JURNAL ALVIRA PARAHITA_D0212011

advertisement
AKTIVITAS KOMUNIKASI CITY BRANDING
KOTA SOLO SEBAGAI KOTA KREATIF
(Studi Kasus Aktivitas Komunikasi City Branding Kota Solo sebagai Kota
Kreatif oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo
Creative City Network)
Alvira Parahita
Sri Hastjarjo
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Creative city is a city that is able to instill the culture and inspire the
creative community, and the business can support the efforts of the creative
economy. Surakarta municipal government to develop creative economy Year
2015-2025 sets Vision "Realization of Surakarta as the City of Culture-Based
Creative Ecology." Branding Solo as a Creative City, the Department of Culture
and Tourism as well as Surakarta Creative City Network (SCCN) to market the
city through communication activities. Based on the theory of Mikhail Kavaratzis,
describes how brands communicate through selection and appropriate treatment,
functional and symbolic meaning. Activities such communication, consisting of
primary communication, communication secondary, and tertiary communication.
This research is qualitative research using the case study method. The data
collection technique using the technique interviews as the primary data source in
this study.
The results showed that Disbudpar Surakarta and Solo Creative City
Network are actively holding creative events. A lot of creative potential in the city
of Solo, which still need to be considered and developed significantly. It takes
commitment and synergy of all parties. Not stopping in the name of branding that
later Solo escapes into UNESCO creative city version.
Keywords: creative city, city branding, case study
1
2
Pendahuluan
Pemerintah kota Surakarta menggarap pengembangan ekonomi kreatif
tahun 2015-2025 dengan menetapkan visi "Terwujudnya Kota Surakarta sebagai
Kota Kreatif Berbasis Budaya dan Ekologi." Dalam rangka mencapai visi tersebut,
pembangunan diarahkan untuk terwujudnya kota dan masyarakat yang keatif,
inovatif, menjunjung moralitas serta budi pekerti dengan tetap mempertahankan
warisan budaya dan menjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan ekonomi
kreatif Kota Surakarta dilakukan melalui kerjasama antar stakeholders, yaitu
Lembaga Pendidikan, Pemerintah Kota Surakarta, pelaku usaha, media, agen atau
peran biro perjalanan, lembaga keuangan, dan komunitas (Bappeda Surakarta,
2016).
Untuk menunjang city branding kota Solo sebagai kota kreatif, maka
diperlukan komunikasi yang tepat. Mulai dari bagaimana konsep dan tujuan brand
yang dibuat oleh pemerintah kota, bagaimana cara memasarkan brand kota itu. Di
sini peran komunikasi sangat penting. Komunikasi yang efektif dapat merebut
perhatian konsumen. Pentingnya aktivitas komunikasi untuk melihat bagaimana
seorang komunikator menggunakan media yang tepat sebagai alat komunikasi
untuk menyampaikan pesan yang efektif dan timbul feedback.
Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai aktivitas komunikasi city
branding kota Solo sebagai Kota Kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network. Kota Solo sudah
termasuk dalam kota kreatif versi Indonesia. Meskipun secara internasional atau
versi UNESCO belum berhasil sebagai kota kreatif dunia tetapi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta tetap giat mengadakan kegiatan eventevent kreatif. Pelaksanaan event-event kreatif tersebut membutuhkan pihak lain,
misalnya perusahaan, instansi atau organisasi lain untuk bekerjasama dalam
mewujudkan event-event tersebut. Salah satunya dengan membentuk forum
jaringan kota kreatif yang ada di Solo, yakni Solo Creative City Network.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melakukan riset tentang “Studi
Kasus Aktivitas Komunikasi City Branding Kota Solo sebagai Kota Kreatif oleh
3
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City
Network.” Penelitian ini mendeskripsikan aktivitas komunikasi yang sudah
dilakukan pihak-pihak terkait yang berupaya membranding kota Solo sebagai kota
kreatif. Peneliti memilih pihak dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta dan Solo Creative City Network sebagai informan dalam penelitian ini.
Hal ini dikarenakan kedua instansi tersebut memiliki peranan penting dalam
upaya city branding kota Solo sebagai kota kreatif. Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Surakarta mewakili instansi pemerintah yang bergerak secara
teknis dan Solo Creative City Network sebagai komunitas yang memfasilitasi dan
mensinergikan aktivitas kreatif dan potensi pengembangan ekonomi kreatif di
kota Solo. Ada pula informan dari Bappeda Kota Surakarta untuk melengkapi data
penelitian, peneliti melihat dari segi perencanaannya. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori komunikasi, teori city branding, dan juga teori kota
kreatif.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana aktivitas komunikasi city branding Kota Solo sebagai Kota
Kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta dan Solo Creative City Network?
Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui aktivitas komunikasi city branding Kota Solo sebagai Kota
Kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta
dan Solo Creative City Network.
4
Telaah Pustaka
1. Komunikasi
Everett M. Rogers memandang komunikasi sebagai proses suatu ide
dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka. Proses aktivitas komunikasi paling tidak ada 4
unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu; (1) komunikator (yang
menyampaikan pesan) dan komunikan (yang menerima pesan); (2) pesan
(message) yang disampaikan; (3) sarana atau media (channel) sebagai alat yang
digunakan untuk menyampaikan pesan dan; (4) adalah efek (effect) yang
merupakan pengaruh dari adanya komunikasi (Cangara, 2013 : 19).
Hubungan komunikasi dengan pemasaran kota adalah salah satu cara
efektif dan penting untuk mengenalkan dan menginformasikan objek wisata
kepada calon wisatawan. Komunikasi erat hubungannya dengan media sebagai
alat komunikasi yang efektif. Dalam membranding kota, komunikasi pemasaran
menjadi acuan pemerintah kota dalam menentukan tujuannya. Oleh sebab itu,
diperlukan strategi pemasaran yang kuat agar dapat bersaing dengan produk
wisata lainnya.
Adanya tingkat-tingkat efek suatu informasi dapat diterima atau ditolak
lewat rangsangan yang menyentuh seseorang umumnya mengalami proses
mengerti (proses kognitif) atau juga disebut dengan terbentuknya suatu pengertian
atau pengetahuan (knowledge), proses menyetujui (proses obyektif) atau yang
juga disebut dengan proses suatu sikap menyetujui atau tidak menyetujui
(attitude), dan proses perbuatan (proses sensomotorik) atau yang juga disebut
dengan proses terbentuknya gerak pelaksanaan (practice) (Fajar, 2009: 165).
5
Manajemen pemasaran (Kotler dan Keller, 2000 : 62), inti dari kegiatan
pemasaran daerah (place marketing) adalah mencakup empat aktivitas, yaitu:
1. Merancang perpaduan yang tepat antara layanan dan infrastruktur
masyarakat.
2. Menentukan insentif yang menarik untuk para pengguna serta pembeli
potensial dan tepat dalam pelayanan maupun produk-produknya (termasuk
kawasan destinasi).
3. Menyampaikan produk-produk serta pelayanan yang dimiliki daerah
dengan cara yang efisien serta akses yang tepat.
4. Mempromosikan nilai-nilai serta kesan yang dimiliki daerah sehingga
target sasaran yang potensial tersebut sangat menyadari kelebihan yang
berbeda yang dimiliki daerah tersebut.
Untuk membuat sukses sebuah pemasaran daerah, daerah tersebut harus
mampu menjalankan beberapa tugas yang fundamental (Kotler dan Keller, 2000 :
66), seperti :
a. Menginterpretasikan apa yang sedang terjadi dalam lingkungan secara
keseluruhan.
b. Memahami kebutuhan, keinginan dan pilihan-pilihan perilaku yang
spesifik baik secara internal maupun eksternal.
c. Membangun visi yang realistik mengenai mau dijadikan apa daerahnya
tersebut.
d. Menciptakan rencana tindakan untuk menyempurnakan atau melengkapi
visi tersebut.
e. Membangun badan atau organisasi internal yang bertanggung jawab atas
kegiatan tersebut.
f. Mengevaluasi setiap tingkat kemajuan yang telah diraih dari rencana
tindakan tersebut.
6
Komunikasi citra kota Kavaratzis berupaya menggabungkan antara
pemasaran kota dengan branding. Hal ini, membuktikan bahwa peran komunikasi
sangat penting dalam membentuk branding, untuk mengenalkan potensi dan suatu
daerah tertentu. Kerangka kerja Mikhail Kavaratzis (dalam Yananda dan
Salamah, 2014 : 76) menggambarkan bagaimana brand berkomunikasi
melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, fungsional maupun bermakna
simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer,
komunikasi sekunder dan komunikasi tersier.
City branding seperti dikatakan Kavaratzis (2004:67-69) dapat dilihat
sebagai bentuk komunikasi citra (image communication) yang melibatkan tiga
aspek komunikasi yaitu :
1. Komunikasi primer
Komunikasi primer berhubungan dengan pengalaman langsung
konsumen terhadap barang atau jasa, terkait dengan potensi, pengaruh dari
tindakan yang dilakukan oleh suatu kota namun memiliki efek komunikasi
yang bersifat tidak disengaja. Berkaitan dengan tindakan yang diambil kota
tersebut tetapi tidak secara langsung, mereka lebih memfokuskan pada
pemandangan prasarana, struktur sosial dan perilaku. Semua tampilan kota
seperti strategi landscape, infrastruktur, birokrasi serta semua perilaku atau
tindakan
menyangkut
kota
tersebut.
Dalam
pelaksanaannya branding melibatkan keterkaitan berbagai pihak untuk sampai
pada citra yang hendak dibangun oleh sebuah kota.
2. Komunikasi sekunder
Komunikasi sekunder merupakan komunikasi formal, intensif yang
biasa dikenal dalam praktek pemasaran berhubungan dengan aktivitas
pemasaran kota yang disengaja dan terencana. Seperti periklanan,
kehumasan, desain grafis, logo, dan slogan atau kegiatan promosi lainnya.
3. Komunikasi tersier
Komunikasi tersier merupakan pertukaran pesan yang tidak terkontrol
seperti laporan media dan word of mouth. Komunikasi tersier berkaitan
7
dengan kepuasan wisatawan terhadap komunikasi primer maupun
sekunder sehingga mereka akan memberitahukan hal tersebut kepada
orang yang mereka jumpai. Komunikasi ini bisa saja berupa percakapan,
atau hanya satu arah testimonial (Word of Mouth).
Suatu program pemasaran kota yang telah ditetapkan apabila tanpa
perencanaan komunikasi yang baik antar unsur-unsurnya sebagai individu
maupun organisasi, tidak akan memperoleh keberhasilan yang memuaskan. Hal
ini diperlukan untuk mengatasi rintangan-rintangan yang ada guna mencapai
efektivitas komunikasi, sedangkan dari sisi fungsi dan kegunaan komunikasi,
perencanaan diperlukan untuk mengimplementasikan program-program yang
ingin dicapai, apakah itu untuk pencitraan, pemasaran, penyebarluasan gagasan,
kerjasama, atau pembangunan infrastruktur komunikasi (Cangara, 2013 : 43).
2. City Branding
Menurut
Kotler dan Keller (2000 : 259) brand didefinisikan sebagai
sebuah nama, istilah, tanda, simbol, atau design, atau kombinasi dari hal-hal
tersebut, yang melambangkan identitas dari barang atau jasa yang dijual oleh satu
maupun lebih penjual (seller) dan dapat membedakan dari kompetitor-kompetitor
lainnya. Menciptakan sebuah brand berupa nama, simbol, logo, dan grafis lainnya
harus bisa mengilustrasikan tujuan dari kota tersebut. Hal ini dimulai dengan
melakukan riset dahulu terhadap potensi kota dan kompetisi brand kota.
Kemudian ditentukan visi yang ingin dicapai. Tahap selanjutnya adalah identitas
apa yang harus ditentukan. Hal ini harus memperhitungkan sejarah dan persepsi
publik baik itu internal mapun eksternal. Yang terakhir adalah brand kota harus
disebarkan dengan rencana komunikasi yang baik. Semua elemen publik
menjalankan proses komunikasi ini, serta harus korehen agar tidak menimbulkan
pembiasan persepsi brand kota oleh konsumen (Mila dan Teresa, 2009).
Brand Extensions, merupakan salah satu cara dari branding strategi yang
didefinisikan sebagai peluncuran produk baru dari sebuah perusahaan di bawah
sebuah brand yang paling kuat dari perusahaan tersebut. Adapun keuntungan dari
Brand Extensions (Kotler dan Keller, 2000 : 279) adalah :
8
a. Kesuksesan produk baru tersebut dikarenakan beberapa alasan seperti
konsumen sudah mengetahui keunggulan dari brand tersebut berdasarkan
pengalaman mereka memakai produk sebelumnya, dan
konsumen mengalami kejenuhan terhadap produk sebelumnya sehingga
membutuhkan inovasi produk baru.
b. Mendapatkan feedback positif dari konsumen dapat memberikan penilaian
terhadap nilai (value) brand tersebut atau karena kredibilitas konsumen
terhadap brand tersebut meningkat.
Konsep branding slogan, jargon, dan tagline merupakan bagian dari
elemen identitas brand yang dapat membantu mendongkrak nama identitas. Level
lebih lanjut, slogan, jargon, dan tagline dapat menguatkan positioning dan
segmentasi dalam masyarakat. Namun, hal tersebut dapat terjadi dengan asumsi
bahwa jika sesuatu dikenali oleh masyarakat atau merupakan satu kesatuan
elemen dalam strategi periklanan dengan tujuan pembelian. Citra merek adalah
apa yang dipersepsikan oleh konsumen mengenai sebuah merek. Dimana hal ini
menyangkut bagaimana seorang konsumen menggambarkan apa yang mereka
rasakan mengenai merek tersebut ketika mereka memikirkannya (Susanto dan
Wijanarko, 2004 : 80).
Kegiatan city branding ini menuntut setiap daerah berlomba menciptakan
citra tertentu dibenak masyarakat luas dalam merepresentasikan karakter kota.
Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merek sebuah kota, bahkan
mempengaruhi kota itu sendiri. Merek yang melekat pada kota sangat bergantung
pada identitas kota. Identitas adalah sebuah kontruksi, sebuah konsekuensi dari
sebuah proses interaksi antar manusia, institusi dan praktis dalam kehidupan
sosial (Yananda dan Salamah, 2014 : 34). Citra suatu destinasi seringkali berada
dalam benak setiap orang, hanya dengan menyebutkan nama kota, asosiasi dan
citra kota tersebut dapat muncul. Pada kenyataannya, sebuah kota bisa berubah
dengan cepat, namun untuk mengubah citranya memerlukan waktu yang sangat
panjang. Jika penduduk dan pemerintah dapat saling mendukung, mampu
membangun dan mempertahankan citra positif kota (Kavaratzis, 2004).
9
Terdapat tiga konsep utama terkait dengan brand kota (Moilanen dan
Rainisto, 2009 : 9), yakni identitas, komunikasi, dan citra yang akan dijabarkan
sebagai berikut :
a.
Identitas.
Identitas menjadikan sebuah kota menjadi berbeda dari tempat lain
yang menjadi pesaingnya. Pencarian identitas adalah langkah pertama dalam
pembentukan citra sebuah kota. Anholt dalam penelitiannya menjelaskan tiga
komponen penting dalam proses membangun identitas kota yang kompetitif,
yakni :
1) Strategi.
Mengetahui apa dan dimana suatu tempat atau kota berada dalam
persepsi pemangku kepentingan dan mengetahui kemana suatu tempat
kota tersebut akan dibawa.
2) Substansi.
Eksekusi dari strategi yang dipilih dalam bentuk kegiatan baru,
inovasi, struktur, legislasi, reformasi, investasi, institusi atau kebijakan
yang benar – benar dilakukan untuk mendekatkan tempat atau kota
tersebut dengan tujuan yang diinginkan.
3) Tindakan Simbolik (symbolic actions).
Substansi yang memiliki kekuatan komunikasi. Tindakan tersebut
merupakan substansi yang sugestif, menonjol, mudah diingat orang, indah,
punya nilai berita, bersifat topikal, menyentuh dan mengandung unsur
dramatis.
b. Komunikasi
Kavaratzis memaparkan kerangka kerja yang menggambarkan bagaimana
suatu kota berkomunikasi baik secara fungsional maupun bermakna simbolik.
Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer, sekunder, dan
tersier. Komunikasi primer terkait dengan potensi pengaruh dari tindakan yang
dilakukan oleh suatu kota namun memiliki efek komunikasi yang bersifat tidak
disengaja. Komunikasi sekunder terkait dengan aktivitas pemasaran kota yang
10
disengaja dan terencana sedangkan komunikasi tersier merupakan pertukaran
pesan yang tidak terkontrol seperti laporan media dan word of mouth.
c. Citra Kota
Citra atau image merupakan gambaran yang ada di benak seseorang
tentang suatu hal. Terkait dengan persepsi atau citra suatu kota, citra yang positif
yang dimiliki oleh suatu kota menjadi semacam jaminan bagi para pemangku
kepentingan kota. Sebagai contoh, citra positif dapat memberikan rasa aman bagi
investor maupun turis, citra positif juga memberikan dampak baik terhadap daya
saing kota. Citra tempat dapat dibagi berdasarkan empat komponen, yaitu :
Kognitif (apa yang diketahui seseorang tentang suatu tempat); Afektif (bagaimana
perasaan seseorang terkait tempat tertentu);
seseorang
terhadap
suatu
tempat);
dan
Evaluatif (bagaimana evaluasi
Behavioral
(apakah
seseorang
mempertimbangkan untuk bermigrasi /bekerja /berkunjung/ berinvestasi pada
tempat tertentu).
Ada banyak keuntungan yang didapat ketika sebuah kota melakukan city
branding yaitu kota tersebut dikenal lebih luas, mempunyai tujuan khusus,
mampu menghadirkan investasi, menguatkan untuk tujuan wisata, tempat tinggal,
dan event-event. Keuntungan yang diperoleh jika suatu daerah melakukan City
Branding (Kemendagri, 2016) antara lain :
a. Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang
baik.
b. Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (specific purposes).
c. Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal,
dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events).
d. Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang
tinggi.
Untuk mengukur keberhasilan dari sebuah brand, tidak dapat dilakukan
tanpa mengukur performance dari kegiatan pemasaran. Brand akan diingat
dengan asosiasi yang kuat, dipersepsikan sebagai produk yang berkualitas, dan
loyalitas pelanggan akan terbangun melalui kegiatan-kegiatan pemasaran secara
berkesinambungan dan terukur (Yoo, Donthu dan Lee, 2000). Pengukuran
11
keberhasilan kegiatan pemasaran itu dapat dilakukan dengan mengukur nilai yang
didapatkan destinasi wisata dan nilai yang didapatkan wisatawan. Aktivitas
komunikasi untuk membangun citra kota Solo sebagai kota kreatif, apakah sudah
tepat,
atau
sebaliknya
terjadi
ketidakefektifan
dalam
strategi
maupun
implementasi program-program komunikasi yang telah dilakukan.
3. Kota Kreatif
Kota yang baik adalah kota yang dapat memenuhi tiga kebutuhan
penduduknya diantaranya kebutuhan psikologi, kebutuhan keamanan, dan
kebutuhan
berkembang.
Parameter
kota
kreatif
yang
pertama
adalah
pengembangan potensi ekonomi kreatif. Dalam ekonomi kreatif kita dapat
mengedepankan peran partisipasi komunitas masyarakat dan penentu kebijakan
publik serta tata kelola lingkungan hidup yang baik. Kota menjadi wadah dan
pemicu kegiatan kreatif. Potensi kota kreatif masih berjalan sendiri, menghambat
perkembangannya karena kebijakan publik dan prasarana. Kota kreatif memiliki
tiga aspek penting (Landry, 2006 : 390-400) yaitu :
a. Pemeliharaan dan pengembangan potensi ekonomi kreatif.
b. Pemeliharaan komunitas kreatif (creative class).
c.
Perencanaan dan pengembangan lingkungan kreatif.
Dalam bukunya The Creative City, 2006, Landry mengatakan kota-kota
yang berhasil menjadi kota kreatif mempunyai kesamaan dalam visi individu,
organisasi kreatif, dan budaya politik dengan tujuan jelas. Diperlukan pimpinan
yang mampu menyatukan semua pihak, baik publik, swasta, juga sukarelawan.
Kota kreatif harus dibangun setidaknya berdasarkan empat modal utama yaitu :
(1) dukungan ekosistem yang kuat, baik dari sisi kebijakan dan regulasi,
infrastruktur, SDM, pendanaan, maupun kelembagaan; (2) keterpaduan seluruh
rangkaian proses kreasi-produksi-distribusi; (3) tahapan pembangunan yang
terukur dengan memperhatikan potensi lokal dan tingkat kesiapan pendukung,
antara lain sara na dan prasarana, pelaku usaha, visi dan komitmen pemerintah
12
daerah; serta (4) keterlibatan aktif dan kerjasama dari seluruh pemangku
kepentingan dengan pembagian peran yang jelas dan proporsional.
Kota kreatif adalah kota yang melakukan riset dan pengembangan untuk
menumbuhkan pembangunan ekonomi dengan engine kreativitas.
Mesin
penggerak kreativitas itu berupa ide atau gagasan yang kreatif dan inovatif yang
ditopang oleh kelengkapan infrastruktur kelembagaan dalam keterlibatan unsur
‘quadro helix’ (birokrasi, akademisi, bisnis dan komunitas) serta adanya
dukungan infrastruktur digital yang berkualitas dan modern (ICCN, 2016).
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi,
serta inovasi telah melahirkan bentuk aktivitas ekonomi kreatif. Sejalan dengan
hal tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan transformasi dan
penguatan struktur ekonomi melalui pengembangan ekonomi kreatif yang menjadi
salah satu potensi dan kekayaan bangsa ini. Potensi lokal sebagai bagian dari
identitas kekayaan daerah menjadi kata kunci dalam pembangunan kota kreatif.
Kota kreatif bukan sekedar city branding, tetapi lebih kepada komitmen
untuk mengangkat dan mengembangkan potensi kekayaan lokal. Oleh karena itu,
visi dan komitmen pemerintah serta keterlibatan forum kreatif menjadi sangat
penting dalam pembangunan kota kreatif yang berkelanjutan. Sinergi antar
program pembangunan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan inisiatif
komunitas atau forum kreatif juga mutlak harus dibangun (Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, 2016).
Ekonomi kreatif menyandarkan aktivitasnya pada proses penciptaan dan
transakasi nilai. Creative class membangkitkan kekritisan dalam kehidupan
berkota, bagaimana mereka berperan dalam menemukan solusi kreatif untuk
mengatasi masalah yang mereka hadapi sehari-hari dalam kehidupan berkota.
Lingkungan kota dapat mendukung kegiatan kreatif masyarakatnya dengan
menyediakan apa yang mereka butuhkan. Selain itu, dibutuhkan dukungan berupa
lingkungan psikis terkait sikap sosial, dukungan dan toleransi terhadap kreativitas
dari pemerintah kota dan masyarakat dalam mewujudkan kota kreatif dan
lingkungan fisik terkait dengan fasilitas yang mewadahi kegiatan berkreativitas
agar masyarakat dapat berkreativitas dengan optimal (Landry, 2006 : 338).
13
Metode Penelitian
Tipe pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan untuk strategi penelitian yang
digunakan yaitu studi kasus. Jenis penelitian studi kasus deskriptif dianggap dapat
memberikan gambaran mengenai suatu gejala, fakta, atau realita.
Objek penelitian ini adalah aktivitas komunikasi city branding kota Solo
sebagai kota kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta dan Solo Creative City Network (SCCN). Lokasi dalam penelitian ini
adalah Kota Surakarta di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan
Solo Creative City Network (SCCN).
Untuk teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling,
yakni menyeleksi orang-orang yang menjadi informan berdasarkan kriteria
menurut tujuan penelitian. Penelitian ini menetapkan informan yaitu Budy
Sartono, Kepala Bidang Pelestarian, Promosi, dan Kerjasama, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Surakarta. Gembong Hadiwibowo, Kasi Bidang Pelestarian,
Promosi, dan Kerjasama, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta.
Paulus Mintarga, Inisiator Solo Creative City Network (SCCN), dan Ketua
Indonesia Creative City Network (ICCN). Sutanto Sastraredja, Penasihat Solo
Creative City Network (SCCN) dan Indonesia Creative City Network (ICCN).
Sukriyah, Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kota Surakarta.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer sebagai
data utama. Digunakannya data sekunder bukan menjadi utama dalam penelitian
ini karena sebatas untuk memperkuat hasil wawancara semata. Sedangkan untuk
teknik pengumpulan data menggunakan wawancara.
Dalam analisis data, teknik yang digunakan yaitu teknik penjodohan pola
(pattern matching) milik Robert K. Yin (2002: 116) yaitu teknik yang dilakukan
dengan cara membandingkan pola yang didasarkan atas empiri dengan pola yang
diprediksikan (prediksi alternatif). Jika kedua pola ini ada persamaan, maka
menguatkan validitas internal dalam studi kasus.
14
Berbicara mengenai studi kasus deskriptif, maka penjodohan pola akan relevan
dengan pola variabel-variabel spesifik yang diprediksi dan ditentukan sebelum
pengumpulan data.
Sajian dan Analisis Data
Penyajian data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sekaligus
dilakukannya analisis oleh peneliti. Sajian dan analisis data yang dilakukan
merupakan hasil dari penelitian yang diperoleh di lapangan sesuai dengan fokus
penelitian yang diambil peneliti. Data yang terkumpul yaitu dari sumber data
primer berupa wawancara langsung dengan para informan. Hasil penelitian
berdasarkan teori komunikasi citra kota Kavaratzis dalam (Yananda dan Salamah,
2014 : 76) berupaya menggabungkan antara pemasaran kota dengan branding.
Hal ini, membuktikan bahwa peran komunikasi sangat penting dalam membentuk
branding, untuk lebih jauh mengenalkan kepada masyarakat potensi dan keunikan
yang dimiliki suatu daerah tertentu. Ia menggambarkan bagaimana brand
berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, fungsional maupun
bermakna simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi
primer, komunikasi sekunder dan komunikasi tersier.
1.
Komunikasi Primer
Dalam komunikasi primer, ada empat hal yang disajikan dan dianalisis
peneliti. Pertama, Tugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta,
adalah mendorong kreativitas dan mempromosikan hasil kreativitas masyarakat
kota Solo. SCCN berperan sebagai fasilitator komunitas-komunitas kreatif di kota
Solo. SCCN melakukan riset, membuat ide-ide kreatif dan menciptakan engineengine creative. Kedua, aktivitas mengenalkan kota Solo sebagai kota kreatif
diwujudkan dengan Konferensi Kota Kreatif Indonesia yang digelar pertama kali
di kota Solo. Ketiga, ada perbedaan pendapat antara pihak Disbudpar dan SCCN
terkait nilai atau potensi dari kota Solo sehingga belum ada keputusan mengenai
potensi yang menonjol dari kota Solo. Keempat, Pihak-pihak yang terlibat dalam
15
menyebarluaskan pengalaman di kota Solo sebagai kota kreatif pada umumnya
adalah masyarakat kota Solo. Secara khusus adalah SCCN, tidak hanya di
penyelenggaraan event tetapi juga mendiskusikan bagaimana kelanjutan mengenai
kota Solo sebagai kota kreatif.
2.
Komunikasi Sekunder
Dalam komunikasi sekunder dipaparkan hal-hal terkait aktivitas
pemasaran kota yang disengaja dan terencana. Aktivitas pemasaran dilakukan
sebagai upaya memperkenalkan dan mempromosikan potensi kota Solo. Jika
pengajuan aplikasi ke UCCN tahun 2017 lolos, maka kota Solo akan sejajar
dengan kota-kota kreatif dunia dan berdampak pada tingkat kunjungan wisatawan.
Proses perencanaan program promosi dilakukan secara bottom up dan melibatkan
semua stakeholder termasuk di dalamnya SCCN. Pihak Disbudpar dan SCCN
mengalami hambatan. Kebijakan kota Solo sebagai kota kreatif belum ada. Pihak
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta lebih banyak menggunakan
media sebagai sarana komunikasi dibanding SCCN. Kerjasama lebih banyak
dilakukan oleh Disbudpar. Meskipun sudah melakukan aktivitas komunikasi
pemasaran, hasil yang diperoleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Surakarta belum memuaskan. Membantu SCCN semakin dikenal dan komunitas
lain ikut bergabung. Bentuk evaluasi, Disbudpar melakukan evaluasi tiap akhir
program atau event dan juga evaluasi tiap akhir tahun. Semua evaluasi melibatkan
seluruh stakeholder. SCCN mengevaluasi event Konferensi Kota Kreatif
Indonesia, dan Bamboo Bienalle. SCCN dilibatkan dalam evaluasi yang ada di
pemerintah kota Surakarta terkait branding kota kreatif.
3.
Komunikasi Tersier
Komunikasi tersier adalah komunikasi yang berhubungan dengan laporan
media. Tanggapan masyarakat kota Solo maupun luar Solo yang positif dan
terbuka atas brand kota Solo sebagai kota kreatif. Tanggapan media pun serupa.
Disbudpar lebih berupaya untuk mendapat pemberitaan di media dibanding
SCCN. Menjaga hubungan dan komunikasi dengan para
16
pewarta media dilakukan Disbudpar maupun SCCN. Media diharapkan
memberikan pemberitaan yang baik dan berdampak positif terkait keunggulan
kota Solo sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan. Aktif mengawal
kreativitas masyarakat kota Solo agar kreativitas itu senantiasa tumbuh dan tidak
mati di tengah jalan.
Kesimpulan
Pemerintah kota Surakarta dalam mengembangkan ekonomi kreatif Tahun
2015-2025 menetapkan visi “Terwujudnya Kota Surakarta sebagai Kota Kreatif
Berbasis Budaya dan Ekologi.” Pembangunan diarahkan untuk terwujudnya kota
dan masyarakat yang kreatif, inovatif, menjunjung moralitas serta budi pekerti
dengan tetap mempertahankan warisan budaya dan menjaga kelestarian
lingkungan.
Peneliti melakukan penelitian bagaimana aktivitas komunikasi yang
dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surakarta serta
Solo Creative City Network (SCCN) dengan menggunakan teori Mikhail
Kavaratzis (dalam Yananda dan Salamah, 2014 : 76), menggambarkan bagaimana
brand berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, fungsional
maupun bermakna simbolik. Aktivitas komunikasi tersebut, terdiri dari
komunikasi primer, komunikasi sekunder, dan komunikasi tersier.
Aktivitas komunikasi primer yaitu komunikasi yang berhubungan dengan
pengalaman langsung konsumen terhadap barang atau jasa, terkait dengan potensi,
pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh suatu kota namun memiliki efek
komunikasi yang bersifat tidak disengaja. Komunikasi sekunder adalah
komunikasi yang berhubungan dengan aktivitas pemasaran kota yang disengaja
dan terencana, contohnya iklan dan kegiatan promosi lainnya. Komunikasi tersier
adalah komunikasi yang berhubungan dengan adanya laporan media.
Dari uraian penelitian tersebut, baik pihak Disbudpar dan SCCN sudah
melakukan ketiga aktivitas komunikasi brand kota sesuai teori
17
Mikhail Kavaratzis. Meskipun memiliki perbedaan tanggung jawab namun
kerjasama diantara keduanya dinilai berjalan baik dalam aktivitas branding kota
Solo sebagai kota kreatif. Mereka giat mengadakan event-event kreatif dari
potensi yang dimiliki guna menarik wisatawan. Adanya sinergi dan komitmen
dari semua pihak akan mempermudah pembangunan kota Solo. Selain itu, upaya
untuk mewujudkan kota Solo agar sejajar sebagai kota kreatif dunia versi
UNESCO, seperti kota Pekalongan dan Bandung, diharapkan dapat tercapai tahun
2017.
Saran
Berdasarkan data hasil penelitian, maka peneliti dapat memberikan saran
sebagai berikut :
1. Pemerintah diharapkan lebih berkomitmen dan fokus dalam branding
kota Solo sebagai kota kreatif. Ada sinergi dan kerja nyata dari semua
pihak. Bukan sekadar latah mengangkat branding.
2. Pemerintah diharapkan segera membuat Peraturan Daerah atau regulasi
terkait kebijakan kota Solo sebagai kota kreatif.
3. Dalam upaya aplikasi kota Solo ke UCCN tahun 2017 mendatang,
hendaknya dikaji bersama sehingga apa yang diupayakan pemerintah
dan SCCN berjalan seirama dan memperoleh hasil yang baik.
4. Penelitian selanjutnya, peneliti mengharapkan akan ada penelitian
lanjutan mengenai efektivitas dari branding kota Solo sebagai kota
kreatif.
Daftar Pustaka
Bappeda Surakarta. Ekonomi Kreatif. 2013.
http://bappeda.surakarta.go.id/content/ekonomi-kreatif-2013, diakses
3 April 2016.
Cangara, Hafied H. Perencanaan & Strategi Komunikasi. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2013.
Fajar, M. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009.
ICCN. Halaman Depan. 2016. http://iccnmedia.org/, diakses 2 April 2016.
18
Kemendagri. City Branding untuk Pemda Perlukah. 12 April 2013.
http://www.kemendagri.go.id/article/2013/04/12/city-branding-untukpemda-perlukah, diakses 29 Januari 2016.
Kotler, Philip & Kevin Lane Keller. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Erlangga,
2000.
Landry, C. The Creative City : A Toolkit for Urban Innovators 2nd Edition.
Comedia, 2006.
Mila
Gasco-Hernandez
dan
Teresa
Torres-Coronas.
Information
Communication Technologies and City Marketing: Digital Opportunities
for Cities Around the World. New York : Information Science, 2009.
Mollanen, Teemu, Seppo Rainisto. How to Brands Nations, Cities and
Nations : A Planning Book for Place Branding. England : Palgrave
Macmillan, 2009.
Yananda, R. M., dan Salamah, U. Branding Tempat : Membangun Kota,
Kabupaten dan Provinsi Berbasis Identitas. Jakarta: Makna
Informasi, 2014.
Yin, Robert K. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Yoo, B., N. Donthu dan S. Lee. An Examination of Selected Marketing Mix
Elements and Brand Equity. Journal of the Academy of
Marketing.
Vol.
28
No.
2,
pp.
195-211.
2000.
19
19
Download