Bioakumulasi Dan Distribusi 137 Cecium Pada

advertisement
BIOAKUMULASI DAN DISTRIBUSI 137CESIUM PADA IKAN KERAPU BEBEK
(Cromileptes altivelis) SERTA PENGARUHNYA TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGIS
KETY MELINDA1,, HENY SUSENO2,, WAHYU PRIHATINI1
1
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan. Jl. Pakuan , Bogor 16143, Jawa Barat, Indonesia.
Tel./Fax. +62-251-8312206, email: [email protected]
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jl. Lebak Bulus Raya No. 49, Jakarta Selatan, Indonesia.
Tel./Fax. +62-21-7659409, email: [email protected]
2
Abstrak. Melinda K, Suseno H, Prihatini W. 2015. Bioakumulasi dan Distribusi 137Cesium pada Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes
altivelis) serta Pengaruhnya terhadap Struktur Histologis. Ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis merupakan komoditas konsumsi
ekspor bernilai ekonomi tinggi. Tingginya permintaan akan ikan kerapu bebek perlu ditunjang oleh kegiatan budidaya di perairan
pesisir, namun kegiatan ini menghadapi berbagai ancaman, antara lain pencemar radionuklida 137Cesium (137Cs) dari limbah reaktor
nuklir. Akumulasi pencemar pada ikan terjadi karena adanya kontak berkelanjutan dengan medium yang mengandung pencemar.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015, di Laboratorium Radioekologi Kelautan, Pusat Teknologi Keselamatan dan
Metrologi Radiasi (PTKMR), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta Selatan. Penelitian mencakup analisis tingkat
bioakumulasi, serta distribusi 137Cs pada tubuh ikan kerapu bebek. Radionuklida 137Cs dengan konsentrasi 2 Bq/mL diinduksikan kepada
dua kelompok ikan, yaitu ikan ukuran sedang (rataan bobot 65,8 gr), dan ikan ukuran kecil (rataan bobot 34,7 gr). Penghitungan nilai
Faktor Konsentrasi pada kondisi steady state (FKss) dilakukan untuk menentukan tingkat bioakumulasi 137Cs pada ikan. Distribusi 137Cs
pada tubuh ikan dianalisis dengan menghitung prosentase akumulasi 137Cs pada berbagai organ tubuh. Hasil penelitian menunjukkan
nilai FKss pada kelompok ikan berukuran sedang adalah 1,23, sementara pada ikan kecil yaitu 2,01. Artinya ikan berbobot kecil
mengakumulasi 137Cs sebanyak 2,01 kali dari konsentrasi 137Cs di medium air, hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan pada ikan yang
berbobot lebih besar. Akumulasi 137Cs pada ikan kerapu bebek paling banyak terdistribusi di otot (daging), yaitu sebesar 63,34%. Studi
histologis menjumpai kondisi nekrosis dan pengecilan diameter jaringan otot, serta degenerasi melemak dan nekrosis pada jaringan hati.
Temuan ini berimplikasi pada perlunya kewaspadaan mengonsumsi ikan kerapu bebek dari perairan tercemar 137Cs, karena dampak
fenomena biomagnifikasi 137Cs dalam daging ikan terhadap manusia.
Kata kunci: bioakumulasi, 137Cesium, Cromileptes altivelis, Faktor Konsentrasi.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan perairan
karang Indonesia, yang berpotensi sebagai ikan konsumsi
bernilai ekonomi tinggi. Permintaan pasar domestik
maupun ekspor ikan kerapu dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Salah satu jenis ikan kerapu yang memiliki
nilai jual tinggi, adalah kerapu bebek (Cromileptes
altivelis). Harga ekspor ikan kerapu bebek berkisar 45
dollar AS per kilogramnya (Jitunews 2015). Tingginya
permintaan terhadap ikan kerapu tidak dapat dipenuhi
hanya dengan mengandalkan hasil tangkap dari alam,
namun harus diupayakan melalui budidaya (BBAP
Situbondo 2013). Budidaya ikan kerapu umumnya
menggunakan metode keramba jaring apung, dan salah satu
lokasi budidaya tersebut terletak di Teluk Jakarta.
Budidaya ikan kerapu di perairan pesisir menghadapi
berbagai ancaman, antara lain cemaran radioaktif
137
Cesium (137Cs). Secara global, saat ini banyak
perdebatan mengenai keamanan bahan pangan, termasuk
standar batas aman paparan radioaktif 137Cs. Di Jepang,
standar batas aman 137Cs pada ikan adalah 600 Bq/kg,
sementara di Eropa 1250 Bq/kg. Acuan dalam Codex
menyebutkan, standar kontaminasi 137Cs dalam bahan
pangan adalah 1000 Bq/kg (Codex 2011). Kegiatan
operasional riset reaktor nuklir di Kawasan Nuklir Serpong
(KNS) berpotensi melepaskan produk fisi, termasuk 137Cs,
ke lingkungan. Pelepasan radioaktif ke lingkungan
umumnya melalui udara, yang selanjutnya terdeposisi ke
tanah, dan air. Perairan terdekat dengan KNS, yaitu Sungai
Cisadane yang bermuara ke Teluk Jakarta sangat mungkin
terpapar 137Cs, kemudian terakumulasi dalam tubuh biota di
eksosistem tersebut (Suseno 2013).
Kerapu bebek merupakan jenis ikan predator, sehingga
berpotensi besar mengakumulasi logam berat karena
adanya fenomena biomagnifikasi yang sejalan dengan
rantai makanan. Logam berat tidak dapat dimetabolisme
tubuh; ketika ikan kecil yang mengakumulasi logam berat
dimangsa ikan predator, logam tersebut ikut terakumulasi
dalam tubuh ikan predator. Akumulasi logam berat pada
ikan terjadi karena adanya kontak berkelanjutan antara ikan
dengan medium yang mengandung pencemar. Masuknya
logam berat ke tubuh ikan dapat berlangsung melalui tiga
cara, yaitu melalui pakan, insang, dan difusi pada
permukaan kulit (Sahetapy 2011).
Peristiwa bioakumulasi 137Cs pada avertebrata telah
diteliti Suseno (2013) pada siput air tawar (Pila
ampullacea). Hasil penelitian menunjukkan nilai Faktor
Konsentrasi 137Cs pada P. ampullacea adalah 13,2-27,6
mL/g. Kemampuan akumulasi P. ampullacea dipengaruhi
oleh ukuran tubuhnya, namun tidak terkait dengan pH air.
Malek et al. (2004) melaporkan, pada ikan Silorus asotus
sebanyak 75% akumulasi 137Cs dijumpai di otot (daging),
dan tingkat akumulasinya lebih tinggi pada ikan juvenil
dibandingkan ikan dewasa. Pada ikan Oncorhynchus
mykiss, distribusi 137Cs tertinggi dijumpai di otot, yaitu
sebanyak 52% pada masa akhir uptake, dan 76% pada masa
depurasi (Baudin et al. 2000). Selain otot, organ hati juga
sangat rentan terhadap berbagai pencemar, dan sering
mengalami kerusakan jaringan. Pada ikan kerapu bebek,
logam timbal (Pb) diketahui menimbulkan kerusakan
berupa degenerasi melemak, degenerasi hidrofik, hemoragi,
kongesti, dan nekrosis sel-sel hati (Triadayani dkk., 2009)
2
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Mei 2015,
bertempat di Laboratorium Radioekologi Kelautan, Pusat
Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR),
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jl. Lebak Bulus
Raya No.49, Jakarta Selatan.
Cara kerja
Aklimatisasi
Proses aklimatisasi dilakukan selama 7 hari, dalam
akuarium berisi 200 L air laut bersih. Akuarium dilengkapi
dengan sistem penyaring bertingkat, skimmer, dan aerator.
Selama aklimatisasi, ikan kerapu bebek diberi pakan ikan
cere pada pagi dan sore hari.
Bioakumulasi dan Depurasi 137Cs
Usai aklimatisasi, sebanyak 6 ekor ikan dipilah menjadi
dua kelompok masing-masing 3 ekor berdasarkan bobot
tubuh, yaitu rata-rata 65,8 gr, dan rata-rata 34,7 gr. Setiap
kelompok ikan uji dimasukkan ke dalam akuarium terpisah,
berisi 50 L air laut bersih dan telah dipaparkan 137Cs
dengan konsentrasi 2 Bq/mL (Retno 2011). Proses uptake
dilakukan selama 11 hari. Satu ekor ikan dijadikan ikan
kontrol, dimasukkan dalam akuarium terpisah, dan tidak
dipaparkan 137Cs.
Usai tahap uptake, langsung dilanjutkan tahap depurasi
selama 9 hari. Depurasi adalah upaya pelepasan pencemar
dari tubuh ikan, dengan cara memindahkan ikan ke
akuarium berisi air laut bersih (tanpa 137Cs). Setiap hari air
akuarium diganti dengan air laut bersih yang baru.
Konsentrasi 137Cs yang tertinggal dalam tubuh ikan (nilai
retensi) diukur setiap hari, dengan menggunakan detektor
NaI(Tl), lalu dicatat.
Distribusi 137Cs
Tahap ini dilakukan setelah tahap uptake dan depurasi
selesai. Identifikasi lokasi distribusi bioakumulasi 137Cs
dilakukan dengan cara membedah ikan, dan mengambil
beberapa organ tubuhnya. Organ-organ tubuh yang
dideteksi, yaitu: 1) otak, 2) jantung, 3) hati, 4) organ dalam,
5) insang, 6) otot. Masing-masing organ dipisahkan, dan
disimpan dalam botol vial, kemudian konsentrasi 137Cs
diukur dengan menggunakan spektrometer gamma HPGA.
Studi Histologis Otot dan Hati
Organ hati dan otot dipisahkan untuk dibuat sediaan
histologis. Sebagai pembanding dibuat pula sediaan dari
ikan kerapu kontrol. Jaringan hati dan otot dipotong
melintang berukuran 1 cm2. Metode pembuatan sediaan
histologis mengacu pada Muntiha (2001) yang
dimodifikasi.
Analisis data
Nilai Faktor Konsentrasi (FK)
Data konsentrasi 137Cs dalam tubuh ikan selama tahap
uptake dan depurasi, dianalisis untuk mendapatkan nilai
FK. Nilai ini digunakan untuk menentukan adanya
pencemar di lingkungan, dan respons biota terhadap
pencemar tersebut. Rumus penghitungan nilai FK (Whicker
and Schultz, 1982), yaitu:
FK = konsentrasi perunut (Bq) / bobot ikan (g)
konsentrasi perunut (Bq) / volume air (mL)
Laju pengambilan 137Cs
Laju pengambilan 137Cs ke tubuh ikan dihitung dengan
persamaaan (Luoma et al. 2005), sebagai berikut:
dCt
 ku Cw  keCt
dt
dengan: Ct = konsentrasi 137Cs di tubuh ikan pada waktu
t; Cw = konsentrasi 137Cs di lingkungan; ku = konstanta
uptake 137Cs (per hari); ke = konstanta pelepasan 137Cs (per
hari); t = waktu (hari).
Nilai FK tunak (steady state)
Nilai FK kondisi tunak (steady state, FKss), adalah rasio
ku terhadap ke. Kondisi ini adalah saat kuantitas
pengambilan (uptake) 137Cs dari lingkungan ke dalam
tubuh, sama dengan kuantitas pelepasan 137Cs dari tubuh.
Jika selama proses uptake 137Cs kondisi tunak belum
tercapai, nilai FKss dapat dihitung dengan rumus (Luoma
et al 2005) sebagai berikut:
ku
FKss 
ke
Nilai FKss kemudian digunakan dalam pemodelan, yaitu
pendugaan nilai FK pada waktu t, dengan rumus (Luoma et
al. 2005) yaitu:
FKt = FKss (1 – e ke.t)
Jika kontak 137Cs (proses uptake) berhenti, dan kuCw =
0,
penghitungan
laju
pelepasan
(depurasi)
dirumuskan sebagai berikut (Luoma et al. 2005):
dCt
 k e Ct
dt
dengan Ct = konsentrasi 137Cs di tubuh ikan pada waktu
t; ke = konstanta pelepasan 137Cs (per hari); t = waktu (hari).
Distribusi 137Cs
Analisis distribusi akumulasi 137Cs di dalam tubuh ikan,
dilakukan dengan cara menghitung rasio konsentrasi 137Cs
pada suatu organ, terhadap konsentrasi total 137Cs di tubuh
ikan (Malek et al. 2004)
Kondisi Histologis
Analisis histologis akibat bioakumulasi 137Cs,
dilakukan dengan cara membandingkan kondisi sediaan
jaringan hati dan otot pada ikan percobaan, dan pada ikan
kontrol. Untuk melengkapi, dilakukan pula pendugaan
dengan menggunakan perangkat lunak Erica Assessment
tools. Perangkat lunak ini digunakan untuk melakukan
pendugaan resiko radiasi pada suatu ekosistem dan biota
laut, dengan pendekatan Erika terpadu. Parameter yang
digunakan dalam perhitungan, antara lain rasio konsentrasi,
koefisien distribusi, persentase tanah, berat kering atau
3
sedimen, koefisien konversi dosis, faktor bobot radiasi, dan
faktor hunian (Erica tools, 2015).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bioakumulasi 137Cs pada Cromileptes altivelis
Hasil pengukuran nilai Faktor Konsentrasi (FK) selama
masa uptake 137Cs pada kedua kelompok ikan uji,
ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan gradien laju pengambilan
waktu paparan
137
Prediksi nilai faktor konsentrasi kondisi tunak (FKss)
Analisis pemodelan dengan menggunakan nilai FKss
bertujuan untuk memprediksi waktu terjadinya kondisi
tunak (steady state) pada suatu biota, jika terus menerus
terpapar oleh pencemar. Hasil perhitungan nilai FKss ikan
kelompok I adalah 1,23, sedangkan kelompok II yaitu 2,01.
Artinya ikan yang berbobot lebih besar akan
mengakumulasi 137Cs sebanyak 1,23 kali dari
konsentrasinya di air, sementara ikan lebih kecil akan
mengakumulasi 137Cs lebih tinggi, yaitu 2,01 kali dari
konsentrasinya di air, jika kontak dengan pencemar 137Cs
terus berkelanjutan. Kondisi tunak pada ikan lebih besar
akan tercapai pada hari ke 5 (Gambar 3), sedangkan ikan
lebih kecil akan mencapai tunak pada hari ke 33 (Gambar
4).
Cs dengan
Ikan dengan bobot tubuh lebih kecil memiliki nilai FK
lebih tinggi dibandingkan ikan berbobot lebih besar. Slope
uptake (ku) pada kelompok I (bobot 65,8 g) yaitu 0,09,
sedangkan pada kelompok II (bobot 34,7 g) yaitu 0,18.
Artinya ikan yang berbobot lebih besar mengakumulasi
137
Cs sebanyak 0,09 kali dari konsentrasi 137Cs di air,
sementara ikan lebih kecil mengakumulasi lebih banyak,
yaitu 2 kali lipat dari ikan yang berbobot lebih besar dari
konsentrasi 137Cs di air, pada waktu yang sama.
Depurasi 137Cs pada Cromileptes altivelis
Usai tahap uptake, langsung dilanjutkan dengan tahap
depurasi dalam medium air laut bersih. Berdasarkan hasil
analisis, laju depurasi (nilai ke) ikan kelompok I (bobot
65,8 g) yaitu 0,08, sedangkan ikan kelompok II (bobot 34,7
g) yaitu 0,09 (Gambar 2). Tidak tampak adanya perbedaan
signifikan di antara kedua kelompok ikan uji, dalam hal
laju pelepasan 137Cs dari tubuhnya.
Gambar 2. Hubungan gradien laju pelepasan 137Cs dengan waktu
paparan
Gambar 3. Pendugaan FKss
berbobot 65,8 g
137
Gambar 4. Pendugaan FKss
berbobot 34,7 g.
137
Cs pada Cromileptes altivelis
Cs pada Cromileptes altivelis
Distribusi 137Cs dalam tubuh ikan kerapu bebek
Hasil analisis distribusi akumulasi 137Cs pada berbagai
organ tubuh ikan uji, ditampilkan pada Gambar 5.
Distribusi terbanyak akumulasi 137Cs pada ikan kerapu
bebek adalah di jaringan otot, yaitu sebanyak 63,34%.
Gambar 5. Distribusi akumulasi
altivelis.
137
Cs pada tubuh Cromileptes
4
Kondisi Histologis Jaringan Otot dan Hati
Hasil pengamatan sediaan jaringan otot ikan
kontrol ditampilkan pada Gambar 6a, sedangkan untuk ikan
uji ditampilkan pada Gambar 6b.
Gambar 6. Kondisi histologis jaringan otot C. altivelis
(perbesaran 400x).
Keterangan: A) ikan kontrol; B) ikan uji.
Pada sediaan hati terlihat adanya kejadian
nekrosis, dan degenerasi melemak pada hati ikan uji,
ditampilkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Jaringan hati C. altivelis (perbesaran 400x): A) ikan
kontrol; B) ikan uji.
PEMBAHASAN
Bioakumulasi 137Cs dan prediksi kondisi tunak pada
Cromileptes altivelis
Pencemaran 137Cs berbahaya bagi ekosistem karena
dapat menjadi konsentrat dalam rantai makanan, terlebih
lagi sifat kimiawinya serupa dengan ion K+, sehingga 137Cs
sangat mudah terakumulasi dalam tubuh organisme
(Cahyana 2012). Pada penelitian ini tampak perbedaan
tingkat akumulasi 137Cs di antara kedua kelompok ikan
Cromileptes altivelis yang diuji, yaitu ikan berbobot lebih
kecil mampu mengakumulasi 137Cs dua kali lebih tinggi
dibandingkan ikan berbobot lebih besar (Gambar 1). Ikan
kecil berbobot rata-rata 34,7 g mengakumulasi 137Cs
sebanyak 2,01 kali dari konsentrasinya di air. Hal ini
diduga disebabkan oleh perbedaan intensitas metabolisme
tubuh ikan. Ikan berbobot lebih kecil, merupakan ikan
muda/juvenil yang memiliki laju metabolisme lebih intensif
(Torres et. al. 2012), termasuk dalam metabolisme 137Cs,
sehingga akumulasi 137Cs yang berlangsung melalui sistem
respirasi juga jauh lebih cepat. Secara alamiah tubuh akan
mengekskresikan senyawa-senyawa yang terbawa masuk,
namun tidak berguna bagi tubuh. Kuantitas senyawa yang
diekresikan, maupun laju ekskresi tidak selalu sebanding
dengan laju masuknya senyawa tersebut ke tubuh, sehingga
terjadilah peningkatan konsentrasi 137Cs dalam tubuh ikan
(Gambar 1) yang disebut sebagai bioakumulasi.
Peristiwa bioakumulasi adalah kejadian peningkatan
konsentrasi suatu senyawa secara progresif pada
organisme, yang disebabkan laju pengambilan senyawa
tersebut lebih besar dibandingkan pelepasannya (Fisher
2002). Sebagai perbandingan terhadap ikan kerapu bebek,
pada kerang hijau Perna viridis berbobot < 20 g mampu
mengakumulasi 137Cs sebanyak 1,45 kali dari
konsentrasinya di air, pada kondisi tunak (Retno 2011).
Pada keong mas Pomacea canaliculata yang berukuran 3,9
cm, bahkan mampu mengakumulasi 137Cs sebanyak 43,49
kali dari konsentrasinya di air (Yandra et al. 2013).
Fenomena biomagnifikasi 137Cs sangat mungkin terjadi,
sejalan dengan rantai makanan dalam ekosistem perairan.
Ikan predator yang berada pada tingkat trofik tertinggi
rantai makanan, umumnya merupakan ikan konsumsi bagi
manusia, sehingga monitoring tingkat radioaktif pada
organisme trofik tertinggi perlu diperhatikan (Doi et al.
2012).
Berdasarkan hasil analisis pemodelan nilai FK kondisi
tunak (FKss), dapat diprediksi bahwa ikan kerapu bebek
berukuran bobot sekitar 65,8 g akan mencapai kondisi
tunak mulai hari ke 5 setelah terpapar 137Cs (Gambar 3),
sementara ikan yang lebih kecil (bobot sekitar 34,7 g) baru
akan mencapai kondisi tunak pada hari ke 33 (Gambar 4).
Ikan dengan bobot tubuh lebih kecil umumnya akan
mencapai kondisi tunak lebih lambat dibandingkan ikan
berukuran lebih besar. Ikan kecil (juvenil) memiliki
aktivitas metabolisme lebih intensif, dan lebih mampu
meregulasi 137Cs baik melalui proses metabolisme,
ekskresi, maupun detoksifikasi (Kojadinovic 2007).
Kondisi fisiologis tersebut menyebabkan ikan juvenil lebih
mampu mentoleransi peningkatan konsentrasi 137Cs dalam
tubuhnya, sehingga kondisi tunak akan tercapai dalam
5
waktu lebih lambat dibandingkan dengan ikan besar (ikan
dewasa). Pada kondisi tunak, ikan berupaya melakukan
ekskresi, dan/atau detoksifikasi, untuk menyeimbangkan
kandungan 137Cs dalam tubuh, agar dapat mentoleransi
dampak radiasinya (Barka 2012). Daya toleransi terhadap
akumulasi 137Cs yang lebih tinggi pada ikan kecil,
menyebabkan mereka menjadi lebih beracun jika
dikonsumsi manusia, karena kandungan 137Cs per bobot
tubuh ikan kecil lebih tinggi dibandingkan pada ikan
ukuran
besar.
Kemampuan
suatu
organisme
mengakumulasi senyawa pencemar juga dipengaruhi oleh
species-specific capacity (Cardoso et al. 2009). Sebagai
perbandingan, ikan juvenil Silorus asotus berbobot 14-25
g, dilaporkan mencapai kondisi tunak 1,5 hari setelah
terpapar 137Cs (Malek et al. 2004).
Depurasi 137Cs pada Cromileptes altivelis
Hasil analisis laju depurasi menunjukkan, bahwa antar
kedua kelompok ikan uji tidak berbeda nyata laju pelepasan
137
Cs dari tubuh. Laju pelepasan suatu senyawa pencemar
tidak dipengaruhi oleh bobot tubuh organisme, namun oleh
volume air yang mengalir per satuan waktu di lingkungan
organisme tersebut berada (Retno 2011). Pada penelitian
ini laju air, dan volume air adalah sama untuk kedua
kelompok, sehingga laju pelepasan 137Cs pada kedua
kelompok ikan tidak berbeda nyata. Temuan pada
penelitian ini memberi implikasi penting, yaitu ikan kerapu
bebek dengan bobot lebih kecil berpotensi menjadi lebih
berbahaya jika dikonsumsi manusia, karena memiliki
tingkat akumulasi 137Cs dua kali lebih tinggi, namun laju
pelepasannya tidak berbeda dengan ikan yang berbobot
lebih besar. Perlu kewaspadaan mengonsumsi daging ikan
yang berasal dari perairan tercemar, agar pencemar yang
terakumulasi dalam tubuh ikan tidak berpindah ke tubuh
manusia.
glukosa untuk penyediaan energi bagi aktivitas sel-sel
tubuh (Fried and Hademenos 2005). Ion K+ banyak
ditemukan dalam sel-sel otot, terkait perannya dalam
pengaturan kontraksi otot. Penggantian ion K+ oleh 137Cs
dapat menyebabkan gangguan pada struktur dan fungsi
jaringan otot, yang terkait dengan jaringan saraf. Otot
merupakan jaringan target 137Cs, disebabkan cesium
mampu bersaing dengan ion K+ terhadap binding site K+
pada protein esensial (Hampton et al. 2004). Penggantian
ion K+ oleh 137Cs meskipun sedikit, dapat berdampak pada
sel maupun jaringan tubuh ikan. Hal ini disebabkan cesium
tidak dapat menggantikan peran K+ dalam aktivasi
beberapa enzim, sehingga berdampak toksik pada tubuh
(Gilbert and Pessala 2012).
Lokasi distribusi 137Cs terbanyak berikutnya dalam
tubuh kerapu bebek, adalah pada organ-organ dalam
(11,87%), dan hati (10,42%). Hal ini diduga juga
dipengaruhi oleh kemiripan kimiawi 137Cs dengan K+.
Kalium banyak diabsorbsi di jaringan usus dan hati, karena
berperan untuk metabolisme karbohidrat, yang mengubah
glukosa menjadi glikogen di hati (Haas 2000). Meskipun
konsentrasi pencemar di lingkungan rendah, namun dapat
memengaruhi jaringan tubuh. Dampak pencemar logam
berat terhadap jaringan tubuh tidak hanya ditentukan oleh
konsentrasinya di lingkungan, tetapi juga dipengaruhi oleh
peran logam tersebut dalam metabolisme tubuh, serta
kuantitas logam yang dapat diabsorbsi dan dieksresikan
oleh tubuh (Jakimska et al. 2011). Distribusi 137Cs di insang
ikan kerapu bebek sebanyak 7,02%, tidak jauh berbeda
dengan temuan Zhao et al. (2001) pada ikan Lutjanus
argentimaculatus, yang mendapati kurang dari 10%. Insang
adalah organ pertama yang kontak langsung dengan 137Cs
di lingkungan secara terus menerus, namun senyawa yang
diabsorbsi akan langsung ditransportasikan ke bagian
lainnya di tubuh ikan.
Distribusi akumulasi 137Cs
Setiap jenis logam memiliki kecenderungan berbeda
saat berdistribusi, dan terakumulasi dalam tubuh
organisme. Logam cesium lebih banyak terakumulasi di
otot (Malek et al. 2004), sementara stronsium cenderung
terakumulasi pada tulang. Jaringan otot (daging) ikan
merupakan bagian terbesar dari bobot tubuh ikan, dan
merupakan bagian tubuh yang banyak dikonsumsi manusia.
Karena memiliki sifat kimiawi mirip dengan ion K+, maka
137
Cs dapat menggantikan posisi K+ dalam sel, dan
terakumulasi dalam tubuh. Konsentrasi K+ yang tinggi
diperlukan untuk sintesis protein, glikolisis, dan
fotosintesis. Paparan sejumlah besar 137Cs dalam tubuh
dapat menyebabkan hiperiritabilitas, dan kejang-kejang,
karena hilangnya ion-ion K+ secara berlebihan dalam selsel saraf (Fried and Hademenos 2005).
Temuan dari penelitian ini menunjukkan, bahwa pada
ikan kerapu bebek distribusi 137Cs terbanyak dijumpai di
otot, yaitu sebesar 63,34% (Gambar 5). Hasil ini tidak jauh
berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya (Baudin et
al. 2001; Zhao et al. 2001; Malek et al. 2004). Diduga
tingginya distribusi 137Cs di jaringan otot disebabkan oleh
kemiripan sifat kimia 137Cs dengan K+. Ion-ion K+ berperan
penting merangsang iritabilitas otot, dan pemecahan
Kondisi Histologis Jaringan Otot dan Hati
Kerja sistem otot tidak terpisahkan dari sistem
saraf yang erat kaitannya dengan peristiwa pompa ion
Na+K+, dan memengaruhi kelistrikan pada sel-sel saraf
dalam menerima dan menghantarkan impuls.
Penggantian ion-ion K+ oleh 137Cs menyebabkan
gangguan pada struktur dan fungsi jaringan otot, yang
terkait dengan jaringan saraf. Pada ikan yang terpapar
137
Cs, jaringan otot tampak mengalami pengecilan diameter
berkas otot, dan nekrosis (Gambar 6b). Pengecilan
diameter berkas otot diduga disebabkan kejadian atropi,
yaitu pengecilan ukuran sel karena berkurangnya substansi
sel. Atropi dapat terjadi akibat penurunan sintesis protein.
Adapun kejadian nekrosis adalah kematian sel, karena
lisosom mengeluarkan enzim ke sitoplasma yang
menyebabkan membran plasma rusak, dan isi sel keluar
(Kumar et.al., 2013).
Berdasarkan hasil analisis Erica assessment tools
pada penelitian ini, diprediksi akan terjadi peningkatan
lipoperoksida pada hati dan otot ikan kerapu bebek, jika
terus terpapar 137Cs. Pada hasil pengamatan sediaan hati
ikan uji (Gambar 7b) terlihat adanya kejadian nekrosis, dan
degenerasi melemak. Degenerasi melemak sering terjadi di
hati, karena organ ini berperan dalam metabolisme lemak.
6
Degenerasi melemak dapat disebabkan, antara lain oleh
adanya toksin, ataupun malnutrisi protein (Sudiono dkk.,
2001).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada staf
Laboratorium Radioekologi Kelautan PTKMR, BATAN
atas penggunaan sarana penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Baudin J, Adam C, Garnier-Laplace J. 2000. Dietary uptake, retention,
and tissue distribution of 54Mn, 60Co, and 137Cs in the rainbow trout
(Oncorhyncus mikiss walbaum). Water Res 34 (11): 2869-2878.
BBAP [Balai Budidaya Air Payau Situbondo]. 2013. Budidaya Kerapu di
Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Air Payau, Situbondo.
Barka S. 2012. Contribution of X-ray spectroscopy to marine
ecotoxicology: Trace metal bioaccumulation and detoxification in
marine invertebrates. In: Begum G (ed) Ecotoxicology. InTech,
Rijeka, Croatia http://www.intechopen.com
Cahyana C. 2012. Model sebaran radionuklida antropogenik di laut. Jurnal
Teknik Pengelolaan Limbah 15(1): 17-24.
Cardoso PGAI, Lillebo E, Pereira A, Duarte C, Pardal MA. 2009.
Different mercury bioaccumulation kinetics by two macrobenthic
species: the bivalve Scrobicularia plana and the polychaete Hediste
diversicolor. Mar Environ Res 68 (1): 1-22.
Codex. 2011. Codex Guideline Levels for Radionuclides in Foods
Contamined Following a Nuclear or Radiological Emergency. Codex
Secretariat.12.
Doi H, Takahara T, Tanaka K. 2012. Trophic position and metabolic rate
predict the long-term decay process of radioactive Cesium in fish: A
meta-analysis.
PLoS
ONE
7(1):
e29295.
doi:10.1371/journal.pone.0029295
Erica tools. 2015. Erica Assessment Tool. http://www.erica-tool.eu/erica.
Fisher NS. 2002. Executive Summary “CIESM Workshop Monographs
19, CIESM Workshop Monograph s Metal and Radionuclides
Bioaccumulation in Marine Organisms. Monaco.
Fried HG, Hademenos GJ. 2005. Schaum’s Outlines of Theory and
Problem of Biology. Penerj.: Tyass D. Erlangga. Jakarta.
Gilbert Y, Pessala P. 2012. Cesium Formate and Zinc BromideComparative Hazzard Assessment and HSE Profiles. GAIA
Consulting OY.
Haas ME. 2000. Role of Potassium in Maintining Health.
http://hkpp.org/patients/potassium-health. [8 Juli 2015].
Hampton CR, Bowen HC, Broadley MR, Hammond JP, Mead A, Payne
KA, Pritchard J, White PJ. 2004. Cesium toxicity in Arabidopsis.
Plant Physol 136 (3): 3824-3837.
Jakimska A, Konieczka P, Skora K, Namiesnik J. 2011. Bioaccumulation
of metals in tissues of marine animal, Part 1: The role and impact of
heavy metals on organisms. Pol J Environ Stud 20 (5): 1117-1125.
Jitunews. 2015. Bisnis Kerapu Jadi Suram Akibat Terjepit Aturan.
http://www.jitunews.com. [30 Maret 2015].
Kojadinovic J. 2007. Mercury content in commercial pelagic fish and its
risk assessment in the Western Indian. Ocean Sci Total Environ 366:
688-700.
Kumar,V., A.K Abbas., J.C. Aster, R.S. Leonard. 2013. Robbin Basic
Pathology. Elsevier Saunders.
Louma SN, Rainbow P. 2005. Why is metal bioaccumulation so variable?
Biodynamics as a unifying concept critical review. Environ Sci
Technol 39 (7): 1921-1931.
Malek MA, Nakahara M, Nakamura R. 2004. Uptake, retention, and
organ/tissue distribution of 137Cs by Japanese catfish (Silurus asotus
Linnaeus). J Environ Rad 3 (7): 191-204.
Retno WP. 2011. Radioekologi Kelautan di Semenanjung Muria: Studi
Distribusi dan Perilaku Radionuklida di Perairan Pesisir. [Tesis].
Sekolah Pasca Sarjana UI, Jakarta.
Sahetapy JM. 2011. Toksisitas Logam Berat Timbal (Pb) dan
Pengaruhnya pada Konsumsi Oksigen dan Respon Hematologi
Juvenil Ikan Kerapu Macan. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana IPB,
Bogor.
Sudiono, J., B. Kurniadhi, A. Hendrawan, B. Djimantoro. 2001. Penuntun
Praktikum Patologi Anatomi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Suseno H. 2013. Bioakumulasi 137Cs oleh siput air tawar (Pila
ampullacea) melalui jalur air: Pengaruh biokinetika 137Cs. Jurnal
Teknologi Pengelolaan Limbah 16 (1): 23-30.
Torres RJ, Augusto C, Camilo DSP, Rodrigo BC, Denis MSA, Marcos
RLN, Pedro SF, Antonio AM. 2012. Bioaccumulation of polycyclic
aromatic hydrocarbons and mercury in oysters (Crassostrea
rhizoporae) from two Brazilian estuarine zone. Intl J Oceanogr 2012:
1-8.
Whicker FW, V Schultz. 1982. Radioecology Nuclear Energy and the
environment Vol. 1. CRC Press, Inc., Boca Raton, FL.
Yandra A, Suseno H, Safni. 2013. Bioakumulasi 137Cs oleh keong mas
(Pomacea canaliculata) dengan Metode Kompartemen Tunggal.
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah 16 (11): 142
Zhao X, Wang WX, Yu KN, Lam PKS. 2001. Biomagnification of
radiocesium in marine piscivorous fish. Mar ecol Prog Ser 11 (222):
227-237.
Download