AKTIVITAS KOMUNIKASI CITY BRANDING KOTA SOLO SEBAGAI KOTA KREATIF (Studi Kasus Aktivitas Komunikasi City Branding Kota Solo sebagai Kota Kreatif oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network) Alvira Parahita Sri Hastjarjo Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Creative city is a city that is able to instill the culture and inspire the creative community, and the business can support the efforts of the creative economy. Surakarta municipal government to develop creative economy Year 2015-2025 sets Vision "Realization of Surakarta as the City of Culture-Based Creative Ecology." Branding Solo as a Creative City, the Department of Culture and Tourism as well as Surakarta Creative City Network (SCCN) to market the city through communication activities. Based on the theory of Mikhail Kavaratzis, describes how brands communicate through selection and appropriate treatment, functional and symbolic meaning. Activities such communication, consisting of primary communication, communication secondary, and tertiary communication. This research is qualitative research using the case study method. The data collection technique using the technique interviews as the primary data source in this study. The results showed that Disbudpar Surakarta and Solo Creative City Network are actively holding creative events. A lot of creative potential in the city of Solo, which still need to be considered and developed significantly. It takes commitment and synergy of all parties. Not stopping in the name of branding that later Solo escapes into UNESCO creative city version. Keywords: creative city, city branding, case study 1 2 Pendahuluan Pemerintah kota Surakarta menggarap pengembangan ekonomi kreatif tahun 2015-2025 dengan menetapkan visi "Terwujudnya Kota Surakarta sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya dan Ekologi." Dalam rangka mencapai visi tersebut, pembangunan diarahkan untuk terwujudnya kota dan masyarakat yang keatif, inovatif, menjunjung moralitas serta budi pekerti dengan tetap mempertahankan warisan budaya dan menjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan ekonomi kreatif Kota Surakarta dilakukan melalui kerjasama antar stakeholders, yaitu Lembaga Pendidikan, Pemerintah Kota Surakarta, pelaku usaha, media, agen atau peran biro perjalanan, lembaga keuangan, dan komunitas (Bappeda Surakarta, 2016). Untuk menunjang city branding kota Solo sebagai kota kreatif, maka diperlukan komunikasi yang tepat. Mulai dari bagaimana konsep dan tujuan brand yang dibuat oleh pemerintah kota, bagaimana cara memasarkan brand kota itu. Di sini peran komunikasi sangat penting. Komunikasi yang efektif dapat merebut perhatian konsumen. Pentingnya aktivitas komunikasi untuk melihat bagaimana seorang komunikator menggunakan media yang tepat sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pesan yang efektif dan timbul feedback. Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai aktivitas komunikasi city branding kota Solo sebagai Kota Kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network. Kota Solo sudah termasuk dalam kota kreatif versi Indonesia. Meskipun secara internasional atau versi UNESCO belum berhasil sebagai kota kreatif dunia tetapi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta tetap giat mengadakan kegiatan eventevent kreatif. Pelaksanaan event-event kreatif tersebut membutuhkan pihak lain, misalnya perusahaan, instansi atau organisasi lain untuk bekerjasama dalam mewujudkan event-event tersebut. Salah satunya dengan membentuk forum jaringan kota kreatif yang ada di Solo, yakni Solo Creative City Network. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melakukan riset tentang “Studi Kasus Aktivitas Komunikasi City Branding Kota Solo sebagai Kota Kreatif oleh 3 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network.” Penelitian ini mendeskripsikan aktivitas komunikasi yang sudah dilakukan pihak-pihak terkait yang berupaya membranding kota Solo sebagai kota kreatif. Peneliti memilih pihak dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network sebagai informan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan kedua instansi tersebut memiliki peranan penting dalam upaya city branding kota Solo sebagai kota kreatif. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta mewakili instansi pemerintah yang bergerak secara teknis dan Solo Creative City Network sebagai komunitas yang memfasilitasi dan mensinergikan aktivitas kreatif dan potensi pengembangan ekonomi kreatif di kota Solo. Ada pula informan dari Bappeda Kota Surakarta untuk melengkapi data penelitian, peneliti melihat dari segi perencanaannya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi, teori city branding, dan juga teori kota kreatif. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana aktivitas komunikasi city branding Kota Solo sebagai Kota Kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network? Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas komunikasi city branding Kota Solo sebagai Kota Kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network. 4 Telaah Pustaka 1. Komunikasi Everett M. Rogers memandang komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Proses aktivitas komunikasi paling tidak ada 4 unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu; (1) komunikator (yang menyampaikan pesan) dan komunikan (yang menerima pesan); (2) pesan (message) yang disampaikan; (3) sarana atau media (channel) sebagai alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan; (4) adalah efek (effect) yang merupakan pengaruh dari adanya komunikasi (Cangara, 2013 : 19). Hubungan komunikasi dengan pemasaran kota adalah salah satu cara efektif dan penting untuk mengenalkan dan menginformasikan objek wisata kepada calon wisatawan. Komunikasi erat hubungannya dengan media sebagai alat komunikasi yang efektif. Dalam membranding kota, komunikasi pemasaran menjadi acuan pemerintah kota dalam menentukan tujuannya. Oleh sebab itu, diperlukan strategi pemasaran yang kuat agar dapat bersaing dengan produk wisata lainnya. Adanya tingkat-tingkat efek suatu informasi dapat diterima atau ditolak lewat rangsangan yang menyentuh seseorang umumnya mengalami proses mengerti (proses kognitif) atau juga disebut dengan terbentuknya suatu pengertian atau pengetahuan (knowledge), proses menyetujui (proses obyektif) atau yang juga disebut dengan proses suatu sikap menyetujui atau tidak menyetujui (attitude), dan proses perbuatan (proses sensomotorik) atau yang juga disebut dengan proses terbentuknya gerak pelaksanaan (practice) (Fajar, 2009: 165). 5 Manajemen pemasaran (Kotler dan Keller, 2000 : 62), inti dari kegiatan pemasaran daerah (place marketing) adalah mencakup empat aktivitas, yaitu: 1. Merancang perpaduan yang tepat antara layanan dan infrastruktur masyarakat. 2. Menentukan insentif yang menarik untuk para pengguna serta pembeli potensial dan tepat dalam pelayanan maupun produk-produknya (termasuk kawasan destinasi). 3. Menyampaikan produk-produk serta pelayanan yang dimiliki daerah dengan cara yang efisien serta akses yang tepat. 4. Mempromosikan nilai-nilai serta kesan yang dimiliki daerah sehingga target sasaran yang potensial tersebut sangat menyadari kelebihan yang berbeda yang dimiliki daerah tersebut. Untuk membuat sukses sebuah pemasaran daerah, daerah tersebut harus mampu menjalankan beberapa tugas yang fundamental (Kotler dan Keller, 2000 : 66), seperti : a. Menginterpretasikan apa yang sedang terjadi dalam lingkungan secara keseluruhan. b. Memahami kebutuhan, keinginan dan pilihan-pilihan perilaku yang spesifik baik secara internal maupun eksternal. c. Membangun visi yang realistik mengenai mau dijadikan apa daerahnya tersebut. d. Menciptakan rencana tindakan untuk menyempurnakan atau melengkapi visi tersebut. e. Membangun badan atau organisasi internal yang bertanggung jawab atas kegiatan tersebut. f. Mengevaluasi setiap tingkat kemajuan yang telah diraih dari rencana tindakan tersebut. 6 Komunikasi citra kota Kavaratzis berupaya menggabungkan antara pemasaran kota dengan branding. Hal ini, membuktikan bahwa peran komunikasi sangat penting dalam membentuk branding, untuk mengenalkan potensi dan suatu daerah tertentu. Kerangka kerja Mikhail Kavaratzis (dalam Yananda dan Salamah, 2014 : 76) menggambarkan bagaimana brand berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, fungsional maupun bermakna simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer, komunikasi sekunder dan komunikasi tersier. City branding seperti dikatakan Kavaratzis (2004:67-69) dapat dilihat sebagai bentuk komunikasi citra (image communication) yang melibatkan tiga aspek komunikasi yaitu : 1. Komunikasi primer Komunikasi primer berhubungan dengan pengalaman langsung konsumen terhadap barang atau jasa, terkait dengan potensi, pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh suatu kota namun memiliki efek komunikasi yang bersifat tidak disengaja. Berkaitan dengan tindakan yang diambil kota tersebut tetapi tidak secara langsung, mereka lebih memfokuskan pada pemandangan prasarana, struktur sosial dan perilaku. Semua tampilan kota seperti strategi landscape, infrastruktur, birokrasi serta semua perilaku atau tindakan menyangkut kota tersebut. Dalam pelaksanaannya branding melibatkan keterkaitan berbagai pihak untuk sampai pada citra yang hendak dibangun oleh sebuah kota. 2. Komunikasi sekunder Komunikasi sekunder merupakan komunikasi formal, intensif yang biasa dikenal dalam praktek pemasaran berhubungan dengan aktivitas pemasaran kota yang disengaja dan terencana. Seperti periklanan, kehumasan, desain grafis, logo, dan slogan atau kegiatan promosi lainnya. 3. Komunikasi tersier Komunikasi tersier merupakan pertukaran pesan yang tidak terkontrol seperti laporan media dan word of mouth. Komunikasi tersier berkaitan 7 dengan kepuasan wisatawan terhadap komunikasi primer maupun sekunder sehingga mereka akan memberitahukan hal tersebut kepada orang yang mereka jumpai. Komunikasi ini bisa saja berupa percakapan, atau hanya satu arah testimonial (Word of Mouth). Suatu program pemasaran kota yang telah ditetapkan apabila tanpa perencanaan komunikasi yang baik antar unsur-unsurnya sebagai individu maupun organisasi, tidak akan memperoleh keberhasilan yang memuaskan. Hal ini diperlukan untuk mengatasi rintangan-rintangan yang ada guna mencapai efektivitas komunikasi, sedangkan dari sisi fungsi dan kegunaan komunikasi, perencanaan diperlukan untuk mengimplementasikan program-program yang ingin dicapai, apakah itu untuk pencitraan, pemasaran, penyebarluasan gagasan, kerjasama, atau pembangunan infrastruktur komunikasi (Cangara, 2013 : 43). 2. City Branding Menurut Kotler dan Keller (2000 : 259) brand didefinisikan sebagai sebuah nama, istilah, tanda, simbol, atau design, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang melambangkan identitas dari barang atau jasa yang dijual oleh satu maupun lebih penjual (seller) dan dapat membedakan dari kompetitor-kompetitor lainnya. Menciptakan sebuah brand berupa nama, simbol, logo, dan grafis lainnya harus bisa mengilustrasikan tujuan dari kota tersebut. Hal ini dimulai dengan melakukan riset dahulu terhadap potensi kota dan kompetisi brand kota. Kemudian ditentukan visi yang ingin dicapai. Tahap selanjutnya adalah identitas apa yang harus ditentukan. Hal ini harus memperhitungkan sejarah dan persepsi publik baik itu internal mapun eksternal. Yang terakhir adalah brand kota harus disebarkan dengan rencana komunikasi yang baik. Semua elemen publik menjalankan proses komunikasi ini, serta harus korehen agar tidak menimbulkan pembiasan persepsi brand kota oleh konsumen (Mila dan Teresa, 2009). Brand Extensions, merupakan salah satu cara dari branding strategi yang didefinisikan sebagai peluncuran produk baru dari sebuah perusahaan di bawah sebuah brand yang paling kuat dari perusahaan tersebut. Adapun keuntungan dari Brand Extensions (Kotler dan Keller, 2000 : 279) adalah : 8 a. Kesuksesan produk baru tersebut dikarenakan beberapa alasan seperti konsumen sudah mengetahui keunggulan dari brand tersebut berdasarkan pengalaman mereka memakai produk sebelumnya, dan konsumen mengalami kejenuhan terhadap produk sebelumnya sehingga membutuhkan inovasi produk baru. b. Mendapatkan feedback positif dari konsumen dapat memberikan penilaian terhadap nilai (value) brand tersebut atau karena kredibilitas konsumen terhadap brand tersebut meningkat. Konsep branding slogan, jargon, dan tagline merupakan bagian dari elemen identitas brand yang dapat membantu mendongkrak nama identitas. Level lebih lanjut, slogan, jargon, dan tagline dapat menguatkan positioning dan segmentasi dalam masyarakat. Namun, hal tersebut dapat terjadi dengan asumsi bahwa jika sesuatu dikenali oleh masyarakat atau merupakan satu kesatuan elemen dalam strategi periklanan dengan tujuan pembelian. Citra merek adalah apa yang dipersepsikan oleh konsumen mengenai sebuah merek. Dimana hal ini menyangkut bagaimana seorang konsumen menggambarkan apa yang mereka rasakan mengenai merek tersebut ketika mereka memikirkannya (Susanto dan Wijanarko, 2004 : 80). Kegiatan city branding ini menuntut setiap daerah berlomba menciptakan citra tertentu dibenak masyarakat luas dalam merepresentasikan karakter kota. Citra kota memiliki kekuatan dalam membentuk merek sebuah kota, bahkan mempengaruhi kota itu sendiri. Merek yang melekat pada kota sangat bergantung pada identitas kota. Identitas adalah sebuah kontruksi, sebuah konsekuensi dari sebuah proses interaksi antar manusia, institusi dan praktis dalam kehidupan sosial (Yananda dan Salamah, 2014 : 34). Citra suatu destinasi seringkali berada dalam benak setiap orang, hanya dengan menyebutkan nama kota, asosiasi dan citra kota tersebut dapat muncul. Pada kenyataannya, sebuah kota bisa berubah dengan cepat, namun untuk mengubah citranya memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika penduduk dan pemerintah dapat saling mendukung, mampu membangun dan mempertahankan citra positif kota (Kavaratzis, 2004). 9 Terdapat tiga konsep utama terkait dengan brand kota (Moilanen dan Rainisto, 2009 : 9), yakni identitas, komunikasi, dan citra yang akan dijabarkan sebagai berikut : a. Identitas. Identitas menjadikan sebuah kota menjadi berbeda dari tempat lain yang menjadi pesaingnya. Pencarian identitas adalah langkah pertama dalam pembentukan citra sebuah kota. Anholt dalam penelitiannya menjelaskan tiga komponen penting dalam proses membangun identitas kota yang kompetitif, yakni : 1) Strategi. Mengetahui apa dan dimana suatu tempat atau kota berada dalam persepsi pemangku kepentingan dan mengetahui kemana suatu tempat kota tersebut akan dibawa. 2) Substansi. Eksekusi dari strategi yang dipilih dalam bentuk kegiatan baru, inovasi, struktur, legislasi, reformasi, investasi, institusi atau kebijakan yang benar – benar dilakukan untuk mendekatkan tempat atau kota tersebut dengan tujuan yang diinginkan. 3) Tindakan Simbolik (symbolic actions). Substansi yang memiliki kekuatan komunikasi. Tindakan tersebut merupakan substansi yang sugestif, menonjol, mudah diingat orang, indah, punya nilai berita, bersifat topikal, menyentuh dan mengandung unsur dramatis. b. Komunikasi Kavaratzis memaparkan kerangka kerja yang menggambarkan bagaimana suatu kota berkomunikasi baik secara fungsional maupun bermakna simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer, sekunder, dan tersier. Komunikasi primer terkait dengan potensi pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh suatu kota namun memiliki efek komunikasi yang bersifat tidak disengaja. Komunikasi sekunder terkait dengan aktivitas pemasaran kota yang 10 disengaja dan terencana sedangkan komunikasi tersier merupakan pertukaran pesan yang tidak terkontrol seperti laporan media dan word of mouth. c. Citra Kota Citra atau image merupakan gambaran yang ada di benak seseorang tentang suatu hal. Terkait dengan persepsi atau citra suatu kota, citra yang positif yang dimiliki oleh suatu kota menjadi semacam jaminan bagi para pemangku kepentingan kota. Sebagai contoh, citra positif dapat memberikan rasa aman bagi investor maupun turis, citra positif juga memberikan dampak baik terhadap daya saing kota. Citra tempat dapat dibagi berdasarkan empat komponen, yaitu : Kognitif (apa yang diketahui seseorang tentang suatu tempat); Afektif (bagaimana perasaan seseorang terkait tempat tertentu); seseorang terhadap suatu tempat); dan Evaluatif (bagaimana evaluasi Behavioral (apakah seseorang mempertimbangkan untuk bermigrasi /bekerja /berkunjung/ berinvestasi pada tempat tertentu). Ada banyak keuntungan yang didapat ketika sebuah kota melakukan city branding yaitu kota tersebut dikenal lebih luas, mempunyai tujuan khusus, mampu menghadirkan investasi, menguatkan untuk tujuan wisata, tempat tinggal, dan event-event. Keuntungan yang diperoleh jika suatu daerah melakukan City Branding (Kemendagri, 2016) antara lain : a. Daerah tersebut dikenal luas (high awareness), disertai dengan persepsi yang baik. b. Dianggap sesuai untuk tujuan-tujuan khusus (specific purposes). c. Dianggap tepat untuk tempat investasi, tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan (events). d. Dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran dan keamanan yang tinggi. Untuk mengukur keberhasilan dari sebuah brand, tidak dapat dilakukan tanpa mengukur performance dari kegiatan pemasaran. Brand akan diingat dengan asosiasi yang kuat, dipersepsikan sebagai produk yang berkualitas, dan loyalitas pelanggan akan terbangun melalui kegiatan-kegiatan pemasaran secara berkesinambungan dan terukur (Yoo, Donthu dan Lee, 2000). Pengukuran 11 keberhasilan kegiatan pemasaran itu dapat dilakukan dengan mengukur nilai yang didapatkan destinasi wisata dan nilai yang didapatkan wisatawan. Aktivitas komunikasi untuk membangun citra kota Solo sebagai kota kreatif, apakah sudah tepat, atau sebaliknya terjadi ketidakefektifan dalam strategi maupun implementasi program-program komunikasi yang telah dilakukan. 3. Kota Kreatif Kota yang baik adalah kota yang dapat memenuhi tiga kebutuhan penduduknya diantaranya kebutuhan psikologi, kebutuhan keamanan, dan kebutuhan berkembang. Parameter kota kreatif yang pertama adalah pengembangan potensi ekonomi kreatif. Dalam ekonomi kreatif kita dapat mengedepankan peran partisipasi komunitas masyarakat dan penentu kebijakan publik serta tata kelola lingkungan hidup yang baik. Kota menjadi wadah dan pemicu kegiatan kreatif. Potensi kota kreatif masih berjalan sendiri, menghambat perkembangannya karena kebijakan publik dan prasarana. Kota kreatif memiliki tiga aspek penting (Landry, 2006 : 390-400) yaitu : a. Pemeliharaan dan pengembangan potensi ekonomi kreatif. b. Pemeliharaan komunitas kreatif (creative class). c. Perencanaan dan pengembangan lingkungan kreatif. Dalam bukunya The Creative City, 2006, Landry mengatakan kota-kota yang berhasil menjadi kota kreatif mempunyai kesamaan dalam visi individu, organisasi kreatif, dan budaya politik dengan tujuan jelas. Diperlukan pimpinan yang mampu menyatukan semua pihak, baik publik, swasta, juga sukarelawan. Kota kreatif harus dibangun setidaknya berdasarkan empat modal utama yaitu : (1) dukungan ekosistem yang kuat, baik dari sisi kebijakan dan regulasi, infrastruktur, SDM, pendanaan, maupun kelembagaan; (2) keterpaduan seluruh rangkaian proses kreasi-produksi-distribusi; (3) tahapan pembangunan yang terukur dengan memperhatikan potensi lokal dan tingkat kesiapan pendukung, antara lain sara na dan prasarana, pelaku usaha, visi dan komitmen pemerintah 12 daerah; serta (4) keterlibatan aktif dan kerjasama dari seluruh pemangku kepentingan dengan pembagian peran yang jelas dan proporsional. Kota kreatif adalah kota yang melakukan riset dan pengembangan untuk menumbuhkan pembangunan ekonomi dengan engine kreativitas. Mesin penggerak kreativitas itu berupa ide atau gagasan yang kreatif dan inovatif yang ditopang oleh kelengkapan infrastruktur kelembagaan dalam keterlibatan unsur ‘quadro helix’ (birokrasi, akademisi, bisnis dan komunitas) serta adanya dukungan infrastruktur digital yang berkualitas dan modern (ICCN, 2016). Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi, serta inovasi telah melahirkan bentuk aktivitas ekonomi kreatif. Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan transformasi dan penguatan struktur ekonomi melalui pengembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu potensi dan kekayaan bangsa ini. Potensi lokal sebagai bagian dari identitas kekayaan daerah menjadi kata kunci dalam pembangunan kota kreatif. Kota kreatif bukan sekedar city branding, tetapi lebih kepada komitmen untuk mengangkat dan mengembangkan potensi kekayaan lokal. Oleh karena itu, visi dan komitmen pemerintah serta keterlibatan forum kreatif menjadi sangat penting dalam pembangunan kota kreatif yang berkelanjutan. Sinergi antar program pembangunan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan inisiatif komunitas atau forum kreatif juga mutlak harus dibangun (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2016). Ekonomi kreatif menyandarkan aktivitasnya pada proses penciptaan dan transakasi nilai. Creative class membangkitkan kekritisan dalam kehidupan berkota, bagaimana mereka berperan dalam menemukan solusi kreatif untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi sehari-hari dalam kehidupan berkota. Lingkungan kota dapat mendukung kegiatan kreatif masyarakatnya dengan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Selain itu, dibutuhkan dukungan berupa lingkungan psikis terkait sikap sosial, dukungan dan toleransi terhadap kreativitas dari pemerintah kota dan masyarakat dalam mewujudkan kota kreatif dan lingkungan fisik terkait dengan fasilitas yang mewadahi kegiatan berkreativitas agar masyarakat dapat berkreativitas dengan optimal (Landry, 2006 : 338). 13 Metode Penelitian Tipe pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan untuk strategi penelitian yang digunakan yaitu studi kasus. Jenis penelitian studi kasus deskriptif dianggap dapat memberikan gambaran mengenai suatu gejala, fakta, atau realita. Objek penelitian ini adalah aktivitas komunikasi city branding kota Solo sebagai kota kreatif yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network (SCCN). Lokasi dalam penelitian ini adalah Kota Surakarta di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta dan Solo Creative City Network (SCCN). Untuk teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yakni menyeleksi orang-orang yang menjadi informan berdasarkan kriteria menurut tujuan penelitian. Penelitian ini menetapkan informan yaitu Budy Sartono, Kepala Bidang Pelestarian, Promosi, dan Kerjasama, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta. Gembong Hadiwibowo, Kasi Bidang Pelestarian, Promosi, dan Kerjasama, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta. Paulus Mintarga, Inisiator Solo Creative City Network (SCCN), dan Ketua Indonesia Creative City Network (ICCN). Sutanto Sastraredja, Penasihat Solo Creative City Network (SCCN) dan Indonesia Creative City Network (ICCN). Sukriyah, Kepala Bidang Ekonomi Bappeda Kota Surakarta. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer sebagai data utama. Digunakannya data sekunder bukan menjadi utama dalam penelitian ini karena sebatas untuk memperkuat hasil wawancara semata. Sedangkan untuk teknik pengumpulan data menggunakan wawancara. Dalam analisis data, teknik yang digunakan yaitu teknik penjodohan pola (pattern matching) milik Robert K. Yin (2002: 116) yaitu teknik yang dilakukan dengan cara membandingkan pola yang didasarkan atas empiri dengan pola yang diprediksikan (prediksi alternatif). Jika kedua pola ini ada persamaan, maka menguatkan validitas internal dalam studi kasus. 14 Berbicara mengenai studi kasus deskriptif, maka penjodohan pola akan relevan dengan pola variabel-variabel spesifik yang diprediksi dan ditentukan sebelum pengumpulan data. Sajian dan Analisis Data Penyajian data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sekaligus dilakukannya analisis oleh peneliti. Sajian dan analisis data yang dilakukan merupakan hasil dari penelitian yang diperoleh di lapangan sesuai dengan fokus penelitian yang diambil peneliti. Data yang terkumpul yaitu dari sumber data primer berupa wawancara langsung dengan para informan. Hasil penelitian berdasarkan teori komunikasi citra kota Kavaratzis dalam (Yananda dan Salamah, 2014 : 76) berupaya menggabungkan antara pemasaran kota dengan branding. Hal ini, membuktikan bahwa peran komunikasi sangat penting dalam membentuk branding, untuk lebih jauh mengenalkan kepada masyarakat potensi dan keunikan yang dimiliki suatu daerah tertentu. Ia menggambarkan bagaimana brand berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, fungsional maupun bermakna simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer, komunikasi sekunder dan komunikasi tersier. 1. Komunikasi Primer Dalam komunikasi primer, ada empat hal yang disajikan dan dianalisis peneliti. Pertama, Tugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, adalah mendorong kreativitas dan mempromosikan hasil kreativitas masyarakat kota Solo. SCCN berperan sebagai fasilitator komunitas-komunitas kreatif di kota Solo. SCCN melakukan riset, membuat ide-ide kreatif dan menciptakan engineengine creative. Kedua, aktivitas mengenalkan kota Solo sebagai kota kreatif diwujudkan dengan Konferensi Kota Kreatif Indonesia yang digelar pertama kali di kota Solo. Ketiga, ada perbedaan pendapat antara pihak Disbudpar dan SCCN terkait nilai atau potensi dari kota Solo sehingga belum ada keputusan mengenai potensi yang menonjol dari kota Solo. Keempat, Pihak-pihak yang terlibat dalam 15 menyebarluaskan pengalaman di kota Solo sebagai kota kreatif pada umumnya adalah masyarakat kota Solo. Secara khusus adalah SCCN, tidak hanya di penyelenggaraan event tetapi juga mendiskusikan bagaimana kelanjutan mengenai kota Solo sebagai kota kreatif. 2. Komunikasi Sekunder Dalam komunikasi sekunder dipaparkan hal-hal terkait aktivitas pemasaran kota yang disengaja dan terencana. Aktivitas pemasaran dilakukan sebagai upaya memperkenalkan dan mempromosikan potensi kota Solo. Jika pengajuan aplikasi ke UCCN tahun 2017 lolos, maka kota Solo akan sejajar dengan kota-kota kreatif dunia dan berdampak pada tingkat kunjungan wisatawan. Proses perencanaan program promosi dilakukan secara bottom up dan melibatkan semua stakeholder termasuk di dalamnya SCCN. Pihak Disbudpar dan SCCN mengalami hambatan. Kebijakan kota Solo sebagai kota kreatif belum ada. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta lebih banyak menggunakan media sebagai sarana komunikasi dibanding SCCN. Kerjasama lebih banyak dilakukan oleh Disbudpar. Meskipun sudah melakukan aktivitas komunikasi pemasaran, hasil yang diperoleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta belum memuaskan. Membantu SCCN semakin dikenal dan komunitas lain ikut bergabung. Bentuk evaluasi, Disbudpar melakukan evaluasi tiap akhir program atau event dan juga evaluasi tiap akhir tahun. Semua evaluasi melibatkan seluruh stakeholder. SCCN mengevaluasi event Konferensi Kota Kreatif Indonesia, dan Bamboo Bienalle. SCCN dilibatkan dalam evaluasi yang ada di pemerintah kota Surakarta terkait branding kota kreatif. 3. Komunikasi Tersier Komunikasi tersier adalah komunikasi yang berhubungan dengan laporan media. Tanggapan masyarakat kota Solo maupun luar Solo yang positif dan terbuka atas brand kota Solo sebagai kota kreatif. Tanggapan media pun serupa. Disbudpar lebih berupaya untuk mendapat pemberitaan di media dibanding SCCN. Menjaga hubungan dan komunikasi dengan para 16 pewarta media dilakukan Disbudpar maupun SCCN. Media diharapkan memberikan pemberitaan yang baik dan berdampak positif terkait keunggulan kota Solo sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan. Aktif mengawal kreativitas masyarakat kota Solo agar kreativitas itu senantiasa tumbuh dan tidak mati di tengah jalan. Kesimpulan Pemerintah kota Surakarta dalam mengembangkan ekonomi kreatif Tahun 2015-2025 menetapkan visi “Terwujudnya Kota Surakarta sebagai Kota Kreatif Berbasis Budaya dan Ekologi.” Pembangunan diarahkan untuk terwujudnya kota dan masyarakat yang kreatif, inovatif, menjunjung moralitas serta budi pekerti dengan tetap mempertahankan warisan budaya dan menjaga kelestarian lingkungan. Peneliti melakukan penelitian bagaimana aktivitas komunikasi yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surakarta serta Solo Creative City Network (SCCN) dengan menggunakan teori Mikhail Kavaratzis (dalam Yananda dan Salamah, 2014 : 76), menggambarkan bagaimana brand berkomunikasi melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, fungsional maupun bermakna simbolik. Aktivitas komunikasi tersebut, terdiri dari komunikasi primer, komunikasi sekunder, dan komunikasi tersier. Aktivitas komunikasi primer yaitu komunikasi yang berhubungan dengan pengalaman langsung konsumen terhadap barang atau jasa, terkait dengan potensi, pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh suatu kota namun memiliki efek komunikasi yang bersifat tidak disengaja. Komunikasi sekunder adalah komunikasi yang berhubungan dengan aktivitas pemasaran kota yang disengaja dan terencana, contohnya iklan dan kegiatan promosi lainnya. Komunikasi tersier adalah komunikasi yang berhubungan dengan adanya laporan media. Dari uraian penelitian tersebut, baik pihak Disbudpar dan SCCN sudah melakukan ketiga aktivitas komunikasi brand kota sesuai teori 17 Mikhail Kavaratzis. Meskipun memiliki perbedaan tanggung jawab namun kerjasama diantara keduanya dinilai berjalan baik dalam aktivitas branding kota Solo sebagai kota kreatif. Mereka giat mengadakan event-event kreatif dari potensi yang dimiliki guna menarik wisatawan. Adanya sinergi dan komitmen dari semua pihak akan mempermudah pembangunan kota Solo. Selain itu, upaya untuk mewujudkan kota Solo agar sejajar sebagai kota kreatif dunia versi UNESCO, seperti kota Pekalongan dan Bandung, diharapkan dapat tercapai tahun 2017. Saran Berdasarkan data hasil penelitian, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut : 1. Pemerintah diharapkan lebih berkomitmen dan fokus dalam branding kota Solo sebagai kota kreatif. Ada sinergi dan kerja nyata dari semua pihak. Bukan sekadar latah mengangkat branding. 2. Pemerintah diharapkan segera membuat Peraturan Daerah atau regulasi terkait kebijakan kota Solo sebagai kota kreatif. 3. Dalam upaya aplikasi kota Solo ke UCCN tahun 2017 mendatang, hendaknya dikaji bersama sehingga apa yang diupayakan pemerintah dan SCCN berjalan seirama dan memperoleh hasil yang baik. 4. Penelitian selanjutnya, peneliti mengharapkan akan ada penelitian lanjutan mengenai efektivitas dari branding kota Solo sebagai kota kreatif. Daftar Pustaka Bappeda Surakarta. Ekonomi Kreatif. 2013. http://bappeda.surakarta.go.id/content/ekonomi-kreatif-2013, diakses 3 April 2016. Cangara, Hafied H. Perencanaan & Strategi Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Fajar, M. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2009. ICCN. Halaman Depan. 2016. http://iccnmedia.org/, diakses 2 April 2016. 18 Kemendagri. City Branding untuk Pemda Perlukah. 12 April 2013. http://www.kemendagri.go.id/article/2013/04/12/city-branding-untukpemda-perlukah, diakses 29 Januari 2016. Kotler, Philip & Kevin Lane Keller. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Erlangga, 2000. Landry, C. The Creative City : A Toolkit for Urban Innovators 2nd Edition. Comedia, 2006. Mila Gasco-Hernandez dan Teresa Torres-Coronas. Information Communication Technologies and City Marketing: Digital Opportunities for Cities Around the World. New York : Information Science, 2009. Mollanen, Teemu, Seppo Rainisto. How to Brands Nations, Cities and Nations : A Planning Book for Place Branding. England : Palgrave Macmillan, 2009. Yananda, R. M., dan Salamah, U. Branding Tempat : Membangun Kota, Kabupaten dan Provinsi Berbasis Identitas. Jakarta: Makna Informasi, 2014. Yin, Robert K. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Yoo, B., N. Donthu dan S. Lee. An Examination of Selected Marketing Mix Elements and Brand Equity. Journal of the Academy of Marketing. Vol. 28 No. 2, pp. 195-211. 2000. 19 19