Statistik Badung - Pemerintah Kabupaten Badung

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa upaya untuk memperbaiki
kondisi perempuan di Indonesia sudah ada sejak jamannya Raden Ajeng Kartini.
Namun
pada saat itu gerakan untuk memperbaiki nasib perempuan dari
keterpurukan belum
mendapat perhatian yang serius dari pihak pemerintah
sehingga tidak ada lembaga resmi yang menangani masalah perempuan.
Perdebatan tentang isu perempuan dan gender di masyarakat terus berkembang,
oleh karena itu sebagai upaya untuk menangani permasalahan perempuan dan isu
gender pada tahun 1978 pemerintah secara resmi mendirikan lembaga khusus yakni
Menteri Muda Urusan Peranan Wanita yang saat ini bernama Kementerian
Pemberdayaan Perempuan. Kementerian ini mengemban visi “ Terwujudnya
Kesetaraan Dan Keadilan Gender dalam Kehidupan Berkeluarga, bermasyarakat,
Berbangsa dan Bernegara.
Berlandaskan pada dasar hukum yang ada seperti Undang-Undang Dasar
1945, GBHN/RPJMN, UU No. 7/1984 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, dan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan
Gender, maka Kementerian Pemberdayaan perempuan telah mengeluarkan dan
melaksanakan berbagai Kebijakan / Program / Kegiatan Pemberdayaan Perempuan
dan masalah gender.
Kebijakan/Program/Kegiatan dan strategi pembangunan yang telah ditempuh
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan mulai dari Women in Divelopment
(WID), Women and Divelopment (WAD), Gender and Divelopment (GAD) dan
Gender Mainstreaming (GM) telah ditempuh oleh pemerintah untuk mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) di masyarakat. Namun demikian, apa yang
telah diupayakan oleh pemerintah sejak tiga dasa warsa lebih nampaknya belum
1
menampakkan hasil yang maksimal. Hal ini tercermin dari kenyataan yang masih
terjadi di masyarakat pada umumnya dan khususnya di Bali dimana ketimpangan
gender pada beberapa bidang pembangunan masih relatif menonjol seperti di bidang
pendidikan, ketenagakerjaan dan di bidang politik. Kondisi ini tercermin juga pada
gender development indeks (GDI) Bali yang sampai saat ini masih menduduki
rangking 6 dari 33 provinsi di Indonesia. Sementara untuk human development
indeks (HDI) masih menduduki rangking 17.
Pada dasarnya munculnya permasalahan perempuan dan isu gender di
masyarakat disebabkan adanya konstruksi sosial budaya yang meletakkan peran
laki-laki dan perempuan secara berbeda-beda yang didasarkan pada pemahaman
perbedaan biologis dan fisiologis dari laki-laki dan perempuan. Ideologi gender yang
berkembang di masyarakat telah menentukan bahwa rumah tangga atau ranah
domestik adalah dunianya perempuan sedangkan ranah publik menjadi dunianya
laki-laki. Dikotomi peran yang demikian ini yang kemudian diiringi dengan munculnya
budaya patriarkhi cenderung menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
perlakuan yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan seperti perlakuan
diskriminatif. Ketidakadilan gender yang demikian ini mengakibatkan terjadinya
ketimpangan gender pada beberapa aspek kehidupan di masyarakat (Arjani, 2003).
Sebagai komitmen pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani
masalah perempuan, maka saat ini tingkat Provinsi dan Kabupaten telah terbentuk
struktur
kelembagaan yang khusus menangani pemberdayaan perempuan. Di
tingkat Provinsi Bali
sejak
pertengahan tahun 2008
bagian Pemberdayaan
Perempuan telah di ubah statusnya menjadi Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Sementara untuk di Kabupaten Badung juga telah berubah dari
sub bagian menjadi Kantor Pemberdayaan Perempuan. Meskipun lembaga khusus
tentang peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) telah dibentuk lengkap
dengan kebijakan dan program-programnya, bukan berarti KKG ideal dapat dicapai
dengan mudah. Justru dalam beberapa hal sebaliknya, permasalahan KKG ini masih
2
terjadi di masyarakat terlihat lebih jelas dan perlu dicarikan jalan keluarnya dengan
lebih focus. Permasalahan belum tercapainya KKG ini bisa dilihat dengan masih
terjadinya kesenjangan gender diberbagai sektor pembangunan seperti pendidikan,
kesehatan, politik, ketenagakerjaan dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk
menunjukkan atau memberi gambaran secara lebih nyata tentang kesenjangan
gender yang masih terjadi sangat diperlukan bukti-bukti berupa data pendukung
yang terpublikasi bentuk buku statistik gender. dengan demikian akan dapat
diketahui secara lebih jelas kesenjangan yang terjadi yang pada gilirannya dapat
memberikan petunjuk secara jelas kepada para penentu kebijakan dan penyusun
program. Dengan demikian penanganan isu/ permasalahan perempuan dan gender
dapat dilakukan secara tepat sasaran sehingga kesetaraan dan keadilan gender
dapat cepat terwujud.
1.2 Tujuan
Secara tegas tujuan penyusunan buku Statistik Gender dan Analisis ini
adalah untuk memberikan data statistik berupa profil gender yang disajikan menurut
berbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, kegiatan ekonomi, serta masalah
sosial lainnya. Penulisan statistik gender ini dibuat secara deskriptif, dan sejauh
mungkin memperhatikankan isu gender di setiap bab. Namun demikian, sedikit
kesulitan ditemukan bila data atau informasi yang tersedia tidak dipilah menurut jenis
kelamin. Demikian pula data yang kurang representative, terutama data kualitatif,
bagaimanapun dapat mempengaruhi judgement masalah gender yang ditampilkan.
1.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang ditampilkan dalam buku ini adalah data kuantitatif yang
kemudian dianalisis secara kualitatif. Data yang dipublikasikan ini sebagian besar
berupa data primer yang diambil dari hasil-hasil survey yang dilakukan Badan Pusat
Statistik (BPS) seperti Suvei Sosial Ekonomi (Susenas), Survei Angkatan Kerja
3
Nasional (Sakernas), dan lain-lain. Selain dari BPS, data juga bersumber dari
berbagai instansi terkait seperti dari Dinas pendidikan, Dinas kesehatan, dan
lain-lain.
1.4. Kondisi Geografis
Secara geografis Kabupaten Badung terletak pada posisi antara
814’20” - 850’48” Lintang Selatan dan 11505” 00” – 11526’16” Bujur
Timur dengan luas wilayah 418,52 Km2 atau sekitar 7,43 % dari dataran
Pulau Bali dan terbagi atas 6 wilayah kecamatan. Kecamatan yang ada di
Kabupaten Badung adalah: 1. Kecamatan Kuta Utara; 2. Kecamatan Kuta
Selatan; 3. Kecamatan Kuta; 4. Kecamatan Mengwi; 5. Kecamatan Abian
Semal; dan Kecamatan Petang. Dari 6 kecamatan ini nampak Kecamatan
Petang memiliki luas wilayah terbesar yakni 115 Km2, sedangkan
Kecamatan Kuta merupakan kecamatan yang terkecil dengan luas wilayah
17,52 Km2.
Sama halnya dengan daerah lainnya, Kabupaten Badung
mengalami dua musim yakni musim kemarau dan musim penghujan. Suhu
udara berkisar antara 22,9 derajat celsius yang merupakan suhu terendah
dan suhu tertinggi mencapai 31,2 derajat celsius. Sementara itu kelembaban
udara berkisar antara 80 % - 86%. Kelembaban tertinggi biasanya terjadi
pada bulan April, sementara kelembaban terendah terjadi pada bulan
Januari. Mengetahui perkembangan curah hujan memang penting karena
hal ini dapat dimanfaatkan dalam merencanakan usaha pertanian. Air hujan
merupakan salah satu pendukung dalam melaksanakan aktivitas pertanian.
Kabupaten Badung terletak berbatasan dengan
Kabupaten
Buleleng di sebelah utara, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli
4
disebelah Timur, di sebelah Selatan adalah berbatasan dengan Samudra
Indonesia dan disebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabanan.
Secara keseluruhan, wilayah kabupaten Badung berjumlah 41.862 hektar.
Seluruh wilayah ini terdiri dari lahan sawah 10.125 Ha, lahan kering dan
lahan lainnya 31.727 Ha.
1.5. Ekonomi
Nampaknya sampai saat ini Kabupaten Badung masih dikenal
sebagai salah satu Kabupaten terkaya diantara 9 Kabupaten/Kota yang ada
di Provinsi Bali. Penilaian ini tentu tidak terlalu berlebihan karena pada
kenyataannya pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu indikator
penilaian masih paling besar diantara kabupaten lainnya. Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB)
merupakan gambaran mengenai keadaan
perekonomian suatu daerah. Demikian halnya perkembangan perekonomian
Kabupaten Badung ditunjukkan dengan perkembangan PDRB-nya. Laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Badung dari tahun 2003 – 2006 seperti
tampak pada gambar 1.1. Secara sektoral PDRB Kabupaten Badung tahun
2006 kondisinya menurun bila dibandingkan tahun 2005, hal ini dapat dilihat
dari laju pertumbuhan ekonomi yang turun dari 5,61% pada tahun 2005
menjadi 5,03% tahun 2006. Sampai tahun 2006 perekonomian Kabupaten
Badung masih didominasi oleh sektor pariwisata terutama sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Pada tahun 2006 sektor ini mampu
menyumbang 39,27%
dari produk domistik regiaonal bruto (PDRB).
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2005), angka ini mengalami
penurunan 0,92%.
5
Grafik: 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Badung Tahun 2003 -2006
7
6
5
4
3
2
1
0
2003
2004
2005
2006
Sumber: Badung dalam angka, 2008
Sektor penyumbang terbesar kedua adalah sektor pertanian yaitu sekitar 9,52%,
sektor ini sedikit mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya (2005) yang
mencapai 9,19%. Sektor bangunan tergolong penyumbang terbesar ketiga yang
mencapai 6,75%. Secara lengkap kondisi PDRB Kabupaten Badung seperti nampak
pada Gambar. 1.2.
6
Gambar. 1.2. Distribusi persentase PDRB Kabupaten Badung Menurut
Lapangan Usaha Tahun 2003-2006
Pertanian
pertambangan
41.6
41.09
45
40.19
39.27
40
35
28.37
28.31
27.64
26.85
30
25
20
15 9.28 9.72
9.52 9.54
9.19 9.29
8.84 9.6
10
5.75
5.48
5.39
5.13
2.87
2.8
2.69
2.57
2.152.72
2.05
5 1.682.66 1.792.67 2.61
0
2003
2004
2005
2006
Indtr/penglah
Ltrk,gas,ab
Bangunan
perd,htl,res
peng&kom
Keuangan
Jasa-jasa
Sumber: BPS Badung, 2007
7
BAB II
GAMBARAN UMUM KABUPATEN BADUNG
2.1. Sejarah Pembentukan Kabupaten Badung
Kabupaten Badung, 1 ( satu) dari 8 kabupaten dan 1 (satu) kota di Bali,
secara fisik mempunyai bentuk yang unik, menyerupai sebilah keris. Keunikan ini
kemudian diangkat menjadi lambang daerah, dimana di dalamnya terkandung
semangat dan jiwa kesatria yang sangat erat hubungannya dengan perjalanan
historis wilayah ini, yaitu “Puputan Badung”. Semangat ini kemudian melandasi motto
Kabupaten Badung yaitu “Cura Dharma Raksaka” yang mempunyai arti “kewajiban
pemerintah unutk melindungi kebenaran dan rakyatnya”.
Badung menggunakan istilah yang dipakai oleh pasal 18 UUD 1945
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan
Daerah Propinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang setiap pemerintah daerah
yang diatur dengan Undang-Undang”. Daerah-daerah ini bersifat otonom dan
administrative belaka.
Pembentukan Kabupaten Badung tidak terlepas dari terbentuknya Propinsi
Bali pada tanggal 18 Agustus 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun
1958, yang menetapkan bahwa Daerah Nusa Tenggara dibagi menjadi tiga yakni
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Propinsi Bali. Pada tahun 1958
secara yuridis formal Badung telah menjadi daerah otonom yang terbentuk
berdsarkan UU Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II
dalam wilayah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Dengan dibentuknya Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982. Sejak Februari 1992 sebagian wilayah
Kabupaten Badung menjadi Wilayah Kota Madya Denpasar sehingga wilayah
Kabupaten Badung menjadi seluas 418,52 Km2. Kabupaten Badung ditunjuk sebagai
salah satu dari 26 Daerah Tingkat II di 27 Propinsi sebagai percontohan otonomi
8
Daerah Tingkat II. Kabupaten Badung mengambil langkah-langkah dalam
menyongsong pelaksanaan titik berat otonomi daerah pada daerah tingkat II.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali
Tahun 1991, Kabupaten Badung memperoleh skor 112 yang masuk dalam kategori
tingkat IV atau tingkat tinggi. Sehingga dinilai sangat mampu untuk
menyelenggarakan otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab.
2.2. Pengertian dan Makna Lambang Daerah
Lambang Daerah Kabupaten Badung
Lambang Daerah Kabupaten Badung ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten tanggal 18 Juni Nomor 16/DPRDGR/1971 yang disahkan oleh Mendagri
dengan SK-nya tanggal 17 Juli 1971 Nomor Pemda 10/20/28/198.
Bentuk segi lima dengan warna dasar biru laut garis pinggir hitam dengan
motto : Cura Dharma Raksaka artinya “Kewajiban Pemerintah Melindungi Kebenaran
(rakyatnya)”
Lambang daerah Kabupaten Badung
Makna lambing unsure daerah adalah sebagai berikut :
1. Segi Lima Sama Sisi
9
Berarti mencerminkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah
Pancasila juga merupakan falsafah hidup Bangsa Indonesia. Warna
dasar biru laut menunjukkan Kabupaten Badung atau Pulau Bali
dikelilingi oleh laut, warna biru juga berarti toleransi.
2. Padmasana Pura Jagatnata
Melambangkan Kabupaten Badung mempunyai sifat kesenian yang
khas atau dalam arti modern. Jagatnata berarti tempat
pemerintah/penguasa. Dengan demikian Badung adalah tempat
suci untuk pemujaan Sang Hyang Widhi.
3. Keris
Melambangkan jiwa mentalitas keperwiraan yang lazim disebut
ksatria. Keris terdiri dari tiga unsure (Sang Hyang Tiga Sakti) ialah
Rai Roro Pucuk Sinunggal yang artinya 2 buah mata keris dan satu
ujung adalah hakikat daripada penciptaan serta peleburan, inilah
hakikat segala-galanya. Keris dengan lik tiga menyimpulkan Tri
Kinanggih satria, artinya hal ini yang mewujudkan kesatria : yaitu
Arta (benda, kekayaan, materiil), otot (kekuatan, phisik, kesehatan
tubuh) dan kepradnyan (ilmu pengetahuan).
4. Padi dan Kapas
Melambangkan sandang dan pangan, adalah wujud cita-cita
kemakmuran rakyat dan Kabupaten Badung adalah pusat
perekonomian. Untaian padi terdiri dari 20 biji, 9 tali pengikat, serta
buah kapas 6 biji adalah simbul dari tanggal 20 September 1906,
merupakan hari bersejarah Kerajaan Badung yaitu hari Puputan
Badung, atau perang habis-habisan melawan Belanda.
10
2.3. Visi dan Misi
Visi Kabupaten Badung
Visi Pembangunan Daerah yaitu terwujudnya masyarakat di Kabupaten
Badung yang tentram, berkeadilan dan sejahtera, yang berwawasan budaya yang
dijiwai oleh Agama Hindu.
Misi Kabupaten Badung
1.
Peningkatan keimanan dan ketakwaan.
2.
Memberdayakan ekonomi rakyat khususnya usaha kecil, menengah dan
koperasi.
3.
Peningkatan sector pertanian simultan dengan pembangunan sector
pariwisata yang berlandaskan adat dan budaya yang dijiwai oleh Agama
Hindu, sektor industri kecil kerajinan dan jasa dengan memperhatikan
sektor lain berlandaskan adat dan budaya.
4.
Peningkatan pemerataan pembangunan wilayah Badung Utara, Badung
Tengah dan Badung Selatan.
5.
Percepatan pengentasan kemiskinan.
6.
Percepatan terwujudnya pelaksanaan Otonomi Daerah.
7.
Peningkatan kemampuan professional sumber daya manusia aparatur
yang jujur, bersih dan berwibawa.
8.
Penegakan pelaksanaan supremasi hukum.
9.
Pemberdayaan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.
10. Peningkatan peran aktif dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pengendalian pembangunan.
11. Pemberantasan penggunaan narkotika dan psikotropika serta bahaya
HIV/AIDS.
12. Peningkatan konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
11
2.4. Penduduk
Sumberdaya manusia berupa penduduk merupakan modal utama dalam
melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu sumberdaya manusia ini sangat
penting ditingkatkan kualitasnya guna dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Komposisi penduduk menurut berbagai karakteristik baik variabel demografi itu
sendiri maupun variabel pembangunan akan memberikan gambaran tentang
ketersediaan sumber daya manusia sebagai subyek maupun obyek pembangunan.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin dan variabel pembangunan lainnya
secara langsung bisa memperlihatkan kondisi dan posisi wanita secara relatif
terhadap lawan jenisnya. Selanjutnya, data seperti ini sangat diperlukan dalam
perencanaan, monitoring, maupun evaluasi program pembangunan secara umum,
ataupun program PUG pada khususnya. Dalam hal ini akan ditampilkan besaran dan
komposisi penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur.
Jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2007 berjumlah
408.020 jiwa yang terdiri dari 204.472 ( 50,11%) laki-laki dan 203.458 ( 49,89)
perempuan seperti tampak pada Tabel: 2.1. Angka ini menggambarkan bahwa pada
tahun 2007 jumlah penduduk laki-laki sedikit lebih besar dibandingkan penduduk
perempuan, atau kalau dilihat sex rasionya berarti setiap 100 penduduk perempuan
terdapat 101 penduduk laki-laki.
Jika dilihat sebaran penduduk menurut jenis kelamin nampak bahwa
pada kelompok umur tertentu seperti pada kelompok umur 15- 24 jumlah penduduk
perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, demikian juga pada kelompok umur
yang tergolong lanjut usia yaitu 65 tahun – 75 +. Ini menggambarkan bahwa pada
usia produktif dan usia lansia jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki-laki,
sementara jumlah penduduk laki-laki persentasenya lebih banyak pada usia 30 - 49
tahun. Lebih tingginya jumlah penduduk perempuan pada usia lanjut membuktikan
juga bahwa saat ini angka harapan hidup perempuan di Badung lebih tinggi dari
pada laki-laki. Disamping itu, hal ini juga mengandung beberapa pengertian yang
12
sifatnya penyebab maupun implikasi. Menurut kaidah demografi, pada saat kelahiran
bayi laki-laki lebih banyak dibandingkan bayi perempuan. Namun dalam tahap
selanjutnya kematian bayi laki-laki justru lebih banyak daripada bayi perempuan.
Tabel 2.1
Penduduk Kab. Badung Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, 2007
.
Kelompok
Umur
2007
Perempuan
Laki-laki
Total
0–4
F
18712
%
47,59
F
20680
%
52,41
F
39320
%
100.00
5–9
18712
49,68
18956
50,32
37668
100.00
10 – 14
16384
52,06
15088
47,94
31472
100.00
15 – 19
12132
52,41
11016
47,59
23148
100.00
20 – 24
16804
51,32
15940
48,68
32744
100.00
25 – 29
19264
47,00
21724
53,00
40988
100.00
30 – 34
20064
50,54
19632
49,46
39696
100.00
35 – 39
21908
50,50
21476
49,50
43384
100.00
40 – 44
17916
52,06
16496
47,94
34412
100.00
45 – 49
11144
55,68
8872
44,32
20016
100.00
50 – 54
7336
49,97
7344
50,03
14680
100.00
55 – 59
6840
50,67
6660
49,33
13500
100.00
60 – 64
5728
45,58
6840
54,42
12568
100.00
65 – 69
4812
47,85
5244
52,15
10056
100.00
70 – 74
3144
50,51
3080
49,49
6224
100.00
75 +
3572
44,25
4500
55,75
8072
100.00
204472
50,11
203548
49,89
408020
100,00
BADUNG
Sumber: BPS Badung, 2007.
13
Struktur umur mencerminkan perubahan yang terjadi pada komponen demografi,
yaitu kelahiran, kematian, dan migrasi, pada satu kurun waktu tertentu. Pada awal
masa transisi demografi, kelahiran yang tinggi memyebabkan proporsi penduduk
usia muda cukup tinggi. Namun karena angka kematian juga tinggi, maka mereka
yang bertahan hidup sampai usia di atasnya menjadi relatif sedikit. Teori transisi
demografi ini mengenal 4 tahap : pertama, angka kelahiran dan kematian bergerak
pada tingkat yang tinggi; kedua, angka kematian mulai memperlihatkan
kecenderungan menurun, tetapi angka kelahiran masih tinggi; ketiga angka kelahiran
dan kematian bergerak, menurut waktu pada tingkat yang rendah. Keadaan
penduduk Kabupaten Badung dewasa ini dapat dikatakan sudah sampai di antara
pertengahan dan akhir dari tahap ketiga. Hal ini ditandai dengan rendahnya angka
kelahiran maupun kematian. Implikasi dari struktur penduduk seperti ini
mengakibatkan beban perempuan menjadi lebih berat.. Oleh karena itu, berbagai
program/kebijaksanaan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas penduduk
perempuan seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain amat diperlukan sehingga
wanita bisa berperan optimal di segala bidang pembangunan. Di samping itu
program/kebijaksanaan yang mengarah kepada perlindungan terhadap hari tua
seperti asuransi kesehatan dan asuransi jiwa juga sangat penting agar kehidupan
penduduk usia lanjut bisa lebih terjamin.
2.5. Formasi Rumah Tangga.
Pada Tabel 2.1. tergambar bahwa pada tahun 2007 jumlah penduduk
Kabupaten Badung lebih banyak laki-laki dibandingkan penduduk perempuan,
namun demikian kalau dilihat jumlah penduduk yang menduduki posisi sebagai
kepala rumah tangga tetap didominasi oleh laki-laki. Kondisi ini memang masuk akal
karena selama ini baik di Badung maupun di Kabupaten lainnya secara umum
apabila suatu rumah tangga yang masih utuh maka posisi kepala rumah tangga
dipegang oleh kaum laki-laki, tetapi kalau suatu rumah tangga tidak utuh lagi dalam
14
artian sudah tidak ada laki-laki (suami) karena terjadi perceraian terutama cerai mati,
maka posisi kepala rumah tangga digantikan oleh perempuan (istri). Rumah tangga
yang dikepalai perempuan bisa juga terjadi karena memang seorang perempuan
hidup sendiri tanpa ikatan perkawinan atau perempuan mulih dehe ( cerai dengan
suami dan kembali ke rumah asal). Data mengenai jumlah rumah tangga yang
dikepalai oleh wanita di kabupaten Badung belum terdata sehingga tidak bisa
ditampilkan dalam buku ini.
2.6. Penduduk menurut Status Perkawinan
Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang sudah berstatus menikah,
sebagian kecil diantaranya sudah berstatus cerai baik cerai hidup maupun cerai mati.
Selama ini kasus cerai hidup untuk di Bali relatif jarang terjadi, hal ini tampak dari
kecilnya persentase penduduk yang berstatus cerai hidup. Jika dilihat dari perspektif
gender, nampak bahwa jumlah perempuan yang berstatus cerai hidup maupun cerai
mati lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan
secara umum lebih bertahan hidup sendiri (menjanda) dibandingkan laki-laki dalam
arti apabila terjadi perceraian atau salah satu pasangan mininggal, biasanya laki-laki
akan lebih cepat mencari pengganti pasangan. Sementara perempuan biasanya
lebih bertahan hidup hanya didampingi anak-anaknya.
Tabel 2.3: Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Status Perkawinan
dan Jenis Kelamin, 2005 – 2007
Status
2005
2006
2007
Perkawinan
L
P
L
P
L
P
Belum Kawin
35,29
27,57
35,45
24,79
33,07
26.66
Kawin
62,96
64,68
62,51
68,72
64,02
63,97
Cerai Hidup
0,32
1,29
0,37
1,11
0,99
1,69
Cerai Mati
1,43
6,46
1,67
5,39
1,92
7,68
Sumber: BPS. Badung, 2007.
15
Dalam Undang-undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
dijelaskan bahwa semua penduduk yang belum berusia 18 tahun adalah
dikatagorikan sebagai anak-anak. Jika berpatokan pada Undang-Undang ini maka
selama tiga tahun terakhir ( tahun 2005 –2007) di Kabupaten Badung masih relatif
banyak terjadi perkawinan di bawah umur baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Hal ini seperti tercermin pada Tabel: 2.4 di bawah ini.
Tabel 2.4: Persentase Perempuan Pernah Kawin Berumur 10 Tahun ke Atas
menurut Umur Perkawinan Pertama Di Kabupaten Badung 2005 – 2007.
Umur Perkawinan Pertama ( Tahun )
Tahun
10 - 16
17 - 18
19 +
Jumlah
2005
4,64
12,61
82,75
100,00
2006
4,90
10,21
84,89
100,00
2007
5,79
14,15
80,06
100,00
Sumber: BPS. Badung, 2007.
Dari Tabel. 2.3 nampak bahwa pada tahun 2005 dan 2007 persentase
perkawinan di bawah umur ( usia anak-anak) masih relatif tinggi yakni mencapai
5,79% dan tahun 2005 4,64%. jumlah ini mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Faktor apa yang menyebabkan terjadinya kenaikan ini, hal ini tentu masih perlu
dikaji lebih jauh.
16
BAB III
PENDIDIKAN
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia karena baik buruknya kualitas sumber daya manusia suatu bangsa sangat
ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan penduduknya. Disamping itu pendidikan
juga menjadi salah satu indikator yang menentukan Indek Pembangunan manusia (
Human Development Index – HDI) dan Gender Development Index (GDI) dari suatu
negara. Pendidikan dapat memberikan nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotorik
kepada setiap individu disamping juga dapat digunakan sebagai alat untuk
mentranspormasikan nilai-nilai yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu pendidikan bagi setiap individu baik lakilaki maupun perempuan sangatlah penting.
Dalam rangka peningkatan pembangunan di Indonesia, khususnya di
Kabupaten Badung, peningkatan kualitas penduduk (sumber daya manusia/SDM)
sangat penting dilakukan. Lebih-lebih, di era pembangunan yang berwawasan
otonomi daerah saat ini, yaitu pembangunan dari bawah (bottom up) sebagai lawan
dari paradigma top down (dari atas), menempatkan partisipasi masyarakat
sepenuhnya, baik sebagai subjek maupun sebagai objek pembangunan. Sebagai
subjek pembangunan, penduduk harus mampu sebagai penggerak pembangunan
sedangkan sebagai objek pembangunan penduduk juga harus mampu menikmati
pembangunan itu sendiri. Dalam kaitan ini, peningkatan kualitas penduduk
senantiasa terus harus ditingkatkan agar peningkatan pembangunan bisa terlaksana
dan dalam hal ini pendidikan memegang pernanan yang sangat strategis dalam
upaya peningkatan kualitas penduduk tersebut.
Pada hakikatnya, pendidikan itu adalah suatu usaha/bimbingan atau
proses pertolongan yang diberikan secara terus-menerus oleh seseorang atau
kelompok orang (sudah dewasa) kepada orang lain (belum dewasa) dalam arti luas.
17
Untuk itu, secara umum, tujuan pendidikan adalah mendewasakan seseorang dalam
arti luas, sehingga pada akhirnya si terdidik mampu berdiri sendiri dan mampu
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Secara lebih jelas tujuan pendidikan
nasional di Indonesia seperti tertuang dalam GBHN adalah membentuk manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa,
cerdas, terampil, tinggi budi pekertinya, kuat kepribadiannya, tebal semangat
kebangsaannya, dan cinta tanah air, merupakan manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
bangsanya.
Pada saat ini, secara umum telah terlihat adanya transisi pendidikan, baik di
Provinsi Bali maupun di Kabupaten Badung. Transisi pendidikan tidak hanya meliputi
proses perubahan dari masyarakat yang tidak terdidik menjadi masyarakat yang
terdidik, tetapi juga meliputi perubahan ke arah bentuk pendidikan yang mempunyai
kualitas yang lebih baik (Nachrowi, 1995; Marhaeni, 2005:38). Transisi tersebut
meliputi tiga hal, yaitu (1) adanya kesempatan belajar yang semakin luas dan
merata; (2) makin lamanya seseorang menghabiskan waktunya di bangku sekolah;
dan (3) semakin meningkatnya kemampuan masyarakat membiayai pendidikan dan
masyarakat membutuhkan pendidikan yang berkualitas. Dalam kaitan tersebut,
upaya pemerintah dalam peningkatan kualitas SDM melalui jalur pendidikan terlihat
nyata, terutama sejak tahun tujuh puluhan. Hal itu terlihat dari peningkatan sarana
pendidikan, khususnya pembangunan SD inpres dan program wajib belajar 9 tahun.
Selain itu, dikenal pula adanya program kejar paket A, program BOS (dana bantuan
operasional sekolah), dan lain-lain yang tujuan akhirnya adalah agar semua
penduduk usia sekolah, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengikuti
pendidikan minimal pada jenjang pendidikan dasar.
Secara normatif, terlihat bahwa kebijakan dan program pemerintah dalam
bidang pendidikan, baik pada pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan
tinggi, tidak menunjukkan adanya diskriminasi gender. Akan tetapi, dalam realitas
18
outputnya, terlihat adanya kesenjangan gender yang cukup signifikan, terutama pada
jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Profil pendidikan ini merupakan sarana
yang sangat strategis di dalam hal mengetahui tingkat keberhasilan program
pemerintah di dalam pembangunan bidang pendidikan. Berikut ini dideskripsikan
adanya kesenjangan gender tersebut dalam bidang pendidikan di Kabupaten
Badung.
3.1 Buta Huruf
Buta huruf merupakan cerminan penduduk yang tidak bisa membaca
dan menulis yang biasanya dinyatakan dalam angka/persentase (illiteracy rate).
Kemampuan membaca dan menulis (baca-tulis atau “melek huruf”) merupakan
indikator yang dominan dipakai sebagai alat penentu kemajuan tingkat pendidikan
suatu masyarakat. Penduduk yang tidak memiliki kemampuan untuk baca-tulis
disebut buta huruf. Kemudian, persentase penduduk buta huruf merupakan indikator
keterbelakangan penduduk dalam pendidikan atau indikator rendahnya kualitas
sumber daya manusia. Semakin tinggi persentase penduduk buta huruf dapat
diartikan semakin rendah kualitas sumber daya manusianya yang berkorelasi juga
dengan rendahnya pendidikan masyarakat/bangsa bersangkutan. Sebaliknya,
semakin rendah persentase penduduk yang buta huruf berarti bahwa semakin tinggi
kualitas sumber daya manusianya dan berkorelasi dengan semakin tinggi tingkat
keberhasilan pendidikannya. Tabel berikut ini menggambarkan persentase penduduk
yang buta huruf di Kabupaten Badung dalam periode 2005 sampai dengan 2007.
19
Tabel 3.1
:
Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Yang Buta
Huruf menurut jenis kelamin
Jenis Kelamin
2005
2006
2007
Perempuan
16,76
13,40
12,57
Laki-laki
4,37
4,58
2,70
L+P
10,47
8,77
7,59
Sumber : Badan Pusat Statistik,2008
Dari data persentase buta huruf seperti yang tercantum pada Tabel 3.1
di atas, terdapat perbedaan buta huruf menurut jenis kelamin (gender), dan antarwaktu. Perbedaan persentase angka buta huruf berdasarkan jenis kelamin dan
waktu, lebih jelas tampak seperti Grafik 3.1 berikut ini.
Grafik 3.1
: Perkembangan Angka Buta Huruf Kabupaten Badung
Berdasarkan Jenis Kelamin, 2005-2007
16.76
18
13.4
12.57
Lk-lk
Prp
13
8
4.58
2.70
4.37
3
-2
2005
2006
2007
Sumber: BPS Badung, 2007
Sejak tahun 2005 sampai dengan 2007 tampak terjadi penurunan angka
buta huruf di Kabupaten Badung, tetapi dari sisi ketimpangan gender selama tiga
20
tahun tersebut tidak mengalami perbaikan. Dilihat dari segi jenis kelamin, persentase
buta huruf perempuan selalu lebih tinggi (lebih banyak) daripada laki-laki. Kondisi
tersebut di seluruh tempat di Bali dan berlansung dari waktu ke waktu. Pada tahun
2007 persentase keseluruhan ketimpangan gender antara penduduk perempuan dan
laki-laki, dengan angka ketimpangan mencapai persentase 9,35%.
Ketimpangan itu mencerminkan masih terdapatnya ketimpangan
kesempatan bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan. Ketimpangan tersebut
masih berkaitan dengan pendapatan penduduk dan ketersediaan fasilitas
pendidikan. Secara umum, pendapatan penduduk di perkotaan masih lebih baik
daripada di perdesaan. Di perkotaan terdapat berbagai pusat kegiatan ekonomi dan
pemerintahan, seperti pertokoan, usaha, jasa, dan pemerintahan sehingga
memungkinkan beranekaragamnya profesi penduduk sehingga penduduk di
perkotaan memiliki kesempatan untuk memanfaatkan waktunya semaksimal
mungkin untuk usaha produktif. Sementara itu, di perdesaan profesi penduduk
umumnya bertani dan tidak tersedia cukup kesempatan untuk bekerja yang lain.
Lebih-lebih di daerah perdesaan lahan kering, penduduk bertani pada waktu musim
hujan saja. Penduduk tidak memiliki banyak kesempatan untuk memanfaatkan
waktunya secara maksimal demi kegiatan produktif.
Kondisi pendapatan penduduk tersebut diperparah dengan kondisi
ketersediaan fasilitas pendidikan. Umumnya, letak sekolah di pedesaan lebih sulit
terjangkau (jauh) daripada di perkotaan. Kemudian, fasilitas pendidikan, seperti
sarana angkutan, buku-buku, dan alat-alat sekolah lainnya di pedesaan sangat
minim jika dibandingkan dengan di perkotaan. Kondisi tersebut menyebabkan
pendapatan penduduk di perdesaan umumnya lebih rendah daripada di perkotaan.
Pada keluarga yang segi ekonomi sangat kurang, biasanya perempuan tidak
memiliki kesempatan untuk bersekolah. Kemudian, dipersulit lagi dengan tidak
tersedianya fasilitas pendidikan yang cukup, seperti letak sekolah yang cukup jauh
dari rumah penduduk bersangkutan. Dalam keadaan seperti itu, laki-laki biasanya
21
diberikan prioritas untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi karena anak lakilaki nantinya bertanggung jawab untuk memberi nafkah bagi keluarganya. Hal itu
didukung oleh sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali bahwa ketika anak
berkeluarga, anak laki-lakilah yang meneruskan keluarganya sedangkan anak
perempuan akan kawin ke keluarga lain. Kondisi tersebut memperlambat kesetaraan
perempuan untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Dilihat dari segi waktu, terdapat angka persentase buta huruf yang dapat
memunculkan sikap optimistis. Dari tahun 2005 sampai dengan 2007 ditemukan
penurunan angka buta huruf dari tahun ke tahun. Tahun 2005 angka buta huruf
adalah 4,37% untuk laki-laki dan 16,76% untuk perempuan, tahun 2006 angka buta
huruf adalah 4,58% untuk laki-laki dan 13,40% untuk perempuan, dan tahun 2007
angka buta huruf adalah 2,78% untuk laki-laki dan 12,57% untuk perempuan.
Pergeseran angka tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan buta huruf
dari tahun ke tahun yang mencapai angka kira-kira 0,25% lebih. Hanya saja,
penurunan tersebut terjadi baik pada laki-laki maupun pada perempuan sehingga
ketimpangan gender tetap terjadi.
Penurunan angka persentase buta huruf tersebut tentu tidak lepas dari
program pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam
bidang pendidikan. Program pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun atau kelompok
belajar (Kejar Paket A, Program BOS, dan lain-lain) tampaknya mampu menekan
angka buta huruf penduduk di Kabupaten Badung selama kurun waktu 2005—2007.
Program wajib belajar, kejar paket, dana bantuan (BOS), pengadaan berbagai
fasilitas sekolah mampu merangsang dan memotivasi penduduk yang kurang
mampu untuk melanjutan sekolah minimal sekolah dasar. Program tersebut tentu
perlu terus dilanjutkan guna mencapai angka ideal buta huruf, yaitu 0%.
22
3.2 Angka Partisipasi Sekolah
Kualitas pendidikan penduduk (sumber daya manusia) ditentukan juga
(selain angka buta huruf) oleh salah satu indikatornya, yaitu angka partisipasi
sekolah (APS). Partisipasi penduduk bersekolah merupakan bentuk nyata usaha
peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan. Angka partisipasi sekolah
penduduk Badung tahun 2007 seperti tampak pada Tabel 3.2 berikut ini. Dari tabel
tersebut nampak bahwa pada kelompok umur 7—12 tahun terlihat APS perempuan
sedikit lebih tinggi dari pada APS laki-laki, sebaliknya pada umur 13—15 tahun dan
16 – 18 tahun APS laki-laki sedikit lebih tinggi dari pada perempuan., demikian juga
pada kelompok umur 19—24 tahun (perguruan tinggi)
Kesempatan laki-laki dan perempuan untuk mengikuti pendidikan tidak
menunjukkan adanya perbedaan persentase yang mencolok pada usia 7—12 tahun..
Malahan, angka partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, pada
jenjang pendidikan SD. Data yang tercantum pada Tabel 3.2 menggambarkan
bahwa di Kabupaten Badung Kesenjangan gender di bidang pendidikan pada tahun
2007 nampak tidak terlalu menonjol. Kalau di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten
lainnya di Bali kesenjangan gender di bidang pendidikan semakin menonjol pada
jenjang pendidikan SMA ke atas, maka kondisi di kabupaten Badung terjadi
sebaliknya. Ini artinya di kabupaten Badung akses perempuan ke jenjang pendidikan
tinggi tidak terbatas. Persentase angka partisipasi sekolah (APS) di atas
menggambarkan bahwa akses dan kesempatan penduduk, baik laki-laki maupun
perempuan, untuk mengikuti pendidikan tidak dibedakan
23
Tabel 3.2
:
Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Jenis Kelamin dan
Usia Sekolah Tahun 2005-2007
Kelompok
Umur (Usia
Jenis Kelamin
2005
2006
2007
Laki-laki
95,67
100,00
97,72
Perempuan
96,21
97,82
99,39
Laki-laki+Perempuan
95,93
98,97
98,53
Laki-laki
72,65
93,16
100,00
Perempuan
85,61
94,94
96,97
Laki-laki+Perempuan
78,83
94,03
98,43
Laki-laki
73,90
78,18
83,49
Perempuan
68,80
76,07
73,17
Laki-laki+Perempuan
71,83
77,36
79,13
Laki-laki
26,57
14,24
18,56
Perempuan
16,43
10,44
10,53
Laki-laki+Perempuan
21,44
12,58
14,60
Sekolah)
7 - 12
13 - 15
16 - 18
19 - 24
Sumber: BPS Badung
.
3.3. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Indikator APS (angka partisipasi sekolah) di atas memperlihatkan bahwa
persentase penduduk Badung yang mengikuti pendidikan tinggi ternyata sangat
rendah. Kondisi tersebut juga tergambar pada angka persentase penduduk yang
berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Pendidikan
tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk, khususnya di Kabupaten Badung,
merupakan indikator lain untuk mengukur kualitas sumber daya manusia. Makin
24
tinggi pendidikan yang bisa dicapai oleh seseorang akan berkorelasi dengan
semakin baiknya kualitas sumber dayanya. Akan tetapi, kondisi objektif penduduk
Badung memperlihatkan angka persentase yang tinggi pada tamatan SLTA yang
mencapai 41,80 % untuk laki-laki dan 31,27% untuk perempuan pada tahun 2007.
Tahun 2005 dan 2006 juga menunjukkan kondisi yang sama. Sementara persentase
lulusan yang paling rendah adalah tamatan Diploma satu dan dua (D1 & D2).
Kondisi tersebut memperlihatkan sikap pragmatisme masyarakat yang
memilih sekolah sangat terkait dengan peluang kerja (link and match). Mereka
umumnya enggan menginvestasikan uangnya untuk biaya pendidikan jika pada
akhirnya tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Dengan demikian, pendidikan
tinggi yang kurang menjanjikan lapangan pekerjaan tidak diminati oleh calon
mahasiswa. Kondisi tersebut ikut mendorong rendahnya angka penduduk mengikuti
pendidikan tinggi di samping faktor lain, seperti rendahnya tingkat pendapatan
penduduk dan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi. Gambar berikut ini
menginformasikan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk yang berumur
10 tahun ke atas di Kabupaten Badung pada tahun 2005, 2006, dan 2007 (tiga tahun
terakhir ini).
25
Tabel 3.3
:
Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tahun 2005-2007
Pendidikan Tertinggi Yang
Ditamatkan
2005
2006
2007
L
P
L
P
L
P
Tidak/Belum Tamat SD
17,72
27,48
16,81
27,04
13,82
21,55
Tamat SD
20,76
21,64
21,57
24,96
15,89
20,14
Tamat SLTP
14,00
15,76
14,29
12,85
14,85
16,43
Tamat SLTA
38.35
29,29
37,03
27,79
41,80
31,27
D1/D2
3,46
3,03
3,68
3,81
4,66
3,89
D3/D4/Universitas
5,70
5,15
6,62
3,74
8,98
6,71
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Total
Sumber: BPS Badung, 2007
Ketimpangan gender pada pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh
penduduk Badung diperlihatkan oleh Gambar 3.3. Ketimpangan gender yang cukup
mencolok terlihat pada tamatan pendidikan SMU/sederajat, yaitu angka 41,80%
untuk laki-laki dan 31,27% untuk perempuan tahun 2007
dengan angka
ketimpangan 10,53%. Sementara itu, pada usia tidak/belum tamat SD, tamat SD,
dan tamat SLTP relatif tidak tampak adanya ketimpangan gender. Malahan pada
tidak/belum tamat SD dan tamat SD tampak angka perempuan lebih besar daripada
angka laki-laki. Hal itu perlu dicermati karena usia tidak/belum pernah sekolah akan
berpeluang besar terhadap terjadinya buta huruf. Penduduk yang buta huruf tentu
tidak bisa diharapkan secara maksimal partisipanya di dalam pembangunan .
26
Gambar: 3.2: Pendidikan Tertinggi Penduduk Kabupaten Badung Tahun
2007
45
41.8
40
35
31.27
30
25
21.55
20
15
laki-laki
20.14
15.89
13.82
Perempuan
16.43
14.85
10
4.66
5
6.71
3.89
6.71
0
Tdk/blm
tamat SD
SD
SMP
SMA
D1/D2
D3/D4/Univ
Sumber: BPS Badung, 2006
Pada jenjang tamatan pendidikan tinggi, terlihat juga adanya kesenjangan
gender. Secara konstan terlihat angka tamatan pendididkan tinggi yang selalu lebih
kecil pada penduduk perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dari angka tamatan
Diploma I/II untuk laki-laki mencapai angka 4,66% sedangkan perempuan 3,89%,
Diploma III/Diploma IV/S1 untuk laki-laki dengan angka 8,98% sedangkan
perempuan 6,71%. Ketimpangan tersebut juga berlangsung secara terus-menerus
dengan perubahan yang tidak berarti dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007.
Angka tidak punya ijazah dan tamatan SD/sederajat sampai pada tamatan
SMP/sederajat yang lebih besar perempuan daripada laki-laki menunjukkan bahwa
penduduk perempuan lebih banyak berhenti bersekolah pada jenjang tersebut
karena pada tamatan SMA/sederajat ternyata angka perempuan lebih kecil daripada
27
angka laki-lakinya. Demikian juga pada tingkat pendidikan setelah tamat SMU;
adanya ketimpangan gender yang mencolok akan sangat merugikan kualitas sumber
daya manusia perempuan di Propinsi Bali. Hal itu berarti bahwa kualitas
pendidikan/ijazah perempuan lebih rendah daripada laki-laki lalu hal itu terkait
dengan posisi pekerjaan yang bisa diduduki oleh perempuan. Jika pendidikan
perempuan tidak maksimal tentu posisi yang diduduki dalam pekerjaannya tidak
maksimal pula. Artinya, karier perempuan tidak sampai ke posisi puncak.
Arti angka kesenjangan gender itu adalah perempuan mempunyai
kesempatan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki dalam memasuki
jenjang pendidikan SMU ke atas. Hal itu kemungkinan dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain, adanya nilai sosial budaya yang menganggap perempuan tidak
perlu sekolah tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur. Faktor lainnya yang
spesifik di Bali pada umumnya dan di Kabupaten Baung khususnya adalah sistem
kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakatnya dan adanya keterikatan
dengan adat agama Hindu yang kuat. Sistem kekerabatan tersebut menjadikan
keluarga Bali lebih mementingkan pendidikan tinggi anak laki-laki. Seterusnya, anak
laki-laki dianggap sebagai investasi keluarga dan penerus keturunan, sehingga anak
perempuan tidak dapat hak waris. Faktor lainnya yang menyebabkan pendidikan
perempuan lebih rendah dari laki-laki adalah adanya stereotip gender, seperti
perempuan lemah, perlu dilindungi, dan lain-lain, yang pada gilirannya memunculkan
kekurangpercayaan orang tua untuk menyekolahkan anak perempuannya jauh dari
tempat asalnya. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor ketidakadanya
jaminan setelah tamat perguruan tinggi akan memperoleh pekerjaan yang layak
sehingga orang tua enggan mengeluarkan banyak uang untuk membiayai pendidikan
tinggi. Pendidikan masih dipandang sebagai sarana pencapaian pekerjaan bukan
investasi.
28
Ketiga indikator pendidikan yang telah dibahas di depan memberikan
gambaran bahwa masih ditemukan ketimpangan gender pada bidang pendidikan di
Kabupaten Badung. Ketimpangan gender yang cukup mencolok dapat disebutkan,
antara lain, sebagai berikut.
(1) Penduduk perempuan lebih banyak buta huruf daripada laki-laki, terutama
ketimpangan yang lebih besar ditemukan di desa daripada di kota.
(2) Angka partisipasi sekolah perempuan lebih rendah daripada laki-laki,
terutama pada kelompok umur 16—18 tahun ke atas.
(3) Perempuan yang belum/tidak pernah sekolah, tamat SD/sederajat, dan
tamat SMP/sederajat lebih banyak daripada laki-laki dan pada jenjang
tamat SMU dan tamat perguruan tinggi ternyata lebih banyak laki-laki
daripada perempuan. Hal itu berarti bahwa pendidikan perempuan lebih
banyak sampai pada tingkat SMP/sederajat sedangkan pada tingkat
SMU/sederajat dan perguruan tinggi pendidikan angka perempuan lebih
rendah daripada laki-laki.
Kesenjangan
gender
yang
terjadi
tersebut
pada
dasarnya
menggambarkan status, kedudukan, dan kualitas penduduk perempuan masih lebih
rendah daripada laki-laki. Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender,
kondisi seperti itu perlu diatasi, antara lain, dengan cara meningkatkan kualitas
pendidikan di Kabupaten Badung seperti (a) memperluas jangkauan pelayanan
pendidikan sampai ke pelosok wilayah yang membutuhkan, (b) meningkatkan
ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan yang memadai, (c) meningkatkan
ketersediaan tenaga pendidik pada tingkat pendidikan tertentu yang membutuhkan,
(d) meningkatkan akses penduduk kurang mampu dalam mengikuti pendidikan, (e)
meningkatkan subsidi pembiayaan pendidikan bagi penduduk miskin, dan (f) secara
khusus melakukan sosialisasi gender di berbagai lapisan masyarakat, sehingga nilainilai sosial budaya yang bersifat merugikan atau kurang mendukung kemajuan
perempuan, terutama di bidang pendidikan bisa diperbaiki. Sebagai tambahan,
29
sosialisasi gender di Badung akan bisa lebih efektif bila dilakukan lewat kegiatan
Banjar dan melalui sistem percontohan.
3.4 Siswa Putus Sekolah
Kondisi kemiskinan penduduk cukup mempengaruhi tinggi rendahnya angka
putus sekolah pada suatu daerah. Disamping karena faktor kemiskinan ekonomi dan
rendahnya pemahaman terhadap pentingnya pendidikan, faktor geografis juga
seringkali menjadi penyebab terjadinya putus sekolah. Putus sekolah dalam hal ini
dimaksudkan penduduk yang tidak menyelesaikan pendidikannya baik di jenjang
pendidikan dasar maupun jenjang pendidikan menengah dan lanjutan. Angka siswa
putus sekolah di Kabupaten Badung pada tahun 2007 nampak tidak terlalu tinggi.
Hal ini seperti tampak pada Tabel: 3.4 di bawah ini.
Tabel:3.4.Siswa SD Putus Sekolah Menurut Kecamatan
Dan Jenis Kelamin Tahun 2007.
L
P
L+P
L
P
L+P
SD NEGERI
DAN
SD SWASTA
L
P
L+P
Kuta Selatan
1
0
1
0
0
0
1
0
1
Kuta
0
1
1
1
0
1
1
1
2
Kuta Utara
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Mengwi
1
0
1
0
0
0
1
0
1
Abiansemal
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Petang
1
1
2
0
0
0
1
1
2
Jumlah
3
2
5
1
0
1
4
2
6
KECAMATAN
SD NEGERI
SD SWASTA
Sumber : Dinas Pendidikan Badung
30
Dari Tabel 3.4 di atas nampak bahwa angka putus sekolah di tingkat sekolah dasar
baik di SD negeri maupun swasta di setiap kecamatan di Kabupaten Badung sangat
kecil. Secara keseluruhan pada tahun 2007 hanya ada 6 siswa yang putus sekolah.
. Dilihat dari perspektif gender nampak bahwa angka putus sekolah lebih banyak
dialami oleh anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
3.5. Jumlah Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Jumlah siswa SMP di Kabupaten Badung pada tahun 2007 secara absolut
menunjukkan perbedaan jumlah yang cukup menjolok antar kecamatan. Dari enam
kecamatan yang ada di Kabupaten Badung nampak di Kecamatan Mengwi jumlah
siswa SMP paling banyak, hal ini memang wajar karena jumlah penduduk di
kecamatan Mengwi paling banyak jumlahnya di antara kecamatan yang ada. Tabel.
3.5 di bawah menggambarkan secara rinci jumlah siswa SMP di semua Kecamatan
di Kabupaten Badung. Dilihat dari perspektif gender, secara umum nampak jumlah
siswa laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan siswa perempuan.
Tabel. 3.5. Jumlah Siswa SMP Menurut Kecamatan dan Jenis
Kelamin Tahun 2007.
KECAMATN
L
SMP NEGERI
P
SMP NEGERI DAN
SMP SWASTA
SMP SWASTA
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
Kuta Selatan
1571
1412
2983
842
701
1543
2413
2113
4526
Kuta
557
609
1166
1147
1074
2221
1704
1683
3387
Kuta Utara
565
660
1225
1211
1031
2242
1776
1691
3467
Mengwi
1850
1824
3674
1278
838
2116
3128
2662
5790
Abiansemal
1530
1607
3137
246
238
484
1776
1845
3621
Petang
610
625
1235
0
0
0
610
625
1235
Jumlah
6683
6737
13420
4724
3882
8606
11407
10619
22026
Sumber : Dinas Pendidikan Badung
31
3.6.Jumlah Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK)
Kondisi umum biasanya menunjukkan semakin tinggi jenjang pendidikan,
semakin kecil partisipasi perempuan dalam pendidikan, hal ini nampaknya tidak
terjadi di Kabupaten Badung karena seperti data yang tertera pada Tabel: 3.6.
nampak bahwa jumlah siswa perempuan di SMA lebih banyak dari siswa laki-laki,
sedangkan untuk siswa SMK jumlah siswa perempuan lebih sedikit dari siswa lakilaki.
Tabel: 3.6. Jumlah Siswa SMA Dan SMK Menurut Kecamatan Dan
Jenis Kelamin Tahun 2007.
SEKOLAH
SMA
SMK
L
P
L+P
L
P
L+P
NEGERI
2606
2965
5571
469
59
528
SWASTA
1339
1066
2405
3115
2600
5715
NEGERI &
3945
4031
7976
3584
2659
6243
3945
4031
7976
3584
2659
6243
SWASTA
Jumlah
Sumber : Dinas Pendidikan Badung
32
BAB IV
KESEHATAN
Pada umumnya, masalah kesehatan lebih banyak didekati dari aspek
klinis dan dalam hal ini ahli-ahli kedokteran dipercaya untuk mempelajari dan
memecahkannya. Padahal, menurut WHO (Suwiyo, 2002:490) dirumuskan bahwa
kesehatan sebagai a state of complete of physical, mental, social wellbeing and not
merely the absence of desease or infirmity. Artinya, sehat itu adalah keadaan yang
meliputi fisik, mental, dan sosial secara utuh berada dalam kondisi baik dan tidak
sekadar bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Dengan demikian, seseorang
manusia dapat dikatakan sehat, tidak hanya dari kondisi fisik dan mentalnya yang
dalam keadaan baik, tetapi juga dilihat dari apakah orang tersebut dapat menerima
dan diterima oleh kebudayaan di wilayah tinggalnya.
Kesehatan merupakan kebutuhan vital umat manusia. Dengan taraf
kesehatan tertentu, mereka mampu hidup secara produktif dalam bidang sosial
ekonomi, politik, dan lain-lain. Untuk itu, pembangunan kesehatan merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional karena kesehatan
menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia. Tujuan akhir pembangunan
kesehatan adalah terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai
salah satu unsur kesejahteraan umum, sesuai program pemerintah untuk mencapai
Indonesia Sehat tahun 2010.
Secara khusus dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan dinyatakan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan yang optimal. Keberhasilan pembangunan
kesehatan sangat besar peranannya dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas dalam rangka mengimbangi makin ketatnya persaingan bebas pada era
33
glabal ini. Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut
diperlukan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan
melibatkan semua sektor terkait, swasta, dan masyarakat. Dalam rangka untuk
mempertinggi taraf kesehatan masyarakat tersebut pula, pembangunan kesehatan
dilakukan dengan sistem kesehatan nasional. Pelaksanaan sistem tersebut
dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat dan diarahkan pada golongan
masyarakat berpenghasilan rendah, baik di kota maupun di desa.
Upaya bidang kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan tersebut dirumuskan dalam program Panca Karsa Husada, yaitu (a)
peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri di bidang
kesehatan, (b) perbaikan suatu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan,
(c) peningkatan status gizi masyarakat, (d) pengurangan kesakitan dan kematian,
dan (e) pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan kian diterimanya norma
kecil berhasil sejahtera.
Beberapa usaha yang telah dilakukan dalam rangka peningkatan derajat
kesehatan masyarakat tersebut, antara lain, pemberian penyuluhan kesehatan agar
keluarga berperilaku hidup sehat. Selain itu, diusahakan pula penyediaan fasilitas
kesehatan seperti Puskesmas, Posyandu, dan Polindes (Pos Bersalin Desa). Hal itu
dilakukan untuk mempermudah pelayanan kesehatan desa dan penyebaran tenaga
medis (dokter dan bidan) ke desa-desa.
Program-program kesehatan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung, seperti tersebut di atas, pada dasarnya ditujukan untuk semua
masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak terjadi kesenjangan
gender dalam bidang kesehatan. Bab ini akan mengulas untuk membuktikan apakah
keadilan dan kesetaraan gender di bidang kesehatan di Badung sudah tercapai.
Jawabannya akan dipaparkan melalui beberapa indikator kesehatan, seperti status
gizi fasilitas kesehatan, pola morbiditas dll.
34
4.1 STATUS GIZI
Sebagai unsur yang vital dalam peningkatan bidang kesehatan
masyarakat, pengadaan fasilitas kesehatan selalu ditingkatkan dan disempurnakan
oleh pemerintah dari tahun ke tahun. Saat ini fasilitas kesehatan yang telah tersedia
di Badung adalah rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta yang tersebar
dimana-mana. Fasilitas kesehatan lainnya adalah tempat praktek dokter swasta,
poliklinik, dan Polindes (poliklinik bersalin desa). Selain itu, di seluruh kecamatan
tersedia Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Sarana pendukung lainnya seperti
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terdapat hampir di setiap desa bahkan dusundusun. Dari Posyandu tersebut didapat gambaran mengenai status gizi balita
sehingga dapat mencermin gambaran suatu wilayah dengan keadaan gizi balita
menurut indikator BB/TB.
Presentase balita menurut status gizi dan jenis kelamin di Kabupaten
Badung diperlihatkan pada Tabel 4.1 berikut ini
Tabel 4.1
:
Presentase Balita Menurut Status Gizi di Kabupaten Badung
Tahun 2007
Status Gizi
Laki-laki
Perempuan
Sangat Kurus
0,19
0,19
Kurus
2,5
2,3
Normal
35,3
36,5
Gemuk
11,2
12,0
Jumlah
49,2
50,8
Sumber : PSG Th.2007
35
Dari tabel diatas dapat dilihat presentase yang berimbang dari semua
status gizi, baik dari yang sangat kurus atau bisa disebut dengan gizi buruk dengan
presentase 0,19, sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Demikian juga dengan status gizi kurus, normal dan gemuk terdapat sebaran angka
yang tidak terlalu berbeda jauh sehingga dapat disimpulkan bahwa keadaan status
gizi anak dapat dialami oleh semua jenis kelamin yang disebab oleh multikompleks
seperti pola asuhan, intake makanan, pendidikan, ekonomi dll. Grafik; di bawah ini
menggambarkan status gizi laki-laki dan perempuan di Kabupaten Badung.
Grafik: 4.1. Status Gizi Balita Tahun 2007
40
36.5
35
Laki-laki
30
Perempuan
25
20
15
11.212
10
5
2.5
2.3
0.19 0.19
0
Sangat
kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Sumber: BPS Badung, 2007
4.2 Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan
Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan merupakan
salah satu indikator yang dapat dipakai untuk mengetahui derajat kesehatan suatu
masyarakat. Semakin banyak penduduk yang mengalami keluhan kesehatan berarti
36
semakin rendah derajat kesehatan dari masyarakat bersangkutan. Pada masyarakat
Badung terdapat kesamaan keluhan kesehatan yang dialami oleh penduduk, baik
perempuan maupun laki-laki. Pada umumnya keluhan kesehatan utama yang
banyak dialami oleh penduduk adalah panas, sakit kepala, batuk, dan pilek.
Persentase penduduk laki-laki dan perempuan yang mengalami keluhan kesakitan di
Badung diperlihatkan oleh Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2
:
Persentase Penduduk yang mengalami Keluhan Kesehatan
Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005 - 2007
Jenis Kelamin
2005
2006
2007
Laki-laki
28,74
30,91
28,55
Permpuan
30,33
30,22
29,55
Jumlah
29,52
30,58
29,25
Sumber: BPS 2007
Persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan diperlihatkan
oleh Tabel 4.2 di atas. Dari tabel tersebut terlihat bahwa penduduk mengalami
keluhan kesehatan berkisar pada angka 30 persen. Terjadi peningkatan angka yang
tidak begitu besar dari tahun ke tahun selama tiga tahun terakhir ini (tahun 2005,
2006, 2007). Jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, terlihat adanya ketimpangan
penduduk yang mengalami keluhan kesehatan. Pada umumnya, penduduk
perempuan selalu mengalami keluhan kesehatan yang lebih banyak daripada
penduduk laki-laki. Tahun 2005 penduduk perempuan yang mengalami keluhan
kesehatan sebanyak 30,33 persen sedangkan penduduk laki-laki 28,74 persen.
Tahun 2006 penduduk perempuan yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak
30,22 persen sedangkan laki-laki 30,91 persen. Tahun 2007 penduduk perempuan
37
yang mengalami keluhan kesehatan sebanyak 29,55 persen sedangkan penduduk
laki-laki sebanyak 28,55 persen. Perkembangan penduduk yang mengalami keluhan
kesehatan berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2005 sampai 2007.
4.3 Penduduk Yang Berkunjung Ke Fasilitas Kesehatan
Kemudian, bila dilihat dari penduduk yang berkunjung ke fasilitas
kesehatan pada tahun 2007 diketahui bahwa penduduk laki-laki lebih banyak
berkunjung ke Rumah Sakit Pemerintah yaitu 7,59 persen dibandingkan dengan
penduduk perempuan yaitu 1,98 persen.
Untuk Rumah Sakit Swasta lebih banyak dikunjungi penduduk
perempuan sebesar 7,62 sedang penduduk laki-laki 5,44. Adapun kunjungan ke
Praktek Dokter dan Puskesmas memiliki angka yang sedikit berimbang yaitu 35,88
untuk laki-laki dan 34,35 untuk perempuan yang berkunjung ke Praktek Dokter.Yang
berkunjung ke Puskesmas 31,12 untuk laki-laki dan 31,26 untuk perempuan.
Sedangkan Praktek Tenaga Kesehatan dan Praktek Tradisional perempuan lebih
tinggi angkanya yaitu 20,10 dan 2,29 sedangkan laki-laki hanya 16,87 dan 0,95.
Kalau melihat dari angka diatas dan tabel dibawah maka dapat diartikan
bahwa penduduk perempuan memiliki kepekaan yang lebih terhadap penggunaan
fasilitas kesehatan, hal ini bisa dikatakan mereka sangat peduli dalam menjaga
kesehatan sehingga apabila dirasa ada gangguan secara fisik maupun mental
perempuan tidak akan berpikir dua kali untuk meminta pelayanan pada fasilitas
kesehatan guna menanggulangi masalah yang dihadapinya.
38
Tabel 4.3
:
Presentase Penduduk Yang Berkunjung Ke Fasilitas
Kesehatan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2007
Fasiliatas Kesehatan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
RS.Pemerintah
7,59
1,98
4,67
RS.Swasta
5,44
7,62
6,57
Praktek Dokter
35,88
34,35
35,08
Puskesmas
31,12
31,26
31,19
Praktek Petugas Kesehatan
16,87
20,10
18,55
Praktek Tradisonal
0,95
2,29
1,65
Lainnya
2,15
2,41
2,29
Jumlah
100
100
100
Sumber: BPS 2007
4.4 Peserta Keluarga Berencana
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu alat/program yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas penduduk. Tujuan utama KB adalah
menjarangkan kelahiran, tetapi dalam Gerakan Keluarga Berencana Nasional
(GKBN) tujuannya adalah untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang
menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian
kelahiran dan pertumbuhan penduduk. Untuk itu, program KB berhubungan langsung
dengan kualitas kehidupan keluarga dan penduduk dan berkaitan pula dengan
partisipasi penduduk di dalam pembangunan. Pemberdayaan perempuan dalam
perwujudan kesetaraan dan keadilan gender di dalam program KB merupakan upaya
peningkatan SDM dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, ketahanan, serta
partisipasi dalam pembangunan
39
Begitu pentingnya KB dalam pembentukan kualitas SDM, dalam hal-hal
tertentu perempuan memperoleh perlakuan khusus dalam kaitan dengan kesehatan,
terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti ketika hamil dan
menyusui, seringkali perempuan memperoleh pelayanan kesehatan khusus. Hal
tersebut terlihat dari adanya tempat pelayanan khusus bagi perempuan. Tempat
pelayanan yang dimaksud adalah Polindes (Poliklinik Bersalin Desa) dan Posyandu
(Pos Pelayanan Terpadu) yang biasanya secara khusus melayani kesehatan ibu dan
anak. Hal itu perlu dilakukan agar anak yang akan/sudah dilahirkan betul-betul
menjadi anak yang sehat dan berkualitas. Dalam kaitan ini, ibu tetap memegang
peranan utama dalam pembentukan balita/anak yang sehat dan berkualitas
Dalam hal partisipasi dalam KB aktif pun, perempuan tetap masih
memegang kendali. Dari delapan alat kontrasepsi yang biasanya digunakan dalam
pengendalian kelahiran, enam buah di antaranya (75 persen) merupakan alat
kontrasepsi yang diperuntukkan bagi perempuan. Hanya dua macam alat
kontrasepsi (25 persen) yang diperuntukkan bagi pria. Tabel berikut ini
memperlihatkan peserta KB aktif di Provinsi Bali dengan alat kontrasepsi yang
dipilihnya.
40
Tabel 4.4
:
Jumlah Peserta KB Aktif Per Metode Kontrasepsi Di
BadungTahun 2005, 2006 dan 2007
2005
Alat/Cara KB yang
digunakan
MOW/Tubektomi
2006
2007
JML
%
JML
%
JML
%
2.989
5,34
2.808
4,78
2.837
4,73
283
0,5
253
0,4
265
0,44
AKDR/ IUD
33.521
59,73
34.204
58,09
33.936
56,50
Suntikan KB
14.957
26,64
16.425
27,88
17.258
28,73
Pil KB
4.069
7,24
4.804
8,17
5.253
8,74
5
0,01
7
0,01
12
0,02
301
0,54
392
0,67
499
0,84
-
-
-
-
-
-
56.125
100
58.893
100
60.060
100
MOP/Vasektomi
Susuk KB/Implant
Kondom
Obat Vaginal
Jumlah
Sumber: Dinas Kesehatan, Badung
Tabel 4.4 tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perkembangan jenis
alat kontrasepsi dalam tiga tahun terakhir ini (2005-2007). Jenis alat kontrasepsi
yang tersedia tetap sebanyak 8 buah dengan catatan alat kontrasepsi cara
tradisional tidak terpantau dalam cacatan akseptor KB karena tidak termasuk alat
kontrasepsi modern. Dari 8 buah alat kontrasepsi tersebut, hanya 2 yaitu kondom
dan MOP/vasektomi merupakan alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria.
Selebihnya, 6 alat kontrasepsi yaitu MOW/tubektomi, AKDR/IUD, Suntikan KB, Pil
KB, Susuk KB/Implant, dan Obat vaginal merupakan alat kontrasepsi bagi
41
perempuan. Dalam kaitan ini, layanan kesehatan KB lebih memprioritaskan pilihan
alat kontrasepsi bagi perempuan daripada laki-laki.
Dilihat dari jenis alat kontrasepsi yang dipilih oleh para peserta KB aktif,
terlihat bahwa alat kontrasepsi AKDR/IUD termasuk alat kontrasepsi yang pali
banyak digunakan, yaitu mencapai angka 58,10 persen dari seleruh peserta KB aktif.
Pilihan yang kedua adalah Suntikan KB dalam 27,75 persen peserta, Pil KB dalam
8,05 persen peserta, dan MOW/Tubektomi dalam 4,95 persen peserta, Kondom
dalam 0.68 persen, Susuk KB/Impant dalam 0,01 persen, dan MOP/Vasektomi
dalam 0,44 persen. Dengan demikian, persentase perempuan yang menjadi peserta
KB aktif sebanyak 92,72 persen sedangkan pria dalam 1,27 persen dari seluruh
peserta KB aktif, yaitu sebanyak 60.060 orang. Gambaran tersebut tetap
memperlihatkan keterhubungan antara jumlah macam/jenis alat kontrasepsi yang
tersedia dengan persentase jumlah perserta KB aktif.
Seperti diketahui, dalam kaitan dengan peserta KB ini, telah terjadi
pergeseran paradigma program pemerintah akibat semangat otonomi daerah.
Program sebelumnya yang bersifat sentralistik dengan kelembagaan yang kuat dari
pusat sampai ke daerah mengukuhkan pencapaian peserta KB aktif secara
kuantitatif. Akan tetapi, sejak otonomi daerah digulirkan kelembagaan program KB
tidak sekuat dulu lagi sehingga kualitas layanan menjadi faktor penentu peserta KB
karena penduduk lebih bebas memilih KB sesuai dengan keinginannya. Dalam hal ini
kualitas layanan harus ditingkatkan seperti (a) ketersediaan jenis alat kontrasepsi
yang memadai, (b) kemampuan teknis pemberi layanan, (c) ketersediaan informasi
tentang efek samping yang mungkin terjadi, (d) ketersediaan informasi tentang
sumber-sumber layanan, (e) ketersediaan informasi tentang keunggulan dan
kelemahan masing-masing jenis alat kontrasepsi, (f) ketersediaan informasi tentang
keamanan metode terhadap kesehatan klien, (g) kepuasan yang dirasakan
konsumen terhadap layanan, dan (h) pemberian motivasi oleh pemberi layanan.
42
Untuk itu, persentase jumlah peserta KB aktif pada masa depan sangat ditentukan
oleh kualitas layanan KB dan tingkat kesejahteraan penduduk.
4.5. Penderita HIV/AIDS
Banyak orang yang salah persepsi tentang HIV/AIDS tersebut. Banyak
orang yang mengatakan bahwa HIV/AIDS hanya dapat menular dan diderita oleh
orang yang mempunyai perilaku seksual yang tidak normal, seperti kaum lesbian
atau homoseksual dan waria, sehingga muncul istilah AIDS yang kepanjangannya
adalah Akibat Intim Dengan Sejenis. Persepsi sebaliknya juga pernah muncul bahwa
HIV/AIDS dapat menular di mana saja, kapan saja, dan pada siapa saja. Untuk itu,
orang kemudian membesar-besarkannya bahwa HIV/AIDS bisa menular lewat
fasilitas umum, seperti kolam renang, WC umum, bahkan bisa lewat udara.
Kabar yang tidak jelas itu menyebabkan masyarakat menjadi takut
berlebihan dan tidak tahu cara menanggulangi masalah penyakit tersebut. Untuk itu,
pengetahuan masyarakat tentang penyakit itu sangat diperlukan. Kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini telah membawa dampak yang
signifikan terhadap tingginya penyebaran penyakit tersebut, di samping faktor
kepadatan penduduk, berkembangnya pola seks bebas, dan penggunaan jarum
injeksi yang terinfeksi HIV/AIDS.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Sindrom) adalah penyakit yang
berupa menurunnya (hilangnya) kekebalan tubuh, sehingga penderita dengan
mudahnya kena penyakit dan menjadi parah. Seperti dijelaskan oleh Yahya Anshori
(Staf Peneliti di Pusat Informasi AIDS UPLEK FK Unud (Autoclave,1996) bahwa
AIDS adalah fase terminal inveksi HIV. Penyakit ini bisa menular lewat hubungan
seksual, parental (melalui darah, transplantasi organ, alat kedokteran yang tercemar
HIV, atau cairan tubuh lainnya), dan perinatal (dari ibu hamil pengidap HIV kepada
bayinya).
43
Di Kabupaten Badung perkembangan kepariwisataan ikut memberi andil
pada perkembangan HIV/AIDS. Perkembangan kepariwisataan membawa dampak
positif dan negatif terhadap kehidupan masyarakatnya. Dampak positif yang
ditimbulkan antara lain terbukanya peluang kerja yang lebih banyak dan
meningkatnya pendapatan masyarakat. Selain dampak positif seperti ini, juga
membawa dampak negatif antara lain adanya perubahan pola pergaulan hidup yang
cenderung mengikuti pola hidup orang Barat. Ini terutama nampak di daerah-daerah
resort pariwisata. Pola pergaulan hidup yang relatif bebas membawa risiko tinggi
terhadap terjangkitnya penyakit terutama HIV/AIDS.
Indikator yang bisa mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang
penyakit HIV/AIDS adalah pernah tidaknya mendengar hal itu dari berbagai sumber
informasi. Hasil SDKI yang memilih responden perempuan usia 15-49 tahun
mengungkapkan bahwa pada tahun 1994 tercatat 42,1 persen dari mereka mengaku
pernah mendengar penyakit itu. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 jumlah
mereka yang pernah mendengar meningkat menjadi sekitar 60 persen. Hal itu
menjadi indikasi tentang meluasnya penyakit HIV/AIDS di Provinsi Bali. Data yang
lebih memperkuat adalah ditemukannya mereka yang terjangkit penyakit HIV/AIDS
seperti terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.5 Situasi Temuan HIV/AIDS Di Badung
Tahun 2005 - 2008
HIV
AIDS
Meninggal
No
Tahun
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
1.
2005
31
11
42
25
4
29
3
1
4
2.
2006
33
19
52
13
4
17
1
-
1
3.
2007
13
2
15
-
-
-
-
-
-
4.
2008
15
9
24
-
-
-
-
-
-
Jumlah
92
41
133
38
8
46
4
1
5
Sumber : KPA Badung
44
Data Tabel 4.5 memperlihatkan jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun ke
tahun di Badung mengalami penurunan . Dalam tahun 2005 ditemukan 71 kasus dan
menjadi 69 kasus tahun 2006, tahun 2007 turun menjadi 15 kasus dan tahun 2008
tercatat 24 kasus.
Ditinjau dari perspektif gender
HIV/AIDS lebih banyak
di derita oleh
nampak bahwa
penderita
kaum laki-laki. Hal itu kemungkinan
disebabkan karena secara umum penyebab terjangkitnya kasus ini adalah karena
jarum suntik dan hubungan seksual dengan banyak pasangan. Prilaku seperti ini
cenderung lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Dalam kaitan ini seluruh pihak
terkait di Bali pada umumnya dan di Badung khususnya baik pemerintah, swasta,
dan masyarakat perlu memberi perhatian yang lebih untuk mengatasinya. Sampai
saat ini upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Balimaupun Badung
antara lain melakukan penyuluhan terpadu yang melibatkan sektor-sektor terkait
seperti Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kesehatan. Selain penyuluhan
langsung, juga dilakukan penyuluhan melalui media massa dan kegiatan-kegiatan
sosial oleh lembaga swaday masyarakat.
Cara penyebaran virus HIV lewat bermacam cara dan media, tetapi dari
kasus-kasus yang ditemukan di Provinsi Bali, penyebaran terbesar adalah melalui
hubungan seks (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual). Berkaitan dengan hal
tersebut, penduduk perempuan sangat rentan terhadap HIV/AIDS. Hal itu
dikarenakan rendahnya status sosial perempuan, terbatasnya cara pencegahan
infeksi, dan kuatnya larangan budaya atas penolakan seks dari pasangannya. Untuk
itu, pemberdayaan perempuan dalam bidang ini masih perlu diperhatikan karena
terinfeksinya wanita oleh penyakit ini akan berakibat pada penderitaan pada
perempuan itu sendiri, pada pasangannya, dan pada bayi yang mungkin
dilahirkannya. Dengan demikian, bisa muncul penderita-penderita HIV/AIDS pada
masa depan.
45
Berdasarkan
indikator
bidang
kesehatan,
kesenjangan
gender
ditemukan pada Status Gizi, Penduduk yang berkujung ke fasilitas kesehatan,
gangguan kesehatan, peserta KB, dan pada indikator HIV dan AIDS tidak dapat
dibahas karena tidak adanya laporan mengenai angka penderita laki-laki maupun
perempuan. Beberapa temuan kesenjangan gender pada indikator tersebut di atas
dapat dikemukakan dalam bentuk ringkasan sebagai berikut.
(1)
Kesenjangan gender
terlihat dalam penduduk yang mengalami keluhan
kesehatan dan lamanya hari penduduk sakit. Pada bagian penduduk
mengalami keluhan kesehatan terdapat ketimpangan bahwa perempuan lebih
banyak daripada laki-laki, terutama perempuan desa lebih banyak daripada
perempuan kota. Kemudian, dalam lamanya hari sakit, ternyata laki-laki lebih
banyak daripada perempuan. Hal itu terkait dengan kondisi perempuan di Bali
pada umumnya dan Badung khususnya yang kurang memperhatikan
kebersihan dan kesehatannya ketika berada dalam situasi ekonomi yang
kurang. Akan tetapi, pada umumnya perempuan lebih tahan terhadap penyakit
ringan daripada laki-laki.
(2) Untuk status gizi telah diungkapkan diatas bahwa hal tersebut dapat dialami
oleh anak laki-laki maupun perempuan karena menyangkut berbagai aspek
yang mengikutinya.
(3) Untuk pengunaan fasilitas pelayanan kesehatan ternyata terdapat kaitan
dengan penduduk yang mengalami keluhan kesehatan yang mana penduduk
perempuan lebih tinggi persentasenya daripada penduduk laki-laki, ini ada dua
alasan mengapa adanya keterkaitan diatas yang pertama mungkin perempuan
agak sedikit kurang memperhatikan kebersihan dirinya sehingga mereka lebih
sering berkunjung ke fasilitas kesehatan, adapun yang kedua perempuan lebih
peduli dengan keluhan yang ada didalam dirinya sehingga menyebabkan
mereka lebih sering berkunjung ke fasilitas kesehatan untuk mencari tahu
46
penyebab gangguan kesehatannya dibandingkan lali-laki yang merasa lebih
kuat baik fisik dan mental.
(4) Di dalam penyediaan alat kontrasepsi dalam rangka Keluarga Berencana
(indikator pelayanan kesehatan) masih ditemukan kesenjangan gender.
Macam/jenis alat kontrasepsi lebih banyak tersedia untuk perempuan daripada
laki-laki. Hal itu mengindikasikan adanya anggapan bahwa wanita merupakan
objek keluarga berencana dan pilihan pemakaian alat kontrasep tentu sangat
terbatas di pihak pria. Hal itu berkorelasi kemudian dengan jumlah peserta KB
aktif di Provinsi Bali yang lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
(5) Akhirnya, dalam kaitan dengan indikator HIV/AIDS, walupun dalam data tidak
tergambar jumlah penduduk perempuan dan laki-laki yang menderita HIV/AIDS
namun penduduk perempuan lebih rentan terhadap HIV/AIDS. Hal itu
dikarenakan rendahnya status sosial perempuan, terbatasnya cara pencegahan
infeksi, dan kuatnya larangan budaya atas penolakan seks dari pasangannya.
Untuk itu, pemberdayaan perempuan dalam bidang ini masih perlu diperhatikan
karena terinfeksinya wanita oleh penyakit ini akan berakibat pada penderitaan
pada perempuan itu sendiri, pada pasangannya, dan pada bayi yang mungkin
dilahirkannya. Dengan demikian, bisa muncul penderita-penderita HIV/AIDS
pada masa depan.
Dalam kaitan dengan berbagai kesenjangan gender pada bidang
kesehatan tersebut diperlukan kerja sama seluruh lapisan masyarakat, pemerintah,
dan lembaga-lembaga terkait lainnya untuk bekerja sama dalam peningkatan status
kesehatan masyarakat Bali. Terutama, program keluarga berencana itu mesti
disukseskan oleh pasangan keluarga, yaitu baik pria maupun wanitanya. Dalam hal
ini mesti digalakkan secara terus-menerus untuk meningkatkan peran laki-laki dalam
usaha mendukung program keluarga berencana, yaitu keluarga kecil bahagia dan
sejahtera. Salah satu cara peningkatan partisipasi itu adalah dengan menyediakan
jenis alat kontarsepsi pria yang lebih banyak; di samping memberikan pengertian
47
pada pria bahwa tanggung jawab keluarga berencana itu bukan hanya pada wanita.
Bermula dari keluarga yang sehat dan sejahtera akan dapat meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, program peningkatan kualitas
kesejahteraan, peningkatan kualitas pendidikan, dan peningkatan kualitas kesehatan
merupakan tiga pilar yang harus terus digalakkan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia (SDM) Badung.
48
BAB V
EKONOMI
Setiap sensus ekonomi biasanya mengumpulkan data mengenai kegiatan
ekonomi angkatan kerja dengan menanyakan tentang lapangan kerja (sektor), jenis
pekerjaan, dan status pekerjaan penduduk yang bekerja. Variabel tersebut sering
dikaitkan dengan variabel ekonomi seperti tingkat dan laju pertumbuhan GNP (Gross
National Product/Produk Nasional Bruto) per kapita dan alokasi GNP per sektor
untuk menggambarkan pengaruh pembangunan ekonomi terhadap penyerapan
tenaga kerja, produktivitas, dan pendapatan penduduk yang bekerja. Khususnya
alokasi angkatan kerja menurut lapangan pekerjaan, terutama persentase penduduk
yang bekerja di sektor pertanian, industri (manufaktur), dan jasa, dianggap salah
satu indikator penting untuk mengukur tingkat pembangunan suatu daerah.
Dalam pengumpulan data tentang tenaga kerja malalui sensus dan survei,
kepada setiap penduduk berusia 10 tahun ke atas ditanyakan kegiatannya selama
kurun waktu satu minggu sebelum pencacahan. Hasil yang diperoleh dapat
digunakan untuk merinci penduduk menurut angkatan kerja (bekerja dan mencarai
pekerjaan) dan bukan angkatan kerja. Selanjutnya berdasarkan data sensus/survei
tersebut, dapat pula dihitung indikator ketenegakerjaan seperti Kegiatan Utama yang
Dilakukan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Lapangan Kerja dan Status
Pekerjaan, Tingkat Upah, dan sebagainya.
Berbagai faktor yang melekat pada sistem nilai dan sistem sosial
masyarakat serta adanya perbedaan kesempatan yang diberikan antara laki-laki dan
perempuan akan mengakibatkan adanya perbedaan nilai indikator ketenagakerjaan
antara kedua jenis kelamin tersebut. Seharusnya seluruh pekerjaan dapat diberikan
secara terbuka kepada siapa saja, kecuali untuk suatu jenis pekerjaan yang secara
mendasar memang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu.
Permasalahannya bila dilihat dari aspek gender, kemudian sangat tergantung
49
kepada kemampuan masing-masing jenis kelamin terutama dalam hal ini perempuan
untuk bersaing dalam memperoleh kesempatan kerja di pasar kerja
5.1. Kegiatan Utama Penduduk
Penduduk berusia 10 tahun ke atas dapat dibedakan ke dalam angkatan
kerja (bekerja dan mencari pekerjaan) dan bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus
rumah tangga, dan lainnya). Pada rentang waktu 3 tahun (2005 - 2007) ternyata di
Kabupaten Badung penduduk laki-laki yang bekerja lebih banyak dari pada
penduduk perempuan, sepetrti dapat dilihat dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1
:
Persentase Penduduk Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut
Kegiatan Utamadan Jenis Kelamin Tahun 2005 – 2007
Kegiatan
2005
Utama
L
1
2006
P
L
2007
P
L
P
2
3
4
5
6
7
Bekerja
72,86
51,64
76,38
53,27
76,93
68,32
Menganggur
4,53
5,39
4,59
5,51
3,18
3,25
Sekolah
14,60
11,37
15,08
12,29
13,54
13,72
Mengurus RT
1,29
24,12
0,33
23,06
4,39
12,89
Lainnnya
6,72
7,49
3,62
5,87
1,96
1,82
Jumlah
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber : BPS Badung
Demikian pula halnya dengan penduduk yang berstatus masih sekolah
untuk tahun 2005 - 2006, tetap lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan
perempuan. Sedangkan tahun 2007 sebaliknya. Perbandingan antara penduduk lakilaki
dan
perempuan
L=76,38:P=53,27(th.2006);
sebagai
dan
berikut:
L=72,86:P=51,64
L=76,93:P=68,32
(th.2007).
(th.2005);
Selanjutnya
perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan yang berstatus sekolah
50
adalah sebagai berikut: L=14,60:11,37 (th.2005); L=15,08:P=12,29 (th.2006); dan
L=13,54:P=13,72 (th.2007).
Sebaliknya mereka yang mengurus rumah tangga didominasi oleh
perempuan. Ini dapat dilihat dari perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang
mengurus
rumah
tangga
sebagai
berikut:
L=1,29:P=24,12
(th.
2005);
L=0,33:P=23,06 (th.2006); dan L=4,39:P=12,89 (th. 2007). Keadaan ini masih terus
berlangsung karena ada berbagai anggapan atau pandangan yang berkembang di
masyarakat. Diantaranya ada pandangan yang menganggap bahwa kaum
perempuan memang lebih pantas diam di rumah mengurus rumah tangganya,
perempuan lebih terampil dan lebih pintar mengurus rumah tangga dibandingkan
pria, atau perempuan memang tugasnya mengurus rumah tangga, dan lain-lain.
Perbedaan yang cukup kontras seperti di atas perlu dikurangi dengan jalan
memberikan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat sehingga kaum perempuan
memperoleh perlakuan yang adil dan setara. Masyarakat perlu diberikan suatu
pemahaman bahwa perempuan saat ini dan ke depannya nanti, semestinya
diberikan hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk memperoleh pendidikan dan
diberikan hak untuk ikut berpartisipasi dalam ketenagakerjaan. Sebaliknya
pemahaman yang salah kaprah di masyarakat mengenai perempuan adalah
tugasnya mengurus rumah tangga harus segera dihilangkan dan diganti dengan
pemahaman bahwa mengurus rumah tangga adalah tugas laki-laki bersama-sama
dengan perempuan.
5.2.
Partisipasi Angkatan Kerja
Di Kabupaten Badung terjadi perbedaan Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) laki-laki dan perempuan pada setiap tahunnya. Perbedaan Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja laki-laki dan perempuan seperti pada Tabel 5.2
mengindikasikan bahwa perempuan masih ketinggalan dalam berpartisipasi pada
kegiatan-kegiatan ekonomi. Perbandingan TPAK laki-laki dan perempuan di
51
Kabupaten Badung sebagai berikut: L=77,39:P=57,03 (th.2005); L=80,97:P=58,78
(th.2006); dan L=80,11:P=62,74 (th.2007). Tabel di bawah menunjukkan bahwa
TPAK laki-laki dan TPAK perempuan lebih tinggi.
Tabel 5.2
:
Tingkat Partisipasi Angkatan kerja Menurut Jenis Kelamin,
2005-2007
Jenis Kelamin
2005
2006
2007
1
2
3
4
Laki
77,39
80,97
80,11
Perempuan
57,03
58,78
62,74
Laki + Perempuan
67,37
70,43
71,57
Sumber: BPS Badung
52
BAB VI
SEKTOR PUBLIK
6.1. Umum
Dalam budaya patriarki yang dianut masyarakat Indonesia umumnya
dan Bali pada khususnya, masih kuat pandangan bahwa peran atau pekrjaanpekerjaan di sektor publik adalah dunianya laki-laki, sedangkan kaum perempuan
melaksanakan perannya di ranah domestik, yaitu melaksanakan pekerjan yang
berhubungan dengan pemeliharan kehidupan rumah tangga, seperti memasak,
mencuci, membersihkan rumah, memelihara anak dan sebagainya. Dikotomi peran
demikian masih berlaku sampai hari ini dalam sebagian besar masyarakat Bali
sehingga sering menimbulkan ketidakadilan gender di berbagai bidang kehidupan,
seperti di bidang politik, pemerintahan, keamanan, dan lain-lain.
Secara normative, saat ini sesungguhnya tidak ada pembedaan
perlakuan berdasarkan jenis kelamin bagi setiap warga negara untuk berperan di
sektor publik sebab peraturan perundang-undangan yang ada dan berbagai
kebijakan yang telah dirunmuskan oleh pemerintah tidak membedakan akses antara
laki-laki dan perempuan untuk berperan di sektor publik. Undang-undang Dasar
Negara Tahun 1945 memberikan kedudukan yang sama bagi setiap warga negara di
muka hukum dan pemerintahan, memberikan hak yang sama atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, serta tanggungjawab yang sama pula dalam upaya
pembelaan negara (Pasal 27), tanpa membedakan antara warganegara laki-laki
maupun warganegara perempuan. Ratifikasi Pemerintah RI atas Konvensi PBB
tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) pada tahun 1984
menunjukkan komitmen yang kuat dari Pemerintah RI untuk menghapus segala
pembedaan perlakuan antara kaum laki-laki dan perempuan, termasuk dalam
kesempatan berperan di sektor publik. Bahkan di bidang politik, telah diadakan
53
langkah-langkah khusus yang bersifat sementara (affirmative actions) untuk
mempercepat kemajuan perempuan untuk mencapai kesetaraan di bidang politik,
melalui penerapan quota 30 % bagi perempuan dalam pencalonan anggota legislatif.
Di dalam kenyataan, tidak jarang terjadi kesenjangan antara “apa yang
seharusnya” (normatif) dan “apa yang berlaku” (empirik). Ketentuan-ketentuan
normatif di atas kertas sering tidak berlaku demikian di dalam kenytaannya. Harus
diakui, demikianlah kondisi yang terjadi dalam masyarakat Bali menyangkut peran
gender di berbagai sektor publik, seperti ditunjukkan dalam uraian berikut ini.
6.2. Bidang Politik
6.2.1.
Keanggotaan DPRD
Di didang politik, salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur partisipasi laki-laki dan perempuan dalam perumusan kebijakan publik
adalah keterlibatan laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Walaupun
belum ada publikasi mengenai data kuantitatif partisipasi laki-laki dan perempuan
dalam proses penjaringan dan pencalonan anggota legislatif di Kabupaten Badung,
namun hasil dari proses politik tersebut dapat diketahui dari proporsi keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Badung seperti tampak
dalam Tabel 6.1.
54
Tabel 6.1.
Proporsi Kenggotaan DPRD Kabupaten Badung Hasil Pemilu 2004
Berdasarkan Jenis Kelamin dan Asal Wilayah Kecamatan, 2005, 2006, 2007
KECAMATAN
2005
L
P
2006
JML
L
3
3
7
6
P
2007
JML
L
3
3
7
6
P
JML
Petang
3
Abiansemal
6
Mengwi
10
10
10
10
10
10
Kuta Utara
6
6
6
6
6
6
Kuta
7
7
7
7
7
7
Kuta Selatan
7
7
7
7
7
7
JUMLAH
39
40
39
40
39
1
1
1
1
3
1
1
7
40
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung
Tabel tersebut menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam
keanggotaan DPRD hasil dari Pemilihan Umum terakhir (2004) di Kabupaten Badung
jauh lebih sedikit dari pada laki-laki. Secara keseluruhan dominasi laki-laki dalam
keanggotaan DPRD sangat menonjol (97,5%) bahkan dari enam kecamatan yang
ada di Kabupaten Badung, hanya satu kecamatan yaitu Kecamatan Abiansemal
yang mempunyai wakil anggopta DPRD perempuan. Kondisi demikian memang
merupakan kecendrungan umum di Bali, dimana perbandingan laki-laki dan
perempuan sebagai anggota DPRD juga sangat didominasim oleh anggota DPRD
laki-laki (2005, DPRD Bali: laki-laki. 95,3%; perempuan, 4,7%)
Jika digambarkan dalam bentuk grafik, maka ketimpangan gender
keanggotaan DPRD Kabupaten Badung akan tampak sangat jelas dan menonjol,
sepert dapat dilihat pada Grafik 6.1.
55
2.5
97.5
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kab.Badung
Partisipasi laki-laki dan perempuan dalam keanggotaan DPRD adalah
hasil dari proses politik yang berawal dari keterlibatan mereka dalam partai politik,
karena berdasarklan peraturan yang sekarang berlaku rekruitmen (penjaringan dan
pencalonan) anggota legislatif dilakukan melalui partai politik, sehingga faktor
dukungan partai politik sangatlah menentukan. Calon-calon anggota-anggota
legislatif (caleg) yang ditetapkan oleh partai politik itulah yang kemudian
berkompetisi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) untuk meraih dukungan rakyat agar
dipilih menjadi anggota DPRD. Dengan demikian, partisipasi perempuan dan lakilaki dalam kepengurusan partai politik juga merupakan indikator penting untuk
mengukur partisipasi politik laki-laki dan perempun.
6.2.2.
Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Struktural
Indikator yang juga dapat digunakan untuk mengukur keterlibatan laki-laki
dan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik adalah komposisi pegawai
negeri sipil (PNS) berdasarkan jenis kelamin. Tabel 6.2a mnunjukkan bahwa proporsi
PNS laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan, baik PNS non guru
maupun PNS guru. Untuk PNS non guru, dominasi laki-laki pada proporsi PNS
terjadi pada semua golongan kepangkatan, sedangkan pada PNS guru pada
golongan kepangkatan I,II, dan III, lebih banyak perempuan, sedangkan untuk
56
pangkat golongan IV, poisisi angka guru perempuan jauh di bawah angka guru lakilaki.
Tabel 6.2a.
Komposisi Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Badung Menurut Golongan
Kepangkatan, 2008
GOL
PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)
I
II
III
IV
JUMLAH
PNS NON GURU
L
P
JUMLAH
317
60
377
810
630
1440
1329
953
2282
233
61
294
2689
1704
4393
L
0
112
421
1,517
2050
GURU
P
JUMLAH
0
0
215
327
474
895
1237
2,754
1926
3754
JUMLAH
PNS
L+P
377
1767
3177
3048
8369
Sumber: Bagian Kepegawaian Setda Badung, 2008
Dalam bentuk grafik, persentase PNS laki-laki dan perempuan di
Kabupaten Badung akan tampak seperti Grafik 6.2a berikut.
70
61.2
51.6
60
50
48.4
38.8
40
LAKI-LAKI
30
PEREMPUAN
20
10
0
PNS NON GURU
PNS GURU
Sumber: Bagian Kepegawaian Setda Kabupaten Badung, 2008
Keputusan-keputusan strategis dalam perumusan kebijakan publik diambil
oleh para pejabat struktural dilingkungan pemerintahan. Karena itu proporsi laki-laki
57
dalam jabatan-jabatan struktural di pemerintahan sangat penting untuk dikemukakan.
Di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, dominasi laki-laki dalam
jabatan-jabatan struktural tampak sangat menonjol, disemua jenjang eselon. Dari
792 jabatan struktural yang ada di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten
Badung, hanya 27,9% yang diisi oleh perempuan, selebihnya (72,1%) diisi oleh lakilaki. Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai proporsi laki-laki dan
perempuan dalam setiap jenjang jabatan struktrural dilingkungan Pemerintah
Kabupaten Badung, dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2.
Proporsi Pejabat Struktural Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten
Badung Beradsarkan Eselonisasi dan Jenis Kelamin, 2007
ESELON
L
P
JUMLAH
F
%
F
%
F
%
II.a
1
100
0
0
1
100
II.b
31
96.9
1
3.1
32
100
III.a
40
78.4
11
21.6
51
100
III.b
92
83.6
18
16.4
110
100
IV. a
310
66.8
154
33.2
464
100
IV.b
97
72.4
37
27.6
134
100
TOTAL
571
72.1
221
27.9
792
100
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung
Dalam bentuk grafik, ketimpangan gender dalam jabatan struktural di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Badung akan tampak lebih jelas, seperti dapat dilihat pada
Grafik 6.2.
58
Grafik 6.2
Proporsi Pejabat Struktural Di Kingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung
Menurut Jenjang Eselon dan Jenis Kelamin, 2007
120
LAKI-LAKI
100
96.9
PRP
100
83.6
78.4
72.4
66.8
80
60
33.2
21.6
40
20
27.6
16.4
3.1
0
0
II.a
II.b
III.a
III.b
IV.a
IV.b
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung
Kecilnya persentase perempuan dalam posisi-posisi jabatan struktural dibandingkan
dengan laki-laki, antara lain dipengaruhi oleh kwalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS)
perempuan itu sendiri yang lebih rendah dibandingkan dengan PNS laki-laki.
Walaupun belum dapat diperoleh data proporsi PNS dilingkungan Pemerintah
Daerah Kabupaten Badung, baik secara keseluruhan maupun menurut pangkat dan
golongan, kwalitas PNS juga dapat diukur dari Pendidikan dan Latihan (Diklat) yang
pernah diikuti. Dari Tabel 6.3 dapat dilihat proporsi PNS laki-laki dan PNS
perempuan di lingkungan Pemerintah
Daerah Kabupaten Badung yang sudah
mendapat kesempatan mengikuti Diklat. Data tahun 2006 menunjukkan bahwa
tampak sekali terjadinya ketimpangan gender yang terjadi pada setiap jenis Diklat
yang sudah pernah diikuti oleh PNS di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten
Badung. Persentase PNS perempuan yang pernah mengikuti Diklat pada semua
jenis Diklat jauh lebih kecil dibandingkan dengan PNS laki-laki.
59
Tabel 6.3.
Proporsi PNS Di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung Yang
Pernah Mengikuti Diklat Berdasarkan Jenis Diklat dan Jenis Kelamin, 2006.
JENIS DIKLAT
2006
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
F
%
F
%
F
%
PIM IV
8
88.9
1
11.11
9
100
PIM III
66
69.5
29
30.5
95
100
PIM II
12
92.3
1
7.7
13
100
Sespa
2
100.0
0
0.0
2
100
Sepadnya
8
88.9
1
11.1
9
100
Sepala
15
78.9
4
21.1
19
100
Sepada
43
87.8
6
12.2
49
100
Spamen
6
100.0
0
0.0
6
100
Spama
90
82.6
19
17.4
109
100
Adumla
73
64.0
41
36.0
114
100
Adum
269
67.3
131
32.8
400
100
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung
6.2.3.
Penegak Hukum
Proporsi laki-laki-laki dan perempuan pada ruang publik lain yang penting
untuk mendapat perhatian adalah profesi pada sektor penegakan hukum, seperti
hakim, jaksa, hakim, polisi dan pengacara. Walaupun belum diperoleh data
mengenai proporsi laki-laki dan perempuan pada profesi pengacara di Kabupaten
Badung, secara umum dapat dilihat ketimpangan jender pada profesi pada sektor
penegakan hukum, kecuali pada profesi jaksa. Bahkan pada profesi jaksa, data
tahun 2008 menunjukkan adanya jumlah jaksa perempuan lebih besar dari pada
jumlah jaksa laki-laki (2008: laki-laki 10 orang, dan perempuan 15 orang).
60
Ketimpangan gender terjadi pada profesi hakim dan polisi, bahkan pada profesi polisi
ketimpangan gender dengan dominasi laki-laki tampak sangat tajam. Data
selengkapnya mengenai proporsi laki-laki dan perempuan pada sektor penegakan
hukum dapat dilihat pada Tabel 6.4.
Tabel 6.4.
Proporsi Profesi Sektor Penegakan Hukum Menurut Jenis Profesi dan Jenis
Kelamin, Tahun 2008
PENEGAK
HUKUM
Hakim
Jaksa
Polisi
JUMLAH
2006
L
12
10
466
488
2007
P
3
5
15
23
L
13
12
520
545
2008
P
3
12
16
31
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Badung,2008
61
L
11
10
585
606
P
4
15
27
46
BAB VII
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ISU LAINNYA
Dalam bab ini semestinya dapat diuraikan kondisi laki-laki dan perempuan
dalam berbagai aspek penting lainnya yang perlu mendapat perhatian
para
pengambil keputusan di Kabupaten Badung. Aspek-aspek tersebut antara lain
menyangkut kondisi laki-laki dan perempuan sebagai penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS), seperti : penyandang cacat, lanjut usia, anak jalanan,
anak terlantar, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan
anak
misalnya:
perzinahan,
perbuatan
cabul,
perkosaan,
penganiayaan,
perdagangan perempuan, penghinaan, pembunuhan, dan lain-lain. Tak kalah
pentingnya adalah data tentang kondisi laki-laki dan perempuan yang tersangkut
masalah-masalah kesejahteraan sosial (MKS), seperti: penyalahgunaan narkoba dan
sebagainya. Tetapi karena keterbatasan data, dalam bab ini hanya dapat ditunjukkan
proporsi laki-laki dan perempuan berstatus terhukum dalam berbagai tindak pidana,
kejahatan narkoba, serta kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
yang terjadi di Kabupaten Badung.
7.1.
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
Dari tindak-tindak kriminal yang terjadi, sebagian berupa tindakan
kekerasan yang korbannya adalah perempuan dan anak. Dalam budaya patriarki
terdapat kecendrungan korban-korban tindak kekerasan adalah perempuan dan
anak karena merekalah Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, antatra lain:
perkosaan, persetubuhan anak di bawah umur, merusak kesopanan/kesusilaan,
perzinahan, penganiayaan. Dan membuat perasaan tidak menyenangkan. Secara
umum, data dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya penurunan tindak
kekerasan terhadap perempuan (2005: 58 kasus; 2006: 39 kasus; 2007: 35 kasus),
tetapi untuk tindak kekerasan tertentu seperti perkosaan dan perzinahan, justru
62
kecendrungannya meningkat. Tabel 7.1 berikut ini adalah data kekerasan terhadap
perempuan.
Tabel 7.1.
Kekerasan Terhadap Perempuan di Kabupaten Badung Menurut Jenis
Kekerasan, 2005, 2006, 2007
JENIS KEKERASAN
2005
2006
2007
Perkosaan
3
3
8
Persetubuhan anak dibawah Umur
1
1
Merusak kesopanan /Kesusilaan
1
Perzinahan
6
13
12
Penganiayaan
32
20
10
Membuat perasaan tidak menyenangkan
16
3
3
JUMLAH
58
39
35
Sumber: Poltabes Denpasar, September 2008
Berbeda dari kekerasan terhadap perempuan yang kecendrungannya
belakangan ini menurun, tindak kekerasan terhadap anak dalam dua tahun terakhir
justru kecendrungannya meningkat. Tahun 2006 tercatat terjadi 8 tindak kekerasan
terhadap anak, tetapi tahun 2007 meningkat menjadi 11 tindak kekerasan. Bentukbentuk tindak kekerasan terhadap anak, antara lain berupa: perbuatan cabul,
persetubuhan dengan anak-anak, melarikan anak di bawah umur, penganiayaan,
penelantaran, dan perkosaan. Diantara bentuk-bentuk tindak kekerasan tersebut,
tampaknya yang dominan terjadi adalah pencabulan dan persetubuhan terhadap
anak-anak. Data selengkapnya mengenai bentuk-bentuk tindak kekerasan yang
terjadi terhadap anak di Kabupaten Badung dalam dua tahun terakhir tersaji pada
Tabel 7.2.
63
Tabel 7.2.
Tindak Kekerasan Terhadap Anak Di Kabupaten Badung Menurut Bentukbentuk Kekerasan, 2005-2006.
JENIS TINDAK KEKERASAN
2006
2007
Perbuatan Cabul
3
3
Persetubuhan dengan Anak
1
4
Melarikan Anak di Bawah Umur
4
-
Penghinaan
-
-
Membuat Perasaan tidak menyenangkan
-
-
Penganiayaan
-
2
Penelantaran Anak
-
1
Pemerkosaan
-
1
Eksploitasi secara seksual
-
-
JUMLAH
8
11
Sumber: Kantor Pemberdayaan Perempuan Kabupaten badung, 2008
7.2. Terhukum Karena Tindakan Kriminal
Tindak kriminal sesungguhnya sama tuanya dengan peradaban manusia
itu sendiri. Sejak awal peradaban manusia sudah ada nilai-nilai mengenai perbuatan
manusia, mana yang dianggap baik dan harus dilakukan, dan mana yang dnilai tidak
baik sehingga tidak boleh dilakukan. Itulah yang menyebabkan adanya norma
hukum, yang berisi perintah, kebolehan, atau larangan. Orang yang menolak
perintah atau melannggar suatu larangan tertentu kemudian dapat dikenakan sanksi
hukum. Sejak lama pula telah dikenal institusi-instusi tertentu untuk mengadili dan
menghukum orang-orang yang melakukan tindakan melanggar norma-norma hukum.
Dalam hukum positif yang kini berlaku di Indonesia, seseorang baru dapat diangap
bersalah karena melakukan suatu tindak kejahatan apabila sudah ada keputusan
64
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai hal itu. Sebelum adanya
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sesorang telah ditangkap
kemudian ditahan oleh polisi karena diduga melakukan suatu kejahatan belum dapat
dinyatakan bersalah. Itulah yang dikenal dengan asas praduga tidak bersalah. Orang
yang telah dinyatakan bersalah dan kekenakan sanksi hukum oleh hakim disebut
terpidana.
Status terpidana (terhukum) tidak dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu.
Baik laki-laki maupun perempuan dapat saja berbuat kejahatan dan kemudian
dihukum atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya. Walaupun status terpidana
bukanlah monopoli jenis kelamin tertentu, tetapi data Tahun 2008 menunjukkan
bahwa jumlah penyandang status terpidana di Kabupaten Badung akibat melakukan
berbagai tindak kriminal didominasi oleh laki-laki, seperti tampak pada Tabel 7.3.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa terpidana perempuan hanya terlibat dalam
beberapa jenis kejahatan, yaitu pencurian, penggelapan, dan penipuan. Sedangkan
terpidana laki-laki, disamping dihukum karena melakukan perbuatan-perbuatan
pencurian, penggelapan, dan penipuan juga dihukum karena melakukan kejahatan
terhadap ketertiban umum, kejahatan kesusilaan, dan penganiayaan.
65
Tabel 7.3.
Penyandang Status Terhukum di Kabupaten Badung Menurut Jenis Kelamin
dan Jenis Kejahatan Yang Dilakukannya, Tahun 2008
JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI
JENIS KEJAHATAN
F
Kejahatan thd Ketertiban Umum
%
PEREMPUAN
F
%
JUMLAH
F
%
24
100
24
100
Kejahatan Kesusilaan
13
100
13
100
Penganiayaan
21
100
21
100
Pencurian
34
91.89
3
8.11
37
100
Penggelapan
28
84.85
5
15.2
33
100
Penipuan
31
83.78
6
16.2
37
100
Kejahatan yg membahayakan bagi orang
lain
Menyebabkan Mati/luka karena alpa
Tindak Pidana Narkotika
Sumber: Poltabes, September 2008
7.3. Kejahatan Narkoba
Jenis kejahatan yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak,
terutama
pembuat
kebijakan,
adalah
kejahatan
narkoba.
Walaupun
kecendrungannya fluktuatif dan menurun dalam tiga tahun terakhir ini, tetapi tingkat
kejahatan jenis ini masih cukup tinggi, apalagi tindak kejahatan narkoba ini sifatnta
yang amat merusak moral bangsa. Data kejahatan narkoba di Kabupaten Badung
untuk tahun 2007 tercatat 41 kasus, sedangkan dua tahun sebelumnya lebih tinggi
(2005, 49 kasus; 2006, 51 kasus). Bila data Tahun 2005 Provinsi Bali dibandingkan
66
dengan data Kabupaten Badung pada sekitar 11% kasus kejahatan narkoba terjadi
di Kabupaten Badung (2005: Bali, 451, Badung, 49 kasus). Dilihat dari perspektif
gender, tampaknya kejahatan-kejahatan narkoba didominasi oleh laki-laki. Walaupun
tersedia data pelaku kejahatan narkoba menurut kelompok umur, seperti tampak
pada Tabel 7.4 tetapi belum jelas apakah pelaku-pelaku kejahatan narkoba tersebut
sebagai pengedar ataukah pengguna.
Tabel 7.4
Data Kejahatan Narkoba Di Kabupaten Badung Menurut Kelompok Umur
Pelaku dan Jenis Kelamin, 2005-2007.
KELOMPOK
2005
2006
2007
UMUR
L
17 – 19
3
3
20 – 21
1
3
22 – 24
5
8
1
25 – 27
8
6
8
28 – 30
10
1
9
31 – 33
3
2
8
8
34 – 36
7
8
7
37 – 39
1
1
40+
6
1
5
JUMLAH
44
5
50
P
L
P
L
P
1
1
1
6
1
6
Sumber: Poltabes, September 2008
67
2
1
38
3
BAB VIII
PENUTUP
8.1.
Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab tersebut di atas, akhirnya dapat
disimpulkan beberapa hal, sebagai kerikut.
1.
Jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2007 berjumlah 408.020 jiwa
yang terdiri dari 204.472 ( 50,11%) laki-laki dan 203.458 ( 49,89) perempuan
Angka ini menggambarkan bahwa pada tahun 2007 jumlah penduduk laki-laki
sedikit lebih besar dibandingkan penduduk perempuan, atau kalau dilihat sex
rasionya berarti setiap 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk lakilaki. Walaupun proporsi penduduk Kabupaten Badung berdasarkan jenis
kelamin tidak menunjukkan perbedaann persentase yang menjolok, namun
kalau dilihat jumlah penduduk yang menduduki posisi sebagai kepala rumah
tangga tetap didominasi oleh laki-laki. Hal ini masuk akal karena menurut
budaya patrilineal dianut di Bali, termasuk di Kabupaten Badung, suatu keluarga
utuh dikepalai oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Dilihat dari usia
perkawinan penduduk, pada tahun 2007 masih tercatat adanya penduduk yang
melakukan perkawinan usia muda, di bawah batas usia perkawinan menurut
undang-undang, bahkan ada kecendrungan meningkat dibandingkan dengan
kondisi pada tahun sebelumnya (2005, 4,64%; 2006, 4,90% ; 2007, 5,79%)
2.
Kondisi pendidikan di Kabupaten Badung masih menunjukkan ketimpangan
gender pada beberapa indikator. Pada indikator angka buta huruf, memang
terdapat penurunan angka buta huruf, tetapi dari sisi ketimpangan gender
belum nampak adanya perbaikan. Dari tahun 2005 sampai dengan 2007
ditemukan penurunan angka buta huruf dari tahun ke tahun. Tahun 2005 angka
buta huruf adalah 4,37% untuk laki-laki dan 16,76% untuk perempuan, tahun
68
2006 angka buta huruf adalah 4,58% untuk laki-laki dan 13,40% untuk
perempuan, dan tahun 2007 angka buta huruf adalah 2,78% untuk laki-laki dan
12,57% untuk perempuan. Pergeseran angka tersebut menunjukkan bahwa
telah terjadi penurunan buta huruf dari tahun ke tahun yang mencapai angka
kira-kira 0,25% lebih. Hanya saja, penurunan tersebut terjadi baik pada laki-laki
maupun pada perempuan sehingga ketimpangan gender tetap terjadi. Pada
indikator angka partisipasi sekolah (APS), ketimpangan gender tidak begitu
menjolok. Tetapi diukur dari tingkat pendidikan tertinggi penduduk, ketimpangan
gender masih tampak terjadi terutama untuk penduduk yang berpendidikan
SMU/sederajat, yaitu angka 41,80% untuk laki-laki dan 31,27% untuk
perempuan tahun 2007 dengan angka ketimpangan 10,53%.
3.
Program-program kesehatan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung pada dasarnya ditujukan untuk semua masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan, sehingga tidak terjadi kesenjangan gender dalam
bidang kesehatan. Pada beberapa indikator kesehatan, seperti status gizi dan
keluhan kesehatan, kondisi laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Pada
indikator status gizi, tampak adanya presentase yang berimbang dari semua
status gizi, baik dari yang sangat kurus atau bisa disebut dengan gizi buruk
dengan presentase 0,19, sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Demikian juga dengan status gizi kurus, normal dan gemuk
terdapat sebaran angka yang tidak terlalu berbeda jauh sehingga dapat
disimpulkan bahwa keadaan status gizi anak dapat dialami oleh semua jenis
kelamin yang disebab oleh multikompleks seperti pola asuhan, intake makanan,
pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Sedangkan pada indikator keluhan
kesehatan, walaupun secara umum perempuan lebih banyak mengalami
keluhan kesehatan pada tiga tahun terakhir (2005-2007), tetapi persentasenya
tida begitu menjolok. Tetapi dilihat dari indikator pemanfaatan fasilitas
kesehatan, tampaknya penduduk perempuan memiliki kepekaan yang lebih
69
tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa
perempuan sangat peduli dalam menjaga kesehatan sehingga apabila dirasa
ada gangguan secara fisik maupun mental mereka tidak akan berpikir dua kali
untuk meminta pelayanan pada fasilitas kesehatan guna menanggulangi
masalah yang dihadapinya. Dalam partisipasi terhadap program KB,
ketimpangan gender tampak sangat tajam dengan partisipasi perempuan jauh
lebih tinggi daripada laki-laki. Dalam hal-hal tertentu perempuan memang
memperoleh perlakuan khusus dalam kaitan dengan kesehatan, terutama yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti ketika hamil dan menyusui. Hal
tersebut terlihat dari adanya tempat pelayanan khusus bagi perempuan. Tempat
pelayanan yang dimaksud adalah Polindes (Poliklinik Bersalin Desa) dan
Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) yang biasanya secara khusus melayani
kesehatan ibu dan anak. Dalam program KB aktif pun, partisipasi perempuan
jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari 8 buah alat
kontrasepsiyang tersedia, hanya 2 yaitu kondom dan MOP/vasektomi
merupakan alat kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria. Selebihnya, 6 alat
kontrasepsi yaitu MOW/tubektomi, AKDR/IUD, Suntikan KB, Pil KB, Susuk
KB/Implant, dan Obat vaginal merupakan alat kontrasepsi bagi perempuan.
Dalam kaitan ini, layanan kesehatan KB memang lebih memprioritaskan pilihan
alat kontrasepsi bagi perempuan daripada laki-laki. Dari 8 buah alat kontrasepsi
tersebut, hanya 2 yaitu kondom dan MOP/vasektomi merupakan alat
kontrasepsi yang diperuntukkan bagi pria. Selebihnya, 6 alat kontrasepsi yaitu
MOW/tubektomi, AKDR/IUD, Suntikan KB, Pil KB, Susuk KB/Implant, dan Obat
vaginal merupakan alat kontrasepsi bagi perempuan. Dalam kaitan ini, layanan
kesehatan KB lebih memprioritaskan pilihan alat kontrasepsi bagi perempuan
daripada laki-laki. Pada indikator HIV dan AIDS tampak ada kecendrungan
peningkatan penderita dan korban meninggal akibat dalam tiga tahun terakhir,
tetapi ketimpangan gender untuk penderita dan korban meninggal akibat
70
HIP/AIDS tidak dapat dibahas karena tidak adanya laporan mengenai angka
penderita laki-laki maupun perempuan.
4.
Kondisi laki-laki dan perempuan di sektor ekonomi yang berhasil dipantau
dalam buku ini diukur dari indikator kegiatan utama penduduk dan partisipasi
angkatan kerja. Pada indikator kegiatan utama penduduk dapat dipantau bahwa
pada rentang waktu 3 tahun (2005 - 2007) ternyata di Kabupaten Badung
penduduk laki-laki yang bekerja lebih banyak dari pada penduduk perempuan.
Demikian pula halnya dengan penduduk yang berstatus masih sekolah untuk
tahun 2005 - 2006, tetap lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan
perempuan, tetapi tahun 2007 menunjukkan hal yang sebaliknya. Perbandingan
penduduk bekerja antara penduduk laki-laki dan perempuan sebagai berikut:
L=72,86:P=51,64 (th.2005); L=76,38:P=53,27(th.2006); dan L=76,93:P=68,32
(th.2007). Selanjutnya perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan
yang berstatus sekolah adalah sebagai berikut: L=14,60:11,37 (th.2005);
L=15,08:P=12,29 (th.2006); dan L=13,54:P=13,72 (th.2007). Sebaliknya mereka
yang mengurus rumah tangga didominasi oleh perempuan. Ini dapat dilihat dari
perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang mengurus rumah tangga
sebagai berikut: L=1,29:P=24,12 (th. 2005); L=0,33:P=23,06 (th.2006); dan
L=4,39:P=12,89 (th. 2007). Sementara itu, pada indikator Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja mengindikasikan bahwa perempuan masih ketinggalan dalam
berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan ekonomi. Perbandingan TPAK laki-laki
dan perempuan di Kabupaten Badung sebagai berikut: L=77,39:P=57,03
(th.2005); L=80,97:P=58,78 (th.2006); dan L=80,11:P=62,74 (th.2007).
5.
Kondisi laki-laki dan perempuan pada sektor publik yang berhasil direkam
dalam buku meliputi ketrlibatanmereka di bidang politik, dalam hal ini pada
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Keteribatan laki-laki dan perempuan
di lembaga legislatif, khususnya pada keanggotaan DPRD Kabupaten Badung
tampak sangat timpang gender. Dari hasil Pemilihan Umum terakhir (2004)
71
dominasi laki-laki dalam keanggotaan DPRD sangat menonjol (97,5%) bahkan
dari empat kecamatan yang ada di Kabupaten Badung, hanya satu kecamatan
yaitu Kecamatan Abiansemal yang mempunyai wakil anggopta DPRD
perempuan. Pada lembaga ekskutif, walaupun tidak diperoleh data terpilah
berdasarkan jenis kelamin mengenai jumlah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Badung, kondisi laki-laki dan perempuan yang
menduduki jabatan-jabatan struktural dapat dipantau, yang menunjukkan
ketimpangan gender yang sangat tajam. Dari 792 jabatan struktural yang ada di
lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung, hanya 27,9% yang diisi
oleh perempuan, selebihnya (72,1%) diisi oleh laki-laki. Apabila diperoleh data
proporsi PNS laki-laki dan perempuan pada setiap golongan kepangkatan maka
akan dapat dianalisis secara lebih tajam mengenai latar belakang kesenjangan
gender pada proporsi pejabat struktural. Walaupun demikian, dari data proporsi
laki-laki dan perempuan yang memperoleh kesempatan mengikuti Pendidikan
dan Latihan (Diklat) dapat diketahui bahwa secara kwantitas jumlah PNS
perempuan yang memenuhi kwalitas untuk menduduki jabatan struktural
memang lebih sedikit dibandingkan dengan PNS laki-laki.
Di lembaga
yudikatif, walaupun belum diperoleh data mengenai proporsi laki-laki dan
perempuan pada profesi pengacara di Kabupaten Badung, secara umum dapat
dilihat bahwa terjadi ketimpangan jender pada profesi penegakan hukum,
kecuali pada profesi jaksa. Pada profesi jaksa, data tahun 2008 menunjukkan
adanya keseimbangan proporsi laki-laki dan perempuan, dengan jumlah jaksa
perempuan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan jaksa perempuan (L, 11;
P, 13). Ketimpangan gender terjadi pada profesi hakim dan polisi, bahkan pada
profesi polisi ketimpangan gender dengan dominasi laki-laki tampak sangat
tajam
6.
Disamping merekam dan menganalisis kondisi ketimpangan gender pada
bidang kependudukan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kegiatan publik,
72
pada buku ini juga dapat ditunjukkan proporsi laki-laki dan perempuan yang
berstatus terhukum dalam berbagai tindak pidana, kejahatan narkoba, serta
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di
Kabupaten Badung. Mereka adalah penyandang masalah-masalah sosial yang
penting pula mendapat perhatian. Jumlah penyandang status terpidana di
Kabupaten Badung akibat melakukan berbagai tindak kriminal didominasi oleh
laki-laki. Tterpidana perempuan hanya terlibat dalam beberapa jenis kejahatan,
yaitu pencurian, penggelapan, dan penipuan. Sedangkan terpidana laki-laki,
disamping dihukum karena melakukan perbuatan-perbuatan pencurian,
penggelapan, dan penipuan juga dihukum karena melakukan kejahatan
terhadap ketertiban umum, kejahatan kesusilaan, dan penganiayaan. Dari
tindak-tindak kriminal yang terjadi, sebagian berupa tindakan kekerasan yang
korbannya adalah perempuan dan anak. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan, antatra lain: perkosaan, persetubuhan anak di bawah umur,
merusak kesopanan/kesusilaan, perzinahan, penganiayaan, dan tindakan yang
membuat perasaan tidak menyenangkan. Secara umum, data Kabupaten
Badung dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya penurunan tindak
kekerasan terhadap perempuan (2005: 58 kasus; 2006: 39 kasus; 2007: 35
kasus), tetapi untuk tindak kekerasan tertentu seperti perkosaan dan
perzinahan, justru kecendrungannya meningkat. Berbeda dari kekerasan
terhadap perempuan yang kecendrungannya belakangan ini menurun, tindak
kekerasan terhadap anak dalam dua tahun terakhir justru kecendrungannya
meningkat. Tahun 2006 tercatat terjadi 8 tindak kekerasan terhadap anak, tetapi
tahun 2007 meningkat menjadi 11 tindak kekerasan. Bentuk-bentuk tindak
kekerasan terhadap anak, antara lain berupa: perbuatan cabul, persetubuhan
dengan anak-anak, melarikan anak di bawah umur,
penganiayaan,
penelantaran, dan perkosaan. Diantara bentuk-bentuk tindak kekerasan
tersebut, tampaknya yang dominan terjadi adalah pencabulan dan
73
persetubuhan terhadap anak-anak. Hal lain yang penting mendapat perhatian
adalah masalah kejahatan narkoba, yang secara umum masih cukup tinggi di
Kabupaten Badung, yaitu sekitar 11% dari kasus kejahatan narkoba yang terjadi
di Bali (2005: Bali, 451, Badung, 49 kasus). Dilihat dari perspektif gender,
pelaku kejahatan narkoba di Kabupaten Badung mayoritas berjenis kelamin
laki-laki.
8.2.
Rekomendasi
Berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan
di
atas,
maka
dapat
direkomendasikan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
1.
Budaya patrilineal yang sangat kuat di Bali yang menyebabkan masyarakat
Bali
lebih mengedepankan laki-laki sebagai kepala rumah tangga
dibandingkan dengan perempuan merupakan suatu hal yang secara nyata
terjadi. Hal inilah yang perlu dilakukan peningkatan pemahaman kepada
segenap komponen masyarakat, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak
yang sama sebagai kepala rumah tangga, asalkan dapat membuat dan
mengantarkan keluarga menjadi keluarga yang sejahtera dan berkualitas.
2.
Adanya peningkatan perkawinan dalam usia muda, merupakan hal yang
harus menjadikan pemikiran bagi pemerintah daerah, terutama kepada
instansi yang terkait. Terjadinya perkawinan dalam usia muda yang
cenderung mengalami peningkatan tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor
penyebabnya, serta resiko perkawinan usia muda dan dampaknya terhadap
masyarakat yang melakukan perkawinan dalam batas usia tersebut baik dari
segi kesehatan maupun kualitas keluarga yang terbentuk dari hasil
perkawinan tersebut.
3.
Ketimpangan gender yang terjadi di bidang pendidikan memerlukan perhatian
pemerintah daerah, melalui instansi yang menangani bidang pendidikan
untuk dapat melakukan upaya-upaya dalam pengentasan buta huruf yang
74
terjadi, terutama mengurangi ketimpangan gender yang masih cukup tinggi
pada penduduk laki-laki dan perempuan. Demikian juga ketimpangan gender
yang terjadi pada penduduk yang berpendidikan
pada tingkatan SMU
keatas. Dalam penangan kondisi ketimpangan tersebut sehingga tidak
menjadi berlanjut, maka dapat dilakukan berbagai terobosan-terobosan
dibidang pendidikan seperti penerapan program pendidikan kejar paket,
evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan tingkat pendidikan SLTP,
SMU/sederajat untuk
melihat
apa sebetulnya
yang menyebabkan
ketimpangan gender yang terjadi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4.
Di bidang kesehatan, ketimpangan dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan
maupun
partisipasi terhadap program KB, yang menunjukkan bahwa
perempuan lebih respon dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini tentulah
menjadi titik point pemikiran untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
program-program dibidang kesehatan, melakukan inovasi kegiatan sehingga
dapat meningkatkan minat daya tarik kaum laki-laki terhadap pemanfaatan
program kesehatan, seperti pemanfaatan program penggunaan alat
kontrasepsi bagi kaum laki-laki.
5.
Di sektor ekonomi, dilihat dari kegiatan utama penduduk, yaitu terlihat bahwa
penduduk perempuan masih terlihat lebih sedikit yang bekerja dibandingkan
dengan penduduk laki-laki, sedangkan dalam hal mengurus rumah tangga
terlihat perbedaan yang sangat menonjol antara laki-laki dan perempuan,
dimana perempuan lebih dominan mengurus rumah tangga. Dalam hal
partisipasi angkatan kerja mengindikasikan perempuan masih ketinggalan
dalam berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ekonomi. Melihat hal tersebut
terdapat kecenderungan bahwa penguasaan ranah domestik masih sangat
kental dicitrakan oleh perempuan, maka diperlukan adanya peningkatan
pemahaman, wawasan, dan ketrampilan masyarakat utamanya terhadap
75
kaum perempuan akan potensi yang dimilikinya dalam meningkatkan
pendapatan keluarga.
6.
Dalam ranah publik terutama keterlibatan laki-laki dalam bidang politik dan
pemerintahan, masih sangat tampak terjadi ketimpangan gender. Hal ini
memerlukan adanya suatu terobosan untuk lebih meningkatkan kesempatan
bagi kaum perempuan untuk menunjukkan kemampuannya berkarier dalam
bidang politik. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pendidikan
politik masyarakat terutama bagi kaum perempuan, baik melalui kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun partai politik yang ada di
Kabupaten Badung.
Demikian juga berkenaan dengan meningkatkan
kesempatan perempuan dalam
birokrasi pemerintahan yaitu dengan
meningkatkan kuota perempuan untuk berkarier dalam jabatan birokrasi
mulai dari eselon terendah sampai pada eselon puncak.
7.
Untuk dapat mendeteksi isu-isu gender secara kontinyu di Kabupaten
Badung, maka penyusunan statistik dan analisis gender perlu dilakukan
secara berkelanjutan. Dalam proses penyusunan statistik dan analisis gender
Kabupaten Badung 2008 sangat dirasakan hambatan pada ketersediaan data
terpilah berdasarkan jenis kelamin pada indikator-indikator gender yang
diperlukan. Oleh karena itu disarankan kepada setiap satuan kerrja perangkat
daerah (SKPD) senantiasa menyediakan data terpilah menurut jenis kelamin.
Untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender
diKabupaten Badung, maka isu-isu gender yang muncul dalam buku statistik
dan analisis gender ini perlu ditindaklanjuti dengan melaksanakan programprogram/kegiatan-kegiatan yang menjawab isu-isu atau permasalahan
gender tersebut.
76
Daftar Pustaka
Arjani, Ni Luh, 2003 : ” Perempuan dan Kepemimpinan” dalam Jurnal Studi Gender
Srikandi, Vol.iii, No.1; Denpasar PSW Unud.
Arjani, Ni Luh, 2007 : “ Feminisasi Kemiskinan dalam Kultur Partriarki,” dalam Jurnal
Studi Gender Srikandi, Vil Vii No.1, Denpasar PSW Unud.
BPS, 2008: Badung dalam Angka 2008;Denpasar ;BPS dan Bappeda Badung.
BPS, 2008: Survey Sosial Ekonomi Nasional, Denpasar.
Dinas Pendidikan, 2008 : Laporan Perkembangan Pendidikan Kabupaten Badung;
Badung.
77
Download