Hubungan antara Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes xvi+ 77halaman + 8 tabel + 2 gambar + 13 lampiran oleh: ABSTRAK Keberhasilan anak dalam melakukan toilet training juga dipengaruhi dari komunikasi orang tua kepada anak. Komunikasi orang tua yang terlalu lemah atau pun terlalu keras akan mempengaruhi tindakan anak dalam melakukan toilet training. Komunikasi dua arah yang menghasilkan timbal balik dari anak adalah komunikasi yang dianggap baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi orang tua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training. Desain penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi yang diambil adalah seluruh orang tua yang mempunyai anak usia prasekolah (3-6 tahun). Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan quota sampling diperoleh jumlah responden sebanyak 68 orang. Analisis data yang digunakan yaitu analisis bivariat dengan menggunakan rumus kendall tau. Hasil penelitian didapatkan dari 26 responden yang komunikasi orangtua tentang toilettraining kurang, ada 22 responden (84,6%) anak belum berhasil dalam melakukan toilettraining dan 4 responden (15,4%) anak berhasil dalam melakukan toilettraining. 22 responden yang komunikasi orangtua tentang toilettraining cukup, ada 14 responden (63,6%) anak belum berhasil dalam melakukan toilettraining dan 8 responden (36,4%) anak berhasil dalam melakukan toilettraining. 20 responden yang komunikasi orangtua tentang toilettraining baik, ada 4 responden (20,0%) anak belum berhasil dalam melakukan toilettraining dan 16 responden (80,0%) anak berhasil dalam melakukan toilettraining. Menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara komunikasi orangtua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training dengan nilai korelasi = 0,495 dan p-value 0,000 < α = 0,05. Dari penelitian tersebut makaorangtua perluuntuk meningkatkan komunikasi kepada anak secara dini dalam mengajari toilet training, dengan harapan agar kemampuan toilet training anak dapat berkembang dengan baik dan mandiri. Kata Kunci : Toilet training, komunikasiorangtuapadaanak, anak usia prasekolah Pustaka : 20 (2002-2011) preschool (usia 3-6 tahun), usia sekolah (umur 6-10 tahun), usia preadolenscence(umur 10-12 tahun), early adolenscence ( umur 12-16 tahun), late adolenscence (umur 16-19 tahun) (Novak & Broom, 2005). Hidayat (2009) mengatakan, anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 Tahun) usia bermain/toddler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak satu dengan anak yang lainnya mengingat latar belakang anak berbeda.Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita, dimana pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensi berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Soetjiningsih, 1999). Berdasarkan tahapan perkembangan anak dapat dibagi menjadi :usia infancy (dari lahir sampai 1 tahun), usia toddler (umur 1 sampai 3 tahun), usia 1 perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. lainnyamengingatlatarbelakanganakberbe da.Padaanakterdapatrentangperubahanpertumbuhand anperkembanganyaiturentangcepatdanlambat.Dalam proses perkembangananakmemilikicirifisik, kognitif, konsepdiri, polakopingdanperilakusosial. Menurut Adriana (2011), dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi berkembang, sehingga hal ini perlu mendapatkan perhatian. Perkembangan psiko-sosial sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Nursalam (2005) mengatakan, perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangan. Sementara itu, lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat perkembangan anak. Tahap yang paling memerlukan perhatian adalah pada masa anak-anak salah satunya dalam tahapan tumbuh kembang anak usia prasekolah. Perkembangan anak usia prasekolah diantaranya adalah belajar makan sendiri, berjalan, berbicara, bermain bersama anak lain, kemampuan memperhatikan rasa cemburu dan rasa bersaing terhadap saudara, kemampuan untuk mengontrol buang air kecil, dapat menggunakan kata-kata, bertanya dan mengerti kata-kata yang ditunjukkan padanya dan kemampuan berinteraksi sosial (Mansur, 2001). Hidayat (2009) mengatakan, anak membutuhkan pembelaan dari orang dewasa untuk mempertahankan, meningkatkan dan memperbaiki kesehatan. Pembelaan tersebut merupakan salah satu bagian dari hak anak yang harus dibela dan dilindungi dari berbagai perlindungan kesehatan dan kesejahteraan anak. Dalam penanganan pelayanan kesehatan anak harus didahulukan dalam penanganan, mengingat anak merupakan salah satu generasi penerus yang harus dilindungi dari kecacatan. Perlindungan dan pembelaan dari orang dewasa merupakan salah satu kewajiban untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Anak sangat tergantung pada orang dewasa serta lingkungan yang ada di sekitarnya yang dapat memfasilitasi dalam segala pemenuhan kebutuhannya. Keluarga merupakan orang terdekat dari seorang anak. Orang tua adalah orang dewasa yang selalu bersama dan anak akan selalu bersandar dengan mereka. Kedekatan orang tua dengan anak bisa didapatkan dengan komunikasi. Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Pada tahapan toilet training komunikasi yang baik sangat berpengaruh pada perkembangan anak kedepannya (Defi, 2011). Aspek penting dalam perkembangan anak usia prasekolah yang harus mendapatkan perhatian orang tua adalah latihan berkemih dan defekasi atau toilet training (Supartini, 2004). Toilet trainingmerupakan suatu usaha untuk melatih agar anak mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. Selain melatih anak dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar juga dapat melatih dan bermanfaat dalam pendidikan seks, sebab saat anak melakukan kegiatan tersebut disitu anak akan mempelajari anatomi tubuhnya sendiri serta fungsinya (Hidayat, 2009). Walaupun terdapat variasi yang sangat besar, akan tetapi setiap anak akan melalui tahapan dari perkembangannya dan setiap tahapan mempunyai ciri-ciri tersendiri (Nursalam, 2005). Menurut Celicy (2002) umur anak prasekolah masuk dalam rentang antara 3-6 tahun. Perkembangan anak pada usia prasekolah yaitu perkembangan psikoseksual (Tahap Falik) yang petama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam Wong (2000), psikoseksual merupakan proses perkembangan anak dengan pertambahan kemampuan fungsi struktur dan kejiwaan yang dapat menimbulkan dorongan untuk mencari rangsangan dan kesenangan untuk menjadi dewasa. Pada masa kanak-kanak menduga bagian tubuh paling baik untuk psikologi yang diartikan sebagai tekanan baru dan konflik baru yang berangsurangsur berubah dari satu tahap ketahap berikutnya. Jane Gilbert menyatakan dalam bukunya Latihan Toilet bahwa riset yang dilakukan di Amerika menunjukkan usia rata-rata anak menguasai latihan toilet (menguasai tidak mengompol selama satu hari penuh) adalah usia 35 bulan bagi anak perempuan dan usia 39 bulan bagi anak laki-laki. Dan Jane Gilbert juga menyatakan bahwa hampir 90% anak dapat mengendalikan kandung kemihnya saat siang hari yaitu pada usia 3 tahun. Sekitar 90% anak biasanya berhenti mengompol pada usia 5-6 tahun, sementara yang lainnya baru bisa melakukan beberapa tahun kemudian (Gilbert, 2009). Menurut Supartini (2004), sukses tidaknya toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan orang tua. Whaley dan Wong dalam Hidayat (2009) mengatakan, ada beberapa tanda anak mampu mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi antara lain yaitu kesiapan fisik, mental, dan kesiapan psikologis. Sedangkan kesiapan orang tua itu sendiri antara lain yaitu 2 mengenal kesiapan anak untuk berkemih dan defekasi, menyediakan waktu, dan tidak mengalami konflik atau stres kekeluargaan. Menurut Crisida (2009), Anak sesekali enkopresi (mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Apabila anak berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik. Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam WC anak akan cepat lebih adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air (Crisida, 2009). Tim Redaksi Ayah Bunda (2007) mengatakan bahwa mengajarkan anak buang air kecil di kloset dan membersihkan diri biasanya lebih mudah dibandingkan mengajarkan anak menahan air seninya. Dalam mengajarkan buang air kecil di kloset orang tua dapat menetapkan langkah yang sama dengan buang air besar. Adapun risiko yang ditimbulkan jika anak tidak mampu melewati tahapan ini maka akan berdampak pada perkembangan psikologisnya terutama dalam perkembangan kepribadian anak. Ketidakberhasilan dalam toilet training akan membuat anak mengalami kepribadian eksprensif dimana anak akan lebih tega, cenderung ceroboh, suka buat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2009). Keberhasilan anak dalam melakukan toilet training juga dipengaruhi dari komunikasi orang tua kepada anak. Komunikasi adalah suatu interaksi dan transaksi yang digunakan oleh manusia dalam menerima dan memberi pesan (Rusmi, 2009). Komunikasi orang tua yang terlalu lemah ataupun terlalu keras akan mempengaruhi tindakan anak dalam melakukan toilet training. Komunikasi dua arah yang menghasilkan timbal balik dari anak adalah komunikasi yang dianggap baik. Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia. Untuk itu memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup ketrampilan intelektual, tehnik dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring atau kasih sayang dalam berkomunikasi dengan orang lain (Defi, 2011). Dari studi pendahuluan melalui wawancara pada tanggal 15 mei 2013 di Desa Tegalglagah RW 08, di dapatkan 10 sampel yang mempunyai anak umur 3-6 tahun, 6 orang tua diantaranya tidak menemani dan mendampingi anak saat anak hendak BAB/BAK., dan5 anak belum berhasil dalam toilet training, danmasih BAB/BAK di celana, tetapi 1 anak berhasil dalam toilet training (latihan toilet) ditandai dengan kekamar mandi sendiri ketika BAB/BAK. Sedangkan 4 orang tua yang menemani dan mendampingi anak saat anak hendak BAB/BAK ke kamar mandi,2 anak berhasil dalam toilet training,sedangkan2 diantaranya masihBAB/BAKdi celana. Dari data tersebut ada 7 anak mereka yang masih mengalami BAK dan BAB di celana. Berdasarkan data dan fenomena tentang teknik komunikasi dalam toilet training masih banyak yang belum berhasildalam toilet training, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua tentang Toilet Trainingdengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam melakukan Toilet Training Di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes”. B. Perumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah peneliti yaitu “Adakah Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua Tentang Toilet Trainingdengan Keberhasilan Anak usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training Di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes?”. C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training Di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. D. Manfaat Penelitian. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan sebagai bahan evaluasi padamahasiswa dalam menerapkan teori tentang komunikasi orang tua kepada anak usia prasekolah (3-6 tahun) tentangtoilet training. Untukmenambahpengetahuandanwawasan tentang toilettraining dan dapat dijadikan sumberinformasi untuk penangan anak yang masih mengalami keterlambatan dalam perkembangan khususnya masalah dalam BAK dan BAB di celana. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi 1. Pengertian komunikasi Adabeberapa pengertian mengenai komunikasi yang dikemukakan para ahli.Dimana masing-masing pengertian tersebut kebanyakan lebih didasarkan atas pendapat dan pengalaman 3 serta latar belakang dari ahli yang bersangkutan.Ada yang mengartikan komunikasi secara khusus dengan mengaitkan pada kondisi tertentu, misalnya komunikasi keluarga, komunitas, psikolog, mamajemen dan juga komunikasi keperawatan. Kebanyakan para ahli mendefinisikan komunikasi secara umum yang artinya lebih kepada bagaimana proses komunikasi berlangsung. McCubbin dan Dahl (1985) dalam Arwani (2002) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses tukar menukar perasaan, keinginan, kebutuhan, dan pendapat. Johnson (1981) dalam Arwani (2002) juga mendefinisikan komunikasi didasarkan atas pengertian secara sempit dan pengertian secara luas.Secara sempit komunikasi diartikan sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk memengaruhi tingkah laku penerima. Sedangkan dalam arti luas komunikasi dideskripsikan sebagai setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun non verbal yang ditanggapi orang lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku secara keseluruhan baik secara langsung dengan lisan maupun tidak langsung melalui media (Arwani, 2002). Komunikasi dengan anak usia Pada anak usia ini anak sudah mampu menguasai sembilan ratus kata dan banyak kata-kata digunakan seperti mengapa, apa, kapan dan sebagainya. Komunikasi pada usia tersebut sangat egosentris, rasa ingin tahunya sangat tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan bahasa mulai meningkat, mudah merasa kecewa dan rasa bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi harus berpusat pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada usia ini anak masih belum fasih dalam berbicara. 5. Teknik komunikasi dengan anak Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam membangun kepercayaan diri kita dengan anak. Melalui komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang, dan selanjutnya anak akan merasa memiliki suatu penghargaan pada dirinya. Dalam tinjauan ilmu keperawatan anak, anak merupakan seseorang yang membutuhkan suatu perhatian dan kasih sayang sebagai kebutuhan khusus anak yang dapat dipenuhi dengan cara komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal yang dapat menumbuhkan kepercayaan pada anak sebingga tujuan komunikasi dapat tercapai (Hidayat, 2009). a. Melalui orang lain atau pihak ketiga b. Bercerita c. Menfasilitasi d. Biblioterapi e. Meminta untuk menyebutkan keinginan f. Pilihan pro dan kontra g. Penggunaan skala h. Menulis i. Menggambar j. Bermain 6. Teknik Komunikasi dengan orang tua anak Komunikasi dengan orang tua adalah salah satu, hal yang penting dalam perawatan anak, mengingat pemberian asuhan keperawatan pada anak selalu melibatkan peran orang tua dan yang memiliki peranan penting dalam mempertahankan komunikasi dengan anak. Untuk mendapatkan informasi tentang anak sering kita mengobservasi secara langsung atau berkomunikasi dengan orang tua. Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam berkomunikasi dengan orang tua, diantaranya: a. Anjurkan orang tua untuk berbicara b. Arahkan ke fokus c. Mendengarkan d. Diam e. Empati f. Meyakinkan kembali g. Merumuskan kembali h. Memberi petunjuk kemungkinan apa yang terjadi i. Menghindari hambatan dalam komunikasi 7. Tahapan dalam komunikasi dengan anak 2. Bentuk komunikasi Individu mengirimkan pesan dalam caracara verbal dan non-verbal yang saling bersinggungan ketika terjadi interaksi.Pada waktu bicara orang mengekspresikan diri melalui gerakan, nada dan suara, ekspresi wajah dan penampilan umum. Cara-cara ini dapat mengirimkan pesan yang sama atau berbeda. a. Komunikasi verbal b. Komunikasi non-verbal 3. Komponen dalam komunikasi Hidayat (2009) mengatakan, komunikasi dapat terjadi bila prosesnya dapat berjalan dengan baik. Proses komunikasi yang dimaksud di sini adalah pengirim pesan (informasi), penerus pesan, pesan itu sendiri, media, dan umpan balik. Proses tersebut merupakan suatu komponendalam komunikasi yang satu dengan lainnya saling berhubungan, di antara komponen dalam komunikasi adalah sebagai berikut: a. Pengirim pesan b. Penerima pesan c. Pesan d. Media e. Umpan balik 4. Komunikasi dengan anak usia prasekolah 4 Dalam melakukan komunikasi pada anak terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum mengadakan komunikasi secara langsung, tahapan ini dapat melliputi tahap awal (pra interaksi), tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terakhir yaitu tahap terminasi. a. Tahap pra interaksi b. Tahap perkenalan atau orientasi c. Tahap kerja d. Tahap terminasi anak usia 18 bulan-2 tahun agar mampu mengontrol dalam buang air besar dan buang air kecil. Toilet training dapat berlangsung pada fase anak usia 18 bulan-2 tahun. Dalam melakukan latihan buang air besar dan buang air kecil pada anak membutuhkan persiapan mental dan fisik, psikologis maupun intelektual. Melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air besar dan buang air kecil juga bermanfaat dalam pendidikan seks sebab saat anak melaukan kegiatan tersebut disitulah anak akan mempelajari anatomi tubuhnya sendiri dan fungsinya. Toilet training (mengajarkan anak ke toilet) adalah cara anak untuk mengontrol kebiasaan membuang hajatnya di tempat yang semestinya, sehingga tidak sembarang membuang hajatnya. Mengajari anak untuk menggunakan toilet membutuhkan waktu, pengertian, dan kesabaran.Yang paling penting di ingat adalah orang tua tidak bisa mengharapkan dengan cepat anak langsung bisa menggunakan toilet (Hidayat, 2009). 2. Tahapan toilet training Mengajarkan anak toilet training memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam WC anak akan cepat lebih adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet.Lakukan secara rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air. Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari, terutama 20 menit setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresi (mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik (Crisida, 2009). 3. Hal yang perlu diperhatikan dalam toilet training Menurut Suririnah (2010), masing-masing anak mempunyai waktu kesiapan yang berbeda untuk memulai toilet training. Proses melatih anak tidak boleh terburu-buru dan hanya dapat dimulai setelah anak siap secara fisik dan mental. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempercepat proses ini. Anak secara fisik siap jika hubungan antara sistem saraf dengan kandung kemih dan saluran cerna ke otak untuk mengontrol BAK/BAB sudah bekerja sempurna. 8. Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dengan anak Menurut Hidayat (2009), dalam proses komunikasi kemungkinan ada hambatan selama komunikasi, karena selama proses komunikasi melibatkan beberapa komponen dalam komunikasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, pengetahuan, sikap, usia tumbuh kembang, status kesehatan anak, sistem sosial, saluran, dan lingkungan. a. Pendidikan b. Pengetahuan Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya). Lebih lanjut menurut Hidayat (2009), pengetahuan merupakan proses belajar dengan menggunakan panca indera yang dilakukan seseorang terhadap objek tertentu untuk dapat menghasilkan pengetahuan dan keterampilan. Menurut Notoatmodjo (2003), membagi pengetahuan dalam 6 tingkatan di antaranya tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi. 1) Tahu (know) 2) Memahami (comprehension) 3) Aplikasi (application) 4) Analisis (analysis) 5) Sintesis (synthesis) 6) Evaluasi (evaluation) c. Sikap d. Usia tumbuh kembang e. Status kesehatan anak f. Sistem sosial g. Saluran h. Lingkungan B. Toilet Training 1. Pengertian toilet training Toilet training adalah upaya orang tua melatih anak mengurus dirinya sendiri saat hendak buang air kecil (bak) maupun buang air besar (BAB) (Eveline, 2010).Toilet training merupakan proses pengajaran untuk mengontrol buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) secara benar dan teratur (Crisida, 2008). Toilet training merupakan suatu usaha untuk melatih Perlu kerjasama yang baik dari orang tua dan anak agar proses ini menyenangkan untuk kedua belah pihak. Setiap anak membutuhkan waktu yang berbeda-beda dan bila saatnya tiba, anak akan dapat melakukannya. a. Tanda-tanda anak siap memulai latihan Semakin siap fisik mental anak untuk toilet training maka semakin mudah dan cepatnya proses ini berjalan. Beberapa tanda anak sudah siap adalah: 5 1) Saat sedang buang air kecil atau besar, anak akan berhenti bermain, diam berdiri, melihat kepada orang tua, mukanya menjadi merah, dan bahkan mencoba memberitahu apa yang sedang terjadi dengan mengatakan ”pipis” atau kata-kata dalam bahasanya sendiri. yang tidak diinginkan seperti pemaksaan dari orang tuaatau anak trauma melihat toilet. b. Persiapan dan perencanaan Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut gunakan istilah yang mudah dimengerti oleh anakyang menunjukkan perilaku buang air besar (BAB)/ buang air kecil (BAK) misalnya poopoo untuk buang air besar (BAB) dan peepee untuk buang air kecil (BAK). Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada anak sebab pada usia ini anak cepat meniru tingkah laku orang tua. Orang tua hendaknya segera mungkin mengganti celana anak bila basah karena enkopresi (mengompol) atau terkena kotoran.Jangan lupa memberi pujian jika anak mampu mengendalikan dorongan buang air. Selain itu ada juga persiapan dan perencaan yang lain seperti: 2) Jika mengompol, anak akan diam dan memandangi genangan air yang dibuatnya. 3) Anak tidak mengompol selama beberapa jam (34 jam), hal ini menunjukkan kapasitas dan kontrol kandung kemihnya semakin baik. 4) Anak tidak membasahi popoknya/mengompol saat orang tua melihatnya bangun tidur di pagi hari atau siang hari. 5) Bila anak masih menggunakan popok seharihari, dia merasakan tidak nyaman dan meminta ganti jika popoknya terasa kotor (setelah BAB/BAK). 6) Anak mengerti apa yang dibicarakan saat orang tua menjelaskan kegunaan toilet dan menunjukkan cara menggunakan toilet. 7) Anak bersedia untuk mencoba duduk di toilet walaupun belum benar-benar menggunakannya. 8) Anak ingin meniru tindakan orang tua saat menggunakan toilet. 9) Anak dapat menarik dan menurunkan celananya sendiri. b. Perhatikan tanda-tanda ketika anak akan BAB atau BAK Sears (2007) mengatakan, cermati tanda-tanda eksternal yang menunjukkan bahwa anak merasakan tekanan dari dalam: berjongkok, memegang celana, menyilangkan kaki; wajah yang tampak sedang mengejan dan menyeringai; dan mundur ke pojok atau belakang sofa.Tanda-tanda ini mengatakan bahwa anak sudah mencapai perkembangan yang cukup matang untuk menyadari hal yang sedang terjadi di dalam tubuhnya. Sedangkan menurut Crisida (2009), prinsip dalam melakukan toilet training ada 3 langkah yaitu melihat kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training: a. Melihat kesiapan anak Salah satu pertanyaan utama tentang toilet training adalah kapan waktu yang tepat bagi orang tua untuk melatih toilet training.Sebenarnya tidak ada patokan umur anak yang tepat dan baku untuk toilet training karena setiap anak mempunyai perbedaan dalam hal fisik dan proses biologisnya.Orangtua harus mengetahui kapan waktu yang tepat bagi anak untuk dilatih buang air dengan benar.Para ahli menganjurkan untuk melihat beberapa tanda kesiapan anak itu sendiri, anak harus memiliki kesiapan terlebih dahulu sebalum menjalani toilet training. Bukan orang tua yang menentukan kapan anak harus memulai proses toilet trainingakan tetapi anak harus memperlihatkan tanda kesiapan toilet training, hal ini untuk mencegah terjadinya beberapa hal 1) Mendiskusikan tentang toilet training dengan anak Orang tua bisa menunjukkan bahwa pada anak kecil memakai popok dan pada anak besar memakai celana dalam. Orang tua juga bisa membacakan cerita tentang cara yang benar dan tepat ketika buang air. 2) Menunjukkan penggunaan toilet Orang tua harus melakukan sesuai jenis kelamin anak (ayah dengan anak laki-laki dan ibu dengan anak perempuan).Orang tua juga bisa meminta kakaknya untuk menunjukkan padaadiknya bagaimana menggunakan toilet dengan benar (disesuaikan juga dengan jenis kelamin). 3) Membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak Pispot ini digunakan untuk melatih anak sebelum ia bisa dan terbiasa untuk duduk di toilet. Anak bila langsung menggunakan toilet orang dewasa, ada kemungkinan anak akan takut karena lebar dan terlalu tinggi untuk anak atau tidak merasa nyaman. Pispot disesuaikan dengan kebutuhan anak, diharapkan dia akan terbiasa dulu buanng air di pispotnya baru kemudian diarahkan ke toilet sebenarnya. Orang tua saat bisa menyesuaikan dudukan pispotnya atau bisa memilih warna, gambar atau bentuk yang ia sukai. 4) Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak Suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet training ini, seringkali dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa menunjukkan kalau ada kemajuan yang dilakukan anak dengan sistem reward yang tepat. Anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah terjadi tuntutan untuknya sehingga hal ini akan menambah ras mandiri dan percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode peluk cinta serta pujian di depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil melakukan sesuatu atau mungkin orang tua bisa 6 menggunakan sistem stiker/bintang yang ditempelkan dibagian “keberhasilan” anak. c. Proses toilet training Setelah orang tua sudah melakukan 2 langkah di atas maka bisa masuk ke langkah selanjutnya yaitu toilet training. Proses toilet training ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: 1) Membuat jadwal untuk anak Orang tua bisa menyusun jadwal dengan mudah ketika orang tua tahu dengan tepat kapan anaknya biasa buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK). Orang tua bisa memilih waktu selama 4 kali dalam sehari untuk melatih anak yaitu pagi, siang, sore dan malam bila orang tua tidak mengetahui jadwal yang pasti BAK (buang air kecil) atau BAB (buang air besar) anak. 2) Melatih anak untuk duduk di pispotnya Orang tua sebaliknya tidak memupuk impian bahwa anak akan segera menguasai dan terbiasa untuk duduk di pispot dan buang air. Awalnya anak dibiasakan dulu untuk duduk di pispotnya dan ceritakan padanya bahwa pispot itu digunakan sebagai tempat membuang kotoran. Orang tua bisa memulai memberikan rewardnya ketika anak bisa duduk di pispotnya selama 2-3 menit misalnya ketika anak bisa menggunakan pispotnya untuk BAK maka reward yang diberikan oleh orang tua harus lebih bermakna dari pada yang sebelumnya. 3) Orang tua menyesuaikan jadwal yang dibuat dengan kemajuan yang diperlihatkan oleh anak Orang tua harus menyesuaikan jadwal yang dibuat dengan kemajuan yang diperlihatkan anak, misalnya anak hari ini pukul 09.00 pagi anak buang air kecil (BAK) di popoknya maka esok harinya orang tua sebaliknya membawa anak ke pispotnya pada pukul 08.30 atau bila orang tua melihat bahwa beberapa jam setelah buang air kecil (BAK) yang terakhir anak tetap kering, bawalah dia ke pispot untuk buang air kecil (BAK). Hal yang terpenting adalah orang tua harus menjadi pihak yang pro aktif membawa anak ke pispotnya jangan terlalu berharap anak akan langsung mengatakan pada orang tua ketika dia ingin buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK). 4) Membuat bagan untuk anak Buatlah bagan untuk anak supaya dia bisa melihat sejauh mana kemajuan yang bisa dicapainya dengan stiker lucu dan warna-warni, orang tua bisa meminta anaknya untuk menempelkan stikertersebut di bagian itu. Anak akan tahu bahwa sudah banyak kemajuan yang dia buat dan orang tua bisa mengatakan padanya orang tua bangga dengan usaha yang telah dilakukan anak (Crisida, 2009). 4. Kontrol dalam toilet training Kontrol dalam toilet training meliputi dua jenis kontrol, yaitu bowel control dan bladder control. a. Bowel control (kontrol buang air besar/BAB) Merupakan kemampuan anak dalam mengendalikan BAB, baik menahan, maupun melepaskan keinginan BAB dalam tempatnya.Biasanya kemampuan manahan BAB lebih cepat dikuasai anak daripada menahan BAK.Tanda tiap anak yang hendak BAB biasanya berbeda-beda.Ada yang tiba-tiba menangis, ada yang berdiri dari sudut rumah sambil mengejan, ada yang mukanya memerah sambil mengerutkan wajah, dan sebagainya.Kenalilah tanda-tanda itu pada anak. Begitu ditemui tanda itu, segera tuntun anak ke kamar mandi dan kerjakan langkah-langkah berikut: 1) Dudukkan anak dengan nyaman pada toilet atau pispot. Katakanlah padanya bahwa kloset atau pispot itulah tempat sebenarnya untuk BAB. 2) Upayakan agar anak segera BAB setelah didudukkan. Jangan sampai berlama-lama duduk di toilet atau pispot tanpa mengeluarkan BAB. Sebab, ia akan merasa bosan. Hal ini, justru menghambat proses toilet training berikutnya. 3) Jangan memarahinya jika ia belum mau atau tidak berhasil BAB di toilet atau pispot. Jangan pula membicarakan ketidakberhasilannya itu dihadapannya. Sebab, ia akan merasa malu, juga menghambat toilet training¬ berikutnya. 4) Beri apresiasi jika ia berhasil BAB di toilet atau pispot dengan lancar. Dapat pula mengungkapkan melalui ciuman disertai kata-kata, misalnya,”nah gitu dong. Ini baru anak mama yang pintar. Sebab, bisa pup (BAB) di tempat yang benar”. Jangan lupa, perlu juga mengajarinya menyiram dan membersihkan kotoranya hingga bersih. Beritahu anggota keluarga lain, termasuk pengasuh tentang latihan BAB yang sedang dijalani anak. Upayakan mereka mampu melakukan pelatihan pada anak.Hal ini demi konsistensi penerapan toilet training pada anak. Jauh-jauh hari sebelum anda mempraktikkan toilet training,akan lebih baik jika: 1) Anak sering diperlihatkan saat membuang dan membersihkan kotoran dari popok atau celananya 2) Atau, ajak anak ketika anda sedang menggunakan toilet. Beri tahu cara pemakaiannya. b. Bladder control (kontrol buang air kecil/BAK) Merupakan kemampuan anak mengendalikan BAK, baik menahan maupun melepaskan keinginan BAK pada tempatnya.Kemampuan menahan BAK umumnya lebih lambat daripada menahan BAB. Biasanya, anak tahan tidak kencing selama 2 jam pada usia sekitar 18 bulan. Sebab, daya tampung kantong air seninya telah bertambah. Selain itu, fungsinya sistem saraf pengontrolnya pun telah semakin baik. Secara umum melatih anak pipis di toilet dapat dilakukan seperti melatihnya BAB. 1) Amati siklus BAK-nya, seraya mengamati pola minumnya. Misalnya, ia BAK dua jam sekali. Maka, sebelum dua jam perlu mengajaknya ke toilet. Bantu dan ajari anak membuka celananya. Lalu, minta ia BAK di toilet. 2) Jika pola BAK belum teratur, jangan marahi jika ia masih BAK di celananya. 7 Ketahuilah, melatih anak BAK ke toilet dan membersihkan dirinya, relatif lebih mudah daripada melatihnya menahan BAK. Apalagi saat ia dalam keadaan tertidur, dimana anak sering “ngompol”. Ngompol atau enkopresi adalah keluarnya urine tanpa disadari saat tidur.Adakalanya pengertian mengompol juga dipakai untuk merujuk pada anak yang gagal mengontrol pengeluaran urinenya saat terjaga (Eveline, 2010). 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anak dalam Toilet Training Menurut Gilbert (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi anak dalam toilet training adalah sebagai berikut : a. Teknik Lisan b. Teknik Modelling 7. Tanda-Tanda Anak Berhasil Melakukan Toilet Training Menurut Gilbert (2003), tanda-tanda anak berhail melakukan toilet trainingadalah : a. Tidak mengompol beberapa jam sehari, minimal 3 sampai 4 jam b. Anak berhasil bangun tidur tanpa mengompol sedikitpun c. Tahu waktu untuk buang air kecil dan besar dengan menggunakan kata ’pipis’ atau ’pup’, serta BAB dan BAK menjadi teratur d. Sudah mampu memberitahu bila celana atau popok sekali pakainya sudah kotor ataupun basah e. Bisa memegang alat kelamin atau minta ke kamar kecil sebagai ’alarm’ bahwa keinginan BAK atau BAB memanggil a. Faktor internal 1) Kesiapan anak (fisik, mental, psikologis) 2) Genetik 3) Jenis kelamin Perbedaan jenis kelamin terhadap keberhasila toilet training memiliki kecenderungan bahwa anak laki-laki lebih lamban dalam penguasaan kontrol terhadap kandung kemihnya dibandingkan anak perempuan. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor : a) Sistem saraf anak laki-laki berkembang lebih lambat daripada anak perempuan yang mulai dapat menguasai keinginan buang air kecil pada umur 18 bulan, sementara anak laki-laki setelah berusia 22 bulan (Gilbert, 2003). b) Anak laki-laki kurang sensitiv dengan rasa basah di kulit mereka dibandingkan dengan anak perempuan (Gilbert, 2003). c) Perawatan kesehatan yang teratur, tidak hanya pada saat anak sakit, pemeriksaan kesehatan secara rutin akan menunjang pada tumbuh kembang anak. Anak yang menderita penyakit menahun, akan terganggu tumbuh kembangnya dan pendidikannya serta akan mengalami stress yang long memory (Gilbert, 2003) b. Faktor Eksternal 1) Sosial dan Ekonomi Keluarga 2) Tingkat Pengetahuan Orang Tua 3) Pola Asuh Orang Tua 4) Ketersediaan Sumber-Sumber dan Fasilitas 6. Cara Mengajarkan Toilet Training Pada Anak Menurut Hidayat (2005), Latihan buang air besar atau buang air kecil pada anak atau dikenal dengan nama toilettraining merupakan suatu hal yang harus dilakukan pada orang tua anak, mengingat dengan latihan itu diharapkan anak mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan buang air kecil dan buang air besar tanpa merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia tumbuh kembang anak. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam melatih anak untuk buang air besar dan kecil, diantaranya : C. Hubungan Komunikasi dalam Toilet Training Anak Usia Prasekolah Periode prasekolah mendekati tahun antara 3 dan 6 tahun.Anak-anak menyempurnakan penguasaan terhadap tubuh mereka dan merasa cemas menunggu awal pendidikan formal.Banyak orang menyadari hal ini merupakan masa yang paling menarik untuk orang tua karena anak-anak menjadi kurang negatif, dapat lebih secara akurat membagi pemikiran mereka, dan dapat lebih secara efektif berinteraksi dan berkomunikasi.Anak-anak memerlukan kesempatan untuk belajar dan latihan keterampilan fisik.Orang tua merancang kesempatan ini ke dalam pengalaman anakanak sehari-hari, bergantung pada kemampuan, kebutuhan dan tingkat tenaga mereka, seperti halnya tentang latihan ke toilet untuk buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) (Perry dan Potter, 2005). Buang air besar (BAB) dan air kecil (BAK) bukanlah suatu masalah besar, namun bagi anak-anak, mandiri untuk bisa BAB dan BAK hal yang patut diacungi jempol. Minimal anak bisa memberi tanda-tanda saat akanBAK atau BAB. Cara untuk melatih kemandirian anak agar bisa BAB dan BAK di toilet yaitu dengan berkomunikasi. Berikut cara berkomunikasi yang bisa digunakan dalam melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar di toilet, yaitu: 1. Caraberkomunikasi lisan Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil dan besar. Cara ini kadang-kadang merupakan hal yang biasa yang dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan besar dimana dengan lisan ini persiapan psikologis pada anak semakin matang dan akhirnya anak 8 mampu dengan baik dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2009). 2. Berkomunikasi dengan pengaturan jadwal Anak yang telah menampakkan tanda kesiapan secara bertahap diminta duduk di atas toilet sebentar dalam keadaan berpakaian lengkap.Anak diminta untuk melepaskan pakaian dalamnya sendiri dan duduk di toilet selama 5-10 menit.Ibu memberikan pujian pada anak bila anak dapat melakukan dengan baik. Metode ini efektif untuk anak-anak yang memiliki jadwal buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) yang teratur (Crisida, 2009). D. Hipotesis Penelitian Ada Hubungan Antara Komunikasi Orang Tua Tentang ToiletTraining Dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) Dalam Melakukan ToiletTraining di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. E. Definisi Operasional BAB IV METODE PENELITIAN 3. Berkomunikasi menggunakan alat bantu Anak telah memperlihatkan kesiapannya untuk latihan buang air, kemudian anak diajarkan toilet training menggunakan boneka. Orang tua memberikan contoh lewat boneka kemudian orang tua meminta anak untuk menirukan proses toilet training dengan boneka secara berulang-ulang dan anak diajarkan untuk memberi pujian pada boneka (Crisida, 2009). BAB III KERANGKA KERJA PENELITIAN A. B. KerangkaTeori Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber: Hidayat (2009), Arwani (2002), Crisida (2009), Perry dan Potter (2005),Notoatmodjo (2003), Taufik (2007). C. KerangkaKonsep Penelitian Bagan 2.2 KerangkaKonsepPenelitian Hidayat (2009), Crisida (2009) 9 DesainPenelitian Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelatif. Menurut Nursalam (2008), deskriptif korelatifadalah penelitian/penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2005), pendekatan cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek melalui pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. 4) Orang tua yang memiliki anak yang sedang sakit atau sedang dalam terapi pengobatan baik di rumah sakit ataupun di rumah C. Tempatdan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan Di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 29-31 Agustus2013. D. TeknikPengumpulan Data 1. Sumber data Jenis data yang digunakan adalah data primer. Menurut Notoatmodjo (2005), data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden ataupun dari sumber pertama. Dalam penelitian ini peneliti mendapatkan datanya dari kuesioner yang berisi tentang komunikasi orang tua dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam toilet training. 2. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian yaitu kuesioner atau angket. Menurut Notoatmodjo (2005), kuesioner adalah sebagian daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda-tanda tertentu. Instrument dalam penelitian ini menggunakan kuesioner atau angket sebanyak 19 pertanyaan dengan bentuk pertanyaan positif dan negatif. Cara menilainya yaitu dengan menjumlahkan seluruh jawaban kemudian menyimpulkan dari hasil penjumlahan tersebut. B. PopulasidanSampelPenelitian 1. Populasipenelitian Menurut Notoatmodjo (2005), populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dan anak usia prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes Tahun 2013 yang berjumlah 343anak. 2. SampelPenelitian Sampel adalah subset (bagian) populasi yang diteliti (Sastroasmoro, 2002), sedangkan menurut Aziz (2003), sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian di Desa Tegalglagah sebesar 343 x 20% sampel yaitu ada 68 sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah kuota sampling dimana sampel diam bila sesuai jumlah perhitungan yang ditetapkan. Untuk itu penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. a. Kriteria inklusi Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010) Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: 1) Orang tua yang mempunyai anak usia prasekolah (3-6 tahun) 2) Bersedia menjadi responden b. Kriteria eksklusi Kriteria eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010). Kriteria eklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Orang tua yang memiliki anak yang mengalami gangguan fisik (cacat) yang setiap kebutuhan di bantu oleh orang lain 2) Orang tua yang memiliki anak yang mengalami gangguan mental atau gangguan psikologis 3) Orang tua tidak mempunyai toilet 3. Uji Validitas dan Uji Reabilitas Sebelum digunakan sebagai instrumen penelitian maka kuisoner harus diuji terlebih dahulu dengan melakukan 10 uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas dan reliabilitas penelitian ini dilakukan di Desa Petunjungan Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes karena karakteristiknya sama pada tanggal 27 Agustus 2013, dengan jumlah responden sebanyak 20 responden a. Uji Validitas Menurut Notoatmodjo (2005), validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Instrumen penelitian dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan apabila dapat mengungkapkan data secara variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006). Uji validitas dilakukan dengan menganalisis tiap butir pernyataan mengenai komunikasi orang tua tentang toilet training dan pernyataan tentang keberhasilan toilettraining dengan menggunakan rumus “product moment person” pada tempat yang berbeda yang memiliki kriteria sama dengan tempat yang akan diteliti. Menurut Arikunto (2006), uji validitas dengan menggunakan teknik korelasi product moment dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: K : jumlah item ∑σb2 : jumlah varian skor total σ2t : jumlah responden untuk item Uji instrumen ini dikatakan reliabel jika nilai r hitung atau hasil nilai alpha lebih besar dari r tabel (Arikunto, 2006). Hasil coba instrumen di dapatkan r hitung antara. Nilai r tabel pada n = 20 adalah 0,60, jadi nilai rhitung>rtabel berarti dapat dinyatakan reliabel. Berdasarkan hasil uji reliabilitas AlphaCronbach diperoleh nilai r = 0,932> r tabel 0,60, sehingga disimpulkan bahwa instrumen dinyatakan reliabel. 4. Metode pengumpulan data a. Peneliti meminta surat ijin penelitian kepada Kaprodi S1 Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo. b. Setelah mendapat surat izin dari Kaprodi S1 Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo, mengajukan izin penelitian kepada Kepala Dinas Kesehatan Brebes. c. Peneliti mendapat ijin penelitian dari Kepala Dinas Kesehatan Brebes untuk melakukan penelitian. d. Permohonan ijin penelitian dan koordinasi dengan Kepala Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes dan Bidan Desa. e. Peneliti mengumpulkan data dengan cara mendatangi kerumah responden. f. Peneliti memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian, cara pengisian kuesioner dan meminta partisipasinya untuk memberikan jawaban. g. Responden dipersilahkan untuk menandatangani informed consent bila calon responden bersedia menjadi responden. h. Peneliti memberikan kuesioner kepada responden untuk diisi sesuai dengan format pertanyaan, dan peneliti mendampingi respondon saat pengisian kuesioner. i. Kuesioner yang telah diisi, kemudian dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya, disimpan dalam file tertutup kemudian dilakukan analisa oleh peneliti. Etika Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menjunjung tinggi etika penelitian secara umum dengan menghormati manusia sebagai subyeknya (Nursalam, 2003), etika yang harus diperhatikan antara lain : Lembar Persetujuan (Informed Consent) Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan, sebelum dilakukan pengambilan data penelitian. Kemudian calon responden yang bersedia harus menandatangani lembar persetujuan tersebut. Peneliti tidak memaksa terhadap responden yang tidak mau mengisi kuisioner. Pada saat penelitian berlangsung tidak terdapat responden yang mengundurkan diri pada saat megisi kuisioner. Tanpa Nama (Anonimity) Kuesioner dikatakan valid jika rhitung>rtabel (Notoatmodjo, 2005). Hasil uji validitas dilakukan kepada 20 responden pada ibu yang mempunyai anak usia 3-6tahun di Desa Petunjungan Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes didapatkan r hitung antara r tabel pada n= 20 adalah 0,444 jadi rhitung>rtabel berarti variabel alat ukur dapat dinyatakan valid. Dari hasil uji validitas diperoleh 10 item valid dengan nilai r hitung terletak antara 0,684-0,887. Dan 9 item valid dengan nilai hitung terletak antara 0,680-0,873. Terlihat bahwa nilai-nilai ini lebih besar dari r tabel 0,444, ini menunjukan bahwa 19 item dinyatakan valid. b. Uji Reabilitas Reabilitas adalah suatu cara untuk mengetahui sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama (Notoatmodjo, 2005). Pengukuran reabilitas dapat menggunakan rumus AlphaCronbach. Untuk menguji reabilitas instrumen dengan menggunakan teknik AlphaCronbach sebagai berikut: 11 “Sering” diberi skor 3, “Kadang-kadang” diberi skor 2 dan “Tidak pernah” diberi skor 1. Sedangkan pada pertanyaan negatif, jawaban “Selalu” diberi skor 1, “Sering” diberi skor 2, “Kadang-kadang” diberi skor 3 dan “Tidak pernah” diberi skor 4. Coding Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka atau bilangan untuk mempermudah pada saat analisisdata dan mempercepat pada saat entri data dalam penelitian ini dilakukan kode sebagai berikut : Komunikasi orang tuatentangtoilettraining Komunikasi orang tua tentang toilettraining kurang = 1 Komunikasi orang tua tentang toilettraining cukup = 2 Komunikasi orang tua tentangtoilettraining baik =3 Keberhasilananakusiaprasekolah (3-6 tahun) dalam toilet training Berhasil :2 Belum berhasil : 1 Tabulating Kagiatan memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel kemudian diolah dengan bantuan komputer. Entering Proses memasukkan data kedalam komputer melalui program SPSS, sebelum dilakukan analisa dengan komputer pengecekan ulang terhadap data. Cleansing Cleansing adalah memastikan bahwa seluruh data yang dimasukkan ke dalam mesin pengolah data sudah sesuai dengan sebenarnya atau proses pembersihan data. Untuk menjaga kerahasiaaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam pengolahan data penelitian. Peneliti hanya menggunakan nomor untuk memberikan kode responden. Kerahasiaan (Confidentiality) Peneliti menjamin kerahasiaan tiap Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang telah terkumpul. Hasil kuesioner setelah selesai digunakan dibakar oleh penelitian. Sukarela Partisipasi responden sebagai subyek peneliti didalam penelitian ini harus secara sukarela atau tidak terdapat unsur paksaan, tekanan secara langsung maupun tidak langsung atau paksaan secara halus atau adanya unsur ingin menyenangkan dan sejenisnya untuk menjamin kesukarelaan responden menjadi subyek penelitian ini maka dilakukan pengisian Informed Consent. Pengolahan Data Menurut Budiarto (2002), pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: Editing Editing dilakukan untuk mengetahui data sudah diisi dengan benar sesuai petunjuk pengisian. Pada tahap ini semua data diperiksa, sehingga apabila ada pernyataan yang belum diisi atau kesalahan penulisan, masalah tersebut dapat ditanyakan kepada responden Pada penelitian ini data yang diperolah diteliti kembali hal-hal sebagai berikut: Kelengkapanjawaban yang diberikan Tulisan-tulisanpada data yang terteradalamkuesionerharusdapatdibaca Kejelasanmaknajawaban Kesesuaianjawabansatusama lain Keseragamansatuan data Scoring Memberikan skor atau nilai pada masing-masing jawaban responden. Untuk jawaban variabel komunikasi orang tua tentang toilet trainingdikatakan dalam kategori “Baik” jika skor antara 26-40, “Cukup” jika skor antara 16-25 dan “Kurang” jika skor antara 1-15. Pada pertanyaan positif, jawaban “Selalu” diberi skor 4, “Sering” diberi skor 3, “Kadang-kadang” diberi skor 2 dan “Tidak pernah” diberi skor 1. Sedangkan pada pertanyaan negatif, jawaban “Selalu” diberi skor 1, “Sering” diberi skor 2, “Kadang-kadang” diberi skor 3 dan “Tidak pernah” diberi skor 4. Untuk jawaban variabel keberhasilan anak prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training dikatakan dalam kategori “Berhasil” jika skor antara 2336 dan kategori “Belum Berhasil” jika skor antara 9-22. Pada pertanyaan positif, jawaban “Selalu” diberi skor 4, Analisis data Data yang sudah dilakukan pengelolaan kemudian dianalisis secara bertahap sesuai dengan tujuan penelitian, meliputi: Analisa univariat Analisis Univariat adalah analisis untuk menggambarkan tiap variabel dengan menggunakan tabel frekuensi. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mendefinisikan tiap variabel yang diteliti secara terpisah dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi dari masing-masing variabel (Notoatmodjo, 2005). Dalam analisis ini hasilnya akan ditampilkan dalam bentuk presentase dan distribusi frekuensi dari tiap variabel, yaitu variabel bebas (komunikasi orang tua tentang toilet training) dan variabel terikat (keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training. Analisa bivariat 12 Yaituanalisis yang dilakukanterhadapduavariabel yang didugaberhubungandanberkorelasi (Notoatmodjo, 2002).Analisisbivariatmenganalisishubungankomunikasi orang tuatentang toilet training dengankeberhasilananakusiaprasekolah (3-6 tahun) dalammelakukantoilet training. Analisa bivariat ini menggunakan Kendal Tau karena datanya berbentuk ordinal dengan ordinal. Kabupaten Brebes.Hasil penelitian ini terdiri dari analisis univariat dan analisis bivariat. A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin Anak Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin anak disajikan pada tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, 2013 Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa dari 68 responden anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan, yaitu sejumlah 36 anak (52,9%). Koefisien korelasi ranking Kendall Tau cocok digunakan sebagai ukuran korelasi dengan jenis data yang sama dengan data dimana koefisien korelasi ranking spearman dapat digunakan, artinya jika sekurang-kurangnya tercapai pengukuran ordinal dari tabel X dan Y. Nilai korelasi yang dihasilkan berkisar antara -1 sampai dengan +1. Angka pada nilai korelasi menunjukan keeratan hubungan antara 2 variabel Yang diuji. Jika angka korelasi makin mendekati 1, maka korelasi 2 variabel akan makin kuat, sedangkan angka korelasi makin mendekati 0 maka korelasi 2 variabel makin lemah. Sedangkan tanda minus dan positif pada nilai korelasi menyatakan sifat hubungan. Jika nilai korelasi bertanda minus, berarti hubungan diantara kedua tabel bersifat searah. Sedangkan nilai korelasi bertanda plus, berarti hubungan diantara kedua tabel bersifat berlawanan arah. Ketentuan menentukan hubungan antar variabel adalah dengan melihat nilai ι (tau) dan p value, dimana bila nilai ι hitung ≥ dari nilai ι tabel atau p value< (α = 0,05) maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara komunikasi orang tua tentang toilettraining dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilettraining di desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes. BAB V HASIL PENELITIAN 2. Pendidikan Orangtua Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan orangtua disajikan pada tabel 5.2 berikut ini. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Orangtua yang Memiliki Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, 2013 Berdasarkan tabel 5.2, dapat diketahui bahwa dari 68 responden orangtua yang memiliki anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, lebih banyak yang berpendidikan SMP, yaitu sejumlah 32 orang (47,1%). 3. Pekerjaan Orangtua Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan orangtua disajikan pada tabel 5.3 berikut ini. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Orangtua yang Memiliki Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, 2013 Bab ini membahashasil penelitian tentang hubungan antara komunikasi orang tua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes,sedangkansebagai respondennya adalah para orangtua yang mempunyai anak usia prasekolah (3-6 tahun) di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba 13 Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui bahwa dari 68 responden orangtua yang memiliki anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, sebagian besar bekerja sebagai petani, yaitu sejumlah 43 orang (63,2%). B. Analisis Univariat 1. Pengetahuan Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training Distribusi frekuensi berdasarkan komunikasi orangtua tentang toilet training disajikan pada tabel 5.4berikut ini. Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training pada Anak Usia Prasekolahdi Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, 2013 Tabel 5.6 Hubungan antara Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes, 2013 Berdasarkan tabel 5.6, dapat diketahui bahwa anak dengan komunikasi orangtua tentang toilet training dalam kategori kurang sebagian besar belum berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 22 anak (84,6%), sedangkan anak dengan komunikasi orangtua tentang toilet training dalam kategori cukup sebagian besar juga belum berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 14 anak (63,6%), dan anak dengan komunikasi orangtua tentang toilet training dalam kategori baik sebagian besar telah berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 16 anak (80,0%). Berdasarkan uji Kendall Tau didapat nilaikorelasi 0,495 dengan p-value0,000. Oleh karena p-value = 0,000< α (0,05), maka Ho ditolak, dan disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara komunikasi orangtua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Karena maka hubungan ini memiliki arah positif, yang artinya jika komunikasi orangtua semakin baik maka anak akan semakin berhasil dalam melakukan toilet trainng. Berdasarkan tabel 5.4, dapat diketahui bahwa komunikasi orangtua tentang toilet training pada anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, paling banyak dalam kategori kurang, yaitu sejumlah 26 orang (38,2%). 2. Keberhasilan Anak dalam Melakukan Toilet Training Distribusi frekuensi berdasarkan keberhasilan anak dalam melakukan toilet training disajikan pada tabel 5.5 berikut ini. Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Keberhasilan Anak dalam Melakukan Toilet Training pada Anak Usia Prasekolahdi Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, 2013 Berdasarkan tabel 5.5, dapat diketahui bahwa sebagian besar anak usia prasekolah (3-65 tahun) di di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes belum berhasil dalam melakukan toilet training, yaitu sejumlah 40 anak (58,8%). BAB VI PEMBAHASAN A. Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel 5.4, dapat diketahui bahwa komunikasi orangtua tentang toilet training pada anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, dalam kategori kurang, yaitu sejumlah 26 orang (38,2%), dalam kategori cukup sejumlah 22 orang (32,4%), dan dalam kategori baik sejumlah 20 orang (29,4%). Hal ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi orangtua tentang toilet training pada anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, paling banyak dalam kategori kurang. Kurangnya komunikasi orangtua tentang toilet training pada anak prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. C. Analisis Bivariat Analisis bivariat padabagian ini disajikan untuk menganalisishubungan antara komunikasi orang tua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.Untuk mengetahui hubungan ini digunakan uji Kendall Tau dimana hasilnya disajikan berikut ini. 14 Bulakamba Kab. Brebes dikarenakan pendidikan orangtua yang kurang, yang mana dari hasil karakteristik responden didapatkan bahwa sebagian besar orangtua anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes berpendidikan rendah SD 15 orang (22,%) dan SMP 32 orang (47,1%). Pendidikan yang rendah ini menyebabkan kurangnya orangtua dalam menerima informasi yang datang dari luar khususnya tentang bagaimana berkomunikasi yang baik dalam mengajarkan toilet training kepada anak. Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengatasi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Sebagaimana umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi dan makin bagus pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif akan dapat dilakukannya.Sebaliknya, pendidikan yang rendah membuat individu terlambat dalam menerima segala informasi, sehingga dalam menerapkan komunikasi kepada anak menjadi kurang optimal. Komunikasi pada anak merupakan bagian penting dalam membangun kepercayaan diri dengan anak. Melalui komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang, dan selanjutnya anak akan merasa memiliki suatu penghargaan pada dirinya. Dalam tinjauan ilmu keperawatan anak, anak merupakan seseorang yang membutuhkan suatu perhatian dan kasih sayang sebagai kebutuhan khusus anak yang dapat dipenuhi dengan cara komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal yang dapat menumbuhkan kepercayaan pada anak sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai (Hidayat, 2009). Wong (2008) mengemukakan, dalam komunikasi dengan anak, komponen non verbal pada proses komunikasi menunjukkan pesan yang paling penting. Anak akan sangat waspada terhadap lingkungan sekitar dan memaknai setiap sikap dan gerakan tubuh yang ditampilkan, terutama anak sangat muda. Komunikasi orangtua tentang toilet training merupakan suatu proses penyampaian pesan dari orang tua kepada anak yang berupa mengenali tanda-tanda anak ketika anak hendak BAB/BAK dan langsung diajak atau diajarkan ke toilet. Komunikasi ini sangat penting karena bagi anak keluarga merupakan orang terdekat. Orang tua adalah orang dewasa yang selalu bersama dan anak akan selalu bersandar dengan mereka. Kedekatan orang tua dengan anak bisa didapatkan dengan komunikasi. Menurut (Defi, 2011), komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Pada tahapan toilet training komunikasi yang baik sangat berpengaruh pada perkembangan anak kedepannya. Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel 5.5, dapat diketahui bahwa anak usia prasekolah (3-65 tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes yang belum berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 40 anak (58,8%), dan yang berhasil sejumlah 28 anak (41,2%). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak usia prasekolah (3-65 tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes yang belum berhasil dalam melakukan toilet training. Belum berhasilnya anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes dalam melakukan toilet training bisa disebabkan oleh pekerjaan orangtua terutama pekerjaan ibu, dimana dari hasil karakteristik responden sebagian besar orangtua baik ayah maupun ibu di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes dalam kesehariannya sibuk bekerja sebagai petani sejumlah 43 orang (63,2%). Suatu pekerjaan orangtua terutama ibu mempunyai akan berpengaruhterhadap penerapan toilet training secara dini pada anak usia toddler, dimana pekerjaan ibu dapat menyita waktu ibu untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini sehingga akan berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toileting. Selain itu, kasih sayang dan perhatian ibu juga mempengaruhi kualitas dalam kemampuan toiletinganak secara dini, dimana ibu yang perhatian akan memantau perkembangan anak, maka akan berpengaruh lebih cepat dalam melatih anak usia prasekolah melakukan toilet training secara dini. Dengan dukungan perhatian ibu maka anak lebih berani atau termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan (Safaria, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Gilbert (2003), semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua akan semakin menunjang terhadap pola pengasuhan toilet training. Pendidikan yang baik dari orang tua dapat menerima segala informasi dari luar, terutama pengetahuan tumbuh kembang, pengasuhan anak yang baik, perawatan yang kesehatan pada anaknya, pendidikannya dan sebagainya.Begitupun sebaliknya, rendahnya pendidikan orangtua, berpengaruh terhadap kurangnya orangtua dalam menerima informasi dari luar khususnya tentang pengasuhan dan perawatan anak. Supartini (2004), sukses tidaknya toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak dan orang tua. Whaley dan Wong dalam Hidayat (2009) mengatakan, ada beberapa tanda anak mampu mengontrol rasa ingin berkemih dan defekasi antara lain yaitu kesiapan fisik, mental, dan kesiapan psikologis. Sedangkan kesiapan orang tua itu sendiri antara lain yaitu mengenal kesiapan anak untuk berkemih dan defekasi, menyediakan waktu, dan tidak mengalami konflik atau stres kekeluargaan. Menurut Crisida (2009), Anak sesekali enkopresi (mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Apabila anak berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat B. Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 tahun) dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kab. Brebes 15 memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik. Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam WC anak akan cepat lebih adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air (Crisida, 2009). Tim Redaksi Ayah Bunda (2007) mengatakan bahwa mengajarkan anak buang air kecil di kloset dan membersihkan diri biasanya lebih mudah dibandingkan mengajarkan anak menahan air seninya. Dalam mengajarkan buang air kecil di kloset orang tua dapat menetapkan langkah yang sama dengan buang air besar. Risiko yang ditimbulkan jika anak tidak mampu melewati tahapan ini maka akan berdampak pada perkembangan psikologisnya terutama dalam perkembangan kepribadian anak. Ketidakberhasilan dalam toilet trainingakan membuat anak mengalami kepribadian eksprensif dimana anak akan lebih tega, cenderung ceroboh, suka buat gara-gara, emosional, dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2009). hubungan yang signifikan antara komunikasi orangtua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Karena memiliki arah positif, yang artinya jika komunikasi orangtua semakin baik maka anak akan semakin berhasil dalam melakukan toilet training. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Rusmi (2009), bahwa keberhasilan anak dalam melakukan toilet training dipengaruhi dari komunikasi orang tua kepada anak.Komunikasi adalah suatu interaksi dan transaksi yang digunakan oleh manusia dalam menerima dan memberi pesan. Komunikasi orang tua yang terlalu lemah ataupun terlalu keras akan mempengaruhi tindakan anak dalam melakukan toilet training. Komunikasi dua arah yang menghasilkan timbal balik dari anak adalah komunikasi yang dianggap baik. Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia. Untuk itu memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang mencakup ketrampilan intelektual, teknik dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring atau kasih sayang dalam berkomunikasi dengan orang lain (Defi, 2011). Buang air besar (BAB) dan air kecil (BAK) bukanlah suatu masalah besar, namun bagi anak-anak, mandiri untuk bisa BAB dan BAK hal yang patut diacungi jempol. Minimal anak bisa memberi tanda-tanda saat akanBAK atau BAB. Untuk mendapatkan anak bisa BAK dan BAB secara mandiri bukanlah hal mudah, oleh karena itu perlu adanya komunikasi yang baik dan kesabaran dari orangtua untuk melatih kemandirian anak agar bisa BAB dan BAK di toilet. Menurut Crisida (2009), ada beberapa cara untuk berkomunikasi yang bisa digunakan dalam melatih anak untuk buang air kecil dan buang air besar di toilet, diantaranya: cara berkomunikasi lisan. Cara berkomunikasi lisan merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil dan besar. Cara ini kadang-kadang merupakan hal yang biasa yang dilakukan pada orang tua akan tetapi apabila diperhatikan bahwa teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan besar dimana dengan lisan ini persiapan psikologis pada anak semakin matang dan akhirnya anak mampu dengan baik dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2009). Selain itu, berkomunikasi dengan pengaturan jadwal. Anak yang telah menampakkan tanda kesiapan secara bertahap diminta duduk di atas toilet sebentar dalam keadaan berpakaian lengkap.Anak diminta untuk melepaskan pakaian dalamnya sendiri dan duduk di toilet selama 5-10 menit.Ibu memberikan pujian pada anak bila anak dapat melakukan dengan baik. Metode ini efektif untuk anak-anak yang memiliki jadwal buang air C. Hubungan antara Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan pada tabel 5.6, dapat diketahui bahwa anak dengan komunikasi orangtua tentang toilet training dalam kategori kurang sebagian besar belum berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 22 anak (84,6%). Hal ini dikarenakan anak yang kurang mendapat perhatian dan komunikasi yang kurang dari orangtua akan bersikap seenaknya sendiri saat BAK atau BAB, misalnya BAK di celana atau di sembarang tempat, dan ini dikhawatirkan bisa menjadi kebiasaan dari sang anak dan mengakibatkan ketidakberhasilan dalam melakukan toilet training. Sedangkan anak dengan komunikasi orangtua tentang toilet training dalam kategori baik sebagian besar telah berhasil dalam melakukan toilet training sejumlah 16 anak (80,0%).Ini karena anak yang mendapat komunikasi yang baik dari orangtua, selalu diperhatikan dan dibimbing dalam bertoilet, hal ini menimbulkan rasa percaya diri bagi anak. Melalui komunikasi akan terjalin rasa percaya, rasa kasih sayang, dan selanjutnya anak akan merasa memiliki suatu penghargaan pada dirinya, sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai. Berdasarkan uji Kendall Tau didapat nilai korelasi 0,495 dengan p-value0,000. Oleh karena p-value = 0,000 < α (0,05), maka Ho ditolak, dan disimpulkan bahwa ada 16 besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) yang teratur (Crisida, 2009). Sedangkan komunikasi yang lain adalah dengan menggunakan alat bantu. Anak telah memperlihatkan kesiapannya untuk latihan buang air, kemudian anak diajarkan toilet training menggunakan boneka. Orang tua memberikan contoh lewat boneka kemudian orang tua meminta anak untuk menirukan proses toilet training dengan boneka secara berulang-ulang dan anak diajarkan untuk memberi pujian pada boneka (Crisida, 2009). dengan harapan agar kemampuan toilet training anak dapat berkembang dengan baik dan mandiri. 2. Bagi Institusi Bagi institusi pendidikan harus dapat memberikan pembelajaran dan pendidikan bagi masyarakat tentang mengajarkan toilet training pada anak secara dini, yaitu dengan memberikan informasi melalui penyuluhan, atau menyebarkan leaflet-leaflet dan buku-buku tentang toilet training. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian tentang toilettraining dan kemampuan toilettraining, misalnya dengan mengikutkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan toilettraining anak, misalnya faktor lingkungan, pendidikan ibu, dan lainnya. D. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyadari bahwa penelitian tentang Hubungan antara Komunikasi Orangtua tentang Toilet Training dengan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes memiliki banyak kekurangan. Kendala dalam penelitian ini diantaranya adalah keterbatasan waktu dan alat ukur. 1. Peneliti hanya melakukan penelitian berdasarkan kuesioner saja sehingga tidak dapat mengkaji lebih dalam tentang komunikasi seorang ibu yang anaknya tidak berhasil dalam melakukan toilettraining. 2. Peneliti hanya menggunakan dua variabel yaitu Komunikasi Orangtuatentang ToiletTraining dan Keberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan ToiletTraining, sedangkan masih ada beberapa variabel lain yang mempengaruhiKeberhasilan Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) dalam Melakukan Toilet Training seperti faktor kesiapan anak, sosial dan ekonomi keluarga, tingkat pengetahuan orang tua dan pola asuh. BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan 1. Komunikasi orangtua tentang toilet training pada anak usia prasekolah di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes, paling banyak dalam kategori kurang, yaitu sejumlah 26 responden (38,2%) 2. Sebagian besar anak usia prasekolah (3-65 tahun) di Desa Tegalglagah Kec. Bulakamba Kab. Brebes yang belum berhasil dalam melakukan toilet training, yaitu sejumlah 22 anak (84,6%) 3. Ada hubungan yang signifikan antara komunikasi orangtua tentang toilet training dengan keberhasilan anak usia prasekolah (3-6 tahun) dalam melakukan toilet training di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes dengan nilai korelasi t = 0,495 dan p-value 0,000 < α (0,05). B. Saran 1. Bagi Orangtua Perlunya orangtua untuk meningkatkan komunikasi kepada anak secara dini dalam mengajari toilet training, 17