GUBERNUR WAKIL GUBERNUR PILIHAN RAKYAT APBD DAN “GOOD GOVERNANCE” ACEH Oleh : Jamaluddin Ahmad 1. Pendahuluan Hampir 100% kegiatan pemerintah secara nasional dalam melaksanakan roda pemerintahan, apakah itu kegiatan melaksanakan administrasi pemerintahan, berbagai fungsi pelayanan publik dan kegiatan pembangunan lainnya tercermin dan terakomodasi dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Demikian juga secara daerah, apakah itu pemerintahan provinsi ataupun pemerintahan kabupaten/kota tercermin dan terakomodasi dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). APBN atau APBD, sering diberi julukan sebagai “lokomotif” kegiatan ekonomi, karena dari pendekatan pengeluaran (expenditure approach), apakah itu pengeluaran konsumsi ( C ), pengeluaran investasi ( I ) dan pengeluaran pemerintah ( G ), sebagai suatu persamaan identitas (identity) dari kegiatan ekonomi atau permintaan agregat (AD) atau Produk Domestik Bruto (PDB), secara nasional atau produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara daerah. Secara singat dapat dirumuskan : AD=PDB=C+I+G dalam sistem ekonomi tertutup. Kalau sistem ekonomi terbuka menjadi AD = PDB=C+I+G +X-M dimana : X = ekspor M= impor Salah satu kebijakan utama pemerintah di sektor ekonomi adalah kebijakan fiskal (fiscal policy) . Kebijakan fiskal itu dapat dipelajari melalui APBN (maupun APBD), dan seterusnya APBN (APBD) dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi atau permintaan Agregrat (Agregate demand) melalui efek pengganda (multiflier effect). APBN atau APBD semacam apa yang dapat disebut sebagai “lokomotif” kegiatan ekonomi ?. Jawabannnya tergantung pada besaran dan struktur APBN atau APBD itu sendiri. APBN-RI sejak krisis sampai sekarang ini (2007), dipahami tidak dapat lagi dijadikan sebagai “lokomotif” kegiatan ekonomi, karena beban utangnya sudah terlalu berat. Dengan demikian APBN kehilangan kebebasan atau APBN kehilangan kebebasan atau kelonggaran atau diskresi (discretion), sehingga APBN Makalah disampaikan pada Seminar satu hari kerjasama antara Tunas Aceh Research Institute dan World Bank, Banda Aceh di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Jamaluddin Ahmad adalah Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi Publik pada Program S1, S2 dan S3 Fakultas Ekonomi Unsyiah 1 tidak dapat dijadikan untuk menstimulasi kegiatan ekonomi atau tidak biasa menjadi “Fiscal Stimulus”. Sebagian besara belanja APBN terpaksa digunakan untuk membayar utang, menanggung beban susidi BBM menanggung bunga pinjaman dalam negeri dan beban rutin lainnya. Dana yang tersisa untuk membiayai kegiatan pembangunan sangat terbatas. Akibat krisis, pemerintah terpaksa (terperangkap) harus melaksanakan sejumlah kebijakan yang sangat memberatkan beban APBN. Berbabagai kebijakan yang harus dilakukan adalah (a) Kebijakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia); (b). Kebijakan Penjaminan Bank dan (c) Kebijakan rekapitalisasi. Tiga kebijakan ini menyebabkan hutang Indonesia di dalam negeri lebih dari Rp 643 trilliun, Sekarang sudah mencapai lebih dari US $ 82 milyar. APBN menanggung bunga saja atas 3 kebijakan tersebut mencapai sekitar Rp 50 trilliun setiap tahunnya. Periode 2004 sampai 2009, merupakan periode jatuh tempo obligasi (bonds) yang dikeluarkan oleh pemerintah cukup banyak dan harus ditebus atau dibeli kembali (buyback). Oleh karena uangnya (dananya) tidak ada maka dilakukanlah penjadwalan atau merestruktur waktu jatuh tempo berbagai “bonds” tersebut dalam beragam waktu dan beragam jenis “bonds”, seperti dikenal ORI (Obligasi Republik Indonesia), dan SUN (Surat Utang Negara). Supaya SUN ini laku dijual, tentu dirangsang dengan suku bungan (interst rate) yang relatif tinggi, malah ada yang ditawarkan dalam nilai US$. Inilah suatu paradok, di mana pemerintah menyuruh Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga guna mendorong investasi, dalam waktu yang bersamaan pemerintah menaikkan suku bunga obligasi supaya obligasi dan SUN laku. Bila dipahami secara tepat sebenarnya beban APBN masih terlalu berat. Dewasa ini adalah periode bagaimana menyelamatkan APBN atau populer disebut dengan istilah kesinambungan fiskal (Fiscal Sustainability), yang harus dilakukan secara komprehensif, baik melalui berbagai pos pendapatan, maupun melalui berbagai pos belanja. Malah ada kebijakan yang aneh-aneh yaitu menaikan belanja rutin berbagai tunjangan DPRD, melalui PP37/07. Walalupun beban PP no. 37 adalah APBD, tetapi tetap beban NKRI juga, bukan beban Republik Mimpi. 2. Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih dan APBD NAD Dengan otonomi daerah walaupun APBN tidak dapat diharapkan banyak untuk menstimulasi kegiatan ekonomi secara nasional tetapi masing-masing daerah dengan APBD mereka (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat membangun dan memajukan ekonomi mereka masing-masing secara lebih otonom dan lebih maju. Ini sangat bisa dilakukan dan dicapai kalau mau “Bisa Kalau Mau”, bersama kita bisa dan telah terbukti di beberapa daerah. Sekadar contoh antara lain dapat dikemukakan Ibu Bupati Karanganyer, hanya kabupaten yang relatif miskin, bisa membebaskan uang sekolah sampai SMU dan meningkatkan partisipasi pegawai dan masyarakat untuk mempercepat pembangunan daerahnya. Hari kerja kantor bukan diturunkan dari 6 hari menjadi 5 hari, tetapi dinaikan menjadi 7 hari. 2 Bapak Bupati Jembrana di salah satu kabupaten di Bali, yang PAD nya sekitar Rp 10 milyar, kok bisa mengelola APBD secara optimal, maupun membebaskan uang sekolah sampai SMU, mampu meningkatkan disiplin pegawai dan partisipasi masyarakat. Bapak Bupati, Sang Guru Besar merasa sudah cukup terhormat hanya dengan menggunakan mobil kijang kapsul tahun 2000. Bapak Bupati Kutai Barat, memang cerdas, berwibawa dan daerahnya kaya, karena banyak migas, tidak tenggelam dengan kekayaan dan tidak larut dalam kemewahan, walaupun Bapak Bupati Kutai Barat ini keturunan Raja Kutai. Proses pembangunan di daerahnya sangat luar biasa. Aspek pendidikan mendapat perhatian yang cukup tinggi dan mencapai kemajuan yang sangat pesat. Bapak Gubernur Gorontalo, Tuan Fadel waktu pelantikan Irwandi & Nazar turut hadir, tanda solidaritas dan pernyataan dukungan. Provinsi Gorontalo hanya 4 kabupaten dengan potensi di bawah rata-rata nasional. Bapak Gubernur Fadil Muhammad bersama dengan pegawai dan rakyatnya, dapat mengelola pemerintahan secara “Good Governance” sehingga mencapai kemajuan pesat, terutama dibidang komoditi jagung dan kelautan. Jabrana, Gorontalo, Karanganyar dan berbagai daerah lain yang berhasil adalah bukti-bukti nyata, bisa, kalau kita mau mempercepat kemajuan dan mengeliminir kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan. Bagi Bapak Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, lebih bisa lagi lebih dapat, kalau mau, karena berbagai kondisi lebih mendukung. Atau dengan perkataan lain merupakan momentum yang tepat untuk memulai keberhasilan awal untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan yang lebih cepat dan lebih besar di masa yang akan datang. Momentum yang menentukan ini antara lain adalah : Aceh Pasca Tsunami telah menggugah empati nasional dan masyarakat internasional, mengucurkan dana, tenaga dan pikiran. Ini perlu diingatkan betul jangan ada yang menzalimi. Dana yang mengalir ke Aceh dan Nias adalah dana “Takziah” atas korban yang sudah terjadi. Kita yang hidup, lebih-lebih yang mengelola jangan sampai menzalimnya. Situasi damai yang didukung oleh MoU Helsinki dan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Terdapat sejumlah kewenangan dan kekhususan, serta tambahan pendapatan migas menjadi 70% (beda dengan daerah lain) dan tambahan 2% sebagai dana otonomi khusus sejak tahun 2008 (sampai 15 tahun). Seterusnya 1% mulai tahun ke 16, (2% dan 1 % dari dana setara DAU nasional menurut APBN tahun bersangkutan). Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat dengan dukungan suara mayoritas yang berbeda secara nyata (significant) dari calon lainnya dan merupakan calon independen. Bersamaan dengan pemilihan Bupati/Walikota di 19 kabupaten/kota dari 21 kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam. Sama-sama dengan semangat baru, periode yang sama dan merupakan kepala daerah yang diplih langsung oleh rakyat bukan pejabat sementara. 3 Memulai dengan bulan-bulan awal tahun fiskal atau APBD 2007 di mana visi-misi, sasaran , tujuan, program dan kegiatan diputuskan dan di mulai dengan langkah awal yang harus tepat. 3. Memulai dengan APBD Baru Di bagian awal telah dikemukankan bahwa APBN atau APBD dapat dijadikan “lokomotif” kegiatan ekonomi, APBD seperti apa ?. APBN selama ini sangat tidak bisa menstimulasi kegiatan ekonomi, karena bebannya berat, APBD NAD tidak ada beban. Struktur APBD akan menentukan kegiatan, program, sasaran, tujuan, misi dan visi daerah ini ke depan, secara realistik dan tepat. Untuk menyusun dan memutuskan anggaran berbasis kinerja (peformance based budget), setiap kegiatan yang tercermin dalam APBD sebagai rencana tahunan jangka pendek, haruslah merupakan penjabaran dari rencana jangka menengah 5 tahun dan seterusnya rencana jangka menengah 5 tahun haruslah merupakan penjabaran dari rencana jangka panjang 20 atau 25 tahun guna mencapai visi dan misi. Apakah APBD NAD tahun ini, Resntra Lima Tahun, dan RPJP 20-25 sudah disusun secara realistik dan benar? Dengan perkataan lain antara rencana tahunan APBD, Rencana Jangka Menengah (Rencana Strategis 5 tahun) dan Rencana Jangka Panjang (RPJP) 20-25 tahun haruslah terdapat “Benang Merah” yang jelas dan gamblang, setiap kegiatan yang dilakukan tahun ini, haruslah terdapat “benang merah” untuk mencapai visi, misi 20-25 kedepan. APBD selama 5 tahun haruslah dapat mencapai rencana jangka menengah (renstra) 5 tahun dan 4 atau 5 periode 5 tahunan, bila dijumlahkan menjadi dan mencapai Rencana Jangka Panjang (RPJP) 20-25 tahun, yaitu mengacu kepada capaian visi-misi. Tiap kegiatan dan program haruslah dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Penjumlahan kegiatan harus mendukung program. Penjumlahan program dapat mencapai tujuan, penjumlah tujuan dapat mencapai sasaran dan penjumlahan sasaran dapat mendukung dan mencapai visi dan misi. Untuk mengukur anggaran yang berbasis kinerja, haruslah dipahami konsep yang menyangkut dengan : Masukan (input) Keluaran (output) Hasil (outcome) Manfaat (benefit) Dampak (impact) Ada kerangka logis (logic model) antara ke lima komponen dan proses tersebut sebagai berikut : 4 Input Output Outcome Menghasilkan Benefit Impact Input dapat berupa uang, SDM, waktu, material yang dipakai. Berbagai input misalnya membangun gedung sekolah, maka diperoleh output gedung sekolah sesuai dengan spesifikasi secara cepat. Bila gedung sekolah sudah ada (output) seterusnya bagaimana proses mengajar-belajar, ini melibatkan sejumlah kegiatan. Seterusnya kalau proses belajar mengajar sudah berjalan, bagaimana hasilnya (outcome) seperti jumlah dan kualitas kelulusan, seterusnya berapa anak didik yang dapat masuk ke Perguruan Tinggi terkemuka dengan fakultas atau bidang sudi yang diinginkan dalam bentuk manfaat (benefit). Seterusnya setelah lulus dalam jumlah dan kualitas yang memuaskan dapat bekerja dengan produktivitas dan kualitas yang tinggi, tentunya dengan pendapatan yang lebih tinggi pula (dampak-impact) sebagai hasil akhir yang hendak dicapai, secara singkat dapat disimpulkan : Masukan (input) jumlah dana sumber daya dan faktor lain yang dibutuhkan. Keluaran (output) jumlah dan kualitas, barang/gedung atau pelayanan yang disediakan Hasil (outcome), yaitu apa yang dihasilkan melalui output Manfaat (benefit) yaitu gambaran manfaat positif dari outcome yang telah dicapai Dampak (impact), yaitu hasil akhir yang dituju. 4. Besaran dan Struktur APBD-2007 Kegiatan ekonomi atau berbagai kegiatan lain, itu tergantung pada besaran dan struktur APBD. Dilihat dari segi besaran APBD Aceh secara relatif (posisi luas daerah, penduduk, dan sejumlah kreteria lain), pendapatan menurut APBD, cukup berarti seperti angka-angka sementara sebagai berikut : dalam Rp milyar (M). PAD Rp 537,5 milyar (Rp 366,6 milyar tahun 2006 setelah perobahan) BHP & BP 1.464,1 milyar (Rp3.037,9 milyar tahun 2006 setelah perobahan) DAU 487,9 milyar (Rp 460,8 m tahun 2006 setelah perobahan) Dana otonomi khusus 2% ada sekitar 3,5 triliun (sejak tahun 2008) Pendapatan dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHP & BP), menurut hemat saya terlalu kecil ditargetkan, yaitu tidak sampai 50% dari tahun lalu setelah perobahan, yaitu Rp 1,464,1 milyar (2007) dan Rp 3,037,9 milyar (2006). Penerimaan 5 dari migas Aceh memang dalam posisi yang sedang menurun, tetapi turunnya tidak lebih dari 20%. Bila dalam perjalanan sepanjang tahun 2007, penerimaan dari migas (komponen terbesar dari BHP & BP) bertambah, tambahan ini dapat diakomodasi dalam APBD perubahan pada bulan Juni atau Agustus harus sudah ditetapkan APBD perubahan. Tampak bahwa ada sekitar lima sampai enam triliun rupiah setiap tahunnya dana yang dikelola oleh Gubernur/wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jumlah ini cukup berarti bila dikelola secara tepat. Seterusnya yang perlu dipertanyakan seperti apa struktur APBD NAD ?. Selama ini dana dari BHP dan BP sekitar 30% digunakan untuk pendidikan yang pengelolaannya masih sangat “amboradol”. Setiap tahun keterlambatan pengesahan anggaran antara lain disebabkan penyusunan kegiatan dan program dari dana pendidikan yang saban tahun terlambat. Dampak lebih lanjut adalah posisi pendidikan di NAD berada pada nomor dua atau tiga dari belakang diantara provinsi lainnya di Indonesia. Seterusnya menyangkut dengan kegiatan ekonomi dan kemiskinan, Acehlah yang paling terparah dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Memang Aceh didera oleh konflik yang berkepanjangan dan ditutup dengan musibah Tsunami serta berbagai bencana alam lainnya. Bayangkan berapa banyak anak-anak dinegeri ini yang lahir dalam periode konflik dengan serba kekurangan, didera oleh berbagai penyakit seterusnya tentu tidak bersekolah. Konsekwensi lebih lanjut adalah keboodahan dan kemiskinan. Bila anak-anak ini memasuki angkatan kerja tentu dengan produktivitas yang sangat rendah atau tidak bisa bekerja sama sekali, apalagi dalam situasi ekonomi yang terpuruk. Melihat kepada kondisi yang ada (present condition / existing condition), hanya ada dua masalah yang menonjol, yaitu masalah pendidikan dan ekonomi (ekonomi kerakyatan). Oleh karena itu program utamanya juga hanya dua, yaitu program pemberdayaan ekonomi (kerakyatan) dan program pendidikan. Program lain (kalaupun harus ada) adalah yang mendukung kedua program ini. Buatlah rencana kegiatan-kegiatan secara tepat guna mendukung program pendidikan dan ekonomi. Jangan sampai kegiatan yang muncul setiap tahun seperti bagi bibit, kebanyakan tidak ditanam, kalaupun ada yang ditanam ternyata setelah 5 tahun tidak berbuah, atau buahnya asam. Tampak dewasa ini dinas-dinas lebih pada melaksanakan kegiatan ekonomi atau adanya berbagai UPTD, yang lebih kepada “business unit”. Bukan kegiatan dan program yang tepat dan mendukung ekonomi rakyat. Konsep mengenai uang (money) mengikuti kegiatan (fungsi) atau “money follow function” perlu dipahami secara tepat, jangan sampai dalam pembahasan APBD membagi-bagi uang kepada berbagai institusi, apakah itu biro, dinas, badan atau unit kerja lainnya yang mengacu kepada berapa besar masing-masing institusi tersebut mendapatkan dana tahun yang lalu. Kalau tahun ini pendapatan dari APBD bertambah berbagai institusi tersebut mendapatkan tambahan dana untuk 6 dihabiskan. Ada dana terlebih dahulu baru disusun kegiatan dan program. Ini merupakan cara befikir yang salah. Jangan dibalik-balik. “Money follow function, bukan function follow money”. Kalau masalah utama yang kita hadapi adalah masalah ekonomi berakyatan dan pendidikan, maka sebagian besar dana dialokasi ke kegiatan, program, sektorsektor ini. Berbagai kegiatan program, sektor lain mendukung masalah dan sektor utama tersebut. Janga sampai tujuan utama menjadi embel-embelan dan yang embelembelan menjadi tujuan utama. 5. Struktur dan Besaran APBD menentukan Permintaan Agregat atau Kegiatan Ekonomi APBD sebagai “lokomotif” kegiatan ekonomi itu tergantung pada besaran dan struktur APBD itu sendiri. Struktur APBD menentukan besaran berbagai pos APBD, baik berbagai pos pendapatan maupun berbagai pos belanja. Pada tulisan ini kita fokuskan pada pos belanja (G), karena pos-pos inilah yang menentukan Permintaan Agregat atau tingkat kegiatan ekonomi. Kalau belanja APBD ditujukan untuk belanja rutin aparatur, maka efek pengganda menjadi lebih kecil. Kalau membeli mobil dinas ini akan memperbesar biaya rutin lebih lanjut, apakah itu untuk BBM, pemeliharaan, supir dan seterusnya. Bila berbagai pos belanja dibelanjakan ke daerah lain atau ke luar negeri, maka tidak akan ada pengaruh pada kegiatan ekonomi di Aceh, malah dana dari daerah ini bocor (leakages), ke luar daerah atau ke luar negeri. Sama halnya kegiatan BRR selama ini, kalau berbagai material (input) dimasukkan itu dari luar daerah, maka daerah pemasuk itu yang tergerak ekonominya. Demikian juga bila sebagian besar orang yang bekerja di BRR dari luar, maka gaji yang lumanyan besar yang mereka terima sebagian besar dikirim ke kota atau kampung mereka. Yang dibelanjakan di Aceh hanya sebagian kecil, apakah untuk sewa rumah, atau biaya makan lainnya. Jadi sebagian besar dana bocor (leakages) ke luar daerah. Konsep pelipat (multiplier effect) secara sederhana dapat diformulasikan : K 1 1 MPC bila beli barang K MPC 1 MPC bila bayar gaji 7 MPC = Kencendrungan menambah konsumsi karena ada tambahan pendapatan (marginal propensity to consume) MPC dapat dihitung berapa besarnya,misalkan MPC = 0,8 Bila G belanja dari APBD Aceh seluruhnya sebesar Rp 5 triliun, separuhnya atau Rp 2,5 triliun untuk bayar gaji dan gaji tersebut dibelanjakan di Aceh ini, maka kegiatan ekonomi yang tercipta dari G bayar gaji sebesar : 0,8 X Rp 2,5T 1 0,8 4 X Rp 2,5T Rp 10T PDRB bila bayar gaji Seandainya Rp 2,5 T lagi digunakan untuk membeli barang di dalam daerah 1 xRp 2,5T atau digunakan untuk kegiatan pembangunan maka 1 0,8 5 X Rp 2,5T Rp 12,5T PDRB Jelas bahwa efek pengganda menjadi lebih besar bila ditujukan untuk kegiatan pembangunan. Ditambah lagi dalam kegiatan pembangunan itu misalnya untuk bikin jalan, maka jalan tersebut dapat mendukung kelancaran berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Karenanya dari segi pandang ekonomi perlu ada pengurangan (saving rutine) pada belanja rutin (katakanlah untuk gaji pegawai) guna dapat diperbesar belanja pembangunan, di samping efek pengganda lebih besar dan seterusnya dapat menstimulasi (fiscal stimulus) kegiatan ekonomi secara lebih besar. 6. Kepemerintahan yang Baik dan Bertanggungjawab (Good Governance) Anggaran berbasis kinerja (performance Based Budget) atau APBD, atau rencana tahun berbasis kinerja merupakan ciri-ciri utama kepemerintahan yang baik. Anggaran berbasi kinerja (APBD, Rencana Tahunan) haruslah nyambung (linkages) dengan Resntra dan Renstra seterusnya nyambung dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk mencapai visi-misi. Visi – Misi merupakan salah satu kriteria utama kepemerintahan yang baik (good governance). Ciri-ciri kepemerintahan yang baik dapat dikemukakan butir-butir sebagai berikut : Transparan-keterbukaan (transparency) Akuntabilitas (Accountability) bertanggungjawab kepada publik Informatif dengan pasar persaingan yang sehat Berdasarkan hukum (rule of law) Adil (equity), ada kesempatan yang sama untuk mendapat keadilan dan kesejahteraan Efisien dan efektif (efficiency and effectiveness) Partisipasi dan demokrasi (participation) 8 Keterlibatan stakeholders dalam pengambilan keputuasan melalui perwakilan (democratic) Responsif (responsiveness), lembaga publik cepat tanggap dalam melayani “stakeholders” Jauh melihat ke depan (strategic vision) 7. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, berikut ini dapat disimpulkan dalam butir-butir, yaitu : a) Ada faktor-faktor yang sangat mendukung keberhasilan kepemimpinan baru di Aceh, berbagai faktor tersebut adalah ; Proses damai dengan landasan hukum MOU Helsinki dan UUPA No 11 tahun 2006 Empati masyarakat dunia paska tsunami, yang diawali dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi, pemegang amanah harus bertanggung-jawab secara penuh atas “uang takziah ini”. Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati/Walikota yang dipilih secara langsung. Dana APBD yang relatif besar dan kewenangan yang lebih besar menurut UUPA No.11 tahun 2006 b) Perlu dipahami secara tepat tentang masalah utama yang dihadapi daerah selepas dari konflik yang bekepanjangan dan bencana alam, terutama aspek keterpurukan ekonomi dan pendidikan. Jadikan masalah utama ditangani secara utama, jangan terbalik-balik,. Mana yang utama, mana yang pendukung dan seterusnya. c) APBD yang hendak disahkan sungguh-sungguh nyambung (linkages) dengan Rencana Lima tahun (Renstra) dan Renstra nyambung dengan Rencana Jangka Panjang/Visi-Misi. Setiap kegiatan tahun ini (2007) tampak “benang Merahnya” dan punya kontribusi pada pencapaian visi – misi 20-25 tahun ke depan. Tiap rupiah yang keluar terukur dan tidak sia-sia. d) Kalau mau bisa, bersama kita bisa. Lebih-lebih bagi Aceh dengan sejumlah kewenangan dan dana yang lebih secara relatif dari provinsi lain. Provinsi dan kabupaten lain sudah membuktikan seperti, di Jambrana, Karanganyer, Kutai Barat, Gorontalo dan lain-lain. Kalau orang nomor satu pada setiap jenjang pemerintah sudah punya amanah, komitment, rakyat pasti mendukungnya “Selamat Bekerja Para Pemimpin Aceh Baru”. 9 KEPUSTAKAAN Ahmad, J (1990). Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia; Kasus : Aceh, Jawa Timur dan DKI-Jakarta (Disertrasi, S3, UGM, Yogyakarta), Tidak dipublikasi. Devas, N. dkk (1989). Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia; UI-Press, Jakarta LGSP-USAID (2006), Performance Based Budget, Jakarta Mardiasmo (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta Musgrave, R.A. and Musgrave, P.B (1984). Public Finance in Theory and Practice; AcGraw-Hill Book Company, New York, USA Rahmany, A.F (2004). Ketahanan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam negeri Pemerintah”; Dalam kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Republik Indonesia (2006) Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Jakarta Republik Indonesia (2004) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan, Jakarta Republik Indonesia (2004) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta Rondinelly D.A.;, dkk (1984). Decentralization in Developing Countries : A.Review Recent Experience. The World Bank DC Word Bank (1997). World Development Report, The State in a Changing World, Washington DC 10