EFEK FRAKSI ALKALOID DAUN JARONG (Achyrantes aspera linn) PADA VIABILITAS KULTUR SEL MIELOMA MENCIT THE EFFECT OF ALKALOID FRACTION OF JARONG (Achyrantes aspera linn) ON VIABILITY CULTURE MYELOMA CELL MICE Dhevie Kenny Astarina Mahasiswa, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRACT The purpose of this research is to prove that the effect of alkaloid fraction of jarong (Achyrantes aspera linn) can be used as a cure for cancer with invitro on cultured cell of myeloma cell of mice using the method of cell counting. In this research, the percentage of the perceived cell viability of the living myeloma cell is compared with the dead cell using the negative and positive control. This research divided into five group: P0 is control negative,P1 liquid test 1 ppm, P2 liquid test 10 ppm, P3 liqiud test 100 ppm, P4 liquid test 1000 ppm and P5 positive control of 100 ppm colchisin. All groups were repeated four times and incubated for 24 hours in an incubator 95% O2 5% CO2 at temperature of 37 OC. Then the culture which had been treated was taken 0,1cc and give 0,1cc of 4% tripan blue. Later the dead cells and the living cell were calculated using the thoma method with the help of hemositometer. The living cells will be colorless and dead cell will be tinted.The result of assasment of the myeloma cells using hemositometer showed that the cultured cell in the concentration of 100 ppm and 1000 ppm will have lower viability compared with the concentration of 1 ppm, 10 ppm and positive control. In the concentration 1 ppm, the alkaloid fraction of jarong (Achyrantes aspera linn) killed more than 50 percentage of myeloma. The alkaloid fraction of jarong (Achyrantes aspera linn) on the viability of myeloma cell culture of mice will have Lethal Concentration 50 : 0,716 ppm. Key words : viability cell, cultured cell, myeloma, Achyrantes aspera linn. Pendahuluan Kanker merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian terbesar kedua di negara-negara maju di dunia setelah jantung koroner. Laporan World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus kanker diperkirakan sedikitnya akan menjadi dua kali lipat di kebanyakan negara sepanjang 25 tahun mendatang (Siswandono,1983). Pengobatan kanker dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pembedahan, radiasi, kemoterapi, endokrinoterapi dan imunoterapi. Pengobatan terkini, mampu menyembuhkan sepertiga dari penderita kanker melalui pembedahan atau terapi radiasi asal belum terjadi metastase (Gao et al., 2000). Obat kemoterapi atau antikanker sebaiknya memiliki toksisitas yang selektif, namun obat antikanker yang ada saat ini biasanya merusak sel dan menimbulkan toksisitas karena ikut menghambat pertumbuhan sel normal yang proliferasinya cepat seperti sumsum tulang, epitel germinatitum, mukosa saluran pencernaan dan jaringan limfosit. Obat antikanker tersebut membunuh sel kanker melalui mekanisme nekrosis yang dapat menimbulkan inflamasi dan melibatkan sekelompok sel yang lain. Obat antikanker yang ideal adalah yang mampu membunuh sel kanker tanpa membahayakan sel normal dan hingga saat ini belum ada obat antikanker yang memenuhi persyaratan tersebut (Coundry, 1995). Pengembangan obat antikanker dilakukan melalui skrining empiris, desain rasional, penemuan senyawa obat baru maupun terapi genetik. Tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu sumber obat-obatan kemoterapi yang potensial, sehingga saat ini pencarian obat-obatan kemoterapi yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih terus dilakukan. Salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat antikanker di masyarakat adalah (Achyrantes aspera linn) atau yang dikenal dengan nama jarong, jarong lalaki atau remek getih. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia telah menyarankan, mensponsori dan menyetujui penggunanan obat tradisional dari tanaman tropis, karena ketersediaan hayati, biaya produksi dan toksisitas yang rendah serta efek pengenalan metabolisme sekunder dan derifat dari metabolit ini sebagai bahan antikanker yang bermanfaat (Roya and Zoo, 2000). Pelaksanaan program High Throught Screening (HTS) untuk pencarian bahan aktif antikanker dari tanaman asli Indonesia dilakukan terhadap 22 jenis tanaman diantaranya adalah tanaman Jarong (Achyrantes aspera linn) yang digunakan sebagai obat antikanker pada payudara dan kandungan (Sutawijaya, 2001; Nala, 2002). Tanaman Jarong (Achyrantes aspera linn) mengandung berbagai macam zat seperti saponin, alkaloid, betain, akirantin, ramnosa dan glukosa. Saat ini fraksi alkaloid dari daun jarong (Achyrantes aspera linn) masih belum diketahui rumus kimianya sehingga belum diketahui jenis alkaloidnya. Fraksi alkaloid daun jarong (Achyrantes aspera linn) diketahui dapat menghambat siklus pembelahan sel pada stadium metafase (Adyana, 2006). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan bahan tanaman yaitu fraksi alkaloid daun jarong (Achyrantes aspera linn) dan sel mieloma hasil thawing dari sel mieloma mencit tipe P3UI. Tahapan penelitian yang dilakukan yaitu penentuan dosis, pembuatan larutan uji, thawing sel mieloma, penghitungan sel mieloma, pemberian perlakuan, pemanenan sel mieloma dan penghitungan sel mieloma. Penentuan dosis fraksi alkaloid daun jarong sebagai obat anti kanker berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Wurlina (2000), Wurlina dan Sastrowardoyo (2003), Wurlina dkk., (2003) dan Meles (2004) yaitu 100 mg/kg BB secara invivo, sehingga pada penelitian secara invitro yang dihubungkan dengan cairan tubuh mencit yang mencapai kurang lebih 60 persen dari berat badan tikus dan dosis invitro sebesar 10 mg/kg BB yang dihubungkan dengan log dosis obat maka dosis yang digunakan adalah konsentrasi 1 ppm, 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm. Pembuatan larutan uji dilakukan dengan cara ditimbang 50 mg fraksi alkaloid dan dimasukkan ke dalam gelas ukur. Ditambahkan 1 ml larutan DMSO 10 % steril sampai larut. Kemudian ditambahkan aquadest sampai 10 ml dicampur hingga homogen kemudian, dimasukkan ke dalam tabung bertutup steril sehingga diperoleh konsentrasi larutan induk 5000 ppm. Disiapkan tabung bertutup steril empat buah. Diambil 1 ml larutan induk 5000 ppm dimasukkan dalam tabung 1, ditambahkan 4 ml aquadest dan dicampur sampai homogen sehingga diperoleh konsentrasi 1000 ppm. Tabung 2 larutan uji 100 ppm diperoleh dengan cara mengambil 1 ml larutan 1000 ppm, ditambahkan 9 ml aquadest dan dicampur sampai homogen. Hal yang sama dilakukan pada tabung 3 dan 4 sehingga diperoleh larutan uji konsentrasi 10 ppm dan larutan uji konsentrasi 1 ppm. Kontrol negatif hanya diberi 0,1 ml media DMSO 10% ditambahkan 9 ml aquadest, dicampur hingga homogen kemudian diambil 0,1 ml dan ditambahkan 9 ml aquadest dicampur hingga homogen, kemudian dilakukan hal yang sama sebanyak 2 kali lalu dimasukkan ke dalam tabung bertutup steril. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa bila terjadi efek sitotoksik maka efek ini tidak disebabkan oleh medianya. Kontrol positif diperoleh dengan cara memasukkan 50 mg Kolkhisin dalam gelas ukur, ditambahkan 1 ml media DMSO 10% diaduk hingga larut kemudian dilakukan pengenceran dengan metode yang sama seperti pembuatan larutan uji. Thawing dilakukan dengan cara sel mieloma dalam media Rosewell Park Memorial Institut (RPMI) disentifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC. Supernatan dipisahkan dari endapan kemudian sel ditanam dalam media menggunakan campuran FBS 10% pada botol kultur. Pada pembuatan media ditambahkan antibiotik kanamicin, streptomycin dan penicillin untuk mencegah kontaminasi. Selain FBS juga ditambahkan HEPES dan NaHCO3 selanjutnya kultur disimpan dalam inkubator O2 95% dan C025% pada suhu 37oC selama 24 jam. Dari hasil pemeriksaan didapatkan jumlah sel sebanyak 9x105 sel/ml. Jumlah ini dianggap telah mencukupi, sehingga tiap sumuran microwell plate datar 24 lubang dapat diisi 0,2 ml larutan uji dan 0,8 ml sel mieloma selanjutnya kultur disimpan dalam inkubator O2 95% dan C025% pada suhu 37oC selama 24 jam. Kultur sel dipanen dengan merontokkan sel dari dinding tiap sumuran perlakuan kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Setiap perlakuan dimasukkan ke dalam vial kemudian diambil 1ml, ditambahkan dengan pewarna tripan blue 0,4% sebanyak 1ml. Dengan menggunakan teknik penghitungan cara Thoma dibawah mikroskop dihitung persentase viabilitas selnya yaitu jumlah sel yang hidup dibagi dengan jumlah sel keseluruhan (sel hidup dan sel mati) dikali 100% (Meyer and Harvey, 2003). Jarak antara pewarnaan dengan penghitungan sel dilakukan tidak kurang dari 3 menit dan maximum selama 10 menit hal ini untuk menghindari hasil positif palsu (Freshney, 1987). Dihitung jumlah sel hidup (tidak terwarnai) dan jumlah sel yang mati (terwarnai) yang terlihat di daerah hitung hemositometer. Hemositometer memiliki 9 kotak hitung untuk setiap sisinya. Ada dua aturan untuk menghitung sel tersebut, jika sel yang menyentuh garis kiri dan atas dari setiap daerah hitung tersebut dimasukkan daerah hitung maka sel yang menyingung garis kanan dan bawah daerah hitung tidak dimasukkan dalam hitungan. (Meyer and Harvey, 2003). Media yang mengandung sel mieloma terlebih dahulu diencerkan dengan pewarnaan triptan blue 0,4%. Sebelum memasukkan sel yang akan dihitung, hemositometer ditutup dengan cover glass terlebih dahulu dan pengisian sel harus memenuhi tempat yang disediakan. Penghitungan dilakukan dengan perbesaran 100X. Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, data yang didapat dianalisis dengan menggunakan analisis varian satu arah (ANOVA) apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) (Kusriningrum, 1989). Hasil dan Pembahasan Hasil uji Anova menggunakan program SPSS 8.0 Windows didapatkan harga F hitung = 161,264 pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) yang berarti ada perbedaan harga rata-rata hitung antar kelompok perlakuan atau ada perbedaan hambatan pertumbuhan sel mieloma mencit antar kelompok perlakuan. Dari hasil uji LSD diketahui bahwa masing-masing larutan uji memiliki perbedaan dengan larutan kontrol positif (kolkhisin 100 ppm), Semakin besar konsentrasi larutan uji semakin kecil persentase viabilitas sel. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kelompok larutan uji memiliki aktivitas hambatan pertumbuhan terhadap sel kanker (sitostatika) yang merupakan salah satu mekanisme antikanker (Swanson and Pezzuto, 1990). Hasil penelitian efek fraksi alkaloid daun Jarong (Achyrantes aspera linn) pada pemberian 0,2 ml pada masing –masing perlakuan terhadap viabilitas sel mieloma mencit secara in vitro dengan menggunakan bantuan hemositometer dapat dilihat pada tabel 4.1. Pada penelitian ini diketahui bahwa konsentrasi yang dapat membunuh 50 persen sel mieloma yaitu dosis 1 ppm dengan harga LC50 sebesar 0,719 ppm. Hal ini sesuai dengan pendapat Meyer et al. (1982) bahwa bahan uji dengan LC50 dibawah 1000 ppm secara umum dapat dikatakan bersifat sitotoksik sedangkan berdasarkan kriteria National Cancer Institut (NCI) ekstrak yang aktif sebagai anti kanker adalah ekstrak dengan LC50 ≤ 20 ppm (Swanson and Pezzuto, 1990). Pada Tabel 4.2. diketahui pada pemberian dosis 1 ppm fraksi alkaloid daun jarong (Achyrantes aspera linn) telah dapat membunuh sel kanker lebih dari 50 persen. Menurut Adyana (2006) pemberian fraksi alkaloid daun jarong (Achyrantes aspera linn) pada dosis 100 ppm dan 1000 ppm berpengaruh pada siklus sel dengan menghambat pembelahan mitosis sel mieloma pada stadium metafase. Chabner et al. (2001) menyatakan bahwa Alkaloid yang berasal dari tanaman vinka bekerja spesifik pada siklus sel dengan menghambat proses mitosis. Alkaloid dari tanaman juga mempunyai kemampuan mengikat tubulin yaitu suatu protein yang menyusun mikrotubulus dengan menghambat atau memblokade polimerasi protein ke dalam mikrotubulus. Golongan alkaloid tanaman dapat menyebabkan gangguan pada membran sel sehingga berakibat komponen penyusun membran akan berubah dan proses fisiologi membran akan terganggu dengan terjadi kerusakkan dan pengkerutan pada membran tersebut (Gill et al., 2001; Jujena et al., 2001). Kematian sel mieloma diatas 50 persen terdapat pada dosis 1 ppm diduga bahwa pemberian fraksi alkaloid daun jarong (Achyrantes aspera linn) pada dosis 1 ppm telah mengakibatkan kematian sel mieloma melalui proses degenerasi, nekrosis dan apapotosis. Kesimpulan Ekstrak fraksi Alkaloid daun Jarong (Achyrantes aspera linn) mempunyai aktivitas hambatan pertumbuhan terhadap kultur sel mieloma mencit dan konsentrasi Alkaloid daun Jarong (Achyrantes aspera linn) yang paling mendekati dengan kontrol positf (kolkhisin 100ppm) adalah konsentrasi 100 ppm dan 1000 ppm. Pada konsentrasi 1 ppm fraksi Alkaloid daun Jarong (Achyrantes aspera linn) dapat menyebabkan kematian sel mieloma mencit lebih dari 50 persen sebesar 0,716 ppm. Ucapan Terima Kasih Bapak Dr. D.K.Meles, drh., MS dan Ibu Dr. Wurlina, drh., MS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat ikut serta dalam penelitian ini. Daftar Pustaka Adyana, I.D.P. 2006. Efek Anti Telomerase Fraksi Alkaloid Terhadap Pembelahan dan Mitosis Sel Mieloma Mencit. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Chabner, B.A., D.P.Rian, L.Paz-Ares, R.G. Carbonero, and P. Calabresi. 2001. Antineoplastic Agents In Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 10th. Edition. McGraw-Hill. Medical Publishing Division. P.1417-1421. Coundry, E.V. 1995. Cancer Cell. W.B. Sounder Company Philadelpia and London. P.136-144. Gao,X.Y., D.W.Wang, and F.M. Li. 2000. Determination of Acdysterone in Achyrantes Bidentata and Its Activity Promoting Proliferation of Osteoblast-Like Cell. Yao Xue Xue Bao. Nov:35(11) : 868-870. Freshney, L.R. 1987. Culture of Animal Cell : A Manual Basic of Technique . 2nd Edition. Alan R. Liss Inc. New York. p. 227-292. Gao,X.Y., D.W.Wang, and F.M. Li. 2000. Determination of Acdysterone in Achyrantes Bidentata and Its Activity Promoting Proliferation of Osteoblast-Like Cell. Yao Xue Xue Bao. Nov:35(11) : 868-870. Gill, S.M.K., N. Balasioner, and P. Parte. 2001. Intermitent Treatment With Taxmoxiven on Reproduction in Male Rat. Asian. J. Andri 3(2)-P 155-158. Jujena, P., S. M.K.Gill., S. Dsolisa., V. Padwai., N. Balasimor., M. Aleem, and Zool. 2001. Anti Fertility Effect Estradiol in Adult Female Rat. J. Endokrinol. Invest 249(8): 598-607. Meles , D.K. 2004. Efek Antimitosis Fraksi Alkaloid Achyrantes Aspera linn Pada Pembelahan Sel Embrio. Disertasi, Pasca Sarjana Universitas Airlangga. Meyer, D.J. and J.W. Harvey. 2003. Veterinary Laboratorium Medicine. Interpertation and Diagnosis. W.B. Sounders Company. Philadelphia. Nala, N. 2002. Obat Tradisional Usada Penyakit kanker. Upada Denpasar Roya, G. and P.S.R. Zoo. 2000. Anticancer Compount From Tissue Culture of Medicinal Plants of Herbal. Medicinal Plants. Vol 7(2): 71-96. Siswandono. 1983. Mekanisme Kerja Obat-obat Anti Kanker. Buletin ISFI Jatim. Tahun X. No. 1-2. Hal. 3. Sutawijaya. I.K. 2001. Berbagai Cara Pengobatan Menurut Lontar Usada. Pengobatan Tradisional Bali. CV Indra Jaya. Singaraja Bali. Swanson, S.M. and J.M. Pezzuto. 1990. Bioscreening Tecnique for Cytotoxic Potential and Ability to Inhibit Macromolecule Biosynthesis in : Thomson, E. B. Drug Bio Screening : Drug Evaluation Tecnique in Pharmacology. VCH publishers Inc. New York. p. 273- 295. Wurlina, 2000. Efek Antifertilitas Infusa Daun Achyranthes aspera linn Terhadap Siklus Birahi Pada Mencit, Laboratorium. Ilmu Kemajiran. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Wurlina., W. Sastrowardoyo, dan D.K. Meles. 2003. Pengaruh Antimitosis Ekstrak Etanol Achyranthes aspera linn Terhadap Perkembangan Embrio (Cleavage) Mencit (Mus musculinus). Lembaga Penelitian Universitas Airlangga . Wurlina dan W. Sastrowardoyo. 2003. Efek Alkaloid Daun Acyrantes aspera linn Terhadap Perkembangan Sel embrio (Cleavage) Mencit (Mus musculinus)., Lembaga Penelitain Universitas Airlangga.