1 MENGATASI HARGA DIRI RENDAH (LOW SELF ESTEEM) MAHASISWA SEKOLAH TINGGI TEOLOGI Agung Gunawan ABSTRAK Mahasiswa sekolah tinggi teologi adalah generasi penerus dan pemegang tongkat estafet para pemimpin gereja di masa depan. Peran para mahasiswa teologi sangat vital dalam menentukan hari depan gereja. Gereja membutuhkan para mahasiswa teologi yang berkualitas untuk dapat mengemban tugas yang berat dan penuh tantangan sebagai pemimpin gereja di masa depan. Salah satu kriteria dari mahasiswa yang berkualitas adalah mahasiswa yang memiliki harga diri (self-esteem) yang sehat. Realita menunjukkan bahwa banyak mahasiswa sekolah tinggi teologi yang memiliki harga diri rendah. Harga diri rendah memiliki dampak yang sangat negatif bagi mahasiswa untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai generasi penerus pemimpin gereja. Oleh sebab itu, sekolah tinggi teologi perlu menolong mahasiswanya untuk dapat meningkatkan harga diri mereka dengan menumbuhkan pilar-pilar harga diri. Kata Kunci: harga diri, harga diri rendah, mahasiswa sekolah tinggi teologi, pemimpin gereja, pilar-pilar harga diri, PENDAHULUAN Gereja membutuhkan hamba-hamba Tuhan yang memiliki harga diri yang sehat. Gereja yang dipimpin oleh hamba-hamba Tuhan yang memiliki harga diri yang sehat (healthy self-esteem) akan menjadi gereja yang sehat. Sebaliknya, gereja yang dipimpin oleh hamba-hamba Tuhan yang memiliki harga diri yang rendah (low self-esteem) akan mengalami banyak persoalan yang ditimbulkan oleh hamba Tuhannya sebagai pemimpin gereja. Hari ini banyak gereja-gereja yang tidak kondusif serta diterpa oleh berbagai macam persoalan yang disebabkan oleh ketidak mampuan pemimpin gereja untuk mengatasinya. Akibatnya maka gereja tidak dapat mengembangkan pelayanan yang produktif. Masalah-masalah ini seringkali disebabkan oleh pemimpin gereja memiliki harga diri yang rendah. Oleh sebab itu, seorang hamba Tuhan yang juga adalah pemimpin gereja harus memiliki harga diri yang sehat. 2 Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian harga diri rendah serta apa dampaknya bagi kehidupan seorang hamba Tuhan. Selain daripada itu, akan diuraikan bagaimana menumbuhkan pilar-pilar harga diri dalam diri seseorang yang pada gilirannya akan membawa kepada terbentuknya harga diri yang sehat. Kiranya tulisan ini menjadi bahan pemikiran dan memotivasi sekolah-sekolah tinggi teologi untuk memperhatikan pembentukkan harga diri yang sehat bagi mahasiswanya yang kelak akan menjadi pemimpin gereja. PENGERTIAN HARGA DIRI Harga diri adalah sebuah konsep yang digunakan secara luas, baik dalam bahasa populer dan di dalam dunia psikologi. Harga diri merujuk kepada evaluasi dan perasaan individu tentang nilai dan kelayakkan dirinya. Dengan kata lain harga diri adalah analisa yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri (Sedycias, 2010:1). Penilaian diri seseorang terhadap dirinya bisa positif atau negatif. Jadi harga diri adalah penilaian yang baik atau kurang baik seseorang terhadap dirinya sendiri. (Fennel, 2007:297-314). Menurut Maslow, harga diri merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Dalam bukunya ―A Theory of Human Motivation,‖ Maslow mengemukakan bahwa ada lima urutan kebutuhan dasar manusia yaitu: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan aktualisasi dan kebutuhan akan harga diri. Semua kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Apabila keempat kebutuhan yang pertama sudah terpenuhi maka pemenuhan atas kebutuhan harga diri sangat penting dan harus dipenuhi agar seseorang dapat bertumbuh secara sehat dan normal (Cherry, 2010:1). Branden, seorang pakar dalam masalah harga diri, juga memaparkan bahwa harga diri adalah kebutuhan dasar dari manusia. Harga diri memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Branden menguraikan ada tiga peran harga diri bagi kehidupan manusia yaitu (Branden, 1994:17): (a) Harga diri adalah suatu kebutuhan esensi manusia yang vital untuk memberikan kontribusi dalam proses kehidupan, (b) Harga diri membawa kepada perkembangan diri seseorang secara normal dan sehat dan (c) Harga diri memiliki nilai-nilai yang membawa kepada ketahanan hidup seseorang. Lebih jauh Branden menjelaskan bahwa harga diri seseorang terdiri dari dua unsur utama yaitu kemampuan diri dan penghormatan diri. Branden menulis: 3 Self-Esteem consists of two components: (1) Self-efficacy— confidence in one’s ability to think, learn, choose, and make appropriate decisions, and, by extension, to master challenges and manage change; and (2) self-respect— confidence in one’s right to be happy, and, by extension, confidence that achievement, success, friendship, respect, love, and fulfillment are appropriate for oneself (Branden, 1994:26). Harga diri berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam hidup yang meliputi kemampuan untuk berpikir, belajar, memilih serta membuat keputusan. Selain itu, harga diri juga berhubungan erat dengan hak yang dimiliki seseorang dalam hidup, seperti hak untuk dihargai, dikasihi dan diterima oleh orang lain, serta seberapa besar seseorang menghargai, mengasihi dan menerima dirinya sendiri. Harga diri juga mencakup keyakinan, sikap, dan pendapat yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri serta nilai-nilai yang ditetapkan oleh seseorang bagi dirinya sendiri. Harga diri memiliki dampak yang sangat besar terhadap sikap seseorang, pengalaman emosinya, perilakunya di masa depan dan penyesuaian psikologis secara jangka panjang (Zyl, 2006: 182-208). Harga diri adalah penilaian dan anggapan seseorang tentang dirinya sendiri (Fennel, 2007: 297-314). Ada dua macam harga diri yaitu harga diri yang sehat dan harga diri yang tidak sehat atau harga diri rendah. Seseorang memiliki harga diri yang sehat apabila ia memandang dirinya secara positif. Sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah apabila ia memandang dirinya secara negatif. Adapun tanda-tanda yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki harga diri yang sehat yaitu apabila seseorang (Corcoran, 1987:408): - Merasa puas dengan keberadaan dirinya sendiri. - Meyakini bahwa ia adalah pribadi yang baik. - Meyakini bahwa ia memiliki sejumlah kualitas yang baik dalam dirinya. - Merasa mampu melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang lain. - Meyakini bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat dia banggakan. - Merasa bahwa ia adalah pribadi yang berguna. - Meyakini bahwa ia adalah pribadi yang layak dihadapan orang lain. - Merasa bahwa ia cukup dihargai oleh orang lain. - Merasa bahwa ia bukan sebagai pribadi yang gagal. Apabila seseorang tidak memiliki komponen-komponen di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa ia memiliki harga diri rendah (low self esteem). HARGA DIRI RENDAH (LOW SELF ESTEEM) 4 Harga diri rendah berkaitan dengan pikiran dan anggapan yang negatif seseorang terhadap dirinya sendiri (Fennel, 2007: 297-314). Seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung untuk menghakimi atau mengevaluasi dirinya sendiri secara negatif. Sebagai akibatnya seseorang yang memiliki harga diri rendah akan merasa bahwa dirinya tidak layak dan tidak pantas dibandingkan dengan orang lain. Jadi dapatlah dikatakan bahwa seseorang yang memiliki harga diri yang rendah akan mengalami kehilangan keyakinan diri dan penghormatan diri. Ia merasa dirinya tidak ada nilai dan martabat sama sekali (Zyl, 2006: 182208). Orang-orang seperti ini akan menjadi pribadi yang sulit untuk berinteraksi dengan orang lain. Alhasil ia akan menjadi pribadi yang terisolasi dan terasing. PENYEBAB MUNCULNYA HARGA DIRI RENDAH Harga diri rendah adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tetapi sesuatu yang didapatkan dalam kehidupan keluarga. Jika pengalaman hidup seseorang positif dan ia bertumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi. Sebaliknya, jika seeseorang memiliki pengalaman yang negatif di dalam keluarganya, maka ia akan memiliki harga diri rendah. Harga diri rendah dapat disebabkan oleh pengalaman pahit yang dialami oleh seseorang dimasa kecilnya di dalam keluarga (Goleman, 1996). Sikap orang tua yang keliru dalam mendidik, mengasuh, serta cara memperlakukan anaknya di masa kecil akan dapat menimbulkan harga diri rendah. Orangtua adalah penyebab utama terbentuknya harga diri rendah dalam diri seorang anak (Zyl, 2006: 182-208). Jadi dapatlah dikatakan bahwa faktor pola asuh orangtua memiliki peran yang sangat vital bagi terbentuknya harga diri rendah dalam diri seseorang (Horberg, 2010: 77– 91). Adapun beberapa tindakan orangtua yang dapat menyebabkan munculnya harga diri rendah dari diri seseorang adalah sebagai berikut: 1. Pelecehan Fisik (Physical Abuse) Harga diri rendah dapat disebabkan oleh adanya pelecehan secara fisik dimana orang tua terlalu berlebihan dalam mendisiplin fisik anaknya yang melakukan kesalahan (Goleman, 1996). Pelecehan secara fisik ini akan diinterpretasikan oleh anak-anak secara negatif. Misalnya ketika seorang anak dihukum secara fisik oleh orangtuanya secara berlebihan dan terus menerus karena melakukan suatu kesalahan maka ia akan berpikir bahwa "hal-hal buruk terjadi kepada saya, maka saya adalah seorang yang buruk. " Akibatnya maka ia akan menutup diri dan mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain. 5 2. Pelecehan Emosional (Emotional Abuse) Harga diri rendah dapat juga disebabkan oleh pelecehan emosional dimana orang tua tidak mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengekspresikan emosinya secara baik dan sehat seperti marah, menangis, dan sedih (Zyl, 2006: 182-208). Sebagai akibatnya ia akan sulit untuk mengekpresikan emosinya sehingga ia akan menjadi pribadi yang kaku dikemudian hari. 3. Pelecehan Seksual (Sexual Abuse) Harga diri rendah juga dapat disebabkan oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri atau orang-orang yang dituakan dirumah seperti paman atau tante. Pelecehan seksual dapat dialami oleh anak perempuan dan juga anak laki-laki. Pelecehan seksual ini bisa dalam bentuk mereka mengalami perlakuan yang tidak senonoh terhadap seorang anak seperti menciumi dan meraba-raba dengan nafsu birahi bahkan sampai melakukan pemerkosaan. Sebagai akibatnya anak yang mengalami pelecehan seksual akan merasa dirinya kotor dan tidak layak untuk dikasihi. Ia akan bertumbuh menjadi seseorang yang memandang dirinya tidak berharga dan tidak pantas untuk berhubungan dengan orang lain (Zyl, 2006: 182-208). Pelecehan secara seksual juga dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi yang sangat dalam. Depresi ini akan menyebabkan harga diri seseorang menjadi rendah (Buzi, 2007:1). 4. Penolakan (Rejection) Harga diri rendah juga dapat disebabkan oleh penolakkan orang tua terhadap anaknya. Penolakan adalah pengalaman yang sangat menyakitkan dan menakutkan bagi seseorang. Setiap orang membutuhkan penerimaan dari orang yang ada disekitarnya (Ford, 2010: 405–419). Tatkala seorang anak mendapatkan penolakan maka ia akan merasa dirinya tidak baik, tidak mampu, serta tidak berarti. Akibatnya dalam dirinya akan muncul harga diri rendah. Penolakan bisa terjadi sebelum seorang anak dilahirkan dengan tindakan aborsi yang dilakukan oleh orangtua. Aborsi dilakukan karena orangtua tidak menghendaki kelahiran dan kehadiran anak yang mungkin berasal dari hubungan gelap. Namun ternyata anak tersebut masih hidup dan lahir kedalam dunia. Anak ini bertumbuh dengan harga diri yang rendah. Perasaan ditolak juga bisa terjadi ketika seorang anak mengalami proses adopsi. Harga diri rendah juga dapat dimiliki oleh anak yang diadopsi oleh oranglain. Seorang anak yang diadopsi oleh orang lain akan 6 memiliki harga diri rendah karena ia merasa dirinya dibuang atau ditolak orangtua aslinya (Nydam, 1999:112). Penolakan juga bisa terjadi ketika orang tua kurang memberikan perhatian, pujian, penghargaan, serta dukungan bagi anaknya. Justru sebaliknya orangtua selalu mengkritik dan menyalahkan anak. Hal ini akan merasa bahwa dirinya tidak berarti dan tidak berguna. Akibatnya ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang tidak punya percaya diri ketika berinteraksi dengan orang lain.Selain daripada itu penolakkan juga dapat menyebabkan seorang anak akan berpikir bahwa ia bodoh, maka ia tidak akan berani menghadapi tantangan hidup karena ia berpikir bahwa lebih baik tidak mencoba itu daripada gagal. Dari uraian di atas sangatlah jelas bahwa pengasuhan orangtua memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan harga diri yang rendah dalam diri seseorang. Oleh sebab itu, apabila orangtua ingin anaknya memiliki harga diri yang sehat maka orangtua harus melakukan pengasuhan secara positif terhadap anak-anak mereka. Orangtua memiliki peran yang sangat penting untuk menumbuhkan atau menghancurkan harga diri dari anak-anak yang dipercayakan oleh Tuhan kepada mereka. Namun sangat disayangkan bahwa banyak orang tua yang merusak harga diri seorang anak walaupun mungkin tidak mereka sadari. DAMPAK HARGA DIRI RENDAH Harga diri rendah memiliki beberapa dampak yang sangat negatif bagi kehidupan mahasiswa. Adapun dampak-dampak negatif dari seseorang yang memiliki harga diri rendah adalah sebagai berikut: 1. Prestasi Akademis Yang Rendah Dalam pertemuan yang dilakukan oleh para dosen dari berbagai Sekolah Tinggi Theologia, banyak dosen yang melaporkan realita tentang menurunnya kualitas akademis yang dialami oleh beberapa mahasiswa. Nilai-nilai yang mereka dapatkan makin hari makin merosot. Secara umum nilai rata-rata mereka adalah tidak bisa lebih dari C bahkan tidak sedikit yang mendapatkan nilai F atau tidak lulus. Menindaklanjuti laporan-laporan di atas maka dilakukan wawancara kepada para mahasiswa yang mengalami penurunan kualitas studi. Wawancara yang dilakukan oleh terhadap mahasiswa yang memiliki prestasi belajar yang rendah untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi sehingga mereka mengalami masalah dalam prestasi akademis. Dari wawancara tersebut diperoleh kesimpulan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk menghafal dan mencerna bahan-bahan kuliah yang akan 7 diujikan. Selain daripada itu mereka juga tidak memiliki percaya diri ketika mereka mengerjakan sol-soal ujian yang diberikan oleh dosen. Padahal mereka sudah belajar dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya namun pada saat mereka mengerjakan soal-soal ujian mereka menjadi ragu dan bimbang atas apa yang sudah ditulis di lembar jawaban. Akibatnya ia mengganti dengan jawaban-jawaban yang lain yang ternyata salah. Ternyata yang ditulis sebelumnya sudah benar. Hal ini juga terjadi ketika para mahasiswa mengerjakan tugas-tugas lain seperti paper juga mengalami hal yang serupa. Mereka sudah mempersiapkan dan mengerjakan tugas-tugas jauh sebelum batas akhir pengumpulan namun pada saat mendekati hari pengumpulan tugas-tugas mereka mulai meragukan apa yang telah mereka kerjakan. Lalu mereka mengerjakan ulang tugasnya akibatnya hasil yang dicapai tidak maksimal, padahal apa yang dikerjakan sebelumnya lebih baik karena dipersiapkan dalam waktu yang lebih lama. Seseorang yang memiliki harga diri rendah akan meragukan potensi kemampuannya intelektual diri sendiri. Dari penelitian yang dilakukan oleh Astutik (2002) didapati bahwa apa yang dialami dan terjadi pada mahasiswa seperti yang diungkapkan dalam wawancara di atas disebabkan mahasiswa tersebut memiliki harga diri rendah. Jadi ternyata ada hubungan antara harga diri dan prestasi akademis. Mereka yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki kualitas akademis yang rendah pula. Disinilah harga diri mempengaruhi kemapuan diri (self-eficacy) seseorang. Ada juga penemuan yang menyatakan adanya hubungan antara kemampuan intelektual/akademis seseorang dengan harga diri rendah yang disebabkan adanya hubungan antara otak seseorang dengan harga diri rendah (Ghos, 2003:1). Seseorang yang memiliki harga diri rendah otaknya akan mengecil sehingga akan membawa pengaruh kesulitan untuk berpikir dan menganalisa. Sejalan dengan Ghos, Mark Tyrrel (2009:1) mengemukakan bahwa harga diri rendah memiliki dampak terhadap pikiran seseorang. Seseorang yang memiliki harga diri rendah akan mengalami kesulitan untuk mencerna materi-materi yang dipelajarinya, tidak dapat mengingat apa yang diterimanya serta tidak memiliki kemampuan untuk melakukan analisa. Jadi harga diri rendah sangat berpengaruh bagi kemampuan akademis seseorang (Baumeister, 2003:1-44). Hari ini gereja membutuhkan hamba-hamba Tuhan yang memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni yang mampu memberikan wawasan yang cerdas kepada jemaat yang dilayaninya yang nota bene 8 memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Untuk itu, seorang hamba Tuhan harus memiliki harga diri yang sehat. 2. Kesulitan Untuk Tampil Didepan Umum Dari pengamatan dan laporan yang dilakukan oleh dosen-dosen di berbagai kampus yang disampaikan dalam pertemuan secara berkala, mereka melihat adanya kecenderungan banyak mahasiswa mengalami kesulitan ketika tampil di depan kelas untuk melakukan presentasi baik laporan baca, makalah dan lainnnya. Mereka tidak berani berdiri dengan badan yang tegak. Raut wajah atau mimik mereka sangat datar dan tidak ekspresif. Suara mereka sangat lemah dan kurang bersemangat. Mereka juga tidak berani melakukan kontak mata dengan pendengarnya. Mereka sepertinya kurang percaya diri apabila berdiri di depan orang banyak. Para mahasiswa terkesan takut pada saat berdiri didepan kelas yang dihadiri oleh banyak orang. Akibatnya apa yang disampaikan tidak dapat diterima dan dimengerti secara baik oleh pendengarnya. Menurut Tono (2008:1), seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki phobia atau ketakutan untuk berhadapan dengan khalayak ramai apalagi harus berbicara di depan umum yang disebutnya sebagai social phobia. Seseorang yang memiliki harga diri rendah merasa tidak nyaman berdiri dan berbicara di depan umum meski ada temanteman yang dikenalnya. Orang yang mengalami phobia sosial, menurut Tono, takut membuat 'kebodohan' atau takut direndahkan oleh orang lain. Orang yang memiliki perasaan harga diri rendah (low self esteem) akan cenderung memiliki ketidakpercayaan diri (lack of confidence). Branden menyoroti hal yang serupa dari sudut yang agak berbeda. Menurut Branden (1994:26) seseorang yang memiliki harga diri rendah akan mengalami kesulitan untuk tampil di depan umum apalagi berbicara karena malu, takut dan kurang percaya diri. Seseorang yang memiliki harga diri rendah akan memiliki pikiran yang sangat kritis tentang dirinya sendiri. Ia cenderung untuk sedikit melakukan kontak mata ketika berbicara di depan orang lain. Ketika ia berbicara di depan umum, ia akan berbicara dengan nada yang lembut. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki perasaan malu (shame), cemas atau tegang yang sangat tinggi. Oleh sebab itu seseorang yang memiliki harga diri rendah akan berusaha menghindar untuk tampil di depan khalayak ramai. Sebaliknya seseorang yang memiliki harga diri yang sehat akan mampu dan lebih berani untuk tampil di depan umum (Baumeister, 2003: 1-44). Disinilah hubungan antara harga diri dan percaya diri sangat jelas terlihat. Sebagai seorang calon hamba Tuhan yang harus melayani mimbar, maka keberanian untuk tampil di depan umum adalah sesuatu yang harus 9 dimiliki oleh seorang mahasiswa teologi. Oleh sebab itu, seorang mahasiswa teologi harus memiliki harga diri yang sehat. 3. Kesulitan Berkomunikasi Dengan Dosen Dalam laporan para doses juga ditemukan adanya realita kesenjangan hubungan antara beberapa mahasiswa dengan para dosen. Ada beberapa mahasiswa yang sulit berinteraksi dan berkomunikasi dengan dosen. Akibatnya antara dosen dan mahasiswa seakan terbentang jurang pemisah yang sangat dalam. Mahasiswa merasa enggan untuk mendekati dosen apabila ada kesulitan baik yang berkaitan dengan masalah studi atau lainnya. Namun apabila dosen yang berinisiatip memanggil mereka untuk menanyakan tentang keadaan mereka, mahasiswa menjadi takut dan menutup diri. Hal ini akan sangat merugikan mahasiswa itu sendiri karena mereka akan menghadapi kesulitan sendiri tanpa mendapat pertolongan dari dosen. Masalah sulitnya interaksi antara mahasiswa dengan dosen ternyata dapat disebabkan oleh adanya harga diri yang rendah. Menurut Tyrrell (2008:1), seseorang yang memiliki harga diri rendah cenderung untuk tidak berani berinteraksi dengan orang lain khususnya dengan orang-orang yang memiliki posisi atau status sosial yang tinggi. Senada dengan Tyrrell, Perera (2005:1) juga menegaskan bahwa harga diri rendah memiliki pengaruh terhadap hubungan seseorang dengan orang lain, khususnya dengan orang-orang yang memiliki otoritas. Hal ini disebabkan karena mereka yang memiliki harga diri rendah akan merasa kurang percaya diri berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kedudukan dan berotoritas atas diri mereka, seperti misalnya dosen. Rasa kurang percaya diri inilah yang akhirnya membuat mahasiswa menarik diri dan menghindar untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan dosen mereka. Mereka takut berbuat kesalahan apabila bertemu atau berbicara tentang dosen karena hal itu diyakini akan dapat berakibat negatif dan merugikan diri mereka baik secara akademis dan juga penilaian dosen terhadap diri mereka. Oleh sebab itu mereka lebih baik menghindar dan menjaga jarak dengan dosen agar mereka merasa aman. Ada satu penelitian yang menarik bahwa selain dengan orang yang memiliki posisi yang lebih, seorang yang memiliki harga diri rendah juga memiliki kesulitan berelasi dengan lawan jenis (Cameron, 2010: 513–529). Hal ini menunjukkan dan membuktikan bahwa harga diri sangat mempengaruhi percaya diri seseorang. Apabila seseorang memiliki harga 10 diri yang tinggi maka ia akan memiliki percaya diri untuk berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain. Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi akan mampu menciptakan relasi yang sehat dan lebih baik dengan orang lain (Baumeister, 2003: 1-44). Sebagai calon pemimpin gereja, seorang mahasiswa teologi harus memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan jemaat yang dilayani. Oleh sebab itu, seorang mahasiwa teolgi tidak boleh memiliki harga diri rendah yang akan menghambat relasi dengan jemaat yang dilayaninya. 4. Kekerasan Yang Dilakukan Mahasiswa Beberapa tahun belakangan ini dunia pendidikan tercoreng oleh adanya kekerasan yang dilakukan oleh para mahasiswa yang nota bene adalah kaum yang terdidik. Kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa dapat terlihat dari aksi perkelahian dan tawuran yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Perkelahian dan tawuran antar mahasiswa sekampus atau dengan kampus lain sering terjadi diberbagai tempat diseluruh penjuru tanah air baik dikota kecil maupun kota besar. Perkelahian dan tawuran yang terjadi seringkali dipicu oleh perasaan terhina oleh sikap atau ucapan dari orang lain. Misalnya peristiwa tawuran yang terjadi pada tanggal 14 May 2007 (Taruna, Iwan dan Randa, Rizal. 2007:1). Karena masalah sepele, mahasiswa dari dua Fakultas yang berbeda di Universitas 45 Makassar terlibat tawuran. Seorang mahasiswa dari Fakultas Teknik diganggu oleh temannya dari Fakultas Plantologi yang menyebabkan harga dirinya tersinggung. Kemudia ia mengajak temantemannya untuk menghajar mahasiswa yang menganggunya itu. Karena bermaksud menjaga kekompakan atau rasa solidaritas sesama teman maka mahasiswa yang merasa temannya diganggu tersebut langsung menyerang mahasiswa yang dituduh sebagai pengganggu. Kemudian mahasiswa yang dikeroyok itu menanggil teman-temannya untuk membantunya. Akibatnya tawuran pun tidak bisa dihindari dan banyak korban yang disebabkan oleh tawuran tersebut. Selain tawuran ada kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa yang bentuknya lebih ekstrim lagi dengan tindakan yang nekat melukai bahkan membunuh orang lain. Hal ini terbukti dengan penembakan secara membabi buta juga sering terjadi dikampus-kampus diluar negeri, khusunya di negara adidaya Amerika Serikat. Misalnya, penembakan terjadi di Columbine High School,Colorado, United States, pada hari Selasa tanggal 20 April tahun 1999 (Wikipedia, 2009:1). Dua siswa yaitu Eric Harris and Dylan Klebold, membunuh 12 siswa dan seorang guru 11 serta melukai 23 orang lainnya. Kemudian para pelaku melakukan bunuh diri. Mereka melakukan perbuatan yang sangat tidak manusiawi itu karena ia merasa diperlakukan secara tidak adil oleh temannya dan merasa dilecehkan oleh teman-teman dengan ucapan-ucapan yang dianggap menyinggung harga dirinya. Kejadian serupa juga terjadi pada tanggal 15 April tahun 2007 (Freydis, 2005:1). Penembakan dilakukan oleh Cho Seung-Hui mahasiswa keturunan Asia yang berusia 23 tahun di Virginia Tech di Blacksburg, Virginia, Amerika Serikat. Ia menembak 27 mahasiswa dan 5 orang dosen, sebelum kemudian ia menembak dirnya sendiri. Menurut teman-temannya, setelah kejadian tersebut, bahwa ia sering diolok-olok dan diejek oleh teman-temannya. Ia memang berasal dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Akibatnya perlakuan dan sikap teman-temannya itu menyebabkan ia merasa harga dirinya direndahkan. Akibatnya ia berbuat nekat untuk membela harga dirinya walaupun harus dibayar dengan nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Kekerasan adalah salah satu akibat dan tanda dari seseorang yang memiliki harga diri rendah seperti yang dikatakan oleh Perera (2005:1) dalam artikelnya yang berjudul ‖Relationships and Your Self Esteem.‖ Perera menyatakan bahwa dalam hal hubungan dengan sesama, seseorang yang memiliki harga diri rendah menjadi terlalu sensitif terhadap kritikan atau teguran orang lain. Ia sangat defensif terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Ia cenderung memiliki pikiran dan perasaan yang negatif terhadap orang lain. Akibatnya ketika ucapan atau perilaku orang lain dirasakan menyinggung harga dirinya maka ia akan bereaksi secara negatif seperti menyakiti, melukai bahkan membunuh orang-orang yang dianggap menyakiti dan melukai Harga Dirinya. Menurut Maslow, salah satu aspek dari Harga Diri seseorang adalah kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain. Ketika seseorang merasa tidak diharhagi oleh orang lain maka ia akan merasa bahwa Harga Dirinya diinjak-injak. Akibatnya kemarahan akan menguasai diri orang tersebut. Livingston (2006:1) menulis bahwa perilaku agresif dan kekerasan adalah buah dari harga diri rendah. Dengan melakukan tindakan kekerasan seseorang yang memiliki harga diri rendah sebenarnya ingin menutupi kelemahan dan kekurangannya. Dengan berbuat kekerasan ia ingin agar harga dirinya diakui oleh orang lain walaupun dengan cara yang salah yaitu merugikan orang lain. Untuk menghilangkan perilaku yang negatif tersebut seseorang perlu terlebih dahulu ditolong dari harga diri rendah. Ketika seseorang sembuh dari harga diri rendah maka ia akan 12 dapat mengontrol emosinya secara positif dan sehat (Baumeister, 2000:144). Seorang hamba Tuhan harus memiliki kemampuan untuk mengndalikan diri dengan baik. Oleh sebab itu, mahasiswa teologi yang adalah calon hamba Tuhan harus memiliki harga diri yang sehat agar ia mampu menjadi panutan bagi jemaat yang dilayaninya. PILAR-PILAR HARGA DIRI Melihat betapa besar dampak negatif yang ditimbulkan oleh harga diri rendah, maka sekolah tinggi teologi harus menolong para mahasiswanya untuk dapat memiliki harga diri yang sehat. Untuk dapat memiliki harga diri yang sehat, maka mahasiswa teologi harus dibantu untuk membangun pilar-pilar harga diri dalam diri mereka. Bagaimana caranya membangun pilar-pilar harga diri dalam diri seseorang? Menurut Nathanael Branden, seorang psikolog yang dikenal karena karyanya dalam bidang psikologi tentang harga diri (psychology of selfesteem), memaparkan bahwa harga diri (self-esteem) seseorang ditopang oleh enam pilar utama (Branden,1994:66). Oleh sebab itu, untuk membangun harga diri yang sehat maka ada beberapa elemen yang perlu dikembangkan dalam diri seseorang. Adapun keenam elemen dari pilar-pilar harga diri adalah: 1. Living Consciously Pilar pertama dari harga diri adalah kemampuan seseorang untuk menghargai semua fakta-fakta dalam kehidupan yang ada. Ia harus berani mengakui apa yang ia lakukan/perbuat. Ia juga selalu mencari dan terbuka bagi semua informasi, pengetahuan, atau masukkan-masukkan dari orang lain yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan nilai-nilai, tujuantujuan dan sasaran-sasaran yang ia miliki. Selain daripada, itu seseorang harus belajar memahami dunia di luar diri sendiri selain dunia di dalam diri sendiri agar supaya ia tidak hanya bertindak menurut kemauan kita sendiri tanpa peduli orang lain (Branden, 1994:67-89). 2. Self-Acceptance Pilar kedua dari harga diri adalah keberanian dan kesanggupan untuk menerima dirinya sendiri. Menerima diri berarti seseorang menolak untuk memusuhi dirinya sendiri. Seseorang harus mampu untuk dapat memiliki, mengalami dan bertanggungjawab atas semua pikirannya, perasaanya dan tindakannya tanpa menyangkalinya atau bahkan menghindarinya. Selain daripada itu, menerima diri juga memiliki unsur perhatian seseorang terhadap dirinya sendiri (Branden, 1994:90-104). 13 3. Self-Responsibility Pilar ketiga dari harga diri adalah kesadaran seseorang bahwa ia adalah penyebab dari apa yang ia pilih dan apa yang ia lakukan. Setiap orang harus berani bertangunggung jawab terhadap hidupnya, kebaikan bagi dirinya, juga keberhasilannya. Apabila seseorang membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuannya maka ia juga harus mau memberikan sesuatu bagi orang lain sebagai imbalannya (Branden, 1994:105). 4. Self-Assertiveness Pilar keempat adalah keberanian dan kemampuan seseorang untuk menjadi diri sendiri ketika berhadapan dengan orang lain. Memperlakukan nilai-nilai yang ia miliki dan orang lain dengan penuh perhargaan dalam interaksi sosial. Kunci pokok dari sikap asertif yaitu berani berbicara tentang apa yang ada di dalam dirinya tanpa emosional yang berlebihan. Selain daripada itu, ia juga bersedia untuk mempertahankan ide-ide yang dimilikinya dengan cara-cara dan konteks yang tepat dan pantas (Branden, 1994:117). 5. Living Purposefully Pilar kelima adalah kemampuan dan keberanian seseorang untuk dapat mengidentifikasi sasaran atau tujuan jangka pendek dan jangka panjang bagi hidupnya. Kemudian ia dapat menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut (memformulasikan sebuah rencana tindakan). Setelah itu ia sanggup mengorganisasi perilakunya untuk mendukung sasaran dan tujuan yang dimiliki. Selanjutnya, ia memonitor tindakannya untuk meyakinkan bahwa semua berjalan sesuai harapan. Akhirnya ia dapat memperhatikan hasilnya untuk mengetahui apakah ia harus kembali menentukan sasaran atau tujuan yang baru karena rencananya yang terdahulu tidak dapat direalisasikan. Dengan kata lain seseorang yang memiliki harga diri yang sehat ia akan dapat menikmati hidupnya dalam mencapai tujuan yang ingin ia raih (Branden, 1994:129). 6. Personal Integrity Akhirnya pilar keenam dari harga diri adalah keberanian dan kemampuan seseorang untuk memiliki keserasian antara apa yang diketahuinya, apa yang dikatakannya serta apa yang dilakukakan. Hal ini merupakan manifestasi nilai-nilai dari ucapan seseorang didalam tindakannya. Integritas pribadi juga berarti bahwa seseorang tidak menyimpan apa yang sebenarnya ingin ia ucapkan. Hidup dengan integritas juga berarti seseorang harus memiliki prinsip-prinsip dalam hal perilaku di mana ia akan setia dalam menjalankan dan memenuhi janji- 14 janjinya serta menghargai komitmen-komitmen yang dimilikinya (Branden, 1994:143). Keenam pilar-pilar harga diri di atas merupakan elemen-elemen yang menyebabkan bertumbuhnya harga diri yang sehat dalam diri seseorang. Apabila pilar-pilar harga diri tersebut tidak terbentuk dalam diri seseorang, maka ia akan memiliki harga diri rendah. Oleh sebab itu, mahasiswa sekolah tinggi teologi harus ditolong dan dibimbing untuk dapat menngembangkan keenam pilat harga diri tersebut selama dalam proses pembentukkan di sekolah tiinggi teologi. Proses pembangunan pilar-pilar harga diri bagi para mahasiswa harus diintegrasikan dalam kurikulum serta proses belajar mengajar di sekolah tinggi teologi. Selain daripada itu, proses pembentukkan harga diri juga dapat dilakukan secara informal melalui pembinaan dan konseling baik secara pribadi ataupun kelompok. Dengan demikian maka seluruh aspek proses pendidikan dan penempaan mahasiswa sekolah tinggi teologi mengarah kepada pembentukkan harga diri yang sehat. Pada akhirnya sekolah tinggi teologi akan menghasilkan lulusan yang memiliki harga diri yang sehat dan siap untuk menjadi pemimpin gereja yang mumpuni dan siap menjawab tuntutan pelayanan yang semakin kompleks dalam era postmo ini. KESIMPULAN Harga diri adalah sesuatu yang sangat penting dalam diri seseorang karena harga diri menentukan masa depan kehidupan dan pelayanan seseorang. Oleh sebab itu, sekolah tinggi teologi memiliki tanggungjawab yang besar dalam membentuk kehidupan para mahasiswanya, baik dalam dimensi akademis maupun dimensi harga diri. Sekolah tinggi teologi perlu melakukan sesuatu untuk menolong bertumbuhnya pilar-pilar harga diri dalam diri para mahasiswanya yang akan menjadi pemimpin di gereja di masa depan. Kiranya proses penempaan di sekolah teologi tidak hanya ditekankan pada pencapaian prestasi akademis saja, namun juga memberi perhatian pada pembentukkan pilar-pilar harga diri agar mahasiswa mengalami peningkatan harga diri yang akan membawa dampak yang positif bagi mahasiswa baik dalam masa pendidikan maupun nantinya ketika mereka terjun ke dalam ladang pelayanan. Sehingga kehadiran mereka boleh menjadi berkat bagi banyak orang. DAFTAR RUJUKAN 15 Anonim, 2011. Wilcoxon Signed Rank Test, (Online), (http://www.scribd.com/doc/36652319 /Wilcoxon-Signed-Ranks-Test), diakses 14 Nopember, 2011. Astutik, Farida Setiyo. 2002, The Correlation Study Of Academic SelfEsteem With The Frustration Of Student’s High Achievement Class At SMUN 3 Malang. Malang: UPT. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang. Baumeister, R. F. 2000. Self Esteem, Narcissime and Agression: Does Violence Result from Low Self-Esteem or Threatened from Egotism. Current Direction of Psychological Science. 9 (1):26-29. Baumeister, R.F., Campbell, J.D., Kreuger, J.I. & Vohs, K.D. 2003. Does High Branden, N. 1994. The Six Pillars of Self-Esteem. New York: Bantam Books. Dona, Callahan, 2004. A Review of Interpersonal-Psychodynamic Group Psychotherapy Outcomes for Adult Survivors of Childhood Sexual Abuse. International Journal of Group Psychotherapy, 54 (4): 491519. Campbell, Lorne. Simpson, Jeffry A. Boldry, Jennifer G. and Rubin, Harris. 2010. Trust, Variability in Relationship Evaluations, and Relationship Processes.Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 99 (1): 14–31. Cherry, Kendra. 2010. The Five Levels of Maslow’s Hierarchy Needs. (Online), (http://psychology.about.com/od/theoriesofpersonality/a/hierarchynee ds.htm), diakses 29 Januari 2011. Christensen, Teresa M. and Gray, Neal D. 2002. The Application of Reality Therapy and Choice Theory in Relationship Counseling, An Interview with Robert Wubbolding. The Family Journal, 10 (2): 244 - 248. Corcoran, Kevin and Fisher Joel. 1987. Measures for Clinical Practice: A Source Book. New York: The Free Press. Corey, Gerald. 2008. Theory and Practice Group of Counseling. Belmont, CA: Thomson Learning Inc. 16 Corey, Marianne Schneider., Corey, Gerald. 2002. Group Process and Practice. California: Brooks/Cole. Corsini, Raymond J. and Wedding Danny. 1995. Current Psychotherapies Fifth Edition. Illinois : F.E.Peacock Publishers, Inc. Delucia-Waack, Janice L. Gerrity, Deborah A. Kalodner, Cynthia R. Riva, Maria T. 2004. Handbook of Group Counseling and Psychotherapy. Thousand Oaks, CA: Sage Pub Inc. Denmark, Florence. 2006. Forgiveness: A Sampling of Research Results. Washington:American Psychological Association. Emler, Nicholas. 2001. The Costs and Causes of Low Self-Esteem. New York: Joseph Rowntree Foundation. 13-34. Fehr, Ryan. Gelfand, Michele J. and Nag, Monisha. 2010. The Road to Forgiveness:A Meta-Analytic Synthesis of Its Situational and Dispositional Correlates.University of Psychological Bulletin, 136 (5): 894–914. Feller, Candi P. 2003. The Importance of Empathy in the Therapeutic Alliance. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 42: 1-15. Fennell, Melanie J. V. 2007, Low Self-Esteem. Handbook of Homework Assignments in Psychotherapy. 297-314. (Online) (http://www.springerlink.com/content/ vv50713r080k0n1w/), diakses 2 Pebruari, 2011. Ford, Ma´ire B and Collins, Nancy L. 2010. Self-Esteem Moderates Neuroendocrine and Psychological Responses to Interpersonal Rejection. Journal of Personality and Social Psychology, 98 (3): 405– 419. Freydis. 2005. The School Shootings Report. (Online), (http://www.holology.com/shooting.html), diakses 5 april 2009. Ghosh, Pallab. 2003. Low Self-Esteem Shrinks Brain. (Online), (http://news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/1/hi/health/3224674.stm), diakses 21 Mei 2009. Ginintasasi, Rahayu. 2007. Hubungan Self-Esteem Dengan Prestasi Akademik. Bandung: FIP UPI Press. 17 Gladdings, Samuel. T. 1995. Group Work: A Counseling Specialty. New Jersey: A Simon & Schuster Company. Glasser, W. 2000. Reality Therapy in Action. NY: Harpercollins Publishers, Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books. Hayes, Grant, 2008, Group Counseling in Schools: Effective or Not? International Journal of Sociology and Social Policy. 21: 3. Hoyt, W. T., Fincham, F., Mccullough, M. E., Maio, G. & Davila, J. 2005. Responses to Interpersonal Transgressions in Families: Forgivingness, Forgivability, and Relationship-Specific Effects. Journal of Personality and Social Psychology, 89: 375-394. Jadad, Alejandro R. and Enkin, Murray W. 2007. Randomized Control Trials. London: Blackwell Publishing. Lictenberg, James W., Knox, Pamela L., 1991, Order Out of Chaos: A Structural Analysis of Group Therapy. Journal of Counseling Psychotherapy, 38 (3): 279-288. Livingston, Louisa R. Powell., 1994, Projection in Group Counseling: The Relationship Between Members’ Inter-Person Problems and Their Perception of The Group Leader. Journal of Counseling Psychotherapy, 41 (1): 99-100. Manning in.G. G. Bear & K. M. Minke. 2006, Student-Teacher Relationships. Children’s Needs III. Development, Prevention, and Intervention, 1: 341–356. Maslow, A. H. 1987. Motivation and Personality (3rd Ed.). New York: Harper & Row. Mcknight, D. Harrison. 1996. The Meanings of Trust. Minneapoli: Hubert H. Humphrey. Meyers, D. C. 1992. The Pursuit of Happiness. New York: William Morrow. Orth, Ulrich and Trzesniewsk, Kali H. 2010. Self-Esteem Development From Young Adulthood to Old Age: A Cohort-Sequential Longitudinal 18 Study. Journal of Personality and Social Psychology, 98 (4): 645– 658. Sahputra, Naam. 2009. Hubungan Konsep Diri dengan Prestasi Akedemis Mahasiswa USU Medan. Medan: USU repository. Scheingold, Lee. 2005. The Art of Active Listening. Washington: DC National Aging I&R Support Center. Sedycias, Roberto. 2010. Your Self-Help to Self Esteem. Dari General Interest Community, (Online), (http://www.thefreelibrary.com/your+self-help+to+self+ esteem-a01074095230), diakses 17 Pebruari, 2011. Stamatakis, K.A., Lynch, J., Everson, S.A., Raghunathan, T., Salonen, J.T. & Kaplan,G.A. 2003. Self-Esteem and Mortality: Prospective Evidence from a Population Based Study. AEP, 14 (1): 58-65. Taruna, Iwan Dan Randa, Rizal. 2007. Dua Kelompok Mahasiswa Di Universitas 45 Makassar Tawuran. Dari Liputan6. (Online), Http://www.Liputan6.Com/View/7,141289,1,0,1179130789.Html), diakses 5 April 2009. Thompson, Angus H. 2010. The Suicidal Process and Self-Esteem. Journal of Crisis,31(6): 311–316. Tono. 2008. Social Phobia (Ketakutan Dalam Acara-Acara Sosial). Dari NetLibrary,(Online), (http://www :/social-phobia-ketakutan-dalamacara.html), diakses 21 Mei 2009. Toussaint, L., & Webb, J. R. In E.L. Worthington (Ed.). 2005. Theoretical and Empirical Connections Between Forgiveness, Mental Health and Well-Being. Handbook of Forgiveness New York: Routledge. 349362. Tyrrell, Mark 2009. Ten Facts About Low Sel Esteem, Dari NetLibrary, (Online), (http://www.selfconfidence.co.uk/self/esteem/tips.html), diakses 12 Maret 2008. Varsamis, Christos. 2007. Low Self-Esteem Symptoms. Self Improvement Community. Dari NetLibrary, (Online), (http://www.thefreelibrary.com/Low+Self-Esteem+Symptomsa01073761737), diakses 17 Pebruari, 2011. 19 Venkatesh, Sujatha 2006. Group Counseling. Dari NetLibrary, (Online), (http://changingminds.org/articles/articles/group counseling.htm), diakses 3 Pebruari, 2011. Vandel Kolk, Charles J. 1985. Introduction to Group Counseling and Psychotherapy. London: Charles E. Merrill Publishing Company. Wikipedia. 2009. Columbine High School Massacre. Dari NetLibrary, (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/columbine_high_school_massacre), diakses 5 April 2009. Wubbolding, Robert E. 2007. Glasser Quality School. Group Dynamics: Theory,Research, and Practice, Vol. 11(4): 253–261.Yalom and Leszcz. 2005.The Theory and Practice of Group Psychotherapy. New York: Basic Books Yarbrough, Chris. 2011. Common Symptoms of Low Self Esteem. Psychology and Mental Health Community. Dari NetLibrary, (Online), (http://www.thefreelibrary.com/common+symptoms+of+low+self+este em-a01074212719), diakses 15 Pebrruari, 2011. Zyl, Jacob D. Van, Cronjé, Elsje M. And Payze, Catharine 2006. Low SelfEsteem of Psychotherapy Patients: A Qualitative Inquiry. The Qualitative Report. 11 (1): 182-208.