Bahan-Masukan-untuk-UPR-Perspektif-Hak-Anak

advertisement
Beberapa Permasalahan Mendasar Pemenuhan Hak Asasi Anak1
Oleh: Adzkar Ahsinin
Pengantar
Pelanggaran terhadap hak-hak anak sampai saat ini masih banyak dijumpai meskipun
Negara Republik Indonesia telah mengikatkan diri (consent to be bound) dengan meratifikasi
hampir semua instrument Hukum HAM Internasional yang utama.2 Jika membaca semua
Instrumen Hukum HAM Internasional utama tersebut secara substansial pada titik-titik
tertentu terdapat overlapping consensus (mutatis mutandis) instrument Hukum HAM
Internasional yang satu dengan instrument Hukum HAM internasional yang lain. Titik
pertautan tersebut berupa kesepakatan komunitas internasional tentang hal-hal yang
menyatukan, khususnya yang menyangkut kemanusian agar setiap manusia dihargai setiap
HAM yang melekat padanya atau tidak membiarkan kelompok manusia yang kurang beruntung
tetap menderita dan ditindas.3 Dalam pemahaman ini maka apabila salah satu instrument
Hukum HAM Internasional yang utama ini belum diratifikasi maka jaminan penikmatan HAM
tidak dirasakan sepenuh oleh setiap kelompok manusia yang menjadi subyek HAM dalam
instrument Hukum HAM Internasional tersebut. Dengan demikian anak sebagai bagian dari
subyek HAM yang diatur dalam International Convention on the Protection of the Rights of All
Migrant Workers and Members of Their Families tidak mendapatkan perlindungan hukum
berdasarkan standar ketentuan konvensi tersebut karena dengan jelas tersurat (expressive
verbis) tujuan instrument ini memberikan perlindungan kepada buruh migrant beserta
keluarga mereka.4
Dalam konteks perlindungan anak, terdapat beberapa instrument Hukum HAM
Internasional yang secara sui generis mengatur anak sebagai subyek HAM (right holders),
yaitu: (1) Convention on the Rights of the Child (CRC); (2) Optional Protocol to the Convention
on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography
(CRC-OPSC); (3) Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the
involvement of children in armed conflict (CRC-OPAC); (4) Minimum Age Convention, 1973
(No. 138) dan (5) Worst Forms of Child Labour Convention, 1999 (No. 182).
Serupa dengan permasalahan di atas, dalam memberikan perlindungan terhadap anak,
Pemerintah Republik Indonesia pun telah meratifikasi hampir semua instrument Hukum HAM
Internasional yang ada kecuali Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child
on the sale of children, child prostitution and child pornography (CRC-OPSC) dan Optional
Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed
1
Disampaikan sebagai bahan masukan untuk Universal Periodic Report –HRWG, 30 Oktober 2007
Ketujuh instrument tersebut terdiri dari International Covenant on Civil and Political Rights, 1966; International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights, 1966; International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965; Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination against Women, 1979; Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment,
1984; Convention on the Rights of the Child,1989; dan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of
Their Families, 1990. Dari ketujuh instrument hukum HAM internasional ini Indonesia hanya International Convention on the Protection of
the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, 1990. yang belum diratiifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Keputusan
Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Tahun 2004-2009, konvensi ini sudah harus diratifikasi pada tahun
2005
3 Frans Ceunfin mengutip John Rawls dalam HAM dalam Pemahaman Lintas Perspektif (Kata Pengantar Editor) dalam HAM: Aneka
Suara dan Pandangan (Jilid 2), Maumere, Penerbit Ledalero, 2006.
4 Lihat Paragraf Pertama Pembukaan; Pasal 4; Pasal 12 (4); Pasal 17 (4); Pasal 29; Pasal 30; Pasal 44 (2); Pasal 45 (2), (3), (4)
2
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
1
conflict (CRC-OPAC).
Padahal dalam Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang
Rencana Aksi Nasional HAM Tahun 2004-2009, Pemerintah Republik Indonesia telah berjanji
meratifikasi Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of
children, child prostitution and child pornography (CRC-OPSC) pada tahun 2005, sedangkan
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in
armed conflict (CRC-OPAC) pada tahun 2006. Kegagalan Pemerintah melaksanakan kewajiban
yuridis ini jelas berdampak secara langsung pada perlindungan anak sesuai dengan standar
minimal instrument hukum tersebut. Kondisi ini menempatkan anak-anak pada situasi yang
rentan menjadi korban: pertama, tindak pidana perdagangan anak yang terorganisir dan
bersifat transnasional. Ratifikasi menjadi penting karena masih tingginya angka kemiskinan
dan angka putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
terutama anak perempuan. Kedua faktor ini merupakan akar masalah mengapa perempuan dan
anak perempuan menjadi korban terbesar perdagangan terhadap orang. Kedua, anak-anak
terlibat dalam konflik mengingat terdapatnya kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut:
1. Kecenderungan meningkatnya konflik horizontal
di Indonesia, sebagai akibat
menguatnya politik identitas berdasarkan kepentingan golongan. Kondisi ini nampak
dengan terjadinya revitalisasi fundamentalisme agama yang ditandai terpolarisasinya
kelompok-kelompok masyarakat berlandaskan keagamaan;
2. Potensi munculnya kembali gerakan separatism di Indonesia
yang menuntut
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan hak
menentukan nasib sendiri (the rights to self determination) karena terdapatnya perilaku
tidak adil dalam pemanfaatan sumber daya alam;
Dengan demikian jika kedua optional protocol ini tidak segera diratifikasi maka negara dapat
dikatakan tidak melakukan upaya maksimal untuk melindungi anak-anak sebagai korban
perdagangan oran dan korban karena terlibat dalam konflik bersenjata.
Kesenjangan Substansial Hukum Nasional dengan Standar Instrumen Hukum
HAM Internasional
Ratifikasi terhadap suatu instrument Hukum Internasional merupakan langkah awal
proses transformasi untuk memberlakukan norma-norma hukum HAM internasional yang
telah terkodifikasi dalam perjanjian internasional ke dalam hukum positif suatu Negara.
Persinggungan awal ini merupakan prasyarat untuk memberlakukan
instrumen hukum
internasional ke dalam hukum domestik suatu Negara. Namun langkah mengadopsi normanorma Hukum Internasional ke dalam ketentuan hukum nasional
signifikan untuk
memperkuat implementasi ketentuan instrument tersebut. Pemuatan HAM dalam substansi
hukum, termasuk peraturan perundang-undangan nasional suatu negara, menjadi penting
untuk mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawa untuk dibebani kewajiban. HAM belum
dikatakan sebagai hak secara penuh (full-fledged rights) apabila keberadaanya tidak didasari
oleh hukum.5
Dalam konteks jaminan hukum terhadap HAM, seringkali upaya transformasi ini secara
substansial justru tidak sesuai dengan standar norma-norma dan prinsip-prinsip yang telah
terjamin secara integratif, sismatis, dan holistic dalam Sistem hukum HAM Internasional.
Untuk melihat ketidaksesuaian tersebut dapat melihat upaya legalisasi, regulasi, dan anggaran
publik dalam mengimplementasikan kewajiban Negara dalam menjamin penghormatan,
5
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas DUHAM, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
2
perlindungan, dan pemenuhan HAM warga Negara.
Langkah transformasi standar
internasional
HAM menjadi norma-norma hukum positif dapat merujuk pada produk
legalisasi berupa konstitusi6 dan undang-undang.7 Kendati demikian, politik anggaran publik
yang ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif semestinya dapat dipergunakan sebagai sarana
mengeksaminasi seberapa jauh
Negara melaksanakan secara konsisten
komitmen
internasionalnya. Dengan kata lain politik HAM Negara terefleksikan dalam politik anggaran
publik karena pada dasarnya alokasi anggaran merupakan wujud jaminan pemenuhan HAM
warga Negara. Di samping itu, putusan-putusan lembaga peradilan (yudikatif) juga patut
dicermati untuk melihat penegakkan hukum terhadap jaminan penghormatan, perlindungan,
dan pemenuhan HAM karena institusi ini berfungsi melindungi setiap warga Negara secara
hukum rasa keadilannya terganggu.
Perlindungan hukum tertinggi bagi seorang anak terjadi apabila konstitusi secara
lengkap menjamin sepenuhnya hak asasi yang melekat padanya. Namun UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi belum secara penuh melindungi HAM, khususnya hak asasi anak. Berdasarkan
doktrin Hukum Internasional dalam melindungi anak, konstitusi suatu Negara terbagi menjadi:
1. Konstitusi ’anak yang tersembunyi (The ‘invisible child’ constitution), yakni konstitusi
suatu Negara tidak mengekspresikan secara khusus ketentuan-ketentuan yang terkait
dengan pemajuan dan perlindungan anak-anak.8
2. Konstitusi ‘perlindungan khusus’ (The ‘special protection’ constitution), yakni konstitusi
telah merefleksikan perlakuan khusus yang ditujukan untuk memastikan bahwa anakanak mendapatkan perlindungan dari ancaman kehidupan mereka9
3. Konsitusi ‘hak asasi anak’ (The ‘children’s rights’ constitution), yakni konstitusi yang telah
mengakomodasi sebagian dari prinsip-prinsip dan norma-norma yang terkandung dalam
KHA.10
Amandemen kedua UUD 1945 tahun 2000 dalam Bab XA Pasal 28A-28J mengatur HAM
UU No. 39/1999 tentang HAM; UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU
No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
8 Substansi-substansi konstitusi yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini adalah: (i) konstitusi memuat semua referensi HAM,
namun tidak menempatkan referensi hak-hak anak: (ii) konstitusi mengasumsikan bahwa hak asasi anak sudah tercakup secara penuh
dengan cara menafsirkan referensi HAM yang ada. Manakala pengalaman historis tidak menunjukkan praktik-praktik positif yang
sama terhadap penghargaan hak asasi anak maka jurisprudensi menjadi penting untuk menegakkan hak asasi anak (iii) secara historis
beberapa prinsip dasar menjadi usulan, namun terdapat korelasi yang terbalik dalam beberapa kasus antara memperluas cakupan
aturan hak-hak anak dalam konstitusi atau melalui praktik-praktik penghargaan terhadap hak asasi anak. Philip Alston, John Tobin,
Mac Darrow LAYING THE FOUNDATIONS FOR CHILDREN’S RIGHTS : An Independent Study of some Key Legal and Institutional
Aspectsof the Impact of the Convention on the Rights of the Child, The UNICEF Innocenti Research Centre, Giuntina, Florence, Italy,
UNICEF, 2005, hal. 22-23
9 Suatu konstitusi dikatakan memberikan perlindungan khusus dapat direfleksikan dengan cara sebagai berikut: (i) penekanannya pada
perlindungan ketimbang HAM, meskipun beberapa kasus anak dikatakan telah mempunyai hak yang relevan dengan perlindungan; (ii)
perspektif utamanya melalui pendekatan terhadap perlindungan anak untuk melihat apakah hak asasi anak telah menjadi perhatian,
dan (iii) ruang lingkup isu hak asasi anak dalam konstitusi masih terbatas jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dalam
CRC. Isu-isu anak yang masuk dalam konstitusi meliputi : (i) perlindungan terhadap keluarga dan ibu (protection of the family and of
motherhood); (ii) perlakuan khusus terhadap anak dalam perlindungan dan perawatan (special measures of protection and assistance for children);
(iii) non diskriminasi dalam perlakuan (non-discrimination in relation to these measures ); (iv) perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi
dan sosial (protection of children from economic and social exploitation); (v) perlindungan dari kondisi berbahaya dan pekerjaan berbahaya
(protection from harmful or dangerous work); dan (vi) pembatasan usia anak yang dipekerjakan (age limits for child labour). Lihat Philip Alston,
John Tobin, Mac Darrow, ibid, hal. 23-24
10 Konstitusi hak asasi anak ditandai dengan hal-hal berikut: (i) mengadopsi secara khas pendekatan dengan menyebutkan satu persatu
hak-hak anak; (ii) hanya sedikit hak asasi anak yang dijamin dalam CRC terekspresikan dalam konstiusi, namun konstitusi mengatur isu
anak yang sebenarnya penting; dan (iii) konstitusi telah memuat spectrum hak asasi anak yang luas, namun belum belum mengatur
secara spesifik partisipasi anak. Lihat Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow, op. cit, hal. 24-35
6
7
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
3
Menurut Philip Alston, Konstitusi Indonesia termasuk konstitusi kategori kedua di mana isu
yang menjadi substansi konstitusi secara eksplisit (tersurat)
hanya kewajiban untuk
memberikan perlindungan/dukungan terhadap kelompok anak tertentu seperti anak yatim,
difabel, dan anak-anak yang sangat membutuhkan (a special obligation to protect/support
certain groups of children
such as orphans, the disabled and needy).11 Permasalahan
mendasar lain nampak pada ketentuan Pasal 28B (2) hasil amandemen II yang memang
secara konstitusional telah mengatur hak asasi anak. Meskipun Pasal ini mengadopsi prinsipprinsip CRC, namun menghilangkan prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak
untuk didengar (respect for the child’s opinion and right to be heard principle); prinsip bahwa
hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and interdependence of
rights principle); dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).12
Permasalahan mendasar lainnya yang berdampak secara signifikan terhadap
ketidakpenuhan perlindungan anak adalah landasan hukum ratifikasi Konvensi Hak Anak
(CRC). Dari ketujuh instrument hukum HAM internasional utama di atas, Pemerintah Republik
Indonesia memang telah meratifikasi 6 (enam) instrumen hukum HAM internasional yang
utama. Titik krusial permasalahan terletak pada
pemberian landasan hukum yang berbeda
ketika Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi instrument Hukum HAM internasional
tersebut.
Dari keenam instrument hukum HAM internasional utama yang telah diratifikasi
Negara Indonesia, hanya Convention on the Rights of the Child,1989 (CRC) yang diratifikasi
dengan menggunakan Keputusan Presiden, sedangkan instrumen Hukum HAM Internasional
yang lain ratifikasinya menggunakan undang-undang.
Landasan hukum Keputusan Presiden untuk meratifikasi KHA mempunyai kelemahan
mendasar : (i) tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur dengan
keputusan yang bersifat administrasi; dan (ii) Keputusan Presiden tidak dapat dijadikan
rujukan hukum bagi pembuatan undang-undang karena bertentangan dengan hirarkis
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kelemahan mendasar ini mempunyai implikasi
hukum bagi upaya mewujudkan perlindungan anak melalui undang-undang karena Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan KHA tidak dapat menjadi rujukan bagi
semua undang-undang yang mengatur kepentingan anak dan atau berdampak pada kehidupan
anak. Akibatnya undang-undang yang ada seringkali secara substansif tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip dan norma-norma Konvensi Hak Anak. Dampaknya perlindungan hak asasi
anak melalui undang-undang (legislative rights) tidak secara penuh terjamin. Tabel berikut
beberapa undang-undang yang secara substantif tidak sesuai dengan KHA.
UU Mengatur Tentang
UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Substansi/Ketentuan yang
Tidak Sesuai
 UU PTPPO hanya memuat
perdagangan orang dengan
korban anak, bukan
perdagangan anak
 Tidak memuat prinsip-prinsip
KHA
 Perlindungan khusus terhadap
korban dan saksi anak belum
diatur
Ketentuan KHA







Preambule KHA
Pasal 11
Pasal 34
Pasal 12 (1)
Pasal 19
Pasal 35
Pasal 39
Lihat Pasal 34 (1) hasil amandemen IV yang mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Lihat Pasal 28B (2) hasil amandemen II menyatakan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
11
12
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
4
UU No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak
 Kompensasi sebagai kewajiban
Negara belum diatur
Belum mengatur perlindungan
terhadap anak yang menjadi
saksi dan korban sehingga isu-isu
krusial terkait dengan kebutuhan
yang khas anak dan perlakuan
khusus bagi anak (prinsip
kepentingan terbaik bagi anak)
tidak tercakup di dalamnya.
 Mengatur kewajiban asasi
anak (Pasal 19)
 Hak anak untuk
memperoleh lingkungan
keluarga dan pengasuhan
alternatif (pengasuhan,
perwalian, adopsi)
berdasarkan pendekatan
agama
 Akses untuk mendapatkan
fasilitas pendidikan, akses
memperoleh informasi, hak
untuk beristirahat,
berdasarkan pendekatan
tingkat kecerdasannya
sesuai dengan minat dan
bakatnya, keunggulan
 Penetapan usia
pertanggung-jawaban
pidana anak terlalu rendah 8
tahun
 Penggunaan istilah hukum
(legal term) anak anak
 Proses pengadilan terhadap
yang melakukan tindak
pidana anak yang sama
dengan orang dewasa yang
melakukan tindak pidana
dari pengadilan tingkat
pertama sampai peninjaun
kembali
 Pidana yang dijatuhkan
terhadap anak sama dengan
pidana yang dijatuhkan
kepada orang dewasa
 Hukum Acara diperlakukan
sama dengan pelaku tindak
pidana dewasa

Konsep keadilan restoratif
terhadap perkara anak
belum diakomodai




Pasal 3 (1)
Pasal 12 (2)
Pasal 39
Pasal 40
 KHA menetapkan anak
sebagai subyek hak, negara
sebagai obligator
 KHA menetapkan
berdasarkan kepentingan
terbaik bagi anak
 KHA mengatur bahwa
penikmatan hak-hak tersebut
berdasarkan kepentingan
terbaik bagi anak
 Pasal 40 (1);(3)
 Pasal 40 (1);(2)
 Pasal 40 (1);(2);(3)
 Pasal 3 (1)
 Pasal 37
 Preambul KHA
 Pasal 3 (1)
 Pasal 37
 Pasal 40
 Pasal 37
 Pasal 39
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
5

Diversi terhadap perkara
anak belum diatur
 Pasal 3 (1)
 Pasal 37
 Pasal 40
Langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan landasan hukum ratifikasi KHA yakni
membuat undang-undang yang menyatakan mencabut mencabut Keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990 tentang Pengesahan KHA dan menetapkan ratifikasi KHA. Hal ini tidak
bertentangan dengan Hukum Internasional karena manakala suatu instrumen hukum
internasional diratifikasi oleh suatu negara maka upaya implementasi tersebut masuk dalam
lingkup sistem hukum nasional negara yang bersangkutan.
Terkait dengan pencabutan suatu peraturan perundang-undangan dalam perspektif ilmu
peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan dapat dicabut dengan
peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dilakukan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan yang lebih tinggi dapat mencabut peraturan
perundang-undangan di bawahnya apabila peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan
peraturan perundang-undangan yang hendak dicabut. Untuk menghindari terjadinya tumpah
tindih norma hukum maka materi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah digabungkan ke dalam materi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan
demikian, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak perlu dipertahankan
eksistensinya. Pernyataan pencabutan tersebut dapat dirumuskan dalam salah satu ketentuan
penutup dengan menggunakan rumusan ”dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”13
Selain permasalahan dasar hukum ratifikasi KHA berimplikasi secara yuridis,
reservasi
yang diajukan oleh Pemerintah ketika meratifikasi KHA juga menimbulkan
konskuensi hukum tersendiri.14 Melalui reservasi tersebut Pemerintah menyatakan tidak
terikat secara yuridis untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang direservasi.
Dengan kata lain Pemerintah mempunyai dalih untuk mengambil kebijakan lain dalam
mengimplementasikan pemajuan dan pemenuhan hak-hak tersebut. Meskipun kebijakan ini
kemudian berdampak terhadap derajat pemenuhan hak asasi anak.
Reservasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap pasal-pasal tertentu KHA secara
substantif jelas menghambat anak-anak untuk menikmati hak asasinya secara penuh. Karena
reservasi yang dilakukan Negara Indonesia terkait dengan salah satu prinsip fundamental CRC,
yakni prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the
child’s opinion and right to be heard principle).15 Prinsip ini terkait dengan pelaksanaan hakhak politik dan kebebasan anak-anak dalam rangka mewujudkan pemajuan dan pemenuhan
hak-hak asasi anak yang lain. Perwujudan hak politik dan kebebasan anak
harus diikuti
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006
Reservasi Pemerintah Republik Indonesia terhadap KHA sebagai berikut : The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia guarantees
the fundamental rights of the child irrespective of their sex, ethnicity or race. The Constitution prescribes those rights to be implemented by national laws and
regulations. The ratification of the Convention on the Rights of the Child by the Republic of Indonesia does not imply the acceptance of obligations going
beyond the Constitutional limits nor the acceptance of any obligation to introduce any right beyond those prescribed under the Constitution. With reference to
the provisions of articles 1, 14, 16, 17, 21, 22 and 29 of this Convention, the Government of the Republic of Indonesia declares that it will apply these
articles in conformity with its Constitution.
15 Terdapat 5 (lima) prinsip fundamental CRC yang mencakup : (i) prinsip non diskriminasi (non-discrimination principle); (ii) prinsip
kepentingan terbaik anak (the best interest of the child principle); (iii) prinsip hak untuk hidup dan perkembangan secara maksimal (right to
life and maximum development principle) ; (iv) prinsip penghargaan terhadap pendapat anak dan hak untuk didengar (respect for the child’s
opinion and right to be heard principle); dan (v) prinsip bahwa hak asasi anak tidak terpisah dan saling bergantung (indivisibility and
interdependence of rights principle). Lihat Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides : Doing Participatory Research with Children,
UNICEF, 2002, hal. 11-12
13
14
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
6
dengan prakondisi-prakondisi sebagai berikut : (i) hak atas pendapat; (ii) kebebasan
berekspresi; (iii) kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama; (iv) kebebabasan untuk
berkumpul dan berorganisasi secara damai; (v) hak untuk mengetahui; (vi) hak atas privasi;
dan (viii) hak atas informasi.16 Kondisi-kondisi ini sulit terbangun karena reservasi yang
dilakukan oleh Negara Indonesia justru terkait dengan hak-hak tersebut.
Terkait dengan reservasi yang dilakukan oleh Negara terhadap KHA, Komite Hak Anak
(Committee of The Rights of The Child) melarang setiap reservasi yang bertentangan dengan
objek dan tujuan konvensi. Bahkan lebih jauh, Komite menyatakan keprihatinannya terhadap
upaya yang dilakukan Negara untuk membatasi hak asasi anak melalui konstitusi, undangundang, maupun hukum agama.17 Sikap serupa juga diperlihatkan oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) yang berpendapat bahwa sebagian reservasi
yang dilakukan oleh negara mengakibatkan keutuhan umum perjanjian internasional
terancam. Apalagi jika reservasi yang dilakukan tersebut bersifat substantif.18 Kemudian,
seturut dengan pandangan Komisi Hukum Internasional, Komite Hak Asasi Manusia (Human
Rights Committee) melalui Komentar Umum (General Comment) No. 24
mensinyalir
peningkatan jumlah Negara yang mereservasi Kovenan yang berdampak mengurangi efektivitas
dan memperlemah kewajiban Negara-negara peserta.19
Republik Indonesia telah menarik reservasi yang diajukannya berdasarkan Piagam
Penarikan Pernyataan (Instrument of Withdrawal of Declaration) yang ditandatangani oleh
Menteri Luar Negeri Dr. N. Hassan Wirajuda pada 11 Januari 2005. Namun tindakan tersebut
tidak diikuti dengan pemberian landasan hukum atas tindakan reservasi tersebut. Tindakan
reservasi tersebut baru bersifat administrasi antara Departemen Luar Negeri dengan Sekretaris
Jenderal PBB. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut agar memiliki
kekuatan yuridis. Pemberian landasan hukum tersebut selain agar memiliki daya ikat terhadap
setiap warga,
terutama ditujukan pada negara yang
dilekati kewajiban untuk
menyosialisasikan kepada seluruh warga negara.
Tindakan reservasi sebagai bagian dari rangkaian tindakan negara dalam membuat
perjanjian internasional masuk dalam ruang lingkup kewenangan eksekutif. Padahal tindakan
ini berkaitan dengan permasalahan mendasar warga negara untuk menjamin penikmatan
HAM. Tindakan sepihak seperti ini menunjukkan bahwa Pemerintah masih menganggap HAM
adalah pemberian Negara terhadap warga negaranya. Sebenarnya HAM melekat pada setiap
manusia karena ia manusia, negara berfungsi mengukuhkannya melalui instrumen hukum yang
termanifestasikan dalam konstitusi, undang-undang, dan peraturan perundang-undangan di
bawahnya baik di level nasional maupun daerah.
Semestinya, penarikan reservasi seharusnya tetap dalam kerangka rangkaian tindakan
negara (act of state) dalam membuat perjanjian dengan negara lain.20 Dengan demikian,
tindakan penarikan reservasi, semestinya juga dilakukan melalui undang-undang karena
ratione materiae reservasi tersebut terkait dengan permasalahan HAM khususnya hak-hak
Ma. Teresa dela Cruz et.al, , Small Steps, Great Strides ibid
Lihat General Comment No. 5 mengenai General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child (arts. 4, 42 and 44,
para. 6)
18 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional Pasal 19 menyatakan bahwa reservasi diperkenankan dengan perkecualian :
(a) reservasi tersebut dilarang oleh perjanjian internasional; (b) perjanjian internasional menentukan bahwa hanya reservasi-reservasi
tertentu, yang tidak termasuk reservasi tersebut, yang boleh dibuat; dan (c) dalam hal yang tidak berada di bawah sub paagraf (a) dan
(b), reservasi tidak sesuai dengan obyek dan tujuan perjanjian internasional tersebut. Lihat C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan
Universal Penegakan HAM, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,2000
19
Lihat C. de Rover, ibid
20 Lihat Pasal 11 (1) UUD 1945
16
17
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
7
anak.21 Namun hal ini tidak bisa dilakukan apabila landasan hukum ratifikasi KHA belum
ditingkatkan menjadi undang-undang.
Kondisi ini juga berimplikasi secara yuridis pada upaya ratifikasi Protokol Tambahan
KHA tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (Optional Protocol to the Convention
on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict). Implikasi
yuridisnya jika Protokol Tambahan KHA tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata
diratifikasi dengan undang-undang, maka KHA yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden
mempunyai derajat yang lebih rendah dalam hirarki peraturan-perundang-undangan dalam
sistem Hukum Indonesia. Hal ini akan berdampak pada saat kedua instrument Hukum HAM
internasional ini diimplementasikan melalui undang-undang, KHA sebagai instruman payung
(umbrella rules) yang menjamin dan melindungi hak asasi anak tidak dapat dijadikan rujukan
yuridis, sementara ketentuan pelaksana KHA, yakni Protokol Tambahan KHA dapat dijadikan
rujukan yuridis.
Selain belum terpenuhinya perlindungan anak dalam undang-undang, landasan
ratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden juga berdampak pemenuhan hak-hak anak yang
seharusnya mendapatkan alokasi anggaran publik berdasarkan kebutuhannya yang khusus.
Sampai saat ini politik alokasi anggaran publik belum sepenuhnya ditujukan untuk menjamin
pemenuhan hak-hak anak.22 Terkait dengan kebijakan politik anggaran publik, Pasal 4 KHA
menentukan bahwa negara akan mengambil semua langkah legislatif dan administratif, dan
langkah-langkah lain untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi Hak Anak.
Sepanjang yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, negara akan mengambil
langka-langkah
maksimal dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia bila
diperlukan dalam kerangka kerjasama internasional.
Kegagalan KPAI Melaksanakan Fungsi Perlindungan Anak
KPAI seperti halnya dengan Komisi Nasional HAM dan Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan termasuk sebagai institusi HAM nasional (National Human Rights
Institutions), meskipun ketiga institusi ini mempunyai mandat kerja berbeda-beda sesuai
dengan landasan yuridis pembentukannya. Dalam konteks perlindungan anak dibentuk Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pembentukannya berdasarkan ketentuan UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Melalui undang-undang inilah KPAI dapat
dikategorikan sebagai institusi HAM nasional. Hal ini dapat merujuka pada definisi yang
tercantum dalam National Human Rights Institutions: A Handbok on the Establishment and
Strengthening of National Institutions for the Promotion and Protection on Human Rights23
yakni suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah dengan dasar hukum: konstitusi, undangundang atau keputusan presiden yang berfungsi secara khusus
dalam pemajuan dan
perlindungan HAM.
Fungsi khusus KPAI terbaca pada Pasal 74 UU No. 23 Tahun 2002
Lihat Pasal 11 (2) UUD 1945; UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Pasal 10 menyatakan bahwa pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang antara lain berkenaan dengan hak asasi manusia dan lingkungan hidup dan
pembentukan kaidah hukum baru; UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 8
menyatakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD tahun
1945 antara lain mengenai hak asasi manusia ; hak dan kewajiban warga negara; kewarganegaraan dan kependudukan serta
diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang
22 Dasar hukum politik anggaran public diatur oleh beberapa undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan tata pemerintahan
antara lain: UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
23 Centre for Human Rights, National Human Rights Institutions: A Handbok on the Establishment and Strengthening of National Institutions for
the Promotion and Protection on Human Rights, United Nations, New York and Geneva, 1995
21
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
8
tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan
Anak Indonesia yang bersifat independen. Dalam melaksanakan fungsi khususnya tersebut,
Pasal 76 menetapkan ruang lingkup tugas KPAI, yaitu:
1. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak;
2. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka
perlindungan anak.
Dengan melihat cakupan tugas tersebut maka mandat kerja KPAI secara khusus adalah untuk
memajukan dan melindungi hak asasi anak.
Meskipun secara definitif, KPAI dapat dikategorikan sebagai institusi HAM nasional
dengan ruang lingkup tugas spesifik guna melindungi dan memajukan hak asasi anak. Namun
peran dan fungsi KPAI tersebut belum signifikan dalam memajukan dan melindungi hak asasi
anak. Sampai saat ini KPAI gagal memetakan terjadinya pelanggaran hak-hak asasi anak
yang mencakup: pelaku, jenis pelanggaran, locus, akar masalah, dan sebarannya. Bahkan
rekomendasi dan pernyataan resmi yang semestinya menjadi sikap politik KPAI untuk
merespon terjadinya pelanggaran hak asasi anak tidak pernah dikeluarkan oleh KPAI. Kondisi
ini diperburuk dengan kegagalan KPAI menempatkan institusi sesuai dengan mandatnya.
Pilihan strategi dan prioritas KPAI memediasi kasus-kasus yang menimpa anak-anak dari
keluarga yang dikenal publik justru memperlihatkan kegagalan KPAI memosisikan
institusinya yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh sebagian besar anak-anak lain yang hidup
dalam situasi yang berpotensi melanggar hak-haknya.
Dengan kata lain KPAI telah
memosisikan diri bertindak sebagai penafsir tunggal mandat dan otoritasnya dengan
mengabaikan kepentingan anak sebagai konstituen dan sumber legitimasi eksistensi KPAI.
Selain permasalahan di atas, pengaturan kewenangan KPAI yang bersifat umum dan
sumir
dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mernjadi hambatan
struktural KPAI menjalankan mandatnya. Selanjutnya,
undang-undang ini juga tidak
memosisikan KPAI sebaga institusi pro justicia sehingga tidak dilekati kewenangan sub-poena
apabila terjadi pelanggaran hak asasi anak. Akibatnya KPAI tidak dapat melakukan investigasi
yang efektif apabila teradi pelanggaran hak asasi anak. Terkait dengan permasalahan ini, UU
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak mengatur mekanisme rujukan untuk
menangani pelanggaran hak asasi anak apakah akan dirujuk ke Komnas HAM atau Komnas
Perempuan. Situasi ini bertambah kompleks karena KPAI tidak menjalin komunikasi secara
intensif sehingga tidak ada koordinasi yang sinergis antara KPAI dengan Komnas HAM
maupun dengan Komnas Perempuan.
Sebagaimana institusi HAM Nasional lain, maka Prinsip-Prinsip Paris24 dapat dijadikan
referensi yuridis untuk melihat sampai sejauhmana KPAI dapat merepresentasikan institusi
yang berfungsi untuk memajukan dan melindungi hak asasi anak. Di samping Prinsip-Prinsip
Paris, General Comment No.2: The Role of Independent National Human Rights Institutions
in the promotion and protection of the rights of the child, 25 dapat dijadikan unit analisis untuk
Prinsip-prinsip yang terkait dengan status institusi nasional untuk memajukan dan melindungi HAM, ditetapkan oleh Majelis
Umum PBB melalui Resolusi 48/134, 20 Desember 1993
25 Lihat General Comment No.2: The Role of Independent National Human Rights Institutions in the promotion and protection of
the rights of the child , paragraph 8 dan 9
24
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
9
melihat peran dan fungsi KPAI dalam melaksanakan mandatnya. Keragaman anggota institusi
HAM menjadi syarat yang mendasar untuk membentuk institusi HAM nasional. Prasyarat ini
ditegaskan dalam Paragraf 12 General Comment No. 2 yang menyatakan NHRIs should ensure
that their composition includes pluralistic representation of the various elements of civil
society involved in the promotion and protection of human rights. They should seek to involve,
among others, the following: human rights, anti-discrimination and children’s rights nongovernmental organizations (NGOs), including child- and youth-led organizations; trade
unions; social and professional organizations (of doctors, lawyers, journalists, scientists, etc.);
universities and experts, including children’s rights experts). 26 Paragraf ini juga menegaskan
bahwa untuk memperoleh komposisi keanggotaan yang bersifat beragam maka metode seleksi
harus melalui mekanisme yang transparan dan layak termasuk prosedur yang terbuka dan
kompetitif. Persyaratan keragaman ini belum tampak dalam komposisi keanggotaan KPAI
karena keanggotaannya didominasi oleh mantan birokrat, kader partai politik, dan aktivis LSM
yang dekat dengan institusi pemerintah. Hasilnya komposisi anggota KPAI tidak merefleksikan
keberagaman, meskipun melalui fit and proper test di DPR. Di samping itu,
prosedur
perekrutan dan metode seleksi calon anggota KPAI bersifat tertutup, hanya dilakukan oleh tim
seleksi dan tanpa melalui mekanisme uji publik sehingga anggota KPAI diisi oleh figur-figur
yang tidak jelas rekam jejaknya dalam aktivitas pemajuan dan penegakan hak asasi anak.
Independensi KPAI sulit diharapkan karena ketergantungan KPAI terhadap alokasi
anggaran yang disediakan oleh Pemerintah bagi operasionalisasi KPAI. Sementara KPAI
enggan mencari dana sendiri. Situasi ini berisiko terhadap pelaksanaan mandat KPAI karena
menggantungkan kepada politik HAM dan politik anggaran publik27 yang menjadi ruang
lingkup kewenangan monopoli eksekutif dan legislatif. Politik anggaran publik inilah yang
menghambat pembentukan KPAI pada level propinsi mapun kabupaten. Kondisi ini jelas
menghambat aksesibiltas anak-anak korban pelanggaran HAM.28 Titik krusial yang bisa
mempengaruhi independensi KPAI adalah peran DPR yang signifikan dalam menentukan
anggota KPAI sehingga anggota yang memiliki kedekatan politik dengan DPR berpeluang lebih
besar dipilih. Dengan demikian metode semestinya DPR membuka akses seluas-luasnya bagi
masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan anggota KPAI.29 Independensi
menjadi elemen pokok institusi Nasional HAM sebagaimana diatur dalam Prinsip Paris.
Hal mendasar lain yang mengurangi legitimasi KPAI adalah transparansi dan
pertanggungjawaban kinerja KPAI kepada publik.30 Sampai saat ini publik tidak mengetahui
apa saja yang telah dikerjakan oleh KPAI dalam memperjuangkan kepentingan konstituen
utama KPAI yakni anak-anak.
Sistem Peradilan Pidana Anak yang Mengancam Kehidupan Anak
Lihat pula Prinsip Paris dan Buku Panduan PBB mengenai pembentukan Institusi nasional HAM
Lihat General Comment No.2: The Role of Independent National Human Rights Institutions in the promotion and protection of
the rights of the child paragraph 11 yang menyatakan bahwa States to make reasonable financial provision for the operation of national human
rights institutions in light of article 4 of the Convention. The mandate and powers of national institutions may be meaningless, or the exercise of their powers
limited, if the national institution does not have the means to operate effectively to discharge its powers.
28 Lihat General Comment No.2: The Role of Independent National Human Rights Institutions in the promotion and protection of
the rights of the child paragraph 15
29 Lihat General Comment No.2: The Role of Independent National Human Rights Institutions in the promotion and protection of
the rights of the child CRC/GC/2002/2, paragraph 10 yang menegaskan bahwa The NHRI establishment process should be consultative,
inclusive and transparent, initiated and supported at the highest levels of Government and inclusive of all relevant elements of the State, the legislature and civil
society
30 Lihat General Comment No.2: The Role of Independent National Human Rights Institutions in the promotion and protection of
the rights of the child CRC/GC/2002/2, paragraph 18
26
27
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
10
Menurut data BPS, hingga Juli 2003 di Indonesia terdapat 136.00 anak yang berkonflik
dengan hukum. Artinya setiap tahun, sedikitnya 4000 kasus pelanggaran hukum dilakukan oleh
anak.31 Dari jumlah tersebut mereka diajukan ke pengadilan atas kejahatan ringan seperti
pencurian.32 Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun
dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan
ke penjara atau rumah tahanan. Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal
kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana,
bandingkan tahun 1999 dengan 6.029 kasus dan tahun 1998 dengan 10.025 kasus.33
Selanjutnya pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah
tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian
besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk
orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk
anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang
waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus
sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah
tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda. 34
Banyaknya jumlah anak yang berkonflik dengan hukum salah satunya bersumber dari
rendahnya usia anak dapat dianggap bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya.
UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mematok usia pertanggung jawaban pidana 8
tahun.35
Kondisi ini diperburuk dengan minimnya jumlah LAPAS Anak di Indonesia hingga
tahun 2002 berjumlah 17 LAPAS.36 Berikut daftar lembaga pemasyarakatan anak di
Indonesia.37
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Lapas
Lapas Anak Medan
Lapas Anak Tanjung Pati
Lapas Anak Pekanbaru
Lapas Anak Muara Bulian
Lapas Anak Palembang
Lapas Anak Kota Bumi
Lapas Anak Pria
Lapas Anak Wanita
Lapas Anak Kutoarjo
Lapas Anak Blitar
Propinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Tangerang
Tangerang
Jawa Tengah
Jawa Timur
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124.htm
Sebenarnya anak dalam perkara tindak pidana ringan tidak perlu masuk ke jalur penyelesaian hukum formal sebagaimana telah
diatur pada : Beijing Rules Butir 11.1,2,3,4; KHA Pasal 4, Pasal 37 huruf b; Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, Pasal 24 ayat (1)
33 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia, 2003
34 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hal. I
35 Usia minimum yang paling rendah bagi pertanggung jawaban pidana adalah 12 tahun. Lihat paragraph 16 GENERAL COMMENT
No. 10 (2007) Children’s rights in Juvenile Justice. Bandingkan dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1
angka 1 yang menyatakan : Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
36 Jumlah LAPAS ini tentu tidak sebanding dengan jumlah wilayah administrasi di Indonesia yang terdiri dari 33 propinsi, 349
kabupaten, dan 91 kota. Kemungkinan jumlah propinsi dan kabupaten/kota akan cenderung bertambah dengan fenomena pemekaran
daerah
37 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini, op. cit, lampiran 1
31
32
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
11
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Lapas Anak Sungai Raya
Lapas Anak Pontianak
Lapas Anak Martapura
Lapas Anak Pare-Pare
Lapas Anak Tomohon
Lapas Anak Gianyar
Lapas Anak Kupang
Kalimantan Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Bali
Nusa Tenggara Timur
Dengan minimnya jumlah Lapas anak maka gejala over capacity dapat ditemui hampir pada
semua Lapas. Berikut data over capacity beberapa LAPAS:
1. LPA Anak Tangerang terpaksa menampung 343 anak laki-laki dengan rentang usia jauh,
12 hingga 26 tahun. Padahal, kapasitas LP Anak Tangerang hanya 220 anak. Akibatnya
sel berukuran 1x1,5 meter yang seharusnya hanya untuk satu anak, kini terpaksa dihuni
3 anak tanpa alas.
2. Rutan Pondok Bambu yang idealnya menampung 504 orang ternyata kini dihuni 854
tahanan perempuan dan 364 anak laki-laki, yang variasi umurnya 14 hingga 22 tahun. 38
3. Rutan Kebon Waru, narapidana yang masih dalam kategori anak menjadi warga rutan
berama para napi dewasa. Para tahanan anak ada ruangan seluas 5x10 meter yang diisi
22 tahanan anak. Rutan ini berpenghuni 1.482 orang, melebihi batas kapasitas daya
tampung 780 orang.39
Situasi di atas belum tidak didukung oleh politik hukum yang pro kepentingan terbaik bagi
anak. Sistem peradilan pidana yang ada tetap berpotensi mengancam anak-anak masuk dalam
mekanisme hukum formal karena belum diakomodasikan penghapusan pertanggung jawaban
pidana bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana ringan dan anak-anak yang dipaksa
melakukan tindak pidana. Dengan kata lain sistem hukum pidana Indonesia yang over
criminalization justru melanggengkan pola relasi kuasa antara anak-anak dengan orang dewasa
dan budaya relasi patron-klien anak dengan orang tua.
Dalam konteks peradilan pidana anak (juvinele justice) di Indonesia pola-pola relasi
demikian dapat terlihat manakala anak diproses melalui mekanisme hukum formal. Kekerasan
dimulai dari proses lembaga yang bertugas dalam proses penyelidikan hingga pada lembaga
yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan , yakni diawali pada institusi kepolisian,
institusi kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan.
Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi anak yang dituduh melakukan tindak pidana
akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan
persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi.
Pelaksanaan Perlindungan Anak di Tengah Budaya Relasi Kuasa Orang Dewasa vs
Anak
Pada prinsipnya instrumen Hukum HAM Internasional yang dikenal sebagai the bill of
rights lahir untuk membatasi kekuasaan negara yang berpotensi melanggar HAM warga negara.
Kemudian untuk menjawab kebutuhan yang khusus bagi sekelompok masyarakat lahir CEDAW
dan CRC. CEDAW lahir karena secara sosiologis terdapat aktor lain yakni sekelompok
masyarakat laki-laki, di samping negara, yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya
38
39
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124.htm
www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
12
dalam menjalin relasinya dengan kelompok perempuan. Demikian pula KHA lahir untuk
merespon terdapatnya pola relasi kuasa antara anak dengan orang dewasa yang berpotensi
menyalahgunakan kekuasaaan. Dengan kata lain terdapat pola-pola relasi kuasa antara laki-laki
dengan perempuan dan pola relasi kuasa anak dengan orang dewasa yang menempatkan salah
satu pada kelompok rentan, sementara kelompok lain berkuasa. Budaya patriarkhi, patronklien, dan menganggap anak sebagai asset yang menjadikan CEDAW dan CRC bersifat sangat
spesifik. Spesifikasi ini dapat nampak pada tujuan dari kedua konvensi ini, CEDAW bertujuan
untuk menyetarakan pola relasi antara laki-laki dan perempuan,40 sedangkan CRC bertujuan
untuk melindungi anak.41
Namun semangat ini belum nampak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Padahal kedua kovenan tersebut mewajibkan negara untuk mendesiminasi kepada seluruh
elemen masyarakat dan aparatur negara. Dampaknya kekerasan terhadap anak yang semakin
meningkat dalam kehidupan bermasyarakat dianggap sebagai hal yang biasa. Kekerasan
terhadap anak terjadi pada semua lingkungan sosiologis kehidupan anak. Lingkungan keluarga
Keluarga dan sekolah sebagai tempat paling dekat dimana anak mengenal secara dekat dan
menghabiskan sebagian besar kehidupannya justru menjad locus terjadinya tindak kekerasan
dengan pelaku yang dikenal olehnya. Lingkungan komunitas setempat juga menjadi locus di
mana kekerasan terhadap anak sering terjadi. Kondisi ini dibiarkan oleh Negara tanpa ada
intervensi secara sungguh-sungguh.
Situasi serupa juga terjadi pada perilaku aparatur negara yang memanfaatkan otoritas
yang melekat padanya dalam menjalin relasinya dengan anak-anak sehingga kekerasan dalam
institusi negara seperti lembaga tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Hal ini terjadi
manakala aparatur penegak hukum
memproses hukum pelaku tindak pidana anak tidak
menggunakan instrumen hukum yang melindungi anak. Aparat hukum lebih mengenal KUHP
dan KUHAP ketimbang KHA, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
instrumen hukum HAM internasional lainnya.
Rekomendasi
1. Mengamandemen UUD 1945 sehingga
prinsip-prinsip dan norma-norma KHA
menjadi hak konsitusional bagi anak dan tuntutan kepada negara untuk memberikan
perlindungan bagi anak memperoleh landasan hukum yang lebih kuatpemil
2. Meningkatkan landasan hukum ratifikasi KHA dari Keppres menjadi UU.
3. Meratifikasi dengan segera International Convention on the Protection of the Rights of
All Migrant Workers and Members of Their Families, Optional Protocol to the
Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and
child pornography (CRC-OPSC) dan Optional Protocol to the Convention on the Rights
of the Child on the involvement of children in armed conflict (CRC-OPAC)
4. Segera mengidentifikasi dan mengamandemen seluruh peraturan perundang-undangan
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma perlindungan anak yang
diatur dalam KHA dan instrumen Hukum HAM internasional
Mukadimah CEDAW menyatakan Mengingat, bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah melanggar azas persamaan hak dan
rasa hormat terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki
dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya negara-negara mereka.
41 Mukadimah KHA menyatakan Mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, "anak, karena
alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang
tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran".
40
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
13
Jl. Rawa Bambu, Kompleks BATAN Blok D2, Lt.3, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520, Telp/Fax: 021 78838472
Email: [email protected] Website: http://www.ypha.or.id
14
Download