di dalamnya yang dikenal sebagai korpuskulus darah atau sel darah
(Watson, 2002). Dalam keadaan normal, sel darah merah berbentuk cakram kecil
bikonkaf dengan diameter sekitar 7.2 μm tanpa memiliki inti, cekung pada kedua
sisinya, dilihat dari samping seperti 2 (dua) buah bulan sabit yang bertolak
belakang, kalau dilihat satu persatu berwarna kuning tua pucat, tetapi dalam
jumlah besar seperti kelihatan merah dan memberi warna pada darah. Struktur sel
darah
merah
terdiri
atas
pembungkus
luar
atau
stroma,
berisi
massa hemoglobin (Hb). Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi,
yang mempunyai afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen
tersebut membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah, melalui fungsi ini
maka oksigen di bawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan lain.
Sel darah merah memerlukan protein karena strukturnya terbentuk dari
asam amino, juga memerlukan zat besi (Pearce, 1979). Sel darah merah yang
15
berukuran kurang dari 6 μm dinamakan sel mikrosit dan yang berukuran lebih dari
normal (9 μm - 12 μm) dinamakan sel makrosit. Komposisi molekuler sel darah
merah menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya terdiri dari air (60%) dan
sisanya berbentuk substansi padat. Secara keseluruhan isi sel darah merah
merupakan substansi koloidal yang homogen, sehingga sel ini bersifat elastis dan
lunak.
Sel
darah
merah
dibatasi
oleh
membran
plasma
yang
bersifat semipermeable dan berfungsi untuk mencegah agar koloid yang
dikandungnya tetap di dalam. Tekanan osmosis di luar sel darah merah haruslah
sama dengan tekanan di dalam sel darah merah agar terdapat keseimbangan.
Apabila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan hipertonis maka air dalam
sel darah merah akan mengalir ke luar yang akan berakibat bentuk sel darah
merah menjadi berkerut seperti berduri (sel burr). Sebaliknya, apabila sel darah
merah dimasukkan dalam larutan hipotonis, maka air akan masuk ke dalam sel
darah merah sehingga sel darah merah menggembung sampai dapat pecah.
Peristiwa tersebut dinamakan hemolisis yang ditandai dengan merahnya larutan
oleh karena keluarnya hemoglobin (Subowo, 2002).
Membran plasma pada sel darah merah dapat mengalami kerusakan,
sehingga tidak dapat melakukan fungsi yang diembannya. Jenis kerusakan dapat
beraneka ragam, dapat karena tusukan, robek, putus, terkena senyawa kimia, dan
sebagainya. Membran plasma berfungsi untuk menyelubungi sebuah sel dan
membatasi keberadaan sebuah sel, juga memelihara perbedaan-perbedaan pokok
antara isi sel dengan lingkungannya serta sebagai filter untuk memilih dan
memilah-milah bahan-bahan yang melintasinya dengan tetap memelihara
perbedaan kadar ion di luar dan di dalam sel (Subowo, 2002).
16
Fungsi utama darah dalam sirkulasi adalah sebagai media transportasi,
pengaturan suhu, pemeliharaan keseimbangan cairan, serta keseimbangan basa
eritrosit selama hidupnya tetap berada dalam tubuh. Sel darah merah merah
mampu mengangkut secara efektif tanpa meninggalkan fungsinya di dalam
jaringan, sedang keberadaannya dalam darah, melintas saja. Darah berwarna
merah, antara merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila
kekurangan oksigen. Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin,
protein pernapasan (respiratory protein) yang mengandung besi dalam bentuk
heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen. Adapun selsel darah mempunyai beberapa fungsi antara lain :
a. Eritrosit : Eritrosit berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan tubuh dan mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paruparu.
b. Leukosit : Leukosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan
tubuh terhadap mikroorganisme atau benda asing dan memperbaiki
terjadinya kerusakan vasculer.
c. Trombosit
:
Trombosit
mempunyai
fungsi
berhubungan
dengan
hemostasis (proses berhentinya darah mengalir dari suatu luka). (Dep Kes
RI, 1989).
2.4.
Puyuh (Coturnix coturnix japonica)
Puyuh adalah spesies atau subspesies dari genus Coturnix yang tersebar di
seluruh daratan, kecuali Amerika. Pada tahun 1870, puyuh jepang yang disebut
japanese quail (Coturnix coturnix japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun,
sebutan untuk puyuh ini kemudian menjadi beragam seperti common quail,
17
stubble quail, pharoah’s quail, eastern quail, asiatic quail, japanese grey quail,
red throad quail, japanese migratory quail, king quail, dan japanese king quail.
Selanjutnya, Coturnix menunjukkan subspesies japonica. Sementara puyuh bob
white (Collinus virgianus) dan californian quail (Lophortyx california) berasal
dari Amerika Utara dan tidak termasuk dalam genus coturnix. Jenis puyuh yang
biasa diternakkan adalah puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) (Listiyowati
dan Roospitasari, 2009).
Karakteristik dari burung puyuh Coturnix coturnix japonica adalah bentuk
badannya bulat dan lebih besar dari puyuh lainnya, panjang badannya sekitar 19
cm dan ekornya pendek. Bulu tubuhnya tumbuh secara lengkap pada umur 2-3
minggu dan perbedaan warna bulu antara puyuh jantan dan betina seringkali
digunakan sebagai dasar dalam penentuan jenis kelamin. Puyuh jantan pada saat
mencapai dewasa mempunyai warna bulu cokelat muda sampai cokelat kehitamhitaman, sedangkan puyuh betina dewasa bulu dadanya berwarna cokelat dengan
garis atau bintik kehitam-hitaman. Puyuh jantan memiliki suara yang lebih keras
dari puyuh betina. Menurut Nugroho dan Mayun (1986) ciri-ciri karakteristik dari
burung puyuh Coturnix coturnix japonica :
a. bentuk tubuhnya lebih besar dari burung puyuh yang lain, badannya bulat,
ekornya pendek, paruhnya pendek dan kuat, tiga jari kaki menghadap ke
muka dan satu jari kaki ke arah belakang.
b. pertumbuhan bulunya lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu.
c. jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan berat
badannya.
d. burung puyuh jantan dewasa bulu dadanya berwarna merah sawo matang
tanpa adanya belang serta bercak-bercak hitam.
18
e. burung puyuh betina dewasa bulu dadanya berwarna merah sawo matang
dengan garis-garis atau belang-belang hitam.
f. suara burung puyuh jantan lebih keras.
g. burung betina dapat berproduksi sampai 200-300 butir setiap tahun. Berat
telurnya sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan.
Burung puyuh Coturnix-coturnix japonica memiliki klasifikasi menurut
Pappas (2002) sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Class
: Aves
Ordo
: Gallivormes
Subordo
: Phasianoidea
Family
: Phasianidae
sub-famili
: Phasianinae
genus
: Coturnix
spesies
: Coturnix coturnix japonica
Puyuh adalah salah satu komoditi unggas yang menghasilkan daging
dan telur. Puyuh banyak digunakan sebagai hewan percobaan dengan dasar
pertimbangan puyuh mempunyai siklus hidup yang relatif pendek dengan
laju metabolisme yang tinggi, pemeliharaan tidak begitu sulit, areal kandang
tidak perlu luas, modal relatif lebih kecil dan memiliki daya tahan tubuh yang
tinggi terhadap penyakit dan juga dapat dijadikan sebagai sumber protein hewani
bagi manusia baik telur atau dagingnya. Salah satu jenis puyuh tersebut adalah
jenis Coturnix-coturnix japonica dengan awal bertelur pada umur 6-7 minggu
19
dengan produktivitas dapat mencapai 250-300 butir telur/tahun dan bobot
telur sekitar 10 g (Listiyowati dan Roospitasari, 2007).
2.5.
Kitosan
Kitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai bentuk rantai
linier, sebagai produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan
basa kuat (Muzarelli, 1985). Kitosan merupakan polimer yang aman, tidak
beracun, biokompatibel, biodegradable, dan dapat digunakan pada sediaan
mukoadhesif. Kitosan adalah biopolimer alami terutama sebagai penyusun
cangkang (kulit-kulit keras), udang-udangan, dan serangga, serta penyusun
dinding sel ragi dan jamur. Karena sifatnya yang khas seperti bioaktivitas,
biodegradasi, dan kelihatannya kitosan dapat memberikan kegunaan yang
diterapkan dalam berbagai bidang (Manskarya,1968)
Kitosan adalah poly-D-glukosamine (tersusun lebih dari 5000 unit
glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta
dalton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa.
(Simunek et al., 2006). Kitosan merupakan senyawa penting ke-6 dan volume
produksinya di alam bebas menempati peringkat kedua setelah serat, diperkirakan
volume total makhluk laut di atas 100 juta ton per tahun. Selama ini kitosan
dianggap sebagai limbah karena jumlah produksinya yang sangat melimpah dari
hasil pengolahan udang dan kepiting, dan belum termanfaatkan secara maksimal.
Sedangkan modal untuk mengembangkannya jauh lebih mahal dari pada
penggunaan serat secara langsung.
20
2.5.1. Pembuatan Kitosan
Proses pembuatan kitosan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
penghilangan
mineral
(demineralisasi),
selanjutnya
penghilangan
protein
(deproteinasi), deasetilasi kitin dan pemurnian kitosan. Bahan dasar dapat berupa
kulit udang atau kepiting. Proses demineralisasi, pertama kulit udang atau kulit
kepiting sudah dihaluskan menjadi serbuk ditambah HCl, lalu campuran
dipanaskan pada suhu 70–80oC selama 4 jam sambil diaduk dengan pengaduk 50
rpm, dan disaring. Padatan yang diproleh dicuci dengan akuades untuk
menghilangkan HCl yang masih tersisa. Filtrat terakhir yang didapat diuji dengan
larutan perak nitrat (AgNO3), bila sudah tidak terbentuk endapan putih maka ion
Cl- dalam larutan sudah tidak ada lagi. Kemudian padatan berupa serbuk ini
dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Serbuk kulit udang atau
kepiting ini sudah tanpa mineral. (Weska dan Moura, 2006). Proses deproteinasi,
dimana serbuk kulit udang atau kulit kepiting kering hasil proses demineralisasi
ditambahkan NaOH, campuran ini dipanaskan pada suhu 65 -70oC selama 4 jam
disertai dengan pengudukan 50 rpm. Kemudian padatan yang didapat dikeringkan
dan didinginkan. Padatan ini berupa kitin, kemudian dicuci dengan akuades
sampai pH menjadi netral. Kitin yang sudah dicuci ditambah dengan etanol 70 %
dan dilanjutkan dengan penyaringan, kemudian dicuci endapan dengan akuades
panas dan aseton untuk menghilangkan warna, dilakukan sebanyak dua kali.
Endapan yang berupa kitin berbentuk serbuk padat, dikeringkan pada suhu 80oC
selama 24 jam. (Weska dan Moura, 2006). Rendemen kitin yang diproleh
sebanyak 35 % (Puspawati dan Simpen, 2010). Menguji adanya kitin dilakukan
dengan reaksi warna Van Wesslink, dimana kitin direaksikan dengan larutan I2-KI
1% akan memberikan warna coklat. Penambahan H2SO4 1 M memberikan warna
21
violet (Marganof, 2003). Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan, yaitu kitin
ditambah NaOH 60 % , lalu campuran diaduk dan dipanaskan pada suhu 120 oC
selama 4 jam Campuran disaring melalui kertas saring wollfram, selanjutnya
larutan dititrasi menggunakan HCl untuk mengendapkan kembali kitosan yang
masih ada dalam larutan. Campuran yang ada endapan disentrifuge untuk
memisahkan kitosan. Padatan yang diproleh dicuci dengan akuades, padatan yang
didapat berupa serbuk kitosan berwarna putih krem, lalu dikeringkan pada 80oC
selama 24 jam sebanyak 55 % (Puspawati dan Simpen, 2010). Untuk menguji
kemurniaan kandungan kitosan, dimana sebanyak 1 gram serbuk dilarutkan dalam
100 mL asam asetat 2 % dengan perbandingan 1 : 100 (b/v) antara kitosan dengan
pelarut. Kitosan dikatakan mempunyai kemurnian yang tinggi bila larut dalam
larutan asam asetat 2% tersebut.
2.5.2. Sifat Fisiko Kimia Kitosan
Secara fisik kitosan, tidak berbau, berupa padatan amorf berwarna putih
kekuningan dengan rotasi sfesifik [α]D11 -3 hingga -10o (pada konsentrasi asam
asetat 2 %). Kitosan tidak larut dalam air, alkohol dan aseton. Polimer kitosan
dengan berat molekul tinggi, didapati memiliki viskositas yang baik dalam asam.
Bersifat hidrofilik, menahan air dalam strukturnya dan membentuk gel secara
spontan. Pembentukan gel berlangsung pada pH < 6 dan sedikit asam, disebabkan
bersifat polielektrolit kationik dari kitosan. Viskositas gel kitosan dengan
meningkatnya berat molekul atau jumlah polimer. Penurunan pH akan
meningkatkan viskositas, yang disebabkan konformasi kitosan yang telah
mengembang, karena daya repulsive di antara gugus-gugus amino bermuatan
positif. Viskositas juga meningkat dengan meningkatnya derajat deasetilasi. Gel
kitosan teregradasi secara berangsur-angsur, sebagai mana halnya kitosan melarut
22
(Muzarelli et al., 1985). Kelarutan kitosan sangat dipengaruhi oleh bobot molekul,
derajat deasetilasi, dan rotasi sfesifiknya. Beragamnya rotasi sfesifik bergantung
pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Dalam bentuk netralnya,
kitosan mampu mengkompleks ion logam berat berbahaya seperti Cu, Cr, Cd, Mn,
Co, Pb, Hg, Zn, dan Pd. (Sugita, dkk., 2009). Kitosan hasil dari deasetilasi kitin,
larut dalam asam encer seperti asam asetat dan asam formiat. Sifat fisik yang khas
dari kitosan yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran
dan serat yang sangat bermanfaat dalam aplikasinya. (Kaban, 2007).
Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga tidak larut
dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Dengan adanya
sejumlah asam yang ditambahkan kedalam kitosan, maka dapat larut dalam air metanol, air - etanol, dan campuran lainnya. Kitosan larut dalam asam formiat dan
asam asetat dan menurut Peniston dalam 20% asam sitrat juga dapat larut. Asam
organik lainnya juga tidak dapat melarutkan kitosan, asam-asam anorganik
lainnya pada pH tertentu setelah distirer dan dipanaskan dan asam sitrat juga dapat
melarutkan kitosan.
Kitosan bersifat polikatonik yang dapat mengikat lemak dan logam berat
pencemar. Kitosan yang mempunyai gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat
sangat reaktif dan bersifat basa. (Inoue, 1994). Karena kitin dan kitosan
merupakan bahan alam maka keduanya lebih bersifat biokompatibel dan
biodegradabel disbanding dengan polimer sintetik. Kitin dan kitosan serta
senyawa turunannya telah banyak diaplikasikan dalam berbagai industri. Nilai
total perdagangan bahan-bahan tersebut pada tahun 2002 mencapai 112 trilyun
rupiah (Toharisman, 2007).
23
Tabel.1 Spesifikasi Kitosan Komersil
Parameter
Ciri
Ukuran Partikel
Serpihan Sampai bubuk
Kadar air(%)
≤ 10,0
Kadar abu (%)
≤ 2.0
Warna larutan
Tidak berwarna
N-deasetilai (%)
≥ 70,0
Kelas viskositas (cps)
- Rendah
< 200
- Medium
200-799
- Tinggi pelarut organic
800-2000
- Sangat tinggi
<2000
Sumber : (Sugita, 2009)
2.5.3. Kegunaan Kitosan
Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang
industri, kitin dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit
pengolahan limbah cair, pengikat dan penyerap ion logam, mikroorganisme,
mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tannin, PCB ( poliklorinasi bifenil ),
mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion,
penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah
terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp dan produk tekstil. Sementara dibidang
pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur
ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat bahan pangan, penstabil,
pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida
tanaman, dan deasedifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah.
Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan di bidang
kedokteran.
Kitin
dan
kitosan
dapat
mencegah
pertumbuhan Candida
albicans dan Staphvlacoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna
sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, penambahan dalam obat pembuluh
24
darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif pada kosmetik,
membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, penstabil liposome,
bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta
mempertinggi daya kekebalan, dan antiinfeksi (Sugita, 2009).
Kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai bentuk, antara lain
bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran (film). Kitosan sebagai adsorben
sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat. Besarnya afinitas
kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makro
struktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada proses isolasi.
Perbedaan bentuk kitosan akan berpengaruh pada luas permukaannya. Semakin
kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan
proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik. Pembuatan kitosan dalam
bentuk butiran antara lain sebanyak 3 gram kitosan berbentuk serpihan dilarutkan
dalam 100 ml larutan asam asetat 1%. Larutan kitosan yang terbentuk diteteskan
pada larutan basa NaOH 4%, sehingga diperoleh butiran berbentuk bola dengan
diameter rata-rata 2,5 mm. Kitosan butiran yang terbentuk dikumpulkan dan
dicuci dengan akuades sampai pH netral membentuk kitosan dalam bentuk butiran
yang digunakan untuk proses adsorpsi enzim catalase (Sugita, 2009).
Dalam penggunaannya kitosan tidak beracun dan mampu menurunkan
kadar kolesterol dalam darah. Kitosan juga dapat digunakan dalam penjernihan
atau pengolahan air minum. Pemakaian kitosan pada pengolahan air minum lebih
baik dari pada memakai alum atau tawas dan Poli Aluminium Klorida (PAC),
karena tawas dan PAC dapat mengakibatkan efek racun bagi kesehatan manusia
(Roberts, 1991).
Download