PENYAKIT BAKTERIAL PADA BUDIDAYA

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXVIII, Nomor 3, 2003 : 1-10
ISSN 0216-1877
PENYAKIT BAKTERIAL PADA BUDIDAYA KRUSTASEA
SERTA CARA PENANGANANNYA
Oleh
Ariani Hatmanti 1)
ABSTRACT
BACTERIAL PATHOGEMCIN CRUSTACEAN CULTURE AND THE
HANDLING. The obstruction of crustacean culture can be caused by bacteria, virus,
fungi and parasite. The bacterial pathogenics are Vibrio spp., Aeromonas spp.,
Salmonella spp., Shigellaspp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersiniaspp., Proteus
spp., and Leucothrix sp. Bacterial pathogenic can be coped with chemical, physical, and
biological techniques.
Selain itu, penggunaan teknik budidaya yang
kurang tepat dan kontaminasi dari alat-alat
budidaya maupun pekerjanya juga dapat
menyebabkan timbulnya penyakit.
Menurut IDEL & WIBOWO (1996)
penyebab timbulnya penyakit pada ikan atau
biota budidaya adalah padatnya pertumbuhan
plankton dan ganggang pirang, kotoran dan
sisa pakan yang terlalu banyak, serta masuknya
bahan-bahan pencemar ke dalam lingkungan
budidaya. Habitat perairan pantai merupakan
daerah yang mengandung populasi bakteri jauh
lebih banyak daripada perairan tawar, daerah
lepas pantai dan laut dalam. Hal ini disebabkan
karena daerah perairan pantai banyak
mendapat masukan nutrien dari darat.
Sebagian besar populasi bakteri tersebut
adalah bakteri heterotrofik (AUSTIN, 1992).
Penyakit pada krustasea dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan
berbagai jenis parasit yang selalu terdapat pada
PENDAHULUAN
Dewasa ini, protein hewani terutama
yang berasal dari laut sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, hal ini sejalan dengan asumsi
bahwa protein hewani yang berasal dari laut
dapat meningkatkan kecerdasan. Berkaitan
dengan hal tersebut, sumber protein hewani
yang berasal dari laut saat ini semakin banyak
dibudidayakan. Kelompok besar biota laut
yang banyak dibudidayakan selain ikan adalah
dari kelompok krustasea, diantaranya rajungan,
kepiting dan udang windu. Ketiga biota
tersebut banyak dibudidayakan oleh
masyarakat di daerah pantai.
Salah satu kendala dalam kegiatan
marikultur atau budidaya ini adalah penyakit
pada biota budidaya. Timbulnya penyakit dapat
disebabkan karena kondisi perairan yang
kurang baik, kualitas pakan yang kurang,
maupun kualitas induk yang kurang baik.
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
1
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Jenis-jenis bakteri selain Vibrio harveyi
yang dapat menyebabkan penyakit pada
krustasea, adalah V. carcharial, V. alginolyticus
dan V. parahaemolyticus (PANRENRENGI
et al, 1993). Patogenesitas ketiga bakteri
tersebut terhadap larva krustasea pada stadium
zoea msoh lebih rendah dibandingkan V.
harveyi. Selain ketiga bakteri Vibrio di atas,
Vibrio anguillarum juga dapat menyebabkan
timbulnya penyakit yang menyebabkan
kerusakan lapisan khitin pada kulit, sehingga
terjadi luka-luka di pinggiran kulit pada ruas
perut I-III dan uropoda disertai dengan
timbulnya bercak-bercak hitam pada luka,
karena terjadinya akumulasi pigmen hitam.
Kasus ini hampir selalu dijumpai pada stok
induk udang yang disimpan dalam bak.
Selain menimbulkan penyakit pada biota
budidaya, bakteri dapat pula mengkontaminasi
biota budidaya, sehingga ketika biota tersebut
dikonsumsi akan menimbulkan penyakit/
keracunan pada konsumen. MOLITORIS et al,
dalam INDARYANTI (1999) berhasil
mengisolasi 2 jenis Vibrio, yaitu V alginolyticus
dan V. parahaemolyticus dari Teluk Jakarta dari
berbagai makanan laut, antara lain ikan mackerel, udang dan cumi-cumi. Selanjutnya
disimpulkan bahwa kedua jenis Vibrio ini
merupakan jenis bakteri laut setempat (autochthonous). Vibrio parahaemolyticus dikenal
sebagai penyebab gastroenteritis di hampir
seluruh dunia dan dapat diisolasi dari makanan
laut serta tempat-tempat perairan estuaria,
neritik dan teluk.
perairan. Menurut PUSLITBANGTAN (1987)
beberapa penyakit udang antara lain
disebabkan oleh bakteri patogen yaitu
Pseudomonas spp., Aeromonas spp., Vibrio
spp., Leucothrix spp. dan Mycobacterium.
Penularan penyakit ini sangat mudah, karena
dapat terbawa oleh organisme yang berpindahpindah dari satu kolam ke kolam yang lain
(SUYANTO dalam INDARYANTI 1999). Di
antara ketiga jenis penyebab penyakit tersebut,
bakteri merupakan yang paling banyak ditemui.
Penyakit ini biasa disebut sebagai "Bacterial
Diseases" dan bakteri penyebabnya disebut
sebagai bakteri patogen ("Pathogenic Bacteria1").
BAKTERI PENYEBAB PENYAKIT
PADA KRUSTASEA
Berikut ini akan dipaparkan gambaran
tentang bakteri yang umum ditemukan sebagai
penyebab penyakit pada krustasea, antara lain
Vibrio spp., Aeromonas spp., Salmonella spp.
dan bakteri lainnya.
1. Vibrio spp.
Salah satu spesies dalam kelompok ini
yang paling banyak menyebabkan penyakit dan
kematian pada budidaya krustasea adalah
Vibrio harveyi. Bakteri ini merupakan
penyebab penyakit kunang-kunang atau
penyakit berpendar, karena krustasea yang
terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan
gelap (malam hari). Pada dasarnya bakteri ini
bersifat oportunistik dan akan menjadi patogen
jika pada media pemeliharaannya terjadi
goncangan secara drastik, seperti perubahan
suhu, pH, salinitas dan faktor lainnya, Menurut
ROZA & ZAFRAN (1998) batas aman
keberadaan populasi bakteri di dalam bak
pemeliharaan adalah 8,35 x 104 koloni/ml.
Bakteri ini merupakan penyebab utama
terhadap tingginya tingkat kematian pada larva
krustasea.
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
Vibrio
alginolyticus
dan
V.
parahaemolyticus merupakan agen penyebab
septikemia pada udang saat periode larva dan
post larva. Penyakit ini timbul sebagai akibat
penyebab lain yaitu defisiensi vitamin C, toksin,
luka dan karena stres berat (LIGHTNER dalam
DARMONO, 1995). Vibrio parahaemolyticus
mampu menyebabkan lisis pada sel-sel darah
tubuh inang.
Sebagai organisme aquatik, Vibrio spp
mempunyai kelimpahan yang tinggi pada
2
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kehidupan biota laut harus diupayakan bebas
dari bakteri Salmonella spp. (MENKLH, 1988).
Jika suatu perairan telah terkontaminasi oleh
Salmonella spp., menunjukkan adanya
penurunan kualitas air.
lingkungan perairan dan biasanya
berhubungan erat dengan organisme laut.
Umumnya bakteri ini merupakan patogen
oportunistik untuk hewan poikiloterm dan
homoioterm di perairan (PARKINS, 1990).
4. Bakteri patogen lain.
2. Aeromonas spp
Bakteri patogen lain yang sering
ditemukan pada lingkungan tempat hidup
krustasea, terutama rajungan/kepiting dan
Aeromonas spp, terutama dari jenis
Aeromonas hydrophila, merupakan bakteri
yang dapat ditemukan secara luas dalam
lingkungan perairan dan telah lama diketahui
sebagai bakteri patogen bagi biota air tawar
maupun air laut, karena bakteri Aeromonas spp
ini bersifat saprofitik dan parasit obligat (POST,
1983). Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian
yang dilakukan oleh penulis, yaitu dari 10
sampel yang berasal dari berbagai lingkungan
media pemeliharaan kepiting, hanya satu
sampel yang tidak mengandung bakteri
Aeromonas spp. Selain itu RUYITNO &
HATMANTI (2001) dalam penelitiannya di
perairan Kuala Tungkal Jambi, telah
menemukan bakteri Aeromonas spp. dan
Proteus spp. pada 12 contoh air. Bakteri ini
mampu hidup optimal pada kisaran suhu 25 30° C. Kondisi ini memungkinkan Aeromonas
spp berpotensi menyebabkan penyakit ikan di
Indonesia. Menurut RYANDINI dkk. (1998)
keberadaan bakteri Aeromonas spp dan Vibrio
spp merupakan indikasi munculnya wabah
penyakit biota laut khususnya pada udang.
udang windu adalah Shigella spp.,
Pseudomonas spp., Citrobacter spp.,
Yersinia spp. dan Proteus spp., Shigella spp.
dan Pseudomonas spp. merupakan bakteri
patogen bagi biota, sedangkan Citrobacter
spp., Yersinia spp. dan Proteus spp. pada
awalnya bukan merupakan patogen, namun
pada
suatu
saat
apabila
kondisi
lingkungannya memungkinkan dapat pula
menyebabkan
penyakit
(bersifat
oportunis).
Selain bakteri tersebut di atas, pada
budidaya udang di tambak ditemukan pula jenis
bakteri yang berbentuk benang, yaitu
Leucothrix sp. Bakteri tersebut sering terdapat
pada insang, permukaan badan dan kaki-kaki
renang udang. Sel-sel benang dari bakteri
Leucotrix sp. tersebut membentuk anyaman,
menempel pada permukaan insang dan bagianbagian badan lain. Bakteri tersebut tidak
merusak jaringan tubuh, tetapi merupakan
tempat menempelnya lumut-lumut di air. Insang
yang ditumbuhi bakteri Leucothrix sp.
warnanya menjadi coklat pucat atau kehijauan,
dan semakin penuh dengan kotoran dan jasad
penempel, sehingga mengganggu proses
pernafasan. Bakteri ini sering tumbuh dari sisasisa makanan, membentuk lapisan putih di atas
endapan partikel organik di dasar bak hatchery. Pada infeksi berat mengakibatkan kematian
udang terutama terjadi saat berganti kulit atau
segera setelah berganti kulit (BALAI
PERTANIAN CIAWI, 1990),
3. Salmonella spp
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri
ini disebut sebagai Salmonellosis. Pada
krustasea maupun biota lain yang dikonsumsi
oleh manusia, tidak diperbolehkan terdapat
bakteri ini, karena dapat mengakibatkan demam
enterik, septikemia dan gastroenteritis
(WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1977).
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada
lingkungan perairan budidaya biota laut dan
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
3
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
1,9 ppm; 9,8 ppm dan 15 ppm. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa penggunaan
antibiotik secara terus menerus akan
menimbulkan resistensi bakteri patogen.
Penggunaan antibiotik ini dapat
dilakukan pada larva maupun pada induk
krustasea. Pengendalian V. harveyi pada larva
kepiting bakau (Scylla serrata, Forskal) melalui
desinfeksi induk selama pengeraman telur telah
dilakukan oleh ROZA & JOHNNY (1999).
Percobaan ini menggunakan 3 jenis antibiotik,
yaitu Oksitetracyclin, Prefuran dan Furazolidon
dengan konsentrasi terendah masing-masing
31,2 mg/L; 7,8 mg/L dan 31,2 mg/L yang
diaplikasikan pada induk yang sedang
mengerami telur yang diinfeksikan dengan V.
harveyi pada kepadatan 103 koloni/ml. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
antibiotik pada konsentrasi efektif terendah
mampu mengurangi jumlah V. harveyi dan dapat
meningkatkan daya tetas telur dan kinerja larva
kepiting bakau. RUSDI & ZAFRAN (1998)
menggunakan antibiotik yang sama untuk
menekan mortalitas larva kepiting bakau akibat
serangan V. harveyi. Selanjutnya disebutkan
bahwa penambahan ketiga jenis antibiotik ini
pada konsentrasi tertentu dapat menghambat
pertumbuhan V. harveyi dan menurunkan
mortalitas larva akibat serangan V. harveyi.
Konsentrasi terendah antibiotik yang mampu
menekan V. harveyi dan menurunkan mortalitas
larva kepiting bakau masing-masing adalah
Oksitetrasiklin 6,25 mg/L; Prefuran 12,50 mg/L
dan Furazolidon 12,50 mg/L.
CORLIS dalam BALAI PERTANIAN
CIAWI (1990) berhasil menekan pertumbuhan
V. alginolyticus dengan menggunakan
antibiotik yang langsung dilarutkan dalam air
atau dicampur dalam makanan. Dosis efektif
yang digunakan adalah Terramycin 360-387
mg/kg berat badan per hari selama 14 hari.
Selain itu, untuk menekan pertumbuhan V.
anguillarum digunakan campuran Malachit
Green dan Formalin dengan dosis 0,05 - 0,1 mg/
L atau Terramycin yang dicampurkan ke dalam
CARA PENANGGULANGAN PENYAKTT
BAKTERIAL PADA BUDIDAYA
KRUSTASEA
Beberapa cara penanggulangan
penyakit bakterial pada budidaya krustasea
antara lain adalah secara kimia, fisika, dan
biologis, yang akan digambarkan pada tulisan
di bawah ini:
1. Penanggulangan Penyakit Bakterial
secara Kimia
Bahan-bahan kimia yang sering
digunakan untuk penanggulangan penyakit
bakterial adalah antibiotik, yaitu melalui
pengrusakan membran sel, sehingga sel menjadi
lisis. Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan
pada stadium larva maupun dewasa. Namun
hasil yang diperoleh kurang memuaskan dan
menimbulkan efek samping yang merugikan
lingkungan, diantaranya terjadinya keracunan
bahkan dapat menimbulkan kematian terhadap
biota lain yang menguntungkan (RUKYANI &
TAUHID, 1984). Sedangkan biota target dapat
mengalami resistensi terhadap bahan kimia
tersebut.
Penggunaan antibiotik secara rutin yang
banyak diterapkan oleh panti benih komersial
di Indonesia, dapat menyebabkan munculnya
strain Vibrio yang resisten terhadap antibiotik.
Hal ini dibuktikan oleh ZAFRAN dkk. (1997b),
pada penelitian tentang resistensi isolat Vibrio
dari beberapa panti benih Udang Windu
(Peneaus monodon) terhadap antibiotik. Uji
antibiotik yang digunakan adalah Kloramfenikol
(CP), Oksitetracyclin (OTC), dan Furazolidon
(FZ) terhadap 7 jenis bakteri Vibrio yang
diperoleh dari panti benih penelitian dan panti
benih komersial di Bali dan Jawa Timur. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa isolat bakteri
Vibrio yang disolasi dari panti benih komersial
ternyata lebih resisten terhadap 3 jenis
antibiotik daripada Vibrio yang diisolasi dari
panti benih penelitian, yaitu masing-masing
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
4
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
mempunyai daya hambat yang paling baik.
Berdasarkan penelitian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa zat antibakteri yang
dikandung mangrove cukup tinggi, sehingga
mempunyai potensi untuk dikembangkan
dalam penanganan penyakit udang di tambak.
makanan dengan dosis 20 gr untuk 45 kg
makanan. Dosis tersebut efektif dengan
pemberian makanan 10 % berat badan per hari
selama 14 hari berturut-turut. Jumlah bakteri
Leucothrix sp dapat diturunkan menggunakan
Kalium Permanganat pada dosis 5 - 1 0 mg/L
selama 1 jam perendaman.
Selain menggunakan antibiotik, terdapat
pula cara lain yang lebih efektif, yaitu
menggunakan bahan-bahan kimia yang
merupakan ekstrak aktif biota alami laut.
Dewasa ini mulai dikembangkan penelitian
mengenai kemungkinan penggunaan bioaktif
untuk menekan perkembangan bakteri patogen.
Penelitian mengenai penggunaan ekstrak spons
Auletta sp. untuk menanggulangi pertumbuhan
Vibrio spp. pada udang windu (Peneaus
monodon) telah dilakukan oleh MULIANI dkk.
(1998a). Ekstrak spons tersebut digunakan
untuk merendam larva yang telah terinfeksi oleh
Vibrio spp. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ketiga jenis spons tersebut mampu
menekan perkembangan populasi dan menekan
patogenitas Vibrio spp sehingga meningkatkan
sintasan udang windu (Peneaus monodon).
Dosis yang efektif untuk digunakan berkisar
antara 200 dan 300 ppm.
EFFENDI & SUHARDI (1998) juga
telah meneliti kemungkinan tumbuhan
mangrove digunakan sebagai antibakteri pada
penyakit
udang
yaitu
Vibrio
parahaemolyticus dan V. harveyi. Pada
penelitian ini telah digunakan empat jenis
tumbuhan yaitu Rhizophora apiculata,
Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia alba dan
Nypa
fruticans.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus
dapat dihambat oleh keempat jenis tumbuhan
uji, sedangkan Vibrio harveyi dapat ditekan
oleh R. apiculata, B. gymnorrhiza dan N.
fruticans. Berdasarkan tingkat daya hambat
zat antibakteri yang ditunjukkan oleh
terbentuknya zona hambat (inhibition zone)
dari keempat jenis tumbuhan uji, diperoleh
bahwa N. fruticans (nipah) membentuk zona
hambat yang paling luas yang berarti
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
2. Penanggulangan Penyakit Bakteri secara
Fisika
Teknik secara fisika merupakan cara lain
di samping penggunaan teknik secara kimia.
Secara garis besar, teknik ini ialah dengan
pengaturan kondisi lingkungan pemeliharaan
krustasea, di antaranya meliputi pengaturan
suhu, salinitas, pH, maupun teknis pemberian
pakan. Menurut JUWANA (1997) keberadaan
bakteri patogen Aeromonas spp. dan
Pseudomonas spp. dapat ditanggulangi
dengan mengatur salinitas air laut yang
digunakan sebagai media pemeliharaan pada
kisaran 28 ‰, suhu 30°C dan penggunaan
diet semi murni AMZV1L1T, selain nauplii
Artemia untuk pemeliharaan larva rajungan.
Sebagai antisipasi terdapatnya bakteri patogen
pada air pemeliharaan, dilakukan pola
penyaringan secara terus menerus atau
resirkulasi (HEASMAN & FIELDER, 1983).
3. Penanggulangan Penyakit Bakteri secara
Biologis
Alternatif teknik yang paling efektif
untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya kontaminasi pada budidaya
krustasea adalah secara biologis. Cara ini
dilakukan dengan pemberian vaksinasi, baik
melalui oral maupun penyuntikan, penggunaan
musuh alami atau kompetitor bagi bakteri
patogen.
Penggunaan cara vaksinasi untuk
menekan pertumbuhan V. harveyi pada
budidaya krustasea telah dilakukan oleh
ZAFRAN dkk. (1997a), yaitu dengan
menggunakan penambahan bakteri ke dalam
pakan mikro. Bakteri yang digunakan dalam
5
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
24 jam pemanfaatan fitoplankton ini dapat
meningkatkan
perkembangan
larva.
Chaetoceros ceratospora memperlihatkan
kemampuan yang lebih unggul dibandingkan 2
jenis fitoplankton lainnya.
YUNUS dkk. (1998) telah melakukan
penelitian mengenai pengaruh pemberian jenis
fitoplankton yang berbeda terhadap sintasan larva
kepiting bakau (Scylla serata). Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan jenis
fitoplankton yang sesuai untuk pemeliharaan
larva kepiting bakau pada masa stadia awal. Jenis
fitoplankton
yang
digunakan
adalah
Nannochloropsis spp., Tetraselmis spp. dan
Chaetoceros spp. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa Chaetoceros spp. dan
Nannochloropsis spp. mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi dibandingkan Tetraselmis
spp., yaitu masing-masing 17,67 %, 16,00 % dan
4,00 %. Oleh karena itu Chaetoceros spp. dan
Nannochloropsis spp. merupakan jenis
fitoplankton yang sesuai untuk pemeliharaan
larva kepiting bakau pada stadia awal.
Selain itu, penggunaan kerangkerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan
komposisi jenis bakteri pada budidaya udang
windu (Peneaus monodon) dengan sistem
resirkulasi air telah dilakukan oleh MULIANI
dkk. (1998b). Penelitian tersebut dimaksudkan
untuk melihat pengaruh penggunaan
kerang-kerangan terhadap komposisi jenis dan
kelimpahan bakteri pada pemeliharaan udang
windu (Peneaus monodon) dengan sistem
resirkulasi air. Udang windu yang digunakan
adalah ukuran pascalarva sebanyak 100
individu / bak, sebagai hewan uji. Kerang yang
digunakan adalah kerang hijau (Perna viridis),
tiram (Crassostrea iredalei) dan kerang
bakau (Geloina coaxan), masing-masing
sebanyak 250 gram bobot daging sebagai
biofilter. Dari hasil penelitian yang dilakukan
memberi gambaran bahwa kandungan jumlah
bakteri dalam wadah pemeliharaan terendah
penelitian tersebut adalah bakteri V. harveyi
yang dimatikan (vaksin). Bakteri tersebut
kemudian dimasukkan dalam pakan mikro larva
udang windu (Peneaus monodon). Pakan mikro
diberikan terlebih dahulu selama satu hari
kemudian dilakukan uji tantang terhadap V.
harveyi hidup. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian V. harveyi mati sebagai
vaksin ke dalam pakan mikro, dapat
meningkatkan ketahanan larva udang windu
(Peneaus monodon) terhadap infeksi V.
harveyi, sehingga sintasannya dapat lebih
tinggi.
Teknik lain secara biologis adalah
menggunakan musuh alami atau kompetitor
bakteri patogen. Teknik ini menggunakan
bakteri maupun organisme lain yang dapat
berperan sebagai musuh alami maupun
kompetitor bagi bakteri patogen. Penggunaan
berbagai jenis bakteri untuk menghambat
perkembangan V. harveyi pada pemeliharaan
kepiting bakau, telah dilakukan oleh TAUFIQ &
ZAFRAN (1997). Penelitian ini dimulai
dengan mencari isolat bakteri yang mempunyai
daya hambat yang baik terhadap bakteri
patogen dimaksud. Pada penelitian TAUFIQ &
ZAFRAN (1997) diperoleh 3 jenis bakteri yang
merupakan bakteri dari genus Vibrio. Ketiga
bakteri tersebut setelah ditambahkan pada air
pemeliharaan selama 24 jam dan diujikan,
ternyata mempunyai kemampuan menekan
perkembangan V. harveyi dan menurunkan
patogenitasnya terhadap larva kepiting bakau.
Selain menggunakan bakteri lain, musuh alami
atau kompetitor dapat berupa fitoplankton.
Pemanfaatan fitoplankton untuk menekan
perkembangan V. harveyi pada budidaya
udang windu telah dilakukan oleh TAUFIQ
dkk
(1996).
Penelitian
ini
berupa
penambahan 3 jenis fitoplankton yaitu
Chaetoceros ceratospora, Tetraselmis
tetrathele dan Thalassiosira spp. pada media
pemeliharaan udang windu yang diinfeksi
dengan kultur murni V. harveyi. Hasil
menunjukkan bahwa setelah inkubasi selama
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
adalah pada perlakuan yang menggunakan tiram
6
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Bagan tersebut merupakan hasil
ringkasan teknik penanggulangan penyakit
bakterial pada budidaya krustasea di Indonesia.
Pemilihan teknik penanggulangan penyakit
tersebut disesuaikan dengan kondisi
lingkungan, teknik pemeliharaan, dan
kemampuan finansial yang ada. Pemilihan
teknik penanggulangan penyakit bakterial yang
tepat dapat meningkatkan hasil. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan mengenai teknik
penanggulangan penyakit bakterial. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan pengetahuan
mengenai alternatif-alternatif penanggulangan
penyakit bakterial sekaligus dapat memberikan
inspirasi bagi terciptanya teknik-teknik
penanggulangan penyakit pada biota
budidaya lain.
sebagai biofilter, kemudian kerang bakau, dan
yang terakhir adalah kerang hijau dan kontrol (U2
< U3 < U1 < Uk). Kualitas mikrobiologis air laut
yang diresirkulasi sama dengan air laut baru yang
tidak diresirkulasi. Hasil identifikasi terhadap
komposisi jenis bakteri pada semua perlakuan
relatif sama yaitu Acinetobacter spp., Aeromonas
spp., Bacillus spp., Enterobacteriaceae,
Flavobacterium spp., Micrococcus spp.,
Pseudomonas spp., Staphylococcus spp. dan
Vibrio spp.
Secara sederhana, teknik penanggulangan
penyakit bakterial di Indonesia dapat dilihat pada
bagan berikut ini:
Gambar 1. Bagan Teknik Penanggulangan Penyakit Bakterial pada Budidaya Krustasea
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
7
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KESIMPULAN
parahaemolyticus dan V. harveyi.
Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove Pekanbaru: 278 - 287.
1. Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit
pada budidaya krustasea terdiri dari Vibrio
spp., Aeromonas spp., Salmonella spp., dan
bakteri lainnya, seperti Shigella spp.,
Pseudomonas spp., Citrobacter spp.,
Yersinia spp. dan Proteus spp., termasuk
Leucothrix sp.
2. Penyakit bakterial pada budidaya krustasea
dapat dikendalikan/ditanggulangi
menggunakan cara kimia, fisika dan
biologis.
3. Pemilihan teknik penanggulangan penyakit
tersebut disesuaikan dengan kondisi
lingkungan, teknik pemeliharaan dan
kemampuan finansial yang ada.
HEASMAN, M.P. and D.R. FIELDER. 1983.
Laboratory Spawning Massrearing at
The Mangrove Crab, Scylla serrata
(Forskal) for 1st Zoea to 1st Crab Stag.
Aquaculture 2 (34) : 303 - 316.
IDEL, A. dan S. WIBOWO. 1996. Budidaya
Bandeng Modern. Penerbit Gita Media
Press, Surabaya. 45 hal.
INDARYANTI, W. 1999. Kelulushidupan dan
Daya Tahan Tubuh Benih Ikan Lele
Dumbo yang Diberi Vaksin Hidrovet
pada Infeksi Beberapa Strain Bakteri
Aeromonas hydrophyla. Skripsi.
Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto
: 50 hal. (tidak diterbitkan).
UCAPAN TERIMA KASIH
JUWANA, S. 1997. Produksi Massal Benih
Rajungan (Purtunus pelagicus) di Pusat
Penelitian dan Pengambangan
Oseanologi LIPI, Jakarta. II Sumber
Induk, Pengelolaan Salinitas dan
Ransum Makanan. Dalam Inventarisasi
dan Evaluasi Potensi Laut - Pesisir II,
Geologi, Kimia, Biologi, dan Ekologi.
(D.P. Praseno, W.S. Atmaja, I. Supangat,
Ruyitno, B.S. Sudibyo. Eds.). Puslitbang
Oseanologi LIPI, Jakarta: 112 -122.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Dr. Sri Juwana, atas bantuan, bimbingan
dan masukan referensinya, sehingga tulisan ini
dapat dipublikasikan.
DAFTAR PUSTAKA
AUSTIN, B. 1992. Marine Microbiology, second editions. Cambridge University
Press, Cambridge: 222 pp.
MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN
DAN LINGKUNGAN HIDUP. 1998.
Kep-Men
Kependudukan
dan
Lingkungan Hidup Nomor : Kep 02/MENKLH/I/
1988.
Tentang
Pedoman Penetapan Baku Mutu
Lingkungan, Jakarta. 57 hal.
BALAI PERTANIAN CIAWI. 1990. Penyakit
dan Parasit pada Udang di Tambak.
Buletin Informasi Pertanian Ciawi 01
(02):7-10.
DARMONO, 1995. Budidaya Udang Peneaus.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 30 hal.
MULIANI, E. SURYATI dan T. AHMAD.
1998a. Penggunaan Ekstrak Spons
untuk Penanggulangan Vibrio spp pada
Udang Windu (Peneaus monodon).
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (1): 109-115.
EFFENDI, I. dan SUHARDI. 1998. Studi
Pendahuluan Tumbuhan Mangrove
sebagai Zat Antibakteri terhadap
Bakteri Penyakit Udang, Vibrio
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
8
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MULIANI, M. ATMOMARSONO dan M.I.
MADEALI.
1998b.
Pengaruh
Penggunaan
Kekerangan
sebagai
Biofilter terhadap Kelimpahan dan
Komposisi Jenis Bakteri pada Budidaya
Udang Windu (Peneaus monodon)
dengan Sistem Resirkulasi Air.
Jurnal
Penelitian
Perikanan
Indonesia 4 (4): 54 - 61.
dengan Memberikan Vaksin Tetrahymena pyriformis. Buletin Penelitian
Perikanan Darat 11 (2): 28 - 34.
RUSDI, I. dan ZAFRAN. 1998. Percobaan
Pengendalian Vibrio harveyi yang
Berasal dari Larva Kepiting Bakau
secara in vitro dengan Berbagai Jenis
Antibiotik. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia 4 (2): 86-90.
PANRENRENGI, A., ZAFRAN, D.R. BOER dan
I. RUSDI. 1993. Identifikasi dan
Patogenisitas Beberapa Bakteri Vibrio
pada Larva Kepiting Bakau, Scylla
serrata. Jurnal Penelitian Budidaya
Pantai 9 (3): 125-130.
RUYITNO dan A. HATMANTI, 2001.
Kondisi Mikrobiologis Perairan Kuala
Tungkal Jambi sebagai Habitat
Budidaya Kerang Darah. Dalam :
Inventarisasi dan Evaluasi Laut dan
Pesisir VII tahun 2001- P3O LIPI
(A.S. Genisha, H. Hutagalung dan
Ruyitno N. eds.). Halaman:183-192.
PARKINS, F.O. 1990. Pathology in Marine
Sciences. Academic Press, Inc. New
York. 146 pp.
PUSLITBANGTAN. 1987. Petunjuk Teknis
Bagi Pengoperasian Unit Usaha
Pembesaran Udang Windu. Balitbang
Pertanian, Jakarta. 60 hal.
RYANDINI, D., SUKANTO dan A.
IRIANTO, 1998. Eksistensi Bakteri
Patogen pada Udang (Aeromonas spp
dan Vibrio spp) pada Tambak Udang di
Wilayah Pantai Utara Jawa Tengah.
Laporan Penelitian. Fakultas Biologi
UNSOED, Purwokerto. 43 hal. (tidak
diterbitkan).
ROZA, D. dan F. JOHNNY. 1999. Pengendalian
Vibrio harveyi pada Larva Kepiting
Bakau (Scylla serrata, Forskal) melalui
Desinfeksi Induk selama Pengeraman
Telur. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia 5 (2): 28 - 34.
TAUFIQ, I. dan ZAFRAN. 1997. Uji Daya
Hambat Berbagai Jenis Bakteri terhadap
Perkembangan Vibrio harveyi pada
Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia
3 (l): 36-43.
ROZA, D. dan I. ZAFRAN, 1998. Pengendalian
Vibrio harveyi secara Biologis pada
Larva Udang Windu (Peneaus
monodon) : Aplikasi Bakteri
Penghambat. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 4 (2): 24 - 30.
TAUFIQ, I., ZAFRAN, I. KOESHARYANI dan
D. ROZA BOER. 1996. Pemanfaatan
Fitoplankton
untuk
Menekan
Perkembangan Vibrio harveyi. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 2 (2):
37-41.
RUKYANI, A. dan TAUKHID. 1984.
Ketahanan Benih Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) terhadap Serangan
Parasit Ichthyophtirius multifilis
WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1977.
Guidelines for Health Related Monitoring of Coastal Water Quality,
WHO. Regional Office for Europe.
Copenhagen: 165 pp.
POST, G.W. 1983. Textbook of Fish Health.
Publication Inc., Hongkong. 430 pp.
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
9
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Menggunakan Penambahan Vibrio
harveyi ke dalam Pakan Mikro. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 3 (4):
51-56.
YUNUS, D. ROZA dan K. SUGAMA. 1998.
Pengaruh Pemberian Jenis Fitoplankton
yang Berbeda terhadap Sintasan Larva
Kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 4 (3):
84-89.
ZAFRAN, D. ROZA dan 1. KOESHARYANI.
1997b. Resistensi Isolat dari Beberapa
Panti Benih Udang Windu (Peneaus
monodon) terhadap Antibiotik. Jurnal
ZAFRAN, D. ROSA dan K. SUWIRYA. 1997a.
Peningkatan Sintasan dan Ketahanan
Larva Udang Windu (Peneaus monodon)
Oseana, Volume XXVIII no. 3, 2003
Penelitian Perikanan Indonesia 3 ( 1 ) :
11-15.
10
Download