pembelajaran penalaran argumen berbasis peta

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
PEMBELAJARAN PENALARAN ARGUMEN BERBASIS PETA KONSEP
UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP KIMIA
LEARNING OF ARGUMENT REASONING BASED ON CONCEPT MAP FOR
IMPROVING CHEMISTRY UNDERSTANDING
Tri Santoso, Supriadi
Pendidikan Kimia PMIPA FKIP Universitas Tadulako
Jl. Soekarno Hatta Km.9 Telp. (0451) 422611
Email : [email protected], [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk merancang model pembelajaran penalaran argumen berbasis
peta konsep untuk meningkatkan pemahaman konsep kimia . Metode penelitian yang digunakan
adalah studi pustaka dan lapangan. Studi pustaka yang dilakukan meliputi analisis konsep, indikator
keterampilan bernalar, perangkat pembelajaran, serta teori dan temuan penelitian tentang keterampilan
bernalar dan usaha untuk membangkitkannya, dan pendekatan peta konsep. Sementara itu, studi lapangan
yang dilakukan meliputi analisis sumber daya pendukung pembelajaran, konteks-konteks kimia dasar,
proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen-dosen kimia dasar, dan karakteristik mahasiswa.
Hasil-hasil yang diperoleh dari studi pustaka dan lapangan, selanjutnya, digunakan untuk merancang draft
model pembelajaran penalaran argumen berbasis peta konsep . Karakteristik dari draft model
pembelajaran yang dikembangkan adalah: (1). memfokuskan perhatian dengan mengajukan pertanyaan
pada diri sendiri, seperti sentral kata apa yang bisa digunakan untuk membangun peta konsep ? (2).
mengkontruksi peta konsep dengan pertanyaan kritis pada diri sendiri, misalnya mempertanyakan dan
mengurutkan konsep ( kata kunci ) dari yang paling abstrak dan inklusif ke yang paling konkret dan
spesifik; (3) merancah penalaran untuk mengkontruksi pengetahuan dengan menggunakan keterampilan
metakognitif bertanya, contoh apa penjelasan saya untuk struktur peta konsep ini?, dan (4). Konsolidasi
dengan cara menentang ide.
Kata kunci: penalaran, argumen, peta konsep, pemahaman konsep
Abstract. The study aimed for designing model of argument reasoned and concept map-based
learning in order to improve students’ chemistry concept understanding. For that reason,
literature and field studies were conducted. Literature study that was conducted covered analysis
of concepts, reasoning skill indicators, teaching and learning program used by chemistry
lectures, theories and research findings relating to the teaching and learning of reasoning skills.
On the other hand, field study that was conducted covered analysis of facilities supporting the
teaching and learning, chemistry context, the teaching and learning processes conducted by
chemistry lectures, and students’ characteristics. Findings of the studies, then, were used to
design the program. The characteristics of the model were: (1) focus by asking yourself
questions, for axample what is the central word, concept, question or problem that can be used to
construct diagrams or concept maps?, (2) construct concept maps with critical questions to
yourself, i.e questioned and sort concepts (keywords) of the most abstract and inclusive to the
most concrete and specific; (3) guiding reasoning to construct knowledge using metacognitive
skills to ask; and (4) consolidation by opposed to the idea.
Keywords: reasoning, argument, concept map, concept understanding
C - 134
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
Berbagai model, strategi, metode dan pendekatan telah banyak untuk mengatasi masalah
tersebut di atas, salah satu dari sekian banyak
pendekatan yaitu penggunaan alat bantu peta
konsep. Nicoll, Francisco, & Nakhleh (Novak
& Canas, 2008) menyelidiki pengaruh konstruksi peta konsep yang dibuat oleh mahasiswa
setelah mengikuti perkuliahan terhadap prestasi dan kemampuan mahasiswa baru Kimia
dalam menghubungkan antar konsep satu
dengan konsep yang lain. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan hasil yang positif untuk
kedua variabel. N amun demikian, peta konsep
merupakan alat bantu belajar yang bersifat
personal di mana siswa mengkonstruksi peta
konsep dengan menggunakan istilah-istilah
mereka sendiri sehingga perlu dikonfirmasi
lebih lanjut. Saouma & Attieh (2008) melakukan penelitian yang serupa, di mana siswa
diberi tugas pekerjaan rumah membuat peta
konsep. Mereka melaporkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata untuk rata- rata
pencapaian hasil belajar antara kelompok
eksperimen dan kontrol, akan tetapi, keterkaitan
antara skor peta konsep dengan skor post-tes
menunujukan
korelasi
yang signifikan.
Berdasarkan temuaan penelitianya, Saouma &
May (2008) mengatakan bahwa terdapat suatu
kebutuhan akan sesi pelatihan yang lebih lama
dan remediasi langsung untuk memberikan
kesempatan kepada peserta didik menalar dan
memahami konsep secara benar.
Bernalar merupakan salah satu kemampuan
yang diharapkan untuk dimiliki mahasiswa
dalam mempelajari kimia. Penalaran merupakan
komponen penting dalam belajar kimia dan
merupakan alat untuk memahami abstraksi
(Russel, 1999). Russel lebih lanjut menjelaskan
bahwa penalaran merupakan bagian integral dari
pemecahan masalah, jika dikaitkan dengan
berpikir maka penalaran merupakan komponen
utama dari berpikir
yang melibatkan
pembentukan generalisasi dan menggambarkan
konklusi yang valid tentang ide dan bagaimana
ide-ide itu dikaitkan.
Bernalar dapat juga dipandang sebagai
aktivitas dinamis yang melibatkan suatu variasi
cara berpikir dalam memahami ide, merumuskan ide, menemukan relasi antara ide-ide,
menggambarkan konklusi tentang ide-ide dan
relasi antara ide-ide (Jones, Thornton, Langrall,
PENDAHULUAN
Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu
pendidikan secara secara terus menerus dilaksanakan baik dalam hal meningkatkan mutu dosen,
perbaikan sarana prasarana, maupun perubahan
kuikulum. Evaluasi terhadap kurikulum dari
tahun ke tahun tetap diupayakan sehingga yang
terakhir ini lahirlah Kurikulum 2013. Kurikulum
ini untuk jenjang pendidikan menengah atas,
penalaran merupakan salah satu komponen kompetensi inti keterampilan yang harus dikembangkan, diperkuat dan diperkaya dalam pembelajaran termasuk didalamnya pembelajaran kimia.
Peserta didik sering mengalami kesulitan
dalam memahami berbagai konsep Kimia karena
istilah-istlah bahasa yang spesifik, konsepnya
bersifat matematis dan abstrak (Saouma, &
May, 2008). Indikasi bahwa pebelajar mengalami kesulitan dalam memahami konsep kimia
diperlihatkan oleh beberapa fakta berikut. Hasil
analisis UN tahun 2008 s.d 2010 di Sulawesi
Tengah Kabupaten Donggala penca-paian
Ketuntasan Kelulusan Minimal (KKM) untuk
materi tertentu seperti laju reaksi (57,25%),
termokimia (34,13%), kesetimbangan kimia
35,99%, pH larutan (46,9 %) dan ikatan kimia
(28,91 %)
masih
jauh dibawah Standar
Kompetensi Kelulusan ≤ 60 % (Direktorat
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
2012). Gejala-gejala yang serupa terjadi pada
mahasiswa kimia FKIP Universitas Tadulako.
Hasil evaluasi perkuliahan Kimia Dasar tahun
2009/2010 dilaporkan kelulusan mahasiswa
hanya mencapai 62 % di bawah SKL (70%)
(Tim Pembina Mata Kuliah Kimia Dasar, 2010).
Terkait dengan pemahaman konsep kimia,
Redhana & Kirna (2004) melaporkan dalam
penelitiannya b a h wa s a l a h s a t u p en yeb a b
re n da h n ya p res ta s i s is wa p a da p ela ja r an k i mia d i SM A Kot a S in ga ma n ga ra ja
Ba l i a d a la h miskonsepsi siswa pada konsepkonsep kimia yang berasal dari guru. M iskonsepsi konsep kimia pada guru terjadi juga di
DIY dan Jawa Tengah, dari 125 guru kimia yang
diteliti oleh Salirawati (2010), mengalami miskonsepsi kesetimbangan kimia (57%), ikatan
kimia (45%), struktur atom (54%), hukumhukum dasar kimia (44%) dan hidrolisis garam
(51%).
C - 135
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
& Tarr, 1999). Penalaran terjadi ketika siswa:
1) mengamati pola atau keteraturan, 2)
merumuskan generalisasi dan konjektur
berkenaan dengan keteraturan yang diamati, 3)
menilai/menguji konjektur; 4) mengkonstruk
dan menilai argumen, dan 5) menggambarkan
(menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah
ide dan keterkaitannya (NCTM, 2000). Pada
penelitian ini yang dimaksud dengan penalaran
adalah proses pengambilan kesimpulan tentang
sejumlah ide dan keterkaitannya dalam
memahami fenomena untuk mengkonstruksi
pengetahuan.
Pemahaman konsep lebih mendalam dan
sekaligus melakukan remediasi kesalahan
konsep dapat dilakukan melalui penalaran
mahasiswa sendiri dengan cara mangajukan
pertanyaan dan mencoba menjawabnya dari
peta konsep yang mereka susun, cara ini
dikenal sebagai strategi metakognisi. Strategi
metakognisi memungkinkan mahasiswa untuk
menilai dan menganalisa kualitas dari pertanyaan dan jawaban yang telah mereka buat
(Kaberman & Dori, 2008). Kemampuan tersebut merupakan bagian dari ketrampilan berpikir kritis yang mesti kita latih agar kita terampil
berpikir kritis dalam situasi nyata (Fisher,
2007). Kegiatan pembelajaran yang melibatkan
strategi metokognisi mendasarkan kepada teori
konstruktivis psikologis personal. Teori ini
menekankan
keaktifan
individu
dalam
mengkontruksi pengetahuan (Piaget dalam
Schunk, (2012). Implementasi teori konstruktivis psikologis personal akan menemukan kendala ketika berhadapan dengan peserta didik
yang memiliki keterbatasan kemampuan keterampilan metakognitif mengajukan pertanyaan.
Pendalaman pemahaman konsep juga dapat
dilakukan dengan cara saling bertanya dan
saling menjelaskan sesama pembelajar. Jenis
kegiatan pembelajaran ini mengacu pada teori
belajar konstruktivis sosial. Teori belajar ini
menyatakan bahwa interaksi sosial dalam
proses belajar adalah penting, di mana individu
dalam mengonstruksi pengetahuan memerlukan
hubungan dengan lingkungan sosial.
Berdasarkan dua pandangan tersebut apabila
dipadukan
akan
mempercepat
proses
pengkonstruksian pengetahuan. Artinya ketika
individu mengonstruk pengetahuan, mereka
difasilitasi dengan kondisi sehingga keaktifan
dan kesiapan individu secara psikologis dipenuhi. Selain itu dalam proses belajar mengkonstruksi pengetahuan, didukung lingkungan sosial
sehingga tercipta interaksi sosial individu
dengan teman belajar. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini pembelajar yang tidak terbiasa
(belum terampil) mengajukan pertanyaan dirancah dengan dukungan pertanyaan generik untuk
digunakan latihan mengajukan pertanyaan pada
peta konsep yang mereka susun, kemudian
pembelajar mencoba menjawabnya dengan
uraian penjelasan sendiri. Selanjutnya siswa
saling menjelaskan dan saling memberi umpan
balik sehingga masing-masing siswa dapat
meningkatkan pamahaman dan keterampilan
metakognisi. Dalam pelatihan, bentuk dukungan
pertanyaan generik yang diberikan secara
bertahap dikurangi dan akhirnya dihentikan.
Jadi, penelitian ini akan dikembangkan suatu
pembelajaran penalaran argumen berbasis
peta konsep untuk meningkatkan pemahaman konsep kimia. Dengan demikian,
pertanyaan yang dijawab melalui penelitian ini
adalah: “Bagaimana model dari pembelajaran
penalaran argumen berbasis peta konsep
untuk meningkatkan pemahaman konsep
kimia?”
II. METODE
Studi pustaka dilakukan dengan menganalisis
konsep-konsep kimia, perangkat pembelajaran
yang digunakan oleh dosen-dosen kimia, indikator
keterampilan berpikir, dan teori-teori dan temuantemuan penelitian yang berkaitan dengan
pembelajaran keterampilan berpikir. Perangkat
pembelajaran yang menjadi obyek analisis
berjumlah 4 eksemplar yang dipilih dari dosendosen kimia dasar di Program Studi Pendidikan
Kimia, Pendidikan Fisika, Pendidikan Biologi dan
Pendidikan Matematika di FKIP Universitas
Tadulako.
Rancangan model pembeljaran memerlukan
data-data primer yang terjadi di lapangan. Oleh
karena itu, studi lapangan dilakukan dengan
menganalisis sumber-sumber daya pendukung
pembelajaran, konteks-konteks kimia dasar, proses
pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen-dosen
kimia dasar, dan karakteristik mahasiswa. Studi
lapangan ini dilakukan pada 8 sampel dosen Kimia
Dasar di Jurusan PMIPA FKIP UNTAD dilakuC - 136
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
kan secara proporsional menurut junior dan senior
pada masing-masing program studi. Kepada 8
orang dosen kimia dasar tersebut diedarkan angket.
Namun, jumlah angket yang dikembalikan oleh
dosen-dosen sebanyak 7 eksemplar. Selanjutnya
dipilih 4 orang dosen secara acak untuk diobservasi pembelajarannya. Tujuannya adalah untuk
mengklarifikasi respon yang diberikan oleh dosendosen dalam angket. Hasil-hasil yang diperoleh
dari studi pustaka dan lapangan ini, selanjutnya,
digunakan untuk merancang draft model
pembelajaran penalaran argumen berbasis
peta konsep untuk meningkatkan pemahaman konsep kimia. Draft perangkat model
pembelajaran yang berhasil dirancang, kemudian,
divalidasi oleh ahli, terdiri dari 1 orang dosen di
luar Dosen UNTAD dan 1 orang dosen kimia
berpengalaman PMIPA FKIP UNTAD. Masukanmasukan yang diberikan oleh ahli digunakan untuk
menyempurnakan draft model pembelajaran
penalaran argumen berbasis peta konsep
untuk meningkatkan pemahaman konsep
kimia yang dikembangkan.
pembelajaran: (1) inkuiri terbimbing (10,30%), (2)
dikusi informasi (18,58%), (3) kooperatif (7,44%),
(4) langsung (38,84%), (5) perubahan konseptual
(2,99%), (6) berbasis masalah (8,60%), dan (7)
kontekstual (13,65%).
Hasil analisis terhadap teori dan temuantemuan penelitian yang mendukung model
pembelajaran yang dikembangkan diuraikan
berikut ini.
Konsep Penalaran
Cavagnetto, (2010) menyatakan bahwa
penalaran adalah proses pemikiran manusia yang
berusaha tiba pada pernyataan baru yang
merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan
lain yang diketahui. Pernyataan yang diketahui
itu sering disebut dengan pangkal pikir (premis),
sedangkan pernyataan baru yang ditemukan
disebut kesimpulan. Ada tiga cara proses
penalaran (Mercier & Sperber, 2011) yaitu: (1)
The process of inferring conclusions from
statements (Proses penarikan kesimpulan dari
pernyataan- pernyataan), (2) The application of
logic and/or abstract thought patterns in the
solution of problems or the act of planning
(Penggunaan logika dan/ atau pola-pola berpikir
abstrak dalam penyelesaian dari masalahmasalah atau kegiatan dari perencanaan, dan (3)
The ability to know some things without
recourse directly to sense perceptions or
immediate experience (Kemampuan untuk
mengetahui sesuatu tanpa suatu cara langsung
terhadap tanggapan pancaindera atau pengalaman langsung). Kemudian Becker et al.
(2013), menambahkan bahwa “proses penalaran
meliputi aktivitas mencari proposisi-proposisi
untuk disusun menjadi premis, menilai
hubungan proposisi-proposisi di dalam premis
itu, dan menentukan konklusinya”. Berdasarkan
pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa penalaran adalah proses berpikir yang
berkenaan dengan pengambilan kesimpulan.
Krulik & Rudnick, (1995) membuat penjenjangan penalaran yang merupakan bagian dari
berpikir. Tingkat berpikir paling rendah adalah
pengingatan (recall), tetapi tidak dikategorikan
dalam penjenjangan penalaran. Sedangkan yang
dikategorikan dalam penalaran adalah berpikir
dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan
berpikir kreatif. Kategori tersebut tidak diskrit
dan sulit sekali untuk mende-finisikan dengan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Studi Pustaka
Hasil-hasil yang diperoleh melalui studi
pustaka dapat diuraikan sebagai berikut. Hasil
analisis konsep pada topik materi dan periodik,
struktur molekul, stoikhiometri,termokimia, wujud
zat, kesetimbangan kimia, kenetika kimia,
elektrokimia, larutan kimia, kimia unsur, dan
kimia organik umum diperoleh 3 jenis konsep,
yaitu (1) konsep konkret (60,50%), (2) konsep
abstrak (25,50%), (dan (3) konsep abstrak dengan
contoh konkret (14,00%).
Hasil analisis indikator keterampilan penalaran
yaitu (a) berpikir dasar dengan indikator: pemahaman terhadap konsep- konsep, pengenalan suatu
konsep ketika muncul dalam suatu situasi tertentu;
(b). berpikir Kritis dengan indikator: menguji,
menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek
suatu situasi atau masalah; dan (c) berpikir Kreatif
dengan indikator: (1) Orsinil (asli), efektif, dan
menciptakan suatu produk yang kompleks, (2)
Berdaya cipta, (3) mensintesis ide- ide, (4)
membangun ide- ide dan (5) mengaplikasikan ideide (Krulik & Rudnick, 1995).
Hasil analisis terhadap perangkat pembelajaran
yang digunakan oleh dosen kimia dasar menunjukkan bahwa dosen-dosen merencanakan model
C - 137
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
tepat. Berikut indikator yang menunjukkan tiap
tingkat tersebut. (a) Berpikir dasar dengan
indikator: pemahaman terhadap konsep-konsep,
pengenalan suatu konsep ketika muncul dalam
suatu situasi tertentu; (b). berpikir Kritis dengan
indikator: menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek suatu situasi atau
masalah; dan (c) Berpikir Kreatif dengan
indikator: (1) Orsinil (asli), efektif, dan menciptakan suatu produk yang kompleks, (2) Berdaya
cipta, (3) mensintesis ide- ide, (4) membangun
ide- ide dan (5) mengaplikasikan ide- ide.
Menurut Suharnan, (2005), secara umum
penalaran dikelompokkan menjadi dua bagian
yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.
Penalaran induktif adalah penalaran yang
menghasilkan kesimpulan lebih luas daripada
premis- premisnya. Sedangkan penalaran yang
menghasilkan kesimpulan yang tidak lebih luas
daripada premis- premisnya disebut penalaran
deduktif. Jadi penalaran deduktif adalah suatu
cara penarikan kesimpulan dari pernyataan atau
fakta- fakta yang dianggap benar dengan
menggunakan logika.
Menurut Soedjadi (2007) bahwa “bernalar
biasanya perlu mengaitkan dengan “alasan” atau
“argumentasi” serta “simpulan” atau “konklusi”.
Seseorang yang sudah biasa bernalar tidak
terlalu sulit untuk menemukan “kembali”
argumen atau simpulan yang mungkin
tersembunyi itu”. Penalaran deduktif diawali
dengan menetapkan sekumpulan konsep tertentu
yang tidak didefinisikan. Contoh penalaran
deduktif dalam kimia, misalnya mahasiswa telah
diberi tentang definisi (pengertian) kekalan
massa, rumus dan teorema “jumlah massa zat
sebelum direaksikan dan sesudah direaksikan
mempunyai jumlah massa yang sama” , maka
dengan menggunakan pengetahuan tersebut
mahasiswa akan dapat menuliskan persamaan
reaksi dan membuktikan jumlah massa zat
pereaksi sama dengan jumlah massa zat hasil
reaksi.
Demikian banyak topik kimia yang
penyajiannya perlu diawali dengan langkahlangkah induktif namun akhirnya tetap
diarahkan agar mahasiswa dapat bernalar secara
deduktif. Penalaran induktif kesimpulannya
berasal dari alasan-alasan yang bersifat khusus
menjadi bersifat umum. Jadi, penalaran induktif
memerlukan pengamatan yang dijadikan sebagai
dasar argumentasi. Pengamatan itu terbatas dan
tidak cermat, walaupun menggunakan alat-alat
yang mutakhir dan canggih. Dengan kata lain
pernyataan atau kesimpulan yang diperoleh dari
penalaran induktif masih mungkin bernilai salah.
Oleh karena itu, dalam kimia kesimpulan yang
diperoleh melalui proses penalaran induktif
masih merupakan dugaan (conjecture) sehingga
penalaran yang diterima dalam kimia adalah
penalaran
deduktif
yang
menghasilkan
kesimpulan sahih. Pendapat itu sejalan dengan
pernyataan Berland & Reiser (2009) bahwa
deduksi yang valid atau sahih, kesimpulan yang
diperoleh tidak akan pernah salah bila premispremisnya bernilai benar (truth preserving).
Inilah kelebihan penalaran deduktif dibandingkan penalaran induktif.
Pembelajaran
Konsep
Konsep
Menggunakan
Peta
Secara teoritis pendekatan pengembangan
penalaran argumen berbasis peta konsep
merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan kompetensi penalaran, pemecahan masalah dan komunikasi dalam
pembelajaran kimia (Novak & Canas, 2008).
Peta konsep dapat membantu peserta didik
untuk membuat jelas konsep-konsep kunci
atau proposisi yang harus dipelajari dan
mengaitkan hubungan antara pengetahuan
baru dan sebelumnya. Peta konsep telah digunakan dalam berbagai konteks pendidikan.
Setiap konteks mencerminkan teori alternatif
akuisisi pengetahuan. N amun demikian, peta
konsep merupakan alat bantu belajar yang
bersifat personal di mana mahasiswa mengkonstruksi peta konsep dengan menggunakan
istilah-istilah mereka sendiri sehingga perlu
dikonfirmasi lebih lanjut. Saounma & Attieh,
(2008) melakukan penelitian yang serupa, di
mana mahasiswa diberi tugas pekerjaan rumah
membuat peta konsep. Mereka melaporkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
untuk rata- rata pencapaian hasil belajar antara
kelompok eksperimen dan kontrol, akan tetapi,
keterkaitan antara skor peta konsep dengan
skor post-tes menunujukan korelasi yang
signifikan. Berdasarkan temuaan penelitianya,
Saouma & May (2008) mengatakan bahwa
terdapat suatu kebutuhan akan sesi pelatihan
C - 138
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
yang lebih lama dan remediasi langsung untuk
memberikan kesempatan kepada peserta didik
memahami konsep secara benar.
Ausubel dalam Novak & Canas, (2008),
berpendapat bahwa belajar bermakna melibatkan
perubahan pengetahuan seseorang saat ini
sebagai akibat dari pemahaman pengetahuan
baru. Proses ini disebut "asimilasi" dan ada
empat proses dasar yang menyebabkan
asimilasi: (1) Diferensiasi progresif konsep dan
hubungan dari waktu ke waktu; (2) Superordination konsep di bawah konsep lebih umum,
konsep yang lebih inklusif; (3) subsumption
konsep baru ke dalam konsep yang telah dimiliki
, konsep yang lebih umum dan proposisi; dan (4)
Rekonsiliasi integratif untuk mencapai koherensi
dan konsistensi dari waktu ke waktu.
Pemahaman konsep lebih mendalam dapat
dilakukan melalui penalaran maha mahasiswa
sendiri dengan cara mangajukan pertanyaan dan
mencoba menjawabnya dari peta konsep yang
mereka susun, cara ini dikenal sebagai strategi
metakognisi. Strategi metakognisi memungkinkan mahasiswa untuk menilai dan menganalisa kualitas dari pertanyaan dan jawaban
yang telah mereka buat dan sekaligus melakukan
remediasi kesalahan konsep (Kaberman & Dori,
2008). Kemampuan tersebut merupakan bagian
dari ketrampilan dasar berpikir kritis yang mesti
kita latih agar kita terampil berpikir kritis dalam
situasi nyata (Fisher, 2007). (Walker, Sampson,
& Zimmerman, (2011) menyatakan bahwa
penalaran argumen yang disampaikan dalam
pernyataan (claim) yang dituliskan oleh mahasiswa dapat divalidasi secara tegas dengan cara
mengemukakan alasan-alasan yang rasional.
Selain itu, melalui validasi mahasiswa dilatih
berkomunikasi, mendengar kritikan, menerima/
memberi saran dan mengajukan pertanyaan.
sebagai pengembang konstruktivis psi-kologis
personal menyatakan bahwa individu dalam
mengonstruksi pengetahuan
di samping
berdasarkan pada psikologis, dia lebih menekankan kepada keaktifan individu. Seda-ngkan
Vygotsky, sebagai pengembang konstruk-tivis
sosial menyatakan bahwa individu dalam
mengonstruksi pengetahuan lebih menekankan
kepada hubungan individu dengan lingkungan
sosial. Ia menyatakan interaksi sosial dalam
proses belajar adalah penting.
Menurut pandangan konstruktivis, tujuan
pembelajaran adalah tidak dimaksudkan untuk
memperoleh pengetahuan yang banyak tanpa
pemahaman tetapi membangun pemahaman.
Wink (2010) menyatakan bahwa pembelajaran
kimia menurut pandangan konstruktivis membantu siswa untuk membangun skil, konsep, atau
prinsip kimia dengan kemampuannya sendiri
melalui proses internalisasi, sehingga skill,
konsep, atau prinsip tersebut terbangun kembali
dan melalui transformasi, informasi yang
diperoleh menjadi skill, konsep, atau prinsip
baru. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh
Becker, Rasmussen, Sweeney, Wawro, Towns,
& Cole (2013) bahwa ciri pembelajaran kimia
secara konstruktivis adalah siswa terlibat aktif
dalam belajarnya, siswa belajar kimia secara
bermakna dalam bekerja dan berpikir dan siswa
belajar
bagaimana
belajar
itu.
Agar
pembelajaran konstruktivis terjadi, maka bahan
pembelajaran harus bermakna sehingga dapat
melibatkan siswa secara emosional dan sosial.
Lingkungan belajar secara konstruktivis adalah
lingkungan yang menyediakan pengintegrasian
pembelajaran
sehingga
memungkinkan
terjadinya transmisi sosial, yaitu interaksi dan
kerjasama antara siswa dengan siswa, kelompok
siswa dengan kelompok siswa, dan siswa dengan
guru .
Bertram (2010) menyatakan ada lima prinsip
pembelajaran secara konstruktivis, yaitu: (1)
pengetahuan diperoleh anak secara konstruktivis; (2) pengetahuan dikonstruksi dan diperoleh
anak melalui proses kesadaran, operasional,
mediatif, reflektif, dan penyusunan persetujuan;
(3) dalam proses pengkonstruksian pengetahuan,
kegiatan operasional dan penalaran reflektif
memainkan peranan besar; (4) anak mengonstruksi, mengkritisi, dan menyusun kembali
pengetahuan melalui interaksi konstruktif
Pembelajaran Menurut Paham Konstruktivis
Matthews dalam (Schunk, 2012) menyataan
bahwa ada dua pandangan tentang cara individu
mengonstruksi pengetahuan (konstruktivis),
yaitu konstruktivis psikologis dan sosiologis.
Menurut pandangan konstruk-tivis psikologis,
pembelajar dalam membangun pengetahuan
didasarkan pada perkembangan psikologis,
sedangkan pandangan konstruktivis sosiologis,
pembelajar dalam membangun pengetahuan
berdasarkan pada hubungan sosial. Piaget,
C - 139
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
dengan teman dan dosennya; (5) ketika anak
mengonstruksi pengetahuan, lima representasi:
realistik, manipulatif, ilustratif, linguistik, dan
simbolik memainkan peran penting. Hal senada,
Hudojo (1998) manyatakan, untuk menanamkan
konsep, prinsip, atau ide kedalam skemata anak,
harus ditampilkan sebagai representasi: bahasa
lisan/tulis, benda konkret, gambar benda, simbol
gambar, dan simbol. Menurut Woolfolk (2009)
dalam pembelajaran, kolaborasi merupakan hal
yang penting dan pembelajaran berpusat pada
mahasiswa. Mahasiswa tidak hanya dihadapkan
pada satu model, satu analogi, atau satu cara
untuk memahami isi.
berkomunikasi, memecahkan masalah, dan memahami materi kimia beragam. Hasil belajar siswa,
secara umum, tergolong cukup (rerata 62,00),
dengan rentangan dari 50,7 hingga 84,5. Sementara itu, rerata jumlah siswa yang mengikuti remidi
(belum mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM) yang ditetapkan (70) masih cukup banyak,
yaitu sebesar 26,75%.
3. Pembelajaran
Penalaran
Argumen
Berbasis Peta Konsep untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Kimia
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa salah satu pembelajaran yang ditengarai
efektif untuk meningkatkan pemahaman konsep
dan mengembangkan keterampilan penalaran
mahasiswa adalah pembelajaran dengan
menggunakan peta konsep yang dirancah dengan
dukungan pertanyaan generik . Pembelajar yang
memiliki keterbatasan kemampuan keterampilan
metakognitif mengajukan pertanyaan dapat
dirancah dengan dukungan pertanyaan generik
(Nussbaum & Edwards, 2011), karena melalui
latihan mengajukan pertanyaan dan umpan balik
dari rekan-rekan dapat meningkatkan keterampilan metakognisi seperti merenungkan dan
memantau pemahaman (Piaget dalam Shucnk,
2012). Dalam pelatihan, bentuk dukungan
pertanyaan generik secara bertahap harus
dikurangi dan akhirnya dihentikan. Akhirnya,
ketika tanpa ada dukungan pertanyaan generik,
mahasiswa diharapkan telah mencapai tingkat
domain pengetahuan dan internalisasi keterampilan metakognitif tertentu sehingga mereka
secara otomatis akan aktif melakukan penalaran
untuk memperoleh, memperbaiki dan merestrukturisasi pengetahuan ( Brown, 1989 dalam
Shucnk,2012),
proses
pembelajaran
ini
membentuk suatu siklus yang diilustrasikan pada
Gambar 1.
2. Hasil Studi Lapangan
Hasil analisis terhadap sumber daya pendukung
pembelajaran menunjukkan bahwa Program Studi
Pendidikan Kimia FKIP Untad telah memiliki 2
gedung laboratorium dengan peralatan dan bahanbahan praktikum cukup mewakili. Satu gedung
laboratorium digunakan untuk praktek kimia
organik dan biokimia dan gedung laboratorium
yang lainnya digunakan untuk kimia analitik, kimia
fisika dan kimia organik. Praktikum kimia dasar
menggunakan kedua gedung laboratorium tersebut.
Hasil analisis terhadap konteks-konteks kimia
menunjukkan bahwa hampir semua topik-topik
kimia mempunyai aplikasi yang tinggi dalam
kehidupan sehari-hari. Hasil observasi terhadap
proses pembelajaran yang dilakukan oleh empat
dosen diperoleh bahwa model pembelajaran yang
diterapkan oleh dosen-dosen kimia dasar 74 %
tidak sesuai dengan model pembelajaran yang
tertuang dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.
Umumnya dosen menjelaskan materi kimia sesuai
dengan urutan materi yang terdapat dalam buku
modul yang menjadi pegangan bersama dosen dan
mahasiswa. Masalah-masalah yang dihadapi dalam
melaksanakan pembelajaran kimia, antara lain,
adalah: (1) alat dan bahan praktikum masih
terbatas sehingga praktikum dilakukan dengan
kelompok relatif besar; (2) minat belajar siswa
masih kurang; (3) mahasiswa mengalami kesulitan
memahami konsep abstrak dan memanipulasi
rumus; dan (4) persiapan mahasiswa mengikuti
pembelajaran masih kurang.
Hasil analisis terhadap karakteristik mahasiswa
menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa
dalam melaksanakan praktikum, bekerja sama,
C - 140
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
 mempertanyakan
sistematika
dan
mengatur konsep dalam representasi
diagram,
 mempertanyakan kualifikasi kata atau
frase yang sesuai dan membuat garis
penghubung dan label
(3) Merancah penalaran untuk mengkontruksi
pengetahuan
dengan
menggunakan
keterampilan metakognitif bertanya:
 apakah sesuai dengan urutan, apakah ada
sesuatu yang aneh atau tak diharapkan,
apakah ada persamaan atau perbedaan
 apa penjelasan saya untuk struktur peta
konsep ini?, mengapa demikian?,
bagaimana
saya
dapat
menjelaskannya?, alasan-alasan apa
saja yang memungkinkan untuk
menyakinkan?
 apakah ada bukti-bukti yang dapat
mendukung penjelasan saya?
(4) Konsolidasi dengan cara menentang ide
 Mengkonsolidasikan
ide-ide
yang
berbeda ke dalam argumen formal
koherensi
sehingga
 Membangun
pernyataan yang dibuat logis dan
sistematis.
Gbr 1. Model merancah penalaran menggunakan
peta konsep
Berdasarkan siklus yang diperlihat oleh
Gambar 1, karakteristik dari model pembelajaran
penalaran argumen berbasis peta konsep
untuk meningkatkan pemahaman konsep
kimia yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
(1) Memfokuskan perhatian dengan mengajukan
pertanyaan :
 memperhatikan stimulus yang disajikan;
mengamati, mengidentifikasi kata-kata
kunci atau frase dan mengkaitkan dengan
konsep yang telah dimilikinya
 mengajukan pertanyaan yang dirangsang
oleh kebingungan dan konflik kognitif
seperti: apa sentral kata, konsep, pertanyaan atau masalah yang bisa digunakan
untuk membangun diagram atau peta
konsep ? Apa konsep, ide , kata deskriptif
atau pertanyaan penting yang dapat
mengaitkan dengan konsep utama, topik ,
pertanyaan atau masalah?;
(2) Mengkontruksi peta konsep dengan pertanyaan kritis:
 mempertanyakan
dan
mengurutkan
konsep ( kata kunci ) dari yang paling
abstrak dan inklusif ke yang paling
konkret dan spesifik,
 mempertanyakan dan mengklaster konsep
pada tingkat abstraksi yang sama dan
memiliki salingketerhubungan yang erat,
Hasil Validasi Ahli
Hasil validasi terhadap model pembelajaran
dan instrumen penelitian menunjukkan bahwa
secara umum para ahli sepakat dengan model
pembelajaran dan instrumen penelitian yang
dibuat. Walaupun demikian, para ahli telah
memberikan masukan untuk menyempurnakan
model dan instrumen penelitian yang telah
dirancang. Salah seorang ahli dari dosen Pasca
Sarjana Unesa sebaiknya model pembelajaran
yang dikembangkan ini digunakan untuk
meningkatkan pemahaman konsep karena dengan
pemahaman yang meningkat secara otomatis
miskonsepsi akan terkoreksi.
Model pembelajaran penalaran argumen
berbasis peta konsep untuk meningkatkan
pemahaman konsep kimia yang dikembangkan
dalam penelitian ini merupakan suatu perangkat
pembelajaran yang diharapkan mampu memenuhi
kebutuhan dosen-dosen di lapangan . Model
pembelajaran ini juga diharapkan mampu
menjawab permasalahan yang berkaitan dengan
masih rendahnya pemahaman mahasiswa terhadap
C - 141
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
konsep-konsep kimia. Di samping itu, mahasiswa
akan memperoleh kesempatan berlatih menggunakan keterampilan metakognitif bertanya untuk
merancah penalaran suatu fenomena, ide, konsep,
inferensi, teori dan hukum.
Keterampilan metakognitif bertanya merupakan pertanyaan kritis yang bertujuan untuk
menguji, mengklarifikasi, dan mengelaborasi
ide-ide siswa. Melalui pertanyaan ini mahasiswa
akan menyadari jika pendapatnya itu salah dan
kemudian mengubahnya (akomodasi) atau
bertambah yakin jika pendapatnya itu benar
(asimilasi). Di samping itu, dengan pertanyaan
keterampilan metakognitif pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep kimia yang
dipelajari akan semakin mendalam. Hal ini
beralasan karena pertanyaan ini mencakup (1)
pertanyaan yang meminta klarifikasi, (2)
pertanyaan yang menyelidiki asumsi, (3)
pertanyaan yang menyelidiki alasan atau bukti,
(4) pertanyaan yang meminta pendapat, (5)
pertanyaan yang menyelidiki impli-kasi atau
akibat, dan (6) pertanyaan tentang pertanyaan
(Nussbaum & Edwards, 2011). Masih Nussbaum &
Edwards, (2011), pertanyaan keterampilan
metakognitif dapat: (1) meningkatkan isu-isu
dasar; (2) menyelidiki secara mendalam; (3)
membantu mahasiswa menemukan struktur
pikirannya; (4) membantu mahasiswa mengembangkan sensitivitas terhadap klarifikasi,
akurasi, dan relevansi; (5) membantu mahasiswa
agar sampai pada pertimbangan melalui
penalaran sendiri; (6) dan membantu mahasiswa
menganalisis klaim, bukti, kesimpulan, isu,
asumsi, implikasi, konsep, dan pendapat.
mengaitkan dengan konsep utama, topik ,
pertanyaan atau masalah?; (2). mengkontruksi
peta konsep dengan pertanyaan kritis, misalnya
mempertanyakan dan mengurut-kan konsep
(kata kunci) dari yang paling abstrak dan
inklusif ke yang paling konkret dan spesifik; (3)
Merancah penalaran untuk meng-kontruksi
pengetahuan dengan menggunakan keterampilan metakognitif bertanya, contoh apa
penjelasan saya untuk struktur peta konsep ini?,
mengapa demikian?, bagaimana saya dapat
menjelaskannya?, alasan-alasan apa saja yang
memungkinkan untuk menyakinkan?; dan (4).
Konsolidasi dengan cara menentang ide, seperti:
mengkonsolidasikan ide-ide yang berbeda ke
dalam argumen formal dan
membangun
koherensi sehingga pernyataan yang dibuat logis
dan sistematis.
PUSTAKA RUJUKAN
Becker, N., Rasmussen, C., Sweeney, G.,
Wawro, M., Towns, M., & Cole, R,
"Reasoning using particulate nature of
matter: an example of a sociochemical norm
in a university-level physical chemistry
class". Chemistry Education Research and
Practice (CERP), Vol.14,pp. 81-94, 2013
Berland, L., & Reiser, B, Making sense of
argumentation and explanation. Wiley Inter
Science, pp. 27-55, May 27, 2009
Bertram, A., Enhancing Science Teacher's
Knowledge of Practice by Explicitly
Developing Pedagogical Content Knowldege.
Monash: Faculty of Education Monash
University, 2010
Cavagnetto, A.,"Argument to Foster Scientific
Literacy: A review of argument interventions
in K-12 Science contexts". Review of
Educational Research, Vol.80, No.3,pp.336371, 2010
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat.
(2012).
Pemetaan
dan
Pengembnagan Mutu Pendidikan (PPMP).
Jakarta:
Dirjen
Dikti
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Fisher, A. (2007). Critical Thinking : An
Introduction. New York: Cambridge
University Press.
IV PENUTUP
Model pembelajaran penalaran argumen
berbasis peta konsep untuk meningkatkan
pemahaman konsep kimia dirancang berdasarkan atas temuan-temuan pada studi pustaka dan
lapangan. Proses penalaran dalam memahami
fenomena, ide, konsep, teori atau hukum dalam
model pembelajaran yang dikembangkan
diawali dengan: (1). memfokuskan perhatian
dengan mengajukan pertanyaan, seperti apa
sentral kata, konsep, pertanyaan atau masalah
yang bisa digunakan untuk membangun diagram
atau peta konsep ? Apa konsep, ide , kata
deskriptif atau pertanyaan penting yang dapat
C - 142
Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 20 September 2014
Hudojo, H. (1998). Mengajar Belajar
Matematika. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti
Depdikbud.
Jones, G., Thornton, W., Langrall, C., & Tarr, J.
(1999). Uderstanding Students' Probabilistic
Reasoning. Dalam V. S. Lee, & R. C.
Frances,
Developing
Mathematical
Reasoning in Grade K-12 (hal. 146-155).
Virginia : NCTM.
Kaberman, Z., & Dori, Y. J. (2008).
"Metacognition in chemical Education:
question posing in the case-based
computerized
learning
environment".
Springer Science & Business Media B.V,
Accepted 19 March 2008.
Krulik, S., & Rudnick, J. A. (1995). The New
Sourcebook for Teaching Reasoning and
Problem Solving in Elementary School.
Needham Heights: Allyn & Bacon.
Mercier, H., & Sperber, D. (2011). Whay do
human reason? Arguments for an
Argumentative Theory. Behavioral and
Brain, Vol. 34, pp. 57-111.
NCTM. (2000). Principle and Standards for
School Mathematics. New York: NCTM.
Novak, J., & Canas, A. (2008, 1 12). Florida
Institute for Human and Machine Cognition.
Dipetik 9 15, 2013, dari cmap.ihmc.us:
www.cmap.ihmc.us
Nussbaum, E., & Edwards, O. V. (2011).
Critical Questions and Argument Stratagems:
A Framework for Enhancing and Analyzing
Students’ Reasoning Practices. The Journal
of The Learning Science, Vol. 20, pp. 443488.
Redhana, I., & Kirna, I. (2004). Indentifikasi
Miskonsepsi Siswa SMA Negeri di Kota
Singaraja terhadap Konsep-Konsep Kimia.
Jakarta: P2M_DIKTI.
Russel, S. J. (1999). Mathematical Reasoning in
the Elementary Grades. Dalam V. Lee, & R.
C. Frances, Developing Mathematical
Reasoning in Grades K-12 (hal. 1-12).
Virginia: NCTM.
Salirawati, D. (2010). "Pengembangan Model
Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia
pada Peserta Didik SMA", Desertasi.
Yogyakarta: PPs UNY.
Saounma, B., & Attieh, M. (2008). "The effect
of using concept maps as study tools on
achievement in chemistry". Eurasia Journal
of Mathematic, Science and Technology
Education, Vol.4 No.3,233-246.
Schunk, D. (2012). "Learning theories an
educational perspective". Singapura: Pearson
Education, Inc.
Schunk, D. H. (2012). Learning theories an
educational perspective. Singapura: Pearson
Education, Inc.
Soedjadi. (2007). Masalah Kontekstual Sebagai
Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya:
Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS)
Universitas Negeri Surabaya.
Suharman. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya:
Srikandi.
Tim Pembina Mata Kuliah Kimia Dasar. (2010).
Evaluasi Mata Kuliah Kimia Dasar. Palu:
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP
Universitas Tadulako.
Walker, J., Sampson, P., & Zimmerman, C.
(2011). Argumen-Driven Inquiry : An
Introduction to a New Instructional Model
for Use in Undergraduate Chemistry Lab.
Journal of Chemical Education, Vol. 88, pp.
1048-1056.
Wink, D. J. (2010). Philosophical, Cognitive,
and Sosiologucal Roots for Connections in
Chemistry Teaching and Learning. Dalam S.
Basu-Dutt, Making Chemistry Relevant (hal.
1-25). Canada: John Wiley & Sons.
Woolfolk, A. (2009). Educational Psychology.
Boston: Allyn & Bacon.
C - 143
Download