MAKALAH PRESENTASI KASUS Diare Akut Dehidrasi Ringan-Sedang Oleh: Gracia J Kartiko 0906552624 Narasumber: dr. Jonardi, SpA MODUL KESEHATAN ANAK DAN REMAJA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2014 BAB I ILUSTRASI KASUS IDENTITAS PASIEN Nama : An. EWK Jenis kelamin : Laki-laki Tanggal lahir : 28 Mei 2013 Usia : 9 bulan 21 hari Agama : Islam Kebangsaan : Indonesia Alamat rumah : Wisma Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur Nama orang tua : Tn. AR (40 tahun) dan Ny. R (34 tahun) Care taker : Ibu pasien Nomor rekam medis : 2100518 Admisi : Senin, 17 Maret 2014, pukul 13.50 Diperiksa : Selasa, 18 Maret 2014, pukul 14.30 ANAMNESIS (Alloanamnesis Ibu pasien) Keluhan Utama Mencret sejak 2 hari smrs. Riwayat Penyakit Sekarang 7 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien demam, namun suhu tidak diukur. Suhu badan dirasakan lebih tinggi pada malam hari. Pasien juga batuk dan pilek. Pasien diberi obat warung, namun keluhan tidak berkurang. 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mencret sebanyak 3 kali, volume + ½ gelas aqua/kali, tinja berwarna kecoklatan, cair, terdapat ampas, tidak ada perubahan bau, tidak tampak lendir ataupun darah. Pasien muntah 1 kali, berisi makanan. Terdapat demam 38oC. Pasien dibawa ke klinik, diberik antibiotik dan puyer. Pasien masih dapat minum dan tampak lebih haus dari biasanya. Pasien lebih rewel dan sering menangis. Air mata ada saat menangis. 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mencret 6 kali, volume + ½ gelas aqua/kali, tinja berwarna kecoklatan, cair, terdapat ampas, tidak ada perubahan bau, tidak tampak lendir ataupun darah. Tidak ada muntah. Pasien masih demam, namun suhu tidak diukur. Pasien masih dapat minum, tampak haus, dan rewel. Air mata ada saat menangis. Air kencing berwarna kuning pekat, lebih sedikit dari biasanya. Menangis saat kencing tidak ada. Saat dibawa ke poli RSP, pasien mencret 3 kali, volume + ½ gelas aqua/kali, tinja berwarna kecoklatan, cair, terdapat ampas, tidak ada perubahan bau, tidak tampak lendir ataupun darah. Tidak ada muntah. Pasien tidak demam. Berat badan pasien sebelum sakit adalah 9,4 kg (Februari 2014), saat di poli RSP, berat badan pasien 9,1 kg. Riwayat Penyakit Dahulu Saat berusia 8 bulan, pasien demam dan batuk, didiagnosis tonsilofaringitis akut viral, diberi paracetamol drop 4 x 2 ml oleh dokter poli RSP. Saat berusia 8 bulan 2 minggu, pasien demam (40oC), kemerahan di kulit, serta perut kembung, didiagnosis eksantem viral, diberi imboost 2 x 1 oleh dokter poli RSP. Riwayat mencret sebelumnya, alergi, kuning, sesak, campak, menangis saat berkemih, kejang disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan diare, muntah, atau demam. Tidak ada riwayat kejang di keluarga. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan Pasien tinggal di rumah milik nenek bersama kedua orang tua, kakak laki-laki, dan neneknya. Ayah pasien adalah seorang pegawai hotel dengan pendidikan terakhir SMA, sementara ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga dengan pendidikan terakhir SMA. Ayah pasien berasal dari Kalimantan dan ibu pasien berasal dari Jawa. Ayah pasien adalah tulang punggung keluarga. Rumah pasien terletak di pemukiman padat penduduk dengan tingkat kebersihan yang menurut ibu pasien cukup baik. Ketersediaan air bersih di rumah pasien memadai, dengan air berasal dari Perusahaan Air Minum (PAM). Kamar mandi dan jamban di rumah pasien terbuat dari keramik, dibersihkan sebulan sekali. Untuk memasak, ibu pasien menggunakan air kemasan dan kadang dengan air ledeng yang dididihkan. Tempat penampungan sampah jauh dari rumah pasien, dimana ibu pasien tidak tahu persis lokasi penampungan tersebut. Dalam 1 minggu terakhir, seorang anak tetangga pasien mengalami diare. Riwayat Kehamilan Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak pasien adalah laki-laki berusia 15 tahun. Ibu pasien memiliki riwayat abortus saat usia kandungan 2 bulan. Tidak ada keluhan demam atau penyakit lain selama kehamilan pasien. Ibu pasien juga tidak mengonsumsi obat ataupun jamu. Ibu pasien rajin memeriksakan kehamilannya ke bidan sebulan sekali. Merokok dan minum alkohol saat kehamilan disangkal. Riwayat keputihan berbau selama kehamilan tidak ada. Riwayat Kelahiran Pasien lahir di RSCM secara spontan. Saat itu, ibu pasien dirujuk karena ketuban sedikit. Pasien lahir pada usia 40 minggu gestasi dengan berat lahir 3.310 g dan panjang badan 50 cm. Ketuban jernih dan tidak berbau. Pasien langsung menangis, tidak biru atau kuning. Riwayat Nutrisi Pasien mendapat ASI dan susu formula pada 2 bulan pertama kehidupan, selanjutnya hanya diberikan ASI. Pada usia 6 bulan, pasien mulai diberikan makanan tambahan berupa bubur susu. Pada usia 7 bulan, pasien diberikan buah, biskuit, dan nasi tim hingga saat ini. Buah yang sering dikonsumsi pasien adalah pepaya, pisang, dan alpukat. Pasien makan 3 kali/hari dengan selingan buah 2kali/hari. Satu porsi makan adalah 1 piring kecil. ASI diberikan apabila di antara jadwal makan tersebut pasien masih lapar. Riwayat Tumbuh Kembang Pasien dapat tengkurap saat berusia 4 bulan, duduk saat berusia 6 bulan, berdiri saat berusia 8 bulan, bicara mengucapkan ‘mama’ dan ‘baba’ saat berusia 7 bulan, dan berjalan saat berusia 8 bulan. Gigi pertama tumbuh saat pasien berusia 7 bulan, saat itu gigi kedua insisivus bawah pasien tumbuh bersamaan. Riwayat Imunisasi Pasien diimunisasi di puskesmas. Imunisasi Hepatitis B didapatkan saat lahir, 1 bulan, dan 6 bulan. Imunisasi BCG didapatkan pada usia 2 bulan. Imunisasi DPT dan polio didapatkan pada usia 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Imunisasi campak didapatkan saat pasien berusia 9 bulan. Demam setelah imunisasi tidak ada. PEMERIKSAAN FISIS (18 Maret 2013, pukul 15.00) Antropometri BB: 9,5 kg LD: 47,5 cm TB: 75 cm LLA: 14 cm LK: 45 cm Status Nutrisi Weight-for-length median Length-for-age 1 SD sampai 2 SD Weight-for-age median sampai 1 SD Head circumference median Kesimpulan: gizi baik, pertumbuhan normal, normosefal Tanda vital Kesadaran : compos mentis Appearance : tampak sakit ringan, tidak sianosis, tidak pucat, kontak mata adekuat, tidak lemas dan dapat duduk, gerakan keempat ekstrimitas aktif dan simetris, tidak rewel/menangis Work of breathing : frekuensi napas 32 kali/menit, abdominotorakal, dalam, teratur, tidak ada napas cuping hidung/retraksi (bayi dalam kondisi tenang) Circulation : akral hangat, CRT <2 detik, tidak ada sianosis, frekuensi nadi 150 kali/menit, teratur, isi cukup, ekual pada keempat ekstremitas, tekanan darah 100/60 mmHg : 36,9oC (aksila) Suhu Status generalis Kepala : normosefal, tidak ada deformitas, ubun-ubun kecil agak cekung (d 2 cm) Rambut : hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut Mata : pupil isokor, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, palpebra agak cekung, air mata ada THT : faring tidak hiperemis, uvula di tengah, tonsil T1-T1, tidak ada cairan dari telinga/sekret dari hidung, napas cuping hidung tidak ada Mulut : oral hygiene baik, bibir mukosa mulut lembab, erupsi gigi, lidah tidak kotor Leher : KGB tidak teraba, tidak ada penggunaan otot bantu napas Paru : gerakan simetris, tidak ada retraksi, bunyi napas vesikuler, tidak ada ronkhi/wheezing Jantung : iktus kordis teraba pada sela iga 4 garis midklavikularis kiri, S1 dan S2 reguler, tidak ada murmur/gallop Abdomen : datar, lemas, tidak ada nyeri tekan, bising usus 10 kali/menit, hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali agak lambat, perkusi timpani Punggung : tidak tampak skoliosis/cedera, tidak ada nyeri tekan Genitalia/anus : OUE di ujung penis, tidak ada fimosis, kedua testis teraba, tidak ada kemerahan Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, tidak sianosis, tidak ada baggy pants Kulit : sawo matang, turgor kembali agak lambat Pemeriksaan neurologis Refleks Fisiologis Biseps ++/++, triseps ++/++, patella ++/++, achilles ++/++ Refleks Patologis Babinski negatif PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan elektrolit (18 Maret 2014) Na 135 (135 – 145) mmol/L K 3,8 (3,5 – 5,5) mmol/L Cl 100 (98 – 109) mmol/L Urinalisis (18 Maret 2014) Warna: kuning, keruh pH 6,0 (5,5 – 8,0) Keton 5 mg/dl Berat Jenis 1,015 Protein/glukosa (-) Bilirubin (-) Urobilinogen 0,2 Leukosit esterase (-) Sel epitel (+) Nitrit (-) Leukosit 1 – 3/LPB Silinder/kristal (-) Darah samar 10/uL Eritrosit 2 – 3/LPB Bakteri (+) Analisis feses (18 Maret 2014) Warna: kuning Leukosit 1 – 2/LPB Konsistensi: lembek Eritrosit 4 – 8/LPB Lendir/darah/nanah (-) Telur cacing/amoeba (-) Darah samar feses (+) Lain-lain: serat makanan DIAGNOSIS 1. Diare akut dehidrasi ringan sedang ec. rotaviral enteritis (ICD 10: A08.0) TATA LAKSANA Analisis feses ulang IVFD Ka-En 3B 22 1500 cc/24 jam (rehidrasi) dilanjutkan dengan rumatan 910 cc/24 jam. ASI dan bubur tanpa serat 900 kkal/hari Lacto B 2 x 1 sachet Zinc syr 20 mg/hari selama 10 hari Paracetamol syrup 3 x 1 cth bila demam Edukasi kepada ibu pasien PROGNOSIS Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanactionam : dubia ad bonam BAB II TINJAUAN PUSTAKA Diare Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Pada tahun 2003, diperkirakan 1,87 juta anak dibawah usia 5 tahun meninggal karena diare. Hal ini menempatkan diare pada peringkat kedua penyebab kematian kedua tersering setelah infeksi pernapasan. Delapan dari sepuluh kematian akibat diare berlangsung pada dua tahun pertama kehidupan. Rata-rata anak berusia dibawah 3 tahun di negara berkembang mengalami 3 episode diare setiap tahunnya. Angka kejadian diare di Indonesia hingga saat ini masih tinggi, yaitu 423 per 1000 penduduk untuk semua umur pada tahun 2006 (hasil Subdit Diare, Ditjen PP-PL, Depkes RI), dimana angka ini meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan Departemen Kesehatan di Indonesia, setiap anak mengalami diare 1,6-2 kali pertahun. Sebagian besar diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Sekitar 80% mortalitas terjadi pada waktu ini, dengan penyebab utama dehidrasi. Insidensi tertinggi terdapat pada usia 6-11 bulan dimana anak mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping ASI. Di samping itu, terdapat faktor lain, seperti penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, makanan yang kemungkinan terkontaminasi bakteri, ataupun kontak langsung saat bayi merangkak. Setelah usia 2 tahun, insidensi infeksi usus asimtomatik meningkat karena terbentuknya imunitas aktif. Anak dengan infeksi asimtomatik berisiko menularkan virus, bakteri, atau kista protozoa melalui tinja. Di Indonesia, diare yang disebabkan rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dan meningkat saat musim kemarau, sementara diare yang disebabkan bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.1,2 Diare Akut Definisi Berdasarkan lamanya, diare terbagi menjadi diare akut, diare persisten, dan diare kronik. Diare akut berlangsung kurang dari 14 hari, diare persisten berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi, dan diare kronik berlangsung 14 hari dengan etiologi noninfeksi. Ada pula dikenal prolonged diarrhea yaitu diare yang berlangsung antara 7 hingga 4 hari. Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah, yang berlangsung kurang dari satu minggu. Oleh karena bayi yang diberi ASI dapat saja memiliki frekuensi buang air besar lebih dari 3-4 kali perhari, diare pada bayi dengan ASI eksklusif didefinisikan sebagai meningkatnya frekuensi buang air besar atau perubahan konsistensi tinja menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Faktor risiko Faktor risiko yang dapat meningkatkan penularan: 1. Tidak diberikannya ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan 2. Menggunakan botol susu 3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar 4. Tidak memadainya persediaan air bersih 5. Tercemarnya air minum oleh bakteri yang berasal dari tinja 6. Kurangnya sarana kebersihan 7. Tidak mencuci tangan setelah buang air besar, setelah membuang tinja, atau sebelum memasak 8. Tidak membuang tinja dengan benar 9. Penyapihan yang kurang baik. Selain itu, faktor pejamu yang meningkatkan kecenderungan terjadinya diare: 1. Tidak diberikan ASI hingga usia 2 tahun 2. Status nutrisi yang buruk 3. Imunodefisiensi/imunosupresi 4. Keasaman lambung yang berkurang 5. Motilitas usus yang menurun 6. Campak dalam 4 minggu terakhir 7. Genetik. 1,2,3,4 Etiologi Penyebab diare dapat dibagi menjadi infeksi dan noninfeksi. - Infeksi Patogen penyebab diare dapat diidentifikasi pada 80% kasus di sarana kesehatan dan sekitar 50% di masyarakat. Terdapat dua tipe dasar diare akut, yaitu infeksi inflamatorik dan non-inflamatorik. Enteropatogen menimbulkan diare non-inflamatorik melalui enterotoksin oleh bakteri, destruksi permukaan vili oleh virus, atau perlekatan oleh parasit. Sebaliknya, diare inflamatorik umumnya disebabkan oleh invasi langsung bakteri atau produksi sitotoksin. Di negara berkembang, patogen yang penting pada diare akut anak, yaitu Rotavirus, Eschericia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni, dan Cryptosporidium. Pada tabel di bawah, dapat dilihat patogen yang sering didapatkan pada anak dengan diare akut di negara berkembang. Virus Bakteri Parasit Tidak terdapat patogen Patogen Rotavirus Escherichia coli enterotoksigenik Shigella Campylobacter jejuni Vibrio cholera 0.1 Salmonella (non-typhoid) Eschericia coli enteropatogenik Cryptosporidium Persentase kasus 15-25 10-20 5-15 10-15 5-10 1-5 1-5 5-15 20-30 Patogen yang lain dapat memiliki arti lokal. Misalnya, V. cholera 0.1 di daerah endemik dan saat wabah, Salmonella non-tifoid di daerah yang banyak mengonsumsi makanan kaleng, dan E. coli enteropatogenik pada bayi di rumah sakit. Sebanyak 5-20% adalah infeksi campuran dua atau lebih patogen. Patogen usus dapat pula ditemukan pada + 30% anak sehat berusia di bawah 3 tahun, terutama kista Giardia lamblia yang dapat ditemukan pada anak sehat dan diare, E. coli enteropatogenik atau C. jejuni yang diisolasi dari anak sehat >1 tahun. Shigella dan rotavirus jarang ditemukan pada anak sehat sehingga patogen ini dapat diyakini sebagai etiologi diare apabila ditemukan dalam isolasi. Rotavirus Rotavirus kemungkinan menyebar melalui kontak langsung. Terdapat 4 serotipe rotavirus. Infeksi oleh 1 serotipe memberikan imunitas tinggi terhdap serotipe tersebut dan sebagian imunitas untuk serotipe yang lain. Rotavirus merupakan patogen penyebab diare tersering pada anak berusia 6-24 bulan. Sepertiga anak pernah satu kali terinfeksi sebelum berusia 2 tahun. Infeksi pertama kali biasanya adalah infeksi yang menyebabkan penyakit yang bermakna. Eschericia coli enterotoksigenik (ETEC) ETEC menyebar melalui makanan dan air yang tercemar, tidak menginvasi mukosa, dan diare disebabkan oleh toksin. Terdapat 2 jenis toksin, yaitu toksin tidak tahan panas (heat labile) dan toksin yang tahan panas (heat stable). Toksin tidak tahan panas berhubungan dengan toksin kolera. Shigella Penyebaran melalui kontak langsung. Terdapat 4 serogrup, yaitu S. sonnei, S. flexneri, S. boydii, dan S. dysentriae. S. flexneri merupakan serogrup paling sering di negara berkembang, sementara S. dysentriae tipe 1 memiliki klinis yang paling berat. Kerusakan jaringan dan diare cair disebabkan oleh toksin yang beragam. Campylobacter jejuni Penyebaran melalui kontak dengan tinja, konsumsi makanan, susu, atau air yang tercemar. Dapat menyerang ayam atau anjing. Dua pertiga kasus terjadi diare cair dan sepertiga kasus terjadi disentri. Klinis dapat disertai demam dan berakhir dalam 2-5 hari. Vibrio cholerae 0.1 Memiliki 2 biotipe (klasik dan eltor) dan 2 serotipe (Ogawa dan Inaba). Diare terjadi karena toksin dan dapat menyebabkan dehidarasi. Salmonella Sering terjadi pada masyarakat yang mengonumsi makanan yang diproses dari pabrik. Diare dapat cair ataupun disentri. Cryptosporidium Infeksi biasanya asimtomatik. Diare tidak berat atau lama kecuali pada pasien dnegan imunodefisiensi, seperti malnutrisi berat atau orang dengan AIDS. Dapat pula terjadi diare persisten. Penyebab diare noninfeksi: - kesulitan makan - imunodefisiensi, seperti hipogamaglobulinemia, panipoglobulinemia, defisiensi Ig A - defek anatomis, seperti malrotasi, morbus Hirschprung, Short Bowel Syndrome, atrofi mikrovili, dan stricture - malabsorbsi: defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa-galaktosa, cystic fibrosis, kolestosis, penyakit Celiac - endokrinopati: tirotoksikosis, penyakit Addison, sindrom adrenogenital - keracunan makanan: logam berat, jamur - neoplasma: neuroblastoma, feokromositoma, sindrom Zollinger-Ellison - lain-lain: infeksi non-GI, alergi susu sapi, penyakit Crohn, defisiensi imun, kolitis ulseratif, gangguan motilitas usus, pellagra Pada umumnya, penularan diare terjadi melalui fekal-oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung antara melalui tangan atau benda yang telah tercemar tinja penderita diare, atau tidak langsung melalui lalat. 1,2,3,4 Patogenesis Virus - Beberapa jenis virus, seperti rotavirus berkembang di epitel vili usus halus yang kemudian menyebabkan kerusakan epitel dan pemendekan vili. Hilangnya vili yang mempunyai fungsi absorbsi dan penggantian sementara oleh sel epitel berbentuk kripta yang belum matang, menyebabkan usus mensekresi air dan elektrolit. Enzim disakaridase juga dapat berkurang sehingga absorbsi disakarida, termasuk laktosa, berkurang. Penyembuhan terjadi bila vili mengalami regenerasi dan epitel matang. Bakteri - Penempelan di mukosa. Bakteri yang berkembang biak di usus halus menempel di mukosa untuk menghindar dari penyapuan, melalui pili atau fimbria yang melekat pada reseptor permukaan usus. Misalnya, pada E. coli enterotoksigenik dan V. cholera 0.1. Penempelan bakter di mukosa dihubungkan juga dengan pengurangan kapasitas penyerapan atau menyebabkan peningkatan sekresi cairan. - Toksin. E. coli enterotoksigenik dan V. cholera 0.1 mengeluarkan toksin yang menghambat fungsi sel epitel. Toksin ini mengurangi absorbsi natrium melalui vili dan meningkatkan sekresi klorida melalui kripta, yang mengakibatkan sekresi air dan elektrolit. Penyembuhan terjadi bila sel sakit digantikan oleh sel sehat dalam 2-4 hari. - Invasi mukosa. Shigella, C. jejuni, E. coli enteroinvasif, dan Salmonella dapat menyebabkan diare berdarah melalui invasi dan perusakan epitel mukosa, yang sebagian besar terjadi di kolon dan ileum distal. Invasi dapat diikuti dengan pembentukan mikroabses dan ulkus superfisial sehingga dapat ditemukan sel darah merah dan sel darah putih atau tampak darah dalam tinja. Toksin yang dihasilkan dapat merusak jaringan dan memicu sekresi air dan elektrolit. Protozoa - Penempelan mukosa. G. lamblia dan Cryptosporidium menempel pada epitel usus halus dan menyebabkan pemendekan vili. - Invasi mukosa. E. histolitica menginvasi epitel mukosa kolon dan ileum, menyebabkan mikroabses dan ulkus. Sekitar 90% infeksi disebabkan oleh strain yang tidak ganas sehingga tidak terjadi invasi mukosa, meskipun dapat ditemukan kista amoeba dan trofozoit dalam tinja. Patofisiologi Diare dapat dibagi menurut patofisiologinya, meskipun dapat pula terjadi mekanisme yang tumpang-tindih. - Diare osmotik. Terjadi bila terdapat zat terlarut yang tidak diserap dengan baik. Hal ini membuat konsentrasi zat terlarut di dalam lumen usus lebih tinggi, yang kemudian mengganggu absorbsi air melalui retensi air ke dalam lumen usus. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan pada sel epitel usus sehingga terjadi malabsorbsi, yang tampak sebagai diare dengan komponen osmotik. Misalnya, rotavirus dan shigella. Rotavirus secara selektif menginvasi enterosit matur sehingga terjadi gangguan kapasitas absorbsi. Sementara itu, shigella menghasilkan toksin shiga, yang dapat menyebabkan destruksi sel vili yang berujung pada malabsorbsi dan diare. Jika larutan yang sulit diabsorbsi bersifat isotonik, air dan zat terlarut akan lewat tanpa diabsorbsi dan menyebabkan diare, misalnya pada magnesium sulfat, laktosa, glukosa. Jika larutan yang sulit diabsorbsi bersifat hipertonik, air dan elektrolit akan pindah dari carian ekstraseluler ke lumen usus hingga osmolaritas isi usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah. Proses ini akan meningkatkan volume tinja dan menyebabkan dehidrasi serta hipernatremia. - Diare sekretorik. Terdapat sekresi aktif air ke lumen usus, misalnya pada infeksi kolera. Selain itu, diare sekretorik dapat terjadi oleh penyebab non-infeksi, yang melibatkan peptida gastrointestinal, seperti vasoactive intestinal peptide dan gastrin. Substansi tertentu, seperti asam empedu, asam lemak, laksatif, dan kondisi kongenital (diare klorida kongenital), dapat pula menyebabkan diare sekretorik. Infeksi bakteri berat pada saluran gastrointestinal menghasilkan diare oleh toksin. Misalnya, enterotoksin (C. perfringens, C. difficile) dan toksin-mirip-shiga (E. coli, S. aureus, Shigella). Enterotoksin viral dari rotavirus, yaitu glikoprotein non-struktural (NSP4) menyebabkan sekresi klorida transepitelial yang bergantung pada kalsium oleh sel kripta usus. - Diare oleh gangguan motilitas. Gangguan motilitas jarang menyebabkan diare akit. Perubahan motilitas dapat mengganggu absorbsi. Hipomotilitas, atau gangguan peristaltik berat menyebabkan stasis yang kemudian disertai inflamasi, pertumbuhan berlebih bakteri, dekonjugasi sekunder asam empedu, dan malabsorbsi. Sebaliknya, hipermotilitas, seperti iritasi kolon bayi, dapat menyebabkan waktu absorbsi inadekuat yang berujung pada diare. - Inflamasi. Terjadi destruksi sel vili dan/atau disfungsi transporter yang mengakibatkan hilangnya cairan dan elektrolit. Dapat pula terjadi eksudasi mukus, protein, dan darah ke lumen usus. Penyebab tersering dari diare inflamatorik adalah infeksi. Proses awal dari infeksi akut adalah ingesti organisme yang diikuti kolonisasi pada epitel usus dan perlekatan pada enterosit. Berikutnya terdapat dua jalur, yaitu invasi mukosa atau produksi enterotoksin. Patogen seperti V. cholera menyebabkan diare sekretorik dengan inflamasi minimal, sementara patogen lain (misalnya, salmonella dan C. difficile) menyebabkan respon inflamasi, dan patogen lain (shigella) memiliki kedua komponen.4,5 Manifestasi Klinis Gejala Klinis Masa Tunas Panas Mual muntah Nyeri perut Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera 17-72 jam + Sering 24-48 jam ++ Jarang 6-72 jam ++ Sering 6-72 jam + 6-72 jam ++ - 48-72 jam Sering Tenesmus - Tenesmus kram - Kram - Tenesmus kolik + - Nyeri kepala Lama Sakit Sifat Tinja Volume Frekuensi Tenesmus kram + 5-7 hari >7 hari 3-7 hari 2-3 hari Variasi 3 hari Sedang 5-10x/hari Sedikit >10x/hari Sedikit Sering Banyak Sering Sedikit Sering Konsistensi Darah Bau Warna Cair Langu Kuninghijau Anoreksia Lembek Sering ± Merah-hijau Lembek Terkadang Busuk Kehijauan Lembek + Tidak Merah-hijau + Kejang + Sepsis Cair + Tidak berwarna Meteorismus Banyak Terus menerus Cair Amis khas Air cucian beras - Leukosit Lain-lain Infeksi sistemik - Curigai kolera pada anak berusia di atas 2 tahun dengan diare cair akut dan dehidrasi berat, jika kolera berjangkit di daerah tempat tinggal anak. Komplikasi Diare Penderita diare akan enhasilkan tinja yang mengandung natrium, klorida, kalium, bikarbonat, dan ion lain. Kehilangan air dan elektrolit akan bertambah bila diare disertai muntah dan kehilangan air juga meningkat bila penderita demam. Kehilangan ini akan menyebabkan dehidrasi, asidosis, dan hipokalemia. 1. Dehidrasi isotonik a. Kekurangan air dan natrium dalam proporsi yang sama dengan cairan ekstraseluler. b. Konsentrasi natrium serum normal (130 – 160 mmol/l) c. Osmolaritas serum normal (275 – 295 mOsmol/l) d. Hipovolemia Dehidrasi isotonik pertama kali ditandai dengan rasa haus, lalu menurunnya tugor kulit, keringnya membran mukosa, mata cekung, tidak ada air mata saat menangis, ubunubun kecil cekung, dan kencing sedikit. Gambaran klinis mulai tampak bila kehilangan cairan mencapai 5% dari berat badan. Bila defisit cairan mencapai 10% berat badan, dapat terjadi anuria, hipotensi, nasi radialis teraba sangat cepat, akral dingin dan basah, kesadaran menurun, dan terjadi syok hipovolemik. Defisit cairan >10% berat badan, dapat terjadi kematian karena pembuluh darah kolaps. 2. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik) a. Kekurangan air dan natrium, tetapi proporsi kekurangan air lebih banyak b. Konsentrasi natrium serum meningkat (>150 mmol/l) c. Osmolaritas serum meningkat (>295 mOsmol/l) d. Sangat haus, anak sangat iritabel e. Kejang, terutama bila konsentrasi natrium serum >165 mmol/l Biasanya terjadi akibat pemasukan cairan hipertonik pada saat diare (memiliki kandungan natrium gula, atau bahan aktif osmotik lain) yang tidak diabsorbsi dengn efisien, disertai dengan pemasukan air yang tidak cukup. Hal ini menyebabkan air dari carian ekstraseluler berpindah ke lumen usus halus, yang berujung pada penurunan volume cairan ekstraseluler dan peningkatan konsentrasi natrium. 3. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik) a. Kekurangan air dan natrium dengan kekurangan natrium secara relatif lebih banyak b. Konsentrasi natrium serum rendah (<130 mmol/l) c. Osmolaritas serum rendah (<275 mOsmol/l) d. Anak letargi, kadang kejang. Dapat terjadi pada anak yang minum air dalam jumlah besar atau cairan hipotonik dengan konsentrasi garam atau zat terlarut yang rendah, atau mendapat infus glukosa 5% dalam air. 4. Asidosis Metabolik a. Konsentrasi bikarbonat serum berkurang (<10 mmol/l) b. pH arteri menurun (<7,1) c. Napas cepat dan dalam d. Muntah. Pada saat diare, sejumlah besar bikarbonat hilang. Kehilangan ini akan diganti bila fungsi ginjal normal. Mekanisme kompensasi ini akan gagal bila fungsi ginjal menurun, seperti yang terjadi pada kondisi hipovolemia, dimana aliran darah ke ginjal berkurang. Asidosis juga dapat terjadi karena produksi asam laktat yang berlebihan saat terjadi syok hipovolemik. 5. Hipokalemia a. Kelemahan otot secara umum b. Aritmia jantung c. Ileus paralitik. Kalium banyak hilang melalui tinja, dan lebih banyak terjadi pada bayi. Bila kalium dan bikarbonat hilang bersamaan, biasanya hipokalemia tidak terjadi. Asidosis metabolik yang terjadi akibat kekurangan bikarbonat akan menyebabkan kalium berpindah dari cairan intraseluler ke ekstraseluler, untuk mengganti ion hidrogen, sehingga kalium serum dipertahankan dalam konsentrasi normal bahkan sedikit meningkat. Apabila asidosis metabolik dikoreksi dengan pemberian bikarbonat, pergantian ini cepat berubah dan dapat mengakibatkan hipokalemai berat. Kondisi ini dapat dicegah dengan penggantian kalium saat koreksi basa secara bersamaan.5,6 Diagnosis Diagnosis diare dan etiologinya dapat ditegakkan melalui: - Anamnesis. Ditanyakan lama diare, frekuensi, volume, konsistensi, warna, bau, ada tidaknya lendir dan darah. Gejala lain, seperti muntah (volume, isi, frekuensi), nyeri perut, dan demam juga perlu untuk ditanyakan. Penilaian faktor risiko, misalnya makanan dan minuman yang dikonsumsi, higienitas dan sanitasi, riwayat pergi ke daerah endemik, serta keberadaan anak lain yang juga menderita diare perlu ditanyakan. Buang air kecil, penyakit lain yang menyertai (batuk, pilek, campak), tindakan dan obat yang telah diberikan, juga perlu ditanyakan. - Pemeriksaan fisis. Diperlukan penilaian tanda vital, berat badan, serta mencari tanda dan derajat dehidrasi. Napas yang cepat dan dalam menjadi petunjuk adanya asidosis metabolik. Bising usus yang lemah atau menghilang dapat terjadi pada kondisi hipokalemi. - Pemeriksaan Laboratorium. Biasanya tidak diperlukan pemeriksaan yang lengkap, kecuali pada keadaan dimana etiologi belum diketahui atau pada kondisi dehidrasi berat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan: o Pemeriksaan darah. Darah perifer lengkap (DPL), elektrolit, analisis gas darah (AGD), glukosa darah sewaktu (GDS), kultur mikroorganisme, uji resistensi antibiotik o Pemeriksaan urin. Urinalisis lengkap, kultur mikroorganisme, uji resistensi antibiotik o Pemeriksaan tinja. Makroskopis (konsistensi, darah, lendir, bau) dan mikroskopis (leukosit, parasit, pH, tes reduksi substansi, kultur). Pemeriksaan makroskopis tinja perlu dilakukan pada semua pasien diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang berair dan tidak mengandung lendir atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa, atau infeksi di luar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung lendir atau darah dapat disebabkan oleh infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri invasif yang menyebabkan peradangan mukosa, atau parasit usus. Biasanya darah akan bercampur dalam tinja, kecuali pada infeksi E. histolytica dimana darah sering terdapat pada permukaan tinja dan infeksi EHEC dimana terdapat garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi Salmonella, Giardia, Cryptosporidium, dan Strongyloides. Pemeriksaan mikroskopis ditujukan untuk melihat leukosit. Leukosit dalam tinja menunjukkan adanya patogen invasif atau patogen yang memproduksi sitotoksin, seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, ETEC, C. difficile, dll. Leukosit yang ditemukan umumnya adalah PMN, kecuali pada S. typhii dimana leukosit yang ditemukan adalah MN. Pasien dengan infeksi E. histolytica umumnya memiliki leukosit minimal pada tinja. Infeksi parasit juga tidak menghasilkan leukosit dalam jumlah yang banyak. Pada umumnya, tidak diperlukan pemeriksaan untuk telur atau parasit, kecuali terdapat riwayat bepergian ke daerah endemik, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare terjadi lebih dari 1 minggu, atau pada pasien dengan imunodefisiensi. Pasien yang dapat menjalani biopsi duodenum atau jejunum bagian atas pada kondisi pemeriksaan tinja negatif dan pasien dicurigai menderita diare yang disebabkan oleh giardiasis, cryptosporidiosis, isoporiasis, serta strongyloidiasis. Biopsi duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trofozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Teknik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amoeba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amebiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Uji serologi untuk amoeba hampir selalu positif pada disentri amoeba akut dan amebiasis hati. Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, leukosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita dengan imunodefisiensi Deteksi toksin C. difficile sangat berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan kolitis berat atau penyebab inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium awal.1,2,4 Karakteristik Tinja Keadaan umum Volume Darah Usus Halus Cair Besar Darah samar pH Tes reduksi Sel darah putih Sel darah putih serum <5,5 Dapat positif <5/LPB Normal Patogen Virus: Rotavirus Adenovirus Calicivirus Astrovirus Norwalk virus Bakteri enterotoksik: E.coli Clostridium perfringens Cholera Vibrio Parasit: Giardia Cryptosporidium Usus Besar Lendir/darah Kecil Biasanya terlihat secara kasat mata >5,5 Negatif >10/LPB Dapat leukositosis, bandemia Bakteri invasif: E.coli (enteroinvasif,enterohemo ragik) Shigella Salmonella Campylobacter Yersinia Aeromonas Bakteri Toksik: Clostridium difficile Parasit: Entamoeba organisms Penilaian Derajat Dehidrasi Penilaian dehidrasi dan klasifikasi status dehidrasi menjadi dehidrasi berat, dehidrasi ringan/sedang, atau tanpa dehidrasi harus dilakukan pada semua anak dengan diare untuk menentukan tata laksana yang sesuai. Diagnosis derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara objektif dan subjektif. Cara objektif adalah dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Cara subjektif adalah dengan menggunakan kriteria yang telah dibuat, antara lain kriteria WHO, MTBS, Skor Maurice King, dan kriteria MMWR 2003.4,5 Berikut adalah cara penilaian klasifikasi diare menurut MTBS: Nilai: Keadaan umum A Baik, sadar B Gelisah, rewel Mata Air mata Mulut dan Lidah Rasa Haus Normal Ada Basah Minum biasa, tidak haus Cekung Tidak ada Kering Haus, ingin minum banyak C Lesu, lunglai, atau tidak sadar Sangat cekung dan kering Tidak ada Sangat kering Malas minum atau tidak bisa minum Periksa: Turgor Kulit Hasil Pemeriksaan Kembali cepat Tanpa Dehidrasi Kembali lambat Dehidrasi ringan/sedang Kembali sangat lambat Dehidrasi berat Berikut adalah cara penilaian klasifikasi diare menurut WHO: Klasifikasi Dehidrasi berat Dehidrasi ringan/sedang Tanpa dehidrasi Tanda atau Gejala Terdapat dua/lebih tanda: - Letargis/tidak sadar - Mata cekung - Turgor kembali sangat lambat (>2 detik) - Tidak dapat minum atau malas minum Terdapat dua/lebih tanda: - Rewel, gelisah - Mata cekung - Minum dengan lahap, haus - Turgor lambat Tidak terdapat cukup tanda untuk klasifikasi Tata Laksana Terdapat lima pilar penatalaksanaan diare yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, yaitu rehidrasi dengan menggunakan oralit baru, pemberian zinc selama 10 hari, ASI dan makanan tetap diteruskan, medikamentosa, dan edukasi kepada orang tua. Cairan Saat ini dikenal oralit baru yang memiliki osmolaritas lebih rendah dibandingkan dengan oralit lama. Oralit baru ini mampu mengurangi rasa mual dan muntah sebesar 30%, serta mengurangi pengeluaran tinja hingga 20%. Berikut merupakan komposisi oralit baru menurut WHO pada tahun 2006. Oralit baru osmolaritas rendah Natrium Klorida Glukosa Kalium Sitrat Total osmolaritas mmol/liter 75 65 75 20 10 245 Ketentuan pemberian oralit baru: 1. Beri ibu 6 bungkus oralit formula baru (200 ml) 2. 1 bungkus oralit formula baru dilarutkan dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24 jam 3. Larutan oralit diberikan sesuai ketentuan setiap kali buang air besar 4. Jika dalam 24 jam masih tersisa, larutan harus dibuang dan diganti larutan baru. - Tanpa dehidrasi Berikan cairan rehidrasi oralit baru 5 – 10 ml/kg setiap diare cair atau sebanyak 50 – 100 ml untuk usia <1 tahun, 100 – 200 ml untuk usia 1-5 tahun, dan semau anak untuk usia >5 tahun. Cairan rumah tangga dapat diberikan sesuai kemauan anak. ASI tetap diberikan. Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali terdapat komplikasi misalnya tidak mau minum, muntah terus-menerus, atau diare sering dan banyak. - Dehidrasi ringan/sedang Berikan cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar 75 ml/kg dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairang yang telah terjadi dan 5 – 10 ml/kg setiap diare cair. Rehidrasi intravena diberikan bila anak muntah setiap diberikan minum meskipun dengan cara sedikit demi sedikit atau pipa nasogastrik. Cairan yang digunakan adalah ringer laktat, KaEN 3B, atau NaCl. Berat badan 3 – 10 kg, diberikan 200 ml/kg/hari Berat badan 10 – 15 kg, diberikan 175 ml/kg/hari Berat badan >15 kg, diberikan 135 ml/kg/hari. - Dehidrasi berat Berikan rehidrasi intravena dengan ringer laktat atau ringer asetat 100 ml/kg. Usia <12 bulan, 30 ml/kg dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam Usia >12 bulan, 30 ml/kg dalam ½ jam pertama, dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2,5 jam Cairan peroral diberikan bila pasien mau dan mampu minum, 5 ml/kg selama proses rehidrasi. - Hipernatremia (Na >155 mEq/l) Koreksi penurunan Na dilakukan bertahap dengan Dektrose 5% ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq/hari, karena dapat menyebabkan edema otak. - Hiponatremia (Na <130 mEq/l) Kadar Na diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, dapat dikoreksi dengan rumus: Kadar Na koreksi (mEq/l) = 125 – kadar Na serum x 0,6 x kg dalam 24 jam - Hiperkalemia (K >5 mEq/l) Koreksi dengan pemberian Ca glukonas 10% sebanyak 0,5 – 1 ml/kg secara intravena perlahan-lahan dalam 5-10 menit. Monitor irama jantung dengan EKG - Hipokalemia ( K <3,5 mEq/l) Koreksi berdasarkan kadar kalium: K 2,5 – 3,5 mEq/l, berikan KCl 75 mEq/kg oral per hari, dibagi menjadi 3 dosis K <2,5 mEq/l, berikan KCl drip intravena, dengan dosis: 3,5 – kadar K aktual x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kg/24 jam 4 jam pertama, dilanjutkan dengan 3,5 x kadar K aktual x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB (kg) dalam 20 jam berikutnya. Zinc Pemberian zinc di awal masa diare selama 10-14 hari berturut-turut secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Zinc dapat mengurangi berat dan lama diare serta mengembalikan nafsu makan anak. Zinc memiliki efek dalam perbaikan epitel saluran cerna sehingga terdapat peningkatan absorbsi air dan elektroliit oleh usus halus, peningkatan kecepatan regenerasi epitel usus, peningkatan jumlah brush border apikal, dan peningkatan respon imun untuk pembersihan patogen di usus. Untuk bayi, zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang/oralit. Dosis zinc: Anak < 6 bulan, berikan 10 mg (½ tablet)/hari, selama 10-14 hari Anak > 6 bulan, berikan 20 mg (1 tablet)/hari, selama 10-14 hari. ASI dan makanan lain Pemberian makanan secepatnya (early refeeding) pada tata laksana diare akut ditekankan pada meneruskan pemberian ASI dan makanan sehari-hari. Tujuannya adalah untuk mencegah kehilangan berat badan, mengganti nutrisi yang hilang, stimulasi perbaikan usus, mengurangi derajat dan lama penyakit. ASI diberikan sejak awal terapi dan sesuai dengan keinginan bayi. Bayi dengan diare akut dehidrasi ringan/sedang tidak perlu dilakukan penggantian formula bebas laktosa atau pemberian formula yang diencerkam, sementara bayi dengan dehidrasi berat disertai kerusakan usus dan malnutrisi sebaiknya diberikan formula bebas laktosa atau formula yang lebih mudah dicerna. Makanan diberikan sedikit-sedikit (lebih kurang 6 kali/hari). Karbohidrat kompleks, seperti nasi, mie, kentang, roti, biskuit, dan pisang sebaiknya diberikan sejak awal, ditambahkan sayuran dan daging matang. Hindari makanan dengan gula sederhana, seperti minuman ringan, jus buah kental, minuman berkafein, dan sereal berlapis gula. Makanan tinggi lemak kurang ditoleransi karena menghambat pengosongan lambung dan merangsang muntah. Medikamentosa Pemberian antiemetik, antimotilitas, dan antidiare kurang bermanfaat. Efek sedasi dan anoreksia dapat mengurangi keberhasilan terapi rehidras ioral. Obat tersebut tidak mengurangi volume tinja ataupun memperpendek lama sakit. Penggunaan antibiotik tidak efektif pada infeksi virus. Indikasi penggunaan antibiotik: 1. Patogen telah diidentifikasi (Shigella ditemukan dalam bentuk kista, Giardia lamblia dalam bentuk trofozoit, atau E. histolytica dalam tinja) 2. Imunodefisiensi 3. Terapi untuk kolera 4. Bayi <3 bulan dengan kultur tinja positif. Bayi kelompok umur ini mudah mengalami septikemia. Imunoglobulin oral sebagai terapi diare akut karena virus menunjukkan efikasi cukup baik dalam beberapa penelitian meskipun belum secara luas digunakan. Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya mikroflora intertinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan probiotik dalam waktu panjang untuk bayi yang tidak mendapatkan ASI. Probiotik yang dapat digunakan seperti Lactobacillus rhamnosus strain GG. Probiotik dalam pencegahan diare kemungkinan memiliki mekanisme: 1. Perubahan lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen) 2. Produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen usus 3. Kompetisi nutrien 4. Mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit 5. Modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhdap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan imunomodulasi. Edukasi 1. Pemberian ASI eksklusif 4-6 bulan 2. Sterilisasi botol setiap sebelum pemberian susu formula 3. Penyiapan dan penyimpanan makanan secara bersih 4. Menggunakan air bersih dan matang untuk minum 5. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan memberi makan 6. Membuang tinja di jamban 7. Imunisasi campak 8. Pemberian makanan seimbang untuk menjaga status gizi yang baik.1,2,3,4 BAB III PEMBAHASAN Anak laki-laki 9 bulan didiagnosis dengan diare akut atas dasar buang air besar cair berulang pada pasien memenuhi definisi diare, yaitu buang air besar terjadi lebih dari 3 kali/hari, pada kasus ini terjadi 6 kali/hari, dan terjadi perubahan konsistensi dari padat menjadi cair. Diare pada pasien bersifat akut karena terjadi <7 hari, dalam kasus ini terjadi sejak 2 hari. Di samping diare, terdapat pula gejala gastrointestinal lain, seperti muntah dan nafsu makan yang berkurang. Etiologi yang menimbulkan keluhan gastrointestinal antara lain proses inflamasi yang dapat disebabkan oleh infeksi, intoleransi protein susu sapi, tumor pada saluran cerna, alergi makanan, keracunan logam berat, penyakit gastroenteropati, penggunaan antibiotik, dan imunodefisiensi. Etiologi yang dipikirkan menyebabkan keluhan gastrointestinal pada pasien adalah infeksi karena terdapat demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan juga infeksi merupakan penyebab tersering diare pada anak. Intoleransi protein susu sapi dapat disingkirkan karena pasien saat ini tidak mendapat susu formula. Penggunaan antibiotik dapat disingkirkan karena pasien tidak ada riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya. Alergi makanan dapat disingkirkan karena tidak ada riwayat alergi ataupun pemberian makanan baru pada pasien. Keracunan logam berat dapat disingkirkan melalui anamnesis. Diare pada pasien merupakan kondisi yang akut sehingga dapat menyingkirkan etiologi seperti tumor saluran cerna, kondisi imunodefisiensi, dan gastroenteropati. Rotavirus merupakan patogen penyebab diare tersering pada anak berusia 6-24 bulan. Hal ini memperkuat dugaan penyebab infeksi pada pasien. Manifestasi klinis yang ditemukan pada pasien juga mengarah ke manifestasi klinis diare oleh rotavirus, antara lain demam, mual muntah, anoreksia, volume tinja sedang, konsistensi cair, frekuensi 6 kali/hari, dan tidak ada lendir/darah. Analisis feses menguatkan dugaan penyebab infeksi adalah virus dengan tidak ditemukannya bakteri atau parasit. Tidak ditemukan fokus infeksi di tempat lain yang dipikirkan berhubungan dengan diare pada pasien melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis dehidrasi ringan/sedang ditegakkan atas dasar ditemukannya tanda anak gelisah dan rewel, mata cekung, pasien tampak haus, dan turgor kembali lambat. Berdasarkan z score WHO, secara normal pasien akan mengalami pertambahan berat badan 0,2-0,3 kg setiap bulan. Berdasarkan itu, pasien diperkirakan mengalami penurunan berat badan sebesar 6,18%. Hal ini juga memenuhi kriteri dehidrasi ringan/sedang. Terapi rehidrasi untuk pasien dengan dehidrasi ringan/sedang sebaiknya diberikan secara oral, namun pasien rewel dan tidak mau makan sehingga dipilih jalur parenteral. Cairan infus yang dipilih adalah Ka-En 3B karena osmolaritas dan kandungan elektrolitnya sebanding dengan osmolaritas dan kandungan elektrolit yang keluar dari tinja pada diare nonkolera. Jumlah cairan yang dibutuhkan untuk rehidrasi pasien dalam 24 jam adalah sebesar 1800 cc, dilanjutkan dengan rumatan 910 cc per 24 jam berdasarkan perhitungan metode Darrow. Kadar natrium, kalium, dan klorida pasien masih dalam rentang normal sehingga tidak perlu ditatalaksana. Menurut penulis, pemberian cairan rehidrasi pada pasien yaitu KaEn 3B 1500 cc/24 jam masih kurang karena tidak memenuhi kebutuhan rehidrasi pasien 1800 cc/24 jam. Penatalaksanaan diare berdasarkan 5 pilar WHO telah diterapkan kepada pasien. Rehidrasi telah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Pemberian zinc dengan dosis 20 mg/hari untuk pasien berusia >6 bulan telah diterapkan pada pasien, yang bila diberikan dalam sediaan sirup setara dengan 5 ml. Zinc diberikan selama 10 hari. Pemberian ASI dan makanan berupa bubur tanpa serat sudah tepat diberikan pada pasien. Usia berdasarkan tinggi badan pada pasien adalah 11 bulan dimana pada usia tersebut kebutuhan energi harian adalah 105 kkal/kg. Oleh karena pasien tidak mengalami malnutrisi, makan perhitungan kebutuhan energi menggunakan berat badan aktual dan didapatkan hasil 997,5 kkal/hari. Menurut penulis, pemberian bubur tanpa serat 900 kkal/hari pada pasien sudah tepat bila sisa kebutuhan kalori diberikan melalui ASI sepuasnya. Menurut penulis, pasien sebaiknya dipasang pipa nasogastrik oleh karena intake yang sulit dimana pasien rewel dan tidak mau makan. Namun setelah dirawat 1 hari, pasien mulai dapat makan sehingga pemasangan pipa nasogastrik sudah tidak diperlukan. Pemberian antibiotik tidak diperlukan karena dugaan etiologi pada pasien adalah infeksi virus. Pasien mengalami demam sehingga diberikan paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kg/kali dengan sediaan sirup 120 mg/5 ml atau 160 mg/5 ml. Pasien membutuhkan dosis 91-136,5 mg/kali, sehingga dapat diberikan 1 cth per kali pemberian paracetamol dengan dosis 120 mg/5 ml bila demam. Pasien diberikan probiotik berupa Lacto B yang mengandung 1 x 109 CFU/g Lactobacillus acidophilus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus, vitamin C 10 mg, vitamin B1 0,5 mg, vitamin B2 0,5 mg,vitamin B6 0,5 mg, niacin 2 mg, protein 0,02 g, dan lemak 0,1 g. Dosis 2 x 1 sachet yang diberikan sudah tepat diberikan untuk anak <1 tahun. Edukasi kepada ibu pasien telah diberikan sejak hari pertama pasien masuk ruang rawat inap, mengenai penyiapan dan penyimpanan makanan secara bersih, penggunaan air bersih dan matang untuk minum, mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan memberi makan, membuang tinja di jamban, serta pemberian makanan dengan nutrisi seimbang. Prognosis ad vitam pada pasien adalah bonam menimbang diare yang disebabkan oleh virus adalah self-limiting dan dehidrasi pada pasien adalah ringan/sedang. Prognosis ad functionam adalah bonam karena fungsi sistem lain pada pasien masih baik. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam oleh karena insidensi tertinggi diare pada anak adalah usia 6-11 bulan. Hal ini bergantung kepada penerapan edukasi yang telah diberikan kepada ibu, mengenai kebersihan dan kecukupan nutrisi yang diberikan kepada pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. Juffrie M, et al. Diare Akut. Dalam: Buku Ajar Gatroenterologi-Hepatologi. 3rd ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2009. 2. Buku Ajar Diare. Departemen Kesehatan RI. Jakarta: Penerbit Departemen Kesehatan RI; 2011. 3. Pudjiaji AH, et al. Pedoman pelayanan medis IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2009. 4. Sastroasmoro S, et al. Panduan pelayanan medis departemen ilmu penyakit anak. 1st ed. Jakarta: RSCM. 2007; 75-84. 5. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. Jakarta: WHO Indonesia; 2009. 6. Kliegman RM, et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders; 2007.