proposal disertasi - Sekolah Tinggi Theologi Aletheia

advertisement
1
MENGATASI HARGA DIRI RENDAH (LOW SELF ESTEEM)
MAHASISWA SEKOLAH TINGGI TEOLOGI
Agung Gunawan
ABSTRAK
Mahasiswa sekolah tinggi teologi adalah generasi penerus dan
pemegang tongkat estafet para pemimpin gereja di masa depan. Peran
para mahasiswa teologi sangat vital dalam menentukan hari depan gereja.
Gereja membutuhkan para mahasiswa teologi yang berkualitas untuk
dapat mengemban tugas yang berat dan penuh tantangan sebagai
pemimpin gereja di masa depan. Salah satu kriteria dari mahasiswa yang
berkualitas adalah mahasiswa yang memiliki harga diri (self-esteem) yang
sehat. Realita menunjukkan bahwa banyak mahasiswa sekolah tinggi
teologi yang memiliki harga diri rendah. Harga diri rendah memiliki dampak
yang sangat negatif bagi mahasiswa untuk menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai generasi penerus pemimpin gereja. Oleh sebab itu,
sekolah tinggi teologi perlu menolong mahasiswanya untuk dapat
meningkatkan harga diri mereka dengan menumbuhkan pilar-pilar harga
diri.
Kata Kunci: harga diri, harga diri rendah, mahasiswa sekolah tinggi
teologi, pemimpin gereja, pilar-pilar harga diri,
PENDAHULUAN
Gereja membutuhkan hamba-hamba Tuhan yang memiliki harga
diri yang sehat. Gereja yang dipimpin oleh hamba-hamba Tuhan yang
memiliki harga diri yang sehat (healthy self-esteem) akan menjadi gereja
yang sehat. Sebaliknya, gereja yang dipimpin oleh hamba-hamba Tuhan
yang memiliki harga diri yang rendah (low self-esteem) akan mengalami
banyak persoalan yang ditimbulkan oleh hamba Tuhannya sebagai
pemimpin gereja.
Hari ini banyak gereja-gereja yang tidak kondusif serta diterpa oleh
berbagai macam persoalan yang disebabkan oleh ketidak mampuan
pemimpin gereja untuk mengatasinya. Akibatnya maka gereja tidak dapat
mengembangkan pelayanan yang produktif. Masalah-masalah ini
seringkali disebabkan oleh pemimpin gereja memiliki harga diri yang
rendah. Oleh sebab itu, seorang hamba Tuhan yang juga adalah pemimpin
gereja harus memiliki harga diri yang sehat.
2
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian harga diri rendah
serta apa dampaknya bagi kehidupan seorang hamba Tuhan. Selain
daripada itu, akan diuraikan bagaimana menumbuhkan pilar-pilar harga diri
dalam diri seseorang yang pada gilirannya akan membawa kepada
terbentuknya harga diri yang sehat. Kiranya tulisan ini menjadi bahan
pemikiran dan memotivasi sekolah-sekolah tinggi teologi untuk
memperhatikan pembentukkan harga diri yang sehat bagi mahasiswanya
yang kelak akan menjadi pemimpin gereja.
PENGERTIAN HARGA DIRI
Harga diri adalah sebuah konsep yang digunakan secara luas, baik
dalam bahasa populer dan di dalam dunia psikologi. Harga diri merujuk
kepada evaluasi dan perasaan individu tentang nilai dan kelayakkan
dirinya. Dengan kata lain harga diri adalah analisa yang dilakukan
seseorang terhadap dirinya sendiri (Sedycias, 2010:1). Penilaian diri
seseorang terhadap dirinya bisa positif atau negatif. Jadi harga diri adalah
penilaian yang baik atau kurang baik seseorang terhadap dirinya sendiri.
(Fennel, 2007:297-314).
Menurut Maslow, harga diri merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia. Dalam bukunya ―A Theory of Human Motivation,‖ Maslow
mengemukakan bahwa ada lima urutan kebutuhan dasar manusia yaitu:
kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan
aktualisasi dan kebutuhan akan harga diri. Semua kebutuhan-kebutuhan
tersebut memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Apabila keempat
kebutuhan yang pertama sudah terpenuhi maka pemenuhan atas
kebutuhan harga diri sangat penting dan harus dipenuhi agar seseorang
dapat bertumbuh secara sehat dan normal (Cherry, 2010:1).
Branden, seorang pakar dalam masalah harga diri, juga memaparkan
bahwa harga diri adalah kebutuhan dasar dari manusia. Harga diri memiliki
peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Branden
menguraikan ada tiga peran harga diri bagi kehidupan manusia yaitu
(Branden, 1994:17): (a) Harga diri adalah suatu kebutuhan esensi manusia
yang vital untuk memberikan kontribusi dalam proses kehidupan, (b) Harga
diri membawa kepada perkembangan diri seseorang secara normal dan
sehat dan (c) Harga diri memiliki nilai-nilai yang membawa kepada
ketahanan hidup seseorang.
Lebih jauh Branden menjelaskan bahwa harga diri seseorang terdiri
dari dua unsur utama yaitu kemampuan diri dan penghormatan diri.
Branden menulis:
3
Self-Esteem consists of two components: (1) Self-efficacy—
confidence in one’s ability to think, learn, choose, and make
appropriate decisions, and, by extension, to master
challenges and manage change; and (2) self-respect—
confidence in one’s right to be happy, and, by extension,
confidence that achievement, success, friendship, respect,
love, and fulfillment are appropriate for oneself (Branden,
1994:26).
Harga diri berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam hidup
yang meliputi kemampuan untuk berpikir, belajar, memilih serta membuat
keputusan. Selain itu, harga diri juga berhubungan erat dengan hak yang
dimiliki seseorang dalam hidup, seperti hak untuk dihargai, dikasihi dan
diterima oleh orang lain, serta seberapa besar seseorang menghargai,
mengasihi dan menerima dirinya sendiri. Harga diri juga mencakup
keyakinan, sikap, dan pendapat yang dimiliki seseorang tentang dirinya
sendiri serta nilai-nilai yang ditetapkan oleh seseorang bagi dirinya sendiri.
Harga diri memiliki dampak yang sangat besar terhadap sikap seseorang,
pengalaman emosinya, perilakunya di masa depan dan penyesuaian
psikologis secara jangka panjang (Zyl, 2006: 182-208).
Harga diri adalah penilaian dan anggapan seseorang tentang dirinya
sendiri (Fennel, 2007: 297-314). Ada dua macam harga diri yaitu harga diri
yang sehat dan harga diri yang tidak sehat atau harga diri rendah.
Seseorang memiliki harga diri yang sehat apabila ia memandang dirinya
secara positif. Sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah
apabila ia memandang dirinya secara negatif. Adapun tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa seseorang memiliki harga diri yang sehat yaitu
apabila seseorang (Corcoran, 1987:408):
- Merasa puas dengan keberadaan dirinya sendiri.
- Meyakini bahwa ia adalah pribadi yang baik.
- Meyakini bahwa ia memiliki sejumlah kualitas yang baik dalam dirinya.
- Merasa mampu melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang lain.
- Meyakini bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat dia banggakan.
- Merasa bahwa ia adalah pribadi yang berguna.
- Meyakini bahwa ia adalah pribadi yang layak dihadapan orang lain.
- Merasa bahwa ia cukup dihargai oleh orang lain.
- Merasa bahwa ia bukan sebagai pribadi yang gagal.
Apabila seseorang tidak memiliki komponen-komponen di atas, maka
dapatlah dikatakan bahwa ia memiliki harga diri rendah (low self esteem).
HARGA DIRI RENDAH (LOW SELF ESTEEM)
4
Harga diri rendah berkaitan dengan pikiran dan anggapan yang
negatif seseorang terhadap dirinya sendiri (Fennel, 2007: 297-314).
Seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung untuk menghakimi
atau mengevaluasi dirinya sendiri secara negatif. Sebagai akibatnya
seseorang yang memiliki harga diri rendah akan merasa bahwa dirinya
tidak layak dan tidak pantas dibandingkan dengan orang lain. Jadi
dapatlah dikatakan bahwa seseorang yang memiliki harga diri yang rendah
akan mengalami kehilangan keyakinan diri dan penghormatan diri. Ia
merasa dirinya tidak ada nilai dan martabat sama sekali (Zyl, 2006: 182208). Orang-orang seperti ini akan menjadi pribadi yang sulit untuk
berinteraksi dengan orang lain. Alhasil ia akan menjadi pribadi yang
terisolasi dan terasing.
PENYEBAB MUNCULNYA HARGA DIRI RENDAH
Harga diri rendah adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir,
tetapi sesuatu yang didapatkan dalam kehidupan keluarga. Jika
pengalaman hidup seseorang positif dan ia bertumbuh dalam keluarga
yang penuh kasih, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi.
Sebaliknya, jika seeseorang memiliki pengalaman yang negatif di dalam
keluarganya, maka ia akan memiliki harga diri rendah.
Harga diri rendah dapat disebabkan oleh pengalaman pahit yang
dialami oleh seseorang dimasa kecilnya di dalam keluarga (Goleman,
1996). Sikap orang tua yang keliru dalam mendidik, mengasuh, serta cara
memperlakukan anaknya di masa kecil akan dapat menimbulkan harga diri
rendah. Orangtua adalah penyebab utama terbentuknya harga diri rendah
dalam diri seorang anak (Zyl, 2006: 182-208). Jadi dapatlah dikatakan
bahwa faktor pola asuh orangtua memiliki peran yang sangat vital bagi
terbentuknya harga diri rendah dalam diri seseorang (Horberg, 2010: 77–
91). Adapun beberapa tindakan orangtua yang dapat menyebabkan
munculnya harga diri rendah dari diri seseorang adalah sebagai berikut:
1.
Pelecehan Fisik (Physical Abuse)
Harga diri rendah dapat disebabkan oleh adanya pelecehan secara
fisik dimana orang tua terlalu berlebihan dalam mendisiplin fisik anaknya
yang melakukan kesalahan (Goleman, 1996). Pelecehan secara fisik ini
akan diinterpretasikan oleh anak-anak secara negatif. Misalnya ketika
seorang anak dihukum secara fisik oleh orangtuanya secara berlebihan
dan terus menerus karena melakukan suatu kesalahan maka ia akan
berpikir bahwa "hal-hal buruk terjadi kepada saya, maka saya adalah
seorang yang buruk. " Akibatnya maka ia akan menutup diri dan
mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain.
5
2.
Pelecehan Emosional (Emotional Abuse)
Harga diri rendah dapat juga disebabkan oleh pelecehan emosional
dimana orang tua tidak mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada
anaknya untuk mengekspresikan emosinya secara baik dan sehat seperti
marah, menangis, dan sedih (Zyl, 2006: 182-208). Sebagai akibatnya ia
akan sulit untuk mengekpresikan emosinya sehingga ia akan menjadi
pribadi yang kaku dikemudian hari.
3.
Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)
Harga diri rendah juga dapat disebabkan oleh pelecehan seksual
yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri atau orang-orang yang dituakan
dirumah seperti paman atau tante. Pelecehan seksual dapat dialami oleh
anak perempuan dan juga anak laki-laki. Pelecehan seksual ini bisa dalam
bentuk mereka mengalami perlakuan yang tidak senonoh terhadap
seorang anak seperti menciumi dan meraba-raba dengan nafsu birahi
bahkan sampai melakukan pemerkosaan. Sebagai akibatnya anak yang
mengalami pelecehan seksual akan merasa dirinya kotor dan tidak layak
untuk dikasihi. Ia akan bertumbuh menjadi seseorang yang memandang
dirinya tidak berharga dan tidak pantas untuk berhubungan dengan orang
lain (Zyl, 2006: 182-208). Pelecehan secara seksual juga dapat
menyebabkan seseorang mengalami depresi yang sangat dalam. Depresi
ini akan menyebabkan harga diri seseorang menjadi rendah (Buzi,
2007:1).
4.
Penolakan (Rejection)
Harga diri rendah juga dapat disebabkan oleh penolakkan orang tua
terhadap anaknya. Penolakan adalah pengalaman yang sangat
menyakitkan dan menakutkan bagi seseorang. Setiap orang membutuhkan
penerimaan dari orang yang ada disekitarnya (Ford, 2010: 405–419).
Tatkala seorang anak mendapatkan penolakan maka ia akan merasa
dirinya tidak baik, tidak mampu, serta tidak berarti. Akibatnya dalam dirinya
akan muncul harga diri rendah.
Penolakan bisa terjadi sebelum seorang anak dilahirkan dengan
tindakan aborsi yang dilakukan oleh orangtua. Aborsi dilakukan karena
orangtua tidak menghendaki kelahiran dan kehadiran anak yang mungkin
berasal dari hubungan gelap. Namun ternyata anak tersebut masih hidup
dan lahir kedalam dunia. Anak ini bertumbuh dengan harga diri yang
rendah.
Perasaan ditolak juga bisa terjadi ketika seorang anak mengalami
proses adopsi. Harga diri rendah juga dapat dimiliki oleh anak yang
diadopsi oleh oranglain. Seorang anak yang diadopsi oleh orang lain akan
6
memiliki harga diri rendah karena ia merasa dirinya dibuang atau ditolak
orangtua aslinya (Nydam, 1999:112).
Penolakan juga bisa terjadi ketika orang tua kurang memberikan
perhatian, pujian, penghargaan, serta dukungan bagi anaknya. Justru
sebaliknya orangtua selalu mengkritik dan menyalahkan anak. Hal ini akan
merasa bahwa dirinya tidak berarti dan tidak berguna. Akibatnya ia akan
bertumbuh menjadi pribadi yang tidak punya percaya diri ketika
berinteraksi dengan orang lain.Selain daripada itu penolakkan juga dapat
menyebabkan seorang anak akan berpikir bahwa ia bodoh, maka ia tidak
akan berani menghadapi tantangan hidup karena ia berpikir bahwa lebih
baik tidak mencoba itu daripada gagal.
Dari uraian di atas sangatlah jelas bahwa pengasuhan orangtua
memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan harga diri yang
rendah dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, apabila orangtua ingin
anaknya memiliki harga diri yang sehat maka orangtua harus melakukan
pengasuhan secara positif terhadap anak-anak mereka. Orangtua memiliki
peran yang sangat penting untuk menumbuhkan atau menghancurkan
harga diri dari anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka.
Namun sangat disayangkan bahwa banyak orang tua yang merusak harga
diri seorang anak walaupun mungkin tidak mereka sadari.
DAMPAK HARGA DIRI RENDAH
Harga diri rendah memiliki beberapa dampak yang sangat negatif
bagi kehidupan mahasiswa. Adapun dampak-dampak negatif dari
seseorang yang memiliki harga diri rendah adalah sebagai berikut:
1.
Prestasi Akademis Yang Rendah
Dalam pertemuan yang dilakukan oleh para dosen dari berbagai
Sekolah Tinggi Theologia, banyak dosen yang melaporkan realita tentang
menurunnya kualitas akademis yang dialami oleh beberapa mahasiswa.
Nilai-nilai yang mereka dapatkan makin hari makin merosot. Secara umum
nilai rata-rata mereka adalah tidak bisa lebih dari C bahkan tidak sedikit
yang mendapatkan nilai F atau tidak lulus.
Menindaklanjuti laporan-laporan di atas maka dilakukan wawancara
kepada para mahasiswa yang mengalami penurunan kualitas studi.
Wawancara yang dilakukan oleh terhadap mahasiswa yang memiliki
prestasi belajar yang rendah untuk mengetahui sebenarnya apa yang
terjadi sehingga mereka mengalami masalah dalam prestasi akademis.
Dari wawancara tersebut diperoleh kesimpulan bahwa mereka mengalami
kesulitan untuk menghafal dan mencerna bahan-bahan kuliah yang akan
7
diujikan. Selain daripada itu mereka juga tidak memiliki percaya diri ketika
mereka mengerjakan sol-soal ujian yang diberikan oleh dosen. Padahal
mereka sudah belajar dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya
namun pada saat mereka mengerjakan soal-soal ujian mereka menjadi
ragu dan bimbang atas apa yang sudah ditulis di lembar jawaban.
Akibatnya ia mengganti dengan jawaban-jawaban yang lain yang ternyata
salah. Ternyata yang ditulis sebelumnya sudah benar.
Hal ini juga terjadi ketika para mahasiswa mengerjakan tugas-tugas
lain seperti paper juga mengalami hal yang serupa. Mereka sudah
mempersiapkan dan mengerjakan tugas-tugas jauh sebelum batas akhir
pengumpulan namun pada saat mendekati hari pengumpulan tugas-tugas
mereka mulai meragukan apa yang telah mereka kerjakan. Lalu mereka
mengerjakan ulang tugasnya akibatnya hasil yang dicapai tidak maksimal,
padahal apa yang dikerjakan sebelumnya lebih baik karena dipersiapkan
dalam waktu yang lebih lama. Seseorang yang memiliki harga diri rendah
akan meragukan potensi kemampuannya intelektual diri sendiri.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Astutik (2002) didapati bahwa
apa yang dialami dan terjadi pada mahasiswa seperti yang diungkapkan
dalam wawancara di atas disebabkan mahasiswa tersebut memiliki harga
diri rendah. Jadi ternyata ada hubungan antara harga diri dan prestasi
akademis. Mereka yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki
kualitas akademis yang rendah pula. Disinilah harga diri mempengaruhi
kemapuan diri (self-eficacy) seseorang.
Ada juga penemuan yang menyatakan adanya hubungan antara
kemampuan intelektual/akademis seseorang dengan harga diri rendah
yang disebabkan adanya hubungan antara otak seseorang dengan harga
diri rendah (Ghos, 2003:1). Seseorang yang memiliki harga diri rendah
otaknya akan mengecil sehingga akan membawa pengaruh kesulitan
untuk berpikir dan menganalisa. Sejalan dengan Ghos, Mark Tyrrel
(2009:1) mengemukakan bahwa harga diri rendah memiliki dampak
terhadap pikiran seseorang. Seseorang yang memiliki harga diri rendah
akan mengalami kesulitan untuk mencerna materi-materi yang
dipelajarinya, tidak dapat mengingat apa yang diterimanya serta tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan analisa. Jadi harga diri rendah
sangat berpengaruh bagi kemampuan akademis seseorang (Baumeister,
2003:1-44).
Hari ini gereja membutuhkan hamba-hamba Tuhan yang memiliki
kemampuan intelektual yang mumpuni yang mampu memberikan
wawasan yang cerdas kepada jemaat yang dilayaninya yang nota bene
8
memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Untuk itu, seorang hamba
Tuhan harus memiliki harga diri yang sehat.
2.
Kesulitan Untuk Tampil Didepan Umum
Dari pengamatan dan laporan yang dilakukan oleh dosen-dosen di
berbagai kampus yang disampaikan dalam pertemuan secara berkala,
mereka melihat adanya kecenderungan banyak mahasiswa mengalami
kesulitan ketika tampil di depan kelas untuk melakukan presentasi baik
laporan baca, makalah dan lainnnya. Mereka tidak berani berdiri dengan
badan yang tegak. Raut wajah atau mimik mereka sangat datar dan tidak
ekspresif. Suara mereka sangat lemah dan kurang bersemangat. Mereka
juga tidak berani melakukan kontak mata dengan pendengarnya. Mereka
sepertinya kurang percaya diri apabila berdiri di depan orang banyak. Para
mahasiswa terkesan takut pada saat berdiri didepan kelas yang dihadiri
oleh banyak orang. Akibatnya apa yang disampaikan tidak dapat diterima
dan dimengerti secara baik oleh pendengarnya.
Menurut Tono (2008:1), seseorang yang memiliki harga diri rendah
cenderung memiliki phobia atau ketakutan untuk berhadapan dengan
khalayak ramai apalagi harus berbicara di depan umum yang disebutnya
sebagai social phobia. Seseorang yang memiliki harga diri rendah merasa
tidak nyaman berdiri dan berbicara di depan umum meski ada temanteman yang dikenalnya. Orang yang mengalami phobia sosial, menurut
Tono, takut membuat 'kebodohan' atau takut direndahkan oleh orang lain.
Orang yang memiliki perasaan harga diri rendah (low self esteem) akan
cenderung memiliki ketidakpercayaan diri (lack of confidence).
Branden menyoroti hal yang serupa dari sudut yang agak berbeda.
Menurut Branden (1994:26) seseorang yang memiliki harga diri rendah
akan mengalami kesulitan untuk tampil di depan umum apalagi berbicara
karena malu, takut dan kurang percaya diri. Seseorang yang memiliki
harga diri rendah akan memiliki pikiran yang sangat kritis tentang dirinya
sendiri. Ia cenderung untuk sedikit melakukan kontak mata ketika
berbicara di depan orang lain. Ketika ia berbicara di depan umum, ia akan
berbicara dengan nada yang lembut. Hal ini disebabkan karena mereka
memiliki perasaan malu (shame), cemas atau tegang yang sangat tinggi.
Oleh sebab itu seseorang yang memiliki harga diri rendah akan berusaha
menghindar untuk tampil di depan khalayak ramai. Sebaliknya seseorang
yang memiliki harga diri yang sehat akan mampu dan lebih berani untuk
tampil di depan umum (Baumeister, 2003: 1-44). Disinilah hubungan
antara harga diri dan percaya diri sangat jelas terlihat.
Sebagai seorang calon hamba Tuhan yang harus melayani mimbar,
maka keberanian untuk tampil di depan umum adalah sesuatu yang harus
9
dimiliki oleh seorang mahasiswa teologi. Oleh sebab itu, seorang
mahasiswa teologi harus memiliki harga diri yang sehat.
3.
Kesulitan Berkomunikasi Dengan Dosen
Dalam laporan para doses juga ditemukan adanya realita
kesenjangan hubungan antara beberapa mahasiswa dengan para dosen.
Ada beberapa mahasiswa yang sulit berinteraksi dan berkomunikasi
dengan dosen. Akibatnya antara dosen dan mahasiswa seakan terbentang
jurang pemisah yang sangat dalam. Mahasiswa merasa enggan untuk
mendekati dosen apabila ada kesulitan baik yang berkaitan dengan
masalah studi atau lainnya.
Namun apabila dosen yang berinisiatip memanggil mereka untuk
menanyakan tentang keadaan mereka, mahasiswa menjadi takut dan
menutup diri. Hal ini akan sangat merugikan mahasiswa itu sendiri karena
mereka akan menghadapi kesulitan sendiri tanpa mendapat pertolongan
dari dosen.
Masalah sulitnya interaksi antara mahasiswa dengan dosen ternyata
dapat disebabkan oleh adanya harga diri yang rendah. Menurut Tyrrell
(2008:1), seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung untuk tidak
berani berinteraksi dengan orang lain khususnya dengan orang-orang
yang memiliki posisi atau status sosial yang tinggi. Senada dengan Tyrrell,
Perera (2005:1) juga menegaskan bahwa harga diri rendah memiliki
pengaruh terhadap hubungan seseorang dengan orang lain, khususnya
dengan orang-orang yang memiliki otoritas. Hal ini disebabkan karena
mereka yang memiliki harga diri rendah akan merasa kurang percaya diri
berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kedudukan dan berotoritas
atas diri mereka, seperti misalnya dosen. Rasa kurang percaya diri inilah
yang akhirnya membuat mahasiswa menarik diri dan menghindar untuk
berhubungan atau berkomunikasi dengan dosen mereka.
Mereka takut berbuat kesalahan apabila bertemu atau berbicara
tentang dosen karena hal itu diyakini akan dapat berakibat negatif dan
merugikan diri mereka baik secara akademis dan juga penilaian dosen
terhadap diri mereka. Oleh sebab itu mereka lebih baik menghindar dan
menjaga jarak dengan dosen agar mereka merasa aman.
Ada satu penelitian yang menarik bahwa selain dengan orang yang
memiliki posisi yang lebih, seorang yang memiliki harga diri rendah juga
memiliki kesulitan berelasi dengan lawan jenis (Cameron, 2010: 513–529).
Hal ini menunjukkan dan membuktikan bahwa harga diri sangat
mempengaruhi percaya diri seseorang. Apabila seseorang memiliki harga
10
diri yang tinggi maka ia akan memiliki percaya diri untuk berkomunikasi
dan bergaul dengan orang lain. Seseorang yang memiliki harga diri yang
tinggi akan mampu menciptakan relasi yang sehat dan lebih baik dengan
orang lain (Baumeister, 2003: 1-44).
Sebagai calon pemimpin gereja, seorang mahasiswa teologi harus
memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan jemaat
yang dilayani. Oleh sebab itu, seorang mahasiwa teolgi tidak boleh
memiliki harga diri rendah yang akan menghambat relasi dengan jemaat
yang dilayaninya.
4.
Kekerasan Yang Dilakukan Mahasiswa
Beberapa tahun belakangan ini dunia pendidikan tercoreng oleh
adanya kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa yang nota bene
adalah kaum yang terdidik. Kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa
dapat terlihat dari aksi perkelahian dan tawuran yang dilakukan oleh
mahasiswa dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang ada di
Indonesia. Perkelahian dan tawuran antar mahasiswa sekampus atau
dengan kampus lain sering terjadi diberbagai tempat diseluruh penjuru
tanah air baik dikota kecil maupun kota besar.
Perkelahian dan tawuran yang terjadi seringkali dipicu oleh perasaan
terhina oleh sikap atau ucapan dari orang lain. Misalnya peristiwa tawuran
yang terjadi pada tanggal 14 May 2007 (Taruna, Iwan dan Randa, Rizal.
2007:1). Karena masalah sepele, mahasiswa dari dua Fakultas yang
berbeda di Universitas 45 Makassar terlibat tawuran. Seorang mahasiswa
dari Fakultas Teknik diganggu oleh temannya dari Fakultas Plantologi yang
menyebabkan harga dirinya tersinggung. Kemudia ia mengajak temantemannya untuk menghajar mahasiswa yang menganggunya itu. Karena
bermaksud menjaga kekompakan atau rasa solidaritas sesama teman
maka mahasiswa yang merasa temannya diganggu tersebut langsung
menyerang mahasiswa yang dituduh sebagai pengganggu. Kemudian
mahasiswa yang dikeroyok itu menanggil teman-temannya untuk
membantunya. Akibatnya tawuran pun tidak bisa dihindari dan banyak
korban yang disebabkan oleh tawuran tersebut.
Selain tawuran ada kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa yang
bentuknya lebih ekstrim lagi dengan tindakan yang nekat melukai bahkan
membunuh orang lain. Hal ini terbukti dengan penembakan secara
membabi buta juga sering terjadi dikampus-kampus diluar negeri,
khusunya di negara adidaya Amerika Serikat. Misalnya, penembakan
terjadi di Columbine High School,Colorado, United States, pada hari
Selasa tanggal 20 April tahun 1999 (Wikipedia, 2009:1). Dua siswa yaitu
Eric Harris and Dylan Klebold, membunuh 12 siswa dan seorang guru
11
serta melukai 23 orang lainnya. Kemudian para pelaku melakukan bunuh
diri. Mereka melakukan perbuatan yang sangat tidak manusiawi itu karena
ia merasa diperlakukan secara tidak adil oleh temannya dan merasa
dilecehkan oleh teman-teman dengan ucapan-ucapan yang dianggap
menyinggung harga dirinya.
Kejadian serupa juga terjadi pada tanggal 15 April tahun 2007
(Freydis, 2005:1). Penembakan dilakukan oleh Cho Seung-Hui mahasiswa
keturunan Asia yang berusia 23 tahun di Virginia Tech di Blacksburg,
Virginia, Amerika Serikat. Ia menembak 27 mahasiswa dan 5 orang dosen,
sebelum kemudian ia menembak dirnya sendiri. Menurut teman-temannya,
setelah kejadian tersebut, bahwa ia sering diolok-olok dan diejek oleh
teman-temannya. Ia memang berasal dari keluarga yang kurang mampu
secara ekonomi. Akibatnya perlakuan dan sikap teman-temannya itu
menyebabkan ia merasa harga dirinya direndahkan. Akibatnya ia berbuat
nekat untuk membela harga dirinya walaupun harus dibayar dengan nyawa
orang-orang yang tidak berdosa.
Kekerasan adalah salah satu akibat dan tanda dari seseorang yang
memiliki harga diri rendah seperti yang dikatakan oleh Perera (2005:1)
dalam artikelnya yang berjudul ‖Relationships and Your Self Esteem.‖
Perera menyatakan bahwa dalam hal hubungan dengan sesama,
seseorang yang memiliki harga diri rendah menjadi terlalu sensitif terhadap
kritikan atau teguran orang lain. Ia sangat defensif terhadap apa yang
diucapkan atau dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Ia
cenderung memiliki pikiran dan perasaan yang negatif terhadap orang lain.
Akibatnya ketika ucapan atau perilaku orang lain dirasakan menyinggung
harga dirinya maka ia akan bereaksi secara negatif seperti menyakiti,
melukai bahkan membunuh orang-orang yang dianggap menyakiti dan
melukai Harga Dirinya. Menurut Maslow, salah satu aspek dari Harga Diri
seseorang adalah kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain. Ketika
seseorang merasa tidak diharhagi oleh orang lain maka ia akan merasa
bahwa Harga Dirinya diinjak-injak. Akibatnya kemarahan akan menguasai
diri orang tersebut.
Livingston (2006:1) menulis bahwa perilaku agresif dan kekerasan
adalah buah dari harga diri rendah. Dengan melakukan tindakan
kekerasan seseorang yang memiliki harga diri rendah sebenarnya ingin
menutupi kelemahan dan kekurangannya. Dengan berbuat kekerasan ia
ingin agar harga dirinya diakui oleh orang lain walaupun dengan cara yang
salah yaitu merugikan orang lain. Untuk menghilangkan perilaku yang
negatif tersebut seseorang perlu terlebih dahulu ditolong dari harga diri
rendah. Ketika seseorang sembuh dari harga diri rendah maka ia akan
12
dapat mengontrol emosinya secara positif dan sehat (Baumeister, 2000:144).
Seorang hamba Tuhan harus memiliki kemampuan untuk
mengndalikan diri dengan baik. Oleh sebab itu, mahasiswa teologi yang
adalah calon hamba Tuhan harus memiliki harga diri yang sehat agar ia
mampu menjadi panutan bagi jemaat yang dilayaninya.
PILAR-PILAR HARGA DIRI
Melihat betapa besar dampak negatif yang ditimbulkan oleh harga diri
rendah, maka sekolah tinggi teologi harus menolong para mahasiswanya
untuk dapat memiliki harga diri yang sehat. Untuk dapat memiliki harga diri
yang sehat, maka mahasiswa teologi harus dibantu untuk membangun
pilar-pilar harga diri dalam diri mereka. Bagaimana caranya membangun
pilar-pilar harga diri dalam diri seseorang?
Menurut Nathanael Branden, seorang psikolog yang dikenal karena
karyanya dalam bidang psikologi tentang harga diri (psychology of selfesteem), memaparkan bahwa harga diri (self-esteem) seseorang ditopang
oleh enam pilar utama (Branden,1994:66). Oleh sebab itu, untuk
membangun harga diri yang sehat maka ada beberapa elemen yang perlu
dikembangkan dalam diri seseorang. Adapun keenam elemen dari
pilar-pilar harga diri adalah:
1.
Living Consciously
Pilar pertama dari harga diri adalah kemampuan seseorang untuk
menghargai semua fakta-fakta dalam kehidupan yang ada. Ia harus berani
mengakui apa yang ia lakukan/perbuat. Ia juga selalu mencari dan terbuka
bagi semua informasi, pengetahuan, atau masukkan-masukkan dari orang
lain yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan nilai-nilai, tujuantujuan dan sasaran-sasaran yang ia miliki. Selain daripada, itu seseorang
harus belajar memahami dunia di luar diri sendiri selain dunia di dalam diri
sendiri agar supaya ia tidak hanya bertindak menurut kemauan kita sendiri
tanpa peduli orang lain (Branden, 1994:67-89).
2.
Self-Acceptance
Pilar kedua dari harga diri adalah keberanian dan kesanggupan untuk
menerima dirinya sendiri. Menerima diri berarti seseorang menolak untuk
memusuhi dirinya sendiri. Seseorang harus mampu untuk dapat memiliki,
mengalami dan bertanggungjawab atas semua pikirannya, perasaanya
dan tindakannya tanpa menyangkalinya atau bahkan menghindarinya.
Selain daripada itu, menerima diri juga memiliki unsur perhatian seseorang
terhadap dirinya sendiri (Branden, 1994:90-104).
13
3.
Self-Responsibility
Pilar ketiga dari harga diri adalah kesadaran seseorang bahwa ia
adalah penyebab dari apa yang ia pilih dan apa yang ia lakukan. Setiap
orang harus berani bertangunggung jawab terhadap hidupnya, kebaikan
bagi dirinya, juga keberhasilannya. Apabila seseorang membutuhkan
orang lain untuk mencapai tujuannya maka ia juga harus mau memberikan
sesuatu bagi orang lain sebagai imbalannya (Branden, 1994:105).
4.
Self-Assertiveness
Pilar keempat adalah keberanian dan kemampuan seseorang untuk
menjadi diri sendiri ketika berhadapan dengan orang lain. Memperlakukan
nilai-nilai yang ia miliki dan orang lain dengan penuh perhargaan dalam
interaksi sosial. Kunci pokok dari sikap asertif yaitu berani berbicara
tentang apa yang ada di dalam dirinya tanpa emosional yang berlebihan.
Selain daripada itu, ia juga bersedia untuk mempertahankan ide-ide yang
dimilikinya dengan cara-cara dan konteks yang tepat dan pantas (Branden,
1994:117).
5.
Living Purposefully
Pilar kelima adalah kemampuan dan keberanian seseorang untuk
dapat mengidentifikasi sasaran atau tujuan jangka pendek dan jangka
panjang bagi hidupnya. Kemudian ia dapat menentukan tindakan-tindakan
yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut
(memformulasikan sebuah rencana tindakan). Setelah itu ia sanggup
mengorganisasi perilakunya untuk mendukung sasaran dan tujuan yang
dimiliki. Selanjutnya, ia memonitor tindakannya untuk meyakinkan bahwa
semua berjalan sesuai harapan. Akhirnya ia dapat memperhatikan
hasilnya untuk mengetahui apakah ia harus kembali menentukan sasaran
atau tujuan yang baru karena rencananya yang terdahulu tidak dapat
direalisasikan. Dengan kata lain seseorang yang memiliki harga diri yang
sehat ia akan dapat menikmati hidupnya dalam mencapai tujuan yang
ingin ia raih (Branden, 1994:129).
6.
Personal Integrity
Akhirnya pilar keenam dari harga diri adalah keberanian dan
kemampuan seseorang untuk memiliki keserasian antara apa yang
diketahuinya, apa yang dikatakannya serta apa yang dilakukakan. Hal ini
merupakan manifestasi nilai-nilai dari ucapan seseorang didalam
tindakannya. Integritas pribadi juga berarti bahwa seseorang tidak
menyimpan apa yang sebenarnya ingin ia ucapkan. Hidup dengan
integritas juga berarti seseorang harus memiliki prinsip-prinsip dalam hal
perilaku di mana ia akan setia dalam menjalankan dan memenuhi janji-
14
janjinya serta menghargai komitmen-komitmen yang dimilikinya (Branden,
1994:143).
Keenam pilar-pilar harga diri di atas merupakan elemen-elemen yang
menyebabkan bertumbuhnya harga diri yang sehat dalam diri seseorang.
Apabila pilar-pilar harga diri tersebut tidak terbentuk dalam diri seseorang,
maka ia akan memiliki harga diri rendah. Oleh sebab itu, mahasiswa
sekolah tinggi teologi harus ditolong dan dibimbing untuk dapat
menngembangkan keenam pilat harga diri tersebut selama dalam proses
pembentukkan di sekolah tiinggi teologi.
Proses pembangunan pilar-pilar harga diri bagi para mahasiswa
harus diintegrasikan dalam kurikulum serta proses belajar mengajar di
sekolah tinggi teologi. Selain daripada itu, proses pembentukkan harga diri
juga dapat dilakukan secara informal melalui pembinaan dan konseling
baik secara pribadi ataupun kelompok. Dengan demikian maka seluruh
aspek proses pendidikan dan penempaan mahasiswa sekolah tinggi
teologi mengarah kepada pembentukkan harga diri yang sehat. Pada
akhirnya sekolah tinggi teologi akan menghasilkan lulusan yang memiliki
harga diri yang sehat dan siap untuk menjadi pemimpin gereja yang
mumpuni dan siap menjawab tuntutan pelayanan yang semakin kompleks
dalam era postmo ini.
KESIMPULAN
Harga diri adalah sesuatu yang sangat penting dalam diri seseorang
karena harga diri menentukan masa depan kehidupan dan pelayanan
seseorang. Oleh sebab itu, sekolah tinggi teologi memiliki tanggungjawab
yang besar dalam membentuk kehidupan para mahasiswanya, baik dalam
dimensi akademis maupun dimensi harga diri. Sekolah tinggi teologi perlu
melakukan sesuatu untuk menolong bertumbuhnya pilar-pilar harga diri
dalam diri para mahasiswanya yang akan menjadi pemimpin di gereja di
masa depan. Kiranya proses penempaan di sekolah teologi tidak hanya
ditekankan pada pencapaian prestasi akademis
saja, namun juga
memberi perhatian pada pembentukkan pilar-pilar harga diri agar
mahasiswa mengalami peningkatan harga diri yang akan membawa
dampak yang positif bagi mahasiswa baik dalam masa pendidikan maupun
nantinya ketika mereka terjun ke dalam ladang pelayanan. Sehingga
kehadiran mereka boleh menjadi berkat bagi banyak orang.
DAFTAR RUJUKAN
15
Anonim, 2011. Wilcoxon Signed Rank Test, (Online),
(http://www.scribd.com/doc/36652319 /Wilcoxon-Signed-Ranks-Test),
diakses 14 Nopember, 2011.
Astutik, Farida Setiyo. 2002, The Correlation Study Of Academic SelfEsteem With The Frustration Of Student’s High Achievement Class
At SMUN 3 Malang. Malang: UPT. Perpustakaan Universitas
Muhammadiyah Malang.
Baumeister, R. F. 2000. Self Esteem, Narcissime and Agression: Does
Violence Result from Low Self-Esteem or Threatened from Egotism.
Current Direction of Psychological Science. 9 (1):26-29.
Baumeister, R.F., Campbell, J.D., Kreuger, J.I. & Vohs, K.D. 2003. Does
High
Branden, N. 1994. The Six Pillars of Self-Esteem. New York: Bantam
Books.
Dona, Callahan, 2004. A Review of Interpersonal-Psychodynamic Group
Psychotherapy Outcomes for Adult Survivors of Childhood Sexual
Abuse. International Journal of Group Psychotherapy, 54 (4): 491519.
Campbell, Lorne. Simpson, Jeffry A. Boldry, Jennifer G. and Rubin, Harris.
2010. Trust, Variability in Relationship Evaluations, and Relationship
Processes.Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 99 (1):
14–31.
Cherry, Kendra. 2010. The Five Levels of Maslow’s Hierarchy Needs.
(Online),
(http://psychology.about.com/od/theoriesofpersonality/a/hierarchynee
ds.htm), diakses 29 Januari 2011.
Christensen, Teresa M. and Gray, Neal D. 2002. The Application of Reality
Therapy and Choice Theory in Relationship Counseling, An Interview
with Robert Wubbolding. The Family Journal, 10 (2): 244 - 248.
Corcoran, Kevin and Fisher Joel. 1987. Measures for Clinical Practice: A
Source Book. New York: The Free Press.
Corey, Gerald. 2008. Theory and Practice Group of Counseling. Belmont,
CA: Thomson Learning Inc.
16
Corey, Marianne Schneider., Corey, Gerald. 2002. Group Process and
Practice. California: Brooks/Cole.
Corsini, Raymond J. and Wedding Danny. 1995. Current Psychotherapies
Fifth Edition. Illinois : F.E.Peacock Publishers, Inc.
Delucia-Waack, Janice L. Gerrity, Deborah A. Kalodner, Cynthia R. Riva,
Maria T. 2004. Handbook of Group Counseling and Psychotherapy.
Thousand Oaks, CA: Sage Pub Inc.
Denmark, Florence. 2006. Forgiveness: A Sampling of Research Results.
Washington:American Psychological Association.
Emler, Nicholas. 2001. The Costs and Causes of Low Self-Esteem. New
York: Joseph Rowntree Foundation. 13-34.
Fehr, Ryan. Gelfand, Michele J. and Nag, Monisha. 2010. The Road to
Forgiveness:A Meta-Analytic Synthesis of Its Situational and
Dispositional Correlates.University of Psychological Bulletin, 136 (5):
894–914.
Feller, Candi P. 2003. The Importance of Empathy in the Therapeutic
Alliance. Journal of Humanistic Counseling, Education and
Development, 42: 1-15.
Fennell, Melanie J. V. 2007, Low Self-Esteem. Handbook of Homework
Assignments in Psychotherapy. 297-314. (Online)
(http://www.springerlink.com/content/
vv50713r080k0n1w/), diakses 2 Pebruari, 2011.
Ford, Ma´ire B and Collins, Nancy L. 2010. Self-Esteem Moderates
Neuroendocrine and Psychological Responses to Interpersonal
Rejection. Journal of Personality and Social Psychology, 98 (3): 405–
419.
Freydis. 2005. The School Shootings Report. (Online),
(http://www.holology.com/shooting.html), diakses 5 april 2009.
Ghosh, Pallab. 2003. Low Self-Esteem Shrinks Brain. (Online),
(http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/1/hi/health/3224674.stm), diakses 21 Mei
2009.
Ginintasasi, Rahayu. 2007. Hubungan Self-Esteem Dengan Prestasi
Akademik. Bandung: FIP UPI Press.
17
Gladdings, Samuel. T. 1995. Group Work: A Counseling Specialty. New
Jersey: A Simon & Schuster Company.
Glasser, W. 2000. Reality Therapy in Action. NY: Harpercollins Publishers,
Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More
Than IQ. New York: Bantam Books.
Hayes, Grant, 2008, Group Counseling in Schools: Effective or Not?
International Journal of Sociology and Social Policy. 21: 3.
Hoyt, W. T., Fincham, F., Mccullough, M. E., Maio, G. & Davila, J. 2005.
Responses to Interpersonal Transgressions in Families:
Forgivingness, Forgivability, and Relationship-Specific Effects.
Journal of Personality and Social Psychology, 89: 375-394.
Jadad, Alejandro R. and Enkin, Murray W. 2007. Randomized Control
Trials. London: Blackwell Publishing.
Lictenberg, James W., Knox, Pamela L., 1991, Order Out of Chaos: A
Structural Analysis of Group Therapy. Journal of Counseling
Psychotherapy, 38 (3): 279-288.
Livingston, Louisa R. Powell., 1994, Projection in Group Counseling: The
Relationship Between Members’ Inter-Person Problems and Their
Perception of The Group Leader. Journal of Counseling
Psychotherapy, 41 (1): 99-100.
Manning in.G. G. Bear & K. M. Minke. 2006, Student-Teacher
Relationships. Children’s Needs III. Development, Prevention, and
Intervention, 1: 341–356.
Maslow, A. H. 1987. Motivation and Personality (3rd Ed.). New York:
Harper & Row.
Mcknight, D. Harrison. 1996. The Meanings of Trust. Minneapoli: Hubert
H. Humphrey.
Meyers, D. C. 1992. The Pursuit of Happiness. New York: William Morrow.
Orth, Ulrich and Trzesniewsk, Kali H. 2010. Self-Esteem Development
From Young Adulthood to Old Age: A Cohort-Sequential Longitudinal
18
Study. Journal of Personality and Social Psychology, 98 (4): 645–
658.
Sahputra, Naam. 2009. Hubungan Konsep Diri dengan Prestasi Akedemis
Mahasiswa USU Medan. Medan: USU repository.
Scheingold, Lee. 2005. The Art of Active Listening. Washington: DC
National Aging I&R Support Center.
Sedycias, Roberto. 2010. Your Self-Help to Self Esteem. Dari General
Interest Community, (Online),
(http://www.thefreelibrary.com/your+self-help+to+self+
esteem-a01074095230), diakses 17 Pebruari, 2011.
Stamatakis, K.A., Lynch, J., Everson, S.A., Raghunathan, T., Salonen, J.T.
& Kaplan,G.A. 2003. Self-Esteem and Mortality: Prospective
Evidence from a Population Based Study. AEP, 14 (1): 58-65.
Taruna, Iwan Dan Randa, Rizal. 2007. Dua Kelompok Mahasiswa Di
Universitas 45 Makassar Tawuran. Dari Liputan6. (Online),
Http://www.Liputan6.Com/View/7,141289,1,0,1179130789.Html),
diakses 5 April 2009.
Thompson, Angus H. 2010. The Suicidal Process and Self-Esteem.
Journal of Crisis,31(6): 311–316.
Tono. 2008. Social Phobia (Ketakutan Dalam Acara-Acara Sosial). Dari
NetLibrary,(Online), (http://www :/social-phobia-ketakutan-dalamacara.html), diakses 21 Mei 2009.
Toussaint, L., & Webb, J. R. In E.L. Worthington (Ed.). 2005. Theoretical
and Empirical Connections Between Forgiveness, Mental Health and
Well-Being. Handbook of Forgiveness New York: Routledge. 349362.
Tyrrell, Mark 2009. Ten Facts About Low Sel Esteem, Dari NetLibrary,
(Online), (http://www.selfconfidence.co.uk/self/esteem/tips.html),
diakses 12 Maret 2008.
Varsamis, Christos. 2007. Low Self-Esteem Symptoms. Self Improvement
Community. Dari NetLibrary, (Online),
(http://www.thefreelibrary.com/Low+Self-Esteem+Symptomsa01073761737), diakses 17 Pebruari, 2011.
19
Venkatesh, Sujatha 2006. Group Counseling. Dari NetLibrary, (Online),
(http://changingminds.org/articles/articles/group counseling.htm),
diakses 3 Pebruari, 2011.
Vandel Kolk, Charles J. 1985. Introduction to Group Counseling and
Psychotherapy. London: Charles E. Merrill Publishing Company.
Wikipedia. 2009. Columbine High School Massacre. Dari NetLibrary,
(Online),
(http://en.wikipedia.org/wiki/columbine_high_school_massacre),
diakses 5 April 2009.
Wubbolding, Robert E. 2007. Glasser Quality School. Group Dynamics:
Theory,Research, and Practice, Vol. 11(4): 253–261.Yalom and
Leszcz. 2005.The Theory and Practice of Group Psychotherapy. New
York: Basic Books
Yarbrough, Chris. 2011. Common Symptoms of Low Self Esteem.
Psychology and Mental Health Community. Dari NetLibrary, (Online),
(http://www.thefreelibrary.com/common+symptoms+of+low+self+este
em-a01074212719), diakses 15 Pebrruari, 2011.
Zyl, Jacob D. Van, Cronjé, Elsje M. And Payze, Catharine 2006. Low SelfEsteem of Psychotherapy Patients: A Qualitative Inquiry. The
Qualitative Report. 11 (1): 182-208.
Download