PROFIL PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD AMBARAWA PERIODE JULI 2015 − JUNI 2016 ARTIKEL Oleh : RYZHAL VISTARA SYAHARA 050112a080 PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN FEBRUARI, 2017 PROFIL PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD AMBARAWA PERIODE JULI 2015 − JUNI 2016 ARTIKEL diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Oleh : RYZHAL VISTARA SYAHARA 050114a080 PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN FEBRUARI, 2017 HALAMAN PENGESAHAN Artikel berjudul : PROFIL PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD AMBARAWA PERIODE JULI 2015 − JUNI 2016 Disusun oleh: Ryzhal Vistara Syahara NIM. 050112a080 PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS NGUDI WALUYO telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dan telah diperkenankan untuk diujikan. Ungaran, Februari 2017 Pembimbing Utama Nova Hasani F, S.Farm., M.Sc., Apt. NIDN. 0611118401 PROFIL PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD AMBARAWA PERIODE JULI 2015 − JUNI 2016 Ryzhal Vistara Syahara Universitas Ngudi Waluyo Ungaran Email : [email protected] ABSTRAK Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Menurut Dinkes Kabupaten Semarang, pada tahun 2014 kasus hipertensi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa sebanyak 1.135 kasus lebih besar dibandingkan di RS Bina Kasih Ambarawa yang hanya sebanyak 134 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Ambarawa Periode Juli 2015 – Juni 2016. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif menggunakan pendekatan retrospektif. Pengambilan data diambil dengan metode purposive sampling dan didapatkan sampel sebanyak 53 pasien. Hasil penelitian menunjukkan Candesartan merupakan jenis obat yang sering digunakan sebesar 42,50%. Calcium Channel Blocker (CCB) merupakan golongan antihipertensi yang sering digunakan sebesar 55,00%. Kombinasi obat antihipertensi yang sering digunakan yaitu Calcium Channel Blocker (CCB) – Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) sebesar 92,31%. Antihipertensi iv yang digunakan adalah nicardipin. Obat yang sering digunakan adalah Candesartan. Golongan antihipertensi yang sering digunakan adalah Calcium Channel Blocker (CCB). Kombinasi obat yang sering digunakan adalah CCB – ARB. Kata Kunci : profil penggunaan obat, antihipertensi , CCB, ARB ABSTRACT Hypertension is widely known as a cardiovascular disease in whichthe patient has blood pressure above normal. According to public health district of Ambarawa, in 2014 hypertension cases found in Ambarawa Public Hospital were 1.135 cases more than in Bina Kasih Hospital Ambarawa which were 134 cases only. The research aimed to know the profile of using antihypertensive drugs in patients with hypertension in inpatient room at Ambarawa Public Hospital from July 2015 to June 2016. This research was descriptive using retrospective approach. The data were collected by purposive sampling method to the samples of 53 patients. The result of the research showed that Candesartan was the type of drug that was mostly used by 42,50% and Calcium Channel Blocker (CCB) was mostly used by 55,00%. Drug combination of antihypertensive frequently used was Calcium Channel Blocker – Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) by 92,31%. Nicardipine was an antihypertensive used by iv. Candesartan is the mostly used drug of antihypertensive. Antihypertensive frequently used is Calcium Channel Blocker (CCB). Drug combination frequently used is CCB – ARB. Keywords : profile of drug use, antihypertensive, CCB, ARB 4 PENDAHULUAN Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Penyakit ini seringkali disebut silent killer karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organorganvital.Semakin tinggi tekanan darah, semakin tinggi risiko terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, atau gagal ginjal11. Modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis adalah cara untuk menurunkan atau mengontrol tekanan darah. Terapi farmakologis disini adalah penggunaan obat antihipertensi. Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC VIII (2013) yaitu diuretika terutama jenis Thiazide atau Aldosteron Antagonist, Beta Blocker, Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzym Inhibitor, Angiotensin II Receptor Blocker atau A receptor antagonist/blocker. Menurut Joint National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment on High Blood Pressure VII Amerika Serikat, hampir 1 milyar orang menderita hipertensi di dunia6. Hipertensi menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan tuberkolosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia8. Menurut WHO, sekitar 17 juta jiwa meninggal akibat penyakit kardiovaskuler, yaitu hampir sekitar sepertiga dari penduduk dunia22. Hipertensi telah menggeser penyakit menular sebagai penyebab terbesar mortalitas dan morbiditas. Di Indonesia angka kejadian hipertensi pada tahun 2007 sebesar 31,7% dan menurun pada tahun 2013 menjadi 25,8%, tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%), sedangkan Jawa Tengah menduduki urutan ke 10 dengan angka kejadian hipertensi mencapai (26,4%)12. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Ambarawa Juli 2015 – Juni 2016. METODE Penelitian ini termasuk dalam penelitian jenis non-eksperimental dan merupakan penelitian deskriptif. Data dalam penelitian ini bersifat retrospektif, dengan melakukan observasi terhadap data sekunder berupa rekam 5edic pasien. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, pengambilan sampel secara purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Kriteria inklusi antara lain : Pasien hipertensi rawat inap periode Juli 2015 – Juni 2016. Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Kriteria eksklusi yaitu Pasien hipertensi dengan gangguan jantung. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis. Data dianalisis dalam bentuk persentase dengan menggunakan rumus berikut: f P= x 100% n 5 Keterangan : P : Presentase F : Frekuensi N : Jumlah sampel Selanjutnya dilakukan pembahasan mengenai karakteristik pasien meliputi jenis kelamin dan umur pasien, sertapenggunaan obat antihipertensi yang digunakan, yang terdiri atas jenis obat dan penggolongan obatnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien Tabel 1. Distribusi Karakteristik Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Inap RSUD Ambarawa Periode Juli 2015-Juni 2016 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total : Jumlah 35 18 Umur 26-35 tahun Jumlah 3 36-45 tahun 9 46-55 tahun 12 56-65 tahun 5 >65 tahun 6 26-35 tahun 1 36-45 tahun 4 46-55 tahun 5 56-65 tahun 3 >65 tahun 5 53 Stage Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Pre I II Jumlah 3 1 2 6 2 4 6 2 3 2 4 1 3 1 2 3 2 1 2 3 53 Persentase (%) 5,65 1,89 3,78 11,32 3,78 7,54 11,32 3,78 5,65 3,78 7,54 1,89 5,65 1,89 3,78 5,65 3,78 1,89 3,78 5,65 100 Karakteristik pasien hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Ambarawa berdasarkan jenis kelamin diperoleh bahwa pasien laki-laki 18 orang (33,96%) dan pasien perempuan 35 orang (66,04%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien hipertensi pada perempuan mempunyai persentase yang lebih besar dibanding laki-laki. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Ambarawa penderita hipertensi paling banyak pasien yang dirawat inap adalah pasien lansia awal umur 46-55 6 tahun dengan jumlah 17 orang (32,08%), diikuti pasien umur 36-45 dengan jumlah 13 orang (24,53%), umur ≥ 65 dengan jumlah 11 orang (20,75%), umur 56-65 dengan jumlah 8 orang (15,09%) dan yang paling sedikit adalah umur 26-35 dengan jumlah 4 orang (7,55%). Klasifikasi hipertensi yang ditemukan pada pasien hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Ambarawa diperoleh hasil sebagian besar pasien dengan diagnosa hipertensi stage II. Pasien hipertensi stage II paling banyak pada perempuan dengan umur 36-45 tahun dan umur 46-55 tahun yang masing-masing berjumlah 6 pasien (11,32%). Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah adalah usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, faktor genetik (keturunan), asupan makanan, kebiasaan merokok dan strees18. Berdasarkan penelitian Novitaningtyas (2014), perempuan cenderung menderita hipertensi karena perempuan mengalami pre-menopouse maupun menopouse, karena pada perempuan yang belum menopouse dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar (High Density Lipoprotein) mempengaruhi terjadinya proses aterosklerosis dan mengakibatkan tekanan darah tinggi1. Terkait distribusi penyakit penyerta, data hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi rawat inap di RSUD Ambarawa selain hipertensi juga disertai penyakit penyerta yaitu sebanyak 37 pasien (69,81%). Sedangkan pasien yang menderita hipertensi tanpa penyakit penyerta sejumlah 16 pasien (30,19%). Tabel 2. Distribusi Jenis Penyakit Penyerta Tanpa Penyakit Penyerta Dengan Penyakit Penyerta Total: Penyakit penyerta: Vertigo Dislipidema Kolik Abdomen Sepsis Dispepsia Lain-lain Total : 16 37 53 30,19 69,81 100 8 4 5 4 3 13 37 21,62 10,81 13,51 10,81 8,11 35,14 100 Penyakit penyerta pada pasien hipertensi adalah vertigo dengan jumlah 8 pasien (21,62%), kemudian kolik abdomen dengan 5 pasien (13,51%), dislipidemia dan sepsis sejumlah masing-masing 4 pasien (10,81%), serta penyakit lain seperti anemia, dispepsia, stroke, anxietas, DM, chepalgia, ISPA, hiperglikemia, hiperkalemia, dan lainlain. Vertigo merupakan keadaan pusing yang dirasakan penderita seolah-olah dunia sekitar berputar atau penderita merasakan berputar di dalam ruangan. Vertigo dapat terjadi karena dampak dari hipertensi, dimana tekanan darah yang tinggi akan diteruskan hingga pembuluh darah di telinga sehingga fungsi telinga sebagai keseimbangan terganggu dan menimbulkan vertigo2. Dalam penggunaannya, antihipertensi dapat digunakan sebagai obat tunggal ataupun dapat dikombinasikan dengan antihipertensi lain. Dalam penelitian di instalasi rawat inap RSUD Ambarawa terdapat beberapa penggunaan antihipertensi yang digunakan, yaitu penggunaan tunggal dan kombinasi 2 obat antihipertensi. Persentase penggunaan obat antihipertensi tunggal sebesar 75,48% sedangkan kombinasi 2 obat antihipertensi 24,52% 7 Profil Penggunaan Obat Tabel 4.3. Distribusi Penggunaan Obat Antihipertensi Di Instalasi Rawat Inap RSUD Ambarawa Periode Juli 2015-Juni 2016 Kategori Terapi Tunggal Golongan obat Calcium Channel Blocker (CCB) ACE Inhibitor Angiotensin 2 Receptor Blocker (ARB) Total : Kombinasi: 2 jenis obat CCB + CCB CCB + ARB Jenis Obat Jumlah (%) Amlodipine Nifedipine Diltiazem Nicardipine Captopril Candesartan 14 4 1 3 1 17 35,00 10,00 2,50 7,50 2,50 42,50 (%) Total 26,41 7,55 1,89 5,66 1,89 32,08 40 100 75,48 1 7,69 1,89 12 92,31 22,63 13 100 24,52 Diltiazem + Amlodipine Amlodipine+ Candesartan \Total : Jumlah Total : 53 100 Dalam penelitian terdapat 6 macam jenis obat antihipertensi yang digunakan di RSUD Ambarawa baik tunggal maupun kombinasi selama periode Juli 2015 – Juni 2016. Jenis obat antihipertensi yang digunakan antara lain amlodipine, nifedipine, nicardipine, diltiazem, captopril dan candesartan. Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 6 macam jenis obat yang digunakan secara tunggal atau monoterapi terdapat pada 40 kasus, obat antihipertensi yang paling sering dipakai adalah candesartan dengan jumlah pemakaian 17 kasus dengan persentase 42,50% diikuti amlodipine 14 kasus (35%), nifedipine 4 kasus (10,00%) dan nicardipine 3 kasus (7,50%). Sedangkan captopril dan diltiazem merupakan obat antihipertensi yang paling sedikit digunakan dengan jumlah pemakaian 1 dengan persentase 2,50%. Candesartan termasuk golongan Angisotensin Reseptor Bloker (ARB). ARB merupakan kelompok obat yang memodulasi sistem RAS dengan cara menginhibisi ikatan angiotensin II dengan reseptornya, yaitu pada reseptor Angiotensin I secara spesifik. Angiostensin II dibentuk dari angiostensin I melalui reaksi yang dikatalis oleh angiostensin converting enzyme (ACE, kinase II). Angiotensin II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikkan tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah5. Candesartan merupakan obat yang paling banyak digunakan karena obat golongan ini memiliki efek samping yang paling sedikit dibanding antihipertensi lainnya. Obat ini juga tidak seperti golongan ACE inhibitor yang menimbulkan efek 8 sambing batuk kering yang sering terjadi, Karenanya obat ini dapat dijadikan sebagai alternatif pilihan apabila efek samping dari obat golongan ACE inhibitor seperti batuk kering tidak dapat ditolerir lagi4. Antihipertensi yang sering digunakan diklasifikasikan dalam beberapa golongan, antara lain golongan Calcium Channel Blocker (CCB) sebesar 55,00%, golongan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) sebesar 42,50%, golongan ACE Inhibitor (ACEI) sebesar 2,50%. Persentase peresepan obat berdasarkan golongan obat menunjukan bahwa Calcium Channel Blocker (CCB) merupakan golongan obat hipertensi yang paling sering digunakan. CCB bekerja dengan menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan otot jantung sehingga terjadi relaksasi16. Hal ini akan menurunkan resistensi perifer dan menyebabkan penurunan tekanan darah17. Efek antihipertensi dari CCB berhubungan dengan dosis, bila dosis ditambah maka efek antihipertensi semakin besar dan tidak menimbulkan efek toleransi. Calcium Channel Blocker tidak dipengaruhi asupan garam sehingga berguna bagi orang yang tidak mematuhi diet garam. Menurut beberapa studi penggunaan CCB dalam hipertensi secara umum tidak berbeda dalam efektivitas, efek samping, atau kualitas hidup dibandingkan dengan obat antihipertensi lain. Ditinjau dari mortalitas, tidak ada perbedaan bermakna antara CCB, diuretik, dan ACEI dalam pengobatan hipertensi. Calcium Channel Blocker mempunyai efek tambahan yang menguntungkan pasien. CCB dan ACEI lebih baik dari diuretik dan beta-blocker dalam mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan risiko independenpada hipertensi, selain itu CCB juga mempunyai efek proteksi vaskular2. Obat-obat golongan Calcium Channel Blocker berguna untuk pengobatan pasien hipertensi yang juga menderita asma, diabetes, angina dan/atau penyakit vaskular perifer15. Memulai terapi hipertensi dengan lebih dari 1 obat dapat mencapai tekanan darah sasaran dalam waktu lebih singkat, tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya hipotensi ortostatik, seperti pada pasien diabetes, disfungsi otonom, dan pada pasien yang sudah tua. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tekanan darah sasaran. Tambahan obat kedua dari golongan yang berbeda harus dilakukan lebih awal jika penggunaan tunggal dalam dosis cukup, gagal mencapai tekanan darah sasaran. Ketika tekanan darah >20/10 mmHg diatas target, pertimbangkan memakai 2 obat, baik dalam sediaan terpisah maupun kombinasi jadi satu19. Hasil penelitian diperoleh data penggunaan obat antihipertensi dengan cara kombinasi di RSUD Ambarawa hanya 13 kasus (24,52%). Kombinasi obat terdiri dari kombinasi 2 obat antihipertensi yaitu kombinasi Calcium Channel Blocker – Angiotensin II Receptor Blocker (CCB-ARB) persentase 92,31% dan Calcium Channel Blocker - Calcium Channel Blocker (CCB-CCB) persentase 7,69%. Kombinasi obat antihipertensi yang paling sering digunakan adalah kombinasi Calcium Channel Blocker – Angiotensin II Receptor Blocker. Terapi dengan Calcium Channel Blocker (CCB) dan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) memiliki efek yang potensial untuk mengurangi tekanan darah yang diharapkan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena komplikasi kardiovaskuler. Sebagai tambahan, ARB dan CCB berhubungan dengan efek yang menguntungkan terhadap efek kardioprotektif selama pengaturan tekanan darah. Sebagai contoh, ARB dan CCB memiliki efek antisklerotik melalui beberapa mekanisme. Angiotensin II Receptor Blocker bekerja pada target sistem renin 9 angiotensin dengan menghambat pada reseptor angiotensin II tipe reseptor 1 (AT1), sehingga menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah serta ekskresi garam dan air, dan mengurangi aktivasi dari sistem saraf simpatis. Calcium Channel Blocker menstimulasi vasodilatasi perifer dengan menghambat kanal kalsium pada otot halus pembuluh darah. Kedua target kerja obat ini memiliki mekanisme yang penting terhadap mekanisme regulasi balik10. Kombinasi obat antihipertensi yang lain,yaitu kombinasi Calcium Channel Blocker - Calcium Channel Blocker (CCB-CCB) antara obat amlodipin dan diltiazem. Kombinasi dihidropiridine Calcium Channel Blocker dalam hal ini amlodipin dengan verapamil atau diltiazem telah ditunjukkan dalam meta-analysis terbaru mempunyai efek yang adiktif dalam penurunan tekanan darah tanpa meningkatkan kejadian efek samping secara signifikan. Meskipun begitu, tidak ada data hasil yang tersedia dalam penggunaan terapi CCB-CCB dan keamanan jangka panjang masih belum terdokumentasi14. KESIMPULAN 1. Karakteristik pasien hipertensi berdasarkan usia, pasien paling banyak ditemui pada usia 46 - 55 tahun (32,08%). Berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak diderita oleh pasien perempuan (66,04%). 2. Profil penggunaan antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah jenis obat candesartan (42,50%) dan golongan obat Calcium Channel Blocker (55,00%) serta kombinasi antara Calcium Channel Blocker-Angiotensin II Receptor Blocker (92,31%). Antihipertensi iv yang digunakan adalah nicardipine (7,50%). UCAPAN TERIMA KASIH Seluruh civitas akademika Universitas Ngudi Waluyo Ungaran, seluruh karyawan RSUD Ambarawa, Bapak Ibu saya tercinta serta adik-adik saya. DAFTAR PUSTAKA 1. Anggraini, AD., Waren, S., Situmorang, E., Asputra, H., dan Siahaan, SS. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien Yang Berobat Di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari Sampai Juni (2008). Fakultas Kesehatan Masyarakat . Universitas Riau. Files Of DrsMed-FK UNRI : 1-41. 2. Aziza, L. (2008). Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi. Majalah Kedokteran Indonesia. 57(8):259-264. 3. Anonim. (2005). www.yastroki.or.id. Vertigo Gejala Awal Serangan Stroke. [3 Januari 2017] 4. Baharuddin.,Kabo, P., Suwandi, D.,(2013). Perbandingan Efektifitas Dan Efek Samping Obat Antihipertensi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pasien Hipertensi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar. 5. Campbell, N, A., Reece, J. B. Dan Mitchel. L. G (2004). Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta: Erlangga. 6. Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L., dkk. (2004). Seventh Repor tof The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. U.S. Departement Of Health And Human Services. NIH Publication No. 04-5230. Agustus 2004. 10 7. Depkes RI. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Depkes RI. 8. Depkes RI. (2012). Hipertensi Penyebab Kematian Nomor Tiga. http://www.depkes.go.id. [24 September 2016] 9. Gudmundsdottir, H., Høieggen, A., Stenehjem, A., Waldum, B., Os, I., (2012), Hypertension in Women: Latest Findings and Clinical Implications, Ther Adv Chronic Dis, 3(3):137-146. 10. Jamerson KA, Nwose O, Jean-Louis L et al. (2004). Initial angiotensin-converting enzyme inhibitor/calcium channel blocker combination therapy achieves superior blood pressure control compared with calcium channel blocker monotherapy in patients with stage 2 hypertension. Am. J. Hypertens. 17,495-501. 11. Kabo, P. (2011). Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara Rasional. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 12. Kemenkes R.I. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 13. Kuswardhani, T. (2007). Penatalaksanaan Hipertensi pada Lansia. Denpasar: Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kesehatan UNUD. 14. Muruganathan, A. (2016). Hypertension Society of India: Manual of Hypertension. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher 15. Mycek, M.J., Harvey, R.A., Champe, P.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. 181-193. 16. Nafrialdi, (2007), Antihipertensi dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 17. Neal, M.J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga. 35-37. 18. Rosta, J. (2011). Hubungan Asupan Energi, Protein, Lemak dengan Status Gizi dan Tekanan Darah Geriatri di Panti Wredha Surakarta. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. 19. Sargowo, D. (2008). Fix Low Dose Combination is Logical And Effective Alternative to Other First Line Antihypertensives. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 20. Staessen, A Jan. Jiguang Wang, Giuseppe Bianchi, Willem H Birkenhager. (2003). Essential Hypertension. The Lancet: 26,158. 21. Tjay, T.H., Rahardja, K. (2008). Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Elex Media Computindo. 538565. 22. WHO. (2013). WHO‟s Global Brief on Hypertension: Silent killer, global public health crisis. Switzerland: World Health Organization Press. 11