BAB 13 INOVASI ORGANISASI Untuk memulai Bab 13 para pembaca kembali diajak untuk menelaah ulang perjalanan peradaban manusia mulai dari era pertanian, era industry dan era informasi. Lenski & Lenski (1978) mengatakan bahwa setiap perpindahan dari satu era ke era lainnya selalu diawali dengan inovasi khususnya inovasi di bidang teknologi. Pada mulanya inovasi hanya dilakukan oleh seseorang kemudian melibatkan beberapa orang dan komunitas, dan akhirnya menjadi inovasi sekelompok masyarakat. Dari rangkaian inovasi tersebut hasil akhirnya adalah perubahan masyarakat seperti yang digambarkan Alvin Toffler (1980). Dari penjelasan ini, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita petik. Pertama, inovasi bukan hanya monopoli masyarakat modern tetapi sudah dipraktikkan ribuan tahun yang lalu meski skala inovasinya boleh jadi berbeda. Artinya inovasi adalah fenomena yang sudah tua dan bahkan menurut Fragerberg (2003) inovasi secara inheren adalah manusiawi karena setiap orang pasti menginginkan sesuatu yang lebih baik. Kedua, sekecil apapun kontribusinya inovasi selalu menyebabkan perubahan. Atau dengan kata lain hasil dari inovasi adalah perubahan dalam pengertian dengan inovasi diharapkan terjadi kemajuan atau progress dan hidup akan jauh lebih mudah. Seandainya dunia ini tanpa inovasi kita bisa membayangkan bagaimana dunia begitu lengang karena tidak ada deru pesawat terbang, lalu lalang kendaraan bermotor dan dunia sepi dari informasi 458 karena tidak ada computer. Terlepas bahwa inovasi sudah sangat lama dipraktikkan, namun dalam ranah ilmiah, inovasi baru dikaji pada tahun 1930an melalui tulisan Schumpeter (lihat Hagedoorn, 1996) dan baru pada pertengahan abad 20 inovasi mulai mendapat perhatian serius para akademisi dari berbagai disiplin berbeda (Ravichandran, 2000) yang ditandai oleh tulisan Burns & Stalker (1961) “The management of innovation”. Sampai saat ini tulisan Burns & Stalker bahkan masih menjadi salah satu rujukan utama untuk kajian inovasi. Puncak perhatian para akademisi terhadap pentingnya memahami konsep inovasi terjadi menjelang akhir abad 20 awal abad 21 dengan ragam dan jumlah kajian yang terus meningkat secara akselaratif. Ketika itu masyarakat memasuki era informasi dan pengetahuan dimana kehidupan berjalan sangat cepat dan perubahan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Pada era ini siklus perubahan bahkan mengalami percepatan, tidak menentu dan tidak mudah diprediksi kemana arah perubahannya. Dalam kondisi semacam ini frase “innovate or evaporate” menjadi kosa kata setiap orang. Jika kita ingin bertahan hidup kita harus inovatif; jika tidak, kita sendiri yang ditelan zaman. Orang Jawa mengatakannya “iki jaman edan ora ngedan ora keduman” yang bisa diterjemahkan “kalau kita tidak kreatif/inovatif kita tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat”. Tentunya frase ini bukan hanya berlaku bagi manusia sebagai individu tetapi juga masyarakat dan bahkan berlaku juga bagi organisasi. Dalam konteks kajian ilmiah inovasi bukanlah kata yang berdiri sendiri; beberapa kata lain seperti pengetahuan, kreativitas, pembelajaran, ikut menyertainya. Secagai contoh, agar bisa inovatif tentunya seseorang harus berpengetahuan dan berpikiran kreatif. Steiner (2009) misalnya mengatakan bahwa kreativitas merupakan prasyarat untuk terciptanya inovasi. Sementara itu menurut Tierney & Farmer (2002) pengalaman kerja sebagai indicator adanya proses pembelajaran secara praktis dan latar belakang pendidikan sebagai pertanda seseorang belajar secara konseptual merupakan predictor terhadap keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu berkreasi (creative self-efficacy). Artinya orang yang kreatif pada umumnya memiliki pengetahuan khusus yang mendalam, baik pengetahuan lapangan maupun pengetahuan akademik. Dari kedua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa 459 pengetahuan-kreativitas-inovasi adalah sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan. Ketiganya akan terus berinteraksi dan ketiganya muncul karena di satu sisi adanya tuntutan hidup yang lebih baik dan di sisi lain terjadinya tekanan perubahan lingkungan. Oleh karena itu tidak berlebihan jika perubahan juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari rangkaian hubungan pengetahuan-kreativitas-inovasi. Seperti halnya pengetahuan (knowledge) yang pada awalnya hanya menjadi property individual, inovasi juga demikian karena hanya manusia yang mampu berinovasi. Schumpeter (1934) pada mulanya mengatakan bahwa inovasi adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seorang entrepreneur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan entrepreneur adalah seseorang dalam kedudukannya sebagai individu. Namun pada buku berikutnya Schumpeter mengatakan lain. Menurutnya locus tempat inovasi berproses bergeser dari individu ke perusahaan besar (lihat misalnya: Doganova & Renault, 2008). Schumpeter berubah pikiran karena beranggapan hanya organisasi besar yang memiliki sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan inovasi. Inovasi tidak hanya membutuhkan kreativitas individual semata tetapi membutuhkan juga kolaborasi, sumberdana, riset secara intensif dan bantuan teknologi yang semuanya itu hanya mungkin tersedia jika difasilitasi perusahaan besar. Pandangan Schumpeter sejalan dengan fakta bahwa dalam kehidupan modern seperti sekarang ini peran organisasi dalam mempengaruhi masyarakat banyak jauh lebih besar ketimbang peran individu (lihat kembali modul 1 yang membahas perubahan dalam skala mikro). Sehebat apapun dalam berinovasi, Bill Gate tidak akan mengubah dunia jika tidak ada mendirikan Microsoft. Memang Bill Gate lah orang yang mendirikan dan menjadi tokoh sentral Microsoft tetapi tidak boleh dilupakan bahawa Microsoft lah yang sesungguhnya melakukan inovasi karena disana bukan hanya Bill Gate tetapi berkumpul para ekspertis yang saling belajar dan berbagi pengetahuan sehingga dari situlah inovasi berkembang dan menjadi budaya. Uraian diatas membawa kita pada satu simpulan ketika kita bicara tentang inovasi pada dasarnya yang kita bicarakan adalah inovasi organisasi. Hal ini bukan berarti peran manusia dalam inovasi bisa diabaikan. Memang manusia merupakan pelaku utama inovasi 460 namun harus disadari pula bahwa inovasi tidak ditentukan oleh manusia sebagai satu-satunya factor. Masih banyak factor lain yang ikut menentukan terciptanya inovasi sebut saja sumberdaya keuangan, teknologi, struktur, iklim dan budaya organisasi. Bahkan seperti dikatakan Dodgson (2009) peran negara dalam menumbuhkan daya inovasi masyarakat juga tidak kalah penting. Inovasi dengan demikian merupakan bidang kajian yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai disiplin berbeda dan menggunakan lensa berbeda sehingga membutuhkan kehati-hatian dalam menelaahnya. Untuk memperoleh gambaran awal tentang apa itu inovasi, ilustrasi yang digunakan Timon Gartner (2009) sebagai pembuka proposal disertasi yang ditulisnya akan dipaparkan disini dengan harapan bisa membantu kita memahami inovasi secara umum dan istilah-istilah lain yang terkait – kreativitas dan adopsi. Pada tahun 1903 Mary Anderson mematenkan temuan kecilnya – wiper untuk membersihkan kaca mobil dari air hujan/salju, yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomi namun dewasa ini masyarakat (pengendara mobil) menikmati hasil temuan tersebut. Temuan itu bermula dari masalah yang dihadapi setiap pegendara mobil termasuk Anderson yang setiap kali harus turun dari mobil sekedar untuk membersihkan salju yang menempel di kaca mobilnya. Pada waktu itu pada umumnya masyarakat menerima apa adanya kondisi semacam itu. Namun tidak demikian dengan Anderson. Merasa tidak puas dengan kondisi tersebut Anderson kemudian membuat gambar mekanik yang diyakininya bisa mengatasi masalah tersebut. Dari sinilah Mary Anderson mendapat hak patent pembersih kaca sebagai hasil invensi yang dia lakukan. Cerita ini memberi gambaran bahwa inovasi bermula ketika seseorang merasa tidak puas dengan suatu keadaan dan termotivasi untuk melakukan perubahan. Atau dengan kata lain seseorang tidak boleh menggunakan logika secara konvensional dan linier untuk bisa berinovasi. Gangguan yang kita hadapi harus disikapi secara kritis dan memerlukan imaginasi dan kreativitas. Dari situlah inovasi akan muncul dan gangguan yang sama tidak akan muncul secara berulang. Dari cerita diatas tampak bahwa kreativitas, termasuk didalamnya imaginasi, selalu datang mendahului terciptanya inovasi. Itulah sebabnya orang awam sering menyalah-artikan seolah-olah inovasi dan kreativitas adalah satu dan pengertiannya sama. Woodman et al. 461 (1993) secara tegas membedakan kedua istilah tersebut. Kreativitas merupakan sub set dari inovasi dan inovasi merupakan sub set dari perubahan organisasi. Meski inovasi merupakan bagian dari perubahan organisasi akan tetapi tidak semua perubahan organisasi sama dengan inovasi. Artinya perubahan organisasi tidak harus inovatif tetapi inovasi hampir selalu berakibat pada perubahan. Demikian juga, meski hasil dari kreativitas bisa berupa produk, jasa, ide dan proses baru yang nantinya diimplementasikan melalui inovasi, inovasi tidak selalu mengandung unsur kreativitas. Boleh jadi inovasi hanya sekedar mengadaptasi produk dan proses yang sudah ada sebelumnya atau sekedar mengadopsi apa yang diciptakan orang lain diluar organisasi. Dari penjelasan Woodman et al. paling tidak ada dua istilah yang pengertiannya perlu diklarifikasi agar kita memperoleh pemahaman yang lebih baik. Kedua istilah tersebut adalah kreativitas dan inovasi. Sementara itu jika kita merujuk pada pandangan Ravichandran (2000) tentang inovasi maka istilah inovasi itu sendiri perlu diklarifikasi lebih jauh karena istilah ini memiliki kedekatan dengan istilah adopsi. Kreativitas. Sternberg (2001) mengatakan bahwa orang yang kreatif tidak sama dengan orang yang cerdas. Kecerdasan menurut Sternberg adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Sebagai contoh, ketika harga ponsel semakin hari semakin terjangkau dampaknya adalah penurunan jumlah orang yang menelpon menggunakan jasa wartel. Jika anda seorang pemilik wartel yang cerdas maka anda akan segera tanggap bahwa bisnis wartel sudah tidak menguntungkan. Oleh karenanya menutup wartel dan berpindah ke bisnis lain yang sedang trend saat itu misalnya jualan pulsa atau mengubah wartel menjadi gerai ponsel adalah solusi yang cerdas. Hal yang sama pernah dialami Lou Gertsner mantan CEO IBM. Ketika diserahi untuk mengelola IBM Lou sadar bahwa trend industry computer telah bergeser dari mainframe ke Personal Computer (PC). Di sisi lain Lou sebagai CEO yang cerdas yakin bahwa pengguna PC pada akhirnya akan membutuhkan jaringan. Oleh karenanya Ia lantas memutuskan untuk masuk ke bisnis jaringan dan berhasil. Dua contoh ini menggambarkan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang memiliki ketrampilan sehingga 462 ia mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mampu mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh perubahan lingkungan. Sementara itu kreativitas oleh Sternberg didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan bukan hanya produk berkualitas tetapi juga baru. Gedung berbentuk U terbalik yang akan dibangun untuk menggantikan gedung lama DPR RI yang rancangannya dihasilkan para arsitek yang cerdas sesungguhnya memenuhi criteria sebagai produk kreatif karena gedung tersebut boleh jadi berkualitas tinggi. Sayangnya criteria lain tidak terpenuhi yakni karena gedung tersebut ternyata meniru sebuah gedung yang berlokasi di La Defense Paris bernama “Grand Arch” dan keduanya bahkan hampir sama persis. Oleh karena itu gedung baru berbentuk U terbalik tidak bisa disebut sebagai produk kreatif. Artinya calon gedung baru DPR RI merupakan contoh produk yang dihasilkan orang yang sekedar cerdas tetapi bukan orang yang kreatif. Tentang perbedaan antara kreativitas dan kecerdasan, Sternberg lebih jauh mengatakan (1) kreativitas lebih luas dibandingkan dengan kecerdasan. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana orang yang cerdas belum tentu kreatif. Sebaliknya orang yang kreatif cenderung cerdas meski tidak harus. Bahwa orang kreatif tidak harus cerdas dikemukakan oleh Hayes (1990) “orang yang kreatif boleh jadi memiliki IQ tinggi tetapi bisa jadi IQ nya tidak terlalu tinggi, (2) meski kreativitas merupakan property individual, kreativitas tidak berada pada ruang isolasi. Sebuah produk tidak bisa dikatakan produk kreatif hanya karena penciptanya mengatakan bahwa produk tersebut merupakan produk kreatif. Kreativitas harus diletakkan dalam konteks social dalam pengertian apakah sebuah karya dianggap sebagai karya yang kreatif atau tidak, sangat bergantung pada penilaian system social terhadap produk tersebut. Oleh karena itu suatu karya bisa dianggap kreatif bagi sekelompok masyarakat tetapi belum tentu dianggap karya kreatif bagi kelompok masyarakat lain. Kreativitas sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan produk tetapi dengan karyakarya lainnya. Hal ini misalnya ditegaskan oleh Woodman et al. (1993) yang mengatakan bahwa kreativitas adalah penciptaan produk, jasa, ide, proses atau prosedur baru yang 463 berguna dan berharga, dilakukan oleh individu-individu yang bekerja bersama dalam sebuah kompleksitas system social. Sementara itu Lubart & Guignard (2004) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan asli yang mampu memenuhi kondisi saat ini yang terbatas. Dari ketiga definisi kreativitas yang disebutkan dimuka dan definisi-definisi lain yang tidak disebutkan disini tampak bahwa masing-masing penulis cenderung menggunakan bahasa berbeda untuk menjelaskan esensi kreativitas. Dibalik perbedaan tersebut, setiap definisi juga mengandung unsur kesamaan dan unsur kesamaan inilah yang bisa disebut sebagai karakteristik kreativitas. Pertama, kreativitas meliputi semua bentuk karya manusia baik karya yang berujud (produk) maupun tidak berujud termasuk desain, proses dan ide. Kedua, proses kreativitas tidak terjadi secara kebetulan melainkan merupakan sebuah upaya yang sengaja dilakukan. Hal ini bisa diartikan bahwa kreativitas akan muncul jika pelakunya memiliki pengetahuan untuk itu. Pengetahuan tersebut boleh jadi pengetahuan praktis yang berbasis pada pengalaman masa lalu dan boleh jadi pengetahuan akademik hasil dari pendidikan formal. Ketiga, kreativitas harus menghasilkan sesuatu yang baru dan orisinal. Bisa dikatakan bahwa kebaruan adalah esensi dari kreativitas. Gedung baru berbentuk U sebagai calon pengganti gedung lama DPR RI seperti dicontohkan dimuka bukanlah produk kreatif karena konsepnya tidak orisinal dan tidak baru sama sekali. Keempat, tidak dipungkiri bahwa individu merupakan actor utama pelaku kreativitas tetapi kreativitas tidak hanya dilakukan secara individual tetapi bisa juga secara berkelompok dan organisasional. Kelima, karya yang kreatif harus menunjukkan adanya nilai tambah. Atau dengan kata lain, kreativitas harus menghasilkan kualitas lebih baik dari kondisi sebelumnya. Komponen Kreativitas Menurut Sternberg et al. (1997) ada enam persyaratan sebagai modal dasar agar seseorang atau organisasi bisa disebut kreatif. Keenam syarat tersebut adalah: 1. Pengetahuan – mengetahui apa yang dianggap baru bukan sekedar menemukan kembali apa yang sudah ada 2. Kemampuan intelektualitas – kemampuan untuk menghasilkan ide, mengevaluasinya 464 dan menerapkan ide tersebut 3. Cara berpikir kreatif – seseorang memiliki preferensi untuk berpikir dengan cara baru bukan sekedar cara berpikir konvensional 4. Motivasi – ada keinginan dan upaya yang konsisten untuk terus bergerak dan menumukan sesuatu yang baru dan menjadikan segala sesuatunya terasa menyenangkan 5. Kepribadian – dalam diri seseorang terdapat sifat yang persisten dan bulat untuk mengatasi berbagai macam hambatan 6. Lingkungan – ada dukungan sehingga seseorang berani mengambil risiko misalnya risiko untuk melakukan kegiatan yang tidak popular. Dalam bahasa Sternberg et al. (1997), keenam prasyarat diatas merupakan bentuk investasi yang harus dilakukan organisasi agar tercipta kreativitas. Hasil dari investasi tersebut bukan hanya individu-individunya saja yang kreatif tetapi juga organisasi secara keseluruhan menjadi kreatif. Dalam bentuk slogan, Sternberg et al. menyebut kreativitas sebagai “membeli dengan harga murah dan menjual dengan harga tinggi”. Sayangnya dalam realita lebih banyak organisasi yang tanpa disadari mendesain organisasinya yang justru membunuh kreaifitas secara sistematis ketimbang yang mendukungnya (Amabile, 1998). Seperti dikatakan Amabile, jika sebuah organisasi terperangkap didalam ekosistem organisasi yang membunuh kreativitas maka risiko yang dihadapinya sangat luas. Sebagai contoh, membunuh kreativitas berarti organisasi kehilangan senjata untuk berkompetisi: ide baru tidak akan pernah muncul. Padahal dalam lingkungan bisnis yang semakin kompetitif sebuah perusahaan bisa bertahan hidup dan terus berkembang jika dan hanya jika perusahaan tersebut terus memperbaharui positioning-nya melalui penciptaan ide-ide baru. Selain itu, sangat boleh jadi karyawan akan kehilangan energy dan komitmen jika kreativiasnya terbelenggu. Semua itu pada akhirnya berujung pada perasaan frustasi, dan aspek psikologis lainnya – stress, merasa tidak dihargai dan munculnya perasaan bahwa karyawan hanya sekedar sebagai alat yang dimanfaatkan oleh pemilik perusahaan. Ujung-ujungnya daya kompetisi perusahaan terus menurun. 465 Amabile sendiri sebagai seorang konsultan yang telah bertahun-tahun menekuni bidang kreativitas kemudian mengatakan bahwa kreativitas individual terdiri dari tiga komponen yaitu: (1) expertise, (2) creative-thinking skill, dan (3) motivation seperti tampak pada gambar 13.1 berikut ini. Gambar 13.1 Sumber : Komponen Kreativitas : Amabile (1998) Secara harfiah expertise atau kepakaran berarti pengetahuan baik teknikal, procedural maupun intelektual. Hal ini bisa diartikan bahwa agar seseorang menjadi kreatif maka Ia harus berpengetahuan tidak peduli apakah pengetahuan tersebut diperoleh melalui pendidikan formal, sekedar pengetahuan praktis melalui pengalaman lapangan atau hasil interaksi dengan para professional lain. Sebagai contoh, jika anda diminta untuk mengubah system perhitngan harga pokok produk berbasis aktivitas (activity-based accounting) tidak bisa dihindari anda harus memiliki dan ekspert dibidang akuntansi dan pengetahuan lain seperti proses produksi. Tanpa itu semua mustahil anda bisa kreatif dalam menetukan system perhitungan harga pokok produk yang lebih efisien. Komponen kedua pembentuk kreativitas adalah ketrampilan berpikir kreatif (creative-thinking skill). Yang dimaksud dengan creative-thinking skill adalah bagaimana seseorang menyikapi berbagai macam masalah dan cara penyelesaiannya yakni kapasitas 466 seseorang untuk menggabungkan berbagai macam ide yang ada menjadi ide baru. Secara psikologis apakah seseorang berpikir kreatif atau tidak dalam batas-batas tertentu biasanya dipengaruhi pula oleh kepribadian orang tersebut. Untuk mengatasi masalah membengkaknya harga pokok produksi selain orang tersebut harus ekspert di bidangnya tetapi juga harus berpikiran kreatif. Ia misalnya harus memiliki ide bagaimana proses produksi yang sekarang ada bisa disederhanakan tanpa mengganggu prosesnya itu sendiri. Proses yang lebih sederhana ini tentu dengan sendirinya akan mampu mengurangi biaya produksi. Pertanyaannya adalah apakah orang yang bertanggungjawab terhadap masalah harga pokok produk tersebut memiliki kepribadian yang sejalan dengan kebutuhan untuk kreatif? Misalnya apakah Ia bukan tipikal orang yang konformitis yang cenderung mengiakan orang lain? Kalau jawanannya “ya” maka kreativitas diyakini akan semakin subur. Komponen ketiga adalah motivasi. Jika ekspertis dan creative-thinking skill bisa disebut sebagai bahan baku terciptanya kreativitas, motivasi akan menentukan apakah kreativitas benar-benar bisa terujud. Secara definitive motivasi adalah sebuah proses psikologis yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan tindakan-tindakan sukarela, dan mengarahkan serta memelihara tindakan tersebut secara terus menerus menuju pada satu tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan contoh diatas, apakah activity based accounting bisa terealisir sangat bergantung pada kemauan orang yang bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut. Sangat boleh jadi secara intrinsic orang tersebut mau mengupayakan agar activity-based accounting bisa terealisir tetapi jika tidak ada dorongan extrinsic boleh jadi kreativitas tidak akan pernah terujud. Jika penjelasan Amabile tentang komponen pembentuk kreativitas dibandingkan dengan prasyarat terjadinya kreativitas seperti dikemukakan Sternberg et al. dapat disimpulkan bahwa keduanya sesungguhnya memiliki kesamaan seperti tampak pada Table 13.1. Kalaulah sedikit ada perbedaan, Amabile tidak menyebut lingkungan sebagai komponen pembentuk kreativitas. Perbedaan ini bisa dipahami jika kita menyadari bahwa Amabile berangkat dari kreativitas individu sebagai titik tolaknya sementara Sternberg et al. 467 berangkat dari kreativitas organisasi dimana komponen organisasi bukan hanya individu tetapi juga factor-faktor organisasi lainnya termasuk lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal Table 13.1 Komponen Kreativitas Amabile vs Sternberg et al. Komponen Kreativitas manurut Amabile Prasyarat Kreativitas menurut Sternberg et al. Ekspertis Pengetahuan Kemampuan Intelektualitas Creative-thinking Skill Cara berpikir kreatif Motivation Motivasi Kepribadian Lingkungan Tipologi Kreativitas Sejauh ini telah dijelaskan esensi dari kreativitas termasuk didalamnya tentang kompnen kreativitas. Untuk selanjutnya akan dijelaskan beberapa tipologi tetang kreativitas. Penjelasan ini dianggap perlu karena kreativitas bukan sebuah konstruk tunggal. Dua tipologi kreativitas akan menjadi focus perhatian pada modul ini yaitu tipologi yang dikemukakan oleh Unsworth (2001) dan Kaufmann (2003). Tipologi Kreativitas Menurut Unsworth Untuk menjelaskan tipe-tipe kreativitas, Unsworth (2001) menggunakan dua dimensi sebagai parameternya yaitu pendorong yang menyebabkan seseorang bertindak kreatif dan masalah yang ditemukan saat proses kreatif dimulai. Seseorang mau melakukan tindakan kreatif karena di satu sisi ada dorongan dari dalam dirinya dan alasan lainnya karena dipaksa oleh pihak eksternal untuk melakukannya. Sementara itu dimensi kedua masalah yang dihadapi seseorang sesaat sebelum tindakan kreatif tersebut dilakukan. Masalah ini bisa diklasifikasikan menjadi dua yaitu masalahnya masih terbuka dalam pengertian orang yang mau berkreasi harus terlebih dahulu menemukan masalahnya seperti seorang seniman yang 468 mau menciptakan gagasan baru, dan masalahnya sudah ada sehingga orang yang mau berkreasi tinggal menterjemahkan masalah tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut Unsworth menggunakan dua dimensi yaitu dimensi pertama tipe masalah yang dibedakan menjadi masalah terbuka dan masalah terttutup, dan dimensi kedua dorong untuk berkreasi yang dibedakan menjadi dorongan dari dalam dan dorongan dari luar. Dari dua dimensi ini dihasilkan empat tipologi kreativitas yaitu: expected creativity, proactive creativity, reactive creativity dan contributory creativity (lihat gambar 13.2) terbuka Kreativitas yang Diharapkan Kreativitas Proreaktif (Expected Creativity) (Proactive creativity) Kreativitas Responstif Kreativitas Kontributif (Responsive Creativity) (Contributory Creativity) Tipe Persoalan tertutup eksternal Gambar 13.2 Sumber Expected Creativity Dorongan untuk Berkreasi internal : Tipologi Kreativitas : Unsworth (2001) : kreativitas yang dilakukan karena ada permintaan dari eksternal tetapi masalah ditemukan sendiri disebut sebagai expected creativity. Didalam organisasi contohnya adalah TQM. Responsive Creativity : jika dorongan untuk berkreasi datangnya dari pihak eksternal dan masalah yang dihdapi juga sudah disodorkan maka seseorang tinggal merespon bagaimana melakukan tindakan kreatif. Contohnya adalah sekelompok orang yang ditugasi untuk menyelesaikan masalah 469 secara kreatif Proactive Creativity : proses kreatif terjadi jika seseorang secara sadar terdorong atau termotivasi untuk bertindak kreatif dan terus berusaha menemukan masalah untuk dipecahkan. Contohnya adalah tindakan sukarela karyawan untuk terus memperbaiki proses produksi. Contributory Creativity : jika seseorang mau bertindak kreatif atas kesadarannya sendiri dalam rangka untuk membantu memecahkan masalah yang ada. Contohnya adalah membantu orang lain memecahkan masalah walaupun hal itu bukan tanggungjawabnya. Tipologi Kreativitas Menurut Kaufmann Dimuka telah disebutkan bahwa salah satu criteria penting apakah sebuah karya disebut sebagai karya kreatif adalah adanya unsur kebaruan. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan baru disini? Apakah sesuatu yang baru berarti sebelumnya belum ada sama sekali? Atau apakah sesuatu dikatakan baru jika berbeda dengan yang ada sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab Kaufmann (2003) dengan mengajukan sebuah taksonomi kreativitas – kebaruan seperti tampak pada gambar 13.3 berikut ini. tinggi Adaptasi yang cerdas Kreativitas reaktif (Intellegent Adaptation) (Reactive creativity) Baru dalam hal tugas Memecahkan masalah rutin (Routine Problem Solving) Kreativitas Proaktif (Proactive Creativity) rendah rendah Gambar 13.3 Sumber Baru dalam hal solusi tinggi : Taksonomi Kreativitas – Kebaruan : Kaufmann (2003) Untuk menghasilkan tipologi kebaruan seperti tampak pada gambar 13.3, Kaufmann menggunakan dua dimensi sebagai factor penentunya, yaitu tingkat kebaruan tugas (task 470 novelty) – apakah tugas yang akan dikerjakan memiliki tingkat kebaruan yang relative rendah atau sebaliknya, dan kebaruan dalam menyelesaikan masalah (response novelty) – sejauh mana masalah yang dihadapi membutuhkan tingkat kebaruan. Oleh karena dimensi kedua adalah apakah kebaruan dalam penyelesaian masalah relative tinggi atau sebaliknya. Dari kombinasi dua dimensi ini dihasilkan 4 macam tipologi yaitu (1) routine problem solving, (2) intellegent adaptation, (3) reactive creativity dan (4) proactive creativity. Kategori pertama disebut routine problem solving karena baik pada sisi tugas maupun sisi solusi yang diharapkan tidak ada sesuatu yang baru. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan menghadapi masalah dan semua orang sudah familiar dengan masalah tersebut, sedangkan tugas-tugas yang diberikan kepada karyawan untuk menyelesaikan masalah tersebut hanya mengandalkan System Operating Procedure (SOP) yang ada atau sekedar menggunakan formula yang lama maka situasi ini bisa dikatakan sebagai penyelesaian masalah yang bersifat rutin (routine problem solving) sehingga tidak membutuhkan kecerdasan maupun kreativitas baru karena pengealaman masa lalu bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kategori kedua disebut intelligent adaptation. Disebut demikian karena pada kategori ini meski masalah yang dihadapi perusahaan sudah dikenal baik oleh semua orang dan semua orang juga sudah tahu bagaimana solusinya tetapi untuk menyelesaikan masalah tersebut harus digunakan cara-cara baru yang membutuhkan kecerdasan para karyawan. Atau dengan kata lain tugasnya saja yang baru tetapi solusi tetap sama seperti sebelumnya. Sebagai contoh, agar konsumen tetap tertarik untuk membeli produk kita, perusahaan tidak cukup hanya mengiming-imingi konsumen dengan potongan harga yang menarik tetapi misalnya perlu dibarengi pula dengan memberi kesempatan konsumen untuk membayar secara angsuran. Jadi dalam hal ini kreativitas belum begitu diperlukan tetapi yang diperlukan adalah kecerdasan para karyawannya – solusinya masih sama yakni konsumen tetap mau membeli barang; tugasnya saja yang relative baru yakni menawarkan pembelian dengan angsuran. 471 Kategori ketiga adalah proactive creativity. Pada intinya unsur kreativitas sudah muncul meski kreativitivas tersebut terletak pada solusi penyelesaian masalah bukan pada tugasnya. Tugasnya sendiri masih berdasarkan pengalaman masa lalu. Pada kategori ini pada awalnya perusahaan sesungguhnya tidak menghadapi masalah. Masalah justru muncul atau sengaja dimunculkan ketika perusahaan berusaha untuk mengubah kondisi berjalan menjadi kondisi lebih baik. Disini tampak bahwa perusahaan melakukan terobosan (break through). Sebagai contoh, Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai universitas tertua di Indonesia sesungguhnya tidak menghadapi masalah berarti dalam persaingan dengan perguruan tinggi lain bahkan bisa dikatakan relative memiliki keunggulan. Namun karena tidak puas dengan kondisi tersebut dan dalam upayanya untuk sejajar dan lebih baik dari universitas negeri, pada tahun 1996 Fakultas Ekonomi UII mendirikan program internasional yang belum diselenggarakan oleh perguruan tinggi manapun di Indonesia. Pendirian program internasional inilah yang bisa disebut sebagai menciptakan masalah dan mengajukan solusi baru yang identik dengan kebaruan solusi meski proses pendidikannya relative tidak berubah. Katergori keempat adalah reactive creativity. Pada kategori ini baik tugas yang harus dijalankan maupun solusinya semuanya baru. Karena semuanya serba baru baik tugas maupun solusinya sepintas tampak bahwa kategori ini merupakan tipologi yang paling membutuhkan kreativitas. Dalam banyak hal kategori ini identik dengan konsep single loop learning dan double loop learning sebagaimana dikemukakan oleh Chris Argirys (1995). Dengan single loop learning pada dasarnya perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya tidak ada yang berubah; perubahan hanya terjadi pada skala kecil dalam rangka menyesuaikan diri dengan norma yang ada. Namun jika lingkungan berubah secara signifikan boleh jadi norma yang ada harus ditnjau kembali karena sudah tidak sesuai lagi dengan lingkungan terbaru. Disinilah perusahaan membutuhkan double loop learning – perubahan lebih fundamental. Sebagai contoh, ketika teknologi informasi mendominasi kehidupan masyarakat perusahaan yang tadinya sukses dengan bisnis konvensional mau tidak mau harus menyesuaikan diri dan masuk ke e-business. Dalam kondisi seperti ini maka asumsi-asumsi yang digunakan untuk menjalankan bisnis konvensional harus diubah ke asumsi baru yang sesuai dengan pola ebusiness. Dengan demikian baik tugas dan solusinya berbeda dengan sebelumnya. 472 Manajemen Kreativitas Pertanyaannya adalah apakah kreativitas bisa dikelola? Amabile (1998) menjawabnya bisa. Namun Amabile mengakui bahwa mengelola ekspertis dan creative thinking jauh lebih sulit ketimbang mengelola motivasi karyawan. Hal ini bukan berarti ekspertis dan creative thinking tidak bisa dikelola, hanya saja untuk mengelola keduanya membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar. Sedangkan mengelola motivasi hasilnya lebih cepat tampak. Lebih jauh Amabile mengatakan bahwa seorang manajer dapat mempengaruhi kreativitas seseorang dalam 6 hal yaitu: memberikan tantangan kepada karyawan, memberi kebebasan, menyediakan sumberdaya, menata teamwork, melakukan supervisi dan memberikan dorongan organisasional. 1. Tantangan. Pekerjaan pertama seorang manajer untuk menumbuhkan kreativitas adalah menempatkan karyawan pada pekerjaan yang sesuai sehingga karyawan mampu menunjukkan kepakarannya dan mampu berpikir kreatif. Kecocokan karyawan dengan pekerjaan juga akan mendorong terciptanya motivasi dari dalam (intrinsic motivation). Jika terjadi sebaliknya karyawan justru merasa bosan karena mereka tidak suka dengan tugas tugas yang diembannya. Kecocokan karyawan dengan pekerjaan juga harus diwaspadai karena seringkali justru terjadi karyawan merasa sebagai “raja” yang tidak boleh diganggu orang lain bahkan manajernya sendiri. Barangkali itulah tantangan paling krusial yang dihadapi manajer. 2. Kebebasan. Memberi kebebasan karyawan berarti memberi mereka otonomi yang berkaitan dengan proses melakukan pekerjaan bukan dengan tujuan yang hendak dicapai. Kebebasan dalam hal bagaimana karyawan memutuskan cara untuk melakukan pekerjaan bisa menumbuhkan motivasi karyawan untuk berkreasi dan lebih dari itu karyawan juga memiliki perasaan ikut memiliki. Disamping itu kebebasan juga memungkinkan karyawan berpikir kreatif dan mampu menunjukkan kepakarannya. Kesalahan yang sering dilakukan manajemen adalah (1) terlalu seringnya tujuan yang hendak dicapai berubah sehingga membingungkan karyawan dan (2) bahwa manajemen member kebebasan kepada karyawan hanya dalam ucapan tetapi praktiknya tidak. 473 3. Sumberdaya. Dua jenis sumberdaya yang bisa mempengaruhi kreativitas adalah waktu dan uang. Terhadap dua hal ini manajer harus bertindak hati-hati karena kesalahan dalam mengalokasikan waktu dan uang justru bisa membutuh kreativitas. Pada dasarnya mengelola sumberdaya lebih membutuhkan seni ketimbang sain dalam pengertian menyediakan sumberdaya keuangan melebih ambang batas yang dibutuhkan tidak akan meningkatkan kreativitas dan sebaliknya justru memupus kreativitas. Sayangnya dalam banyak hal para manajer seringkali justru mengadopsi kebijakan uang ketat. Kebijakan ini berakibat pada kreativitas karyawan yang salah arah karena karyawan berkreasi bukan untuk meningkatkan kualitas produk tetapi berkreasi untuk mendapatkan tambanhan uang. 4. Komposisi Tim. Dalam beberapa kasus kreativitas dihasilkan bukan oleh individu melainkan oleh tim kerja. Oleh karena itu mendesain komposisi anggota tim menjadi sangat penting agar kreativitas bisa tumbuh. Dalam hal ini keragaman perspektif dan latarbelakang anggota tim sangat menentukan. Anggota tim yang memiliki perspektif dan latarbelakang yang sama diyakini kurang kreatif dibandingkan jika perspektif mereka beragam. Keragaman memungkinkan masing-masing anggota tim melihat persoalan yang sama dengan perspektif berbeda dan disinilah creative thinking berkembang. Dampaknya tentu saja tim menjadi semakin kreatif. 5. Dorongan Supervisi. Para maanjer biasanya sibuk dengan dirinya sendiri karena dikejar target pencapaian hasil. Namun sesibuk apapun manajer perhatian terhadap karyawan harus diberikan jika menghendaki kreativitas tumbuh subur. Manajer tidak bisa membiarkan kreativitas tumbuh dengan sendirinya tanpa ada apresiasi dari pimpinan karena karyawan pun ingin tampak bahwa mereka berkontribusi terhadap perusahaan dan terhadap orang lain atau komunitas. Apresiasi terhadap karyawan yang kreatif tidak harus dalam bentuk financial, dalam bentuk penghargaan nonfinansial pun karyawan sudah bangga. Bahkan seperti dalam kasus perusahaan 3M toleransi terhadap kesalahan ketika melakukan kreativitas juga bisa disebut sebagai penghargaan karena hal ini akan memberi dorongan karyawan untuk tidak takut berkreasi. Lebih-lebih jika para manajer bisa menjadi role model maka diyakini 474 kreeativitas akan terus tumbuh. 6. Dukungan Organisasi. Kreativitas akan semakin tumbuh jika dorongan berkreasi bukan hanya datang dari para supervisor langsung tetapi dari organisasi secara keseluruhan. Hal ini bisa diartikan bahwa kreativitas akan tumbuh subur jika iklim dan system organisasi mendorong tumbuhnya kreativitas sehingga pada akhirnya kreativitas menjadi budaya. Untuk sampai pada keadaan tersebut tentunya peran pimpinan puncak tidak bisa diabaikan. Dalam konteks menumbuhkan budaya kreatif pimpinan puncak tidak boleh mendelegasikannya kepada sekelompok orang tertentu, misalnya manajer menegngah apalagi manajer level bawah. Pimpinan puncak suka atau tidak suka harus terlibat langsung dalam manajemen kreativitas. Keterlibatan tersebut sebagai pertanda bahwa organisasi secara keseluruhan peduli terhadap kreativitas. Inovasi Organisasi. Setelah panjang lebar menguraikan esensi kreativitas kini giliran kita untuk memahami arti penting inovasi organisasi. Seperti telah dijelaskan dimuka kreatitivitas memiliki hubungan yang erat dengan inovasi. Kreativitas selalu menghasilkan inovasi walaupun tidak secara otomatis terjadi sebaliknya – inovasi selalu mengandung unsur kreativitas. Tidak ada jaminan bahwa kegiatan inovatif selalu kreatif. Bisa jadi inovasi menghasilkan kebaruan tetapi bukan tidak mungkin inovasi hanya sekedar mengadopsi dari inovasi orang lain atau organisasi lain. Meski adopsi sering dianggap sebagai unsur penting dari inovasi, tidak demikian dengan pendapat Ravichandran (2000). Menurutnya inovasi harus secara tegas dibedakan dari adopsi. Demikian juga inovasi tidak jarang dipersamakan dengan invensi atau temuan walaupun pengertian keduanya sesungguhnya berbeda. Karena adanya silang pendapat seperti ini dan untuk memperjelas perbedaan ketiga istilah tersebut maka istilah invensi, inovasi dan adopsi perlu didefinisikan secara jelas pula. Invensi, Inovasi dan Adopsi Harus diakui bahwa membedakan invensi, inovasi dan adopsi bukan merupakan pekerjaan mudah karena ketiganya merupakan konsep yang tumpang tindih. Apalagi masyarakat umum 475 seringkali tidak mempermasalahkan apakah sesuatu yang baru disebut invensi atau inovasi. Untuk menguji pemahaman kita, perhatikan gambar 13.4a dan gambar 13.4b. Apakah gambar tersebut merupakan bentuk kreativitas, invensi atau inovasi? Yang pasti kedua gambar tersebut menunjukkan adanya sesuatu yang baru yang berbeda dari lainnya. Remote control biasanya hanya digunakan untuk mengendalikan jarak jauh fungsi on-off TV atau AC tidak sekaligus untuk membuka botol. Demikian juga untuk memotong pizza biasanya tidak menggunakan gunting waklaupun dengan gunting memotong pizza tampak lebih mudah dan praktis. Kembali pertanyaannya adalah apakah unsur kebaruan tersebut sebuah kreativitas, invensi atau inovasi? Atau apakah kebaruan tersebut mengandung ketiga unsur yang dimaksud? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama kita perlu merujuk kembali definisi kreativitas yakni adanya unsur kebaruan. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan untuk menggabungkan fungsi remote control dan pembuka botol, jika orisinil, adalah gagasan kreatif. Demikian juga gagasan menggunakan gunting sebagai pemotong pizza. Jadi gambar diatas memenuhi unsur kreativitas. Kedua, untuk melihat apakah kedua gambar tersebut juga memenuhi unsur invensi kita memperhatikan definisi invensi berikut ini. Gambar 13.4a : Remote control pembuka botol 476 Gambar 13.4b : Gunting pizza Palmberg (1999) mendefinisikan invensi sebagai “an idea, a sketch or a model for something – sebuah ide/gagasan, sketsa atau model untuk suatu hal”. Definisi yang hampir sama diberikan oleh Ahuja & Lampert (2001) yakni invensi adalah pengembangan ide baru. Kedua definisi ini menunjukkan bahwa invensi merupakan sesuatu yang baru namun masih berada pada dataran konsep, model, prototipe atau pengetahuan. Jadi kedua gambar diatas juga memenuhi unsur invensi. Karena kreativitas dan invensi sama-sama mengandung unsur kebaruan, uraian berikut diharapkan bisa menjelaskan perbedaan antara invensi dari kreativitas. Ketika seseorang berpikiran bahwa remote control bisa digunakan untuk membuka botol maka pikiran tersebut disebut sebagai ide kreatif. Namun ide tersebut hanya sebatas gagasan jika tidak ditindaklanjuti dengan mewujudkan dan mengujicobakan dalam bentuk konsep atau prototype. Perwujudan gagasan dalam bentuk konsep inilah yang disebut invensi. Meski tidak harus, invensi yang membutuhkan bantuan teknologi atau rumusan kimia yang kompleks, misalnya invensi untuk ramuan obat baru, sehingga membutuhkan proses yang tidak sederhana pada umumnya dilakukan di laboratorium baik laboratorium perguruan tinggi, laboratorium (R&D) perusahaan atau dilakukan bersama antara perguruan tinggi dengan perusahaan. Hasil dari invensi bukan produk atau jasa itu sendiri melainkan baru 477 sebatas resep, formula atau prototipe untuk menghasilkan produk, jasa atau teknologi. Hasil invensi inilah yang biasanya dipatenkan meski ada juga yang tidak dipatenkan. Alasan tidak dipatenkannya invensi boleh jadi karena hasil invensi tersebut belum menunjukkan tandatanda nilai komersial, paling tidak pada saat invensi tersebut dihasilkan. Setelah seseorang atau sebuah perusahaan menghasilkan invensi atau temuan baru tidak otomatis temuan tersebut bisa dikomersialkan. Atau dengan kata lain invensi belum bisa langsung berubah menjadi inovasi. Beberapa bukti menunjukkan banyak invensi yang sudah dipetenkan tetapi hanya berhenti sampai diperoleh hak patent tetapi tidak dikomersialkan. Untuk mengubah invensi menjadi inovasi terkadang butuh waktu sampai puluhan tahun meski ada juga yang membutuhkan interval waktu realatif pendek. Sebagai contoh, Enos (1962) misalnya mengidentifikasi 35 produk hasil invensi yang ditemukan sejak pertengahan abad 19 sampai awal abad 20. Dari 35 temuan yang diinventarisasi Enos, diketahui bahwa waktu interval paling lama adalah 79 tahun untuk temuan lampu dengan unsur fluor (lampu neon). Lampu neom ditemukan oleh Bacquerel tahun 1859 dan dikomersialkan oleh GE Westinghouse tahun 1938. Pisau cukur yang dikenal di Indonesia dikenal dengan nama silet ditemukan oleh Gillette pada tahun 1895 dan dikomersialkan oleh Gillette Safety Razor Company pada tahun 1904 (butuh waktu 9 tahun). Temuan lainnya butuh waktu interval bervariasi antara 1 tahun sampai 53 tahun. Pada contoh lain, Khijli et al. (2006) misalnya mengatakan bahwa proses untuk menciptakan produk berbasis biotechnology yakni obat-obatan (drugs) sejak mulai invensi sampai dengan komersialisasi membutuhkan waktu tidak kurang dari 15 tahun (lihat gambar 13.5). Secara umum, waktu 15 tahun tersebut bisa dibagi menjadi dua yakni 6.5 tahun pertama digunakan untuk menemukan formula baru dan uji klinis. Jika hasil uji klinis memberikan sinyal positif dalam pengertian memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut maka pihak perusahaan mengajukan permohonan uji investigasi untuk temuan produk obata-obatan baru (Investigational New Drug Application) kepada pihak berwenang. Sedangkan 8.5 tahun sisanya disebut sebagai postdiscovery – paska temuan yang dibagi menjadi beberapa fase waktu. Fase 1- 3 merupakan fase penyempurnaan yang diakhiri 478 dengan pengajuan permohonan daftar produk obat-obatan baru. Berdasarkan permohonan ini pihak berwenang – Food and Drug Authority (FDA) melakukan review dan persetujuan jika obat baru tersebut sesuai standar yang berlaku. Fase terakhir – fase 4 merupakan periode uji coba pasar. Selanjutnya, produksi akan dilakukan secara missal jika penerimaan pasar menunjukkan sinyal positif terhadap produk baru tersebut. Gambar 13.5 : Proses invensi dan inovasi produk Obat Sumber : Khijli et al. (2006) Dari dua contoh diatas diperoleh dua simpulan sementara (1) inovasi dalam batasbatas tertentu membutuhkan waktu yang lama, biayanya mahal dan mengandung risiko yang tidak kecil. Oleh karenanya meski inovasi diyakini menjadi keunggulan bersaing bagi sebuah perusahaan tidak semua perusahaan mampu melakukan inovasi karena tidak memiliki infrastruktur yang memadai, dan (2) inovasi pada dasarnya adalah komersialisasi dari invensi dan invensi merupakan perwujudan kreativitas dalam bentuk konsep atau formula. Inovasi dengan demikian bisa dirumuskan sebagai berikut: Inovasi = kreativitas + invensi + ekploitasi. Definisi Inovasi Inovasi secara harfiah berasal dari bahasa Latin “innovare” yang berarti me-review, membuat sesuatu menjadi baru atau mengganti yang lama menjadi baru. Kata innovare itu sendiri berasal dari kata “novus” yang juga berarti baru (Bhat, 2010). Dengan demikian jika kita 479 melihat kembali esensi kreativitas dan invensi serta membandingkannya dengan kata inovasi sesungguhnya ketiga memiliki kesamaan yakni unsur kebaruan. Perbedaan dari ketiganya terletak pada nilai guna dari kebaruan tersebut. Kreativitas menghasilkan pengetahuan baru, pengetahuan baru menjadi dasar untuk menemukan formula baru dan formula baru jika diwujudkan dalam realitas kehidupan akan memberi nilai guna dan membantu memecahkan persoalan yang sebelumnya tidak terpecahkan. Invensi yang memberi manfaat nyata inilah yang secara umum disebut sebagai inovasi. Dari uraian diatas tampak jelas bahwa esensi dari inovasi adalah adanya unsur kebaruan (Johanessen, et al. 2001). Diluar itu inovasi didefinisikan secara berbeda oleh penulis berbeda bergantung pada focus perhatian masing-masing. Munculnya perbedaan definisi inovasi boleh jadi karena cakupan dari kajian inovasi yang begitu luas. Inovasi misalnya bisa dikaji pada level individu, kelompok, organisasi, industry maupun nasional (lihat misalnya Read, 2000). Perbedaan level kajian tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap konsepsi inovasi. Berikut beberapa definisi inovasi yang diberikan oleh beberapa akademisi. Van de Ven (1986). “The process of innovation is defined as the development and implementation of new ideas by people who over time engage in transactions within an institutional context – proses inovasi didefinisikan sebagai pengembangan dan implementasi ide-ide baru oleh sekumpulan orang yang dalam kurun waktu lama saling bertransaksi dalam lingkup sebuah institusi” West and Farr (1990) “Innovation is the sequence of activity by which a new element is introduced into social unit, with the intention of benefiting the unit, some part of it, or the wider society. The element need not be entirely novel or unfamiliar to members of unit, but it must involve some discernible change or challenge to the status quo – inovasi adalah urut-urtan aktivitas dalam sebuah unit social yang didalamnya memasukkan elemen baru dengan tujuan memberi manfaat bagi unit bersangkutan, sebagian dari unit bersangkutan atau keuntungan bagi 480 masyarakat lebih luas. Elemen dimaksud tidak harus baru sama sekali atau tidak diketahui sebelumnya oleh anggota-anggota unit bersangkutan, tetapi elemen tersebut harus melibatkan aspek perubahan atau mampu kondisi status quo. Ravichandran (2000) “Organizational innovation can be constructed as the actualization of the creation of a new product, process, method or service by an organization, through concerted and commited efforts of its members, and by other resources, exhibiting a perceptual departure from its antecedent and demonstrating one or more utility values – inovasi organisasi adalah aktualisasi dari penciptaan produk, jasa, proses atau metode baru yang dilakukan organisasi melalui upaya bersama dan komitmen para anggota organisasi, dan penggunaan sumberdaya lain sehingga hasil ciptaan tersebut dianggap telah berubah atau berbeda dari kondisi sebelumnya dan menunjukkan nilai guna lebih baik. Dimensi Inovasi Bisa dikatakan bahwa ketiga definisi diatas merupakan representasi dari definisi-definisi yang bisa ditemukan pada berbagai literature tentang inovasi. Terlepas bahwa inovasi didefinisikan secara berbeda, ada satu yang tidak berbeda dari setiap definisi inovasi yaitu unsur kebaruan. Oleh karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kebaruan adalah inti dari inovasi. Sedangkan komponen inti yang kedua adalah nilai manfaat. Setiap inovasi harus memberi nilai manfaat paling tidak bagi perusahaan yang berinovasi. Dengan inovasi misalnya perusahaan diharapkan mampu memperbaiki daya saing baik dalam lingkup pasar domestik maupun pasar global. Berkaitan dengan kebaruan dalam inovasi, masih ada tiga pertanyaan yang perlu dielaborasi labih lanjut yaitu: Apanya yang baru dari sebuah inovasi? Seberapa baru inovasi tersebut? Jika inovasi dikatakan baru, sesungguhnya baru bagi siapa? Itulah tiga pertanyaan yang diajukan oleh Johanessen et al. (2001). Pertanyaan ini pada dasarnya adalah pertanyaan tentang dimensi inovasi Unsur Kebaruan dalam Inovasi Kebaruan adalah sebuah tema penting khususnya bagi perusahaan yang baru berdiri (new 481 start-up), perusahaan yang hendak memasuki pasar baru (new entry), perusahaan yang hendak memperbaiki proses aktivitas (new organization) dan bahkan bagi perusahaan yang mengalami kegagalan dan hendak menyehatkan diri (organizational renewal). Mengadopsi hal-hal baru merupakan sebuah keharusan bagi perusahaan-perusahaan seperti tersebut diatas jika ingin tetap bertahan hidup dan bisa bersaing dalam kancah lingkungan yang sangat dinamis. Inovasi yang didalamnya melibatkan unsur kebaruan dengan demikian merupakan salah satu bentuk solusi yang sangat disarankan bagi tipikal perusahaan diatas. Baru dalam hal ini bisa berupa produk, jasa, metode produksi, membuka pasar baru, pasokan (supply), atau manajemennya baru (Johanessen et al. 2001). Berdasarkan unsur kebaruan dalam inovasi, secara umum inovasi biasanya dibedakan menjadi 4 macam yakni inovasi produk, jasa, proses dan administrasi atau manajemen (Damanpour, 1987; 1991; 1996; Van de Ven, 1986). Keempat macam inovasi tersebut kadang-kadang diklasifikasikan seperti tampak pada gambar 13.6 berikut ini. Inovasi Produk Inovasi Teknis Inovasi Proses OI Inovasi Staff Inovasi Administratif Inovasi Marketing Inovasi Struktur & Iklim Organisasi Gambar 13.6 : Klasifikasi Inovasi 482 Tipologi Inovasi Meski kebaruan merupakan unsur pokok dalam inovasi, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa baru agar sesuatu yang baru bisa disebut inovasi? Sejauh ini literature-literature inovasi menunjukkan bahwa kebaruan dalam inovasi tidak harus semuanya serba baru. Bisa saja yang baru hanya sebagiannya saja misalnya hanya kemasannya saja yang baru sementara isinya sama seperti sebelumnya. Sebuah pabrikan sepeda motor di Indonesia yang mengusung slogan “inovasi tiada henti” ternyata tidak banyak menunjukkan hal-hal baru dalam produknya. Bahkan jika dibandingkan dengan pabrikan lain yang tidak mengusung slogan inovasi, tingkat kebaruan pabrikan yang mengusung slogan inovasi relative lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebaruan inovasi tidak harus menyeluruh. Meamng seperti dikatakan Damanpour (1996) inovasi bisa radikal tetapi juga bisa incremental. Inovasi kadang-kadang juga dibedakan menjadi inovasi revolusioner dan inovasi evolusioner. Inovasi radikal atau revolusioner adalah sebuah proses inovasi yang tingkat kebaruannya sangat tinggi sehingga organisasi yang mengimplementasikan inovasi seringkali harus mengubah paradigma untuk menjalankan kegiatannya. Sebaliknya inovasi incremental/evolusioner adalah proses inovasi yang tingkat kebaruannya relative rendah sehingga dalam menjalankan aktivitasnya perusahaan tidak harus mengubah paradigma lama. Nilai Manfaat dari Inovasi Pertanyaan ketiga adalah baru untuk siapa? Jika kita menilik alasan sebuah perusahaan melakukan inovasi yakni agar bisa bertahan hidup atau agar bisa bersaing dengan perusahaan lain maka inovasi sesungguhnya lebih ditujukan untuk kepentingan eksternal yakni untuk kepentingan pasar. Dengan inovasi, diharapkan pasar merespon secara positif apa yang dilakukan perusahaan. Terlepas bahwa tujuan akhir dari inovasi untuk memperbaiki posisi pasar, sifat kebaruan dalam inovasi sesungguhnya bisa dibedakan menjadi dua yaitu baru bagi organisasi bersangkutan (disebut sebagai the firm-based framework) dan baru bagi pasar (newness to the market framework) (lihat misalnya Kotabe & Swan, 1995). Tidak jarang perusahaan yang mengklaim dirinya melakukan inovasi, katakanlah inovasi proses, sesungguhnya proses yang sama sudah dilakukan oleh perusahaan lain sebelumnya. Namun 483 karena proses tersebut betul-betul baru bagi perusahaan yang bersangkutan maka wajar jika diklaim sebagai sebuah inovasi. Inovasi seperti inilah yang disebut firm based framework. Meski firm based framework hanya menunjukkan kebaruan bagi organisasi bersangkutan tujuan akhirnya bukanlah sekedar organisasinya yang baru tetapi pada akhirnya diharapkan pula agar dengan kebaruan tersebut ujung-ujungnya kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Artinya meski firm based framework pada awalnya lebih berorientasi internal pada akhirnya inovasi diharapkan bisa mempengaruhi posisi pasar. Atau dengan kata lain firm based dan newness to market framework sesungguhnya saling berkaitan. Adopsi dalam Inovasi Diluar tiga pertanyaan tentang esensi inovasi yang diajukan Johanessen et al. diatas, masih ada pertanyaan lain yaitu tentang originalitas inovasi. Pertanyaan ini datang dari Ravichandran (2000) yang mempersoalkan apakah inovasi yang sudah dilakukan oleh organisasi lain kemudian diadopsi oleh sebuah organisasi bisa disebut inovasi bagi organisasi yang bersangkutan? Atau dengan kata lain apakah firm based framework bisa disebut inovasi? Ravichandran secara tegas mengatakan “tidak”. Menurutnya inovasi dan adopsi adalah dua konsep yang berbeda. Ravichandran mendefinisikan adopsi sebagai membeli atau meminjam inovasi untuk digunakan oleh sebuah organisasi dimana inovasi tersebut telah dilakukan sebelumnya ditempat lain atau organisasi lain dan telah menunjukkan nilai manfaat lebih baik dari kondisi sebelumnya. Definisi ini menunjukkan bahwa adopsi pada dasarnya adalah inovasi. Hanya saja yang melakukan inovasi bukan organisasi yang bersangkutan tetapi organisasi lain. Sebagai contoh, perusahaan obat yang membeli hak paten dari sebuah perusahaan lain yang mengembangkan obat baru tidak bisa disebut sebagai perusahaan yang inovatif karena yang mengembangkan obat baru tersebut adalah perusahaan lain bukan perusahaan yang mengkomersialkan obat baru tersebut. Secara lebih detail Ravichandran membedakan inovasi dari adopsi seperti tampak pada table 13.2 sebagai berikut: 484 Table 13.2 Perbedaan antara Inovasi dan Adopsi Inovasi Adopsi Original Hasilnya berupa derivasi Baru Bukan sesuatu yang baru bersifat umum Diciptakan Dibeli atau pinjaman Wujud atau realisasi dari kemampuan organisasi Merupakan perwujudan dari daya beli Memiliki ketidakpastian yang relative tinggi Mudah diprediksi Pioneer Pengikut bukan pencetus gagasan Memiliki unsur inovasi Merupakan bentuk respon Dukungan dari pimpinan puncak Keputusan manajemen puncak Upaya yang berbasis komitmen dan Tidak harus memiliki komitmen dan keterkaitan berkesinambungan Dapat dilihat oleh pihak eksternal Tidak harus terlihat oleh pihak eksternal Sumber : Ravichandran (2000) Difusi Inovasi Meski Ravichandran (2000) mengatakan bahwa adopsi bukanlah inovasi karena yang melakukan inovasi adalah pihak lain namun tidak bisa dipungkiri jika sebuah organisasi/perusahan melakukan inovasi hampir pasti perusahaan-perusahaan lain pun akan melakukan hal yang kurang lebih sama atau bahkan lebih baik demi memperbaiki daya kompetisi. Akibatnya tidak bisa dihindari jika inovasi terus bergulir mulai dari organisasi ke industry ke regional ke nasional dan global. Dengan penyebaran inovasi seperti ini bukan hanya perusahaan yang berinovasi yang memperoleh manfaat tetapi pada umumnya masyarakat juga akan diuntungkan. Pertama, dengan semakin banyak perusahaan yang berinovasi berarti tidak ada monopoli terhadap produk atau jasa tertentu. Kedua, standar hidup masyarakat akan meningkat karena di satu sisi masyarakat bisa memperoleh produk/jasa dengan kulaitas lebih baik dan di sisi lain harganya tentu lebih murah. Sebagai contoh, jika anda ingin membuka internet, media yang biasa anda gunakan (internet browser) adalah internet explorer hasil inovasi Mirosoft. Namun sekarang anda 485 punya pilihan lain untuk membuka internet misalnya Mozilla Firefox, Flock, Safari maupun Google Chrome. Mungkin ke depan anda punya pilihan lain lagi karena inovasi terus berjalan. Proses penyebaran inovasi seperti ini disebut difusi inovasi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa difusi inovasi merupakan potensi sebuah inovasi diadopsi oleh pihak lain sehingga inovasi tersebut menyebar lebih luas (Wolfe, 1994). Proses penyebarannya itu sendiri membentuk sebuah kurve yang menyerupai huruf S sehingga sering disebut sebagai S-Curve seperti tampak pada gambar 13.7. Maturation Jumlah Adopter Kumulatif Infancy Rapid expansion Interval waktu Gambar 13.7 Sumber : Adopsi inovasi berbentuk Kutve – S. : Taylor & McAdam (2004) Pada awalnya ketika sebuah perusahaan menemukan sesuatu yang baru tentunya hanya perusahaan tersebut yang berusaha untuk mengkomersialkannya jika temuan tersebut diyakini memiliki potensi pasar. Namun sebelum temuan tersebut dikomersialkan, bukan tidak mungkin perusahaan lain pun berusaha melakukan hal yang sama misalnya dengan mengintip apa yang dilakukan perusahaan pesaing. Dengan merujuk pada gambar 6.2.5 (Scurve) tahap ini disebut sebagai slow initial adoption – adopsi awal yang masih lambat dimana hanya ada satu atau dua perusahaan yang melakukan inovasi. Sebagai contoh, sepeda motor matic pada mulanya tidak dikenal sebelum perusahaan Korea, Kymco, melakukan terobosan dengan mengembangkan teknologi matic dan memproduksi sekaligus mengomersialkannya. Ketika perusahaan lain (Honda, Yamaha, Suzuki dan Kawasaki) melihat potensi pasar dari teknologi matic, tidak pelak perusahaan lainpun mulai ramai-ramai 486 ikut mengembangkan dan memproduksinya sampai akhirnya inovasi motor matic tidak bisa lagi dikembangkan. Contoh ini memberi gambaran bahwa tahapan pada proses difusi bermula dari slow initial adoption dan berlanjut ke tahap take off dimana invensi mulai dikomersialkan, diimitasi oleh banyak perusahaan sehingga terjadi ekspansi besar-besaran dan akhir mencapai tahap maturiry atau kemapanan dimana sebuah inovasi tidak lagi bisa dikembangkan. Tentunya tidak semua inovasi akan diadopsi dan diimitasi oleh perusahaan lain seperti pada contoh teknologi matic maupun internet browser. Beberapa diantaranya bahkan hanya berhenti sampai diperolehnya hak paten tetapi tidak pernah sampai pada komersialisasi. Factor yang mempengaruhi apakah sebuah inovasi akan diadopsi oleh perusahaan lain diantaranya adalah (1) kemungkinan tingkat keuntungan yang akan diperoleh jika mengadopsi inovasi yang dilakukan perusahaan lain, (2) tingkat kompatibilitas dengan teknologi yang dimiliki perusahaan saat ini, (3) tingkat kompleksitas inovasi yang akan diadopsi, (4) dapat tidaknya inovasi baru bisa diujicobakan dan (5) mudah tidaknya inovasi baru bisa diobservasi oleh pihak lain (lihat Taylor & McAdam, 2004). Sementara itu Rogers sebagaimana dikutip Taylor & McAdam (2004) membedakan perusahaan yang mendadopsi inovasi menjadi lima kategori yaitu (1) innovator – individu atau perusahaan yang pertama kali melakukan inovasi, (2) early adopter – perusahaan yang segera tanggap begitu ada inovasi baru, (3) early majority – perusahaan yang mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi senbelum kebanyakan perusahaan lain melakukannya, (4) late majority – perusahaan yang mendapat tekanan untuk mengadopsi inovasi karena perusahaan lain telah melakukannya dan (5) laggard – perusahaan yang paling lambat atau paling akhir mengadopsi inovasi. Karakteristik Organisasi Inovatif Amabile dalam artikelnya “How to Kill Creativity” (1997) mengatakan bahwa organisasi disatu sisi bisa membunuh kreativitas karyawannya tetapi di sisi lain juga bisa mendorong karyawan untuk terus berkreasi. Analog dengan penjelasan Amabile, inovasi juga 487 menghadapi persoalan yang sama. Di satu sisi bisa saja organisasi sangat antusias dalam menumbuhkan lingkungan organisasi yang inovatif. Salah satu contohnya adalah perusahaan 3M. Di perusahaan ini setiap karyawan memiliki kesempatan dan motivasi untuk menemukan hal-hal baru terutama karena dukungan perusahaan sangat besar. 3M misalnya sangat terbuka bagi ide-ide baru, menyediakan dana bagi karyawan yang hendak melakukan inovasi, memberi penghargaan bagi yang menemukan invensi baru, dan mentolerir kesalahan bagi yang gagal dalam inovasi. Akibatnya bisa diduga inovasi tumbuh subur dan ribuan invensi dihasilkan oleh perusahaan ini (lihat misalnya Higgins & McAllaster, 2002). Sebaliknya tidak jarang ditemukan pula perusahaan yang menghambat inovasi atau paling tidak enggan berinovasi. Pertama, boleh jadi karena perusahaan memiliki keunggulan daya saing sehingga menganggap inovasi tidak diperlukan lagi. Perusahaan yang memonopoli pasar misalnya cenderung berpandangan seperti ini. Kedua, walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa organisasi yang sudah tua memiliki kemampuan berinovasi lebih tinggi dibandingkan organisasi baru, teori lain mengatakan bahwa organisasi yang sudah tua biasanya mengalami situasi yang disebut “liability of oldness” yakni kesulitan beradaptasi dengan perubahan lingkungan karena struktur organisasi yang terlanjur sangat kaku (struktur organisasi mekanik). Akibatnya tingkat inovasinya relative rendah. Sebaliknya organisasi yang inovatif biasanya memiliki struktur organisasi yang fleksible (struktur organisasi organic) (lihat: Burns and Stalker, 1961). Ketiga, inovasi merupakan proses yang sangat kompleks yang hasilnya tidak segera bisa dinikmasti (tidak menentu) dan membutuhkan dana dan infrastruktur yang memadai – bukan hanya fisik tetapi juga budaya, manajemen dan sumberdaya manusia. Prasyarat untuk dikatakan sebagai organisasi yang inovatif misalnya dapat dilihat pada table 13.3 (Matthews, 2002). Prasyarat seperti inilah yang menyebabkan beberapa perusahaan tidak mampu memenuhinya lebih-lebih jika pihak manajemen tidak memiliki intensitas untuk berinovasi. 488 Table 13.3 Komponen Organisasi yang Inovatif Komponen Visi, kepemimpinan dan kemauan untuk inovasi Ada kejelasan tentang tujuan organisasi yang hendak dicapai dan tujuan tersebut juga telah diartikulasikan secara jelas. Pada saat yang sama pimpinan puncak memiliki komitmen yang ditunujukkan dengan pengembangan strategic intent Struktur organisasi yang tepat Desain organisasi yang tepat sehingga daya kreatif karyawan mencapai level paling tinggi Orang-orang kunci Orang-orang kunci dalam organisasi berindak sebagai promotor, penjaga gawang dan perang-peran lain sejenis yang memfasilitasi dan menggerakkan inovasi organisasi Team work yang efektif Tim kerja difungsikan secara tepat dalam memecahkan berbagai persoalan organisasi. Oleh karenanya memilih dan membangun tim yang solid menjadi snagat krusial. Pengembangan diri karyawan secara berkelanjutan Oraganisasi memiliki komitmen untuk mendidik dan melatih karyawan dalam rangka memastikan bahwa karyawan memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan memiliki kemampuan belajar yang efektif. Komunikasi yang terbuka Menjaga efektivitas komunikasi didalam organisasi dan antara organisasi dengan pihak luar. Didalam organisasi komunikasi dilakukan secara lateral, keatas dan kebawah Keterlibatan yang tinggi dalam inovasi Seluruh karyawan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dalam rangka peningkatan kinerja berkelanjutan (continuous improvement). Focus pada pelanggan Perhatian ditujukan baik pada pelanggan internal dan eksternal dengan membangun total quality culture Iklim yang kreatif Berpandangan positif terhadap ide-ide kreatif yang didukung oleh system penghargaan yang relevan Organisasi pembelajar Proses, stuktur dan kultur yang mendukung terciptanya pembelajaran individu, ditunjukkan dengan dibangunnya knowledge management Sumber : Matthews (2002) 489 Berdasarkan prasyarat diatas, Matthews &Manley (2009) selanjutnya membedakan praktik manajemen yang mendukung dan menghambat inovasi seperti tampak pada table 13.4 sebagai berikut Table 13.4 Karakteristik Manajemen Yang Mendukung dan Menghambat Inovasi Praktik Manajemen yang Mendukung Inovasi Dorongan manjemen Budaya organisasi yang mendorong kreativitas melalui penilaian gagasan yang fair dan konstruktif, pemberian pengakuan dan penghargaan untuk pekerjaan kreatif, mekanisme untuk mengembangkan gagasan baru, gagasan yang terus mengalir dan visi bersama Dorongan atasan Atasan bertindak sebagai role model, menetapkan tujuan secara tepat, dan member dukungan penuh kepada kelompok kerja yang menghargai kontribusi individu dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kelompok Dorongan kelompok kerja Anggota kelompok kerja memiliki skill yang beragam dimana masing-masing bisa berkomunikasi dengan baik, terbuka untuk menerima ide-ide baru, masing-masing bisa bersaing secara konstruktif, saling percaya dan saling membantu satu sama lain dan memiliki komitmen terhadap apa yang sedang dikerjakan kelompoknya Sumberdaya yang memadai Memiliki akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan termasuk keuangan, material, fasilitas dan informasi Pekerjaan yang menantang Memiliki rasa dan kemauan bekerja keras untuk pekerjaan yang menantang dan proyek-proyek penting Kebebasan Memiliki kebebasan untuk menentukan cara kerja Praktik Manajemen yang Menghambat Inovasi Hambatan manajemen Budaya organisasi yang kental dengan suasana politik, persaingan yang destruktif dan menghindari risiko. Tekanan beban kerja Tekanan terhadap waktu kerja yang sangat ketat, mengharapkan tingkat produktifitas yang tidak realistic dan banyaknya gangguan untuk menciptakan pekerjaan yang kreatif 490 Sumber : Matthews & Manley (2009) Proses Inovasi Professor Roy Rothwell dari Science Policy Research unit (SPRU), the University of Sussex sebagaimana dikutip Neely and Hii (1998) mengklasifikasikan proses inovsi menjadi lima generasi yaitu: 1. Generasi Pertama Technology Push 2. Generasi Kedua Market Pull 3. Generasi Ketiga Coupling Model 4. Generasi Keempat Integrated Model 5. Generasi Kelima Systems Integration and Networking Technology Push Proses inovasi pada awalnya mengikuti pola yang disebut technology-push atau linear model seperti tampak pada gambar 13.8. Model ini banyak diterapkan pada periode tahun 1950an dan 1960an dimana ketika itu permintaan melebihi kapasitas produksi sehingga kebanyakan perusahaan berasumsi bahwa semua yang diproduksi pasti bisa terserap oleh pasar – supply creates its own demand. Dengan demikian pusat perhatian perusahaan lebih dititikberatkan pada R&D dan manufacturing ketimbang pada aspek pemasaran. R&D diperlakukan sebagai tempat melalukan inovasi untuk menghasilkan produk-produk baru. Semakin banyak R&D dilakukan semakin banyak inovasi dan semakin banyak pula dihasilkan produk baru. Peran manufacturing adalah memproduksi produk baru secara masal dan pasar dianggap mampu menyerap semua hasil produksi dibuat perusahaan. Dengan asumsi seperti ini maka inovasi diinterpretasikan sebagai sebuah proses yang bermula dari penelitian ilmiah yang dikembangkan pada R&D, diimplementasikan melalui kegiatan produksi yang hasilnya adalah produk baru dan dijual ke masyarakat melalui mekanisme pemasaran. Jadi inovasi pada dasarnya dipahami sebagai proses linear dimana R&D memiliki peran kunci sebagai input. 491 Basic science Design and engineering Gambar 13.8 Manufacturing Sales Marketing : Proses inovasi generasi pertama – technology-push Marketing Pull Jika pada tahun 1950an dan 1960an proses inovasi mengikuti linear model dimana proses inovasi bersifat inside-out, akhir tahun 1960an sampai dengan awal tahun 1970an terjadi hal sebaliknya yakni proses inovasi bersifat outside-in atau disebut marketing-pull. Karena tingkat persaingan pada periode ini sudah mulai menonjol, perusahaan cenderung berusaha untuk menawarkan produk yang semakin beragam yang memang dibutuhkan oleh kastemer bukan semata-mata yang dikehendaki perusahaan. Oleh karenanya dalam konteks inovasi kebutuhan kastemer menjadi factor pendorong untuk melakukan inovasi (lihat gambar 13.9). Atau dengan kata lain pasar merupakan sumber ide untuk menggerakkan kegiatan R&D. Customer needs Design and engineering Manufacturing Sales Gambar 13.9 : Proses inovasi generasi kedua– marketing-pull Coupling Model New Needs Idea genera tion New techn Gambar 13.10 Needs of society and the market Research, design & development Prototype production Manufacturing Mrktg & sales Market place State the art of technology and science : Proses inovasi generasi ketiga– coupling model 492 Dua model proses inovasi yang telah dibahas sebelumnya – technology-push dan marketingpull dianggap memiliki beberapa kelemahan. Diantaranya (1) model tersebut terlalu menyederhanakan proses inovasi yang dalam realita sesungguhnya sangat kompleks, (2) tidak ada umpan balik yang memungkinkan untuk perbaikan proses inovasi selanjutnya. Oleh karenanya memasuki pertengahan tahun 1970an sampai dengan awal tahun1980an dikembangkan model proses inovasi generasi ketiga yang disebut coupling model (lihat gambar 13.10). Pada intinya model ini, meski masih bersifat sequential seperti pada model pertama dan kedua, jauh lebih komprehensif karena keterkaitan factor-faktor yang mempengaruhi proses inovasi sudah dipertimbangkan secara seksama. Factor yang dimaksud adalah: perusahaan yang melakukan inovasi, komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kebutuhan pasar. Model ini sering disebut pula sebagai “a complex net of communication path” karena sifatnya yang kompleks yang menghubungkan kondisi internal perusahaan, ketersediaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kebutuhan pasar. Dari hubungan inilah diperoleh umpan balik yang menjadi kunci dalam mengembangkan inovasi baru. Integrated Model Proses inovasi generasi keempat yang disebut integrated model mulai dikembangkan di Jepang khususnya pada industry otomotif dan elektronik sejak pertengahan tahun 1980an sampai dengan tahun 1990an. Sama seperti proses inovasi generasi ketiga, integrated model merupakan proses inovasi yang bersifat kompleks, non-linear dan mensyaratkan adanya umpan balik. Bedanya adalah proses inovasi generasi keempat tidak terjadi secara berurutan (sequential) melainkan proses inovasi yang melibatkan berbagai fungsi organisasi – marketing, R&D, product development, production engineering, supplier dan manufacture secara parallel (lihat gambar 13.11). Fungsi-fungsi melakukan aktivitas bersama lintas fungsi agar bisa saling berbagi informasi dalam mengembangkan inovasi baru. 493 Gambar 13.11 : Proses Inovasi Generasi Keempat – Integrated Model Dari pengelaman industry otomotif di Jepang diyakini bahwa model ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Proses pengembangan produk baru membutuhkan waktu lebih pendek karena dilakukan secara integratif, biaya lebih efisien, dan lebih penting lagi waktu yang dibutuhkan untuk memproses informasi juga lebih efisien. Pada era 1980an dan 1990an keuntungan dari proses inovasi generasi keempat ini – membutuhkan waktu yang semakin pendek menjadi sangat penting mengingat tingkat persaingan yang semakin tinggi dan waktu menjadi komponen kunci dalam menjaga tingkat persaingan. Systems Integration and Networking (SIN) Proses inovasi generasi kelima disebut sebagai systems integration and networking (SIN). Model ini relative baru dan baru berkembang sejak pertengahan tahun 1990an. Model ini dipicu oleh berbagai trend yang berkembang saat ini: semakin maraknya aliansi strategis antar perusahaan multinasional, kolaborasi dalam melakukan R&D, networking antara perusahaan kecil menengah dengan perusahaan besar dan networking antar perusahaan kecil menengah. Trend ini menunjukkan bahwa untuk memperkuat daya saing perusahaan tidak harus bekerja sendirian. Sebaliknya perusahaan harus menjalin kerjasama dengan perusahaan lain demi mempertahankan posisi masing-masing. Kerjasama seperti ini terpaksa dilakukan karena mereka menyadari kekuatan dan kelemahan masing-masing. Akibat dari trend seperti ini proses inovasi tidak pelak juga dilakukan oleh dua atau tiga perusahaan secara berbarengan. Contoh paling baru adalah inovasi pengembangan mobil keluarga yang 494 dilakukan oleh Daihatsu dan Toyota yang menghasilkan produk Xenia dan Avanza. Disamping networking, proses inovasi generasi kelima juga lebih berorientasi pada system yang terintegrasi. Orientasi ini dimungkinkan karena bantuan teknologi informasi yang semakin canggih. Dengan teknologi informasi semua fungsi organisasi bisa diintegrasikan dengan mudah; demikian juga hubungan antara perusahaan dengan pihak eksternal menjadi semakin efektif. Melalui teknologi informasi pengembangan desain produk baru juga bisa dilakukan dengan mudah dengan bantuan perangkat lunak computer yang tersedia sangat murah. Oleh karenanya tidak mengherankan jika inovasi produk berkembang semakin cepat bukan hanya dilakukan perusahaan besar tetapi juga perusahaan kecil menengah mampu melakukan hal yang sama. Persoalan yang masih tersisa adalah karena proses inovasi dengan model SIN ini masih relative baru, bentuk dari SIN masih perlu dielaborasi lebih lanjut. Yang pasti adalah SIN jauh lebih kompleks dibandingkan dengan model-model sebelumnya dan tentunya memerlukan perhatian lebih serius dan energy lebih besar. Terlepas dari model lima generasi seperti dikemukakan Roy Rothwell diatas, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa proses inovasi organisasi pada dasarnya bersifat siklikal. Pendapat ini dikemukakan oleh Desouza et al. (2009). Menurut mereka proses inovasi organisasi melibatkan lima tahapan yaitu: menghasilkan dan memobilisasi ide, advokasi dan memilah-milah ide, eksperimentasi, komersialisasi, dan difusi dan implementasi inovasi. Kelima tahapan ini saling terkait membentuk sebuah siklus seperti tampak pada gambar 13.12 berikut ini. 495 Siklus Proses Inovasi Generation and Mobilization Diffusion and Implementation commercialization Adaptability and Screening experimentation ` 496 Referensi Ahuja, G. & Lampert, C.M. (2001). Entrepreneurship in the Large Corporation: A Longitudinal Study of How Established Firms Create Breakthrough Invenstions, Strategic Management Journal, 22, pp. 521-543 Amabile, T.M. (1998). How to Kill Creativity, Harvard Business Review, September-October, pp. 7787 Amabile, T.M., Conti, R., Coon, H., Lazenby, J. & Herron, M. (1996), `Assessing the Work Environment for Creativity', Academy of Management Journal, 39, 5, pp. 1154-1184. Argirys, C. (1995). Action Science and Organizational Learning, Journal of Managerial Psychology, 10, 1, pp. 20-26 Bhat, J.S (2010). Managing Innovation: Understanding How Continuity and Change are Interlinked, Global Journal of Flexible Systems Management, 11, 1-2, pp. 63-74 Branscomb, L.M. & Auerswald, P.E. (2002). Between Invention and Innovation: An Anaalysis for Funding of Early Stage Technology Development, Economic Assessment Office, Advance Technology Program, National Institute of Standards and Technology Gaithersburg, MD. Burns, T. & Stalker, G.M. (1961). The Management of Innovation, London, Tavistock Damanpour, F, 1987, The Adoption of Technological, Administrative and Ancillary Innovations: impact of Organizational Facto,Journal of Management, 13, 4, pp. 675-688. Damanpour, F, 1991, Organizational innovation: a meta analysis of effects of determinants and moderators, Academy of Management Journal, 34, 555-90. Damanpour, F, 1996, Organizational complexity and innovation: developing and testing multiple contingency models, Management Science, 42, 5, 693-716. Damanpour, F, Evan, V.M, 1984, Organizational innovation and performance: the problem of organizational lag, Administrative Science Quarterly, 29, 392-409. Desouza, K.C., Dombrowski, C., Awazu., Y., Baloh, P., Papagari, S., Jha, S., & Kim, J.Y. (2009). Crafting Organizational Innovation Process, Innovation: Management, Policy & Practice, 11, pp. 6-33 Dodgson, M. (2009). Asia’s national Innovastion System: Institutional Adaptability and Rigidity in the Face of global Innovation Challenges, Asia Pacific Journal of Management, 26, pp. 589609. 497 Doganova. L. & Renault, M. (2008). What Do Business Model Do? Narratives, Calculation and Market Exploration, Working paper no. 012, CENTRE DE SOCIOLOGIE DE L’INNOVATION ECOLE DES MINES DE PARIS Enos, J.L. (1962). Invention and Innovation in the Petroleum Refining Industry, in The Rate and Direction of Inventive Activity, NBER, Princeton, pp. 299-321. Fragerberg, J. (2003). Innovation: Guide to Literature, Paper to be presented at the Workshop “The Many Guises of Innovation: What we have learnt and where we are heading”, Ottawa, October 23-24.2003, organized by Statistics Canada. Gartner, T. (2009). Expoitation, Exploration, and Innovative Performance: Analysis of Medium, Small and Micro Enterprise, Thesis Proposal, University of Trento- Italy. Hagedoorn, J. (1996). Innovation and Entrepreneurship: Schumpeter Revisited, Industrial and Corporate Change, 5, 3, pp. 883-896 Hayes, J.R. (1990). Cognitive Process in Creativity, Cognitive processes in creativity. In J.A. GLOVER, R.R. RONNING & C.R. REYNOLDS (Eds) Handbook of Creativity, New York: Plenum, pp. 135–145.. Higgins, J. & McAllaster, C. (2002). Want Innovation? Then Use Cultural Artifacts That Support It, Organizational Dynamics, 31, 1, pp. 74-84 Johannessen, J-A., Olsen, B. & Lumpkin, G.T. (2001). Innovation as Newness: What Is New, How New, and New to Whom? European Journal of Innovation Management, 4, 1, pp. 20-31 Kaufmann, G. (2003). What to Measure? A New Look at the Concept of Creativity, Scandinavian Journal of Education Research, 47, 3, pp. 235-251 Khilji, S.E., Mroczkowaki, T. & Berstein, B. (2006). From Invention to Innovation: Toward Developing an Integrated Innovation Model for Biotach Firm, Journal of Product innovation Management, 23, pp. 528-540 King, N. & Anderson, N. (2002). Managing Innovation and Change: A Critical Guide for Organizations, London: Thomson Kotabe, M, & Swan, K.S, (1995). The role of strategic alliances in high technology new product development, Strategic Management Journal, 16, 8, pp. 621-36. Lenski, G. & Lenski, J. (1978). Human Society: An Introduction to Macrosociology, 5th edition, New York, NY: McGraw-Hill Book Company 498 Lubart, T.I. & Guignard, J.-H. (2004). The Generality-Specificity of Creativity: A Multivariate Approach, in Sternberg, R.J., Grigorenko, E.L. & Singer, J.L. (eds.). Creativity: From Potential to Realization. Washington DC. American Psychological Association, pp. 4356 Matthews, J. (2002). Innovation in Australian Small and Medium Enterprise: Contributions from Strategic Human Resource Management, Asia Facific Journal of Human Resources, 40, 2, pp. 193-204 Matthews, J. & Manley, K. (2009). Enhancing Research and Development: Designing Collaborative Environments for Innovation, CINet, www.eprints.qut.edu.au. Diakses April 2011 Neely, A, & Hii, J. (1998). Innovation and Business performace: A Literature Review, Report produced for Government Office for the Eastern Region. Cambridge: The Judge Institute of Management Studies, University of Cambrige. Palmberg, C., Leppalahti, A., Lemola, T. & Toivanen, H. (1999). Towards Better Understanding of Innovation and Industrial Renewal in Finland: A New Perspective, Working Paper 41/99, VTT, Group of Technological Studies, Finland. Ravichandran, T. (2000). Redefining Organizational Innovation: Towards theoretical Advancement, Journal of High Technology Management Research, 10, 2, pp. 243-274 Smits, R. (2002). Innovation Studies in the 21st Century: Questions from User’s Perspective, Technological Forcasting and Social Change, 6, 861-883 Steiner, G. (2009). The Concept of Open Creativity: Collaborative Creative Problem Solving for Innovation Generation – a Systems Approach, Journal of Business and Management, 15, 1, pp. 5-33 Sternberg, R.J. (2001). What is the Common Thread of Creativity? Its Dialectical Relation to Intellegence and Wisdom, American Psychologist, 56, 4, pp. 320-322 Sternberg, R.J., O’Hara, L.A. & Lubart T.I. (1997). Creativity as Investment, California Management Review, 40, 1, pp. 8-21 Taylor, J. & McAdam, R. (2004). Innovation Adoption and Implementation in Organization: A Review and Critique, Journal of General Management, 30, 1, pp. 17-38 Tierney, P. & Farmer, S.M. (2002). Creative Self-Efficacy: Its Potential Antecedent and Relationship to Creative Performance, Academy of Management Journal, 45, 6, pp. 11371148 Toffler, A. (1980). The Third Wave, London, Pan Book Ltd 499 Van de Ven, A.H. (1986). Central Problems in the Management of Innovation, Management Science, 32, 5, pp. 590-607 Warner, K.E. (1974). The Need Some Inovative Concepts of Innovation: An Examination of Reseach on the Diffusion of Innovation, Policy Science, 5, pp. 433-451. West, M.A. & Farr, J. (1990). Innovation and Creativity at Work: Psychological and Organizational Strategies, John Wiley & Son Inc. Wolfe, R.A. (1994). Organizational Innovation: Review, Critique and Suggested Research Directions, Journal of Management Studies, 31, 3, pp. 405-431 Woodman, R.W., Sawyer, J.E. & Griffin, R.W (1993). Toward a Theory of Organizational Creativity, Academy of Management Review, 18, 2, pp. 293-321 500