BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kanker leher kepala merupakan kanker yang terdapat pada permukaan mukosa bagian dalam hidung dan nasofaring sampai trakhea dan esophagus, juga sering melibatkan kelenjar saliva, kelenjar tiroid, dan paratiroid (Davies dan Welch, 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di seluruh dunia. Rata-rata, 40% dari kasus tersebut terjadi di rongga mulut, 25% terjadi di laring, 15% terjadi di faring, 7% terjadi di kelenjar ludah, dan 13% terjadi di jaringan lain (Freitas dkk., 2012). Perawatan kanker leher kepala dapat dilakukan dengan cara bedah, radioterapi, kemoterapi, ataupun kombinasi (Rubira dkk., 2007). Radioterapi merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan radiasi ionisasi sebagai bagian pada pengobatan kanker yang berfungsi untuk mengontrol keganasan (Kent dkk., 2003). Jenis terapi ini menggunakan radiasi tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal maupun sel-sel kanker bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan terhambat (Kreshnamurti dkk., 2004). Rerata dosis yang diterima pasien kanker leher kepala berkisar antara 50-70 Gy, diberikan dalam periode 5-7 minggu selama 5 kali dalam seminggu, 2 Gy per fraksi (Vissink dkk., 2003). 1 2 Efek samping radioterapi bervariasi pada tiap individu. Secara umum, efek samping tersebut tergantung dari dosis terapi, organ target, dan keadaan umum pasien (Kreshnamurti dkk., 2004). Selain efek antikanker, radiasi pengion juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan normal yang berada di daerah radiasi. Efek pada jaringan normal dapat dibagi menjadi: (1) efek akut atau transien terjadi pada mukosa, indra pengecap lidah, dan kelenjar saliva; (2) efek intermediet terjadi pada indra pengecap lidah dan kelenjar saliva; (3) efek lambat terjadi pada kelenjar saliva, gigi, jaringan periodontal, tulang, otot, dan sendi (Kielbassa dkk., 2006). Susworo (2007), menambahkan efek akut radioterapi pada rongga mulut mulai tampak setelah pemberian radiasi eksterna dosis 20-35 Gy, dan akan semakin berat dengan meningkatnya dosis. Oleh sebab itu, pada penelitian ini digunakan radioterapi dosis akumulasi 20 Gy. Efek radioterapi bagi jaringan periodontal yang berada pada area radiasi, antara lain fibrosis dan iskemia jaringan lunak, hipovaskular dan hipoksia tulang pendukung gigi, kerusakan trabekula tulang, kegoyahan sampai hilangnya gigi, osteoradionekrosis, perubahan spesifik protein saliva, terganggunya penelanan, menurunnya aktivitas mitotik dalam lapisan basal, meningkatnya laktobasilus serta peningkatan akumulasi plak dan gingivitis akibat berkurangnya sekresi saliva (Vissink dkk., 2003; Spijkervet, 1996). Anneroth dkk., (1985) cit Vissink dkk., (2003), menambahkan efek yang diakibatkan radioterapi pada jaringan periodontal yaitu berkurangnya vaskularisasi dan aseluleritas membran periodontal disertai ruptur, penebalan, disorientasi serabut sharpey dan melebarnya ruang periodontal. 3 Radioterapi dapat mempengaruhi sistem vaskularisasi dalam jaringan, antara lain menyebabkan penurunan jumlah sel darah perifer seperti leukosit, limfosit, monosit, dan platelet, sehingga tubuh kehilangan kemampuan alami untuk melawan infeksi dan menjadi lebih rentan terhadap antigen bakteri (Edward dkk., 1990). Efek radioterapi pada rongga mulut yaitu terjadinya perubahan vaskular jaringan, seperti terganggunya pasokan darah ke jaringan periodontal. Berkurangnya pasokan darah dapat mengakibatkan daya tahan jaringan terhadap trauma dan infeksi menurun, difusi oksigen jaringan dan eliminasi sisa metabolisme menurun, akibatnya kandungan oksigen menjadi rendah dan menghasilkan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan bakteri anaerob dalam poket periodontal yang akhirnya akan memperparah inflamasi pada poket (Yalda dkk., 1994). Salah satu spesies bakteri penyebab utama infeksi periodontal adalah bakteri Porphyromonas gingivalis (Doan dkk., 1999). Bakteri ini mengendap di sulkus gingiva bersama dengan bakteri gram positif dan gram negatif lainnya (Andrian dkk., 2006). Porphyromonas gingivalis dapat memetabolisme asam amino dan menghasilkan sejumlah metabolik atau produk akhir, yang bersifat racun (toxic) terhadap jaringan gingiva pada manusia dan berpengaruh terhadap perkembangan suatu penyakit periodontal (Naito dkk., 2008). Selain itu juga memproduksi faktorfaktor virulensi, seperti protease yang dapat mendestruksi immunoglobulin, faktor komplemen, dan heme-sequestering protein, serta memproduksi hemolisin dan kolagenase, menginvasi jaringan lunak dan menghambat migrasi leukosit PMN (Kumar dkk., 2005; Newman dkk., 2006). 4 Enzim proteolitik yang dihasilkan Porphyromonas gingivalis seperti Arggingipain (Rgp) dan Lys-gingipain (Kgp) dapat menurunkan sistem pertahanan pada jaringan periodontal, sehingga keadaan jaringan periodontal yang terserang akan semakin parah (Fedi dkk., 2004; Amano, 2007). Efek lanjut dari invasi Porphyromonas gingivalis pada jaringan periodontal dapat menimbulkan migrasi epitel jungsional dan pada tahap lanjut dapat terjadi kehilangan perlekatan dan puncak tulang alveolar (Kumar dkk., 2005; Newman dkk., 2006). Apabila pertumbuhan bakteri ini tidak dapat dicegah dapat berpotensi luas dalam menimbulkan keadaan terlepasnya gigi dari soketnya (Fedi dkk., 2004; Amano, 2007). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: apakah terdapat perbedaan jumlah koloni bakteri Porphyromonas gingivalis cairan sulkus gingiva sebelum dan sesudah radioterapi dosis akumulasi 20 Gy kajian pada pasien kanker leher kepala di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya Vissink dkk., (2003) meneliti tentang komplikasi terapi kanker area leher kepala terhadap mukosa rongga mulut, glandula saliva, gigi, tulang rahang, ligamen periodontal, otot, dan sendi rahang; sedangkan Nisa (2010), meneliti tentang efek radioterapi area kepala dan leher terhadap koloni bakteri anaerob dalam cairan sulkus gingiva. Penelitian mengenai perbedaan jumlah koloni bakteri Porphyromonas gingivalis cairan sulkus gingiva sebelum dan 5 sesudah radioterapi dosis akumulasi 20 Gy kajian pada pasien kanker leher kepala di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan jumlah koloni bakteri Porphyromonas gingivalis cairan sulkus gingiva sebelum dan sesudah radioterapi dosis akumulasi 20 Gy kajian pada pasien kanker leher kepala di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Menambah informasi ilmiah mengenai pengaruh radioterapi terhadap jumlah koloni bakteri Porphyromonas gingivalis cairan sulkus gingiva di bidang kedokteran gigi pada khususnya dan dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. 2. Memberikan pengetahuan kepada pasien yang menjalani radioterapi untuk lebih menjaga kesehatan gigi dan mulut guna mengurangi efek radioterapi terhadap rongga mulut. 3. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi dokter gigi dalam melakukan perawatan dental terhadap penderita kanker leher kepala yang menjalani radioterapi.